TEORI KEWAHYUAN AL-QUR’AN M. Bekti Khudari Lantong
Abstract Revelation is absolutely one of the most important basis for a religion. Abrahamic religions – Jews, Crhistian and Islam – based their main faith on it. Surprisingly, ancient Arabs also based their faith on revelation by the rule of the magic poet. They truly believe that the poet could communicate with God (or eventually with “satan”) so that they could produce their magic and amazing poetries. Based on that fact, Arab people did not reject the Qur’an as a divinely revelation. Abu Zaid’s main thesis on this is that the Qur’an obviously naturalistic, so that it could be comprehended by the people of Arab in the very age. Unfortunately, this liberal thesis invites some criticisms from an orthodoxy point of view. There is no doubt for the sacred and divinely of the Qur’an. But, if we believe that Qur’an is suitable to any locus and tempus a long the age, so it should be actual and contextual to human’s life. It means that in any different context and situation, different interpretation is not only extremely needed, but it is a must. Key words: Al-Qur’an, revelation, naturalization, contextualization
Pendahuluan Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah ‘verbum dei’ (Kalam Allah) yang diwahyukan kepada nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun : “Seandainya Kami turunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah karena gentar kepada Allah“. (QS. al-Hasyr[59]:21). Kandungan pesan Ilahi yang
disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 M. itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat muslim mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah al-Qur’an. Itulah sebabnya al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan muslim dan berbagai pengalaman keagamaanya.1
1
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001), h.1
Al-Qur’an memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum muslim untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif.2 Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga.3 Pembacaanya dipandang sebagai kesalehan dan pelaksanaan ajaranya merupakan kewajiban setiap muslim. Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.4 Bahasa, gaya dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluh tahunan, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan dalam gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.5 Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Qur’an telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan alQur’an oleh nabi Muhammad, kemudian penyampaianya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilisasi teks dan bacaanya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3 H/9 M dan abad ke-4 H/10 M serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar al-Qur’an di Mesir pada tahun 1342 H/1923 M, kitab suci umat Islam ini masih menyimpan sejumlah misteri dalam berbagai tahapan perjalanan kesejarahanya.6 Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi beberapa teori kewahyuan al-Qur’an yang dikemukakan oleh para intelektual muslim kontemporer.
Definisi Wahyu Menurut pengertian bahasa, wahy adalah memberitahukan (menginformasikan) sesuatu dengan cara yang samar dan cepat. Al-Wahy adalah bentuk masdar dari kata awha yang menunjukkan dua pengertian dasar; tersembunyi dan cepat. Oleh karena itu, dikatakan bahwa 2 3
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburg: Edinburg Univ. Press, 1970), h.xi A.T.Welch, Introduction: Qur’anic studies, Journal of the American Academy of Religion, Vol. 47, 1979,
h.620 4
Ibid, h.650 W. Montgomery Watt, op.cit., h.xi 6 Taufik Adnan Amal, op.cit. h.2 5
2
wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada seseorang yang diberitahu tanpa diketahui oleh orang lain. Sehingga ada ungkapan wahaytu ilaih atau awhaytu, bila kita berbicara kepada seseorang agar tidak diketahui orang lain.7 Allah Swt. telah menerangkan dalam al-Qur’an tentang cara pemberitahuan yang dikehendaki-Nya kepada Nabi-Nya, yaitu dalam QS. al-Syura[42]:51
ً س ي ِبإ ِ ْذنِ ِه َما َيشَا ُء َو َما َكانَ ِل َبش ٍَر أ َ ْن يُ َك ِل َمهُ ه ِ وَّل فَي ِ اَّللُ ِإ هَّل َو ْحيًا أ َ ْو ِم ْن َو َر ُ ب أَ ْو ي ُْر ِس َل َر ٍ اء ِح َجا َ ُوح ي َح ِكيم َ ُِإنهه ٌّ ع ِل Artinya : “ Tidak ada manusia yang diajak bicara (berkomunikasi) oleh Allah secara langsung (face to face), kecuali dengan perantaraan wahyu (ilham) atau dibalik tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) kemudian ia diberi wahyu dengan izin-Nya, apa-apa yang Dia kehendaki “.
Dari ayat tersebut diatas terdapat pengertian lain dari wahyu, yaitu : 1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu kepada ibu nabi Musa as. QS. alQashash[28 ]:7
ض ِعي ِه ِ سى أ َ ْن أ َ ْر َ َوأ َ ْو َح ْينَا إِلَى أ ُ ِم ُمو “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia (Musa)…..”
2. Ilham berupa naluri (insting) pada binatang, seperti wahyu kepada lebah, QS. an-Nahl[16]:68
َوأ َ ْو َحى َرب َُّك إِلَى النه ْح ِل أ َ ِن ات ه ِخذِي ِمنَ ْال ِجبَا ِل بُيُوتًا َو ِمنَ ال ه ُ ش َج ِر َو ِم هما يَ ْع ِر َشون “ Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah; ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia’ ”
3. Isyarat yang cepat melauli rumuz dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan alQur’an, QS. Maryam[19 ]:11.
