HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA (Analisis Ketatanegaraan Islam)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
OLEH:
AHMAD BAIHAKKI BIN ARIFIN NIM: 106045203751
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA (Analisis Ketatanegaraan Islam)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : AHMAD BAIHAKKI BIN ARIFIN NIM: 106045203751
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA (Analisis Ketatanegaraan Islam) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: AHMAD BAIHAKKI BIN ARIFIN NIM: 106045203751
Di Bawah Bmbingan Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. NIP: 150 270 614
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JA K A R TA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA (Analisis Ketatanegaraan Islam)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).
Jakarta, 12 Desember 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM. (..…....……………) NIP: 150 210 422
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag.
(..…....……………) NIP: 150 282 403
3. Pembimbing I : Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. (..…....……………) NIP: 150 270 614
4. Penguji I : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM. (..…....……………) NIP: 150 210 422
5. Penguji II : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. (..…....……………) NIP: 150 275 509
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Desember 2008
A. Baihakki Bin Arifin
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Selawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam Skripsi
yang
berjudul
"Hak-hak
Politik
Warga
Negara
dalam
Perlembagaan Persekutuan Malaysia: Analisis Ketatanegaraan Islam" penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk
itu penulis mengucapkan terima
kasih secara khusus yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu. 2. Kepada Negara Republik Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami. 3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
Semoga apa
yang telah Ibu ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT. 6. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, dan kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum. 7. Pimpinan dan segenap
karyawan
Perpustakaan Utama
dan
Perpustakaan FSH, UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Umum Islam Imam Jama. 8. Kepada pihak Pustaka Awan Negeri Terengganu yang memberi peluang untuk penulis membuat penelitian dan kajian. 9. Ayahanda Arifin bin Awi serta Ibunda tercinta Rosnani binti Umar yang sentiasa mendoakan penulis. Terima kasih atas segala doa dan kesabaran atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga anakanda
dapat menyelesaikan pengkajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan. 10. Terima kasih dan salam sayang kepada kakak dan adik-adikku, kak Long, Abang Chik, kak Teh, Syafiq, Syahmi, Hamidi, Athirah, dan adik bungsuku Aleeya Maisarah. Dan seluruh saudara-mara penulis yang selalu memberi dorongan dan membantu penulis sehingga tetap exist di Ibu Kota Jakarta ini. 11. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Ustadzah
Zaitun,
Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah
Nabilah,
Ustadzah
Yazidah,
Ust.
Kamaruzaman, Ust. Sha`ari Zulkarnain, Ust. Asmadi, Ust. Wan Zul, dan seluruh Ustad dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan disini. 12. My friends, Mustafa, Harun, Amir, Faizal, Baha Ust Hadi, Mawardi, Khairi Hajar, NurMasyitah, Wahida, Yunus, Fakhri, Sufian K.B, Fawwas, Ayah Su. Dan juga kepada sahabat-sahabat di ASPA dan ASPI UIN Syarif Hidayatullah “Semoga kita Istiqqamah dalam perjuagan Islam”. 13. Teman-teman
Indonesia
yang
telah
banyak
membantu
dalam
menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Oyok Tolisalim yang telah membantu penulis untuk memahami dan sharing lebih dalam lagi mengenai ketatanegaraan Islam. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis
khususnya
kepada
semua
pihak
pada
umumnya.
Penulis
menyampaikan
harapan
yang
begitu
besar
agar
skripsi
ini
dapat
memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu amalan yang baik di sisi-Nya.
Jakarta: 12 Desember 2008 M 14 Dzulhijjah 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8 D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 9 E. Metode Penelitian ...................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II
HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM A. Pengertian dan Sejarah Hak Politik Warga Negara dalam Ketatanegaraan Islam .................................................................. 15 B. Hak-hak Pokok dalam Ketatanegaraan Islam ............................... 24 C. Hak-hak Politik Warga Negara dalam Islam ................................ 26
BAB III
WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Definisi Warga Negara .............................................................. 45 B. Cara Mendapatkan Kewarganegaraan ........................................ 48 C. Hak dan Kewajiban Warga Negara ............................................ 51
BAB
IV HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP WARGA NEGARA MALAYSIA A. Hak Politik Orang Melayu .......................................................... 64 1. Yang di-Pertuan Agong ......................................................... 67 2. Perdana Menteri .................................................................... 69 3. Raja (Sultan) ......................................................................... 75 4. Menteri Besar (Gubernur) ..................................................... 75 5. Hakim Mahkamah Syari'ah ................................................... 77 B. Analisis Perbandingan Hak Politik Bukan Melayu ..................... 85 1. Hak Memilih dan Dipilih ....................................................... 86 2. Hak Berkumpul dan Berserikat .............................................. 91 3. Hak Mengeluarkan Pendapat ................................................. 95
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 99 B. Saran ....................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 102 LAMPIRAN .................................................................................................... 108
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Warga negara atau rakyat adalah syarat berdirinya negara. Baik penduduk asli maupun orang asing yang telah diterima menjadi rakyat di suatu negara harus tunduk dan patuh pada undang-undang yang berlaku. Arti yang lebih tepat dari warga negara ialah penduduk negara.1 Konsep kewarganegaraan merupakan konsep baru yang timbul pada saat pemberontakan Perancis dan Amerika pada abad ke-18.2 Konsep ini merupakan syarat untuk membentuk sebuah negara kebangsaan yang berasaskan kedaulatan raja maupun republik. Di Malaya sebelum tahun 1948, Negara Malaysia tidak mempunyai undang-undang kewarganegaraan yang baku, yang ada hanyalah undang-undang yang mengawasi orang-orang asing keluar masuk dalam negara ini saja. Keadaan ini terjadi karena dasar pemerintahan Inggris yang membuka pintu negara ini seluas-luasnya supaya orang asing dapat masuk ke negara ini beramai-ramai dan dengan mudahnya mereka dapat masuk.3 Dasar seperti ini dinamakan “dasar
1 Hajah Noresah Binti Baharom, dkk. Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 2002), h. 1546 2
Hasnah Hussin dan Mardiana Nordin, Pengajian Malaysia, (Selangor Shah Alam: Oxford Fajar Sdn Bhd, 2007), h. 180
pintu terbuka”. Pemerintahan Inggris membeda-bedakan warga negara Inggris dari rakyat asing hanya sekedar untuk menutup pintu masuk ke negara ini karena dipikirkan bahwa orang-orang asing akan membawa kerusakan terhadap pemerintahan mereka dan juga akan menganggu hak-hak orang Inggris. Undang-undang kewarganegaraan untuk pertama kali dibuat di Malaysia yaitu pada tahun 1948. Undang-undang ini terkandung dalam Perjanjian Persekutuan Tanah Melayu tahun itu. Pasal 125 sampai Pasal 133 telah menetapkan siapa yang dikatakan sebagai warga negara Persekutuan. Pasal-pasal ini juga telah menentukan jalan dan cara untuk mendapatkan kewarganegaraan Persekutuan, yaitu dengan jalan pendaftaran dan naturalisasi. Undang-undang ini dilakukan perbaikan sedikit pada tahun 1952 karena ingin menyesuaikan dengan undang-undang warga negara Inggris yang diubah pada tahun 1949. Pada 1952 semua negeri Melayu mengesahkan undang-undang yang menentukan siapa yang menjadi raja-raja rakyat Melayu di setiap masing-masing negara bagian. Barang siapa yang menjadi rakyat keturunan raja-raja Melayu, maka orang itu berhak menjadi warga negara Persekutuan Tanah Melayu. Seperti inilah keadaan undang-undang kewarganegaraan di Malaya sebelum merdeka. Setelah merdeka, Perlembagaan Persekutuan (Undang-undang Dasar Malaysia)
K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988), h. 358 3
dari Pasal 14 sampai Pasal 31 Perlembagaan Malaysia berisi butir-butir dan peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan.4 Dalam Perlembagaan Malaysia, ada empat cara untuk mendapatkan status kewarganegaraan, yaitu dengan cara jus soli, jus sanguinis, perkawinan dan naturalisasi.5 Berdasarkan asas jus soli (Undang-Undang Tempat Lahir) bahwa seseorang yang dilahirkan antara hari merdeka (31 Agustus 1957) dan bulan Oktober tahun 1962 secara langsung menjadi warga negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan orang tuanya. Tetapi jika seseorang itu dilahirkan setelah bulan September 1962, maka orang itu dapat menjadi warga negara apabila salah seorang dari ibu bapanya ialah warga negara; salah seorang dari ibu bapanya ialah orang yang tinggal menetap di Malaysia, atau dia tidak mempunyai kewarganegaraan negara manapun.6 Sedangkan berdasarkan asas jus sanguinis (Undang-Undang Keturunan Darah) seseorang yang berketurunan warga negara Malaysia akan tetap menjadi warga negara, walaupun dia dilahirkan di luar negara, karena kewarganegaraan bapaknya diwarisi olehnya. Kemudian Faktor perkawinan juga dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan status kewarga-negaraan Malaysia yaitu bagi seorang wanita asing yang menikah dengan seorang warga negara Malaysia untuk memohon menjadi warga negara. Selain itu bagi orang yang tidak dilahirkan di
4
Tun Mohammad Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006), h. 267 5 Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarganegaraan, cet. V, (Selangor: Prentice Hall, 2004), h. 173, dapat dilihat juga pada Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 268 6
Pasal 14 ayat (1) poin (a) dan (b) Perlembagaan Persekutuan
Malaysia, jika ia menetap atau berniat menetap di Malaysia, ia bisa mendapatkan status kewarganegaraan Persekutuan dengan jalan masukan (naturalisasi). Kewarganegaraan merupakan status istimewa yang dipegang oleh rakyat yang berhak dalam sebuah negara. Dengan status ini setiap warga negara memiliki hak yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara, baik itu hak sipil, sosial, ekonomi dan budaya bahkan termasuk hak-hak politik. Sebagai timbal balik atas hak-hak yang didapatkan dari negara, setiap warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada negara, misalnya kewajiban untuk mematuhi semua perarturan atau undang-undang yang berlaku, kewajiban mengabdi kepada negara termasuk kewajiban untuk membela negara apabila diserang oleh negara lain. Hak dan kewajiban warga negara biasanya diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Hak dan kewajiban ini diberikan kepada semua warga negara tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, ras atau pun golongan. Semua sama di hadapan hukum, tidak ada hak istimewa bagi penduduk mayoritas dan tidak dibenarkan mendiskriminasikan minoritas. Karena semuanya adalah warga negara yang sah yang diakui oleh undang-undang. Malaysia adalah negara yang mayoritas penduduknya Melayu, karena mereka adalah penduduk asli atau pribumi. Selain itu banyak juga penduduk bukan Melayu yang telah menjadi warga negara Malaysia. Misalnya orang-orang Cina, India dan golongan yang lainnya. Jumlah penduduk Malaysia perkiraan tahun 2007 mencapai 26.04 juta, yang terdiri dari kaum Melayu 61%, kaum Cina
30%, kaum India 8% dan yang lain-lain 1%.7 Meskipun penduduk Melayu merupakan mayoritas, akan tetapi dalam Perlembagaan Malaysia semua warga negara dianggap sama hal ini seperti di sebutkan dalam Pasal 8 Perlembagaan Persekutuan: “semua orang adalah sama rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang.” Akan tetapi dalam praktek kenegaraan yang berkaitan dengan hak-hak politik terutama yang diberlakukan di negara-negara bagian yang bersultan terdapat aturan yang tegas bahwa jabatan-jabatan politik tertentu tidak diperbolehkan dipegang oleh kaum non Melayu. Jabatan Sultan atau Raja, Menteri Besar, Hakim di Mahkamah Syari’ah dan lainnya yang berhubungan dengan urusan agama Islam tidak diperbolehkan dipegang oleh non Melayu. Selain itu di Malaysia jabatan kepala angkatan bersenjata dipegang oleh Yang diPertuan Agong yang notabene seorang raja negara bagian yang dipilih oleh Majelis Raja-raja sebagai kepala negara.8 Ini menunjukkan bahwa jabatan kepala angkatan bersenjata hanya dapat dipegang oleh orang Melayu. Akan tetapi, secara konstitusional negara Malaysia tidak ditemukan satu aturan yang mengharuskan atau mensyaratkan bahwa orang Melayu yang harus menjadi Perdana Menteri. Sungguhpun demikian, non Melayu diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan seperti anggota Parlemen, anggota Dewan Undangan Negeri (Dewan Perwakilan Rakyar Daerah atau negara bagian), jabatan menteri
7
http://www.tourism.gov.my/my/about/culture.asp diakses pada tanggal 20 Oktober
2008 Abdul Aziz Bari, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia, cet. II, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h. 50 8
tertentu dan jabatan-jabatan lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan urusan agama Islam. Adanya ketentuan atau aturan bahwa non Melayu tidak boleh menduduki jabatan-jabatan politik tertentu di negara-negara bagian yang bersultan tersebut, kemudian jabatan kepala angkatan bersenjata hanya dipegang oleh Yang diPertuan Agong, ini dapat dipahami bahwa mayoritas penduduk Muslim merasa bahwa jabatan-jabatan tersebut memang tidak pantas dipegang oleh bukan Melayu karena berkaitan dengan urusan agama Islam. Dari sini sebenarnya dapat kita lihat bahwa ada hak-hak istimewa dalam bidang politik bagi kaum Melayu. Di Malaysia, Melayu identik dengan Islam. Dalam Pasal 160 (2) Perlembagaan Persekutuan dikatakan bahwa: “Melayu berarti seseorang yang menganut agama Islam, boleh bertutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam Melayu”. Kemudian walaupun Malaysia bukan negara Islam, akan tetapi agama Islam diakui sebagai agama Persekutuan hal ini sebagai mana disebutkan dalam Pasal 3 Perlembagaan bahwa: “Agama Islam adalah agama Persekutuan; akan tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana bagian Persekutuan.” Menurut Pasal 3 tersebut bahwa agama Islam adalah agama resmi Persekutuan, Islam dijadikan agama resmi terutamanya dalam acara-acara resmi kenegaraan. Akan tetapi Malaysia tetap bukan negara yang berasaskan Islam, melainkan negara sekuler yang menganut sistem
demokrasi.9 Dari pemaparan di atas, dengan melihat bahwa mayoritas penduduk Malaysia adalah Malayu (Muslim), yang menjadikan agama Islam sebagai agama resmi, kemudian terdapat hak-hak istimewa dalam bidang politik bagi orang Melayu adalah sangat menarik untuk diteliti apakah Malaysia terutama negaranegara bagian yang bersultan telah mempraktekkan konsep ketatanegaraan dalam Islam. Karena dalam ketatanegaraan Islam non Muslim atau ahl al-Dzimmah tidak diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu seperi kepala negara, ketua Majlis Syura (Parlemen), kepala angkatan bersenjata dan jabatan-jabatan lainnya yang berhubungan dengan urusan agama Islam. 10 Walaupun secara umum dalam ketatanegaraan Islam pun hak semua warga adalah sama dan dijamin oleh syari’ah. Kemudian seperti apakah pengaturan kewarganegaraan yang telah di atur di
dalam
ketatanegaraan
Islam
dan
apakah
telah
dipraktekkan
atau
diaktualisasikan oleh negara Malaysia, seperti yang kita ketahui bahwa negara Malaysia adalah negara yang menadikan agama Islam sebagai agama resmi. Untuk itu penulis mengambil judul berkaitan dengan masalah hak politik warga negara Malaysia yang terdapat di dalam Perlembagaannya secara umum dan undang-undang negara-negara bagian. Penelitian skripsi oleh penulis di beri judul
9
Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 178-179 10 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islâm, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, (Bandung: Mizan, 1991), h. 35
“Hak-hak Politik Warga Negara dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia (Analisis Ketatanegaraan Islam)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian skripsi sudah seharusnya di dalamnya harus memuat batasan masalah hal ini diperlukan agar penelitan lebih terarah dan fokus. Untuk itu penulis membatasi permasalahan dalam penelitian skripsi ini mengenai hak-hak politik warga negara Malaysia yang kemudian dilihat dari sudut pandang ketatanegaraan Islam. 2. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Bagaimana undang-undang negara Malaysia mengatur tentang hak-hak politik warga negara? 2). Bagaimana hak-hak politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam? 3). Apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep ketatanegaraan dalam Islam yaitu dalam hal hak-hak politik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya: 1. Untuk mengetahui tentang pengaturan hak-hak politik dalam undang-undang negara Malaysia.
2. Untuk mengetahui hak-hak politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam. 3. Untuk mengetahui apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep ketatanegaraan dalam Islam yaitu dalam hal hak-hak politik. 4. Untuk memenuhi sebagai salah satu syarat mendapat gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut: 1. Sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan di bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia. 2. Dapat dijadikan salah satu rujukan bagi pihak pencinta ilmu ketatanegaraan khususnya yang mengkaji kewarganegaraan. 3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang persepsi hukum ketatanegaraan Islam mengenai hak politik warga negara. 4. Berguna bagi Parlemen Malaysia dalam mengkaji ulang undang-undang yang ada.
D. Kajian (Review) Pustaka Terdahulu Untuk melihat bahasan kajian yang membahas mengenai tema yang hampir sama, namun substansi yang berbeda maka diperlukan studi review terhadap kajian yang terdahulu. Adapun yang penulis masukan dalam perbandingan ini di dapat dari bahan-bahan; buku-buku dan skripsi. Buku pertama, Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam), (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2001). Ada bahasan secara terperinci yang membahas mengenai kewarganegaraan, seperti pembagian kewarganegaraan di bedakan kepada Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb. Di dalam Dar Al-Islam di tempati oleh Muslim, Ahl Al-Dzimmi, Musta’min. Sedangkan di Dar Al-Harb di tempati oleh golongan Harbiyun. Buku kedua, Muhammad Kamil Awang,
Sultan dan Perlembagaan,
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001. Buku ini merupakan sebuah penjelasan mengenai kewarganegaraan yang di tuliskan di dalam perlembagaan Malaysia, isinya di antaranya berisi mengenai siapa yang menjadi warga negara, bagaimana mendapatkan kewarganegaraan, apa sebab kehilanggan kewarganegaraan. Buku ketiga, Karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Kewarganegaraan” ditulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembangaan dan Pemerintahan di Malaysia”,
buku
ini
membahas
tentang
pengertian
warga
negara,
kewarganegaraan di sisi Undang-Undang, faktor dan cara untuk mendapatkan kewarganegaraan Malaysia, pengeluaran sertifikat kewarganegaraan. Buku keempat, Hasnah Hussin dan Mardiana Nordin, yang membahas tentang menjelaskan mengenai kedudukan istimewa warga Melayu di dalam Perlembagaan yang di tulis pada buku yang berjudul ”Pengajian Malaysia”. Secara umum di dalam buku ini menjelaskan hak istimewa orang Melayu, dan hak-hak kaum lainnya. Selain itu ada keterkaitan di antara hak istimewa orang Melayu dengan kewarganegaraan yang terdapat di Perlembagaan. Skripsi
Chairul
Shaleh,
Jurusan
SJM,
Prinsip-prinsip
Politik
Kewarganegaraan Islam dalam Konsep Al-Qur’an dan Al-Hadits, 2000. skripsi ini secara umum membahas mengenai kewarganegaraan yang ada di dalam AlQur’an dan hadis seperti adanya golongan Muslim, harbiyun, musta’min. Skripsi Ali, Jurusan Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin. Hak Politik Non Muslim dalam Perspektif Al-Qur’an (sebuah analisis Tafsir Tematik dalam Studi Al-Qur’an), 2003. Skripsi ini secara khusus hanya membahas mengenai hak-hak politik dari non Muslim, di dalam bab IV bahasan mengenai hak politik non Muslim dalam Al-Qur’an kajiannya mengenai memilih pemimpin, hubungan antara Muslim dengan non Muslim, serta berbuat baik dan adil pada non Muslim. Dari beberapa buku dan skripsi dalam kajian (review) pustaka terdahulu di atas, hanya membahas seputar tentang kewarganegaraan dan cara mendapatkan kewarganegaraan secara umum serta terdapat pula pembahasan hak-hak politik non muslim dalam perspektif al-Qur’an. Berbeda dengan pembahasan yang penulis angkat yaitu tentang hak-hak politik warga negara dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia. Dengan demikian, permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini belum ada yang membahasnya.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan riset pustaka (library risearch) pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian
hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.11 2. Sumber Data Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer di dapat dari sumber-sumber pokok seperti Undang-undang yaitu Perlembagaan Malaysia dan buku yang membahas kewarganegaraan Malaysia, adapun bukunya yaitu Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, Pengajian Malaysia, Sultan dan Perlembagaan. Sedangkan sumber sekunder didapat dari tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketata-negaraan baik dalam dunia Islam maupun dari ketatanegaraan Malaysia, seperti Perpecahan Bangsa Melayu, dan dari internet melalui situs yang berkaitan di antaranya http://www.malaysiakini.com/letters/28219. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-data kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah Dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun baik berupa buku maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul.
11
Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), cet. I, h. 118
4. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan konsep, serta analisis hukum yang bersifat yuridis normatif yang menggambarkan tentang pengaturan hak-hak politik dalam Undang-undang di Malaysia dan hukum Islam, kemudian dilanjutkan dengan analisis perbandingan untuk mencari kesesuaian antara keduanya. 5. Teknik Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini
berpedoman pada ”Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.”
F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut: Bab I
Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II
Pembahasan dalam bab II ini mengenai hak politik warga negara menurut ketatanegaraan Islam yang meliputi: pengertian dan sejarah
hak politik dalam warga negara Islam, hak-hak pokok dalam ketatanegaraan Islam dan hak-hak politik warga negara dalam Islam. Bab III
Bab ini membahas warga negara dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia yang meliputi: defenisi warga negara, cara mendapatkan kewarganegaraan, hak dan kewajiban warga negara.
