HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN BENTUK ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
FINKA ERMAWAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Antara Persepsi dan Bentuk Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014 Finka Ermawan NIM I34100083
ABSTRAK FINKA ERMAWAN. Hubungan Antara Persepsi dan Bentuk Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim. Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena alam yang hampir terjadi secara global. Dampak dari perubahan iklim itulah yang kini dirasakan di sektor perikanan. Dampak yang terjadi pada sektor perikanan adalah meningkatnya permukaan air laut, meningkatnya suhu permukaan air laut, dan bertambahnya intensitas terjadinya gelombang pasang. Keberadaan pesisir sangat penting bagi para nelayan, akan tetapi kini pesisir dan laut terkena dampak perubahan iklim, sehingga nelayan perlu melakukan adaptasi. Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dapat memengaruhi bentuk adaptasi yang mereka lakukan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik nelayan di Pantai Lebih, menganalisis persepsi yang dimiliki oleh nelayan terhadap perubahan iklim, serta menganalisis hubungan antara persepsi dan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif serta didukung dengan data kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik nelayan di Desa Lebih berumur tua dengan pendidikan minimal Sekolah Menegah Pertama, namun memiliki status ekonomi yang tinggi. Pengetahuan nelayan terhadap perubahan iklim ditandai dengan pengetahuan nelayan terhadap bentuk, dampak, dan penyebab perubahan iklim. Persepsi mereka didukung dengan adanya harapan nelayan dalam menghadapi perubahan iklim. Persepsi mereka membentuk sebuah adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan, yaitu diferensiasi pekerjaan dan penyesuaian pekerjaan. Kata Kunci: perubahan iklim, persepsi, nelayan, adaptasi
ABSTRACT FINKA ERMAWAN. The Correlation of Perception and Adaptation Form of Fishermen Against Climate Change. Guided by NURMALA K. PANDJAITAN Climate change is a phenomenon that occurs almost globally. The impacts of the climate change are occuring at coastal sector. The impacts that occur at the coastal area are the increasing of sea level, the increasing of sea temperature, and the increasing of tidal wave’s intensity. The coastal is very important for the fishermen, nowadays, coastal area has effected by climate change, so the fishermen will adapt with the situation. The fishermen knowledge about climate change can form a perception of fishermen against climate change. The fishermen’s perception will affect their adaptation. The research goals are to analyze the fishermen characteristics, analyze the fishermen perception, and the correlation of perception and adaptation against climate change. This research is using quantitative methods and support with qualitative data. The goals from this research that the characteristics of Lebih Village’s fishermen are in the old age category with senior high school as they minimum education, but they have a high economics status. The fishermen knowledge about climate changes are they knowledge about the climate changes forms, effects, and causes. Beside the knowledge, they perception is supported with their hope in facing climate changes. They perception is supporting fishermen adaptation in facing the climate changes. The most adaptation that doing by the fishermen are finding another job and adapt the current job with climate changes. Keywords: climate change, fishermen, perception, adaptation
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN BENTUK ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
FINKA ERMAWAN
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Persepsi dan Bentuk Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk untuk memenuhi syarat lulus di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kepada Ibu Erma Resnawati dan Bapak Asep Wachyu yang selalu memberi doa, dukungan, semangat, dan materi demi kelancaran studi penulis. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurmala K. Pandjaitan selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya, memberikan perhatian dan tenaga, mencurahkan pikiran, dan menyampaikan saran serta kritik selama penulisan skripsi ini. Serta kepada Bapak Dr. Arif Satria SP, Msi atas masukan untuk perbaikan skripsi ini. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman SKPM angkatan 47, FEMA angkatan 47, HIMASIERA, PR Community IPB, dan seluruh pihak yang telah memberikan semangat, informasi, dukungan, dan bantuan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis mengetahui bahwa skripsi ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor,
Finka Ermawan NIM. I34100083
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
1 1 3 3 3
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Perubahan Iklim Persepsi Nelayan dan Adaptasi Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional
5 5 5 6 7 11 12 12
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengambilan Informan dan Responden Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data
15 15 15 15 15 15
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
17
KARAKTERISTIK RESPONDEN
25
PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
27
HUBUNGAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DENGAN KARAKTERISTIK NELAYAN Hubungan Antara Persepsi dan Umur Hubungan Antara Persepsi dan Tingkat Pendidikan Hubungan Antara Persepsi dan Pengalaman Melaut Hubungan Antara Persepsi dan Status Ekonomi
30 30 32 33 36
ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
39
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK NELAYAN DAN ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Hubungan Antara Umur dan Bentuk Adaptasi Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Bentuk Adaptasi
40 40 42
x
Hubungan Antara Pengalaman Melaut dan Bentuk Adaptasi Hubungan Antara Status Ekonomi dan Bentuk Adaptasi
44 46
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN BENTUK ADAPTASI Hubungan Antara Bentuk Perubahan Iklim dan Bentuk Adaptasi Hubungan Antara Dampak Perubahan Iklim dan Bentuk Adaptasi Hubungan Antara Penyebab Perubahan Iklim dan Bentuk Adaptasi
51 51 53 55
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 59 59
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
65
RIWAYAT HIDUP
73
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Batas wilayah Desa Lebih Tabel 2 Jumlah fasilitas umum yang terdapat di Desa Lebih Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Lebih berdasarkan jenis kelamin Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Lebih berdasarkan kelompok umur Tabel 5 Jumlah alat tangkap nelayan di Desa Lebih tahun 2013 Tabel 6 Jumlah perahu nelayan di Desa Lebih tahun 2013 Tabel 7 Komposisi responden berdasarkan karakteristik nelayan di Desa Lebih pada tahun 2014 Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah jawaban bentuk perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah jawaban dampak perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan dampak perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan penyebab perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penyebab perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim
17 18 18 19 20 20 25
27 27
28 28
29 29 30 31 31 32 33 33 34 34 35 36
xii
Tabel 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Tabel 26 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim Tabel 27 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan diferensiasi pekerjaan Tabel 28 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan pembatasan bahan bakar Tabel 29 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan perubahan pola konsumsi Tabel 30 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan penyesuaian pekerjaan Tabel 31 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan diferensiasi pekerjaan Tabel 32 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan pembatasan bahan bakar Tabel 33 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan perubahan pola konsumsi Tabel 34 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan penyesuaian pekerjaan Tabel 35 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan diferensiasi pekerjaan Tabel 36 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan pembatasan bahan bakar Tabel 37 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan perubahan pola konsumsi Tabel 38 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan penyesuaian pekerjaan Tabel 39 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan penyesuaian pekerjaan Tabel 40 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan penyesuaian bahan bakar Tabel 41 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan perubahan pola konsumsi Tabel 42 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan penyesuaian pekerjaan Tabel 43 Nilai probabilitas hubungan antara karakteristik nelayan dengan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim berdasarkan analisis Rank Spearman Tabel 44 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan Tabel 45 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar Tabel 46 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi
36 37 39 40 41 41 42 42 43 43 44 44 45 45 46 47 47 47 48
49 51 51 52
xiii
Tabel 47 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan Tabel 48 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan Tabel 49 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar Tabel 50 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi Tabel 51 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan Tabel 52 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan Tabel 53 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar Tabel 54 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi Tabel 55 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan Tabel 56 Nilai probabilitas hubungan antara persepsi dengan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim berdasarkan analisis Rank Spearman
52 53 54 54 55 55 56 56 57
58
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Pemikiran
10
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kerangka Sampling Lampiran 2. Dokumentasi lapang Lampiran 3. Kuesioner Penelitian
65 69 71
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena alam yang terjadi secara global. Berbagai negara turut menaruh peduli pada perubahan iklim yang terjadi pada beberapa tahun kebelakang ini. Kepedulian berbagai negara tersebut terlihat dengan diselenggarakannya konferensi PBB mengenai perubahan iklim. Konferensi tersebut dilakukan guna membahas mengenai berbagai keadaan iklim di berbagai negara serta kebijakan dalam menanggulangi perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi di berbagai negara memiliki berbagai dampak bagi penduduk negara tersebut. Perubahan iklim memberikan dampak yang besar di berbagai negara. Adapun dampak dari terjadinya perubahan iklim adalah bertambahnya intensitas kejadian cuaca ekstrim di suatu wilayah, perubahan pola hujan, serta peningkatan suhu dan permukaan air laut (Surmaini et. al. 2010). Dampak perubahan iklim dapat memengaruhi keadaan di daratan maupun di pesisir atau laut. Perubahan iklim yang terjadi di daratan dapat memengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian. Hal serupa juga dapat terjadi di pesisir maupun laut. Perubahan iklim yang terjadi di pesisir atau laut dapat memengaruhi kehidupan organisme di wilayah tersebut. Sektor pertanian dan perikanan menjadi sektor yang paling sensitif terkena dampak perubahan iklim di wilayah Asia (IPCC 2007). Wilayah Asia di dominasi oleh negara-negara agraris yang menggantungkan nasibnya pada sektor pertanian maupun perikanan. Terjadinya perubahan iklim di Asia, maka sektor pertanian dan perikanan dapat terkena berbagai dampak. Pada sektor pertanian, produktivitas tanaman-tanaman pertanian dapat berkurang. Hal tersebut disebabkan meningkatnya suhu di wilayah tertentu serta kondisi tanah yang semakin terdegradasi (IPCC 2007). Menurut Muhammad et.al. (2009), yang disampaikan pada seminar nasional tentang pemanasan global, dampak yang terjadi pada sektor perikanan adalah meningkatnya permukaan air laut, meningkatnya suhu permukaan air laut, dan bertambahnya intensitas terjadinya gelombang pasang. Hal itu dapat memberikan dampak lain berupa kerusakan ekologi pesisir, yaitu mangrove dan terumbu karang (IPCC 2007). Salah satu sektor yang terkena dampak dari perubahan iklim adalah sektor perikanan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa perubahan iklim dapat merusak ekologi pesisir dan laut. Menurut NOAA (2014), meningkatnya suhu laut dapat membuat terumbu karang mengalami bleaching (pemutihan terumbu karang). Keadaan tersebut terjadi karena zooxanthellae terlepas, sehingga membuat terumbu karang menjadi berwarna putih. Kondisi tersebut menandakan bahwa terumbu karang berada dalam kondisi kritis. Kerusakan terumbu karang diperparah dengan keberadaan manusia yang melakukan perusakan terumbu karang serta penangkapan ikan secara berlebihan. Kejadian tersebut menyebabkan organisme di sekitar terumbu karang juga akan rusak dan memengaruhi ketersediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir. Dampak perubahan iklim terjadi secara global. Benua Asia termasuk pada wilayah yang terkena dampak oleh perubahan iklim. Salah satu negara di Asia
2
yang terkena dampak perubahan iklim adalah Indonesia. Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, wilayah laut Indonesia sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. Salah satu dampak dari perubahan iklim yang terjadi di laut adalah permukaan laut yang semakin meningkat. Menurut Bakosuratnal (2011), keadaan pantai utara Jawa sudah sangat mengkhawatirkan. Hal tersebut disebabkan permukaan laut yang meningkat serta diperburuk dengan penurunan tanah di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Hal itu membuat daerah-daerah di utara Pulau Jawa rentan terkena banjir rob yang disebabkan oleh pasangnya air laut dan erosi pantai. Berbagai macam cara dilakukan untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim di daerah pesisir. Menurut artikel dari BBC Indonesia (2012), Kementrian Lingkungan Hidup menggunakan cara adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim di pesisir. Hal serupa ditanggapi oleh Civil Society Forum for Climate Justice (CSF), menurut CSF, masyarakat perlu diikutsertakan dengan cara membuat jaringan-jaringan kuat antar masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi. Menurut Diposaptono (2011), terdapat upaya mitigasi serta adaptasi yang terkait dengan masyarakat. Masyarakat menjadi aktor penting dalam keberhasilan adaptasi dan mitigasi. Pada penelitian Susandi et.al. (2008) yang dilakukan di Banjarmasin, dinyatakan bahwa dampak dari kenaikan muka laut dapat menghilangkan beberapa wilayah daratan di Banjarmasin. Hal tersebut memberikan dampak pada bidang sosial dan ekonomi masyarakat Banjarmasin, diantaranya munculnya genangan air di perkotaan, terganggunya lahan-lahan produktif, serta terganggunya infrastruktur penopang hidup masyarakat. Hal tersebut menunjukkan perlunya tindakan adaptasi yang dilakukan oleh berbagai aspek masyarakat di Banjarmasin. Adaptasi yang dapat dilakukan adalah pembuatan tanggul dan relokasi penduduk di sekitar Sungai Barito yang ikut terkena dampak kenaikan permukaan laut. Selain di Provinsi Kalimantan Selatan khususnya Banjramasin, Provinsi Bali juga merupakan salah satu pulau yang sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. Provinsi Bali merupakan sebuah provinsi yang dikelilingi oleh lautan. Berbagai dampak perubahan iklim dapat terjadi di pesisir dan lautan Provinsi Bali. Bukan tidak mungkin daerah lautan di Provinsi Bali menjadi krisis akibat perubahan iklim. Di lain pihak, pemerintah pusat justru lebih memperhatikan Provinsi Bali sebagai tempat pariwisata. Pemerintah mendapatkan pemasukan dari keberadaan Bali sebagai lokasi pariwisata tanpa memperhatikan dampak dari perubahan iklim yang terjadi di Provinsi Bali. Dampak perubahan iklim yang sering terjadi di Bali adalah abrasi air laut serta kenaikan permukaan laut. Seperti yang diungkapkan VoA Indonesia (2014) pada situs resminya, tercatat 88,3 kilometer garis pantai di Bali terkena dampak abrasi. Salah satu wilayah di Provinsi Bali yang terkena dampak perubahan iklim yang mengkhawatirkan adalah wilayah pantai yang terletak di Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Kerusakan yang terjadi di perairan pantai di Desa Lebih berupa abrasi yang disebabkan oleh bertambah tingginya permukaan air laut. Abrasi yang terjadi di Pantai Lebih mengakibatkan tepi Pantai Lebih semakin mendekat ke jalan raya serta rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar pantai juga ikut terkena abrasi. Hal lain yang disebabkan oleh abrasi di Pantai Lebih adalah rusaknya sumberdaya alam di perairan Pantai
3
Lebih. Apabila sumberdaya di perairan pantai Desa Lebih terganggu, maka nelayan Desa Lebih akan semakin sulit untuk mencari ikan di perairan Desa Lebih. Sebagai upaya untuk menghindari terjadinya dampak perubahan iklim yang berkelanjutan, maka pemerintah Bali memberikan inisiatif berupa pembuatan penahan ombak pasang serta penanaman pohon di Pantai Lebih. Upaya mitigasi tersebut diharapkan mampu mengurangi dampak yang diberikan oleh perubahan iklim di Pantai Lebih. Mitigasi tersebut tidak akan berjalan lancar tanpa adanya usaha adaptasi dari masyarakat sekitar Pantai Lebih, yaitu di Desa Lebih, Kecamatan Gianyar. Masyarakat di Desa Lebih merupakan masyarakat yang didominasi oleh para nelayan yang kehidupannya sangat bergantung pada keberadaan laut. Apabila terjadi perubahan iklim di laut, maka para nelayan dari Desa Lebih perlu beradaptasi terhadap perubahaan iklim tersebut. Kehidupan keseharian nelayan dapat menentukan persepsi mereka terhadap berbagai fenomena yang terjadi di laut serta berbagai permasalahannya. Persepsi ini yang akan memengaruhi tindakan adaptasi yang akan diambil oleh para nelayan. Hal tersebut menarik untuk diteliti bagaimana hubungan antara persepsi nelayan memengaruhi perilaku adaptasi komunitas nelayan Desa Lebih terhadap perubahan iklim serta hubungan tindakan dengan persepsi yang dimiliki oleh nelayan. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat diangkat pada topik penelitian mengenai hubungan antara persepsi dan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik nelayan di Desa Lebih? 2. Bagaimana persepsi nelayan terhadap perubahan iklim? 3. Bagaimana hubungan antara persepsi dan bentuk adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim? Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian yang telah dituliskan sebelumnya, maka disusunlah beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah penelitian tersebut,yaitu : 1. Mengetahui karakteristik nelayan di Desa Lebih 2. Menganalisis persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. 3. Menganalisis hubungan antara persepsi dan bentuk adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain, yaitu : 1. Akademisi Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai Pola adaptasi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim.
4
Penelitian ini dapat menjadi referensi selanjutnya dan diharapkan dapat menambah khasanah serta kajian ilmu pengetahuan psikologi sosial dan konsep nilai yang dilakukan oleh masyarakat. 2. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun berbagai kebijakan perihal penanggulangan perubahan iklim. Selain itu menjadi acuan untuk dapat menjaga kelestarian wilayah-wilayah yang rentan terkena dampak perubahan iklim. 3. Masyarakat Setempat Hasil penelitian ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat setempat mengenai dampak dari perubahan iklim serta membangun kesadaran masyarakat untuk mau menjaga lingkungan tempat tinggalnya.
