SUPLEMENTASI MINERAL ORGANIK PADA RANSUM BERBAHAN HIDROLISAT BULU AYAM DAN SORGUM UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH (Organic Mineral Supplementation in the Diet Containing Hidrolyzed Chicken Feather and Sorghum Grain to Promote Milk Production of Dairy Cows) A. Muktiani1 , T. Sutardi2, K.G. Wiryawan2, dan W. Manalu3 1 Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang 2 Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor 3 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh substitusi bungkil kedelai dengan hidrolisat bulu ayam, substitusi jagung dengan sorgum serta suplementasi Zn-lisinat dan Cr-organik terhadap produksi susu sapi perah. Sebanyak 15 ekor sapi perah FH dibagi dalam 3 kelompok percobaan dalam rancangan acak kelompok 3 x 5. Lima macam ransum dicobakan selama 10 minggu yaitu A = Ransum standar (TDN +68%, PK +13%), B = A + bungkil kedelai 5% (TDN +71%, PK +16%), C = B (bungkil kedelai 5% diganti hidrolisat bulu ayam 3% + Zn-lisinat 40 mg Zn/kg), D = C + Cr-organik 1.59 mg Cr/kg dan E = D (jagung 14% diganti sorgum 14%). Perbaikan ransum menghasilkan produksi susu lebih tinggi dibanding ransum standart (P<0,05). Substitusi bungkil kedeleai dengan hidrolisat bulu ayam menghasilkan produksi susu yang lebih rendah, namun dapat ditingkatkan dengan suplementasi Cr-organik. Suplementasi Cr organik meningkatkan produksi susu sebesar 17,3%, produksi lemak susu 31,8%, produksi protein susu 17,6% dan laktosa susu 19,0%. Ransum berbahan sorgum menghasilkan produksi susu lebih tinggi (26,2 kg) dibanding ransum berbahan jagung (23,4 kg). Kata kunci : susu, sapi perah, hidrolisat bulu ayam, sorgum, Zn-lisinat, Cr-organik ABSTRACT The objectives of this experiment were to study the substitution of soybean oil meal with hydrolysed chicken feather, substitution of corn with sorghum and to evaluate the efficacy of organic-Cr supplement in promoting milk production of lactating cows. Fifteen lactating Holstein were assigned to a 5 x 3 randomized block design for the evaluation of 5 dietary treatments : A = control diet containing 68% TDN and 13% CP; B = diet with 5% soybean oil meal containing 71% TDN and 16% CP; C = B where the 5% soybean oil meal was replaced by 3% hydrolysed poultry feather + Zn-lysinate 40 mg Zn/kg; D = C + organic-Cr 1.59 mg Cr/kg; and E = D where 14% corn was replaced by 14% sorghum grain. The substitution of soybean oil meal with hydrolysed chicken feather decreased milk production, but it could be prevented by organic-Cr addition. The Suplementation organic-Cr increased milk production (17.3%), milk fat production (31.8%), milk protein production (17.6%) and milk lactose production (19.0%). The sorghum containing diet produced more milk (26.2 kg) compared to the corn diet (23.4 kg). Keywords : milk, dairy cows, hydrolysed poultry feather, sorghum, organic-Cr, Zn-lysinate
The Organic Mineral Supplementation in the Diet to Promote Milk Production in Dairy Cows (Muktiani et al.)
