II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebijakan. Analisis kebijakan sebagai sebuah proses “pra-proses-kebijakan”. Analisis kebijakan disini dimaksud sebagai terjemahan dari analysis for policy, bukan analysis of policy. Proses kebijakan adalah proses yang diawali dengan perumusan kebijakan, dilanjutkan dengan implementasi kebijakan, dan kemudian evaluasi kebijakan. Pada titik ekstrim, analisis kebijakan adalah proses tempat sebuah kebijakan dipikirkan untuk dibuat, dan belum dibuat itu sendiri (Dwidjowijoto, 2006). Quade (1998) dalam Dwidjowijoto (2006), mengatakan bahwa analisis kebijakan merupakan analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan. Sedangkan menurut Dunn (1998) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah setiap analisis yang menghasilkan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan atau keputusan. Jadi analisis kebijakan lebih berkenan dengan bagaimana pengambil keputusan mendapatkan sejumlah alternatif kebijakan yang terbaik, sekaligus aternatif kebijakan yang terpilih sebagai rekomendasi dari analisis kebijakan atau tim analisis kebijakan. Peran analisis kebijakan adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan. Dunn (1998) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai disiplin ilmu sosial terapan yang menerapkan berbagai metode penyelidikan, dalam konteks argumentasi dan debat publik, untuk menciptakan dan secara kritis menaksir dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Analisis kebijakan publik adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan multiple-metode untuk meneliti dan berargumen, untuk memproduk dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat digunakan dalam tatanan politik untuk mengatasi masalah kebijakan. Patton dan Savicky dalam Dwidjowijoto (2006) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu evaluasi sistematis berkenaan dengan fisibilitas teknis dan ekonomi serta viabilitas politis dari alternatif kebijakan, strategi implimentasi kebijakan, dan adopsi
kebijakan. Analisis kebijakan yang baik mengintergrasikan informasi kualitatif dan kuantitatif, mendekati permasalahan dari berbagai perspektif, dan menggunakan metode yang sesuai untuk menguji fisibilitas dari opsi-opsi yang ditawarkan. Salah satu akar kemiskinan masyarakat pantai adalah keterbatasan mengakses permodalan yang ditunjang oleh kultur kewirausahaan yang tidak kondisif yang dilandasi sifat usaha yang individual, tradisional, dan subsisten. Keterbatasan modal itu ditandai dengan realisasi penyerapan modal melalui inventasi pemerintah dan swasta selama 25 tahun pembangunan Orde Baru yang hanya 0,02 persen dari keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, kebutuhan permodalan nelayan dipenuhi oleh rentenir, tengkulak dan tauke yang dalam kenyataannya secara jangka panjang tidak banyak menolong bahkan mungkin makin menjerat utang masyarakat pantai (Subri, 2007). Pada kondisi seperti tersebut diatas berakibat potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah hingga kini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan satu program yang menyentuh lansung kepentingan masyarakat pantai sehingga selain dapat meningkatakan kesejahteraan juga mendidik mereka lebih mandiri dan memiliki kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan, (Subri 2007). 2.2. Kemiskinan Nelayan. Sekalipun batasan konseptualnya dipahami secara berbeda-beda, namun semua orang sepakat bahwa ketika membahas kemiskinan di Indonesia maka pandangan akan tertuju pada sebuah lapisan masyarakat tertentu yang dalam membina kehidupan mereka menghadapi masalah kekurangan sandang, pangan, papan (rumah-tinggal), pendidikan, pelayanan sarana kehidupan (air bersih, lingkungan, kesehatan dan infrastruktur), dan martabat yang rendah, (IPB, 2008). Selanjutnya Rustiadi, dkk (2007), mengatakan bahwa secara hakiki kemiskinan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini sering meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin, sangat miskin dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari seringkali berkonotasi merendahkan.
Todaro (2004), mengatakan bahwa kemiskinan dapat terjadi karena perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata. Pada tingkat distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka akan semakin rendah jumlah kemiskinan. Akan tetapi tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan. Pemahaman tenterhadap hakikat distribusi ukuran pendapatan merupakan landasan dasar bagi setiap analisis masalah kemiskinan di negara-negara yang berpendapatan rendah. IPB (2008), mengatakan bahwa secara ekonomi, parameter untuk mengukur kemiskinan yang sering digunakan adalah angka pendapatan atau pengeluaran per kapita, ataupun angka produk domestik bruto (PDB) per kapita. Ukuran internasional saat ini ditetapkan oleh bank dunia dengan angka pendapatan per kapita lebih kecil atau sama dengan US$ 2 per hari. Meski ukuran mereka sangat pasti, tetapi pendekatan-pendekatan ekonomi tersebut, dipandang oleh banyak pihak tidak cukup realistik untuk mewakili kondisi kemiskinan yang
sebenarnya. Angka-angka tersebut dianggap terlalu
mengawang-awang karena diturunkan dari kondisi makro ekonomi suatu negara. Sebagai koreksi, para ahli pangan pertanian mendekati kemiskinan dengan angka asupan energi atau nutrisi per kapita. Pendekatan sosial-budaya, mengukur kemiskinan dari capaian derajat kesehatan, derajat pendidikan, intensitas beban kerja, akses kepada sumbersumber nafka seperti tanah dan modal. Dari pendekatan sosio-fisikal, kemiskinan diukur dari kemudahan menjangkau pusat-pusat pelayanan dan ketersediaan infrastruktur (listrik, air bersih, telpon, televisi, jalan aspal) bagi kehidupan. Dari perspektif sosio-politik, kemiskinan diukur dari seberapa besar akses kaum miskin dalam menyuarakan hak-hak politiknya. Sementara dari sudut pandang sosio-ekologi, kemiskinan diukur dari seberapa tinggi derajat kenyamanan lingkungan telah dinikmati oleh sebuah lapisan masyarakat dalam kehidupannya. Rustiadi, dkk, (2007) mengatakan bahwa berbagai upaya menetapakan tolok ukur kemiskinan telah banyak dilakukan oleh banyak pakar, bebarapa tolok ukur yang telah banyak dikenal selama ini adalah: 1. Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-Service Ratio, GSR) Konsep ini bertolak dari fakta yang menunjukan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk
konsumsi jasa. Dengan demikian semakin kecil nilai rasio barang dan jasa yang dikonsumsi, makin tinggi kesejahteraan seseorang. Standar nilai rasio yang digunakan di beberapa tempat sangat bervariasi. Konsep ini memiliki kelemahan selama tidak ada kejelasan perbedaan antara barang dan jasa. Di lain pihak, seringkali kita dihadapkan dengan ketidakjelasan dalam membedakan antara konsumsi dengan biaya. 2. Persentase/Rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan. Sebagai kebutuhan pokok yang paling hakiki, konsumsi terhadap makanan akan selalu menjadi prioritas utama dalam konsumsi pola manusia. Konsep ini bertolak dari pemikiran bahwa seseorang akan terlebih dahulu memenuhi konsumsi
makanannya
sebelum
mengkonsumsi
komoditi-komoditi
kebutuhan lainnya.
