12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Kabupaten Klaten Kabupaten Klaten terletak di Provinsi Jawa Tengah. Sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah selatan Kabupaten Gunung Kidul, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Sleman. Kabupaten Klaten merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Tengah. Saat ini lebih dari 80% hasil produksi pertanian pangan di Kabupaten Klaten adalah beras. Dari total lahan yang digunakan untuk bertanam padi, hampir 60% diantaranya beririgasi teknis, sebagian besar sisanya beririgasi semi teknis, dan hanya sebagian kecil yang merupakan lahan irigasi tadah hujan (Istiaji 2011). Pola tanam di Kecamatan Juwiring, Delanggu, Polanharjo, dan Wonosari adalah padi-padi-padi. Wilayah-wilayah ini memiliki daerah tergenang sepanjang tahun sehingga ketersediaan air membuat petani menanam padi sepanjang tahun, hal ini justru mengakibatkan kegagalan panen paling banyak karena serangan wereng batang cokelat (Istiaji 2011).
Perbedaan Lokasi antar Kecamatan Kecamatan Juwiring termasuk daerah beririgasi teknis. Air tersedia sepanjang tahun, sehingga memungkinkan pola tanam yang dilakukan petani padipadi-padi (Gambar 4c). Sistem pertanaman padi di Kecamatan Juwiring berlangsung tidak serempak (Gambar 4a). Dari hasil wawancara dengan petani padi di Kecamatan Juwiring diketahui bahwa sebagian besar petani (66.7%) menggunakan varietas Inpari 13. Keseragaman varietas padi membuat kerapuhan genetik dan ditemukan varietas rentan yang menyebabkan populasi wereng berlipat ganda (Istiaji 2011).
13
b
a
c
Gambar 4 Sistem tanam tidak serempak (Yuliani, TS) (a), ketersediaan air mencukupi (Yuliani, TS) (b), dan pola tanam padi sepanjang tahun di Kecamatan Juwiring (c)
Varietas Inpari 13 merupakan bantuan dari pemerintah daerah setempat. Namun masih ada sebagian kecil petani yang menggunakan benih padi varietas lainnya seperti Inpari 1, IR 64, Situ Bagendit, dan Ciherang. Jarak tanam yang digunakan 20×20 cm sampai 25×25 cm. Penggunaan pupuk kimia di Kecamatan Juwiring lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cawas dan Trucuk. Pupuk yang biasa dipakai petani yaitu pupuk NPK dan dosis pupuk yang digunakan untuk ukuran satu patok lebih dari 100 kg/patok, sedangkan untuk penggunaan pupuk organik atau kotoran hewan hanya beberapa orang saja yang menggunakannya. Frekuensi penyemprotan pestisida pada Kecamatan Juwiring paling tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cawas dan Kecamatan Trucuk karena penyemprotan dilakukan secara rutin 2-5 kali penyemprotan hingga waktu panen. OPT pada Kecamatan Juwiring hanya dikendalikan dengan menggunakan pestisida kimia dan petani tidak pernah mengendalikan dengan cara lain. Berbeda dengan Kecamatan Juwiring, Kecamatan Cawas merupakan lahan pertanian dengan irigasi tadah hujan semi teknis. Kecamatan Cawas mengalami masa sulit air pada musim tanam ketiga (Gambar 5b). Pertanaman padi di Kecamatan Cawas berlangsung serempak (Gambar 5a). Petani lebih banyak menanam padi varietas IR 64 (41%). Namun tidak sedikit petani yang menanam varietas lain seperti Inpari 13, Situ Bagendit, Ciherang, Mekongga, Bunda Sri Madrim, dan Bestari.
