Ilmu Ushuluddin, Januari 2016, hlm. 1-11 ISSN 1412-5188
Vol. 15, No. 1
SIGNIFIKANSI ASBÂB AN-NUZÛL DALAM PENAFSIRAN ALQUR’AN Abdullah Karim
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Diterima tanggal 3 Oktober 2015 / Disetujui tanggal 4 Nopember 2015 Abstract The study of asbâb an-nuzûl is a part of the Qur’anic studies that discussed about events or questions directed to Rasulullah Saw. so then Qura’anic verses was gone down as the answer or the explanation of them. Based on the definition, it is not included reports or events that happened in the past before, such as Abrahah’s arrival with his troops is not asbâb an-nuzûl for Sura al-Fîl, so do the stories of Noah’s clan, ‘Ad’s, Tsamûd’s, etc. This article discusses about two matters. First, what are asbâb an-nuzûl exactly? And second, what is the significance of it to understand the meaning of Qur’anic verses? After all, there are some conclusions. Asbâb an-nuzûl talked about the reality in Qur’anic verses when they are gone down and shahîh reports must accommodate them. Asbâb an-nuzûl is very important to understand the meaning of Qur’anic verses for some reason. They will help Qur’anic reader to know the secret behind the appearance of a verse or more, to know the limit of a rule for certain verses, etc. Kata kunci: Ayat al-Qur’an, asbâb an-nuzûl, sebab, peristiwa, pertanyaan Pendahuluan Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. membacanya merupakan ibadah.1 Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memberi petunjuk kepada umat manusia. Turunnya Alquran merupakan satu peristiwa utama yang sekaligus memroklamasikan kedudukan Muhammad sebagai Rasul bagi penghuni langit dan bumi. Alquran diturunkan pertama kali pada Laylah al-Qadr, membuat penghuni langit yang terdiri atas para malaikat Allah menyadari kemuliaan umat Muhammad Saw. yang menerima risalah baru dan mereka akan tampil sebagai umat terbaik. Tahap berikutnya, Alquran diturunkan sedikit demi sedikit agar umat Islam dapat mengikutinya dengan mantap, berbeda dengan kitab-kitab Samawi lainnya.2 Kebanyakan ayat Alquran diturunkan semata-mata untuk memberi petunjuk yang jelas kepada umat manusia, berupa jalan lurus yang berisi prinsip-prinsip hidup utama, terdiri atas iman kepada Allah, Rasul-rasul-Nya, dan seterusnya. Namun terkadang para sahabat menemukan masalah yang belum dapat mereka selesaikan sendiri sehingga bertanya kepada Rasulullah Saw.: Bagaimana hukum Islam tentang masalah tersebut? Dengan adanya pertanyaan itu atau peristiwa lain, lalu Allah menurunkan ayat Alquran. Peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran tersebut dikenal dengan istilah asbâb an-nuzûl.3 Banyak hal yang dapat dibahas sehubungan dengan asbâb an-nuzûl ini, tetapi tulisan ini dibatasi pada dua masalah pokok sebagai berikut: 1. Apa sebenarnya asbâb an-nuzûl itu? 2. Mengapa pengetahuan tentang asbâb an-nuzûl diperlukan dalam memahami makna Alquran? 1Mannâ’
al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân (Ar-Riyâdh: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1393 H./1973 M.), 21 al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, 100. 3Mannâ’ al-Qaththân, Mab âhits fî Úlûm al-Qur’ân, 75. 2Mannâ’
2
Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
Pengertian Asbâb an-Nuzûl Menurut bahasa, asbâb an-nuzûl berasal dari Bahasa Arab, terdiri atas “asbâb” yang merupakan bentuk jamak dari kata “sabab” yang berarti sebab dan kata “nuzûl” yang berarti turun. Adapun yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebab turunnya ayat Alquran. Kebanyakan ulama ‘ulûm al-Qur’ân terdahulu mengemukakan kegunaan asbâb an-nuzûl dalam memahami makna Alquran, tetapi mereka tidak mengemukakan definisinya. Oleh karena itu, definisi yang akan dikemukakan hanya diambil dari ulama Alquran belakangan. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan asbâb an-nuzûl sebagai ilmu yang menerangkan sebab-sebab turun ayat.4 Definisi ini belum memberikan gambaran jelas mengenai sebab yang dimaksudkan. Adapun Muhammad ‘Ali ash-Shâbûni menjelaskan bahwa asbâb an-nuzûl adalah peristiwa yang kadang-kadang terjadi, lalu satu ayat atau beberapa ayat Alquran diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut. Kadang-kadang bisa juga Rasulullah Saw. ditanya tentang hukum syara’ atau penjelasan satu urusan agama. Kedua hal ini, dapat disebut sebab turun ayat.5 Sementara Mannâ’ al-Qaththân memberikan definisi asbâb an-nuzûl secara ringkas yaitu “sesuatu yang Alquran diturunkan berkenaan dengannya, ketika sesuatu itu terjadi, baik berupa peristiwa atau pertanyaan”.6 Subhi ash-Shalih menyatakan bahwa asbâb an-nuzûl adalah “sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Alquran, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban atau penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa”.7 Dari beberapa definisi terdahulu dapatlah disimpulkan bahwa asbâb an-nuzûl meliputi peristiwa atau pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Saw. yang menyebabkan diturunkannya satu atau beberapa ayat Alquran sebagai jawaban atau penjelasan atas terjadinya peristiwa itu atau dalam suasana/konteks peristiwa atau pertanyaan itu terjadi. Dengan demikian tidak termasuk asbâb an-nuzûl, berita-berita atau peristiwa masa lalu yang diungkapkan oleh Alquran seperti kedatangan Abrahah bersama pasukannya untuk menghancurkan Ka’bah bukanlah asbâb an-nuzûl dari Surah alFîl, begitu pula cerita-cerita kaum Nûh, ‘Âd, Tsamûd dan lainnya.8 Bertolak dari uraian terdahulu, maka tulisan ini mengikuti keharusan membagi ayat-ayat Alqurn kepada dua bagian, sebagian berkaitan dengan asbâb an-nuzûl dan sebagian lainnya tidak. Dan bagian terakhir ini jauh lebih banyak dari yang pertama.9 Hal ini disandarkan pada riwayat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan para ulama lain dari kalangan sahabat Nabi Saw. yang menyatakan bahwa tiap ayat yang turun pasti diketahui oleh salah seorang di antara mereka, mengenai apa ayat itu turun, mengenai siapa ia diturunkan, dan di mana pula ia diturunkan. Riwayat ini tidak harus diambil maknanya secara harfiyah, walaupun ada di antara mereka yang bersumpah untuk memperkuat pernyataan tersebut. Jika riwayat tersebut benar, seperti yang disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib bersumpah menyatakan: “Demi Allah, tak ada satu ayat pun yang turun, tanpa kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan”. Demikian pula Ibnu Mas’ud bersumpah menyatakan bahwa dia mengetahui mengenai siapa ayat itu diturunkan. Dari pernyataan sumpah kedua orang sahabat Nabi ini terkumpullah
4T.
