SKRIPSI
NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAMI DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA (Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia)
OLEH: ABDUL HADI BIN RIPIN
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAMI DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA (Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh : ABDUL HADI BIN RIPIN NIM : 106045203750
Di Bawah Bimbingan Pembimbing Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
KOSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puja dan puji syukur seraya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan atas semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga
senatiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah, Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis. Penulis bangga akan hasil penulisan skripsi ini walaupun masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini sebagai manusia kita tak luput dari kesalahan, kesempurnaan dan kebenaran hanyalah milik Allah SWT oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama itu dapat membangun dan terus memotivasi penulis agar menyempurnakan dan memperbaiki kesalahan tersebut.
Namun demikian penulis sangat bersyukur sekali kepada Allah SWT dengan izin dan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam ) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya, karena dengan bantuan dan dukungan merekalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih secara khusus yang sebesar-besarnya kepada : 1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu 2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami. 3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan juga pembimbing penulis yang dengan arahan beliau pula sehingga penulis dapat memahami dengan mudah apa yang akan dikerjakan. 5. Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar’iyyah
6. Ayahanda Ariffin Abu Bakar yang telah mendidik dan membimbing penulis, Ibunda Sukma Awang dan Ibunda Romlah yang telah kembali kerahmatullah semoga rohnya dicucuri rahmat. 7. Dato Haji Mustafa Ali yang telah memberi dokongan dan bantuan diucapkan berbanyak terima kasih. 8. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun, Ustadzah Nabilah, Ustadzah Yazidah, Ust. Kamaruzaman, Ust. Shahari Zulkirnain, Ust. Asmadi dan seluruh Ustad dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan disini. 9. Kepada keluarga di Malaysia yang telah memberikan dorongan dan motivasi terutama untuk istri tercinta (Suhaizan), dan anak-anakku yang memberikan inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini (A’zim, Hannan, Ardini, Irdina) dan kakak dan adikku tercinta
(Azizah&Yusuf,
Zaitun&Harun,
Zaleha&M.Khoiruddin,
Amir&Dalina,
Puspawati&Fazali, Adik Na&Fauzi, Jihaduddin& Na). saudara-saudaraku yang lain Suryana & Nasir, Arffan&Sitti, Safawi & Su, Jamal & Liza, M. Zin Uda & Na, Mahmud & Mah, Ust. Zailani & K. Mah, Ust. Abd. Wahid, Romli Abbas, M.Nor & Ni.. 10. Teman-teman satu perjuangan baik itu teman-teman Malaysia, yang ada dalam satu atap untuk perjuangan (Harun, Faisal, Baihaqi, Khairil, Amir, Mustofa, Mawardi, Ikram), serta teman Malaysia yang di Aspa dan Aspi ( Baha, Siti Hajar, Nur Masyitah, Hajar Harun, Salwa, Anisah, Hazrin, N. Syazwani, Halimah
dll) atupun kawan-kawan
Indonesia yang telah membantu untuk memahami dan sharing lebih dalam mengenai ketatanegaraan Islam (Zamroni, Sidiq, Lukman, Taufiq, Dinnur, dan Oyok yang membantu kami dalam menerjemahkan bahasa Indonesia serta yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu).
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan kepada semua pihak pada umumnya. Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu amalan yang baik di sisi-Nya.
Ciputat,
13 April
2008 M 6 Rabiulakhir 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................iii DAFTAR ISI ..............................................................................................................vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................. 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... 9 D. Tinjauan Pustaka ..............................................................................10 E. Metode Penelitian ............................................................................ 12 F. Sistematika Penulisan....................................................................... 14
BAB II
NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PELAKSANAAN PEMILU A. Pelaksanaan Pengangkatan Pimpinan
dalam Ketatanegaraan Islam 16
B. Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan kepala Negara 25 1. Nilai Musyawarah ......................................................................27 2. Nilai Keadilan............................................................................. 32 3. Nilai Persamaan..........................................................................35
C. Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara Ketatanegaraan Islam .......................................................................38 1. Bai’at .......................................................................................... 40
dalam
2. Ahlul Halli Wal Aqdi ................................................................. 42 3. Putera Mahkota........................................................................... 45 D. Pelaksanaan Pemilu dalam Pandangan Ulama Kontemporer...........48
BAB III
PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA OLEH SURUHANJAYA PILIHAN RAYA A. Sistem Pemilihan Umum di Malaysia. ............................................. 61 B. Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Oleh Suruhanjaya Pilihan Raya.
68
C. Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia ..................... 85 D. Konsep Kebebasan dan Kebersihan Pelaksanaan Pemilu di Malaysia
BAB IV
93
ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA A. Beberapa
Hal
Kesesuaian
Pelaksanaan
Pemilu
Malaysia
dengan
Ketatanegaraan Islam. ......................................................................98 B. Beberapa Hal Ketidaksesuaian Pelaksanaan Pemilu
Malaysia dengan
Ketatanegaraan Islam. ....................................................................102 C. Analisis Ketetanegaraan Islam Terhadap Pengangkatan Kepala Negara 104
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 109 B. Saran ...............................................................................................114
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan Negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera.1 Mengenai arti pentingnya seorang pemimpin diutarakan juga oleh Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah, “ kedudukan pemimpin timbul dari keharusan hidup bergaul bagi manusia, dan didasarkan kepada penaklukkan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat kebinatangan.2 Sistem pemerintahan demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan diktator. Ia berbeda dari segi cara untuk mendapatkan kekuasaan pemerintahan. Bagi sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan ini ditentukan melalui pemilihan umum (pemilu). Melalui pemilihan umum ini, rakyat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Ini berarti pemerintahan yang bercorak demokrasi ialah pemerintahan yang mendapat mandat dan persetujuan rakyat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya pemerintahan yang bercorak diktator tidak membenarkan pemilu diadakan3. Asas kekuasaannya adalah bertumpu kepada kekuatan raja yang absolut, rakyat tidak diberi hak untuk memilih, rakyat juga tidak
1
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, cet. V, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 14 2
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus; 2008), cet. VII,
h.232. 3
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006), h. 169
dibenarkan untuk menegur atau mengkritik tindak tanduk raja. Jika rakyat membantah perintah dan larangannya, mereka akan dipenjarakan dan mungkin dibunuh. Oleh sebab itu orang-orang yang mempunyai kekuasaan memerintah selalu dikawal rapi oleh angkatan bersenjata (pasukan khusus), yang menyebabkan mereka terasing daripada rakyat. Dengan demikian tidak mengherankan jika terjadi pemberontakan untuk menjatuhkan kerajaan yang otoriter itu.4 Pemerintahan yang demokrasi bergantung pada pemilu untuk menentukan wakilwakil rakyat yang akan menjalankan pemerintahan, maka sangatlah penting pemilu dijalankan dengan adil. Karena pemilu yang dilaksanakan itu tidak adil, terdapat kecurangan misalnya, sehingga hasil dari pemilihan umum itu tidak sesuai dengan kehendak rakyat, dapat mengakibatkan timbulnya pertikaian dan perbuatan-perbuatan anarkis yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian materi bahkan jiwa dalam suatu negara.5 Untuk itu, agar pemilu dapat dilaksanakan dengan baik, yang bersih dan bebas jujur dan adil haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:6 1. Pemilu itu haruslah dilaksanakan oleh suatu badan yang independen, jujur dan dipercayai oleh rakyat. 2. Haruslah ada Undang-undang tentang pemilu yang mengatur tentang pelaksanaannya, agar terhindar dari kecurangan-kecurangan. 3. Segala permasalahan pemilu haruslah diselesaikan dengan segera oleh mahkamah khusus. Dengan melihat pernyataan diatas maka kita akan memahami bahwa setiap negara dimanapun yang bercorak demokrasi di dalamnya pasti akan dilaksanakan suatu pemilu, begitu pun dengan Negara Malaysia. Malaysia merupakan negara yang menganut sistem
4
Ibid, h. 170
5
Ibid, h. 171 Ibid. h. 170
6
monarki konstitusional dan demokrasi berparlemen. Dalam pemilu, Malaysia menganut sistem pemilu berdasarkan tiga prinsip utama, yaitu:7 1. Berdasarkan suara terbanyak mengikuti kaedah First Past The Post System yang mana calon yang menang adalah calon yang memperoleh suara terbanyak, walaupun hanya mendapat kelebihan satu suara melebihi calon lawannya yang lain. 2. Berdasarkan pemilihan seorang perwakilan mengikuti bagian pemilu sama dengan bagian pemilu parlimen atau bagian pemilu Negeri (Single Member Territorial Representation). 3. Berdasarkan
sistem penyertaan berbagai partai politik dan pihak yang layak untuk
berkompetisi dalam suatu pemilihan umum (Multi Party Electoral System).
Untuk melaksanakan pemilu, dalam pasal 113 Perlembagaan (konstitusi) Malaysia telah memberi wewenang kepada pemerintah untuk membuat sebuah suruhanjaya (lembaga/badan) yang dinamakan Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR)8. Tugas pokok lembaga ini adalah untuk memastikan rakyat Malaysia berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka dalam membentuk pemerintahan dan memelihara hak ini melalui pemilu yang bebas dan adil. Suruhanjaya atau lembaga ini dipimpin oleh seorang ketua dan tiga orang anggota. Dalam sistem pemilu Malaysia, setiap negara bagian dibagi menjadi beberapa wilayah pemilu yang diwakili oleh seorang atau beberapa orang wakil rakyat. Tiap satu kawasan pemilu hanya diwakili oleh seorang wakil rakyat saja.9 Jadi jumlah wilayah pemilu Dewan Rakyat adalah sama banyak dengan bilangan anggota Dewan Rakyat, begitu juga jumlah wilayah pemilu bagi Dewan Undangan Negeri adalah sama banyak dengan jumlah anggota Dewan Undangan Negeri. 10
7
Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia (SPR), 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, (Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2007), h. 7 8 Istilah Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia dan Pemilihan Umum dalam bahasa Malaysia disebut Pilihan Raya. 9
Undang-Undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan, Perkara (pasal) 116 (2)
10
Dewan Undangan Negeri sama dengan DPRD dan Dewan Rakyat adalah DPR Pusat / Parlemen)
Dewan Negeri, tergantung pada jumlah anggota Dewan Negeri sebagaimana yang telah ditetapkan oleh perlembagaan (UUD) negeri masing-masing. Walau bagaimanapun, jumlah wilayah pemilu bagi setiap negara bagian mestilah sekurang-kurangnya sama banyak atau dua kali lipat dengan jumlah wilayah pemilu Dewan Rakyat yang ditetapkan kepada negara bagian itu, mengikuti Perlembagaan jumlah anggota Dewan Negeri di tiap-tiap negara bagian adalah: Johor (40), Kedah (36), Kelantan (43), Melaka (25), Negeri Sembilan (32), Pahang (38), Pulau Pinang (33), Perak (52), Perlis (15), Selangor (48), Terengganu (32), Sabah (48), Sarawak (56).11 Dalam pemilu di Malaysia setiap pemilih ditentukan dalam undang-undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan pasal 119 disebutkan syarat-syarat pemilih seperti Warga Negara Malaysia, berumur 21 tahun pada saat dilaksanakan pemilihan raya, kemudian merupakan penduduk asli dari negara bagian. Dalam penelitian ini masalah yang diangkat adalah mengenai problematika pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia seperti, daftar pemilih yang tidak/bukan penduduk asli atau mastautin kemudian dimanakah fungsi utama SPR yang bertugas untuk menyelenggarakan pelaksanaan pemilihan raya Malaysia secara adil?, maka selayaknyalah SPR harus memperbaiki citra mereka, dengan melihat tatacara dan praktek pemilihan kepala negara berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ketatanegaraan Islam. Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah sematamata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa :12
11
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 172 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), edisi kelima, hal. 1 12
1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan barat. 2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin. 3. Menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam agama Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Terlepas dari pernyataan diatas kita sebenarnya akan melihat bahwa proses ketatanegaraan itu sifatnya kompleks dan fleksibel, sebetulnya Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana mempraktekan ketatanegaraan secara Islami. Dalam sejarah ketatanegaraan Islam mengenai proses pengangkatan kepala negara (khalifah) kita dapat melihat bahwa Islam sudah mempraktekan pemilihan secara demokratis hal ini ditandai dengan pemilihan khalifah yang ketiga dalam Islam yaitu Khalifah Utsman bin Affan, dalam proses penunjukannya sampai pengangkatannya melalui proses yang sangat demokratis. Dalam pengalihan (kekuasaan Umar kepada Utsman dibentuk suatu badan yang beranggotakan enam orang dengan diketuai oleh Abdurrahman bin Auf disini kita akan melihat sejauh mana proses keadilan yang berlangsung dalam pelaksanaannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan SPR di Malaysia yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan problematika sehingga penulis angkat menjadi judul skripsi: “Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia” (Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian dan penulisan skripsi adalah penting dengan adanya suatu pembatasan masalah yang bertujuan agar penelitian menjadi tearah dan fokus terhadap permasalahan yang akan diteliti. Kemudian pertanyaan penelitian haruslah dapat dirumuskan untuk “mempersempit” ruang lingkup penelitian, dengan begitu pertanyaan penelitian menjadikan penelitian lebih fokus dan terarah. Berdasarkan paparan dalam latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah mengenai penyelenggaraan pelaksanaan pemilihan umum. 2. Perumusan Masalah Dari penjelasan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan “Bagaimana peranan SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) dalam pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia dengan memperhatikan nilai-nilai ketatanegaraan Islam?”, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Bagaimana kinerja pelaksanaan pemilu Malaysia oleh SPR?. 2) Bagaimana konsep pemilihan atau pengangkatan pimpinan dalam ketatanegaraan Islam?. 3) Bagaimana Nilai-nilai ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Malaysia oleh SPR?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai diantaranya: 1. Memberikan gambaran dan informasi mengenai SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) 2. Menjelaskan pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia 3. Untuk mengetahui peranan SPR dalam menerapkan nilai-nilai ketatanegaraan Islam. Adapun dari segi manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kajian keilmuan mengenai ketatanegaraan Islam. 2. Memberikan pengetahuan dan informasi tentang Badan Pemilu SPR di Malaysia.
3. Menambah wawasan bagi para akademik dan pembaca mengenai pelaksanaan pemilu di Malaysia dan ketatanegaraan Islam.
D. Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian dengan pokok bahasan mengenai pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia 2005 serta pemilihan kepala negara yang didasarkan kepada rasa keadilan.. Pembahasan bersumber dari skripsi terdahulu, buku, selain itu ada beberapa jurnal dan laporan tahunan yang berkaitan secara spesifik dan khusus bersinggungan dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut. Skripsi Pitri Anita, “Siyasah Dauliyah Pada Masa Khulafaur Rasyidun, 2004. Pada bab IV skripsi ini ada pembahasan yang mengkaji praktek siyasah dauliyah pada masa Khulafaur Rasyidun, dimulai dari Khalifah Abu Bakr As-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib di dalamnya memuat penerapan nilai-nilai ketatanegaraan Islam yang mereka praktekkan sepertni nilai keadilan, nilai musyawarah, nilai keadilan, dll. Skripsi Mohammad Adnin bin Yahya, “Konsep Negara Islam di Malaysia (menurut UMNO dan PAS), 2006. Skripsi ini membahas mengenai penerapan nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia mulai dari sudut pandang yang berkuasa (UMNO) maupun dari pihak pembangkang (PAS).
Karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Pilihan Raya Malaysia” di tulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembangaan dan Pemerintahan di Malaysia”, buku ini membahas permasalahan tentang pentingnya diadakan pemilihan umum untuk melangsungkan kehidupan yang berdemokrasi. Mengenai pemilihan umum di Malaysia ini, Beliau berusaha menjelaskan kenapa perlunya diadakan pemilu, mengenai daftar pemilih, kebebasan dan kebersihan pemilu dijalankan.
Buku Laporan Tahunan SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) tahun 2005 “Misi, Objektif, Moto dan Dasar kualiti”. Buku laporan ini membahas mengenai badan pelaksanaan pemilu di Malaysia, dimana lembaga ini bertugas dalam menjalankan pemilihan umum yang bebas dan adil. Karya Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, tentang “Prinsip-prinsip Amali Dalam Negara Islam ”, di tulis dalam salah satu bab pada bukunya yang berjudul “Sistem Pemerintahan Negara Islam”. Pokok masalah yang dibicarakan adalah prinsip keadilan dalam prinsip-prinsip dasar pada negara islam. Karya Munawir Sjadzali, tentang “Proses Pengangkatan Empat Al-Khulafa AlRasyidin” Pada buku yang berjudul “Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran)”. Yang menjelaskan proses pengangkatan kepala negara (khalifah), dalam pelaksanaannya Islam mengajarkan beberapa metode pengangkatan kepala negara, namun demikian tidak terlepas dari konsep keadilan itu sendiri. Karya Dr. Yusuf Qardhawi tentang “Islam dan Demokrasi” di dalam bukunya yang berjudul “Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2”. Menjelaskan bahwa menurut Islam peraturan seperti pemilihan umum atau pemungutan suara hal itu merupakan pemberian saksi terhadap kelayakan si calon, oleh sebab itu pemberian suara haruslah memenuhi syarat sebagaimana halnya saksi, yaitu adil dan baik perilakunya sehingga diridhai orang banyak. Karya Imam Al-Mawardi tentang “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam” di dalam bukunya yang berjudul “Ahkamul Shulthan”, buku ini berisi kajian tentang hukum tata Negara dan kepemimpinan agama, yang menjelaskan tentang pengangkatan kepala Negara.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriftif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif.
2. Objek Penelitian Dalam penelitian ini objek yang terkait adalah Kerajaan/Negara Malaysia. Ini sangat menarik karena dalam pelaksanaan pemilu 2005 di Malaysia terdapat problematika yang signifikan, untuk itu perlulah kiranya penulis menentukan lokasi penelitian di tempat tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumenter/bahan tertulis. Yakni dengan mencari bahanbahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Sehingga data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu buku-buku atau literatur yang membahas tentang pemilu di Malaysia dan yang membahas tentang ketatanegaraan Islam. Sedangkan sumber data sekunder adalah literatur-literatur yang ada kaitannya ada relevansinya dengan penelitian ini.
4. Teknik Analisis Data
Dalam melakukan analisis terhadap data-data yang sudah terhimpun, digunakan teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif, yaitu analisis perbandingan antara pelaksanaan pemilu di Malaysia dengan nilai-nilai ketatanegaraan Islam. Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini di tulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut : BAB I
Berupa pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Membahas Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pelaksanaan Pemilu yang meliputi Pelaksanaan Pengangkatan Pimpinan dalam Ketatanegaraan Islam, Nilainilai Ketatanegaraan Islam (nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan, nilai Kejujuran) dalam pengangkatan kepala negara, Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam, Pandangan Ulama Kontemporer dalam Pelaksanaan Pemilu.
