I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Keberhasilan perawatan saluran akar bergantung pada teknik dan kualitas instrumentasi, irigasi, disinfeksi dan obturasi tiga dimensi pada sistem saluran akar. Kurang bersihnya saluran akar pasca preparasi memungkinkan terjadinya suatu infeksi ulang (Namrata dkk., 2011). Invasi mikroorganisme terjadi melalui celah mikro pada penutupan koronal maupun apikal gigi pasca perawatan saluran akar, hal ini kemudian sering disebut kebocoran mikro. Hingga saat ini kebocoran mikro yang terjadi pada perawatan saluran akar masih menjadi masalah utama dalam bidang kedokteran gigi. Kebocoran mikro dapat terjadi dari koronal karena restorasi jaringan keras gigi pasca perawatan saluran akar yang kurang baik. Kebocoran dari arah apikal juga terjadi karena tidak tercapainya fluid-tight seal dari obturasi saluran akar (Cohen dan Hargreaves, 2008). Irigasi yang tidak sempurna membersihkan seluruh sistem saluran akar akan mengakibatkan penetrasi bahan obturasi tidak baik, menyebabkan kemungkinan terjadi kebocoran apikal (Neelakantan dkk., 2011). Pembersihan saluran akar yang tidak adekuat diantaranya dikarenakan kurangnya preparasi yang memotong matriks dentin di apikal, kurangnya penggunaan bahan yang mampu melarutkan jaringan, kurang baiknya bentuk akhir saluran akar terkait dengan metode obturasi yang digunakan, penentuan panjang kerja yang tidak tepat, dan terjadinya ledge atau penyumbatan apikal yang mengganggu kinerja
1
bahan-bahan disinfektan (Gutmann dkk., 2006). Perawatan saluran akar yang dimulai dari preparasi saluran akar, akan selalu menghasilkan smear layer (Sen dkk., 1995). Smear layer terbentuk pada daerah yang terkikis saat dilakukan instrumentasi, terdiri dari partikel dentin, sisa jaringan pulpa vital maupun nekrosis, komponen bakteri, dan sisa bahan irigasi yang masih melekat pada dinding saluran akar (Haapasalo dkk., 2010). Sisa jaringan nekrotik pada sistem saluran akar memberikan tempat perlindungan dan sumber nutrisi bagi bakteri (Siqueira dan Roças, 2008). Smear layer harus dihilangkan karena dapat menghalangi masuknya bahan medikasi intrakanal dan siler endodontik pada tubuli dentinalis (Siqueira dan Roças, 2002). Cara untuk menghilangkan smear layer adalah dengan menggunakan bahan khelasi seperti ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), asam fosfat, asam maleat atau asam sitrat (Prado dkk., 2011). EDTA juga sering dikombinasikan dengan sodium hipoklorit untuk menghilangkan smear layer (Zehnder, 2006) EDTA merupakan asam poliprotik di mana garam natriumnya adalah agen organik yang dapat membentuk khelasi nonionik dengan ion logam. EDTA terdapat dalam bentuk cair dan gel, biasanya dipakai dalam konsentrasi 10% - 17% (Rossi-Fedele dkk., 2012). Keunggulan penggunaan EDTA sebagai bahan khelasi adalah mampu untuk menghilangkan smear layer, memperbesar tubuli dentinalis, melunakkan dentin dan mendenaturasi serat kolagen (Swaty, 2009). EDTA telah menjadi bahan irigasi pilihan pada perawatan saluran akar. Selain EDTA, asam maleat juga terbukti dapat digunakan sebagai bahan khelasi untuk irigasi akhir saluran akar (Ballal dkk., 2009). Asam maleat merupakan asam
2
organik ringan yang sering digunakan sebagai kondisioner asam pada sistem adhesif, karena dapat menghilangkan smear layer saat digunakan pada tahap restorasi gigi. Ballal dkk. (2009) meneliti tingkat sitotoksisitas antara EDTA dan asam maleat. Hasil tingkat sitotoksisitas asam maleat lebih rendah dibanding EDTA. Penelitian genotoksisitas juga membuktikan baik asam maleat maupun EDTA bukan merupakan agen genotoksik (Ballal dkk., 2013a), maka asam maleat aman dipakai sebagai irigan perawatan saluran akar. Digunakan dalam larutan dengan konsentrasi 7% karena jika lebih dari itu akan menyebabkan kerusakan tubuli dentin (Prabhu dkk., 2003). Kelebihan asam maleat adalah mampu menghilangkan smear layer lebih efektif dan efisien dibanding EDTA (Kaya dkk., 2011). Dapat mengkondisikan tubuli dentin lebih baik dari EDTA untuk perlekatan bahan adhesive dan menciptakan penutupan apikal yang lebih baik dibandingkan dengan EDTA (Ballal dkk., 2010). Tahap irigasi akan dilanjutkan dengan obturasi, material paling sering digunakan untuk obturasi saluran akar adalah guta perca dan siler. Guta perca berperan sebagai materi utama, sedangkan siler mengisi celah antara guta perca dan dinding dentin saluran akar (Jhamb dkk., 2009). Siler dilihat dari jenis bahan dasar pembuatannya terbagi menjadi siler berbasis seng oksida eugenol, resin, ionomer kaca, silicon, Mineral Trioxide Aggregate (MTA), dan calcium silicate (Tyagi dkk., 2013). Dari berbagai siler tersebut siler seng oksida eugenol merupakan jenis yang masih sering digunakan. Menurut Haseih dkk. (1999) salah satu keunggulan siler ini adalah kebocoran eugenol ke jaringan periapikal sangat rendah dan akan mengalami resorpsi dari waktu ke waktu. Siler berbahan dasar