ع ِشيًّا ِ علَى قَ ْو ِم ِه ِمنَ ْال ِم ْح َرا َ سبِ ُحوا بُ ْك َرة ً َو َ فَخ ََر َج َ ب فَأ َ ْو َحى إِلَ ْي ِه ْم أ َ ْن
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1989), h.36-37 7
3
“ Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka; ‘Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang’ “.8
Sedangkan menurut pengertian agama (syara’) wahyu adalah seluruh risalah yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada para nabi, sejak dari nabi Adam as. hingga kepada nabi Muhammad Saw., yang kesemuanya memuat ajaran pokok yaitu agama Islam.
Kata Wahy beserta kata bentukan lain darinya merupakan kata-kata yang frekuensi penggunaanya paling banyak di dalam al-Qur’an. Kata-kata ini telah menjadi istilah-istilah teknis dalam terminologi Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi pesan Ilahi kepada para Nabi. Di dalam al-Qur’an sendiri, penggunaan kata wahyu dan kata-kata bentukanya tidak hanya dibatasi bagi para Nabi, tetapi juga digunakan secara umum untuk melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia atau antara Tuhan dengan makhluk-Nya – termasuk para Nabi. Jadi kata awha digunakan dalam pengertian “memberi isyarat” atau “menunjukkan” guna menggambarkan komunikasi yang dilakukan Zakariyya – setelah menjadi bisu – kepada kaumnya (QS. Maryam[19]:11). Dalam QS. al-An’am[6]:112, dikatakan bahwa setan di kalangan jin dan manusia saling “membisikkan” atau “memberi tahu secara sembunyisembunyi” (yuhi ba’dluhum ba’dlan) gagasan-gagasan muluk (cf. 6 : 121). Penerima wahyu, bahkan dari Tuhan, tidak selalu seorang Nabi. Kepada malaikat Tuhan mewahyukan (yuhi, “memerintahkan”) agar meneguhkan pendirian orang-orang beriman (QS. al-Anfal[8]:12); dan kepada ibu Nabi Musa, Tuhan mewahyukan ( awha, “memberi ilham” ) agar menyusui anaknya (QS. al-Qashash[28]:7). Bahkan kepada lebah pun Tuhan mewahyukan ( awhayna, “memberi ilham” ) untuk membuat sarangnya di bukit-bukit dan pohon-pohon serta rumah-rumah yang dibuat manusia (QS. an-Nahl[16]:68). Pada Hari Penghabisan, bumi akan mengeluarkan beban beratnya sebap Tuhan telah “memerintahkan” ( awha ) kepadanya untuk melakukan hal tersebut (QS. al-Zalzalah[99]:1-5). Demikian pula, Tuhan “memerintahkan” ( awha ) kepada setiap lapis langit tugas-tugas khususnya. Dalam sejumlah bagian al-Qur’an, kata-kata senada juga digunakan untuk merujuk pesan Ilahi kepada para Nabi sebelum Muhammad (QS. Yusuf[12]:109, QS. an-Nahl[16]:43, QS. alAnbiya’ [21]:75, dll ); seperti kepada Nuh (QS. al-Mu’minun[23]: 27, QS. Hud[11]:36-37, dll ), 8
Ibid, h.37
4
Musa (QS. al-A’raf[7]:160, QS. Taha[20]:13, 77, QS. as-Syu’ara[26]:52, 63, dll ), kebanyakan kasus berupa perintah untuk melakukan sesuatu. Jadi, kepada Nuh misalnya, “diperintahkan” membuat bahtera berdasarkan “wahyu”. Begitu juga, kepada Musa “diperintahkan” untuk melakukan eksodus di malam hari, memukul laut dan batu karang dengan tongkatnya. Terkadang yang diwahyukan kepada para nabi adalah doktrin: “katakanlah: ‘Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang esa” (QS. al-Kahfi[18]:110, QS. al-Anbiya’[21]:108,
QS. Fushilat[41]:6, dll ).9
Teori-Teori Tentang Wahyu 1. Teori Wahyu Nasr Hamid Abu Zaid : Naturalisasi Wahyu al-Qur’an Bangsa Arab sebelum Islam telah mengenal fenomena puisi dan praktek perdukunan sebagai dua fenomena yang memiliki keterkaitan dengan dunia nyata, yaitu dunia jin yang mereka gambarkan seperti dunia dan masyarakat mereka.10 Dan kepercayaan orang Arab bahwa komunikasi antara manusia dan jin dapat terjadi, menjadi landasan kultural bagi fenomena wahyu agama, lebih khusus wahyu al-Qur’an. Andaikata kita asumsikan peradaban Arab sebelum Islam tidak memiliki konsep-konsep itu, niscaya fenomena wahyu tidak mungkin dipahami dari sudut pandang budaya. Bagaimana mungkin orang Arab dapat menerima ide tentang seorang malaikat turun dari langit kepada seorang manusia, sepertinya (orang Arab) apabila konsep ini tidak memiliki akar kulturalnya dan pembentukan nalar