BAB III Tentang Pelaksanaan Pemilu di Malaysia meliputi Sistem Pemilihan Umum di Malaysia, Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Oleh Suruhanjaya Pilihan Raya, Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia, Konsep kebebasan dan kebersihan pelaksanaan pemilu di Malaysia. BAB IV
Berisi Analisis Ketatanegaraan Islam terhadap Pelaksanaan Pemilu di Malaysia meliputi Beberapa Hal Kesesuaian Pelaksanaan Pemilu di Malaysia dengan Nilainilai Ketatanegaraan Islam, Beberapa Hal Ketidaksesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam.
BAB V
Merupakan penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN PIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Sejarah Pelaksanaan Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam Penyelenggaraan negara menurut tuntutan Islam mirip dengan penyelenggaraan shalat jama’ah di mana ada peimimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai ma’mum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan lain-lain.13 Shalat jama’ah juga mengenal koreksi terhadap imam dan penggantian imam mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara dalam sistem modern. Pemilihan pemimpin atau penyelenggaraan negara juga mirip dengan pemilihan pemimpin (imam) shalat yang dilihat melalui prioritas (1) kefasihan bacaan, (2) kedalaman ilmu, (3) ketaqwaan dan (4) senioritas. Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dengan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Selama 23 tahun karir kenabian Muhammad saw, kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama, Nabi Muhammad menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah. Namun hal ini tidak berarti bahwa aspek sosial diabaikan sama sekali pada periode Mekah ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada masa ini justru banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan, praktik-praktik bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok elit ekonomi dan politik terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya.14
13 14
Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta : Khairul Bayan, 2005), cet. I, h. 56
Muhalammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 31
Mengenai pengangkatan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh para Khulafaur Rasyidun, hal ini dikarenakan Muhammad tidak diangkat melalui suksesi melainkan melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam Al-Qur’an itupun sebagai realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah menyatu dengan tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenunya kepada Allah.15 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW. wafat (632 M /10 H) adalah suksesi. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW. memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang cara pengangkatan penggantinya (khilafah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan permasalahan di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri ‘terlantar’ oleh seputar pembicaraan khilafah ini. Pengangkatan Khalifah (Kepala Negara) Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah, yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala Negara.16 Dalam Islam penetapan Khilafah pada saat adanya Kekhilafahan melibatkan tiga unsur. Pertama: Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhilafahan Islam yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian Khilafah. Kedua: Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon khilafah. Ketiga: rakyat sebagai pemilik kekuasaan.
15 16
Ibid. h. 44
Ridwan HR, Fiqih Poliik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta: FH UII Press, 2007, cet. Pertama, h.243.
Secara ringkas, prinsip umum pergantian khilafah dalam Islam dicontohkan dalam praktik para Sahabat yang berbentuk Ijma Sahabat. Prinsip-prinsip tersebut adalah:17 1. Kekuasaan ada di tangan umat. 2. Bai’at merupakan hak seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan fardhu kifayah. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menunaikan hak mereka. Apakah mereka menggunakan haknya itu atau tidak, itu terserah mereka. 3. Syariah tidak menyaratkan jumlah tertentu dalam baiat in'iqâd. Yang penting berjamaah dan dengan itu kaum Muslim ridha. Keridhaan kaum Muslim itu dapat ditunjukkan oleh diamnya mereka, ketaatan mereka, atau dengan indikasi apapun. Hanya saja, berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik dilakukan seoptimal mungkin. 4. Tidak sempurna pengangkatan kepala negara (Khilafah) kecuali jika dilakukan oleh sekelompok orang yang hasil pengangkatannya itu diridhai oleh mayoritas kaum Muslim. Adapun langkah-langkahnya adalah:18 1. Penetapan kapan Khilafah harus diganti. Islam tidak menetapkan masa jabatan seorang khilafah. Khilafah kehilangan hak Kekhilafahan jika melanggar syarat-syarat utama sebagai seorang khilafah (Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, dan adil) atau meninggal dunia. Pelanggaran terhadap syarat-syarat ini diputuskan dalam sidang Mahkamah Mazhalim. Jika Mahkamah Mazhalim memutuskan Khilafah saatnya diganti maka dikeluarkanlah keputusan tersebut dan diumumkan kepada publik. 2. Berdasarkan keputusan tersebut, pada saat Khilafah masih hidup, dilakukanlah penjaringan bakal calon khilafah. Hal ini didasarkan pada Ijma Sahabat. Pada saat Abu Bakar dalam keadaan sakit, kaum Muslim menentukan siapa bakal pengganti beliau. Terpilihlah Umar. Akan tetapi, Umar baru dipandang sebagai khilafah setelah dibaiat oleh
17
. www.perisaidakwaha.com di akses pada tanggal 5 Februari 2008.
18
Ibid
kaum Muslim paska kematian Abu Bakar. Demikian pula halnya saat terpilihnya Utsman bin Affan menggantikan Umar bin al-Khaththab. Adapun jika Khilafah meninggal tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu, dan penjaringan dilakukan setelah meninggal Khilafah, maka ditunjuk seorang amir yang mengurusi urusan masyarakat sebagai amir sementara (amir mu'aqqah) hingga dibai’atnya khilafah pengganti. Ketetapan dan teknis praktis menyangkut hal ini perlu ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak.19 Tatacara penjaringan calon khilafah bersifat teknis yang bisa bervariasi. Pada masa Abu Bakar, calon dijaring melalui wakil dari kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu saat menentukan penggantinya, khilafah Abu Bakar yang saat itu merasa sakit keras mengumpulkan beberapa Sahabat besar seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudhair untuk bermusyawarah secara rahasia. Mereka melihat calon khilafah adalah Umar dan Ali. Setelah itu, kedua calon diumumkan kepada seluruh masyarakat. Lalu masyarakat menyetujui Umar sebagai pengganti. Barulah setelah Abu Bakar wafat, para Sahabat membai’at Umar. Lain lagi kondisinya pada saat penggantian Umar. Saat beliau sakit parah, beliau meminta beberapa orang yang disebut Rasul sebagai ahli surga (Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, kecuali Abdullah bin Umar, putranya). Setelah Umar wafat, mereka, selain Abu Thalhah, bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf keliling meminta pendapat publik. Jatuhlah pilihan kepada Utsman dan Ali. Di masjid mayoritas masyarakat memilih Utsman. Beliaupun dibaiat sebagai khilafah. Pada saat pengangkatan Ali paska kematian Utsman, yang ada hanya satu calon. Mayoritas Sahabat dan kaum Muslim membaiat beliau di masjid. Lalu seluruh kaum Muslim lainnya menaatinya. Jadi, merujuk pada Ijma Sahabat tersebut, pihak yang menetapkan bakal calon dan calon itu bisa perwakilan yang mewakili kaum Muslim (Majelis Umat) atau kaum 19
Ibid
Muslim secara umum (lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi). Teknis mana yang akan digunakan kelak, bergantung pada hasil ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak. Yang jelas, itu hanyalah teknis, yang boleh dipilih sesuai dengan keperluan dan sesuai realitas. 3. Tetapkan siapa di antara mereka yang akan dibaiat menjadi khilafah. Cara yang dicontohkan para Sahabat bermacam-macam, seperti disinggung di atas. Langkah teknis mana yang akan diambil, sama saja. Satu hal yang penting disadari adalah prinsip "berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin", misalnya melalui Pemilihan Umum Khilafah untuk mengetahui pilihan umat. 4. Setelah diketahui ada calon khilafah yang mendapatkan suara mayoritas, maka dilakukan baiat terhadapnya oleh wakil kaum Muslim. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat. Pada masa Khulafaur Rasyidin, baiat dilakukan oleh sebagian Sahabat. Ungkapan baiat tidak ditentukan. Yang penting harus mencakup pengamalan al-Quran dan Sunnah Rasulullah oleh Khilafah serta ketaatan dalam keadaan sulit maupun mudah, lapang maupun sempit, dari pihak pemberi bai’at. Setelah terjadinya bai’at in'iqâd berarti khilafah baru telah terpilih. 5. Lakukan bai’at thâ'ah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, penegasan bagi kaum Muslim untuk menaati Khilafah dilakukan dengan pidato kenegaraan. Lalu, para Sahabat yang tidak sempat melakukan baiat in'iqâd menunjukkan ketatannya kepada Khilafah terpilih. Saat sekarang, baiat thâ'ah dapat dilakukan baik lisan maupun tertulis, atau cukup dengan menunjukkan sikap ketaatan, dan lain-lain. Tampak, hal di atas masih memiliki alternatif. Pada masa khilafah berdiri kelak, mekanisme teknis perlu ijtihad dan penetapan oleh ahli ketatanegaraan Islam. Di antara langkah teknis yang dapat ditempuh adalah:20
20
Ibid.
1.
Mahkamah mazhalim menetapkan kapan penggantian khilafah, baik karena khilafah memang layak diganti sesuai dengan hukum syara atau karena meninggal. Bila karena khilafah meninggal maka Majelis Umat menetapkan seorang Amir Sementara, sebut saja Mu'awin Tafwidl (Pembantu Khilafah) yang ditetapkan untuk itu.
2.
Berdasarkan keputusan Mahkamah Mazhalim, Majelis Umat dari kalangan Muslim menjaring bakal calon khilafah. Pencalonan dapat berasal dari partai, ormas, dan lain lain. Bisa saja dibentuk tim yang menangani hal ini. Lalu, berdasarkan syarat-syarat khilafah baik syarat mutlak (syurûth in'iqâd) maupun syarat keutamaan (syurûth afdhaliyah), Majelis Umat membatasi jumlah calon khilafah.
3.
Untuk mengetahui kehendak publik, dilakukan Pemilu untuk memilih Khilafah.
4.
Setelah Pemilu selesai akan diperoleh calon yang mendapatkan suara terbanyak. Berikutnya: a) Jika Khilafah yang sedang memimpin uzur atau tidak dapat menjalankan fungsinya, maka secara resmi Mahkamah Mazhalim menghentikan Khilafah tersebut. Keputusan tersebut dikeluarkan paling cepat dua hari sebelum pembaiatan khilafah baru. Waktu tersebut adalah waktu toleransi maksimal bagi tidak adanya khilafah pengganti. Lalu, khilafah terpilih dibai’at. b) Jika Khilafah sedang sakit keras, calon khilafah tidak dibaiat dulu. Tunggu sampai meninggal. Mahkamah Mazhalim dan atau Khilafah mengumumkan ke publik bahwa orang yang mendapat suara mayoritas itu adalah calon penggantinya. Tinggal membaiat. Jika keadaan sakit kerasnya itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan fungsi Kekhilafahan maka Mahkamah Mazhalim menetapkan kapan kelayakan penggantian Kekhilafahan dengan pembaiatan. c) Jika Khilafah sudah meninggal dunia, Mahkamah Mazhalim mengeluarkan keputusan penghentian amir sementara. Sesaat sesudah itu, dilakukanlah baiat in'iqâd untuk khilafah baru.
5. Majelis Umat melakukan baiat in'iqâd terhadap calon khilafah, yang ditunjukkan dengan adanya proses ijâb dan qabûl. 6. Khilafah baru sudah terpilih. 7. Keesokan harinya dilakukan semacam pidato kenegaraan dari khilafah baru untuk mengenalkan bahwa dia adalah khilafah yang wajib ditaati. 8. Berikutnya, Khilafah dapat menerima ucapan baiat thâ'ah dari masyarakat, baik lisan maupun tulisan. Rakyat yang tidak bisa secara langsung melakukannya, bisa menunjukkannya dalam sikap dan perilaku berupa ketaatan dan ketundukan kepada Khilafah tersebut.
B. Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan Kepala Negara Apa yang ada di dalam al-Qur’an dan sunnah dari hukum-hukum konstitusional dan etika-etika politik dianggap sesuatu yang wajib diikuti dalam pemerintahan Islam (negara Islam). Hal itu mempunyai pengaruh besar dalam membentuk gambaran Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum di dalamnya, juga spesialisasi kewenangan yang berada di dalamnya. Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak Allah dalam bidang politik, karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para penguasa agar menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau etika-etika politik ini, dan agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam pemerintahan, sejauh itu pula hal tersebut menjadi kewajiban atas umat Islam dengan kapasitasnya sebagai kelompok dan kewajiban atas setiap orang yang mampu dengan kapasitasnya sebagai individu, untuk memegang erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya serta mencari penyelesaian padanya.21 Jika kita tidak menemukan kesepakatan antara ulama syariat tentang prinsip-prinsip ini, sebabnya bukan pada perbedaan seputar prinsip-prinsip itu saja, artinya sekitar apakah 21
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah, 2005), Cet. I, h. 1
Islam membawa atau tidak membawa asas itu. Namun, sebab adanya ketidaksepakatan itu adalah menurut kami seputar terikat atau tidaknya dengan urusan-urusan konstitusional atau sistem hukum. Prinsip-prinsip utama menurut sebagian ulama kontemporer dari para ahli fikih syariat22 adalah tidak zalim, adil, musyawarah, dan persamaan. Namun, menurut sebagian ulama lagi adalah keadilan (Al-‘Adalah), musyawarah, dan taat kepada ulil amri terhadap perintah yang disenangi orang mukmin atau yang dibenci, kecuali bila dia memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengarkannya dan taat kepadanya. Ada satu pendapat lain lagi yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip utama itu adalah sebagai berikut :23 1. Musyawarah dalam hal apa saja yang wajib dimusyawarahkan dari urusan-urusan umat Islam. 2. Sikap tidak zalim dari penguasa tertinggi, dari para pemimpin, dan dari bawahannya. 3. Meminta bantuan orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal yang penguasa tertinggi wajib meminta bantuan dalam hal itu. Dr. Abdul Hamid Mutawalli dan Dr. Muhammad Salim Al-Awa sangat sepakat dalam hal prinsip-prinsip utama ini. Dr. Abdul hamid Mutawalli meletakkan di awalnya musyawarah dan keadilan, lalu persamaan dan kebebasan, kemudian tanggung jawab ulil amri. Sementara Dr. Muhammad Salim Al-Awa sama sepertinya, namun dia menambahkan wajib taat.24
1.
Nilai Musyawarah Kata “syura” berasal dari sya-wa-ra, yang secara etimologis berarti “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Sejalan dengan pengertian ini, kata “syura”
22
Abdul Wahalab Khallaf, As-Siyasah Asy-Syar’iyah, cetakan pertama, tahun 1931, h. 19
23
Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 2 Ibid h. 37-38
24
atau dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.25 Mayoritas ulama syariat dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan “musyawarah” sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok diatas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash AlQur’an dan hadits-hadits nabawi. Oleh karena itu musyawarah itu lazim dan tidak ada alasan bagi seseorang pun untuk meninggalkannya.26 Mayoritas ulama fikih dan para peneliti berpendapat bahwa musyawarah adalah prinsip hukum yang bagus. Ia merupakan jalan untuk menemukan kebenaran dan mengetahui pendapat yang paling tepat. Al-Qur’an memerintahkan musyawarah dan menjadikannya sebagai satu unsur dari unsur-unsur pijakan negara Islam. Adapun yang dimaksud dengan “musyawarah” dalam istilah politik adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Jika hak partisipasi rakyat ini tidak ada dalam masalah-masalah hukum, maka sistem hukum itu adalah sistem hukum dikatatorial atau totaliter. Jika dinisbatkan kepada sistem Islam, maka kediktatoran itu diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan akidah dan syariat. Ibnu Taimiyah berkata: “Pemimpin tidak boleh meninggalkan musyawarah sebab Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dengan hal itu. Al-Qurtubi menukil dari Athiyah sebagaimana dinukilkan juga oleh Abu Hayyan dalam Al-Bahru Al-Muhith: “Musyawarah termasuk salah satu kaidah-kaidah syariat dan sendi-sendi hukum. Pemimpin yang tidak
25
M.Quraishal Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 469
26
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam h. 35
bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka wajib diberhentikan. Ini ketentuan yang tidak ada yang membantahnya.27 Ada tiga ayat yang menyebutkan secara jelas akan adanya musyawarah, dan setiap satu dari dua ayat itu mempunyai petunjuk masing-masing. Pertama, firman Allah SWT dalam surat al-Imran/3 ayat 159:
☺ ⌧
☺
⌧ ⌧ ⌧ ☺
Artinya : “ Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesunguhnya Allah mencintai orang yang bertawakal (Q.S: al-Imran/3 ayat 159). Kedua firman Allah dalam surat asy-Syura/42 ayat 38:
☺ Artinya: “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S Asy-Syura ayat 38).
Kemudian nilai musyawarah yang terkandung dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 233:
⌧ ☺
27
Ibid
☺
⌧
⌧ ☺ ☺
Artinya; “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi Yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban bapak menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik. seseorang tidak dibebani lebih dari kemampuannya. Janganlah seseorang ibu itu menderita karena anaknya, dan (jangan juga seseorang bapak itu menderita karena anaknya; dan ahli waris juga menanggung kewajiban seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran, dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al-Baqarah/2 ayat 233).
Sepintas terkesan bahwa ayat yang berbicara tentang musyawarah sangat sedikit dan itu pun hanya bersifat sangat umum dan global, al-Qur’an memang tidak membicarakan masalah ini lebih jauh dan detil. Kalau dilihat secara mendalam, hikmahnya tentu besar sekali. Al-Qur’an hanya memberikan seperangkat nilai-nilai yang bersifat universal yang harus diikuti umat Islam. Sementara masalah cara, sistem bentuk dan halhal lainnya yang bersifat terknis diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai dengan kebutuhan mereka dan tantangan yang mereka hadapi. Jadi, al-Qur’an menganut prinsip bahwa untuk masalah-masalah yang bisa berkembang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik umat Islam, maka al-Qur’an hanya menetapkan garis-garis besarnya saja. Seandainya masalah musyawarah ini dijelaskan al-Qur’an secara rinci dan
kaku, besar kemungkinan umat Islam akan mengalami kesulitan
ketika berhadapan
dengan realitas sosial yang berkembang.28
2.
