BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan hukum yang tidak seiring sejalan dengan dinamika di dalam masyarakat menyebabkan terjadinya kekosongan hukum. Kondisi demikian jika tetap dibiarkan akan menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk aturan yang ditetapkan atas dasar paksaan yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheden). Kemungkinan adanya aturan tersebut lazimnya diterapkan dalam suatu perjanjian, khususnya perjanjian utang perbankan atau dikenal sebagai kredit bank. Adanya unsur penyalahgunaan tersebut diterapkan saat debitur berada dalam posisi tawar menawar (bargaining position) yang lemah disebabkan ketidakmampuannya dalam membayar kewajiban pembayaran cicilan utang maupun cicilan bunganya. Dalam kondisi debitur yang sangat lemah posisi hukumnya, kreditur pada awalnya menawarkan pola penyelesaian melalui restrukturisasi utang dengan cara, yang menurut Pasal 1 huruf c Surat Edaran Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Utang, SE BI No. 31/12/UPPB meliputi: a.
menurunkan suku bunga utang;
2
b.
mengurangi tunggakan bunga utang;
c.
pengurangan tunggakan pokok utang;
d.
perpanjangan jangka waktu utang;
e.
penambahan fasilitas utang;
f.
pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
g.
konversi utang menjadi penyertaan modal tertentu pada perusahaan debitur.
Tawaran tersebut tentu akan diterima debitur dengan harapan penyelesaian utang akan semakin ringan. Selain itu, ada pola penyelesaian demikian diharapkan membantu debitur dalam menangani proses utangnya. Oleh sebab itu, adanya penyelesaian utang melalui restrukturisasi utang akan disepakati dan dirumuskan dalam suatu perjanjian restrukturisasi utang. Namun, dalam perjanjian restrukturisasi utang yang dilakukan antara debitur dan kreditur tersebut, terdapat suatu klausula yang dapat disebut dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (UU Nomor 8 Tahun 1999) sebagai klausula baku yang pada dasarnya menuntut kewajiban yang tidak seimbang bagi debitur jika pihaknya kembali melakukan wanprestasi. Adanya klausula baku tersebut dalam perjanjian restrukturisasi utang disebut sebagai “klausula recapture” yang secara garis besar isinya menyatakan kreditur hanya akan memberikan konsesi-konsesi dalam restrukturisasi utang dengan ketentuan kreditur dapat sewaktu-waktu menghentikan
3
konsesi-konsesi yang telah diberikannya, walaupun selama waktu konsesi-konsesi berjalan debitur tidak melakukan wanprestasi. 1 Adanya klausula tersebut pada dasarnya sangat memberatkan debitur mengingat dengan dilepaskannya konsesi atas restrukturisasi utang mengakibatkan kewajiban debitur berdasarkan perjanjian utang yang sebelumnya dihapus melalui perjanjian restrukturisasi utang kembali hidup. Bagi debitur yang beritikad baik, adanya klausula recapture tersebut sangat merugikan posisinya mengingat perjanjian restrukturisasi utang merupakan solusi penyelesaian kewajibannya disebabkan krisis usaha atau kesulitan finansial pihaknya. Namun, tampaknya bagi debitur sulit untuk menolak adanya klausula tersebut mengingat posisinya yang dirasakan sangat dilematis. Jika debitur menolak klausula tersebut, debitur harus membayar kewajiban utang yang telah jatuh tempo, kondisi ini sulit dipenuhi karena ketidakmampuan membayar (payment default). Akan tetapi, jika menerima klausula tersebut, debitur harus siap menerima kemungkinan pembatalan perjanjian restrukturisasi akibat adanya keadaan yang dipaksakan kreditur kepada debitur. Beberapa penyalahgunaan keadaan oleh kreditur merupakan penyimpangan dalam hubungan keperdataan. Dalam kondisi demikian, klausula perjanjian tersebut pada dasarnya bertentangan dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan, “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
1
Iswahjudi Karim, “Restrukturisasi, Penjadwalan Kembali, dan Refinancing Hutang (Suatu Tinjauan dari Aspek Hukum).” (Makalah Lepas, Jakarta 1992), hal. 2.
4
dengan paksaan, atau penipuan. 2
Dalam penggunaan klausula recapture dalam
perjanjian restrukturisasi utang ini, alasannya adalah adanya paksaan dalam perjanjian ini. Menurut Pasal 1324 ayat (1) maksudnya adalah,
“Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.”
