II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Berdasarkan aspek hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat jika dilihat hanya dari kepemilikan lahan maka dapat dikategorikan ke dalam hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Namun jika dilihat dari pengelolanya, maka hutan adat juga dapat dikategorikan menjadi hutan rakyat karena dikelola oleh masyarakat atau rakyat walau kepemilikan lahan dikuasai oleh negara. Sedangkan sebelumnya dalam Undang-Undang RI No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan rakyat dimasukkan sebagai hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Berbagai pengertian mengenai hutan rakyat dapat dilihat dari rangkuman Mindawati et al. (2006) sebagai berikut : a. Hutan rakyat adalah merupakan tanaman pohon-pohonan (tanaman tahunan) yang terdiri dari berbagai jenis, baik tumbuh secara alami maupun ditanam dalam bentuk kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang berfungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya (Djajapertjunda 1959 dalam LP IPB 1990). b. Hutan rakyat adalah sebutan lain untuk hutan yang berstatus hutan milik, menurut penjelasan (UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Departemen Pertanian 1967). c. Hutan rakyat adalah tanaman kayu rakyat yang tumbuh diantara tanamantanaman pertanian lainnya, atau areal tanah kering yang ditanami pohonpohon yang dapat diperdagangkan (Suyana 1976). d. Hutan rakyat adalah hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari
lahan
milik
yang
ditanami
pohon
dengan
pembinaan
dan
pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau suatu badan usaha seperti koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan pemerintah (Alrasyid 1979).
9
e. Hutan rakyat adalah istilah lain untuk kebun campuran, untuk hutan yang ditanami kombinasi antara tanaman berkayu dan tanaman pertanian serta tanaman buah-buahan (Maryanto 1984 dalam LP IPB 1990). f. Hutan rakyat adalah suatu kebun yang hanya ditumbuhi beberapa pohon saja sebagai sentral, dimana pohon merupakan tumbuhan berkayu yang dapat mencapai tinggi lebih dari 4 meter dan berdiameter sama atau lebih besar dari 10 cm (Lembaga Penelitian IPB 1986 dalam LP IPB 1990). g. Hutan rakyat adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha, dan penutupan tajuk tanaman kayukayuan minimal 50% dan atau pada tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha (Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1997 Departemen Kehutanan 1999) h. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, Departemen Kehutanan 1999). i. Hutan rakyat adalah merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut hutan milik (Hardjanto 2001). Menurut Awang et al. (2002), sudut pandang yang sering digunakan mengenai hutan rakyat adalah sudut pragmatisme, geografis, dan sistem tenurial (kepemilikan). Pandangan pragmatisme melihat hutan yang dikelola rakyat hanya dari pertimbangan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan atau tanaman keras yang tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim sebagai hutan rakyat. Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan pola serta sistem hutan rakyat tersebut.
Sistem hutan rakyat berbeda satu sama lain
tergantung letak geografis: ada yang di dataran rendah, medium, dan dataran tinggi; dan jenis penyusunnya yang berbeda menurut tempat tumbuh dan kesesuaian dengan iklim mikro. Pandangan sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya statusnya hutan negara yang dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga, dan lain-lain. Sebagian besar penelitian tentang hutan rakyat umumnya sepakat bahwa secara fisik hutan rakyat tumbuh dan berkembang di atas lahan milik, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai
10
tabungan keluarga, sumber pendapatan, dan menjaga lingkungan. Namun, menurut Awang et al. (2002) pembatasan hutan negara dan hutan rakyat dianggap kaku dan justru seringkali tidak menjamin keberadaaan dan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri. Sebaiknya pengertian hutan rakyat harus diperluas yaitu hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara.
2.1.2. Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia Menurut Hinrichs et al. (2008) sejak tahun 1978, ketika diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia dengan tema ”Hutan untuk Rakyat” (Forest for People), pelan tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara sedang berkembang. Para penentu kebijakan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia, secara progresif telah menyadari bahwa mereka yang mengetahui dengan amat baik kondisi-kondisi hutan setempat tidak lain adalah rakyat yang tinggal dan hidup di kawasan sekitar hutan-hutan tersebut. Istilah hutan rakyat muncul dalam perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia yakni dalam satu artikel yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 1978, berjudul ”Kehutanan untuk Pembangunan Masyarakat Setempat”. Sebenarnya istilah hutan rakyat sudah lama digunakan dalam programprogram pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK Tahun 1967 dengan terminologi „hutan milik‟. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri”, yaitu melakukan penanaman pohon-pohonan di lahan rakyat. Program tersebut belum sempat dilaksanakan karena kekurangan biaya dan sarana lainnya, tetapi sudah memberi inspirasi kepada rakyat akan pentingnya menanam pohon di tegal dan pekarangan yang kosong (Simon 2010) . Pada dekade 1960-an program karang kitri dirubah namanya menjadi program penghijauanan, dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1964. Sejak ada bantuan dari lembaga donor internasional mulai tahun 1966,
11
program
penghijauan
mulai
menunjukkan
hasil
yang
cukup
berhasil.
Keberhasilan tersebut ditambah dengan faktor-faktor pendukung yanglain, maka pada dekade 1980-an di daerah Kapur Selatan telah dikenal adanya hutan rakyat dengan jati sebagai jenis dominan (Awang et. al. 2001 dan Simon 2010). Sejarah perkembangan hutan rakyat di Jawa memiliki perbedaan dengan hutan milik atau hutan adat yang tumbuh di luar Pulau Jawa seperti Kebun Damar di Krui Lampung Barat, hutan rotan (simpukng) di Kutai Barat, tengkawang di Kalimantan Barat, Dusun Sagu di Papua dan Mamar di Nusa Tenggara. Khusus untuk pohon damar mulai dibudidayakan oleh penduduk setempat pada abad ke17, saat Inggris masuk wilayah Krui lewat pelabuhan Pulang Pisang. Pohon damar diperkirakan baru mulai dibudidayakan di daerah tersebut menjelang akhir abad ke-19. Pada tahun 1800-an, yaitu ketika kompeni Belanda masuk Krui, budidaya damar berkembang pesat.
Proses pembentukan damar di Lampung
serupa dengan pembentukan kebun karet di seluruh Sumatra maupun Kalimantan, yaitu dimulai dari perladangan berpindah. Oleh karena itu model pembentukan khepong damar di Lampung merupakan model yang telah teruji dan dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus memelihara kawasan hutan dari proses degradasi.
2.1.3. Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Menurut Awang (2007) karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah : 1). Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil. 2). Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan. 3). Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga, yaitu masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.
12
4). Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem “tebang butuh”, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman. 5). Belum
terbentuk
organisasi
yang
profesional
untuk
melakukan
pengelolaan hutan rakyat. 6). Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri. 7). Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat. Menurut Suharjito (2000), beberapa faktor yang mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa adalah faktor ekologis, ekonomi, dan budaya. Hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas).