mereka. Semua ini menegaskan bahwa fenomena wahyu, al-Qur’an, tidak terpisah dari realitas, tidak melangkahi, atau melampaui hukum-hukum realitas, justru fenomena tersebut merupakan bagian dari konsepkonsep budaya dan muncul dari konvensi dan konsepsi budaya itu. Bagi orang Arab yang mengetahui bahwa jin berbicara kepada penyair dan membisikkan puisi kepadanya, dan mengetahui bahwa ramalan-ramalan dukun itu bersumber dari jin, tidaklah sulit baginya untuk membenarkan adanya malaikat yang turun membawa “kalam” kepada manusia. Oleh karena itu, bangsa Arab yang hidup pada saat al-Qur’an turun tidak mengingkari fenomena wahyu itu sendiri. Pengingkaran mereka kemungkinan ditujukan kepada muatan “kalam” wahyu atau kepada pribadi yang menerima wahyu. Oleh karena itu, kita dapat memahami mengapa penduduk Makkah bersikukuh memasukkan teks baru – al-Qur’an – ke kawasan teks-teks yang 9
Taufik Adnan Amal, op.cit., h.60-61 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdhiyin, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.32-
10
33
5
ada pada umumnya dalam peradaban (mereka), baik itu berupa puisi ataupun praktek perdukunan.11 Ibnu Khaldun mengemukakan kode khusus yaitu, “sajak perdukunan”, sebagai media khusus dalam merumuskan dan menyampaikan ‘pesan’ secara verbal. Jika yang diterima dukun dari setan merupakan “wahyu”, maka yang dimaksud adalah bahwa praktek perdukunan merupakan proses komunikasi yang mengandung pesan. Hanya saja, proses komunikasi di sini berjalan melalui kode khusus sebab kedua belah pihak dalam komunikasi – pengirim dan penerima – tidak terkait dalam tingkatan eksistensi yang sama. Hubungan antara kenabian dan peraktek perdukunan – dalam konsepsi Arab – adalah bahwa masing-masing marupakan “wahyu”, komunikasi antara manusia dengan makhluk lain yang terkait dalam tingkat eksistensi yang berbeda, malaikat dalam konteks Nabi, dan setan dalam konteks dukun. Dalam komunikasi, ada pesan yang disampaikan melalui kode khusus yang tidak dapat dipahami oleh pihak ketiga, paling tidak pada saat proses komunikasi sedang berlangsung. Pihak ketiga memahaminya setelah pesan itu disampaikan. Nabi “menyampaikan” kepada manusia setelah menerima pesan itu, dan dukun menceritakan isi dari apa yang diterimanya. Dalam konteks ini, fenomena “wahyu” bukan fenomena baru bagi kebudayaan Arab, dan tidak dipaksakan dari luar. Ibnu Khaldun menandaskan bahwa kenabian tidak mengeliminir, dan tidak menghapuskan praktik perdukunan sebagaimana yang diduga banyak orang.
Ada dua hal, mengapa Ibnu Khaldun bersikukuh mengatakan praktik perdukunan dan ramalan tetap ada setelah masa kenabian; pertama, penghapusan praktek perdukunan berarti menghapuskan eksistensinya sampai keakar-akarnya, yang berarti pula fenomena kenabian memerlukan interpretasi baru. Kedua, praktek perdukunan dan ramalan dianggap sebagai kriteria bagi bangsa Arab pra-Islam untuk menetapkan hakikat kenabian di satu sisi, dan sebagai sarana untuk meramalkan Nabi baru yang ditunggu-tunggu pada sisi lain. Apabila praktek perdukunan terhapus maka dasar-dasar eksistensinya pun menjadi hilang. Apabila demikian maka dasardasar epistemologi fenomena kenabian pun ikut terhapus. Oleh karena demikian, jelas bahwa fenomena “wahyu” bertumpu pada konsep yang mengakar dalam budaya, yaitu konsep tentang
11
Ibid, h.33
6
kemungkinan adanya komunikasi antara manusia dan alam-alam lain, seperti alam malaikat dan setan.12 Lebih jauh, Nasr Hamid mengatakan bahwa makna sentral wahyu adalah “pemberian” informasi secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi – pesan – secara samar dan rahasia. Oleh karena “pemberian informasi” dalam proses komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu maka dapat dipastikan bahwa konsep kode melekat (inherent) di dalam konsep wahyu, dan kode yang dipergunakan dalam proses komunikasi tersebut pastilah kode bersama antara penerima dan pengirim, dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi-wahyu tersebut.