127
PENDAHULUAN Usaha sapi perah di Indonesia belum menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan susu dalam negeri. Produksi susu pada tahun 2001 hanya mencapai 425,7 juta ton tidak sebanding dengan permintaan susu sebesar 1330 juta ton, sehingga 68 % kebutuhan susu harus diimpor (Ditjen. Peternakan, 2001). Salah satu penyebab utama kelesuan usaha sapi perah tersebut adalah perkembangan harga konsentrat yang cenderung semakin mahal. Bahan baku konsentrat yang masih mengandalkan impor, terutama bungkil kedelai dan jagung menjadi penyebab mahalnya harga pakan tersebut. Sementara itu produksi susu yang dihasilkan seekor sapi sangat tergantung pada jumlah pasokan nutrien ke dalam sel sekretoris kelenjar ambing, sehingga upaya peningkatan produksi susu dapat dilakukan dengan meningkatkan entri nutrien ke dalam sel. Mineral kromium (Cr) dalam bentuk faktor toleransi glukosa (glucose tolerance factor, GTF) telah lama diketahui berperan dalam metabolisme karbohidrat, khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. melalui peningkatan potensi aktivitas insulin (Schwarz dan Mertz, 1959). Pada sapi perah suplementasi Cr meningkatkan kadar insulin like growth factor-I (IGF-I) yang berfungsi pada transport glukosa ke dalam sel sekretoris kelenjar ambing (Subiyatno et al., 1996). Pada kondisi stres kebutuhan akan mineral Cr meningkat tajam. Mengingat sapi perah hampir selalu berada pada kondisi stres karena kondisi fisiologis, fisik, metabolik maupun lingkungan, maka suplementasi Cr perlu dilakukan. Penyediaan Cr pakan sebaiknya dalam bentuk Cr-organik, karena selain tidak beracun ketersediaan Cr-organik cukup tinggi yaitu 25–30% (Chang dan Mowat, 1992). Hidrolisat bulu ayam adalah bahan pakan sumber protein yang dapat diproduksi secara lokal, yaitu dari pengolahan bulu ayam melalui proses hidrolisis. Produksi bulu ayam diperhitungkan mencapai 64.588 ton/tahun (Ditjen Peternakan, 2001). Kandungan protein kasar hidrolisat bulu ayam sangat tinggi yaitu kurang lebih 81-90.6% (Sutardi, 2001), protein tersebut kaya akan asam amino sitein, glisin, dan glutamat yang merupakan komponen pembentuk GTF (Lyons, 1995). Berdasarkan produksi di atas,
128
apabila hidrolisat bulu ayam diberikan sebanyak 3% dalam ransum sapi perah berbobot 500 kg, maka produksinya akan mampu mendukung kebutuhan 143,5 juta ekor sapi. Sorgum (Sorgum bicolor. Linn) merupakan biji-bijian sumber energi yang mempunyai nilai nutrisi hampir setara dengan jagung. Keunggulan sorgum dibandingkan jagung adalah dapat ditanam pada tanah marginal, tahan kering, waktu panen lebih singkat serta harganya lebih murah. Kandungan tanin pada sorgum menyebabkan sebagian pati tidak dicerna dalam rumen, akan tetapi dicerna di dalam usus menghasilkan glukosa (Oliveira et al, 1995). Penggunaan sumber pati yang dikombinasikan antara yang mudah dicerna dan tidak dicerna dalam rumen namun dapat dicerna dalam usus akan meningkatkan efisiensi penggunaan energi (Poore et al., 1993). Penelitian ini bertujuan mengkaji kemampuan nutrisi hidrolisat bulu ayam dan sorgum sebagai pengganti bungkil kedelai dan jagung serta mengetahui efek suplementasi Cr-organik terhadap konsumsi, produksi dan kualitas susu. MATERI DAN METODE Percobaan dilakukan di Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Baturaden. Digunakan 15 ekor sapi perah bunting + 8 bulan dengan rataan bobot badan 417+24.7 kg laktasi ke 1-3. Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Pengelompokan berdasarkan rata-rata produksi susu laktasi sebelumnya dari yang rendah (< 10 kg), sedang (10 – 15 kg) dan tinggi (>15 kg). Lima macam ransum yang diuji adalah : A = Ransum standar (TDN + 68, PK + 13%) B = A + Bungkil kedelai 5% (TDN + 71%, PK + 16%) C = B (Bungkil kedelai 5% diganti hidrolisat bulu ayam 3%+ Zn-lisinat 40 mg Zn /kg) D = C + Cr organik 1.59 mg Cr/kg E = D (Jagung 14% diganti sorgum 14%) Sumber Cr organic yang digunakan adalah Cr organic hasil fermentasi dengan bantuan yeast Saccharomyces cerevisiae pada substrat onggok yang diperkaya dengan CrCl3. Defisiensi lisin pada hidrolisat bulu ayam dan sorgum diatasi dengan
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
Tabel 1. Komposisi Ingredien dan Nutrien Ransum Perlakuan Bahan Pakan A