Budidaya hutan rakyat bukan pilihan yang utama bagi masyarakat
pedesaaan Jawa pada umumnya. Jika kondisi lingkungan alam memungkinkan, pilihan yang utama adalah budidaya tanaman yang cepat menghasilkan dengan keuntungan tinggi. Penyebaran hutan rakyat pada lahan milik terpencar-pencar dari satu lokasi ke lokasi lain dengan luasan yang relatif sempit (< 1 ha). Penyebarannya meliputi semua macam penggunaan lahan misalnya terdapat pada tegalan, ladang, kebun campuran, pekarangan dan sebagainya. Hutan rakyat banyak diusahakan pada lahan marjinal, dengan kondisi lereng yang berat, kesuburan tanahnya rendah, sulit mendapatkan air, dan sebagainya, sehingga tidak ekonomis dijadikan lahan pertanian (Haeruman et al. 1991). Pola tanam tumpangsari umumnya dilakukan oleh petani-petani berlahan sempit dan menengah. Para petani yang memiliki lahan yang luas (>1 ha) dan petani yang memiliki sumber penghasilan di luar usahatani (dagang, pegawai negeri, dll.) lebih mencurahkan perhatian pada usaha penanaman kayu-kayuan daripada
tanaman
pangan,
terutama
pada
lahan-lahan
produktivitasnya dan lapisan olahnya sudah sangat rendah.
yang
tingkat
13
Keragaan usaha hutan rakyat memiliki keragaman antar kecamatan tetapi cenderung seragam dalam kecamatan.
Aspek-aspek yang menyebabkan
terjadinya keragaman yaitu : tingkat perhatian terhadap hutan rakyat, persentase pendapatan, penyerapan tenaga kerja, kelestarian fisik, intensitas penutupan lahan, dan persentase pemenuhan kayu bakar dari hutan rakyat (Haeruman et al. 1991). Menurut Berenschot et al. (1988) dalam Hardjanto (2003), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap budidaya pohon-pohon (Acacia mearnsii) di pedesaan Wonosobo-Jawa Tengah adalah kepadatan penduduk, pemilikan lahan, topografi, dan komersialisasi. Peningkatan kepadatan penduduk berarti ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon-pohon. Topografi yang curam mendorong petani membudidayakan pohonpohon yang sesuai untuk keperluan konservasi lahan.
Komersialisasi hasil
pertanian cenderung menurunkan minat budidaya pohon-pohon.
Berdasarkan
hasil penelitian di Gunungkidul dan Banjarnegara, Van Der dan Van Dijk (1987) mengemukakan bahwa rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif. Demikian pula rumahtangga yang memiliki kemudahan akses ke pasar lebih cenderung memilih tanaman yang intensif. Kendra dan Hull (2005) di Virginia Amerika Serikat menyatakan, terdapat peningkatan jumlah orang yang memiliki hutan pribadi.
Hal ini disebabkan
beberapa faktor seperti: gaya hidup sederhana (simple lifestyle), kerohanian (spirituality), pemeliharaan alam (nature preservation), ekonomi (economics), rekreasi (recreation), dan karakter derah (regional character). digunakan
Metode yang
untuk memilih faktor yang penting tersebut adalah dengan
menstratifikasi populasi berdasarkan umur, pendapatan, luas areal kepemilikan, dan kriteria sosiodemografi Menurut Hardjanto (2000), beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut : 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.
14
2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total.
2.1.4. Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat Bentuk hutan rakyat di Indonesia sangat beragam dan pembagiannya tergantung dari sudut pandang yang berbeda pula. Menurut Hardjanto (2003), jika ditinjau dari asal mula keberadaannya, maka hutan rakyat dibagi atas : 1) Hutan rakyat tradisional : penanaman dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah. 2) Hutan rakyat Inpres : penanaman diprakarsai oleh pemerintah melalui bantuan penghijauan di tanah terlantar. Menurut Michon (1983), hutan rakyat dibagi atas tiga tipe, yaitu: 1) Pekarangan : sistem pengaturan yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha, dipagari mulai dari sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter. 2) Talun : mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon–pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana. 3) Kebun campuran : jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan jenis tanaman pokok cengkeh atau pepaya dan berbagai macam jenis tanaman herba. Kebun ini seringkali ditemui di sekitar desa. Dari pola-pola yang ada menunjukkan keragaman yang sangat besar yang menjadi batas atau ciri hutan rakyat di lapangan. Pola tanam hutan rakyat menurut Mindawati (2006) dan Purwanto et al. (2004) adalah:
15
1) Pola tanam hutan rakyat murni: Lahan hanya ditanami dengan satu jenis tanaman kayu-kayuan. Jenis yang biasa dikembangkan dalam pola ini adalah sengon, jati atau mahoni dalam kelompok-kelompok kecil antara 2-8 ha di dalam satu blok atau bahkan dalam luas yang lebih kecil. Pola ini dipilih masyarakat karena alasan penurunan produktivitas lahan sehingga dilakukan penghutanan kembali yang diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Alasan yang lain adalah semakin sedikitnya tenaga kerja akibat urbanisasi, dan mulai terdapatnya sumber-sumber pendapatan yang digunakan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2) Pola tanam hutan rakyat campuran : Suatu areal tertentu yang ditanami 2-5 jenis tanaman kayu seperti sengon, mahoni, maesopsis, suren, jati, yang ditanam secara campuran dan berbeda kombinasinya pada setiap daerah. Dari teknik silvikultur, cara ini lebih baik daripada hutan rakyat murni.
Jarak tanam masing-masing jenis
tanaman dalam hamparan pemilik biasanya tidak teratur. Jumlah pohon setiap jenis bervariasi, demikian juga dalam satu jenis dijumpai variasi umur berbeda. 3) Pola tanam hutan rakyat dengan sistem agroforestri/wanatani Hutan rakyat yang mempunyai bentuk kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian, pangan, peternakan, dan lain-lainnya secara terpadu. Pola tanam ini berorientasi kepada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Berdasarkan pengamatan di lapangan sangat sulit dijumpai sistem penanaman oleh petani secara monokultur (satu jenis). Secara garis besar Awang (2002), membagi pola tanam yang dilakukan oleh petani hutan rakyat sengon adalah sebagai berikut : 1. Pola 1 : Tanaman kayu-kayuan yang didominasi oleh jenis sengon. 2. Pola 2 : Tanaman sengon dan tanaman semusim 3. Pola 3 : Tanaman sengon, tanaman semusin dan buah-buahan.
16
4. Pola 4: Tanaman sengon, tanaman semusim, buah dan tanaman perkebunan (kapulaga, salak). 5. Pola 5 : Tanaman sengon dan tanaman perkebunan. 6. Pola 6 : Tanaman sengon dan tanaman buah-buahan. Ditinjau dari awal keberadaan pohon yang berada di hutan rakyat, sebagian besar merupakan hasil campur tangan penanaman manusia walaupun ada yang tumbuh alami pada beberapa lokasi. Proses pemanenan kayu umumnya berdasarkan “daur butuh”, yaitu menebang pohon pada saat petani memerlukan tambahan finansial, sehingga struktur tegakan
yang terbentuk menjadi tidak
seragam seperti hutan tidak seumur. Hal ini ditunjukkan dari beberapa penelitian, seperti Haeruman et al. (1990) di enam kabupaten di Jawa Barat; penelitian Hayono (1996) di Wonosobo dan penelitian Suryadi (2002) dalam Hardjanto (2003) di Leuwiliang Kabupaten Bogor. Kelestarian hutan rakyat dapat terwujud jika kondisi hutan rakyat membentuk struktur hutan normal dari distribusi kelas
Jumlah Pohon per ha
diameter seperti pada Gambar 1.
