Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APLIKASI Duddingtonia flagransdi DALAM MEREDUKSI LARVA Haemonchus contortus DI LAPANG RUMPUT (The Influence of Factors for Duddingtonia flagrans Application in Reduction Haemonchus contortus Larvae in Pasture Plot) R.Z. AHMAD1, BERIAJAYA1, M SUATMOJO2 dan E. PURWANINGSIH2 2
1 Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, Jl. Ir. H. Juanda 265, Bandung
ABSTRACT Duddingtonia flagrans have been used as biological control for Haemonchus contortus larvae. The aim this research was to seek these factors for application in pasture plot influenced the reduction power against larvae nematodes. The research were done in Sheep and Goat at UPTD Nanggung in Bogor from 2005 to 2006. 42 goats divided to 5 groups for treatment, then the feces were collected and spread every day on pasture plot. The egg and larvae are inspected every week for 12 weeks. The change of natural factors (rain fall, humidity, temperature) was recorded every day. The results showed that the three natural factors and location did influence the application of D. flagrans towards the reduction power of H. contortus larvae reduction. Key Words: Duddingtonia Flagrans, Haemonchus Contortus, Natural Factor, Grass Plot, Reduction ABSTRAK Duddingtonia flagrans dapat digunakan sebagai pengendali hayati terhadap larva cacing Haemonchus contortus. Penelitian ini bertujuan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi daya reduksi terhadap larva cacing nematoda. Penelitian ini dilakukan di lapangan rumput UPTD kambing dan Domba Nanggung Bogor pada tahun 2005 sampai 2006. Sejumlah 42 ekor domba dewasa dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, kemudian tinja-tinja dikumpulkan dan disebarkan setiap hari pada padang rumput yang telah diplotkan. Telur dan larva pergram tinja diamati setiap minggunya selama 12 minggu. Perubahan faktor–faktor alam (curah hujan, kelembaban, suhu) di catat setiap hari. Hasil akhir yang diperoleh dari ketiga faktor tersebut dan lokasi berpengaruh terhadap aplikasi D. flagrans terhadap pengurangan larva H. contortus. Kata Kunci: Duddingtonia Flagrans, Haemonchus Contortus, Reduksi, Faktor Alam, Lapangan Rumput
PENDAHULUAN Penyakit cacing nematoda yang umum menyerang dan mengakibat kerugian ekonomi cukup tinggi pada ternak domba dan kambing adalah Haemonchosis. Penyakit ini disebabkan cacing H. contortus. Kerugiannya akibat parasit nematoda pada kambing ditaksir mencapai 7 miliar/tahun (RACHMAT et al., 1998). Beberapa cara pengendalian terhadap parasit cacing H. contortus pada ternak ruminansia kecil (kambing dan domba) yang umum telah dilakukan di Indonesia. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan antelmintika
komersial (Ivomex, Albendazol, Levamisol) dan tradisional (biji pinang, pepaya), manajemen dan tata laksana kandang,namun pemakaian antelmintika lebih populer dipakai dan umumnya tanpa memperhatikan aturan pemakaian dengan berakibat dampak negatif yaitu kekebalan terhadap antelmintika tersebut, contohnya golongan Albendazol (HARYUNINGTYAS et al., 2001) Sebenarnya salah satu pilihan lain yang bisa dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan kapang nematofagus seperti Duddingtonia flagrans. Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukkan D. flagrans dan
979
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