Konsep wahyu ini dapat kita temukan dalam puisi, sebagaimana dapat kita temukan pula dalam al-Qur’an itu sendiri. Adalah Alqamah, seorang penyair ulung, yang menggambarkan burung unta jantan yang bergegas kembali menemui betinanya dengan suasana hati yang resah memikirkan betina dan anak-anaknya karena angin topan dan hujan deras. Tatkala tiba dan mendapatkan semuanya selamat dan tenteram, ia kemudian: Memberi isyarat kepadanya dengan bunyi suara cek-cek-ceknya Persis seperti bangsa Romawi yang sedang berbicara di istananya
Pemaknaan kata kerja “memberi isyarat” (yuhi) oleh penyair, menunjuk hubungan komunikasi antara burung unta jantan dan betinanya (pengirim dan penerima) melalui kode tertentu (bunyi suaranya) secara rahasia, tidak dipahami oleh penyair itu sendiri. Oleh karena itu, sang penyair membandingkanya dengan pembicaraan bangsa Romawi yang tidak jelas (baginya) dalam istana mereka. Yang mesti diketengahkan di sini adalah bahwa pihak ketiga atau orang yang berada di luar proses komunikasi atau wahyu tidak memahami kode komunikasi yang terdapat di dalamnya. Meski demikian, ia mengetahui secara umum bahwa terjadi komunikasi, ada pesan dan informasi. Dalam perspektif ini kita dapat memahami analogi yang digunakan ‘Alqamah dalam menggambarkan komunikasi antara burung unta jantan dengan betinanya (wahyu), dengan pembicaraan bangsa Romawi yang tidak jelas, dimana orang Arab mengetahui
12
Ibid, h.40-41
7
bahwa mereka (bangsa Romawi) sedang berbincang-bincang dengan bahasa tertentu, namun ia tidak mengerti isi dari pembicaraan mereka. Pemakaian yang sama dapat kita temukan dalam al-Qur’an, khususnya dalam kisah Zakariyya dan Maryam. Nabi Zakariyya pernah bermohon kepada Allah agar dikaruniai seorang putra, kemudian Allah memberi kabar baik kepadanya bahwa permohonannya dikabulkan. Zakariyya kemudian meminta kepada Allah tanda-tandanya:
َ اس ث َ ََل َعلَى قَ ْو ِم ِه ِمن ْ ب ِ قَا َل َر َ )فَخ ََر َج10(س ِويًّا َ ث لَ َيا ٍل َ اج َع ْل ِلي َءا َيةً قَا َل َءا َيت ُ َك أ َ هَّل ت ُ َك ِل َم النه )11(ع ِشيًّا ِ ْال ِم ْح َرا َ س ِب ُحوا بُ ْك َرة ً َو َ ب فَأ َ ْو َحى ِإلَ ْي ِه ْم أ َ ْن “Ia berkata : Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda. Allah berfirman: Tanda untukmu adalah kamu tidak dapat berbicara dengan manusia selama tiga hari, padahal kamu sehat. Kemudian, ia keluar menemui kaumnya dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka agar mereka membaca tasbih pagi dan sore”. (QS. Maryam[19]:10-11)
Nabi Zakariyya berkomunikasi dengan kaumnya, memberi tahu mereka agar mereka bertasbih, tanpa menggunakan sistem bahasa yang biasa sehingga pemberitahuan itu berlangsung denga sistem simbol lainya, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an pada kisah yang sama :
س ِب ْح ْ ب ً اس ث َ ََلثَةَ أَي ٍهام ِإ هَّل َر ْم ًزا َوا ْذ ُك ْر َرب َهك َك ِث ِ قَا َل َر َ يرا َو َ اج َع ْل ِلي َءا َيةً قَا َل َءا َيت ُ َك أ َ هَّل ت ُ َك ِل َم النه ار ِ اْل ْب َك ِ ْ ِب ْال َع ِشي ِ َو “Ia mengatakan : Hai Tuhanku, berilah aku sebuah tanda. Allah berfirman : Tandanya untukmu apabila kamu tidak dapat berbicara denganh manusia selama tiga hari, kecuali secara simbolik. Banyakbanyaklah kamu ingat kepada Tuhanmu dan bertasbihlah di pagi dan sore hari”. (QS. Ali ‘Imran[3]:41)
Ujaran (kalam) secara simbolik bersifat rahasia, hanya sasaran pembicaraan yang dapat menangkapnya. Menurut kamus Lisan al-‘Arab: “Simbol (rumz) adalah isyarat dengan kedua mata, kadua alis, kadua bibir, dan mulut. Simbol dalam bahasa artinya semua yang dapat ditunjuk dengan tangan atau mata, yang dapat dijelaskan dengan kata-kata”. Komunikasi simbolik – wahyu – inilah yang terjadi antara Maryam dengan kaumnya setelah ia melahirkan Isa, ketika ia takut menghadapi masyarakatnya sehingga ia pun kemudian berjanji untuk tidak berbicara sebagaimana yang dinasihatkan kepadanya.