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Perubahan Iklim Perubahan iklim dapat dikatakan sebagai sebuah perubahan pada sebuah keadaan iklim yang diidentifikasi menggunakan uji statistik dari rata-rata perubahan yang terjadi atau faktor-faktor yang memengaruhinya. Perubahan iklim dapat terjadi dalam sebuah dekade atau lebih (IPCC 2007). Adapun faktor-faktor yang memengaruhi iklim menurut IPCC (2007) terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal pada perubahan iklim adalah proses alami yang terjadi pada atmosfer hingga ke biosfer. Sementara faktor eksternal dari perubahan iklim adalah pengaruh dari aktivitas makhluk hidup, khususnya manusia terhadap iklim. Perubahan iklim dapat memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung pada aktivitas manusia (UNFCCC 2000). Menurut Diposaptono (2011), perubahan iklim dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya keadaan iklim yang ekstrim, sehingga memunculkan banyak peristiwa alam, seperti badai, kekeringan, banjir, dan lain-lain. Selain itu, perubahan iklim dapat meningkatkan suhu permukaan air laut. Sekitar 80% suhu udara diserap oleh laut. Peningkatan suhu permukaan air laut dapat memengaruhi pada keberadaan organisme laut. Perpindahan hewan karena ketidaksesuaian kondisi tempat hidupnya yang berubah, seperti halnya pada ikan. Pola migrasi ikan akan berubah seiring dengan terjadinya kenaikan suhu permukaan air laut (Patriana 2011). Menurut IPCC (2007) perubahan iklim diperlihatkan dengan peningkatan suhu global yang disertai dengan kenaikan permukaan air laut antara 15-95 cm. Kejadian ini terjadi bersamaan dengan mengembangnya volume air dan mencairnya es di kedua kutub bumi. Meningkatnya permukaan air laut dapat menenggelamkan beberapa gugus pulau karang, selain itu dapat mengubah keberadaan lingkungan pantai (Muhammad et.al. 2009). Perubahan iklim di Indonesia sangat terkait dengan fenomena seperti kemarau panjang, angin kencang, iklim ekstrim, dan gelombang besar yang semakin sering terjadi (Boer et.al. 2010 dalam Kementrian Kehutanan 2013). Hal lainnya yang menjadi bentuk perubahan iklim di Indonesia adalah perubahan pola musim hujan dan kemarau. Fenomena tersebut ditandai dengan pergeseran awal musim hujan dan perubahan pola hujan. Di wilayah selatan Jawa dan Bali intensitas curah hujan cenderung meningkat dengan periode yang lebih singkat (Kementrian Pertanian 2011). Sebagai salah satu bentuk perubahan iklim, kenaikan permukaan laut tentunya dapat memberikan dampak bagi lingkungan. Kenaikan permukaan laut dapat memberikan dampak berupa erosi pantai. Erosi merupakan terkikisnya tanah atau pasir oleh ombak. Hal tersebut dapat berdampak pada tebing yang rentan terhadap erosi, terumbu karang, serta pantai berpasir dan pantai berlumpur . Pada penelitian Surmaini, et al. (2010) dikatakan bahwa dampak perubahan iklim di wilayah Indonesia salah satunya adalah perubahan pola hujan. Hal tersebut
6
terlihat dari awal musim hujan yang mundur ataupun maju di beberapa wilayah di Indonesia. Perubahan iklim memberikan dampak yang serius bagi beberapa sektor. Salah satu sektor yang terkena dampak perubahan iklim paling parah adalah sektor pantai dan laut (UNFCCC 2007). Pertumbuhan dan perkembangan sektor pantai dan laut sangat bergantung pada keberadaan iklim. Keragaman suhu, kelembaban udara, dan curah hujan dapat memengaruhi produksi ikan (Aphunu dan Nwabeze 2012). Keragaman tersebut menentukan distribusi, migrasi, dan kelimpahan populasi ikan (Zhang et.al. 2012). Adapun dampak perubahan iklim yang dapat dirasakan oleh nelayan adalah berubahnya pola melaut, tingginya intensitas badai, dan ketidakpastian cuaca (Lekatompessy et al 2013) Pemanasan global merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Pemanasan global merupakan peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan. Radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi diserap oleh permukaan bumi dan atmosfer. Dengan begitu, iklim di bumi semakin panas. IPCC (2007) dalam Aphunu dan Nwabeze (2012) menyatakan bahwa aktivitas manusia merupakan hal yang paling mungkin menjadi penyebab perubahan iklim. Beberapa aktivitas manusia yang menjadi penyebab perubahan iklim adalah pembakaran minyak, batu bara, dan gas alam. Hal tersebut yang membuat terjadinya efek rumah kaca, akhirnya menyebabkan pemanasan global. Persepsi Menurut Baron dan Byrne (2004) persepsi adalah suatu proses memilih, mengorganisir, dan menginterpretasi informasi dikumpulkan oleh pengertian seseorang dengan maksud untuk memahami dunia sekitar. Sementara menurut Mulyana (2010) dalam Purnamasari (2012) persepsi manusia terbagi menjadi dua, yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia. Persepsi dilakukan berdasarkan pengalaman masa lalu yang berkaitan dengan objek dan orang. Myers (2012) mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah arahan seseorang untuk berperilaku. Persepsi dapat menjadi panduan atas tindakan berdasarkan makna yang diberikan pada stimulus yang dirasakan. Pengertian ini didasarkan pada saat terdapat suatu stimulus yang menarik perhatiannya, maka yang akan terjadi adalah suatu proses perceiving dan meaning. selain itu, terdapat pula interpretasi terhadap simbol-simbol yang ada pada stimulus tersebut. Proses persepsi tersebut dipengaruhi oleh konteks dimana individu tersebut berada. Selain dari hal yang telah disebutkan, kemampuan persepsi seseorang dapat pula dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor internal (Myers 2012). Faktor lingkungan terdiri intensitas terjadinya sebuah stimulus, ukuran sebuah stimulus, pengulangan stimulus yang sama, kemudahan untuk dicermati, gerakan yang diberikan oleh stimulus, serta keberadaan objek pada sebuah situasi. Sementara itu, yang dimaksud dengan faktor internal terdiri atas faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang didasari pada hasil penerimaan kelima indra manusia. Faktor psikologis dapat meliputi, motivasi, pengalaman, dan pengetahuan sebagai hasil pembelajaran di masa lalu. Persepsi juga didefinisikan sebagai sebuah proses saat individu mengorganisasikan serta menafsirkan kesan indera mereka agar memberikan
7
makna pada lingkungan mereka Robbins (2001) dalam Purnamasari (2012). Dalam sumber yang sama terdapat faktor-faktor yang dapat memengaruhi persepsi seseorang, yaitu 1. Individu Seorang individu dapat dipengaruhi oleh karakteristik individualnya dalam proses persepsi. Karakteristik individu tersebut meliputi sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, pengetahuan, dan harapan. 2. Obyek persepsi Obyek persepsi dalam hal ini dapat berupa manusia, benda, maupun peristiwa. Karakteristik obyek persepsi dapat memengaruhi persepsi. Obyek persepsi tidak dapat dipersepsikan sendiri, tetapi dilihat keterkaitannya antara obyek persepsi dengan lingkungan sekitarnya. 3. Situasi Persepsi dapat dilihat secarah menyeluruh, maksudnya situasi yang terjadi pada saat proses persepsi terjadi juga perlu mendapatkan perhatian. Faktor-faktor situasi ini meliputi waktu, kondisi sebuah lokasi, dan keadaan sosial. Persepsi yang selektif dapat merupakan salah satu kunci dalam menentukan sikap serta perilaku. Persepsi memahami objek dan kemudian menginterpretasikannya menjadi sebuah perilaku. Pemaknaan suatu objek dapat bergantung pada perseptornya. Proses memahami lingkungan juga menjadi penting dalam upaya menentukan perilaku yang akan dilakukan olehnya. (Ross dan Nisbett 1991). Dalam Borberg (2009) terdapat faktor-faktor yang membuat seseorang mau melakukan sebuah tindakan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Persepsi seseorang terhadap resiko yang diberikan perubahan iklim merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan. Persepsi terhadap resiko yang dimiliki dapat terbentuk dari pengetahuan mereka sehari-hari dan pengalaman. Pengalaman dapat memengaruhi seorang nelayan untuk bertindak terhadap perubahan iklim. Nelayan dan Adaptasi Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam penangkapan ikan atau binatang air (Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan 2007 dalam Patriana 2011). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pekerja yang membuat jaring, pengangkut alat penangkapan ke dalam perahu tidak diartikan sebagai nelayan. Karakteristik masyarakat pesisir merupakan sebuah representasi komunitas desa-pantai yang dapat dilihat dari berbagai aspek menurut Satria (2002) dalam Helmi (2011). Aspek-aspek tersebut meliputi sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, peran wanita, struktur sosial, dan posisi sosial nelayan. Pada penelitian Patriana (2011) dijelaskan bahwa ciri-ciri nelayan yang dapat diamati meliputi umur, pendidikan, lama tinggal di wilayah pesisir, pengalaman nelayan, serta klasifikasi nelayan.
8
Menurut penelitian Sumarti dan Saharudin (2003) dalam Helmi (2011), klasifikasi nelayan didasarkan pula pada kepemilikan perahu, alat tangkap, dan etnis. Lapisan atas memiliki kriteria perahu berkapasitas besar dan jenis alat tangkap yang bervariasi, lapisan kedua memiliki kriteria perahu yang dimiliki adalah jenis pompong dan rubin serta memiliki lahan secukupnya untuk digunakan sebagai pertanian sawah, lapisan ketiga adalah nelayan dengan kriteria perahu dan alat tangkap yang dimilikinya adalah hasil warisan generasi sebelumnya. Penyesuaian diri terhadap perubahan iklim memerlukan penanganan yang tepat untuk dapat mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim dengan melakukan tindakan yang tepat. Berbagai tindakan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk menghadapi perubahaan iklim yang terjadi di setiap daerah. Terdapat dua tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi (Tauli-Corpuz et al 2008). Menurut Diposaptono (2011) mitigasi perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam dalam menyerap emisi tersebut. Langkah mitigasi yang dinilai paling baik adalah perubahan gaya hidup individu maupun kolektif, serta mengubah arah pembangunan ke arah sistem yang berkelanjutan serta rendah karbon (Baldo-Soriano et al 2010). Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang bersifat reaktif maupun antisipatif (Diposaptono 2011). Dalam hal ini, upaya adaptasi yang dapat dilakukan dalam menanggulangi perubahan iklim di pesisir adalah membuat penahan gelombang, diversifikasi alat tangkap, mengadopsi teknologi dan metode tangkap baru, serta mencari alternatif lain dalam menambah penghasilan (Patriana 2011). Lekatompessy (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa adaptasi terhadap lingkungan dibentuk berdasarkan tindakan yang berulang-ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Adapun bentuk adaptasi nelayan di Pulau Badi dapat melakukan lebih dari satu bentuk adaptasi. Adapun bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Pulau Badi dan Pulau Pajenekang yaitu, melakukan penganekaragaman alat dan teknik penangkapan, memperluas daerah penangkapan, menganekaragamkan sumber pendapatan, memobilisasi anggota rumah tangga, dan memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain. Terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengetahui pola adaptasi yang tepat yang dapat dilakukan oleh seseorang, yaitu persepsi terhadap perubahan iklim, pengukuran adaptasi yang akan dilakukan, dan faktor-faktor terhadap adaptasi perubahan iklim (Benedicta et al 2010 dalam Ajibefun dan Fatuase 2012). Faktor-faktor tersebut dapat memengaruhi seseorang dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi adaptasi perubahan iklim adalah umur, pendidikan, pengalaman sebelumnya terhadap perubahan iklim, dan ilmu pengetahuan (Nguyen et al 2012). Dalam penelitian Wiyono (2008) disebutkan bahwa terdapat hal-hal yang membedakan adaptasi dalam lingkungan nelayan, yaitu tingkat pendidikan dan orientasi ekonomi. Orientasi ekonomi seorang nelayan adalah memenuhi kebutuhan keluarga dengan menangkap ikan, sehingga cenderung untuk tetap melaut. Perekonomian nelayan yang dilihat berdasarkan kekayaan atau
9
kepemilikan perahu dan alat tangkap dapat menjadi indikator dalam pelapisan nelayan (Helmi 2011). Sebuah penelitian di Oregon menyatakan bahwa memiliki informasi mengenai perubahan iklim sangat penting untuk dapat menunjukkan perilakunya terhadap perubahan iklim. Faktor lainnya yang dapat memengaruhi perilaku dalam menghadapi perubahan iklim adalah niat seseorang untuk menanggapi perubahan iklim, persepsi terhadap perubahan iklim, perasaan bertanggung jawab untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim, dan norma-norma mengenai perubahan iklim (Borberg 2009).
Kerangka Pemikiran Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena yang memungkinkan terjadinya berbagai kejadian iklim yang ekstrim. Perubahan iklim dapat terjadi hampir secara global. Perubahan iklim dapat terjadi pada berbagai bidang kehidupan. Bidang perikanan dan kelautan merupakan salah satu bidang kehidupan yang terkena perubahan iklim. Masyarakat pada bidang kehidupan tersebut harus memiliki sebuah tindakan untuk dapat menghadapi perubahan iklim. Aktor utama yang menjadi sorotan adalah nelayan. Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dapat membantu nelayan melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim. Selain dari persepsi yang dimiliki oleh nelayan terhadap perubahan iklim, terdapat faktor yang dapat memengaruhi adaptasi perubahan iklim. Dalam hal ini, faktor yang memengaruhi nelayan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah karakteristik nelayan. Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim merupakan proses untuk memahami dan menginterpretasikan perubahan iklim yang sedang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dapat diketahui berdasarkan dua dimensi yaitu pengetahuan dan harapan. Pengetahuan dan harapan nelayan terhadap perubahan iklim diketahui berdasarkan empat hal, yaitu pengetahuan terhadap bentuk perubahan iklim, pengetahuan terhadap dampak perubahan iklim, dan pengetahuan terhadap penyebab perubahan iklim. Baik pengetahuan maupun harapan nelayan keduanya memiliki hubungan dengan adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi perubahan iklim. Terdapat faktor-faktor yang dapat memengaruhi terbentuknya adaptasi. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi terbentuknya adaptasi adalah karakteristik nelayan. Karakteristik nelayan yang akan dianalisis adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman melaut, serta status ekonomi yang dimiliki nelayan pada saat ini. Status ekonomi nelayan dapat diketahui berdasarkan kepemilikan alat tangkap serta sarana untuk melaut, yaitu perahu. Karakteristik nelayan tersebut merupakan kondisi nelayan pada saat penelitian dilakukan. Adaptasi yang terbentuk dapat terlihat berdasarkan diferensiasi pekerjaan, yaitu kepemilikan pekerjaan alternatif selain nelayan sebagai pekerjaan utama mereka. Selain itu, adaptasi juga dapat terlihat dari pembatasan bahan bakar serta perubahan pola konsumsi. Pembatasan bahan bakar yang dilakukan berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan oleh seorang nelayan dalam melakukan kegiatan melaut pada setiap harinya. Sementara itu, perubahan pola konsumsi berkaitan dengan jumlah serta waktu seorang nelayan dalam mengkonsumsi makanan pangan. Adaptasi terakhir yang dianalisis dalam penelitian ini adalah penyesuaian pekerjaan. Ketidakjelasan kondisi laut yang terjadi membuat nelayan harus melakukan penyesuaian terhadap pekerjaannya, yaitu nelayan. Hal tersebut dapat digambarkan pada kerangka pemikiran yang disajikan pada gambar berikut ini.
12 Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
Bentuk Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
Bentuk perubahan iklim Dampak perubahan iklim Penyebab perubahan iklim
Diferensiasi pekerjaan Pembatasan bahan bakar Perubahan pola konsumsi Penyesuaian pekerjaan
Karakteristik Nelayan
Umur Tingkat pendidikan Pengalaman melaut Status Ekonomi
Keterangan : : Memengaruhi Gambar 1 Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Kerangka pemikiran (Gambar 1) menyatakan beberapa hipotesis penelitian, yaitu: 1. Terdapat hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dan bentuk adaptasi yang dilakukan nelayan terhadap perubahan iklim. 2. Terdapat hubungan antara karakteristik dan persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. 3. Terdapat hubungan antara karakteristik dan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi perubahan iklim. Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dari masing-masing variabel dalam penelitian ini, antara lain : 1. Faktor yang memengaruhi adaptasi adalah faktor-faktor yang dapat memengaruhi jenis adaptasi yang dilakukan oleh nelayan. Faktor-faktor tersebut adalah karakteristik nelayan yang terdiri dari: a. Umur merupakan selisih antara tahun responden dilahirkan dengan tahun dilakukannya penelitian. b. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh responden hingga penelitian ini dilakukan. c. Pengalaman melaut adalah lama seorang responden melakukan kegiatan melaut sebagai pekerjaan utama.
13
d. Status ekonomi merupakan keadaan ekonomi masyarakat yang dilihat berdasarkan kepemilikan alat-alat yang dapat mendukung kegiatan melaut dan produksi ikan. 2. Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah kemampuan nelayan mengetahui tanda-tanda alam (angin, suhu, astronomi, biota, dan arus laut) karena terjadi perubahan dari kebiasaan sehari-hari. Pengukuran persepsi nelayan dapat diukur dengan menggunakan hal-hal berikut ini : a. Pengetahuan bentuk perubahan iklim adalah berbagai kejadian-kejadian alam yang diketahui oleh nelayan mengenai fenomena perubahan iklim. Responden diberikan beberapa pilihan jawaban, yaitu peningkatan suhu air laut, keadaan musim yang tidak menentu, peningkatan permukaan laut, dan lokasi ikan yang tidak jelas. Jawaban yang dipilih dapat lebih dari satu pilihan jawaban sehingga jumlah total bisa lebih dari jumlah responden. b. Pengetahuan dampak perubahan iklim adalah berbagai dampak yang terjadi akibat terjadinya perubahan iklim yang diketahui serta dialami oleh nelayan. Adapun pilihan jawaban yang disediakan, yaitu terganggunya kegiatan melaut, jumlah tangkapan berkurang, mengurangi populasi ikan, dan meningkatkan potensi abrasi. Pilihan jawaban dapat dipilih sebanyak lebih dari satu sehingga jumlah total bisa lebih dari jumlah responden. c. Pengetahuan penyebab perubahan iklim adalah berbagai penyebab yang diketahui oleh nelayan sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Penyebab perubahan iklim meliputi dua hal yaitu, perilaku manusia yang meliputi penggunaan bahan bakar dan penggunaan listrik berlebihan. Penyebab lainnya berasal dari lingkungan, yang meliputi gempa, cuaca, dan angin. Nelayan dapat memilih keduanya atau tidak memilih penyebab perubahan iklim apabila tidak mengetahui penyebab perubahan iklim. 3. Bentuk adaptasi nelayan adalah penyesuaian yang dilakukan oleh nelayan terhadap berbagai peristiwa yang disebabkan oleh perubahan iklim. Pengukuran adaptasi nelayan dilakukan dengan memperhatikan beberapa dimensi, yaitu : a. Diferensiasi pekerjaan adalah kepemilikan pekerjaan alternatif selain pekerjaan sebagai nelayan. b. Pembatasan bahan bakar adalah membatasi jumlah bahan bakar yang digunakan pada setiap kegiatan melaut dilakukan. c. Perubahan pola konsumsi adalah perubahan kegiatan konsumsi pangan yang dilakukan oleh nelayan sehari-hari. d. Penyesuaian Pekerjaan adalah tindakan yang dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi fenomena perubahan iklim.