kapang nematofagus lain dapat menanggulangi Haemonchosis pada ruminansia (AHMAD, 2005). Namun sebelum diaplikasikan terlebih dahulu perlu melalui uji-uji tertentu, dan uji yang paling akhir sebelum penerapan adalah uji lapang. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh faktor-faktor alam (curah hujan, kelembaban, suhu, dan kemiringan tempat aplikasi) terhadap aplikasi kapang D. flagrans untuk mereduksi cacing H. contortus di plot lapang rumput gembalaan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di UPTD Kambing dan Domba, Nanggung Kabupaten Bogor dan Laboratorium Mikologi dan Parasitologi Balai Penelitian Veteriner mulai September 2005 sampai dengan Februari 2006. Lokasi aplikasi penelitian turun naik/kemiringan tidak datar, di lereng bukit seluas kurang lebih 4000 m2 dengan ketinggian 3000 m dari permukaan laut. Domba lokal yang digunakan berjumlah 42 ekor dengan berat rata-rata 12 kg dan berumur di atas 1 tahun. Domba tersebut dibagi menjadi 6 kelompok (masing-masing 7 ekor). Ternak tersebut dipelihara dikandang, diberi makan rumput ad libitum dan diberi perlakuan. Tinja dari domba-domba tersebut ditampung dengan karung dan esoknya ditebar di plot rumput yang sesuai dengan kelompoknya. Antelmintika yang dipakai adalah Levamisol dan isolat D. flagrans yang digunakan adalah isolat lokal hasil karakterisasi AHMAD (2003) serta Saccharomyces cerevisiae yang dipakai sebagai probiotik adalah buatan komersial berbentuk bolus. Perlakuan Kelompok I tidak diberi perlakuan hanya diberi rumput saja; Kelompok II diberi konidia D. flagrans; Kelompok III diberi Levamisol; Kelompok IV diberi Levamisol dan D. flagrans; Kelompok V diberi D. flagrans, Levamisol, dan konsentrat; dan Kelompok VI diberi D. flagrans, Levamisol, konsentrat, dan S. cerevisiae. Adapun cara pemberiannya sebagai berikut: Dosis Levamisol: 1 kaplet/ 50 kg bobot badan/dosis tunggal/ekor, Dosis konsentrat: 100 g/10 kg BB/hari selama 3 bulan. Dosis konidia D. flagrans: 1 x 106
980
konidia/hari/ekor selama 6 minggu. Pemberian pada semua perlakuan mulai minggu awal ke-0 sampai dengan akhir minggu ke-2, lalu istirahat awal minggu ke-3 sampai dengan akhir minggu ke-4, diberikan lagi awal minggu ke-5 sampai dengan akhir minggu ke-6 lalu awal minggu ke-7 istirahat sampai dengan akhir minggu ke-8, dan diberikan lagi mulai awal minggu ke-9 sampai dengan akhir minggu ke-10, lalu istirahat sampai dengan akhir minggu ke-12. Dosis S. cerevisiae (Sac 1026 tm): 1 bolus/ ekor/bulan. Plot rumput setelah dibersihkan dan disiapkan kemudian dibagi menjadi 6 kelompok (Kelompok I sampai dengan VI), masing-masing areal 600 m per kelompok. Setiap kelompok dipisahkan dengan pagar bambu. Setiap hari sehabis ditampung feses dari kandang domba-domba disebarkan di plot tersebut sesuai dengan kelompoknya masingmasing selama 3 bulan. Pemeriksaan dan pengamatan Pengambilan sampel rumput diambil 6,6% dari luasan setiap petak (ada 210 petak berasal dari 6 kelompok yang masing-masing kelompok akan diambil 5 sampel selama 7 kali pengambilan), setiap pagi jam 9.00 wib, rumput diarit sampai dengan permukaan. Pemeriksaan larva dari sampel rumput dilakukan dengan cara, rumput direndam semalam dalam air yang telah ditambahkan 3 tetes deterjen per liter (teepool) lalu dicuci, diambil filtratnya melalui sedimentasi. Jumlah larva yang terdapat pada sampel tersebut dihitung (LANCASTER, 1970). Sementara itu, telur pergram tinja dari domba dihitung dengan metode WHITLOCK (1948) dilakukan setiap minggu sekali selama 12 minggu. Curah hujan diukur dengan Ombrometer, temperatur dengan Termometer dan kelembaban dengan Higrometer dicatat setiap hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian sebelumnya kapang D. flagrans efektif mengurangi larva H. contortus (AHMAD, 2001). Siklus hidup H. contortus terdapat di dalam tubuh dan di luar tubuh domba. Cacing dewasa terdapat dalam tubuh sedang mulai dari telur sampai
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