Bab IV
Merupakan analisis hak politik dalam ketatanegaraan Islam terhadap warga negara Malaysia, yang menjelaskan tentang orang Melayu dan analisis perbandingan hak politik bukan Melayu yang meliputi hak memilih dan dipilih, hak berkumpul dan berserikat serta hak mengeluarkan pendapat.
Bab V
Merupakan bab penutup, yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran.
BAB II HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
Kita tahu seorang Muslim wajib menempatkan kepentingan pribadinya di bawah pengabdian kepada negara Islam, untuk itu ia tidak saja dituntut menurut syari’at tetapi juga menurut moral. Ini disebabkan karena adanya pengakuan bahwa negara menurut Islam merupakan “Kekhalifahan Allah di muka bumi.” Namun tidak diragukan bahwa tuntutan negara terhadap ketaatan warga negaranya bukanlah kewajiban sebelah pihak saja artinya bahwa hubungan antara negara dan wargannya bukanlah semata-mata kewajiban yang dibebankan kepada warga negara, Islam mengajarkan akan perlindungan terhadap warga negara berupa perlindungan hak-haknya baik itu hak ekonomi, hak sosial, hak budaya hak sipil dan hak politik. Dalam pembahasan Bab II skripsi ini, penulis akan menguraikan tentang hak-hak politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam.
A. Pengertian dan Sejarah Hak Politik Warga Negara dalam Ketatanegaraan Islam Untuk mendefinisikan hak politik dalam ketatanegaraan Islam perlu dipisahkan terlebih dahulu tentang pengertian istilah tersebut, yaitu pengertian hak
dan politik.
Secara bahasa hak berarti yang benar, tetap dan wajib,
kebenaran dan kepunyaan yang sah. 12 Hak dapat juga disebut hak asasi yaitu,
12
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 211
sesuatu bentuk yang dimiliki oleh seseorang karena kelahirannya, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara.13 Sedangkan dalam bahasa Arab, kata hak () dalam kamus Lisan al-‘Arab diartikan dengan ketetapan, kewajiban, yakin, yang patut dan yang benar.14 Secara terminologis, ada beberapa definisi hak yang dikemukakan oleh para ulama fiqih. Syeikh ‘Abdul Halim al-Luqnawi sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan kata hak dengan sesuatu hukum yang ditetapkan secara syara’. Sementara itu Syeikh Ali al-Khafifi mendefinisikan hak sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syara’.15 Musthafa Ahmad al-Zarqa dalam kitabnya al-Madkhâl al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al- Jadîd memberikan definisi yang lebih lengkap. Menurut al-Zarqa hak adalah sesuatu kekhususan (yurisdiksi) di mana dengannya syara’ menetapkan kekuasaan atau tanggung jawab.16 Menurut Wahbah al-Zuhaili definisi yang dikemukakan oleh Syeikh Abdul Halim al-Luqnawi belum bisa mencakup keseluruhan makna yang terkandung dalam kata hak sebagaimana yang difahami oleh para ulama fiqih. Definisi yang dikemukakan oleh al-Khafifi pun belum lengkap juga, sebab hanya
13
B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. I, h. 193
14
Jalaluddin Muhammad Ibnu Manzhur, Lisân al’Arab, juz II, (Mesir: Dâr al-Hadîts, 2003), h. 525-526 15
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, juz IV, (Damsyik: Dâr al-Fikr, 1425 H / 2004 M), cet. III, h. 8-9 16
Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhâl al-Fiqh al-‘Âm: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al-Jadîd, (Damsyik: Dar al-Fikr, t.th.), jilid III, h. 10
menyinggung segi tujuan dari hak. Definisi yang baik adalah yang dikemukakan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa, sebab derfinisi tersebut mencakup keseluruhan yang terkandung dalam kata hak seperti hak keagamaan (misalnya hak Allah atas hamba-Nya), hak perdata, hak-hak kesopanan, hak-hak umum dan lain-lainnya. 17 Sedangkan kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat peribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.18 Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.19 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau
17
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 9
18
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34 19
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, h. 608
menangani suatu masalah).20 Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.21 Selanjutnya sebagai suatu sistem Munawir Syadzali menerangkan, bahwa poltik adalah suatu konsepsi yang berisikan ketentuanketentuan siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. 22 Istilah politik di dalam literatur Arab dikenal dengan istilah siyâsah (politic), yaitu cerdik atau bijaksana.23 Siyâsah berasal dari kata sâsa-yasûsusiyâsatan, yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhîth dikatakan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ (saya mengatur rakyat dengan mengunakan politik: ketika saya memerintah dan melarangnya).24 Politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara (pemerintah) maupun
20
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 886 21
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, (Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 8 22
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 41
23
Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005),
cet. I, h. 111 24
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995), h. 496
umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya.25 Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara.26 Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.27 Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami, karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa. 28 Dalam hal ini al-Quran dan Sunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam al-Quran tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan pada
25
Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, cet. II, (Bangil: Al-Izzah, 2004), h. 11 26
Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. I, h. 26-28
27
Moh. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. I,
28
Inu Kencana, Al-Quran dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), cet. I,
h. 9
h.75
setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti al-Quran menghambat dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan al-Quran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu kemampuan dan perkembangan zaman. Kendati demikian al-Quran memberikan prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat.29 Dari penjelasan di atas, secara garis besar hak politik dapat diartikan sebagai suatu kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu ataupun diambil oleh siapapun dalam kehidupan bermasyarakat di suatu negara. Menurut para ahli hukum hak politik adalah hak yang dimiliki dan diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik (negara), seperti hak memilih (dan dipilih), mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara, 30 atau hak politik itu adalah hak-hak di mana individu memberi andil melalui
hak
tersebut
dalam
mengelola
masalah-masalah
negara
atau
memerintahnya.31 Selain itu hak politik dapat pula diartikan sebagai hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat didefenisikan sebagai hak-hak di mana individu dapat memberi andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola
29
Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara, h. 41
30
A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. I, h. 17 31
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), cet. I, h. 17
masalah-masalah negara atau pemerintahannya. 32 Hak politik merupakan hak asasi setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya hak untuk berkumpul dan berserikat (membentuk partai politik), dan hak untuk mengeluarkan pendapat termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Berkaitan dengan hak politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam, maka perlu dibahas juga apa yang dimaksud dengan ketatanegaraan Islam. Berbicara tentang ketatanegaraan Islam berarti berbicara tentang negara Islam. Menurut Imam al-Mawardi
negara Islam adalah negara yang melaksanakan
konsep pemerintahan Nubuwwah dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.33 Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah yang termasuk dalam negara Islam (Dar al-Islam) negara di mana hukum-hukum agama Islam nampak di dalamnya atau negeri-negeri di mana penduduknya beragama Islam bisa melahirkan (menjalankan) hukum-hukum Islam. Jadi termasuk negeri Islam semua negeri di mana semua penduduknya itu sebagian besarnya beragama Islam, atau negeri-negeri yang dikuasai oleh kaum muslimin, meskipun kebanyakan penduduknya tidak memeluk agama Islam. Juga termasuk negeri Islam semua negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin, selama penduduknya yang
32
Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), cet. I, h. 49 33
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthâniyah, (T.tp: Dar al-Fikr, 1960), cet. I, h. 5
beragama Islam bisa melahirkan hukum-hukum Islam atau selama tidak ada halhal
yang
menghalang-halangi
mereka untuk
melahirkan
hukum-hukum
tersebut.duduknya tidak memeluk agama Islam. 34 Kemudian menurut Yusuf Al-Qardhawi negara Islam adalah negara madani (civil society) yang berdasarkan Islam. 35 Sedangkan negara bukan Islam adalah negeri-negeri yang tidak termasuk dalam kekuasaan kaum muslimin, atau negeri-negeri di mana hukum Islam tidak nampak, baik negeri-negeri tersebut dikuasai oleh satu pemerintahan atau beberapa pemerintahan, baik penduduknya yang tetap terdiri dari kaum muslimin atau bukan.36 Jadi, dari penjelasan di atas yang dimaksud dengan hak politik dalam ketatanegaraan Islam dalah hak-hak warga negara dalam negara Islam di mana individu dapat ikut andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola masalah-masalah negara atau pemerintahannya, misalnya hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berkumpul dan berserikat (membentuk partai politik), dan hak untuk mengeluarkan pendapat termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau
membuat
kebijakan yang
bertentangan dengan aspirasi rakyat.
34
Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânŭn alWadhi’i, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1998), juz I, h. 275 35
Yusuf al-Qaradhawi, al-Dîn wa al-Siyâsah, edisi bahasa Indonesia Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008), cet. I, h. 169 36
Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânŭn alWadhi’i, h. 277
Sejarah hak politik di dalam Islam sudah berlangsung ketika manusia itu sudah diturunkan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Perkembangan perpolitikan di dalam Islam terjadi pada saat Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia agar berkehidupan dengan cara yang baik dan benar. Peristiwa ketatanegaraan Islam yang memang khusus mengkaji pembahasan hak-hak politik di dalam Islam terjadi pada saat adanya Piagam Madinah. Dokumen Piagam Madinah merupakan sumber ide yang mendasari negara Islam pada awal pembentukannya, dokumen ini telah diakui otentik.37 Kelahirannya memiliki konteks tersendiri, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah penduduk di kota ini dilihat dari segi agama terdiri dari empat golongan besar, yaitu warga Muslim, Musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Warga Muslim terdiri Muhajirin dan Anshar, golongan Muhajirin adalah warga imigran yang bermigrasi dari Mekkah, mereka adalah orang-orang suku Quraisy yang telah masuk Islam, sedangkan kaum Anshar adalah warga pribumi kota Madinah yang terdiri dua suku besar, yaitu suku Aus dan suku Khazraj. Sementara warga Yahudi terdiri atas keturunan Yahudi pendatang, terdapat tiga kelompok besar keturunan yaitu Bani Nadlir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah. Adapun warga Nasrani merupakan kelompok minoritas yang umumnya mendiami daerah Najran. 38
37 W. Montogomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Oxford University Press, 1991), h. 225 38
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalaam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI Press; 1995), h. 36
Dalam perspektif Islam, hak-hak politik sejatinya merupakan bagian intrinsik dari hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu. Pelacakan intens terhadap monoteisme Islam sebagai ajaran dasar akan menjelaskan secara sempurna hal tersebut. Sebagai prinsip dasar, monoteisme merupakan pembebasan yang membawa konsekuensi pada keberadaan seluruh umat manusia dalam kedudukan yang sederajat. Setiap manusia memiliki hak yang sama sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing untuk mengaktualisasikan hak-hak dasariahnya, serta mengartikulasikan aspirasinya yang objektif. Demikian pula, hak-hak mereka yang bersifat prinsip harus mendapat perlindungan yang sama. Tidak ada satu manusia atau kekuatan mana pun di dunia yang dapat memasung dan mereduksi hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia, termasuk hak-hak politik, kecuali karena alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan yang mengacu secara jelas kepada nilai-nilai etikamoral kemanusiaan dan ajaran substansial agama. 39 Demikianlah penjelasan tentang pengertian dan sejarah hak-hak politik dalam ketatanegaraan Islam, selanjutnya akan membahas mengenai hak pokok yang dimiliki seseorang dalam ketatanegaraan Islam.
B. Hak-Hak Pokok dalam Ketatanegaraan Islam Hak-hak pokok adalah hak-hak yang dibutuhkan manusia untuk menjaga kelangsungan eksistensinya dan keselamatan kehidupannya. Apabila hak-hak
39
http://www.freelists.org/archives/ppi/04-2004/msg00033.html diakses pada tanggal 23 September 2008
pokok ini dilanggar, maka menyebabkan berakhirnya kehidupan manusia atau kehidupan manusia akan mengalami kerusakan dan kehancuran yang parah. Dalam Islam, perlindungan atas kebutuhan pokok manusia ini bertumpu pada tujuan diturunkannya syari’at Islam yaitu untuk melindungi dan memelihara kepentingan hidup manusia baik material maupun spiritual, individual dan sosial. 40 Berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh bahwa Allah telah menurunkan syari’at Islam dengan beberapa tujuan (Maqasid al-Tasyri’ atau Maqasid al-Syari’ah)41 yang secara garis besar terdiri dari tiga hal, yakni dharuriat (tujuan pokok), yaitu hal-hal penting yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup manusia. Bila mana hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi kerusakan, kerusuhan dan kekacauan hidup manusia; hajiyat (tujuan sekunder) yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk mendapatkan kelapangan dan kemudahan dalam hidup di dunia. Bila mana hal tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan; dan tahsiniyat (tujuan tersier), yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik. Tujuan pokok atau dharuriyat meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, nasab dan harta (al-muhafadlah ala al-din wa al-nafs wa al-’aql wa al-
40
Ridwan HR., Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 26 41
Pembahasan mengenai Maqasid al-Syari’ah dapat dijumpai dalam kitab-kitab ushul fiqh atau buku-buku yang membahas tentang filsafat hukum Islam, misalnya al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, (Ttp: Dar al-Fikr, t.th), h. 2-5 dapat dilihat juga pada Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), h. 231-234
nasl wa al-mal). Kehidupan manusia di dunia ini ditopang oleh lima hal ini. Manusia tidak akan meraih kehidupan yang mulia tanpa memelihara hal tersebut, karena kemuliaan manusia itu terletak pada terjaganya lima perkara tersebut. Pemerintahan Islam wajib menjaga dan memberikan perlindungan terhadap kebutuhan pokok manusia, dan tidak hanya terbatas pada warga negara muslim saja tetapi terhadap semua warga negara yang berada di wilayah negara yang bersangkutan, apapun agamanya. Perlindungan terhadap kebutuhan pokok manusia ini merupakan inti dari perlindungan hak asasi manusia. Demikianlah secara umum apa yang menjadi hak-hak pokok warga negara yang harus dijamin dan diberikan oleh negara dalam negara Islam, yaitu terpeliharanya lima perkara: 1. Perlindungan Terhadap Agama (Hifz al-Din) atau Hak untuk Memeluk Agama atau Keyakinan; 2. Perlindungan terhadap jiwa (hifz al-Nafs) atau hak untuk hidup; 3. Perlindungan terhadap akal (hifz al-’aql) atau hak untuk berfikir; 4. Perlindungan terhadap keturunan (hifz al-Nasl) atau hak atas keturunan dan kehormatan; dan 5. Perlindungan terhadap harta (hifz al-mal) atau hak atas harta.
C. Hak-hak Politik Warga Negara dalam Islam Tema tentang hak-hak politik dalam Islam memang merupakan kajian yang menarik karena di dalamnya diatur mengenai hubungan antara hak
penduduk dan
hak warga negara. Oleh karena itu, untuk memudahkan
pembahasan hal ini, kita harus memulai dengan apa yang menjadi pokok tema, yaitu prinsip “Warga Negara” dalam sistem politik Islam, baru setelah itu kita akan melihat jenis-jenis hak politik dalam Islam. 1. Warga Negara dan Spesifikasi Sifat Warga Negara Dalam Islam kedudukan manusia adalah sama, yang membedakannya adalah derajat ketaqwaannya. Islam juga memperlakukan manusia secara adil tanpa membeda-bedakan kebangsaan, warna kulit, dan agamanya. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan negara Islam membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubungan antar sesama manusia, baik Muslim sendiri maupun non Muslim. Para ulama fiqh membagi kewarganegaraan seseorang menjadi Muslim dan non-Muslim. Orang non-Muslim terdiri dari ahl al-Dzimmi, Musta’min dan Harbiyun. Dengan demikian penduduk dar al-Islam terdiri dari Muslim, ahl-al Dzimmi dan Musta’min.42 a). Muslim Sebutan Muslim adalah nama yang diberikan untuk orang yang menganut agama Islam. Ia meyakini dengan sepenuh hati kebenaran agama Islam dalam akidah, syari’ah sebagai aturan hidupnya. Berdasarkan tempat menetapnya, Muslim dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama mereka yang menetap di Dar al-Islam yang mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan Dar al-Islam. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang
42
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 231
Islam yang menetap sementara waktu di Dar al-Islam sebagai Musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam. Kedua Muslim yang tinggal menetap di Dar al-Harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke Dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, sama dengan Muslim lainnya di Dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyyun, karena mereka berada di negara yang tidak dikuasai orang Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin. 43 b). Ahl al-Dzimmi Al-Dzimmah adalah mufrad dari dzimiyyun, diambil dari azzimam yang berarti kehormatan dan hak.44 Kata ahl al-Dzimmi atau ahl al-Dzimmah merupakan bentuk tarkib idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl” secara bahasa berarti keluarga atau sahabat, sedangkan kata “Dzimmi/Dzimmah” berarti janji, jaminan, dan keamanan. 45 Seseorang yang mempunyai janji disebut rajulun Dzimmiyyun. Dalam pandangan al-Ghazali (w.505 H), ahl al-Dzimmi adalah setiap ahli kitab yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah. Ibn al-Juza’i al-Maliki memberikan defenisi yang hampir sama dengan al-Ghazali dengan mendefenisikan ahl al-Dzimmi sebagai “orang kafir
43
Ibid., h. 232
44
Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub Fairuz Abadi, al-Qâmŭs al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz IV, h. 117 45
Ibrahim Anis, dkk. al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: T.tp., 1972 ), Juz I, h. 315
yang merdeka, baligh, laki-laki, menganut agama yang bukan Islam, mampu membayar jizyah dan tidak gila”. Al-Unqari (w.1383 H) mempertegas pendapat di atas dengan menyimpulkan bahwa ahl al-Dzimmi adalah orang non-Muslim yang menetap di dar al-Islam dengan membayar jizyah.46 Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan di atas, maka unsur penting untuk menentukan status seseorang sebagai Dzimmi adalah non-Muslim, baligh, beakal, bukan budak, laki-laki, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah kepada pemerintah Islam. Status dzimmi dapat diperoleh seseorang melalui perjanjian akad dzimmah dengan pemerintahan Islam. Sebagai warga negara, ahl al-Dzimmah mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dan memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. ahl alDzimmah atau kaum minoritas menurut konsep Islam akan mendapatkan jaminan perlindungan dari Allah SWT, Rasulullah SAW, serta kaum muslimin secara keseluruhan. Secara agama, tidak boleh ada seorang pun yang merusak jaminan mereka atau melanggar perjanjian mereka. Perjanjian dan perdamaian yang akan menjaga kehormatan mereka, juga melindungi agama, nyawa, harga diri, dan harta kekayaan mereka.47 ahl al-Dzimmah berkewajiban membayar pajak (jizyah) untuk mendapatkan hak suara. Jizyah adalah pajak yang diberikan non Muslim sebagai imbalan atas pembebasan mereka dari kewajiban mempertahan-kan negara, atau imbalan atas jaminan dan perlindungan serta berbagai hak sipil
46
47
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), h. 233 Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, h. 201