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 105. ‘Ali ash-Shâbûni, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2003 M./1424 H.), Cet. ke-1, 24. 6Mannâ’ al-Qaththân, Mab âhits fî Úlûm al-Qur’ân, 78. 7Shubhi ash-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Bayrût: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1977), 132. 8Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân as-Suyûthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1 (T.t.: Dâr al-Fikr, t.th.), 32. 9Shubhi ash-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 132. 5Muhammad
ABDULLAH KARIM
Signifikansi Asbâb An-Nuzûl
3
pengetahuan tentang orang-orang dan hal-ihwal yang terkait dengan turunnya Alquran, bukan sebab turunnya Alquran.10 Metode Mengenal Asbâb an-Nuzûl 1.
Sandaran Mengenal Asbâb an-Nuzûl
Untuk mengenal asbâb an-nuzûl, harus bersandar kepada riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (shahîh), baik berupa ungkapan tegas yang menyebutkan sebab turun ayat atau ungkapan yang mengandung pengertian dimaksud.11 Riwayat itu pun harus diterima dari sahabat yang menyaksikan sendiri ayat Alquran dimaksud diturunkan. Kecermatan dalam menerima riwayat ini, pernah dialami oleh Muhammad bin Sîrîn al-Bashri (w. 110 H.), yang pada masanya dikenal sebagai imam dalam bidang ilmu-ilmu agama di Bashrah. Ketika dia bertanya kepada ’Ubaydah tentang satu ayat Alquran, ‘Ubaydah menjawab, “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan berbicaralah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa ayat Alquran diturunkan sudah tidak ada lagi”.12 Informasi ini menekankan bahwa riwayat yang dapat diterima sebagai sebab turun ayat (asbâb an-nuzûl) harus berasal dari sahabat Nabi saw., tidak boleh kalau hanya dari seorang tâbi’în atau tâbi’ at-tâbi’în. Apalagi jika hanya berupa dugaan dan perkiraan belaka. Persyaratan ini diperlunak oleh as-Suyûthi dengan menetapkan bahwa apa yang dikatakan oleh seorang tâbi’în yang disandarkan kepada seorang sahabat, termasuk kategori musnad, yakni hadis yang sampai kepada Nabi atau marfû’, apabila sanadnya dapat dipercaya dan shahîh. Lebih-lebih lagi, jika tâbi’în tersebut adalah seorang ulama tafsir, seperti Mujâhid, ‘Ikrimah, dan Sa’îd bin Jubayr. Sekalipun hadis tersebut dalam kategori mursal, yakni riwayat seorang tâbi’în yang menyandarkan langsung kepada Nabi Saw. tanpa melalui sahabat, tetapi didukung oleh hadis mursal yang lain.13 Dengan diterimanya hadis dari seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turunnya ayatayat Alquran dan dengan diterimanya hadis dari seorang tâbi’în yang mengambilnya dari seorang sahabat Nabi saw., dapatlah dimengerti bahwa tujuan menetapkan persyaratan tertentu dimaksud adalah agar suatu hadis dapat dipandang shahîh, sehingga memperoleh kepastian bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber pada seorang sahabat Nabi saw. yang menyaksikan, mengalami, atau mendengar sendiri peristiwa yang berkaitan dengan turunnya suatu ayat; atau menyaksikan, mengalami, atau mendengar sendiri pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat Alquran.14 2.
Ungkapan Para Sahabat Mengenai Asbâb an-Nuzûl
Dalam memberikan informasi mengenai asbâb an-nuzûl, para sahabat menggunakan dua kategori ungkapan, yaitu; ungkapan yang tegas dan ungkapan yang mengandung pengertian asbâb annuzûl. Termasuk ungkapan yang tegas menyebutkan asbâb an-nuzûl, apabila seorang periwayat hadis mengatakan: ”sebab turun ayat begini” atau ”terjadi peristiwa begini atau Rasulullah Saw. ditanya orang tentang sesuatu begini, lalu ayat Alquran diturunkan”.15 Sedangkan ungkapan yang mengandung makna asbâb an-nuzûl adalah apabila seorang periwayat mengatakan: ”ayat ini diturunkan mengenai soal anu”. Ungkapan ini kadang-kadang dimaksudkan untuk menjelaskan asbâb 10Shubhi
ash-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 132. al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, 85. 12As-Suyûthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, 32. 13As-Suyûthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, 32. 14Shubhi ash-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 135. 15Mannâ’ al-Qaththân, Mab âhits fî Úlûm al-Qur’ân, 85. 11Mannâ’
4
Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
an-nuzûl dan kadang-kadang hanya menjelaskan cakupan hukum yang terkandung dalam ayat dimaksud. Begitu pula jika seorang periwayat mengatakan: ”saya kira ayat ini berkenaan dengan anu”, ungkapan ini tidak secara tegas menyatakan asbâb an-nuzûl dan tidak tegas pula bahwa itu bukan asbâb an-nuzûl.16 As-Suyûthi dengan mengutip pendapat az-Zarkasyi mengatakan bahwa ”kebiasaan para sahabat dan tâbi’în, jika seorang di antara mereka mengatakan: ’ayat ini diturunkan dalam hal anu’, maka yang dia maksudkan adalah kandungan hukum ayat tersebut, bukan asbâb an-nuzûl (sebab turun ayat)”.17 3.
