Jurnal Potret Pemikiran Vol. 17. No. 1, Januari – Juni 2013
HAK ASASI MANUSIA (HAM) SEBUAH ANALISIS PERSPEKTIF HISTORIS, NORMATIF DAN SOSIOLOGIS M. Bekti Khudari Lantong Abstrak “Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature, and without which we cannot live as human beings”1 Human Rights is relatively a recent term in post-war World II. However, this very idea has rooted for such long time in all human civilizations and in religious doctrines across the universe. To mention some, such as in the sacred Ten-Commandements of Moses, in Christian doctrine as well as in the Qur’an. Yet, no one could deny that Greek philosophers had contributed quite a lot within this idea. It is because of destructive wars, genocides and crimes against humanity that make this idea as a Universal Norm and Law to protect human life ever since. To make the story short, almost all countries and nations in the world accepted and admitted it as the universal norm. The problem arose when some Western countries, United States in particular, tend to claim that they have special and powerful authority to dictate and to punish every single state or nation which – according to their own perspective and values – break this international law. To the contrary, the united nations to which all those claims and authorities should belong is absolutely powerless and hopeless. So, It truly make sense when some oppressed, dominated and isolated Islamic states questione the future of justice and human race. However, this brief paper would try to elaborate on human rights either from a Western perspective or an Islamic perspective as well. Kata Kunci: HAM, Perspektif, Historis, Normatif, Sosiologis 1
Teaching Human Rights: United Nations, in Tahir Mahmood, Human Rights in Islamic law, (New Delhi: Genuine Publications, 1993)
M. Bekti Khudari Lantong
A. Pendahuluan 1. Istilah HAM Hak asasi manusia (human rights) merupakan istilah yang relatif baru, yang mula-mula muncul dalam instrumen-instrumen hukum internasional pasca Perang Dunia kedua.2 Namun demikian, HAM sebagai “aspirasi” telah ada sejak masa kuno dan terdapat di hampir semua peradaban, yang kemudian membentuk – apa yang kita sebut – “peradaban modern”.3 Hal ini dibuktikan dengan adanya tulisan-tulisan yang mengaspirasikan “esensi” HAM.4 Jadi, meskipun HAM merupakan “anak” dari peradaban Barat, namun sebelumnya telah menjelma dalam hampir semua peradaban manusia. HAM yang dimaksudkan dalam dokumen internasional adalah hak-hak fundamental yang dimiliki, dan tidak dapat dikurangi ataupun diambil (inalienable), oleh seseorang atau kelompok yang disebapkan “hanya” karena ditakdirkan sebagai manusia.5 Oleh karena itu, HAM ditujukan sebagai nilai-nilai “universal” dan bukan sekedar sebagai nilainilai internasional. Pengertian ini yang mendasari UDHR sebagai “a common standard of achievement for all peoples or nations”.
2
Burn Weston, “Human Rights”, dalam “Encyclopedia Britannica”, 15th ed., Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 1992, di dalam Jawahir Thontowi, Islam: NeoImperialisme dan Terorisme; Perspektif Hukum Internasional dan Nasional, (ed.) Pranoto Iskandar, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h.xiv 3 Peradaban “modern” atau “Barat” yang kita kenal sekarang merupakan campuran ( mixture) dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya, pemahaman ini dikemukakan oleh Harold J. Berman, “Law and Revolution: The Formation of Western Legal Tradition”, (Massachuset: Harvard University Press, 1992), khususnya bab pertama, di dalam Jawahir Thontowi, Islam…, h.xiv 4 Tulisan-tulisan tersebut dapat dibaca dalam bukunya Micheline R. Ishay (ed.), “Human Rights Reader: Major Political Essay, Speeches and Documents from Bible to Presents”, (London: Routledge, 1997), di dalam Jawahir Thontowi, Islam…, h.xiv 5 Pengertian ini dapat kita ambil inti sarinya dari berbagai instrument internasional mengenai HAM, inter alia, pasal 1 dan 2 dari The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dimaksudkan sebagai “a common standard of achievement for all peoples or nations” atau dari Preamble yang sama dalam kedua Kovenan HAM, yakni The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan, “…that these derive from the inherent dignity of the human person,…” Instrumen-instrumen HAM, dalam Jawahir Thontowi, Islam…, h.xv
18
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
2. Sejarah Munculnya HAM Konsep HAM apabila kita lacak kembali dapat kita temukan, misalnya, pada The Ten Commandements-nya (sepuluh perintah Tuhan) nabi Musa. Dimana di dalamnya terdapat, antara lain, larangan mencuri dan membunuh. Dari kedua larangan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa hak atas kepemilikan suatu benda, dalam hal larangan pertama, dan hak atas hidup telah lama diakui. Dan yang lebih penting dari itu; pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan mendapatkan hukuman (baca: dosa). Tradisi pengakuan HAM berdasarkan ajaran relijius terus berlangsung dengan datangnya agama-agama monoteis, yaitu Kristen dan Islam. Disamping itu, Budha dengan doktrin the Bodhisattva pathnya, menekankan sikap untuk tidak mementingkan diri sendiri.6 Pada dasarnya HAM berawal pada konsep Yunani-Romawi kuno yang mengaitkan sikap manusia serta mengukur baik-buruknya berdasarkan keserasiannya dengan hukum alam. Konsep ini, yang dikenal dengan Natural Law doctrine (Doktrin Hukum Alam), lebih menekankan kewajiban daripada hak.7 Seiring dengan upaya pencarian kebenaran dan keadilan oleh para filosof Yunani, maka dimulailah babak baru pemikiran mengenai HAM yang sekuler yang dapat memberikan dasar untuk pemberlakuannya secara universal. Cicero misalnya, beranggapan bahwa – irrespective of any religious, race, sex, colour, and other distinctions – umat manusia terikat oleh suatu prinsip akan hidup yang benar, yaitu hukum alam. Dimana hukum alam ini melampaui hukum buatan manusia dan di dalamnya terkandung ide akan adanya dunia yang satu dan setiap manusia adalah warganya.8 Konsep HAM dikembangkan di Barat pada akhir abad ke-17. Dimana diantaranya termaktub di dalam konstitusi dan instrumeninstrumen hukum, seperti di dalam Magna Carta. Di Inggris, di dalam Petition of Rights 1672, the Habeas Corpus Act 1679, dan Bill of Rights 1689 memuat beberapa aspek utama HAM. Di benua Amerika the 6