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode survey. Metode ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada nelayan. Kuesioner tersebut digunakan untuk mendapatkan data kuantitatif. Data tersebut dilengkapi oleh data kualitatif yang dapat memberi penjelasan tambahan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah: 1. Pantai Lebih merupakan salah satu pantai yang terkena dampak perubahan iklim paling tinggi. 2. Menurut artikel yang dimuat pada Kompas.com pada 25 Desember 2012, terdapat penahan ombak sebagai tindakan sementara yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi dampak perubahan iklim di Pantai Lebih. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu lima bulan, dimulai pada bulan Februari 2014 sampai dengan bulan Juni 2014. Teknik Pengambilan Informan dan Responden Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Jumlah populasi nelayan adalah 170 orang. Responden dipilih secara purposive yaitu nelayan di Pantai Lebih yang mengetahui tentang perubahan iklim dengan jumlah 60 orang. Penelitian ini melibatkan informan yaitu pihak-pihak yang bukan nelayan, namun mengenal keadaan nelayan dan juga perubahan iklim yang terdiri dari Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gianyar, Kepala Desa Lebih, dan ketua nelayan. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data Primer didapatkan dari pengambilan data langsung di lapangan melalui kuesioner yang diberikan kepada responden dan wawancara kepada informan. Data sekunder didapatkan dari data-data yang ada di Desa Lebih dan data-data lain yang berasal dari dinas terkait. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang telah diperoleh dari kuesioner selanjutnya diolah dengan melakukan tabulasi silang menggunakan Microsoft Excel 2010. Untuk uji statistik dilakukan dengan menggunakan analisis hubungan, yaitu Rank Spearman. Sementara itu, data kualitatif yang telah dikumpulkan, dituliskan untuk dapat melengkapi dan menjelaskan data kuantitatif yang telah diperoleh.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis Desa Lebih terletak di Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan luas wilayah 205 Ha. Desa Lebih termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian 5 m sampai 25 m dari permukaan air laut. Desa tersebut memiliki batas-batas wilayah yang dapat dilihat pada tabel 1 : Tabel 1 Batas wilayah Desa Lebih Batas wilayah Sebelah utara Sebelah timur Sebelah selatan Sebelah barat
Keterangan geografi Desa Tegal Tugu Desa Temesi dan Desa Tulikup Selat Badung Desa Serongga
Sumber: Profil Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Tahun 2014
Jarak antara pusat Desa Lebih dengan pusat Kabupaten Gianyar adalah 4.5 Km dengan waktu tempuh 15 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Kondisi jalan di Desa Lebih dapat dikatakan sudah baik karena telah dilakukan pengaspalan. Sementara itu, waktu tempuh dari Ibukota Provinsi Bali adalah 60 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor melalui Jalan Bypass Ida Bagus Matra yang menghubungkan antara Denpasar dengan Karangasem. Selain melalui Jalan Bypass Ida Bagus Matra, untuk menuju Desa Lebih dapat menggunakan jalur dalam kota yang dapat membutuhkan waktu tempuh sekitar 120 menit. Desa Lebih memiliki lokasi pemukiman penduduk yang tersebar pada banjar-banjar warga, akan tetapi jarak antara setiap rumah hanya dipisahkan oleh dinding tembok. Antara setiap banjar dihubungkan oleh jalan aspal. Selain itu, terdapat lahan pertanian yang ditanami oleh tanaman padi dan palawija di samping jalan tersebut. Terdapat 3 banjar di Desa Lebih yang terdiri dari: a. Banjar Lebih Beten Kelod Banjar Lebih Beten Kelod merupakan banjar yang letak geografisnya berada paling selatan. Kata beten sendiri memiliki arti bawah dan kelod berarti selatan. Banjar ini berbatasan langsung dengan Jalan Bypass Ida Bagus Matra dan Pantai Lebih. Para nelayan yang bekerja mencari ikan di Pantai Lebih sebagian besar merupakan warga Banjar Lebih Beten Kelod. Di pemukiman nelayan terdapat pula tempat pengolahan ikan. Ikan tersebut diolah dengan cara diasap atau dijadikan sate. b. Banjar Lebih Duur Kaja Banjar Lebih Duur Kaja merupakan banjar yang terletak sedikit lebih tinggi dari Banjar Lebih Beten Kelod. Pusat Desa Lebih berada di banjar ini. Di Banjar Lebih Duur Kaja terdapat kantor perbekel, kantor pamong praja, dan kantor kepolisian. Selain itu, terdapat pula beberapa tempat ibadah. c. Banjar Kesian Banjar Kesian merupakan banjar baru yang ada di Desa Lebih. Pada awalnya, banjar Kesian memiliki nama Banjar Batan Tingkih. Namun, banjar tersebut berganti nama dan berpindah letak. Letaknya yang lebih tinggi
18
membuat sebagian penduduk di daerah ini memiliki mata pencaharian sebagai petani. Di banjar ini dapat terlihat beberapa petak sawah yang terhampar. Berdasarkan aspek keagamaan dan adat, Desa Lebih terbagi menjadi 2 Desa Pakraman, yaitu Desa Pakraman Kesian dan Desa Pakraman Lebih. Desa Pakraman Kesian terdiri dari 1 Banjar Adat yang memiliki 1 Pura Khayangan Tiga dan 3 Pura Khayangan Desa. Sementara itu, Desa Pakraman Lebih terdiri dari 2 Banjar Adat yang memiliki 1 Khayangan Tiga dan 12 Pura Khayangan Desa. Untuk memelihara kebersamaan dan kekerabatan antara Desa Pakraman, setiap tahun diadakan gotong royong bersih-bersih pura-pura khayangan dan kuburan desa. Di Desa Lebih, terdapat berbagai fasilitas umum yang meliputi fasilitas umum di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Berikut ini merupakan fasilitas- fasilitas umum yang terdapat di Desa Lebih: Tabel 2 Jumlah fasilitas umum yang terdapat di Desa Lebih Fasilitas n Keagamaan 17 Pendidikan 4 Ekonomi 1 Kesehatan 5 Sumber: Profil Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Tahun 2014
Fasilitas keagamaan berupa Pura Khayangan berada di setiap banjar. Fasilitas Pendidikan terdiri dari 3 Sekolah Dasar dan 1 Sekolah Taman KanakKanak (TK). Untuk fasilitas umum di bidang ekonomi yang terdapat di Desa Lebih adalah pasar. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh Desa Lebih adalah 1 puskesmas, 1 puskesmas pembantu, dan 3 posyandu yang berada di setiap banjar. Keadaan Penduduk Menurut data demografi Desa Lebih tahun 2013, jumlah penduduk di Desa Lebih berjumlah 6909 jiwa. Jumlah penduduk yang ada, terbagi atas 1563 Kepala Keluarga dengan rata-rata terdiri dari 3-5 orang. Kepadatan penduduk di Desa Lebih mencapai 33,70 jiwa per km2 pada tahun 2013. Adapun jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin terdapat pada tabel 3 yang menunjukkan bahwa jumlah keduanya hampir sama, akan tetapi sedikit lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Lebih berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin n % Laki-Laki 3421 49.5 Perempuan 3488 50.5 Jumlah 6909 100.0 Sumber: Profil Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Tahun 2014
19
Penduduk dapat pula diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur. Pengelompokan umur terbagi atas kelompok umur bayi (kurang dari 1 tahun), kelompok umur balita (1 tahun – kurang dari 5 tahun), kelompok umur Sekolah Taman Kanak-Kanak (5 tahun – 6 tahun), kelompok umur wajib sekolah (lebih dari 6 tahun – 15 tahun), kelompok umur produktif (lebih dari 15 tahun – 56 tahun), dan kelompok umur tua (lebih dari 56 tahun). Tabel 4 memperlihatkan jumlah penduduk di Desa Lebih berdasarkan kelompok umurnya.
Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Lebih berdasarkan kelompok umur Kelompok umur n % Bayi 78 0.1 Balita 347 5.0 Sekolah Taman Kanak-Kanak 231 3.4 Sekolah Wajib 1017 14.7 Produktif 4285 62.0 Tua 951 13.8 Jumlah 6909 100.0 Sumber: Profil Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Tahun 2014
Dengan jumlah penduduk Desa Lebih yang berada pada kelompok umur produktif, maka sebagian besar penduduk Desa Lebih membutuhkan pekerjaan yang layak agar bisa memenuhi kebutuhan pribadi maupun keluarga. Terdapat beberapa sektor yang dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka, yaitu sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perdagangan, jasa, pariwisata, dan industri rumah tangga. Menurut data berdasarkan profil Desa Lebih, total pendapatan penduduk Desa Lebih dari seluruh sektor tersebut dapat mencapai Rp 19.727.951.000,00. Adapun pendapatan bersih yang didapatkan oleh penduduk Desa Lebih pada tahun 2013 adalah Rp.14.700.000,00. Nelayan di Desa Lebih Seluruh nelayan memiliki tempat tinggal di Banjar Lebih Beten Kelod. Lokasi tersebut dipilih oleh nelayan sebagai tempat tinggalnya karena berada sangat dekat dengan Pantai Lebih. Jarak antara kantor banjar dengan pantai adalah 200 m. Jarak tempuh menggunakan kendaraan bermotor menuju Pantai Lebih dari Banjar Lebih Beten Kelod hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit. Salah satu ciri khas yang menandakan bahwa banjar ini merupakan pemukiman nelayan adalah terdapat warung-warung yang menjual berbagai hasil olahan ikan, seperti baso ataupun sate lilit. Nelayan di Desa Lebih setiap hari melaut dan menangkap ikan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Kegiatan penangkapan tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem One Day Fishing (penangkapan sehari). Para nelayan tersebut biasanya melaut di perairan Pantai Lebih atau di sekitar Selat Badung. Waktu melaut nelayan kini dilakukan selama 3-4 jam untuk satu kali melaut.
20
Untuk melakukan penangkapan ikan, nelayan menggunakan berbagai alat tangkap, yang terdiri dari: Tabel 5 Jumlah alat tangkap nelayan di Desa Lebih tahun 2013 Jenis alat tangkap n Jaring Insang 120 Pancing 109 Sumber: Data Dinas Perikanan dan Peternakan Kecamatan Gianyar tahun 2013
Nelayan menggunakan jaring insang maupun pancing dalam kegiatan mereka menangkap ikan. Jaring insang dapat menangkap ikan dalam jumlah besar untuk satu kali melakukan penebaran jaring. Berbeda dengan pancing, nelayan hanya menggunakannya untuk menangkap ikan dengan jumlah satuan. Penggunaan alat tangkap oleh nelayan dilakukan pada lokasi-lokasi yang berbeda. Pancing sering digunakan pada jarak yang cukup dekat dengan pantai, yaitu kurang lebih 1 km. Sementara jaring digunakan nelayan untuk menangkap ikan yang berada ditengah laut, kurang lebih berjarak 3-4 km. Selain dari penggunaan alat tangkap, nelayan juga menggunakan perahu untuk mencari ikan. Terdapat beberapa jenis perahu yang digunakan oleh nelayan di Desa Lebih yang dijelaskan pada tabel 6: Tabel 6 Jumlah perahu nelayan di Desa Lebih tahun 2013 Jenis perahu n Perahu papan 15 Jukung 94 Perahu Motor (5-15 Pk) 87 Sumber: Data Dinas Perikanan dan Peternakan Kecamatan Gianyar tahun 2013
Perahu papan yang biasa digunakan adalah perahu berukuran kecil yang menggunakan dayung. Nelayan Desa Lebih biasa menyebutnya dengan perahu kano. Perahu jukung adalah perahu yang berukuran lebih besar dan menggunakan layar serta dayung untuk menggerakannya. Sementara itu, nelayan yang menggunakan perahu motor memiliki ukuran yang sama dengan perahu jukung. Mesin yang digunakan oleh para nelayan berukuran 5-15 Pk dengan menggunakan bahan bakar solar. Perbedaan ukuran perahu membuat jumlah ikan yang dapat ditampung berbeda-beda. Untuk perahu kano, nelayan hanya dapat menampung 3-5 kg untuk setiap kali melaut. Untuk perahu jukung dan perahu mesin, nelayan dapat menampung ikan sampai 30 Kg. Daya jelajah perahu juga berbeda-beda, perahu papan hanya dapat berlayar sejauh 1-3 Km dari pinggir pantai. Nelayan dengan perahu jukung dapat melaut sampai 5 Km dari pinggir pantai. Untuk perahu yang menggunakan mesin dapat membawa nelayan sampai ke perairan Nusa Penida yang berjarak lebih dari 5 km. Adapun jenis-jenis ikan yang biasanya ditangkap oleh nelayan di perairan Pantai Lebih dan Selat Badung adalah ikan tongkol, lemuru, tenggiri, lemadang, cakalang, kerapu, bambangan, cucut, dan kuwe. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Peternakan Kecamatan Gianyar, nelayan memperoleh pendapatan
21
total sebesar Rp 2.880.000.000,00 pada tahun 2013. Pendapatan tersebut naik sebesar 2.04 % dari pendapatan nelayan yang dimiliki pada tahun sebelumnya. Kondisi Pantai Lebih Pantai lebih merupakan sebuah kawasan pantai yang berada di Pantai Lebih. Pemberian nama pantai dilakukan berdasarkan nama desa agar wisatawan lebih mudah untuk mengingat nama pantai tersebut. Pantai Lebih berjarak 7 km dari pusat Kota Gianyar dan berjarak 2.5 km dari kantor banjar Desa Lebih. Waktu tempuh dari pusat Kota Gianyar ke Pantai Lebih apabila menggunakan kendaraan bermotor adalah 20 menit, sementara dari pusat Desa Lebih menempuh waktu 10 menit. Sementara itu, waktu tempuh dari Ibukota Provinsi Bali mencapai 45 menit dengan menggunakan jalan bypass Ida Bagus Matra. Kawasan Pantai Lebih merupakan salah satu daerah wisata yang berada di Kabupaten Gianyar. Setiap akhir pekan, Pantai Lebih akan dipadati oleh wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Para wisatawan menikmati keindahan pasir hitam yang berada di tepi Pantai Lebih. Wisatawan juga dapat menikmati sajian kuliner berupa hasil olahan ikan yang berada di warung-warung tepi Pantai Lebih. Warung-warung tersebut dimiliki oleh para nelayan yang sehari-harinya melaut di Pantai Lebih. Perahu-perahu yang digunakan oleh nelayan biasanya disandarkan oleh nelayan di tepi Pantai Lebih sehingga dapat ditemui banyak sekali berbagai jenis perahu. Mesin perahu yang biasa digunakan oleh nelayan untuk melaut dibawa ke rumah mereka masing-masing untuk menghindari kerusakan mesin atau pencurian mesin. Di Pantai Lebih, terdapat beberapa bentuk perubahan iklim yang terjadi, yaitu kenaikan permukaan air laut, tidak jelasnya musim hujan, dan abrasi. Abrasi merupakan salah satu bentuk perubahan iklim yang sudah lama terjadi di kawasan Pantai Lebih. Bagi para nelayan, abrasi yang terjadi terlihat dari hilangnya daratan yang ada di pantai. Daratan-daratan yang biasanya tidak terkena ombak, pelanpelan mulai terkena ombak. Pasir yang ada di daerah tersebut pun lambat laun terbawa oleh air sehingga daratan yang ada terus berkurang. Abrasi yang terjadi di Pantai Lebih diperparah dengan kenaikan permukaan air laut. Walaupun tidak terlihat dengan jelas, nelayan dapat merasakan hal tersebut. Kejadian tersebut terlihat dari jarak pantai yang semakin dekat dengan warung-warung di tepi pantai. Beberapa tahun yang lalu, terdapat Tempat Penurunan Ikan (TPI) bagi nelayan yang baru selesai melaut. Akan tetapi, kini TPI tersebut sudah tidak ada karena telah hancur terkena ombak besar dan akhirnya terbawa ke laut. Perubahan iklim juga terlihat dengan sering munculnya cuaca ekstrim di Pantai Lebih. Cuaca ekstrim yang dimaksudkan adalah keadaan cuaca yang berada di suatu wilayah dengan jangka waktu pendek. Beberapa peristiwa cuaca ekstrim yang terjadi di Pantai Lebih adalah intensitas curah hujan yang tinggi dan sering terjadi gelombang besar. Curah hujan tinggi di Desa Lebih biasanya terjadi pada bulan Oktober hingga April, tetapi tidak jarang curah hujan tinggi terjadi pada bulan-bulan di luar waktu tersebut. Dengan begitu, perhitungan sasih yang biasa memprediksikan hujan terjadi pada bulan-bulan tersebut menjadi tidak lagi efektif digunakan. Adanya berbagai bentuk perubahan iklim yang terjadi di Pantai Lebih berdampak bagi kehidupan nelayan Desa Lebih. Dampak yang dapat terlihat pada
22
2 tahun terakhir adalah sebelumnya nelayan dapat melaut secara rutin, dimulai dari terbenamnya matahari hingga waktu menjelang terbitnya matahari pada setiap harinya. Sementara itu, kini nelayan hanya melakukan kegiatan melaut pada hari-hari tertentu dan dengan waktu kurang lebih 3-4 jam untuk satu kali melaut. Hal tersebut disebabkan oleh ombak tinggi yang dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Dampak lain yang dirasakan oleh nelayan adalah sulitnya mendapatkan ikan. Keberadaan ikan-ikan yang ada di Pantai Lebih tidak dapat diprediksi akan selalu ada pada lokasi yang sama, sehingga pada waktu mencari ikan, nelayan yang menggunakan perahu bermesin tidak segan untuk melakukan pencarian sampai ke perairan Nusa Penida. Sementara nelayan yang tidak menggunakan kapal bermesin hanya dapat menangkap ikan seadanya pada lokasi-lokasi yang tidak begitu jauh. Kesulitan untuk mendapatkan ikan tidak hanya terjadi pada nelayan di Pantai Lebih, tetapi juga terjadi pada nelayan yang berada di pantaipantai lainnya di Kabupaten Gianyar. Menurut data dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Gianyar, ikan tongkol yang merupakan ikan yang paling banyak ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Gianyar jumlahnya berkurang. Di tahun 2013, pada kuartal pertama nelayan bisa mendapatkan ikan tongkol dengan total 28 Ton. Sementara itu, pada kuartal kedua jumlah tangkapan Ikan Tongkol hanya berkisar 19 Ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan di Kabupaten Gianyar, salah satunya adalah nelayan di Pantai Lebih. Selanjutnya, lokasi ikan yang tidak selalu sama setiap harinya, membuat nelayan tidak dapat memperoleh jumlah tangkapan yang besar hanya dari satu lokasi saja. Apabila para nelayan ingin memperoleh tangkapan ikan dengan jumlah yang besar, maka nelayan harus menjelajahi lokasi laut lainnya. Jika hal tersebut dilakukan, maka nelayan akan membutuhkan bahan bakar yang semakin banyak yang dapat berdampak pada kerugian. Menurut MA, keadaan sekarang berbeda dengan keadaan pada 4 tahun yang lalu. Sebelumnya, nelayan bisa menemukan ikan pada lokasi yang sama sehingga hasil tangkapan ikannya juga melimpah. Kesulitan mendapatkan ikan membuat tangkapan menjadi berkurang yang akhirnya berpengaruh pada pendapatan. Dengan pendapatan yang tidak pasti, salah satu cara yang digunakan oleh nelayan untuk dapat melanjutkan kegiatan melautnya adalah dengan mengalokasikan biaya yang telah didapatkan untuk membeli bahan bakar. Nelayan biasanya hanya membatasi pengeluaran untuk bahan bakar sebesar Rp 100.000,00. Dengan jumlah ini, nelayan dapat melaut kurang lebih 3-4 jam. Dengan kondisi Pantai Lebih yang telah terkena perubahan iklim, pemerintah berusaha untuk memberikan bantuan berupa pembangunan pembatas gelombang besar agar dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya abrasi, peningkatan permukaan air laut, dan gelombang tinggi. Pembangunan ini telah dilakukan sebanyak 3 kali, pembangunan yang terakhir dilakukan pada tahun 2012. Bangunan pembatas gelombang besar tersebut melintang di Pantai Lebih sepanjang 1.8 Km dengan tinggi 3 m. Keberadaan penahan ombak ini cukup efektif untuk mengurangi abrasi dan gelombang tinggi yang sering terjadi di Pantai Lebih pun dapat tertahan oleh keberadaan penahan ombak tersebut.
23
Dampak perubahan iklim yang dapat ditanggulangi oleh bangunan tersebut menimbulkan dampak lainnya untuk para nelayan. Dengan tinggi bangunan pembatas yang mencapai 3 meter, nelayan menjadi kesulitan pada saat akan melaut. Nelayan harus menurunkan terlebih dahulu perahu dari bangunan pembatas ombak untuk mencapai bibir pantai. Setelah nelayan siap melaut, kapal diangkat lagi untuk dapat menyentuh bagian pantai yang terkena ombak. Hal tersebut juga terjadi pada saat nelayan akan menyandarkan kapalnya. Sepulang melaut, nelayan kembali harus mengangkat perahu ke pembatas gelombang tersebut. Apabila nelayan hanya menyadarkan perahu di bibir pantai, kapal-kapal tersebut bisa rusak ataupun hancur terhempas pada bangunan pembatas gelombang. Untuk mengangkat perahu, nelayan biasanya meminta bantuan pada nelayan lain yang berada di daerah tersebut atau meminta bantuan kepada para buruh pengangkat perahu. Para buruh pengangkat perahu biasanya adalah para pemuda yang sehari-hari berjaga di warung-warung di Pantai Lebih. Untuk sekali pengangkatan perahu biasanya membutuhkan 4-5 orang. Pemberian upah diberikan oleh nelayan kepada buruh pengangkat sebesar Rp 15.000,00 per orang.