larva 3 terdapat di luar tubuh domba. Faktorfaktor alam (eksternal) sangat berpengaruh terhadap siklus hidup di luar tubuh domba, dan D. flagrans juga bekerja membunuh H. contortus di luar tubuh domba. Sehingga untuk uji di lapangan dengan skala terbatas harus melibatkan, memperhitungkan faktorfaktor alam yang sangat besar pengaruhnya seperti permukaan aplikasi yang datar, curah hujan, kelembaban dan suhu. Hasil pengukuran suhu adalah berkisar antara 22 – 33°C. Gambar 1 adalah jumlah telur dan Gambar 2 jumlah larva selama pengamatan 12 minggu. Pada Gambar 1 dan 2. Terlihat dengan jelas di dalam pengaplikasian D. flagrans di plot lapang rumput faktor curah hujan dengan catatan 50 – 234 mm dan kelembaban dengan catatan 84 – 91% mmHg mendukung kehidupan larva dan cendawan. Kedataran/kemiringan pada lokasi aplikasi plot merumput Seharusnya pada curah hujan sedang (100 – 150mm/hari) dan kelembaban tinggi, akan banyak ditemukan larva pada semua perlakuan secara umum, namun hasil yang didapat adalah sebaliknya yaitu ketika curah hujan rendah, hal ini terjadi karena jumlah larva yang menetas menjadi semakin tinggi, kemudian larva-larva yang telah menetas hanyut terbawa air ke tempat dataran yang lebih rendah, misalnya yaitu di luar plot perlakuan atau kontrol. Lokasi di dataran tinggi lereng gunung dengan permukaan plot percobaan yang tidak datar/ miringnya tidak sama untuk perlakuan akan mengakibatkan larva dan spora terbawa air dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, selain itu didukung dengan kemampuan larva yang dapat berenang (CROLL, 1970). Akibatnya di lokasi daerah plot kontrol yang terletak paling bawah yang seharusnya larva banyak ditemukan sebaliknya jumlah cacing hampir sama dengan plot perlakuan yang lain yang letak kemiringan lokasi di atas, selain itu ditemukan pula spora D. flagrans. Jadi seharusnya kemiringan dan kedataran tempat
aplikasi harus sama tidak boleh ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Temperatur pada lokasi aplikasi plot merumput Kisaran suhu antara 22 – 33°C dapat merupakan suhu ideal untuk pertumbuhan, berkembang biak untuk kapang D. flagrans dan telur menetas menjadi larva bagi cacing H. contortus. Hal ini di tunjukkan dengan ditemukannya telur H. contortus dan spora D. flagrans pada setiap plot pengambilan sampel. Pada kisaran suhu yang sama tersebut itulah yang menyebabkan kapang D. flagrans dapat dipakai secara ideal untuk kontrol biologis terhadap larva H. contortus, karena keduanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada suhu yang sama. Sebenarnya suhu ideal D. flagrans tumbuh pada temperatur antara 20 – 30°C, dan dengan penambahan 20 larva nematoda/cm2 akan menginduksi cendawan untuk membentuk perangkap, optimal pada suhu 30°C yang kemudian akan menghasilkan 700 – 800/cm2/2 hari. (GRONVOLD et al., 1996). Sementara itu temperatur yang diperlukan untuk perkembangan telur menjadi larva H. contortus berkisar 22 – 30°C (CROLL, 1970). Kelembaban pada lokasi plot merumput Kelembaban yang berkisar 80 sampai dengan 90 mm Hg juga merupakan kelembaban yang ideal bagai perkembangan spora D. flagrans dan menetasnya telur menjadi larva H. contortus, seperti pada Gambar 1 dan 2. Nilai kelembaban ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya curah hujan dan fluktuasi dari temperatur. Semakin tinggi curah hujan dan semakin rendah temperatur menyebabkan akan semakin lembab (nilai kelembaban tinggi) Sebaliknya semakin rendah curah hujan maka nilai kelembaban menjadi rendah.
981
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
P engamatan pada perlakuan terhadap curah hujan, kelembaban dan jumlah telur
25000 KTL DF
23430
23000
LEV DF+LEV DF+LEV +SC
20710
DF+LEV +SC+KONS
20000
CURA H HUJA N KELEMBA BA N
16790
s a tu a n (I);(II);(III)
16417
15000 13793
13640
13712
13146 12513 11986
12744 12530 12290
12688
10064
9867
9130
9010 9006 8460
11760
11090 10568
10000
9860
8510
8400
8790
8590
8500 8140
8560 8026
9100
8288 7832
7592
7430
9805
9688 9130
9000
8700
7051
6914 6568
6748
7700 7380 6593
5960
5000
5140
5000
3577 2960 2851
0
2
3
3765
2320 2166 2126
1800 1607 1331 1286
1530 792
592 520 194 57
23 11 17 7
6 0 8 13
4080 3840 3305
2817
2087 1580 1423
1480 1166
3767 3486
2888 2560
2792
2269
1
4365
4207 3780
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Minggu ke-