Dalam hal ini, ketakutan yang dialami debitur dalam menandatangani perjanjian restrukturisasi utang adalah jika solusi ini tidak dilakukan, dirinya harus kehilangan nama baik, jaminan benda, dan perusahaan yang dibangunnya. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain selain menerima atau tidak (take it or loose all). Bagi debitur atas utang produktif, misalnya, perjanjian restrukturisasi dengan klausula recapture di dalamnya terpaksa diterima karena debitur mempunyai stake holder, antara lain karyawan dan masyarakat yang masih membutuhkan keberadaan perusahaan tersebut. Dengan mengemukakan kondisi demikian, perlu ditelaah perlunya perlindungan hukum bagi debitur dari kemungkinan penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheden) yang dipaksakan oleh kreditur dalam bentuk alasan yang menguntungkan posisinya. Perlindungan hukum ini perlu pula dengan maksud agar debitur yang beritikad baik tetap menjalankan usahanya dengan mengandalkan perjanjian restrukturisasi utang yang mengandung keadilan bagi para pihak yang menjalankannya.
2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 14, (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 52.
5
Namun, permasalahan lain yang muncul dalam pemberian utang ini juga akan rumit ketika utang tersebut sudah disampaikan kepada debitur, tetapi kemudian debitur melalaikan kewajiban membayar cicilan pokok utang, bunga, serta biaya lainnya. Kondisi demikian dapat disebabkan debitur benar-benar tidak mampu membayar utangutangnya (di sini termasuk bunga dan kewajiban-kewajiban pembayaran lain kepada kreditur), dan bukan karena debitur sengaja tidak mau membayar utangnya. 3 Namun, dapat pula debitur melakukan wanprestasi dengan mengingkari adanya kesepakatan utangnya dan menolak adanya surat pengakuan utang yang ditetapkan bank. Menghadapi dua kondisi demikian, bank akan menghadapinya dengan dua pendekatan yang berbeda. Jika debitur tidak sanggup membayar akibat kesulitan usahanya, bank dapat memberikan kesempatan kepada debiturnya untuk menjadwalkan kembali pelunasan utangnya debitur atau merestrukturisasi fasilitas utang yang telah atau jatuh tempo. 4 Namun, bagi debitur yang tidak membayar akibat wanprestasi atau karena tidak mempunyai itikad baik untuk membayar utangnya, kreditur
dapat
memperoleh akses terhadap harta kekayaan dari debitur yang tidak sanggup membayar untuk memperoleh penggantian sebagai suatu bentuk kemampuan hukum kreditur dalam melakukan tindakan hukum sepihak. 5 Akses ini diperoleh dari adanya undangundang kepailitan yang memungkinkan kreditur mengajukan suatu permohonan 3
Karim, op.cit., hal. 3.
4
Ibid.
5
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 12
6
pernyataan pailit ke pengadilan. 6 Adanya permohonan ini pada prinsipnya merupakan implementasi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Bagi bank, tuntutan pembayaran utang debitur merupakan keharusan karena bank mempunyai stake holder yang tidak berbeda dengan debitur. Bagaimanapun, tiadanya keinginan debitur untuk membayar kewajibannya akan menyebabkan kreditur bangkrut, yang pada gilirannya akan mempengaruhi nasib stake holder bank seperti pemegang saham, karyawan, dan nasabah penyimpan dana. Oleh sebab itulah, dalam praktiknya, bank sebagai kreditur akan selalu mempertimbangkan dua sumber pelunasan bagi utang yang diberikan kepada debiturnya. Adapun sumber pelunasan tersebut adalah: 7 1. pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh debitur dari hasil usahanya atau disebut pula first way out (bagi penyelesaian utang bank); 2. harta kekayaan nasabah debitur dan jaminan yang diberikan debitur atau para penjaminnya, disebut pula second way out, jika alternatif pertama tidak dapat dilakukan. Jika kondisi debitur yang ditemui bank adalah tiadanya itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban utangnya, bank sebagai kreditur akan menempuh jalan kedua dalam penyelesaiannya. Hal ini berarti apabila nasabah debitur memang tidak mungkin lagi diharapkan untuk dapat melunasi utangnya dari kegiatan usahanya, sumber pelunasan alternatif bagi para kreditur harus berupa harta kekayaan debitur dan atau 6
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan (Jakarta: Alumni, 1999), hal. 23.
7
Sjahdeini, op.cit., hal. 33.
7
harta kekayaan penjaminnya dengan cara melikuidasi harta kekayaannya. Adanya pilihan ini disebabkan kreditur mempunyai hak atas penyelesaian utang debitur melalui semua kekayaannya yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang dimiliki debitur yang terikat pada penyelesaian kewajibannya. Dengan adanya kondisi demikian sudah sepatutnya bank sebagai kreditur memilih dua alternatif pilihan tersebut dibandingkan melakukan tindakan restrukturisasi utang yang cenderung mengarah pada adanya unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheden) secara paksa. Oleh sebab itu, upaya melakukan restrukturisasi utang kepada debitur dengan itikad baik juga perlu ditunjukkan oleh kreditur dalam rangka mengembalikan dana miliknya.