<10 10-15 16-20 >20 Diameter
(cm)
Gambar 1 Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat Menurut Awang (2002), kelestarian hutan rakyat di suatu tempat sangat ditentukan oleh faktor-faktor: kebutuhan ekonomi masyarakatnya, kepatuhan terhadap hukum-hukum tradisional, sistem pengaturan dan pembagian manfaat antar warga masyarakat, dan pandangan-pandangan kebutuhan penyelamatan lingkungan (pelestarian air, pencegahan erosi, dan peningkatan pendapatan masyarakat).
Jika unsur ekonomi terlalu menonjol di dalam kegiatan hutan
rakyat, maka akan mengganggu lingkungan hidup.
Jika hukum dan aturan
adat/tradisi ditinggalkan maka sumberdaya hutannya akan rusak. Pembagian
17
manfaat yang tidak merata atas sumberdaya alam hutan akan menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Bahaya utama dari kelestarian hutan rakyat
adalah jika terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil-hasil hutan yang ada di dalam hutan rakyat (terutama kayunya).
2.1.5. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Menurut Awang et al. (2002), pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat sering dipandang banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak perlu. Pandangan seperti ini tercipta ketika orang berfikir bahwa hutan rakyat itu dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan milik negara dan swasta, maka luasan hutan rakyat tidak berarti. Kendati hutan rakyat tidak dalam skala ekonomi tetapi hutan rakyat dengan segala komoditasnya telah secara signifikan membantu kebutuhan pemiliknya, baik untuk tambahan pendapatan, bahan obat-obatan, sumber pangan, sumber pakan ternak, sebagai tabungan untuk pendidikan anak dan sumber bahan bangunan perumahan dan meubeler. Menurut Hardjanto et al. (1987), untuk tujuan pengelolaan maka terdapat beberapa unsur kesatuan pengelolaan yang harus terpenuhi untuk mencapai prinsip kelestarian hasil dan kelestarian usaha.
Unsur-unsur yang dimaksud,
yaitu: 1). Azas kekekalan suplai Menurut azas ini, luas yang ditebang sama dengan luas yang ditanam. Hal ini dapat diartikan persediaan kayu ada sepanjang waktu dengan jumlah yang dipanen sesuai dengan riap pohon bersangkutan. 2). Azas kekekalan pengusahaan Kekekalan pengusahaan dapat berupa cara menggunakan investasi seefisien mungkin agar didapat suatu keuntungan dengan masa pengambilan yang relatif singkat. Dalam pengusahaan kayu rakyat, faktor luasan (optimum) menjadi penting, oleh karena akan menjadi pembatas dalam perhitungan finansial. Disamping itu, perlu ditetapkan suatu jangka waktu tertentu antara penanaman dan penebangan, atau penanaman dan penanaman berikutnya atau dalam bidang kehutanan disebut daur.
18
3). Kesatuan organisasi pelaksanaan pekerjaan. Pembentukan organisasi terlebih dahulu harus melihat lingkup kegiatan yang ditangani, dan menentukan kemampuan petugas yang akan ditempatkan atau mengukur volume pekerjaan setiap bagian tugas yang harus dikerjakan oleh setiap anggota organisasi. Permasalahan yang timbul adalah jenis pekerjaan apa yang dapat memberikan ukuran yang jelas ke dalam luasan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Pekerjaan ini akan merupakan dasar bagi organisasi pelaksanaan pekerjaan.
Pekerjaan tersebut berupa
penyuluhan kepada petani yang mencakup seluruh kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat. 4). Kesatuan organisasi pengusahaan terkecil. Dalam ilmu manajemen dikenal adanya hukum jenjang pengawasan (span of control). Hukum ini mengatakan bahwa apabila seorang petugas atau organisasi dari tingkat organisasi bawahan mempunyai wewenang untuk mengadakan interprestasi tentang perintah yang diterima dari atasannya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, maka perbandingan antara yang mengawasi dan yang diawasi menurut pengalaman adalah 1: 4-6. Oleh karena tenaga penyuluh merupakan tenaga yang mempunyai wewenang mengadakan interpretasi, maka perbandingan antara pimpinan penyuluh dan penyuluh mengikuti aturan tersebut. Jika kemampuan seorang tenaga penyuluh adalah satu desa dalam melaksanakan penyuluhan, maka satu kesatuan organisasi pembinaan lebih kurang 4-6 desa. Rentang pengawasan adalah jumlah terbanyak bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu.
Jumlah pejabat
bawahan bagi seorang pejabat atasan dapat banyak apabila pekerjaan yang dilakukan oleh para pejabat bawahan itu termasuk pekerjaan yang tidak memerlukan waktu lama untuk penyelesaiannya. Sebaliknya apabila untuk tiaptiap pekerjaan yang harus dikerjakan oleh para pejabat bawahan itu selalu memakan waktu lama sehingga pejabat atasan harus selalu mengawasi atau membimbing beberapa kali maka sebaiknya jumlah yang dipimpin oleh pejabat atasan sebaiknya sedikit saja. Menurut Sutarto (1984) dari beberapa pendapat
19
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rentangan kontrol adalah terbatas dimana jumlah angka pedomannya adalah : a. Untuk satuan utama jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar 3 sampai dengan 10 orang. b. Untuk satuan lanjutan jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar antara 10 sampai dengan 20 orang. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi jenjang pengawasan (span of control) adalah : 1). Kesamaan fungsi. 2). Kedekatan geografis. 3). Tingkat pengawasan langsung yang dibutuhkan. 4). Tingkat koordinasi pengawasan yang dibutuhkan. 5). Perencanaan yang dibutuhkan. 6). Bantuan organisasional yang tersedia bagi pengawas. Lastini (2005) melakukan pengelompokan hutan rakyat dengan berbagai peubah dimana menghasilkan peubah kepadatan penduduk dan jarak ke kota besar terdekat merupakan peubah dominan yang menghasilkan dugaan potensi hutan rakyat lebih baik dibanding dengan peubah lainnya. Awang (2006), mencoba pelakukan pendekatan kebutuhan terbentuknya unit manajemen hutan rakyat berdasarkan kebutuhan DAS terhadap keberadaan hutan, dimana hutan rakyat merupakan salah satu pendukung yang sangat berarti. Terdapat dua pemikiran pokok yang mendasari terbentuknya unit manajemen hutan rakyat (UMHR), yaitu : 1). Penguatan kelompok-kelompok pengelola hutan rakyat. 2). Penataan kawasan unit manajemen hutan rakyat. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah membuat Pedoman LEI 99-41 sampai LEI 99-46 mengenai Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML).
Didalam pedoman tersebut telah disusun tipologi Unit
Manajemen berdasarkan aspek ekologi, sosial, dan produksi. Unit manajemen yang terbentuk yaitu sekelompok masyarakat, dimana kelompok ini bisa berupa kumpulan rumah tangga petani yang masing-masing mandiri namun membangun kesepakatan khusus menyangkut aturan-aturan produksi bersama untuk menjamin
20
kelestarian pengelolaan hutan.
Dari segi fisik satu unit manajemen adalah
kumpulan lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), seperti hutan rakyat yang berada atau sebagian besarnya berada dalam satu hamparan yang relatif kompak. Di Desa Selapuro Wonogiri, unit manajemen berupa komunitas petani dalam satu dusun yang terdiri dari 682 keluarga dan luas hutan 262.77 ha (terletak di lahan pekarangan 96.22 ha, dan tegalan 166.55 ha). Sedangkan di Desa Sumberejo Wonogiri unit manajemen terdiri dari 958
keluarga petani
dengan luas hutan 526.19 ha (terletak di lahan pekarangan 166.22 ha, dan tegalan 359.97 ha).