Rumput gajah Dedak Onggok Bungkil kelapa Jagung Sorgum Bungkil Kedelai Tepung bulu Urea Suplemen : Ampas Tahu Mineral Zn-lisinat (g/kg) Cr (g/kg) Nutrien : ME (Joule/kg) TDN (%) PK (%) Lemak (%) SK (%) Ca (%) P (%) Zn (mg/kg) Cr organik (mg/kg)
Ransum Perlakuan B C D ----------------------------------- % --------------------------------------
E
59,48 14,77 4,13 14,28 6,92 0,41 -
54,55 1,55 4,69 9,03 24,43 5,00 0,74
50,38 3,25 13,89 14,95 13,79 3,00 0,74
50,38 3,25 13,89 14,95 13,79 3,00 0,74
5038 3,25 13,89 14,95 13,79 3,00 0,74
5,76 0,83 -
5,97 1,40 -
5,97 1,50 10,00 -
5,97 1,50 10,00 2,00
5,97 1,50 10,00 2,00
10,22 67,58 12,85 5,31 25,35 0,65 0,74 20,07 -
10,72 70,83 15,81 4,56 2,60 0,80 0,71 23,71 -
10,13 70,90 15,81 4,56 21,81 0,81 0,74 63,71 -
10,13 70,90 15,81 4,56 21,81 0,81 0,74 63,71 1,59
10,12 70,83 15,83 4,44 21,75 0,78 0,73 63,98 1,59
suplementasi Zn-lisinat. Produk ini digunakan dengan tujuan memberikan pasokan lisin dan Zn sekaligus. Hal ini mengingat 66% bahan pakan di Indonesia defisiensi Zn (Little, 1986). Ransum terdiri atas hijauan berupa rumput gajah dan konsentrat (50 : 50) dengan susunan ransum seperti tertera pada Tabel 1. Pemberian pakan perlakuan dilakukan selama 10 minggu, yaitu 2 minggu sebelum partus dan 8 minggu setelah partus dengan terlebih dahulu diawali dengan preliminari selama 4 minggu. Air minum diberikan ad libitum. Peubah yang diukur adalah konsumsi bahan kering dan protein, kadar glukosa darah, produksi dan kualitas susu. Pengukuran konsumsi dilakukan setiap hari dengan cara menghitung selisih antara pemberian dan sisa pakan, selanjutnya untuk mengetahui kandungan bahan kering dan protein dilakukan dengan analisis proksimat. Pengambilan darah untuk analisis glukosa dilakukan pada minggu
terakhir yaitu 3 jam setelah pemberian pakan. Analisis glukosa menggunakan metode O-toluidin dengan Kit (Merck). Produksi susu diukur setiap hari pagi dan sore, hasilnya dijumlahkan untuk mendapatkan produksi susu harian. Pengukuran kadar lemak (metode Gerber), kadar protein (metode Kjeldahl), dan laktosa susu (metode Talles) dilakukan 2 kali yaitu pada pertengahan dan akhir perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (analysis of variance), apabila ada perbedaan antar perlakuan diuji dengan kontras ortogonal (Steel dan Torrie, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi , Kadar Glukosa Darah dan Bobot Lahir Pedet Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi nutrien dan kadar glukosa darah diperlihatkan pada
The Organic Mineral Supplementation in the Diet to Promote Milk Production in Dairy Cows (Muktiani et al.)
129
Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi bahan kering ransum uji (B,C,D dan E) lebih tinggi dibanding ransum standar (A), berarti perbaikan mutu pakan dapat meningkatkan palatabilitas ransum. Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa palatabilitas dan konsumsi pakan berbanding lurus dengan kecernaan. Meningkatnya kecernaan ransum menyebabkan laju pakan ke organ pasca rumen akan lebih cepat dan mengakibatkan lambung kosong sehingga mendorong ternak untuk makan. Seperti halnya konsumsi bahan kering,
sehingga glukosa lebih banyak diserap oleh kelenjar ambing (Yang et al., 1996). Selain itu Cr berpengaruh meningkatkan konsentrasi hormon IGF-I (Subiyatno et al., 1996) dan aktivitas reseptor IGF-I (McCarty, 1993), dimana hormon tersebut telah terbukti berpengaruh meningkatkan transport glukosa ke dalam sel kelenjar ambing (Manalu, 1994). Bobot lahir pedet sapi-sapi perlakuan berkisar antara 35 – 49 kg dan terlihat tidak dipengaruhi oleh perlakuan ransum. Namun apabila dibandingkan rataan bobot lahir pedet antara perlakuan yang
Tabel 2. Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Pakan, Kadar Glukosa Darah dan Bobot Lahir Pedet Ransum Perlakuan Parameter
A
B
C
D
E
Konsumsi BK (kg/hari)
12,09a
14,15b
13,68b
12,78 a
13,83b
Konsumsi PK (kg/hari)
1,63a
2,33c
2,15c
2,03b
2,32c
Glukosa darah (mg/dl)
33,9b
42,3c
30,0a
27,9a
25,2a
Bobot lahir pedet (kg)
44,0
39,3
39,0
42,7
45,5
a,b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P< 0,05). A = ransum standar (TDN 68%, PK 13%); B= A + bungkil kedelai (TDN 71%, PK 16%); C = B (bungkil kedelai 5% diganti hidrolisat bulu ayam 3% + Zn-lisinat); D = C + Cr-organik; dan E = D ( jagung 14% diganti sorgum 14%).