B.
Rumusan Masalah
8
Dalam topik tesis ini, aspek hukum perikatan merupakan salah satu aspek penting yang melandasi pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap debitur dalam
perjanjian
restrukturisasi
utang
perbankan
yang
mengandung
unsur
penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheden) secara paksa oleh kreditur. Akan tetapi, pendekatan berdasarkan hukum perbankan juga tidak dapat dilepaskan dalam pembahasan topik ini. Hal ini disebabkan kedua-duanya mempunyai keterikatan yang saling berkaitan. Dengan demikian, permasalahan yang muncul dalam pembahasan topik ini adalah selalu berdasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan perbankan, khususnya yang terkait erat dengan proses pengembalian utang perbankan. Oleh sebab itu, penelitian ini tidak diarahkan pada sistem pembentukan perjanjian perbankan secara keseluruhan, tetapi hanya yang bersentuhan dengan aspek pembentukan utang perbankan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah berikut ini. 1.
Bagaimana debitur dan kreditur pada PT. Bank BNI (Persero) mewujudkan asas konsensualisme dalam perjanjian restrukturisasi utang?
2.
Bagaimana perlindungan hukum
yang diberikan kepada debitur untuk
menghindari adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheden) yang dipaksakan oleh kreditur dalam perjanjian restrukturisasi utang, khususnya di PT. Bank BNI (Persero)?
9
C.
Keaslian Penelitian Masalah mengenai topik ini perlu dianalisis dan dikaji secara mendalam dari
aspek hukum perikatan dan hukum perbankan, dan belum ada penelitian sebelumnya yang membahas secara spesifik dikaitkan dengan teori konsensualisme pada PT. Bank BNI (Persero). Di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sendiri terdapat dua penulisan tesis dengan topik yang sejalan, yaitu ”Penerapan Klausula Baku dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Bank kaitannya dengan Undangundang Perlindungan Konsumen pada tahun 2008, yang lebih menekankan pada perlindungan konsumen. Sementara itu, ada tesis berjudul ”Perlindungan Hukum terhadap Debitur dalam Perjanjian Kredit Bank yang Mencantumkan Asuransi Jiwa pada tahun 2013” yang menekankan pada kajian kaitan perbankan dan perasuransian. Kedua tesis tersebut tidak membahas adanya unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheid) dalam perjanjian kredit bank. Oleh sebab itu, sepanjang sepengetahuan penulis tidak pernah ada yang menulis mengenai topik permasalahan ini. Dengan demikian, originalitas penelitian mengenai topik ini masih ada.
D.
Faedah yang Diharapkan
10
Melalui tesis ini diharapkan diperoleh manfaat praktis dan teoritis sebagai berikut. (1) Dari segi praktis, temuan penelitian ini bermanfaat sebagai masukan untuk: a. Manfaat bagi penulis Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Selain itu, sebagai masukan yang berarti pada debitur perbankan mengenai kemungkinan adanya ketidakseimbangan dalam perjanjian utangpiutang pada bank. b.
Manfaat bagi Otoritas Jasa Keuangan Penelitian ini memberikan suatu masukan dan tambahan pengkajian bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), khususnya untuk menelaah implikasi hukum atas ketidakseimbangan dalam perjanjian utang-piutang yang dibentuk bank. Dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator dapat memberikan ketentuan yang taat asas dan taat adil dalam pembentukan perjanjian utangpiutang bank.
c. Manfaat bagi Bank Di sisi lain, Bank juga diharapkan mampu mengambil manfaat atas penelitian ini, khususnya mengenai sistem pembentukan perjanjian utang-piutang yang sesuai dengan asas konsensualisme. d. Manfaat bagi Debitur
11
Bagi debitur adanya penelitian ini akan memberikan konsep hukum yang baik dalam menghadapi perjanjian utang dengan bank BUMN.
(2) Dari segi teoretis, temuan penelitian ini bermanfaat untuk: Penelitian mengenai topik ini masih belum dikaji secara mendalam, khususnya dari segi hukum perikatan dan perbankan. Pendekatannya seringkali dilakukan dengan pengetahuan manajemen. Oleh sebab itu, adanya penelitian perihal perjanjian utang ini akan memberikan data penelitian dan literatur yang bermanfaat bagi pengembangan keilmuan hukum, khususnya hukum bisnis. Akan bermanfaat sebagai bahan awal kajian yang lebih mendalam bagi peneliti lainnya yang akan melakukan kajian atas perjanjian utang dengan pendekatan konsumen debitur dan perbankan.