Banyak Riwayat Berkaitan Dengan Satu Sabab an-Nuzûl
Ada kalanya satu ayat mengandung beberapa versi riwayat tentang sebab turunnya. Untuk kejelasannya diperlukan susunan kalimat yang jelas dan terang pada teks yang berkaitan. Dalam hal seperti itu, para ulama ahli hadis telah mempunyai ukuran yang cermat untuk menentukan riwayat mana yang dipandang lebih kuat; atau untuk menyesuaikan riwayat yang satu dengan riwayat yang lain sedemikian rupa, sehingga menjadi serasi dan dapat diterima. Jika untuk suatu ayat terdapat dua versi riwayat dan sama shahîhnya dan kita tidak dapat menentukan mana yang lebih kuat, maka kedua versi riwayat tersebut kita satukan dan kita tetapkan sebagai dua macam sebab turun ayat yang bersangkutan.18 Untuk lebih jelasnya mengenai adanya beberapa versi riwayat tentang sebab turun ayat Alquran ini, Mannâ’ al-Qaththân mengemukakan pendapat yang diringkas sebagai berikut: a. Apabila semua riwayat tidak menggunakan ungkapan yang tegas, atau “saya kira ayat ini diturunkan mengenai anu”, maka riwayat itu dianggap sebagai cakupan hukum dari ayat yang bersangkutan dan digunakan sebagai tafsir ayat. Kecuali apabila ada “qarînah” yakni penopang yang menghendaki riwayat itu sebagai asbâb an-nuzûl (sebab turun ayat). b. Apabila salah satu riwayat menggunakan ungkapan yang tidak tegas, seperti “ayat ini diturunkan mengenai anu”, sedangkan riwayat yang lain secara tegas menyebutkan sebab turun ayat yang berbeda dari riwayat tadi, maka ungkapan yang tegas dinyatakan sebagai sebab turunnya ayat. Contoh ayat 223 Sûrah al-Baqarah: ْنِسَآءُكُمْْحَرثْْلَّكُمْْفَأْتُواْحَرثَكُمْْأَنْىْشِئْتُم Riwayat yang berasal dari Nâfi’ yang mengatakan: ”Suatu hari aku membaca ayat itu, lalu Ibnu Umar bertanya: ’Tahukah Anda, tentang apa ayat itu diturunkan?’ Kujawab: ’Tidak’. Dia berkata: ’Ayat itu diturunkan dalam hal menggauli isteri di anusnya’”. Ungkapan Ibnu Umar ini tidak tegas menyebutkan sebab turun ayat. Ungkapan yang tegas berasal dari Jâbir yang mengatakan: ”Orang-orang Yahudi berkata: ’Apabila seorang laki-laki menggauli isterinya dari belakang memasuki vagina, anaknya akan lahir dengan mata juling’, lalu turun ayat 223 Sûrah al-Baqarah ini. c. Apabila semua riwayat menyebutkan secara tegas sebab turun ayat, tetapi salah satunya memiliki sanad yang shahîh, sementara yang lainnya tidak shahîh, maka yang dipakai adalah riwayat dengan sanad yang shahîh tersebut. d. Apabila semua riwayat bersanad shahîh, tetapi ada faktor lain yang menjadikan salah satu riwayat lebih akurat seperti berasal dari sahabat yang menyaksikan sendiri peristiwa turunnya ayat tersebut, maka riwayat yang lebih akurat tersebut yang menjadi rujukan. e. Apabila semua riwayat memiliki tingkat akurasi yang sama, maka dapat dihimpun atau digabungkan jika memungkinkan. Dalam hal ini, ayat tersebut diturunkan dengan sebab ganda atau beberapa sebab sekaligus, terutama karena waktunya berdekatan antara yang satu 16Mannâ’
al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, 85.
17As-Suyûthi, 18Shubhi
Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, 32. ash-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 142-143.
ABDULLAH KARIM
Signifikansi Asbâb An-Nuzûl
5
dengan yang lainnya, seperti ayat 6-9 Sûrah an-Nûr, tentang Li’ân: ْْْوَْالَّذِينَْْيَرمُونَْْأَزوَاجَهُمْْوَْْلَمْْيَكُن
...ُم ْ لَّهُمْْشُهَدَآ ْءُْإِ ْلَّْأَنفُسَه Al-Bukhari, at-Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan Hilâl bin Umayyah yang di sisi Rasulullah Saw. menuduh isterinya berlaku serong dengan Syarîk bin Sahma. Al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya juga meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d yang mengatakan: “Uwaymir datang kepada ‘Âshim bin ‘Adiy lalu berkata: ‘Tanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang seorang laki-laki yang menemukan isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, apakah dia harus membunuh laki-laki itu, lalu dia dibunuh pula (diqishâsh), atau bagaimana seharusnya dia berbuat?’”. Kedua riwayat ini dihimpun, peristiwa Hilâl lebih dahulu, kemudian datang ‘Uwaymir. Terhadap kedua kejadian ini diturunkan ayat Alquran yang menjelaskannya sekaligus. Ibnu Hajar berpendapat: ”Tidak mengapa adanya beberapa sebab terhadap turunnya ayat”. f. Jika beberapa riwayat yang nilai sanadnya sama akurat, tetapi tidak mungkin digabungkan, karena tenggang waktu yang lama, maka semua sebab turun ayat itu diambil dan dibawa kepada ketentuan berulangnya turun ayat tersebut. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari al-Musayyab yang mengatakan: ”Ketika Abû Thâlib menjelang wafat, Rasulullah Saw. menghadap beliau yang waktu itu didampingi oleh Abû Jahl dan ’Abdullâh bin Abî ’Ukayyah. Rasulullah Saw. bersabda: ’Paman, katakanlah: Lâ ilâha illâ Allâh, dengan ucapan itu saya akan melindungi Anda di sisi Allah’. Kemudian Abû Jahl dan ’Abdullâh berkata: ’Hai Abû Thâlib, Apakah Anda membenci millah (agama) ’Abdul Muththalib?’. Keduanya terus mengajak bicara, sampai Abû Thâlib mengatakan: ’Dia (Abû Thâlib) tetap berpegang pada agama ’Abdul Muththalib’. Rasulullah Saw. bersabda: ’Saya akan memintakan ampun untuk Anda, selama saya tidak dilarang melakukannya’. Kemudian turun ayat 113 Sûrah at-Tawbah: ْ َْمَا ْكَا ْنَ ْلِلنبِيْ ْو
