BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Energi merupakan sumber daya yang sangat penting dalam kehidupan setiap
makhluk.Hal tersebut karena ketersediaan energi dapat mempengaruhi beberapa aspek kehidupan, diantaranya aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.Salah satu energi yang erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan yaitu bahan bakar fosil diantaranya minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Bahan bakar tersebut digunakan untuk keperluan transportasi, industri, rumah tangga, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Dari aspek konsumsinya, konsumsi energi Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2012), pertumbuhan konsumsi minyak bumi pada periode 2011-2012 yaitu sebesar 4,04% per tahun yang dapat dilihat pada Gambar 1.1.Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sektor transportasi masih menjadi sektor pengguna minyak bumi khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya. Penggunaan BBM di sektor transportasi mencapai 65%, pembangkit listrik 16%, industri 10%, rumah tangga 2%, komersial 1%, dan sektor lainnya 6%.
Gambar 1.1 Konsumsi BBM Berdasarkan Sektor 2011 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2011)
Adapun transportasi yang menjadi penyebab terjadi kenaikan untuk konsumsi bahan bakar yaitu disebabkan karena pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (2015) terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor dari total sebesar 61.685.063 unit di tahun 2008 menjadi 104.118.969 unit di tahun 2013. Sementara itu cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2004 sebesar 8,61 milyar barel terus berkurang menjadi 7,73 milyar barel pada tahun 2011 (Dirjen MIGAS, 2010). Pemakaian bahan bakar yang kian hari kian meningkat yang tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaannya akan berakibat pada terbatasnya cadangan BBM. Sehingga untuk mengatasi permasalahan keterbatasan energi ini, Indonesia harus mengimpor minyak baik dalam bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk kilang atau BBM. Selain menipisnya cadangan minyak bumi, ketergantungan terhadap bahan bakar dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup diantaranya akan mengakibatkan kerusakan lingkungan karena pemakaian bahan bakar fosil akan menghasilkan emisi CO2 yang terlalu banyak untuk dapat diserap oleh tumbuhan sehingga akan berdampak pada meningkatnya suhu atau pemanasan global (efek rumah kaca) (Syarief, 2004). Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan pemanfaatan sumber energi terbarukan yang cukup potensial untuk pengembangan energi alternatif salah satunya biofuel.Biofuel adalah bahan bakar nabati hasil dari proses pengolahan bahan organik yang mampu menyerap CO2 sebagai penyebab tingginya efek rumah kaca. Biofuel dapat disebut pula energi hijau karena emisinya bersifat ramah lingkungan (Wijaya, 2011).Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik, atau pertanian (Rinta, 2012).Terdapat dua jenis biofuel cair untuk transportasi yang mungkin untuk menggantikan bensin dan solar yaitu ethanol dan biodiesel untuk digunakan dalam transportasi. Etanol umumnya diproduksi melalui proses fermentasi karbohidrat atau gula tanaman seperti jagung, gandum, tebu, dan gula bit, dan dapat dicampur dengan
bensin. Sedangkan biodiesel diproduksi melalui esterifikasi lemak. Bahan bakunya termasuk minyak nabati seperti rapeseed, sawit, minyak kedelai, waste cooking oil (minyak bekas memasak), dan lemak (Bailey, 2013). Selain itu biofuel juga dihasilkan dari biomass. Secara umum biomass dapat dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu sebagai berikut: Tabel 1.1 Kategori biomass (Renewable Energy System, 2011) No
Kategori biomassa
1
Virgin wood
Contoh Kehutanan, aktivitas arboricultural atau dari pengolahan kayu
2
Energy crops
Tanaman yang hasil panennya dikhususkan untuk pengembangan energy
3
Hasil pertanian
4
Limbah makanan
Hasil dari panen dan produksi pertanian Berasal dari pengolahan makanan dan minuman, limbah sebelum dan saat produksi, dan sisa makanan
5
Limbah industri dan co-
Proses industri dan manufaktur
products Saat ini biofuel telah dikembangkan di berbagai negara, diantaranya Amerika Serikat (AS), Brazil, Korea Selatan, India, dan Jepang. Biofuel di AS telah menerapkan energi E-10 (bioetanol) yang berbahan baku jagung. Bahkan penerapan E-10 ini juga dilakukan dan mendapat perhatian serius oleh Jepang.Selain itu Brazil juga telah mengembangkan bioethanol yang bersumber dari tebu. Kedelai juga digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel di Korea Selatan. India juga melakukan pengembangan terhadap biodiesel dan bioethanol yang berbahan baku jarak pagar, minyak jarak, minyak kapuk randu, singkong, dan gandum (Suprapto, 2009). Dilihat dari aspek penyediaan bahan baku yang melimpah, negara-negara di Asia juga berpotensi besar dalam pengembangan biofuel. Salah satu negara di Asia yaitu