KARAKTERISTIK RESPONDEN Responden dalam penelitian ini adalah nelayan di Pantai Lebih yang mengetahui tentang perubahan iklim. Responden yang diambil berjumlah 60 orang. Karakteristik yang diteliti yaitu umur, tingkat pendidikan, pengalaman melaut, dan status ekonomi. Tabel 7 Komposisi responden berdasarkan karakteristik nelayan di Desa Lebih pada tahun 2014 Karakteristik No Kategori n % responden 1. Umur 18-30 tahun 13 21.7 31-50 tahun 22 36.7 lebih dari 50 tahun 25 41.7 2. Tingkat Tidak Sekolah 6 10.0 Pendidikan SD - SMP 35 58.0 SMA 19 32.0 3. Pengalaman Kurang dari 10 6 10.0 Melaut tahun 10-15 tahun 17 28.0 Lebih dari 15 tahun 37 62.0 4. Status Ekonomi Tinggi 48 80.0 Rendah 12 20.0 Berdasarkan tabel 7 di atas tampak bahwa kebanyakan responden berumur lebih dari 50 tahun (41.7 %). Nelayan muda (berumur kurang dari 50 tahun) menganggap bahwa profesi sebagai nelayan sudah tidak menjanjikan. Mereka cenderung memilih untuk bekerja di sektor pariwisata sebagai petugas hotel, petugas restoran, maupun menjadi tukang kebun di Hotel. Dengan bekerja di sektor pariwisata, mereka menjadi memiliki kebanggaan serta gengsi dibandingkan menjadi seorang nelayan. Untuk tingkat pendidikan pada tabel 7 tampak bahwa sebagian besar nelayan memiliki pendidikan SD-SMP (58.0 %). Desa Lebih hanya memiliki 3 buah bangunan sekolah SD sampai saat ini. Untuk pendidikan SMP dan SMA, mereka harus mencari sekolah yang ada di luar desa. Selain itu, beberapa tahun lalu banyak orang tua yang bekerja sebagai nelayan mengajak anak-anaknya yang baru lulus pendidikan dasar untuk melaut. Mereka tidak lagi melanjutkan pendidikannya dan memilih untuk membantu orang tuanya dalam menangkap ikan. Nelayan di Desa Lebih merupakan nelayan berpengalaman. Mereka sebagian besar memiliki pengalaman melaut lebih dari 15 tahun (62.0 %). Pengalaman melaut nelayan yang sudah sangat tinggi membuat mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang kondisi laut dan berbagai perubahanperubahan kondisi alam yang terjadi pada saat ini. Status ekonomi yang dimiliki oleh nelayan di Pantai Lebih didasarkan pada kepemilikan alat tangkap dan jenis perahu yang digunakan oleh nelayan untuk melaut. Nelayan yang memiliki status ekonomi tinggi (80.0 %) adalah nelayan yang memiliki variasi alat tangkap, yaitu pancing dan jaring serta
26
memiliki dua jenis perahu, yaitu tradisional dan perahu bermesin 15 Pk. Nelayan dengan status ekonomi rendah (20.0 %) adalah nelayan yang memiliki salah satu alat tangkap, baik jaring maupun pancing serta menggunakan kapal papan (kano) atau perahu jukung tradisional. Variasi alat tangkap dapat digunakan oleh nelayan dalam menangkap ikan di berbagai tempat. Untuk jaring, nelayan dapat menggunakannya untuk menangkap ikan dalam jumlah besar di tengah laut, dengan jarak minimal 3 km dari bibir pantai. Sementara pancing digunakan oleh nelayan yang mencari ikan pada jarak 1 km dari bibir pantai. Untuk jenis perahu dapat memengaruhi luas area penangkapan ikan. Dengan menggunakan perahu tradisional, nelayan hanya dapat menangkap ikan dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Sementara itu, untuk nelayan yang menggunakan perahu dengan mesin 5-15 Pk tentunya dapat membawa nelayan hingga ke perairan Nusa Penida. Dengan cakupan area yang lebih jauh, maka nelayan dapat mencari ikan pada banyak lokasi. Hal tersebut memungkinkan nelayan untuk mendapatkan jumlah tangkapan yang sesuai dengan daya tampung perahu. Ukuran dari setiap jenis perahu memengaruhi daya tampungnya. Untuk perahu papan atau perahu kano dapat menyimpan ikan 3-5 Kg. Sementara untuk perahu jukung memiliki daya tampung ikan sampai 30 Kg. Dengan begitu, nelayan yang memiliki perahu lebih besar kemungkinan memiliki pendapatan yang lebih besar daripada nelayan yang menggunakan kecil.
PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Para nelayan memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap perubahan iklim yang terjadi di lingkungannya. Pada penelitian ini, persepsi nelayan diukur berdasarkan pengetahuan nelayan mengenai bentuk perubahan iklim, penyebab perubahan iklim, dan dampak perubahan iklim. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah jawaban bentuk perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Jumlah Bentuk Perubahan Iklim n % 1 jawaban 11 18.3 Lebih dari 1 jawaban 49 81.7 Jumlah 60 100.0 Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan cenderung memilih lebih dari 1 jawaban mengenai bentuk perubahan iklim (81.7 %), yang artinya nelayan sudah mengetahui berbagai bentuk perubahan iklim yang terjadi di Pantai Lebih. Hal tersebut mungkin didasari pengalaman melaut nelayan yang sudah lebih dari 15 tahun sehingga mereka telah banyak mengetahui berbagai bentuk perubahan kondisi lingkungan yang terjadi di Pantai Lebih. Adapun bentukbentuk perubahan iklim yang diketahui oleh nelayan adalah sebagai berikut yang dapat dilihat pada tabel 9: Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Jumlah Bentuk Perubahan Iklim n % Peningkatan suhu air laut 20 33.3 Keadaan musim yang tidak menentu 32 53.3 Peningkatan permukaan air laut 45 75.0 Lokasi ikan yang tidak jelas 41 68.3 Sebagian besar nelayan (75.0 %) mengetahui bahwa bentuk perubahan iklim yang terjadi di Pantai Lebih adalah peningkatan permukaan air laut. Menurut para nelayan, jika air laut semakin mendekat ke arah pemukiman nelayan, berarti telah terjadi peningkatan permukaan air laut di daerah tersebut. Di daerah pantai Lebih, sebelumnya jarak antara laut dengan pemukiman nelayan bisa mencapai 1 km. Namun, kini jarak laut dengan pemukiman nelayan hanya berkisar 300 m. Hal itu diperkuat dengan pernyataan seorang nelayan, yaitu: “dulu, jarak rumah saya dengan pantai itu bisa sampai 500 meter, sekarang hanya jaraknya 100 meter. Untung saja dibuat pembatas, kalau tidak, mungkin jalan bypass itu sudah rusak.” -MA Bentuk perubahan iklim lain yang cukup diketahui oleh sebagian besar nelayan (68.3 %) adalah lokasi ikan yang tidak jelas. Lokasi ikan bisa berbedabeda karena adanya pola migrasi ikan yang tidak teratur pada setiap harinya. Pola
28
migrasi ikan yang tidak teratur terjadi seiring dengan suhu air laut yang semakin memanas. Menurut Patriana (2011), lokasi ikan akan berubah seiring dengan meningkatnya suhu air laut. Ikan akan mencari suhu yang tepat untuk dapat bertahan hidup. Adanya salah satu perubahan iklim berupa lokasi ikan yang tidak menentu membuat nelayan menjadi kesulitan dalam menentukan lokasi penangkapan ikan. Hal tersebut berdampak pada jumlah tangkapan nelayan yang menjadi tidak menentu pula. Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah jawaban dampak perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Jumlah Dampak Perubahan Iklim n % 1 jawaban 8 13.3 Lebih dari 1 jawaban 52 86.7 Total 60 100.0 Selanjutnya, berdasarkan tabel 10 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar nelayan (86.7 %) mengetahui lebih dari 1 dampak perubahan iklim yang terjadi. Hal tersebut ditandai dengan adanya lebih dari 1 jawaban dari para nelayan saat ditanya mengenai dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi. Berikut ini merupakan dampak-dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan: Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan dampak perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Jumlah Dampak Perubahan Iklim n % Terganggunya kegiatan melaut 40 66.7 Jumlah tangkapan berkurang 56 93.3 Populasi ikan berkurang 25 41.7 Potensi abrasi bertambah 22 36.6 Pada tabel 11 di atas terlihat bahwa dampak perubahan iklim yang paling dirasakan oleh cukup banyak nelayan (93.3%) adalah jumlah tangkapan ikan yang diperoleh berkurang. Para nelayan kesulitan mencari lokasi penangkapan ikan sehingga jumlah tangkapan mereka berkurang. Mereka tidak dapat memprediksi bahwa jumlah ikan di satu lokasi akan sama setiap harinya. Hal tersebut membuat nelayan harus mencari berbagai alternatif lokasi melaut jika ingin mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak. Berikut ini adalah kutipan jawaban dari salah satu nelayan mengenai alternatif lokasi melaut: “kalau sudah susah, banyak nelayan yang ke Penida, di sana ikannya lumayan, masih bisa ada yang ditangkep. Kadang-kadang di sana juga ada kapal-kapal besar dari jawa yang ngambil ikan.” INJ
29
Selain itu, menurut nelayan di Desa Lebih, keadaan cuaca akhir-akhir ini membuat nelayan sulit untuk menjaring ikan. Alasannya adalah sering terjadinya ombak tinggi dan besar. Hal tersebut merupakan keadaan yang berbahaya dan dapat mengancam keselamatan nelayan apabila nelayan tetap nekat untuk melaut di keadaan tersebut. Jika keadaan ombak sedang tinggi dan besar, hasil tangkapan nelayan akan berkurang dan pendapatan para nelayan pun menjadi berkurang. Dampak lainnya yang juga dirasakan oleh sebagian besar nelayan (66.7 %) adalah terganggunya kegiatan melaut. Cuaca ekstrim yang semakin sering terjadi di Pantai Lebih membuat nelayan merasa kesulitan untuk melaut. Apabila terjadi ombak tinggi dan besar, perahu yang digunakan oleh nelayan dapat terhempas oleh ombak. Ombak tinggi dan besar dapat terlihat pada tepi pantai, Ombak terhempas pada bangunan pembatas yang membuat tangga-tangga yang digunakan oleh nelayan untuk menurunkan perahunya menjadi tertutup. Apabila sudah terjadi kondisi seperti itu, para nelayan dipimpin oleh pemuka adat mengadakan upacara kegamaan untuk berdoa agar ombak besar dapat segera reda dan nelayan dapat kembali melaut. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan penyebab perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Jumlah Penyebab perubahan iklim n % Tidak tahu 21 35.0 Tahu 39 65.0 Total 60 100.0 Selanjutnya persepsi nelayan mengenai perubahan iklim dilihat berdasarkan pengetahuan nelayan tentang penyebab perubahan iklim. Berdasarkan informasi di Tabel 12 di atas, diketahui bahwa sebagian besar nelayan (65.0 %) sudah mengetahui penyebab perubahan iklim. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan nelayan tidak didasari atas pengetahuan mereka terhadap penyebab perubahan iklim. Adapun penyebab perubahan iklim yang diketahui oleh nelayan adalah: Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penyebab perubahan iklim yang dipersepsi oleh nelayan di Desa Lebih Jumlah Penyebab Perubahan Iklim n % Perilaku manusia 6 10.0 Lingkungan 38 68.3 Perilaku manusia dan lingkungan 5 8.3 Tidak tahu 21 35.0 Berdasarkan Tabel 13 tampak bahwa sebagian besar nelayan (68.3 %) menganggap penyebab perubahan iklim berasal dari lingkungan. Menurut beberapa nelayan, perubahan iklim terasa dengan semakin meningkatnya suhu udara pada lingkungan tempat mereka beraktivitas. Mereka berpikir bahwa hal tersebut terjadi karena memang berbagai tempat di muka bumi sedang mengalami
30
perubahan. Para nelayan tersebut tidak menyadari bahwa salah satu penyebab dari adanya perubahan iklim adalah perilaku mereka sehari-hari. Para nelayan masih terbiasa melaut menggunakan mesin perahu, Padahal, hasil pembakaran bahan bakar minyak pada mesin perahu dapat mencemari udara dan akhirnya menyebabkan perubahan iklim. HUBUNGAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DENGAN KARAKTERISTIK NELAYAN Terdapat 3 komponen persepsi yang dianalisis serta 4 variabel karakteristik nelayan yang dianalisis menggunakan tabulasi silang. Komponen persepsi nelayan meliputi pengetahuan nelayan tentang bentuk perubahan iklim, dampak perubahan iklim, dan penyebab perubahan iklim. Sementara itu, variabel karakteristik yang dianalisis adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman melaut, dan status ekonomi. Setiap responden dapat memilih lebih dari 1 jawaban, sehingga dapat dilihat tingkat pengetahuan nelayan tentang perubahan iklim Hubungan Antara Persepsi dan Umur Pada tabel 14 dapat terlihat bahwa sebagian besar nelayan dengan umur 18-30 tahun (76.9 %) cenderung memilih peningkatan permukaan air laut dan lokasi ikan yang tidak jelas sebagai bentuk perubahan iklim. Sementara itu, hampir seluruh nelayan yang berumur 31-50 tahun (90.0 %) cenderung menganggap peningkatan permukaan air laut sebagai bentuk perubahan iklim. Sebagian besar nelayan dengan umur lebih dari 50 tahun (80.0 %) merasa bahwa lokasi ikan yang tidak jelas merupakan bentuk perubahan iklim yang terjadi di Pantai Lebih. Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim Bentuk perubahan iklim Keadaan Peningkatan Lokasi ikan Jumlah Umur Peningkatan musim permukaan yang tidak (tahun) suhu air laut yang tidak air laut jelas menentu n % n % n % n % n % 18-30 3 23.1 9 69.2 10 76.9 10 76.9 13 100 31-50 12 54.0 15 68.0 20 90.0 11 50.0 22 100 > 50 5 20.0 8 32.0 15 60.0 20 80.0 25 100 Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa nelayan dengan umur 18-30 memiliki pengetahuan yang lebih beragam mengenai bentuk perubahan iklim dibandingkan dengan nelayan yang berumur lebih tua dari mereka. Hal ini mungkin dapat terjadi berdasarkan informasi yang mereka peroleh dari hasil interaksi dengan nelayan lain yang juga melaut di Pantai Lebih atau dari pelajaran di sekolah.
31
Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Dampak perubahan iklim Terganggunya Jumlah Populasi Potensi Jumlah Umur kegiatan tangkapan ikan abrasi (tahun) melaut berkurang berkurang bertambah n % n % n % n % n % 18-30 5 38.5 13 100.0 11 84.6 10 76.9 13 100 31-50 17 77.2 21 95.5 9 40.1 7 31.8 22 100 > 50 18 72.0 22 88.0 5 20.0 5 20.0 25 100 Sementara itu, pada tabel 15 tampak bahwa sebagian besar nelayan pada masing-masing kelompok umur sepakat bahwa dampak yang terjadi akibat perubahan iklim adalah jumlah tangkapan berkurang. Lebih lanjut, terlihat bahwa nelayan yang berumur di bawah 30 tahun lebih banyak yang mempersepsikan bahwa dampak dari perubahan iklim adalah populasi ikan yang semakin berkurang serta bertambahnya potensi abrasi. Sedangkan nelayan berumur di atas 30 tahun mempersepsikan terganggunya kegiatan melaut sebagai dampak lainnya pada perubahan iklim. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Penyebab perubahan iklim Perilaku Jumlah Umur Perilaku Lingkungan manusia dan Tidak tahu (tahun) manusia lingkungan n % n % n % n % n % 18-30 2 15.4 12 92.3 2 15.4 1 7.7 13 100 31-50 3 13.6 16 72.7 3 13.6 6 27.2 22 100 > 50 1 4.0 10 40.0 0 0 14 56.0 25 100 Pada tabel 16 tampak bahwa semakin muda usia nelayan maka semakin mengetahui penyebab perubahan iklim. Terlihat 92.3 % nelayan dengan umur 1830 tahun menyatakan bahwa gejala lingkungan sebagai penyebab perubahan iklim dan hanya 7.7 % yang tidak tahu. Sementara nelayan lain pada jenjang umur yang sama mengetahui penyebab lainnya seperti perilaku manusia. Demikian juga dengan nelayan berumur 31-50 tahun, sebanyak 72.7 % mempersepsikan lingkungan sebagai penyebab perubahan iklim dan sisanya menyatakan bahwa perilaku manusia serta campuran antara perilaku manusia dan lingkungan sebagai penyebab perubahan iklim. Berbeda dengan nelayan berumur di atas 50 tahun, sebagian nelayan (56 %) merasa tidak tahu dan sisanya mempersepsikan lingkungan sebagai penyebabnya. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan yang berumur tua tidak banyak memiliki pengetahuan atau informasi tentang keadaan lingkungan serta kesadaran diri akan adanya perilaku mereka sebagai penyebab terganggunya keadaan lingkungan hidup.