...َالَّذِي ْنَْآمَنُواْأَنْْيَستَغفِرُواْلِلْ ْمُشرِكِي ْن At-Turmudzi meriwayatkan dari ‘Ali yang mengatakan: “Saya mendengar seorang laki-laki memintakan ampun untuk kedua orang tuanya yang musyrik, lalu saya katakan: ‘Anda memintakan ampun untuk kedua orang tua Anda, padahal keduanya musyrik?’ Orang itu menjawab: ‘Ibrâhîm memintakan ampun untuk ayahnya, padahal ayahnya itu musyrik’. Hal ini kuberitahukan kepada Rasulullah Saw., lalu ayat 113 Sûrah at-Tawbah itu diturunkan. Al-Hâkim dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd yang mengatakan: “Pada suatu hari Rasulullah Saw. datang ke pekuburan, lalu duduk di atas sebuah kubur. Beliau lama bermunajat, kemudian menangis seraya bersabda: ‘Sesungguhnya kuburan tadi adalah kubur ibuku dan aku minta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, Allah tidak memberi izin kepadaku, lalu menurunkan ayat 113 Sûrah at-Tawbah’”. Setelah mengemukakan uraian ini (point f), Mannâ’ al-Qaththân memberikan komentar berikut: Ini dikemukakan oleh para ahlinya, tentang berulang kali diturunkannya satu ayat Alquran, saya tidak melihat adanya tuntutan untuk itu. Hikmah pengulangan turunnya ayat Alquran itu tidak jelas. Saya melihat riwayat yang banyak berkenaan dengan sebab turun ayat yang tidak mungkin digabungkan itu, bisa dilakukan tarjîh (memenangkan sanad yang tingkat akurasinya lebih tinggi). Riwayat tentang asbâb an-nuzûl ayat 113 Sûrah at-Tawbah yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhâriy dan Shahîh Muslim lebih kuat daripada riwayat at-Turmudzi dan al-Hakim. Jadi sebab turun ayat dimaksud adalah peristiwa menjelang wafatnya Abû Thâlib itu.19
19Mannâ’
al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, 91-92.
6
Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
Perbedaan pendapat dalam hal ini memang sudah lama. As-Suyûthi juga mengemukakan pendapat mereka yang mengingkari pengulangan turun ayat yang sama dengan sebab yang berbeda. Pendapat itu dia temukan dalam Kitab al-Kâfil bi Ma’ânî at-Tanzîl, yang menyebutkan alasan bahwa mengemukakan yang sudah ada itu tidak bermanfaat dan tertolak apabila dilihat dari segi kegunaannya. Dan hal itu mengharuskan setiap ayat yang diturunkan di Mekah, diturunkan lagi di Madinah. Sesungguhnya Jibril menyampaikan Alquran kepada Nabi Muhammad Saw. setiap tahun, tetapi bukan mengulang (membawa) ayat yang pernah diturunkan. Kedatangan Jibril, justru menyampaikan ayat-ayat yang baru. Barangkali yang dimaksudkan dengan pengulangan turunnya ayat dua kali (satu kali di Mekah dan satu kali di Madinah) itu adalah ketika Jibril menyampaikan ayat ”perpindahan kiblat”, lalu Rasulullah Saw. memberitahukan bahwa al-Fâtihah adalah salah satu rukun salat sebagaimana ketika masih di Mekah. Hal itulah yang dianggap turunnya Sûrah al-Fâtihah itu dua kali. Atau Rasulullah membacakan Sûrah al-Fâtihah itu dengan bacaan yang lain (dalam bentuk qirâ'at) yang belum pernah dia bacakan di Mekah, dan itulah yang mereka anggap turun dua kali. Terhadap pendapat ini, As-Suyûthi tidak memberikan komentar apa pun.20 Sementara penulis lainnya, seperti az-Zarkasyi menyatakan, ”Kadang-kadang ayat Alquran diturunkan dua kali, karena masalah besar, mengingatkan ketika peristiwa itu terjadi, atau karena takut terlupakan. Seperti inilah yang berlaku terhadap Sûrah al-Fâtihah yang sekali turun di Mekah dan sekali lagi turun di Madinah.21 Az-Zarqâni memberikan contoh: Pertama, hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dan alBazzâr berasal dari Abû Hurairah yang mengatakan: “Bahwasanya dalam Perang Uhud Rasulullah Saw. berdiri di depan jenazah Hamzah bin ‘Abd al-Muththalib (pamannya) yang gugur sebagai syahid. Jenazahnya dalam keadaan dicincang oleh kuffâr Quraysy. Saat itu dia bersabda: ‘Sebagai pembalasan bagimu, akan kucincang tujuh puluh orang dari mereka’. Dalam keadaan Rasulullah Saw. masih berdiri, datanglah Jibril membawakan tiga ayat terakhir Sûrah an-Nahl (yakni ayat 126-128)”. Kedua, dari at-Turmudzi dan al-Hâkim dari Ubayy bin Ka’b yang mengatakan: “Ketika perang Uhud, kaum Anshâr jatuh menjadi syahid sebanyak 64 orang dan kaum Muhâjirîn enam orang, termasuk Hamzah paman Rasulullah saw. Kaum Anshâr mengatakan: ‘Kalau dalam suatu peperangan kami dapat membalasnya, kami buat mereka lebih hina dari keadaan Hamzah ini’. Ketika pada Fathu Mekah, yakni Mekah dikuasai oleh kaum muslimin, turunlah ayat 126-128 Sûrah anNahl.22 Berdasarkan riwayat pertama, berarti ayat dimaksud turun pada waktu perang Uhud, sedangkan berdasarkan riwayat yang kedua, ayat dimaksud diturunkan pada waktu Fathu Mekah. Antara kedua peristiwa tersebut ada selang waktu beberapa tahun, sehingga tidak