Ibid, h.xv Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), h.177 8 Thomas Hobbes, “Leviathan”, (ed.) C.B. Macpherson, (London: Penguin Books, 1985), di dalam Jawahir Thontowi, Islam…, h.xvi 7
19
M. Bekti Khudari Lantong
Charter of New Plymouth 1620, untuk pertama kalinya, memuat Prinsipprinsip dasar HAM. Begitu juga, “ekspresi” prinsip-prinsip dasar HAM ini termaktub di dalam deklarasi dan instrumen-instrumen konstitusi (negara bagian) Virginia, Maryland, New Jersey, North and South Carolina, termaktub di dalam American Declaration of Independence and Bill of Rights 1791; dan di dalam First Ten Amendement of the Constitution 1787.9 Di Prancis, the Declaration of the Rights of Man diperkenalkan pertama kali oleh the French National Assembly 1789. Selanjutnya, prinsip-prinsip dasar HAM ini diadopsi oleh hampir semua negara Eropa. Swedia mengadopsi HAM pada tahun 1809; Spanyol tahun 1812; Norwegia tahun 1814; Belgia tahun 1831; Denmark tahun 1849; Prussia tahun 1850; dan Swiss tahun 1874. The French Constitution 1848 menempatkan “hak dan kewajiban” (rights and duties) diatas hukum positif.10 Dikarenakan begitu besarnya kesewenang-wenangan dan kehancuran yang diakibatkan oleh peperangan demi peperangan dan oleh “kekuasaan tangan besi” para diktator, memaksa sebagian orang untuk berpikir keras tentang pentingnya upaya “protection of human hights” secara internasional. Inisiatif pertama untuk melakukan upaya perlindungan HAM ini terjadi pada tahun 1928 oleh the Academic Diplomat International yang mengumumkan resolusi tentang The Recognition of Human Rights by all States. Pada tahun 1929, The Institute of International Law di New York mengadopsi Deklarasi Internasional HAM. Dahsyatnya kerusakan dan korban jiwa yang diakibatkan oleh Perang Dunia II, dan pembantaian secara besar-besaran etnis Yahudi oleh rezim Nazi Hitler, menjadi pemicu sebuah “gerakan baru” untuk membangun sebuah “kesepahaman dan kepedulian” bersama dalam rangka perlindungan terhadap HAM pasca Perang Dunia II. Dengan dibentuknya the United Nation Organisations (PBB) semakin 9
Majid Ali Khan, “The Universal Declaration of Human Rights and the Human Rights in Islam: A Comparative study”, in Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law, (New Delhi: Genuine Publications, 1993), p.65 10 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, (Colorado: Westview Press, 1995), p.37
20
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
melapangkan jalan bagi diterimanya prinsip-prinsip dasar HAM secara universal. Sebagai contoh, di dalam Preamble Piagam PBB, para anggotanya menunjukkan kebulatan tekad dan kesungguhan dalam upaya perlunya penegasan kembali prinsip-prinsip dasar HAM. Di dalam Pasal I Ayat 3 Piagam PBB dinyatakan bahwa salah satu tujuan didirikannya PBB adalah: to achieve international cooperation in solving international problems of an economic, social, cultural or humanitarian character and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all, without distinction to race, sex, language or religion. Sedangkan Pasal 13 menyatakan bahwa The General Assembly should initiate studies and make recommendations for the purpose of assisting the realization of human rights.11 Pada tangal 12 Februari 1946 Majelis Umum PBB menyetujui (usulan) pembentukan komisi HAM (Commission of Human Rights). Komisi ini bertugas menyusun proposal, rekomendasi dan laporan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council) PBB, yaitu salah satu badan di PBB yang telah memberikan rekomendasi kepada PBB untuk membentuk komisi HAM berkenaan dengan isu-isu sebagai berikut: 1) An international bill of rights; 2) International declaration or conventions on civil liberties, the status of women, freedom of information and similar matters; 3) The protection of minorities; 4) The prevention of discrimination on grounds of race, sex, language or religion; 5) To make studies and recommendations and provide information and other services at the request of the council. Final Draft yang dibuat oleh komisi HAM PBB inilah yang kemudian disetujui dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 – dengan dukungan persetujuan 48 suara (negara), 8 suara (negara) diantaranya abstain – yang kemudian ditetapkan sebagai “ Universal Declaration of Human Rights”.12 11 12
Ibid, p.66-67 Ibid, p.67-68
21
M. Bekti Khudari Lantong
3. Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Universal HAM13 HAM, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen HAM yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri utama. Pertama, HAM adalah hak, yang menunjukkan bahwa HAM adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib. Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, status sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari HAM yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah. Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya. Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa pengecualian, HAM cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa diantaranya bersifat absolut. Dengan demikian, HAM yang dipaparkan oleh Deklarasi PBB itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights. 13
Sumber dari Internet, disarikan dari tulisan James W. Nickel dengan judul artikel: Making Sense of Human Rights: Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights (The Regents of the University of California, 1987)
22
