EVALUASI PEMILU LEGISLATIF DAN REKOMENDASI UNTUK PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014 Disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
PENGANTAR Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD atau Pemilu Legislatif) 9 April 2014 lalu telah berjalan dengan aman, lancar, dan relatif baik. Apresiasi yang tinggi kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah menggunakan hak pilihnya dengan tertib dan juga penyelenggara pemilu yang telah bekerja keras dalam menyiapkan dan menyelenggarakan segala sesuatunya. Meski, harus diakui masih terjadi beberapa pelanggaran, baik yang menyangkut prosedur dan tata cara maupun kecurangan dalam pemberian suara. Idealnya suatu pemilu menjamin sekurangnya 7 (tujuh) prinsip meliputi kesetaraan antarwarga negara; rule of law dan kepastian hukum; persaingan yang bebas dan adil antarpeserta pemilu; partisipasi semua pemangku kepentingan dalam proses penyelenggaraan pemilu; KPU yang independen dan profesional; integritas proses pemungutan dan penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; dan proses penyelesaian sengketa pemilu adil dan tepat waktu (Ramlan Surbakti, 2014). Namun, dalam praktik Pemilu Legislatif 2014 lalu, beberapa prinsip tersebut masih ada yang dilanggar oleh penyelenggara pemilu. Sebagai urun rembug bagi pemilu yang berkualitas dan mampu memenuhi ketujuh prinsip di atas, berikut beberapa problematika dan rekomendasi yang secara singkat diurai oleh para individu pemerhati pemilu. Problematika dan rekomendasi tersebut merupakan hasil diskusi terbatas yang dilaksanakan pada Jum’at, 18 April 2014 lalu bertempat di Shang Yang Palace Hotel Shangrila Jakarta. EVALUASI DAN REKOMENDASI 1. Sosialisasi Pemilu Sosialisasi pemilu tetap merupakan kegiatan penting yang harus mendapat perhatian khusus dari KPU, khususnya dalam hal substansi, strategi penyebarannya, dan keterlibatan agen-agen sosialisasi hingga ke akar rumput. Disadari bahwa KPU telah memikirkan sosialisasi pemilu secara serius, misalnya dengan membentuk Relawan Demokrasi sebagai organ masyarakat yang membantu KPU dalam penyebaran informasi kepemiluan. Namun perlu diperhatikan bahwa Relawan Demokrasi yang bertumpu pada keterlibatan organisasi masyarakat – khususnya pada lima sektor yaitu pemilih pemula, perempuan, marginal, agama, dan disabilitas – masih belum mampu mendorong informasi kepemiluan secara masif dan intens. Sosialisasi KPU dianggap lebih fokus pada hari-H (9 April 2014) saja dan kurang membumikan pentingnya substansi Pemilu Legislatif 2014, yaitu tentang apa, siapa dan bagaimana pemilu yang berkualitas, termasuk informasi mengenai para caleg 1
yang ikut berlaga. Dengan kata lain, sosialisasi yang dilakukan KPU dianggap belum menyentuh wilayah substansi, pemilih belum merasakan tercerahkan dan teredukasi secara memadai. Jika ini dibiarkan dan tidak diantisipasi maka sangat dimungkinkan praktek politik uang bakal marak kembali di Pemilu Presiden 9 Juli 2014 yang akan datang. Rekomendasi: Memperkuat sosialisasi dan penyebaran informasi kepemiluan. KPU diharapkan melakukan sosialisasi tidak hanya mengenai kapan tanggal pemilu melainkan juga menyangkut informasi mengenai bagaimana memilih peserta pemilu dengan baik, tata cara mencoblos yang sah, suara sah dan tidak sah, dan juga profil calon. Website atau laman KPU memang sudah memfasilitasi informasi terkait peserta pemilu. Namun website hanya menyentuh kelompok yang memiliki pengetahuan soal internet, karenanya KPU juga harus menyentuh orang-orang di luar golongan tersebut. Jika website dipilih sebagai salah satu cara sosialisasi untuk informasi, maka sejauhmana KPU sudah mempromosikan website-nya secara masif. Jika permasalahan biaya menjadi faktor penghambat sosialisasi dan informasi maka KPU dapat bersinergi dengan Kemenkominfo dan para pemangku kepentingan lainnya. Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pada masa kampanye pemilu, KPU diharapkan bisa bekerjasama dengan media massa nasional (misalnya TVRI dan RRI) dalam menyiarkan profil pasangan kandidat, visi dan misi pasangan kandidat, tatacara memberikan suara yang sah, hari pemilihan, dan sebagainya yang relevan. Selain itu, dalam rangka membangun kredibilitas penyelenggara pemilu, KPU harus menginformasikan perkembangan penyelenggaraan pemilu secara reguler kepada media massa dengan strategi komunikasi yang jelas dan mudah dipahami. KPU juga harus melakukan evaluasi terhadap Relawan Demokrasi, apalagi jika hendak dilanjutkan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sinergitas penyelenggaraan sosialisasi pemilu antara lembaga pemerintah (Kemendagri, Kemenkominfo) dan penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu) perlu diperkuat dengan membagi area target kelompok dan wilayah. 2. Pemutakhiran Data Pemilih a. KPU sudah baik dalam hal pendaftaran pemilih namun masih bermasalah dalam hal melayani pemilih terdaftar untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Salah satu contoh adalah saat 1.700 pasien, tenaga medis, dan dokter RS dr. Soepomo Surabaya gagal menggunakan hak pilihnya. Hal ini disebabkan bukan karena RS nya tidak aktif meminta pengajuan pengadaan TPS di tempatnya, RS sudah mengajukan seminggu sebelumnya ke KPU Surabaya, namun surat mereka baru dijawab pada tanggal 9 April 2014. Dari kasus ini dapat dilihat bahwa bukan hanya adequate poling arrangement saja yang sedikit bermasalah. Masalah penggunaan Formulir A-5 dan juga memilih menggunakan KTP menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kepada pemilih (pembahasannya akan diurai lebih detil pada bagian pemungutan dan penghitungan suara). b. Penyandang disabilitas ada yang belum terdata sebagai pemilih secara maksimal. Jika suami istri sama-sama penyandang disabilitas, kadang suami didata, istrinya tidak. Begitu juga sebaliknya.
2
Rekomendasi: KPU mengakomodir DPT, DPK, DPKTb sebagai DPS Pemilu Presiden. Selain itu KPU harus lebih menyosialisasikan soal pendaftaran pemilih Pemilu Presiden secara masif dan memperkuat pelayanan kepada pemilih penyandang disabilitas. 3. Distribusi Logistik Pemilu a. Pemilu 2014 merupakan pemilu keempat yang sudah dilalui sejak tahun 1999. Namun sangat disayangkan permasalahan pengiriman logistik yang terlambat tetap berulang. Bentuk negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau-pulau menjadi tantangan tersendiri dalam setiap pelaksanaan pemilu. Alasan cuaca buruk yang kemudian mengakibatkan pesawat pengantar logistik tidak dapat terbang dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya keterlambatan distribusi logistik pemilu. Hal ini teknikalitis yang harus dipikirkan bagaimana solusinya. b. Surat suara tertukar begitu banyak dan hal ini sudah masuk ke dalam daftar kesalahan pada pemilu 2009 lalu dan sudah juga dibuatkan rekomendasi bagaimana cara mengatasinya. Namun surat suara tertukar kembali terjadi di pemilu 2014. Pada dasarnya Standar Operational Procedure (SOP) terkait logistik sudah ada namun SOP ini (dianggap oleh beberapa penyelenggara di kabupaten/kota) keluar terlambat, sehingga tidak mampu menjangkau pelaksanaan proses sortir dan distribusi logistik di lapangan secara optimal. Jika demikian apakah kejadian surat suara tertukar ini berkaitan dengan regenerasi KPU kabupaten/kota? Meski demikian, langkah cepat KPU yang langsung memerintahkan pemungutan suara ulang juga patut diapresiasi. Rekomendasi: KPU harus belajar dari penyelenggaraan pemilu sebelumnya dalam menyusun perencanaan yang baik untuk mengantisipasi berbagai kendala geografis pendistribusian logistik pemilu. Selain itu, SOP harus dikeluarkan jauh-jauh hari sebelum proses sortir dan distribusi logistik pemilu dilakukan. Setidaknya, SOP distribusi logistik pemilu harus sudah ditetapkan dan didiseminiasikan kepada seluruh jajaran penyelenggara pemilu 20 atau 15 hari sebelum hari pemungutan suara. Selain itu, pengadaan logistik pemilu yang cepat dan transparan merupakan salah satu kunci untuk penyelesaiannya. 