dapat dipahami bahwa ayat tersebut turun dengan sebab kedua peristiwa tadi sekaligus. Karena itu, dari kedua riwayat tadi dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut diturunkan dua kali. Jika dilihat dari perbedaan pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kegunaan pengulangan turunnya ayat oleh kelompok yang menolaknya dianggap tidak bermanfaat, sedangkan mereka yang mengakuinya menyatakan ayat yang turun berulang itu karena masalah besar dan sangat penting atau untuk mengingatkan kembali ketika peristiwanya terjadi, agar tidak terlupakan (seperti turunnya tiga ayat terakhir Sûrah an-Nahl). Adapun kesimpulan yang menyatakan bahwa seluruh ayat yang diturunkan di Mekah kemudian diulangi dan diturunkan kembali di Madinah sebenarnya tidak beralasan, karena ayat-ayat yang dianggap berulang turunnya hanya sedikit. Sementara pengulangan
20As-Suyûthi,
Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, 37. Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1 (Al-Qâhirah: ‘Îsâ al-Bâbiy al-Halabiy, 1957), 29. 22Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm az-Zarqâni, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1 (Al-Qâhirah: ‘Îsâ al-Bâbi alHalabi, t. th.), 120. 21Az-Zarkasyi,
ABDULLAH KARIM
Signifikansi Asbâb An-Nuzûl
7
karena qira’at yang berbeda juga tidak dapat diterima, karena pengulangan qira’at terjadi dalam satu peristiwa sekaligus. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari berikut ini: Riwayat berasal dari Sa’îd bin ’Ufayr al-Layts dari ’Uqayl dari Ibnu Syihâb dari ’Ubaydillâh bin ’Abdullâh dari Ibnu ’Abbâs yang mengatakan: ”Rasulullah saw. bersabda: ’Jibril membawakan Alquran kepadaku dengan satu bacaan (harf), kemudian aku minta ulang kepadanya, dan aku selalu minta tambahan bentuk bacaan yang baru sampai dia berhenti membacakan dalam tujuh bentuk bacaan”.23 4.
Berulangkali Turun Ayat Berkenaan dengan Satu Sabab an-Nuzûl
Kadang-kadang ayat Alquran diturunkan berulang kali, padahal sebabnya hanya satu saja. Kadang-kadang dalam satu peristiwa, sejumlah ayat diturunkan dalam surah yang berbeda-beda. Sebagai contoh seperti yang dikemukakan oleh Sa’îd bin Manshûr, ’Abd ar-Razzâq, Ibnu Jarîr, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abî Hâtim, ath-Thabrâni dan al-Hâkim (yang menganggapnya shahîh) dari Ummi Salamah yang berkata: ”Ya Rasulallah, aku tidak mendengar sedikit pun Allah menyebutkan wanita dalam berhijrah”. Lalu diturunkan ayat 195 Sûrah Âli ’Imrân: ْْفَاستَجَابَْْلَهُمْْرَبُّهُمْْأَنيْْلَْْأَضِي ْعُْعَمَْلَْْعَامِلْْمِنكُم
...ِْنْبَعض ْ ُمْم ْ مِنْْذَكَرْْأَوْْأُنثَىْبَعضُك Imâm Ahmad, an-Nasâ’i, Ibnu Jarîr, Ibnu al-Mundzir, ath-Thabâni dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ummu Salamah yang mengatakan: “Ya Rasulallah, mengapa kami tidak disebutkan di dalam Alquran sebagaimana kaum pria? Dia tidak menghiraukanku. Suatu hari dia berkhuthbah di atas mimbar dengan membaca ayat 35 Sûrah al-Ahzâb: ...ِْإِنَّْْالْمُسلِمِينَْْوَْْالْمُسلِمَات Al-Hâkim meriwayatkan dari Ummi Salamah yang berkata: “Kaum pria berperang, padahal kaum wanita tidak berperang dan kami hanya memperoleh separuh warisan”. Allah lalu menurunkan ayat 32 Sûrah an-Nisâ: ... ْوَْلَْتَتَمَنواْمَاْفَضلَْاهللُْبَعضَكُم ْعَلَىْبَعض ْلِلرجَالِْنَصِيبٌْمِما ْكَسَبُواْوَْللنْسَآءِْنَصِيبٌْمِما
َ اكْتَسَب ْن. Ketiga ayat tadi diturunkan karena pertanyaan yang diajukan oleh Ummi Salamah kepada Rasulullah Saw.24 5.
Turun Ayat Lebih Dahulu daripada Ketetapan Hukumnya atau Sebaliknya Kadang-kadang bisa pula ayat diturunkan lebih dahulu, sedangkan penerapannya berlaku
kemudian, seperti firman Allah Sûrah al-Qamar ayat 45: َْعُ ْالْجَم ْعُ ْوَْ ْيُوَلُّونَْ ْالدُّبُر ْ َ سَيُهزyang diturunkan di Mekah. Umar bin al-Khaththâb berkata: ”Aku tidak mengetahui golongan apa yang dikalahkan itu. Ketika peperangan Badar, kusaksikan Rasulullah Saw. membaca ayat 45 Sûrah al-Qamar tersebut.25 Sebaliknya, ada pula hukum yang telah diterapkan, namun ayat yang berisi perintah tentang hukum itu diturunkan kemudian. DalamShahîh al-Bukhâri disebutkan hadis yang berasal dari ’Â’isyah ra. mengatakan: ”Kalungku jatuh di Baydâ, sedang kami memasuki Madinah, maka Rasulullah Saw. berhenti dan menginap, lalu dia merebahkan kepala di asuhanku dan tertidur. Kemudian datang Abû Bakr, lalu meninjuku dengan keras seraya berkata: ’Kau tahan orang-orang lantaran kalungmu yang hilang’. Setelah Rasulullah Saw. jaga, waktu salat subuh tiba. Dia mencari air dan tidak menemukannya, kemudian turunlah ayat enam Sûrah al-Mâ’idah: ْ ََِْيَآأَيُّهَا ْالَّذِينَْ ْآمَنُوا ْإِذَا ْقُمتُمْ ْإِلَى ْالصْل 23Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ism â’îl bin Ibrâhîm bin al-Mugîrah bin Bardizbah al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, Juz 5 (Surabaya: Sa’d bin Nâshir Nabhân, 1981), 100. 24Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, 92-93. 25Az-Zarkasyiy, Az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1, 32-33.