Indonesia yang memiliki luas daratan dan tanah yang subur.Menurut Kardono (2008) dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, maka Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan bahan bakar dari tumbuhan untuk biofuel. Saat ini pemanfaatan bahan pangan masih menjadi bahan baku utama dalam memproduksi biofuel. Secara umum bahan pangan yang digunakan tersebut termasuk dalam klasifikasi first generation (turunan pertama) biofuel seperti gula, pati, tanaman minyak atau lemak hewani (An et al., 2011). Menurut Nuffield Council of Bioethics (2011) penggunaan bahan pangan sebagai bahan bakubiofuel telah kontroversial, karena dalam beberapa kasus telah menyebabkan deforestasi dan perselisihan kenaikan harga pangan dan penggunaan lahan. Berdasarkan laporan dari Global Agricultural Information Network (GAIN) bahwa perdebatan di Jepang tentang penggunaan
tanaman
pangan
menyebabkan
terjadinya
kenaikan
harga
makanan.Sehingga ini adalah alasan utama mengapa Jepang memfokuskan upaya penelitian pada teknologi selulosa yang tidak menyebabkan persaingan dengan makanan (Iijima, 2013).Disamping itu penggunaan lahan akan berakibat pada persaingan terhadap ketersediaan air khusunya air tanah karena penanaman bahan baku yang ini akan menimbulkan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati (International Assessment of Agricultural Knowledge, Science, and Technology for Development, 2008). Karena banyaknya kontroversi mengenai penggunaan bahan pangan, beberapa penelitian telah dilakukan terkait bahan baku pengganti bahan pangan tesebut. Beberapa penelitian diantaranya yaitu produksi biodiesel menggunakan waste sunflower cooking oil (limbah minyak bunga matahari) (Hossain and Boyce, 2009), waste canola cooking oil (limbah minyak canola) (Hossain and Mekhled, 2010), used cooking oil (Chhetri et al., 2008; Sebayang et al., 2010; Motasemi and Ani, 2011), etanol dari lignoselulosa (Akgul et al., 2012; Parker et al., 2010; Yu et al., 2013). Di Indonesia sendiri telah dilakukan beberapa penelitian tentang bahan bakar alternatif yaitu pengembangan tanaman jarak pagar untuk biofuel (Hadi dkk., 2006),
pengolahan used cooking oil (WCO)/minyak jelantah menjadi biodiesel (Widodo dan Putra, 2011), dan pembuatan biodiesel dari minyak biji randu (Sofyan dkk., 2013). Mengingat tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia yang sangat tinggi maka akan berpeluang dalam meningkatkan ketersediaan minyak jelantah sebagai bahan baku pembuatan biofuel. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, konsumsi minyak goreng di Indonesia berada di angka 3,4 juta ton di tahun 2010. Sedangkan tahun 2012 diperkirakan mencapai 4,5-4,8 juta ton (Noeltrg, 2012). Minyak jelantah dapat dikumpulkan dari beberapa sumber yaitu rumah tangga, restoran, hotel, dan industri pengolahan makanan (Kayun, 2007).Pada dasarnya minyak jelantah dipandang perlu untuk dimanfaatkan kembali.Selain agar dapat meningkatkan kualitas dan produktivitasnya, pengolahan kembali minyak jelantah dapat mengurangi risiko terhadap kesehatan dan pencemaran lingkungan. Seringkali minyak jelantah digunakan berulang-ulang dalam proses memasak, dengan tujuan untuk penghematan. Pemakaian minyak jelantah ini menyebabkan kandungan kolesterol baik/High density lipoproteins (HDL) semakin berkurang, sebaliknya angka dari kolesterol jahat/Low density lipoproteins (LDL) semakin meningkat. Dampaknya akan menimbulkan banyak gangguan kesehatan seperti jantung, stroke, obesitas, dan menjadi pemicu sulitnya hamil. Tidak hanya itu, pemakaian ulang minyak jelantah yang berlebihan dapat menyebabkan kanker colon (usus besar) dan alergi pada tubuh. Selain membahayakan bagi kesehatan, minyak jelantah juga akan berdampak pada pencemaran lingkungan bila dibuang sembarangan tanpa pengolahan limbah terlebih dahulu (Mariana dan Subandi, 2010). Jika dilihat dari potensinya dan ketersediaannya yang melimpah, maka Yogyakarta dapat menjadi salah satu kota untuk pengembangan biofuel dari minyak jelantah. Hal ini dikarenakan pesatnya perkembangan dari segi perdagangan terutama dari industri kulinernya. Menurut Berita Resmi Statistik (BPS) provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Yogyakarta merupakan salah satu kota yang berkembang yang memberikan sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi
di DIY dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran yaitu sebesar 1,31 persen. Di sisi lain, dalam rangka pengembangan biofuel di Yogyakarta, Jurusan Teknik Kimia (JTK) UGM telah mendirikan eco mini plant berkapasitas 150 liter/hari yang telah beroperasi secara kontinu. Pembangunan pabrik berskala prototype ini dibangun sebagai langkah awal menuju ke tahap scale up menengah. Bahan baku yang digunakan yaitu berupa minyak non pangan yang mudah didapat di Indonesia. Saat ini pabrik telah menggunakan minyak jelantah dan minyak jarak sebagai bahan baku dalam penelitian untuk biofuel. Agar pabrik dapat segera diaplikasikan untuk skala industri, maka perlunya membangun jaringan agar biofuel berbasis minyak jelantah ini dapat dikembangkan. Dengan adanya potensi terhadap minyak jelantah dari sektor perdagangan tersebut serta didukungnya pembangunan mini plantbiofuel di Yogyakarta, maka dalam penelitian ini akan diusulkan perancangan jaringan rantai suplai bahan baku yang bertujuan apakah minyak jelantah yang dihasilkan dari sumber-sumber pemasok dapat memenuhi pasokan minyak jelantah untuk produksi biofuel dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan BBM khususnya kendaraan berbahan bakar solar di Yogyakarta. Berdasarkan data yang didapat bahwa kebutuhan BBM jenis solar di Yogyakarta tahun 2013 mencapai 350 kiloliter per harinya (Krismawati, 2013). Untuk dapat mencukupi kebutuhan biofuel sebagai campuran BBM, maka setidaknya diperlukan 5% biofuel dari total jumlah kebutuhan BBM di Yogyakarta yaitu sebesar 17,5 kiloliter per hari. Menurut Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi (BRDST) yang berada di bawah Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), untuk dapat menghasilkan 1 liter biodiesel diperlukan 1,15 liter minyak bekas. Sebagai langkah awal untuk mengetahui potensi serta jumlah bahan bakunya, maka diperlukan pemetaan terhadap pemasok.Penelitian terkait pemetaan untuk melihat potensi perusahaan yang menghasilkan minyak jelantah serta kapasitas produksi masing-masing pemasok telah dilakukan oleh Mariana dan Subandi (2010). Penelitian tentang peluang minyak jelantah untuk bahan baku biodiesel juga telah
dilakukan oleh Yong et al., 2012 yang bertujuan untuk menganalisa permintaan, kemungkinan, kendala, serta saran-saran terkait partisipasi restoran dalam kesediannya untuk berpartisipasi dalam pengembangan rantai pasok biodiesel. Perancangan jaringan rantai suplai yang diusulkan ini akan meliputi pemetaan pemasok bahan baku serta perencanaan strategis mengenai jumlah pasokan bahan baku, lokasi fasilitas, kapasitas fasilitas, serta aliran distribusi produk ke fasilitas.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, untuk dapat membangun
jaringan rantai pasok minyak jelantah untuk biofuel diperlukan perencanaan strategis yang meliputi pemetaan pemasok bahan baku serta perencanaan strategis mengenai jumlah pasokan bahan baku, lokasi fasilitas, kapasitas fasilitas, serta distribusi minyak jelantah ke fasilitas. Jaringan suplai minyak jelantah ini dikembangkan dengan tujuan untuk dapat mengurangi konsumsi BBM.
1.3
Batasan Masalah
Penelitian ini dilakukan dengan ruang lingkup sebagai berikut: 1. Data yang digunakan dalam membangun jaringan yaitu diestimasi dari data konsumsi minyak goreng yang ada di DIY. 2. Kapasitas minyak jelantah yang diestimasi dari konsumsi minyak goreng berdasarkan data harian. 3. Pemasok bahan baku tidak memasukkan data minyak goreng yang berasal dari rumah tangga. 4. Perancangan hanya meliputi jaringan upstream yaitu dari sumber pasokan minyak jelantah ke pabrik biofuel.
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memetakan potensi pemasok minyak jelantah yang ada di Yogyakarta. 2. Membangun jaringan rantai suplai minyak jelantah pada level strategi yang meliputi lokasi, jumlah, kapasitas, dan distribusi bahan baku yang meminimasi biaya.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Memudahkan dalam pengambilan keputusan mengenai jumlah pasokan bahan baku, lokasi fasilitas, kapasitas fasilitas, alokasi produk ke fasilitas, serta aliran distribusi produk ke fasilitas. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah bahwa perlunya pemanfaatan bahan baku khususnya di Indonesia untuk pengembangan energi alternatif. 3. Memberikan gambaran kepada para pemasok minyak jelantah yang potensial untuk mendukung pentingnya pemanfaatan minyak jelantah untuk biofuel, disamping akan berdampak baik pada kelestarian lingkungan juga akan lebih meningkatkan kesehatan masyarakat.