4. Pemungutan dan Penghitungan Suara a. Masih cukup banyak KPPS yang tidak memasang pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Calon Tetap (DCT) di TPS mereka. Sebagian besar karena tidak tahu dan sebagian lainnya karena menganggap tidak perlu atau tidak penting untuk diumumkan. b. Beberapa TPS amatan memulai jadwal pemungutan suara terlambat atau tidak tepat waktu (lebih dari jam 07.00 waktu setempat). Pemilih yang telah hadir sejak sebelum jam 07.00 ada beberapa yang tidak sabar menunggu dan akhirnya pulang ke rumah. Hal ini ditemukan menjadi suatu yang tidak standar dalam palaksanaan pemungutan suara Pemilu Legislatif lalu. Ada TPS yang memulai prosesi pemungutan suara (pembacaan sumpah dan pembukaan kota sebelum jam 07.00 sehingga tepat jam 07.00 pemilih sudah bisa menggunakan hak pilihnya. Namun, sebagian besar TPS baru memulai prosesi tepat pada pukul 07.00 waktu setempat. 3
c. Ketidakstandaran tata cara dan prosedur pemungutan dan penghitungan suara menjadi temuan yang paling banyak didapat. Ada perbedaan dan ketidaksamaan tata cara dan prosedur yang diterapkan KPPS dalam melayani pemilih ketika pemungutan dan penghitungan suara. Mulai perbedaan dalam hal memeriksa surat pemberitahuan yang dibawa pemilih, menjelaskan jenis surat suara dan tata cara pencoblosan kepada pemilih, sampai pada memeriksa jari tangan pemilih sebelum mencelupkan jarinya ke dalam tinta. Padahal mestinya tata cara dan prosedur pemungutan suara terstandar sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan KPU. d. Dalam beberapa temuan didapati Ketua KPPS yang terlalu dominan dalam akses pengetahuan terkait prosedur pemungutan dan penghitungan suara sehingga anggota KPPS yang lain hanya mengikuti saja instruksi dari Ketua KPPS sebagai sumber informasi valid karena sudah mengikuti pelatihan oleh jajaran KPU di daerahnya. Belum lagi, juga didapati KPPS yang masih menggunakan rujukan pemilu-pemilu sebelumnya dalam menerapkan tata cara dan prosedur dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan menolak masukan dan kritik pemilih dengan alasan para KPPS tersebut sudah berpengalaman sejak lama sebagai anggota KPPS. e. Pemilih menggunakan Formulir A-5 (surat pindah memilih) menghadapi hambatan ketika hendak menggunakan hak pilihnya. Mereka diminta menunggu sampai pukul 12.00 waktu setempat seperti halnya pemilih yang menggunakan KTP/KK/Paspor. Pemilih menggunakan KTP KTP/KK/Paspor juga tak langsung dilayani dengan baik. Di beberapa tempat ada yang diminta membawa surat keterangan terlebih dahulu dari RW atau Kelurahan, sesuatu yang sesungguhnya tidak dipersyaratkan. Bagian ini juga melengkapi evaluasi atas hari pemungutan dan penghitungan suara. f. Adanya kebingungan dan ketidakkonsistenan KPPS dalam penentuan suara sah dan tidak sah. Terutama bila suara diberikan kepada calon dan partai sekaligus. Di beberapa TPS, suara pemilih tersebut dihitung dua kali, yaitu untuk partai dan untuk calon. Hal inilah yang menyebabkan penghitungan suara menjadi lama dan tidak konsistennya jumlah suara sah dan tidak sah dengan total jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Banyaknya varian suara