8
Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
َُم ْتَشكُرُو ْن ْ لَعَلَّك.... Ayat ini disepakati oleh ahli tafsir tergolong kategori Madaniyyah, sedangkan kewajiban berwudhu sudah diwajibkan di Mekah berbarengan dengan mewajibkan salat.26 6.
Banyak Ayat yang Turun Berkaitan dengan Seseorang
Kadang-kadang seorang sahabat mengalami beberapa peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat Alquran. Dengan demikian banyak ayat Alquran yang diturunkan berkenaan dengan orang tersebut. Imâm al-Bukhâriy dalam kitab ”al-Adab al-Mufrad” pada bâb Birr al-Wâlidayn meriwayakan dari Sa’d bin Abî Waqqâsh ra. yang mengatakan: ”Terhadap pribadiku diturunkan empat ayat Alquran. Pertama, ibuku bersumpah untuk tidak makan dan minum, sampai saya berpisah dengan Muhammad Saw. lalu Allah menurunkan ayat 15 Sûrah Luqmân. Kedua, saya mengambil sebilah pedang dan saya mengaguminya. Saya katakana: ‘Ya Rasulallah, berikan pedang ini kepadaku, lalu ayat satu Sûrah al-Anfâl diturunkan’. Ketiga, saya sakit, kemudian Rasulullah Saw. mengunjungi saya. Saya katakan: ‘Ya Rasulallah, saya ingin membagikan harta saya, apakah boleh saya wasiatkan seperduanya?’. Dia menjawab: ‘Jangan’. Lalu saya katakan: ‘Sepertiganya?’. Dia terdiam, lalu sepertiga itu kemudian diperbolehkan dengan turunnya ayat 100 Sûrah al-Baqarah”. Keempat, saya bersama kaum Anshar pernah meminum khamar, lalu seorang laki-laki dari mereka memukul hidungku dengan janggut Unta. Kemudian saya menemui Rasulullah saw. lalu Allah menurunkan ayat yang mengharamkan khamar”27. Kegunaan Asbâb an-Nuzûl dalam Memahami Makna Alquran Sebagian orang menganggap, pembicaraan tentang asbâb an-nuzûl ini tidak ada manfaatnya, tidak ada pengaruhnya menempatkan asbâb an-nuzûl dalam kancah sejarah dan kisah. Dengan keyakinan yang demikian, asbâb an-nuzûl dalam anggapan mereka tidak diperlukan bagi orang yang akan menafsirkan Alquran. Anggapan ini sangatlah keliru dan tertolak, tidak akan lahir dari seorang yang berpengetahuan tentang Kitâb Allâh.28 Berikut akan dikemukakan penegasan para ulama tafsir tentang perlunya mengetahui kisah dan latar belakang turunnya ayat Alquran dalam memahami makna dan maksud Alquran, antara lain: 1. Al-Wâhidi: “Tidak mungkin dapat memahami suatu ayat Alquran tanpa mengetahui kisah dan latar belakang turunnya ayat dimaksud”. 2. Ibnu Daqîq al-‘Ayd: “Penjelasan asbâb an-nuzûl merupakan metode yang mantap dala memahami makna dan maksud Alquran”. 3. Ibnu Taymiyah: “Mengenali asbâb an-nuzûl sangat membantu dalam memamahi ayat, karena pengetahuan tentang sebab mewariskan pengetahuan tentang akibat (musabbab).29 Shubhiy ash-Shâlih seorang ulama ahli sastra mengatakan: “Mengungkapkan asbâb an-nuzûl ayat Alquran melalui kisah adalah suatu cara menerangkan yang jelas mengenai sesuatu yang bernilai tinggi. Hal itu seolah-olah merupakan puncak keindahan seni sastra di samping tujuan mulia agama. Asbâb an-nuzûl tidak lain adalah kisah nyata, baik penyajiannya, kerumitannya dan keruwetannya maupun manusia-manusia pelakunya serta kejadian peristiwanya. Dengan demikian ayat-ayat Alquran senantiasa dibaca orang pada setiap waktu dan tempat dengan minat yang amat besar.
26As-Suyûthi, 27Mannâ’
Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, 36.
al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, 94. 28Ash-Shâbûni, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 18. 29As-Suyûthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, 29.