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada dimana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggungjawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.14 Keenam, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem HAM. Sebagai misal, suatu pemerintahan yang gagal atau tidak dapat menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai pemerintah yang tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan HAM. Sejumlah kalangan mengusulkan agar pernyataan HAM internasional di PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekedar suatu deklarasi, melainkan juga tampil sebagai norma-norma yang didukung oleh prosedur penegakan yang mampu mengerahkan tekanan internasional terhadap negara-negara yang melanggar HAM secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian yang senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan HAM yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang; yaitu Perjanjian Hak-Hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights), serta 14
Untuk pembahasan tentang apakah pemerintah-pemerintah yang bukan merupakan pemerintah yang membawahi seseorang juga harus menjaga hak asasi orang tersebut, lihat James W. Nickel, “Human Rights and the Rights of Aliens”, di dalam Peter G. Brown and Henry Sue (ed.), The Border That Joins, Totowa, (New York: Rowman and Littlefield, 1983), h.31-45
23
M. Bekti Khudari Lantong
Perjanjian Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan persetujuan akhir Majelis Umum PBB bagi Perjanjian Internasional yang keluar pada tahun 1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari penjajahan masuk menjadi anggota PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk menegakkan HAM, namun mereka memodifikasinya guna mewakili kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri: mengakhiri kolonialisme, mengutuk eksploitasi negara-negara Barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta menghancurkan Apartheid dan diskriminasi rasialdi Afika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut: keduanya berisi paragrafparagraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber daya alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal, dihapuskan dari perjanjian itu. Setelah persetujuan dari Majelis Umum PBB keluar pada tahun 1966, Perjanjian itu memerlukan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima membubuhkan tanda tangan pada tahun 1976, dan perjanjian itu pun kini berlaku sebagai hukum internasional.15 B. Pembahasan HAM Dalam Perspektif Islam: Sebuah Uraian Singkat Berbeda dengan cara pandang Barat tentang HAM, Di dalam Islam HAM diyakini sebagai “anugrah Tuhan” kepada setiap individu (granted by God to every single man and woman). Hak-hak ini bertujuan menganugrahkan harkat dan martabat (honour and dignity) manusia dan menghilangkan segala bentuk eksploitasi, kekerasan dan ketidakadilan. Dengan kata lain HAM bukanlah semata-mata anugrah dari raja, dewan legislatif atau otoritas tertentu. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu apa pun 15
24
Ibid, h.5-6
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
di dunia ini – apakah ia seorang raja, dewan legislatif, negara atau otoritas tertentu – yang berhak dan memiliki otoritas untuk merubah atau mengganti Hak Asasi Manusia seorang individu. Tidak ada seorang pun yang berhak menghapus atau melenyapkannya. HAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan ajaran Islam, dan merupakan kewajiban bagi semua pemerintahan Islam dan komponen-komponen sosial lainnya untuk mengimplementasikannya, baik secara eksplisit maupun implisit dalam kehidupan sehari-hari . Siapa pun yang melanggar HAM ini berarti ia telah melanggar ketentuan Allah swt 16, sebagaimana firman Allah di dalam QS. al-Maidah [5]:44,45,47 yang artinya: “ Barangsiapa yang memutuskan suatu masalah tidak berdasarkan apa-apa yang telah diturunkan Allah (yaitu Alqur‟an), maka mereka termasuk orang yang kafir (44)” ……. …maka mereka termasuk orang yang zhalim (45)” …………maka mereka termasuk orang yang fasik (47)”
17
Paling tidak, ada tiga perbedaan mendasar dalam konsep HAM antara Islam dan Barat; Pertama, HAM di Barat diperjuangkan oleh dan bersumber dari para penguasa melalui serangkaian pergulatan dan pertarungan panjang antara sesama manusia, yang melelahkan dan penuh suka duka. Para penguasa menggenggam hak istimewa (privileges) dengan penuh kekerasan, sementara rakyat jelata memperjuangkan hakhak mereka. Maka terjadilah revolusi, dan melalui revolusi yang penuh dengan siksaan dan pertumpahan darah inilah kemudian dibuat konsesi atau kesepakatan baru antara penguasa dan rakyat jelata. Inilah jalan terjal memperjuangkan ide-ide HAM yang sekuler di Barat. Sedangkan di dalam Islam, HAM bukanlah persoalan bagaimana seorang individu menuntut hak-haknya dari individu yang lain, melainkan bagaimana seorang individu menunaikan “kewajibannya” kepada Tuhan. Sehingga di dalam Islam dikenal istilah “huquq Allah” (hak-hak Allah) dan “huquq al-„ibad” (hak-hak seorang hamba/manusia). Hal ini bukanlah semata-mata pemenuhan hubungan horizontal antara sesama manusia, 16
Abul A‟la Al-Maududi, “Human Rights: The West and Islam”, in Tahir Mahmood, Human Rights in Islamic Law, (New Delhi: Genuine Publications, 1993), p.2-3 17 Terjemahan ini disadur dari Alqur‟an dan Terjemahannya, terbitan Departemen Agama bekerja sama dengan Kerajaan Saudi Arabia, (tanpa tahun)
25
M. Bekti Khudari Lantong
melainkan juga sebuah hubungan vertikal yang mempertautkan antara seorang “hamba” dengan penciptanya. Jika hubungan vertikal ini sudah berjalan dengan baik, maka dengan sendirinya persoalan HAM akan dapat diselesaikan. Jadi, HAM di dalam Islam lebih bersifat teosentris.18 Kedua, konsep HAM di dalam Islam “lebih menekankan” kewajiban (duty) dari pada hak (right). Bagaimanapun, konsep HAM dalam Islam ini yang lebih menekankan hubungan dengan Tuhan dan kewajiban, akan dapat memberikan panduan dan komitmen yang jelas tentang HAM, jika dibandingkan dengan konsep HAM (Barat) yang hanya didasarkan pada konsesi yang dibuat dengan penuh tekanan dan keterpaksaan.19 Ketiga, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ann E. Mayer bahwa konsep HAM Barat bersifat “individualistik”, dalam pengertian bahwa “ia pada umumnya mengekspresikan klaim-klaim suatu bagian terhadap keseluruhan. Yang disebut Mayer sebagai “bagian” adalah individu yang hidup dalam suatu masyarakat sipil dan “keseluruhan” adalah negara sebagai struktur politik menyeluruh. Pembedaan semacam ini tidak dikenal dalam Islam. Dalam doktrin Islam, individu secara kultural dipahami sebagai satu cabang dari suatu kolektifitas, yakni ummah. Lebih jauh, hak-hak individualistik itu adalah sesuatu yang menjadi milik dan berbeda dengan kewajiban. Dalam Islam, kaum Muslimin, sebagai orang yang beriman, mempunyai kewajiban-kewajiban (fara‟idh) vis-à-vis ummah, tetapi tidak ada hakhak individual dalam pengertian hak yang dimiliki secara mutlak. HAM di dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu: 1. Hak-hak dasar (asasi) yang ditetapkan Islam untuk semua umat manusia 2. Hak-hak khusus yang diberikan Islam kepada kelompok sosial tertentu, sesuai dengan situasi, status dan posisi khusus mereka. Diantaranya adalah hak khusus golongan non-Muslim, wanita,
