EVALUASI JENIS PENGOLAHAN TERHADAP DAYA TERIMA ORGANOLEPTIK PADA TELUR INFERTIL SISA HASIL PENETASAN
SKRIPSI
Oleh KHAERUNNISA I111 11 257
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 i
EVALUASI JENIS PENGOLAHAN TERHADAP DAYA TERIMA ORGANOLEPTIK PADA TELUR INFERTIL SISA HASIL PENETASAN
Oleh:
KHAERUNNISA I 111 11 257
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Khaerunnisa NIM
: I 111 11 257
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama Bab Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar,
Maret 2015
KHAERUNNISA
iii
HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi
:iEvaluasi Jenis Pengolahan terhadap Daya iiTerima Organoleptik pada Telur Infertil Sisa iiHasil Penetasan
Nama
: Khaerunnisa
Nomor Induk Mahasiswa : I 111 11 257 Fakultas
: Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Dr. Nahariah, S.Pt, M.P Pembimbing Utama
iv
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., atas rahmat dan taufikNya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis dengan rendah hati mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini utamanya kepada : 1. Ibu Dr. Nahariah, S.Pt, M.P. sebagai pembimbing utama dan Ibu Endah
Murpi Ningrum, S.Pt, M.P. selaku pembimbing anggota yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan nasihat serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 2. Kedua orang tua H. Muh. Arsyad dan Hj. Hawang yang telah memberikan doa, bantuan dan dukungan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Ibu Dr. Harfiah, S.Pt, M.P. selaku penasehat akademik yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis berstatus mahasiswa. 4. Prof. Dr .drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc., Dr. Fatma Maruddin, S.Pt, M.P., Dr. Ir. Wempie Pakiding, M.Sc. selaku Penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis. 5. Ketua Program Studi Teknologi Hasil Ternak Bapak Dr. Muhammad Irfan Said S.Pt, M.P dan Bapak Ketua Jurusan Produksi Ternak Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt. 6. Bapak Dekan Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc., Ibu Wakil Dekan I dan Ibu Wakil Dekan II serta Bapak Wakil Dekan III.
v
7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin terkhusus program studi teknologi hasil ternak. 8. Bapak/ibu staf tatausaha Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. 9. Kepada kelima kakak penulis Sitti Rahwa, SP., Muh. Anwar, Fatmawaty, S.Farm., Nurmawaty, S.Si. dan Muh. Asdar, S.Pd. yang selalu memberikan doa, bantuan dan dukungan kepada penulis. 10. Teman satu tim penelitian Azmi Mangalisu, Evo Tenri Ubba, Kiki Rezki Muchlis dan Rajma Fastawa terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian. 11. Sahabat serta teman satu kost Nur Amalia, Azmi Mangalisu, Ayu Prasetya dan Nurul Adha yang setia bertahan menemani dan mendukung penulis. 12. Teman kelas kecil awal kuliah (kelas B) tanpa terkecuali. Kepada Fitrah Ardyaningsih, Evy Harjuna Saad, Mustabsyirah, Nur Amalia, Azmi Mangalisu, Ayu Prasetya, Evo Tenri Ubba, Andi Faisal, Lohesti Rahayu, Kiki Rezki Muchlis, Nurul Adha, Harumi Bunga Kasih, Dian Hardianti, Syahriana Sabil, Andi Husmaentin, Asrianti, Suarti, St. Nur Ramadhani, Yuliana Padli, A. Nurfaini, Muhammad Rifki, Arfian Yunanda, Eko Pramono, Indirwan, Utomo Putra Santoso, Gunawan Busman, Hamri, Yusri, A.Makkarakalangi, Erwin Eko M. Saldi, Anugrah, Silva Indah Sari, Arie Bilman, Tri Sukma, Erik Sander, Irma Ramadhani dan Yosua, terima kasih telah menjadi teman yang baik dari awal kuliah hingga saat ini. 13. Rekan-rekan Solandeven 2011 terima kasih telah banyak menjadi inspirasi penulis untuk selalu belajar di tengah tingginya perbedaan di antara kita.
vi
14. HIMATEHATE_UH terima kasih atas segala pengorbanan, bantuan, pengertian, ilmu dan persahabatan selama ini. Kepada sahabat Andi Faisal, Muh. Qurnaldy Hakim, Rajma Fastawa, Andi Pancawati, Sri Hastuti Ningsih, Alifran Esarianto, Andi Muhammad Fuad, Abi Rangga Kanino, Fitrianingsih, Sitti Masita, Handayani, Sitti Sarah, Ahmad Yasir, Nur Aryati, dan Budi Utomo. 15. Kakanda Syamsuddin, S.Pt., Kakanda Arham Janwar, S.Pt., Kakanda Muhammad Amin, S.Pt., Kakanda Syachroni, S.Pt., Kakanda Andri Teguh Prabowo, Kakanda Haikal, Kakanda Lukman Hakim, terima kasih atas bantuan dan motivasinya kepada penulis. 16. SEMA FAPET-UH atas segala pengalaman dan ilmu yang telah diajarkan kepada penulis. 17. Kepada Rumput 07, Bakteri 08, Merpati 09, Lion 10, Matador 10, Situasi 10, Flock Mentality 012, Larva 013 dan Ant’ 014. 18. Teman-teman KKN Reguler UNHAS angkatan 87 khususnya Kecamatan Ponre, Kabupaten Bone. 19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, terima kasih telah membantu dan banyak menjadi inspirasi bagi penulis. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu diharapkan saran untuk perbaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi saya sendiri. Aamiin. Makassar, Maret 2015
Khaerunnisa vii
ABSTRAK KHAERUNNISA (I111 11 257). Evaluasi Jenis Pengolahan terhadap Daya Terima Organoleptik pada Telur Infertil Sisa Hasil Penetasan. Dibawah Bimbingan NAHARIAH sebagai pembimbing utama dan ENDAH MURPININGRUM sebagai pembimbing anggota.
Telur yang tidak dapat menetas disebut telur infertil. Telur infertil telur hanya dapat digunakan sebagai konsumsi rumah tangga. Pengolahan telur infertil umumnya adalah dengan direbus, belum banyak penelitian yang menggunakan metode lain seperti didadar dan digoreng. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya terima organoleptik panelis terhadap telur yang diolah menjadi telur rebus, telur dadar dan telur goreng (ceplok). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rataan kesukaan akan warna pada telur rebus sebesar 3,93 (suka), berbeda nyata dengan kesukaan akan warna telur dadar sebesar 4,6 (sangat suka) dan tidak ada perbedaan kesukaan warna telur rebus dan telur goreng sebesar 3,83 (suka). Nilai rataan kesukaan akan tekstur telur rebus sebesar 4,47 (sangat suka) berbeda nyata dengan kesukaan telur dadar sebesar 3,6 (suka) dan telur goreng atau ceplok sebesar 3,47 (suka). Nilai rataan aroma telur rebus sebesar 3,6 (suka), telur dadar sebesar 3,67 (suka) dan telur goreng (ceplok) sebesar 3,87 (suka). Nilai rataan cita rasa telur rebus sebesar 3,93 (suka), telur dadar sebesar 3,8 (suka) dan telur goreng (ceplok) sebesar 4,07 (suka). Perlakuan tidak memberikan kontribusi kesukaan panelis terhadap aroma dan cita rasa. Telur infertil yang diolah dengan cara direbus, didadar dan digoreng tidak berbeda pada cita rasa dan aroma, tetapi bila dilihat dari segi warna lebih disukai pada telur dadar dan dari segi tekstur lebih disukai pada telur rebus.
