PENAMPILAN PRODUKSI DAN STATUS Zn PADA DOMBA YANG MENDAPATKAN TAMBAHAN PAKAN LIMBAH AGROINDUSTRI (The Effect of Agroindustrial Byproduct Inclusion in Elephant Grass-based Ration on the Productive Performance and Zn Status in Sheep) E. Pangestu1, L.A. Sofjan2, W. Manalu2, T. Toharmat2, dan S. Tarigan3 1 Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang 2 Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor 3 Balai Penelitian Veteriner, Bogor
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian rumput gajah dan penambahan limbah agroindustri terhadap penampilan produksi domba dan status mineral Zn. Percobaan in vivo dilakukan berdasarkan pengamatan selama 4 minggu. Penelitian menggunakan 12 ekor domba jantan dengan bobot badan rata rata 15,88 + 1,21 kg (CV: 7,6%) yang dibagi dalam 4 kelompok perlakuan ransum, yakni R1= ransum 100% rumput gajah, R2= ransum 40% rumput gajah + 60% dedak, R3= 40% rumput gajah + 60% onggok dan R4= 40% rumput gajah + 60% polard. Data yang diperoleh dilakukan analisis ragam dengan program SAS v6.12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi nutrisi (bahan kering, protein kasar, TDN dan Zn) pada domba yang hanya mendapatkan rumput gajah paling rendah (p < 0,05) dibanding domba yang mendapatkan tambahan limbah agroindustri. Konsentrasi Zn serum domba masing-masing perlakuan R1 (46,03 ug/dl), R2 (70,5 ug/dl) dan R3 (43,77 ug/dl) dalam kisaran di bawah normal, sedangkan pada domba perlakuan R4 (93,97 ug/dl) dalam kisaran normal. Ekskresi Zn feses pada ke 4 kelompok tidak menunjukkan perbedaan secara nyata. Pertambahan bobot badan pada domba R1 nyata lebih rendah (p < 0,05) dibanding domba yang mendapat pakan tambahan, tetapi efisiensi pakan tidak berbeda diantara perlakuan. Kata kunci : status Zn, limbah agroindustri, efisiensi pakan, domba ABSTRACT The objective of this study was to evaluate the effect of agricultural byproduct (rice bran, cassava waste and pollard) inclusion in elephant grass (Pennisetum purpureum)-based ration on the productive performance and Zn status in sheep. Twelve native sheep with average body weight of 15.88 + 1.21 kg (CV : 7.6%) were used in this in vivo experiment. Sheep were devided into 4 groups of experimental ration, namely R1= 100% elephant grass, R2= 40% elephant grass + 60% rice bran, R3= 40% elephant grass + 60% cassava waste, and R4= 40% elephant grass + 60% pollard. The results showed that nutrient consumption (dry matter, crude protein, TDN and Zn) in sheeps with 100% elephant grass was significantly lower than other groups (p < 0.05). Zn serum concentration in R1 (46.03 ug/dl), R2 (70.5 ug/dl) and R3 (43.77 ug/dl) groups were in below normal concentration, but the Zn serum concentration in R4 group was in normal concentration (93.97 ug/dl). There was no significant different in the faecal Zn excretion among groups. Daily gain of R1 group was lower (p < 0.05) than that of other groups, but the feed efficiency did not differ significantly among groups. Keywords : Zn status, agro-industrial byproduct, feed efficiency, sheep
194
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(4) December 2004
PENDAHULUAN Secara alamiah kebutuhan nutrisi ternak ruminansia dapat diperoleh dari hijauan. Upaya untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh ternak tersebut mengakibatkan pemenuhan nutrisi dari hijauan saja menjadi kurang, terlebih jika hijauan yang diberikan pada ternak memiliki kualitas yang rendah. Pakan hijauan yang sering diberikan pada ruminansia di Indonesia antara lain rumput gajah, rumput lapangan, jerami padi dan pucuk tebu. Pakan berserat tersebut dikenal berkualitas rendah. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan serat (NDF = neutral detergent fiber) yang tinggi berkisar antara 7079%, rendahnya kandungan protein (2-12%) dan mineral Zn 17-78 ppm (Hartadi et al., 1990; Sutardi, 2001; Pangestu, 2003). Pemberian pakan berserat kurang mampu mendukung produktivitas ternak yang maksimal karena penyediaan energi, protein dan mineral tidak mencukupi. Pakan dengan kandungan serat tinggi akan menjadi faktor pembatas tingkat konsumsi nutrisi bagi ternak. Santra dan Karim (2003) dan Chanjula et al. (2004) menyatakan bahwa selain tingginya kandungan serat dan rendahnya kandungan protein serta mineral, hijauan tropis menghasilkan produk akhir pencernaan yang tidak seimbang dan berpengaruh terhadap ketidakefisienan penggunaan energi. Oleh karena itu ransum yang banyak mengandung pakan berserat diperlukan suplementasi nutrisi yang tepat agar efisiensi ransum dapat meningkat. Di beberapa daerah untuk mensuplementasi nutrisi hijauan dengan memanfaatkan limbah industri pertanian (Armentano dan Pereira, 1997; Firkins, 1997; Toharmat et al., 2001) Beberapa limbah agroindustri merupakan sumber serat non hijauan seringkali mempunyai tingkat kecernaan NDF yang tinggi, banyak yang mempunyai laju kecernaan yang sama atau bahkan lebih lambat dibanding tingkat kecernaan NDF hijauan (Firkins, 1997; Toharmat, 2002). Konsentrasi NDF ransum secara langsung berkorelasi negatif dengan konsentrasi energi ransum (Ruiz et al., 1995). Tingkat dan laju fermentasi masing-masing fraksi karbohidrat di dalam rumen berbeda, demikian pula macam dan sumber karbohidrat serta pengolahannya berpengaruh terhadap nilai energi ransum (van Houtert, 1993). Selain sebagai suplemen energi,
beberapa limbah agro-industri mempunyai kandungan mineral Zn yang cukup, namun interaksinya dengan serat seringkali mengganggu ketersediaannya (Idouraine et al., 1996). Menurut McDowell et al. (1983), hijauan dengan kandungan Zn sebesar 18-83 ppm memungkinkan terjadinya defisiensi pada ternak atau menurut Whitehead (2000) pada tipikal rasio Zn hijauan : jaringan ternak 2,2. Kajian Pangestu (1994), pada hijauan pakan kambing dengan kandungan Zn 5,8 - 62,5 ppm mengakibatkan kandungan Zn serum dalam status marginal defisien (80 + 13,31 ug/100 ml). Pada beberapa hijauan dan limbah pertanian meskipun jumlah mineral cukup, karena ketersediaannya secara biologis kurang maka ternak yang mendapat pakan hijauan tersebut dapat mengalami defisiensi Zn. Kandungan Zn total pada alfalfa dan hijauan rumput + 30% terikat oleh NDF dan 24% oleh ADF (Miller et al., 1988). Mineral Zn yang bersama dinding sel (NDF) tanaman umumnya rendah ketersediaannya atau perlu waktu fermentasi yang lebih lama agar dicapai pelepasan mineral yang maksimal (Ibrahim et al., 1998; Serra et al., 1997). Kandungan dan kelarutan Zn pada tanaman sangat bervariasi antar spesies tanaman pakan, demikian pula kapasitas ikat serat terhadap Zn sangat tergantung pada sumber serat, pH dan sifat fisik-kimia serat pakan (Idouraine et al., 1995). Serat dalam ransum mempunyai kapasitas tukar kation sehingga berpotensi mengurangi bioavailabilitas mineral ransum (Weber et al., 1993). Dinyatakan pula serat dapat mengikat mineral di dalam usus kecil dan atau usus besar dan mendorong peningkatan ekskresinya sebagai feses dan elektrolit. Berdasarkan atas permasalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian rumput gajah dan penambahan pakan limbah agroindustri sumber energi yang sering diberikan pada ternak di Indonesia terhadap status mineral Zn dan penampilan ternak domba. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, dimulai pada bulan Agustus hingga Oktober 2003 di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.
The Agroindustrial Byproduct Inclusion in Elephant Grass-based Ration for Sheep (Pangestu et al.)