18
C.G. Weeramantry, “Islam and Human Rights”, in Tahir Mahmood, Human Rights in Islamic Law, (New Delhi: Genuine Publications, 1993), p.17 19 Ibid, p.17
26
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
buruh, anak-anak, dan lain-lain.20 (Untuk lebih jelasnya lihat Lampiran: Universal Islamic Declaration of Human Rights di bagian belakang makalah ini). Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdullahi Ahmed An-Na‟im bahwa HAM didasarkan pada dua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.21 Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan, kesehatan dan apa saja yang berhubungan dengan pemeliharaan hidup. Selain itu, orang senantiasa berusaha keras untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka melalui pembangunan dan penggunaan sumberdaya yang ada, serta melalui perjuangan politik untuk mencapai distribusi kesejahteraan dan kekuasaan dengan adil dan jujur diantara anggota-anggota komunitas tertentu. Pada taraf tertentu, kehendak untuk bebas tumpang tindih dengan kehendak untuk hidup. Karena, ia merupakan kehendak untuk bebas dari keterbatasan fisik dan jaminan makan, tempat tinggal dan kesehatan, serta kebutuhankebutuhan hidup lainnya. Pada level yang lain, kehendak untuk bebas melampaui kehendak untuk hidup, karena ia merupakan kekuatan yang menggerakkan dibalik pencarian kesejahteraan dan kemuliaan spiritual, moral dan seni.22 Sikap dan Respons Negara-Negara Islam Terhadap HAM Internasional Abdullahi Ahmed An-Na‟im, seorang pemikir Muslim kontemporer dari Sudan, mengklasifikasikan respons dan sikap kaum Muslimin terhadap konsep modern HAM ke dalam empat kelompok. Pertama, Lebih merupakan sikap daripada respons ulama tradisional. Para ulama ini menolak semua gagasan modern, mengisolasi diri secara 20
Sheikh Showkat Husain, “Human Rights in Islam: Principles and Precedents”, in Tahir Mahmood, Human Rights in Islamic Law, (New Delhi: Genuine Publications, 1993), p.84 21 Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Dekonstruksi Syari‟ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan Hubungan Internasional Dalam Islam, (terj.) Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar-Rany, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h.313, Lihat juga: Mahmoud Mohammad Thaha, The Second Message of Islam, h.80 22 Ibid, 313-314
27
M. Bekti Khudari Lantong
emisional dari dunia di sekeliling mereka dan berlindung dalam memori akan kejayaan Islam di masa lampau. Kedua, respons yang lebih militan dari para ideolog yang marah – seperti Maududi, Khomeini, Hassan alBanna, Sayyid Quthb dan belakangan Abbas Madani di Aljazair, dan lainnya – yang secara aktif berusaha mengubah lingkungan mereka dalam pengertian yang fundamental sehingga supremasi Muslim dalam urusan-urusan dunia dapat dipugar kembali. Dalam melakukan pembelaan atas perubahan drastis tersebut mereka ingin membangkitkan kembali negara Islam dengan mengikuti model negara Khulafa alRasyidun. Kelompok ketiga adalah kalangan modernis yang, dengan berbagai model, berusaha mencari sintesis antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai modern. Namun, kalangan modernis ini tidak bersedia berbuat sebegitu jauh sampai menganjurkan pengabaian ajaran-ajaran Alqur‟an yang bertentangan dengan HAM. Kategori keempat terdiri dari kalangan Muslim yang memilih model Barat yang memisahkan antara agama dan negara, dan karena itu menganut sekularisme.23 HAM internasional yang bersifat individual jelas merupakan suatu konsep budaya mengenai moralitas, yang berawal di Eropa. Konsep ini berkembang dari gagasan tentang hukum alam dan terkait dengan aspek kultural dan sosial yang riil dalam suatu proses individuasi yang terjadi pada saat bangkitnya modernitas.24 Hak-hak ini terus berkembang di Barat dan menjadi standar institusional-legal. Dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (UDHR) Perserikatan Bangsa-Bangsa, hak-hak ini sekarang telah menjadi hukum internasional yang disponsori regim internasional PBB.25 Memang ada hukum internasional, tetapi tidak ada institusi yang mampu memberlakukan norma-norma hukum untuk seluruh dunia. Sejajar dengan globalisasi yang menyeluruh ini, merupakan fakta bahwa budaya-budaya yang ada
23
Ishtiaq Ahmed, “Konstitusionalisme, HAM dan Reformasi Islam”, dalam Mohammed Arkoun dkk., Dekonstruksi Syari‟ah II: Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain, (terj.) Farid Wajdi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h.70-71 24 Bassam Tibi, “Syari‟ah, HAM dan Hukum Internasional”, dalam Mohammed Arkoun dkk., Dekonstruksi Syari‟ah II: Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain, (terj.) Farid Wajdi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h.88 25 Ibid, h.85
28
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