Kata Kunci: Telur Infertil, Telur Rebus, Telur Dadar, Telur Goreng (Ceplok), Daya terima Organoleptik.
viii
ABSTRACT KHAERUNNISA (I111 11 257). Evaluation of the Types of Processing to the Organoleptic Acceptability of the Infertile Eggs of Waste Hatchery. Guided by NAHARIAH as main supervisor and ENDAH MURPININGRUM as Co-supervisor.
Eggs which can not be hatching called infertile eggs. Infertile eggs only be used as household consumption. Infertile eggs processing generally was boiled, not much research using other methods such as omelette and fried. The purpose of this research was to know the organoleptic acceptability panelists to be processed eggs into boiled eggs, scrambled eggs and fried eggs. The studied using a completely randomized design (CRD). The results showed that the average value on hedonic of color of the boiled egg was 3.93 (like), significantly different with hedonic of color omelette was 4.6 (really like) and there was no difference with the hedonic of color of boiled egg and fried eggs was 3, 83 (like). The average value on hedonic of texture of boiled egg is 4.47 (really like) was significantly different from hedonic of omelette was 3.6 (like) and fried eggs of 3.47 (like). The average value of boiled egg flavor was 3.6 (like), omelette was 3.67 (like) and fried eggs was 3.87 (like). The average value of taste boiled egg was 3.93 (like), omelette was 3.8 (like) and fried eggs was 4.07 (like). The treatment does not contribute to the panelists hedonic flavor and taste. Infertile eggs that treated with boiled, scrambled and fried no different in taste and flavor, but if viewed from color, panelists prefer color of the omelette and prefer texture of the boiled eggs.
Keywords: Infertile Eggs, Boiled Eggs, Omelette Eggs, Fried Eggs, Organoleptic Acceptability.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................
x
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan ................................................................................................. Kegunaan .............................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Telur ....................................................................... Gambaran Umum Telur Infertil ............................................................ Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Terima .................................. Pengolahan Telur .................................................................................
3 4 6 8
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ............................................................................... Materi Penelitian .................................................................................. Metode Penelitian ................................................................................ Analisa Data ........................................................................................
12 12 12 17
HASIL DAN PEMBAHASAN Warna .................................................................................................. Tekstur................................................................................................. Aroma .................................................................................................. Cita Rasa..............................................................................................
18 20 21 23
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................... Saran....................................................................................................
26 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
27
x
LAMPIRAN ...............................................................................................
30
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
39
xi
DAFTAR TABEL No.
Halaman Teks
1. Pengaruh Cara Mengolah dan Hilangnya Protein Telur......................
9
2. Kriteria Skala Hedonik Cita Rasa ......................................................
14
3. Kriteria Skala Hedonik Aroma ..........................................................
14
4. Kriteria Skala Hedonik Warna ...........................................................
14
5. Kriteria Skala Hedonik Tekstur .........................................................
15
6. Nilai Rataan Daya Terima Organoleptik Telur Infertil pada berbagai Jenis Pengolahan ...............................................................................
18
xii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman Teks
1. Struktur Telur ....................................................................................
3
2. Telur Infertil ......................................................................................
6
3. Telur Rebus .......................................................................................
10
4. Telur Dadar .......................................................................................
10
5. Telur Goreng (Ceplok) ......................................................................
11
6. Diagram Alir Penelitian .....................................................................
16
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Tabel Anova dan Uji Lanjut LSD Warna pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. .................................................................
30
2. Tabel Anova dan Uji Lanjut LSD Tekstur pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. .................................................................
31
3. Tabel Anova dan Uji Lanjut LSD Aroma pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. .................................................................
33
4. Tabel Anova dan Uji Lanjut LSD Cita Rasa pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. .................................................................
33
5. Uji Panelis Telur Rebus, Telur Dadar dan Telur Goreng atau Ceplok pada Telur Infertil... ...........................................................................
34
6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian iEvaluasi Jenis Pengolahan terhadap Daya Terima Organoleptik pada Telur Infertil Sisa Hasil Penetasan....
37
xiv
PENDAHULUAN Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mengandung hampir semua zat makanan yang diperlukan oleh tubuh. Telur dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan pencampur berbagai olahan makanan, bahan dasar pembuatan tepung telur, obat, dan lain sebagainya. Telur merupakan solusi kekurangan gizi pada masalah gizi yang dihadapi sekarang. Suatu produk pangan harus disukai oleh konsumen dan untuk mengetahuinya maka perlu dilakukan pengujian. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui sejauh mana daya terima dari konsumen terhadap suatu produk. Uji organoleptik juga untuk menilai mutu suatu bahan pangan. Pengujian sifat organoleptik menggunakan uji mutu hedonik yaitu uji kesukaan yang lebih spesifik yang biasanya bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap daya terima mutu organoleptik yang umum, misalnya cita rasa, aroma, warna dan tekstur. Daya terima konsumen terhadap suatu produk didasari pada kesukaan akan produk yang dihasilkan. Telur infertil merupakan telur hasil seleksi (candling) dari perusahaan penetasan (hatchery) yang tidak memungkinkan untuk ditetaskan karena dalam proses produksinya telur tersebut tidak sempat terbuahi atau tidak bertunas. Telur infertil merupakan telur yang tidak dapat menetas dan hanya dipakai sebagai konsumsi rumah tangga. Telur infertil yang diperoleh dari proses candling pada saat penetasan telur menggunakan mesin tetas jumlahnya dapat mencapai 26,7% dari total telur yang masuk ke dalam mesin tetas. Apabila kapasitas mesin tetas
1
yang digunakan mencapai ribuan, maka telur infertil yang diperoleh juga akan banyak. Telur infertil memiliki keunggulan secara ekonomis karena memiliki harga yang relatif murah dibanding telur segar. Banyak orang yang telah menggunakan telur infertil sebagai komoditi alternatif telur konsumsi. Tetapi, selama ini belum diketahui bagaimana daya terima telur infertil pada berbagai jenis pengolahan. Pengolahan telur infertil umumnya adalah dengan direbus, belum banyak penelitian yang menggunakan metode lain seperti didadar dan digoreng. Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana telur infertil dapat diterima dengan berbagai jenis pengolahan maka perlu dilakukan penelitian mengenai evaluasi jenis pengolahan terhadap daya terima organoleptik pada telur infertil sisa hasil penetasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya terima organoleptik panelis terhadap telur yang diolah menjadi telur rebus, telur dadar dan telur goreng (ceplok) dengan menggunakan telur ayam ras infertil sisa hasil penetasan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberi informasi kepada masyarakat mengenai daya terima organoleptik telur yang diolah menjadi telur rebus, telur dadar dan telur goreng (ceplok) dengan menggunakan telur ayam ras infertil sisa hasil penetasan.