32
Hubungan Antara Persepsi dan Tingkat Pendidikan Pada tabel 17 tampak bahwa seluruh nelayan yang tidak bersekolah (100.0 %) memilih lokasi ikan yang tidak jelas sebagai bentuk perubahan iklim. Sementara itu, nelayan dengan tingkat pendidikan SD-SMP cenderung mengetahui 3 bentuk perubahan iklim, dan bentuk perubahan iklim yang lebih diketahui oleh sebagian besar nelayan (74.3 %) dengan pendidikan SD-SMP adalah peningkatan air laut. Selanjutnya, nelayan dengan tingkat pendidikan SMA mengetahui lebih banyak bentuk perubahan iklim (4 macam). Sebagian besar dari nelayan dengan pendidikan SMA (89.5 %) mengetahui bahwa peningkatan permukaan air laut adalah bentuk perubahan iklim yang terjadi. Pengetahuan bentuk perubahan iklim tersebut mungkin dapat diketahui oleh nelayan pada masa sekolah, sehingga terlihat nelayan yang memiliki tingkat pendidikan tertinggi (SMA) lebih mengetahui berbagai bentuk perubahan iklim yang sedang terjadi di Pantai Lebih. Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim Bentuk perubahan iklim Keadaan Peningkatan Lokasi Jumlah Tingkat Peningkatan musim permukaan ikan yang Pendidikan suhu air laut yang tidak air laut tidak jelas menentu n % n % n % n % n % Tidak 0 0 1 16.7 2 33.3 6 100.0 6 100 sekolah SD – SMP 10 28.6 18 51.4 26 74.3 23 65.7 35 100 SMA 10 52.6 13 68.4 17 89.5 12 63.1 19 100 Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan yang tidak bersekolah merasakan 2 dampak perubahan iklim. Sebagian besar nelayan yang tidak bersekolah (83.3 %) menilai bahwa jumlah tangkapan ikan yang semakin berkurang merupakan dampak yang paling dirasakan oleh mereka. Hal itu juga disepakati oleh nelayan yang memiliki pendidikan SD-SMP maupun yang berpendidikan SMA. Nelayan yang pendidikan terakhirnya adalah SD-SMP cenderung memilih 2 dampak perubahan iklim. Dampak yang paling dirasakan oleh hampir seluruh nelayan berpendidikan SD-SMP (91.4 %) adalah jumlah tangkapan ikan yang berkurang. Serupa dengan nelayan pada kategori lainnya, dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh seluruh nelayan dengan pendidikan terakhir SMA (100 %) adalah jumlah tangkapan berkurang. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh nelayan dengan berbagai tingkat pendidikan menyatakan bahwa perubahan iklim dapat memberikan dampak pada kegiatan produksinya. Dengan berkurangnya tangkapan ikan, maka jumlah pendapatannya akan berkurang. Inilah yang mendorong mereka mencari ikan di berbagai lokasi, bahkan sampai ke perairan Nusa Penida
33
Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Dampak perubahan iklim Terganggunya Jumlah Populasi Potensi Jumlah Tingkat kegiatan tangkapan ikan abrasi Pendidikan melaut berkurang berkurang bertambah n % n % n % n % n % Tidak 4 66.7 5 83.3 3 50.0 3 50.0 6 100 sekolah SD – SMP 24 68.6 32 91.4 13 37.1 12 34.3 35 100 SMA 12 63.1 19 100.0 9 47.3 7 36.8 19 100 Pada tabel 19 dapat dilihat bahwa sebagian nelayan yang tidak bersekolah (50.0%) menyebutkan bahwa penyebab perubahan iklim adalah gejala lingkungan. Sementara itu, sebagian lainnya (50.0 %) tidak mengetahui penyebab perubahan iklim. Kemudian, sebagian besar nelayan dengan pendidikan SD-SMP (57.1 %) juga cenderung memilih gejala lingkungan sebagai penyebab perubahan iklim. Pada nelayan yang memiliki pendidikan SMA, nelayan mulai memiliki pilihan yang lebih beragam, tetapi sebagian besar nelayan dengan pendidikan SMA (78.9 %) pun menganggap perubahan iklim disebabkan oleh gejala lingkungan. Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Penyebab perubahan iklim Perilaku Jumlah Tingkat Perilaku manusia Lingkungan Tidak tahu Pendidikan manusia dan lingkungan n % n % n % n % n % Tidak 0 0 3 50.0 0 0 3 50.0 6 100 sekolah SD – SMP 2 5.7 20 57.1 1 2.8 14 40.0 35 100 SMA 4 21.0 15 78.9 4 21.0 4 21.0 19 100 Hal tersebut memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang nelayan maka semakin beragam pula pengetahuan mereka tentang penyebab perubahan iklim. Meskipun demikian, masih sangat sedikit nelayan yang menyadari bahwa perilaku manusia pun dapat menjadi penyebab perubahan iklim. Salah satu penyebab perubahan iklim oleh perilaku manusia yang dekat dengan kehidupan nelayan adalah penggunaan bahan bakar mesin yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan tersebut masih banyak ditemui pada nelayan Desa Lebih. Hubungan Antara Persepsi dan Pengalaman Melaut Pada tabel 20 di bawah ini tampak adanya kecenderungan hubungan antara pengalaman melaut dengan persepsi tentang bentuk perubahan iklim. Semakin sedikit pengalaman melaut semakin banyak persepsi nelayan tentang bentuk
34
perubahan iklim. Nelayan yang mempunyai pengalaman melaut lebih dari 10 tahun sebagian besar mempersepsikan bentuk perubahan iklim berturut-turut sebagai: peningkatan permukaan air laut (100 %), keadaan musim yang tidak menentu (83.3 %), dan peningkatan suhu air laut (66.7 %). Sedangkan nelayan yang mempunyai pengalaman melaut lebih dari 15 tahun sebagian besar mempersepsikan bentuk perubahan iklim hanya sebagai lokasi ikan yang tidak jelas (75.7 %) dan peningkatan permukaan air laut (70.2 %). Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim Bentuk perubahan iklim Keadaan Pengalaman Peningkat Peningkatan Lokasi ikan Jumlah musim melaut an suhu air permukaan yang tidak yang tidak (tahun) laut air laut jelas menentu n % n % n % n % n % < 10 4 66.7 5 83.3 6 100.0 2 33.3 6 100 10-15 7 41.1 13 76.5 13 76.5 11 64.7 17 100 > 15 9 24.3 14 37.8 26 70.2 28 75.7 37 100 Demikian pula nelayan yang mempunyai pengalaman melaut 10-15 tahun, walaupun mereka dapat menyebutkan 3 bentuk perubahan iklim, namun jumlah jawaban tidak sebanyak yang dapat disebutkan oleh nelayan dengan pengalaman melaut kurang dari 10 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan semakin muda nelayan, maka semakin mereka banyak mengenali bentuk-bentuk perubahan iklim yang terjadi di lingkungan mereka. Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Dampak perubahan iklim Pengalaman Terganggunya Jumlah Populasi Potensi Jumlah melaut kegiatan tangkapan ikan abrasi (tahun) melaut berkurang berkurang bertambah n % n % n % n % n % <10 5 83.3 6 100.0 3 50.0 2 33.3 6 100 10-15 9 52.9 17 100.0 8 47.0 7 41.1 17 100 >15 26 70.2 33 94.2 14 40.0 13 37.1 37 100 Seperti yang terlihat pada tabel 20 di atas, pada tabel 21 tampak terjadi kecenderungan yang sama, bahwa semakin sedikit pengalaman melaut, maka semakin banyak dampak perubahan iklim yang dipersepsikan oleh nelayan. Nelayan yang memiliki pengalaman melaut kurang dari 10 tahun, seluruhnya (100 %) melihat bahwa dampak perubahan iklim adalah jumlah tangkapan berkurang, sama seperti nelayan yang memiliki pengalaman 10-15 tahun. Mereka yang memiliki pengalaman melaut lebih dari 15 tahun tidak seluruhnya mempersepsikan dampak perubahan iklim sebagai jumlah tangkapan berkurang (94.2 %). Selain itu, nelayan yang memiliki pengalaman melaut 10 tahun juga banyak (83.3 %) yang mempersepsikan dampak perubahan iklim sebagai
35
terganggunya kegiatan melaut, sementara itu nelayan yang memiliki pengalaman melaut 10-15 tahun dan lebih dari 15 tahun jumlahnya tidak sebanyak nelayan yang berpengalaman kurang dari 10 tahun dalam melihat dampak perubahan iklim tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persepsi yang paling menonjol tentang dampak perubahan iklim pada sebagian besar nelayan adalah jumlah tangkapan yang berkurang. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan nelayan berikut ini: “Kalau sekarang hasil tangkapan ikan jadi tidak tentu, kadangkadang banyak, tapi kadang-kadang sedikit. Kalau dulu tidak usah jauh-jauh sudah bisa dapat ikan, tapi sekarang kalau mau dapat ikan harus lebih ke tengah. Ada juga nelayan yang sampe ke Nusa Dua sana buat cari banyak ikan.” -MA Pada tabel 22 di bawah ini tampak bahwa dalam hal persepsi tentang penyebab perubahan iklim nelayan yang memiliki pengalaman melaut sedang dan sedikitlah yang melihatnya datangnya dari lingkungan (nelayan berpengalaman kurang dari 10 tahun sebanyak 83.3 % dan nelayan berpengalaman lebih dari 10 tahun sebanyak 88.3 %). Sedangkan nelayan yang berpengalaman lebih dari 15 tahun nampaknya kurang memiliki persepsi yang jelas tentang penyebab perubahan iklim, kurang dari separuhnya (48.6 %) menyebutkan lingkungan sebagai penyebab perubahan iklim dan merasa tidak tahu tentang penyebabnya karena pada umumnya semakin tinggi pengalaman melaut, maka semakin tua umur nelayan, maka dapat dikatakan semakin muda nelayan, maka semakin mereka mempersepsikan penyebab perubahan iklim tersebut berasal dari lingkungan, bukan dari perilaku manusia ataupun gabungan antara perilaku manusia dan lingkungan. Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Penyebab perubahan iklim Pengalaman Perilaku Jumlah Perilaku Tidak melaut Lingkungan manusia dan manusia tahu (tahun) lingkungan n % n % n % n % n % < 10 1 16.7 5 83.3 1 16.7 1 16.7 6 100 10-15 2 11.7 15 88.3 2 11.7 2 11.7 17 100 > 15 3 8.1 18 48.6 2 5.4 18 48.6 37 100 Ternyata semakin banyak pengalaman melaut tidak menjadikan nelayan lebih peka dalam mempersepsikan dampak dan penyebab perubahan iklim, perbedaan yang nyata antara nelayan berpengalaman dan tidak hanya dalam persepsi tentang bentuk perubahan iklim. Kurangnya pemahaman nelayan bahwa perubahan iklim salah satu penyebabnya adalah perilaku manusia juga, dapat merupakan tantangan bagi pemerintah dalam menanamkan kesadaran nelayan akan kerusakan lingkungan hidupnya. Nelayan masih cenderung menganggap semua yang terjadi pada perubahan iklim, semata-mata ditentukan oleh alam.
36
Dengan kata lain, alam adalah hal yang paling menentukan terhadap kualitas lingkungan hidup mereka. Hubungan Antara Persepsi dan Status Ekonomi Pada tabel 23 di bawah ini tampak adanya kecenderungan bahwa status ekonomi berhubungan dengan persepsi tentang bentuk perubahan iklim. Semakin tinggi status ekonomi nelayan, maka semakin banyak persepsi tentang bentuk perubahan iklim. Nelayan yang memiliki status ekonomi tinggi sebagian besar (81.3 %) mempersepsikan peningkatan permukaan air laut. Cukup banyak yang mempersepsikan lokasi ikan yang tidak jelas (64.6 %) dan keadaan musim yang tidak menentu (56.3 %). Sementara itu nelayan yang memiliki status ekonomi rendah, sebagian besar (83.3 %) hanya mempersepsikan lokasi ikan yang tidak jelas. Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan persepsi tentang bentuk perubahan iklim Bentuk perubahan iklim Keadaan Peningkatan Lokasi Jumlah Status Peningkatan musim permukaan ikan yang ekonomi suhu air laut yang tidak air laut tidak jelas menentu n % n % n % n % n % Tinggi 19 39.6 27 56.3 39 81.3 31 64.6 48 100 Rendah 1 8.3 5 41.7 6 40.0 10 83.3 12 100 Dengan demikian status ekonomi nelayan dapat berhubungan dengan persepsi bentuk perubahan iklim. Nelayan yang memiliki status ekonomi tinggi dapat mempersepsikan 3 bentuk perubahan iklim, sementara nelayan dengan status ekonomi rendah hanya dapat mempersepsikan 1 bentuk perubahan iklim. Tabel 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan persepsi tentang dampak perubahan iklim Dampak perubahan iklim Terganggunya Jumlah Populasi Potensi Jumlah Status kegiatan tangkapan ikan abrasi ekonomi melaut berkurang berkurang bertambah n % n % n % n % n % Tinggi 33 68.7 44 91.7 19 39.6 17 35.4 48 100 Rendah 7 58.3 12 100.0 6 50.0 5 41.7 12 100 Pada tabel 24 di atas ini, tampak bahwa persepsi tentang dampak perubahan iklim yang dipersepsikan oleh banyak nelayan adalah jumlah tangkapan berkurang (nelayan berstatus ekonomi rendah sebanyak 100 % dan nelayan berstatus tinggi sebanyak 91.7 %). Selain itu, terdapat pula dampak yang dipersepsikan oleh sebagian besar nelayan dengan status ekonomi tinggi (68.7 %) dan sebagian besar nelayan dengan status ekonomi rendah (58.3 %) yaitu terganggunya kegiatan melaut. Sementara itu, sebagian nelayan berstatus ekonomi rendah (50.0 %) juga mempersepsikan populasi ikan berkurang sebagai dampak
37
perubahan iklim. Dengan demikian, semakin rendahnya status ekonomi maka semakin banyak dampak perubahan iklim yang mereka persepsikan. Pada tabel 25 di bawah ini, tampak bahwa sebagian besar nelayan yang berstatus ekonomi tinggi memiliki persepsi yang kurang jelas, walaupun separuhnya memiliki persepsi lingkungan (58.3 %). Sementara nelayan dengan status ekonomi rendah memiliki persepsi yang cenderung sama, yaitu lingkungan (83.3 %). Sementara itu, masih banyak pula nelayan dengan status ekonomi tinggi yang tidak mengetahui penyebab perubahan iklim (39.6 %). Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan persepsi tentang penyebab perubahan iklim Penyebab perubahan iklim Perilaku Jumlah Status Perilaku manusia Lingkungan Tidak tahu ekonomi manusia dan lingkungan n % n % n % n % n % Tinggi 6 12.5 28 58.3 5 10.4 19 39.6 48 100 Rendah 0 0 10 83.3 0 0 2 16.7 12 100 Dengan demikian, hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan status ekonomi adalah rendah. Hanya hubungan antara status ekonomi nelayan dengan bentuk perubahan iklim yang dapat terlihat perbedaan antara status ekonomi nelayan yang tinggi dan rendah. Ikhtisar Terdapat hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dan karakteristik nelayan. Pada hubungan antara persepsi nelayan dan umur tampak bahwa semakin muda umur seorang nelayan, maka persepsi mereka tentang perubahan iklim akan semakin bermacam-macam. Mereka dapat mempersepsikan lebih dari 1 macam bentuk, dampak, serta penyebab perubahan iklim. Hubungan yang lain adalah antara persepsi nelayan dan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh seorang nelayan, maka semakin beragam persepsi yang dimiliki oleh nelayan terhadap bentuk, dampak, dan penyebab perubahan iklim. Selama berada di bangku pendidikan, mereka mendapatkan berbagai macam informasi tentang perubahan iklim. Sementara itu, pada hubungan antara persepsi dengan pengalaman melaut tampak bahwa nelayan dengan pengalaman melaut yang sedikit memiliki persepsi lebih banyak dibanding nelayan lainnya. Nelayan yang memiliki pengalaman melaut lebih sedikit merupakan nelayan yang memiliki usia lebih muda serta baru menyelesaikan pendidikan terakhirnya, sehingga mereka mempersepsikan bentuk, dampak, dan penyebab perubahan iklim lebih banyak dibanding nelayan yang lain. Hubungan yang terakhir adalah hubungan antara persepsi nelayan dengan status ekonomi. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi status ekonomi nelayan maka nelayan memiliki persepsi yang lebih beragam.
BENTUK ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Sebagai upaya dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi di Pantai Lebih, para nelayan memiliki cara beradaptasi yang beragam. Adaptasi tersebut dilihat dari kebiasaan yang dilakukan oleh nelayan dalam melaut serta penyesuaian yang dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi di Pantai Lebih. Beberapa bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dapat dilihat pada tabel 26 berikut ini: Tabel 26 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim Bentuk adaptasi n % Diferensiasi Pekerjaan 44 73.33 Pembatasan bahan bakar 43 71.67 Perubahan pola konsumsi 26 43.33 Penyesuaian pekerjaan 41 68.33 Tabel 26 menunjukkan bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi perubahan iklim. Bentuk adaptasi yang banyak dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi perubahan iklim adalah diferensiasi pekerjaan (73.33 %) dan pembatasan bahan bakar (71.67 %). Diferensiasi pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan adalah mencari pekerjaan lain, seperti menjadi buruh angkut, pemecah batu untuk bangunan (batu split), dan sebagai pedagang ikan segar atau hasil olahan ikan. Sementara itu, nelayannelayan yang memiliki modal cukup melakukan pekerjaan alternatif dengan membuka warung makan di pinggir Pantai Lebih. Bentuk adaptasi berikutnya yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan adalah dengan melakukan pembatasan jumlah bahan bakar. Pembatasan bahan bakar dilakukan untuk menentukan lama melaut. Beberapa tahun lalu, bahan bakar yang digunakan oleh nelayan dapat membawa mereka untuk melaut selama 6 jam, kini mereka hanya dapat melaut selama 3-4 jam. Dengan membatasi bahan bakar yang digunakan, nelayan dapat menghemat pengeluarannya. Bentuk adaptasi lainnya yang dilakukan oleh nelayan adalah dengan melakukan penyesuaian pekerjaan. Sebagian besar nelayan (68.33 %) melakukan penyesuaian pekerjaan dengan memanfaatkan waktu menunggu keadaan laut hingga saat yang tepat untuk melaut. Cuaca yang sering tidak jelas membuat nelayan menjadi kesulitan untuk menentukan waktu melaut yang tepat bagi mereka. Apabila mereka tidak melaut tentunya mereka tidak mendapatkan penghasilan dan akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal itulah yang membuat nelayan akhirnya mencoba untuk melakukan beberapa penyesuaian diri dengan mencari aktivitas sementara yang bermanfaat pada saat mereka tidak melaut. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah dengan membantu istri mereka dalam mengolah ikan atau menjual ikan, memeriksa keadaan perahu, atau memperbaiki jaring. Ada pula nelayan yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk melaut dengan beristirahat atau sekedar mengobrol dengan nelayan lainnya di Pantai Lebih. Bentuk adaptasi lainnya adalah perubahan pola konsumsi. Tidak seperti bentuk adaptasi lainnya, bentuk adaptasi ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil
40
nelayan (43.33 %). Para nelayan cenderung untuk mempertahankan pola konsumsinya tersebut. Pola konsumsi terkait dengan jumlah dan waktu mereka makan. Biasanya, seorang nelayan makan sebanyak 3 kali dalam sehari menggunakan nasi dan lauk-pauk. Untuk sarapan, para nelayan biasanya bisa menggantinya dengan jajanan bali, yaitu kue-kue khas dari Provinsi Bali, kecuali apabila mereka akan melaut, mereka akan makan menggunakan nasi dan laukpauk agar mereka memiliki tenaga yang cukup pada saat melaut. Menurut mereka, apabila tidak memiliki tenaga yang cukup, mereka akan kesulitan untuk mengarungi laut dan mengangkat jaring yang berisi ikan banyak. HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK NELAYAN DAN ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Terdapat 4 bentuk adaptasi yang dianalisis serta dihubungkan dengan 4 variabel karakteristik nelayan. Bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan iklim adalah diferensiasi pekerjaan, pembatasan bahan bakar, perubahan pola konsumsi, dan penyesuaian pekerjaan. Sementara itu, variabel karakteristik yang dianalisis adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman melaut, dan status ekonomi. Analisis dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang. Setelah itu, untuk mengetahui signifikansi hubungan antara adaptasi dengan karakteristik maka digunakan analisis Rank Spearman. Hubungan Antara Umur dan Bentuk Adaptasi Tabel 27 menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan yang berusia 31-50 tahun (86.4 %) dan berumur lebih dari 50 tahun (76.0 %) cenderung melakukan diferensiasi pekerjaan. Sementara itu, hanya sebagian kecil nelayan umur 18-30 tahun (46.2 %) yang melakukan diferensiasi pekerjaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa nelayan dengan umur 18-30 tahun tidak terlalu memerlukan pekerjaan yang baru, sementara nelayan dengan umur 31-50 sudah sangat membutuhkan pemasukan untuk membiayai keluarganya, disamping itu mereka juga masih memiliki tenaga yang kuat untuk melakukan pekerjaan lainnya. Berdasarkan analisis Rank Spearman dapat diketahui bahwa hubungan antara umur dan diferensiasi pekerjaan termasuk pada hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.166 atau lebih besar dari batas yang digunakan (α 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa umur nelayan tidak berhubungan dengan tindakan nelayan untuk melakukan berbagai alternatif pekerjaan. Tabel 27 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan diferensiasi pekerjaan Diferensiasi pekerjaan Jumlah Umur (tahun) Ya Tidak n % n % n % 18-30 6 46.2 7 53.8 13 100 31-50 19 86.4 3 13.6 22 100 > 50 19 76.0 6 24.0 25 100 Bentuk adapatasi kedua yang dihubungkan dengan umur adalah pembatasan bahan bakar. Pada tabel 28 dapat terlihat bahwa nelayan yang paling
41
banyak melakukan pembatasan bahan bakar adalah nelayan yang berada pada kelompok umur 18-30 tahun (92.3 %). Kemudian, cukup banyak pula nelayan yang yang berumur 31-50 tahun (68.2 %), dan lebih dari 50 tahun (64.0 %) yang turut melakukan adaptasi berupa pembatasan bahan bakar. Berdasarkan data-data tersebut dapat dilihat bahwa semakin muda umur seorang nelayan maka nelayan semakin memungkinkan untuk melakukan pembatasan bahan bakar. Berdasarkan hasil analisis Rank Spearman menyatakan bahwa hubungan antara umur dan pembatasan bahan bakar merupakan hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.106, nilai tersebut lebih besar dari tingkat kesalahan yang digunakan (α 0.05). Tabel 28 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan pembatasan bahan bakar Pembatasan bahan bakar Jumlah Umur (tahun) Ya Tidak n % n % n % 18-30 12 92.3 1 7.7 13 100 31-50 15 68.2 7 31.8 22 100 > 50 16 64.0 9 36.0 25 100 Bentuk adaptasi ketiga yang dihubungkan dengan karakteristik umur nelayan adalah perubahan pola konsumsi. Tabel 29 menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan yang berada pada kategori umur 18-30 tahun (84.6 %) adalah nelayan yang cenderung untuk tidak mengubah pola konsumsinya serupa dengan yang dilakukan oleh cukup sebagian besar nelayan berumur 31-50 tahun (59.1 %). Namun, hal tersebut berbeda dengan yang ditunjukkan oleh nelayan dengan umur lebih dari 50 tahun. Sebagian besar dari mereka (60.0 %) cenderung melakukan perubahan pola konsumsi. Tabel 29 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan perubahan pola konsumsi Perubahan pola konsumsi Jumlah Umur (tahun) Ya Tidak n % n % n % 18-30 2 15.4 11 84.6 13 100 31-50 9 40.9 13 59.1 22 100 > 50 15 60.0 10 40.0 25 100 Berdasarkan hasil analisis Rank Spearman yang menyatakan bahwa hubungan antara umur dan perubahan pola konsumsi adalah hubungan yang nyata dan signifikan. Nilai probabilitas yang dimiliki oleh hubungan tersebut adalah 0.009 atau lebih kecil dari batas yang digunakan (α 0.01). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tua umur seorang nelayan, maka nelayan cenderung untuk melakukan perubahan pola konsumsi. Dengan mengubah pola konsumsi, mereka dapat menyesuaikan pemasukan yang dimilikinya.