berbeda-beda namun setara dalam hal norma, nilai dan cara pandangnya.26 Merupakan fakta bahwa nilai dan aturan bersama yang berlaku dalam masyarakat internasional sekarang, dimana Deklarasi Universal HAM merupakan bagiannya, berasal mula dari Eropa. Gelombang mutakhir gerakan penegasan diri secara kultural di negara-negara nonBarat ditandai oleh sebuah gambaran yang oleh Hedley Bull diistilahkan sebagai “pemberontakan Dunia Ketiga melawan Barat”.27 Fundamentalisme Islam28 merupakan fenomena yang sangat kaya ragamnya. Dalam wilayah hukum internasional, orang dapat mengamati kemarahan yang sangat besar terhadap Barat, disamping kenyataan bahwa kebanyakan negara Dunia Ketiga mengikuti, walaupun tidak sepenuh hati, norma-norma hukum internasional. Michael Akehurst benar ketika mengatakan: “negara-negara Dunia Ketiga sering merasa bahwa hukum internasional mengorbankan kepentingan mereka demi kepentingan negara-negara Barat”.29 Adalah benar, bahwa sebagian negara Barat, terutama Amerika Serikat, telah mengeksploitasi hukum HAM internasional “untuk tujuan-tujuan propaganda perang dingin” dan untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka di negara-negara Dunia Ketiga,30 sebagaimana dinyatakan Richard Falk dari Princeton. Amerika juga dalam kebijakan mereka yang berorientasi raison d‟etat kebanyakan bertindak sebagai “sumber pelanggar HAM terbanyak” dan bukan 26
Ibid, h.87 Hedley Bull, “Revolt Against the West”, dalam Bull and Watson, Expansion….., h.217-288, dalam Bassam Tibi, “Syari‟ah, HAM dan Hukum Internasional”, dalam Mohammed Arkoun dkk., Dekonstruksi Syari‟ah II: Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain, (terj.) Farid Wajdi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h.91 28 Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London: Routledge, 1988), dan Yousef M. Choueiri, Islamic Fundamentalism, (Boston: Twayne Publications, 1990) 29 Michael Arkehurst, “A Modern Introduction to International Law”, (London: Unwin Hyman, 1987), h.21, dalam Mohammed Arkoun dkk., Dekonstruksi Syari‟ah II: Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain, (terj.) Farid Wajdi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h.91 30 Richard Falk, “Refocussing the Struggle for Human Rights”, The Foreign Policy Illusion, dalam: Harvard Human Rights Journal, vol.4, 1990, h.47-67 dalam Mohammed Arkoun dkk., Dekonstruksi Syari‟ah II: Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain, (terj.) Farid Wajdi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h.91 27
29
M. Bekti Khudari Lantong
sebagai pemimpin dunia yang berjuang untuk menegakkan keadilan. Adalah fakta yang tak terbantahkan bagaimana kemunafikan Barat dan Amerika terhadap tragedi kemanusiaan genocide di Bosnia, kebrutalan tentara Israel terhadap rakyat Palestina, invasi secara serampangan ke Irak dan berbagai pelanggaran HAM internasional, yang atas semua tragedi itu Amerika dan Barat menutup mata dan telinga nurani mereka. Globalisasi selama ini tidak memberikan sumbangan bagi munculnya sebuah kebudayaan dunia. Terutama di dalam ranah legal HAM, semakin mendesak untuk mempertimbangkan secara serius mengenai isu-isu yang membawa kemelut ini. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk melampaui pengutukan-pengutukan retorik terhadap pelanggaran HAM di masyarakat non-Barat sebagaimana yang selama ini sering dilakukan Barat dan Amerika, dan mengarahkan perhatian kepada substansi pola-pola budaya yang memberi landasan dan menopang pelanggaran-pelanggaran tersebut. Salah satu rintangan mendasar dalam hal ini adalah kenyataan bahwa budaya-budaya nonBarat secara politik bermusuhan dengan Barat. Dorongan politik ini seringkali disembunyikan di balik sebuah klaim mengenai otentisitas. Masalah HAM menjadi isu yang rumit ketika pengakuan akan klaim sekular dan etik-universalnya bersinggungan dengan kasus kebudayaan non-Barat yang menonjol, yakni Islam dan konsep serta kerangka legalnya.31 Perbedaan antara kalangan Muslim yang menolak norma legal HAM sebagai Barat dan mereka yang berusaha membangun skema HAM Islam bukanlah perbedaan antara sekelompok orang yang membenci hak-hak tersebut dan kelompok lain yang menganutnya. Permusuhan Islam politik vis-à-vis HAM substantif merupakan indikasi dari polarisasi proses fragmentasi budaya. Ann E. Mayer di dalam bukunya tentang Islam dan HAM memberitahukan kepada kita bahwa para pemikir Islam yang sedang berupaya membangun skema HAM Islam yang khas “enggan untuk mengakui secara terbuka bahwa kriteria 31
Bassam Tibi, “Syari‟ah, HAM dan Hukum Internasional”, dalam Mohammed Arkoun dkk., Dekonstruksi Syari‟ah II: Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain, (terj.) Farid Wajdi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h.94
30
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
Islam (tentang HAM), yang muncul kemudian, mengadopsi normanorma hukum internasional.32 Poligami Perspektif Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia Salah satu masalah yang sejak dahulu sampai sekarang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah poligami. Setidaknya polarisasi pendapat tentang poligami ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama: [1] Mereka yang membolehkan poligami secara mutlak; [2] mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi-kondisi tertentu; dan [3] mereka yang melarang poligami secara mutlak. Menariknya, ketiga kelompok ini sama-sama mengacu pada QS. an-Nisa‟[4]:3 sebagai dasar untuk mendukung pandangan masing-masing, meskipun ada beberapa pemikir yang menghubungkan ayat ini dengan QS. an-Nisa‟[4]:2 dan 127-129. Sebaliknya, ada pula yang tidak menghubungkannya dengan ayat ini. Mayoritas ulama klasik dan pertengahan membolehkan seorang suami mempunyai istri maksimal empat (poligami) secara mutlak, dengan syarat: (1) mampu mencukupi nafkah keluarga, dan (2) mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dalam kitab al-Mabsuth, sebuah kitab klasik yang ditulis al-Sarakhsi (w.483 H/1090 M) dari mazhab Hanafi, misalnya ditulis, seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil diantara para istrinya.33 Keharusan berlaku adil ini berdasarkan QS. anNisa‟[4]:3 dan hadis yang diriwayatkan „Aisyah yang menceritakan perlakuan yang adil dari Nabi kepada para istrinya, ditambah dengan satu hadis lain yang mengancam para suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil kepada para istrinya. Tuntutan berbuat adil kepada para istri, menurut imam Syafi‟i berhubungan dengan urusan fisik, misalnya mengunjungi istri di malam atau siang hari. Tuntutan ini didasarkan pada perilaku Nabi dalam berbuat adil kepada istri-istri beliau, yakni dengan membagi giliran