8
َُوك ْام َرأ ْ َ فَأَت َ ت ِ ْت ِب ِه قَ ْو َم َها تَ ْح ِملُهُ قَالُوا يَا َم ْريَ ُم لَقَ ْد ِجئ َ )يَاأ ُ ْخ27(ش ْيئًا فَ ِريًّا ِ َارونَ َما َكانَ أَب ُ ته ْ َار ْ س ْوءٍ َو َما َكان )29(ص ِبيًّا َ َ ْف نُ َك ِل ُم َم ْن َكانَ فِي ْال َم ْه ِد َ )فَأَش28(َت أ ُ ُّم ِك َب ِغيًّا َ ت إِلَ ْي ِه قَالُوا َكي “Kemudian, ia (Maryam) mendatangi kaumnya sambil membawanya (Isa). Mereka berkata: ‘Hai Maryam, sungguh kamu telah melakukan sesuatu yang amat tercela. Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu bukan orang yang jahat, dan ibumu bukanlah seorang pezina.’ Maka, Maryam menunjuk kepadanya (Isa), mereka berkata: ‘Bagaimana mungkin kami berbicara dengan anak kecil yang masih dalam buaian’. (QS. Maryam[19]:27-29)
Isyarat Maryam kepada Isa yang masih kecil mengandung pesan yang intinya : “janganlah kalian bertanya kepadaku, bertanyalah kepadanya”. Pesan tersebut ditangkap oleh kaumnya sehingga jawaban mereka : “Bagaimana mungkin kami dapat berbicara dengan seorang bayi”. Pesan yang terdapat dalam “isyarat” maryam kepada kaumnya menjadikan “isyarat” tersebut sebagai wahyu, sebagaimana isyarat Zakariyya kepada kaumnya ketika ia meminta kaumnya untuk bertasbih. Dari ketiga contoh tersebut, kita melihat bahwa proses komunikasi – wahyu – melibatkan pengirim dan penerima (communicator and communicant). Keduanya sama-sama terkait dalam satu tingkat eksistensi, burung unta betina dan jantan, Zakariyya dan kaumnya, Maryam dan kaumnya. Kita melihat juga bahwa kode (code) yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut adalah kode yang dipahami – dalam bentuk isyarat dan suara dalam konteks burung unta, dan isyarat saja dalam konteks manusia – oleh kedua belah pihak. Pembicaraan wahyu dalam konteks al-Qur’an membawa kita pada wilayah yang lebih rumit, dimana proses komunikasi antara kedua belah pihak tidak berlangsung dalam tingkat eksistensi yang sama. Meskipun demikian, konsep seperti ini – konsep komunikasi antara tingkat-tingkat eksistensi yang berbeda – umum dan biasa dalam peradaban Arab sebelum Islam.13
Selanjutnya kata Nasr Hamid, situasi komunikasi yang terjadi dalam konteks wahyu (alQur’an) berbeda dengan situasi-situasi komunikasi yang lain. Situasi komunikasi ini lebih kompleks. Dua pilar utama komunikasi dalam proses wahyu adalah Allah Swt. (communicator) di satu pihak, dan Nabi (communicant) yang manusia di pihak lain. Al-Qur’an menyatakan 13
Ibid, h.30-32
9
komunikasi ini sebagai ilqa’, sebagaimana yang terdapat dalam surat kedua dari segi turunya, yaitu surat al-Muzammil, ًعلَ ْيكَ قَ ْوالً ث َ ِقيل َ سنُ ْل ِقي َ “ ِإنَّاsesungguhnya, Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”. Yang dimaksud dengan kata ganti na’ dalam ayat tersebut adalah dzat
yang sama dengan yang disebut dalam ayat pertama dari surat al-‘Alaq, “Bacalah dengan nama Tuhanmu”. Dengan demikian, komunikasi berlangsung melalui ilqa’, dan kode yang dipergunakan dalam komunikasi adalah qaul. Pada ayat lain dalam al-Qur’an, ilqa’ diungkapkan dengan kata tanzil, dan kata qaul dengan kata kalam.
2. Teori Wahyu Fazlur Rahman : Kewahyuan Internal dan Eksternal Menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an sebagai firmanTuhan membawa konsekuensi yang sangat besar bagi kaum muslimin. Nabi Muhammad juga benar-benar yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah, yaitu “Dzat yang sama sekali lain”, sedemikian rupa hingga ia menolak dengan kekuatan kesadaran ini, sebagian dari klaim-klaim historis yang paling fundamental dari tradisi Judea-Kristiani tentang Ibrahim dan nabi-nabi yang lain. Dzat yang lain ini melalui suatu saluran “mendiktekan” al-Qur’an dengan otoritas yang mutlak. Suara yang datang dari dasar kedalaman hidup itu berbicara dengan jelas sekali, tak bisa dikelirukan, dan mendesak. Tidak hanya kata Qur’an, yang berarti “bacaan”, dengan jelas menunjukkan hal ini, tetapi teks al-Qur’an itu sendiri pada beberapa tempat menyatakan bahwa al-Qur’an diwahyukan secara verbal, dan bukan hanya dalam “makna” dan ide-idenya saja. Istilah al-Qur’an untuk “pembukaan” (rahasia) adalah wahy yang berdekatan artinya dengan “inspirasi”, dengan syarat bahwa yang kedua ini tidak perlu harus mengesampingkan model verbal. (Dengan ‘firman’, tentu saja yang dimaksud disini bukanlah suara). Al-Qur’an mengatakan, Allah tidak berbicara pada seorang manusia pun (yakni dengan kata-kata bersuara) kecuali melalui wahy (yakni dengan inspirasi ide-kata) atau dari balik tabir, atau mengutus seorang utusan (Malaikat) yang berbicara melalui wahy. ….Dan demikianlah Kami berikan inspirasi kepadamu dengan satu ruh dari perintah Kami…(QS. al-Syura[42]:51-51). Disini yang menjadi perbedaan utama Rahman dengan teori