sah (sampai 15 varian) banyak membuat kebingungan bagi pemilih dan KPPS. g. Masih ditemukan Sertifikat Penghitungan Suara di TPS atau Formulir C-1 yang tidak akurat dan valid. Salah satu hal yang dianggap menyebabkan hal ini adalah human error. Faktor human error ini cenderung terjadi pada tataran operasional di tingkat ad hoc. Faktor kelelahan, ketelitian, dan kompetensi, dianggap menjadi salah satu penyebabnya. Selain juga didapati adanya beberapa KPPS yang secara integritas memang memiliki keberpihakan kepada calon tertentu sehingga bersikap curang dalam pemungutan dan penghitungan suara. Selain itu, alasan yang juga mengemuka dari para petugas pemilu di lapangan adalah formulir penghitungan dan rekapitulasi suara dianggap terlalu banyak (jenisnya), rumit, dan sulit untuk diisi. h. Kenyataan yang juga seringkali ditemui, bahwa hasil C-1 berbeda-beda saat dilakukan rekapitulasi di tingkat selanjutnya. Hal ini disebabkan (dalam beberapa kasus) bukan KPPS yang menyalinkan hasil plano ke Sertifikat C-1 melainkan para 4
saksi diberikan blanko kosong dan mereka yang menyalin sendiri. Kemudian saat dilakukan rekapitulasi di tingkat selanjutnya akan terlihat ada perbedaan hasil, caleg akan protes, menuntut untuk membongkar kotak suara dan melakukan hitung ulang yang kemudian akan berdampak pada lamanya penyelenggaraan proses Pemilu Legislatif. i.
Ditemui daerah di Indonesia dengan tingkat suara tidak sah yang sangat tinggi, misalnya Banten II (Kab. Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon) yang mencatat suara tidak sah (invalid votes) mencapai 22,39% dari total suara yang diberikan pemilih (bandingkan dengan Bali 12,35% dan Gorontalo 4,06%). Ada beberapa alasan yang dikemukakan soal ini, pertama kebingungan dalam penentuan suara sah dan tidak sah karena terlalu banyaknya varian yang ditetapkan KPU, kedua, karena fenomena praktek politik uang membuat pemilih lalu mencoblos semua calon/peserta yang telah memberikan barang dan/atau jasa kepada pemilih, ketimbang memilih salah satunya saja.
Rekomendasi: Penguatan kapasitas berupa pelatihan dan bimbingan teknis bagi KPPS, PPS, dan PPK secara optimal. Beberapa permasalahan dan ketidakseragaman tata cara dan prosedur pemungutan dan penghitungan suara yang muncul saat Pemilu Legislatif lalu dikarenakan KPPS yang memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan kompetensi. Karenanya, untuk Pemilu Presiden, pelatihan dan bimbingan teknis bisa diberikan kepada seluruh anggota KPPS dengan dilengkapi buku panduan maupun alat bantu lainnya (video atau sejenisnya) yang dibagikan lebih awal, dengan bahasa yang mudah dipahami, dan menjawab hal-hal yang sering menjadi permasalahan di lapangan (misal kekurangan logistik, pemilih berpindah, dan memilih dengan KTP/KK/Paspor). Untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU perlu menegaskan pada jajaran penyelenggara pemilu dibawahnya hingga panitia ad hoc (KPPS, PPS, PPK) bahwa hasil penghitungan suara di TPS tidak boleh lagi ada faktor kesalahan manusia yang berdampak pada tidak akuratnya form C1 berikut proses rekap penghitungan suara. Untuk menihilkan kesalahan dalam penghitungan suara dan kesalahan penulisan Form C-1, KPU perlu membuat film/video simulasi penghitungan suara di TPS untuk Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, agar mengurangi kesalahan prosedur dan kecurangan. Dalam film/video tersebut harus dibuat tahap-tahap penghitungan suara beserta pembagian tugas di antara anggota KPPS (7 orang) sebagaimana yang jelas diatur dalam pemungutan suara. Demi menjaga kemurnian suara pemilih, KPU perlu secara tegas mengatur sanksi terhadap KPPS yang menyerahkan pengisian Form C-1 kepada saksi dari partai politik