ABDULLAH KARIM
Signifikansi Asbâb An-Nuzûl
9
Pembacanya sama sekali tidak merasa jemu, kendati berulangkali menjumpai hikayat manusia terdahulu. Itulah sebabnya, menurut Shubhi ash-Shâlih, banyak orang yang tidak mengetahui asbâb annuzûl terperosok ke dalam kebingungan dan keragu-raguan. Mereka mengartikan ayat-ayat Alquran tidak sebagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat itu sendiri. Mereka tidak dapat memahami dengan tepat hikmah Ilahi di dalam ayat yang diturunkan-Nya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada diri Marwan bin al-Hakam, salah seorang Khalîfah Banî Umayyah, ketika dia merenungkan makna firman Allah Sûrah Âli ’Imrân ayat 188: َْلَْتَحسَبَن ْالَّذِينَْيَفْرَحُونَْبِمَاْأَتَواْوَْيُحِبُّونَْأَنْْيُحْمَدُواْبِمَاْلَم ْيَفْعَلُواْفَل
ٌتَحسَبَنهُم ْبِمَفَازٍََ ْمِنَ ْالْعَذَابِ ْوَ ْلَهُم ْعَذَابٌ ْأَلِي ْم. Marwan menganggap bahwa ayat ini adalah ancaman bagi orang-orang yang beriman. Dia lalu berkata kepada pegawainya bernama Râfi’: “Hai Râfi’ pergilah kamu dan temui Ibnu ’Abbâs, lalu katakan kepadanya: ‘Kalau setiap orang bergembira dengan apa yang telah dicapainya dan dia ingin dipuji orang atas sesuatu yang tidak dilakukannya, apakah terkena hukuman azab?”. Dalam tanggapannya mengenai penafsiran Marwan itu, Ibnu ‘Abbâs mengatakan: “Mengapa kalian mempunyai pengertian seperti itu? Yang dimaksud oleh ayat tersebut tidak lain hanyalah, bahwasanya Rasulullah Saw. pernah memanggil beberapa orang Yahudi, kemudian beliau bertanya kepada mereka mengenai sesuatu. Mereka merahasiakan jawaban yang sebenarnya dan memberi jawaban yang lain. Setelah itu, mereka memperlihatkan keinginan untuk memperoleh pujian dari Rasul atas jawaban yang mereka berikan. Mereka merasa gembira dengan menyembunyikan yang sebenarnya”. Ibnu ‘Abbâs kemudian membacakan ayat 187-188 Sûrah Âli ‘Imrân: ْ...ِكِتَابَْلَتُبَينُنهُْلِلناس ْ لَْتَحسَبَنْالَّذِينَْيَفْرَحُونَْبِمَاْأَتَواْوَْيُحِْبُّونَْأَنْْيُحمَدُواْبِمَاْلَمْ وَْإِذْْأَخَذَْاهللُْمِيثَاقَْالَّذِينَْأُوتُواْال
...يَفْعَلُوا. Jelaslah bahwa kesulitan menafsirkan dua ayat tersebut hanya dapat disingkirkan dengan mengetahui asbâb an-nuzûl firman Allah dimaksud. Sekiranya tidak ada penjelasan mengenai asbâb an-nuzûl, mungkin sampai sekarang masih ada orang yang menghalalkan arak atau minuman keras lainnya yang memabukkan, berdasarkan bunyi harfiah Sûrah al-Mâ’idah ayat 93: ....حٌْفِيمَا ْطَعِمُوا ْ لَيسَْْعَلَىْالَّذِينَْْآمَنُواْوَْْعَمِلُواْالصالِحَاتِْْجُنَا. Pada bagian lain diriwayatkan bahwa ‘Utsmân bin Mazh’ûn dan ’Amr bin Ma’dîkariba mengatakan: ”Khamar itu dibolehkan”. Keduanya menggunakan ayat 93 Sûrah al-Mâ’idah sebagai argumentasi. Mereka tidak mengetahui sebab turun ayat tersebut, yaitu apa yang dijelaskan oleh al-Hasan dan yang lainnya: ”Setelah ayat yang mengharamkan khamar diturunkan, mereka bertanya: ’Lantas bagaimana temanteman kita yang telah meninggal dunia dalam keadaan perutnya berisi khamar, sedangkan Allah telah memberitahu kita bahwa minum khamar itu perbuatan keji dan dosa?’ Tidak lama kemudian, turunlah ayat 93 Sûrah al-Mâ’idah tadi”. Sekiranya tidak ada penjelasan mengenai asbâb an-nuzûl, mungkin masih ada orang yang menunaikan salat menghadap ke arah yang disukainya, dengan berargumentasi pada firman Allah Sûrah al-Baqarah ayat 115:ْ ٌسِ ْعٌ ْعَلِي ْم ْ هلله ْوَا ْ بُ ْفَأَينَمَا ْتُوَلُّوا ْفَثَمْ ْوَجْهُ ْاهللِْ ْإِ ْنَّ ْا ْ ِقُ ْوَْ ْالْمَغر ْ ِ ْ ْ ْوَ ْلِلَّهِْ ْالْمَشر. Orang yang mengetahui sebab turun ayat tersebut, tentu mengerti bahwa firman Allah itu diturunkan berkenaan dengan suatu peristiwa ketika beberapa orang mukmin dalam perjalanan bersama Rasulullah saw. di malam gelap gulita. Mereka menunaikan salat tidak menghadap ke arah Ka’bah, karena tidak ada cara untuk dapat mengenalnya.30 As-Suyûthi meringkaskan kegunaan mengetahui asbâb an-nuzûl itu sebagai berikut: 1. Mengetahui rahasia yang membangkitkan disyariatkannya satu ketetapan hukum,
30Shubhi
ash-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 130-131.
10 Ilmu Ushuluddin
2.
3.
4.