3
seng oksida eugenol memiliki daya antimikroba yang baik, dibuktikan dengan kemampuannya mendisinfeksi tubuli dentin sampai kedalaman 250 nm (Orstavik, 1988). Menurut Upadhyay dkk. (2011) siler seng oksida eugenol merupakan siler dengan pengerutan terendah dibanding jenis siler lainnya. Selain siler berbahan dasar seng oksida eugenol, sering juga digunakan siler berbahan dasar resin yang dikenal dapat beradaptasi dengan baik pada dentin saluran akar. Siler berbahan resin khususnya resin epoksi, diteliti dapat mengisi anatomi saluran akar yang mikro dan iregular dengan baik, serta memiliki waktu seting yang lama (Tyagi dkk., 2013). Siler resin epoksi memiliki solubilitas yang rendah dibanding siler jenis lain (Azadi dkk., 2012). Kelebihan siler resin epoksi adalah kekuatan ikatannya yang sangat tinggi pada saluran akar dibandingkan siler jenis eugenol dan silicon (Fisher dkk., 2007). Hal ini senada dengan penemuan Jainaen dkk. (2007) yang mengemukakan siler resin epoksi memiliki kekuatan ikatan tekan-tarik tertinggi terhadap dentin saluran akar dibandingkan dengan jenis siler resin yang lain. Hasil penelitian (De-Deus dkk., 2007) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh irigasi akhir terhadap adhesi siler endodontik berbahan dasar resin dengan dentin saluran akar gigi. Penelitian Calt dan Serper (2002) mengemukakan bahwa penghilangan smear layer memungkinkan siler saluran akar untuk berkontak dengan dinding saluran akar, dan memasuki dinding – dinding dentin dengan sempurna. Siler bersama guta perca akan menciptakan pengisian yang hermetis yang dapat mencegah kebocoran mikro.
4
Masalah yang sering dihadapi dalam membersihkan smear layer terletak di daerah apikal saluran akar (Haapasalo dkk., 2010). Daerah sepertiga apikal dipilih untuk diteliti kebocorannya dengan pertimbangan bahwa area ini memiliki profil permukaan yang tidak teratur, adanya saluran aksesori dan ramifikasi (Vaudt dkk., 2007). Kondisi yang demikian akan memudahkan bakteri untuk masuk dan sulit dihilangkan (Moghaddam dkk., 2006). Kebersihan pada sepertiga apikal akan menjamin pembentukan barier apikal yang baik dari bahan obturasi sehingga tingkat keberhasilan perawatan akan semakin tinggi (Tzanetakis dkk 2010 ). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka timbul permasalahan apakah terdapat perbedaan kebocoran apikal antara saluran akar yang diirigasi akhir dengan EDTA 17% dan asam maleat 7% serta antara obturasi menggunakan siler berbahan dasar seng oksida eugenol dan resin epoksi. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kebocoran apikal antara gigi yang dirawat saluran akar dengan irigasi akhir EDTA 17% dan asam maleat 7% saat melakukan obturasi guta perca dengan siler berbahan dasar resin epoksi dan seng oksida eugenol. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi praktisi bahwa terdapat alternatif bahan khelasi yakni asam maleat yang setara dan dapat menggantikan EDTA untuk irigasi akhir. Bagi peneliti memberikan informasi mengenai perbandingan kebersihan saluran akar saat menggunakan irigasi EDTA
5
dan asam maleat, berserta kebocoran apikal yang timbul paska obturasi antara penggunaan siler resin epoksi dan siler seng oksida eugenol.
E. Keaslian Penelitian Terdapat berbagai penelitian yang membandingkan kebersihan saluran akar dari smear layer pada irigasi akhir dengan EDTA dan asam Maleat. Diantaranya dilakukan oleh Prabhu dkk. (2003) yang menyatakan bahwa pembersihan smear layer dengan asam maleat 7% lebih baik dibanding dengan EDTA 17%. Ulusoy dan Gorgul (2013) juga mengemukakan mengenai irigasi akhir asam maleat 7% ternyata lebih baik dibanding menggunakan EDTA 17% terutama kebersihan pada sepertiga apikal saluran akar. Penelitian dari Ballal dkk (2009) meneliti kebocoran apikal paska perawatan saluran akar dengan melihat hubungan antara kebersihan saluran akar dengan kemampuan siler resin untuk mencegah kebocoran dengan menciptakan barier apikal yang baik. Hasilnya irigasi dengan asam maleat 7% memberikan kebocoran yang lebih sedikit dibanding EDTA 17% pada obturasi dengan siler berbahan dasar resin. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan efek irigasi akhir asam maleat pada siler berbahan dasar seng oksida eugenol.
6