karena hal tersebut dapat dinilai sebagai bentuk kecurangan pemilu. Penguatan kapasitas berupa pelatihan dan bimbingan teknis bagi KPPS harus menekankan betul pada aturan yang berlaku pada pemilu kali ini juga soal keseragaman dan standar pelayanan kepada pemilih. Bahwa rujukan pengaturan bukan pada kebiasaan dari pemilu-pemilu sebelumnya tetapi didasarkan pada aturan yang berlaku sekarang berdasarkan Undang-Undang dan aturan yang ditetapkan KPU RI. Pembagian tugas antaranggota KPPS harus kembali ditegaskan, misalnya diperlukan satu petugas KPPS yang dikhususkan untuk melakukan quality control atau pengecekan atas penulisan perolehan suara di kertas plano maupun pengecekan hasil 5
di plano yang disalin dalam Sertifikat Penghitungan Suara di TPS yang dilakukan anggota KPPS yang lain. Evaluasi kinerja dan regenerasi anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS). KPU harus melakukan evaluasi dan regenerasi anggota KPPS yang dianggap bermasalah pada Pemilu Legislatif 2014 lalu. Evaluasi ini bisa didasarkan pada masukan dari Pengawas Pemilu sesuai tingkatannya, informasi dan masukan dari masyarakat atau peserta pemilu, maupun atas dasar temuan atau kasus-kasus yang langsung didapati oleh KPU dan jajarannya. KPU tidak boleh menolerir pelanggaran integritas yang dilakukan oleh KPPS. Jika berkaitan kompetensi mungkin bisa diperbaiki, namun jika integritas harus zero tolerance untuk itu. Berdasarkan riset yang ada, rekrutmen anggota KPPS yang berasal dari rekomendasi kepala desa membatasi keterlibatan perempuan dan menghambat regenerasi anggota KPPS (lihat riset Puskapol UI). Pengusulan melalui kepala desa ini berpotensi menghambat keterlibatan perempuan karena umumnya perempuan jarang memiliki kedekatan dengan kepala desa, disamping adanya perspektif kepala desa yang menganggap laki-laki lebih pantas sebagai penyelenggara pemilu. Hal ini pula yang menyebabkan rotasi keanggotaan penyelenggara pemilu di desa dan tempat pemungutan suara jarang terjadi. Peran kepala desa yang sangat besar dalam rekrutmen juga menyebabkan tidak terbukanya proses seleksi di bawah, dan cenderung menguatkan potensi dominasi orang-orang yang dekat dengan elite/tokoh di desa. Sehingga yang menjadi anggota KPPS umumnya adalah wajah-wajah lama. Maka KPU perlu mengeluarkan surat edaran tentang rekrutmen anggota KPPS agar dalam rekomendasi atau pengusulan oleh kepala desa harus menyertakan minimal 30% perempuan dan minimal 30% orang baru dari total calon anggota KPPS yang direkomendasikan. Dalam waktu ke depan, terkait proses pemungutan dan penghitungan suara, KPU perlu memikirkan dua hal. Pertama, KPU perlu melakukan riset untuk tujuan monitoring dan evaluasi tahap pemungutan dan penghitungan suara. Riset bisa berupa penyebaran angket untuk diisi oleh Ketua KPPS setelah selesai melaksanakan tugasnya. Hasil riset ini bermanfaat sebagai evaluasi dan perubahan kebijakan terkait misalnya jumlah pemilih dalam satu TPS, pemetaan TPS yang persentase tingkat pemilihnya tinggi atau rendah; dan sebagainya. Angket dikumpulkan oleh PPK, dan dikirimkan ke KPU Provinsi yang melakukan pengolahan data. Hasilnya disampaikan ke KPU untuk evaluasi dan kepentingan pembuatan kebijakan. Kedua, KPU perlu memikirkan untuk menyusun database anggota KPPS, anggota PPS, dan anggota PPK berdasarkan data terpilah (laki-laki dan perempuan). Penyusunan database dapat dilakukan oleh KPU kabupaten/kota, dan tersambung dengan database SDM di KPU RI. Database tersebut merupakan bagian dari pendataan sumber daya manusia (SDM) KPU secara keseluruhan, dimana database dapat digunakan sebagai basis data untuk mengadakan rekrutmen serta pelatihan penguatan kapasitas di antara waktu dua pemilu. Terkait dengan tingginya suara tidak sah (invalid votes) di sejumlah daerah, diusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan riset atau penelitian untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab tingginya suara tidak sah di daerah tersebut dan kemudian membuat rekomendasi perbaikan untuk pemilu selanjutnya. 6