Vol. 15, No. 1
Membatasi berlakunya ketetapan yang terdapat pada ayat tersebut. Hal ini berlaku bagi mereka yang mengikuti pendapat bahwa ketetapan hukum dalam ayat itu (al-’ibrah) berlaku terbatas pada sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat, Kadang-kadang lafal yang digunakan oleh Alquran bersifat umum, sedangkan petunjuk Alquran itu sendiri menghendaki terbatas. Apabila berdasarkan asbâb an-nuzûl diketahui pembatasannya, sedangkan asbâb an-nuzûl itu bersifat qath’iy, maka tidak diperbolehkan membawanya keluar dari pembatasan tadi dengan dasar ijtihâd. Menolak gambaran al-Hashr dalam ayat yang bentuknya al-Hashr. Imâm Syâfi’iy menafsirkan ayat 145 Sûrah al-An’âm: ....َّل ْ ِ قُلْْآلْأَجِ ْدُْفِيمَاْأُوحِيَْْإِلَيْْمُحَرمًاْعَلَىْطَاعِمْْيَطْعَمُْهُْإdengan orang-orang
kafir ketika mengharamkan apa yang Allah halalkan dan mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dalam kondisi menentang, turunlah ayat Alquran berlawanan dengan maksud mereka, seakan-akan firman Allah itu berbunyi: “Yang halal itu hanyalah apa yang kalian haramkan dan yang haram itu hanyalah apa yang kalian halalkan”. Sama halnya dengan seseorang yang melarang orang lain dengan berkata: ”Anda dilarang memakan gula (sesuatu yang manis)” Orang itu menjawab: ”Yang saya makan hanya gula (sesuatu yang manis)”. Jadi yang dimaksudkan oleh ayat tadi adalah yang sebaliknya, bukan ”nafyi” dan ”itsbât” sebagai bentuk kalimat al-Hashr. 5. Ada beberapa ayat yang terletak dalam beberapa surah, kesemuanya dapat diberlakukan hukumnya kepada mereka yang tidak terlibat dalam asbâb an-nuzûl, seperti: ayat zhihâr, yang berkenaan dengan Salamah bih Shakhr, ayat li’ân berkenaan dengan Hilâl bin Umayyah alKhuza’iy, hadd al-qadzaf terhadap penuduh ’Â’isyah ra. Semua ayat ini ketentuan hukumnya dapat ditularkan kepada orang lain dalam kondisi yang sama.31 Dari aspek pendidikan dan pengajaran, terutama pendidikan dan pengajaran Alquran, Mannâ’ al-Qaththân mengemukakan: ”Seringkali para pendidik dalam kancah pengajaran menemukan hambatan dalam menggunakan metode pendidikan untuk merangsang perhatian anak didik agar mereka siap menghimpun kemampuan dan minat untuk mendengar dan mengikuti pelajaran. Pada tahap pendahuluan mengajar, membutuhkan kecekatan yang dapat membantu guru meraih perhatian anak didik dengan berbagai sarana yang sesuai, sebagaimana dia membutuhkan persiapan yang matang yang diupayakan dengan cermat dalam memilih bahan persepsi (penghubung) antara berbagai pengetahuan anak didik, jangan membebani anak didik dengan hal-hal yang berlebihan.32 Sebagaimana pengarahan dalam pendahuluan mengajar, untuk membangkitkan minat dan menarik perhatian anak didik, perlu pula diberikan gambaran menyeluruh (global) terhadap topik yang akan dibahas, agar guru bersama anak didik dapat dengan mudah berpindah dari gambaran menyeluruh tadi kepada gambaran khusus sampai kepada pendalaman materi pelajaran secara rinci. 33 Mengetahui asbâb an-nuzûl merupakan jalan terbaik untuk merealisasikan sasaran pendidikan dalam mengajarkan Alquran, baik mengajarkan tilâwah maupun mengajarkan tafsirnya. Sesungguhnya asbâb an-nuzûl dalam bentuk cerita satu peristiwa atau pertanyaan yang dilontarkan orang kepada Rasulullah Saw. untuk menyingkap satu ketetapan (hukum) dalam satu masalah, lalu Alquran diturunkan setelah peristiwa atau pertanyaan tadi, maka tidakkah seorang guru membutuhkan satu pilihan untuk memperbaiki pendahuluan pengajarannya. Apabila guru tersebut memilih asbâb an-nuzûl, maka cerita itu cukup memadai untuk merangsang perhatian dan minat anak didik untuk mengikuti pelajaran.34 Demikianlah antara lain kegunaan pengetahuan asbâb an-nuzûl 31As-Suyûthi, 32Mannâ’
Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, 29.
al-Qaththân, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, 95. 33Mannâ’ al-Qaththân, Mab âhits fî Úlûm al-Qur’ân, 95. 34Mannâ’ al-Qaththân, Mab âhits fî Úlûm al-Qur’ân, 95-96.
ABDULLAH KARIM
Signifikansi Asbâb An-Nuzûl 11
dalam memahami maksud Alquran atau untuk menarik perhatian anak didik dalam mengajarkan Alquran. Penutup Untuk mengakhiri tulisan ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Asbâb annuzûl adalah rentetan peristiwa atau pertanyaan yang diajukan orang kepada Rasulullah Muhammad saw. yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Alquran sebagai penjelasan atau jawaban yang turun dalam suasana peristiwa itu terjadi. Kedua, Asbâb an-nuzûl ini tidak sama dengan hukum sebab-akibat (kausalitas), seperti: sebab makan lalu kenyang, dalam arti tanpa sebab itu ayat Alquran tidak diturunkan. Ketiga, Asbâb an-nuzûl berupa kenyataan yang ada dalam suasana ayat Alquran itu diturunkan. Karenanya cara memperolehnya harus bersandar pada riwayat yang shahîh. Tidak dibenarkan menetapkan asbâb an-nuzûl dengan dasar ijtihâd dan ijmak sekalipun. Keempat Mengetahui asbâb an-nuzûl sangat diperlukan dalam memahami makna dan maksud Alquran, karena: 1). Dapat mengetahui rahasia disyariatkannya suatu ketentuan (hukum); 2) Dapat mengetahui pembatasan hukum dari ayat-ayat tertentu; 3) Dapat menolak pengertian al-Hashr dari ayat yang berbentuk al-Hashr, dan 4). Dapat dipergunakan untuk menarik perhatian dan minat anak didik dalam mengajarkan Alquran [ ] DAFTAR PUSTAKA Al-Bukhāri, Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mugîrah bin Bardizbah, Shahîh al-Bukhâri, Juz 5, Surabaya: Sa’d bin Nâshir Nabhân, 1981. Al-Qaththān, Mannâ’, Mabâhits fî Úlûm al-Qur’ân, Ar-Riyâdh: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1393 H./1973 M. Ash-Shābūni, Muhammad ‘Ali, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Cet. Ke-1; Jakarta: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah, 2003 M./1424 H. Ash-Shālih, Shubhi, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Bayrût: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1977. Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. As-Suyūthi, Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid 1, T. t., Dâr al-Fikr, t. th.. Az-Zarkasyi, Badr ad-Dīn Muhammad bin ’Abdullah, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1, al-Qâhirah: ‘Îsâ al-Bâbi al-Halabi, 1957. Az-Zarqāni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1, Al-Qâhirah: ‘Îsâ al-Bâbi al-Halabi, t. th.