Tabel 1 Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat Nama Unit Pengelolaan Desa Sumberejo dan Selopuro (Wonogiri) Koperasi Wana Lestari (Gn. Kidul)
Luas/Jumlah orang
Desa
809,95 ha (2 desa : Desa Sumberejo 958 kk dan Desa Selopuro 682 kk)
Manunggal
815.18 ha (3 desa : Kedungkeris, Dengok, Giri Sekar)
Koperasi Hutan Jaya (Kab. Konawe Selatan – Sulteng)
159 Ha (12 Desa)
GOPHR Wono Lestari Makmur (Kec. Weru-Jateng)
1179 ha (4 desa : Ngrejo, Karangmojo, Jatingarang, dan Alasombo)
Perkumpulan PHR Catur Giri Manunggal (Wonogiri)
2434,24 ha (4 desa : Tirtosuworo, Guwotirto, Sejati, dan Grikikis)
Sumber : Hinrichs et al. 2008
Sedangkan Forest Stewardship Council (FSC) menciptakan istilah Hutanhutan yang dikelola dengan Intensitas Rendah dan Berskala Kecil (Small and Low Intensity Managed Forest – SLIMF).
Hutan-hutan berukuran kecil (hutan
tanaman dan non hutan tanaman) ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1000 ha (dengan kemungkinan pengurangan hutan dari ukuran rata-rata nasional).
Pada hutan-hutan yang dikelola dengan intensitas rendah, nilai
tebangan harus dibawah 20% dari nilai rata-rata kenaikan tambahan (riap) tahunan dari seluruh produksi unit pengelolaan di kawasan hutan tersebut. Total tebangan setahun dari kawasan hutan tadi tidak lebih dari 5000 m3.
Pengelompokan
21
sertifikasi dimungkinkan menurut kebijakan SLIMF, sepanjang seluruh anggota kelompok merupakan Hutan Kecil atau Hutan-Hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah. Berdasarkan data tahun 2008 telah ada 6 (lima) unit manajemen hutan rakyat yang telah diberikan sertifikasi dari beberapa lembaga sertifikasi seperti : Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) dan SmartWood yang berpedoman pada skema FSC (Tabel 1). Luasan setiap unit pengelolaan beragam antara 159 ha sampai yang paling luas berkisar 2434 ha, dengan kesatuannya berdasarkan kumpulan kelompok petani dan koperasi. 2.2. Pengelolaan Hutan 2.2.1. Pengertian Hutan dan Pengelolaannya Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan The Dictionary of Forestry (Helms, 1998) menyatakan hutan adalah suatu karakteristik ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih rapat, biasanya terdiri dari keragaman tegakan seperti
komposisi jenis,
struktur, dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan, dimana umumnya mengandung padang rumput, sungai dengan ikannya dan satwa liar.
Hutan
mencakup juga pengelompokan khusus seperti hutan industri (industrial forest), hutan milik bukan industri (nonindustrial private forest), hutan tanaman (plantations), hutan publik (public forest), dan hutan kota (urban forest). Society of American Foresters (1958) dalam Davis (1966), mendefinisikan pengelolaan hutan sebagai penerapan metode bisnis dan prinsip teknik kehutanan untuk kegiatan kepemilikan hutan. Seni, keahlian, dan pengetahuan kehutanan merupakan seperangkat nilai keberhasilan hanya jika digabungkan dan diterapkan dalam kegiatan bisnis kehutanan yang berhasil. Menurut Osmaston (1967), pengelolaan (management) secara umum adalah tindakan atau tanggungjawab jelas meliputi organisasi dan pengaturan semua kegiatan yang diperlukan untuk memenuhi tujuan dari pemilik atau kepemilikan.
Sedangkan khusus untuk
22
pengelolaan hutan memiliki keistimewaan tersendiri, dimana terdapat lima keistimewaan pengelolaan hutan, yaitu : (1) Faktor waktu Pertumbuhan pohon sampai mencapai ukuran yang dapat dimanfaatkan umumnya lambat, sehingga muncul resiko perubahan permintaan pasar dan pengembalian modal yang lama. (2) Identitas produk dan pabrik Di dalam suatu pohon memiliki dua identitas yaitu sebagai produk dan pabrik penghasil produk itu sendiri, sehingga memanen hasil berarti juga menghilangkan pabrik. (3) Manfaat majemuk (multiple use) Terdapat manfaat tangible dan intangible dari hutan.
Sulit menentukan
prioritas yang akan diambil dari semua manfaat yang ada, dan seringkali memanfaatkan satu menghilangkan manfaat yang lain. (4) Luas, topografi, dan assesibilitas lahan. Lahan hutan umumnya terpencil, sulit dicapai, tidak subur, dan sulit dibajak, dan berada di tempat jauh seperti di pegunungan. (5) Faktor teknis Dasar dari pengelolaan hutan serupa dengan pertanian yang bergantung kepada lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman terutama pohon harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut sangat kompleks yang meliputi tidak saja botani, fisiologi dan ekologi tanaman, tetapi juga geologi, pedologi, dan klimatologi. Sejalan dengan waktu, kriteria pengelolaan hutan tersebut diatas mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Pada saat sekarang pengelolaan hutan meliputi penggunaan hutan untuk
kepentingan pemilik dan masyarat.
Pengelolaan hutan saat ini berusaha mengejar ketertinggalan perhatiannya terhadap kepentingan masyarakat. Pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan produksi kayu, keanekaragaman hayati, atau tujuan lainnya, keputusan didasari oleh pengetahuan dan nilai kepentingan manusia (Davis et al. 2001). Pengelolaan sumberdaya hutan menurut Buongiorno dan Gilles (2003) adalah seni dan ilmu membuat keputusan dengan perhatian terhadap organisasi,
23
fungsi, dan konservasi hutan serta hubungan sumberdaya tersebut. Hutan dapat dikelola untuk menghasilkan kayu, air, kehidupan liar, rekreasi, atau kombinasinya. Beberapa karakteristik utama yang dipegang dalam pengelolaan hutan menurut Suhendang et al. (2005) yaitu : 1. Berdasarkan pendekatan ekosistem dengan jasa lingkungan sebagai bentuk manfaat yang mutlak harus dihasilkan. 2. Bersifat multifungsi, sehingga perlu dilakukan pendekatan optimasi fungsi-fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial dari ekosistem hutan. 3. Untuk produksi kayu, maka hasil akan melekat pada pohon pembentuk tegakan yang sekaligus sebagai pabrik dalam proses produksi tersebut. 4. Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite).
Dalam
pengelolaan hutan dipegang prinsip kelestarian (berkelanjutan). 5. Tingkat intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam dan tidak seintensif pengelolaan perkebunan.
2.2.2. Sejarah Pengelolaan Hutan Perhatian terhadap pengelolaan hutan menurut Meyer et al. (1961) dimulai dengan adanya kegiatan silvikultur pada kekaisaran Cina sekitar 1122 sebelum Masehi. Kegiatannya meliputi penjarangan tegakan, pemindahan pohon yang tidak diinginkan, pemangkasan, pembersihan, dan perlindungan. Komisi hutan dari pemerintah saat itu mengatur penebangan pohon, menghukum tindakan pencurian kayu, dan hanya mengizinkan penggunaan kayu untuk tujuan yang pasti. Kegiatan praktek kehutanan di Cina ini tidak berlanjut kemungkinan akibat perang dan periode kehancuran (chaos). Organisasi pengelolaan hutan lebih terlambat berkembang dibanding dengan metode silvikultur sederhana.