2
TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Telur Telur merupakan produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi tercapainya kecukupan gizi masyarakat. Sebutir telur memberikan gizi yang cukup sempurna karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap dan mudah dicerna. Selain itu, bahan pangan ini juga bersifat serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Kandungan gizi sebutir telur ayam dengan berat 50 g terdiri dari 6,3 g protein, 0,6 g karbohidrat, 5 g lemak, vitamin dan mineral (Sudaryani, 2003). Struktur telur secara detail dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Telur (Smith, 1997)
3
Telur merupakan salah satu bahan pangan yang paling praktis digunakan, kaya akan protein yang mudah dicerna dan tidak memerlukan pengolahan yang rumit. Kegunaan telur umumnya untuk lauk pauk, sehingga telur mempunyai peranan penting untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat terutama protein hewani (Hadiwiyoto, 1983). Telur merupakan produk ternak unggas yang memberikan sumbangan terbesar bagi terciptanya kecukupan gizi masyarakat karena telur mengandung gizi yang lengkap dan mudah tercerna (Sudaryani, 2003). Telur merupakan bahan pangan sempurna, karena mengandung zat gizi yang dibutuhkan untuk makhluk hidup seperti protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah cukup. Di masyarakat telur dapat disiapkan dalam berbagai bentuk olahan, harganya relatif murah, sangat mudah diperoleh dan selalu tersedia setiap saat (Indrawan et al., 2012). Telur merupakan bahan pangan yang sempurna karena kandungan gizi yang lengkap bagi pertumbuhan makluk hidup (Winarno dan Koswara, 2002). Telur merupakan solusi kekurangan gizi pada masalah gizi sekarang yang dihadapi. Telur bersifat ekonomis dan mudah didapat. Selain itu penanganan yang tepat dapat memperpanjang daya simpan telur segar dan pengawetan dengan pengolahan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas telur (Sudaryani, 2003). Gambaran Umum Telur Infertil Telur yang dihasilkan induk ayam dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu telur infertil dan telur fertile. Telur infertil disebut juga telur konsumsi yang merupakan
4
telur yang dihasilkan tanpa perkawinan. Telur ini tidak dapat menetas dan hanya dipakai sebagai konsumsi rumah tangga. Sedangkan telur fertile yang disebut juga dengan telur tetas adalah telur yang dihasilkan oleh induk ayam yang telah dikawini oleh pejantannya. Jenis ini memiliki daya tetas yang cukup tinggi (Sudradjad, 1995). Telur infertil dideteksi dengan cara diteropong (candling) menggunakan cahaya. Telur infertil akan tampak terang saat candling. Telur yang nampak terang saat proses candling sebenarnya tidak hanya telur infertil saja tetapi juga telur yang embrionya mengalami mati dini. Namun pada proses candling semua telur tampak terang disebut sebagai telur infertil karena penampakannya sama (Nuryati et al., 2002). Telur infertil merupakan telur hasil seleksi (candling) dari perusahaan penetasan (hatchery) yang tidak memungkinkan untuk ditetaskan karena dalam proses produksinya telur tersebut tidak sempat terbuahi atau tidak bertunas. Telur yang kosong atau mati (infertil) pada hari pemeriksaan pertama (hari ke 7), sebaiknya tidak dibuang karena masih cukup baik untuk dimakan atau dikonsumsi (Soedjarwo, 1991). Gambaran umum telur infertil disajikan pada Gambar 2.
5
Gambar 2. Telur Infertil (Anonim, 2011) Telur biasanya dimanfaatkan sebagai telur konsumsi dan sebagai bahan pada industri pengolahan pangan. Sebagai telur konsumsi, zat gizi di dalam telur tersebut perlu diperhatikan. Kandungan gizi telur ayam ras infertil pernah diteliti oleh Anggrahini dan Almunifah (2012), hasil dari penelitian ini adalah kandungan proksimat dan nilai kecernaan protein telur ayam ras infertil tidak mengalami perubahan hingga pemeraman hari ke-10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Terima Makanan yang bergizi tidak bermanfaat apabila tidak dimakan dan diterima dengan baik (Moehyi, 1992). Menurut Gregoire et al. (2007), daya terima suatu makanan dapat diukur dengan menggunakan sisa makanan di piring (plate waste). Sisa makanan sering ditimbang untuk menyediakan data secara kuantitatif
yang
dapat
digunakan di
berbagai
studi,
khususnya
pada
penyelenggaraan makan siang di sekolah. Sisa makanan ini dapat digunakan untuk menimbang jumlah menu yang tidak dimakan pada individu/kelompok atau total sisa makanan.