Seseorang baru akan mengkonsumsi komuditi lainnya setelah terlebih dahulu memenuhi konsumsi makannya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi komuditi selain makanan. Dengan demikian berdasarkan tolok ukur ini semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. 3. Pendapatan setara harga beras. Profesor Sayogyo dari IPB telah membuat ambang batas kemiskinan berdasarkan harga setara beras. Dengan didasarkan pada kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun, ditentukan ambang kemiskinan di desa dan di kota masing-masing jika pendapatannya kurang dari 240 kg/kapita/tahun. Dengan adanya perkembangan, aspirasi masyarakat telah meningkat, sehingga ukuran relatif dari ambang kemiskinan tersebut menurut Profesor Teken perlu ditingkatkan menjadi 360 kg/kapita/tahun untuk perkotaan. Konsep ini mempunyai beberapa kelemahan karena ; (1) tidak semua masyarakat dan golongan masyarakat di Indonesia memilih beras sebagai makanan pokoknya, (2) terjadinya deferensiasi harga yang terlalu besar terutama di pedesaan, dan (3) harga komuditi beras yang ada tergantung pada harga komuditi yang disubsidi atau kredit dari pemerintah (pupuk, pestisida dan sebagainya). 4. Pemenuhan kebutuhan pokok. Pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan sembilan bahan pokok ini dikembangkan oleh Direktorat Tata Guna Tanah atas prakarsa Prof. I. Made Sandy,
dengan menetapkan kebutuhan baku minimal, kemudian angka kebutuhan baku menimal tersebut dikalikan dengan harga dan ditotalkan sembilan kebutuhan pokok tersebut. Tingkat pengeluaran tiap keluarga dihitung dalam rupiah kemudian baru disusun suatu kriteria perbandingan antara total pendapatan dengan indeks kebutuhan sembilan bahan pokok. Hasil yang diperoleh kurang dari 75% tergolong sangat miskin, 75-100% hampir sangat miskin, 100-125% miskin dan >125% tidak miskin. Konsep ini pun mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah: (1) kesulitan dalam menentuan satuan fisik, kebutuhan minimal karena kebutuhan tiap wilayah beragam, dan (2) sebagian dari sembilan bahan pokok tersebut disubsidi pemerintah dan sebagaian lainnya tidak sehingga kurang homogen. Pada prinsipnya keempat kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) semakin besar presentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan barang-barang dibandingkan terhadap jasa maka seseoarang dikatagorikan semakin miskin, (2) semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan dari pada non pangan maka seseorang dikatagorikan semakin miskin, (3) tingkat pendapatan di bawah batas standar pendapatan tertentu dikatakan miskin, dan (4) semakin rendah kemampuan seseorang untuk memenuhi sembilan bahan pokok maka seseorang dikatagorikan semakin miskin. Dalam hal penetapan parameter kemiskinan, para akademisi boleh berbeda-beda pandangan, namun substansi yang hendak dicapai tetaplah sama, yaitu mengukur derajat kesejahteraan warga masyarakat di suatu daerah. hal itu wajar terjadi, kemiskinan adalah multi-facet phenomenon. Artinya masalah kemiskinan ternyata memiliki banyak dimensi yang pengukurannya bisa beragam. Dimensi sosial-budaya, ekonomi, politik, sains dan tehnologi, serta dimensi lainnya akan menghasilkan peta kemiskinan dengan variasi beraneka, meski tetap menunjuk pada lapisan yang seringkali sama. Indonesia dihadapakan pada masalah angka kemiskinan yang tinggi. Pada tahun 2006, terdapat 39,05 juta orang atau 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia masih termasuk katagori miskin (BPS, 2006). Angka ini rentan dengan perubahan terutama yang disebabkan oleh krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM atau bahan makanan pokok. Pada tahun 1998, ketika mulai krisis ekonomi pada tahun 1998, angka kemiskinan meningkat dari 11,3 persen pada tahun 1996 menjadi 24,2 persen pada tahun 1998 (BPS,
1998). Hal ini mengindikasikan bahwa pada tahun 2008 angka kemiskinan Indonesia akan meningkat tajam seiring dengan kenaikan BBM, kenaikan harga CPO dan penurunan inflasi yang tanpa disertai pertumbuhan di sektor real. Penduduk miskin di Indonesia 63,41 persen diantaranya tinggal di pedesaan (BPS, 2006). Ini berarti, jika pembangunan pedesaan mampu menghapus angka kemiskinan penduduk desa, maka penduduk miskin akan berkurang sebanyak 63,41 persen atau 25.046.950 orang. Kondisi yang sama terjadi di desa-desa pesisir. Wilayah desa pesisir meliputi 8.090 buah desa dan menampung 16.420.000 jiwa penduduk yang 32,41 persen diantaranya termasuk katagori penduduk miskin (DKP, 2007 dalam IPB, 2008). Fauzi (2005), mengatakan bahwa hampir sebagian besar nelayan kita masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$ 10 per kapita perbulan. Jika dilihat dalam konteks Millenium Devolopment Goal, pendapatan sebesar itu sudah termasuk dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Pelaku perikanan, khususnya mereka yang berskala kecil (perikanan pantai), masih tergolong masyarakat miskin. Hasil perhitungan COREMAP di 10 propinsi menunjukkan bahwa pendapatan nelayan pada tahun 1996/1997 masih berkisar antara Rp 82.000 sampai Rp 200.000 per bulan. Jumlah tersebut masih jauh dari upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 380.000 pada tahun yang sama. Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur (DKP, 2005:10). Disamping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, tehnologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cendrung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangkuh kepentingan di wilayah pesisir, (Basri, 2007). Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB tahun 1996 dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian barat berkisar antara Rp 210.540 – 643.510 per tahun (Samodra, 2000 dalam Basri, 2007). Sementara itu Pusat Kajian Ekonomi Kelautan dan Pengembangan Ekonomi Wilayah Pantai Universitas Trisakti melihat faktor rendahnya tehnologi tangkapan dan
rendahnya kepemilikan alat tangkap di satu sisi sedang di sisi lain faktor ketidakberdayaan posisi tawar atas hasil tangkap serta minimnya modal menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan nelayan di pantai selatan propinsi Banten, yang tercakup atas tiga jenis pekerjaan utama nelayan yaitu menangkap ikan, mengolah ikan, dan memasarkan ikan, (Mulyadi, 2005 dalam Basri, 2007). Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : rendahnya tingkat tehnologi penangkapan, kecilnya skala usaha, belum efisiennya sistim pemasaran hasil dan status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Dalam mengukur tingkat kesejahteraan nelayan ada beberapa indikator yang digunakan, seperti indikator Perubahan Pendapatan Nelayan dan Indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN). Konsep yang dilakukan Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P3K) dalam melakukan penyusunan indikator kesejahteraan masyarakat pesisir adalah dengan menggunakan konsep pemetaan kemiskinan (Poverty Mapping), (Basri, 2007). Indikator kesejahteraan nelayan yang terangkum dalam nilai kukar nelayan (NTN) masih dapat dipertahankan sebagai salah satu referensi dasar yang amat berharga untuk merumuskan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Untuk mempertajam analisis dan kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan, indikatot NTN masih perlu disandingkan dan dilengkapi dengan data dasar dan indikator kemiskinan nelayan di daerah pesisir dan kawasan pantai di Indonesia. Menurut Ditjen P3K, (2004) dalam Basri (2007), bahwa pengukuran indikator kesejahteraan dilakukan pada aspek : 1.