Di Eropa kelestarian hasil mulai
berkembang antara abad tiga belas sampai enam belas. Hal yang menarik yaitu pengelolaan hutan di Jerman muncul karena kekhawatiran kekurangan kayu akibat overcutting, pembersihan lahan, dan pengembalaan.
Sejarah mengenai
pengelolaan hutan yang tertulis secara formal adalah Ordonansi Melum
24
(Ordonance de Melum) di Perancis tahun 1376 dan Akta Hutan (Forest Act) tahun 1482, serta tahun 1543 di Inggris (Osmaston 1967). Menurut Davis et al. (2001) berdasarkan perkembangan sejarah terdapat empat tahapan pendapat utama mengenai kelestarian hutan, yaitu: 1. Kelestarian Hasil dari Kayu Komersil (Sustained Yield of Commercial Timber). Pengelolaan hutan tradisional lebih menekankan untuk produksi kayu. Kehutanan di Eropa pada tahun 1800-an, khususnya Jerman, menekankan aliran produksi kayu yang seimbang dalam suatu organisasi hutan. 2. Kelestarian Hasil untuk Multifungsi (Multiple Use-Sustained Yield) Setelah perang dunia ke-2, ekonomi masyarakat di Amerika Serikat mengalami peningkatan. Banyak penduduk yang melakukan rekreasi ke luar rumah terutama di lahan publik. Kemudian secara formal dibuat perundangundangan pada tahun 1960 mengenai “The Multiple Use-Sustained Yield Act”. Peraturan ini mengatur pengeluaran hutan selain kayu dan air dalam pengelolaan hutan nasional meliputi pemancingan, kehidupan liar, penyedia makanan ternak, dan rekreasi alam. 3. Fungsi alami dari ekosistem hutan (Naturally Functioning Forest Ecosystem). Hubungan manusia dengan alam saling mendukung. Pada tahun 1980 sampai awal 1990, negara melihat terdapat tekanan dan persaingan kuat untuk penggunaan hutan dan hasilnya.
Secara bersamaan terjadi perkembangan
dalam ilmu ekologi yang mendukung perlunya penyelamatan ekosistem alami dan kandungan genetik sebelum hilang secara permanen. Pertumbuhan politik lingkungan dengan tiba-tiba membawa perubahan politik baru. 4. Kelestarian Kemanusiaan – Ekosistem Hutan (Sustainable Human- Forest Ecosystem). Masalah hukum dan lingkungan ditekankan pada tahun 1980-an sampai 1990an, timbul istilah yang disebut “Sustainable Human- Forest Ecosystem” atau disebut juga kelestarian hutan dan pengelolaan ekosistem. Banyak ide mengenai
kelestarian alami ekosistem hutan. Masalah besarnya adalah
peningkatan populasi manusia dan kehidupan mengubah hubungan dengan hutan.
di dekat hutan yang akan
25
2.2.3. Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan Davis et al. (2001) menyatakan bahwa kelestarian hutan adalah pengakuan secara luas hubungan susunan antara ekologi, ekonomi, dan sosial. Kelestarian ini berarti mempertemukan kepentingan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi berikutnya. Pespektif dalam pengelolaan hutan dipandang dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial adalah sebagai berikut : a.
Prinsip Kehutanan Ekologi Prinsip ini menganalisa sumberdaya hutan dari keanekaragaman hayati dan produktifitas ekologi. Ekologi hutan dibedakan oleh penekanan pola alami dan prosesnya. Pola gangguan alami dan prosesnya, sistem seleksi silvikultur, penyeleksian umur dan sebarannya, serta habitat dari suatu jenis digunakan sebagai arahan pengelolaan.
b. Prinsip Kehutanan Ekonomi Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari keuntungan bersih maksimal
terhadap
manusia.
Keuntungan
dapat
dipandang mikro
(perusahaan) dan makro (wilayah dan nasional). Ekonomi mikro menganalisis keuntungan pada suatu perusahaan dan ditekankan pada akumulasi kekayaan. Sedangkan makro ekonomi menganalisa keuntungan dari ekonomi dan ditekankan pada kumpulan pengukuran kesejahteraan setiap pekerja, pendapatan, dan Gross National Product (GNP). Selain itu, untuk kehutanan pengukuran yang sering digunakan adalah nilai kiwari bersih (Net Present Value/NPV), dan pendugaan biaya alternatif untuk suatu pengukuran keanekaragaman hayati. Menurut Buongiorno dan Gilles (2003), penilaian ekonomi di lahan hutan lebih tepat jika menggunakan “Nilai Harapan Lahan” (Land Expectation Value/LEV) yang dikemukakan oleh Martin Faustmann pada tahun 1849.
26
VR
0
2R
R
3R
Tahun
Gambar 2 Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann
Pada Gambar 2 terlihat bahwa ketika suatu tegakan mencapai waktu rotasi (R) maka dilakukan penebangan. Kemudian lahan segera menjadi hutan kembali setelah pemanenan tersebut. Formula Faustmann menunjukkan nilai lahan adalah nilai yang dihitung pada saat sekarang dari panen yang akan datang dengan waktu yang tak terhingga.
Fungsi lahan tidak mengalami
perubahan, yaitu tetap menjadi fungsi hutan terus menerus, ini terlihat dari rumusnya dimana terjadi ulangan tak terhingga, yaitu :
wv R - c (1 r) R
LEV
-c
atau
LEV
-c
wv R - c (1 r) 2R
wv R - c (1 r) 3R
...
wv R - c (1 r) R 1
Dimana : c = biaya pemanenan R = rotasi r = suku bunga W = harga kayu V = volume kayu per ha Terjadi ulangan tak berhingga ini merupakan ciri dan prinsip pengelolaan hutan dibanding pengelolaan lainnya. c. Prinsip Kehutanan Sosial Prinsip ini dinamakan dengan social forestry yang menganalisis melalui keberlanjutan kesejahteraan manusia, komunitas, dan masyarakat. Elemen kunci keuntungan hutan menggunakan prinsip ini meliputi distribusi keuntungan
hutan,
kapasitas
kelompok
untuk
menerima
perubahan,
27
penerimaan sosial dari keputusan, dan proses pembuatan keputusan berdasarkan demokrasi. Deklarasi Rio yang dikeluarkan pada Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development,
UNCED)
yang
diselenggarakan
di
Brazil
Tahun
1992
mengamanatkan perlunya pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh (holistic), terpadu (integrated) dan berkelanjutan (sustainable). Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam konferensi ini adalah Prinsip-prinsip Kehutanan ( Principle on Forest).
Prinsip tersebut melandasi Pengelolaan Hutan Lestari atau PHL
(Sustained Forest Management/SFM) yang disepakati secara internasional. Prinsip utama dalam PHL adalah dicapainya manfaat hutan yang bersifat optimal dari fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial budaya hutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Suhendang 2004). Dalam
pengelolaan
hutan
berlandaskan
ekosistem,
kelestarian
(keberlanjutan) hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktifitas (daya dukung) hutan, dan funsi-fungsi ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya.