wahyu yang lain adalah; al-Qur’an itu bersifat eksternal, dalam artian bahwa seluruh isi “pesan” wahyu “didiktekan” Allah secara langsung kepada Nabi, dan sekaligus bersifat internal pada diri nabi, bahwa nabi sendiri memiliki “kesadaran” (deep consiousness) tentang al-Qur’an, dalam artian Allah Swt. hanya “mentransmisikan” ide dan makna wahyu dan nabi lah yang
10
memformulasikanya dalam bentuk verbal. Ilmuwan Barat pada umumnya cenderung berpatokan pada “ortodoksi” wahyu yang bersifat internal.14
3. Teori Wahyu Al-Farabi dan Ibn Sina : Wahyu Intelektual dan Wahyu Imajinatif a. Wahyu Intelektual Menurut Al-Farabi dan Ibn Sina, Nabi adalah seorang yang dianugerahi bakat intelektual luar biasa sehingga dengan bakat tersebut, ia mampu mengetahui sendiri semua hal tanpa bantuan pengajaran oleh sumber-sumber eksternal. Satu-satunya perbedaan antara kualitas kenabian dan manusia biasa adalah kualitas kenabian bersifat mandiri atau diajari oleh dirinya sendiri : “Pemimpin sejati –dari suatu negara yang baik- adalah pemimpin yang tidak dikendalikan oleh manusia lain dalam hal apa pun. Sebaliknya, ia benar-benar telah memperoleh (sendiri) semua pengetahuan dan hikmah (gnosis). Ia tidak membutuhkan siapa pun untuk mengarahkan dirinya dalam masalah apa pun. Ini hanya terjadi dalam kasus seorang manusia yang telah dianugerahi kemampuan-kemampuan alamiah luar biasa yang mencapai kontak dengan Akal Aktif. Tahap ini hanya dicapai setelah manusia terlebih dahulu mencapai Akal Aktual, kemudian Akal Perolehan. Karena dengan pencapaian Akal Perolehanlah, kontak dengan Akal Aktif dapat dicapai sebagaimana telah ditunjukkan dalam kitab tentang jiwa. Manusia inilah yang dianggap benar-benar Raja oleh orang-orang kuno dan tentangnyalah dikatakan bahwa wahyu telah dating kepadanya. Wahyu datang kepada manusia ketika ia telah mencapai derajat ini, yakni ketika tidak ada lagi perantara antara ia dan Akal Aktif. Dengan demikian, Akal Aktual menjadi semacam materi dan substratum bagi Akal Perolehan dan Akal Perolehan dengan sendirinya juga menjadi materi dan substratum bagi Akal Aktif.”
Penjelasan inilah yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Al-Farabi dan Ibn Sina mengenai wahyu kenabian pada level intelektual. Tiga pokok masalah yang dikemukakan adalah; (1). Bahwa nabi, berbeda dengan manusia yang berpikiran biasa, dianugerahi bakat intelektual yang luar biasa; (2). Bahwa akal nabi, berbeda dengan pikiran filosofis dan mistis biasa, tidak membutuhkan pengajar eksternal, tetapi berkembang dengan sendirinya dengan bantuan kekuatan Ilahi, termasuk dalam melalui tahap-tahap aktualisasi yang dilalui oleh akal biasa; dan (3). Pada akhir perkembangan ini, akal kenabian mencapai kontak dengan Akal Aktif, yang darinya ia menerima fakultas spesifik kenabian.
14
Fazlur Rahman, I s l a m, terj. Ahsin Muhamad, (New York: Chicago University Press, 1979), h.34-35
11
b. Wahyu Teknis atau Imajinatif Adapun penjelasan tentang Wahyu Teknis atau Wahyu Imajinatif, Ibn Sina telah “mengambil” doktrin tentang simbolisasi dan imajinasi visual sebagai fenomena intelektual. Namun, Ibn Sina memandang bahwa proses simbolisasi dan imajinasi visual membutuhkan penampakan malaikat. Terdengarnya suara malaikat bagi Ibn Sina merupakan fenomena mental murni, berbeda dengan Al-Farabi yang memandangnya hanya sebagai sebuah persepsi murni yang bersifat pribadi bagi nabi dan tidak “objektif” dalam pengertian umum. Hanya saja, ia sebanding dengan kejadian-kejadian di dunia eksternal, seperti cahaya dan udara yang mampu diterima oleh organ-organ perseptual manusia biasa.