Nilai Keadilan Kata dasar adil berasal dari kata Arab ‘adl yang berarti lurus, keadilan, tidak berat sebelah, kepatutan, kandungan yang sama, kata kerjanya, ‘adala, ya’dilu, berarti berlaku adil, tidak berat sebelah dan patut, sama, menyamakan, berimbang dan seterusnya.29 John Penrice dalam Dictionary and Glosary of the Qur’an menjelaskan bahwa kata kerja ‘adala dalam al-Qur’an mempunyai berbagai arti. Ia dapat berarti mengurus dengan adil, menegakkan keadilan (Q.S. as-Syura: 14), menyimpang dari keadilan (Q.S an-Nissa: 134), memandang sama (Q.S al-An’am: 1), membayar dengan sama (Q.S. al-An’am: 69) menyocokkan dengan benar (Q.S. al-Infithar: 7). Sementara itu, kata al-‘adl dalam Al-Qur’an menurut al-Baidhawi bermakna “pertengahan dan persamaan, sedangkan Sayyid Quthub menekankan atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan baginya bersifat inklusif, tidak eksklusif untuk golongan tertentu, sekalipun seandainya yang menetapkan keadilan itu orang muslim untuk orang non-muslim.30 Allah SWT menjadikan al-’adl (berlaku adil) dan Al-Qisth sama artinya sebab hal itu merupakan dasar setiap apa yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dari nilai-nilai menyeluruh dan kaidah-kaidah umum dalam syariat-Nya. Hal itu adalah sistem Allah dan syariat-Nya, dan atas dasarnya dunia dan akhirat manusia akan beruntung. Di dalam Al-Qur’an nilai keadilan di jelaskan di dalam surat AnNisaa’/4 ayat 58
28
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), h. 186
29
Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 82
30
Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), (Jakarta;RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. I, h. 225
⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺
⌧
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyerahkan Segala jenis amanah kepada ahlinya (yang berhak menerimanya), dan apabila kamu menjalankan hukum di antara manusia, (Allah menyuruh) kamu menghukum Dengan adil. Sesungguhnya Allah Dengan (suruhanNya) itu memberi pengajaran Yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah sentiasa Mendengar, lagi sentiasa Melihat”. (Q.S. an-Nisaa’/4: 58). Ayat yang turun tentang ulil amri ini menerangkan
bahwa mereka
harus
menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, yaitu perkara umum yang harus dilaksanakan oleh penguasa.31 Dan apabila mereka menetapkan hukum diantara manusia, dia harus menetapkannya dengan adil. Kesimpulannya bahwa tujuan penguasa dengan keputusannya tersebut adalah memberikan hak kepada yang berhak. Perhatian al-Qur’an dengan mengukuhkan prinsip “berlaku adil” di antara manusia, baik dalam ayat-ayat makkiyah atau ayat-ayat madaniyah, dan peringatan alQur’an terhadap lawannya, yaitu “berlaku zalim” dalam ayat-ayat makkiyah atau ayat madaniyah, tampak jelas secara umum atau secara khusus, terhadap orang yang kita sukai atau orang yang kita benci, baik dalam keadaan damai atau dalam keadaan perang, baik dalam perkataan atau dalam perbuatan, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain. Dengan demikian jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah manhaj Allah dan syariat-Nya. Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia
31
Lihat Al-Mawardi Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, (Kairo: Daar al-Hadits, 2006), hal. 40, disana ia berkata: “Dan yang harus dilakukan oleh pemimpin dari perkara-perkara umum ada 10 macam; 1) memelihalara agama berdasarkan dasar-dasar yang baku, 2) melaksanakan hukum, 3) menjaga kehalormatan Negara, 4) menegakkan sanksi, 5) membela, 6) berjihad melawan orang yang memusuhi Islam setelah memperingatkannya, 7) menarik pajak dan mengumpulkan sedekah, 8) membagikan apa yang harus dibagi dari baitul mal, 9) meminta pendapat kepada orang-orang yang terpercaya dan mengikuti saran para penasihat, 10) memantau langsung segala perkara dan situasi agar dia dapat melaksanakan dengan benar politik umat dan memelihara agama.
berlaku adil.32 Adil adalah tujuan dalam Negara Islam, adil adalah menegakkan agama dan mewujudkan kemaslahatan rakyat dan sebagai bukti sebaik-baik umat.
3.
Nilai Persamaan Sesungguhnya Islam telah membuat dasar-dasar sistem politik musyawarah yang menerapkan nilai persamaan sebelum Barat mengenalnya dan menyebutkannya dalam perundang-undangan sejak lebih dari 14 abad silam.
Begitu juga dengan “nilai
musyawarah”, dimana undang-undang positif tidak mengenalnya kecuali setelah revolusi Perancis, selain undang-undang Inggris yang telah mengenalnya di abad ke-17 dan ditetapkan oleh Undang-undang Amerika setelah pertengahan abad ke-18. Syariat Islam berbeda dengan yang lainnya dalam menetapkan persamaan hak secara mutlak yang tidak diputuskan kecuali sesuai dengan keadilan. Maka tidak ada ikatan dan tidak ada pengecualian. Persamaan hak adalah persamaan yang sempurna antara individu rakyat. Dalam prakteknya nilai persamaan dapat dilihat dari peristiwa hijrahnya Nabi ke Madinah. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah dan kemudian membuat perjanjian tertulis, beliau menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan piagam tentang nilai persamaan ini dapat dilihat pada beberapa pasal Piagam Madinah, diantaranya : 1. Dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka (pasal 16). 33
32 33
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 204
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi V, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 12
2. Dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini (pasal 46).34 Ketetapan ini berkaitan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin. Ketetapan tersebut disamping bersifat umum juga bersifat khusus, yaitu persamaan akan hak hidup, hak keamanan jiwa, hak perlindungan baik laki-laki maupun perempuan, dan baik golongan Islam maupun golongan non-muslim. Dengan begitu Piagam Madinah tidak mengenal kategori dikotomi di antara manusia. Golongan Islam dan penduduk lain samasama diakui hak-hak sipilnya, tidak satu golongan pun yang diistimewahkan.35 Nilai persamaan manusia diperkuat pula oleh Nabi dengan sabdanya:“Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena takwanya”.36 Hadits ini menerangkan bahwa dari segi kemanusiaan tidak ada perbedaan antara seluruh manusia, sekalipun mereka berbangsa-bangsa atau berbeda warna kulit. Umat manusia seluruhnya adalah sama. Keutamaan masing-masing terletak pada kadar takwanya kepada Tuhan.37 Persamaan seluruh umat manusia juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya, surat an-Nisaa’/4 ayat 1: 34
Ibid., h. 15
35
Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), h. 151 36
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Badhrat (al-Mundzir bin Malik). Lihalat Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Jilid V, hlm. 441. 37
Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), h. 153
……
☯
⌧
Artinya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak”…...(Q.S. an-Nisaa’/4 ayat 1). Implementasi nilai persamaan dalam perspektif Piagam Madinah dan Al-Qur’an pada hakikatya bertujuan agar setiap orang atau golongan menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak. Nilai persamaan juga akan menimbulkan sifat tolong-menolong dan sikap kepedulian sosial antara sesama, serta solidaritas sosial dalam ruang lingkup sosial yang luas.
C. Konsep
dan
Teori
Pelaksanaan
Pengangkatan
Kepala
Negara
dalam
Ketatanegaraan Islam Lembaga kepala Negara dan pemerintahan di adakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat Islam
adalah wajib menurut Ijma. Akan tetapi, dasar kewajiban itu
diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat?38 Jika kepemimpinan ini wajib diadakan maka kewajibannya adalah wajib kifayah, seperti berjihad dan mencari ilmu pengetahuan, jika ada orang yang menjalankannya dari kalangan orang yang berkompeten maka kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak ada seorang pun menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia; pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih kepala Negara bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin Negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu.
38
Imam Al-Mawardi, Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, h. 15
Adapun orang-orang selain dua kelompok ini tidak berdosa dan tidak bersalah atas penundaan pengangkatan kepala Negara. Jika individu-individu (yang bertugas melakukan pengangkatan kepala Negara) dari dua kelompok ini telah diketahui maka masing-masing mereka harus memenuhi kriteria dan kredibilitas pribadi yang ditetapkan bagi orang-orang yang menjalankan tugas itu. Mereka yang berhak memilih harus mempunyai tiga syarat berikut ini:39 1. Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan (al-‘adalah) memenuhi semua kriteria. 2. Ia mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dengan syarat-syaratnya. 3. Ia mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat. Orang yang berdomisili di wilayah yang sama dengan domisili kepala Negara tidak mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan orang-orang yang tinggal di wilayah lain, namun mereka itu biasanya dapat terlibat dalam pengangkatan kepala Negara sebelumnya, juga karena orang yang pantas memangku jabatan kepala Negara biasanya berada di wilayah itu. Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khilafah, syara’ pun ternyata telah menggariskan thariqah, metode (konsep) yang harus ditempuh untuk mewujudkannya. Metode ini ditegaskan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.40 Di bawah ini merupakan beberapa konsep dan teori pengangkatan kepala Negara dalam Islam; 1. Bai’at Bai’at adalah suatu kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, sekaligus merupakan hak setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan kewajiban bai’at tersebut
39 40
Ibid., h.17
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), (Bangil Jatim: AlIzzah, 1997), cet. I, h. 88
didasarkan pada hadits-hadits Nabi, diantaranya ialah Sabda nabi Muhammad SAW: “Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at (kepada Khilafah), maka matinya dalam keadaan seperti mati jahiliyah”. (H.R. Imam Muslim).41 Secara etimologis bai’at dapat diartikan seperti pendapat Ibnul Maudzur mengemukakan, baaya’ahu, mubaaya’ah, biyaa’ berarti menawarkannya dengan penjualan. Bai’at adalah transaksi jual beli, pembaiatan, dan kesetiaan. Muchtar AsSihah menjelaskan, secara etimologis, bai’at berkisar antara jual beli dan jaminan. Baiat berarti perjanjian, kesetiaan, jual beli dan jaminan. Dalam hal ini, Ibnu Hajar menjelaskan orang yang membaiat penguasa telah memberikan kesetiannya dan mengambil pemberian dari orang yang dibaiatnya. Ada perbedaan arti baiat dengan lafadz-lafadz lain yang artinya berdekatan seperti mitsaaq (perjanjian), qasam (sumpah), dan hilf (perjanjian/sumpah).42 al-‘Ahd
(perjanjian)
berarti
menjaga
dan
melestarikan
sesuatu
secara
berkesinambungan. al-Mitsaaq (perjanjian) berarti akad/transaksi yang dikuasakan dengan sumpah dan perjanjian. al-Yamin (sumpah) berarti tangan kanan yang dipinjam sebagai arti sumpah, sebab tangan kananlah yang digunakan oleh orang yang melakukan perjanjian dan sumpah. al-Hilf (perjanjian) berarti perjanjian diantara kaum. al-Qasam (sumpah) berarti sumpah yang dilakukan oleh para kerabat orang yang terbunuh untuk menuntut darah si pembunuh, kemudian ia menjadi nama untuk semua sumpah. Sedangkan menurut istilah syara, arti bai’at sebagaimana di terangkan para ulama adalah perjanjian (mu’ahadah), hal ini dijelaskan oleh Nawawi dan Ibnu Hajar. Menurut Ibnu Hazm baiat adalah transaksi (akad), kepemimpinan (imamah), dan kesetiaan, sedangkan menurut Ibnu Katsir dan Thabari berarti mitsaaq (perjanjian).
41
42
Ibid, h.84
Dr. Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan rakyat (Dalam Perspektif Sunnah ), (Jakarta; Gema Insani Press), Cet. Pertama, h. 152
Pelaksanaan baiat terdiri dari dua, yaitu baiat khusus dan baiat umum. Baiat khusus adalah baiat untuk tetap setia dalam kasus khusus yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain. 2. Ahl al-Hal wa al-‘Aqd Secara harfiyah, ahl al-hal wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Istilah ahlul hilli wal aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli dan ahli fiqih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berada di antara orang-orang yang dinamakan dengan Ash-Shahabah. Realitanya, masalah “kelompok ahlul Hilli wal Aqdi dan pemilu, adalah seperti masalah kekhilafahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal itu tidak termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah atau keyakinan, tetapi termasuk adat.43 Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya sebutan kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dalam turats fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Ahlul Ikhtiyar, yang para khilafah selalu merujuk kepada mereka dalam perkaraperkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mereka mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khilafah juga memberhentikannya, menguatkan kekuasaan besar yang dimiliki kelompok ini (ahlul Hilli wal Aqdi) dan jelas menujukkan bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif. Metode pemilihan kepala Negara dalam Islam termasuk masalah-masalah yang mempunyai bentuk politik konstitusional yang terpengaruh dengan kondisi dan keadaan masyarakat juga perubahan-perubahan zaman. Di dalam masalah ini adalah bahwa rakyat yang memiliki kekuasaan dalam memilih pemimpin, sementara Ahlul Hilli wal Aqdi mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat, tetapi memiliki kapabilitas untuk memikul tanggung jawab memilih pemimpin. Di dalam karangannya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah,
43
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 79
Al-Mawardi menjelaskan mengenai masalah ini bahwa berada di hadapan satu gambaran dari beberapa gambaran pemilu “Apabila Ahlul Hilii wal Aqdi berkumpul untuk memilih, mereka meneliti keadaan orang-orang yang berhak menjadi pemimpin yang sudah masuk kriteria, lalu mereka mengajukan orang yang terbaik dan yang paling sempurna kriterianya untuk disumpah, mengajak rakyat untuk taat kepadanya dan tidak menahan diri dari membaiatnya”.44 Di dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi Negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah. Perkara ini mendorong para pakar di bidang perbandingan antara undangundang konstitusional modern dan fikih politik Islam untuk mengatakan bahwa dewandewan parlementer sama dengan Majelis Permusyawaratan atau ahli syura dalam Islam. Persyaratan yang harus dimiliki oleh Ahlu Hilli wal Aqdi, Al-Mawardi berkata di dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengenai ahlul ikhtiyar, syarat-syarat yang layak dipertimbangkan
berkenaan
dengan
mereka
ada
tiga,
kemudian
Al-Mawardi
menerangkannya sebagai berikut:45 a) Keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya, yang dimaksud dengan keadilan adalah istiqamah, integritas (amanah), dan sifat wara’, atau dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaan dan akhlak yang mulia.
44 45
Imam Al Mawardi, Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, h. 25 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politk Islam, (Jakarta;Gema Insani Press 2001), Cet. I, h. 177
b) Kapabilitas keilmuan yang dengannya ahlul Hilli wal ‘Aqdi dapat mengetahui orang yang berhak menjadi imam dan yang sesuai dengan syarat-syarat yang menjadi bahan pertimbangan. c) Memiliki sikap dan kebijaksanaan (al-hikmah) yang akan mendorong memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih tepat dapat mewujudkan kemaslahatan umum. Itulah syarat-syarat bagi ahlul ikhtiyar, dapat dicermati bahwa dalam syarat-syarat tersebut tidak terdapat syarat material seperti seorang ahlul ikhtiyar mesti memiliki harta atau property tidak bergerak dalam jumlah tertentu. Imam An-Nawawi sempat menyinggung juga tentang ahlul hilli wal Aqdi dalam bukunya Al-Minhaj, bahwa mereka adalah para ulama, pemimpin-pemimpin, dan pemuka-pemuka rakyat, yang mudah dikumpulkan, lebih ringkas An-Nawawi memahami bahwa yang dimaksudkan ulama adalah para pemimpin umat, atau individu-individu umat yang paling menonjol, ataupun juga orang yang mewakili kepentingan umat.46 3. Sistem Putera Mahkota Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan sistem Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khilafah.47 Kalau khilafah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khilafah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada Umar bukan merupakan wilayatul ahdi (pewarisan kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar di bai’at setelah beliau wafat.
46
Ibid, h. 178
47
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahalan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), h. 110
Di samping itu, Abu Bakar sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk menyelesaikan
urusan tersebut sebagaimana nampak dalam khutbahnya, beliau
mengantungkan pelaksanaan urusan tersebut kepada ridla kaum muslimin, ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menerapkan pendapatnya untuk menunjuk pengganti beliau sembari berkata; “Apakah kalian menerima orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku (dalam memimpin) kalian? Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin”.48 Atas dasar ini pula Umar bin Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khilafah, dimana keenam-enamnya memiliki hak untuk memilih dan dipilih, sedangkan Abdullah hanya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih, sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi (putera mahkota). Berbeda dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam. Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas munkar tersebut yaitu melakukan wilayatul ahdi adalah :49 a) Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khilafah. b) Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya (memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah memberikan hak pemilihan khilafah kepada umat, dan hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau memberikan kebebasan kepada kaum muslimin memilih orang yang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua Negara tersebut 48
Ibid
49
Ibid, h. 111
pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah. c) Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti problem yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum agar sesuai dengan problem-problem yang ada. Padahal semestinya, dia harus mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesai masalah-masalah pada zamannya tersebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi perubahan penggantian bahkan pemutarbalikan terhadap hukum-hukum Islam. Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha telah menetapkan bahwa pembolehan tercapainya keimamahan dengan cara menentukan putera mahkota dapat dijustifikasi dengan ijma ulama. Al-Mawardi berkata, “Mengenai terlaksananya keimamahan dengan penunjukkan yang dilakukan oleh khilafah atau raja adalah hal yang telah
tercapai
ijma/kesepakatan
untuk
pembolehannya,
dan
telah
disepakati
keabsahannya, yaitu dengan dua perkara yang telah dilakukan oleh kaum muslimin dan mereka tidak saling berselisih.50 Ijma yang pertama adalah bahwa Abu Bakr r.a telah menurunkan kekhilafahan kepada Umar r.a dan kaum muslimin mengakui keimamahan Umar dengan penujukkan yang dilakukan Abu Bakr. Ijma yang kedua, yaitu bahwa Umar r.a telah mewariskan keimamahan kepada tim permusyawaratan (ahli syura). Para ahli
50
Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politk Islam, h. 183
syura tidak menolak untuk masuk
ke dalam
tim ini, padahal mereka merupakan
petinggi-petinggi masyarakat di kala itu.
