BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya, karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.
Universitas Sumatera Utara
"Siklus terjadinya kebakaran hutan terus menerus serta pengrusakan hutan di Indonesia harus mulai dianggap sebagai masalah global karena negara kita merupakan penyumbang besar terhadap perubahan iklim dunia. Pemerintah harus mengambil langkah lebih berani untuk mencegah masalah ini dengan pertamatama mendeklarasikan moratorium atas penghancuran dan konversi hutan gambut secara nasional,” kata Hapsoro, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara.1 Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui atau mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan amphibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72%.2 Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luasannya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Denokrasi Kongo dan hutanhutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsun musiman dan padang savana di Nusatenggara, serta hutan-hutan non Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Papua. Indonesia juga memiliki hutan mangrove terluas di 1
Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, “Kebakaran hutan di Indonesia menjadi ancaman global” diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/kebakaran -hutan-indonesia-menj/, pada tanggal 20 November 2011. 2 Rauf Prasodjo, “Indonesia’s Moratorium, An Opportunity for Forest and Industy” diakses dari World Resource Institute. http://www.wri.org/stories/2011/04/indonesias-moratoriumopportunity-forests-and-industry pada tanggal 22 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
dunia. Luasnya diperkirakan sebesar 4.25 juta ha pada awal tahun 1990-an. luas seluruh hutan di Indonesia adalah sekitar 106 juta hektar.3 Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 19851997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. Saat ini kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Penghujung tahun 1997 dan awal tahun 1998, dunia dapat menyaksikan dan mengamati betapa sedih dan mengerikan pada saat api membinasakan berjuta-juta hektar hutan tropika di Indonesia. Peristiwa kebakaran yang merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga 3
http://insidewinme.blogspot.com/2007/11/sebab-kebakaran-hutan.html diakses pada tanggal 20 November 2011
Universitas Sumatera Utara
membahayakan keamanan perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan dan menimbulkan banyak keluhan dari Negara tetangga. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysia dan Singapura menjadi sumber transboundary haze pollution bagi kedua negara tersebut. Dari sejumlah titik api yang terdeteksi terbanyak ditemukan di Riau dan Kalimantan Barat. Dalam periode 1-30 Juli 2006, berdasarkan Data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer, di Provinsi Riau terdeteksi sejumlah 1.419 titik api, yang terdiri dari: lahan masyarakat (55,39%), kawasan HTI (23,82%) dan perkebunan (20,79%).4 Data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hotspots (titik panas) terjadi di lahan gambut. Data terakhir berdasarkan pantauan koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, antara 1-31 Juli 2006, terdapat 56% titik panas yang ditemukan di Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada periode yang sama, hampir 30% dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan Barat juga terdapat pada tanah gambut.5
4
“Terlibat Pembalakan Liar, Hutan Riau Alami Degradasi 30%” Fire Bulletin No. 12006_3Aug.doc, diakses dari WWF.or.id pada `tanggal 22 Mei 2012 5 Hery Purnobasuki, “kebakaran hutan”, http://avicennia.guruindonesia.net/artikel_detail-247.html diakses pada tanggal 20 November 2011
Universitas Sumatera Utara
Hutan
pada
lahan
gambut
mempunyai
peranan
penting
dalam
penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan. Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerapair), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.6 Menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya.7
6 7
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi Indonesia tidak langsung setuju dengan permintaan Malaysia dan Singapura. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan pariwisata mereka. Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura karena mereka belum merasa puas. Inti ketidakpuasan dari negaranegara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).8 Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja. Untuk menyelesaikan persoalan pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya hukum kebiasaan internasional. Prinsip yang berkenaan adalah good neighbourliness. Prinsip ini
8
Virtual Information Center,2006, Special Press Summary : ASEAN Sub-Regional Ministerial Meeting on Transboundary Haze Pollution, Pekanbaru.
Universitas Sumatera Utara
tersirat dalam Deklarasi Stockholm. Prinsip ini mengatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Contoh kasus yang serupa dengan kasus ini adalah Trail Smelter Case. Prinsip-prinsip internasional ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan dalam dokumen-dokumen hukum lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992. Walaupun prinsip-prinsip ini belum dikodifikasikan dalam perjanjian internasional, tetapi bisa dikatakan bahwa kebiasaan internasional telah berkembang.9 Hukum lingkungan internasional pada mulanya berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan, yaitu keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi, yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa, yang ingin menyelesaikan sengketanya secara damai. Pada umumnya mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu prinsip tanggungjawab negara (state responsibility), yang mewajibkan setiap negara bertanggungjawab terhadap setiap akibat tindakannya yang merugikan negara lain. Orientasi penerapan prinsip tersebut bukanlah perlindungan lingkungan, melainkan perlindungan dan pemulihan hak-hak negara yang dirugikan.10
9
AzmiSharom,http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/ bravenew world/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 24 November 2011) 10
Ida Bagus Wyasa Putra, 2003 Hukum Lingkungan Internasional, Refika Aditama,
hlm.18
Universitas Sumatera Utara
Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan ma'af secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.11 Istilah 'responsibility' digunakan untuk menunjuk pada kewajiban (duty), atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah 'liability' digunakan untuk menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah ditetapkan. Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari rumusan ketentuan Pasal 139 (1 & 2) KHL-1982, sebagai berikut : 1. States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the Area, whether carried out by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to international organizations for activities in the Area carried out by such organizations 2. Without prejudice to the rules of international law and Annex III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail liability: States Parties or international organization acting together shall bear joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored under article 153, paragraph 2 (b), if the State Party has taken all necessary
11
F, Soegeng Istanto, UAJYogyakarta, hlm 77-78.