sebagai warga negara yang sejajar dengan kaum muslimin. 48 Jizyah juga bisa diartikan sebagai ganti kewajiban berjihad yang merupakan kewajiban agama yang bersifat ta’abudiyah (dalam rangka beribadah). Dalam hal ini Islam tidak ingin melukai perasaan mereka dengan mengharuskan mereka melakukan jihad terhadap warga non Muslim.49 Jizyah hanya wajib dipungut dari kalangan pria yang merdeka dan berakal. Tidak wajib dipungut dari wanita, anak-anak, orang gila dan hamba sahaya.50 Secara umum ahl al-Dzimmah mempunyai hak yang sama dengan penduduk Muslim, hanya saja dalam hal hak politik terdapat perbedaan dengan penduduk Muslim. Bahwa ahl al-Dzimmah dalam hak politik seperti dalam hal kepemimpinan dan jabatan-jabatan tertentu tidak bisa diberikan. Hak jabatan tertinggi dalam pemerintahan (kepala negara atau khalifah), ketua lembaga eksekutif, perdana menteri, panglima perang, hakim untuk kaum muslimin, penanggung jawan urusan zakat dan sedekah termasuk wakaf daan sebagainya tidak diberikan kepada mereka. 51 Hal ini disebabkan karena golongan minoritas tidak mempunyai hak kepemimpinan dan kekuasaan eksekutif dan yudikatif mempunyai fungsi menerapkan syari’at Islam. Oleh sebab itu yang menduduki
48
Khamami Zada dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2004), cet. I, h. 55 49
Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, h. 202
50
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 144
51
Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islam, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, (Bandung: Mizan, 1991), h. 35
jabatan tersebut dengan sendirinya orang yang meyakini Islam sebagai akidah dan syari’ah.52 Sebabnya ialah keimanan dan kekhalifahan adalah kepemim-pinan umum di bidang agama dan dunia sekaligus, yakni perwakilan dari Nabi SAW. Kepemimpinan atas angkatan bersenjata bukanlah semata-mata bersifat sekuler, tetapi itu adalah kegiatan yang bersifat ibadah dalam Islam. Sebab jihad merupakan puncak ibadah dalam Islam. Peradilan adalah penerapan hukum syari’at Islam, sedangkan seorang non Muslim tidak mungkin dituntut agar menerapkan suatu hukum yang ia sendiri tidak percaya kepadanya. Demikian pula urusan zakat dan sebagainya adalah tugas-tugas keagamaan, tugas-tugas pemerintahan di luar bidang-bidang tersebut di atas boleh diserahkan kepada ahl al-dzimmah apabila terpenuhi persyaratan-persyaratannya pada diri mereka, seperti kecakapan, kejujuran dan kesetiaan kepada negara. 53 Meskipun demikian, bahwa non Muslim diperbolehkan menduduki jabatan badan eksekutif54 misalnya menjadi menteri tertentu. Demikian juga mereka bisa atau diperbolehkan menjadi anggota Ahli Majlis Syura atau Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini disebabkan karena Majlis Syura atau DPR merupakan tempat untuk mengeluarkan pendapat, memberi nasihat kepada pemerintah dan
52
Salim Ali al-Bahansawi, as-Syari’ah al-Muftara ‘Alaiha, edisi bahasa Indonesia diterjemakan oleh Musthalah Maufur, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), cet. I, h. 202 53
Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islam, h. 54
54
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 27
menyuarakan kehendak konstituen.55 Ahli al-Dzimmah juga diperboleh-kan menduduki jabatan kementerian pelaksanaan (wizarah tahfidz), yaitu menteri pelaksanaan yakni seorang yang meneruskan perintah-perintah dan keputusankeputusan Imam serta melaksanakan-nya, ini berbeda dengan pejabat kementerian perwakilan (wizarah tafwidz) yang kepadanya dikuasakan sepenuhnya pengaturan urusan politik, adminis-trasi dan ekonomi negara oleh imam. 56 Jaminan hak ahl al-Dzimmah berpartisipasi dalam politik merupakan sifat toleransi dalam Islam. Islam tidak memandang akidah sebagai halangan untuk dilantik sebagai pejabat pemerintah jika ahl al-dzimmah mempunyai kemampuan. Sebagai warga negara ahl a-dzimah mempunyai jaminan hak dari sudut sosial dalam sebuah negara Islam. Hak dari sudut sosial dapat disimpulkan yaitu kebebasan individu, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak mendapatkan pendidikan dan perlindungan ketika tua. Kebebasan individu ahl al-dzimmah yaitu kebebasan untuk pergi ke mana saja yang ia kehendaki, keselamatan terjamin dari segala penganiayaan, tidak boleh dicekal kecuali ia benar-benar melanggar undang-undang. 57 Jaminan terhadap keselamatan ahl al-Dzimmah bukan sebatas terhadap ancaman dari dalam negara, bahkan meliputi ancaman dari luar yang dihadapi oleh ahl alDzimmah. Bahkan jika ahl al-Dzimah menjadi tawanan pihak musuh, pemerintah
55
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h. 72
56
Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islam, h. 55
57
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h. 75
negara Islam berkewajiban menyelamatkan mereka walaupun terpaksa membayar uang tebusan. Harta benda mereka sama dengan kedudukan nyawanya. Negara Islam bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada harta benda ahl alDzimmah. Oleh sebab itu, siapa saja yang mencuri harta benda ahl al-Dzimmah, tangannya akan dipotong, siapa yang merampasnya dia akan ditakzir, dan dikembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Siapa yang berhutang harta bendanya maka wajiblah dia melunaskannya. Jika dengan sengaja melambatlambatkan sedangkan ia seorang yang berkemampuan maka pemerintah berhak memenjarakannya. Islam mengakui kebebasan beragama bagi setiap orang. Dengan arti tidak ada seorang pun dapat memaksa orang lain untuk menganut agama Islam atau meninggalkan apa saja kepercayaan yang dianutnya. Negara Islam menjamin penduduk ahl al-Dzimmah untuk menganut dan melaksanakan ajaran agamanya. Berkenaan dengan hak untuk mengeluarkan pendapat, mereka pun diperbolehkan untuk melakukan syi’ar agama mereka, mempertahankannya dengan hujjah jika ada yang mengkritik agama mereka. Dalam bermuamalah dengan mereka tidak dibenarkan menghina dan menyakiti mereka, tetapi tidak dilarang untuk menyeru dengan cara yang baik, berdebat dengan lemah lembut dan beradab. Ahl al-dzimah juga mempunyai hak dalam bidang ekonomi, yaitu mereka mempunyai kebebasan untuk bekerja dan mencari pendapatan. Mereka bebas melakukan aktivitas ekonomi tanpa adanya halangan. Tetapi mereka tidak dibolehkan menjual arak atau babi di dalam
kawasan orang Islam, kecuali mereka menjual di kawasan atau tempat yang tidak dihuni oleh orang Islam walaupun dalam negara Islam. Bagi mereka yang lemah karena sakit atau sudah tua ataupun ketiadaan pendapatan untuk kehidupannya, negara Islam berkewajiban menanggung mereka bahkan sampai hari tuanya. Perlindungan ini harus diberikan secara adil dan seksama tanpa membedakan antar warga negara. c). Musta’min Secara bahasa, kata “Musta’min” merupakan bentuk isim fa’il (pelaku) dari kata kerja ista’mana. Kata ini seakar dengan kata amana yang berarti aman. Dengan demikian, kata ista’mana mengandung pengertian “meminta jaminan keamanan, dan orang yang meminta jaminan tersebut disebut Musta’min. 58 Menurut pandangan ahli fiqh, Musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia Muslim maupun Harbiyun. Menurut al-Dasuki (w.1230 H) antara Musta’min dengan Mu’ahid mempunyai pengertian yang sama. Mu’ahid adalah orang nonMuslim yang memasuki wilayah dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah dar al-Harb.59 Musta’min yang memasuki wilayah dar al-Islam bisa sebagai utusan perdamaian, anggota korps diplomatik, pedagang/investor, pembawa jizyah atau
58
59
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 236
Syams al-Dîn Muhammad ibn ‘Irfah al-Dasuki, Hasyiyah al-Dasuki ‘alâ Syarh alKabîr, (Mesir : Al-Azhariyah, 1345 H), h. 201
orang-orang yang berziarah. Mereka yang menetap di dar al-Islam dapat berubah status menjadi Dzimmi melalui perjanjian yang dibuat dengan pemerintahan Islam. Istilah Musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan ahl al-Dzimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat izin dan jaminan keamanan dari pemerintah setempat. d). Harbiyun Kata “harbiyun” berasal dari Harb yang berarti perang. Kata ini digunakan untuk pengertian warga negara dar al-Harb yang tidak menganut agama Islam dan antara
Islam dengan dar al-Harb tersebut tidak terdapat
hubungan diplomatik.60 Menurut Syi’ah Imamiah, istilah Harbiyun dipakai untuk non-Muslim selain ahl al-Kitab61. Pandangan ini berawal dari asumsi bahwa antara Islam dan agama ahl al-Kitab, memiliki kesamaan, yaitu sama-sama agama Samawi yang berasal dari Allah SWT. Orang-orang Harbiyun tidak terjamin keamanannya bila memasuki dar al-Islam, karena terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah berdasarkan salah satu dari dua hal, yaitu beriman, memeluk agama Islam, atau melalui perjanjian damai. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa warga negara dar alIslam terdiri dari umat Islam, ahl all-Dzimmi dan Musta’min. Sedangkan warga negara dar al-Harb terdiri dari non-Muslim yang disebut Harbiyun, Muslim sendiri dan Musta’min.
60 61
Ibid., h. 237
Ahl al-Kitab ada yang mengatakan orang Yahudi dan Nasrani saja, tetapi ada juga yang menambahkan dengan orang Sabi’in dan Majusi, ini dapat dilihat pada artikelnya Ismatu Rofi’, Wacana Inklusif ahl al-Kitab, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002), h. 99
2. Kewarganegaraan Menurut Negara-negara Modern Di setiap negara pada umumnya mempunyai aturan tersendiri atas syaratsyarat yang ditentukan untuk menjadi warga negara dari negara tersebut, namun demikian dalam ilmu pengetahuan terdapat dua asas yang utama, yaitu asas jus soli dan asas jus sanguinis.62 Yang dimaksud dengan jus soli (asas tempat kelahiran) ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Seseorang adalah warga negara dari negara B, karena ia dilahirkan di negara B tersebut. Sedangkan asas jus sanguinis (asas keturunan) adalah penentuan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan dari orang yang bersangkutan. Seseorang adalah warga negara A karena orang tuanya adalah warga negara A. Penentuan asas kewarganegaraan yang dianut oleh suatu negara adalah merupakan hak masing-masing negara tersebut. Walaupun tidak dapat memenuhi asas jus soli dan jus sanguinis orang dapat memperoleh kewarganegaraan dengan jalan pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur kewarganegaraan ini di berbagai negara sedikit banyak berlainan, menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing 63 Sangat jelas bahwa klasifikasi warga negara di dalam Islam dengan negara modern sangat berbeda, ini dilihat dari faktor hukum yang berlaku. Islam lebih kepada hukum Tuhan baik dari sumber primer al-Qur’an, hadis, maupun dari
62
Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Kinta, 1962),
Jilid 2, h. 17 63
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Group, 2003), Cet. Revisi, h. 77
sumber sekunder ijtihad, istihsan yang berupa fiqih. Sedangkan klasifikasi warga negara modern dilihat dari kepentingan negara yang bersangkutan. 3. Hak-hak Politik Warga Negara dalam Islam Menurut Muhammad Anis Qasim Ja’far, hak-hak politik itu ada tiga macam, yaitu:64 a. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum; b. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan lembaga setempat; dan c. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal-hal lain yang mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat. Ketiga hak politik ini, tegas Qasim, tidak berlaku kecuali bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu disamping syarat kewarganegaraan. Seseorang boleh menggunakan atau tidak menggunakan hak-hak politik tersebut tanpa ikatan apa pun.65 Menurut A. M. Saefuddin bahwa tiap individu memiliki hak-hak politik di antaranya hak memilih, hak musyawarah, hak pengawasan, hak pemecatan, hak pencalonan dalam pemilihan dan menduduki jabatan.66 Menurut Al-Maududi paling tidak ada enam macam hak politik yang diakui dalam Islam, yaitu:67 (1) Hak Kebebasan untuk mengeluarkan pokok
64 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa, 2003), cet. I, h. 67 65
Ibid.
66
A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, h. 17-19
67
Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, h. 52
pikiran, pendapat, dan keyakinan.68 Hal ini lanjut menurut Al-Maududi, meliputi hak kebebasan untuk mengkritik pemerintah dan pejabatnya. (2) Hak untuk berserikat dan berkumpul, (3) Hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala Negara, (4) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan Negara, (5) Hak untuk
memilih atau dipilih
sebagai ketua dan anggota Dewan
Permusyawaratan Rakyat (DPR), (6) Hak untuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Pembahasan mengenai hak politik ini juga di sampaikan oleh Abd alKarim Zaidan, beliau merincikan mengenai hak politik hampir memiliki persamaan serta memiliki perbedaan dalam mengkategorikan pembagian hak-hak politik warga negara dalam Islam, seperti yang telah dipaparkan oleh Abu A’la alMaududi. Sedikitnya menurut beliau ada enam macam hak politik dalam Islam, yaitu: (1) Hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala Negara, baik langsung maupun
melalui perwakilan, (2) Hak musyawarah atau hak untuk ikut
berpartisipasi dalam memberikan ide, saran dan kritik yang konstruktif kepada para penyelenggara negara terpilih, utamanya kepala Negara, agar tidak melakukan hal-hal yang membahayakan umat/rakyat, (3) Hak pengawasan/hak untuk mengontrol dan meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh para penyelenggara Negara, (4) Hak untuk memecat atau mencopot kepala Negara dari jabatannya bila tidak dapat menjalankan dengan baik tugas yang diamanahkan umat/rakyat kepadanya, (5) Hak untuk mencalonkan diri untuk jabatan kepala
68
Abu A’la Maududi, Islamic Law and Constitution, (Lahore, Pakistan: Islamic Publication Ltd, 1977), h. 283
Negara/Presiden, dan (6) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan.69 Agar memudahkan dalam sistematika pembagian macam-macam hak-hak politik warga negara dalam Islam, di bawah ini akan dipaparkan lebih lanjut hakhak politik warga negara dalam Islam, yaitu: a). Hak Memilih dan Dipilih Mengenai hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih sebagai kepala negara, Abd al-Karim Zaidan menyatakan bahwa setiap rakyat suatu negara yang telah memenuhi syarat mempunyai hak untuk memilih kepala negara yang dianggapnya mampu mewakilinya dalam mengelola semua urusannya sesuai dengan syariat Islam. Landasan hak ini menurutnya termaktub dalam ayat 38 surat al-Syura, yang berbunyi:
......... (38 :42/ )ا رى.......... Artinya: ”............ urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.......” (Q.S. As-Syura/42: 38).70 Ayat di atas, lanjut Abd al-Karim Zaidan, dengan amat jelas menyatakan bahwa masalah kaum muslimin, utamanya yang penting diputuskan dengan jalan musyawarah. Penentuan calon kepala negara merupakan salah satu masalah yang sangat penting yang harus diputuskan berdasarkan musyawarah. Hak untuk memilih kepala negara ini dapat dipergunakan secara langsung atau melalui
69
70
Abd al-Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h.17-52
Terjemahan dari setiap ayat al-Qur’an diperoleh dari al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depertemen Agama RI, 1971).
perwakilan oleh ahl hal wa al-’aqd, yakni tokoh-tokoh yang diteladani, dipatuhi, dan dipercaya umat/rakyat untuk mengatur segala urusannya. 71 Dalam syariat Islam, lanjut Abd al-Karim Zaidan, tidak ada peraturan yang defenitif tentang mekanisme pemilihan kepala negara, karena itu pengaturannya diserahkan kepada umat sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Bila diperlukan mereka bisa mempergunakan cara pemilihan langsung dan kalau dirasa cara yang pertama ini tidak atau kurang efektif, mereka bisa memilih alternatif kedua, yakni melalui perwakilan ahl hal wa al-’aqd. Sekiranya pemilihan kepala negara dilakukan melalui perwakilan, menurut dia, rakyat sendirilah yang sebenarnya melakukan pemilihan itu.72 Perlu diperhatikan bahwa pemilihan kepala negara selama ini menjadi pembicaraan yang selalu aktual, apalagi apabila terjadi di negara-negara muslim, semisal al-Maududi menyatakan bahwa hak untuk menjadi kepala negara itu hanya terbuka untuk kaum Muslimin. Karena itu, warga negara non-Muslim yang tidak mengakui Islam tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam urusanurusan negara berideologi Islam yang secara jujur tidak diakuinya. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa orang yang berhak dicalonkan sebagai kepala negara di samping harus memenuhi syarat-syarat:73 Muslim, laki-laki, dewasa, sehat jasmani dan rohani, warga negara yang terbaik, shaleh, kuat komitmennya terhadap Islam, orang yang dipercaya, dicintai, dan diinginkan oleh rakyat.
71
Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, h. 54
72
Ibid., h. 52
73
Abu A’la Maududi, Islamic Law and Constitution, h. 252
Seperti halnya seorang warga negara pada umumnya mereka memiliki semua hak-hak politik seperti hak memilih dan dipilih, begitupun dengan Islam yang sangat menghargai setiap hak yang dimiliki oleh umatnya. Demikianlah pemaparan mengenai hak politik warga negara dalam hal hak memilih dan dipilih. b). Hak Berserikat dan Berkumpul Islam juga telah memberikan hak kepada rakyat untuk bebas berserikat dan membentuk partai-partai atau organisasi-organisasi. Hak ini tunduk kepada aturan-aturan umum tertentu. Hak ini harus dilaksanakan untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran dan bukan untuk menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul ini, terdapat dan disebutkan di dalam Al-Qur’an tetapi Al-Qur’an itu menganggap ini sebagai keharusan bagi pribadi manusia untuk turut serta mengambil bagian secara aktif dalam urusan-urusan masyarakat (umat) yang mengajak manusia berbuat baik dan mencegah mungkar serta meyakini Allah SWT. 74 Pada dasarnya agama Islam adalah agama yang menghendaki pergaulan atau diistilahkan dengan jamaah setiap Muslim selalu menyediakan diri untuk menjunjung tinggi panggilan Tuhan dengan mengerjakan Shalat berjamaah. Menurut ajaran Islam dengan melalui sebuah musyawarah sebagaimana firman Allah SWT di dalam al-Qur’an:75
74
Abu A’la Maududi, Hak-hak Manusia dalam Islam, penterjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, cet. III, (Jakarta: Bumi aksara, 2005), h. 32 75
Dalizar Putra, HAM (Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an), (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995), cet. II, h. 57
"#$%& + ()* ,-.,/01* 2☺ (38 :42/ )ا رى. 89:;< 456"7 Artinya: “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S Asy-Syura ayat 38). Ayat ini dapat menjadi pegangan untuk berkumpul atau berserikat serta berpendapat. Bahkan menjadi konsep dasar untuk bermasyarakat dan bernegara yang memhendaki pendapat. Jelasnya syura atau bermasyarakat jadi pokok dalam membangun masyarakat dan bernegara dalam Islam. Menurut ajaran Islam dengan melalui lembaga perserikatan dan perkumpulan dan mengadakan hubungan-hubungan (musyawarah) konsultasi dan sebagainya suatu kekuatan untuk memperjuangan hak-hak manusia dalam suasana persaudaraan. Jelasnya bahwa Islam menjamin kebebasan berkumpul dan berserikat bagi setiap orang. Hal ini tidak hanya sekedar jaminan melainkan dituntut untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari c). Hak Mengeluarkan Pendapat Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa hak itu digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan bukan untuk menyebar keburukan. Konsep Islam tentang kebebasan mengeluarkan pendapat jauh lebih tinggi daripada hak yang diakui barat. Memang hak untuk kebebasan mengeluarkan pendapat guna menyebarkan kebaikan dan bukan hanya semata-mata hak tetapi suatu kewajiban.
Berpendapat adalah mengemukakan ide atau gagasan. Ia adalah hasil renungan terhadap kejadian langit dan bumi, serta alam semesta ini, guna untuk mendorong kemajuan umat dan keluhuran kehidupan. Setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya selama dia tetap dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak seorang pun diperbolehkan menyebarkan fitnah, hasut dan berita-berita yang mengganggu ketertiban umum dan mencemarkan nama baik orang. Pendapat yang dikehendaki adalah pendapat yang bersifat konstruktif, tidak bersifat destruktif dan tidak pula bersifat anarkis. Bagi seorang muslim selalui dianjurkan mengemukakan ide atau gagasan untuk menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya yang berbunyi:76
8EF< ABCD ?@ = >* 8 LM< IJ+<K G,HI: 8"5< N BOLPI "STU6+*M D . R+ ?4☺* Q= (104 :3/ )ال انVW4+I/;4☺* Artinya: ”... Dan adalah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar merekalah orangorang yang beruntung”. (Q.S. Ali-Imran/ 3: 104). Kesempurnaan Islam seorang Muslim tergantung kepada empat syarat yaitu: Iman, amal soleh, nasehat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran. Nasehat menasehati adalah dalam rangka memberikan pendapat kepada orang lain. 77 Ibnu Jarir bin Abdullah berkata:
76
Ibid, h. 52
78
('". ﻡ0"' )روا. ﻡ,- *+ و("' "! ا%&" $"! ا# ا
Artinya: “Saya membaiat akan Nabi Muhammad SAW atas keharusan mendengarkan sabda dan mentaati perintah-Nya. Maka beliau memerintahkan apa yang saya sanggupi memberikan nasehat kepada orang lain”. Nasehat itu mengandung ajaran melakukan kebaikan, ajakan meninggalkan kejahatan dan menyedarkan mereka terhadap kelalaiannya. Demikian pentingnya menyatakan pendapat dalam Islam demi untuk kemaslahatan umum. Dengan goresan pena orang dapat menyatakan pendapatnya, mengetahui pendapat orang lain, mendalami ilmu pengetahuan, memperjuangkan hak-haknya dan sebagainya. Goresan pena dalam mengemukakan pendapat ini tentu selalu memperhatikan etika pergaulan dan juga jangan sampai merugikan orang lain sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar. Demikianlah secara panjang lebar dijelaskan mengenai sejarah hak politik dalam Islam, pembagian hak politik dalam Islam, serta mengenai klasifikasi warga negara yang dengan adanya pembedaan itu dengan demikian akan dapat dibedakan hak-hak politik setiap warga negara. Setelah kita membahas mengenai hak-hak politik dalam Islam, maka pada bab selanjutnya akan dilihat pengaturan kewarganegaraan yang akan dibahas di dalam Perlembagaan Malaysia.