42
Tabel 30 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan penyesuaian pekerjaan Penyesuaian pekerjaan Jumlah Umur (tahun) Ya Tidak n % n % n % 18-30 12 92.3 1 7.7 13 100 31-50 18 81.8 4 18.2 22 100 > 50 11 44.0 14 56.0 25 100 Selanjutnya, bentuk adaptasi keempat yang dihubungkan dengan karakteristik umur nelayan adalah penyesuaian pekerjaan. Pada tabel 30 tampak bahwa sebagian besar nelayan pada kategori umur 18-30 tahun (92.3 %) melakukan penyesuaian pekerjaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh sebagian besar nelayan dengan umur 31-50 tahun (81.8 %). Perbedaan terlihat pada nelayan dengan umur lebih dari 50 tahun, hanya sebagian kecil dari mereka (44.0%) yang melakukan penyesuaian pekerjaan. Nelayan yang berumur 18-30 tahun dan 31-50 tahun masih ingin berusaha untuk bisa memanfaatkan waktunya pada saat menunggu kegiatan melaut dimulai kembali dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat, sedangkan nelayan yang berumur lebih dari 50 tahun cenderung untuk pasrah terhadap keadaan alam yang ada di Pantai Lebih. Mereka hanya berdiam diri dan menunggu sampai kondisi laut normal kembali. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis Rank Spearman yang menyebutkan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.000, artinya lebih kecil dari batas kesalahan yang digunakan (α 0.01). Data tersebut memperlihatkan bahwa semakin tua umur nelayan, maka mereka cenderung untuk tidak melakukan penyesuaian pekerjaan. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Bentuk Adaptasi Pada tabel 31, tampak bahwa sebagian besar nelayan dengan tingkat pendidikan SMA (84.2%) merupakan nelayan yang cenderung melakukan diferensiasi pekerjaan sama seperti yang dimiliki oleh cukup banyak nelayan yang berpendidikan SD-SMP (68.6 %) dan nelayan yang tidak bersekolah (66.7 %). Dengan memiliki pendidikan yang tinggi, nelayan memiliki kemampuan lebih untuk dapat melakukan berbagai pekerjaan lainnya, selain menjadi seorang nelayan. Tabel 31 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan diferensiasi pekerjaan Diferensiasi pekerjaan Jumlah Tingkat pendidikan Ya Tidak n % n % n % Tidak sekolah 4 66.7 2 33.3 6 100 SD-SMP 24 68.6 11 31.4 35 100 SMA 16 84.2 3 15.8 19 100 Berdasarkan analisis Rank Spearman pun diperoleh hasil yang menyatakan bahwa hubungan antara tingkat pendidikan dan diferensiasi pekerjaan
43
memiliki hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.225, lebih besar dari tingkat kesalahan yang digunakan (α 0.05). Tabel 32 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan pembatasan bahan bakar Pembatasan bahan bakar Jumlah Tingkat pendidikan Ya Tidak n % n % n % Tidak sekolah 4 66.7 2 33.3 6 100 SD-SMP 24 68.6 11 31.4 35 100 SMA 15 78.9 4 21.1 19 100 Bentuk adaptasi kedua yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan nelayan adalah pembatasan bahan bakar. Tabel 32 memperlihatkan bahwa sebagian besar nelayan yang mengenyam pendidikan terakhir di jenjang SMA (78.9 %) melakukan pembatasan bahan bakar. Hal serupa juga turut dilakukan oleh sebagian besar nelayan berpendidikan SD-SMP (68.6 %) dan nelayan yang tidak bersekolah (66.7 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh nelayan dari berbagai tingkat pendidikan melakukan pembatasan bahan bakar. Nelayan yang tidak bersekolah cenderung nelayan yang tidak melakukan pembatasan bahan bakar karena mereka harus melaut pada setiap harinya. Berdasarkan analisis Rank Spearman pun dapat diketahui bahwa hubungan antara tingkat pendidikan dan pembatasan bahan bakar termasuk pada hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.420 atau lebih besar dari ambang batas yang digunakan (α 0.05). Tabel 33 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan perubahan pola konsumsi Perubahan pola konsumsi Jumlah Tingkat pendidikan Ya Tidak n % n % n % Tidak sekolah 4 66.7 2 33.3 6 100 SD-SMP 15 42.8 20 57.2 35 100 SMA 7 36.8 12 63.2 19 100 Bentuk adaptasi berikutnya yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan terakhir dari nelayan adalah perubahan pola konsumsi. Pada tabel 33 tampak bahwa sebagian besar nelayan yang tidak bersekolah (66.7 %) cenderung melakukan perubahan pola konsumsi. Hal tersebut berbeda dengan sebagian besar nelayan yang berpendidikan SD-SMP (57.2 %) dan SMA (63.2 %) yang cenderung memilih untuk tidak mengubah pola konsumsi mereka. Nelayan yang tidak bersekolah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mencari pekerjaan alternatif yang dapat menguntungkan, sehingga salah satu cara mereka untuk menyesuaikan diri dengan pemasukan yang dimilikinya adalah dengan mengubah pola konsumsi. Data pada tabel 33 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi dapat membuat nelayan untuk tidak mengubah pola konsumsinya, walaupun demikian berdasarkan analisis Rank Spearman dapat diketahui bahwa hubungan tersebut termasuk pada hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang
44
didapatkan adalah 0.295 atau lebih besar dari ambang batas yang digunakan (α 0.05). Tabel 34 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan penyesuaian pekerjaan Penyesuaian pekerjaan Jumlah Tingkat pendidikan Ya Tidak n % n % n % Tidak sekolah 2 33.3 4 66.7 6 100 SD-SMP 22 62.8 13 37.2 35 100 SMA 17 89.5 2 10.5 19 100 Selanjutnya, bentuk adaptasi keempat yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan terakhir nelayan adalah penyesuaian pekerjaan. Pada tabel 34 tampak bahwa hampir seluruh nelayan dengan pendidikan terakhir SMA (89.5 %) adalah nelayan yang cenderung melakukan penyesuaian pekerjaan serupa dengan sebagian besar nelayan dengan tingkat pendidikan SD-SMP (62.8 %). Sementara itu, sebagian besar nelayan yang tidak bersekolah (66.7 %) cenderung untuk tidak melakukan penyesuaian pekerjaan. Dengan pendidikan yang lebih tinggi maka mereka dapat menyesuaikan pekerjaan dengan mencari kegiatan bermanfaat yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan analisis Rank Spearman pun diperoleh hasil bahwa hubungan yang terbentuk antara tingkat pendidikan dan penyesuaian pekerjaan termasuk dalam hubungan yang nyata dan signifikan. Nilai probabilitas yang didapatkan oleh kedua hubungan ini adalah 0.005. Nilai tersebut lebih kecil dari batas yang digunakan (α 0.05). Data tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang nelayan maka mereka cenderung untuk melakukan penyesuaian pekerjaan yang lebih bermanfaat. Hubungan Antara Pengalaman Melaut dan Bentuk Adaptasi Tabel 35 menunjukkan bahwa seluruh nelayan yang memiliki pengalaman melaut kurang dari 10 tahun (100.0 %) kompak untuk melakukan diferensiasi pekerjaan. Begitu pula dengan sebagian besar nelayan yang memiliki pengalaman melaut 10-15 tahun (70.6 %) dan nelayan berpengalaman lebih dari 15 tahun (70.3 %). Dari data tersebut tampak bahwa nelayan yang memiliki pengalaman melaut kurang dari 10 tahun merupakan nelayan berpendidikan SMA, sehingga dengan keadaan laut yang tidak jelas mereka akan mencari pekerjaan lain untuk menambah pemasukan mereka. Tabel 35 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan diferensiasi pekerjaan Diferensiasi pekerjaan Jumlah Pengalaman melaut Ya Tidak (tahun) n % n % n % < 10 6 100.0 0 0 6 100 10-15 12 70.6 5 29.4 17 100 > 15 26 70.3 11 29.7 37 100
45
Berdasarkan analisis Rank Spearman pun dapat diketahui bahwa hubungan antara pengalaman melaut dengan diferensiasi pekerjaan memiliki hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang dimiliki oleh kedua hubungan tersebut adalah 0.346, lebih besar dari batas yang digunakan (α 0.05). Tabel 36 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan pembatasan bahan bakar Pembatasan bahan bakar Jumlah Pengalaman melaut Ya Tidak (tahun) n % n % n % < 10 6 100.0 0 0 6 100 10-15 13 76.5 4 23.5 17 100 > 15 24 64.8 13 35.2 37 100 Selanjutnya, bentuk adaptasi kedua yang dihubungkan dengan lamanya pengalaman melaut nelayan adalah pembatasan bahan bakar. Tabel 36 memperlihatkan bahwa seluruh nelayan dengan pengalaman melaut kurang dari 10 tahun (100.0 %) cenderung melakukan pembatasan bahan bakar. Sementara itu, nelayan dengan penglaman melaut 10-15 tahun (76.5 %) juga turut melakukan pembatasan pekerjaan. Hal yang serupa juga dilakukan oleh sebagian besar nelayan dengan pengalaman lebih dari 15 tahun (64.8 %). Nelayan yang memiliki pengalaman melaut lebih dari 15 tahun merupakan nelayan yang sudah tua. Mereka tidak akan kesulitan melaut apabila tidak menggunakan mesin perahu, sehingga memerlukan bahan bakar yang cukup untuk menjalankan mesinnya. Berdasarkan analisis Rank Spearman dapat diketahui bahwa hubungan antara pengalaman melaut dengan pembatasan bahan bakar tergolong pada hubungan yang moderat. Adapun nilai probabilitas yang didapatkan yaitu 0.096. Nilai tersebut masih sedikit diatas batas yang digunakan (α 0.05). Dengan begitu, terdapat kemungkinan bahwa semakin sedikit pengalaman melaut nelayan maka mereka semakin cenderung untuk membatasi bahan bakar. Tabel 37 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan perubahan pola konsumsi Perubahan pola konsumsi Jumlah Pengalaman melaut Ya Tidak n % n % n % < 10 1 16.7 5 83.3 6 100 10-15 4 23.5 13 76.5 17 100 > 15 21 56.7 16 43.3 37 100 Bentuk adaptasi ketiga yang dihubungkan dengan lamanya pengalaman melaut nelayan adalah perubahan pola konsumsi. Pada tabel 37 tampak bahwa nelayan yang tidak melakukan perubahan pola konsumsi adalah sebagian besar nelayan yang memiliki pengalaman melaut kurang dari 10 tahun (83.3 %) dan 1015 tahun (76.5 %). Sementara itu, sebagian besar nelayan dengan pengalaman melaut lebih dari 15 tahun (56.7 %) cenderung melakukan perubahan konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan yang memiliki pengalaman melaut tinggi adalah nelayan yang sudah senior atau dengan kata lain nelayan yang sudah tua.
46
Sebagian besar dari mereka hanya memiliki pendapatan dari menangkap ikan, sehingga pola konsumsinya harus menyesuaikan dengan pendapatan yang mereka miliki. Berdasarkan analisis Rank Spearman dapat ditunjukkan bahwa hubungan yang terjadi antara pengalaman melaut yang dimiliki nelayan dengan perubahan pola konsumsi termasuk dalam hubungan yang nyata dan signifikan. Nilai probabilitas yang didapatkan kedua hubungan terebut adalah 0.007, lebih kecil dari batas yang digunakan (α 0.05). Data tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pengalaman melaut yang dimiliki nelayan, maka nelayan cenderung untuk mengubah pola konsumsinya. Tabel 38 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan penyesuaian pekerjaan Penyesuaian pekerjaan Jumlah Pengalaman melaut Ya Tidak n % n % n % < 10 5 83.3 1 16.7 6 100 10-15 15 88.2 2 11.8 17 100 > 15 21 56.7 16 43.3 37 100 Bentuk adaptasi keempat yang dihubungkan dengan lamanya pengalaman melaut seorang nelayan adalah penyesuaian pekerjaan. Tabel 38 memperlihatkan bahwa nelayan yang melakukan penyesuaian pekerjaan adalah sebagian besar nelayan berpengalaman melaut kurang dari 10 tahun (83.3 %), cukup banyak nelayan berpengalaman 10-15 tahun (88.2 %), dan sebagian besar nelayan berpengalaman lebih dari 15 tahun (56.7 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa nelayan berpengalaman melaut kurang dari 15 tahun lebih cenderung melakukan penyesuaian pekerjaan karena mereka masih memiliki tenaga yang kuat sehingga mereka dapat melakukan berbagai kegiatan selagi menunggu keadaan laut menjadi lebih baik. Berdasarkan analisis Rank Spearman dapat diketahui bahwa hubungan antara pengalaman melaut dan penyesuaian pekerjaan termasuk pada hubungan yang kuat. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.019 atau lebih rendah dari tingkat kesalahan (α 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak pengalaman nelayan, maka semakin tinggi pula kemungkinan nelayan melakukan penyesuaian pekerjaan. Hubungan Antara Status Ekonomi dan Bentuk Adaptasi Tabel 39 menunjukkan bahwa cukup banyak nelayan dengan status ekonomi tinggi (77.1 %) memilih untuk melakukan diferensiasi pekerjaan. Hal yang serupa juga dilakukan oleh sebagian besar nelayan dengan status ekonomi rendah (58.3 %). Nelayan yang berasal dari kedua lapisan status ekonomi tersebut sama-sama melakukan diferensiasi pekerjaan. Akan tetapi, nelayan yang memiliki status ekonomi tinggi lebih cenderung untuk melakukan diferensiasi pekerjaan karena mereka memiliki modal yang lebih banyak untuk melakukan pekerjaan lainnya.
47
Tabel 39 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut dan penyesuaian pekerjaan Diferensiasi pekerjaan Jumlah Status ekonomi Ya Tidak n % n % n % Tinggi 37 77.1 11 22.9 48 100 Rendah 7 58.3 5 41.7 12 100 . Hal tersebut menyatakan bahwa semakin tinggi status ekonomi nelayan maka semakin tinggi kemungkinan mereka untuk melakukan diferensiasi pekerjaan, walaupun demikian, berdasarkan analisis Rank Spearman yang menyatakan bahwa hubungan antara status ekonomi nelayan dengan status ekonomi memiliki hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.195, lebih besar dari tingkat kesalahan yang digunakan (α 0.05). Tabel 40 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan penyesuaian bahan bakar Pembatasan bahan bakar Jumlah Status ekonomi Ya Tidak n % n % n % Tinggi 33 68.7 15 31.3 48 100 Rendah 10 83.3 2 16.7 12 100 Bentuk adaptasi kedua yang dihubungkan dengan status ekonomi dari nelayan adalah penyesuaian bahan bakar. Berdasarkan informasi pada tabel 40 di atas, diketahui bahwa sebagian besar nelayan dengan status ekonomi tinggi (68.7 %) cenderung untuk membatasi jumlah bahan bakar sama seperti cukup banyak nelayan dengan status ekonomi rendah (83.3 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa nelayan dengan status ekonomi rendah tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli bahan bakar, sehingga mereka harus membatasi penggunaan bahan bakar yang mereka gunakan untuk melaut. Berdasarkan analisis Rank Spearman, nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.088 atau berada sedikit diatas tingkat kesalahan (α 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang memperlihatkan semakin tinggi status ekonomi nelayan maka semakin kecil kemungkinan untuk membatasi bahan bakarnya adalah termasuk pada hubungan yang lemah. Tabel 41 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan perubahan pola konsumsi Perubahan pola konsumsi Jumlah Status ekonomi Ya Tidak n % n % n % Tinggi 21 43.7 27 56.3 48 100 Rendah 5 41.7 7 58.3 12 100 Bentuk adaptasi ketiga yang akan dihubungkan dengan status ekonomi nelayan adalah perubahan pola konsumsi. Tabel 41 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar nelayan dengan status ekonomi tinggi (56.3 %) serta sebagian
48
besar nelayan dengan status ekonomi rendah (58.3 %) memiliki kesamaan dalam hal perubahan pola konsumsi. Oleh karena itu, dapat terlihat bahwa nelayan yang memiliki status ekonomi rendah cenderung untuk tidak mengubah pola konsumsinya karena mereka harus mencari banyak ikan. Untuk mendapatkan banyak ikan mereka membutuhkan banyak tenaga, sehingga mereka cenderung untuk tidak mengubah pola konsumsinya. Berdasarkan analisis Rank Spearman pun dipeoleh hasil bahwa bahwa hubungan antara status ekonomi dangen perubahan pola konsumsi termasuk pada hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.899 atau lebih besar dari tingkat kesalahan (α 0.05). Tabel 42 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status ekonomi dan penyesuaian pekerjaan Penyesuaian pekerjaan Jumlah Status ekonomi Ya Tidak n % n % n % Tinggi 35 72.9 13 27.1 48 100 Rendah 6 50.0 6 50.0 12 100 Hubungan keempat pada tabel 42 di bawah ini, menunjukkan bahwa penyesuaian pekerjaan cenderung dilakukan oleh sebagian besar nelayan dengan status ekonomi tinggi (72.9 %). Sebagian nelayan dengan status ekonomi rendah (50 %) memilih untuk melakukan penyesuaian pekerjaan dan sebagian lainnya memilih untuk tidak melakukan penyesuaian pekerjaan.Nelayan yang memiliki status ekonomi lebih tinggi dapat melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat karena mereka memiliki modal yang dapat mereka gunakan selama mereka menunggu waktu melaut tiba. Berdasarkan hasil analisis Rank Spearman pun dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi dan penyesuaian pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan. Meskipun hubungannya tergolong sebagai hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang dimiliki hubungan tersebut adalah 0.131. Nilai tersebut lebih besar dari batas yang digunakan (α 0.05). Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi status ekonomi nelayan maka nelayan semakin cenderung untuk melakukan penyesuaian pekerjaan. Ikhtisar Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu diferensiasi pekerjaan, pembatasan bahan bakar, perubahan pola konsumsi, dan penyesuaian pekerjaan. Adapun hubungan adaptasi dengan karakteristik nelayan dianalisis dengan menggunakan Rank Spearman dan tabulasi silang. Berdasarkan tabulasi silang dapat diketahui bahwa beberapa karakteristik berhubungan dengan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan. Adapun hasil analisis Rank Spearman ditampilkan dalam tabel berikut ini:
49
Tabel 43 Nilai probabilitas hubungan antara karakteristik nelayan dengan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim berdasarkan analisis Rank Spearman Karakteristik Bentuk Tingkat Pengalaman Status adaptasi Umur pendidikan melaut ekonomi Diferensiasi 0.166 0.225 0.346 0.195 pekerjaan Pembatasan 0.106 0.420 0.096 0.088 bahan bakar Perubahan 0.009** 0.295 0.007** 0.899 pola konsumsi Penyesuaian 0.000** 0.005** 0.019* 0.131 pekerjaan *Hubungan signifikan pada batas α 0.05 ** Hubungan signifikan pada batas α 0.01
Pada tabel 43 tampak bahwa terdapat beberapa hubungan yang nyata dan signifikan. Hubungan yang paling signifikan terlihat pada hubungan antara umur dengan penyesuaian pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin muda umur seorang nelayan maka kecenderungan mereka untuk melakukan penyesuaian pekerjaan semakin tinggi. Umur nelayan yang masih muda ingin berusaha untuk bisa memanfaatkan waktu menunggu melaut dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat, sedangkan nelayan yang sudah tua cenderung untuk pasrah terhadap keadaan alam yang ada di Pantai Lebih. Hubungan lainnya yang juga signifikan adalah hubungan antara umur dan perubahan pola konsumsi, yaitu semakin tua umur seseorang maka mereka akan semakin cenderung untuk melakukan perubahan pola konsumsi. Dengan tenaga yang tidak sebanyak nelayan berumur muda, nelayan tua hanya dapat memaksimalkan pemasukannya dari kegiatan melaut, sehingga mereka harus mengatur sedemikian rupa agar pemasukannya dapat mencukupi kebutuhannya. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan mengubah pola konsumsi yang sesuai dengan pemasukannya tersebut. Hubungan yang terlihat signifikan juga adalah hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyesuaian pekerjaan. Terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan nelayan, maka mereka semakin cenderung untuk melakukan penyesuaian pekerjaan. Nelayan yang berpendidikan tinggi tentunya lebih memiliki kemampuan yang beragam, sehingga mereka dapat melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat pada saat mereka sedang menunggu waktu melaut tiba. Hubungan yang signifikan juga terlihat pada hubungan antara pengalaman melaut dan perubahan pola konsumsi. Semakin banyak pengalaman melaut seseorang maka mereka cenderung untuk melakukan perubahan pola konsumsi. Nelayan yang tmemiliki pengalaman melaut lebih dari 15 tahun dapat dikategorikan pada nelayan berumur tua. Tenaganya sudah banyak berkurang, sehingga tangkapannyapun tidak banyak. Dengan begitu nelayan berpengalaman melaut lebih dari 15 tahun harus mencari strategi agar mereka dapat bertahan hidup, salah satu strateginya adalah mengubah pola konsumsi mereka.
