I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sumberdaya alam dan jasa lingkungan merupakan aset yang menghasilkan
arus barang dan jasa, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumberdaya alam seperti air, lahan, udara, hutan, ikan, minyak, dan lain-lain merupakan sumberdaya yang sangat esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Kerusakan atau kehilangan atas sumberdaya tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Keberadaan sumberdaya ini tidak saja untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Oleh karena itu, menurut Fauzi (2006) persoalan mendasar sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Dalam konsep ekonomi klasik, sumberdaya diidentikan dengan input produksi dari alam yang diperlukan untuk menghasilkan output atau barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Namun demikian, pengertian sumberdaya tersebut tidak terbatas sebagai faktor input saja karena proses produksi dan konsumsi tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan bagi pengguna, namun juga menghasilkan residual atau limbah yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif. Perman et al. (1996) dalam Fauzi (2006) melihat bahwa residual merupakan bagian intrinsic atau bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas
ekonomi dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas tersebut. Dalam pendekatan ekonomi tradisional, dampak dari residual tersebut tidak secara eksplisit diakomodasikan dalam model produksi dan konsumsi. Padahal dengan mengabaikan dampak eksternalitas tersebut, bukan saja syarat optimimalitas produksi dan konsumsi tidak bisa terpenuhi, namun juga mengabaikan biaya sosial yang sebenarnya harus ditanggung oleh maysarakat. Sumberdaya air adalah salah satu sumberdaya yang sering dimanfaatkan oleh manusia yang memberikan manfaat dalam mewujudkan kesejahteraan umat manusia di segala bidang. Kontribusi sumberdaya air terhadap pembangunan ekonomi dan sosial sangat vital. Awal peradaban manusia dan lahirnya pusatpusat pertumbuhan ekonomi juga dimulai dari sumber-sumber air, seperti sungai dan mata air. Seiring dengan bertambahnya penduduk dan ekskalasi pembangunan ekonomi, menyebabkan fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan terus meningkat. Bahkan dilihat dari sisi geopolitik, para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad 21 ini (Fauzi, 2006). Pada dasarnya Indonesia yang terletak di kawasan tropika basah memiliki sumberdaya air yang cukup melimpah, namun jika dikaji secara mendalam, maka sumberdaya air tersebut tidak selalu tersedia sesuai keinginan kita. Disamping penyebarannya secara geografis tidak merata, juga dapat kita catat adanya perubahan yang drastis karena unsur waktu dan musim serta perilaku manusia yang sering menganggap sumberdaya air sebagai sesuatu yang tidak berharga dan diharapakan akan selalu tersedia dalam jumlah yang cukup. Persepsi yang keliru
2
inilah yang kemudian mengarah pada krisis sumberdaya air (Kodoatie dan Sjarief, 2008). Air tanah sebagai bagian dari sumberdaya air juga mengalami permasalahan serupa. Air tanah di Indonesia hingga kini sering diperlakukan sebagai barang bebas atau free good yang tidak memiliki nilai ekonomi. Air tanah masih dianggap sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui, padahal seharusnya air tanah dikategorikan sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan karena meskipun memiliki kemampuan memulihkan kembali (recharge rate) lewat hujan, jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi kemampuan recharge, maka sumberdaya ini dapat terdeplesi. Apabila sumberdaya ini terdeplesi, maka membutuhkan waktu yang relatif lama yakni berupa proses geologi yang membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk membuatnya pulih kembali (Fauzi, 2006). Menurut Putranto dan Kusuma (2009), pengambilan air tanah terjadi karena adanya pengaruh dari pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin tinggi, sehingga mengakibatkan kebutuhan air akan semakin besar. Kebutuhan air yang besar mendorong manusia untuk mencari pengganti air sungai yang merupakan sumber utama air bersih karena sudah mulai tercemar oleh berbagai macam limbah. Oleh karena itu, sebagai pengganti air sungai penduduk beralih menggunakan air tanah sebagai bahan baku untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagai imbas dari peralihan penduduk yang menggunakan air tanah sebagai air bersih, maka banyak muncul sumur-sumur gali dan dilakukan pemboran sumur untuk kegiatan industri yang memerlukan banyak air untuk
3