konsumsi protein juga meningkat pada semua ransum uji. Penggantian bungkil kedelai dengan hidrolisat bulu ayam ternyata tidak berpengaruh pada tingkat konsumsi protein, namun demikian utilitas protein tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitasnya. Hidrolisat bulu ayam tergolong protein lolos degradasi dalam rumen sehingga kecernaannya dalam usus menjadi faktor penentu kemampuannya dalam mendukung produksi ternak (Sutardi, 2001). Kadar glukosa darah sapi yang diambil pada 3 jam sesudah makan lebih rendah pada sapi yang mendapat suplementasi Cr dibanding tanpa suplementasi (33,9 , 42,3 , 33,0 vs 27,9 , 25,2 mg/dl). Rendahnya kadar glukosa darah tersebut disebabkan meningkatnya uptake glukosa oleh sel. Telah dikemukakan bahwa dalam menurunnya kadar glukosa darah Cr mempunyai beberapa cara kerja. Pada sapi laktasi glukosa darah sebagian besar (6085%) akan diserap oleh sel kelenjar ambing untuk keperluan sintesis laktosa susu (Annison dan Linzell, 1964). Dalam hal ini Cr berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringan hati dan perifer terhadap insulin
130
mendapat suplementasi Cr dan yang tidak, maka rataan bobot lahir pedet sapi-sapi yang mendapat suplementasi Cr cenderung lebih tinggi (43,2 vs 40,8 kg). Produksi dan Kualitas Susu Produksi susu, lemak, protein dan laktosa susu sapi-sapi yang mendapat ransum perlakuan disajikan pada Tabel 3. Produksi susu ransum uji (B , C , D dan E) lebih tinggi dibanding ransum standart (A). Hal ini menggambarkan bahwa perbaikan mutu ransum ternyata dapat meningkatkan kemampuan produksi sapi-sapi perlakuan. Ransum berbahan hidrolisat bulu ayam yang disuplementasi Zn lisinat (C) menghasilkan produksi susu lebih rendah dibanding ransum bungkil kedelai (B). Meskipun kandungan protein dan nutrien lain relatif sama, serta tingkat konsumsi bahan kering serta protein kedua ransum tidak berbeda nyata, namun ransum berbahan hidrolisat bulu ayam mempunyai kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih rendah di dalam rumen. Fermentabilitas
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
ransum sangat penting dalam mendukung produktivitas ternak, karena pencernaan fermentatif dalam rumen akan menghasilkan VFA yang merupakan sumber energi utama bagi ternak (Orskov dan Ryle, 1990). Dalam percobaan ini produksi VFA rumen ransum berbahan hidrolisat bulu ayam lebih rendah dibanding ransum bungkil kedelai yaitu 112,33 vs 150,67 mM (Muktiani, 2002), sehingga dapat dikatakan ransum hidrolisat bulu ayam menyediakan energi lebih rendah bagi ternak dibanding ransum
men susu, dengan demikian tingginya produksi laktosa akan akan meningkatkan volume air yang dialirkan ke dalam lumen susu atau dengan kata lain semakin tinggi produksi laktosa semakin tinggi pula produksi susu yang dihasilkan. Glukosa juga merupakan sumber α-gliserol bagi sintesis lemak susu, sehingga produksi VFA rumen terutama asetat yang optimal diimbangi dengan tersedianya glukosa yang cukup akan meningkatkan produksi lemak susu. Pada percobaan ini
Tabel 3. Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Produksi dan Kualitas Susu Ransum Perlakuan Parameter A B C
D
E
16,79a
20.97b
17,65a
20,71b
24,82c
Lemak susu (%)
4,27
4.08
4,33
4,90
4,40
Protein susu (%)
3,57
3.59
3,24
3,52
3,47
Laktosa susu (%)
3,94
3.71
4,19
4,27
4,57
Susu 4% FCM (kg/hr)
17,5a
21.3b
18,5a
23,4c
26,2c
Lemak (gram/hari)
716 a
858 a
762a
1004b
1087b
Protein (gram/hari)
699
a
b
a
Laktosa (gram/hari)
663 a
Produksi Susu (kg/hr) Kadar :
Produksi :
755
572
777 a
742a
730
b
883b
862c 1144c
a,b,c
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P< 0,05). A = ransum standar (TDN 68%, PK 13%); B= A + bungkil kedelai (TDN 71%, PK 16%); C = B (bungkil kedelai 5% diganti hidrolisat bulu ayam 3% + Zn-lisinat); D = C + Cr-organik; dan E = D ( jagung 14% diganti sorgum 14%).