50
Hubungan nyata yang terakhir terbentuk antara pengalaman melaut dan penyesuaian pekerjaan. Semakin sedikit pengalaman melaut nelayan, maka kecenderungan mereka melakukan penyesuaian pekerjaan semakin tinggi. Penyesuaian pekerjaan dilakukan oleh nelayan muda dengan melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Dengan tenaga yang masih kuat, mereka dapat melakukan berbagai hal untuk mengisi waktu menunggu sampai waktu melaut datang. Sementara untuk hubungan antara status ekonomi dengan karakteristik tidak terdapat hubungan yang nyata dan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa status ekonomi nelayan tidak memengaruhi seorang nelayan untuk dapat melakukan berbagai bentuk adaptasi.
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN BENTUK ADAPTASI Terdapat 3 komponen persepsi nelayan terhadap perubahan iklim yang dihubungkan dengan 4 bentuk adaptasi. Komponen persepsi yang dianalisis yaitu jumlah jawaban nelayan tentang pengetahuan bentuk perubahan iklim, dampak perubahan iklim, dan penyebab perubahan iklim. Bentuk adaptasi yang dianalisis adalah diferensiasi pekerjaan, pembatasan bahan bakar, perubahan pola konsumsi, dan penyesuaian pekerjaan. Analisis hubungan dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang dan signifikansi hubungan dianalisis menggunakan Rank Spearman. Hubungan Antara Bentuk Perubahan Iklim dan Bentuk Adaptasi Pada tabel 44 tampak bahwa hampir seluruh nelayan yang memiliki persepsi 1 bentuk perubahan iklim (90.1 %) cenderung melakukan diferensiasi pekerjaan sama seperti yang dilakukan oleh cukup banyak nelayan (69.4 %) yang mempersepsikan lebih dari 1 bentuk perubahan iklim. Nelayan yang lebih sedikit mempersepsikan bentuk perubahan iklim cenderung melakukan diferensiasi pekerjaan karena pada dasarnya mereka adalah nelayan yang sudah tua. Mereka masih harus menanggung kehidupan keluarganya, sehingga berusaha untuk mencari pekerjaan lainnya. Tabel 44 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan Diferensiasi pekerjaan Bentuk Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 10 90.1 1 9.9 11 100 > 1 jawaban 34 69.4 15 30.6 49 100 Berdasarkan analisis Rank Spearman dapat dinyatakan bahwa hubungan antara bentuk perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan memiliki nilai probabilitas 0.150 atau lebih besar dari batas yang digunakan (α 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak persepsi yang dimiliki nelayan tentang bentuk perubahan iklim tidak memiliki hubungan dengan kecenderungan mereka untuk melakukan diferensiasi pekerjaan. Tabel 45 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar Pembatasan bahan bakar Bentuk Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 9 81.8 2 18.2 11 100 > 1 jawaban 34 69.4 15 30.6 49 100 Tabel 45 di atas, tampak bahwa cukup banyak nelayan dengan persepsi 1 macam bentuk perubahan iklim (81.8 %) yang melakukan pembatasan bahan bakar sama seperti sebagian besar nelayan dengan persepsi lebih dari 1 tentang bentuk perubahan iklim (69.4 %). Nelayan yang cenderung melakukan
52
pembatasan bahan bakar berdasarkan persepsinya yang sedikit berarti mereka berusaha untuk membatasi pengeluarannya untuk bahan bakar agar mereka bisa menghindari bentuk perubahan iklim yang dapat memengaruhi kehidupannya. Hal tersebut disebabkan mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk dapat mengarungi laut dengan jumlah bahan bakar yang banyak. Berdasarkan analisis Rank Spearman, dapat diketahui bahwa hubungan antara persepsi nelayan tentang bentuk perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar termasuk dalam hubungan yang lemah, artinya semakin beragam persepsi mereka tentang bentuk perubahan iklim, maka belum tentu dapat memengaruhi tindakan mereka untuk membatasi penggunaan bahan bakar. Nilai probabilitas yang didapatkan oleh hubungan tersebut sebesar 0.417, yaitu lebih besar daripada batas yang digunakan. (α 0.05). Tabel 46 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi Perubahan pola konsumsi Bentuk Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 9 81.8 2 18.2 11 100 > 1 jawaban 17 34.7 32 65.3 49 100 Pada tabel 46 tampak bahwa cukup banyak nelayan dengan 1 macam persepsi tentang bentuk perubahan iklim (81.8 %) yang melakukan perubahan pola konsumsi. Sementara itu, sebagian besar nelayan dengan beragam persepsi tentang bentuk perubahan iklim (65.3 %) lebih memilih untuk tidak melakukan perubahan pola konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan yang memiliki kekurangan informasi mengenai perubahan iklim cenderung berusaha untuk mengubah pola konsumsinya. Mereka tidak dapat memperkirakan keadaan laut yang dipengaruhi berbagai bentuk perubahan iklim, sehingga mereka jarang untuk melaut. Akhirnya mereka harus menyesuaikan konsumsinya karena pendapatannya dari melaut sangat terbatas. Hasil analisis Rank Spearman menyatakan bahwa nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.004. Nilai tersebut lebih kecil dari batas yang digunakan (α 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi termasuk pada hubungan yang kuat dan signifikan artinya adalah semakin beragam persepsi yang dimiliki oleh nelayan, maka semakin kecil kemungkinannya untuk mereka mengubah pola konsumsinya. Tabel 47 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan Penyesuaian pekerjaan Bentuk Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 4 36.4 7 63.6 11 100 > 1 jawaban 37 75.5 12 24.5 49 100
53
Pada tabel 47 di atas, tampak bahwa sebagian besar nelayan yang memiliki 1 macam persepsi tentang bentuk perubahan iklim (63.6 %) merupakan nelayan yang tidak melakukan penyesuaian pekerjaan. Sementara itu cukup banyak nelayan dengan lebih dari 1 macam persepsi tentang bentuk perubahan iklim (75.5 %) yang melakukan penyesuaian pekerjaan. Dengan begitu, persepsi nelayan tentang bentuk perubahan iklim dapat memengaruhi seorang nelayan dalam menyesuaikan pekerjaan. Nelayan dengan persepsi beragam memiliki informasi yang cukup tentang perubahan iklim, sehingga dengan kemampuan dan tenaga yang dimiliki, mereka dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mengisi waktu luang selagi mereka menunggu waktu melaut. Berdasarkan analisis Rank Spearman didapatkan bahwa hubungan antara bentuk perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan termasuk dalam hubungan yang kuat dan signifikan Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.011 atau lebih kecil daripada ambang batas yang digunakan (α 0.05). Analisis tersebut menunjukkan bahwa semakin beragam persepsi yang dimiliki oleh nelayan maka semakin besar kemungkinan mereka untuk melakukan penyesuaian pekerjaan. Hubungan Antara Dampak Perubahan Iklim dan Bentuk Adaptasi Pada tabel 48 tampak bahwa sebagian besar nelayan dengan persepsi tentang dampak perubahan iklim yang sedikit (87.5 %) cenderung untuk melakukan diferensiasi pekerjaan, serupa seperti yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan yang memiliki beragam persepsi tentang perubahan iklim (71.1 %). Bagi nelayan yang melakukan diferensiasi pekerjaan, mereka memiliki persepsi bahwa perubahan iklim berdampak pada aktivitas perekonomian mereka, sehingga mereka berusaha untuk mencari pekerjaan alternatif selain menjadi seorang nelayan. Hal tersebut dilakukan agar mereka tetap mendapatkan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya maupun keluarganya. Tabel 48 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan Diferensiasi pekerjaan Dampak Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 7 87.5 1 12.5 8 100 > 1 jawaban 37 71.1 15 28.9 52 100 Berdasarkan analisis Rank Spearman, nilai probabilitas yang didapatkan dari hubungan antara pembatasan bahan bakar dengan pengetahuan dampak perubahan iklim adalah 0.339, lebih besar daripada tingkat kesalahan yang digunakan (α 0.05). Data tersebut menunjukkan bahwa dengan semakin beragamnya persepsi yang dimiliki oleh nelayan tentang dampak perubahan iklim belum tentu dapat memengaruhi tindakan mereka untuk melakukan diferensiasi pekerjaan. Pada tabel 49 di bawah ini, tampak bahwa sebagian besar nelayan dengan 1 macam persepsi tentang dampak perubahan iklim (62.5 %) merupakan nelayan yang melakukan pembatasan bahan bakar, sama halnya dengan nelayan yang memiliki lebih dari 1 macam persepsi tentang dampak perubahan iklim (73.1 %). Berbagai kejadian perubahan iklim membuat nelayan kesulitan untuk
54
mendapatkan ikan. Hal tersebut menyebabkan pemasukan nelayan menjadi tidak menentu, padahal mereka harus tetap melaut pada setiap harinya. Pembatasan bahan bakar dapat dilakukan oleh nelayan untuk menyiasati pemasukan yang tidak menentu agar mereka dapat melaut menggunakan mesin perahu. Tabel 49 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar Pembatasan bahan bakar Dampak Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 5 62.5 3 37.5 8 100 > 1 jawaban 38 73.1 14 26.9 52 100 Berdasarkan hasil analisis Rank Spearman diketahui bahwa hubungan antara persepsi tentang dampak perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar termasuk dalam hubungan yang lemah. Nilai probabilitas didapat adalah 0.545, lebih besar daripada tingkat kesalahan (α 0.05). Hal tersebut memiliki arti bahwa dengan semakin banyak persepsi yang dimiliki oleh nelayan tentang perubahan iklim, belum tentu dapat membuat mereka membatasi penggunaan bahan bakarnya. Tabel 50 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi Perubahan pola konsumsi Dampak Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 3 37.5 5 62.5 8 100 > 1 jawaban 23 44.2 29 55.8 52 100 Tabel 50 menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan dengan 1 macam persepsi tentang dampak peruabahan iklim (62.5 %) cenderung untuk tidak mengubah pola konsumsi, sama seperti yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan yang memiliki lebih dari 1 macam persepsi tentang dampak perubahan iklim (55.8 %). Melakukan konsumsi merupakan salah satu modal penting nelayan untuk dapat memiliki tenaga pada saat melaut, sehingga apapun dampak yang dapat disebabkan oleh perubahan iklim, mereka dapat menghadapinya dengan baik. Berdasarkan hasil analisis Rank Spearman didapatkan bahwa hubungan antara persepsi tentang dampak perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi termasuk pada hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.726 atau berada di atas batas kesalahan (α 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa belum tentu semakin banyak persepsi nelayan tentang perubahan iklim dapat membuat nelayan cenderung untuk mengubah pola konsumsinya. Pada tabel 51 di bawah, tampak bahwa penyesuaian pekerjaan sama-sama dilakuakan oleh cukup banyak nelayan yang memiliki 1 macam persepsi tentang dampak perubahan iklim (75 %) dan sebagian besar nelayan dengan beragam persepsi tentang dampak perubahan iklim (25 %). Data tersebut menunjukkan bahwa penting bagi nelayan untuk melakukan penyesuaian pekerjaan.
55
Penyesuaian pekerjaan dapat dilakukan pada saat menunggu waktu melaut tiba dengan mencari kegiatan bermanfaat yang membuat mereka mendapatkan pemasukan pengganti ataupun hanya beristirahat seperti yang dilakukan oleh nelayan dengan umur tua. Tabel 51 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang dampak perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan Penyesuaian pekerjaan Dampak Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 6 75.0 2 25.0 11 100 > 1 jawaban 35 67.3 17 32.7 49 100 Pada tabel 51 di atas, tampak bahwa penyesuaian pekerjaan sama-sama dilakuakan oleh cukup banyak nelayan yang memiliki 1 macam persepsi tentang dampak perubahan iklim (75 %) dan sebagian besar nelayan dengan beragam persepsi tentang dampak perubahan iklim (25 %). Data tersebut menunjukkan bahwa penting bagi nelayan untuk melakukan penyesuaian pekerjaan. Penyesuaian pekerjaan dapat dilakukan pada saat menunggu waktu melaut tiba dengan mencari kegiatan bermanfaat yang membuat mereka mendapatkan pemasukan pengganti ataupun hanya beristirahat seperti yang dilakukan oleh nelayan dengan umur tua. Berdasarkan analisis Rank Spearman dapat diketahui bahwa hubungan antara persepsi tentang dampak perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan termasuk pada hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.670 atau lebih besar dari ambang batas yang digunakan (α 0.05). Dengan begitu, semakin beragam persepsi nelayan yang tentang perubahan iklim belum tentu membuat nelayan lebih cenderung untuk melakukan penyesuaian mereka terhadap pekerjaannya. Hubungan Antara Penyebab Perubahan Iklim dan Bentuk Adaptasi Tabel 52 di bawah menunjukkan bahwa diferensiasi dilakukan oleh sebagian besar nelayan dengan 1 macam persepsi tentang penyebab perubahan iklim (66.7 %) dan cukup banyak nelayan yang memiliki lebih dari 1 macam persepsi tentang perubahan iklim (76.9 %). Seluruh nelayan cenderung melakukan diferensiasi pekerjaan, sehingga perbedaannya tidak terlihat secara signifikan. Persepsi mereka tentang penyebab perubahan iklim tidak menjadi alasan untuk mereka dalam melakukan diferensiasi pekerjaan. Tabel 52 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan Diferensiasi pekerjaan Penyebab Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 14 66.7 7 33.3 21 100 > 1 jawaban 30 76.9 9 23.1 39 100
56
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari analisis Rank Spearman menunjukkan bahwa hubungan antara persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan diferensiasi pekerjaan dapat dikategorikan pada hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.400, yaitu lebih besar dari batas yang digunakan (α 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin beragam persepsi yang dimiliki nelayan tentang perubahan iklim, belum tentu diikuti pula dengan semakin tinggi kemungkinan mereka untuk melakukan diferensiasi pekerjaan. Tabel 53 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan pembatasan bahan bakar Pembatasan bahan bakar Dampak Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 12 57.1 9 42.9 21 100 > 1 jawaban 31 79.5 8 20.5 39 100 Pada tabel 53 di atas ini tampak bahwa sebagian besar nelayan yang memiliki lebih dari 1 macam persepsi tentang penyebab perubahan iklim (79.5 %) melakukan pembatasan bahan bakar, sama dengan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan yang hanya memiliki 1 macam persepsi tentang penyebab perubahan iklim (57.1 %). Pembatasan bahan bakar yang dilakukan tidak didasari atas persepsi mereka tentang penyebab perubahan iklim. Hal tersebut disebabkan oleh keharusan nelayan menggunakan bahan bakar solar untuk menjalankan mesinnya, padahal hasil pembakarannya dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim. Berdasarkan hasil analisis Rank Spearman yang menyebutkan bahwa hubungan antara persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan pembatasan pekerjaan memiliki hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.069 atau lebih besar dari tingkat kesalahan (α 0.05). Hal ini membuktikan bahwa dengan semakin beragamnya persepsi mereka tentang perubah iklim, belum tentu dapat membuat mereka melakukan pembatasan bahan bakar. Tabel 54 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi Perubahan pola konsumsi Dampak Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 13 61.9 8 38.1 21 100 > 1 jawaban 13 33.3 26 66.7 39 100 Pada tabel 54 di atas ini tampak bahwa sebagian besar nelayan yang hanya memiliki 1 macam persepsi tentang penyebab perubahan iklim (61.9 %) cenderung untuk melakukan perubahan pola konsumsi. Sementara itu, sebagian besar nelayan yang memiliki lebih dari 1 macam persepsi tentang penyebab perubahan iklim (66.7 %) memilih untuk tidak melakukan perubahan pola konsumsi. Nelayan yang memiliki persepsi tentang penyebab perubahan iklim lebih banyak artinya mereka telah mendapatkan informasi mengenai perubahan
57
iklim dengan baik, sehingga mereka berusaha untuk mempersiapkan dirinya dengan tetap menjaga pola konsumsinya setiap hari. Berdasarkan analisis Rank Spearman tampak bahwa hubungan antara persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi termasuk pada hubungan yang kuat dan signifikan. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.033 atau lebih kecil dari tingkat kesalahan (α 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi nelayan tentang penyebab perubahan iklim, maka mereka akan semakin mempertahankan pola konsumsinya. Tabel 55 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan Penyesuaian pekerjaan Penyebab Jumlah perubahan Ya Tidak iklim n % n % n % 1 jawaban 14 66.7 7 33.3 21 100 > 1 jawaban 27 69.2 12 30.8 39 100 Pada tabel 55 tampak bahwa nelayan yang melakukan penyesuaian pekerjaan terdiri adalah sebagian besar nelayan yang memiliki sedikit persepsi tentang penyebab perubahan iklim (66.7 %) dan sebagian besar nelayan yang memiliki beragam persepsi tentang penyebab perubahan iklim (69.2 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa penyesuaian pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan tidak didasari atas pengetahuan nelayan tentang penyebab perubahan iklim. Penyesuaian pekerjaan tetap dilakukan oleh nelayan walaupun nelayan hanya memiliki persepsi sedikit tentang penyebab perubahan iklim. Berdasarkan analisis Rank Spearman yang menyatakan bahwa hubungan antara persepsi nelayan tentang penyebab perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan memiliki hubungan yang lemah. Nilai probabilitas yang didapatkan adalah 0.842, lebih besar dari tingkat kesalahan yang digunakan (α 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin beragam persepsi nelayan, belum tentu membuat nelayan semakin cenderung melakukan penyesuaian pekerjaan. Ikhtisar Analisis hubungan antara persepsi dan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang serta dianalisis dengan menggunakan Rank Spearman. Berdasarkan analisis Rank Spearman didapatkan beberapa hubungan yang yang signifikan, yaitu hubungan antara perubahan pola konsumsi dan bentuk perubahan iklim, perubahan pola konsumsi dan penyebab perubahan iklim, serta penyesuaian pekerjaan dan bentuk perubahan iklim (Tabel 56). Pada tabel 56 tampak bahwa terdapat beberapa hubungan yang nyata dan signifikan. Hubungan yang paling signifikan adalah terbentuk antara persepsi mereka tentang bentuk perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi. Terlihat bahwa semakin beragam persepsi tentang bentuk perubahan iklim yang dimiliki oleh nelayan, maka semakin kecil kemungkinannya untuk mereka mengubah pola konsumsinya. Nelayan mengubah cenderung tidak mengubah pola konsumsinya karena mereka harus dapat menghadapi berbagai bentuk perubahan iklim dengan
58
baik, salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bentuk perubahan iklim adalah dengan melakukan pola konsumsi yang teratur. Tabel 56 Nilai probabilitas hubungan antara persepsi dengan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim berdasarkan analisis Rank Spearman Persepsi Bentuk adaptasi Bentuk perubahan Dampak Penyebab iklim perubahan iklim perubahan iklim Diferensiasi 0.150 0.339 0.400 pekerjaan Pembatasan 0.417 0.545 0.069 bahan bakar Perubahan pola 0.004** 0.726 0.033* konsumsi Penyesuaian 0.011* 0.670 0.842 pekerjaan *Hubungan signifikan pada batas α 0.05 ** Hubungan signifikan pada batas α 0.01