32
Ibid, h.95 Shams al-Din 1409H/1989), V:217 33
al-Sarakhsi,
al-Mabsuth,
(Beirut:
Dar
al-Ma‟rufah,
31
M. Bekti Khudari Lantong
malam dan nafkah, lantas berdoa.34 Akan halnya dengan keadilan dalam hati, menurut imam Syafi‟ hanya Allah yang mengetahuinya. Karena itu, mustahilnya seseorang dapat berbuat adil kepada istrinya yang diisyaratkan pada QS. an-Nisa‟[4]:12935 adalah berhubungan dengan hati. Dengan demikian, hati memang tidak mungkin berbuat adil. Sementara keharusan adil yang dituntut apabila seseorang mempunyai istri lebih dari satu adalah adil dalam bentuk fisik, yakni dalam perbuatan dan perkataan. Keadilan dalam urusan fisik ini juga yang dituntut oleh QS. al-Ahzab[33]:50 dan QS. al-Baqarah[2]:228 Sedangkan mayoritas pemikir kontemporer dan perundangundangan modern membolehkan poligami dengan syarat dan dalam kondisi tertentu. Diantara tokoh yang masuk kelompok ini antara lain Quraish Shihab, Ashgar Ali Engineer, Amina Wadud, dan lain-lain. Menurut Quraish Shihab, QS. an-Nisa‟[4]:3 hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun hanya sebagai “pintu darurat”, yang hanya dilakukan saat amat diperlukan dengan syarat yang tidak ringan.36 Selain itu, menurut Quraish Shihab poligami hendaknya tidak hanya ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.37 Adapun keadilan yang disyaratkan dalam poligami oleh QS. anNisa‟[4]:3, menurut Shihab, adalah keadilan material. Sedangkan QS. an-Nisa‟[4]:129 adalah keadilan immaterial (cinta). Maka tidak tepat kalau ayat ini menjadi dalih untuk menutup pintu poligami serapatrapatnya.38 Dengan demikian, pandangan Shihab tentang hubungan QS. 34
Doa dimaksud adalah “Allahumma hadza qosamiy fima amlik”, al-Syafi‟i, al-Umm, V:172-173 35 Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istriistrimu lalaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu condong (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” 36 Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status Poligami Ditinjau dari Perspektif Syariat Islam, dalam: Musawa, Jurnal Studi Jender dan Islam, (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2002), hal.63-64 37 Quraish Shihab, Wawasan Alqur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,2000), hal.199 38 Ibid, hal.201
32
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
an-Nisa‟[4]:3 dan 129, mirip dengan pandangan imam Syafi‟i, bahwa tuntutan keadilan untuk bolehnya poligami adalah pada hal-hal yang berhubungan dengan materi yang dapat diukur dengan angka, bukan pada perasaan hati dan cinta yang tidak mungkin diukur.39 Sedangkan menurut Amina Wadud, QS. an-Nisa‟[4]:3 pertama, ayat ini berkaitan dengan perlakuan terhadap anak yatim, yakni wali pria yang bertanggung jawab untuk mengurus kekayaan anak perempuan yatim harus berlakuk adil dalam mengelola kekayaan tersebut.40 Salah satu jalan pemecahan yang dianjurkan untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengelolaan tersebut adalah dengan menikahi wanita yatim. Kedua, QS. an-Nisa‟[4]:3 menekankan keadilan: mengadakan perjanjian dengan adil, mengelola harta dengan adil, adil terhadap anak yatim, dan adil terhadap para istri. Terhadap pandangan bahwa: (1) suami mampu secara finansial, dan (2) karena alasan kemandulan, dapat dijadikan alasan untuk melakukan poligami, Amina menjawab; pertama, banyak wanita (dewasa ini) yang tidak lagi membutuhkan pria untuk memenuhi kebutuhan finansial. Kedua, tidak pernah disebutkan dalam Alqur‟an bahwa kemandulan bisa dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Jalan keluar untuk kasus mandul, menurut Amina, adalah dengan mengangkat anak dari keluarga miskin atau anak yatim. Ketiga, alasan poligami sebagai pemuas seks jelas tidak sejalan dengan ketentuan Alqur‟an dan norma-norma HAM universal.41 Menurut Fazlur Rahman, asas ideal perkawinan dalam Islam adalah Monogami. Pengakuan terhadap poligami, seperti disebutkan dalam QS. an-Nisa‟[4]:3 adalah bersifat kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada ketika itu, yaitu tindakan wali yang tidak rela mengembalikan harta anak yatim setelah anak yatim yang ada dibawah perwliannya sudah cukup umur. Dengan menjadikan ayat-ayat tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dalam pembahasan, dari teks yang ada dalam QS. an-Nisa‟[4]:3 jelas bahwa Alqur‟an berbicara poligami dalam hubungannya dengan konteks pengasuhan anak yatim wanita yang sudah cukup umur, sementara walinya enggan 39
Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar Status ……, h.65 Ibid, hal.69 41 Ibid, hal.69 40
33
M. Bekti Khudari Lantong
mengembalikan harta tersebut kepada anak yatim dimaksud. Sebagai jalan keluar, para wali dianjurkan menikahi wanita tersebut agar mereka boleh terus menggunakan harta yang ada di bawah perwaliannya.42 Adapun untuk menemukan asas perkawinan dalam Islam menurut Fazlur Rahman dapat dicermati dari beberapa nash Alqur‟an. Pertama, keadilan yang diharuskan Alqur‟an untuk bolehnya poligami, mestinya masuk di dalamnya rasa cinta dan kasih sayang seorang suami terhadap istrinya, bukan hanya keadilan dalam hal materi. Ada beberapa ayat dalam Alqur‟an yang mengisyaratkan hal demikian. Misalnya ayat yang menggambarkan hubungan suami-istri dalam kehidupan keluarga QS. ar-Rum[30]:21, dimana Allah menjadikan suami dan istri sebagai pasangan yan saling mencintai dan memberikan kasih sayang; demikian juga dalam QS. al-Baqarah[2]:187 Alqur‟an menggambarkan bagaimana hubungan antara Adam dan Hawa, bahwa suami dan istri sebagai pakaian keduanya. Dari ayat-ayat ini nampak jelas bahwa hubungan suami-istri adalah hubungan cinta kasih dan bahwa ikatan perkawinan pada dasarnya tidak dapat dibatasi hanya dengan pelayanan yang bersifat material-biologis. Dengan demikian, asumsinya adalah bahwa pelayanan yang bersifat material akan diikuti dengan hubungan batin, yakni cinta dan kasih sayang. Dari sisi ini dapat disimpulkan bahwa ketika Alqur‟an memproklamasikan tidak mungkinnya seorang suami berbuat adil diantara para istrinya, sama artinya dengan menyatakan bahwa tidak mungkin seorang laki-laki mencintai lebih dari seorang wanita sebagai istri.43 I. Kemitrasejajaran Perempuan dan Laki-Laki: Perspektif Islam Berbicara sekitar kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan, perlu dicatat pandangan cendekiawan besar Mesir, Toha Husein, dalam bukunya yang terkenal, al-Fitnah al-Kubra, ia mengemukakan bahwa ada tiga prinsip dasar yang dibawa Nabi Muhammad Saw. setelah 42