bungkil kedelai. Suplementasi Cr-organik ke dalam ransum hidrolisat bulu ayam meningkatkan produksi susu 17,3% (20,71 vs 17,65 kg/hari). Peningkatan produksi susu ini lebih tinggi dibanding hasil yang diperoleh Yang et al. (1996) namun lebih rendah dari hasil penelitian Subiyatno et al. (1996). Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa suplementasi Cr ternyata mampu meningkatkan laju penyerapan glukosa ke dalam sel. Meningkatnya uptake glukosa oleh sel kelenjar ambing akan memacu sintesis laktosa, sehingga produksi laktosa meningkat. Pada percobaan ini produksi laktosa meningkat 19,0% dengan suplementasi Cr (883 vs 742 g/hari). Laktosa merupakan komponen susu yang bertanggung jawab dalam menjaga tekanan osmotik antara darah dan lu-
suplementasi Cr mampu meningkatkan produksi lemak susu sebesar 31,8% (1004 vs 762 g/hari). Produksi protein susu juga meningkat dengan suplementasi Cr, yaitu sebesar 27,6% (730 vs 572 g/ hari). Sintesis protein membutuhkan asam amino sebagai bahan baku utama, sedangkan uptake asam amino oleh sel kelenjar ambing dipengaruhi oleh hormon insulin (Laarveld et al., 1981). Potensi aktifitas insulin dapat ditingkatkan dengan adanya Cr dalam bentuk GTF. Dengan demikian suplementasi Cr akan meningkatkan uptake asam amino oleh sel kelenjar ambing yang pada akhirnya meningkatkan produksi protein susu (Laarveld et al., 1981). Penggunaan sorgum sebagai pengganti jagung (E) menghasilkan produksi susu, protein dan laktosa yang lebih tinggi. Pada percobaan ini
The Organic Mineral Supplementation in the Diet to Promote Milk Production in Dairy Cows (Muktiani et al.)
131
produksi susu meningkat sebesar 19,8% (24,82 vs 20,71 kg/hari), protein meningkat sebesar 18.1% (862 vs 730 g/hari) dan laktosa meningkat sebesar 29,6% (1144 vs 883 g/hari). Hasil penelitian ini senada dengan Oliveira et al. (1995) bahwa pemberian sorgum bersama-sama dengan sumber pati yang fermentabel (steam flake sorghum) meningkatkan produksi susu sebesar 9,3%. Hal ini diduga karena meningkatnya efisiensi pati sebagai sumber energi bagi ternak. Theurer (1986) dan Oliveira et al. (1995) mendapatkan kecernaan pati sorgum di dalam rumen lebih rendah dibanding jagung, namun jumlah pati yang tercerna di dalam usus lebih tinggi. Pencernaan pati di dalam usus menghasilkan glukosa sebagai produk akhir yang selanjutnya diserap oleh mukosa usus dan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Dengan meningkatnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam peredaran darah berarti lebih banyak glukosa yang tersedia untuk diserap oleh sel kelenjar ambing, sehingga proses sintesis laktosa dan komponen susu lainnya menjadi lebih terjamin. KESIMPULAN 1.
2.
3.