6
Menurut Moehyi (1992), daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan melalui berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera penciuman, dan indera pengecap. Penampilan makanan ketika disajikan dapat
mempengaruhi selera
makan. Faktor-faktor yang menentukan penampilan makanan antara lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa makanan (Palacio dan Theis, 2009), selain itu juga dipengaruhi oleh porsi, penyajian makanan, dan penghias hidangan (Moehyi, 1992). Warna merupakan daya tarik dari suatu makanan. Setidaknya dalam suatu hidangan makanan harus terdiri dari dua atau tiga warna makanan yang berbeda. Sayuran hijau dapat dikombinasikan dengan ikan dan kentang yang dipanggang, juga dapat menggunakan tomat dan lobak sebagai garnish (Palacio dan Theis, 2009). Kombinasi warna yang menarik dapat meningkatkan penerimaan terhadap makanan dan secara tidak langsung menambah nafsu makan (Sinaga, 2007). Marotz (2005) juga menyatakan bahwa warna merupakan komponen sensori yang paling berpengaruh, terutama bagi anak sekolah yang senang dengan warna-warni yang menarik. Penyajian makanan juga merupakan aspek yang dapat mempengaruhi indera penglihatan. Hal ini dikarenakan penyajian merupakan hal pertama yang terlihat dari suatu makanan, sehingga diperlukan penyajian yang baik dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Sinaga, 2007). Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan (Moehyi, 1992). Komponen-komponen yang berperan dalam menentukan rasa makanan antara lain aroma, bumbu dan
7
penyedap, keempukan, kerenyahan, tingkat kematangan, serta temperatur makanan. Variasi berbagai rasa dalam suatu makanan lebih disukai daripada hanya terdiri dari satu rasa (Palacio dan Theis, 2009). Rasa maka asin, asam, pahit dan manis. Perpaduan rasa dengan perbandingan yang sesuai menimbulkan rasa yang enak dalam suatu makanan (Sinaga, 2007). Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera (Sinaga, 2007). Variasi dalam pengolahan makanan juga harus diperhatikan dalam perencanaan suatu menu makanan. Pengolahan makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti digoreng, dibakar, ditumis, ditim, dan sebagainya (Palacio dan Theis, 2009). Uji organoleptik dikenal dengan istilah evaluasi atau analisis sensori. Evaluasi sensori didefinisikan sebagai pengukuran ilmiah untuk mengukur, menganalisa karakteristik bahan yang diterima oleh indra penglihatan, pencicipan, penciuman, perabaan dan pendengaran, serta menginterpretasikan reaksi yang diterima akibat proses pengindraan tersebut. Dengan demikian pengukuran tersebut melibatkan manusia (panelis) sebagai alat ukur (Adawiyah dan Waysima, 2009). Pengolahan Telur Pada umumnya masyarakat mengolah telur menjadi telur dadar, telur rebus, campuran dalam pembuatan kue, telur asin dan lain-lain (Suryatno et al., 2012). Menggoreng adalah cara umum yang dilakukan konsumen karena dapat meningkatkan cita rasa, warna, aroma, bentuk tekstur dan penampilan yang lebih
8
baik pada produk akhirnya, selain itu telur juga lazim diolah dengan cara direbus (Rahardjo, 2004). Kesalahan dalam mengolah telur tidak saja mempengaruhi rasa, tetapi juga mengubah sifat telur menjadi padat karena pemanasan atau tercampur bahan lain. Perubahan ini mengakibatkan kandungan protein telur dan vitamin ikut pula berubah, tergantung cara, tinggi suhu, lama pengolahan dan alat yang digunakan. Pengolahan telur yang terbaik adalah direbus selama 15 menit sesudah air mendidih. Dengan cara ini hampir tidak ada protein telur yang hilang. Cara pengolahan telur juga mempunyai pengaruh terhadap lama daya cerna. Telur rebus akan meninggalkan saluran pencernaan setelah 2 jam konsumsi, sedangkan telur mentah, goreng, dadar, orak-arik, berada dalam saluran pencernaan sekitar 3,5 jam. Tetapi perbedaan waktu dalam saluran pencernaan tidak berpengaruh terhadap daya cerna protein (Mutidjo, 1988). Tabel 1. Pengaruh Cara Mengolah dan Hilangnya Protein Telur Keterangan Cara Memasak Direbus utuh dengan kulit Digoreng api kecil Didadar Direbus tanpa kulit Digoreng api besar Dadar orak-arik Sumber: Romanoff dan Romanoff (1963)
Protein yang Hilang (%) 0,00 1,50 3,00 7,50 8,90 13,50
Telur rebus (boillling eggs) yaitu telur yang dimasak dalam bahan cair pada suhu 100°C. Bahan cair yang digunakan bisa air, susu, kaldu atau anggur. Untuk membuat
telur rebus didihkan air terlebih dahulu kemudian telur di
masukkan ke dalamnya (Erawati, 2006). Gambaran umum telur rebus disajikan pada Gambar 3.
9
Gambar 3. Telur Rebus (Nurdin, 2014) Telur dadar (omelette) yaitu telur yang dipecahkan dan diaduk hingga bagian putihnya campur dengaan bagian kuningnya lalu dimasak dengan dengan minyak sedikit, kemudian bentuk atau digulung (Erawati, 2006). Gambaran tentang telur dadar disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Telur Dadar (Harmandini, 2012) Telur Goreng (fried eggs) dapat dibuat menjadi tiga macam yaitu telur goreng bolak balik matang, telur goreng mata sapi dan telur goreng bolak balik lembek (Erawati, 2006). Gambaran tentang telur goreng atau ceplok disajikan pada Gambar 5.
10
Gambar 5. Telur Goreng atau Ceplok (Adi, 2013) Berdasarkan penelitian Ningrum dan Hatta (2014) mengenai karakteristik organoleptik abon telur ayam dengan penambahan daging buah semu jambu mete sebagai bahan pengisi menunjukkan bahwa keadaan telur infertil memberikan nilai tekstur dan kesukaan abon telur ayam yang lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan telur segar. Hasil penelitian Anggrahini dan Almunifah (2012) menunjukkan bahwa kandungan proksimat dan nilai kecernaan telur infertil dengan lama pemeraman 5, 7 dan 10 hari memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Pada penguijian sifat organoleptik juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol sehingga telur infertil masih cukup disukai untuk dijadikan telur konsumsi.
11
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Januari 2015, bertempat di PT. Japfa Comfeed Tbk. Cabang Maros, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging dan Telur Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panci, kompor, mangkok, piring, sendok, wajan dan spatula. Bahan yang digunakan adalah telur ayam ras infertil masa pengeraman 9 hari, air, dan minyak. Metode Penelitian A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 15 kali ulangan. Tiap ulangan membutuhkan 3 butir telur. Total telur yang digunakan adalah 135 butir. Rancangan tersebut terdiri atas : A1. Telur rebus A2. Telur dadar A3. Telur goreng atau ceplok B. Prosedur Penelitian Telur infertil yang digunakan diperoleh dari PT. Japfa Comfeed Tbk. Cabang Maros. Telur infertil sebelum digunakan dibersihkan terlebih dahulu
12
dengan cara dilap dengan tissue setelah itu siap untuk diolah menjadi telur rebus, telur dadar dan telur goreng atau ceplok. Pembuatan telur rebus : Letakkan telur mentah dalam panci yang berisi air. Telur dimasak pada suhu 100°C selama 15 menit agar telur matang. Angkat telur menggunakan sendok dan biarkan beberapa saat supaya telur tersebut tidak panas lagi, selanjutnya rendam telur dalam air dingin untuk memudahkan pengupasan kulit. Pembuatan telur dadar : Pecahkan telur lalu kocok hingga bagian putihnya bercampur dengan bagian kuningnya lalu masukkan ke dalam wajan yang berisi sedikit minyak. Kemudian balik setelah 30 detik lalu angkat setelah 14 detik. Pembuatan telur goreng : Pecahkan telur tanpa dikocok kemudian masukkan ke dalam wajan yang berisi sedikit minyak, kemudian balik setelah 1 menit 30 detik lalu angkat 30 detik kemudian. C. Parameter yang Diukur Pengujian Mutu Hedonik Mutu hedonik dilakukan dengan meminta panelis mengungkapkan tanggapan tentang tingkat kesukaan dan ketidaksukaan terhadap produk (Setyaningsih et al., 2010) (Lampiran 5). Adapun cara penilaiannya adalah sebagai berikut : 1. Kesukaan Berdasarkan Kriteria Cita Rasa Uji organoleptik telur infertil yang dilakukan yaitu respon kesukaan akan cita rasa. Uji organoleptik ini menggunakan metode uji hedonik yang dilakukan oleh 15 orang panelis. Adapun kriteria penilaian disajikan pada Tabel 2.