D. Pelaksanaan Pemilu dalam Pandangan Ulama Kontemporer Keseluruhan para pemimpin dan sarjana Islam, gerakan Islam di seluruh dunia dimulai dari Asia Tenggara sampai Afrika Barat yang lahir melalui gerakan pembaharuan, berijtihad ikut serta melaksanakan pemilihan umum yang merupakan ajaran demokrasi Barat. Walaupun mereka tahu demokrasi merupakan warisan penjajah, tetapi mereka mendukung mewujudkannya selepas para penjajah meninggalkan negeri mereka. Kita tahu bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan syarat tegaknya Negara demokrasi, Islam memandang bahwa pemilihan kepala Negara sama halnya dengan pemilihan Imam dalam pelaksanaan Shalat. Melihat strategisnya jabatan kepemimpinan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, maka proses pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum menjadi sangat strategis pula.51 Berbicara dari sudut kepentingan ummat, maka kepemimpinan umum ini baik legislatif, dan eksekutif maupun yudikatif sangat menentukan perjalanan ummat dan sejarah di beberapa Negara Islam. Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama rukun dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.52 Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau SAW. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12
51
52
Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 56
A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman, Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), (Bogor: AlAzhar Press,2004), Cet. I, h. 1
orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah melakukan aktivitas wakalah.53 Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak belakang dan bertentangan. Oleh karena itu di bawah ini akan dikelompokkan kepada dua kelompok ulama kontemporer yang mengkaji mengenai pemilihan umum , pertama mereka yang menganggap pemilu dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Islam, dan kedua mereka yang menolak pelaksanakan pemilu didalam pemerintahan Islam. 1. Kelompok Yang Menerima Pelaksanaan Pemilu dalam Pemerintahan Islam Pada dasarnya penerapan syariat Islam dalam bentuk konstitusi dan perundangundangan Negara merupakan tanggung jawab terbesar kaum muslimin. Selain karena alasan normatif, penerapan syariat Islam dalam lingkup Negara diyakini sebagai satusatunya jalan keluar bagi seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam dari berbagai problem yang menimpa mereka. Penerapan Islam dan Negara Islam adalah dua sisi yang tidak mungkin dipisah-pisahkan lagi. Sebab, Islam tidak pernah mempertentangkan atau mengkonfrontasikan hubungan antara Negara dan agama. Negara dan agama adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dibagi-bagi lagi. Pemerintahan dan Negara merupakan bagian dari ajaran Islam yang mengatur hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Mesti dipahami bahwa mengurusi urusan rakyat (pemerintahan/Negara) merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan, agama ini tidak akan mungkin bisa tegak tanpa adanya Negara. Iman al-Ghazali menegaskan, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan suatu perkara ketika Negara tidak lagi memiliki imam dan peradilan telah rusak.54
53
Ibid
54
Ibid
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala Negara, Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul fatwa-fatwa kontemporer, beliau mengutarakan bahwa penguasa menurut pandangan Islam merupakan wakil umat atau pelayan umat, maka di antara hak yang mendasar bagi umat ialah mengoreksi sang wakil dan melepas atau menarik wewenang perwakilannya jika mereka menghendaki.55 Lebih-lebih jika penguasa menyelewengkan wewenangnya dan mengabaikan kewajibannya. Lebih jauh Qardhawi mengatakan tidak ada larangan dalam syara’ untuk mengutip idea atau teori dan praktik dari kalangan non-muslim, karena Nabi SAW, sendiri pada waktu perang Azhab telah mengambil gagasan “mengali parit” sebagai suatu uslub (cara) yang biasa dipakai orang Persia. Beliau juga memanfaatkan tawanan-tawanan musyrikin dalam perang Badar yang mengerti tulis baca untuk mengajar tulis baca kepada anak-anak kaum muslimin.56 Kemudian Imam Qardhawi melihat peraturan seperti pemilihan umum atau pemungutan suara, maka menurut pandangan Islam hal itu merupakan “pemberian kesaksian” terhadap kelayakan si calon. Oleh sebab itu, pemberi suara haruslah memenuhi syarat sebagaimana halnya saksi, yaitu adil dan baik perilakuknya sehingga diridhai orang banyak. Maka barangsiapa memberikan kesaksian terhadap seseorang bahwa ia orang yang saleh padahal orang itu bukan orang saleh, berarti ia telah melakukan dosa besar, karena memberikan kesaksian palsu. Disisi lain, barangsiapa yang tidak mau memberikan suaranya dalam pemilihan sehingga orang yang berkelayakan dan terpercaya (jujur) mengalami kekalahan, sedangkan orang yang tidak layak dan tidak
55
Dr. Yusur Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer (jilid II), (Jakarta ; Gema Insani Press, tt.) h. 929
56
Ibid
memenuhi syarat sebagai orang “kuat dan terpecaya” mendapatkan kemenangan, berarti dia telah menyembunyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat.57 Kemudian Imam Hasan al-Banna berpendapat Daulat Islam di dalam Islam terbentuk dari tiga kaedah pokok yaitu bentuk dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Kaedah-kaedah tersebut ialah:58 a) Tanggung jawab pemerintah di hadapan Allah dan manusia. b) Kesatuan umat Islam atas dasar akidah Islam. c) Menghormati kehendak umat dengan mewajibkan bermusyawarah, mengambil pendapat dan menerima perintah serta larangan umat. Apabila kaedah-kaedah ini telah mencukupi pada Negara ia maka ia termasuk ke dalam ketegori Negara Islam meskipun apa dan bagaimana bentuknya, karena nama dan bentuknya sudah tidak memberi arti lagi. Lebih jelas lagi Imam Hassan Al-Banna memberi fatwa bahwa pemilihan umum dapat dilaksanakan asalkan dengan menggunakan sistem Islam, seperti melakukan musyawarah, berlaku adil, dan lain-lain. Satu lagi ulama kontemporer yang membolehkan pelaksanaan pemilihan umum adalah Haji Abdul Hadi Awang seorang ulama Malaysia, beliau berpendapat “Oleh karena tidak ada dalil yang menentukan pemimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad, pemilihan dilakukan dikalangan para sahabat. Cara pemilihan pula berubah di kalangan empat Khulafaur Rasyidin karena mereka melakukan berdasarkan keadaan dan pendapat umum”.59 Menurutnya pelaksanaan pemilihan umum adalah konsep pemilihan yang juga wajib dalam pelaksanaan demokrasi.
57
Ibid, h. 930
58
Dr. Muhalammad Abdul Qadir Abu Faris, Fiqh Siasah (menurut Imam Syahid Hassan Al-Banna), (Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada, 2000), Cet. I, h. 74 59
Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika, 2007), Cet. I, h. 151-152
Kemudian kumpulan ulama Malaysia dari Partai PAS yang diketuai oleh Dato Haji Husain Awang yang menjabat sebagai ketua dewan ulama PAS Negeri Terengganu telah bermusyawarah bersama-sama dan menyepakati bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan menegakkan hukum syara, karena dengan adanya pemilihan umum maka pemerintahan Islam dapat dijalanakn. Lebih lanjut pemerintahan Islam itu adalah berbentuk “khilafah” atau “imarah mukminin” atau pun disebut juga sebagai “imamatul uzma”. Ia merupakan sebuah pemerintahan yang berdasarkan kepada syaraiah islamiah sama ada dari aspek perlembagaan, undang-undang, ekonomi dan lain-lain.60 2. Kelompok Yang Menolak Pelaksanaan Pemilu dalam Pemerintahan Islam Di dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam faktanya diantara sistem Islam dengan sistem demokrasi berbeda baik dari segi asas, prinsip, maupun tujuan–tujuannya saling bertolak belakang dan bertentangan. Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiliki beberapa fungsi salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Di dalam pemilihan umum biasanya menentukan orang-orang yang akan duduk di parlemen, ketidak bolehan kaum muslim berkecimpung di dalam parlemen, tidak boleh dipahami sebagai masalah ijtihadiyah. Sebab, dalil-dalil yang mengharamkan memasuki dan berkecimpung di dalam parlemen (dengan sistem seperti saat ini) dilalahnya adalah pasti. Disebut persoalan ijtihadiyah jika persoalan tersebut diistinbatkan dari dalil-dalil yang bersifat dzanniyah, sehingga masih membuka ruang untuk perbedaan pendapat dan interpretasi. Namun, jika suatu masalah diistinbathkan dari dalil-dalil yang qath’i maka ia tidak lagi disebut sebagai persoalan ijtihadiyah. Sebab, persoalan seperti ini (qath’i) tidak membuka ruang untuk perbedaan pendapat dan interpretasi. Perbedaan pendapat dalam wilayah qath’i merupakan perbedaan yang
60
Tazkirah Pilihan Raya, “Islam (Tuntutan dan Kewajiban), tt, tp, h.137
dilarang dalam agama Islam (ikhtilaaf tadldlad). Adapun dalil-dalil yang mengharamkan kaum muslimin berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah sebagai berikut.61 Pertama, larangan duduk di majelis yang mempermainkan dan mendustakan ayatayat Allah SWT. al-Qur’an telah menyatakan dengan jelas dalam Q.S al-An’am/6 ayat 68:
⌧ ⌧
Artinya: “Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu”. (Q.S Al-An’am/6 ayat :68).
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’/4 ayat 140:
⌧ ⌧ ⌧
☺ ⌧ ☺
Artinya: “Dan sungguhnya ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini, “Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan ini, sebab jika kalian melakukan seperti itu, maka kamu seperti mereka”. (Q.S. AnNisaa’/4: 140).
61
A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), h. l.43
Ayat-ayat ini dilalahnya qath’iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan bahwa, orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah dan mengingkari ayat-ayat Allah, telah terjatuh perbuatan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok dan mengingkari ayat Allah, ditujukan (diindikasikan) dengan firman-Nya, sebab jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka” (Q.S An-Nisaa’ ayat 140). Sesungguhnya, sistem aturan yang ada di parlemen dan pemilu merupakan penghalang terbesar bagi kaum muslim untuk berkecimpung di dalamnya. Sebab, sistem aturan tersebut akan memaksa siapa saja yang ada di dalamnya untuk tunduk pada aturanaturan kufur. Kedua, ada larangan untuk berhukum dengan aturan yang tidak lahir dari aqidah Islam. Pada dasarnya, sistem aturan yang mengatur pemilu dan parlemen sama sekali tidak lahir dari aqidah Islam. Seluruh aturannya muncul dari paham sekulerisme dan demokrasi yang sangat bertentangan dengan Islam. al-Qur’an telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa, pihak yang berhak menetapkan aturan hanyalah Allah SWT. Allah SWT berfirman di dalam surat al-An’am/6 ayat 57:
……….. ⌧ Artinya: “……….Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (Q.S al-An’am/6 ayat 57). Ketiga, fakta-fakta pemilu dan parlemen yang berlangsung saat ini adalah faktor yang menghalangi kaum muslimin untuk terlibat di dalamnya. Sebab, fakta-fakta parlemen kita dan pemilu sekarang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam. Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika engkau melihat orang-orang kafir mempermainkan al-Qur’an dengan kebohongan dan kedustaan, dan olok-olok, maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka
sampai mereka mengalihkan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olok dan pendustaannya”.62 Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi SAW dan al-Qur’an,orang-orang musyrik itu lantas mencela dan mempermainkan”. Setelah itu, Allah SWT memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka mengalihkan kepada pembicaraan lainnya (Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, Juz II, h.437).63 Dan diantara ulama yang paling keras dalam menentang pemilu dan mendasarkannya kepada demokrasi adalah Syaikh Abu Muhammad Ashim Al-Maqdisiy di dalam karya ilmiahnya yang berjudul Syirik Demokrasi Menghantam Islam (Demokrasi Adalah Agama Syirik Baru), beliau mengatakan bahwa: Demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat jelek, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan hukum. Rakyat dalam paham demokrasi adalah diwakili oleh para wakilnya (para anggota dewan), setiap kelompok (organisasi), atau partai, atau suku memilih tuhan buatan dari arbaab yang beragam asal usulnya untuk menetapkan hukum dan perundangundangan sesuai dengan selera dan keinginan mereka, namun ini sebagaimana yang sudah diketahui sesuai dengan rambu-rambu dan batasan undang-undang yang berlaku. Diantara mereka ada yang mengangkat (memilih) sembahan dan pembuat hukumnya sesuai dengan asas dan idelogi baik itu tuhan dari partai fulan, atau tuhan dari partai itu.64 Dan ulama yang memberikan komentar tentang dilarangnya penyelenggaraan pemilu adalah Syaikh Muqbil, beliau melarang secara mutlak keikutsertaan dalam pemilu,
62
63
64
A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), h. 21
Ibid
Syaikhal Abu Muhammad Ashim Al-Maqdisiy, Syirik Demokrasi Menghantam Islam (Demokrasi Adalah Agama Syirik Baru), (t.p. t.t), h. 32
dengan alasan pemilu dan demokrasi merupakan sistem yang mengandung berbagai macam kebatilan bahkan kekufuran.65
3. Pendapat Penulis Mengenai Penyelenggaraan Pemilu Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum asal pelaksanaan pemilu adalah mubah, akan tetapi menurut pendapat kami sendiri adalah sebuah kewajiban dimana kita sebagai makhluk ciptaan Allah diperintahkan untuk membentuk sebuah Negara sehingga dengan Negara itu akan terwujud sebuah nilai-nilai musyawarah, keadilan serta menanamkan perasaan tidak membeda-bedakan antar suku, ras, golongan (persamaan). Pada dasarnya kita dapat menerima konsep demokrasi dimasukan kedalam nilainilai ketatanegaraan Islam, keistimewaan demokrasi ialah bahwa sistem ini dicelah-celah perjuangannnya yang panjang menghadapi para penguasa, raja, dan pemerintahan yang zalim dapat mengambil berbagai bentuk dan wasilah yang hingga kini dianggap paling efektif untuk melindungi rakyat dari kesewenangan-wenangan penguasa. Selain itu penulis melihat bahwa Islam lebih mencintai jalur damai dalam melaksanakan pemerintahan, tidak dengan jalan kekerasan dalam membentuk pemerintahan dan kita di perintahkan untuk melakukan musyawarah, dan pemilu menurut penulis adalah salah satu ijtihad dalam pelaksanaan pemilihan umum baik itu untuk menentukan kepala Negara maupun lembaga perwakilan. Dalam dasar hukum pelaksanaan pemilihan umum, penulis tertarik dengan pendapat kelompok pertama yang membolehkan seperti Yusuf Qardhawi beliau mengisyaratkan pelaksanaan pemilihan umum seperti halnya persaksian. Dimana pemberian kesaksian dilakukan kepada kelayakan si calon yang akan kita pilih untuk duduk di pemerintahan. Kemudian sandaran yang kedua bahwa tidak ada nash yang qathi
65
www.perisaidakwah.com di akses pada tanggal 5 Februari 2008.
yang mengharamkan pelaksanaan pemilu, maka sewajarnya umat Islam mengambil sikap untuk meninggikan syariat hukum Islam dan Negara, kemudian penulis juga melihat kondisi sosial di Malaysia yang memberi peluang kepada semua partai untuk menyuarakan visi dan misi sehingga rakyat dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani mereka.
BAB III PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM DI MALAYSIA OLEH SURUHANJAYA PILIHAN RAYA
A. Sistem Pemilihan Umum di Malaysia 1. Sejarah Pemilihan Umum di Malaysia Malaysia merupakan sebuah Negara Kerajaan yang mengamalkan sistem demokrasi. Di dalam Negara yang mengamalkan sistem demokrasi sudah semestinya terdapat unsur-unsur demokrasi seperti, perlindungan terhadap hak asasi manusia, pelaksanaan pemilihan umum dan lain-lain. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, maka Malaysia yang menganut sistem demokrasi itu harus melaksanakan pemilihan umum yang dilaksanakan secara bebas dan bersih.
Pemilihan umum diadakan untuk membolehkan rakyat menggunakan hak mereka dalam menentukan sebuah kerajaan (pemerintahan) yang pada pandangan mereka dapat memerintah dengan baik serta dapat memenuhi kehendak rakyat. Melalui pemilu ini partai yang paling banyak mendapat suara rakyat berhak menggunakan mandat itu untuk membentuk sebuah pemerintahan yang akan memerintah selama satu periode, yaitu selama lima tahun.66 Setelah habis satu masa (periode) tersebut maka pemilihan umum dilakukan kembali, untuk memberi mandat kepada partai yang memenangkan dalam pemilu tersebut, untuk memerintah pada periode berikutnya. Dilihat dari sejarahnya bahwa keikutsertaan rakyat dalam sistem pemilihan perwakilan telah ada jauh sebelum Negara Malaysia merdeka, yaitu pemilihan untuk pertama kalinya dilakukan di negeri bagian Pulau Pinang dengan dibentuknya pejabat sementara yang dinamakan Jawatankuasa Penilai (Committee of Assessors) pada tahun 1801.67 Pada awalnya pejabat ini bertanggungjawab atas aspek pembangunan kota supaya lembaga ini dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat, termasuk di dalamnya urusan jalan, pembangunan sistem saluran irigasi, pejabat pelaksana undangundang, urusan keamanan, serta urusan pajak. Penduduk-penduduk Asia dan Britis yang kaya terlibat dalam musyawarah yang memilih anggota Jawatankuasa sukarela ini. Walau bagaimanapun, pengurus Jawatankuasa ini dilantik oleh Lieutenant Governor.68 Yang kemudian Jawatankuasa ini berubah menjadi Majlis Perbandaran hingga sekarang.
Pilihan Raya Majlis Bandaran69
66
Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia, (Kuala Lumpur: Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, 2006), h. 61-62 67 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, (Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), h. 18 68
Lieutenant Governor adalah gubernur Negara Inggris ketika menjajah negeri-negeri Selat.
69
Yaitu pemilihan wakil rakyat di suatu daerah atau kota tertentu saja.
Pemilihan umum Majlis Bandaran telah diperkenalkan oleh pihak Inggris sebagai suatu usaha ke arah memberikan keterbukaan dan pengalaman kepada pemimpin-pemimpin setempat dan rakyat untuk memerintah sendiri. Pada 1 Desember 1951, pemilihan umum yang pertama kali telah dilakukan di George Town, Pulau Pinang untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam Majlis Bandaran Pulau Pinang. Dalam pemilihan umum itu dimenangkan oleh Partai Radikal yang beranggotakan berbagai kaum dengan meraih 6 kursi dari 9 kursi yang diperebutkan.70 Sementara itu, pemiliha umum Majlis bandaran Kuala Lumpur yang dilaksanakan pada bulan februari 1952 telah memperlihatkan untuk pertama kalinya koalisi antara partai politik kaum Melayu dan kaum cina yaitu United Malay Organization (UMNO) dan Malayan Chinese Association (MCA) untuk menghadapi pemilu yang penting itu. Koalisi tersebut telah menjadikan UMNO-MCA sebagai sebuah pertumbuhan politik yang paling berpengaruh setelah memenangkan dalam pemilu dengan meraih 9 dari 12 kursi yang diperebutkan.
Pilihan Raya Negeri71 Pilihan Raya Negeri dilaksanakan pada tahun 1945. Pemilu ini bertujuan untuk memberi peluang kepada rakyat untuk membentuk pemerintahan yang akan memimpin pemerintahan setelah kemerdekaan. Pemilu ini penting karena ia telah membuktikan bahwa rakyat Tanah Melayu sangat memberikan dukungan dan ide kerjasama diantara kalangan dalam gabungan Partai Perikatan UMNO-MCA yang telah Berjaya dengan mengantongi 226 dari 268 kursi yang diperebutkan.