Kesejahteraan rakyat ; (a) Tingkat kesehatan, (b) pendidikan, (c) tenaga kerja, (d) mortalitas dan fertilitas, (e) perumahan, (f) pengeluaran konsumsi rumah tangga.
2.
Nilai tukar nelayan (NTN).
3.
Kemiskinan pada masyarakat pesisir pantai ; (a) Penerimaan, (b) pengeluaran konsumsi rumah tangga.
4.
Peta kemiskinan ; (a) The poverty headcount index ( indikator insiden kemiskinan ). (b) The poverty gap index ( tingkat kedalaman kemiskinan ). (c) The severity of poverty ( tingkat keparahan kemiskinan ).
2.3. Kondisi Rumah Tangga Nelayan Di pedesaan, pola kegiatan rumah tangga selama ini telah berkembang seiring dengan proses pembangunan pedesaan dan proses industrialisasi. Salah satu yang dapat dipahami bahwa sumbangan relatif lapangan kerja pada sektor pertanian secara hipotesis semakin menurun dengan semakin berkembangnya proses industrialisasi dan urbanisasi. Demikian juga dengan kegiatan rumah tangga pertanian (farm households) juga berkembang dan berubah secara dominan dengan kegiatan utama pada sektor pertanian. Namun, karena berbagai keterbatasan, seperti semakin berkurangnya kepemilikan lahan, semakin pendeknya siklus pertanian akibat dari kemajuan iptek pertanian, siklus pertanian yang dihadapi oleh rumah tangga tani memiliki peluang tambahan waktu yang dapat digunakan pada kegiatan lain untuk mengisi lapangan pekerjaan di pedesaan selain mengusahakan pertanian, (Subri, 2007). Selanjutnya Subri (2007), mengatakan bahwa dalam konteks rumah tangga nelayan, persoalannya jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan rumah tangga tani konvensional. Walaupun dalam sensus sektor perikanan merupakan subsektor dari portanian, keberadaan rumah tangga nelayan memiliki ciri khusus bila dibandingkan dengan rumah tangga tani. Perbedaaan ini sangat penting dikemukakan mengingat berbagai ciri yang muncul dari kedua rumah tangga ini. Pertama, rumah tangga tani dan petani tambak mengandalkan tanah yang terbatas sebagai salah satu faktor produksi. Sementara rumah tangga nelayan mengandalkan wilayah pesisir sebagai suatu faktor produksi. Kedua, pada rumah tangga tani lahan terbatas penguasaannya, sedangkan laut bagi rumah tangga nelayan adalah tidak dibatasi oleh batas-batas teritorial administrasi. Ketiga, petani dalam proses produksinya terikat dengan musim, sementara rumah tangga nelayan sarat dengan siklus bulan (Mashuri, 2001 dalam Subri, 2007). Dari sisi jam kerja, rumah tangga tani memanfaatkan waktu siang, sedangkan rumah tangga nelayan dalam penangkapan ikan pada umumnya malam hari, kecuali nelayan yang mengusahakan budidaya ikan laut dan jenis produk lainnya. Dari sisi input tenaga kerja, pada rumah tangga tani besar kemungkinan peran laki-laki dan wanita bersama-sama melakukan proses produksi. Sementara itu, pada rumah tangga perikanan, penangkapan ikan merupakan suatu pekerjaan lelaki. Selain secara fisik merupakan
lapangan pekerjaan yang tinggi resionya, wanita sulit untuk terlibat dalam penangkapan ikan karena sangat bertentangan dengan waktu pengasuhan anak-anak, (Subri, 2007). 2.4. Kemiskinan dan Problematik Masyarakat Pesisir di Indonesia. Kemiskinan merupakan suatu kondisi hidup yang merujuk pada keadaan kekurangan. Sering pula dihubungkan dengan kesulitan dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Seseorang dikatakan miskin, bila sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Selama ini, sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif
dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Selain itu kemiskinan sering juga didefinisikan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan, (Chamsyah, 2006) Selanjutnya menurut Chamsyah (2006), bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) kemiskinan absolut dan (b) kemiskinan relatif. Sedangkan berdasarkan polahnya kemiskinan dibagi menjadi 4 (empat) yaitu : Pola pertama, kemiskinan yang digolongkan sebagai persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis. Kemiskinan pola ini adalah kemiskinan yang berlangsung lama dan turun temurun. Atau disebut juga sebagai kemiskinan struktural, seperti fakir-miskin yang termasuk kemiskinan kronis. Pola kedua, adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pola ketiga, adalah seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan; dan pola keempat, adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kejadian tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan. Kemiskinan jenis ini termasuk kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang ditandai dengan menurunya pendapatan dan kesejahteraan anggota masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan kondisi normal menjadi kondisi kritis. Kemiskinan ini jika tidak ditangani dengan serius dapat menjadi kemiskinan kronis.
Kemiskinan merupakan suatu konsep yang cair, dan bersifat mulitidimensional. Disebut cair, karena kemiskinan bisa bermakna subyektif, bermakna relatif, tetapi sekaligus juga bermakna absolute. Sedangkan disebut multidimensional, selain kemiskinan itu dapat dilihat dari sisi ekonomi, juga dari segi sosial, budaya dan politik (Nugroho, 1995). Kemiskinan subyektif adalah suatu bentuk kemiskinan yang lebih berkaitan dengan aspek pshikis, yaitu berkaitan dengan perasaan miskin yang dialami oleh pelakunya. Karena berkaitan dengan perasaan, maka kemiskinan subyektif itu lebih tepat disebut sebagai kemiskinan yang sifatnya psikhologis. Dalam kemiskinan yang seperti ini, perasaan miskin itu muncul karena beberapa sebab. Sebab yang paling umum adalah karena pelaku merasa tidak dapat memenuhi kebutuhannnya, baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Walaupun secara obyektif kondisi kemiskinan lebih berkaitan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan primer, namun definisi tentang kebutuhan yang mana yang termasuk dalam kebutuhan primer, dan mana yang termasuk dalam kebutuhan sekunder, menjadi relatif antara individu yang berbeda. Perasaan miskin itu juga muncul karena merosotnya kondisi ekonomi yang dialami oleh suatu keluarga, dari kondisi ekonomi yang lebih tinggi ke kondisi ekonomi yang lebih rendah. Kemiskinan relatif adalah suatu bentuk kemiskinan yang didasarkan pada perbandingan dengan kondisi ekonomi yang berada di luarnya, baik pada perbandingan dengan kondisi ekonomi orang lain yang ada di sekitarnya, atau didasarkan pada kondisi ekonomi masyarakat yang ada di daerah lain. Dengan demikian kemiskinan relatif itu terkait dengan masalah kesenjangan, yaitu suatu kondisi ketidakmerataan yang ada di masyarakat. Adapaun kesenjangan itu secara umum dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesenjangan struktural dan kesenjangan kultural. Kesenjangan struktural adalah kesenjangan yang terjadi di suatu daerah dengan masyarakat di daerah lain (disebut juga kesenjangan daerah), atau antara suatu kelas sosial dengan kelas sosial yang lain (kesenjangan kelas). Adapun kesenjangan kultural adalah kesenjangan yang disebabkan oleh perbedaan sikap dalam memandang materi, bunga bank, pendidikan, etos kerja, dan sebagainya. Oleh karena perbedaan sikap itu cendrung mengikuti batas-batas etnis, maka kesenjangan kultural juga cendrung muncul dalam kesenjangan etnis. Kemiskinan relatif lebih didasarkan pada perbandingan, maka
kemiskinan jenis ini sangat terkait dengan aspek pshikis, jika penilain perbandingan itu berasal dari dalam diri pelakunya. Sebaliknya kemiskinan relatif dapat bersifat objektif, jika penilaian perbandingan itu berasal dari luar diri pelakunya. Berbeda dengan dua jenis kemiskinan yang lain, kemiskinan objektif (kemiskinan absolute) didasarkan pada nilai-nilai objektif yang digunakan untuk mengukur garis batas kemiskinan. Dalam hal ini, secara umum suatu keluarga dikatakan miskin apabila keluarga itu tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara kondisi fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien (Harjosuwarno dan Mardimin 2000 dalam Basuki, 2007). Untuk itu perhitungan kemiskinan didasarkan pada tingkat nutrisi yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk bekerja. Pendeskripsian kemiskinan secara obyektif yang dikemukakan oleh para ahli secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini. Pada umumnya konsep kemiskinan lebih banyak dikaitkan dengan dimensi ekonomi. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan sangat mudah dapat dilihat dan menjelma dalam bentuk ketidak-mampuan suatu keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, sandang, perumahan dan kesehatan. Dilihat dari dimensi sosial budaya, kemiskinan lebih sulit untuk diukur, dan tidak dapat dihitung dengan angka-angka. Meskipun demikian, dimensi sosial budaya dari kemiskinan itu dapat diihat dan dirasakan, karena muncul dalam bentuk budaya kemiskinan. Dalam kondisi tertentu akan ada respon tertentu yang dilakukan oleh masyarakat miskin dalam menyikapi hidup, seperti boros dalam membelanjakan uang, mudah putus asa, merasa tidak berdaya, dan apatis (Lewis dalam Ancok, 1995).