195
Penelitian menggunakan 12 ekor domba jantan umur 1 tahun dengan bobot badan rata rata 15,88 + 1,21 kg (cv : 7,61%). Domba diletakkan dalam kandang individual ukuran 1 x 0,5 m, yang dilengkapi tempat pakan dan minum. Setelah beradaptasi dengan lingkungan domba diberi obat endoparasit dan ektoparasit (produksi Kurnia Veteriner, Salatiga). Pakan basal berupa rumput gajah yang telah dipotong potong ukuran + 5 cm diberikan selama 3 minggu dimaksudkan untuk adaptasi pakan dan mengukur kemampuan konsumsi, kemudian ternak dibagi dalam 4 kelompok perlakuan ransum dan masing masing ransum diwakili oleh 3 ekor domba. Ransum 1 (R1) kelompok domba yang mendapat 100% rumput gajah, Ransum 2 (R2) rumput gajah 40% ditambah dedak padi 60%, ransum 3 (R3) rumput gajah 40% ditambah
sangat sedikit mengandung karbohidrat non serat (0,99%), sedangkan limbah agroindustri cukup tinggi. Karbohidrat non serat tertinggi pada onggok (52,82%), diikuti oleh polar (50,38%) dan dedak (33,68%). Karbohidrat non serat mencerminkan ketersediaan energi yang dapat dimanfaatkan oleh mikrobia rumen maupun ternak. Kadar DF dan ADF pada limbah agro-industri cukup tinggi, kecuali pada pollar. Pada Tabel 1. tampak pula bahwa mineral Zn yang terikat oleh serat ADF bervariasi, pada rumput gajah sebesar 29,17%, sedang pada limbah agroindustri tertinggi pada onggok (81,82%), diikuti oleh dedak (28,57%) dan polar (26,37%). Kandungan mineral Zn yang terikat ADF tersebut lebih tinggi dibanding dengan hijauan di daerah subtropis pada (Miller et al., 1988).
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Bahan Pakan yang Diberikan pada Domba Nutrien
Rumput Gajah
Dedak
Onggok
Polar
Bahan kering, %
18,47
89,66
88,64
89,37
Protein kasar, %
7,97
10,87
2,10
10,53
TDN, %
54,45
58,26
69,66
72,26
NDF, %
72,34
41,47
36,02
30,24
50,33
28,50
20,74
6,92
ADF, % KH non serat, %
a)
0,99
33,68
52,82
50,38
Zn total, ppm
48,00
42,00
11,00
91,00
Zn dalam ADF, ppm
14,00
12,00
9,00
24,00
a
Dihitung = 100 – PK – LK – Abu – NDF
60% onggok dan ransum 4 (R4) rumput gajah 40% ditambah 60% polar. Ransum diberikan selama 4 minggu dan koleksi feses dimulai pada akhir minggu ke 4. Pengambilan darah melalui vena jugularis dilakukan setelah koleksi feses selesai. Percobaan in vivo dilakukan mengikuti metode total koleksi dari Harris (1970), dan analisis mineral Zn sesuai Fick et al. (1979). Peubah yang diperoleh dilakukan analisis ragam dengan program SAS 6.12 dan pengujian rata rata nilai tengah dilakukan dengan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Nutrisi Konsumsi bahan kering (BK) antar domba percobaan yang mendapat ransum berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05). Domba yang hanya mendapat ransum rumput gajah (R1) rata rata konsumsi BK (250,6 g/ekor/ hari) nyata (p < 0,05) paling rendah dibanding R2 (389,4 g) dan R3 (335,2 g) maupun dengan R4 (435,6 g). Rata rata konsumsi BK domba R2 tidak berbeda dengan R1, demikian pula antara R2 dengan R4, tetapi R3 lebih rendah (p < 0,05) dibanding R4. Rendahnya konsumsi BK pada domba R1 disebabkan oleh tingginya kandungan serat (NDF maupun ADF)
Pada Tabel 1. tampak bahwa rumput gajah 196
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(4) December 2004
rumput gajah (Tabel 1). Serat merupakan komponen dinding sel hijauan dan mempunyai korelasi negatif dengan kemampuan ternak untuk dapat mengkonsumsi hijauan yang maksimal. Serat bersifat ‘bulky’ sehingga mengambil banyak ruang di dalam rumen, sementara itu kapasitas isi rumen terbatas, akibatnya ternak tidak mampu mengkonsumsi hijauan yang cukup (Jung dan Allen, 1995, Kanjanapruthipong et al., 2001). Rendahnya konsumsi BK pada domba R1 diduga pula oleh rendahnya ‘rate of passage’ dari rumput gajah. Hal tersebut tampak dari bentuk fisik (ukuran partikel) rumput gajah yang lebih besar, sehingga waktu pakan tinggal dalam rumen menjadi lebih lama (Van Soest, 1982), namun demikian konsumsi bahan kering berdasarkanbobot badanmetabolik (BB0,75 kg) antar domba yang mendapatkan tambah limbah agroindustri tidak berbeda nyata. Konsumsi BK pada kelompok domba yang mendapat tambahan pakan sumber energi dari onggok (R3) nyata lebih rendah (p < 0,05) dibanding yang mendapat polar (R4). Hal