Dua poin penting dari penjelasan diatas yaitu: (1) Nabi dianugerahi kekuatan imajinasi yang sedemikian rupa sehingga ia bisa menangkap kembali kebenaran intelektual dengan visualisasi dalam simbol-simbol visual dan akustik dalam keadaan terjaga; (2) Meskipun simbolsimbol ini mungkin bersifat pribadi, kenyataan ini tidak mempengaruhi kesahihan objektifitasnya. Kebenaran pernyataan yang terakhir ini akan dijamin oleh fakta bahwa sumber kebenaran tertinggi sebagai inspirasi intelektual – yang memunculkan simbol-simbol – terjadi pada level yang darinya kemungkinan kepalsuan atau kekeliruan secara ex hypothesy dikecualikan, dan karenanya tidak menjadi soal apakah simbol-simbol tersebut subjektif atau objektif.15
Konsep Tentang Ke-azali-an Al-qur’an Diskursus yang juga selalu mengemuka
dalam hal kewahyuan al-Qur’an adalah
pemikiran – yang hampir merupakan aqidah karena kepurbaan dan dominasinya – bahwa alQur’an yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad dari hadirat Allah adalah teks yang qadim dan azali, dan ia merupakan salah satu diantara sifat-sifat Dzat Tuhan. Karena Dzat Tuhan adalah azali dan tak bermula maka demikian pula halnya dengan sifat-sifat-Nya dan segala yang berasal dari-Nya. Al-Qur’an adalah firman Allah. Dengan demikian, ia juga qadim karena termasuk diantara sifat-sifat-Nya yang qadim dan azali tersebut. Jadi, siapapun yang mengatakan al-Qur’an baru dan tidak qadim atau bahwa ia “tercipta” yang sebelumnya tidak ada kamudian
15
Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003), h.49-59
12
ada – artinya ia muncul di alam – maka orang tersebut telah menentang aqidah dan layak dikenai julukan kafir. Jika orang yang menyatakan yang demikian adalah muslim maka hukum murtadlah yang berlaku atasnya karena persoalan ke-qadim-an al-Qur’an ini, maksudnya ia tidak tercipta dan baru, termasuk poin-poin aqidah yang tidak akan sempurna keimanan seorang muslim kecuali dengan menerimanya dengan sepenuh hati. Persoalan tentang apakah hakikat al-Qur’an itu qadim ataukah baru – merupakan persoalan klasik yang sudah lama menjadi pangkal perdebatan para pemikir muslim. Mu’tazilah, misalnya, berpandangan bahwa al-Qur’an itu baru dan makhluk karena ia tidak termasuk dalam sifat-sifat Dzat yang azali. Al-Qur’an adalah firman Allah dan firman termasuk tindakan, bukan sifat. Dari segi ini maka al-Qur’an masuk dalam kategori “sifat-sifat Dzat” (Shifat adz-dzat). Kedua kategori ini dibedakan Mu’tazilah sebagai berikut. Kategori pertama (sifat-sifat tindakan) merupakan wilayah interaksi antara Tuhan dengan dunia, sementara wilayah “sifat-sifat Dzat” merupakan wilayah keunikan dan kekhususan eksistensi Tuhan dalam Dzat-Nya sendiri. Artinya, yang terakhir ini tidak terkait dengan dunia, yaitu sebelum terwujudnya dunia dan sebelum penciptaannya dari ketiadaan. Ini bisa dijelaskan, misalnya dari sifat keadilan Tuhan yang tidak mungkin dipahami kecuali dalam konteks adanya wilayah bagi realisasi sifat tersebut. Sasaran tersebut tidak lain adalah keberadaan alam semesta ini. Sama halnya dengan sifat Pemberi rezeki (ar-Raziq) yang selalu terkait dengan adanya pihak yang diberi rezeki, yaitu alam semesta ini dan begitu seterusnya. Berbeda dengan mu’tazilah, kelompok lain berpendapat bahwa firman Tuhan merupakan salah satu dari sifat-sifat Dzat. Dari sini mereka menyatakan bahwa al-Qur’an adalah firman yang azali dan qadim karena ia termasuk sifat Dzat Tuhan tersebut. Sebagai bukti mengenai semua ini adalah bahwa penentuan mengenai hakikat al-Qur’an adalah persoalan khilafiah di antara kaum muslimin sendiri. Khalifah al-Ma’mun melalui kekuasaan dan aparatus Negara pernah berupaya memaksakan pemikiran Mu’tazilah kepada para ulama dan fuqaha. Namun ambisi ini terbukti gagal. Sebaliknya, dari pihak lain juga terjadi pemaksaan pemikiran Asy’ariyah yang menyatakan adanya dua aspek al-Qur’an. Pertama, adalah aspek yang bersifat qadim dan azali, yaitu firman Tuhan dalam Dzat-Nya sendiri yang mereka istilahkan dengan “firman kedirian yang qadim”, (al-kalam an-nafsi al-qadim). Dan kedua, adalah al-Qur’an yang 13
kita baca saat ini yang merupakan salinan (mimesis) dari firman archaic yang disebutkan pertama. Pemikiran yang dominan ini berhasil diadopsi dalam berbagai karya belakangan sedemikian rupa sehingga kemudian menjadi dominan, mapan, dan menyebar. Ia menjadi bagian dari “aqidah” sehingga yang menentangnya sama dengan menyimpang dari agama, bahkan pengingkaran (kufr) dan murtad dari Islam.
Disini perlu ditegaskan bahwa dominasi dan hegemoni suatu pemikiran hanya dapat terjadi melalui cara-cara kekerasan dan penggunaan kekuasaan. Sebagaimana al-Ma’mun berupaya untuk memaksakan pemikiran mu’tazilah, demikian pula para penggantinya berupaya untuk memberangus pemikiran itu dan memaksakan pemikiran-pemikiran lawan-lawannya. Dan dalam konteks keruntuhan budaya dan kemandekan pemikiran yang melanda seantero dunia Islam – karena faktor-faktor disintegrasi internal dan agresi eksternal yang terus berlangsung hingga saat ini – maka pemikiran itu pun menjadi mapan, terlindungi dan memperoleh kesakralanya, baik di kalangan awam maupun terdidik, bahkan di kalangan kaum spelialis. Dengan demikian, konsepsi tentang ke-azali-an al-Qur’an bukanlah bagian dari aqidah sama sekali. Ungkapan tentang Lauh al-Mahfuz yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti al-kursi, al-‘arsy, dan sebagainya, harus dipahami secara metaforik dan bukannya secara literal. Pengertian “Allah menjaga al-Qur’an” bukan dalam pengertian “Dia memeliharanya di langit dalam bentuk tertulis di lauh al-mahfuz”. Bukan demikian, akan tetapi maksudnya Dia memeliharanya di dunia ini dan dalam kalbu orang-orang yang beriman kepada-Nya. Begitu pula firman Allah: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami-lah yang akan memeliharanya” (QS. al-Hijr[15]:9). Firman ini tidak berarti ‘intervensi’ Tuhan secara
langsung di dalam proses pemeliharaan, kodifikasi dan pembukuan, melainkan ‘intervensi’ melalui manusia beriman dengan cara mendorong, memotivasi, dan merangsang mereka betapa penting memelihara al-Qur’an.