Hubungan lain yang juga memiliki hubungan yang nyata dan signifikan terbentuk antara persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan. Semakin beragam persepsi yang dimiliki oleh nelayan maka semakin besar kemungkinan mereka untuk melakukan penyesuaian pekerjaan. Terjadinya berbagai bentuk perubahan iklim di Pantai Lebih membuat mereka harus menyesuaikan waktu melautnya. Selama menunggu waktu melaut yang tepat, nelayan dapat melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat maupun hanya sekedar berisitirahat, seperti yang dilakukan oleh nelayan yang sudah berumur tua. Untuk hubungan yang nyata dan signifikan berikutnya adalah hubungan antara persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi. Hubungan yang terbentuk menyatakan bahwa semakin beragam persepsi mereka tentang dampak perubahan iklim maka mereka semakin mempertahankan pola konsumsinya tersebut. Nelayan yang memiliki informasi cukup tentang penyebab perubahan iklim tentunya mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi terjadinya perubahan iklim karena mereka mempersepsikan bahwa perubahan iklim dapat terjadi kapan saja. Salah satu cara yang digunakan oleh nelayan untuk mempersiapkan dirinya adalah dengan melakukan pola konsumsi yang tetap dan teratur setiap hari. Sementara itu, tidak terlihat hubungan yang signifikan antara persepsi tentang dampak perubahan iklim dan bentuk adaptasi nelayan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Karakteristik nelayan di Desa Lebih merupakan nelayan yang memiliki umur relatif tua dengan pengalaman melaut yang sudah banyak. Sebagian besar nelayan di Desa Lebih sudah mengenyam pendidikan terakhir yaitu SD sampai SMP. Para nelayan di Pantai Lebih tergolong memiliki status ekonomi tinggi. 2. Persepsi nelayan tentang bentuk perubahan iklim yang paling sering terjadi adalah peningkatan air laut. Sementara itu, persepsi mereka tentang dampak perubahan iklim yang paling dirasakan oleh mereka adalah jumlah tangkapan semakin berkurang. Sedangkan untuk persepsi nelayan tentang penyebab perubahan iklim, mereka memilih gejala lingkungan sebagai penyebab perubahan iklim. 3. Hubungan antara persepsi dan bentuk adaptasi nelayan memperlihatkan bahwa terdapat beberapa hubungan yang nyata dan signifikan, yaitu hubungan antara persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi, persepsi tentang bentuk perubahan iklim dan penyesuaian pekerjaan, serta persepsi tentang penyebab perubahan iklim dan perubahan pola konsumsi. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian 1 bahwa terdapat hubungan antara persepsi dengan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Saran 1. Untuk penelitian selanjutnya dapat diperdalam lagi menggunakan metode kualitatif mengenai bentuk adaptasi yang dilakukan oleh para nelayan dalam menghadapi perubahan iklim. 2. Menggalakkan penyuluhan kepada nelayan yang masih muda. Para pemuda yang ada di daerah pesisir diberikan motivasi untuk menjadi nelayan karena kini banyak pemuda yang enggan menjadi nelayan, padahal pekerjaan menjadi nelayan sangat penting dan dapat menjanjikan apabila mereka memiliki pengetahuan yang baik dalam melaut mencari ikan. 3. Nelayan di Pantai Lebih masih banyak yang belum mengetahui penyebab perubahan iklim, sehingga dapat diberikan penyuluhan kepada nelayan yang muda agar mereka dapat menciptakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, sehingga dapat mengurangi bahan bakar yang tidak ramah lingkungan dan harapannya mereka dapat menyebarluaskan inovasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ajibefun AI, Fatuase AI. 2012. Analysis of Perception and Adaptation to Climate Change Among Arable Crop Farmers in Ikogosi Warm Spring Communities of Ekiti State, Nigeria [internet]. [ dikutip 2 Maret 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.earthsystemgovernance.org/lund2012/LC2012-paper233.pdf Aphunu A, Nwabeze GO. 2012. Fish Farmers’ Perception of Climate Change Impact on Fish Production in Delta State, Nigeria [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]. Dapat diunduh dari: http://dx.doi.org/10.4314/jae.v16i2.1 [Bakosuratnal] Badan koordinasi survei dan pemetaan nasional. 2011. Workshop Dampak Kenaikan Permukaan Laut Pada Lingkungan Pantai Indonesia [internet]. [dikutip 21 Februari 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.bakosurtanal.go.id/rilis-pers/show/workshop-dampakkenaikan-permukaan-laut-pada-lingkungan-pantai-indonesia-2 Baldo-Soriano E, de Chavez R, Erni C, Tugendhat H. 2010. Apa itu REDD? Sebuah Panduan untuk Masyarakat Adat [internet]. [dikutip 23 Februari 2014]. Dapat diunduh dari www.forestpeoples.org Baron RA, Byrne D. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1. Edisi Kesepuluh. Jakarta (ID): Pratama Gelora Aksara. 307 hal. [BBC Indonesia] British Broadcasting Corporation in Indonesia. 2012. Kampung Iklim untuk turunkan emisi [internet]. [dikutip 18 Februari 2014]. Dapat diunduh dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/05/120515_kamp ungiklim.shtml Binternagel NB. 2011. Adaptation to Natural Hazards in Central Sulawesi, Indonesia-Strategies of Rural Households [disertasi][internet].[dikutip 10 Maret 2014]. Dapat diunduh dari http://ediss.unigoettingen.de/bitstream/handle/11858/00-1735-0000-0006-B2F8C/binternagel.pdf?sequence=1 Borberg J. Climate Change Adaptation: Information Needs, Concerns, and Behavioral Intention among Oregon Coast Professionals [internet] [8 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari: https://ir.library.oregonstate.edu/xmlui/bitstream/handle/1957/14275/Bor berg_MRM_Project_25Aug09.pdf?sequence=1 Copsey T, Dalimunthe S, Hoijtink L, Stoll N. 2013. Indonesia : Bagaimana Orang Indonesia Hidup di Tengah Perubahan Iklim dan Bentuk Komunikasi Apa yang Dapat Dilakukan [internet]. [dikutip 15 Maret 2014]. Dapat diunduh dari
62
http://downloads.bbc.co.uk/rmhttp/mediaaction/pdf climateasia reports tr anslations homepage limate sia ndonesian ahasa.pdf Diposaptono S. 2011. Sebuah Kumpulan Pemikiran : Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim (Gempa Bumi, Tsunami, Banjir, Abrasi, Pemanasan Global, dan Semburan Lumpur Lapindo). Jakarta (ID): Kementrian Kelautan dan Perikanan. 192 hal. [DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2013. Loss and Damage Terkait Perubahan Iklim: Sebuah Dimensi Baru Bagi Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia [internet]. [dikutip 20 Februari 2014]. Dapat diunduh dari http://www.dnpi.go.id/DMS.V3/download.php?id=343 Helmi A. 2011. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir (Studi Kasus: Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan) [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. 119 hal [IPCC].Intergovernmental Panel of Climate Change. 2007. Impact, Adaptation, and Vulnerability [internet]. [dikutip 18 Februari 2014]. Dapat diunduh dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg2/en/ch10s10-12.html [IPCC].Intergovernmental Panel of Climate Change. 2012. Glossary of terms. In: Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate Change Adaptation. A Special Report of Working Groups I and II of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) [internet]. [dikutip 18 Februari 2014]. Dapat diunduh dari http://www.ipcc.ch/pdf/specialreports/srex/SREX-Annex_Glossary.pdf [Kemenhut] Kementrian Kehutahan. 2013. Adaptasi Masyarakat Pesisir: Mengelola Ketidakpastian Dampak Perubahan Iklim [Internet] [dikutip 17 Agustus 2014]. Dapat diunduh dari http://forda-mof.org/files/8Niken2013-PBMENGUBAH_POTENSI_BENCANA_MENJADI_BERKAH.pdf [Kementan] Kementrian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian [internet]. [dikutip 10 Agustus 2014]. Dapat diunduh dari https://secure.litbang.deptan.go.id/mirror/litbang/download/one/132/file/ pedum-adaptasi.pdf Lekatompessy HS, Nessa HN, Arief AA. 2013. Strategi Adaptasi Nelayan PulauPulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis [internet]. [dikutip 4 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/b8e41a786da110597359750867c6c4c7.pdf Lelangayaq, YLP. 2013. Hubungan antara Persepsi Terhadap Polisi Lalu Lintas
63
dengan Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan Remaja di Kota Malang [internet]. [dikutip 2 Maret 2014]. Dapat diunduh dari http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikelD77306A114D843632897AF8F7D3B 348F.pdf Muhammad S, Wiadnya DGR, Sutjipto DO. 2009. Adaptasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Kelautan Terhadap Dampak Perubahan Iklim Global. Seminar Nasional Pemanasan Global : Strategi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia, 31 Januari 2009, Malang. [internet]. [dikutip 2 Maret 2014]. Dapat diunduh dari http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/02/Makalah_ClimatChangeUB_31Jan09.pdf Myers DG. 2012. Psikologi Sosial. Edisi ke-10. Tusyani A, Sembiring LS, Gaytri PG, Sofyan PN, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Salemba Humanika. Terjemahan dari : Social Psychology Nguyen PB, Nguyen KT, Lem HT, dan Jolly CM. 2012. Climate Change Awareness and Impacts on Aquaculture in Poor Rural Coastal Communities, Ben Tre Province, Vietnam [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]. Dapat diunduh dari : http://hdl.handle.net/1957/35029 [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2014. What is Coral Bleaching? [internet]. [dikutip 20 Maret 2014]. Dapat diunduh dari http://oceanservice.noaa.gov/facts/coral_bleach.html Purnamasari AI. 2013. Persepsi dan Perilaku Masyarakat Desa Cipaganti Terhadap Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. 96 hal Patriana R. 2011. Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. 128 hal Rindayati H, Susilowati I, dan Handrarto B. 2013. Adaptasi Nelayan Perikanan Tangkap Pulau Moro Karimun Kepulauan Riau terhadap Perubahan Iklim [internet]. [dikutip 4 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari eprints.undip.ac.id/40677/1/040-Heni_Rindayati.pdf Ross L dan Nisbett RE (1991). The Person and The Situation: Perspectives of social psychology [internet]. [dikutip 4 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari http://psycnet.apa.org/psycinfo/1991-97382-000 Surmaini E, Runtunuwu E, dan Las I. 2013. Upaya Sektor Pertanian dalam menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Litbang Pertanian [internet]. [dikutip 18 Februari 2014]; 30 (1). Dapat diunduh dari http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3301111.pdf
64
Susandi A, Herlianti I, Tamamdin M, Nurlela I. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan [internet]. [dikutip 23 Februari 2014] 12(2). Dapat diunduh dari http://blog.umy.ac.id/ghea/files/2011/12/DampakPerubahan-Iklim-Terhadap-Ketinggian-Muka-Laut-Banjarmasin.pdf Tauli-Corpuz V. et al. 2008. Panduan Tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat [internet]. [dikutip 3 Maret 2014]. Dapat diunduh dari www.tebtebba.org [UNFCCC] United Nation Framework Conveention on Climate Change. 2007. Sekilas Tentang Perubahan Iklim [internet]. [dikutip 20 Februari 2014]. Dapat diunduh dari http://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tent ang_perubahan_iklim.pdf [UU] Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 [VoA Indonesia] Voice of America in Indonesia. 2014. 88,3 Kilometer Garis Pantai Bali Alami Abrasi [internet]. [dikutip 18 Februari 2014]. Dapat diunduh dari http://www.voaindonesia.com/content/garis-pantai-balialami-abrasi/1826370.html
Wiyono ES. 2008. Strategi Adaptasi Nelayan Cirebon, Jawa Barat. [internet]. [dikutip 10 Agustus 2014]. Dapat diunduh dari http://jamu.journal.ipb.ac.id/index.php/bulpsp/article/view/4292 Zhang J, Fleming J, Goericke R. 2012. Fishermen’s Perspectives on Climate Variability [internet]. [dikutip 3 Maret 2014]. Dapat diunduh dari www.elsevier.com/locate/marpol
LAMPIRAN Lampiran 1. Kerangka Sampling No Nama 1 I Made Ana 2 Dw Ketut Mancur 3 Dw Made Arka 4 I JRMGK Sangah 5 I JRMGK Segara 6 I Ketut Ampuan 7 I Ketut Beneh 8 I Ketut Cekug 9 I Ketut Cepiq 10 I Ketut Jata 11 I Ketut Ketid 12 I Ketut Linta 13 I Ketut Lintang 14 I Ketut Mandra 15 I Ketut Mardiana 16 I Ketut Mawa 17 I Ketut Mawa 18 I Ketut Muliantara 19 I Ketut Pugleg 20 I Ketut Rai 21 I Ketut Sama 22 I Ketut Sander 23 I Ketut Sawa 24 I ketut Sena 25 I Ketut Soklot 26 I Ketut Sorma 27 I Ketut Suana 28 I Ketut Sudira 29 I Ketut Swardana 30 I Ketut Swardika 31 I Ketut Tala 32 I Ketut Tamat 33 I Ketut Weta 34 I Made Ada 35 I Made Arta 36 I Made Badina 37 I Made Bebas 38 I Made Bulitan 39 I Made Cerono 40 I Made Darma 41 I Made Dartu 42 I Made Dika 43 I Made Dompek
Pekerjaan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
66
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89
I Made Ginasar I Made Jingga I Made Juita I Made Karang I Made Kareng I Made Karsi I Made Kontra I Made Krura I Made Orga I Made Pana I Made Sadru I Made Solat I Made Suartono I Made Sudanta I Made Suja I Made Sunarka I Made Teken I Made Uker I Made Unyil I Made Warka I Made Warto I Made Widana I Made Wirayuda I MGK Sangah I Neng Putraba I Nym Aron I Nym Arsa I Nym Asta I Nym Dampek I Nym Darim I Nym Darin I Nym Diana I Nym Erawan I Nym Jampun I Nym Jana I Nym Juliantara I Nym Kemburwana I Nym Kopad I Nym Lodra I Nym Luwih I Nym Marwi I Nym Muliarta I Nym MW I Nym Nanda I Nym Rangkep I Nym Rugeng
Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
67
90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135
I Nym Sepren I Nym Seram I Nym Siteng I Nym Sudana I Nym Suharno I Nym Sura I Nym Suta I Nym Suttarta I Nym Wanta I Nym Weta I Nym Widya I Nym Witi I Wyn Arya Widana I Wyn Bawa I Wyn Brata I Wyn Candru I Wyn Canra I Wyn Cidra I Wyn Cipta Mulya I Wyn Darto I Wyn Gatra I Wyn Gede Ginarta I Wyn Geten I Wyn Ginarta I Wyn Jain I Wyn Jampun I Wyn Jara I Wyn Jegra I Wyn Jeno I Wyn Kaciran I Wyn Karda I Wyn Karsa I Wyn Karta I Wyn Katon I Wyn Katong I Wyn Kumpul I Wyn Lama I Wyn Lambin I Wyn Lambos I Wyn Madra I Wyn Marlina I Wyn Muja I Wyn Murjana I Wyn Naruh I Wyn Nirka I Wyn Nirka
Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
68
136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170
I Wyn Nomer I Wyn Oliver I Wyn Panja I Wyn Panya I Wyn Parta I Wyn Perianta I Wyn Pindah I Wyn Pujer I Wyn Ragem I Wyn Rija I Wyn Ruba I Wyn Saklit I Wyn Sira I Wyn Slamet I Wyn Soma I Wyn Suardana I Wyn Sudanto I Wyn Sudarma I Wyn Sudita I Wyn Sudra I Wyn Sukananda I Wyn Sura I Wyn Surata I Wyn Sutita I Wyn Tangguh I Wyn Wana I Wyn Warya I Wyn Wija I Wyn Wirnata I Wyn Wisma I Wyn Wita I Wyn Yan Kayun I Wyn Yogantara I Wyn Yudiana JRO MGK Tanah Putih
Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan
Keterangan : = terpilih sebagai responden penelitian
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
Lampiran 2. Dokumentasi lapang
Keadaan Tepi Pantai Lebih
Perahu Mesin Tempel milik nelayan
Kapal diangkat ke sandaran kapal
Wawancara dengan Ketua Nelayan
Bangunan Batu Penahan Ombak
Wawancara dengan Responden
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Nomor Responden Hari, Tanggal Survei Tanggal Entri Data
KUESIONER HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DENGAN PERILAKU ADAPTASI NELAYAN DESA LEBIH TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
I. IDENTITAS RESPONDEN Nama Responden : Jenis Kelamin : Alamat : Nomor telepon II.
:
KARAKTERISTIK NELAYAN Berikan tanda silang [X] pada jawaban yang anda rasa paling benar. 1. Berapa usia Bapak/Ibu sekarang? ............... tahun 2. Apakah pendidikan terakhir yang Bapak/Ibu capai? A. Tidak Sekolah E. Tamat SD B. Tidak Tamat SD F. Tamat SMP C. Tidak Tamat SMP G. Tamat SMA D. Tidak Tamat SMA H. Perguruan Tinggi 3. Sudah berapa lama Bapak/Ibu tinggal di Desa Lebih? A. 1-5 tahun C. 11-15 tahun B. 6-10 tahun D. >16 tahun 4. Sudah berapa lama Bapak/Ibu bekerja sebagai nelayan? A. 1-5 tahun C. 11-15 tahun B. 6-10 tahun D. >16 tahun 5. Apakah terdapat pekerjaan lain selain menjadi nelayan? A. Ya : (1) pekerjaan : ............... (2) pekerjaan : ............... (3) pekerjaan : ............... B. Tidak
72
6. Apa saja jenis alat tangkap yang Bapak/Ibu miliki? A. Jaring C. Jaring dan pancing B. Pancing D. Tidak punya 7. Apa saja jenis perahu yang Bapak/Ibu miliki? A. Jukung B. Perahu motor C. Perahu papan D. Lainnya, Sebutkan : ............. III.
PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Berikan tanda silang [X] pada jawaban yang anda rasa paling benar di bawah ini. Jawaban boleh lebih dari 1 (satu) 8. Apa saja bentuk perubahan iklim yang terjadi di tempat tinggal Bapak/Ibu ? A. Peningkatan suhu air laut C. Peningkatan permukaan air laut B. Keadaan musim yang tidak menentu D. Lokasi ikan yang tidak jelas 9. Apa saja dampak perubahan iklim yang terjadi di tempat tinggal Bapak/Ibu ? A. Frekuensi melaut berkurang D. Merusak terumbu karang B. Jumlah tangkapan berkurang E. Mengurangi jumlah ikan C. Lama melaut berkurang F. Meningkatkan potensi abrasi 10. Apa saja penyebab perubahan iklim yang terjadi di tempat tinggal Bapak/Ibu? A. Penggunaan bahan bakar yang C. Peningkatan suhu bumi berlebihan B. Penggunaan listrik yang D. Perubahan arah angin dan cuaca berlebihan 11. Apa saja harapan Bapak/Ibu atas terjadinya perubahan iklim? A. Tidak memengaruhi kegiatan melaut E. Musim hujan tetap normal B. Terumbu karang dapat terjaga F. Adanya bahan bakar yang ramah dengan baik lingkungan C. Tidak menyebabkan abrasi G. Suhu air laut tidak semakin parah D. Adanya upaya penanaman pohon H. Lokasi penangkapan ikan tidak mangrove berubah-ubah
IV.
TINDAKAN ADAPTASI NELAYAN Berikan tanda silang [X] pada jawaban yang paling benar 12. Apakah gejala perubahan iklim dapat menjadikan Bapak/Ibu melakukan diferensiasi pekerjaan? 13. Apakah perubahan iklim dapat membuat Bapak/Ibu membatasi penggunaan bahan bakar? 14. Apakah perubahan iklim dapat mengubah pola konsumsi Bapak/Ibu? 15. Apakah perubahan iklim membuat Bapak/Ibu harus melakukan penyesuaian pekerjaan menjadi nelayan? Sebutkan : ...................................................................
A. B. A. B. A. B. A. B.
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
RIWAYAT HIDUP Finka Ermawan dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Juli 1992. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Asep Wachyu dan Erma Resnawati. Penulis memulai pendidikan formalnya di Taman Kanak-kanak Akbar pada tahun 1996-1998, setelah itu penulis melanjutkan di Sekolah Dasar Polisi 4 Bogor pada tahun 1998-2004. Penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bogor pada tahun 2004-2007, dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bogor pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manumur. Selama di IPB, penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat IlmuIlmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai anggota Divisi Public Relation pada tahun 2011-2012. Pada tahun 2012-2013 penulis dipercaya untuk menjadi Direktur Divisi Public Relation HIMASIERA. Pada tahun 2013 penulis mendirikan sebuah komunitas bernama Public Relation Community (PRC) IPB. Selain turut serta dalam keanggotaan organisasi, penulis juga tergabung sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Komunikasi Bisnis pada tahun 2012-2013. Selama masa perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) tahun 2011-2013.