77
T. M. Hasbi ash Shiddiqy, 2002 Mutiara Hadits I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
h. 183 78
Muslim bin Hajjaj Abu Husin al-Qusyairi, Shahîh Muslim, juz, I, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turâts al-Arabi, t.th), h. 75, no hadis: 56
BAB III WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Definisi Warga Negara Konsep kewarganegaraan ialah konsep baru
yang timbul sejak
pemberontakan Perancis dan Amerika pada abad ke-18. Konsep ini sangat penting dalam pembentukan sebuah negara, baik negara yang berbentuk kerajaan maupun republik.79 Sebelum pemberontakan ini, hubungan rakyat dengan negara yaitu hubungan taat setia mereka kepada raja yang memerintah negeri itu. Taat setia ini bukan dipertanggungjawabkan kepada negara, tetapi kepada raja itu sendiri. Yang demikian, jika seorang raja dijatuhkan dari tahta kerajaan, maka rakyat yang taat setia kepada raja itu mestilah turut menderita seperti raja yang malang itu. Jika rakyat tidak taat setia kepada raja, maka mereka dianggap berdosa dan durhaka serta boleh dibunuh.80 Tetapi sejak pemberontakan Perancis dan Amerika telah timbul suatu pemikiran baru, yaitu manusia yang mempunyai keturunan, adat istiadat dan kebudayaan yang sama dapat disatukan menjadi suatu bangsa untuk membentuk suatu negara kebangsaan (nation state) yang merdeka dan berdaulat. Ketaatan
79
Hasnah Hussin dan Mardiana Nordin. Pengajian Malaysia, (Selangor: Oxford Fajar, 2007), cet. I, h. 181 80
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006), h. 259
yang dahulunya diberikan kepada raja, sekarang telah beralih dan ditumpukan kepada negara, dan rakyat pun disebut anak bangsa. Akhirnya pemikiran baru ini pun merebak ke seluruh negara di benua Eropa, kecuali Inggris. Negeri-negeri di Amerika Selatan tidak juga ketinggalan memberontak melawan penjajah Spanyol dan Portugis. Yang demikian lebih kurang dalam pertengahan abad 19, konsep kewarganegaraan ini sudah disepakati oleh para ahli politik pada zaman itu dan konsep ini menjadi asas dalam pembentukan sebuah negara kebangsaan. 81 Di Malaysia kewarganegaraan Persekutuan mulai diperkenalkan pada tahun 1948 melalui Perjanjian Persekutuan Tanah Melayu. Sebelum itu, Tanah Melayu tidak mempunyai dasar atau undang-undang kewarganegaraan yang sama bagi seluruh negeri. Pada tahun 1952, peruntukan ini telah diamandemen dan setiap negeri bagian mempunyai undang-undangnya sendiri. Walau bagaimanapun, apabila Perlembagaan 1957 dibentuk, Malaysia secara langsung mempunyai undang-undang kerakyatannya yang sama bagi seluruh negara.82 Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari sesuatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari satu Persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas
81
82
Ibid., h. 259
Mohd. Foad Sakdan, Asas Politik Malaysia, cet. II, (Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), h. 83
dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak, privasi dan tanggung jawab.83 Warga negara, yang merupakan keahlian penuh bagi sesuatu negara, mempunyai beberapa syarat yang tertentu. Di antara syarat-syarat tersebut mencakup umur, kediaman, hak asasi dan keistimewaan tertentu. Jika syaratsyarat ini dipenuhi barulah boleh dianggap seseorang itu warga negara bagi sebuah negara.84 Dalam Kamus Dewan Bahasa Malaysia, warga negara dapat diartikan sebagai rakyat sebuah negara yang terdiri dari penduduk asli, atau pun orang asing yang telah diterima menjadi rakyat berdasarkan undang-undang Malaysia.85 Warga negara adalah penting untuk membentuk sesebuah negara kebangsaan yang baru, baik itu negara kerajaan maupun republik. 86 Kerakyatan atau kewarganegaraan Malaysia itu sebenarnya bukanlah hak mutlak seseorang. Kewarganegaraan dapat diperoleh melalui berbagai cara yang disahkan dan diakui oleh Undang-Undang negara. Tidak terkecuali juga ialah hak kerajaan Malaysia untuk menggunakan kuasa atau wewenang serta haknya untuk menarik balik atau
83
Dede Rosyada, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), cet. I h. 73 84
K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998), h. 358 85
Hajah Noresah Binti Baharom, dkk., Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 2002), h. 1546 86
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 259
mencabut status kewarganegaraan seseorang rakyatnya. Undang-undang tentang kewarganegaraan yang berlaku di Malaysia sekarang dibagi kepada tiga bagian yaitu perolehan kewarganegaraan, penamatan kewarganegaraan dan peruntukan tambahan.87
B. Cara Mendapatkan Kewarganegaraan Dalam perlembagaan Malaysia, ada empat cara untuk mendapatkan status kewarganegaraan, yaitu dengan cara jus soli, jus sanguinis, perkawinan dan naturalisasi.88 1. Jus Soli (Undang-undang Tempat Lahir) Dalam Perlembagaan Malaysia, seseorang yang dilahirkan di Malaysia antara Hari Kemerdekaan tanggal 31 Agustus 1957 dan bulan Oktober tahun 196289 secara langsung menjadi warga negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan orang tuanya. Tetapi jika seseorang itu dilahirkan setelah bulan November 1962, maka orang itu dapat menjadi warga negara apabila memenuhi salah satu syarat di bawah ini: a. Ketika kelahirannya salah seorang dari ibu bapaknya ialah warga negara; b. Ketika kelahirannya salah seorang dari ibu bapaknya ialah orang yang tinggal di negara ini, atau
87
Mohd. Foad Sakdan, Asas Politik Malaysia, cet. II, h. 83
88
Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarganegaraan, cet. V, (Selangor: Prentice Hall, 2004), h. 173, dapat dilihat juga pada Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 268 89
Akta (Pindaan) Perlembagaan 1962 (No. 14 1962).
c. Ketika kelahirannya dia tidak mempunyai kewarganegaraan negara mana pun. 90 2. Jus Sanguinis (Undang-undang Keturunan Darah) Jus sanguinis juga dipakai dalam Perlembagaan Malaysia sebagai satu faktor yang sangat penting untuk menghubungkan seseorang dengan Malaysia. Berdasarkan asas jus sanguinis, seseorang yang berketurunan warga negara akan tetap menjadi warga negara, walaupun dia dilahirkan di luar negara, karena kewarganegaraan bapaknya diwarisi olehnya. Tetapi masalahnya sebatas mana kewarganegaraan itu dapat diberikan kepada seseorang yang dilahirkan di luar negara. berdasarkan Perlembagaan, seseorang yang dilahirkan di luar Malaysia hanyalah boleh menjadi warga negara, jika bapaknya warga negara dan salah satu dari syarat berikut dipenuhi:91 a. Bapaknya sendiri dilahirkan di Malaysia, atau b. Bapaknya memegang jabatan dalam perkhidmatan awan (pegawai negeri) Persekutuan atau negeri atau c. Kelahirannya didaftarkan di kantor Konsul Malaysia92 ataupun dengan Kerajaan Malaysia dalam jangka waktu satu tahun setelah kelahirannya, ataupun dalam jangka waktu yang lama jika mendapat izin dari Kerajaan.93
90 91
Ibid., Bagian 1, Jadual kedua Ibid., Pasal 1 (1) (d) dan (e) Bagian 1 dan Pasal 1(b), (c) dan (d) Bagian II
92
Kantor Konsul Persekutuan, termasuk semua kantor yang menjalankan fungsi konsul bagi pihak Persekutuan. 93
Pasal 1 (1) (e) Bagian 1 dan Pasal 1(c), Bagian II, Jadual Kedua Akta (Pindaan) Perlembagaan 1962 (Nomor. 14 1962).
3. Perkawinan Faktor perkawinan dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan status kewarganegaraan Malaysia yaitu bagi seorang wanita asing yang menikah dengan seorang warga negara Malaysia untuk memohon menjadi warga negara jika: a. Si suami telah menjadi warga negara pada bulan Oktober 1962 atau sebelumnya dan perkawinan itu masih kekal, atau b. Wanita asing itu telah tinggal dalam Persekutuan Malaysia selama 2 tahun sebelum permohonan itu dibuat dan niatnya hendak kekal tinggal dalam Persekutuan Malaysia dan berkelakuan baik Isteri asing boleh meminta didaftarkan menjadi warga negara jika perkawinan itu telah didaftar menurut undang-undang yang ada dalam Persekutuan,94 tetapi syarat ini tidak dikenakan kepada seorang isteri yang telah membuat permohonan kewarganegaraan sebelum awal bulan September 1965. 4. Masukan (Naturalisasi) Bagi orang yang tidak dilahirkan di Malaysia, jika ia tinggal atau berniat menetap di Malaysia, ia bisa mendapatkan status kewarganegaraan Persekutuan dengan jalan masukan (naturalisasi). Berdasarkan Pasal 19 Perlembagaan Persekutuan, orang asing yang berumur 21 tahun atau lebih boleh membuat permohonan untuk dimasukkan menjadi warga negara, sekiranya dia dapat memenuhi syarat-syarat yang tersebut di bawah:
94
Pasal 15 (1), ibid
(a). Dia telah tinggal dalam Persekutuan selama 12 tahun terdahulu dari dan hingga tanggal permohonan itu tidak kurang dari 10 tahun. (b). Berniat hendak kekal tinggal di negeri ini, (c). Berkelakuan baik, dan (d). Mempunyai kemampuan berbahasa Malaysia dengan fasih. Tiap-tiap orang yang akan dimasukkan menjadi warga negara mengangkat sumpah taat setia kepada Persekutuan sebelum diberikan kartu tanda penduduk warga negara.
C. Hak dan Kewajiban Warga Negara Kewarganegaraan merupakan status istimewa yang dipegang oleh rakyat yang berhak dalam sebuah negara. Kedudukan ini memberikan hak dan kemudahan tertentu. Status kewarganegaraan ini juga sekaligus menuntut tanggung jawab tertentu pula. Hak-hak yang diperoleh oleh seorang warga negara yaitu: 1. Berhak menjadi pemilih dalam pemilihan raya (pemilihan umum); 2. Berhak untuk turut ikut atau aktif dalam politik termasuk berkompetisi dalam pemilihan raya untuk menduduki jabatan politik seperti menteri dan lain-lain; 3. Berhak mengisi jabatan ekslusif yang dikhususkan untuk warga negara saja; 4. Bebas memiliki tanah serta layak dipertimbangkan untuk mendapat keistimewaan-keistimewaan yang berhubungan dengan pembangunan harta; 5. Berhak menerima berbagai faedah dan kemudahan dalam negerinya termasuk pelayanan, pendidikan dan sebagainya;
6. Bebas bergerak dalam negeri; dan 7. Tidak boleh dibuang atau diasingkan ke luar negeri. 95 Hak-hak tersebut merupakan sesuatu yang pantas diterima oleh setiap warga negara dan negara harus memenuhinya, memberikan jaminan atau melindunginya dengan Undang-undang. Sehingga tidak ada satu warga negarapun yang diabaikan hak-haknya termasuk hak asasinya. Merupakan suatu kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi Hak Asasi Manusia.96 Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban negara untuk tidak melakukan intervensi terhadap hak-hak rakyat, karena adanya intervensi negara yang tidak pada tempatnya dapat mengakibatkan adanya masalah pelanggaran HAM. Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah dalam bidang legis-latif, administratif, dan yudikatif. Sedangkan kewajiban untuk melindungi HAM memerlukan sikap atau tindakan positif dari negara bahwa dalam menghormati dan memenuhi hak asasi individu tidak melanggar hak asasi individu lainnya. Sebagai timbal balik atas pemenuhan dan perlindungan hak asasi tersebut setiap warga negara memiliki tanggung jawab dan memainkan peranannya dalam negerinya. Di antara tuntutan terhadapnya adalah: 1. Memberikan pengabdian kepada negara termasuk menjadi tentara jika diperlukan;
95 96
Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia, h. 73
Untuk penjelasan lengkapnya mengenai kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi HAM, dapat dilihat pada Manfred Nowak, Introduction to The International Rights Regime, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003), h. 49-50
2. Mematuhi undang-undang dan membantu dalam pelaksanaan programprogram pemerintah; 3. Menyumbang kepada produktivitas negara dalam apa saja sesuai dengan profesinya (setiap rakyat apapun peranannya dalam ekonomi negara adalah penting bagi kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat); dan 4. Mengikuti, bahkan seharusnya mendukung program dan acara nasional seperti perayaan hari kebangsaan. Dengan demikian, setiap warga negara selain memiliki hak-hak asasi yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara, ia juga mempunyai kewajiban kepada negara. Di mana ada pemenuhan dan perlindungan hak warga negara di situ pula ada kewajiban yang harus diberikan kepada negara, bahkan kewajiban harus didahulukan sebelum hak diberikan. Demikianlah karena hak dan kewajiban dua hal yang tidak dapat dipisahkan, selalu bergandengan menyatu dalam fungsi, walaupun berbeda dalam tahapan urutannya. Dengan kata lain, kaitan antara hak dan kewajiban seperti model relasi resiprositas (timbal balik), atau relasi ketergantungan antara dua sisi mata uang. Akibatnya, setiap adanya pemenuhan hak harus selalu didasarkan pada keharusan pemenuhan segala syarat kewajiban yang merupakan pra kondisinya.97 Hak asasi telah diatur dalam Perlembagaan Malaysia dengan memakai istilah kebebasan asasi. Dalam Perlembagaan Malaysia secara umum telah disebut
97
Noryamin Aini, Pengantar Dasar Konsep Hak Asasi Manusia, makalah Mata Kuliah HAM, Syari’ah dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 12.
tentang hak dan kebebasan setiap warganya yang dijamin oleh negara, di antaranya adalah: a. Hak Atas Kebebasan Diri (Pasal 5) Bagian pertama Pasal 5 Perlembagaan Persekutuan menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh diambil nyawanya dan dihilangkan kebebasan dirinya melainkan berdasarkan undang-undang. Pengadilan berhak melepaskan dia, jika di dapati bahwa dia ditahan karena menyalahi undang-undang. Apabila seseorang itu ditangkap, ia hendaklah diberitahu sebab-sebab dia ditangkap, Bagian kedua menyebutkan bahwa Pengadilan Tinggi harus menyelidiki jika ada pengaduan dibuat setelah pengacara menyatakan seseorang ditahan dan melanggar undang-undang, dan jika tersangka terbukti tidak bersalah, ia harus dibebaskan. Bagian ketiga menyebutkan bahwa jika seseorang ditangkap, dia hendaklah diberitahu alasan penangkapannya dan dia berhak membela diri melalui pengacara. Berkenaan dengan kebebasan pribadi di atas sudah menjadi dasar Undang-Undang Pidana di negara Malaysia, yaitu setiap orang tidak boleh dipaksa mengaku bersalah atau memberi keterangan yang menunjukkan bahwa ia telah melakukan kesalahan. Jika dengan menggunakan jalan paksa, pengadilan berhak menolak pengakuan itu. Untuk membuktikan kesalahan itu, orang yang mendakwa harus mencari keterangan-keterangan atau bukti-bukti yang lain.98 Akan tetapi, hak atas kebebasan diri ini dibatasi oleh undang-
98
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 297
undang dan seseorang tidak boleh ditangkap tanpa bukti bahwa ia bersalah, atau perbuatannya dirasakan berbahaya bagi keselamatan negara dan keamanan umum. b. Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa (Pasal 6) Bagian pertama dan kedua menyebutkan tidak seorang pun boleh ditahan sebagai abdi (hamba) dan kerja paksa, tetapi undang-undang persekutuan boleh membuat peruntukan untuk mengadakan khidmat bagi negara. Bagian ketiga menyebutkan kerja-kerja yang berkaitan dengan hukuman tahanan tidak dapat dikatakan sebagai kerja paksa. Pengabdian atau perbudakan adalah diharamkan oleh Perlembagaan Malaysia.99 Semua jenis kerja paksa itu dilarang, tetapi Parlemen dapat membuat Undang-undang untuk memaksa warganya bekerja demi negara. Dan juga tidaklah dianggap salah dari sisi Undang-undang jika kerja yang dipaksakan kepada seseorang itu berkaitan dengan melaksanakan hukuman penjara yang dijatuhkan kepada narapidana.100 Setiap warga negara boleh bekerja untuk mencari nafkah asalkan perkerjaannya itu tidak bertentangan dengan Undang-undang. c. Hak Persamaan (Pasal 8) Bagian pertama dan kedua menyebutkan bahwa semua warga negara adalah berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang 99
Pasal 6 Poin 1 dan 2
100
306
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h.
dan setiap warga negara tidak boleh dibedakan atas sebab agama, kaum (bangsa), keturunan atau tempat lahir. Bagian ketiga menyebutkan bahwa tidak boleh ada pembedaan kepentingan seseorang disebabkan ia merupakan rakyat Raja negeri bagian. Bagian keempat menyebutkan bahwa pihak berkuasa
tidak boleh membedakan seseorang sebab ia menetap atau
menjalankan perniagaan di negara bagian Persekutuan di luar wewenang pihak yang berkuasa. Ada satu poin yang penting tentang hak persamaan dalam Perlembagaan Malaysia ialah poin yang mengharamkan perbedaan dengan sebab agama, bangsa, keturunan, dan tempat lahir. Begitu juga Perbedaan dengan sebab laki-laki dan perempuan. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama yang dilindungi oleh Undang-undang. Pasal 8 ayat (1) Perlembagaan Malaysia menyebutkan bahwa semua orang berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama berdasarkan Undang-undang. d. Hak Kebebasan Bergerak dan Larangan Buang Negeri / Diusir (Pasal 9) Bagian pertama menyebutkan bahwa tidak ada warga negara yang boleh dibuang negeri (diusir) atau ditahan masuk ke dalam Persekutuan. Bagian kedua ada menyebutkan bahwa setiap warga negara adalah berhak bebas bergerak dan menetap di seluruh Persekutuan. Akan tetapi untuk keamanan negara, Pemerintah dapat membatasi gerak gerik warga negara dengan membuat undang-undang, dan undangundang itu harus memenuhi kehendak Perlembagaan seperti kesemarataan,
kecuali jika undang-undang itu dibuat berdasarkan keselamatan khusus atau kewenangan darurat pemerintah.101 Kebebasan bergerak bagi warga negara diseluruh Persekutuan dibatasi oleh salah satu empat asas: (1) keselamatan, (2) keamanan umun, (3) kesehatan umun, (4) hukuman bagi pesalah. 102 e. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat, Berkumpul dan Bepersatuan (pasal 10) Bagian pertama dan kedua menyebutkan bahwa Perlembagaan Persekutuan menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul dan bepersatuan. Walau bagaimanapun parlimen dapat memberikan batasan yang dirasakan perlu demi menjaga keselamatan Persekutuan dan negara-negara bagian untuk ketenteraman umum. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini dibatasi dengan kata-kata yang tidak menjadi fitnah, provokatif, tidak menghina Pengadilan dan kata-kata yang melanggar hak keutamaan Parlemen dan Dewan Negeri. Mengeluarkan kata-kata fitnah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Barang siapa yang berkata, menulis, mencetak, menjual atau menyebarkan perkataan-perkataan yang bersifat provokatif dapat dianggap oleh undang-undang telah melakukan kesalahan yang dapat dihukum hingga lima tahun penjara atau denda RM 5000.103 Poin 28 Akta Keselamatan Dalam Negeri menyebutkan bahwa siapa saja yang menyebarkan berita palsu yang menakut-nakuti masyarakat umum,
101
Pasal 149, 150 dan 151 Perlembagaan Malaysia
102
Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 102 103
Seksyen 500, Kanun Keseksaan
demikian juga dibuat dengan ucapan atau pun tulisan dapat dianggap telah melakukan suatu kesalahan. Bahan-bahan tertulis diawasi oleh undang-undang, jika seseorang hendak membuka atau mendirikan penerbitan atau pun surat kabar (media cetak), harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Menteri Dalam Negeri, setiap surat kabar atau bentuk tulisan apa pun hendaklah memiliki dan mencantumkan nama dan alamat penerbitnya dalam bahasa Melayu atau bahasa Inggris di halaman depan atau akhir. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pemerintah mempunyai wewenang untuk menutup setiap surat kabar (media cetak), buku-buku atau pun bahan-bahan bertulis lainnya agar perizinan itu tidak dipersalahkan gunakan. Bahkan sangat penting bagi pemerintah mengawasi penerbitan-penerbitan surat kabar (media cetak) atau buku-buku secara tegas yang mungkin dapat merusak suasana politik dan keamanan di Malaysia.104 Pengawasan kebebasan berpendapat bukan hanya dalam bentuk tulisan dan ucapan saja, bahkan juga dalam setiap permainan, pertunjukan, hiburan atau acara-acara yang serupa dengan itu. Menteri Dalam Negeri dapat menutup atau melarang setiap acara jika dianggap dapat mengakibatkan gangguan keamanan negara Malaysia. Untuk menjamin bahwa sekolahsekolah, tempat-tempat atau yayasan-yayasan pendidikan digunakan hanya
104
302
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h.