Fazlur Rahman, “The Status of Women in Islam: A Modernist Interpretation”, dalam: The Separate Worlds: Studies of Purdah in South Asia, (ed.) Hanna Papanek and gail Minault, (New Delhi: Chanakya Publication, 1982), hal.298 43 Fazlur Rahman, “The Controversy over The Muslim Family Law”, dalam Donald E. mith (ed.), South Asian Politics and Religion, (Princeton: Princeton University Press, 1966), p. 417-418
34
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
prinsip tauhid, yaitu keadilan (al-„adalah), persamaan (al-musawa), dan musyawarah (al-syura).44 Ada sejumlah nash yang berbicara tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang dapat dikelompokkan menjadi delapan: 1) Statement umum tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan: QS. Al-Baqarah[2}:187 2) Kesetaraan asal-usul: QS. an-Nisa‟[4]:1, QS. al-Hujurat[49]:13, 3) Kesetaraan amal dan ganjaran: QS. Ali „Imran[3]: 195, QS. anNisa‟[4]: 32, QS. at-Taubah[9]: 72, QS. al-Ahzab[33]: 35-36, QS. al-Mu‟minun[40]: 40, QS. al-Fath[48]: 5, QS. al-Hadid[57]: 12, QS. al-Mumtahanah[60]: 12 4) Kesejajaran untuk saling mengasihi dan mencintai: QS. alIsra‟[17]: 24, QS. ar-Rum[30]: 21, QS. al-Ahqaf[46]: 15, QS. alBaqarah[2]: 187 5) Keadilan dan persaman: QS. al-Baqarah[2]: 228, QS. anNahl[16]: 97 6) Kesejajaran dalam jaminan sosial: QS. al-Baqarah[2]: 177 7) Saling tolong-menolong: QS. at-Taubah[9]: 71, QS. alMaidah[5]: 2 8) Kesempatan mendapatkan pendidikan: QS. al-Mujadalah[58]: 11, QS. az-Zumar[39]: 9 II. Tujuan Perkawinan Dalam Islam Ada sejumlah nash (Alqur‟an dan hadis Nabi Saw.) yang berbicara sekitar tujuan perkawinan. Dari sejumlah nash-nash tersebut terdapat minimal lima tujuan umum perkawinan dalam Islam: 1) Memperoleh kehidupan sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagai tujuan utama dan pokok: QS. ar-Rum[30]:21, QS. alBaqarah[2]:187 2) Tujuan reproduksi atau regenerasi: QS. ash-Shura[42]:11, QS. an-Nahl[16]:72, QS. an-Nisa‟[4]:1, QS. at-Thariq[86]:6-7. Hadis Nabi Saw. “Nikahlah dengan pasangan yang penuh kasih dan
44
Toha Husein, Al-Fitnah Al-Kubra, edisi Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), hal.9
35
M. Bekti Khudari Lantong
subur (produktif), sebab aku bangga kalau nanti jumlah umatku demikian banyak di hari kiamat”. Semua nash Alqur‟an dan hadis Nabi di atas menunjukkan tujuan pentingnya reproduksi agar umat Islam kelak di kemudian hari menjadi umat yang banyak, dan tentu saja yang berkualitas. Sebab pada ayat yang lain diperingatkan agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Implikasinya adalah agar kita mempunyai dan meninggalkan generasi yang berkualitas dan kuat.45 3) Pemenuhan kebutuhan biologis: QS. al-Baqarah[2]:187, QS. albaqarah[2]:223, QS.an-Nur[24]:33, QS. al-Ma‟arij[70]:29-31, QS. al-Mu‟minun[23]:5-7 4) Menjaga kehormatan: QS. al-Ma‟arij[70]:29-31, QS. alMu‟minun[23]:5-7, QS. an-Nisa‟[4]:24 5) Tujuan Ibadah: Tujuan beribadah dan mengabdi kepada Allah tersirat dari beberapa nash sebelumnya. Diantara nash tersebut adalah hadis Nabi Saw. yang menyatakan: “Seseorang yang melakukan perkawinan sama dengan seseorang yang melaksanakan setengah (kewajiban) agama”. Nash ini secara tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari melaksanakan (kewajiban) agama.46 III. Prinsip-Prinsip Perkawinan Dalam Islam Ada sejumlah nash (Alqur‟an dan hadis Nabi Saw.) yang berbicara seputar prinsip-prinsip perkawinan. Berdasarkan nash-nash tersebut pula maka ada beberapa prinsip yang harus dipegangi dan diamalkan minimal oleh suami dan istri sebagai pasangan dalam kehidupan keluarga (rumah tangga), bahkan juga sekaligus harus dipegangi dan diamalkan oleh seluruh anggota keluarga. Paling tidak ada lima prinsip perkawinan dalam Islam, yaitu: 1) Prinsip musyawarah dan demokrasi Prinsip adanya kehidupan yang serba musyawarah dan demokratis dalam kehidupan rumah tangga berarti bahwa dalam 45
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri, (Yogyakarta: Academia dan Tazaffa, 2004), hal. 35-38 46 Ibid, hal. 43-44
36
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
segala aspek kehidupan rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah, minimal antara suami dan istri. Sedangkan yang dimaksud dengan demokratis adalah bahwa antara suami dan istri harus saling terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangan. Demikian juga antara orang tua dan anak harus menciptakan suasana saling menghargai dan menerima pandangan dan pendapat anggota keluarga yang lain. Prinsip musyawarah dan demokrasi ini ditegaskan di dalam alqur‟an, yaitu: QS. at-Thalaq[65]:7, QS. alBaqarah[2]:233, QS. an-Nisa‟[4]:19 Realisasi lebih jauh dari sikap musyawarah dan dialog dapat dikelompokkan menjadi: (1) Musyawarah dalam memutuskan masalah-masalah yang berhubungan dengan reproduksi, jumlah dan pendidikan anak dan keturunan; (2) Musyawarah dalam menentukan tempat tinggal; (3) Musyawarah dalam memutuskan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga, dan; (4) Musyawarah dalam pembagian tugas-tugas rumah tangga.47 2) Menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga Menciptakan kehidupan keluarga yang aman, nyaman dan tentram berarti bahwa dalam kehidupan keluarga harus tercipta suasana saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi dan saling sayang. Setiap anggota keluarga berkewajiban sekaligus berhak mendapatkan kehidupan yang penuh cinta, penuh kasih sayang dan ketentraman. Dengan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk mendapatkan kehidupan yang aman, nyaman dan tentram, maka diharapkan semua anggota keluarga saling merindukan satu sama lain. 3) Menghindari kekerasan Menghindari kekerasan (violence) baik secara fisik maupun psikis dalam kehidupan rumah tangga. Maksudnya adalah bahwa jangan sampai ada pihak dalam keluarga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindak kekerasan lain 47