13
Tabel 2. Kriteria Skala Hedonik Cita Rasa Kesukaan Cita Rasa Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka Sumber : Kartika et al. (1998)
Skala Kriteria Numerik 5 4 3 2 1
2. Kesukaan Berdasarkan Kriteria Aroma Uji organoleptik telur infertil yang dilakukan yaitu respon kesukaan akan aroma. Uji organoleptik ini menggunakan metode uji hedonik yang dilakukan oleh 15 orang panelis. Adapun kriteria penilaian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria Skala Hedonik Aroma Kesukaan Aroma Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka Sumber : Kartika et al. (1998)
Skala Kriteria Numerik 5 4 3 2 1
3. Kesukaan Berdasarkan Kriteria Warna Uji organoleptik telur infertil yang dilakukan yaitu respon kesukaan akan warna. Uji organoleptik ini menggunakan metode uji hedonik yang dilakukan oleh 15 orang panelis. Adapun kriteria penilaian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kriteria Skala Hedonik Warna Kesukaan Warna Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka Sumber : Kartika et al. (1998)
Skala Kriteria Numerik 5 4 3 2 1
14
4. Kesukaan Berdasarkan Kriteria Tekstur Uji organoleptik telur infertil yang dilakukan yaitu respon kesukaan akan tekstur. Uji organoleptik ini menggunakan metode uji hedonik yang dilakukan oleh 15 orang panelis. Adapun kriteria penilaian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kriteria Skala Hedonik Tekstur Kesukaan Tekstur Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka Sumber : Kartika et al. (1998)
Skala Kriteria Numerik 5 4 3 2 1
15
Diagram alir pembuatan telur rebus, telur dadar dan telur goreng sebagai berikut :
Telur Infertil
Masukkan dalam panci yang berisi air
Pecahkan telur lalu kocok hingga bercampur
Pecahkan telur tanpa dikocok
Didihkan pada suhu 100°C selama 15 menit
Masukkan ke dalam wajan yang berisi sedikit minyak. Kemudian balik lalu angkat.
Masukkan ke dalam wajan yang berisi sedikit minyak Angkat setelah matang.
Telur rebus
Telur dadar
Telur goreng
Daya terima organoleptik (uji hedonik) (
Cita rasa
Aroma
Warna
Tekstur
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian
16
Analisa Data Data yang diperoleh pada penelitian ini diolah dengan
menggunakan
Analisis Ragam berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) (Gaspersz, 1991) dengan 3 perlakuan 15 ulangan. Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + τi + εij i = 1, 2, 3…i = perlakuan j = 1, 2, 3…j = ulangan Keterangan : Yij = variable respon pengamatan µ = nilai rata – rata hasil pengamatan τi = pengaruh jenis pengolahan telur infertil ke-i εij = Pengaruh galat percobaan dari jenis pengolahan telur infertil ke-i dan ulangan ke-j Selanjutnya jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Gaspersz, 1991).
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis yang diperoleh dari uji daya terima organoleptik meliputi cita rasa, aroma, warna dan tekstur telur infertil yang diolah menjadi telur rebus, telur dadar dan telur goreng atau ceplok disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Rataan Daya Terima Organoleptik Telur Infertil pada berbagai iJenis Pengolahan Perlakuan
Parameter Warna Tekstur Aroma Cita Rasa
Telur Rebus 3,93 ± 0,59a 4,47 ± 0,64b 3,6 ± 0,83 3,93 ± 0,70
Telur Dadar 4,6 ± 0,51b 3,6 ± 0,74a 3,67 ± 0,82 3,8 ± 0,68
Rata-rata Telur Goreng (Ceplok) 3,83 ± 0,79a 3,47 ± 0,52a 3,87 ± 0,64 4,07 ± 0,8
4,12 ± 0,72 3,84 ± 0,77 3,71 ± 0,76 3,93 ± 0,72
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata(P<0.05). 1 = Sangat Tidak Suka 2 = Tidak Suka 3 = Agak Suka 4 = Suka 5 = Sangat Suka
Warna Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan pengolahan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kesukaan akan warna telur infertil pada berbagai jenis pengolahan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa nilai rataan kesukaan akan warna pada telur rebus sebesar 3,93 (suka), berbeda nyata dengan kesukaan akan warna telur dadar sebesar 4,6 (sangat suka) dan tidak ada perbedaan kesukaan warna telur rebus dan telur goreng sebesar 3,83 (suka). Warna telur dadar berbeda nyata disukai dibanding telur goreng. Data hasil penelitian pada Tabel 6. menunjukkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa warna telur dadar lebih disukai oleh panelis dibanding telur rebus dan telur goreng atau ceplok. Warna telur dadar lebih disukai oleh panelis karena memiliki warna kuning terang dan lebih menarik.
18
Telur dadar mengalami waktu pemasakan yang paling sebentar dan menghasilkan warna yang paling disukai. Hal ini sesuai Auliana (2001) bahwa tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng, juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan. Makanan yang diproses dengan penggorengan akan mempunyai warna yang lebih baik. Proses pengocokan (penyatuan kuning dan putih telur) mempengaruhi warna telur menjadi lebih menarik. Hal ini sesuai dengan Kartika et al. (1988) menyatakan bahwa produk pangan yang memiliki warna yang menarik akan berpeluang besar dibeli konsumen. Pengaruh warna terhadap penerimaan konsumen merupakan salah satu pelengkap kualitas yang penting sehingga dapat mengisyaratkan produk berkualitas. Warna yang dihasilkan tergantung dari suhu dan lama penggorengan yang dilakukan. Semakin lama waktu yang digunakan dalam penggorengan menyebabkan proses oksidasi pada minyak akan semakin meningkat yang akan menyebabkan perubahan warna pada minyak menjadi gelap dan akan mempengaruhi warna hasil penggorengan. Hal ini sesuai pernyataan De Man (1986) yang menyatakan bahwa perubahan warna pada proses pengolahan seperti penggorengan disebabkan oleh reaksi maillard, dan non enzimatis. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986), bahwa timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu penggorengan dan juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil.