untuk mendapatkan pendidikan dan terhindar dari ajaran-ajaran politik komunis serta ajaran-ajaran yang dapat menggangu keamanan negara, maka Pemerintah berwenang: (a) Membuat Undang-undang supaya tidak melantik guru atau pensyarah (Dosen) yang akan membahayakan kepentingan negara; (b) Membuat Undang-undang supaya menutup setiap sekolah atau lembaga pendidikan, jika sekolah atau lembaga pendidikan tersebut digunakan untuk mengganggu kepentingan negara; dan (c) Membuat Undang-undang supaya para pelajar, mahasiswa, guru dan dosen tidak boleh membuat perkumpulan (organisasi) kecuali telah mendapat izin dari polisi.105 Dalam hal kebebasan berkumpul, hendaklah dalam keadaan aman dan tidak bersenjata, Parlimen adapat membuat Undang-undang untuk menjaga kepentingan dan keselamatan negara. Berdasarkan Poin 27 Akta Polis 1967, setiap perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan (konvensi) hendaklah dilakukan dengan mendapat izin dari polisi terlebih dahulu dan polisi berwenang
tidak
mengeluarkan
izin
tersebut
jika dianggap
bahwa
perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan itu akan membahayakan keselamatan negara. Jika perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan (konvensi) dilakukan tanpa mendapat izin, polisi berhak menghentikan dan membubarkannya dan setiap orang yang bertanggung jawab dapat dihukum
105
Ibid., h. 303-304
karena melakukan kesalahan. Kemudian kebebasan untuk membentuk persatuan atau organisasi, ada undang-undang yang mengaturnya juga, yaitu Akta Pertubuhan tahun 1966. berdasarkan Poin 5 Akta ini, Menteri Dalam Negeri berhak membuat keputusan yaitu suatu organisasi adalah dilarang keras jika organisasi tersebut digunakan untuk tujuan yang dapat membahayakan kepentingan dan keamanan negara. Suatu lembaga atau organisasi yang termasuk dalam jenis di atas tidak boleh didaftarkan, dan jika telah terdaftar maka akan dicabut keabsahannya.106 f. Kebebasan Beragama (Pasal 11). Bagian pertama pasal ini menyebutkan bahwa agama Islam sebagai agama resmi Persekutuan Tanah Melayu, akan tetapi setiap warga negara masih berhak untuk mengamalkan agamanya sendiri. Bagian kedua menyebutkan bahwa tidak seorang pun juga yang dipaksa untuk membayar pajak jika hasil dari pajak itu adalah bertujuan untuk membiayai suatu agama. Bagian ketiga menyebutkan setiap organisasi keagamaan berhak untuk mengatur urusan agamanya, membentuk atau mendirikan yayasan untuk kemajuan dan kebaikan agamanya. Hak kebebasan beragama ini tidak akan diganggu atau dibatasi walaupun agama Islam telah menjadi agama rasmi, 107 kecuali tentang
106
Ibid., h. 305
penyebaran agama kepada orang-orang Islam saja. Di sini undang-undang setiap negara bagian berwenang membuat Undang-undang untuk menghalangi penyebaran agama kepada orang Islam. Undang-undang ini ditujukan kepada orang Islam dan juga kepada orang-orang yang bukan Islam. Semua Undangundang yang berkaitan dengan agama Islam di setiap negara bagian hanya berlaku bagi orang Islam saja.108 Kebebasan beragama ini tidak boleh melanggar Undang-undang tentang Keamanan, Kesehatan atau Kemaslahatan Umum. Di sinilah letaknya batasan kebebasan beragama. Perlembagaan tidak memberikan definisi tentang agama. Oleh karena itu agama bisa bermakna kepercayaan kepada kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia. Akan tetapi, jika ada suatu kepercayaan yang meyakini bahwa agamanya membolehkan mereka membunuh orang dan berbuat keji, maka Perlembagaan sudah tentu tidak akan membenarkan agama seperti ini diamalkan, karena merusak keamanan umum. 109 Setiap agama berhak mendirikan yayasan untuk mensyiarkan agamanya dan Undang-undang tidak boleh membuat perbedaan berdasarkan agama tentang yayasan itu. Tetapi ada satu pengecualian yaitu Undangundang Persekutuan dan Undang-undang negara bagian dapat membuat aturan tentang pemberian dana berkenaan dengan pendirian yayasan Islam atau
107
Pasal 3, Islam adalah agama Persekutuan, tetapi agama lain bolehlah diamalkan dalam keadaan yang aman dan damai di mana-mana tempat di Persekutuan 108 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 302 109
Pasal 8 ayat (2) Perlembagaan Malaysia
dalam kegiatan mengajarkan agama kepada orang Islam. 110 g. Hak atas Pendidikan (Pasal 12) Bagian pertama menyebutkan bahwa pengelolaan setiap yayasan pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak berkuasa umum berkaitan dengan penerimaan pelajar atau mahasiswa dan pembiayaan pemerintah tidak boleh membedakan antara kaum, keturunan dan tempat lahir. Bagian ini juga ada menyebutkan tentang keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah dibagi samarata. Bagian kedua menyebutkan bahwa setiap organisasi keagamaan berhak mendirikan institusi-institusi pendidikan anak-anak dalam komunitas mereka. Bagian ketiga menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dipaksa menerima ajaran-ajaran atau mengambil bagian dalam upacara atau sembahyang suatu agama yang lain daripada agamanya sendiri. h. Hak Terhadap Harta (pasal 13) Bagian pertama menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihilangkan hartanya kecuali berdasarkan undang-undang. Bagian kedua menyebutkan bahwa tidak ada satu undang-undang pun boleh membuat tuntutan untuk mengambil atau menggunakan harta-harta secara paksa dengan tidak ada ganti rugi yang seimbang. Setiap orang berhak memiliki harta, dan jika hartanya diambil oleh pemerintah dengan sebab kepentingan umum, ganti rugi yang setimpal
110
Pasal 11 ayat 3 (a) (b) (c)
hendaklah diberikan kepadanya. Setiap Undang-undang yang mengatur tentang hal pengambilan harta rakyat tidak sah jika tidak ada ketentuan yang mengatur tentang ganti ruginya. Dari penjelasan di atas, dapat difahami bahwa adanya pengaturan dalam undang-undang tentang pembatasan hak dan kebebasan warga negara, ditujukan untuk menjaga dan memelihara kepentingan serta keamanan negara. Jika undang-undang yang dibuat oleh Parlemen telah menghalangi warga negaranya untuk bebas bergerak di wilayah Malaysia atau membatasi kebebasan berpendapat, berkumpul atau berorganisasi, kebebasan beragama dan lain-lain, karena pembatasan yang dibuat itu adalah untuk menjaga keselamatan dan keamanan negara, maka Undang-undang tersebut adalah sah dan tidak boleh ditentang Demikianlah penjelasan tentang hak dan kewajiban warga negara Malaysia yang diatur dalam Perlembagan. Pada Bab berikutnya yaitu Bab IV penulis akan
menguraikan tentang analisis hak-hak politik dalam ketata-
negaraan Islam terhadap warga negara Malaysia.
BAB IV HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP WARGA NEGARA MALAYSIA
Setelah menguraikan tentang hak-hak politik dalam ketatanegaraan Islam pada bab II dan hak-hak politik warga negara Malaysia pada bab III, dalam bab IV ini penulis akan menguraikan analisis hak-hak politik antara keduanya. Penulis mencoba untuk melakukan analisis perbandingan dengan didasarkan pada: pertama bahwa negara Malaysia merupakan negara mayoritas penduduknya Muslim yaitu Melayu dan kedua di negara Malaysia dalam konstitusinya dinyatakan bahwa agama Islam adalah agama resmi Persekutuan seperti yang dinyatakan dalam pasal 3: ”Agama Islam ialah agama bagi Persekutuan, tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana bagian Persekutuan. Dari analisis perbandingan ini dimaksudkan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tentang hak-hak politik dalam ketatanegaraan Islam dan hak-hak politik warga negara Malaysia. Dalam hal ini, penulis menyamakan penduduk Muslim dalam negara Islam dengan orang Melayu di Malaysia dan penduduk dzimmi dengan non Melayu.
C. Hak Politik Orang Melayu Dari kacamata antropologi atau kebudayaan, Melayu dapat diartikan
sebagai penduduk yang tinggal di gugusan kepulauan Melayu, yang meliputi Semenanjung Tanah Melayu, Republik Indonesia dan Filipina. Meskipun penduduk asli ribuan pulau daerah Nusantara terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan budaya, namun bagi ahli bahasa dan kebudayaan bahwa mereka tergolong dalam keturunan yang sama yaitu Melayu atau MalayoIndonesia. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa Melayu ialah kaum Melayu yang tinggal di Semenanjung Melayu saja. Setelah penjajah Barat –Inggris, Belanda dan spanyol- memerdekakan orang Melayu, maka orang-orang Melayu terpecah-pecah kepada beberapa negara bangsa seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Thailand dan Brunei. 111 Dalam pembahasan skripsi ini, yang dimaksud dengan Melayu adalah penduduk Malaysia sebagaimana yang disebutkan dalam Perlembagaan Persekutuan Pasal 160 (2) bahwa “Melayu berarti seseorang yang menganut agama Islam, boleh bertutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam Melayu”, kelanjutan dari Pasal 160 ayat (2) tersebut adalah: (a) Seseorang yang lahir sebelum hari Kemardekaan, di Persekutuan atau di Singapura atau Ibu bapanya lahir di Persekutuan atau di Singapura atau pada hari merdeka ia adalah berdomosil di Persekutuan atau di Singapura, atau (b) Ia adalah keturunan seseorang yang tersebut.112 Kata ”boleh” dalam bunyi ayat tersebut berarti bisa dan mampu berbahasa
111
Abdul Razak Ayub, Perpecahan Bangsa Melayu, (Selangor: Dewan Pustaka Fajar, 1985), cet. I, h. 10 112
Perlembagaan Persekutuan, cet. V, (Lumpur: MDC Penerbit Pencetakan Sdn Bhd, 1995) h. 147
Melayu yang dikembangkan dan menjadi bahasa resmi Malaysia. Melayu merupakan penduduk mayoritas dan penduduk asli atau pribumi Malaysia. Walaupun demikian, undang-undang telah mengatur dan memberi jaminan yang sama tentang hak dan kewajiban semua warga negara baik orang Melayu maupun bukan Melayu, baik itu dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan termasuk politik. Dalam hal politik misalnya, Pasal 10 Perlembagaan Persekutuan menyebutkan tentang kebebasan berpendapat, berserikat dan membentuk persatuan, dalam ayat (1) disebutkan bahwa: (a) Tiap-tiap warga negara berhak kepada kebebasan berbicara dan bersuara (b) Semua warga negara berhak untuk berhimpun secara aman dan tanpa senjata (c) Semua warga negara berhak untuk membentuk persatuan. Setiap warga negara Malaysia mempunyai hak memilih dan dipilih dan ini dijamin oleh undang-undang persekutuan. Menurut Pasal 47 Perlembagaan Persekutuan Malaysia, bahwa: Setiap warga negara yang menetap di Malaysia layak menjadi anggota: (a) Dewan Negara, jika dia berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun; (b) Dewan Rakyat, jika dia berumur tidak kurang dari dua puluh satu tahun Hak untuk memilih diberikan kepada setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen atau pemerintahan. Sedangkan hak untuk dipilih yaitu hak setiap warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dipilih menjadi wakil rakyat. Dengan demikian, bahwa dalam konstitusi Malaysia tidak disebutkan kalau orang Melayu sebagai penduduk pribumi dan mayoritas lebih istimewa
dibanding dengan penduduk non Melayu atau minoritas, bahkan dalam Undangundang Dasar Malaysia Pasal 8 (1) menjamin hak pesamaan di depan hukum dan hak persamaan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sama dengan perlindungan atau jaminan hak-hak warga negara dalam ketatanegaraan Islam. Bahwa antara penduduk Muslim dan Dzimmi memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sungguh pun demikian, walaupun dalam konstitusi Malaysia tidak disebutkan kalau orang Melayu sebagai penduduk pribumi dan mayoritas lebih istimewa dibanding dengan penduduk non Melayu atau minoritas, akan tetapi dalam praktik kenegaraan ada beberapa jabatan yang tidak bisa dipegang oleh non Melayu bahkan hal tersebut diatur dalam Undang-undang negara bagian. Jabatanjabatan tersebut antara lain adalah: 1. Yang di Pertuan Agong Di Malaysia ada yang dinamakan dengan Majlis Raja-raja, yaitu sebuah majelis yang beranggotakan raja-raja dan gubernur-gubernur113 bagi negeri yang tidak ada rajanya.114 Di semua negeri, seorang Raja itu haruslah seorang laki-laki Melayu, beragama Islam, mempunyai darah raja serta keturunan yang sah raja-raja terdahulu. 115 Majelis raja-raja adalah suatu lembaga yang penting untuk mempersatukan raja-raja supaya Persekutuan ini
113
Bagi negara bagian yang tidak memiliki Raja atau Sultan, Gubernur atau Kepala Negara bagian disebut Yang di-Pertuan Negeri 114
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006), h. 65 115
Abdul Aziz Bari, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia, cet. II, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h. 46
menjadi lebih erat lagi dengan negeri-negeri yang menjadi anggota Persekutuan. Adapun tugas dan wewenang Majelis Raja-raja ini berdasarkan Pasal 38 (2) Perlembagaan Persekutuan adalah: (a) Memilih Yang di-Pertuan Agong dan Wakil Yang di-Pertuan Agong; (b) Menerima atau menolak suatu perbuatan atau upacara agama bagi seluruh Persekutuan; (c) Menerima atau menolak Undang-undang dan membuat atau memberi nasehat tentang pelantikan yang menurut Perlembagaan ini memerlukan persetujuan Majelis Raja-raja atau yang dikehendaki dibuat oleh atau berunding dengan Majelis Raja-raja; (d) Melantik anggota Mahkamah-mahkamah khusus; dan (e) Memberi ampunan, amnesti dan abolisi terhadap terpidana. Yang di-Pertuan Agong dipilih dari anggota Majelis Raja-raja, akan tetapi dalam pemilihan dan pelantikan Yang di-Pertuan Agong dan wakilnya yang terpilih, Gubernur atau Yang di-Pertuan Negeri tidak dianggap anggota Majelis Raja-raja,116 dalam arti ia tidak memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan Yang di-Pertuan Agong tersebut. Karena seorang Raja atau Sultan negara bagian itu harus seorang laki-laki Melayu dan beragama Islam, maka secara otomatis seorang Yang di-Pertuan Agong pun seorang Melayu dan beragama Islam. Semua raja negeri bagian mempunyai hak dan layak dilantik menjadi
116
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, Ibid.
Yang di-Pertuan Agong, kecuali Raja (Sultan) yang belum cukup umur, tidak mau dipilih menjadi Yang di-Pertuan Agong atau yang dianggap oleh Majelis Raja-raja tidak layak karena suatu sebab misalnya adanya kekurangan jasmani dan rohani. Pemilihan Yang di-Pertuan Agong diadakan lima tahun sekali. 117 Berdasarkan Pasal 32 (1) Perlembagaan Persekutuan, Yang di-Pertuan Agong adalah Kepala Negara. Yang di-Pertuan Agong memiliki kewenangan eksekutif yang dapat dijalankan sendiri atau dijalankan oleh Jamaah Menteri (Kabinet) atau menteri-menteri yang diberi kuasa oleh Jemaah Menteri. Perlembagaan Persekutuan Pasal 40 (2) telah menetapkan bahwa hanya tiga hal penting saja yang boleh dilakukan sendiri oleh Yang di-Pertuan Agong yaitu melantik Perdana Menteri, tidak menyetujui permintaan pembubaran parlemen dan meminta supaya diadakan musyawarah Majelis Raja-raja mengenai kedudukan, keistimewaan, kemuliaan dan kebesaran Raja-raja Melayu. Walaupun Yang di-Pertuan Agong atau Raja Malaysia lebih sekedar simbol negara, akan tetapi ia pun memegang jabatan tertinggi Angkatan Tentara Persekutuan, ini berdasarkan Pasal 41 Perlembagaan Persekutuan. Artinya bahwa jabatan ini tidak dapat dipegang oleh selain Yang di-Pertuan Agong, karena Yang di-Pertuan Agong itu pastilah orang Melayu dan Islam, maka jabatan Angkatan Tentara Persekutuan tidak mungkin dipegang oleh orang selain Melayu. 2. Perdana Menteri
Siti Rosnah Haji Ahmad, Pemerintah dan Pemimpin-peminpin Kerajaan Malaysia, (Selangor: Golden Books Centre Sdn. Bhd, 2006), cet. I, h. 3 117
Malaysia adalan sebuah negara yang berbentuk monarki konstitusional, yaitu sebuah negara kerajaan yang dibatasi oleh Konstitusi atau Undang-undang.118 Artinya bahwa Raja yang berkuasa tidak bersifat mutlak atau absolut karena seorang Raja lebih bersifat simbol negara, urusan pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Parlemen yang terpilih dalam pemilu. Perdana Menteri secara resmi dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong dan biasanya Perdana Menteri merupakan pimpinan partai politik yang berkuasa dalam Parlemen atau yang menang dalam Pemilihan Umum. Sejak kemerdekaannya tahun 1957, semua Perdana Menteri berasal dari orang Melayu yang notabene beragama Islam yaitu dari partai UMNO partai terbesar sejak pemilu 1969 hingga pemilu 2008. Secara konstitusional Undang-undang atau Perlembagaan Malaysia tidak menyebutkan bahwa jabatan Perdana Menteri harus dipegang oleh orang Melayu (Islam) atau dengan kata lain bahwa tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi Perdana Menteri harus orang Melayu (Islam).119 Pasal 43 (2) Perlembagaaan Persekutuan hanya mensyaratkan seseorang layak dilantik menjadi Perdana Menteri yaitu warga negara Malaysia, menjadi anggota Dewan Rakyat (Parlemen) dan mendapat dukungan lebih dari separuh dari anggota Parlemen tersebut. Ini berarti bahwa Perlembagaan memberi kebebasan kepada semua warga negara tanpa
2008
118
Soehino, Ilmu Negara, cet. VI, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 173
119
http://ms.wikipedia.org/wiki/Parlimen_Malaysia diakses pada tanggal 24 Oktober
membedakan agama dan golongan asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan tersebut.120 Ini berarti juga bahwa sebenarnya orang bukan Melayu pun sah-sah saja menjadi Perdana Menteri, akan tetapi dalam tataran politik praktis kenyataan membuktikan bahwa jabatan Perdana Menteri selalu dipegang oleh orang Melayu, karena Melayu merupakan penduduk mayoritas di Malaysia. Hal ini juga dapat difahami bahwa di negara mana pun di dunia ini sangat sulit terjadi golongan minoritas memegang tampuk pemerintahan negara. Berkaitan dengan tidak adanya syarat dalam Undang-undang negara Malaysia bahwa Perdana Menteri harus orang Melayu, dahulu kedaulatan Melayu adalah jelas dan tidak bertentangan dengan Perlembagaan. Semua kalangan menerima kedudukan istimewa orang Melayu sebagai Perdana Menteri, tidak seorang pun menolak tradisi orang Melayu menjadi Perdana Menteri, demikian pula tidak seorang pun yang menolak kedudukan Raja-raja walaupun hanya orang Melayu saja yang jadi Raja. Kedaulatan Melayu ini sebenarnya dimaksudkan bahwa kekuatan politik mestilah berada pada tangan Melayu karena sejarah negara ini dan mayoritas penduduk adalah Melayu. 121 Walaupun secara konstitusional tidak disebutkan bahwa syarat menjadi Perdana Menteri harus orang Melayu, akan tetapi UMNO sendiri
120
Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia: Masalah dan penyelesaiannya, (Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986), cet. I, h. 316 121
http://www.isuhot.com/modules.php?name=News&file=article&sid=396 diakses pada tanggal 24 Oktober 2008
sebagai partai orang Melayu lebih mengutamakan orang Melayu menjadi Perdana Menteri dibandingkan dengan orang bukan Melayu, walaupun di sisi lain UMNO juga membolehkan atau mempersilahkan kepada orang bukan Melayu baik itu orang India maupun Cina apabila mampu untuk menduduki jabatan Perdana Menteri. Sedangkan partai PAS dengan tegas menyatakan bahwa boleh-boleh saja orang bukan Melayu menjadi Perdana Menteri akan tetapi dengan syarat ia harus beragama Islam dan memperjuangkan Islam. 122 Perdana Menteri yang terpilih biasanya seorang ketua Partai Politik yang menang dalam pemilu. Jika seandainya partai orang non Melayu memenangkan dalam pemilu karena partai orang Islam terpecah-pecah atau jika ada seorang tokoh dari kalangan non Melayu yang diakui oleh orang Melayu dan pantas menjadi Perdana Menteri, sah-sah saja orang non Melayu tersebut dilantik menjadi Perdana Menteri oleh Yang di-Pertuan Agong, tetapi hal ini kemungkinan besar tidak akan terjadi di Malaysia. Karena mayoritas penduduk Malaysia adalah Melayu (Islam), maka sesuatu yang alamiah dan wajar saja jika Jabatan Perdana Menterinya dipangku oleh seorang Muslim. Bila kita mengacu pada prinsip demokrasi yang identik dengan mayoritas, agaknya sulit dan kurang masuk akal bila non Muslim di Malaysia terpilih menjadi Perdana Menteri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di mana pun di dunia ini umumnya jabatan kepala negara atau kepala pemerintahan selalu dipangku oleh seorang yang
122
Ibid.
berasal dari kelompok mayoritas. Akan tetapi, ini bukan berarti sama sekali tertutup peluang bagi kaum minoritas di Malaysia untuk menduduki jabatan Perdana Menteri selama kaum minoritas mampu memenangkan kompetisi demokrasi dalam pemilu. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di Syiria, yaitu Mr. Faris al-Khuri seorang pemeluk agama Nasrani yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Suriah selama beberapa periode. Dalam kasus ini, Yusuf Qaradhawi melihat bahwa Mr. Faris al-Khuri merupakan salah seorang yang terbaik yang mampu menjalankan amanat sebagai Perdana Menteri. Di bawah kepemimpinannya, para menteri bawahannya yang notabene adalah Muslim bisa bekerja sama dengan baaik. Masyarakat Islam pun rela Perdana Menteri mereka bukan dari kalangan umat Islam. Dia juga termasuk orang yang sangat percaya bahwa menerapkan syari’at Islam adalah suatu keharusan; ia yakin bahwa Islamlah satu-satunya solusi yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang ada pada saat ini serta dapat membasmi kriminalitas.123 Selain itu, Mujar Ibnu Syarif menyebutkan bahwa hingga saat ini ada tiga negara yang mayoritas penduduknya muslim, yang di samping membolehkan, juga pernah dipimpin seorang presiden non Muslim, yaitu Nigeria, Senegal dan Libanon. Nigeria yang 76 persen penduduknya beragama Islam, saat ini sedang dipimpin seorang presiden yang beragama
123
Yusuf Al-Qaradhawi, al-Din wa al-Siyasah, edisi bahasa Indonesia Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008), cet. I, h. 208
Kristen, yakni Olusegun Obasanjo. Menurut Mujar Ibnu Syarif, ada satu hal yang sangat menarik dari Olusegun, yaitu sekalipun beragama Kristen ternyata ia berhasil menjadi Presiden Nigeria yang Mayoritas Muslim itu selama tiga periode, yakni periode 1976-1979, periode 1999-2004, dan periode 2004-2010. Pada periode ketiga Olusegun Obasanjo terpilih kembali sebagai Presiden Nigeria dengan mengalahkan rival terdekatnya, Muhammad Buhari. Ia unggul dalam pemilu presiden Nigeria tahun 2004 dengan memenangkan 62% suara.124 Kemudian sama seperti Nigeria, Senegal yang 91% penduduknya beragama Islam juga pernah dipimpin seorang Presiden yang beragama Kristen Katholik, yakni Leopold Sedar Senghor (1980-1988). Yang lebih unik lagi adalah Libanon. Libanon yang 75% penduduknya beragama Islam, sejak tahun 1943 sampai sekarang, selalu dipimpin oleh seorang Presiden yang beragama Kristen. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1943 Libanon menyetujui Pakta Nasional (al-Mitsaq al-Wathani) yang berisi ketetapan presiden Libanon harus dari Kristen Maronite, Perdana Menteri Muslim Sunni, Juru Bicara Parlemen Muslim Syi’ah, Menteri Pertahanan Muslim Druze, dan Menteri Luar Negeri Kristen Ortodok Yunani. Karena Pakta Nasional tersebut masih diperlakukan, maka hingga detik ini yang bisa men-
124
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), cet. I, h. 76
jadi presiden Libanon hanyalah seorang yang beragama Kristen Maronite.125 3. Raja (Sultan) Di semua negeri yang bersultan atau yang beraja, sangat jelas disebutkan bahwa seorang Raja itu haruslah seorang laki-laki Melayu, beragama Islam, mempunyai darah Raja serta keturunan yang sah dari rajaraja terdahulu.126 Orang Melayu kebanyakan dapat dilantik menjadi Raja sekiranya keturunan Raja di sebuah negeri atau negara bagian telah tiada atau sekiranya keturunan Raja yang ada tidak layak untuk dilantik sebagai Sultan.127 Pasal 3 (2) Perlembagaan Persekutuan telah menetapkan bahwa Rajaraja di negara bagian menjadi ketua agama Islam dan memiliki wewenang mengenai semua urusan agama Islam, termasuk Undang-undang Islam dan kewenangan ini tidak dapat diganggu gugat. Negara bagian yang tidak memiliki Raja seperti Pulau Pinang, Melaka, Sabah dan Sarawak Yang diPertuan Agong adalah ketua agama Islam di negara-bagian tersebut.128 4. Menteri Besar (Gubernur) Penting untuk disebutkan bahwa undang-undang negeri-negeri Melayu
125
Ibid. Abdul Aziz Bari, Majlis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia, h. 46 126
127
Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia: Asas-asas dan Masalah, (Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 179 128
281
Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia, h.