E.
Tujuan Penelitian Tujuan yang melandasi penulisan dengan topik ini yang dimaksudkan untuk
menelaah perjanjian utang, khususnya dikaitkan dengan adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheden). Sebagai suatu tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan suatu keterangan mengenai adanya suatu peristiwa hukum, yaitu pembentukan perjanjian utang bank yang kemungkinan besar mengandung unsur unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van andigheden) secara paksa oleh kreditur.
12
F. Kerangka Teori Guna menciptakan kesatuan pemahaman dalam penelitian ini, perlu terlebih dahulu diuraikan kerangka teori yang menggambarkan definisi yang merupakan konsep khusus yang saling berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Dalam pembentukan perjanjian, tidak dapat dipungkiri ada kemungkinan kedudukan salah satu pihak lebih dominan dibandingkan pihak lainnya. Kondisi demikian dapat dianggap wajar pada tingkatan tertentu dengan maksud melindungi kepentingan haknya yang lebih besar. Namun, di sisi lain, kondisi tersebut dapat menyebabkan perselisihan jika salah satu pihak menganggap dominasi pihak lain dalam perikatan terlalu merugikan haknya. Salah satu contohnya, tidak jarang suatu perjanjian menguraikan lengkap hak pihak tertentu dengan mengurangi hak pihak lain disebabkan pihaknya telah menentukan materi muatan perjanjian secara
sepihak. Realitas demikian merupakan fenomena
mutatis mutandis yang seringkali dilakukan dan dianggap wajar. Dalam perkembangan selanjutnya, penekanan salah satu pihak kepada pihak lain dengan menetapkan perjanjian sepihak menjadi suatu risiko akibat posisi tawar menawarnya yang lemah. Kecenderungan tersebut menimbulkan risiko terhadap pihak yang lemah posisinya, meskipun pada asasnya setiap orang memikul sendiri risiko atas
13
kerugian yang menimpa barang miliknya, kecuali kalau kerugian itu dapat dipersalahkan kepada orang lain. 8 Adapun risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. 9 Pada prinsipnya adanya risiko disebabkan terjadinya suatu keadaan di luar tanggung jawab salah satu pihak. Kenyataan tersebut menciptakan suatu kondisi yang berkarakter yang tidak pasti dan ternyata sulit diprediksi oleh para pihak di dalamnya. Dedikasi para pihak untuk beritikad baik dalam menjalankan perjanjian kadangkala terbentur oleh risiko ini yang membuka peluang terjadinya perselisihan hukum. Namun, fenomena itu bukan berarti menghilangkan tanggung jawab secara serta merta salah satu pihak di dalamnya karena penentuan risiko sebagai di luar kesalahannya harus ditentukan secara teliti. Salah satu pihak kemungkinan tidak akan dapat menerima risiko atas akibat keadaan memaksa. Dalam menentukan risiko ini, Pasal 1237 KUHPerdata menentukan,“dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.” Ketentuan tersebut secara implisit menggambarkan
adanya korelasi dengan
kesepihakan seseorang dalam menanggung risiko, yang diatur dengan undang-undang.
8
J. Satrio, Hukum Perikatan: Tentang Hapusnya Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 22. 9
Subekti, op.cit., hal. 22.
14
Di samping itu, adanya ketentuan tersebut menegaskan bahwa dalam perikatan untuk memberikan suatu barang, jika barang belum diserahkan sudah rusak atau musnah karena peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian harus dipikul pihak berpiutang, yaitu pihak yang berhak menerima barang tersebut. Dalam hal risiko ini, Pasal 1460 KUHPerdata mengenai perjanjian jual beli, risiko meletakkan kepada pembeli dan Pasal 1546 KUHPerdata mengenai tukar menukar, risiko diletakkan pada kedua belah pihak. Dengan dasar tersebut sudah semestinya ada pengaturan mengenai perjanjian timbal balik, di mana jika salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, dengan sendirinya pihak yang lain juga dibebaskan dari kewajibannya. Kondisi inilah yang memungkinkan tidak terjadinya perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Namun, dalam konteks perjanjian antara debitur dan kreditur, bank sebagai kreditur tidak dapat dipersalahkan jika terjadi risiko mengingat perjanjian yang muncul adalah perjanjian utang. Sementara itu, perjanjian itu juga memuat klausula baku, yaitu aturan yang syarat-syaratnya telah ditentukan sepihak oleh bank sebagai kreditur, di mana pihaknya menyatakan tidak bertanggung jawab atas terjadinya terhambatnya kegiatan usaha. Padahal, seharusnya kreditur tidak dapat menyatakan suatu risiko demikian sebagai akibat keadaan memaksa.