Tabel 2 Kriteria dan garis kemiskinan Penelitian
Kriteria Kota
Esmara
Konsumsi beras per kapita per tahun (kg)
Garis Kemiskinan Desa Kota & Desa 125
(1969-1970) Sayogyo (1970)
Ginneken (1969) Anne Both (1969-1970) Gupta (1973) Hasan (1975) Sayogyo (1984) Bank Dunia (1984) Indonesian- WB (1990) Escape Methode (1984) BPS (1984) BPS (1993)
Tingkat pengeluaran ekuivalen beras per orang per tahun: * Miskin * Miskin sekali * Paling miskin Kebutuhan gizi minimum per orang per hari: • Kalori • Protein (Gr) Kebutuhan gizi minimum (orang/hari): • Kalori • Protein Kebutuhan gizi minimum per orang per tahun (Rp) Pendapatan minimum per kapita per tahun (US$) Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
480 360 270
320 240 180
-
-
-
2000 50
-
-
2000 40
-
-
24.000
125 8.240
95 6.585
-
Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
6.719
4.479
-
Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
-
-
27.748
Pengeluaran per kapita per bulan
-
23.856
29.205
13.731 27.905
7.746 18.244
2.100 2.100 -
* Konsumsi kalori per kapita per hari * Pengeluaran per kapita per bulan * Konsumsi kalori per kapita per hari * Pengeluaran per kapita per bulan
Sumber : Harjosuwarno dan Mardimin (2000) dalam Basuki (2007)
Chambers (1988), menyebutkan bahwa inti dari kemiskinan adalah jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan itu terdiri dari lima aspek yang saling terkait, yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Disebut saling terkait karena kondisi yang ada dalam suatu aspek akan mempengaruhi aspek-aspek yang lain. Orang yang miskin misalnya, akan selalu berada dalam kondisi yang rentan, tidak berdaya dan seterusnya. Selanjutnya menurut Chambers (1988), bahwa dari kelima aspek tersebut ada dua aspek utama yang sering mengakibatkan orang miskin menjadi lebih miskin, yaitu kerentanan dan ketidak-berdayaan. Dengan kerentanan yang dialami orang miskin, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut, karena sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang bisa digunakan untuk keperluan yang mendesak. Belum
lagi jika ada salah satu anggota keluarganya sakit. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya dihadapan para juragan yang telah mempekerjakannya, walaupun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak adil. 2.5. Mengukur Penyebab dan Indikator Kemiskinan. Kemiskinan selama ini dipahami dalam berbagai cara dan sudut pandang. Sebenarnya, pemahaman utamanya mencakup : (Chamsyah, 2006). 1. Gambaran kekurangan materi; Yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang kebutuhan dan minimnya pelayanan dasar. 2. Gambaran tentang kebutuhan sosial; Termasuk dalam gambaran ini ialah keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Maka yang demikian itu disebut kemiskinan. Termasuk pula keterbatasan akses terhadap pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dalam pandangan ekonomi dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. 3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna ”memadai” disini sangat relatif dan sangat berbeda-beda melintasi bagianbagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Karenanya, dari pemahaman ini kita mengenal istilah kemiskinan kultural–disamping kemiskinan struktural. Kemiskinan ini merupakan bentuk pengaruh psikologis individu dalam proses pemenuhan diri. Tiga pemahaman utama ini memberi penjelasan bahwa kemiskinan, hakikatnya adalah bentuk-bentuk kekurangan kemanusiaan seseorang individu dalam menjalani hidupnya. Entah kekurangan itu berupa materi ataupun kebutuhan sosial. Dalam hal ini, sesorang tidak bisa hanya menitikberatkan pemenuhan salah satunya. Untuk mencapai kesejahteraan sosial, setiap individu yang tergabung dalam wadah masyarakat membawa tanggungjawab untuk mampu menciptakan institusi-institusi yang menyelenggarakan pola-pola keseimbangan pemenuhan kebutuhan secara merata. Agama mempunyai konsep keadilan untuk tujuan ini.
Selanjutnya Chamsyah (2006) mengatakan bahwa kemiskinan adalah bencana sosial yang banyak dihubungkan dengan sebab-sebab tertentu. Semula, ia tidak bisa diterima sebagai kondisi alami, ada faktor internal dan eksternal dari sebuah masyarakat yang menjadi miskin. Beberapa penyebab kemiskinan antara lain : 1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pikiran, pilihan, atau kemampuan dari individu yang miskin; 2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga, dan perencanaan keluarga sejahtera; 3. Penyebab sub-budaya (”sub cultural”), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar, seperti keyakinan, norma, adat dan agama; 4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah dan ekonomi; 5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial. Penduduk miskin di Indonesia dibedakan menjadi 2 (dua) jenis. Yaitu penduduk miskin yang diakibatkan oleh kemiskinan kronis atau kemiskinan struktural yang terjadi terus-menerus. Dari kemiskinan sementara yang ditandai dengan menurunya pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari kondisi normal menjadi kondisi kritis. Dalam hal ini, karakteristik masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal : 1.
Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
2.
Melakukan kegiatan usaha produktif;
3.
Mengakses sumber daya sosial dan ekonomis;
4.
Menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik;
5.
Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah. Ketidakberdayaan atau ketidak mampuan ini membutuhkan perilaku miskin yang
bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha, meningkatkan pendapatan dan
menikmati kesejahteraan secara bermartabat. Indikator nasional dalam menentukan jumlah penduduk yang dikatagorikan miskin ditentukan oleh standar garis kemiskinan dari badan pusat statistik (BPS), dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum. Baik berupa kebutuhan makanan dan non-makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Penetapan nilai standar inilah yang digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Apabilah penduduk dalam pengeluaran tidak mampu memenuhi kecukupan makanan setara 2100 kalori per hari ditambah pemenuhan kebutuhan pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan dasar, pendidikan dasar, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya maka ia dapat dikatagorikan miskin (BPS, 1999). Sementara
penduduk yang tidak
mampu memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 1.800 kalori per hari dikatagorikan fakir miskin. Peraturan pemerintah nomor 42 tahun 1981 mendefinisikan fakir-miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki sumber daya hidup berupa mata pencaharian dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Atau seseorang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya yang layak bagi kemanusian (Chamsyah, 2006). Maka berdasarkan indikator kemiskinan menurut BPS, penduduk yang dikatagorikan fakir-miskin adalah penduduk yang di bawah garis sangat miskin. Katagori sangat miskin dan miskin dibedakan dalam hal pengeluaran transportasi dan aneka barang/jasa yang diperlukan sehari-hari. Berdasarkan standar garis kemiskinan pada tahun 2002 yaitu ukuran pendapatan sesorang maksimal Rp.130.499,-/bulan di daerah perkotaan dan Rp. 96.512,-/bulan di daerah pedesaan. Maka tahun 2002 penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 83,4 juta jiwa dan diantaranya termasuk penduduk fakir-miskin sebanyak 16,5 juta atau sekitar 43% dari penduduk miskin, (Chamsyah, 2006). 2.6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan dengan peningkatan ketrampilan sumber daya manusia, penambahan modal investasi, dan mengembangkan tehnologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun dalam prakteknya persoalan tidak semudah itu.
Menurut Suharto (2003), bahwa dalam upaya mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program antikemiskinan. Sayangnya, hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm) yang dimotori oleh bank dunia. Paradigma itu bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neoklasik (orthodoks neoclassical economics) dan model yang berpusat pada produksi (production-contered model). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, misalnya, para ahli ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan di suatu Negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator garis kemiskinan. Selanjutnya Soeharto (2003), mengatakan bahwa dibawah kepemimpinan ekonom asal Pakistan, Mahbub Ul-Haq, pada 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan human development yang diformulasikan dalam bentuk indeks pembangunan manusia (human development indeks/HDI) dan indeks kemiskinan manusia (human poverty indeks/HPI). Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai bank dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup bukan saja dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan pula pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis/kerakyatan (popular development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Sreeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan oleh perai nobel ekonomi 1998, Amartya Sen. Paradidma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kemiskinan sebaiknya tidak hanya dilihat dari karakter si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dianamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinanannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendekatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada bebarapa key indicator yang mencakup
kemampuan
keluarga
miskin
dalam
capabilities), memenuhi kebutuhan dasar
memperoleh
matapencaharian
(livelihood
(basic need fulfillment), mengelolah asset
(asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocs and stresses), (Suharto, 2003). Fauzi (2005) menyatakan bahwa, strategi pengentasan kemiskinan memang menjadi kompleks. Dengan sedemikian kompleksnya permasalahan perikanan, memang tidak ada obat mujarab yang manjur untuk mengenyahkan kemiskinan nelayan once and for all. Namun, paling tidak beberapa strategi kunci di bawah ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengurangi kemiskinan nelayan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pertama, aspek ekonomi pengelolaan sumber daya perikanan menjadi sangat krusial karena disinilah muara persoalan kemiskinan. Assessment terhadap sumber daya perikanan tampaknya perlu dipikirkan kembali. Klaim potensi perikanan MSY (maximum sustainable yield) yang sebesar 6,2 juta ton per tahun menimbulkan dua konsekwensi makro. Satu, dengan potensi sebesar itu dan produksi yang kurang lebih 4,5 juta ton saat ini, bisa menimbulkan interpretasi penggenjotan produksi. Kenyataannya jika dihitung dengan illegal catch (penangkapan ilegal), unreported catch (penangkapan yang tidak dilaporkan), by catch (produk samping), dan produksi (penangkapan) subsisten, angka 6,2 juta tersebut sudah pasti akan terlewati. Dua, sebagaimana dikemukakan oleh bioekonom terkemuka Collin Clark, MSY mengabaikan sama sekali aspek ekonomi padahal pengelolaan sumber daya perikanan sudah menjadi kepentingan publik, semboyan fish for people harus mulai menggeser semboyan fish for fish. Konsekwensi dari kedua hal diatas menyebabkan program pengentasan kemiskinan nelayan belum mengenai sasaran. Dengan demikian, look at the resource first and its economic consequences haruslah menjadi kata kunci pertama dalam program pengentasan kemiskinan nelayan. Kedua, economic overfishing (tangkap lebih secara ekonomi) merupakan penyakit utama rendahnya kinerja perikanan kita yang menimbulkan kemiskinan di wilayah pesisir Indonesia membuktikan bahwa fenomena itu lebih dominan ketimbang biological overfishing (tangkap lebih secara biologi). Dengan demikian, strategi untuk mengentaskan kemiskinan kaum nelayan perlu dipikirkan secara matang. Penulis
mengusulkan dilakukannya adaptive rationalization yang merupakan hybrid dari instrumen ekonomi yang berdasar mekanisme pasar (market mechanisme) dengan penguatan kelembagaan lokal. Mengapa hal ini diperlukan? jawabanya adalah karena penelitian mutakhir (Scott Steele 2001, Homans-Wilen 2002) membuktikan bahwa dalam perikanan yang terkendali sekalipun, rent dissipation (hilangnya rente ekonomi) dapat terjadi jika rasionalisasi perikanan dilakukan berdasarkan mekanisme pasar belaka, misalnya kuota dan limited entry. Ketiga, sebagaimana diuraikan pada sintesis kemiskinan, kalau ditarik resultan dari persoalan siklus non simetris dan sulitnya penyesuaian terhadap produktivity gain, strategi investasi yang tepat akan dapat membantu mengurangi kemiskinan di sektor perikanan. Namun harus dipahami benar bahwa strategi investasi di perikanan, khususnya perikanan pesisir, sangat unik karena terkait dengan karakteristik sumber daya perikanan yang unik pula. 2.7. Perilaku Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Perikanan Tangkap Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung lansung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003). Kusumastanto (1997) dalam Budiartha (1999), mengatakan bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan kelompok masyarakat industri atau beberapa kelompok masyarakat pesisir lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh keterkaitan yang sangat erat terhadap karakteristik ekonominnya (pola mata pencaharian), ketersedian sarana prasarana maupun latar belakang budaya. Selain itu kehidupan masyarakat pesisir/nelayan sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya. Nelayan sangat tergantung terhadap musim, pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk melaut dan sebaliknya pada musim paceklik banyak yang menganggur dan yang sering terjadi adalah ketika mereka pulang melaut, mereka dapat membeli barangbarang mahal dan ketika paceklik, kehidupan mereka sangat buruk. Dengan kondisi yang demikian, maka keterpurukan masyarakat pesisir/nelayan dalam jurang kemiskinan tidak
dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu adanya usaha pemanfaatan sumber daya alam kearah yang lebih optimal, swadaya serta produktivitas masyarakat guna dapat menciptakan kehidupan sosial ekonomi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup (Nurfiarini, 2003). Sesungguhnya, nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan
tangkap
sendiri, dan dalam pengoperasiaannya tidak melibatan orang lain (Subri, 2007). Penelitian Ismail dalam Budiartha (1999), menunjukan rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kemampuan teknis dan manajemen. Dalam hal teknis, nelayan hanya mempunyai perahu dan alat tanggkap yang terbatas pula. Dalam hal manajemen, mereka sulit merubah sikap atau perilaku kearah pengembangan usaha sebagai akibat tingkat pendidikan yang umumnya rendah. Faktor eksternal berkaitan dengan degradasi lingkungan, kelembagaan ekonomi dan konversi lahan. Produktifitas nelayan pada umumnya masih rendah diakibatkan oleh rendahnya ketrampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang sederhana, sehingga aktifitas dan efisiensi alat tangkap maupun perahu belum optimal. Keadaan ini berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima nelayan relatif rendah, keadaan ekonomi dan kesejahteraan nelayan pada umumnya masih tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat petani atau masyarakat lainnya (Barus et al, 1991). Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan (Monintja, 1994) adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewani, devisa serta jenis pendapatan negara lainnya.