menetapkan syarat orang Melayu untuk kelayakan menduduki tahta, menjadi Menteri Besar (Gubernur) dan juga Sekretaris Menteri Besar. Mengenai pelantikan sebagai Menteri Besar dan sekretarisnya, undang-undang negerinegeri Melayu menyebut bahwa seseorang yang hendak dipertimbangkan ke jabatan tersebut mestilah Melayu dan beragama Islam. Syarat-syarat ini menarik karena dalam menafsirkan Melayu, undang-undang pun sudah menyebut Islam sebagai salah satu ciri utama bagi kemelayuan seseorang. Ketentuan-ketentauan ini dapat digunakan sebagai hujjah untuk mengatakan bahwa apa yang dikatakan sebagai ketuanan Melayu itu sebenarnya sudah dilindungi oleh Perlembagaan. Ketentuan tersebut terdapat di seluruh Undang-undang Tubuh Kerajaan Negeri di semua negeri Melayu yang memiliki Sultan (Raja). Di Perak misalnya terdapat dalam Pasal 12 (2) Undang-undang Tubuh negeri Perak, di Kedah Pasal 35 (2), Kelantan Pasal 12 (2), Negeri Sembilan Pasal 39 (2), Pahang Bagian II pasal 3 (2), Perlis Pasal 37 (2), Selangor Pasal 51 (2) dan Terengganu Pasal 10 (2).129 Oleh karena itu, sejak Malaysia merdeka pada tahun 1957 menteri-menteri Besar yang dilantik sebagai kepala pemerintahan negara bagian adalah orang Melayu dan beragama Islam, demikian pula belum ada sejarahnya bahwa seorang Sultan diangkat dari bukan Melayu. Sehingga hingga saat ini tidak pernah setiap Sultan negara bagian melantik seorang Menteri Besar bukan Melayu. 129
http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=11186 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
Melantik Menteri Besar merupakan hak dan kewenangan eksklusif Sultan sebagai Kepala Negara bagian. Sultan juga sebagai ketua agama Islam di negeri-negerinya, dengan demikian seorang Sultan ketika hendak melantik seorang Menteri Besar pasti memikirkan dan harus memastikan bahwa urusan-urusan agama Islam dapat dijalankan oleh Menteri Besar sebagai pelaksana pemerintahan di negara bagian tersebut. Apakah semua urusan orang-orang Islam akan dapat terlaksana dengan baik jika di bawah komando seorang non Muslim. Oleh karena itu, tidak mungkin seorang Sultan melantik seorang Menteri Besar dari kalangan non Melayu. Di samping itu, keharmonisan tugas antara Sultan dan Menteri Besar sangat diperlukan menyangkut dalam hal ehwal agama dan adat Melayu. 5. Hakim Mahkamah Syari’ah Selain jabatan-jabatan yang telah disebutkan di atas yang tidak dapat dipegang oleh orang non Melayu adalah Hakim (Kadi) Mahkamah Syari’ah. Mahkamah Syariah ialah institusi kehakiman yang menangani serta menjatuhkan hukuman kepada orang yang berperkara baik perdata maupun pidana yang berkaitan dengan agama Islam sesuai kewenangan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu persyaratan utama menjadi Hakim (Kadi) Mahkamah Syri'ah adalah harus beragama Islam di samping harus warga negara Malaysia dan menguasai dalam bidang syari'ah undang-undang
Islam.130 Demikian juga dengan jabatan Mufti harus beragama Islam juga, karena fungsi utama Mufti adalah mengeluarkan fatwa dan membantu Majelis Hal Ehwal agama Islam.131 Kedua jabatan tersebut sangat wajar dipegang oleh orang Islam (Melayu), karena merupakan suatu hal yang tidak pantas bila urusan agama Islam ditangani oleh orang non Muslim. Dari uraian di atas, terlihat adanya keistimewaan bagi orang Melayu dalam hal politik, yaitu adanya jabatan-jabatan politik tertentu yang tidak dapat dipegang oleh bukan Melayu seperti jabatan Yang di-Pertuan Agong sekaligus Kepala Angkatan Tentara Persekutuan, Raja atau Sultan negara bagian dengan Menteri Besar dan Sekretarisnya, Hakim Mahkamah Syari’ah atau Kadi dan Mufti. Akan tetapi, di beberapa negara bagian yang tidak memiliki Sultan tidak terdapat aturan yang mensyaratkan bahwa orang Melayu dan Islam yang harus menjadi Ketua Menteri, misalnya di negara bagian Pulau Pinang, Melaka, Sabah dan Sarawak. Ketua Menteri di negara-negara bagian ini diangkat berdasarkan pada suara terbanyak dalam pemilu yaitu partai yang menang. Artinya, di negaranegara bagian ini orang bukan Melayu bisa saja diangkat menjadi Ketua Menteri asalkan partai mereka menang dalam pemilu. Sebagai warga negara mayoritas, hampir di semua negara manapun di
130
Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia, h.
284 131
Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 102
dunia ini, walau pun dalam konstitusinya tidak disebutkan bahwa penduduk mayoritas tersebut adalah penduduk yang istimewa atau tidak disebutkan bahwa syarat kepala negara atau pemerintahan harus dari kalangan mayoritas, akan tetapi dalam kenyataan atau praktik kehidupan bernegara penduduk mayoritaslah yang mendominasi dan menguasai atau menduduki jabatan-jabatan politik yang sangat penting, seperti jabatan kepala negara, Perdana Menteri, Gubernur dan jabatanjabatan tertentu. Seolah-olah terdapat suatu aturan yang tidak tertulis bahwa penduduk mayoritaslah yang harus menguasai dan menduduki jabatan-jabatan tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II bahwa dalam konsep ketetanegaraan Islam ahl al-Dzimmah (penduduk minoritas) dalam hak politik seperti dalam hal kepemimpinan dan jabatan-jabatan tertentu tidak bisa diberikan. Hak jabatan tertinggi dalam pemerintahan (kepala negara atau khalifah), ketua lembaga eksekutif, perdana menteri, panglima perang, hakim untuk kaum muslimin, penanggung jawab urusan zakat dan sedekah termasuk wakaf dan sebagainya tidak diberikan kepada mereka.132 Ini bukan berarti bahwa adanya diskriminasi terhadap kaum minoritas, akan tetapi hal ini disebabkan karena golongan minoritas tidak mempunyai hak kepemimpinan dan kekuasaan eksekutif dan yudikatif mempunyai fungsi menerapkan syari’at Islam. Oleh sebab itu yang menduduki jabatan tersebut dengan sendirinya orang yang meyakini Islam
132
Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fî Mujtama’ al-Islâm, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, (Bandung: Mizan, 1991), h. 53
sebagai akidah dan syari’ah. 133 Merupakan suatu hal yang kurang tepat jikalau dalam suatu negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya Muslim dipimpin oleh seorang non Muslim. Bahkan menurut al-Qaradhawi tidaklah masuk akal bahwa seorang yang bukan Islam akan melaksanakan hukum-hukum Islam dan memeliharanya dengan baik kecuali seorang muslim.134 Apa jadinya jika persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama Islam ditangani oleh orang non Muslim yang mereka kurang memahami dan meyakini syari’at Islam. Selain itu, dalam al-Qur’an sendiri ada ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang mukmin dilarang mengambil pelindung atau pemimpin dari orangorang kafir. Dalam surat an-Nisa/4: 144: XY B(VF MU6< ;6+ * Z[\$+] _8 4^ = ^*
8 8 4F
6g1C* . Hk j^* (h⌫ opUOIq+L @ lmn$< =
FE5< XY C8I: (r (51 :5/ة45 ☺` )اI/69* s+:* Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-
133
Salim Ali al-Bahansawi, as-Syari’ah al-Muftara ‘Alaiha, edisi bahasa Indonesia diterjemakan oleh Musthalah Maufur, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), cet. I, h. 202 134 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama’ al-Islâm, h. 53
orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Kata auliya ( )أو &ءdalam ayat adalah bentuk jama dari kata wali ( )و, yang arti asalnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, pemimpin, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain. Seorang mukmin dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani teman yang akrab, tempat menumpahkan rahasia dan kepercayaan seperti halnya dengan sesama mukmin. Begitu juga berlaku terhadap jamaah dan masyarakat mukmin, bahwa mereka dilarang untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu jadi pembela, pelindung, pemimpin dan penolong, lebihlebih dalam urusan yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan. 135 Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah menjelaskan bahwa orang Muslim dilarang menjadikan non Muslim sebagai auliya antara lain menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. 136 Demikian juga Muhammad Ali alShabuni menyebutkan dalam bukunya Tafsir Ayat Ahkam bahwa ayat-ayat di atas merupakan yang menunjukkan haramnya mengangkat orang kafir sebagai pemimpin.137 Berkenaan dengan pemimpin atau kepala negara, Mujar Ibnu Syarif dalam 135
M. Sonhaji, dkk., al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, t.th.), juz VI, h. 460 136
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet. IX, (Ciputat: Lentera Hati, 2007), vol. III, h. 125 137
Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, alih bahasa oleh Mu’ammal Hamidi dan Imrom A. Manan, cet. IV, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), h. 336
disertasinya yang berjudul Presiden Non Muslim di Negara Muslim menyebutkan bahwa syarat-syarat kepala negara Islam dalam al-Qur’an dan alSunnah paling sedikit dapat ditemukan sebelas syarat dan yang paling pertama adalah harus beragama Islam.138 Syarat ini antara lain ditemukan dalam ayat 59 surat al-Nisa yang berbunyi: t? B(VF MU6< Z Z
%{ xy>z GHM D v4&w* (59 :4/ء2. )ا Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya), dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) dari kalanganmu sendiri”. (QS. al-Nisa/4: 59). Syarat kepala negara harus beragama Islam disimpulkan dari kata ('- )ﻡ yang termaktub pada akhir ayat di atas, yang oleh para pendukung syarat ini selalu ditafsirkan menjadi ("ن. ا9' ا- )ﻡ, yang berarti dari kalanganmu sendiri, wahai orang-orang muslim.139 Senada dengan ayat di atas Nabi bersabda: 140
(!52. ا0 )روا... ا ك,=<&;ا ر اه.> ?
Artinya: “Janagnlah kamu mencari penerangan dari api kaum Musyrik. (HR. alNasa’i). Kata nar (api) yang termaktub dalam hadits di atas merupakan simbol
138
Kesebelas syarat yang harus dipenuhi oleh kepala negara Islam adalah harus beragama Islam, laki-laki, dewasa, adil, pandai menjaga amanah dan profesional, kuat atau sehat fisik dan mental, berdomisili di wilayah negara Islam, cinta kebenaran (shidiq), mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada rakyat visi, misi dan program-programnya, harus cerdas dan punya ingatan yang baik, harus keturunan Quraisy. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 33-47 139
140
Ibid., h. 33
Jalâl al-Dîn al-Suyŭthi, Syarh al-Hafîdz Jalâl al-Dîn al-Suyûthi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, t.th.), jilid 8, h. 176-177
kekuasaan atau kekuasaan yang tidak boleh diberikan umat Muslim kepada non Muslim. Sehingga dari hadits di atas juga dapat disimpulkan bahwa yang boleh menjadi penguasa atas umat muslim hanyalah orang-orang muslim juga bukan orang-orang non Muslim.141 Berkenaan dengan syarat-syarat seorang pemimpin umat Islam (khalifah), Abdul Qadir Zallum meletakkan bahwa Muslim adalah syarat pertama. Oleh karena itu khalifah secara mutlak tidak boleh diberikan kepada orang kafir (non Muslim) dan hukum menaati orang kafir itu tidak wajib. Allah berfirman: G,] R;6+ L/* ~ X|"5+} =+* (141 :4/ء2. ⌧ )اZIb"& `+OLP Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” Lebih lanjut Abdul Qadir Zallum menjelaskan bahwa: “pemerintahan (kekuasaan) adalah jalan yang paling kuat bagi seorang hakim (pejabat pemerintahan) untuk memaksa rakyatnya. Ditambah pernyataan Allah dengan menggunakan (C ) yang biasa dipergunakan untuk menyatakan penafian selama-lamanya (Nafyu al-Ta’bid) itu bisa menjadi indikasi (qarinah) tentang adanya larangan terhadap orang kafir untuk memimpin pemerintahan kaum muslimin, baik untuk menjadi khalifah maupun yang lain. Maka semuanya itu merupakan larangan yang tegas dan pasti (nahyan jaziman). Selama Allah mengharaamkan orang-orang kafir untuk memiliki jalan agar bisa menguasai kaum muslimin, maka hukumnya haram bagi kaum muslimin untuk menjadikan orang kafir menjadi penguasa mereka.”142 Kalau kita perhatikan, pada sebagian besar negara-negara mayoritas
141
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 34 Abdul Qadir Zallum, Nidhâm al-Hukmi fi al-Islâm,diterjemahkan oleh M. Maghfur Wahid, Sistem Pemerintahan Islam,cet. III, (Bangil: al-Izzah, 2002), h. 55 142
Muslim di luar Indonesia seperti di Saudi Arabia, Tunisia, al-Jaza’ir, Mesir, Suriah, Pakistan, Bangladesh, Iran, Yordania dan Malaysia, non Muslim tidak dapat tampil sebagai presiden. Hal ini, bukan karena di negara-negara tersebut non-Muslim mengalami diskriminasi politik. Akan tetapi, hal itu terjadi hanya karena berdasarkan asas prororsionalitas, minoritas non Muslim di negara-negara tersebut memang tidak mungkin terpilih sebagai presiden. Fakta semacam ini juga terjadi di negara-negara mayoritas non Muslim. Karena itu, tidaklah mengherankan bila minoritas Muslim Pattani di Thailand, misalnya tidak mungkin terpilih menjadi Perdana Menteri sekalipun di negara tersebut tidak mengalami diskriminasi politik.143 Dari uraian di atas tentang adanya keistimewaan bagi orang Melayu dalam hal jabatan-jabatan politik tertentu yang tidak dapat dipegang oleh bukan Melayu terlihat adanya beberapa hal persamaan atau kesesuaian antara konsep dalam ketatanegaraan Islam dengan apa yang dipraktekkan di Malaysia khususnya yang dipraktekkan oleh negara-negara bagian yang bersultan. Bahwa jabatan politik seperti Sultan, Menteri Besar, Hakim Mahkamah Syari’ah dan urusan-urusan yang berkaitan dengan agama Islam secara jelas dan tegas tidak diperbolehkan bagi non Melayu. ini berarti negara-negara bagian tersebut telah menjalankan prinsip-prinsip dalam ketatanegaraan Islam. Demikian juga jabatan pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata dipegang oleh Yang di-Pertuan Agong, yang mana ia diangkat dan dipilih dari dan oleh Majelis Raja-raja. Ini berarti jabatan ini
143
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 4-5
otomatis berada di tangan orang Melayu. Kemudian jika Malaysia dilihat sebagai negara yang menganut sistem demokrasi yaitu bukan merupakan negara Islam (murni) walaupun agama Islam sebagai agama resmi, terdapat perbedaan dengan konsep ketatanegaraan Islam dalam hal hak-hak politik, yaitu dalam Perlembagaan Malaysia tidak disebutkan syarat-syarat seorang Perdana Menteri (kepala pemerintahan) harus orang Melayu (Islam), artinya non Melayu boleh-boleh saja jadi Perdana Menteri kalau memungkinkan. Hal ini sangat berbeda dengan konsep ketatanegaraan dalam Islam yang mensyaratkan seorang kepala negara harus Islam.
D. Analisis Perbandingan Hak Politik Bukan Melayu Negara Malaysia mempunyai warga negara yang terdiri dari berbagai bangsa dan kaum, antaranya kaum Melayu, China, India dan beberapa kaum lain yang memenuhi aturan kewarganegaraan untuk menjadi warga negaranya seperti yang tersebut di atas. Jumlah penduduk Malaysia perkiraan tahun 2007 ialah 26.04 juta, yang terdiri dari kaum Melayu 61%, kaum Cina 30%, kaum India 8% dan yang lain-lain 1%. Terdapat juga Orang Asli, Eropah dan Serani. 144 Kaum China merupakan kumpulan etnik kedua terbesar, mencapai 30% dari jumlah penduduk. Kebanyakan keturunan kaum Cina di Malaysia merupakan pendatang pada abad ke-19. Mereka menjadi terkenal karena rajin bekerja dan pandai berniaga. Kumpulan etnik terkecil dari ketiga kumpulan etnik utama di
144
http://pmr.penerangan.gov.my/index.cfm.htm diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
Malaysia adalah kaum India yang mencapai 8% populasi. Kebanyakan mereka adalah merupakan pendatang dari Selatan India yang berbahasa Tamil. Kaum ini datang ke Malaysia sejak zaman penjajahan British (Inggris). Mereka datang ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dan keluar dari sistem kasta yang berlaku di India pada masa itu.145 Selain dari kumpulan etnik yang tiga di atas terdapat beberapa kumpulan lain yang mendapat tempat dan hak politik di Malaysia yang terdiri daripada penduduk pribumi atau orang Asli (penduduk asal) di Malaysia yang bukan merupakan orang Melayu. Kaum ini terdiri daripada orang Asli di Sarawak seperti kaum Iban, Bidayuh dan Orang Ulu. Manakala orang Asli di Sabah terdiri dari kaum Kadazan Dusun, Bajau dan Murut. Dalam penjelasan sub bab ini, penulis akan menguraikan analisis perbandingan hak politik bukan Melayu di Malaysia dengan ahl al-Dzimmah dalam ketatanegaraan Islam, yaitu meliputi: 1. Hak memilih dan dipilih Hak memilih dan dipilih merupakan hak politik setiap warga negara yang harus diberikan dan dijamin oleh undang-undang. Setiap warga negara Malaysia memiliki hak untuk memilih wakil-wakil mereka atau memilih pemimpin-pemimpin mereka, terutama Perdana Menteri maupun anggota Dewan Rakyat yaitu Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Pusat) dan Dewan
145
2008
http://www.tourism.gov.my/my/about/culture.asp diakses pada tanggal 20 Oktober
Undangan Negeri (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau negara bagian). Hak untuk memilih ini diberikan kepada setiap warga negara Malaysia tanpa membedakan Melayu dan bukan Melayu, semuanya memiliki hak yang sama dalam menentukan wakil-wakil atau pemimpin-pemimpin mereka. Akan tetapi hak untuk memilih ini hanya diberikan kepada setiap warga negara Malaysia yang telah memiliki persyaratan tertentu, yaitu telah berusia 21 tahun hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Perlembagaan Malaysia dalam Pasal 119 ayat (1). Kemudian dalam ayat (3) disebutkan bahwa hak memilih menjadi hilang jika pada tanggal pelaksanaan pemilu ia ditahan, tidak sempurna akalnya, sedang menjalani hukuman penjara atau sebelum tanggal pelaksanaan pemilu ia telah ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan seseorang yang ingin menjadi calon dalam pemilihan umum, baik itu untuk Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, haruslah warga negara yang tinggal di Malaysia, berumur tidak kurang dari 21 tahun, dewasa, bukan seorang yang bermasalah seperti bangkrut, tidak pernah masuk penjara lebih dari 12 bulan dan didenda 2000 Ringit Malaysia.146 Calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan umum yang diadakan. Sekiranya hanya ada seorang calon saja yang terdaftar setelah waktu penamaan calon yang lolos, calon tersebut akan diumumkan menang tanpa melakukan pemilihan. 147
146
Pasal 19 ayat (3) Perlembagaan Persekutuan Malaysia
Hak memilih dan dipilih bagi kaum bukan Melayu di Malaysia pada dasarnya sama dengan hak memilih dan dipilih bagi ahl al-Dzimmi dalam konsep ketatanegaraan Islam. Hak memilih yaitu bagi mereka yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang seperti telah dewasa, tidak hilang ingatan, dan tidak sedang dipenjara. Pemilu merupakan sarana bagi setiap orang untuk memberikan haknya dibidang politik dalam rangka mencari orang-orang yang profesional untuk menduduki jabatan politik seperti kepala negara dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Landasan Islam yang digunakan sebagai dalil akan hak untuk mengikuti pemilu termaktub dalam surat asy-Syura ayat 38: 2☺ (38 :42/ )ا رى89:;< 456"7 Artinya: ”sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” QS. Asy-Syura/42: 38). Ayat di atas amat jelas menyatakan bahwa masalah kaum muslimin, utamanya yang penting diputuskan dengan jalan musyawarah. Penentuan calon kepala negara merupakan salah satu masalah yang sangat penting yang harus diputuskan berdasarkan musyawarah. Oleh karena itu harus melibatkan semua warga negara tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas. Sedangkan hak untuk dipilih adalah hak seseorang untuk mencalonkan dirinya menduduki salah satu jabatan dalam pemerintahan. Akan tetapi
147
Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia, (Kuala Lumpur: Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, 2006), h. 64-65
tidak semua individu memiliki hak untuk dipilih, karena hak ini dibatasi oleh suatu aturan. Misalnya hak untuk dipilih menjadi pemimpin rakyat (kepala negara) demikian juga hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat, harus memiliki syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan baik oleh syara’ maupun undang-undang. Selain hak memilih dan dipilih, terdapat juga hak untuk memegang suatu jabatan. Menurut syariat Islam hak untuk memegang suatu jabatan bukan hanya hak individu, melainkan kewajiban atasnya dari negara. Dalam hal ini, kewajiban kepala negara dan seluruh perangkatnya memilih orang yang paling cocok bagi tiap pekerjaan dalam pemerintahan. Walaupun secara umum antara penduduk Muslim dan ahl alDzimmah dalam konsep ketatanegaraan Islam memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi wakil-wakil rakyat atau menduduki jabatan politik. Akan tetapi, ada jabatan-jabatan tertentu yang tidak boleh diberikan kepada ahl alDzimmah, seperti jabatan kepala negara, kepala angkatan bersenjata, ketua Majelis Syura (parlemen), panglima angkatan bersenjata dan hakim bagi oraang Islam dan jabatan-jabatan politik tertentu yang mengurusi tentang keagamaan Islam. Sedangkan jabatan-jabatan selain itu dapat diduduki oleh mereka. Hal ini kalau kita melihat kepada negara Malaysia, khususnya apa yang dipraktekkan oleh negara-negara bagian yang bersultan, terdapat persamaan bahwa jabatan Sultan atau Raja, Menteri Besar, Hakim Mahkamah Syari’ah, dan ketua angkatan bersenjata -seperti apa yang telah penulis jelaskan di atas- tidak diberikan kepada non Melayu.