Pilihan Raya Persekutuan72
70
Haji Tajuddin Bin Haji Hussein, ed., Malaysia Negara Kita, (Kuala Lumpur: MDC Publisher Sdn Bhd, 2007), cet. I, h. 269-270 71 72
Yaitu pemilihan wakil rakyat untuk negara bagian. Pemilihan wakil rakyat untuk parlemen pusat
Pada tahun 1953, Partai Persekutuan menuntut agar anggota Majlis Musyawarah Undangan Persekutuan dipilih melalui sistem pemilihan umum bukan oleh pihak Inggris. Ini akan memberikan peluang kepada pemimpin-pemimpin Partai Perserikatan untuk dapat menjadi anggota majlis Musyawarah kerajaan yang merupakan sebuah badan penting dalam penyelenggaraan Negara. Di samping itu, Partai Persekutuan juga menuntut pihak Inggris agar pilihan raya umum (pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan parlemen) agar diadakan selambat-lambatnya pada tahun 1954, dan anggota Majlis Musyawarah undangan Persekutuan yang dipilih melalui pemilihan umum hendaklah berdasarkan suara terbanyak dalam Majlis tersebut.73 Akhirnya dengan persetujuan Inggris, pemilu Majlis Perundangan Persekutuan yang pertama bagi Negara Malaysia secara resmi dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 1955. Sehari sebelum yang bersejarah itu, setiap partai politik yang terlibat dalam pemilu akan mengadakan kampanye setelah mengumumkan calon pemimpinnya yaitu pada tanggal 15 juli 1955. Dalam pemilihan umum tersebut, kelompok-kelompok Partai Perikatan yaitu UMNO, MCA dan MIC telah mengadakan beberapa perundingan untuk membagikan wilayah pemilihan dan jumlah kursi yang akan diperebutkan. Hasilnya, UMNO memegang di 35 wilayah, MCA di 15 wilayah dan MIC di 2 wilayah. Dalam pemilu ini, Partai Perserikatan memenangkanya dengan memperoleh 51 kursi dari 52 yang diperebutkan, sedangkan 1 kursi lagi diraih oleh Partai Islam Se-Malaya (PAS).74
2. Wilayah Pemilihan Umum Dalam sistem pemilihan umum di Malaysia, setiap negara bagian di bagi kedalam beberapa wilayah pemilihan yang diwakili oleh seorang atau beberapa orang wakil rakyat. Berdasarkan sistem pemilihan umum di Malaysia, setiap satu wilayah
73 74
Haji Tajuddin Bin Haji Hussein, ed., Malaysia Negara Kita, h. 270-271 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, h. 32
pemilihan umum hanya diwakili oleh seorang wakil rakyat saja.75 Jadi jumlah wilayah pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sama banyak dengan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.76 Begitu juga dengan jumlah wilayah pemilihan untuk Dewan Undangan Negeri,77 adalah sama dengan jumlah anggota Dewan Undangan Negeri. Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari seluruh Negara bagian Malaysia berjumlah 180 orang, sesuai dengan jumlah wilayah pemilihan, yaitu 180 wilayah pemilihan umum. Wilayah pemilihan telah ditentukan pada tahun 1958, dan di ubah pada tahun 1974, 1983, dan 1993.78 Mengikuti perundang-undangan yang berlaku, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari masing-masing negeri begian adalah ; Johor (40 orang), Kedah (36 orang), Kelantan (43 orang), Melaka (25 orang), Negeri Sembilan (32 orang), Pahang (38 orang), Pulau Pinang (33 orang), Perak (52 orang), Perlis (25 orang), Selanggor (48 orang), Terengganu (32 orang), Sabah (48 orang), Sarawak (56 orang). Negeri-negeri Tanah Melayu (Malaysia) terbagi kedalam beberapa wilayah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, besar kecilnya wilayah pemilihan dan cara menentukan batas wilayah ditetapkan berdasarkan undang-undang. Ini dapat dilihat dalam bab ketiga belas, dalam bab ini ada empat prinsip yang harus dipatuhi untuk menentukan dan meneliti semula batas-batas wilayah pemilihan. Keempat prinsip itu adalah sebagai berikut :
75
Pasal 116 (ayat 2), Undang-Undang Malaysia
76
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, Cet.III (Kuala Lumpu: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h.171 77 78
Dewan Undangan Negeri di Indonesia disebut dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Akta Perlembagaan (Perubahan) 1983 (Akta A566)
1. Suatu wilayah pemilihan itu haruslah mempunyai batas wilayah, dan perlu dijelaskan segala kesulitan kalau wilayah pemilihan bagi Dewan Perwakilan Rakyat melintasi batas wilayah pemilihan bagi Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Harus dapat memberi kemudahan kepada pelaksana yang ada di wilayah pemilihan itu untuk menjalankan pelaksanaan pemilih. 3. Jumlah pemilih di setiap wilayah pemilihan itu haruslah hampir sama di seluruh negeri bagian kecuali wilayah luar kota. Oleh sebab keadaan di wilayah luar kota tidak sama dengan wilayah kota, maka cara jumlah mayoritas pemilih harus digunakan, dan cara ini di perbolehkan untuk menjadikan di suatu wilayah pemilihan luar kota mempunyai bilangan pemilihnya setenggah saja dari jumlah pemilih di wilayah pemilihan dalam kota. 4. Hendaklah dipertimbangkan segala kesulitan yang akan datang apabila wilayah pemilihan umum itu di pisahkan. Secara umum sistem pemilihan umum di Malaysia berdasarkan tiga prinsip pokok, yaitu :79 1. Berdasarkan suara mayoritas mengikuti kaidah first past the post sistem dimana calon yang menang adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak, walaupun hanya terdapat kelebihan satu suara dapat mengalahkan calon lawannya yang lain. 2. Berdasarkan pemilihan seorang calon wakil rakyat mengikuti bagian pemilihan umum sama dengan bagian pemilihan parlemen atau bagian pemilihan Negara bagian (single member territorial representation). 3. Berdasarkan sistem partai politik yang ikut serta dan pihak yang sah mengikuti pemilihan umum (multi party electoral sistem).
B. Pelaksanaan Pemilu di Malaysia oleh Suruhanjaya Pilihan Raya
79
Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, h. 7
Untuk melaksanakan pemilihan umum di Malaysia, di jelaskan di dalam pasal 113 dan pasal 114 Perundang-undangan Malaysia, yang memberikan wewenang kepada Negara untuk membentuk sebuah badan yang dinamakan Suruhanjaya Pilihan Raya. Lembaga in pimpin oleh seorang ketua dan tiga orang anggota. Keempat anggota ini dilantik oleh Yang di Pertuan Agung. Orang yang dilantik haruslah orang yang bebas (independent) tidak terpengaruh
dan terikat oleh harta benda dan jabatan seperti
dibawah ini:80 a.
Orang yang bangkrut atau muflis.
b.
Orang yang memegang jabatan tertentu baik dalam pemerintah maupun swasta.
c.
Bukan anggota dari Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk melaksanakan kewajibannya, Suruhanjaya Pilihan Raya diberi wewenang
untuk membuat beberapa peraturan dan melantik beberapa pegawai dan anggota untuk melaksanakan pemilihan umum. Suruhanjaya Pilihan Raya diberi tugas oleh Undangundang untuk melaksanakan Pemilihan Umum bagi Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah. Baru-baru ini Malaysia telah melaksanakan Pilihan Raya Umum (PRU) ke-12 tanggal 8 April 2008, ada beberapa partai atau gabungan partai yang mengikuti pemilu, diantaranya BN (Barisan Nasional), PAS (Partai Islam Semalaysia) , DAP (Partai Koalisi China), PKR (Partai Keadilan Rakyat), Partai Bebas, PRM (Partai Rakyat Malaysia), Partai SNAP dan Partai Bersekutu.81 Jumlah kursi yang dimenangi partai dalam pilihan raya umum ke 12 tahun 2008 adalah sebagai berikut:82
80 81
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 170 “Keputusan Penuh Pilihan Raya umum ke 12 tahun 2008”, Utusan Malaysia, Senin 10 Maret 2008,
h.26 82
Ibid
Nama Partai Barisan Nasional (BN) Partai Islam Semalaysia (PAS) Partai Koalisi China (DAP) Partai Keadilan Rakyat (PKR) Partai Bebas Partai Rakyat Malasia (PRM) Partai SNAP Partai Bersekutu Jumlah Keseluruhan Kursi
Jumlah Kursi Parlemen Pusat (DPR) 140 23
Jumlah Kursi Undangan Negeri (DPRD) 307 83
28
73
31
40
0 0
2 0
0
0
0 222
0 505
1. Sejarah Ringkas Pembentukan dan Keanggotaan SPR Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia dibentuk pada tanggal 4 september 1957 berdasarkan pasal 114 Perlembagaan persekutuan. Semasa pembentukannya SPR terdiri dari seorang ketua dan dua orang anggota ahli. Ketua pertama SPR ialah Dato Dr. Mustafa Albakri bin Haji Hassan, dan kedua anggotanya masing-masing yaitu Encik Lee Ewe Boon dan Encik Ditt Singh.83 Kemudian pada tahun 1963, Jumlah anggota SPR ditambah menjadi tiga orang. Anggota ahli tambahan itu berasal dari Sabah atau Sarawak yang dilantik secara bergantian. Datuk Abang Haji Marzuki bin Nor dari Sarawak menjadi anggota ahli tambahan pertama mewakili dua Negara bagian tersebut. Pada tahun 1981, perubahan atas pasal 114 Perundang-undangan persekutuan dibentuk sebuah Wakil ketua. Pada tahun 2002, perubahan pada perundang-undangan persekutuan juga terjadi penambahan keanggotaan SPR menjadi tujuh orang yaitu, seorang ketua,
83
Suruhanjaya Pilihan Raya, Laporan Tahunan 2005, h. 12
seorang wakil ketua, dan lima orang anggota ahli, termasuk anggota ahli dari Sabah dan seorang ahli dari Sarawak.84 Sejak terbentuknya sampai tahun 1978, kantor SPR terletak di gedung Sultan Abdul Samad, Jalan Clark, Kuala Lumpur. Dari tahun 1978 sampai tahun 1985 SPR bertugas di gedung yayasan Selangor, Jalan Bukit Bintang, Kuala :Lumpur. Pada tahun 1985 SPR pindah lagi ke gedung Tong Ah, Jalan P. Ramlee dan bertugas disana sampai tahun 1988 sebelum berpindah ke menara Bank Pembangunan, Jalan sultan Ismail, Kuala Lumpur.85 Pada bulan November 2000, kantor pusat SPR berpindah ke lokasi sampai sekarang yaitu di Aras 4 – 5, Blok C7, Parcel C, Pusat pelaksana Negara bagian Putrajaya. Sebagaimana di jelaskan diatas bahwa saat ini SPR terdiri dari tujuh orang anggota dengan seorang ketua, seorang wakil ketua, dan lima orang anggota ahli. Untuk keterangan dan struktur SPR yang lebih lengkap dapat dilihat dalam lampiran 1.
2. Visi dan Misi SPR Seperti telah dijelaskan diatas bahwa dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia dilaksanakan oleh sebuah badan yang dinamakan SPR. Adapun Visi dari SPR adalah memelihara dan menjalankan sistem demokrasi berparlemen di Malaysia melalui pemilihan umum yang adil, cakap dan tulus. Sedangkan misi dibentuknya badan SPR adalah untuk memastikan rakyat Malaysia berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka untuk membentuk Negara dan memelihara hak melalui pemilihan umum yang bebas serta adil.
3. Proses Pelaksanaan Pemilihan umum
84
Ibid.
85
Ibid. h. 13
Proses pemilihan umum diadakan apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah selesai masa tugasnya. Untuk negeri-negeri di Semenanjung, pemilihan umum diadakan dalam waktu 60 hari setelah berakhirnya masa jabatan di dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan daerah, berbeda di negara bagian Sabah dan Serawak waktunya yaitu 90 hari, waktu yang lebih panjang diberikan kepada Negara bagian Sabah dan Serawak untuk menjalankan pemilihan umum dikarenakan penduduknya banyak yang tinggal di pedalaman. Untuk menjalankan pemilihan umum, Suruhan Jaya Pilihan Raya akan mengeluarkan satu perintah kepada petugas pemilihan untuk setiap wilayah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dikehendaki. Setelah petugas pemilihan wilayah menerima perintah itu, kemudian dia harus melaksanakan pemilihan umum berdasarkan peraturan yang terkait. Skema berikut menunjukkan secara umum proses pemilihan umum di Malaysia. SPR Menetapkan waktu. Namanama calon dan hari pemilihan umum
SPR Memastikan tempat memilih dan tempat menghitung kertas suara
Calon melakukan penyampaian visi dan misi
Penamaan calon
Ketua Pemilu kawasan (KPU/KPUD) Mengumumkan hasil keputusan pemilu
Hari Pencoblosan
Tempat memilih Di beri kertas Mencoblos/mena ndai calon yang dipilih Kertas suara dimasukan ke dalam kotak suara
Kampanye untuk para calon
Tempat menghitung suara Kotak suara di buka dan kertas suara dihitung
Penjelasan proses pelaksanaan pemilihan umum Malaysia di dalam buku Siri Pendidikan Pengundi Bil 1/2008.86 1) Penetapan waktu, Penamaan calon dan Hari Memilih Apabila sebuah dewan dibubarkan, berdasarkan keinginan dan perkenan Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agung atau Duli Yang Maha Mulia Raja atau Tuan Yang Terutama Yang di-Pertuan Negeri atau setelah selesai waktu hidupnya, oleh karenanya SPR di beri waktu selama 60 hari menurut Perlembagaan Persekutuan dan Perlembagaan Negeri untuk mengadakan pemilihan umum. Pemilihan umum juga dilaksanakan apabila kursi dewan yang ditempati oleh seseorang wakil kosong tidak ditempati disebabkan kematian ataupun kursi tersebut terpaksa dikosongkan akibat dari proses undang-undang seperti pemutusan hak warganegara, diumumkan bangkrut/berhutang. Apabila SPR mendapati tentang pembubaran Dewan atau kekosongan kursi, SPR akan segera bermusyawarah untuk menentukan tiga perkara penting seperti berikut:87 a)
Tanggal untuk menetapkan hari penamaan calon
b)
Tanggal untuk menetapkan hari untuk pemilihan, jika ada perlawanan dari calon lain, dan
c)
Buku daftar pemilih sebagaimana yang di jelaskan di dalam peraturan 9 Peraturan-peraturan Pilihan Raya (pendaftaran pemilih).
2) Penyediaan dan masalah Kertas suara a) Setelah urusan penamaan calon selesai, SPR akan mendaftarkan nama-nama calon dan nama-nama tempat pemilihan umum di mana mereka bertanding dan
86
Buku seri panduan untuk pemilih dalam memahami proses pemilihan umum yang dilaksanakan oleh
SPR. 87
Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia, Siri Pendidikan Pengundi Bil 1/2008 (Ketelusan Sistem Pengundian Pengiraan Undi dan Pengumuman Keputusan Pilihan Raya), Kuala Lumpur; Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2008 h.4
kemudian menyerahkan daftar nama tersebut kepada Percetakan Nasional Malaysia Berhad (PNMB) untuk proses penyediaan kertas suara. Kertas suara tidak dapat dicetak dengan segera karena harus menunggu waktu tiga hari yang di peruntukkan kepada calon-calon untuk menarik diri dari ikut serta dalam pemilihan seperti yang di jelaskan oleh peraturan 7 (1) Peraturan Pilihan raya) 1981. b) Apabila kertas suara yang baru dicetak sampai ke pejabat pegawai pengurus, semua petugas terlibat seperti pegawai pengurus, penolong pegawai pengurus dan ketua tempat memilih akan memeriksa kertas-kertas suara tersebut. Untuk kertas suara undi pos, ia akan diperiksa oleh penolong pegawai pengurus (undi pos) dan para sekretaris pemilihan suara undi pos. 3) Pengurusan Hari Memilih dan Ketelusan Urusan Pemilihan a) Tugas melaksanakan hari memilih dalam satu bagian pemilihan umum parlemen atau negeri terletak di bahu pegawai pengurus. Pegawai pengurus ini dilantik oleh SPR dan di beri surat kuasa yaitu wewenang untuk menjalankan semua urusan berkaitan dengan pemilihan umum termasuk di dalamnya waktu hari memilih bagi pihak SPR. b) Pegawai pengurus dibantu juga oleh beberapa orang penolong pegawai pengurus yang kebanyakan ialah penolong pegawai daerah. Di tempat-tempat memilih (Bilik suara), ketua-ketua tempat memilih dilantik oleh pegawai pengurus untuk mengawal perjalanan pemilihan di dalam setiap tempat atau saluran memilih. c) Di pusat memilih, ketua tempat memilih di saluran pertama akan bertindak sebagai ketua pusat memilih. Gedung sekolah lazimnya dipilih sebagai pusat memilih karena didukung oleh infrasturktur yang memadai dan sesuai kelengkapannya untuk urusan pemilihan.
d) Pemilihan untuk semua Negara bagian dilaksanakan dalam satu hari di mulai dari jam 8.00 pagi sampai 5.00 sore. Namun begitu, untuk beberapa tempat pedalaman terutamanya di Sabah dan Sarawak, waktu pemilihan ditutup lebih awal untuk membolehkan membawa kotak-kotak suara di bawa ke pusat penjumlahan suara (tabulasi suara). Sebelum pusat-pusat memilih di buka ketua tempat memilih (KTM) dan seorang sekretaris pemilihan akan mengambil peralatan-peralatan untuk digunakan dalam pemilihan yang diambil dari pejabat pegawai pengurus dan membawanya ke tempat-tempat memilih di mana mereka bertugas. Tepat pada jam 8.00 pagi barulah tempat-tempat memilih dibuka untuk para pemilih. e) Beberapa orang anggota polisi dilantik untuk memastikan keselamatan dan ketenteraman masyarakat di pusat dan saluran memilih. f) Proses pemilihan di jalankan secara ikhlas dan adil. Ciri-ciri yang mendukung keikhlasan dan keadilan proses pemilihan di Negara Malaysia adalah seperti berikut:88 -Keikhlasan pertama: Penentuan daerah larangan 50 meter dari pusat memilih di buat secara bersama. -Keikhlasan kedua: menunjukkan kepada ejen89 calon bahwa kotak suara adalah kosong sebelum proses pemilihan di mulai. -Keikhlasan Ketiga: hanya mereka yang diperbolehkan oleh Undang-Undang Saja yang boleh berada di dalam tempat pusat suara dan tempat memilih. -Keikhlasan keempat: hanya pemilih yang terdaftar di dalam suatu pusat memilih saja yang boleh memilih di pusat memilih. -Keikhlasan kelima: kertas suara di keluarkan secara ikhlas/ jelas di depan mata saksi-saksi pemilihan umum. 88
89
Ibid, h.7
Ejen dalam pemilihan umum di Indonesia dinamakan saksi, saksi dari pihak masing-masing partai peserta pemilihan umum.
-Keikhlasan keenam: Mengunakan tinta permanen pada kuku jari untuk menghindari pemilihan dua kali. -Keikhlasan ketujuh: proses pemilihan di buat secara rahasia di bilik suara -Keikhlasan kedelapan: penggunaan corak penanda kertas suara yang berbeda bentuk untuk menentukan kesahihan kertas suara. -Keikhlasan kesembilan: daftar pemilih yang sama untuk untuk digunakan oleh semua pihak (baik di pakai oleh pegawai pengurus pemilihan maupun ketua tempat mengundi) -Keikhlasan kesepuluh: mekanisme melindungi kerahasiaan pemilihan melalui penggunaan surat akuan identitas dan sumpah kerahasiaan. -Keikhlasan kesebelas: pengumunan secara meluas perihal tanggal, hari dan tempat dilaksanakannya pemilihan umum. -Ketulusan kedua belas: petugas pemilihan umum dilantik dari berbagai lapisan masyarakat dan golongan. -Ketulusan ketiga belas: hak memilih di jamin dan majikan perlu memberikan kebenaran untuk pekerja memilih. -Keikhlasan keempat belas: memilih dalam keadaan aman dan tenteram serta tanpa perasaan takut.