14
a
b
c
Gambar 5 Sistem tanam serempak (a), ketersediaan air musim tanam ketiga (b), pola tanam padi-padi-palawija di Kecamatan Cawas (c)
Jarak tanam yang biasa digunakan petani adalah 20×20 cm. Penggunaan pupuk kimia tidak terlalu tinggi seperti di Kecamatan Juwiring, karena pemupukan untuk satu patok kurang dari 100 kg/patok, sedangkan untuk penggunaan kotoran hewan, hanya beberapa petani yang menggunakan kotoran hewan sebagai pupuk organik. Penggunaan pestisida kimia dilakukan untuk mengendalikan OPT. Penyemprotan dilakukan secara rutin 2-4 kali sampai panen. Sistem irigasi di Kecamatan Trucuk yaitu semi teknis, pada musim tanam ketiga petani menanam palawija atau bukan padi karena kesulitan air. Tanaman bukan padi yang biasa ditanam adalah tembakau, jagung, dan kacang kedelai. Sistem tanam di Kecamatan Trucuk berlangsung serempak (Gambar 6a). Varietas padi yang banyak ditanam di Kecamatan Trucuk adalah IR 64 (43.4%). Namun petani lainnya ada juga yang menanam varietas lain seperti Way Apo Buru, Sri Madim, Inpari 13, Situ Bagendit, Mekongga, Mentik wangi, dan Ciherang. Jarak tanam yang digunakan 20×20 cm. Panggunaan pupuk kimia kurang dari 100kg/patok, sedangkan untuk penggunaan pupuk organik dari kotoran hewan lebih banyak, dibandingkan dengan petani
di daerah Cawas dan Juwiring.
Pengendalian OPT tidak hanya dengan pestisida kimia tetapi juga dengan menggunakan pestisida nabati yang dibuat bersama oleh kelompok tani.
15
b
a
c
Gambar 6 Sistem tanam serempak (a), ketersediaan air musim tanam ketiga (b) menjadikan pola tanam padi-padi-palawija di Kecamatan Trucuk (c)
Kelompok Telur S. incertulas Jumlah kelompok telur yang ditemukan di setiap kecamatan pada tiap kali pengamatan selalu berbeda. Kelompok telur yang menempel di daun diambil beserta helai daun sepanjang 3 cm, karena apabila tidak diambil dengan daunnya maka kelompok telur menjadi hancur dan rusak. Ukuran kelompok telur bervariasi mulai dari 0.3-1.0 cm (Gambar 7b).
a
b
Gambar 7 Kelompok telur diamati di bawah mikroskop (a) dan variasi ukuran kelompok telur (b)
Berdasarkan Tabel 1, jumlah kelompok telur terbanyak ditemukan di Kecamatan Juwiring, hal ini karena Kecamatan Juwiring merupakan lahan
16
Tabel 1 Jumlah kelompok telur di 3 kecamatan Lokasi Kec. Juwiring Kec. Cawas Kec. Trucuk a
1 73.67 ± 2.08 a 10.00 ± 15.62 a 33.67 ± 32.08 ab
Pengamatan ke-a 2 3 66.67 ± 6.66 a 38.00 ± 33.81 a 0.67 ± 1.15 b 0.00 ± 0.00 a 2.67 ± 10.88 a 3.00 ± 5.20 a
4 7.67 ± 2.08 a 0.00 ± 0.00 c 4.67 ± 2.52 b
5 60.00 ± 20.22 a 0.00 ± 0.00 b 0.67 ± 0.58 b
Rata-rata 63.00 2.13 8.93
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Tabel 2 Persentase larva S. incertulas yang hidup Lokasi Kec. Juwiring Kec. Cawas Kec. Trucuk a
1 57.20 ± 6.34 a 1.04 ± 1.80 c 41.00 ± 6.20 b
2 7.12 ± 7.05 a 0.00 ± 0.00 a 0.44 ± 0.75 a
Pengamatan ke-a 3 4.11 ± 4.89 a 0.00 ± 0.00 a 13.25 ± 22.95 a
4 63.07 ± 9.69 a 0.00 ± 0.00 b 44.41 ± 16.60 a
5 18.40 ± 16.90 a 0.00 ± 0.00 b 33.30 ± 57.70 ab
Rata-rata 29.98 0.21 26.49
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
16
17