melakukan proses produksi. Kegiatan eksplorasi air tanah yang berlebihan ini merupakan sumber utama timbulnya masalah air tanah pada daerah perkotaan. Selain itu menurut Saeni (1997), pertumbuhan penduduk yang pesat berbanding lurus dengan perkembangan pemukiman yang juga semakin pesat dan tidak teratur, sehingga cenderung akan merusak kualitas air tanah. Keterbatasan dan mahalnya harga lahan menyebabkan perbandingan antara luas bangunan dan tanah terbuka menjadi tidak serasi. Permasalahan kualitas air tanah muncul terutama di daerah yang rapat dengan sarana tangki septik yang berdekatan dengan sumur air minum. Disamping itu pengambilan air tanah dangkal yang berlebihan dapat menyebabkan turunnya muka air tanah. Jika keadaan demikian tidak dapat dikendalikan, dapat mengakibatkan masuknya zat pencemar asal saluran pembuangan limbah rumah tangga yang konstruksinya kurang baik ke dalam akuifer air tanah dangkal. Perembesan air selokan atau tangki septik tersebut dapat efektif bila terjadi penurunan muka air tanah dangkal yang dalam terutama pada musim kemarau. Akibatnya banyak zat pencemar yang masuk ke dalam sistem akuifer. Bila musim hujan tiba pencemar tersebut akan terlarut. Demikian proses tersebut berjalan, sehingga air tanah dangkal menjadi tercemar oleh limbah domestik, misalnya ammonia, nitrit, nitrat, deterjen, dan E. coli. Pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya yang sangat pesat telah mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan kota yang cepat pula. Hal ini seringkali mengakibatkan suatu kota tidak siap dalam memberikan pelayanan sarana dan prasarana kepada masyarakatnya. Fenomena ini terjadi di banyak kota besar di Indonesia dan salah satunya adalah Kota Bekasi. Kota Bekasi merupakan bagian dari wilayah Jabodetabek, yakni sebagai pintu gerbang
4
dan penyangga pusat ibukota yang berfungsi sebagai penyeimbang DKI Jakarta. Fungsi Kota Bekasi sebagai penyangga ibukota menyebabkan jumlah penduduk cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk kota Bekasi meningkat dari 1.663.802 jiwa di tahun 2000 menjadi 2.336.498 jiwa pada tahun 2010. Dalam rentang sepuluh tahun ini penduduk Kota Bekasi meningkat sebesar 40,43% dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahun mencapai 3,48%.1 Peningkatan jumlah penduduk di Kota Bekasi tersebut seharusnya disertai dengan perbaikan dan peningkatan jumlah pelayanan publik, khususnya pada sektor sanitasi dan air bersih. Namun keterbatasan anggaran dan sistem yang tidak mendukung menyebabkan akses masyarakat Kota Bekasi masih terbatas terhadap pelayanan sanitasi dan air bersih yang baik. Kota Bekasi yang kini berkembang dengan sangat pesat tersebut, ternyata masih belum mampu memberikan pelayanan air bersih kepada seluruh masyarakatnya. Jangkauan pelayanan PDAM baru mencapai 36% dari total kebutuhan masyarakat Kota Bekasi. Terbatasnya pelayanan air bersih akan dirasakan oleh semua pihak, namun akan sangat berpengaruh bagi masyarakat miskin perkotaan di Kota Bekasi yang pada tahun 2010 totalnya mencapai sekitar 97.000 kepala keluarga (Dinas Kependudukan Kota Bekasi, 2011).2 Keterbatasan layanan air bersih tersebut mengharuskan masyarakat golongan ekonomi lemah tersebut untuk mencari alternatif sumber air lain, seperti air tanah dangkal dari sumur gali atapun air isi ulang depot dan air kemasan yang lebih mudah untuk diperoleh, namun kemungkinan besar sudah rawan oleh zat pencemar.
1 2
http://www.bekasikota.bps.go.id. diakses pada tanggal 4 Februari 2011. http://www.jpnn.com/read/2011/02/03/83610/Penduduk-Miskin-Naik-Berlipat. diakses pada 10 Juli 2011.
5
Tercemarnya air tanah sebagai salah satu sumber air bersih utama yang masih digunakan oleh penduduk menyebabkan mereka harus melakukan berbagai tindakan pencegahan untuk menjaga kualitas dan kuantitas pasokan air bersih dalam upaya menghindari kemungkinan dampak negatif yang akan terjadi. Menurut Traore et al. (1999), beberapa tindakan pencegahan yang lazim dilakukan penduduk pada umumnya adalah mengganti air minum mereka dengan membeli air dalam kemasan, memasak atau merebus air yang akan dikonsumsi terlebih dahulu, ataupun upaya penjernihan air dengan pemasangan filter. Beberapa tindakan pencegahan yang mereka lakukan tersebut akan menyebakan korbanan biaya yang harus mereka keluarkan demi memperoleh kualitas dan kuantitas air yang baik. Korbanan biaya tersebut merupakan biaya sosial akibat dari eksternalitas negatif yang terjadi akibat tercemarnya sumber air tanah yang seharusnya dapat mereka konsumsi secara bebas. 1.2
Perumusan Masalah Pertambahan jumlah penduduk yang semakin tinggi di Kota Bekasi
mengakibatkan kebutuhan air bersih juga akan semakin besar. Menurut Putranto dan Kusuma (2009), kebutuhan air bersih yang besar mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-harinya akibat sumber air permukaan yang selama ini mereka gunakan tidak lagi mencukupi dan cenderung telah tercemar. PDAM yang diandalkan sebagai salah satu penyedia kebutuhan air bersih masih belum mampu menjangkau seluruh kebutuhan masyarakat karena keterbatasan volume air bersih dan jangkauan perpipaan yang tersedia. Sebagai imbasnya maka banyak muncul sumur-sumur gali dan pemboran sumur yang dilakukan baik oleh industri maupun
6