4. Fungsi Suruhanjaya Pilihan Raya Ada tiga fungsi utama SPR seperti yang ditetapkan dalam perkara pasal 113 Undang-undang Persekutuan Malaysia, yaitu:90 a. Mewujudkan bagian-bagian pemilu dan menjalankan urusan pembatasan baru bagian pemilu menurut waktu yang tidak kurang dari 8 tahun; b. Menyediakan daftar pemilih dan menjalankan urusan pendaftaran pemilih dan memeriksa daftar pemilih; c. Mengendalikan Pemilihan Umum dan Pemilu Kecil. 90
Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, h 54
5. Pemilih dan Calon Yang Dipilih Seseorang yang ingin menjadi calon dalam pemilihan umum, baik itu untuk Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, haruslah Warga Negara yang tinggal di Malaysia, berumur tidak kurang dari 21 tahun, dewasa, bukan seorang yang bermasalah seperti bangkrut, tidak pernah masuk penjara lebih dari 12 bulan dan didenda 2000 ringit Malaysia. Calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan umum yang diadakan. Sekiranya hanya ada seorang calon saja yang terdaftar setelah waktu penamaan calon yang lolos, calon tersebut akan diumumkan menang tanpa melakukan pemilihan.91 Dalam setiap sistem pemilihan umum sudah sewajarnya ada pemilih. Berdasarkan Perlembagaan Malaysia, pemilih dalam pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ialah orang yang menjadi warga Negara Malaysia, dan berumur 21 tahun pada saat dilaksanakan pemilihan. Bersamaan dengan tahun itu di juga harus menjadi penduduk tetap di tempat pemilihan umum, atau jika bukan penduduk tetap, ia dianggap oleh undang-undang sebagai pemilih yang tidak tercantum pada daftar pemilih tetap (pemilih tidak tetap). Seorang itu tidak sah menjadi pemilih dalam pemilihan umum, baik untuk pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jika dia termasuk kedalam kelompok berikut:92 a. Seorang yang telah dibawah pengampuan karena ketidakdewasaannya atau karena menjalankan hukuman penjara yang dikenakan kepada orang tersebut pada tahun di sahkannya sebagai pemilih.
91
Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia,
h. 64-65 92
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 174
b. Seorang yang terbukti bersalah dan akan dihukum mati atau penjara lebih dari 12 bulan di dalam Negara Persekutuan, sebelum tanggal sahnya sebagai pemilih dan pada tanggal tersebut ia masih menjalani hukuman atas perbuatannya itu. “Tanggal Kelayakan itu” ialah sebuah istilah yang sifatnya teknis yang ditujukan kepada waktu yang menjadi pedoman kepada panitia kerja pemilihan untuk mendata ulang dan untuk menyiapakan daftar-daftar pemilih pada setiap diadakan pemilihan. Berdasarkan ketetapan yang dibuat oleh Peraturan Pemilihan Umum tahun 1958.93 Istilah “Penduduk Tetap” itu juga merupakan istilah teknis berdasarkan pasal 119 (2), yaitu jika seseorang itu berada di wilayah pemilihan umum sebagai orang yang lemah mental dan cacat akal pikiran yang menerima perawatan, maka orang itu tidak masuk dalam kategori “penduduk tetap” di wilayah pemilihan umum. Penduduk tetap juga bukan berarti bahwa setiap orang yang harus tinggal di rumah diimana dia tinggal. Berdasarkan beberapa penyebab tidak adanya orang bersangkutan di wilayah pemilihan itu dia masih dianggap sebagai penduduk tetap di wilayah pemilihan umum itu, misalnya, apabila seseorang meninggalkan rumahnya disebabkan menjalankan tugas, di masih dianggap menjadi penduduk tetap di mana dia tinggal di rumahnya yang dia tinggalkan itu, meskipun pada waktu itu dia telah memberikan orang lain untuk tinggal dirumahnya itu.94 Seandainya seseorang Warga Negara itu pada saat waktu diperbolehkannya untuk memilih tidak berada di tempat dia tinggal sebagai penduduk tetap pada wilayah pemilihan umum, dia masih diperbolehkan memilih apabila dia masuk kedalam kelompok pemilih yang tidak hadir. Pemilih yang tidak hadir ini yaitu warganegara
93 94
Ibid. Ibid. h. 175
yang usianya beranjak pada umur 21 tahun. Di undang-undang kelompok ini terbagi menjadi tiga jenis:95 a. Seseorang Warga Negara yang sedang bertugas dalam angkatan bersenjata Negara komanwel (Negara bekas jajahan Inggris) dimana ia tinggal bersama-sama dengan isterinya di rumah dinas yang disediakan oleh angkatan bersenjata pada tahun ia membuat permohonan untuk mendaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. b. Seseorang warganegara yang tinggal bersama-sama beserta isterinya di luar batas wilayah Negara dan bekerja dalam tugasnya pada umumnya untuk Negara pusat maupun Negara bagian, kemudian dia membuat permohonan untuk mendaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c. Seorang warganegara yang menjadi mahasiswa di Universitas, Institut Teknik, pusat pelatihan atau yayasan-yayasan pendidikan lain yang berada di luar wilayah Negara. Jika isteri dari mahasiswa yang bersangkutan itu tinggal bersama-sama di luar wilayah Negara pada tanggal permohonan mendaftar sebagai pemilih untuk pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.96
6. Daftar Pemilih Walaupun seorang warganegara itu mempunyai kelayakan dalam memilih sebagai orang yang menjadi penduduk tetap (pemilih tetap) maupun pemilih tidak tetap, dia masih tidak dapat memilih apabila namanya tidak terdapat dalam daftar pemilih. Daftar pemilih itu menjadi satu keterangan prima facie untuk menentukan seseorang berhak atau tidaknya dalam memilih pada pemilihan umum di wilayah yang
95 96
Ibid. Peraturan Pilihan Raya (Pendaftaran Pemilih), 1958- PU, 252 tahun 1958
bersangkutan. Seorang tidak dibenarkan memilih disembarang tempat pemilihan kecuali namanya ada di dalam daftar pemilih dimana tempat dia memilih. Berdasarkan undang-undang, seseorang itu tidak boleh dimasukkan kedalam daftar pemilih untuk lebih dari satu tempat dilaksanakan pemilihan umum.97
C. Konsep Kebebasan dan Kebersihan Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Pemilihan umum diibaratkan seperti permainan sepak bola. Apabila setiap pemain bola itu dibiarkan menggunakan segala taktik dan cara sesuka hatinya tanpa mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh wasit permainan itu, maka sudah pasti pemain akan meninggalkan permainan sepak bola itu dan mengantinya dengan adu tinju, juga diikuti oleh para penonton dari kedua belah pihak yang bertanding. Demikian juga halnya dengan pemilihan umum, seandainya seorang calon itu boleh menggunakan segala cara dan taktik yang kotor dan tidak mengikuti pedoman peraturan pelaksana yang bertujuan ingin menjatuhkan calon lawannya, maka tidak ada maknanya pemilihan umum itu dilaksanakan. Salah satu diantaranya adalah disebabkan siapa yang kuat, gagah, kaya dan mempunyai banyak uang ringgit sudah pasti akan menang. Tetapi suara yang diperoleh oleh calon-calon yang menggunakan cara dan taktik seperti itu biasanya tidak ikhlas dari hati nurani para pemilih itu. Suara itu datang dari hati yang dipenuhi oleh uang ringgit yang diberi atau dijanjikan kepada para pemilih. Mungkin juga hati sudah diikat oleh jasa yang telah diberikan calon, atau karena rasa takut karena intervensi calon kepada si pemilih. Pemilihan umum semacam itu sudah tentu tidak bebas dan tidak adil. Keputusannya tidak boleh diterima dan di hormati oleh siapapun, karena akan menyebabkan kacau balau yang akhirnya
97
Peraturan Pilihan Raya (Pemilih dengan Jalan Pos), 1959 P.U tahun 1959
akan membuat sebuah negara yang diktator untuk mengawal ketenteraman dalam negeri. Pemilihan umum yang bebas dan bersih yaitu pemilihan umum yang memberi kebebasan kepada setiap pemilih untuk memberi suaranya kepada para calon atau partai politik menurut pilihannya sendiri.98 Ini berarti segala taktik dan cara yang berdasarkan politik uang, ikatan jasa dan intervensi haruslah dilarang oleh undangundang. Perlu regulasi (pengaturan) mengenai batasan yang jelas yang menyatakan pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan umum boleh dilaksanakan. Di negara Malaysia, batasan-batasan itu terdapat dalam Akta Kesalahan Pemilihan umum 1954. Berdasarkan akta pemilihan ini kesalahan dalam pemilihan umum itu terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :99 a. Kesalahan yang dinamakan kesalahan pemilihan umum. b. Kesalahan disebabkan karena melakukan perbuatan yang tidak jujur, dan Kesalahan dengan sebab melakukan perbuatan yang salah.
Kesalahan Pemilihan Umum Seorang yang melakukan kesalahan pemilihan umum itu boleh ditangkap tanpa surat perintah.100 Tetapi dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak dapat di lakukan melainkan setelah mendapatkan bukti yang benar dari orang yang mengadu.101 Siapa yang melakukan kesalahan pemilihan umum, jika terbukti kesalahannya, dapat dihukum penjara kurang lebih dari tiga tahun atau denda kurang lebih dari 2000 ringgit Malaysia atau pun bisa dikenakan kedua-duanya. Selain hukuman ini, orang yang terbukti kesalahannya tidak boleh menjadi pemilih atau
98
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 190
99
Ibid. Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Malaysia
100
101
Pasal 6 Ayat 4 undang-Undang Malaysia
calon selama lima tahun mulai dari tanggal terbuktinya kesalahan atau pada tanggal dia dibebaskan dari penjara. Perbuatan-perbuatan yang dianggap menjadi kesalahan pemilihan umum ialah seperti dibawah ini:102 1. Telah membuat pernyataan palsu tentang permohonan pendaftaran pemilih. 2. Telah memalsukan kertas suara atau dengan niat hendak menipu, telah merusak atau telah menyerahkan kertas suara yang dia telah mengetahui bahwa surat suara itu dipalsukan. 3. Telah memalsukan atau meniru atau dengan niat hendak menipu telah merusak atau menghilangkan kertas suara atau tanda resmi yang ada pada kertas suara itu. 4. Tanpa memiliki wewenang telah memberi kertas suara kepada seseorang. 5. Telah menjual atau membeli kertas suara. 6. Memasukan benda-benda atau kertas suara ke dalam kotak suara yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang. 7. Tanpa memiliki wewenang
telah membawa keluar kertas suara dari tempat
memilih atau telah ditemukan kertas suara di luar tempat pemilihan. 8. Tanpa memiliki wewenang telah menghilangkan,mengambil,membuka atau dengan jalan apapun telah menggangu kotak suara. 9. Tanpa memiliki wewenang telah menandai kertas suara atau kertas yang boleh dijadikan atau digunakan sebagai kertas suara dalam pemilihan umum.
Perbuatan Tidak Jujur Perbuatan yang dianggap tidak jujur terbagi menjadi lima jenis, yaitu:103 a. Menyamar artinya bukan orang yang sesungguhnya telah terdaftar dalam daftar pemilih.
102 103
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 191 Ibid. h.195-98
b. Menyogok dan memberi sesuatu kepada seseorang baik berupa uang, makanan maupun minuman sehingga orang tersebut terpengaruh. c. Pengaruh yang tidak jujur. d. Korupsi, dan e.
Perbuatan-perbuatan berlebihan di media iklan.
BAB IV ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA
D. Beberapa Hal Kesesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan Ketatanegaraan Islam. Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dengan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Islam adalah agama universal artinya semua nilai-nilai yang diajarkan dapat dipraktekan dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Di antara nilai-nilai yang dapat di jadikan sandaran berpijak adalah nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan, nilai amanah dan masih banyak lagi nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam yang dapat di selenggarakan dalam pemerintahan. Kemudian apakah nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan di negara-negara demokrasi seperti halnya Malaysia. Di dalam konstitusinya dijelaskan bahwa Malaysia merupakan sebuah Negara kerajaan yang mengamalkan sistem demokrasi. Umumnya negara yang menganut paham demokrasi mencantumkan adanya penegakkan hak asasi manusia, dimana dalam melaksanakan hak asasi manusia harus adanya nilai-nilai persamaan, keadilan, serta adanya pelaksanaan pemilihan umum agar terpeliharanya sebuah negara yang berdemokrasi. Prinsip-prinsip konstitusional seperti nilai musyawarah, nilai keadilan, dan nilai persamaan dianggap seperti hak-hak Allah dalam bidang politik, karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para penguasa agar menghormati prinsipprinsip konstitusional atau etika-etika politik ini. Prinsip-prinsip utama menurut sebagian ulama kontemporer dari para ahli fikih syariat104 adalah tidak zalim, adil, musyawarah, dan persamaan. Namun, menurut sebagian ulama lagi adalah keadilan (Al-‘Adalah), musyawarah, dan taat kepada ulil amri terhadap perintah yang disenangi orang mukmin atau yang dibenci, 104
Abdul Wahab Khallaf, As-Siyasah Asy-Syar’iyah, cetakan tahun 1931, hal. 19
kecuali bila dia memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengarkannya dan taat kepadanya. Ada satu pendapat lain lagi yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip utama itu adalah sebagai berikut : 4. Musyawarah dalam hal apa saja yang wajib dimusyawarahkan dari urusan-urusan umat Islam. 5. Sikap tidak zalim dari penguasa tertinggi, dari para pemimpin, dan dari bawahannya. 6. Meminta bantuan orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal yang penguasa tertinggi wajib meminta bantuan dalam hal itu. Dr. Abdul Hamid Mutawalli dan Dr. Muhammad Salim Al-Awa sangat sepakat dalam hal prinsip-prinsip utama ini. Dr. Abdul hamid Mutawalli meletakkan di awalnya musyawarah dan keadilan, lalu persamaan dan kebebasan, kemudian tanggung jawab ulil amri. Sementara Dr. Muhammad Salim Al-Awa sama sepertinya, namun dia menambahkan wajib taat. Malaysia ialah sebuah negara yang mempunyai banyak agama. Rakyat di negara ini mengamalkan agama-agama yang berlainan seperti agama Islam, Hindu, Buddha, Kristian dan kepercayaan lain. Orang Melayu hanya menganut satu agama yaitu Islam. Adalah asing bagi
orang Melayu bahwa seorang bangsa Melayu itu tidak menganut agama Islam.
Mengaitkan agama secara sepenuhnya dengan negara adalah dasar di dalam pemikiran orang Melayu sehingga agama Islam telah menjadi suatu unsur yang penting dalam pengertian “Melayu” menurut Undang-undang dan Perlembagaan
pasal 160 mengartikan seorang
“Melayu” sebagai seorang yang beragama Islam, biasa berbicara dengan bahasa Melayu dan menurut adat istiadat Melayu.105 Agama Islam telah menjadi agama orang Melayu sejak lebih dari 500 tahun yang lalu. Agama Islam pertama kali dibawa kesini oleh pedagang-pedagang Arab melalui India dan mendarat di pantai Malaka pada abad ke-15 atau mungkin lebih awal lagi. Sejak itu orang Melayu memeluk agama Islam. Budaya Islam yang sangat kuat 105
Ini diambil dari defenisi yang diberi oleh pasal 2 Enakmen Kerakyatan Negeri-negeri Melayu yang disahkan pada tahun 1952 untuk menambah penjelasan kewarganegaraan dalam perjanjian Persekutuan Tanah melayu 1948.
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial bermasyarakat di Malaysia juga berpengaruh kepada hal-hal yang berkaitan dengan praktek kenegaraan. Salah satu hal yang membuktikan bahwa Malaysia begitu kuat dengan nilai-nilai keislamannya adalah dalam melaksanakan pemilihan umum, dimana dalam teorinya banyak mengadopsi nilai-nilai ketatanegaraan Islam. Seperti telah disebutkan diatas bahwa nilai-nilai ketatanegaraan Islam baik berupa nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan dapat diterima dan dilaksanakan di negeri Malaysia. Kemudian dibuktikan pula dari penerapan nilai ketatanegaraan adalah nilai musyawarah, kalau kita melihat praktek nilai musyawarah dalam Islam di jalankan fungsinya oleh Ahlu Halli wal Aqdi sebagai lembaga representasi (perwujudan) dari rakyat di Malaysia juga dikenal istilah Parlemen, yaitu suatu badan perundangan bagi Malaysia dan terdiri dari tiga unsur, Yang di-Pertuan Agung dan dua majelis parlemen yaitu Dewan Negara dan Dewan Rakyat.106 Selanjutnya adalah penerapan nilai keadilan juga dapat dilihat dari penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan di Malaysia, dimana lembaga yang dinamakan Suruhanjaya Pilihan Raya di dalam visi dan misi dalam menjalankan pemilihan, yaitu Visi dari SPR adalah memelihara dan menjalankan sistem demokrasi berparlemen di Malaysia melalui pemilihan umum yang adil, cakap dan tulus. Sedangakn misi dibentuknya badan SPR adalah untuk memastikan rakyat Malaysia berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka untuk membentuk Negara dan memelihara hak melalui pemilihan umum yang bebas serta adil.107 Pada akhirnya penulis memberikan analisa mengenai pengaruh ketatanegaraan Islam terhadap pelaksanaan pemilu di Malaysia adalah penyerapan nilai-nilai berupa nilai musyawarah, nilai keadilan dan nilai persamaan dalam hal ini hanya sebatas teori.
106 107
Pasal 44 Perlembagaan Malaysia. Laporan Tahunan SPR, Tahun 2005, hal. 4-5
E. Beberapa
Hal
Ketidaksesuaian
Pelaksanaan
Pemilu
Malaysia
dengan
Ketatanegaraan Islam. Islam mengajarkan kepada para pemimpin untuk berlaku adil dalam menetapkan hukum hal ini dapat dijumpai di dalam surat An-Nisaa’ ayat 58:
⌧ ☺ …………………….