Pemilu kredibel dan berintegritas bisa dibangun salah satunya karena adanya kepercayaan publik. Untuk menciptakan kepercayaan publik bisa dilakukan dengan memastikan transparansi dan keterbukaan proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara guna menghindari terjadinya kecurangan dan penyimpangan. Oleh sebab itu, petugas pemilu pada setiap tingkatan harus didorong untuk mengumumkan hasil pemilu sesuai waktu yang telah ditentukan dan memublikasikan Formulir C-1 secara online untuk memastikan transparansi hasil. 5. Akses Penyandang Disabilitas a. Jika para pemilih non-disabilitas ‘dikejar-kejar’ untuk pendaftaran pemilih jelang pemilu, berbeda dengan komunitas pemilih disabilitas, mereka cenderung proaktif gunakan hak pilihnya. Beberapa kelompok disabilatas seperti kelompok disabilitas intelektual, netra, daksa, dan tuna rungu wicara memang sudah diberi kemudahan untuk mendapatkan hak pilihnya. Namun bagi kelompok psikososial seperti schizophrenia dan paranoid masih menemui kesulitan untuk mendapatkan hak pilihnya. Hal ini disebabkan jika pada saat pendataan mereka kumat atau kambuh penyakitnya, petugas pendataan langsung mencoret nama mereka. Padahal sama seperti halnya orang mabuk, penderita gangguang kejiwaan hanya akan kumat kalau mereka terlambat minum obat. Jika sudah minum obat maka akan biasa saja seperti orang normal lainnya. Pada faktanya, Pemilu Legislatif 2014 ini banyak pasien-pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) tidak dapat menggunakan hak pilihnya. b. Banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang belum memberikan akses secara lengkap bagi para pemilih disabiltas. Hasil korespondensi kepada kelompok disabilitas menunjukan bahwa masih banyak ditemui TPS tidak akses dan bersahabat dengan kelompok disabilitas, seperti banyak petugas KPPS yang tidak memahami cara pendampingan, lokasi TPS bertangga-tangga atau di letakan di daerah “urugan” sehingga tidak rata, ataupun meja yang terlalu tinggi. Mestinya KPU bisa lebih optimal lagi dalam memberikan pendidikan pemilu akses bagi kelompok disabilitas kepada para KPPS. c. Berdasarkan pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Ditemukan TPS dimana KPPS-nya hanya memberikan surat suara DPD saja kepada penyandang disabilitas tuna netra karena hanya surat suara DPD yang memiliki template braile untuk tuna netra. Rekomendasi: Menyediakan akses yang lebih baik bagi pemilih dengan disabilitas dan meningkatkan pemahaman KPPS atas hak-hak penyandang disabilitas dalam pemungutan dan penghitungan suara melalui pelatihan maupun bimbingan teknis lainnya. Menciptakan akses yang lebih baik bagi para penyandang disabilitas ini dimulai dengan memastikan secara optimal mereka terdaftar sebagai pemilih saat proses pendaftaran pemilih, khususnya untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 mendatang. KPU/KPUD direkomendasikan menyediakan complaint desk/hot-line bagi penyandang disabilitas yang mengalami diskriminasi pada saat pencoblosan, karena, misalnya pembatasan pemberian surat suara DPD merupakan bentuk diskriminasi dan kecurangan pemilu oleh petugas pemilu (KPPS).
7
Jakarta, 30 Mei 2014 1. Prof. Dr. Ramlan Surbakti 2. Prof. Siti Zuhro, PhD 3. Ariani Soekanwo 4. Didik Supriyanto 5. Sri Budi Eko Wardani 6. M. Afifuddin 7. Kurniawan Zein 8. Sulastio 9. Diman Simanjuntak 10. Titi Anggraini 11. Khoirunnisa Agustyati
8