Akan tetapi, bagi orang-orang bukan Melayu juga diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu, yang tidak berkaitan langsung dengan urusan agama Islam. Misalnya yang sekarang dipegang oleh orang Cina adalah jabatan Menteri Perumahan dan Kerajaan Tempatan yaitu ong Ka Chuan, Menteri Pengangkutan (transportasi) Ong tee Keat, Menteri Wanita, Keluarga dan Pembangunan Masyarakat Dr. Ng Yen Yen, Menteri Perusahaan dan Perladangan dan Komoditi Peter chin Fah Kui dan Menteri Kesehatan Liow Tiong Lai. Kemudian Menteri di Jabatan Perdana Menteri dipegang oleh Bernard Dompok (bukan Melayu), Menteri Sumber Manusia S. Subramaniam (India), Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi Dr. Maxsimus Ongkili (bukan Melayu), dan Menteri Sumber Asli dan Alam Sekitar Douglas Unggah Embas.148 Demikian juga terdapat jabatan-jabatan di negeri-negeri bagian yang dipegang oleh orang bukan Melayu, terutama di negeri bagian yang penduduknya Mayoritas bukan Melayu seperti negeri bagian Pulau Pinang yang penduduk muslimnya minoritas. Negeri bagian Pulau Pinang tidak memiliki sultan, tetapi dipimpin oleh Yang di-Pertua Negeri walaupun beragama Islam akan tetapi Ketua Menterinya orang Cina. Demikian juga di negeri bagian Perak, walaupun Menteri Besarnya orang Melayu (Islam) yaitu Mohammad Nizar Zamaluddin, akan tetapi kepala daerah-daerah (tingkat II) diduduki oleh orang bukan Melayu seperti Ngeh Koo Ham kepala daerah
148
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kabinet Malaysia 2008 diakses pada 14 Oktober 2008
Setiawan, Nga Kor Ming kepala daerah Pantai Remis, A. Sivanesan kepala daerah Sungkai, dan lain-lain. 149 Meskipun demikian, non Melayu diberikan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu, misalnya menjadi anggota Parlemen, Dewan Undangan Negeri, Menteri-Menteri tertentu dan jabatan-jabatan politik lainya yang tidak secara langsung menyangkut tentang agama Islam. Hal ini pun sesuai dengan konsep dalam ketatanegaraan Islam bahwa ahl alDzimmah pun diberikan haknya untuk menjadi wakil-wakil rakyat yang mewakili kelompoknya, demikian juga diperbolehkan menjadi menteri dan yang sejenisnya.150 Hanya saja kalau melihat kepada Konstitusi negara Malaysia
akan
terlihat
sedikit
perbedaannya
yaitu
bahwa
dalam
perlembagaan Malaysia tidak disebutkan bahwa syarat untuk menjadi Perdana Menteri harus melayu (Islam). 2. Hak berkumpul dan berserikat Adanya kebebasan berserikat mendapatkan jaminan dalam Islam. AlQur’an menganggap bahwa hak atas berserikat sebagai salah satu keharusan bagi pribadi manusia untuk turut serat mengambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu setiap orang berhak untuk turut serta menjalankan perannya masing-masing dalam kehidupan keagamaan, sosial budaya dan politik. Hal ini dapat diimplementasikan dengan mendirikan
149
http://www.tranungkite.net/v7/modules.php?name=News&file=article&sid=8336 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 150 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, [terjemahan], cet. II, (Jakarta: Gema Insani, 2006), jilid III, h. 569
lembaga-lembaga di mana memungkinkan semua orang untuk mengembangkan kreatifitas dan kemampuannya serta menikmati hak-haknya. Hak berkumpul dan berserikat merupakan hak dasar bagi umat (rakyat) untuk bebas berserikat dan membentuk partai-partai atau organisasiorganisasi. Hak ini tunduk pada aturan-aturan hukum tertentu, dan harus dilaksanakan untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran, bukan untuk menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Yakni hak ini harus dilaksanakan untuk tujuan propaganda (dakwah) amal-amal kebaikan dan kesolehan, serta harus dipergunakan untuk menumpas kejahatan dan kesesatan. Rakyat dapat bebas mengadakan dan mengorganisasikan pertemuan-pertemuan, serta sebuah negara Islam tidak boleh melarang hak ini kecuali kalau mengadakan pelanggaran yang nyata.151 Allah berfirman: E"
RD BCD J" $ 8 jx4yLM+] CC?/* Q= VW"5?+] N "☺*I I 8+] R⌧b4☺*
(110 :3 /)ال ان
Artinya: “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Kamu menyuruh berbuat kebajukan dan melarang kemungkaran serta kamu beriman kepada Allah”. (QS. AliImran/3:110) Ini berarti bahwa merupakan kewajiban dan tugas seluruh umat muslim untuk melarang melakukan kejahatan. Apabila umat muslim seluruhnya tidak melaksanakan tugas ini maka, “Hendaklah ada sekelompok orang dari kamu yang menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh
151
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet.I , h. 84
berbuat baik dan mencegah kemungkaran” (QS: al-Imran/3: 104). Ini jelas menunjukkan bahwa apabila masyarakat semuanya mulai melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka mutlak penting di sana ada paling tidak sekelompok masyarakat yang bersedia melakukannya. 152 Di Malaysia hak atau kebebasan berkumpul dan berserikat telah dijamin oleh Perlembagaan Persekutuan yang menyebutkan bahwa: (a) Semua warga negara adalah berhak berhimpun secara aman dan dengan tidak bersenjata (b) Semua warga negara adalah berhak menubuhkan persatuan.153 Jaminan perlindungan hak atau kebebasan berkumpul atau berserikat ini diberikan kepada semua warga negara tanpa membedakan orang Melayu dan bukan Melayu. Ini terbukti dengan adanya partai-partai politik yang didirikan dan beranggotakan orang-orang bukan Melayu yaitu seperti Partai Tindakan Demokratik (DAP) dan Persatuan Cina Malaya (MCA) yaitu partai orang Cina, Kongres India Malaya (MIC) dan Partai Barisan Kemajuan India se-Malaysia (AMIPF) yaitu partai orang India serta Partai Gerakan Rakyat Malaysia (GERAKAN) yang diusung oleh orang Cina dan India. Partai Tindakan Demokratik (DAP) merupakan salah satu partai oposisi (pembangkang).154 Partai-partai bukan Melayu tersebut ikut serta dalam pemilu untuk menempatkan wakil-wakil mereka di Parlemen maupun di DUN.
152
Abul A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam (terjemahan), cet. III, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 32 153 Pasal 10 ayat (1) poin b dan c Perlembagaan Malaysia
Selain mendirikan partai-partai politik, orang bukan Melayu juga banyak mendirikan organisasi-organisasi atau perkumpulan baik yang berbasis sosial kemasyarakatan, keagamaan maupun himpunan-himpunan profesi, pelajar dan lain-lain. Organisasi-organisasi orang-orang India misalnya Majlis Hindu Malaysia (MHC), Majlis Belia India Malaysia (MIYC), Malaysian Hindu Dharma Mamandram (MHDM), Persekutuan Pertubuhan India Malaysia (FMIO), Pertubuhan Silambam Malaysia (MSA), Persatuan Sivik India Malaysia (MICA), Persatuan Penulis Tamil Malaysia (MTWA) dan Persatuan Pengetua), Majlis Belia Felda Malaysia, Pertubuhan Kebajikan India Bersatu dan Majlis Belia India Malaysia (MIYC).155 Sedangkan organisasi-organisasi orang-orang Cina misalnya Persatuan Penganut Dewa Cheng Guan Kuan, Persatuan Penjaja Cina Wilayah Persekutuan, Gabungan Persatuan-Persatuan Cina Malaysia dan Persatuan Perubatan Cina Malaysia, Persatuan Guru Sekolah Cina Malaysia (Jio Zong), Persatuan Bekas Penuntut Sekolah Cina Malaysia, Persatuan Bekas Penuntut Universiti Nanyang Malaysia, Dewan Perhimpunan Cina Selangor (SCAH) dan Persekutuan Persatuan Fuzhou Malaysia. Termasuk yang terbaru tuntutan dari kumpulan Hindraf yang diketuai oleh professional kaum India.156
154
Thock Ker Pong, Ketuanan Politik Melayu: Respon Masyarakat Cina, (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, t.th.), h. 209 155 http://www.tranungkite.net/v7/modules.php?name=AvantGo&op=ReadStory&sid=524 2 diakses pada tanggal 2 November 2008 pukul 15.30 WIB 156
http://www.isuhot.com/modules.php?name=News&file=print&sid=627 diakses pada tanggal 2 November 2008 pukul 15.30 WIB
Banyaknya terdapat partai politik, persatuan-persatuan atau organisasiorganisasi yang didirikan oleh orang-orang bukan Melayu tersebut menunjukkan bahwa di Malaysia tidak terdapat diskriminasi terhadap kaum Minoritas dalam bidang politik khususnya hak atau kebebasan berkumpul atau berserikat. Karena mereka pun sebagai warga negara memiliki hak untuk membentuk organisasi, perkumpulan-perkumpulan atau perhimpunan serikat kerja sebagai wadah untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka bahkan sekaligus untuk mengkritik kebijakan pemerintah dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini terbukti bahwa di antara partaipartai orang Cina dan India ada yang menjadi partai oposisi misalnya (DAP).157 3. Hak mengeluarkan pendapat Hak mengeluarkan pendapat pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan hak berkumpul dan berserikat. Syariat memiliki pijakan yang kuat pada hak-hak ini, bukti dasarnya tercakup dalam prinsipprinsip al-Quran dan Sunnah yang mengatur kebebasan berbicara dan berekspresi. Oleh karena itu prinsip-prinsip Islam tentang hisbah, yang menyeru untuk berbuat baik dan melarang kejahatan (amar ma’ruf nahi mungkar), nashîhah, dan syura (musyawarah) dapat sama-sama dikutip, kemudian doktrin ijtihad (penalaran pribadi para ahli hukum yang memenuhi syarat), disamping hak-hak warga negara untuk melontarkan kritik memba-
157
Anggota Persatuan Penerbit Buku Malaysia, Malaysia Kita Panduan dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, cet. VIII, (Selangor: Golden Books Centre, 2007), h. 92
ngun terhadap pemerintah semuanya termaktub dalam pengakuan syariat atas kebebasan mendasar untuk berbicara, berekspresi dan berserikat.158 Umat dan individu memiliki hak mengawasi kepala negara dan seluruh pejabat dalam pekerjaan dan tingkah laku mereka yang menyangkut urusan negara. Hak pengawasan ini dimaksudkan untuk meluruskan kepala negara jika dia menyimpang dari jalan yang lurus (jalan Islam dalam memerintah). Tahap pertama untuk meluruskannya ialah memberi nasihat dengan ikhlas. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab shahihnya, Nabi SAW bersabda:
'ِ9ِ=Jَ وََ ﻡCْ&ِِ"ْ.ُ ِ اEJِ5َMَِ و%ِ ُْ(َِ َِ و%َِ=ِ-ِ َِ و%ّ"ِ :ََلL ْCَِ َ ْ"ُL .ُEَGْ&ِ+J ُ اCْK4 َا 159
('". ﻡ0)روا
Artinya: “Agama itu nasihat, kami berkata untuk siapa? Nabi berkata, untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin umat Islam dan orang awam”. (HR. Muslim ) Jika nasihat sudah tidak berguna, maka hak umat menggunakan kekuatan yang diperlukan guna meluruskan dan menariknya dari kesesatan dan semua bentuk penyelewengan. Nabi SAW bersabda:
ِ%ِْ"َUَِO ْQِRَ=ْ.َ ْ'َ َِْنO ِ%َِﻥ.ِ"َِO ْQِRَ=ْ.َ ْ'َ َِْنO ِ0ِ4َ&ِ ُ0ْK&َSُ&ْ"َO ًَا-ْ ُِ'ْ ﻡ-ْ ِْ رَاَى ﻡCَﻡ 160 ('". ﻡ0ُ ا?َِْنِ )رواVََْ اَﺽXِ وَذ Artinya: “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah
158
Muhammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, diterjemahkan oleh Eva Y. Nukman dan Fatiah Basri, KebebasanBerpendapat dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1996), h. 104 159 Muslim Ibnu al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî al-Nîsâburî, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th.), juz I, h. 74 hadits nomor 95 (55) 160
Ibid., h. 69 hadits nomor 78 (49)
dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah dengan hatinya dan itu adalah iman yang paling rendah” (HR. Muslim). Hak individu untuk mengawasi para pejabat dan memberi nasihat kepada mereka serta menilai tingkah laku mereka, semuanya menuntut pentingnya setiap
individu untuk
menikmati kebebasan berpendapat.
Diakuinya prinsip musywarah dan diskusi-diskusi yang menyertainya serta hak memilih, juga menuntut hak kebebasan berpendapat karena perlaksanaan musyawarah tidak mungkin tanpa kebebasan seperti itu. Adalah ketololan yang berlebihan manakala negara menetapkan untuk memegang prinsip musyawarah dan mendorong kebebasan berpendapat, kemudian negara mencabut kebebasan itu dari individu.161 Kebebasan mengeluarkan pendapat dalam negara Islam mencakup semua warga negara. Setiap individu berhak mengeluarkan pendapat yang diyakininya benar. Jaminan hak untuk mengeluarkan pendapat tidak hanya berkisar kepada warga negara yang Muslim saja, tetapi mencakupi juga warga negara yang non Muslim, ini karena mereka juga merupakan warga negara daulah Islam. Kebebasan mengeluarkan pendapat bagi kaum minoritas dapat diwujudkan misalnya melalui perwakilan mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, demikian juga dapat disampaikan melalui organisasiorganisasi yang mereka buat sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi mereka. Bahkan dalam kaitannya dengan hak kebebasan agama, selain mereka
161
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), cet. I, h. 71
juga dibolehkan menjalankan ajaran agamanya, juga diperbolehkan melakukan syiar agama mereka dilingkungannya serta mempertahankan dengan hujjah jika ada yang mengkritik agama mereka. Demikian juga dengan warga non Melayu di Malaysia, selain mereka diberikan
hak
dan
kebebasan
membentuk
organisasi-organisasi
atau
perkumpulan, mereka juga diberikan hak atau kebebasan menyampaikan pendapat terutama melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Parlemen maupun di DUN dan melalui organisasi-organisasi yang mereka bentuk. Hak kebebasan
berpendapat
dijamin
oleh
undang-undang
selama
tidak
menyampaikan kata-kata kotor, menfitnah, menghasut, menghina atau katakata yang melanggar hak keutamaan Parlemen atau Dewan Negeri. Jika dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi dengan cara-cara tersebut, maka itu dapat dikategorikan kepada tindak pidana.162 Dari penjelasan tentang hak berserikat dan berkumpul serta hak mengeluarkan pendapat bagi orang bukan Melayu tersebut di atas, jika dilihat dari konsep ketatanegaraan Islam, maka terdapat kesesuaian bahwa dalam Islam pun kaum minoritas atau ahl al-Dzimmi diberikan hak dan kebebasan kepada mereka untuk membentuk atau mendirikan perkumpulan atau organisasi-organisasi termasuk partai politik untuk ikut aktif dalam memilih wakil-wakil mereka agar dapat duduk di dewan rakyat atau Parlemen sehingga dapat menyampaikan aspirasi golongan mereka. Demikian juga dalam konsep
162
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 301
ketatanegaraan Islam pun setiap warga diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat, aspirasi bahkan mengkritik pemerintah jika ada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Demikianlah uraian analisis tentang hak-hak politik dalam konsep ketatanegaraan Islam terhadap warga negara di Malaysia. Bahwa terdapat kesesuaian antara konsep ketatanegaraan Islam dengan apa yang dipraktekkan di Malaysia dalam hal hak-hak politik yaitu berkenaan dengan jabatan-jabatan yang tidak boleh dipegang oleh non Muslim.
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari apa yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, kemudian penulis juga mnyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait.
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 4). Bahwa hak-hak politik warga negara Malaysia dilindungi dan dijamin oleh Undang-undang Dasar (Perlembagaan) Malaysia, yaitu tentang hak memilih dan dipilih, hak dan kebebasan berkumpul atau berserikat serta hak atas kebebasan berpendapat. Namun, hal itu semua diatur sedemikian rupa dan diberikan batasan-batasan tertentu dengan memberikan syarat-syarat tertentu seperti ada persyaratan dalam hak memilih dan dipilih, demikian juga ada syarat-syarat tertentu dalam membentuk suatu organisasi atau pertubuhan dan mengeluarkan pendapat, sehingga hak atau kebebasan tersebut tidak sebebasbebasnya. Jaminan atau perlindungan hak-hak politik tersebut diberikan kepada semua warga negara sama rata, tanpa membedakan golongan-
golongan tertentu maupun ras, status sosial ekonomi dan budaya. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu terutama yang menyangkut hal ihwal kepemimpinan dan pengurusan agama Islam, terdapat jabatan-jabatan politik yang tidak diberikan kepada non Melayu dan hal ini ditetapkan dalam undang-undang negara-negara bagian yang bersultan, jabatan-jabatan itu antara lain jabatan Sultan atau Raja, Menteri Besar, Mufti, Hakim di Mahkamah Syari’ah dan jabatan ketua angkatan bersenjata oleh Yang di-Pertuan Agong. Hal tersebut jika dilihat dari konsep ketatanegaraan Islam terdapat kesesuaian atau persamaan, yaitu dalam konsep ketatanegaraan Islam pun terdapat jabatanjabatan yang tidak boleh dipegang oleh ahl al-Dzimmi (non Muslim), seperti jabatan Kepala Negara, Panglima Perang, ketua Majelis Syura, Hakim bagi orang Islam dan jabatan-jabatan lain yang berkaitan langsung dengan urusan agama Islam. Adanya ketentuan tersebut karena dalam politik Islam bahwa kepemimpinan harus di tangan orang Islam yang bertanggungjawab atas urusan dunia dan menjalankan hukum-hukum Islam. 5). Adanya ketentuan bahwa non Muslim tidak diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu seperti kepala negara, ketua Majelis Syura, panglima perang, hakim bagi orang Muslim, pengurusan zakat dan jabatan-jabatan lainnya yang bersangkut paut dengan urusan agama Islam, bukan berarti ada diskriminasi terhadap hak-hak warga negara, melainkan hal itu merupakan konsekuensi bagi suatu negara yang terdapat penduduk mayoritas. Walaupun demikian, non Muslim diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu
selain yang disebutkan di atas, misalnya menjadi anggota Parlemen, menjadi menteri kabinet dan lain. Demikian juga di Malaysia, Pemerintah tetap menjaga dan melindungi warga negara non Melayu dengan diberikan bahkan dijamin dalam Undang-undang apa yang menjadi hak-hak politik mereka yaitu kebebasan berserikat, berkumpul dan mendirikan organisasi, kebebasan berpendapat, hak memilih dan dipilih, termasuk hak dalam bidang ekonomi.