Dari ketiga dimensi
kelestarian hutan tersebut, kelestarian wujud biofisik merupakan prasyarat untuk diperoleh kelestarian produktivitas dan fungsi ekosistem hutan. Namun demikian, mempertahankan kelestarian wujud biofisik bukan berarti bahwa seluruh hutan harus dibiarkan utuh alami, tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan sama sekali; melainkan
kita
manfaatkan
sumberdaya
hutan
secara
optimal
dengan
mempertahankan kelestarian daya dukungnya yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan (Suhendang 2004). Lembaga Ekolabel Indonesia (2006) menyatakan ukuran kelestarian untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: status penguasaan lahan, status tataguna lahan di dalam tataruang, komoditas yang diusahakannya, dan orientasi pengusahaan produk-produk tesebut. Berdasarkan persilangan keempat faktor tersebut dikenali 48 tipe PHBM. Secara sederhana dapat digolong-golongkan lebih lanjut ke dalam 6 (enam) kategori berikut berdasarkan derajat sensitivitas kelestariannya, yaitu :
28
a) Kategori Pertama adalah PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan dilindungi, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial; b) Kategori Kedua adalah PHBM pada tanah negara yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial; c) Kategori ketiga adalah PHBM yang berada pada tanah adat dan hak milik yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial. Kategori ini dapat berarti PHBM pada tanah-tanah yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa hasil hutan non kayu dan orientasi usahanya komersial; d) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, jenis hasil hutan yang diproduksinya berupa kayu atau non kayu, namun dengan orientasi subsisten. e) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, dan orientasi usahanya komersial. f) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, namun orientasi usahanya subsisten. 2.2.4. Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan Menurut Davis (1966), penerapan pengelolaan hutan memerlukan terbentuknya organisasi administrasi dan bagian hutan (subdivision) pada unit kerjanya.
Kehidupan, transportasi, dan fasilitas lainnya harus dilengkapi.
Tanggungjawab untuk mencapai tujuan dan kebijakan pengelolaan hutan harus disusun dan dilaksanakan berdasarkan pada organisasi administratif. Penerapan sistem peraturan menuju efektifitas jadwal penebangan dan kerja pengelolaan hutan lainnya, identifikasi tegakan dan wilayah penebangan atau perlakuan lainnya diperlukan dalam pengelolaan hutan .
Rekaman perlu disimpan yang
29
berhubungan dengan unit lahan untuk gambaran pengukuran dan petunjuk kegiatan ke depan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dibagi atas beberapa tingkat,
yaitu propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. pengelolaan
hutan
tingkat
unit
pengelolaan
Pembentukan unit
dilaksanakan
dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi luasnya
suatu organisasi
unit
pengelolaan hutan adalah (Davis dan Mason, 1966): 1). Pendirian dan pemeliharaan dari pemilikan lahan Bagaimana lahan
diperoleh dan didistribusikan dalam hubungan dengan
kepemilikan lainnya dan penggunaan lahan, memerlukan pendirian dan pemeliharaan pada batas luar, trespass, dan klaim tanah yang merugikan, masalah akses dan prilaku masyarakat serta politiknya. 2). Tambahan rencana hasil ke depan Jika penambahan lahan diperoleh, kapan, dimana, dan berapa banyak? Jawabannya mempengaruhi atministrasi dan subdivisi hutan. 3). Lawas (Scope) dan karakter pekerjaan yang dilakukan Apakah dominan untuk produksi kayu atau untuk penggunaan lainnya dan bagaimana kepentingannya? Pertanyaan ini sangat penting di masyarakat dan berhubungan dengan kepentingan kepemilikan pribadi. Peningkatan produksi kayu mungkin perlu dihubungkan dan diseimbangkan dengan penggunaan lainnya. 4). Beban pekerjaan dan pengawasan Berapa besar beban pekerjaan dan unit personil profesional yang langsung berhubungan dengan lahan?
Ukuran dan struktur unit administrasi yang
efisien mengutamakan fungsi dari volume dan kompleksitas dari pekerjaan yang dilakukan dibanding berdasarkan luas tanah.
30
5). Area pemasaran Bagian hutan sebagai penyedia kayu terutama untuk pabrik, kota, atau masyarakat akan mempengaruhi organisasi dan bagian hutan itu sendiri. 6). Topografi Banyak bagian hutan ditentukan oleh karakteristik wilayahnya, seperti wilayah pegunungan untuk pengaturan kegiatan penebangan ditetapkan berdasarkan aliran air dan bentuk topografi. 7). Fasilitas transportasi Tersedianya fasilitas transportasi akan sangat mempengaruhi organisasi hutan. Transportasi menjadi batasan untuk pemasaran kayu di banyak wilayah hutan. Terbukanya wilayah hutan oleh jalan darat maupun air akan mengubah kondisi administratif.
Pada beberapa kondisi, besarnya wilayah di suatu
bagian hutan dipengaruhi oleh transportasi. Keberadaan transportasi seperti jalan dan rel secara alami berhubungan dengan topografi. 8). Karakteristik hutan Hutan didominasi oleh tegakan tua atau siap tebang. Sebagian merupakan persediaan, dan diperlukan regenerasi buatan dan lainnya yang penting hubungannya dengan administrasi hutan. Selain itu, perbedaan jumlah dan karakter serta tipe hutan seperti hardwood, konifer, atau gambut membedakan perlakuan dalam kegiatan di hutan. 9). Inventarisasi dan keperluan penyimpanan rekaman Beberapa macam pengawasan inventarisasi dan kegiatan rekaman harus disimpan sesuai dan berarti dalam bagian hutan. Dalam suatu organisasi di masyarakat terdapat dua bentuk organisasi yaitu, organisasi formal dan informal. Kedua bentuk organisasi tersebut memiliki perbedaan penting.
Menurut Buchanan dan Huczynski dalam Gane (2007),
organisasi formal mengacu pada pekerjaan kelompok yang didesain dengan pengelolaan profesional untuk mencapai efisiensi dan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan organisasi non formal mengacu pada jaringan hubungan yang spontan diantara anggotanya yang berlandaskan ketertarikan dan pertemanan. Komponen informal dapat mempengaruhi pekerjaan dan efisiensi dari organisasi, seperti moral, motivasi, kepuasan pekerjaan dan penampilan. Hal
31
tersebut dapat mendorong terjadinya inisiatif dan kreatifitas untuk keuntungan organisasi atau dapat menghalangi aktifitas. Pada semua organisasi terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap bentuk perilaku organisasi dan efektifitasnya, yaitu : a. Manusia yang saling berinteraksi b. Struktur, merupakan penyaluran dan pengaturan interaksi dan usaha c. Tujuan, keinginan organisasi untuk berhasil. d. Pengelolaan (management), menentukan dan mengawas aktifitas organisasi dalam mencapai tujuan. Sumberdaya baik alam, manusia, maupun kapital yang terdapat pada organisasi membutuhkan
kombinasi
dan
penggunaan
efektif
untuk
menghasilkan
kemungkinan hasil yang terbaik. Dilakukan proses penggabungan pengelolaan manusia, struktur dan tujuan, serta pengawasan terhadap sumberdaya. Hasil dari proses pengelolaan menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Di negara Eropa hutan milik lebih bersifat ekstensif dan berfragmentasi dibanding di tempat lain.