pertanian irigasi teknis dengan ketersediaan air mencukupi sepanjang tahun. Petani memanfaatkan keadaan ini dengan terus menanam padi terus-menerus, yang menyebabkan ketersediaan inang di lapang untuk S. incertulas selalu ada. Padi yang ditanam dua kali setahun mengakibatkan serangga inang cenderung mampu mempertahankan populasinya dari satu musim tanam ke musim tanam berikutnya (Hamid et al. 2003). Kelompok
telur
lebih
banyak
ditemukan
pada
tanaman
muda,
dibandingkan dengan tanaman tua, karena unsur nitrogen (N) lebih banyak pada tanaman muda dibandingkan dengan tanaman tua, pendapat ini didukung oleh Yani (1985) yang mengemukakan bahwa kekurangan N biasanya menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan dan menimbulkan gejala klorosis yang mula-mula timbul pada daun tua sedangkan daun muda tetap berwarna hijau. Petani di Kecamatan Juwiring biasa memberi pupuk pada saat awal penanaman. Pupuk N yang tinggi dapat membuat tanaman menjadi sukulen. Jika tanaman mengandung unsur N banyak maka tanaman lebih lunak sehingga lebih mudah diserang oleh larva S. incertulas. Menurut Bernays (1990), aplikasi pupuk N yang tinggi tidak akan berdampak pada biologi serangga tetapi akan merubah morfologi, biokimia, dan fisiologi dari tanaman inang.
a
Gambar 8
b
Kelompok telur ditemukan pada tanaman umur 2 MST (a), dan tanaman umur 5 MST (b)
18
Kelompok telur pada tanaman muda biasanya ditemukan di atas permukaan daun dan agak mendekati ujung daun (Gambar 8a), namun pada tanaman tua biasanya ditemukan di bawah permukaan daun dan jauh dari ujung daun (Gambar 8b). Jumlah kelompok telur di Kecamatan Trucuk dan Cawas lebih kecil dari jumlah kelompok telur yang ditemukan di Kecamatan Juwiring, hal ini karena pada musim tanam ketiga air sedikit di Kecamatan Trucuk dan Cawas sehingga petani mengganti tanamannya dengan tanaman selain padi yang dapat menyebabkan siklus hama terputus sehingga keberadaan kelompok telurnya di Kecamatan Cawas dan Trucuk tidak sebanyak di Kecamatan Juwiring.
Larva Hidup Kelompok telur yang dipelihara dalam gelas plastik membutuhkan waktu sampai dengan 1 minggu untuk menetas (karena tidak semua kelompok telur memiliki umur yang sama), pendapat ini didukung oleh Soehardjan (1976) yang mengemukakan bahwa stadia telur bervariasi antara 6 sampai 9 hari. Dari kelompok telur yang menetas dapat keluar larva S. incertulas, parasitoid, ataupun larva S. incertulas dan parasitoid. Larva yang keluar dihitung jumlahnya dengan menggunakan counter. Berdasarkan Tabel 2, persentase larva hidup tertinggi terdapat pada Kecamatan Juwiring. Hal ini membuktikan bahwa S. incertulas telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya, sehingga untuk S. incertulas pada Kecamatan Juwiring memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik dibandingkan S. incertulas di Kecamatan Cawas dan Trucuk. Kondisi ini didukung dengan adanya ketersediaan tanaman inang yang tidak pernah terputus, penggunaan insektisida yang kurang bijaksana (tidak memenuhi 5T) serta pemupukan yang berlebihan. Semakin banyak larva yang hidup maka semakin banyak populasi serangga ini pada generasi selanjutnya.
Kegagalan Menetas Tidak semua telur S. incertulas memiliki kemampuan menetas yang sama. Oleh karena itu dilakukan pembedahan pada telur untuk mengetahui jumlah telur yang tidak menetas (Gambar 9).
19
a
b
Gambar 9 Pembedahan telur yang berisi larva mati (a) dan parasitoid mati (b)
Berdasarkan Tabel 3, persentase kegagalan menetas pada 3 kecamatan tidak berbeda nyata. Telur yang menetas dapat keluar sebagai larva S. incertulas atau jika telur terparasit akan keluar sebagai parasitoid, sedangkan telur yang tidak menetas dapat disebabkan oleh infeksi patogen sehingga larva mati sebelum keluar dari telur, atau embrio telur tidak berkembang. Menurut Yunus (2012) di lapang sering terjadi kerusakan kelompok telur karena pengaruh faktor luar, penyebabnya adalah air pengairan sebagai akibat curah hujan yang tinggi.
Parasitisasi Tingkat parasitisasi parasitoid ditentukan oleh keberadaan inang. Berdasarkan Tabel 4 persentase parasitisasi tertinggi terdapat pada Kecamatan Juwiring diikuti oleh Kecamatan Trucuk dan Cawas. Keberadaan telur di Kecamatan Juwiring selalu ada sehingga dapat menjadi inang untuk parasitoid telur S. incertulas. Berbeda dengan Kecamatan Cawas dan Trucuk yang memiliki pertanaman padi serempak dan setiap musim tanam ketiga tanaman dirotasi dengan tanaman selain padi seperti kedelai, jagung, tembakau, dan lainnya. Hal ini
mengakibatkan
terputusnya
persediaan
tanaman
inang
bagi
PBPK
20
Tabel 3 Persentase telur gagal menetas Lokasi Kec. Juwiring Kec. Cawas Kec. Trucuk a
1 6.30 ± 1.04 a 26.82 ± 23.34 a 12.27 ± 3.86 a
Pengamatan ke-a 2 3 8.61 ± 3.88 a 13.59 ± 2.53 a 17.17 ± 29.74 a 0.00 ± 0.00 a 8.99 ± 10.88 a 9.27 ± 16.60 a
4 4.97 ± 0.44 a 0.00 ± 0.00 a 7.40 ± 10.30 a
5 4.32 ± 2.22 a 0.00 ± 0.00 a 3.64 ± 6.30 a
Rata-rata 7.56 8.80 8.31
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Tabel 4 Persentase parasitisasi Lokasi Kec. Juwiring Kec. Cawas Kec. Trucuk a
1 36.40 ± 6.72 a 65.11 ± 56.43 a 46.73 ± 5.56 a
2 84.27 ± 8.50 a 16.16 ± 27.99 a 57.24 ± 50.06 a
Pengamatan ke-a 3 4 82.30 ± 7.19 a 31.96 ± 9.32 a 0.00 ± 0.00 b 0.00 ± 0.00 b 10.81 ± 18.72 b 48.19 ± 11.90 a
5 77.30 ± 17.10 a 0.00 ± 0.00 b 29.70 ± 51.40 ab
Rata-rata 62.45 16.25 38.53
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
20
21
sehingga jumlah serangga ini tidak semakin tinggi pada musim tanam selanjutnya. Keberadaan telur S. incertulas yang sedikit menyebabkan keberadaan parasitoid sedikit. Fluktuasi kelimpahan individu yang muncul sangat bergantung pada pola kelimpahan kelompok telur S. incertulas (Yunus 2012). Identifikasi parasitoid yang keluar dari kelompok telur dilakukan dengan menggunakan buku kunci identifikasi Taxonomy of rice insect pests and their arthopod parasites and predators, oleh Alberto T Barrion dan James A Litsinger.
b
a
d
c
e
Gambar 10 Parasitoid telur PBPK di 3 kecamatan Tetrastichus schoenobii (a) Telenomus rowani (b), Trichogramma japonicum (c), dan Telenomus sp. (d), serta hiperparasitoid Trichomalopsis sp.
Identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan karakter morfologi pada tubuh serangga. Parasitoid yang ditemukan pada Kecamatan Juwiring, Cawas, dan Trucuk adalah Tetrastichus schoenobii Ferriere (Hymenoptera: Eulophidae), Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera: Scelionidae), Telenomus sp., dan Trichogramma japonicum Ashmead (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Hasil ini tidak sesuai dengan pernyataan Yunus (2012), ditemukan 3 jenis parasitoid telur yaitu Tetrastichus schoenobii, Telenomus, rowani, dan Trichogramma japonicum. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan tempat dan waktu penelitian yang digunakan, sehingga memungkinkan keanekaragaman yang berbeda pada
22
tempat yang berbeda. Ketiga parasitoid ini diketahui juga menyerang kelompok telur penggerek batang padi putih (PBPP) saat terjadi ledakan di Karawang pada awal 1990-an (Rauf 2000). Hiperparasitoid yang ditemukan di Kecamatan Juwiring yaitu Trichomalopsis sp. (Gambar 10e), namun diduga spesies ini merupakan
Trichomalopsis
apanteloctena
Crawford
(Hymenoptera:
Pteromalidae), pendapat ini didukung oleh Yunus (2012) yang juga menemukan spesies ini saat kelimpahan parasitoid tinggi. Berdasarkan buku identifikasi Taxonomy of Rice Insect Pests and Their Arthropod Parasites and Predators, ciri morfologi parasitoid telur Tetrastichus schoenobii yaitu tubuh berwarna biru metalik atau berkilau hijau, antena cokelat kecuali skapus berwarna kuning dengan sensor cokelat pada jantan, tungkai berwarna kuning, toraks halus dan berkilau, abdomen betina berelongasi, dan abdomen jantan berbentuk agak oval (Gambar 10a). Ciri morfologi Telenomus rowani yaitu metasoma panjang dan licin, antena jantan berwarna kuning, antena jantan berbentuk moniliform atau seperti manik-manik, sedangkan bentuk antena betina menggada ke bagian ujung, dan panjang skapus betina 4.9 kali lebarnya (Gambar 10b). Ciri morfologi Trichogramma japonicum yaitu bentuk ovipositor lebih ramping daripada tibia ketiga, antena jantan memiliki rambut panjang, genitalia jantan agak oval berelongansi (Gambar 10c). Jumlah kelompok telur di Kecamatan Juwiring setiap minggunya tidak jauh berbeda, namun pada pengamatan ketiga jumlahnya sangat menurun, hal ini terjadi karena pada pengamatan ketiga, hamparan lebih banyak terdapat patok yang berisi tanaman berumur tua dan patok kosong. Kelompok telur di Kecamatan Juwiring dapat ditemukan dari pengamatan pertama hingga pengamatan kelima, sehingga pengamatan parasitoid dapat dilakukan dari pengamatan pertama hingga pengamatan kelima. Gambar 11 menunjukkan bahwa keanekaragaman parasitoid pada Kecamatan Juwiring tinggi. Parasitoid yang terdapat pada kecamatan Juwiring yaitu T. schoenobii, T. rowani, dan T. japonicum, Telenomus sp., serta ditemukan 1 hiperparasitoid Trichomalopsis sp. Parasitisasi didominasi oleh T. schoenobii. Kecamatan Juwiring merupakan daerah tertinggi terjadinya parasitisasi karena terdapat jumlah kelompok telur yang lebih banyak dibandingkan dengan
23
Kecamatan Cawas dan Trucuk. Keanekaragaman serangga baik parasitoid maupun inang yang tinggi mungkin disebabkan oleh jumlah pengambilan contoh yang lebih banyak (Hamid et al. 2003). Jumlah kelompok telur dipengaruhi oleh jumlah inang. Di Kecamatan Juwiring berlangsung sistem tanam tidak serempak dengan pola tanam padi-padi-padi sehingga ketersediaan inang selalu ada. Penanaman padi terus menerus dan tumpang tindih mendorong meningkatnya populasi wereng coklat (Sosromarsono dan Soemawinata 1986).