B. Saran-saran Berkaitan dengan adanya hak-hak istimewa bagi kaum Melayu terutama di negara-negara bagian yang bersultan, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Bahwa hendaklah dipertahankan hak istimewa orang Melayu demi menjaga eksistensinya agar ajaran Islam dapat dijalankan dengan sempurna serta untuk menjaga adat istidat atau kebudayaan orang Melayu; 2. Hendaklah dijelaskan secara gamblang kepada publik di dalam dan di luar negeri bahwa
hal tersebut bukanlah suatu perlakuan
diskriminasi terhadap minoritas (non Melayu), melainkan itu hal itu terjadi karena berdasarkan asas proporsionalitas, bahwa mayoritas selalu menguasai minoritas. 3. Bagi para Mahasiswa dan peneliti agar melanjutkan penelitian di bidang ini dari perspektif yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Abadi, Majd al-Dîn Muhammad Ibn Ya’qŭb Fairuz, al-Qâmŭs al-Muhîth, Beirut: Darul Fikr, 1995, juz IV Abas, Tun Mohammad Salleh, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006 Abdullah, Abu Bakar Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia: Masalah dan penyelesaiannya, Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986, cet. I Ahmad, Siti Rosnah Haji, Pemerintah dan Pemimpin-peminpin Kerajaan Malaysia, Selangor: Golden Books Centre Sdn. Bhd, 2006, cet. I Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalaam Masyarakat Majemuk, Jakarta: UI Press; 1995 Aini, Noryamin, Pengantar Dasar Konsep Hak Asasi Manusia, makalah Mata Kuliah HAM, Syari’ah dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007 Amirudin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, cet. I Anggota Persatuan Penerbit Buku Malaysia, Malaysia Kita Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, Selangor: Golden Books Centre Sdn. Bhd, 2007, cet. VIII Anis, Ibrahim, dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Kairo: T.tp, 1972 , Juz I Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri’ al-Jinâ’i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânun alWadhi’i, Beirut: Muasasah al-Risalah, 1998, juz I Awang, Muhammad Kamil, Sultan dan Perlembagaan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001, cet. I Ayub, Abdul Razak, Perpecahan Bangsa Melayu, Selangor: Dewan Pustaka fajar, 1985, cet. I Baharom, Hajah Noresah Binti, dkk., Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 2002
Bahansawi, al, Salim Ali, asy-Syari’ah al-Muftara ‘Alaiha, edisi bahasa Indonesia diterjemakan oleh Musthalah Maufur, Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996, cet. I Bari, Abdul Aziz, Perlembagaan Malaysia: Asas-asas dan Masalah, Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001, cet. I ----------, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia, cet. II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006 Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005 Dasuki, al, Syams al-Din Muhammad ibn ‘Irfah, Hasyiyah al-Dasuki ‘alâ Syarh alKabîr, Mesir: Al-Azhariyah, 1345 H Depertemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depertemen Agama RI, 1971 HR., Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007, cet. I Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet. I Hussin, Hasnah dan Mardiana Nordin. Pengajian Malaysia, Selangor: Oxford Fajar, 2007, cet. I Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia, Kuala Lumpur: Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, 2006 Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. I Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, cet. I Kamali, Muhammad Hashim, Freedom of Expression in Islam, diterjemahkan oleh Eva Y. Nukman dan Fatiah Basri, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Jakarta: Mizan, 1996 Kencana, Inu, Al-Quran dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, cet. I Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Hadits, 2003
Manzhur, Jalaluddin Muhammad Ibnu, Lisân al’Arab, juz II, Mesir: Dâr al-Hadîts, 2003 Marbun, B. N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, cet. I Maududi, Abu A’la, Islamic Law and Constitution, Lahore, Pakistan: Islamic Publication Ltd, 1977 ----------, Hak-hak Manusia dalam Islam, penterjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, cet. III, Jakarta: Bumi aksara, 2005 Mâwardî, al, Abî al-Hasan 'Alî bin Muhammad bin Habîb al-Basrî al-Bagdâdî, alAhkâm al-Sulthâniyah, T.tp: Dâr al-Fikr, 1960, cet. I Mufid, Moh., Politik dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, cet. I Muhammad, Nazaruddin Hj., Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarganegaraan, cet. V, Selangor: Prentice Hall, 2004 Nîsâburî, al, Muslim bin al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî, Shahih Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th., juz III Nordin, Hasnah Hussin dan Mardiana, Pengajian Malaysia, Selangor Shah Alam: Oxford Fajar Sdn Bhd, 2007 Nowak, Manfred, Introduction to The International Rights Regime, Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003 Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola: 1994 Pong, Thock Ker, Ketuanan Politik Melayu: Respon Masyarakat Cina, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, t.th. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Putra, Dalizar, HAM (Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an), Jakarta: PT. AlHusna Zikra, 1995, cet. II Qaradhâwî, al, Yŭsuf, al-Dîn wa al-Siyâsah, edisi bahasa Indonesia Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, cet. I ----------, Fatwa-fatwa Kontemporer, [terjemahan], cet. II, Jakarta: Gema Insani, 2006, jilid III
-----------, Ghair Muslim fi Mujtama al-Islam, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, Bandung: Mizan, 1991 Qusyairi, al, Muslim bin Hajjaj Abu Husin, Shahîh Muslim, juz, I, Beirut: Dar Ihya’ al-Turâts al-Arabi, t.th Ramanathan, K., Konsep Asas Politik, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1998 Rasyid, Abdul, Ilmu Politik Islam, Bandung:Pustaka, 2001, cet. I Rofi’, Ismatu, Wacana Inklusif ahl al-Kitab, Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002 Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, cet. I Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995 Saefuddin, A. M., Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet. I Sakdan, Mohd. Foad, Asas Politik Malaysia, cet. II, Ampang/ Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997 Shâbŭnî, al, Muhammad ‘Ali, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, alih bahasa oleh Mu’ammal Hamidi dan Imrom A. Manan, cet. IV, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003 Shiddiqy, ash, T. M. Hasbi, 2002 Mutiara Hadits I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet. IX, Ciputat: Lentera Hati, 2007, vol. III Siong, Gouw Giok, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta: Kinta, 1962, Jilid 2 Soehino, Ilmu Negara, cet. VI, Yogyakarta: Liberty, 2004 Sonhaji, H. M., dkk., al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, t.th, juz VI Suyŭtî, al, Jalâl al-Dîn, Syarh al-Hafîdz Jalâl al-Dîn al-Suyûthi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, t.th., jilid 8 Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990
Syarif, Mujar Ibnu, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, Bandung: Agkasa, 2003, cet. I ------------, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, cet. I Syatibi, al, al-Muwafaqat, Ttp: Dar al-Fikr, t.th Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Group, 2003, cet. Revisi Watt, W. Montogomery, Muhammad at Medina, London: Oxford University Press, 1991 Zada, Khamami dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2004, cet. I Zaidan, Abdul Karim, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984, cet. I Zallum, Abdul Qadim, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, cet. II, Bangil: Al-Izzah, 2004 -----------, Nidhâm al-Hukmi fi al-Islâm,diterjemahkan oleh M. Maghfur Wahid, Sistem Pemerintahan Islam,cet. III, Bangil: al-Izzah, 2002 Zarqa, al, Musthafa Ahmad, al-Madkhâl al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al-Jadîd, Damsyik: Dar al-Fikr, tt, jilid III Zuhaili, al, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, juz IV, Damsyik: Dâr al-Fikr, 1425 H / 2004 M, cet. III Perlembagaan Persekutuan, cet. V, Ulu Kelang Kuala Lumpur: MDC Penerbit Pencetakan Sdn Bhd, 1995 Akta Nomor 13 Tahun 1966 Tentang Pertubuhan
Situs Internet: http://ms.wikipedia.org/wiki/Parlimen_Malaysia diakses pada tanggal 24 Oktober 2008 http://www.isuhot.com/modules.php?name=News&file=article&sid=396 diakses pada tanggal 24 Oktober 2008
http://pmr.penerangan.gov.my/index.cfm.htm diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 http://www.tourism.gov.my/my/about/culture.asp diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 http://www.freelists.org/archives/ppi/04-2004/msg00033.html diakses pada tanggal 23 September 2008 http://www.tranungkite.net/v7/modules.php?name=News&file=article&sid=8336 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=11186 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA Kebebasan Asasi Pasal 5 Tentang Kebebasan Diri (1) Tiada seorang pun boleh diambil nyawanya atau dilucutkan kebebasan dirinya kecuali mengikut undang-undang. (2) Jika pengaduan dibuat kepada Mahkamah Tinggi atau mana-mana hakim Mahkamah Tinggi menyatakan bahawa seseorang sedang ditahan dengan menyalahi undang-undang, maka mahkamah itu hendaklah menyiasat pengaduan itu dan, melainkan jika mahkamah itu berpuas hati bahawa tahanan itu adalah sah, hendaklah memerintahkan supaya orang itu dibawa ke hadapan mahkamah itu dan melepaskannya. (3) Jika seseorang ditangkap maka dia hendaklah diberitahu dengan seberapa segera yang boleh alasan-alasan dia ditangkap dan dia hendaklah dibenarkan berunding dengan dan dibela oleh seorang pengamal undang-undang pilihannya. (4) Jika seseorang ditangkap dan tidak dilepaskan, maka orang itu hendaklah tanpa kelengahan yang tidak munasabah, dan walau bagaimanapun dalam tempoh dua puluh empat jam (tidak termasuk masa apa-apa perjalanan yang perlu) dibawa ke hadapan majistret dan orang itu tidak boleh ditahan dalam jagaan selanjutnya tanpa kebenaran majistret itu: Dengan syarat bahawa Pasal ini tidaklah terpakai bagi penangkapan atau penahanan mana-mana orang di bawah undang-undang yang sedia ada yang berhubungan dengan kediaman terhad, dan kesemua peruntukan Pasal ini hendaklah disifatkan telah menjadi suatu bahagian perlu Perkara ini mulai dari hari Merdeka: Dengan syarat selanjutnya bahawa dalam pemakaiannya bagi seseorang, selain seorang warganegara, yang ditangkap atau ditahan di bawah undang-undang yang berhubungan dengan imigresen, Pasal ini hendaklah dibaca seolah-olah perkataan "tanpa kelengahan yang tidak munasabah, dan walau bagaimanapun dalam tempoh dua puluh empat jam (tidak termasuk masa apa-apa perjalanan yang perlu)" telah digantikan dengan perkataan "dalam tempoh empat belas hari": Dan dengan syarat selanjutnya bahawa dalam hal penangkapan bagi sesuatu kesalahan yang boleh dibicarakan oleh mahkamah Syariah,
sebutan dalam Pasal ini mengenai majistret hendaklah ditafsirkan sebagai termasuk sebutan mengenai hakim mahkamah Syariah.
Pasal 6 Tentang Keabdian dan Kerja Paksa Dilarang (1) Tiada seorang pun boleh ditahan sebagai abdi. (2) Segala bentuk kerja paksa adalah dilarang, tetapi Parlimen boleh melalui undang-undang membuat peruntukan mengenai perkhidmatan wajib bagi maksud-maksud negara. (3) Kerja atau khidmat yang dikehendaki daripada mana-mana orang sebagai akibat daripada sesuatu sabitan atau dapatan bahawa dia bersalah di mahkamah tidaklah dikira sebagai kerja paksa mengikut pengertian Perkara ini, dengan syarat kerja atau khidmat itu dijalankan di bawah pengawasan dan kawalan suatu pihak berkuasa awam. (4) Jika menurut mana-mana undang-undang bertulis kesemua atau manamana bahagian daripada fungsi mana-mana pihak berkuasa awam dikehendaki dijalankan oleh suatu pihak berkuasa awam yang lain, bagi maksud membolehkan fungsi-fungsi itu dilaksanakan, maka pekerjapekerja pihak berkuasa awam yang mula-mula disebut adalah terikat untuk berkhidmat dengan pihak berkuasa awam yang kedua disebut, dan perkhidmatan mereka dengan pihak berkuasa awam yang kedua disebut itu tidaklah dikira sebagai kerja paksa mengikut pengertian Perkara ini, dan tiada seorang pun pekerja itu berhak menuntut apa-apa hak sama ada daripada pihak berkuasa awam yang mula-mula disebut atau kedua disebut itu oleh sebab pertukaran pekerjaannya.
Pasal 7 Tentang Perlindungan Daripada Undang-Undang Jenayah Kuat Kuasa ke Belakang dan Perbicaraan Berulang (1) Tiada seorang pun boleh dihukum kerana sesuatu perbuatan atau peninggalan yang tidak boleh dihukum menurut undang-undang pada masa perbuatan atau peninggalan itu dilakukan atau dibuat, dan tiada seorang pun boleh menanggung hukuman yang lebih berat kerana sesuatu kesalahan daripada yang telah ditetapkan oleh undang-undang pada masa kesalahan itu dilakukan. (2) Seseorang yang telah dibebaskan daripada sesuatu kesalahan atau disabitkan atas sesuatu kesalahan tidak boleh dibicarakan semula kerana kesalahan yang sama kecuali jika sabitan atau pembebasan itu telah dibatalkan dan perbicaraan semula diperintahkan oleh suatu mahkamah yang lebih atas daripada mahkamah yang telah membebaskan atau mensabitkannya itu.
Pasal 8 Tentang Kesamarataan (1) Semua orang adalah sama rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang. (2) Kecuali sebagaimana yang dibenarkan dengan nyata oleh Perlembagaan ini tidak boleh ada diskriminasi terhadap warganegara semata-mata atas alasan agama, ras, keturunan, tempat lahir atau jantina dalam mana-mana undang-undang atau dalam pelantikan kepada apa-apa jawatan atau pekerjaan di bawah sesuatu pihak berkuasa awam atau dalam pentadbiran mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pemerolehan, pemegangan atau pelupusan harta atau berhubungan dengan penubuhan atau penjalanan apa-apa pertukangan, perniagaan, profesion, kerjaya atau pekerjaan. (3) Tidak boleh ada diskriminasi yang memihak kepada mana-mana orang atas alasan bahawa dia seorang rakyat Raja bagi mana-mana Negeri. (4) Tiada pihak berkuasa awam boleh mendiskriminasikan mana-mana orang atas alasan bahawa dia bermastautin atau menjalankan perniagaan di mana-mana bahagian Persekutuan di luar bidang kuasa pihak berkuasa itu. (5) Perkara ini tidak menidaksahkan atau melarang: (a) apa-apa peruntukan yang mengawal selia undang-undang diri; (b) apa-apa peruntukan atau amalan yang mengehadkan jawatan atau pekerjaan yang berkaitan dengan hal ehwal mana-mana agama, atau sesuatu institusi yang diuruskan oleh sekumpulan orang yang menganuti mana-mana agama, kepada orang yang menganuti agama itu; (c) apa-apa peruntukan bagi perlindungan, kesentosaan atau pemajuan orang asli Semenanjung Tanah Melayu (termasuk perizaban tanah) atau perizaban bagi orang asli suatu perkadaran yang munasabah daripada jawatan-jawatan yang sesuai dalam perkhidmatan awam; (d) apa-apa peruntukan yang menetapkan kemastautinan di sesuatu Negeri atau di sebahagian sesuatu Negeri sebagai suatu kelayakan bagi pemilihan atau pelantikan kepada mana-mana pihak berkuasa yang mempunyai bidang kuasa hanya di Negeri atau di bahagian itu sahaja, atau bagi pengundian dalam pemilihan itu; (e) apa-apa peruntukan Perlembagaan sesuatu Negeri, yang adalah atau yang bersamaan dengan suatu peruntukan yang berkuat kuasa sebaik sebelum Hari Merdeka; (f) apa-apa peruntukan yang mengehadkan pengambilan masuk tentera ke dalam Rejimen Askar Melayu kepada orang Melayu.
Pasal 9 Tentang Larangan Buang Negeri dan Kebebasan Bergerak (1) Tiada seorang pun warganegara boleh dibuang negeri dari atau ditahan masuk ke Persekutuan. (2) Tertakluk kepada Pasal (3) dan kepada mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan keselamatan Persekutuan atau mana-mana bahagiannya, ketenteraman awam, kesihatan awam, atau penghukuman pesalah, tiap-tiap warganegara berhak bergerak dengan bebas di seluruh Persekutuan dan bermastautin di mana-mana bahagiannya. (3) Selagi mana-mana Negeri lain berada dalam kedudukan istimewa di bawah Perlembagan ini berbanding dengan Negeri-Negeri Tanah Melayu, Parlimen boleh melalui undang-undang mengenakan sekatansekatan, antara Negeri itu dengan Negeri-Negeri yang lain, ke atas hakhak yang diberikan oleh Pasal (2) berkenaan dengan pergerakan dan kemastautinan.
Pasal 10 Tentang Kebebasan Bercakap, Berhimpun dan Berpersatuan (1) Tertakluk kepada Pasal (2), (3) dan (4): (a) tiap-tiap warganegara berhak kepada kebebasan bercakap dan bersuara; (b) semua warganegara berhak untuk berhimpun secara aman dan tanpa senjata; (c) semua warganegara berhak untuk membentuk persatuan. (2) Parlimen boleh melalui undang-undang mengenakan— (a) ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (a) Pasal (1), apa-apa sekatan yang didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau mana-mana bahagiannya, hubungan baik dengan negara-negara lain, ketenteraman awam atau prinsip moral dan sekatan-sekatan yang bertujuan untuk melindungi keistimewaan Parlimen atau mana-mana Dewan Undangan atau untuk membuat peruntukan menentang penghinaan mahkamah, fitnah, atau pengapian apa-apa kesalahan; (b) ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (b) Pasal (1), apa-apa sekatan yang didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan keselamatan Persektuan atau mana-mana bahagiannya atau ketenteraman awam; (c) ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (c) Pasal (1), apa-apa sekatan yang didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan
keselamatan Persekutuan atau mana-mana bahagiannya, ketenteraman awam atau prinsip moral. (3) Sekatan-sekatan ke atas hak untuk membentuk persatuan yang diberikan oleh perenggan (c) Pasal (1) boleh juga dikenakan oleh mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan perburuhan atau pendidikan. (4) Pada mengenakan sekatan-sekatan demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau mana-mana bahagiannya atau ketenteraman awam di bawah Pasal (2)(a), Parlimen boleh meluluskan undangundang melarang dipersoalkan apa-apa perkara, hak, taraf, kedudukan, keistimewaan, kedaulatan atau prerogatif yang ditetapkan atau dilindungi oleh peruntukan Bahagian III, Perkara 152, 153 atau 181 melainkan yang berhubungan dengan pelaksanaannya sebagaimana yang dinyatakan dalam undang-undang itu.
Pasal 11 Tentang Kebebasan Beragama (1) Tiap-tiap orang berhak menganuti dan mengamalkan agamanya dan, tertakluk kepada Pasal (4), mengembangkannya. (2) Tiada seorang pun boleh dipaksa membayar apa-apa cukai yang hasilnya diuntukkan khas kesemuanya atau sebahagiannya bagi maksud sesuatu agama selain agamanya sendiri. (3) Tiap-tiap kumpulan agama berhak: (a) menguruskan hal ehwal agamanya sendiri; (b) menubuhkan dan menyenggarakan institusi-institusi bagi maksud agama atau khairat; dan (c) memperoleh dan mempunyai harta dan memegang dan mentadbirkannya mengikut undang-undang. (4) Undang-undang Negeri dan berkenaan dengan Wilayah-Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, undang-undang persekutuan boleh mengawal atau menyekat pengembangan apa-apa doktrin atau kepercayaan agama di kalangan orang yang menganuti agama Islam. (5) Perkara ini tidaklah membenarkan apa-apa perbuatan yang berlawanan dengan mana-mana undang-undang am yang berhubungan dengan ketenteraman awam, kesihatan awam atau prinsip moral.
Pasal 12 Tentang Hak Berkenaan dengan Pendidikan (1) Tanpa menjejaskan keluasan Perkara 8, tidak boleh ada diskriminasi terhadap mana-mana warganegara semata-mata atas alasan agama, ras, keturunan atau tempat lahir—
(a) dalam pentadbiran mana-mana institusi pendidikan yang disenggarakan oleh suatu pihak berkuasa awam, dan, khususnya, kemasukan murid-murid atau pelajar-pelajar atau pembayaran fi; atau (b) dalam memberikan bantuan kewangan daripada wang sesuatu pihak berkuasa awam bagi penyenggaraan atau pendidikan muridmurid atau pelajar-pelajar di mana-mana institusi pendidikan (sama ada disenggarakan oleh suatu pihak berkuasa awam atau tidak dan sama ada di dalam atau di luar Persekutuan). (2) Tiap-tiap kumpulan agama berhak menubuhkan dan menyenggarakan institusi-institusi bagi pendidikan kanak-kanak dalam agama kumpulan itu sendiri, dan tidak boleh ada diskriminasi semata-mata atas alasan agama dalam mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan institusi-institusi itu atau dalam pentadbiran mana-mana undang-undang itu; tetapi adalah sah bagi Persekutuan atau sesuatu Negeri menubuhkan atau menyenggarakan atau membantu dalam menubuhkan atau menyenggarakan institusi-institusi Islam atau mengadakan atau membantu dalam mengadakan ajaran dalam agama Islam dan melakukan apa-apa perbelanjaan sebagaimana yang perlu bagi maksud itu. (3) Tiada seorang pun boleh dikehendaki menerima ajaran sesuatu agama atau mengambil bahagian dalam apa-apa upacara atau upacara sembahyang sesuatu agama, selain agamanya sendiri. (4) Bagi maksud Pasal (3) agama seseorang yang di bawah umur lapan belas tahun hendaklah ditetapkan oleh ibu atau bapanya atau penjaganya.
Pasal 13 Tentang Hak Terhadap Harta. (1) Tiada seorang pun boleh dilucutkan hartanya kecuali mengikut undangundang. (2) Tiada undang-undang boleh memperuntukkan pengambilan atau penggunaan harta dengan paksa tanpa pampasan yang memadai.