Sebagai contoh, 77% wilayah hutan produksi di
Norwegia merupakan milik individu, bermacam tipe dari hutan milik umum (private common ) sekitar 10%, dan milik publik sekitar 13%. Dimana hutan invidu terdiri dari 118 perusahaan.
Hutan di Swedia 50% merupakan hutan
pribadi dan 24% milik dari perusahaan. Di Perancis lebih dari tigaperempat dan di Spanyol duapertiga wilayah hutannya merupakan hutan milik.
Fungsi
pemerintah dan departemen adalah mengawasi aktivitas hutan milik, dengan aturan dan tugas yang berbeda dengan hutan negara.
2.2.5. Pengelolaan Hutan Untuk Menjamin Kelestarian Suhendang (2004) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan ekologi, dan sosial.
membutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, Kelestarian merupakan proses mengelola hutan untuk
mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu dalam menghasilkan barang dan jasa hutan, yang diperlukan secara berkelanjutan tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang, dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial.
32
Tabel 2. Standar kriteria aspek ekonomi, sosial, dan ekologi Aspek Ekonomi (Produksi)
Sosial
Ekologi
LEI
ITTO
FSC SLIM
Kelestarian Sumberdaya Kelestarian Hasil Kelestarian Usaha
Ketersediaan Produksi Hutan
Ukuran unit pengelolaan Keuntungan dari hutan yang nyata. Banyaknya dan frekuensi pemanenan.
Kejelasan sistem tenurial dan hutan komunitas Terjaminnya pengembangan & ketahanan ekonomi komunitas Terbangunnya hubungan sosial yang setara dalam proses produksi Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas Stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara & ganggungan dapat diminimalisir dan dikelola Ekosistem langka dapat dipertahankan dan ganggungan terhadapnya dapat diminimalisir
Aspek ekonomi, sosial dan kultural.
Jumlah tenaga kerja Tipe kepemilikan dan tenurial lahan. Kegiatan sosial yang nyata.
Keamanan Sumberdaya hutan Kesehatan dan kondisi ekosistem hutan Keanekaragaman Biologi Tanah dan Air
Proporsi lahan untuk perlindungan
Sumber : Lei, 2006 http://www.lei.or.id/indonesia/news_detail. FSC, http://www.gtz.de/de/dokumente/en-d61-slimfs-initiative
Kelestarian hutan dapat dicapai dengan menetapkan kriteria dan indikator yang dapat diterapkan dalam sebuah unit pengelolaan (management unit) dan perencanaan tingkat tinggi seperti di regional maupun nasional.
Kriteria
kelestarian untuk tingkat kesatuan pengelolaan hutan dan contoh indikatornya diterangkan di ITTO (1992) dalam Kuncahyo (2006) : a) Kriteria keamanan sumber, contoh indikator yaitu ketetapan kawasan hutan tetap, rencana pengelolaan, kejelasan tata batas, tingkat penebnaagan, serta perjanjian masa konsensi hutan. b) Kriteria keberlanjutan hasil kayu, contoh indikatornya yaitu aturan yang jelas dan resmi tentang pemanenan, produktivitas tanah jangka panjang, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, jumlah pohon atau volume pohon yang boleh ditebang per hektar, monitoring tegakan sisa tebangan, pencatatan
33
hasil hutan tahunan, areal produksi yang bersih, dan pencatatan areal tebangan hutan. c) Kriteria konservasi flora dan fauna, contoh indikatornya yaitu perlindungan ekosistem dalam areal konsensi hutan dan unit pengelolaan, serta tingkat gangguan vegetasi setelah penebangan. d) Kriteria manfaat sosial ekonomi, contoh indikatornya yaitu jumlah tenaga kerja yang diserap, macam pekerjaan, dan jumlah volume pekerjaan yang dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan. e) Kriteria pengamanan dalam perencanaan dan pengaturan, contoh indikatornya yaitu konsultasi kemasyarakatan dan rencana pengelolaan hutan dengan memasukkan pemanfaatan hutan secara tradisional. Kriteria kelestarian untuk tingkat pengelolaan yang umum digunakan di Indonesia meliputi aspek ekonomi, sosial, dan ekologi disajikan pada Tabel 2. Varma et al (2000), melakukan pengukuran kelestarian hutan dengan menggunakan seleksi lewat kriteria dan indikator. Kriteria dan Indikator yang telah dibangun dan diteliti sebelumnya (ITTO 1992, Helsinki Process 1995, Montreal Process 1995) sebagai berikut : a. Keadaan dari sumberdaya hutan b. c. d. e. f. 2.3.
Konservasi terhadap keanekaragaman biologi. Kesehatan hutan, vitalitas, dan integritas. Fungsi Produksi kayu dan produk lainnya Perlindungan tanah dan air Fungsi sosial-ekonomi . Karakteristik Masyarakat Desa Definisi desa menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P49/Menhut-
II/2008 tentang hutan desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Popkin (1986), desa adalah lembaga kunci yang menyediakan jaminan keamanan kepada para petani dalam masyarakat prakapitalis. Desa adalah suatu
34
kolektifitas yang meratakan kesempatan-kesempatan hidup dan meminimalkan resiko-resiko hidup bagi warganya. Keadaan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan di Indonesia menarik untuk diteliti karena lebih dari 83% rumah tangga di Indonesia tinggal di pedesaan, dan kondisi desa memerlukan bantuan pemikiran untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Sayogyo 1981). Rendahnya pendapatan, sempitnya penguasaan lahan, rendahnya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan, dan lainlain merupakan masalah-masalah dalam kehidupan rumah tangga didesa. Kondisi penguasaan lahan yang sempit dan sifat menggantungkan diri pada sektor pertanian membuat petani sukar meningkatkan pendapatannya. Ciri-ciri rumah tangga masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut : a. Rumah tangga di desa mempunyai fungsi rangkap, yaitu sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial-ekonomi. b. Tujuan utama rumah tangga di pedesaan adalah untuk mencukupi kebutuhan para anggotanya. c. Implikasi penting bagi pola penggunaan waktu antara lain adalah rumah tangga petani miskin akan bekerja keras untuk mendapatkan tambahan produksi, meskipun kecil mereka sering menambah kegiatan bertani dengan pekerjaan lain walaupun hasilnya per jam kerja lebih rendah, rumah tangga petani miskin juga menunjukkan ciri-ciri self exploitation (White 1976 dalam Kartasubrata 1986). Masyarakat pedesaan pada dunia ketiga umumnya dan pedesaan khususnya, sangat erat dengan kemiskinan. Hal ini dikarenakan secara relatif sumberdaya manusia berkualitas sangat rendah, penguasaan aset (lahan) yang sempit serta sulitnya iklim demokrasi di segala bidang (Hardjanto, 2003). Petani pengelola hutan rakyat biasanyanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani yang subsisten tersebut menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan mendahulukan selamat, artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri yang disebut dengan etika subsisten. Petani subsisten umumnya memiliki penghasilan yang sangat rendah, lahan yang kecil, keluarga besar, hasil-hasil panen yang sangat variabel, dan sedikit kesempatan bekerja di luar. Pada tingkat ini, petani sulit
35
menghadapi keputusan yang mengandung resiko tinggi, seperti melakukan investasi besar dan perubahan inovasi yang drastis. Masyarakat desa memiliki pola hubungan yang secara struktur sangat tergantung kepada pemimpin. Masalah ini dapat dianggap sebagai kekuatan maupun kelemahan.