1994,
Hukum
Internasional,
Yogyakarta:
Penerbitan
Universitas Sumatera Utara
and appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph 4, and Annex III, article 4 paragraph 4.12 Dalam konteks perlindungan lingkungan, untuk mengetahui ada tidaknya pertanggungjawaban negara (responsibility) dan atau (liability) dalam suatu peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan penelitian terhadap empat aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang meliputi: akibat (effect); kegiatan (activity); tempat/ruang lingkup (space); serta sumber dan korban (sources and victims).6 Mengenai ada tidaknya akibat yang ditimbulkan dalam suatu peristiwa, pertama-tama perlu untuk dibedakan mengenai pengertian kerusakan (damage) dan pengertian membahayakan (harm). Dalam hukum internasional, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Art. 1 (a) Liability Treaty-1972, pengertian 'kerusakan' didefinisikan sebagai berikut: "the term 'damage' means loss of life, personal injury or other impairment of health, or loss of or damage to property of States or persons, natural or juridical, or property of international intergovernmental organizations".13 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal 25 juga memberikan pernyataan bahwa : 1. Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.
12 13
Ibid. Ibid., hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
2. Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection.14
Ketentuan Pasal 1 Draft International Law Commision (ILC) tentang Pertanggungjawaban Negara berisi bahwa: ”Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State”.15 Selain itu sesuai dengan prinsip ke-14 Deklarasi Rio 1992 yang megatakan “Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.”16 B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan Hukum Internasional tentang tanggung jawab Negara? 2. Bagaimana putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas kasuskasus pencemaran lintas batas? 3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sbgmn brkt : 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional tentang tanggung jawab Negara. 14
Universal Decalarations of Human Right 1948 International Law Commision Draft on State Responsibility Article 1 16 Deklarasi Rio 1992 prinsip ke 14
15
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas kasus-kasus pencemaran lintas batas. 3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura. Selanjutnya manfaat yang diperoleh dari penulisan ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka tentang aspek hukum internasional dari pencemaran lintas batas. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menangani kasus-kasus pencemaran lintas batas. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang dampak dari kebakaran hutan yang bersifat lintas batas berikut pengaturan hukumnya.
D. TINJAUAN PUSTAKA Prinsip bahwa setiap negara berdaulat diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus mengakui dan menghormati hal tersebut. Namun kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di
Universitas Sumatera Utara
dalam
kedaulatan
itu,
terkait
di
dalamnya
kewajiban
untuk
tidak
menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Jadi jika suatu negara melanggar ketentuan-ketentuan internasional atau melakukan tindakan yang tidak sah secara internasional akan dikenai suatu tanggung jawab negara.17 Dalam tata hukum internasional, ketentuan berkenaan dengan masalah pertanggungjawaban negara ini memang belum ada yang pasti. International Law Commision (ILC), salah satu organ PBB yang bertugas untuk melakukan perumusan dan pembahasan ketentuan dan hukum internasional sampai saat ini masih berusaha merumuskan dan membahas draft tentang ketentuan tanggung jawab negara. Meskipun hasil kerjanya masih dalam bentuk draft, tetapi aktivitas ILC dalam mempersiapkan dan melakukan perkembangan hukum internasional khususnya mengenai tanggung jawab negara yang dilakukan oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili kebudayaan-kebudayaan terpenting di dunia yang mempunyai nilai tinggi yang tergabung di dalam Panitia Hukum Internasional (ILC), dapat digunakan sebagai sumber tambahan hukum internasional. Jika ketentuan ini dipakai dalam praktek kenegaraan maka akan menjadi hukum kebiasaan internasional. Sampai saat ini walaupun belum ada ketentuan yang mapan, tanggung jawab negara tetap merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Dalam hal ini baru bisa dikemukakan mengenai syarat-syarat atau
17
Report of International Law Commission on the work of its Thirty Seventh, 1985
Universitas Sumatera Utara
karakteristik tanggung jawab negara, seperti dikemukakan oleh Shaw yang dikutip oleh Huala Adolf 18 sebagai berikut : 1. Ada suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tersebut; 2. Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; dan 3. Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian Persyaratan-persyaratan ini kerapkali digunakan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. Misalnya dalam kasus the Spanish Zone of Morocco Claims. Hakim Huber dalam kasus ini menegaskan bahwa tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari adanya suatu hak. Hak-hak yang bersifat internasional tersangkut di dalamnya tanggung jawab internasional. Tanggung jawab ini melahirkan kewajiban untuk mengganti kerugian manakala suatu negara tidak memenuhi kewajibannya.19 Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak yang
18
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Radja Grafindo Persada, ed. 1, cet. 2., Jakarta, 1996, h. 174 19
Huala Adolf, ibid., hlm. 174-175
Universitas Sumatera Utara
sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negaranya. Pasal 5 butir 1 Undang- Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Demikian pula Deklarasi Universal PBB mengenai Hak-Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya.20 Pembahasan masalah tanggung jawab atas lingkungan seperti telah dikemukakan di atas berkaitan dengan prinsip kedaulatan negara dan prinsip hormat-menghormati negara lain. Menurut Daud Silalahi konsep state responsibility-liability dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu pada pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom of the high seas.21 Prinsip
ini
sangat
berguna dalam
menyelesaikan
sengketa lingkungan
internasional yakni dalam hal terjadi pencemaran lintas batas (transboundary pollution) yang menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah negara lain, missal dalam kasus Trail Smelter. Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan pula dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Prinsip 21
20
The Universal Declaration of Human Rights : A Guide for Journalist. Terjemahan : Hendriati Trianita, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia : Panduan bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), cet. 2, Jakarta, 2000, h. 36 21 Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Alumni, ed. 2, cet. 1, Bandung, h. 129,171.