Ibid, hal. 51-54
37
M. Bekti Khudari Lantong
dalam bentuk apapun, dengan dalih atau alasan apapun, termasuk alasan atau dalih agama, baik kepada atau antarpasangan suami dan istri, maupun terhadap anak-anak. 4) Hubungan suami-istri sebagai hubungan partner Prinsip bahwa suami dan istri adalah pasangan yang mempunyai hubungan kemitraan, sebagai patner dan sejajar (equal) ditegaskan berulangkli di dalam Alqur‟an, yaitu: QS. alBaqarah[2]:187, QS. al-Baqarah[2]:228 dan QS. an-Nisa‟[4]:32. Implikasi dari pasangan yang bermitra dan sejajar ini akan muncul sikap: (1) saling mengerti; mengerti latar belakang pribadi pasangan kita dan mengerti diri sendiri; (2) Saling menerima; menerima pasangan kita apa adanya, menerima dan memahami hobi, kesenangan dan kekurangannya; (3) saling menghormati menghormati perkataan, perasaan, bakat dan keinginan, serta menghargai keluarga; (4) saling mempercayai; percaya diri/pribadi dan kemampuan; (5) saling mencintai dengan cara lemah lembut dalam pergaulan dan pembicaraan, menunjukkan perhatian kepada pasangan dan menjauhi sikap egois. 5) Prinsip keadilan Prinsip keadilan di sini masih menjadi perdebatan, tetapi minimal yang dimaksudkan dengan keadilan di sini adalah menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya atau proporsional. Penjabaran dari prinsip keadilan di sini diantaranya bahwa kalau ada di antara pasangan atau anggota keluarga yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri dan potensi, maka harus didukung tanpa harus melakukan pembedaan dan pemihakan jenis kelamin.48 Apabila diterapkan metode dan pendekatan holistik-nya Fazlur Rahman dalam masalah poligami ini, dan dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip umum perkawinan dalam Islam, prinsip relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan,
48
38
Ibid, hal. 58-61
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
serta perspektif hak asasi manusia, maka kita dapat mengambil asumsi sebagai berikut: 1. Pada dasarnya al-qiyam al-asasiyyah atau norma-norma dasar ajaran Islam dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan adalah prinsip kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bahwa Alqur‟an tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam proses penciptaan dan dalam peran dan fungsi sosial mereka. 2. Sedangkan norma umum atau al-ushul al-kulliyyah adalah adanya ketentuan secara implisit bahwa prinsip utama perkawinan dalam Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, adalah asas monogami. Dimana Alqur‟an menegaskan bahwa dalam menjalin ikatan perkawinan yang harus menjadi fondasi utamanya adalah cinta dan kasih sayang yang tulus, dan bukan sekedar pemenuhan hasrat biologis semata, karena itulah salah satu tujuan Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan secara berpasang-pasangan. 3. Adapun bentuk dan ketentuan norma konkrit atau al-ahkam alfar‟iyyah adalah dibolehkannya poligami dengan beberapa syarat dan kondisi tertentu yaitu untuk menyelamatkan dan melindungi harta anak yatim dan para janda, dengan ketentuan mampu berlaku adil secara material, dan mampu memberikan nafkah lahir dan bathin. C. Kesimpulan Sebagaimana dikatakan oleh M. Khalid Masud dari Allama Iqbal University Pakistan bahwa wacana HAM dewasa ini bukan lagi perdebatan tentang Barat dan non-Barat, atau Islam dan bukan Islam. Tetapi lebih kepada upaya bersama untuk menegakkan nilai-nilai HAM yang universal. Memang, secara filosofis ada perbedaan yang mendasar antara konsep HAM Barat dengan konsep HAM dalam Islam. Namun, dewasa ini yang menjadi keprihatinan utama negara-negara Islam adalah politik standar ganda (double standard) Amerika dan negara-negara Barat dalam melihat persoalan kemanusiaan. Diakui atau tidak, masih 39
M. Bekti Khudari Lantong
terdapat diskriminasi di dalam setiap kebijakan luar negeri negaranegara Barat terutama dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, termasuk dalam masalah HAM.
40
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebuah Analisis ……
DAFTAR PUSTAKA An-Naim, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari‟ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar-Rany, (Yogyakarta: LKiS, 2001) Arkoun, Mohammed dkk., Dekonstruksi Syari‟ah II: Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajdi, (Yogyakarta: LKiS, 1996) Khollaf, „Abd al-Wahhab, „Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1977) Mahmood, Tahir (ed.), Human Rights in Islamic Law, (New Delhi: Genuine Publications, 1993) Mayer, Ann Elizabeth, Islam and Human Rights: Tradition and Politics, (Colorado: Westview Press, 1995) Nasution, Khoiruddin, Fazlur Rahman Tentang Wanita, (Yogyakarta: Academia dan Tazaffa, 2002) __________________ Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan), (Yogyakarta: Academia dan Tazaffa, 2004) Nickel, James W., Making Sense of Human Rights: Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights, (California: The Regents of the University of California, 1987) Rahman, Fazlur, “The Controversy over The Muslim Family Law”, dalam Donald E. Smith (ed.), South Asian Politics and Religion, (Princeton: Princeton University Press, 1966) _____________ “The Status of Women In Islam”, A Modernist Interpretation”, dalam The Separate Worlds: Studies of Purdah 41
M. Bekti Khudari Lantong
in South Asia (ed.), Hanna Papanek and Gail Minault, (New Delhi: Chanakya Publication, 1982) Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999) Shihab, Quraish, Wawasan Alqur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2000) Thontowi, Jawahir, Islam, Neo-Imperialisme dan Terorisme: Perspektif Hukum Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: UII Press, 2004) ________________ Islam, Politik dan Hukum: Aplikasi Nilai-Nilai Islam dalam Dunia Prakatis, Analisis Kritis atas PeristiwaPeristiwa Politik Aktual, dan Kritik dan Usulan Pembaruan Hukum, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002) Sumber-Sumber dari Internet: Google.com
42