19
Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan dari makanan, seperti perlakuan penyimpanan yang memungkinkan adanya perubahan warna. Oleh karena itu untuk mendapatkan warna yang sesuai dan menarik harus digunakan teknik memasak tertentu atau dengan penyimpanan yang baik (Meilgaard et al., 2000). Tekstur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kesukaan akan tekstur telur infertil pada berbagai jenis pengolahan yang dilakukan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa nilai rataan kesukaan akan tekstur telur rebus sebesar 4,47 (sangat suka) berbeda nyata dengan kesukaan telur dadar sebesar 3,6 (suka) dan telur goreng atau ceplok sebesar 3,47 (suka). Hasil penelitian pada Tabel 6. menunjukkan bahwa tekstur telur rebus lebih disukai oleh panelis karena memiliki tekstur yang lembut. Tekstur telur rebus lebih lembut dibandingkan dengan telur dadar dan telur goreng (ceplok) karena telur rebus memiliki kandungan air yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Kastaman et al. (2004), perubahan tekstur telur terjadi karena semakin sedikit kandungan air maka tekstur telur akan semakin keras. Metode pemasakan dengan cara direbus menghasilkan kadar air yang tinggi dibanding perlakuan metode pemasakan lainnya. Hal ini disebabkan pada saat perebusan, air sebagai media penghantar panas masuk ke dalam jaringan telur. Hal ini sesuai dengan Winarno (1997) bahwa proses perebusan, ketika media air menjadi panas maka panas ini akan dipindahkan kepada bahan makanan
20
yang menyebabkan perubahan jaringan pada bahan makanan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya kadar air pada perlakuan metode pemasakan dengan cara direbus. Pengolahan dengan cara didadar dan digoreng (ceplok) teksturnya agak padat dan kasar karena memiliki kandungan air yang sedikit dan karena penggunan minyak goreng. Hal ini sesuai dengan Nurmala et al. (2014) bahwa selama proses menggoreng berlangsung, sebagian minyak masuk ke bagian kerak dan bagian luar bahan pangan kemudian mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air. Menurut Meilgaard et al. (2000), faktor tekstur diantaranya adalah rabaan oleh tangan, keempukan, kemudahan dikunyah serta kerenyahan makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat mempengaruhi kualitas tekstur makanan yang dihasilkan. Tekstur pada suatu bahan pangan akan mempengaruhi citra rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Perubahan tekstur juga akan mempengaruhi aroma dan rasa yang akan ditimbulkan (Zulaekah dan Widyaningsih, 2005). Aroma Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap kesukaan akan aroma telur infertil pada berbagai jenis pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa kesukaan pada aroma telur dari ketiga perlakuan sama, yaitu ketiganya sama-sama disukai oleh panelis. Data hasil penelitian pada Tabel 6. menunjukkan bahwa nilai rataan aroma telur rebus sebesar 3,6 (suka), telur dadar sebesar 3,67 (suka) dan telur goreng
21
(ceplok) sebesar 3,87 (suka). Hasil penelitian menunjukkan bahwa panelis suka dengan telur rebus, telur dadar dan telur goreng atau ceplok karena memiliki aroma yang harum dan tidak amis. Hal ini sesuai dengan Kartika et al. (1988) menyatakan bahwa pengujian bau atau aroma adalah salah satu pengujian yang penting karena dapat memberikan hasil penilaian terhadap daya terima produk tersebut. Aroma adalah bau yang sangat subyektif serta sulit diukur, karena setiap orang mempunyai sensitivitas dan kesukaan yang berbeda. Meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi setiap individu memiliki kesukaan yang berlainan (Meilgaard et al., 2000). Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan setiap makanan berbeda-beda. Selain itu, cara memasak yang berbeda akan menimbulkan aroma yang berbeda pula (Moehyi 1992). Faktor lain yang berpengaruh terhadap aroma yakni proses penggorengan. Selama proses penggorengan, selain terjadi pengurangan kadar air yang akan digantikan oleh minyak, juga akan menimbulkan perubahan warna, aroma, tekstur dan cita rasa serta terbentuknya senyawa volatile yang umumnya berasal dari senyawa aromatik. Aroma yang diperoleh merupakan kandungan flavour alami pada minyak dan hasil reaksi dengan bahan pangan yang digoreng. Bau alami minyak ini diperoleh dari kandungan beta ionone pada minyak sawit yang akan mempengaruhi aroma hasil gorengan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986), bahwa pemanasan minyak selama
proses penggorengan dapat
22
menghasilkan persenyawaan yang dapat menguap. Komposisi persenyawaan yang dapat menguap terdiri dari alkohol, ester, lakton, aldehida keton dan senyawa aromatik. Jumlah persenyawaan yang dominan jumlahnya yakni aldehid termasuk di-enal yang mempengaruhi bau khas hasil penggorengan. Selain itu, pada proses pengorengan akan menyebabkan perubahan aroma dan flavor sebagai akibat dari perubahan senyawa tertentu pada minyak dan hasil gorengan, semakin lama waktu yang digunakan pada penggorengan akan menyebabkan suhu semakin tinggi dan akan menyebabkan terjadi off flavour (penggosongan) yang berhubungan dengan aroma hasil penggorengan. Indra pembau adalah instrument yang paling berperan untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap aroma. Dalam industri makanan pengujian terhadap bau dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan hasil penelitian terhadap suatu produk. Dalam pengujian indrawi, bau lebih kompleks dari pada rasa. Bau atau aroma akan mempercepat timbulnya rangsangan kelenjar air liur. Aroma berhubungan dengan indra pembau yang berfungsi untuk menilai produk. Bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan. Pada umumnya, bau diterima oleh hidung. Ada 4 macam bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Setyaningsih et al., 2009). Cita Rasa Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap kesukaan akan cita rasa telur infertil pada berbagai jenis pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa cita rasa pada ketiga jenis pengolahan
23
yang dilakukan sama-sama disukai oleh panelis. Perlakuan tidak memberikan kontribusi kesukaan panelis terhadap cita rasa. Data hasil penelitian pada Tabel 6. menunjukkan bahwa nilai rataan cita rasa telur rebus sebesar 3,93 (suka), telur dadar sebesar 3,8 (suka) dan telur goreng (ceplok) sebesar 4,07 (suka). Hasil penelitian menunjukkan bahwa panelis suka dengan telur rebus, telur dadar dan telur goreng (ceplok) karena ketiganya memiliki cita rasa yang enak. Hal ini sesuai dengan Winarno (1997) menyatakan bahwa rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Pengolahan dengan pemanasan memberikan pengaruh terhadap cita rasa pada makanan yaitu cenderung lebih disukai. Hal ini sesuai dengan Winarno (1997) menyatakan bahwa teknik pengolahan dengan pemanasan mampu menghasilkan produk yang memiliki cita rasa yang luar biasa dibandingkan dengan teknik lain. Namun demikian Kinsman et al. (1994) menyatakan bahwa pengolahan dengan panas dapat menyebabkan zat gizi menurun bila dibandingkan dengan bahan segarnya. Evaluasi bau dan rasa sangat tergantung pada panel cita rasa dan aroma pada makanan selama pengolahan (Lawrie,1995). Cita rasa dapat dipengaruhi oleh pemanasan atau pengolahan yang dilakukan sehingga mengakibatkan degradasi penyusun cita rasa dan sifat fisik bahan makanan (Herliani, 2008). Rasa merupakan faktor yang paling penting dalam mengambil keputusan terakhir untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun warna, aroma dan tekstur baik namun jika rasanya tidak enak maka konsumen akan menolak
24
makanan tersebut. Menurut Bambang et al. (1998), rasa merupakan faktor yang paling penting dari produk makanan di samping warna dan aroma. Setiap bahan makanan akan memiliki rasa yang khas sesuai dengan sifat bahan itu sendiri atau adanya zat lain yang ditambahkan pada saat proses pengolahan sehingga rasa aslinya menjadi berkurang atau bahkan lebih baik.