Kelemahan pada masyarakat seperti ini adalah, jika
pemimpin formal dan informal desa tidak memiliki sikap inisiatif akan mengakibatkan dinamika kehidupan masyarakatnya mengalami stagnasi. Namun, ketergantungan terhadap pemimpin dapat dianggap sebagai kekuatan, sebab tipe masyarakat seperti ini akan lebih mudah dimobilisasi, melalui tokoh-tokoh masyarakatnya (Haryanti et al 2003). Selain itu menurut Scott (1976), terdapat banyak jaringan dan lembaga di luar lingkungan keluarga yang seringkali berfungsi sebagai pelindung selama krisis ekonomi dalam kehidupan petani. Petani akan dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, aparat desanya, seorang pelindung yang berpengaruh, dan negara. 2.4.
Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial merupakan karakter penting dalam ekologi komunitas.
Hal ini yang biasanya pertama kali diamati dalam melihat beberapa komunitas dan salah satu sifat dasar dari kebanyakan kelompok organisme hidup. Dua populasi mungkin saja memiliki
kepadatan yang sama, tetapi mempunyai
perbedaaan yang nyata dalam pola sebaran spasialnya.
Acak (random )
Mengelompok (clumped) Seragam (uniform)
Gambar 3 Tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat Terdapat tiga pola dasar spasial yang telah diakui, yaitu : acak (random), mengelompok (clumped atau aggregated) dan seragam atau merata (uniform)
36
(Ludwig & Reynold 1986; Waite 2000). Hutchinson (1953) adalah ekologis yang pertama kali menaruh perhatian akan pentingnya pola-pola spasial dalam suatu komunitas dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang paling berperan pada pola-pola spasial suatu organisme. Beberapa faktor tersebut adalah: 1) Faktor vektorial yang timbul dari gaya eksternal lingkungan (seperti angin, pergerakan air dan intensitas cahaya). 2) Faktor reproduksi yang berkaitan dengan model reproduksi dari suatu organisme (seperti kloning dan regenerasi dari keturunan). 3) Faktor sosial karena tingkah laku penghuni (seperti tingkah laku teritorial). 4) Faktor koaktif yang dihasilkan dari interaksi intraspesifik (seperti kompetisi). 5) Faktor stokastik yang dihasilkan dari variasi yang acak pada beberapa faktor di atas. Proses-proses yang memberi kontribusi terhadap pola-pola spasial dapat berhubungan baik dengan faktor dari dalam atau instrinsik (seperti reproduksi, sosial dan koaktif) atau faktor luar (ekstrinsik/vektorial). 2.5.
Tipologi
2.5.1. Definisi Tipologi Pengertian tipologi banyak digunakan dalam berbagai bidang ilmu, dan definisi dari berbagai sumber. Definisi-definisi tersebut dapat dirangkum dari beberapa kamus, yaitu : a) Menurut Oxford English Dictionary ( Soanes & Stevenson 2008): 1) “classification according to general type especially in archaelogy, pscychology, or social science”. 2) “the study and interpretation of types and symbols, originally especially in the bible”. b) Menurut Webster’n New Word College Dictionary (Neufeldt & Guralnits 1986): 1) “the study of types, symbols, or symbolism” 2) “Symbolic meaning or representation; symbolism”
37
c) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008) : “Ilmu watak tentamg bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak masing-masing” d) Menurut Macmillan Dictionary (Wilkinson 1959) : “a system a arranging thins in groups, or the use of such a system” e) Menurut The American Heritage Science (Pickett 2005): 1) “The study or systematic classification of types that have characteristics or traits in common”. 2) “A theory or doctrine of types, as in scriptural studies”. Penelitian ini menggunakan pengertian tipologi, yaitu suatu pengklasifikasian atau pengelompokan obyek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar menjadi tipe-tipe tertentu. Pengertian ini dimodifikasi dari Oxford English Dictionary ( Soanes & Stevenson 2008) dan beberapa sumber kamus yang telah disampaikan. 2.5.2. Penelitian-Penelitian tentang Tipologi Rahmalia (2003) meneliti tentang tipologi pengembangan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung. Dalam penelitian ini dilakukan pengelompokan desa-desa berdasarkan empatpuluh tiga variabel penjelas. Data variabel diperoleh dari Potensi Desa (PODES) dan hasil survei lapangan. Seleksi variabel dilakukan melalui teknik analisis komponen utama. Metode pengelompokan menggunakan analis kelompok (cluster analysis) dan memilih faktor yang paling mencirikan tipologi wilayah menggunakan analisis fungsi diskriminan. menghasilkan tiga tipologi, yaitu tipe I
Pada penelitian ini
dengan merupakan desa-desa maju
dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang sangat tinggi dan tingkat assesibilitas juga tinggi, tipe II mempunyai karakteristik tingkat kesejahteraan penduduk relatif rendah tetapi tingkat assesibitas cukup tinggi, dan tipe III merupakan desa-desa yang tingkat kesejahteraannya sedang dan asesibilitasnya relatif rendah. Aziza (2008), melakukan tipologi
pengembangan wilayah kecamatan
berdasarkan potensi pengembangan padi. Variabel-variabel ditentukan dengan pendekatan berbagai aspek yang terkait dengan sistem produksi padi, yaitu aspek yang berkaitan dengan input yang digunakan dan sarana/prasaranan penunjang.
38
Seleksi variabel dilakukan melalui teknik analisis komponen utama. Analisis cluster dilakukan berdasarkan komposit dari analisis komponen utama. Penelitian ini menghasilkan pengelompokan wilayah menjadi tiga tipe, yaitu tipe wilayah berkembang, tipe wilayah cukup berkembang dan tipe wilayah belum berkembang. Hasil SWOT diperoleh strategi kebijakan arahan pengembangan padi di Kabupaten Bone, yaitu memanfaatkan potensi wilayah yang sesuai, meningkatkan pola kemitraan dengan petani, membangun sarana dan prasarana, meningkatkan penerapan teknologi dan sistem informasi, dan mengolah beras menjadi produk pangan yang bernilai tinggi. Hazeu et al. (2010) membangun tipologi biofisik berdasarkan data mengenai kandungan karbon organik topsoil di wilayah Eropa. Dasar tipologi ini adalah stratifikasi lingkungan Eropa, yaitu
pada karakteristik iklim dan
ketinggian. Zona lingkungan kemudian dikombinasikan dengan karbon organik tanah lapisan atas data untuk menutupi berbagai lingkungan agribisnis keragaman Eropa. Pada penelitian ini dapat dibangun tiga zona dengan potensi pertanian yang berbeda, yaitu zona cocok untuk pertanian, zona tidak cocok untuk pertanian dan zona kurang cocok untuk pertanian. Juhadi (2010) mengkaji pola, struktur, dan dampak spasial pemanfaatan lahan pertanian di daerah perbukitan-pegunungan DAS Serang bagian hulu. Data dikumpulkan melalui pengamatan lapangan, wawancara, uji lapangan, analisis peta digital, serta citra SPOT
dengan satuan analisis bentuk lahan dan
rumahtangga petani. Hasil penelitian menunjukan enam pola pemanfaatan lahan untuk persawahan dan tiga tipologi kualitas pemanfaatan lahan. Tipologi yang dihasilkan adalah tipe kualitas pemanfaatan lahan pertanian rendah (23.81%), tipe pemanfaatan lahan pertanian sedang (57.14%), dan tipe kategori tinggi (19.05%).