tersebut diduga disebabkan oleh berbedanya degradabilitas dan laju pakan meninggalkan rumen dari komponen serat ransum maupun antara onggok dengan pollar. Kajian Chanjula et al. (2003) dan Varga dan Hoover (1983) menunjukkan bahwa laju dan tingkat degradasi diantara bahan pakan dan ransum berbeda. Degradabilitas dan laju pakan meninggalkan rumen yang lebih tinggi akan membuat rumen cepat kosong, sehingga ternak akan merasa lapar dan mengkonsumsi pakan lebih banyak. Konsumsi BK tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap konsumsi protein dan TDN. Konsumsi BK yang rendah pada R1 berakibat pada rendahnya konsumsi PK dan TDN, dengan demikian selain dibatasi oleh konsumsi BK, konsumsi nutrien (PK dan TDN) dipengaruhi pula oleh kandungan nutrisi tersebut dalam bahan pakan. Pada ternak yang mendapat suplemen onggok (R3) dengan kandungan PK lebih rendah dibanding R1, meski konsumsi BK lebih tinggi dibanding R1, namun konsumsi PK nya tidak berbeda, bahkan cenderung lebih rendah dibanding R1. Hal tersebut tampak pula
Tabel 2. Nilai Rata-rata Parameter Pengamatan Parameter
R1
R2
R3
R4
Bahan Kering, g/ekor/hari
250,6a
389,4bc
335,2b
435,6c
Bahan Kering, g /W 0,75 kg
33,5a
49,4b
43,1b
51,3b
Protein kasar, g/ekor/hari
19,97a
37,56b
16,96a
41,12c
a
b
b
Konsumsi :
TDN, g/ekor/hari
140,0
220,0
210,0
280,0c
NDF, g/ekor/hari
181,3a
212,3b
182,2a
209,7ab
ADF, g/ekor/hari
126,1a
146,9b
119,6a
110,7a
Zn, mg/ekor/hari
12,0a
19,5b
12,7a
31,7c
46,0 ab
70,5 ab
43,8 b
94,0 a
Ekskresi via feses, mg
19,3
28,7
38,8
27,5
Bulu, ppm
97,8
111,8
112,6
82,5
Serum alkalifosfatase, U/L
139,0
226,7
434,0
408,7
Pertambahan bobot, g/ekor/hari
23,8 a
55,6 b
47,6 b
63,5b
9,5
14,4
14,5
14,5
Status Zn : Serum, ug/dl
Efisiensi pakan,% a,b
Huruf superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05)
The Agroindustrial Byproduct Inclusion in Elephant Grass-based Ration for Sheep (Pangestu et al.)
197
pada konsumsi serat NDF. Kandungan NDF rumput gajah yang tinggi, dan proporsinya telah digantikan 60% oleh limbah agroindustri, konsumsi serat NDF pada domba R1 lebih rendah dibanding R3 dan R4 meski tidak berbeda nyata, namun dengan R2 berbeda nyata (p < 0,05). Kenyataan tersebut diakibatkan adanya perbedaan sifat fisik antara hijauan dengan limbah agroindustri. Ukuran partikel, kelarutan dan densitas bahan tampaknya berpengaruh terhadap konsumsi BK dan nutrisi yang terkandung di dalamnya. Ukuran partikel yang lebih kecil mengakibatkan densitas pakan lebih tinggi sehingga konsumsi BK dan nutrisi yang terkandung di dalamnya menjadi lebih tinggi. Pada sisi yang lain kelarutan limbah agro-industri (dedak padi > polard > onggok) yang lebih tinggi dibanding rumput gajah (Sutardi, 2001) memungkinkan peluang pakan limbah agro-industri untuk dicerna oleh mikrobia rumen maupun enzim pencernaan lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan laju pakan meninggalkan rumen. Status Mineral Zn Kandungan Zn bahan pakan yang diberikan pada ternak bervariasi, berkisar antara 11 – 91 ppm (Tabel 1). Kandungan Zn hijauan antara 18 – 83 ppm dapat mengakibatkan ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan pada ternak ruminansia yang dapat mengakibatkan defisiensi pada ternak (McDowell et al., 1983). Konsumsi Zn pada domba R1 (12,0 