Pandangan yang menganggap bahwa pemeliharaan di sini berarti campur tangan secara langsung dari Tuhan merupakan pandangan yang menunjukkan kesadaran yang justru berlawanan dengan Islam itu sendiri. Sebab Islam pada intinya adalah agama yang mengakhiri
14
hubungan langsung antara langit dan bumi kecuali melalui jalur petunjuk dan bimbingan yang sudah terkandung dalam al-Qur’an dan dalam sunnah yang berasal dari Nabi.16
Pemahaman Al-qur’an dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran Kalau boleh “menyimpulkan” peradaban dalam satu dimensi saja maka dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir kuno adalah peradaban “masa lalu” (al-hadharah al-qadimah), peradaban Yunani adalah “peradaban akal” (al-hadharah al-‘ilm wal falsafah), sedangkan peradaban Arab pra-Islam adalah peradaban “teks” (al-hadharah al-nash). Apabila suatu peradaban berpusat pada teks, maka tak pelak lagi, interpretasi (ta’wil) – sebagai sisi lain teks – merupakan salah satu mekanisme kebudayaan dan peradaban yang penting dalam memproduksi pengetahuan. Ketika teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan maka dapat dipastikan tafsir dan interpretasi akan beragam, dan keragaman interpretasi ini terjadi karena berbagai faktor. Kita menemukan bahwa teks al-Qur’an fase Makkah, kandungan dan gaya bahasanya berbeda dengan teks fase Madinah. Perbedaan kandungan dan gaya bahasa ini merupakan refleksi dari perubahan dua fase ini dalam perkembangan wahyu. Fase pertama, meletakkan dasar-dasar masyarakat baru yang berseberangan dengan masyarakat lama yang dominan di Makkah. Pada fase ini teks difokuskan pada upaya pembentukan nalar baru bagi masyarakat baru, yang tercermin pada aqidah tauhid dan penolakan terhadap kemusyrikan. Fase ini menciptakan dasar-dasar yang akan dipakai membentuk kembali kesadaran terhadap sesuatu yang sejalan dengan realitas baru yang ingin dibentuk oleh teks. Pada fase ini tidak diperlukan perundang-undangan apa pun yang bersifat praktis sebap perundang-undangan dibentuk untuk realitas yang hidup secara dinamis. Fase kedua, perkembangan wahyu adalah fase “pembangunan sosial” dan legislasi pembangunan tersebut. Fase ini dimulai seiring dengan stabilitas masyarakat baru di wilayah yang dimungkinkan menjadi dasar bagi suatu negara yang memiliki sifat-sifat dan batas-batas wilayah yang jelas. Wilayah tersebut adalah Madinah al-Munawwarah. Di sini, dasar-dasar kemasyarakatan telah terpenuhi. Seiring dengan perbedaan corak antara masyarakat baru di
16
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.86-89
15
“Madinah” dengan masyarakat lama di “Makkah”, muncullah pertentangan antara kedua masyarakat tersebut, dan legislasi mulai dibutuhkan.17
Kesimpulan Meminjam kata-kata Nasr Hamid Abu Zaid bahwa sebuah teks sangat terkait (strongly connected) dengan konteks – tak terkecuali al-Qur’an – maka dalam upaya mencari pemahaman yang otentik terhadap sebuah teks, kita harus pula melihat latar konteks – sosial, kultural, ekonomi, politik – di mana teks itu hidup dan berkembang. Dalam rangka memahami – wahyu – al-Qur’an secara lebih baik dan lebih otentik, maka kita pun harus terlebih dulu memahami “realitas” masyrakat Arab secara keseluruhan, tempat di mana wahyu turun untuk pertama kalinya. Abu zaid menawarkan sebuah pendekatan yang sangat menarik untuk memahami dan mengkontekstualisasikan al-Qur’an dengan kehidupan kekinian. Berangkat dari sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi akan cocok dan sesuai dengan semua ruang dan waktu, dengan demikian maka proses interpretasi dan re-interpretasi terhadap wahyu adalah sebuah keniscayaan sejarah. Dalam hal ini, Abu Zaid menawarkan “alat bantu” berupa analisis tekstual-struktural yang diadopsi dari teori-teori kesusastraan modern mulai dari Levi-Strauss, Hans Georg Gadamer, Wilhelm Dilthey, hingga Julia Christeva. Wallahu a’lam bi al-shawab.
17
Ibid, h.8-9
16
Daftar Pustaka
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2003)
__________________ Teks Otoritas Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001) Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Drs. Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1992)
Rahman, Fazlur, I s l a m, (New York: Chicago Univ. Press, 1979)
_____________Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003)
17