Sumber daya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari sumber daya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumber daya tersebut secara bersama (common property). Menurut Kula (1992), terdapat banyak kasus yang terjadi pada sumber daya milik bersama dimana terjadi deplesi stok lebih disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa “ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya”, sehingga konsekwensinya akan mengalami depletion secara cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Anwar (2002), bahwa keadaan sumber daya yang bersifat “open access resource” akan terjadi pengurasan sumber daya yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan sumber daya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka masing-masing memaksimumkan bagian (share) keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau memelihara kelestariaannya. Oleh karena itu, sifat “open access resource” tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak yang jelas atas sumber daya yang bersangkutan (res commune is res nullius). Dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatakan keuntungan (excess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial, dan budaya (Dahuri, et al, 2001). Menurut Fauzi (2000b), mengatakan bahwa pada mulanya pengelolaan sumber daya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut maximum sustainability yield (tangkapan maksimum lestari) atau disingkat MSY.
Inti pendekatan ini bahwa setiap species memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumber daya alam. 2.8. Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir. Manurung
dkk
(1997)
dalam
Riswandi
(2006),
mengatakan
bahwa
“pengembangan” merupakan suatu proses membawa peningkatan kemampuan penduduk (khususnya di pedesaan) mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan peningkatan taraf hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan sumber daya alam. Dengan kata lain pengembangan merupakan proses menuju pada suatu kemajuan atau keadaan yang lebih baik dari yang ada saat ini. Rustiadi et al (2007), mengatakan bahwa pengembangan merupakan pembangunan dalam arti luas mencakup spasial, sosial ekonomi, dan lingkungan dari apa yang sudah ada agar lebih baik lagi. Pengembangan wilayah diartikan sebagai upaya pembangunan pada suatu wilayah atau beberapa daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber daya seperti alam, manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara efektif, optimal dan berkelanjutan dengan cara menggerakan berbagai kegiatan produktif (sektor primer, sekunder, dan tersier), penyediaan fasilitas pelayanan (ekonomi dan sosial), penyedian sarana dan prasarana serta perbandingan lingkungan. Pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan pendekatan kawasan dimana pada masing-masing kawasan diidentifikasikan sebagai sektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan. Pengembangan wilayah pada berbagai pemanfaatan dan penggalian berbagai potensi sumber daya unggulan kawasan yang dimiliki dan pemberdayaan masyarakat lokal (Adisasmita, 2006). Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan negara melalui penerapan tehnologi yang lebih baik dan ramah lingkungan. Barus et al (1991) dalam Riswandi (2006), berpendapat bahwa dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir harus memperhatikan aspek biologis, sosial, budaya dan ekonomi.
Kawasan pesisir meliputi wilayah daratan yang terkait dengan wilayah perairan maupun wilayah laut berpengaruh terhadap wilayah daratan dan tata guna tanah. Di luar dari batas dari kawasan pesisir dan laut yang dimaksud itu mungkin saja mencerminkan interaksi antara pesisir dan laut, tetapi dapat pula tidak terjadi interaksi pesisir dan laut. Pada kawasan pesisir terdapat banyak penduduk dan pusat-pusat transportasi, tempat pendaratan ikan, kegiatan pertanian yang penting, industri (usaha) di bidang perikanan dan parawisata, serta menempatkan kawasan tersebut merupakan struktur lahan yang penting untuk lokasi berbagai fasilitas (prasarana dan sarana) pelayanan umum (ekonomi dan sosial (Adisasmita, 2007). Daerah pesisir pantai mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian masyarakat dan pembangunan karena merupakan ruang yang menjembatani antara wilayah daratan dengan wilayah perairan (laut). Interaksi sumber daya daratan dan sumber daya kelautan dicerminkan oleh kegiatan-kegiatan sektor pertanian, sektor perikanan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, kelembagaan, kegiatan ekonomisosial lainnya. (Adisasmita, 2006). Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dari sudut pandang berkelanjutan (sustainable development) dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada dipersimpangan jalan (Dahuri dkk, 2001). Disatu pihak, ada beberapa kawasan yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Akibatnya, indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistim pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduknya dan tingkat pembangunannya (Subri, 2007). Kawasan pesisir memiliki kekayaan dan keragaman sumber daya alam. Pesisir pantai dan habitat (hutan bakau, estuary, daerah tambak, terumbuh karang, rumput laut delta dan lainnya) merupakan daerah yang produktif secara biologi tetapi mudah mengalami degradasi karena dampak ulah manusia atau karena peristiwa alamiah. Kawasan pesisir telah mensuport sebahagian besar penduduk dunia pada masa depan. Beban peningkatan jumlah penduduk mendorong peningkatan pembangunan yang membawa dampak peningkatan polusi, berkurangnya habitat (jenis ikan dan satwa), erosi
pesisir/pantai, intrusi air asin/laut, dan dampaknya terhadap peningkatan permukaan laut (Adisasmita, 2007). 2.9. Potensi Sumber Daya Alam Pesisir. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan laut dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : (1) sumber daya yang dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewabe resources) dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Subri, 2007). Sumber daya dapat pulih terdiri atas hutan mangrove, terumbuh karang, padang lamun, dan rumput laut serta sumber daya perikanan laut. Hutan mangrove merupakan ekosisitim utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis meliputi penahanan abrasi, amukan angin topan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan sebagai penyedia nutrien bagi biota air perairan. Sementara itu, fungsi ekonomis antara lain, penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, bahan bangunan, alat penangkap ikan, dan pupuk pertanian. Seperti halnya hutan mangrove, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis dan ekonomi. Fungsi ekologis terumbuh karang yaitu sebagai penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung fisik bagi berbagai biota dan tempat bermain biota laut, sedangkan nilai ekonomi terumbu karang terdapat pada berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Sumber daya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi, misalnya geologi terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis, misalnya: minyak, gas, dan batu bara); kelas B (mineral vital meliputi emas, timah, nikel, bauksit, biji besi, dan kromit); dan kelas C (mineral industri termasuk bahan bangunan dan galian seperti granit, kapur, tanah liat, dan pasir). Berbagai potensi sumber daya mineral wilayah pesisir dan lautan di Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasarwarsa terakhir. Wilayah pesisir dan laut Indonesia juga memiliki berbagai macam jasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan laut sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan
komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim (climat regulator), kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi) dan sistim penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya. 2.10. Hasil Penelitian Sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian Pancasasti (2008), tentang Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga dan Peluang Kemiskinan Nelayan Tradisional di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten, menunjukan bahwa : 1. Karakteristik pekerjaan di dalam sektor perikanan dilakukan oleh nelayan tradisional adalah perbedaan musim dalam penangkapan ikan. Perbedaan musim mempengaruhi corak dalam kegiatan produktif yang dilakukan oleh anggota rumah tangga nelayan tradisonal di kecamatan Kasemen. Pada musim paceklik, peluang kerja anggota rumah tangga (suami dan istri) di sektor perikanan merupakan alternatif kegiatan produktif. Fenomena pencarian tambahan pendapatan mempengaruhi peluang kerja suami diluar sektor perikanan walaupun pendapatan yang dihasilkan tinggi atau rendah. Hal ini menyebabkan peranan suami dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumahtangga lebih besar dari pada istri. Faktor-faktor non ekonomi yang berkaitan dengan peranan istri dalam pekerjaan rumah tangga seperti memelihara anak balita, dan masih rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh istri mempengaruhi peluang istri bekerja di luar sektor perikanan. 2. Kegiatan di dalam dan diluar sektor perikanan yang dilaksanakan pada musim penangkapan ikan memberikan corak yang berbeda terhadap perilaku ekonomi rumah tangga. Produksi nelayan, curahan waktu kerja anggota rumahtangga, pendapatan anggota rumah tangga, dan konsumsi rumah tangga merupakan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan yang danalisis secara simultan. Komuditi yang diperoleh nelayan tradisonal dalam melakukan kegiatan penangkapan di laut adalah ikan atau udang. Untuk mempermudah pengukuran komuditi hasil produksi yang beragam maka produksi dinilai dalam satuan rupiah. Produksi nelayan dipengaruhi secara nyata oleh faktor-faktor produksi. Pendapatan total rumahtangga digunakan untuk membeli kebutuhan rumahtangga dan banyaknya anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan/beban rumahtangga mempengaruhi besarnya kebutuhan konsumsi pangan dan konsumsi non pangan meningkat karena pendapatan total rumah tangga
meningkat. Respon konsumsi pangan terhadap pendapatan rumahtangga lebih kecil daripada konsumsi non pangan. 3. Terbatasnya pemenuhan kebutuhan rumah tangga mendorong peluang kemiskinan rumahtangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi peluang kemiskinan rumahtangga nelayan tradisonal adalah pengeluaran total rumahtangga, banyaknya anggota rumahtangga, lama pendidikan suami, dan dummy musim. Pada musim paceklik, pemenuhan kebutuhan rumahtangga menurun sehingga peluang kemiskinan meningkat. Kemiskinan rumahtangga nelayan tradisonal di Kecamatan Kasemen merupakan kemiskinan sementara. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kurniawan (2007) tentang Kajian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (C0-Fish Project) dampaknya terhadap keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bengkalis, menunujukan bahwa : 1.
Dalam upaya peningkatan sosial-ekonomi masyarakat nelayan, C-Fish Project di Kabupaten Bangkalis bertumpuh pada proram pembangunan kelembagan, pelatihan dan pembinaan, pembangunan sarana dan prasarana, dan pengolahan lingkungan. Keterlibatan masyarakat hanya sebatas pada tokoh-tokoh tertentu saja. Aktifitas proyek berhenti seiring dengan habisnya masa proyek.
2.
Oleh karena itu, perbaikan pengelolaan sumberdaya perikanan Kabupaten Bengkalis ke depan diperlukan adanya peningkatan peran pemerintah daerah untuk menyelasikan permasalahan sosial (konflik) melalui antara lain: penertiban penggunaan jaring batu (bottom gill net) dan perbaikan sistim informasi bagi masyarakat nelayan, dan menjaga kelestarian sumber daya perikanan melalui peningkatan partisipasi masyarakat, perbaikan ekonomi masyarakat nelayan, peningkatan peran dan fungsi kelembagaan, serta pembangunan sarana dan prasarana. Hasil penelitian ekonomi nelayan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di
Jawa Timur yang dilakukan Muhammad (2002), menunjukan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan dalam penguasaan dalam pengusahaan penangkapan ikan, yaitu jangkauan wilayah perairan pantai dan laut yang dapat ditempuh, intensitas pemakaian modal kerja, perbaikan dan stabilitas harga ikan serta penyebaran informasi pasar. Selain itu, model ekonomi rumahtangga nelayan yang mengintegrasikan
perilaku nelayan juragan dan nelayan pendega merupakan pengembangan model ekonomi rumahtangga pertanian. Dimana perilaku rumahtangga nelayan dalam produksi ikan, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan dapat diterangkan sebagai berikut : 1.
Kegiatan produksi ikan berhubungan dengan ukuran aset kapal, daerah penangkapan ikan, frekuensi melaut, dan produktifitas wilayah penangkapan ikan. Perilaku produksi tersebut berkaitan dengan berbagai faktor. Faktor bahan bakar minyak (BBM) dan peluang kerja non perikanan berhubungan negatif dengan produksi ikan, sedangkan status sumber daya, tehnologi, pelabuhan perikanan, ukuran kapal, kegiatan agro industri, pemberian bibit, dan mutu sumber daya manusia (SDM) berhubungan positif dengan produksi ikan dan pendapatan nelayan.
2.
Pendapatan rumahtangga juragan maupun pendega terutama ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan melaut. Pengaruh perubahan harga ikan dan status sumber daya terhadap menerimaan nelayan cukup rendah. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa dalam upaya meningkatakan pendapatannya, nelayan cendrung lebih menguras sumber daya dari pada memperbaiki harga ikan atau sumber daya perikanan. Dalam rumahtangga nelayan terdapat kegiatan komplementer antara kegiatan melaut dan kegiatan agro industri perikanan. Jika besarnya pendapatan dari melaut menurun maka rumahtangga nelayan cendrung meningkatkan jumlah curahan kerja non perikanan.
3.