☺
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkan dengan adil………. (Q.S An-Nisaa’ ayat 58) Ayat diatas merupakan sebuah perintah yang ditunjukkan kepada para pemimpin baik itu sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif apabila menetapkan sebuah hukum itu harus seimbang (adil) tidak berat sebelah dan memihak. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa lebih baik dipimpin oleh pemimpin non-muslim apabila didalamnya menerapkan nilai keadilan daripada dipimpin oleh orang muslim yang zalim dan tidak menjalankan nilai keadilan. Hal tersebut menandakan bahwa nilai keadilan itu sangat esensi sekali dalam menjalankan roda pemerintahan. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata : Jujur dalam setiap ucapan dan berlaku adil dalam perkataan dan perbuatan, cocok di setiap keadaan. Jujur dan adil ini selalu berdampingan.108 Bahkan penerapan nilai musyawarah adalah dasar hukum dalam Islam dan jalan kehidupan kaum muslimin, yang pada hakikatnya berlandaskan keadilan yang sangat bertentangan sekali sekali dengan kesewenang-wenangan penguasa dan tidak mengikutsertakan rakyat dalam membahas perkara. Nilai “mengkritik penguasa” termasuk diantara tuntutan keadilan. Rakyat adalah yang memilih penguasa agar dia melaksanakan hukum-hukum syariat dan
108
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah, 2005) Cetakan pertama, hal. 201
memperhatikan kemaslahatan mereka. Begitu juga halnya dengan nilai “persamaan hak” dan kebebasan serta hak asasi manusia, sesungguhnya berlaku adillah dasarnya.109
Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Setiap negara yang menjalankan proses demokrasi biasanya mendapatkan tantangantantangan, salah satunya di Negara Malaysia seperti telah disebutkan diatas Malaysia merupakan negara yang berdasarkan sistem demokrasi yang berparlemen. Salah satu problematika yang merupakan tantangan dari penegakan demokrasi di Malaysia diantaranya adalah pelaksanaan pemilihan umum. Di dalam pelaksanaan pemilihan umum ini banyak sekali terjadi penyimpanganpenyimpangan mulai dari badan pelaksana yang diamanahkan oleh negara (SPR) dimana lembaga ini membawa visi dan misi, kita tahu visi SPR adalah memelihara dan menjalankan sistem demokrasi berparlemen di Malaysia melalui pemilihan umum yang adil, cakap dan bersih sedangkan misi
adalah untuk memastikan rakyat Malaysia
berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka untuk membentuk Negara dan memelihara hak melalui pemilihan umum yang bebas serta adil. Namun dalam prakteknya terdapat permasalahan yang timbul, hal ini dibuktikan sendiri oleh SPR di dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh badan itu. Di dalam buletin itu SPR menyebutkan dari hasil penelitiannya mengenai alamat pemilih, dimana terdapat alamat pemilih yang didaftarkan lebih daripada tujuh orang dalam satu alamat. Penyelidikan ini ini diterima oleh SPR setelah menerima pengaduan dari banyak orang yang menyatakan terdapat banyak pemilih yang banyak terdaftar di alamat pada beberapa wilayah pemilihan,110 hal ini bertentangan dengan pasal 119 (2), mengenai penduduk tetap yang terdaftar dalam pemilihan umum harus terdaftar hanya dalam satu wilayah, tidak terdaftar di wilayah lain. 109 110
Ibid Suruhanjaya Pilihan Raya, Laporan Tahunan 2005, h. 154
Dalam penemuan mengenai hal ini juga terjadi pada tanggal 31 Desember 2005, ditemukan sebanyak 37.946 alamat, yang termasuk alamat yang jelas dalam pengkajian pokoknya yang mengikutsertakan 365.311 orang pemilih dan sisanya merupakan alamat yang belum pasti kejelasannya. Contoh diatas merupakan problematika yang harus diperbaiki oleh pemerintahan Malaysia sehingga dikemudian hari dapat memperbaiki proses pemilihan umum yang lebih adil, bersih dan jujur sebagaimana visi dan misi dari lembaga yang menjalankan pemilihan umum Suruhanjaya Pilihan Raya. Beberapa waktu lalu tepatnya pada tanggal 10 November 2007 di Malaysia terjadi aksi besar-besaran yang menentang pemerintahan Malaysia, mereka menamakan Himpunan Aman tidak mengganggu keselamatan Awam (Bersih). Berikut adalah memorandum Bersih kepada Yang di-Pertuan Agung, yang disampaikan kepada wakil baginda pada malam 10 November 2007 setelah konpoi masa lebih dari 100.000 rakyat Malaysia yang merasa prihatin dengan kondisi Malaysia saat ini. Bersih merasakan perlu bagi semua rakyat untuk bahu membahu mengumpulkan tenaga untuk membawa perubahan menyeluruh dalam proses pemilihan umum. Pihak Bersih mengagendakan perubahan jangka panjang dan tiga sasaran kerja dengan segera, dan dalam perubahan jangka panjang itu terdapat beberapa aspek yang perlu dikaji dan diadakan perubahan, diantaranya:111 c. Sistem Pemilihan Umum Beberapa hal yang mendasari agar dilakukan perubahan dalam sistem pemilihan umum, adalah : 1). Adalah perlu untuk membetulkan ketidakseimbangan yang tinggi antara pilihan rakyat dan kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum, dimana suara sebanyak 64 perseratus boleh diartikan dengan 91 perseratus kursi bagi partai pemerintah. Ini disebabkan pemilihan berlandaskan prinsip first past the post. 111
Diambil dari harian Fikrah Harakah pada tanggal 16 – 30 November 2007, h. 17
2). Adalah perlu memperkenalkan satu sistem yang mendaftarkan semua perwakilan partai, agar jumlah wanita minimal 30 persen di parlemen dapat terjamin. 3). Adalah perlu memperkenalkan kembali pemilihan umum dengan sistem pemilihan yang adil, termasuk memberikan kesempatan yang lebih kepada keterlibatan wanita dan kelompok terpinggir dalam masyarakat. d. Pelaksana Pemilihan Umum 1).
Adalah perlu untuk merubah SPR yang ternyata gagal bertindak sebagai sebuah institusi yang bebas dengan bergerak kearah struktur perwakilan untuk semua partai sebagaimana dilaksanakan di negara yang demokrasi.
2).
Memberi hak undang-undang yang berkaitan dengan hak pemantau internasional dan nasional.
e. Penamaan Calon dan Pendaftaran Partai Ketimpangan berikut harus diperbaiki : 1). Keputusan berat sebelah dan sewenang-wenangnya oleh petugas pelaksana pemilihan umum yang akhirnya akan menghapus kelayakan calon-calon yang kontra terhadap partai pemerintah ini adalah perbuatan tidak adil. 2). Pendapat kontroversi yang membenarkan calon menarik diri selepas penamaan yang akhirnya membawa kepada fitnah manipulasi dan kemenangan tanpa berkompetisi. 3). Bagi orang yang memiliki banyak uang secara langsung akan menghalangi keikutsertaan warga Malaysia yang kurang sumber keuangannya. f. Kampanye Pemilihan Umum Pengaturan undang-undang bagi masalah-masalah berikut : 1). Menetapkan satu waktu berkampanye wajib yang lebih panjang dari waktu 8 hari berkampanye dalam pemilihan umum, dimana 8 hari kurang berdampak langsung kepada rakyat.
2). Memberikan hak kebebasan bersuara dan berkumpul yang sebenarnya diatur di dalam Undang-Undang Dasar Malaysia. 3). Pengawasan secara ketat dan menyeluruh dalam proses pembiayaan kampanye agar tidak terjadi korupsi dalam pendanaan kampanye. g. Media 1). Merubah undang-undang yang hanya membolehkan media cetak dan lembaga penyiaran di monopoli oleh partai pemerintah (Barisan Nasional). 2). Jaminan undang-undang untuk membolehkan semua partai politik mendapat akses atau memberikan informasi melalui TV dan radio agar dapat sampai kepada rakyat secara adil. 3). Jaminan undang-undang untuk menjamin hak semua partai politik dan calon untuk menjawab segala bentuk tuduhan dan kritikan yang dilontarkan kepada mereka. h. Daftar Pemilih Mengenai daftar pemilih ada hal-hal yang harus diperhatikan, seperti : 1). Daftar pemilih perlu diperbaharui dengan tepat, untuk menghindarkan, pertama, pencoretan dan pemindahan secara tidak sukarela para pemilih yang sah, dan kedua, pemalsuan dan pemilihan dua kali oleh “pemilih hantu”. 2). Semua rakyat yang sudah layak memilih perlu secara automatik didaftarkan sebagai pemilih. i. Suara 1). Melaksanakan penyelenggaraan tinta jari untuk menghindari pemilihan dua kali. 2). Mengambil sistem pemilihan pos kecuali untuk para diplomat dan pemilih yang berada di luar negara.
Untuk jangka terdekat, Bersih menyeru kepada ketua dan pelaksana SPR, Tan Sri Abdul Rashid Abd Rahman dan Dato’kamaruzaman Mohd Noor untuk melaksanakan empat pembaharuan yang diperlukan dan harus dilaksanakan secara serentak : 1). Mengawali pembaharuan daftar pemilih yang lengkap demi memastikan segala kesalahan dan ketimpangan yang ada harus dihapuskan. 2). Penggunaan Tinta jari untuk menghindari pemilih dua kali mencoblos.112 3). Menggunakan sistem pemilihan pos kecuali untuk para diplomat dan pemilih lain yang berada diluar negeri. 4). Akses media yang adil kepada semua pihak dalam pemilihan umum. SPR Batal Menggunakan Tinta Jari Untuk Pemilihan Umum Raya Ke-12 Seperti yang diberitakan dalam salah satu surat kabar di malaysia, bahwa Suruhan Jaya Pilihan Raya (SPR) membatalkan rencana menggunakan tanda tinta jari permanen atau jari tangan pemilih pada Pemilihan Raya Umum 8 April 2008. Ketua SPR Tan Sri Abdul Rahman Rashid Abdul Rahman ketika mengumumkan masalah itu berkata, keputusan itu dibuat pada musyawarah
berdasarkan nasihat dari segi
perundangan serta aspek ketenteraman dan keselamatan rakyat.113 Hasil penyelidikan terhadap laporan yang diajukan kepada Polisi, mengesahkan bahwa terdapat pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab telah membeli tinta dari luar negeri untuk menjalankan aktivitas membujuk dan menyogok orang yang kurang paham mengenai penggunaan tinta untuk digunakan sebelum hari memilih. SPR merasa kecewa atas keputusan yang dibuat ini. Namun begitu, demi menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam menjamin kelancaran proses
112
Ini adalah tuntutan rakyat Malaysia yang mengatasnamakan bersih, tuntututan ini terjadi pada saat sebelum pelaksanaan pemilihan umum raya ke 12. Kemudian pada saat sebelum pemilihan di dalam panduan pemilih yang diterbitkan oleh SPR ada keikhlasan dan keadilan yang di dalamnya memuat tentang pengunaan tinta. 113 “SPR Batal Cadangan Guna Dakwat”, Sinar Harian, 5 Maret 2008.
pemilihan dan ketenteraman dan keselamatan rakyat. SPR perlu mengambil keputusan tegas dan mengikat ini.114 Ketua SPR menjelaskan bahwa SPR ingin menjadikan (tinta) sebagai sistem sebagaimana telah dijelaskan di dalam buku Seri Panduan Memilih yang di dalamnya ada sistem keikhlasan dalam menggunakan tintan permanen. Namun keadaan yang tidak memungkinkan penggunaan tinta. Jadi harus sabar, jangan menuduh SPR tidak mahu melaksanakannya SPR mahu berbuat apa saja sebab kita tahu tidak akan ada penipuan tetapi orang masih mengatakan ada penipuan, saya tidak pernah terima sembarang bukti berlaku penipuan.
F.
Analisis Ketetanegaraan Islam Terhadap Pengangkatan Kepala Negara Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul
dalam sejarah umat Islam adalah masalah poltik atau persoalan imamah, yakni masalah penggantian Nabi Muhammad selaku kepala negara. Persoalan ini juga yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam teologi. Telah jelas bahwa keberadaan imamah itu sangat penting dalam pelaksanaan sebagian besar ajaran Islam, bahkan dapat dikatakan bahwa imamah merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, karena ada beberapa ajaran Islam terutama masalah-masalah hukum yang tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya imam atau kepala negara. Muthahari mengatakan, “tanpa imamah, seluruh struktur Islam akan bercerai berai”. Begitu penting dan sentralnya kedudukan kepala negara dalam ajaran Islam sehingga wajar jika masalah inilah yang pertama kali muncul ketika Nabi Muhammad wafat. Perbedaan pendapat masalah ini telah mewarnai sejarah kaum muslimin. Tidak ada aspek-aspek ajaran Islam yang diiringi dengan polemik hebat dan berkepanjangan selain masalah imamah, khususnya antara Syiah dengan Sunni. Di antara sekian polemik tersebut
114
Ibid, h.2
adalah tulisan al-Baqillani, “al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Muhidah wa al-Rafidah wa alKhawarij wa al-Mutazilah”, yang memuat bantahan terhadap doktrin khawarij, Mu’tazilah, dan terutama Syi’ah. Ibnu Taimiyah, tokoh penting Sunni, yang menulis kitab Minhaj alSunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyah sebagai bantahan atas karya Jamaluddin al-Muthahar al-Hilli, yang beraliran Syi’ah, MInhaj al-Karamah fi Ma’rifat alImamah. Karya Syarafuddin al-Musawi, al-Muraja’at, juga berkenaan dengan polemik ini. Ada beberapa cara pengangkatan kepala negara yang berdasarkan ketatanegaraan Islam 1. Pengangkatan Kepala Negara dengan Penetapan Kaum Syi’ah berkeyakinan bahwa imamah adalah rukun agama, karena itu tidak mungkin Nabi mengabaikannya dan menyerahkan persoalan imamah kepada umat. Menurut Syi’ah, imam itu ma’shum dari dosa besar dan kecil. Ali adalah orang yang sudah ditetapkan Nabi.115 Keyakinan ini dapat ditemukan pada beberapa penjelasan hadits, diantaranya “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya”.116 Kalangan Syi’ah Imamiyah juga berkeyakinan bahwa rangkaian imam terdiri dari dua belas orang, yaitu : 1).
Ali bin Abi Thalib
2).
Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib
3).
Abu Abdillah Husain bin Ali bin Abi Thalib (Sayyid al-Syuhada).
4).
Abu Muhammad Ali bin Husain (Zainal Abidin)
5).
Abu Ja’far Muhammad bin Ali (al-Baqir)
6).
Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad (al-Shadiq)
7).
Abu Ibrahim Musa bin Ja’far (al-Kadhim)
115
Ridwan HR, Fiqih Poliik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta, FH UII Press, 2007, cet. Pertama, h.249. 116
Ibid, h.. 250
8).
Abul Hasan Ali bin Musa
9).
Abu Ja’far Muhammad bin Ali
10). Abul Hasan Ali bin Muhammad 11). Abu Muhammad Hasan bin Ali 12). Abul Qasim Muhammad bin Hasan 2. Pengangkatan Kepala Negara dengan Ikhtiar Golongan yang meyakini pengangkatan imam dengan ikhtiyar adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Murji’ah.117 Madzhab Ahu Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa pengangkatan imam itu dilakukan melalui pemilihan dan kesepakatan ahlul halli wal aqdi serta harus dari keturunan Quraisy. Kalangan Mu’tazilah mengatakan bahwa mengangkat imam itu wajib dan dengan cara pemilihan, tanpa mensyaratkan asal usul ketutunan. Siapa pun bisa jadi imam dengan syarat mampu melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah rasulullah, seorang mukmin, dan adil. Meskipun umat Islam selain Syi’ah secara umum telah menyepakati pengangkatan imam melalui pemilihan, namun di dalamnya ditemukan sejumlah perbedaan tentang cara pemilihan dan jumlah pemilih. Ada yang menyebutkan harus dipilih oleh 40 orang, tetapi ada yang menyebutkan 6 orang, 4 orang, 3 orang, 2 orang, bahkan 1 asalkan ia seorang mujtahid.118 Sehubungan dengan tidak adanya ketentuan baku tentang pengangkatan imam, dan keberadaan imamah yang merupakan masalah publik, maka terhadap masalah publik Al-Qur’an menganjurkan agar bermusyawarah. Bagaimana musyawarah dilakukan, apakah dengan sistem perwakilan melalui ahlul halli wal aqdi atau secara langsung, hal itu diserahkan kepada manusia dan dapat disesuaikan dengan tuntutan tempat dan keadaan (muqtadha al-hal wa al-mahal). Dengan demikian dapat 117 118
Ibid, h. 256 Ibid, h.257
dikatakan Negara Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim dan dalam prakteknya menggunakan pemahaman kepada ahlu sunnah wal jamaah sudah semestinnya dalam menjalankan pemerintahan untuk menentukan kepala eksekuti (pemerintahan) dengan jalan ikhtiyar (pemilihan).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah menguraikan dan menjelaskan mengenai nilai-nilai ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia (studi: kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia), maka pada akhir uraian penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut : 1. Secara umum dalam ketatanegaraan Malaysia terdapat nilai-nilai ketatanegaraan Islam, hal ini dapat dilihat bahwa konsep musyawarah, persamaan dan keadilan sudah berjalan sebagaimana mestinya, namun demikian dalam praktek masih terdapat ketidaksesuaian. 2. Dalam hal pengangkatan kepemimpinan kepala Negara di Malaysia yang menjalankan system kenegaraannya menganut monarki konstitusional, raja sebagai kepala negara adalah payung kepada rakyat, dan kemudian untuk
menjalankan pemerintahan
dilaksanakan oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat dalam ketatanegaraan Islam terutama yang dilaksanakan oleh khulafaur rasyidun, di mana mereka diangkat menjadi khalifah atau kepala Negara dengan menggunakan jalan pemilihan mulai dari khalifah Abu Bakr AsSiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. 3. Kinerja SPR menurut pandangan penulis sudah berjalan dengan baik hal ini di dapat dilihat dengan terlaksanannya pemilu baru-baru ini tahun 2008 yang berjalan tertib dan aman, dapat dilihat dari hasil kursi dari pemilihan yang memberikan tempat dan kedudukan kepada pihak oposisi yang memenangi 5 negara bahagian (Kelantan, Kedah, Selangor, Perak, dan Pulau Pinang) ini merupakan sejarah baru di negeri Malaysia sehingga dengan demikian sudah jelaslah fungsi SPR sebagai lembaga yang independent telah berjalan dengan semestinya. namun demikian ada beberapa hal yang menjadi catatan yang harus
diperbaiki di antaranya harus memiliki ketetapan yang kuat seperti adanya laporan tahunan yang diterbitkan SPR untuk panduan pemilih yang di dalamnya ada beberapa hal yang harus di laksanakan seperti penggunaan tinta jari, kelemahan dalam penulisan daftar pemilih. Kami percaya SPR telah memperbaiki semua kesalahan-kesalahan yang telah lalu dan berusaha menjadi lembaga yang lebih baik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa SPR telah berjaya sebagai wasit dalam pelaksanaan pemilu di Malaysia dan telah menerapkan nilai-nilai Islami yang terdapat di dalam ketatanegaraan Islam.
B. Saran-saran Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia, di mana Malaysia merupakan negara yang di dalamnya mengakui keberadaan hukum Islam, maka perlu kiranya ada penyesuaian nilai-nilai ketatanegaraan Islam dalam praktek pelaksanaan pemilihan umum Malaysia. Di bawah ini merupakan suara hati nurani penulis sebagai warga negara Malaysia dalam hal usaha perbaikan untuk perubahan Malaysia kearah yang lebih baik, yaitu: 1. Ditunjukkan kepada pihak Suruhanjaya Pilihan Raya : 1) Suruhanjaya Pilihan Raya haruslah mendengarkan aspirasi rakyat, dan tidak berat sebelah sehingga menimbulkan ketidak seimbangan antara partai pendukung pemerintah dan partai oposisi dalam hal peyebaranluasan isu-isu berkaitan dengan penengakkan demokrasi di Malaysia. 2) Perbaikan terhadap sistem pemilihan umum, membetulkan ketidakseimbangan yang tinggi antara pilihan rakyat dan kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum, dimana suara sebanyak 64 perseratus boleh diartikan dengan 91 perseratus kursi bagi partai pemerintah. Ini disebabkan pemilihan berlandaskan prinsip first past the post. Kemudian memperhatikan kedudukan wanita di parlemen.
3) Harus ada perbaikan dalam hal pendaftaran calon pemilih, sehingga dikemudian hari tidak terjadi hal-hal seperti yang sudah-sudah. 4) Menggunakan tinta jari setelah melakukan pencoblosan, sehingga tidak akan terjadi pemilihan dua kali.