Kualitas ransum sapi perah berbahan hidrolisat bulu ayam dan disuplementasi dengan Zn lisinat dan Cr organik dapat menyamai kualitas ransum berbahan bungkil kedelai. Substitusi jagung dengan sorgum dalam ransum sapi perah yang disuplementasi dengan Zn lisinat dan Cr organic menghasilkan produksi susu, protein dan laktosa yang lebih tinggi. Suplementasi Cr dapat mempercepat laju penurunan kadar glukosa darah dan meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas fasilitas BPTHMT Baturaden, untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan pada Kepala Balai beserta seluruh staf atas bantuan yang diberikan selama penelitian berlangsung.
132
DAFTAR PUSTAKA Annison, E.F., R. Bickersstaffe, and J.L. Linzell. 1974. Glucose and fatty acid metabolism in cow producing milk of low fat content. J. agric. Sci. Camb. 82 : 87. Chang, X and D.N. Mowat. 1992. Supplemental Chromium for stressed and growing feeder calves. J. Anim Sci. 70 :559-565. Direktorat Jenderal Peternakan. 2001. Buku Statistik Peternakan, Jakarta. Laarveld, B., D.A.Christensen and R.P.Brockman. 1981. The effect of insulin on net metabolism of glucose and amino acids by the bovine mammary gland. J.Endocrinol. 108: 2217. Little, D.A. 1986. The Mineral Content of Ruminant Feeds and the Potential for Mineral Supplementation in South-east Asia with Particular Reference to Indonesia. In : Ruminant Feeding System Utilizing Fibrous Agricultural Residues. R.M. Dixon eds. International Development Program of Australian Universities and Colleges, Canberra. Lyons, T.P. 1995. Biotechnology in the Feed Industry a Look Forward and Backward. Alltech Asia-Pasific Lecture Tour . Manalu, W. 1994. Menyongsong aplikasi hasil bioteknologi dalam industri peternakan : suatu ulasan mengenai kegunaan somatotropin untuk meningkatkan produksi susu dan dampaknya terhadap kesehatan dan reproduksi sapi perah serta masa depannya dalam industri sapi perah di Indonesia. Media Veteriner 1 : 9-42. McCarty, M.F. 1993. Homologous physiological effects of penformin and chromium picolinat. Med. Hypth. 41 : 316-324. Muktiani, A. 2002. Penggunaan hidrolisat bulu ayam
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
dan sorgum serta suplemen Kromium organik untuk meningkatkan produksi susu dan kesehatan sapi perah. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Desertasi Program Doktor Ilmu Ternak). Oliviera, J.S ; J.T.Hubber ; J.M.Simas ; C.B.Theurer and R.S.Swingle. 1995. Effect of Sorghum Grain Processing on Site and Extent of Digestion of Starch in Lactating Dairy Cow. J. Dairy Sci 78: 1318-1327. Orskov, E.R. and M. Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminants. Elseiver Applied Sci. Poore, M.H., J.A. Moore, R.S. Swingle, T.P. Eck, and W.H. Brown. 1993. Response of lactating Holstein cows to diets varying in fiber source and ruminal starch degradability. J. Dairy Sci. 76 : 2235-2241. Schwarz, K and Mertz, W. 1959. Chromium (III) and the glucose tolerance factor. Arch. Biochem. Biophys., 85: 292-300. Steel, R.G.D and J.H.Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2 nd Ed. McGraw Hill Kogashusha, LTD. To-
kyo. Subiyatno, A., D.N. Mowat and W.Z. Yang. 1996. Metabolite and hormonal responses to glucose or propionat infusions in periparturient dairy cows supplemented with Chromium. J. Dairy Sci. 79 : 1436-1445. Sutardi, T. 2001. Revitalisasi peternakan sapi perah melalui penggunaan ransum berbasis limbah perkebunan dan suplemen mineral organik. Laporan Penelitian RUT VIII, Bogor. (tidak dipublikasikan). Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusuma dan S. Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Theurer, C.B. 1986. Grain processing effects on starch utilization by ruminants. J.Anim.Sci. 63 :16491662. Yang, W.Z., D.N. Mowat, A. Subiyatno and R. Liptrap. 1996. Effect of Chromium supplementation on early lactation performance of Holstein cows. Can. J. Anim. Sci. 76:221-228.
The Organic Mineral Supplementation in the Diet to Promote Milk Production in Dairy Cows (Muktiani et al.)
133
Catatan
134
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005