Gambar 1. Pengamatan perlakuan D. flagrans terhadap curah hujan, kelembaban dan telur pergram tinja pada di plot lapangan rumput Satuan (I) jumlah telur pergram tinja.(warna selain biru) Satuan (II) volume (mm) curah hujan. (warna biru) nilai dibagi 100 Satuan (III) mm Hg / kelembaban (warna biru) nilai dibagi 100 Ktl: Kontrol; Kons: Konsentrat; DF: Duddingtonia flagrans; LEV: Levamisol; SC: Saccharomyces cerevisiae
P engamatan pada perlakuan terhadap curah hujan, kelembaban dan jumlah larva
KTL DF LEV
300
DF+LEV DF+LEV +SC DF+LV +SC+KONS
272
CURA H HUJA N
250
KELEMBA BA N
250
23 4 .3
23 0 215 213
20 7.1
s a t u a n ( I) ;( II) ;( III)
200
16 7.9
167 160
150 141
138 1 3 6.4
1 2 2.9 117
11 0.9
110 101
100 85.1
84
87.9
85.9
85
98 .6 91.3
90
87
91
91.3
77
7 4 .3 66 64
70
64
62
52
50
52 46 42
35
34
51 .4
50 34 28
28
16 9
14 0
1
14
3
4
5
13
11
0
0
2
34 33 32
33 30 25 24 21 17
30 22 21
50
46 43 36 32
44
31
22
0
90.1
85.6
8 1 .4
68 59
32 31 23
11
11
11
0
6
7
8
9
10
11
12
Minggu ke-
Gambar 2. Pengamatan perlakuan D. flagrans terhadap curah hujan, kelembaban dan larva pergram tinja pada di plot lapangan rumput Satuan (I) jumlah larva pergram tinja.(warna selain biru) Satuan (II) volume (mm) curah hujan. (warna biru) Satuan (III) mm Hg / kelembaban (warna biru) Ktl: Kontrol; Kons: Konsentrat; DF: Duddingtonia flagrans; LEV: Levamisol; SC: Saccharomyces cerevisiae
982
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Curah hujan pada lokasi plot merumput Curah hujan tinggi sangat berpengaruh terhadap penyebaran larva H. contortus dan spora D. flagrans seperti pada Gambar 1 dan 2, hal ini terlihat pada pengamatan semua plot perlakuan dan kontrol, sehingga baik cacing dan cendawan dapat ditemukan. Hal ini terjadi karena air akan menyebabkan spora dan larva terbawa dari tempat yang permukaan tinggi dan ke permukaan rendah, sehingga pada plot kontrol yang lokasinya paling bawah dapat ditemukan baik telur cacing atau spora cendawan yang seharusnya tidak ditemukan. Sebaliknya pada plot yang diberi perlakuan D flagrans, ternyata ditemukan jumlah larva dan telur yang tidak jauh berbeda dari plot kontrol. Bila curah hujan rendah yaitu kisaran 50 sampai dengan 100 mm/hari tentunya hal itu tak terjadi. Dari keempat faktor yang diamati tersebut ternyata lokasi aplikasi dan curah hujan, suhu dan kelembaban harus diperhatikan benar agar hasil aplikasi menjadi maksimal. Dari data curah hujan dan kelembaban di beberapa tempat di daerah Jawa Barat (RIDWAN el al., 1998), data tersebut sesuai dengan kelembaban dan suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan cendawan dan reproduksi cacing yaitu kelembaban 70 – 90 mmHg/hari, dan curah
hujan kisaran 150 – 200 mm/hari sehingga dapat mendukung pelaksanaan aplikasi D. flagrans di dalam mereduksi larva H. Contortus khususnya di daerah Jawa Barat. Penambahan probiotik Penambahan probiotik S. cerevisiae tidak terlalu berpengaruh pada pengamatan reduksi larva H. contortus (Gambar 2), kemungkinan tidak terlalu terlihat, karena banyak faktorfaktor lain yang lebih berperan mempengaruhi daya reduksi cacing. Kemungkinan efek yang paling jelas adalah terhadap pertambahan bobot badan domba, dan respon kebal tubuh yang meningkat. Hal ini secara tidak langsung juga akan mempengaruhi ketahanan tubuh domba terhadap infeksi cacing secara tak langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku hidup nematoda Faktor-faktor di dalam mekanisme dan pengendalian dari respon tingkah laku cacing, stimulasi/rangsangan dapat berasal dari eksternal dan internal (Gambar 3) (CROLL, 1970).
Faktor-faktor dalam (kelaparan, kemampuan reproduksi, dan lain-lain)
Faktor-faktor luar (cahaya, kimiawi, suhu, dan lain-lain)
Tidak bergerak Aklimatisasi, penginderaan yang cocok, Interaksi dari rangsangan Rangsangan keadaan physiologi (Umur, nutrisi, tidak bergerak, dan lain-lain) Pelepasan energi Penginderaan penglihatan/perasa .