Jumlah kelompok telur dan parasitoid
2500 Kelompok Telur PBPK Tetrastichus schoenobii Telenomus rowani Trichogramma japonicum Telenomus sp. Trichomalopsis sp.
2000 1500 1000 500 0 1
2 3 4 Pengamatan ke-
5
Gambar 11 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan Juwiring
Jumlah parasitoid yang tinggi menyebabkan munculnya hiperparasitoid. Hiperparasitoid yang ditemukan di Kecamatan Juwiring yaitu Trichomalopsis sp., namun diduga spesies ini merupakan Trichomalopsis apanteloctena. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunus (2012) pada saat kemelimpahan parasitoid tinggi akan muncul satu spesies hiperparasitoid yaitu Trichomalopsis apanteloctena. Menurut Nakamatsu dan Tanaka (2004) hiperparasitoid Trichomalopsis apanteloctena merupakan suatu idiobion ektoparasitoid pada prapupa atau pupa parasitoid Cotesia kariyai (Nakamatsu dan Tanaka 2004). Jumlah kelompok telur S. incertulas pada Kecamatan Cawas sangat rendah sehingga keragaman jenis parasitoid rendah pula. Gambar 12 menunjukkan bahwa
24
kelompok telur hanya ditemukan pada pengamatan pertama dan kedua. Pada pengamatan ke 3, 4, dan 5 tidak ditemukan kelompok telur, sehingga tidak dapat dilakukan pengamatan parasitoid untuk pengambilan ke 3, 4, dan 5. Hal ini menunjukkan bahwa S. incertulas lebih menyukai tanaman pada masa awal tanam, sedangkan pada pengamatan selanjutnya tidak lagi ditemukan kelompok telur. Parasitoid telur yang ditemukan pada Kecamatan Cawas hanya 2 jenis yaitu
Jumlah kelompok telur dan parasitoid
T. schoenobii dan T. rowani
250
Kelompok telur PBPK Tetrastichus schoenobii Telenomus rowani Trichogramma japonicum Telenomus sp. Trichomalopsis sp.
200 150 100 50 0 1
2 3 4 Pengamatan ke-
5
Gambar 12 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan Cawas
Ketersediaan air yang sedikit pada musim tanam ketiga di Kecamatan Cawas membuat petani daerah ini menanam tanaman selain padi. Pada musim tanam ketiga petani menanam tanaman selain padi seperti kedelai, jagung, tembakau, dan lainnya. Rotasi tanaman seperti ini dapat memutus siklus hidup serangga S. incertulas karena ketersediaan inang bagi serangga ini tidak tersedia selama 1 musim tanam. Populasi S. incertulas yang rendah menyebabkan jumlah kelompok telur rendah sehingga munculnya jumlah dan keragaman parasitoid menjadi rendah. Gambar 13 menunjukkan bahwa kelompok telur di Kecamatan Trucuk lebih banyak ditemukan di pengamatan 1 dibandingkan dengan pengamatan
25
selanjutnya, karena pada saat pengamatan 1 tanaman masih berumur sangat muda yang sebagian besar tanaman baru saja dipindah tanam. Namun kelompok telur masih dapat ditemukan sampai pengamatan kelima, sehingga pengamatan parasitoid dapat dilakukan hingga pengambilan sampel kelima. Parasitoid yang ditemukan di Kecamatan Trucuk lebih beragam dibandingkan dengan Kecamatan Cawas. Namun karena jumlah kelompok telur tidak sebanyak di Kecamatan Juwiring sehingga kelimpahan parasitoid tidak tinggi maka tidak ditemukan hiperparasitoid pada Kecamatan Trucuk. Parasitoid yang ditemukan pada daerah ini yaitu T. schoenobii, T. rowani, Telenomus sp., dan T. japonicum.