25
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telur infertil yang diolah dengan cara direbus, didadar, digoreng tidak berbeda pada cita rasa dan aroma, tetapi bila dilihat dari segi warna lebih disukai pada telur dadar dan dari segi tekstur lebih disukai pada telur rebus. Saran Pemanfaatan telur infertil sebagai telur konsumsi dapat dilakukan pada berbagai jenis pengolahan tergantung daya terima organoleptik yang ingin dikembangkan. Pengembangan produk berbasis olahan perlu memperhatikan daya terima organoleptik yang akan dikembangkan.
26
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, D.R. dan Waysima. 2009. Evaluasi Sensori Produk Pangan. Edisi 1. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Adi, S. 2013. Gambar Telur Goreng Ceplok. http://galerigizi.com. Diakses pada 4 Desember 2014. Anggrahini, S. dan Almunifah, M. 2012. Karakteristik dan Uji Sifat Organoleptik Telur Ayam Ras Infertil sebagai Telur Konsumsi. Laporan Akhir Penelitian Hibah Kolaborasi Dosen-Mahasiswa. UGM. Yogyakarta. Anonim. 2010. Telur Infertil. http://mesin-tetas-cuf.blogspot.com. Diakses pada 23 Desember 2014. Auliana, R. 2001. Gizi dan Pengolahan Pangan. Adicita Karya Nusa. Yogyakarta. Bambang, K., H. Pudji dan S. Wahyu. 1998. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Damayanthi, E. 1994. Pengaruh Pengolahan terhadap Zat Gizi Bahan Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. De Man J.M. 1997. Kimia Pangan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB Bandung. Bandung. Erawati, T. 2006. Penerapan “Kompetensi Menyiapkan, Mengolah, Menata dan Menyimpan Hidangan dari Sayuran, Telur dan Pasta” pada Pelaksanaan Praktek Kerja Industri Di Kitchen Hotel dan Restoran. Skripsi. Universitas Pendidikan. Bandung. Gaspersz, V.1991. Metode Rancangan Percobaan. Armico. Bandung. Gregoire, B. Mary dan M.C. Spears. 2007. Foodservice Organization, A Managerial and System Approach. 6th Edition. Pearson. Prentice Hall. New Jersey. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogjakarta. Harmandini, F. 2012. Gambar Telur Dadar. http://www.tribunnews.com. Diakses pada 4 Desember 2014. Herliani, L. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Alfabeta. Bandung.
27
Indrawan, I.G., I. M. Sukada dan I.K. Suada. 2012. Kualitas Telur dan Pengetahuan Masyarakat tentang Penanganan Telur Di Tingkat Rumah Tangga. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Bali. 1(5) : 607 – 620. Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kastaman, R., Sudaryanto dan B.H. Nopianto. 2004. Kajian proses pengasinan telur metode reverse osmosis pada berbagai lama perendaman. Jurnal Teknologi Ind Pert.19(1): 30-39. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Kinsman, D. M., A. W. Kotula and B. C. Breindenstein. 1994. Muscle Food, Meat, Poultry and Seafood Technology. Chapman and Hall. London. Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh Parakkasi, A. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Marotz, L.R., M.Z. Cross dan J.M. Rush. 2005. Health, Safety, and Nutrition for Young Child. 6th Edition. The Thompson Coorporation. USA. Meilgaard, M., G.V. Civille dan B.T. Carr. 2000. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press. Boca Raton. Florida. Moehyi, S. 1992. Makanan Intitusi dan Jasa Boga. Bhratara. Jakarta. Mutidjo, B.A. 1988. Mengolah Itik. Kanisius. Yogyakarta. Ningrum, E.M. dan W. Hatta. 2014. Karakteristik Organoleptik Abon Telur Ayam dengan Penambahan Daging Buah Semu Jambu Mete sebagai Bahan Pengisi. Laporan Penelitian. Universitas Hasanuddin. Makassar. Nurdin, R. 2014. Gambar Telur Rebus. http://www.duniamedika.com. Diakses pada 4 Desember 2014. Nurmala, I., O. Rachmawan dan L. Suryaningsih. 2014. Pengaruh Metode Pemasakan terhadap Komposisi Kimia Daging Itik Jantan Hasil Budidaya secara Intensif. Laporan penelitian. Universitas Padjadjara. Bandung. Nuryati, T. Sutarto, M. Khamim, dan P.S. Hardjosworo. 2002. Sukses Menetaskan Telur. Cetakan keempat. Penebar Swadaya. Jakarta.
28
Palacio dan Theis. 2009. Introduction to Food Service. Edisi ke-11. Pearson Education. Ohio. Raharjo, S. 2004. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Romanoff, A.L. dan A.J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Wileyy and Sons. INC. New York. Setyaningsih, D., A. Apriyantono dan M. P. Sari. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor. Setyaningsih, E., E. Purwani dan D. Sarbini. 2009. Perbedaan kadar kalsium, albumin dan daya terima pada selai cakar ayam dan kulit pisang dengan variasi perbandingan kulit pisang yang berbeda. Jurnal Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2(1) : 27-37. Sinaga. 2007. Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah, Diktat Pelatihan Gizi untuk Anak Sekolah. Yayasan Gizi Kuliner. Jakarta. Smith, T.W. 1997. Protozoan Diseases. Poultry Science Home Page Collage of agriculture and life Science. Misssissippi State University. Misssissippi. Soedjarwo. 1991. Penetasan. Fakultas Universitas Brawijaya. Malang. Sudaryani. 2003. Kualitas Telur. Cetakan keempat. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudradjad. 1995. Beternak Ayam Cemani. Penebar Swadaya. Jakarta. Suryatno, H., Basito dan E. Widowati. 2012. Kajian organoleptik, aktivitas antioksidan, total fenol pada variasi lama pemeraman pembuatan telur asin yang ditambah ekstrak jahe (Zingiber officinale roscoe). Jurnal Teknosains Pangan. Universitas Sebelas Maret. 1(1) : 118-125. Winarno . F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustakan Utama, Jakarta. Winarno, F.G. dan S. Koswara. 2002. Telur : Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya. M-Brio Press. Bogor. Zulaekah, S. dan E.N. Widiyaningsih. 2005. Pengaruh konsentrasi ekstrak daun teh pada pembuatan telur asin rebus terhadap jumlah bakteri dan daya terimanya. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 6(1) : 1-13.
29
LAMPIRAN Lampiran 1. Tabel Anova dan Uji Lanjut LSD Warna pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. ANOVA Dependent Variable:WARNA Type III Sum of Squares
Source
Df
Mean Square
5.211a
2
764.672
1
5.211
2
2.606
Error
17.367
42
.413
Total
787.250
45
22.578
44
Corrected Model Intercept PERLAKUAN
Corrected Total
2.606
F
Sig.