domestik akibat peralihan masyarakat menggunakan air tanah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air bersih. Fenomena ini terjadi di banyak kota besar di Indonesia dan salah satunya adalah Kelurahan Harapan Jaya sebagai salah satu pusat kegiatan industri di Kota Bekasi bagian utara. Saat ini ekstraksi air tanah besar-besaran yang dilakukan baik oleh industri maupun domestik secara kolektif di Kelurahan Harapan Jaya telah menyebabkan penurunan pada muka air tanah akibat semakin keringnya sumber air tanah. Selain itu, perkembangan pemukiman penduduk yang semakin pesat dan tidak teratur juga telah merusak kualitas air tanah. Menurut Saeni (1997), permasalahan kualitas air tanah ini muncul akibat rapatnya pemukiman penduduk, sehingga jarak antara sarana pembuangan limbah dengan air sumur warga cenderung saling berdekatan dan berakibat pada rawannya sumber air bersih warga terhadap perembesan zat pencemar dari limbah yang berasal dari aktivitas domestik. Penduduk Kelurahan Harapan Jaya pada umumnya merasakan kerugian akibat tercemarnya sumber air bersih mereka. Perubahan secara fisik telah dirasakan oleh penduduk melalui indikator warna, rasa, bau, serta tingkat kekeruhan pada sumber air tanah yang mereka gunakan. Perubahan tersebut menyebabkan air tanah tidak lagi dapat dikonsumsi secara bebas. Berkurangnya jumlah air bersih akibat perubahan kondisi air tanah ini merupakan kerugian bagi penduduk setempat. Oleh karena itu, penduduk akan melakukan berbagai tindakan pencegahan untuk menjaga kualitas dan kuantitas pasokan air bersih mereka dalam upaya menghindari dampak negatif dari pencemaran air tanah yang terjadi. Beberapa tindakan pencegahan yang mereka lakukan akan menyebakan korbanan
7
biaya yang harus mereka keluarkan demi memperoleh kualitas dan kuantitas air yang lebih baik. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan penelitian yang perlu dikaji yaitu: 1.
Bagaimana pola dan perilaku penggunaan air bersih oleh penduduk di Kelurahan Harapan Jaya?
2.
Berapa besar kerugian ekonomi penduduk akibat adanya pencemaran air tanah di Kelurahan Harapan Jaya?
3.
Apa sajakah faktor yang mempengaruhi keputusan penduduk untuk melakukan tindakan pencegahan akibat adanya pencemaran air tanah di Kelurahan Harapan Jaya?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahn yang terdapat dalam perumusan masalah
sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1.
Mengidentifikasi pola dan perilaku penggunaan air bersih oleh penduduk Kelurahan Harapan Jaya
2.
Mengestimasi
nilai
kerugian
ekonomi
penduduk
akibat
adanya
pencemaran air tanah di Kelurahan Harapan Jaya 3.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penduduk untuk melakukan tindakan pencegahan akibat adanya pencemaran air tanah di Kelurahan Harapan Jaya.
8
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian tentang estimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran air
tanah yang terjadi di Kelurahan Harapan Jaya diharapkan dapat bermanfaat, yakni: 1.
Bagi Akademisi dan Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan khazanah pengetahuan dan informasi kepada akademisi dan peneliti dalam pelaksanaan penelitian yang berkaitan dengan estimasi nilai kerugian ekonomi akibat adanya pencemaran air tanah.
2.
Bagi Pemerintah Kelurahan Harapan Jaya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, khususnya pemerintah Kelurahan Harapan Jaya dalam mengevaluasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan dan pendayagunaan air tanah agar dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan.
3.
Bagi Masyarakat Kelurahan Harapan Jaya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan insentif perilaku bagi masyarakat Kelurahan Harapan Jaya untuk dapat menjaga kelestarian sumberdaya air tanah dengan melakukan ekstraksi sumberdaya air tanah sesuai dengan aturan hak guna pakai air agar ketersediaan sumberdaya air tanah dapat terjaga dan masih dapat terus dimanfaatkan oleh generasi di masa yang akan datang.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Adapun batasan-batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
9
1.
Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya untuk mengestimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan Harapan Jaya, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
2.
Responden adalah rumah tangga yang berdomisili di sekitar kawasan industri di Kelurahan Harapan Jaya.
3.
Estimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran air tanah adalah untuk tahun 2011.
4.
Estimasi nilai kerugian yang dilakukan adalah berdasarkan pada biayabiaya pencegahan dan kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah tangga akibat adanya pencemaran pada sumber air tanah yang digunakan oleh penduduk yang berada di Kelurahan Harapan Jaya.
5.
Estimasi nilai kerugian dilakukan pada tahun 2011, sehingga tingkat harga yang digunakan sebagai proxy merupakan nilai yang berlaku pada bulan Agustus – Desember 2011.
10