Perpindahan/bergerak Faktor-faktor luar (suhu, oksigen, media alamiah)
Condong untuk menggerakan otot tidak simetris
Oreantasi Berkumpul, pengumpulan Gambar 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku nematoda Sumber: CROLL (1970)
983
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Adapun secara langsung rangsangan eksternal hasil dari aksi langsung tanpa sensor penglihatan dapat bertindak pada sistem otot dan koordinasi pergerakan tubuh nematoda sehingga tubuhnya bergerak, atau yang secara tidak langsung melalui penerimaan penginderaan, respon cahaya pada kulit, reaksi suhu dan gaya gravitasi dapat secara keseluruhan akan menyebabkan nematoda dapat bergerak. Hal ini karena saat sensor penglihatan meliput, penyesuaian iklim, kebiasaan dan interaksi dari rangsangan dapat mempengaruhi semua respon. Ketika menerima rangsang sebenarnya di dalam tubuh nematoda terjadi proses yang kemudian akan dideterminasi dengan berbagai respon alamiah, pelepasan energi dan inisiasi pergerakan. Faktor-faktor eksternal lingkungan seperti suhu, tekanan O2 dan viskositas dari medium, curah hujan, kelembaban, lokasi yang datar dapat mempengaruhi proses-proses ini. Kemudian 1 faktor internal (dalam) nutrisi berupa probiotik mempengaruhi tingkah laku dari H. contortus secara fisiologis, dengan cara merangsang nematoda bergerak mencari nutrisi dalam keadaan lapar, hal ini sesuai dengan yang diteliti CROLL (1970) seperti pada Gambar 3, dimana faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh di dalam tingkah laku nematoda, sehingga untuk pengaplikasian D. flagrans di lapang rumput perlu diperhatikan, ditambah dengan kemiringan lokasi. KESIMPULAN Di dalam mengaplikasikan secara maksimal D. flagrans di padang rumput untuk mereduksi larva H. contortus haruslah diperhatikan faktor-faktor alam yaitu: 1. Lokasi kedataran/kemiringan tanah harus sama. 2. Curah hujan ringan sampai sedang; 10 –100 mm/hari.
DAFTAR PUSTAKA AHMAD R Z. 2001. Isolasi dan Seleksi Cendawan Nematofagus untuk Pengendalian Haemonchosis pada Domba. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Program Magister. Institut Pertanian Bogor. AHMAD. R. Z. 2003. Potensi Duddingtonia flagrans sebagai cendawan nematofagus. J. mikol Ked Indon 2003 (4): 14 – 20; 2004 5(1 – 2): 14 – 20. AHMAD, R.Z. 2005. Pemanfaatan cendawan Arthrobotrys oligospora dan Duddingtonia flagrans untuk pengendalian Haemonchosis pada ruminansia kecil di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 24 (4): 143 – 148. CROLL NEIL, A. 1970. Behavior of nematode, their activities, sesnse and respons.Endward Arnold Ltd. London. 97. GRONVOLD, J., P. NANSEN, S.A. HENRIKSEN, M. LARSEN, J. WOLSTRUP, J. BRESCIANI, H. RAWAT and L. FRIBERT. 1996. Induction of traps by Ostertagia ostertagi larvae, chlamydospore production and growth rate in the nematode-trapping fungus Duddingtonia flagrans. J. Helminthol 70: 291 – 297. HARYUNINGTYAS, D., BERIAJAYA dan G.D. GRAY. 2001. Resistensi antelmintik golongan benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. LANCASTER, M.B. 1970. The recovery of infective nematode larvae from herbage samples. J. Helminthol. 44: 219 – 230. RACHMAT, R., A. RAUF dan M.Z. KANRO. 1998. Kontribusi getah pepaya dalam pengendalian penyakit cacing pada kambing. Pros. Seminar Hortikultura. Kerjasama Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanudin dengan Instalasi Penelitian dan pengkajian Pertanian Jeneponto. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. hlm. 432 – 434.
3. Suhu 22 – 33°C, kelembaban 80 sampai dengan 90 mmHg.
RIDWAN, Y., S. KUSUMAMIHARDJA, P. DORNY and J. VERCRUYSSE. 1996. The Epidemiology of Gastro-intestinal nematodes of sheep in West Java Indonesia. Hemerazoa 78: 8 – 18
4. Domba yang merumput dan sumber rumput tidak boleh berpindah-pindah dan yang paling dominan adalah kedataran/ kemiringan tanah dan curah hujan.
WHITLOCK HV. 1948. Some modification of the McMaster helminth egg counting technique and apparants. J. the Council for scientific and Industrial Reseach 21: 177 – 180.
984
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
DISKUSI Pertanyaan: Berapa persen tingkat efektivitas kapang Nematofagus untuk mereduksi larva Haemonchus contortus? Jawaban: Tingkat efektivitas kapang Nematofagus untuk mereduksi larva Haemonchus contortus, 70 sampai 90% dengan syarat: a. Kemiringan lokasi sama b. Curah hujan ringan c. Suhu 22 sampai 33°C d. Kelembaban 80 – 90 mmHg
985