2. Ditunjukkan kepada pemerintah Malaysia supaya mengawal pelaksanaan pemilihan umum secara adil, bebas dan independent. Selain itu agar dilakukan pelatihanpelatihan dan tatacara pemilihan umum yang baik dan benar. 3. Kepada para pemilih agar memilih sebuah pilihan berdasarkan hati nurani sesuai dengan keinginan perubahan. 4. Kepada partai-partai
politik agar senantiasa memberikan contoh kepada para
pemilihnya untuk bersikap baik,benar dan sesuai dengan keinginan rakyatnya. Walaupun terdapat banyak permasalahan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, penulis menghargai semua jerih payah yang telah di lakukan oleh Suruhanjaya Pilihan Raya, namun saran-saran diatas merupakan sesuatu yang harus diterima dan direspon oleh pemerintah sehingga mencerminkan bahwa Malaysia merupakan Negara yang berdasarkan demokrasi. Hal ini telah dibuktikan dalam pilihan raya ke-12 tahun 2008 dimana fungsi dari SPR telah berjalan dengan baik tanpa adanya kecurangan, penulis juga yang pernah menjadi seorang agen dan juga pemilih telah mengikuti dan melihat semua perkembangan yang dilaksanakan oleh seluruh petugas SPR yang telah menunjukkan komitmen yang tinggi dan bekerja dengan amanahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khaliq, Farid, Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005 Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Dr, Fiqh Siasah (menurut Imam Syahid Hassan AlBanna), (Kuala Lumpur;Pustaka Syuhada), Cet.Pertama, 2000 Abdurrahman, A. Said ‘Aqil Humam, Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), (Bogor: Al-Azhar Press), Cet. Pertama, 2004 Abbas, Mahmud Al-Aqqad, Kejeniusan Utsman Bin Affan, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), Bangil Jatim:Al-Izzah, cet. pertama, 1997 Al-Mubarok, M, Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam, Ter. Firman Harianto, Solo: Pustaka Mantiq, 1995 Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibnu Muhammad, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Beirut: Dar Al Fikr, 1960 Al, Maududi, Abu A’la, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990
Awang, Abdul Hadi, Sistem Pemerintahan Negara Islam, Pulau Pinang: Dewan Muslimat Sdn, Bhd, 1995 Aziz, Abdul Ghafar, Islam Politik (Pro dan Kontra), Jakarta: Pustaka Firdaus, tt Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim dan Terjemah (Bandung; PT. Syamil Cipta Media),tt.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998 HR, Ridwan, Fiqih Poliik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta, FH UII Press, cet. Pertama, 2007. Ismail, Yahya Dr, Hubungan Penguasa dan rakyat (Dalam Perspektif Sunnah ), Jakarta; Gema Insani Press, Cet. Pertama, 1995 Ibn, Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, ( Jakarta: Pustaka Firdaus), cet. VII, 2008 Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005 Kamaruzaman, Datuk bin Haji Mohd Noor, Ketelusan Urusan Penamaan Calon Dalam Pilihan Raya, (Suruhanjaya Pilihan Raya ), 2007
Laws Of Malaysia, Akta Pilihan Raya 1958 (Akta 19 ), Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2004 Laws Of Malaysia, Peraturan-peraturan Pilihan Raya (Penjalanan Pilihan Raya) 1981 P.U (a) 386/1981. Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2004
Mohd Salleh Abas, Tun, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, Ampang/Hulu Kelang Selangor: Darul Ehsan; Dawama Sdn.Bhd; 2006 Pulungan, Suyuti, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an), Jakarta;RajaGrafindo, Cet. Pertama, 1994 Qardhawi, Yusuf, Dr, Fatwa-fatwa Kontemporer (jilid II), (Jakarta: Gema Insani Press), tt,
Rais, M, Dhiauddin Dr. Teori Politik Islam, Terj. Abdul Hayyie Al-Katani, dari buku AnNizhariyatu as-Siyasatu Islamah, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Salim, Abdul Muin, Fikih Siyasah : Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Shiddieqy Ash, Muhammad Hasbi, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971 Shihab, M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996 Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta: UI Press, 1993 Suruhanjaya Pilihan Raya, Buku Panduan (Ejen Tempat Mengundi dan Ejen Mengira), 2003 Suruhanjaya Pilihan Raya, Laporan Tahunan Suruhan Jaya Plihan Raya, Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2004 Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar’iyah (Etika Politik Islam), Surabaya: Risalah Gusti, 2005 WAMY, “Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Wal Ahzab AlMu’ashirah”, (Riyadh: Dar An-Nadwah Al-Alamiyah), vol I. Daftar Website dan Harian (Koran): 1. Fikrah Harakah (Koran Malaysia) 2. www.perisaidakwah.com 3. http://muhammadzulifan.multiply.com/journal/item/16 4. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5950&Itemid=1
5. http://satriopinandito.wordpress.com/2007/12/18/menjemput-pemilu-2009/ 6. http://www.dw-world.de/dw/article/0,,3164582,00.html?maca=ind-rss-ind-all-1487-rdf 7. http://forum-politisi.org/aktivitas/article.php?id=317 Undang-Undang Republik Indonesia 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK 2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 3. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK Menimbang : a. bahwa kernerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indones.ia Tahun 1945;
b. bahwa untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum;
b. bahwa kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum;
b. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi
kebebasan yang bertanggung jawab;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui sesuai masyarakat;
dengan
tuntutan
dan
dinamika
perkembangan
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Partai Politik. Mengingat
: Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik. 3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD. 4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik. 6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. 7. Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. BAB II PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK Pasal 2 (1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. (2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta
kepengurusan Partai Politik tingkat pusat. (4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. peraturan dan keputusan Partai Politik; h. pendidikan politik; dan i. keuangan Partai Politik. (5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 3 (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan e. memiliki rekening atas nama Partai Politik. Pasal 4 (1) Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2). (2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. (3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi. (4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB III PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK Pasal 5 (1) Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. (2) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan akta notaris
mengenai perubahan AD dan ART. Pasal 6 Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris. Pasal 7 (1) Menteri mengesahkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. (2) Pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 8 Dalam hal terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tidak dapat dilakukan oleh Menteri. BAB IV ASAS DAN CIRI Pasal 9 (1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan citacita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB V TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 10 (1) Tujuan umum Partai Politik adalah: a. Mewujudkan cita-cita nasional bartgsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (2) Tujuan khusus Partai Politik adalah: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.
Pasal 11 (1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 12 Partai Politik berhak: a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; f. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; h. mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; i. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; j. membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan k. memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 13 Partai Politik berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang - undangan; b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional; d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang
diterima, serta terbuka kepada masyarakat; menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan k. menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat. i.
BAB VII KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGGTA Pasal 14 (1) Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin. (2) Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART. Pasal 15 (1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART. (2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih. (3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik. Pasal 16 (1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri secara tertulis; c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau d. melanggar AD dan ART. (2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik. (3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB VIII ORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 17 (1) Organisasi Partai Politik terdiri atas: a. organisasi tingkat pusat; b. organisasi tingkat provinsi; dan c. organisasi tingkat kabupaten/kota. (2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain. (3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Pasal 18
(1) Organisasi Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. (2) Organisasi Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3) Organisasi Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/ kota. BAB IX KEPENGURUSAN Pasal 19 (1) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. (2) Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3) Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. (4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan. Pasal 20 Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing. Pasal 21 Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. Pasal 22 Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART. Pasal 23 (1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART. (2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Departemen paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan. (3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan. Pasal 24 Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan. Pasal 25 Perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 terjadi apabila pergantian kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan ditolak oleh paling rendah 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik.
Pasal 26 (1) Anggota Partai Politik yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan dan/ atau keanggotaan Partai Politiknya tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama. (2) Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya tidak diakui oleh Undang-Undang ini. BAB X PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pasal 27 Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis. Pasal 28 Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART Partai Politik. BAB XI REKRUTMEN POLITIK Pasal 29 (1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. (2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. (3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART. BAB XII PERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK Pasal 30 Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. BAB XIII PENDIDlKAN POLITIK Pasal 31 (1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. (2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.
dilaksanakan untuk
BAB XIV PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. (2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART. Pasal 33 (1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. BAB XV KEUANGAN Pasal 34 (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. (3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. (4) Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 (1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari: a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART; b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan c. perusahaan dan/ atau badan usaha, paling banyak senilai Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) per perusahaan dan/ atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik. Pasal 36 (1) Sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 merupakan pendapatan yang dapat digunakan untuk pengeluaran dalam pelaksanaan program, mencakup pendidikan politik, dan operasional sekretariat Partai Politik. (2) Penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik dikelola melalui rekening kas umum Partai Politik. (3) Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik. Pasal 37 Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir. Pasal 38 Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat. Pasal 39 Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART. BAB XVI LARANGAN Pasal 40 (1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. nama atau gambar seseorang; atau f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain. (2) Partai Politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Partai Politik dilarang: a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya;atau e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik. (4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/ atau memiliki saham suatu badan usaha. (5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme. BAB XVII PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK Pasal 41 Partai Politik bubar apabila: a. membubarkan diri atas keputusan sendiri; b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 42 Pembubaran Partai Politik atas keputusan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilakukan berdasarkan AD dan ART. Pasal 43 (1) Penggabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dapat dilakukan dengan cara: a. menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru; atau b. menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu Partai Politik. (2) Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (3) Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 44 (1) Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 di beritahukan kepada Menteri. (2) Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 45 Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Departemen. BAB XVIII PENGAWASAN Pasal 46
Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang-undang. BAB XIX SANKSI Pasal 47 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum. (5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. Pasal 48 (1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh pengadilan negeri. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan semen tara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun. (3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. (4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. (5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. (6) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara. (7) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 49 (1) Setiap orang atau perusahaan danjatau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya.
(2) Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterima. (3) Sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c disita untuk negara. Pasal 50 Pengurus Partai Politik yang menggunakan Partai Politiknya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya dapat dibubarkan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 (1) Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya. (2) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan, Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan. (3) Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum Undang-Undang ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut Undang-Undang ini. (4) Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan, penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. (5) Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 53 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 2
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik danan Kesejahteraan Rakyat, Ttd Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK I.
UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui. Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara. Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbcntuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kcbangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan
keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan secara tegas larangan untuk menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPRS Nomor XXV /MPRS/Tahun 1966. Ketetapan MPRS ini diberlakukan dengan memegang teguh prinsip berkeadilan dan menghormati hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Seluruh pokok pikiran di atas dituangkan dalam Undang-Undang Inl dengan sistematika sebagai berikut: (1) Ketentuan Umum; (2) Pembentukan Partai Politik; (3) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; (4) Asas dan Ciri; (5) Tujuan dan Fungsi; (6) Hak dan Kewajiban; (7) Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; (8) Organisasi dan Tempat Kedudukan; (9) Kepengurusan; (10) Pengambilan Keputusan; (11) Rekrutmen Politik; (12) Peraturan dan Keputusan Partai Politik; (13) Pendidikan Politik; (14) Penyelesaian Perselisihan Partai Politik; (15) Keuangan; (16) Larangan; (17) Pembubaran dan Penggabungan Partai Politik; (18) Pengawasan; (19) Sanksi; (20) Ketentuan Peralihan; dan (21) Ketentuan Penutup. II
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan "mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain" adalah memiliki kemiripan yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain. Huruf c Kantor tetap ialah kantor yang layak, milik sendiri, sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap. Huruf d Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/kabupaten di provinsi lain. Huruf e
Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara administratif dan periodik oleh Departemen bekerja sama dengan instansi terkait. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j
Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/ atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik. Huruf k Yang memperoleh bantuan keuangan adalah Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupatenjkdta Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Laporan penggunaan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah diperiksa aleh Badan Pemeriksa Keuangan disampaikan oleh Partai Politik kepada Departemen Dalam Negeri. Huruf j Rekening khusus dana kampanye pemilihan umum hanya diberlakukan bagi Partai Politik peserta pemilihan umum. Huruf k Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal23 Cukup jelas. Pasa124 Yang dimaksud dengan "forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik" adalah musyawarah nasional, kongres, muktamar, atau sebutan lainnya yang sejenis. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasa127 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Ayat(1) Yang dimaksud dengan "perselisihan Partai Politik" meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggung jawaban keuangan; dan/ atau (6) keberatan terhadap
keputusan Partai Politik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat(1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "pihak asing" dalam ketentuan ini adalah warga negara asing, pemerintahan asing, atau organisasi kemasyarakatan asing. Huruf b Yang dimaksud dengan "identitas yang jelas" dalam ketentuan ini adalah nama dan alamat lengkap perseorangan atau perusahaan dan/ atau badan usaha. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Larangan dalam ketentuan ini tidak termasuk sumbangan dari anggota fraksi. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasa142 Cukup jelas. Pasa143 Ayat (1) Penggabungan Partai Politik dalam ketentuan ini bukan merupakan gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun 2004 tidak hilang bagi Partai Politik yang bergabung. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Yang dimaksud dengan "sesuai dengan undang-undang" dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan undang-undang organik yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan pengawasan. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4801
Wawancara Penulis dengan Timbalan Pengarah Pilihan Raya Negeri Terengganu
Nama
: Abdul Hadi bin Aripin
Konsentrasi
: Ketatanegaraan Islam
Jurusan
: Jinayah Siyasah Syar’iyyah
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Soalan : 1. Mengapa SPR tidak melaksanakan penggunaan tinta jari (dakwat) untuk menghindari pemilihan dua kali dalam pemilu (pilihan raya ) 2008 barubaru ini ? 2. Bagaimana SPR mengawali pembaharuan daftar pemilih yang lengkap demi memastikan segala kesalahan dan ketimpangan yang ada harus dihapuskan ? 3. Saya sebagai mahasiswa Universias Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah berpengalaman menjadi agen (saksi) pilihan raya dalam tempat mengundi pada pilihan raya than 2008 yang telah berlangsung beberapa hari yang lalu dan saya melihat ketelusan keadilan dan disiplin yang tinggi yang dilaksanakan oleh pegawai-pegawai SPR yang bertugas. Bagaimana SPR sebuah badan yang independent dapat mempertahankan keadilan, apakah prinsip-prinsipnya?
Jawaban dari soalan diatas yang di sampaikan oleh Timbalan Pengarah Pilihan Raya Negeri Terengganu
1. jaja 2. Tuk soalan mengenai pendaftaran pemilih sekiranya kita hendak tahu dahulu apakah yang dimaksudkan dengan urusan pendaftaran pemilih. Urusan pendaftaran pemilih ialah suatu urusan di mana seseorang warganegara yang layak diberi peluang untuk mendaftarkan nama mereka sebagai pemilih baru di dalam daftar pemilih yang akan digunakan semasa sesuatu pilihan raya. Bagi mereka yang sudah mendaftar dan telah bertukar alamat kediaman pula, mereka dibenarkan membuat permohonan pertukaran alamat tempat mengundi mengikut alamat kediaman mereka yang terkini. Selanjutnya kita juga hendaknya tahu mengenai peranan SPR dalam urusan pendaftaran. Apabila SPR ditubuhkan pada 4 September 1957, tugas pendaftaran pemilih telah menjadi sebahagian daripada tanggungjawabnya selain daripada urusan persempadanan bahagian-bahagian pilihan raya dan menjalankan pilihan raya. Tugas ketua pegawai pendaftar ketika itu telah diserapkan ke dalam organisasi SPR apabila jawatan tersebut dikekalkan dalam struktur baru urus setia SPR. Urusan pendaftaran pemilih pertama kali yang dikendalikan oleh SPR telah diadakan pada tahun 1958. dalam urusan tersebut SPR telah melantik seramai 2500 orang penolong pendaftar untuk melawat dari rumah ke rumah bagi menyemak kelayakan pemohon untuk di daftarkan sebagi pemilih. Urusan pendaftaran ini adalah dilakukan secara langsung oleh penolong pendaftar kerana mereka inilah yang dipertanggungjawabkan untuk mendaftarkan orang ramai sebagai pemilih.
Pada tahun 2002, apabila system pendaftaran pemilih sepanjang tahun (SPPST) diperkenalkan, urusan pendaftaran pemilih telah diperluas kepada pejabat pos dengan harapan orang ramai akan lebih mudah untuk mendaftar sebagai pemilih. Namun demikian sambutan yang diperoleh tidak juga membanggakan. Daripada rekod data warganegara Malaysia berumur 21 tahun keatas yang diperoleh daripada jabatan pendaftaran Negara. SPR mendapati masih terdapat hamper empat juta warganegara Malaysia yang layak mendaftar tetapi belum mendaftar sebagai pemilih. Untuk menyelesaikan permasalahan semacam ini, bagi SPR dalam mesyuaratnya pada pertenggahan tahun 205 telah bersetuju untuk membenarkan parti-parti politik membantu SPR untuk mendaftarkan warganegara Malaysia sebagai pemilih. Sehubungan dengan ini SPR telahpun mendapatkan kelulusan perbendaharaan untuk membuat bayaran kepada penolong pendaftar yang dilantik dengan kadar RM 1.00 bagi satu borang permohonan pendaftaran pemilih yang sah diterima sebagai dorongan kepada penolong pendaftar untuk mendaftar seramai yang boleh. Dengan pelantikan penolong pendaftar (parti-parti politik) ini adalah diharapkan mereka akan dapat membantu SPR mendaftarkan pemilih-pemilih yang belum mendaftar sebagai pemilih. SPR percaya bahawa sebagai parti politik, mereka akan dapat melaksanakan tugas dengan baik kerana ini adalah berkaitan dengan kepentingan parti masing-masing. dengan kebenaran yang diberikan ini SPR berharap tidak ada mana-mana pihak menuduh SPR menyebelahi pihak tertentu dalam urusan pendaftaran kerana peluang yang sama untuk melantik penolong pendaftar di kalangan parti-parti politik dibenarkan kepada semua pihak tanpa sebarang sekatan. 3. Menjalankan pilihan raya merupakan suatu tanggungjawab berat yang perlu dipikul demi memastikan bahawa proses pemilihan wakil secara legitimate dan demokratik melalui system pilihan raya dilaksanakan dengan cakap dan telus. Sebagai sebuah badan pengurusan pilihan raya, suruhanjaya pilihan raya (SPR) tidak terkecuali daripada melaksanakan tanggungjawab yang senantiasa terbuka kepada kritikan umum ini. Sebagai pengadil, kecakapan dalam menguruskan pertandingan diantara pihak-pihak yang bertanding di antara
pihak-pihak yang bertanding sentiasa diperhatikan oleh semua pihak, sama ada pihak yang bertanding mahupun pihak yang berada di luar pertandingan. Bagi memastikan pertandingan itu dijalankan mengikut ketetapan undangundang dan semangat pertandingan yang luhur, kerjasama semua pihak adalah diperlukan. Ini kerana semua pihak sama ada yang berada di dalam gelanggang pertandingan ataupun yang hanya duduk sebagai pemerhati mempunyai peranan yang tersendiri bagi memastikan pertandingan itu dijalankan secara adil dan saksama serta dalam semangat pertandingan yang positif.