mg) tidak berbeda dengan domba R3 (12,7 mg). Konsumsi Zn kedua kelompok domba tersebut lebih rendah (p < 0,05) dibanding domba R2 (19,5 mg) dan R4 (31,67 mg), demikian pula antara R2 dengan R4. Seperti halnya dengan konsumsi PK dan TDN, konsumsi Zn yang rendah pada domba R1, R2 dan R3 disebabkan oleh kandungan Zn yang rendah dalam bahan pakan dan terbatasnya konsumsi BK, khususnya pada domba R1. Pada domba R3, meskipun kandungan Zn pada onggok sangat rendah, namun konsumsi BK yang tinggi mengakibatkan konsumsi Zn tidak berbeda dengan R1. Dibandingkan dengan kebutuhannya, berkisar antara 30 – 40 ppm atau setara 7,8 – 10,4 mg/ekor/hari (Kearl, 1982), maka konsumsi Zn pada semua kelompok domba tampaknya sudah tercukupi. Kadar Zn pada serum domba R1 (46,03 ug/dl), R3 (43,77 ug/dl) lebih rendah (p < 0,05) dibanding R4
198
(93,97 ug/dl), sedangkan antara R1 dan R3 dengan R2 (70,5 ug/dl) dan R2 dengan R4 tidak menunjukkan adanya perbedaan. Kadar Zn serum tersebut tampak paralel dengan konsumsi Zn. Status Zn serum yang normal pada ruminansia adalah 80 – 120 ug/dl (Miller et al., 1988), maka dalam kajian ini status Zn serum pada domba R1, R2 dan R3 dibawah normal/ defisien, sedangkan pada domba R4 dalam kisaran normal. Konsumsi Zn tampak cukup, namun status Zn serum defisien, padahal kadar Zn serum paralel dengan konsumsi Zn. Dengan demikian ada faktor faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan absorpsi Zn dalam saluran pencernaan. Diduga salah satu faktor tersebut adalah serat, baik terhadap ketersediaan/ kelarutannya, karena ada Zn yang berikatan dengan serat (Miller et al., 1988) atau kapasitas ikat serat terhadap Zn di dalam saluran pencernaan (Idouraine et al., 1995, Idouraine et al., 1996). Pada Tabel 1. tampak bahwa Zn bahan pakan yang terikat dalam ADF cukup besar (26,37 – 81,82%). Oleh karena itu absorpsi Zn pada hijauan atau konsentrat untuk ruminansia relatif rendah (Underwood dan Suttle, 1999). Ekskresi Zn melalui feses pada semua kelompok domba tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal tersebut tampak dari jumlah Zn yang diekskresikan melalui feses, masing masing 19,3, 28,7, 38,8 dan 27,5 mg untuk domba R1, R2, R3 dan R4. Konsumsi Zn, kadar Zn serum dan ekskresi Zn melalui feses mempunyai pola yang paralel diantara perlakuan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa absorpsi Zn dalam saluran pencernaan domba mempunyai keterbatasan pada semua perlakuan. Pertambahan bobot badan harian pada domba yang mendapat rumput gajah lebih rendah (p < 0,05) dibanding domba R2, R3 dan R4, demikian pula dengan efisiensi pakan. Konsumsi N (PK) berperan dalam hal ini. Rendahnya konsentrasi Zn dalam serum domba akan berdampak pada retensi nitrogen dan sulfur dalam jaringan ternak, sehingga efisiensi penggunaan nutrien menjadi rendah akibatnya pertambahan bobot badan juga rendah (Miller et al., 1988). KESIMPULAN
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(4) December 2004
Domba yang hanya mendapat rumput gajah sebagai pakan tunggal mengalami kekurangan konsumsi dan status Zn serum, demikian pula suplementasi rumput gajah dengan pakan sumber energi (dedak dan onggok) belum mampu meningkatkan status Zn pada serum, sedangkan dengan polar sudah tercukupi mampu meningkatkan status Zn serum dalam kondisi normal. Pertambahan bobot badan pada perlakuan tersebut tergolong rendah. DAFTAR PUSTAKA Armentano, L. and M. Pereira. 1997. Measuring the effectiveness of fiber by animal response trial. J of Dairy Sci. 80 (7) : 1416 - 1424. Chanjula P., M. Wanapat, C. Wachirapakorn, S. Uriyapongson and R. Rowlinson. 2003. Ruminal degradability of tropical feeds and their potential use in ruminant diets. Asian Australasian J. Anim. Sci. 16 : 211-216.