Dampak kebijakan perubahan harga BBM, pengembangan tehnologi, perbaikan status sumberdaya, peningkatan harga ikan, dan curahan kerja non melaut, pengaturan bagi hasil, perluasan daerah penangkapan sampai wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 200 mil dan peningkatan fasilitas pelayanan pelabuhan perikanan lepas pantai sebagai berikut : (a) peningkatan harga BBM dan perluasan lapangan kerja non melaut mengurangi eksploitasi sumber daya perikanan. Peningkatan harga BBM disamping berdampak terhadap penurunan tingkat eksploitasi sumber daya perikanan juga penurunan pendapatan nelayan, maupun pendapatan asli daerah (PAD), (b) peningkatan mutu SDM, pemberian kredit, ukuran kapal, tehnologi, harga ikan, curahan kerja agroindustri, pengaturan bagi hasil, dan perluasan daerah penangkapan ikan sampai 200 mil secara tunggal akan
meningkatkan eksploitasi sumber daya perikanan dan pendapatan nelayan. Jika dilakukan kombinasi kebijakan kenaikan BBM dengan peningkatan harga ikan pada presentase yang sama, maka dampak terhadap keragaan ekonomi rumah tangga nelayan masih menunjukan penurunan pendapatan nelayan dan PAD sebagai akibat kebijakan kenaikan harga BBM sehingga masih dibutuhkan kebijakan kombinasi dan terpadu, (c) peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) dan pengaturan bagi hasil antara juragan dan anak buah kapal (ABK) berdampak meningkatkan pendapatan nelayan pendega dan proses pemerataan pendapatan antara juragan dan ABK, dan (d) subsidi BBM akan berdampak dua arah, disamping peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga nelayan, namun pada sisi lain eksploitasi sumber daya akan semakin meningkat dan akan mempercepat terjadinya pemanfaatan sumber daya perikanan secara berlebih (over exploited). Hasil penelitian Faradiba (2006), tentang Analisis Pengelolaan Perikanan Tangkap Secara Optimal dalam Upaya Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Teluk Palu, menunjukan bahwa : 1.
Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap kegiatan penangkapan dimana hasil tangkapan aktual belum melebihi jumlah tangkapan lestari, dimana hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi “biological overfishing”
pada kegiatan
penangkapan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Teluk Palu wilayah Kota Palu, namun yang terjadi adalah “economic overfishing” dimana jumlah effort jauh lebih banyak dibandingkan dengan volume hasil tangkapan yang diperoleh sehingga biaya yang dikeluarkan (untuk input) lebih besar dari pada penerimaan (hasil tangkapan). 2.
Minimnya jumlah tangkapan aktual selain dipengaruhi oleh penggunaan alat dan armada penangkapan yang sederhana juga disebabkan oleh daya dukung lingkungan (dimensi Bio-ekologis) yang menurun akibat terjadinya reklamasi pantai, pencurian karang.
3.
Dari hasil perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan lebih rendah dari pada konsumen. Salah satu penyebabnya karena lemahnya posisi tawar mereka.
Menurut Abubakar (2004), bahwa faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi pendapatan masyarakat nelayan sebelum adanya konfik di wilayah pesisir Kota Ternate yakni : umur nelayan, sarana transportasi, sarana pemilikan, kemudahan penjualan, dan kemudahan memperoleh pekerjaan sampingan. Sedangkan faktor-faktor yang tidak mempengaruhi pendapatan nelayan adalah : pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, dan pengaruh tehnologi.
Faktor-faktor yang
secara signifikan mempengaruhi pendapatan masyarakat nelayan sesudah konflik adalah : jumlah hasil tangkapan, transportasi, kemudahan memperoleh pekerjaan sampingan, dan interaksi tanggungan keluarga dan pendidikan. Sedangkan faktor-faktor yang tidak mepengaruhi pendapatan nelayan adalah : umur, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, transportasi, sarana pemilikan, dan kemudahan penjualan. Hasil penelitian Alfian Zein (1991) dalam Lopulalan (2003) memperlihatkan bahwa pemanfaatan bantuan pemerintah melalui fasilitas kredit motor tempel dan alat penangkapan ikan memperlihatkan pengaruh yang berarti terhadap produksi hasil tangkapan. Hal ini memberi petunjuk bahwa kredit motor tempel dan alat tangkap ikan telah memberi dampak yang positif terhadap produksi perikanan. Selanjutnya dikatakan bahwa jika ditinjau dari tujuan program kredit yang dicanangkan oleh pemerintah melalui proyek dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan di Kotamadya Padang, ternyata tujuan tersebut baru tercapai sebesar 44% dari nelayan penerima kredit, terutama bagi nelayan yang mampu mengganti alat penangkapan ikan yang diberikan dari fasilitas kredit menjadi alat penangkap ikan. Misradi (2003) dalam Kurniawan (2007) mengatakan bahwa indikator yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di Kawasan Muara Angke Jakarta Utara adalah (1) tingkat pendapatan rumah tangga, pendapatan per kapita nelayan yang memanfaatkan fasilitas perikanan terdistribusi pada tingkat pendapatan lebih besar dari 351 ribu rupiah dan yang tidak memanfaatkan fasilitas terdistribusi pada tingkat pendapatan lebih besar dari 251 ribu rupiah (2) tingkat pengeluaran rumahtangga, nelayan yang memanfaatkan fasilitas memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar 350 ribu rupiah sedangkan nelayan yang tidak memanfaatkan fasilitas memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar 253 ribu rupiah (3) tingkat pendidikan, nelayan yang memanfaatkan fasilitas dan yang tidak memanfaatkan fasilitas memiliki
tingkat pendidikan yang tamat SD lebih besar dari 60 persen (4) tingkat kesehatan yang menunjukan kondisi kesehatan anggota keluarga adalah baik, (5) kondisi perumahan nelayan yang memanfaatkan fasilitas didominasi oleh kondisi perumahan yang permanent sebesar 54 persen, sedangkan kondisi perumahan yang tidak memanfaatkan fasilitas didominasi oleh kondisi perumahan yang semi permanen sebesar 74 persen (6) fasilitas perumahan, nelayan yang memanfaatkan fasilitas maupun tidak memanfaatkan fasilitas tergolong pada semi lengkap untuk fasilitas rumah tangga. Lopulalan (2003) mengatakan bahwa dampak kemitraan terhadap produksi hasil tangkapan memperlihatkan bahwa variabel jumlah trip penangkapan, biaya operasional penangkapan, serta pengalaman memberikan pengaruh nyata terhadap produksi hasil tangkapan nelayan peserta kemitraan. Sementara pendapatan nelayan peserta kemitraan per tripnya sebesar 59.661,76 rupiah. Arianto (2003) menyatakan bahwa program di bidang perikanan yang dilaksanakan pemerintah Kabupaten Bengkalis masih meliputi aspek fisik yaitu bantuan yang berupa materi sedangkan aspek non materi seperti kesiapan para nelayan serta kemampuannya dalam menerima program dan kegiatan sangat minim diadakan dan diperhatikan oleh pemerintah setempat. Selain itu terlihat bahwa program kegiatan tersebut dilaksankan secara terpisah dari waktu ke waktu. Program yang disusun belum mengarah pada rencana dan kegiatan yang berkelanjutan. Program pengembangan masyarakat untuk masa yang akan datang perlu dilakukan pendekatan partisipatif, yaitu dengan melibatkan masyarakat secara aktif, sehingga program yang diaksanakan benarbenar merupakan solusi dalam peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan. Secara umum nelayan kecil baik yang memiliki keterkaitan kegiatan dengan usaha perikanan moderen maupun tidak, sedang menghadapi kondisi sosial ekonomi yang kurang menggembirakan. Secara garis besar ada beberapa faktor penyebab kemiskinan masyarakat nelayan di daerah pantai, yaitu (1) kurangnya sarana prasarana penunjang (2) rendahnya penerapan tehnologi perikanan (3) lemahnya kelembagaan masyarakat (4) lemahnya sumber daya keluarga nelayan. Faktor-faktor tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya, Hermanto, (1994) dalam Lopulalan (2003).