6.301
.004
764.672 1.849E3
.000
6.301
.004
a. R Squared = .231 (Adjusted R Squared = .194)
LSD Dependent Variable:WARNA Mean (I) (J) Difference Perlakuan Perlakuan (I-J) LSD A1
A2
A3
95% Confidence Interval Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
A2
-.6667*
.23480
.007
-1.1405
-.1928
A3
.1000
.23480
.672
-.3739
.5739
A1
.6667*
.23480
.007
.1928
1.1405
A3
.7667*
.23480
.002
.2928
1.2405
A1
-.1000
.23480
.672
-.5739
.3739
A2
*
.23480
.002
-1.2405
-.2928
-.7667
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .413. *. The mean difference is significant at the .05 level.
30
Descriptive Statistics Dependent Variable:WARNA PERLAKUAN
Mean
Std. Deviation
N
A1
3.9333
.59362
15
A2
4.6000
.50709
15
A3
3.8333
.79433
15
Total
4.1222
.71633
45
Lampiran 2. Tabel Anova dan Uji Lanjut LSD Tekstur pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. ANOVA Dependent Variable:TEKSTUR Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
4.422
10.883
.000
665.089
1
665.089
1.637E3
.000
8.844
2
4.422
10.883
.000
Error
17.067
42
.406
Total
691.000
45
25.911
44
Corrected Model Intercept PERLAKUAN
Corrected Total
8.844
a. R Squared = .341 (Adjusted R Squared = .310) LSD Dependent Variable:TEKSTUR
Mean (I) (J) Difference Perlakuan Perlakuan (I-J) Std. Error LSD A1
A2
95% Confidence Interval Sig.
Lower Bound
Upper Bound
A2
.8667*
.23277
.001
.3969
1.3364
A3
1.0000*
.23277
.000
.5303
1.4697
A1
-.8667*
.23277
.001
-1.3364
-.3969
A3
.1333
.23277
.570
-.3364
.6031
31
A3
A1
-1.0000*
.23277
.000
-1.4697
-.5303
A2
-.1333
.23277
.570
-.6031
.3364
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .406. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Descriptive Statistics Dependent Variable:TEKSTUR PERLAKUAN
Mean
Std. Deviation
N
A1
4.4667
.63994
15
A2
3.6000
.73679
15
A3
3.4667
.51640
15
Total
3.8444
.76739
45
Lampiran 3. Tabel Anova Aroma pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. ANOVA Dependent Variable:AROMA Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
.578a
2
619.756
1
.578
2
.289
Error
24.667
42
.587
Total
645.000
45
25.244
44
Corrected Model Intercept PERLAKUAN
Corrected Total
.289
F
Sig.
.492
.615
619.756 1.055E3
.000
.492
.615
a. R Squared = .023 (Adjusted R Squared = -.024)
32
Descriptive Statistics Dependent Variable:AROMA PELAKUAN
Mean
Std. Deviation
N
A1
3.6000
.82808
15
A2
3.6667
.81650
15
A3
3.8667
.63994
15
Total
3.7111
.75745
45
Lampiran 4. Tabel Anova Cita Rasa pada Telur Infertil dengan Pengolahan yang berbeda. ANOVA Dependent Variable:CITARASA Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
.533a
2
696.200
1
.533
2
.267
Error
22.267
42
.530
Total
719.000
45
22.800
44
Corrected Model Intercept PERLAKUAN
Corrected Total
.267
F
Sig.
.503
.608
696.200 1.313E3
.000
.503
.608
a. R Squared = .023 (Adjusted R Squared = -.023) Descriptive Statistics Dependent Variable:CITARASA PERLAKUAN
Mean
Std. Deviation
N
A1
3.9333
.70373
15
A2
3.8000
.67612
15
A3
4.0667
.79881
15
Total
3.9333
.71985
45
33
Lampiran 5. Uji Panelis Telur Rebus, Telur Dadar dan Telur Goreng atau Ceplok pada Telur Infertil UJI PANELIS TELUR REBUS INFERTIL (Nahariah, 2014) KODE SAMPEL NAMA JENIS KELAMIN UMUR PENDIDIKAN ALAMAT INSTRUKSI PENILAIAN
: : : : : : Beri tanda silang (X) pada garis skala berikut menurut penilaian anda setelah membaca petunjuk*)
a) Cita Rasa 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
2
3
4
5
b) Aroma
c) Warna
d) Tekstur
1
*)Keterangan 1. Memberikan penilaian tentang tingkat kesukaan dan ketidaksukaan produk pada garis skala 2. Alasan memberikan penilaian tersebut
No.
Cita Rasa
5 4 3 2 1
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
STANDAR PENILAIAN Aroma Warna Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
Tekstur Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
34
UJI PANELIS TELUR DADAR INFERTIL (Nahariah, 2014)
KODE SAMPEL NAMA JENIS KELAMIN UMUR PENDIDIKAN ALAMAT INSTRUKSI PENILAIAN
: : : : : : Beri tanda silang (X) pada garis skala berikut menurut penilaian anda setelah membaca petunjuk*)
a) Cita Rasa 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
b) Aroma
c) Warna
d) Tekstur 1 2 3 4 5 *)Keterangan 1. Memberikan penilaian tentang tingkat kesukaan dan ketidaksukaan produk pada garis skala 2. Alasan memberikan penilaian tersebut STANDAR PENILAIAN No.
Cita Rasa
Aroma
Warna
Tekstur
5 4 3 2 1
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
35
UJI PANELIS TELUR GORENG (CEPLOK) INFERTIL (Nahariah, 2014)
KODE SAMPEL NAMA JENIS KELAMIN UMUR PENDIDIKAN ALAMAT INSTRUKSI PENILAIAN
: : : : : : Beri tanda silang (X) pada garis skala berikut menurut penilaian anda setelah membaca petunjuk*)
a) Cita Rasa 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
2
3
4
5
b) Aroma
c) Warna
d) Tekstur
1
*)Keterangan 1. Memberikan penilaian tentang tingkat kesukaan dan ketidaksukaan produk pada garis skala 2. Alasan memberikan penilaian tersebut
No.
Cita Rasa
5 4 3 2 1
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
STANDAR PENILAIAN Aroma Warna Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
Tekstur Sangat Suka Suka Agak Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka
36
Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian iEvaluasi Jenis Pengolahan terhadap Daya Terima Organoleptik pada Telur Infertil Sisa Hasil Penetasan
37
38
RIWAYAT HIDUP Khaerunnisa, lahir pada tanggal 14 Februari 1993 di Kaloling
Kabupaten
Bantaeng,
Provinsi
Sulawesi
Selatan. Penulis adalah anak keenam dari enam bersaudara pasangan H. Muh. Arsyad dan Hj. Hawang. Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh Penulis adalah SD Inpres Kaloling Kecamatan Gantarang Keke Kab. Bantaeng lulus tahun 2005. Kemudian setelah lulus penulis melanjutkan sekolah di SMPS DDI Mattoanging lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan sekolah di SMA Negeri 2 Bantaeng, lulus pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan SMA, penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makasssar. Saat ini Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Universitas Hasanuddin (HIMATEHATE_UH).
39