Jumlah kelompok telur dan parasitoid yang ditemukan
450 Kelompok telur PBPK Tetrastichus schoenobii Telenomus rowani Trichogramma japonicum Telenomus sp. Trichomalopsis sp.
400 350 300 250 200 150 100 50 0 1
2
3 4 Pengamatan ke-
5
Gambar 13 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan Trucuk
Berdasarkan Gambar 14, persentase T. schoenobii pada Kecamatan Juwiring 67%, Cawas 96%, dan Trucuk 43%, yang merupakan persentase tertinggi pada setiap kecamatan. Hal ini menunjukkan T. schoenobii memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan, sehingga parasitoid ini dapat mendominasi di Kecamatan Juwiring, Cawas, dan Trucuk.
26
Di Kecamatan K Trucuk dann Cawas peenanaman bberlangsung serempak s sehingga dappat diketahuui umurnya. U Umur tanam man padi di K Kecamatan Trucuk T saat p pengamatan ke 1, 2, 3, 4, 4 5 yaitu 0 MST, M 2 MST T, 4 MST, 6 MST, dan 8 MST. T. s schoenobii lebih l banyak k memarasit kelompok telur pada peengamatan ke k 1, 2, dan 3 yang berrumur 0-6 MST, sedaangkan T. rowani lebih banyak memarasit k kelompok teelur pada penngamatan kee 4 dan 5 yaaitu saat tanaaman berum mur 6 dan 8 M MST.
Kecamataan Juwiring
Kecamataan Cawas % 0% 4% 0% 0%
% 0% 1% 20% 12%
67% %
96%
Kecam matan Trucukk 3% 0% 15% %
T. schooenobii T. row wani T. japoonicum Telenoomus sp. Trichoomalopsis sp.
43%
39%
G Gambar 14 Persentasee parasitisasi masing-masing jenis parasitoid pada p setiap kecamataan
Pengggunaan Pesttisida ksana (tidakk memenuhii 5T) dapat Pengggunaan pesttisida yang kurang bijak m mempengaru uhi
kelimppahan
S.
incertulas
dan
parassitoidnya
d di
lapang.
T Terbunuhny ya musuh alaami dapat m meningkatkan n populasi S. incertulas meningkat, m s seperti yang dikemukaakan oleh Istiaji (20112) kecendrrungan pennyemprotan i insektisida leebih sering terdapat t padda hamparan dengan tinggkat kerusakaan berat.
27
Kecamatan Juwiring merupakan kecamatan dengan penggunaan pestisida tertinggi dibandingkan 2 kecamatan lainnya. Berdasarkan hasil wawancara pada Kecamatan Juwiring jenis pestisida yang digunakan lebih beragam dengan frekuensi penyemprotan yang lebih tinggi yaitu 2 sampai 5 kali semprot sampai masa panen. Menurut Alfitra (2011), petak yang lebih sering dilakukan penyemprotan insektisida, lebih banyak ditemukan pada petak dengan keparahan serangan WBC berat. Jenis bahan aktif pestisida yang biasa dipakai oleh petani Kecamatan Juwiring yaitu fipronil, alfametrin, difekonazol, lamda sihalotrin, profenofos,
klorantranilprol
dan
tiametoksin,
etonfeproks,
karbosulfan,
karbofuran, klorfiripos dan sipermetrin, tebukonazol, dan dimehipo. Jenis bahan aktif pestisida yang digunakan di Kecamatan Cawas yaitu alfametrin, difekonazol, tiodikarb, fipronil dan karbofuran. Bila dibandingkan dengan Kecamatan Juwiring penggunaan bahan aktif di Kecamatan Cawas lebih sedikit sehingga lingkungan dan musuh alami lebih terjaga keseimbangannya. Alasan inilah yang menyebabkan keberadaan telur di Kecamatan Cawas sangat rendah. Di Kecamatan Trucuk bahan aktif pestisida yang biasa digunakan petani yaitu imidakloprid, deltametrin, alfametrin, difekonazol, karbofuran, klorpirifos, dan lamda sihalotrin.