Australasian J. Animal Sci. 11 : 530-537. Idouraine, A., B.Z. Hasani, S.S. Claye and C.W. Weber. 1995. In vitro binding capacity of various fiber sources for Magnesium, Zinc and Copper. J. Agric. Food Chem. 43 : 1580 – 1584. Idouraine, A., M.J. Khan and C.W. Weber. 1996. In vitro binding capacity of wheat brand, rice bran and oat fiber for Ca, Mg, Cu and Zn alone and in different combinations. J. Agric. Food Chem. 44 : 2067-2073. Jung, H.G. and M.S. Allen. 1995. Characteristics of plant cell walls affecting intake and digestibility of forage by ruminants. J. Animal Sci. 73: 2774-2790. Kanjanapruthipong, J., N. Buatong and S. Buaphan. 2001. Effects of roughage neutral detergent fiber on dairy performance under tropical conditions. Asian-Australasian J. Animal Sci. 14: 1400-1406.
Fick, K.R., L.R. McDowell, P.H. Miles, N.S. Wilkinson, J.D. Funk and J.H. Conrad. 1979. Methods of Minerals Analysis for Plant and Animal Tissues. 2 nd edition. Dept. Of Animal Sci. Center for Tropical Agriculture. University of Florida. Gainsville.
Kearl. L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in developing Countries. International Feedstuff Institute Agriculture Experimentation. Utah State university. Logan.
Firkins, J.L. 1997. Effect of feeding nonforage fiber sources on site of fiber digestion. J. Dairy Sci. 80 : 1426-1432.
Miller, J.K., N. Ramsey and F.C. Madsen. 1988. The trace element. In Chursch, D.C. (Editor). The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A Reston Book. Prentice Hall Englewood Cliffe. New Jersey.
Harris L.E. (1970). Nutriton Research Techniques for Domestic and Wild Animals. Anim. Sci. Deptartment Utah State University. Logan. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ibrahim, M.N.M., G. Zemmelink and S. Tamminga. 1998. Release of mineral element from tropical feeds during degradation in the rumen. Asian
Pangestu, E. 2003. Evaluasi Potensi Nutrisi Pucuk Tebu pada Ternak Ruminansia. Media Peternakan. 5 : 65-70. Pangestu, E. 1994. Suplementasi Mineral pada Ternak Kambing Di Bagian Hulu Daerah Aliran Serang. Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Thesis. Ruiz, T.M., E. Bernal, C.R. Stapes, L.E. Sollenberger and R.N. Gallaher. 1995. Effect of dietary neutral detergent fiber concentration and forage
The Agroindustrial Byproduct Inclusion in Elephant Grass-based Ration for Sheep (Pangestu et al.)
199
source on performance of lactating cows. J. Dairy Sci. 78 (2) : 305-312. Santra, A and S.A. Karim. 2003. Rumen manipulation to improve animal productivity. Asian Australasian J. Anim. Sci. 16 : 748-753. Serra, S.D, A.B. Serra, T. Ichinohe ad T Fujihara. 1997. Ruminal solubility of trace elements from selected Phillipine forages. Asian Australasian J. Anim. Sci. 10 : 378 – 384. Sutardi, T. 2001. Revitalisasi Peternakan Sapi Perah melalui Penggunaan Ransum Berbasis Limbah Perkebunan dan Suplemen Mineral Organik. Laporan RUT VIII.I Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Toharmat, T. 2002. Ruminal degradation characteristics of highly digestible fibrous feed. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 27 : 53 – 60. Toharmat, T., U.H.Ttanuwiria, T. Sutardi, M. Winugroho dan Darwinsyah. 2001. Optimalisasi Penggunaan Limbah Pertanian dengan Suplementasi Seng Organik dan Sabun Kalsium Menuju Produksi Ransum
200
Lengkap Sapi Perah untuk Musim Kemarau. Laporan Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor dengan Proyek ARMP Badan Litbang Departemen Pertanian. Jakarta. Underwood, E.J. and N.F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd edition. CAB International. Wallingford. vanHoutert, M.F.J. 1993. The production and metabolism of volatile fatty acids by ruminants fed roughage: a review. Animal Feed Sci. And Technology. 43 : 189-225. vanSoest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of The Ruminant Metabolism, Nutritional Strategies, The Cellulolytic Fermentation and The Chemistry of Forages and Plant Fibers. O & B Book Inc. Corvalis. Weber, C.W., E.A. Kohlhepp, A. Idouraine and L.J. Ochoa. 1993. Binding capacity of 18 fiber sources for calcium. J. Agric. Food Chem. 41: 1931-1935. Whitehead,D.C. 2000. Nutrient Element in Grassland, Soil, Plant, Animal Relationships. CAB International. Wallingford.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(4) December 2004