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi Stockholm (Resolusi MU No. 2992 (XXVII)) 15 Desember 1972) menyatakan
bahwa
setiap
negara
mempunyai
hak
berdaulat
untuk
mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggung jawab agar kegiatan eksploitasi yang dilakukan di dalam wilayah atau di bawah pengawasannya tersebut tidak menyebabkan kerugian atau kerusakan terhadap negara lain. Rumusan yang sama ditetapkan dalam Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982
22
yaitu bahwa Negara harus mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yurisdiksinya atau di bawah pengawasannya dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak mencemari wilayah negara lain. Sedangkan ketentuan Prinsip 22 Deklarasi Stockholm berkaitan dengan masalah tanggung jawab dan kompensasi bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang disebabkan oleh kegiatan di dalam wilayah yurisdiksi atau di bawah pengawasan suatu negara. Hal serupa dikemukakan Komar Kantaatmadja, yakni bahwa perbuatan yang menyebabkan terjadinya kerugian menimbulkan kewajiban untuk memenuhi ganti rugi. Adapun prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara seperti termuat dalam rancangan Deklarasi dapat digunakan sebagai pedoman untuk saat ini. Adapun hak-hak dan kewajiban tersebut adalah : a. Hak-hak negara : 1. Hak atas kemerdekaan (Pasal 1) 22
UN Doc. A/CONF.62/122, “Documents of the UN conference On the Law of the Sea” diakses dari www.search.un.org pada tanggal 22 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
2. Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2) 3. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negaranegara lain (Pasal 5); 4. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12). b. Kewajiban negara 1. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di negara lain (Pasal 3); 2. Kewajiban untuk tidak menggerakkkan pergolakan sipil di negara lain (Pasal 4); 3. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal 6); 4. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7); 5. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8); 6. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata (Pasal 9); 7. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya pasal 9 di atas; 8. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12); 9. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13); dan
Universitas Sumatera Utara
10. Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negaranegara lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).23 E. METODE PENELITIAN Pembahasan ini akan dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku atau literatur, tulisan–tulisan ilmiah, dokumen-dokumen dan peraturan–peraturan perundang–undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian, yang meliputi: Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : a. Bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : 1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari :
23
Boer Mauna, ”Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global” Alumni, 2000, Bandung , hlm.51-52
Universitas Sumatera Utara
1) ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2) Deklarasi Rio 1992 tentang HAM dan Lingkungan (KTT Bumi) 3) Draft Articles of Responsibilities of State for Internatioanal Wrongful Acts with Comementaries, Commentaries of the Draft, ILC 4) Buku-buku mengenai Hukum Lingkungan Internasional 5) Bahan-bahan lain yang berkaitan dengan transboundary pollution. 6) Majalah, surat kabar, tulisan yang berkaitan dengan materi pembahasan c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier meliputi : 1) Kamus Hukum 2) Kamus Besar Bahasa Indonesia F. SISTEMATIKA PENULISAN Pertanggungjawaban sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan
sistematis, sehingga dalam
penulisan
skripsi ini,
penulis
membagi menjadi 4 (empat) bab yaitu sebagai berikut : Bab I merupakan pendahuluan yang terbagi dalam 6 (enam) sub bab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian / pembahasan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian / pembahasan dan sistematika pembahasan.
Universitas Sumatera Utara
Bab II merupakan pembahasan umum mengenai tanggung jawab negara dan transboundary haze pollution , apa saja pembagian tanggung jawab negara , kriteria-kriteria tanggung jawab negara serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan itu. Bab III merupakan pembahasan mengenai putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas kasus-kasus pencemaran lintas batas Bab IV merupakan pembahasan mengenai bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura terkait kasus kabut asap akibat kebakaran hutan di Riau. Bab V penutup. Berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah baik permasalahan yang pertama maupun permasalahan yang kedua agar lebih jelas. Dan bagian kedua adalah saran. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum internasional.
Hal terakhir merupakan daftar pustaka yang digunakan penulis untuk merampungkan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara