EVALUASI ATAS KINERJA JURUSITA PAJAK DI KPP DALAM LINGKUNGAN KANWIL DJP JAKARTA KHUSUS TAHUN 2006
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA EKONOMI Program Studi Akuntansi
Nama
: DWI AGUNG ISTIAWAN
NIM
: 03202-189
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2007
i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Nama
: DWI AGUNG ISTIAWAN
NIM
: 03202-189
Program Studi
: Akuntansi
Judul Skripsi
: Evaluasi atas Kinerja Jurusita Pajak di KPP dalam Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus Tahun 2006
Tanggal Ujian Skripsi : 19 September 2007
Disahkan Oleh: Pembimbing
(H. Sabaruddin Muslim, SE, Msi) Tanggal: .....................................
Dekan,
Ketua Jurusan Akuntansi
(Drs. Hadri Mulya, M.Si.) Tanggal: .......................
(H. Sabaruddin Muslim, SE, Msi) Tanggal: .....................................
ii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ..............................................
ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................
iii
DAFTAR ISI ........................................................................................
v
DAFTAR TABEL, GAMBAR DAN LAMPIRAN ............................
vii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................
1
A. Latar Belakang Penelitian........................................................
1
B. Perumusan Masalah ..............................................................
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................
7
D. Sistematika Penulisan ............................................................
8
BAB II. LANDASAN TEORITIS ........................................................
11
A. Kinerja dan Pengukuran Kinerja ...........................................
11
B. Jurusita dan Penagihan Pajak ................................................
13
C. Kinerja Jurusita Pajak ...........................................
21
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................
30
A. Gambaran Umum ..................................................................
30
B. Metodologi Penelitian ............................................................
36
C. Definisi Operasional Variabel ...............................................
37
D. Metode Pengumpulan Data ....................................................
43
E. Metode Analisis Data .............................................................
44
v
Halaman BAB IV. ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................
45
A. Pengujian Instrumen Penelitian .............................................
45
B. Deskripsi Data Hasil Analisis ................................................
49
C. Pengujian Persyaratan Pengolahan Data ...............................
50
D. Pengolahan Data ....................................................................
52
E. Interpretasi dan Pembahasan ................................................
53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................
85
A. Kesimpulan ............................................................................
85
B. Saran ......................................................................................
86
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
vi
DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN Halaman 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Item
Instrumen untuk Mengukur
Kinerja Jurusita Pajak .....…………………………………….
47
2.
Tabel 2. Pengujian Normalitas Data Kinerja Jurusita Pajak .....
51
3.
Tabel 3. Hasil Pengolahan Data Kinerja Jurusita Pajak ……...
52
4.
Tabel 4. Rata-rata Hasil Pengolahan Data Kinerja Jurusita Pajak …………………………………………………………..
5.
Lampiran 1. Kuesione Penelitian ..............................................
6.
Lampiran 2. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian ............
7.
Lampiran 3. Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian .......
8.
Lampiran 4. Data Populasi ......................................................
9.
Lampiran 5. Data Hasil Pengukuran Kinerja Jurusita Pajak.....
10.
Lampiran 6. Distribusi Bobot Hasil Pengukuran Kinerja Jurusita Pajak.............................................................................
11.
Lampiran 7. Proporsi Skor Per Dimensi...................................
vii
53
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Sebagai Negara yang sedang berkembang, Indonesia menitikberatkan peranan pajak sebagai salah satu penghimpun dana dari masyarakat dalam rangka membiayai APBN. Dengan menurunnya penerimaan dari sektor Migas maka peranan penerimaan pajak terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan pajak merupakan sumber yang pasti dalam memberikan kontribusi dana kepada negara dan menjadi cerminan dari kegotong-royongan masyarakat dalam pembiayaan negara yang pelaksanaanya diatur dengan perundang-undangan. Lebih bertumpunya penerimaan negara dari sektor pajak adalah karena selain semakin berkurangnya penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas alam, juga karena negara Indonesia tidak bisa secara terus menerus menggantungkan diri pada pinjaman luar negeri. Peran serta kinerja Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak) sebagai pemegang otoritas di bidang perpajakan perlu dioptimalkan guna menunjang penerimaan negara yang nantinya akan digunakan untuk melaksanakan pembangunan. Penerimaan negara dari sektor pajak pada APBNP 2006 adalah sebesar Rp. 372 trilliun atau sekitar 13,63 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah tersebut naik sekitar 24,60 % dibandingkan penerimaan pajak pada APBN 2005 yaitu Rp. 298 trilliun. Sedangkan pada APBN 2007 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 453 trilliun atau sekitar 14,43% dari Produk
2
Domestik Bruto (PDB), jumlah tersebut naik sekitar 21,75 % dibandingkan penerimaan pajak pada APBN 2006, suatu jumlah yang tidak kecil dan tentunya hal ini bukanlah merupakan tugas yang ringan oleh karena itu harus diimbangi upaya-upaya yang efektif dan efisien dalam rangka pengamanan penerimaan negara. Saat ini tax ratio, tax coverage maupun tax compliance di Indonesia dinilai masih rendah. Hal ini menggambarkan potensi pajak yang belum tergali secara maksimal. Tahun 2007 diharapkan tax ratio mencapai 14,43 %, inipun masih relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Keadaan ini tidak lepas dari lemahnya pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang yang dianggap terlalu rumit. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang sederhana, mudah dipahami dan dimengerti masyarakat perpajakan, serta menjamin adanya kepastian hukum. Selain hal tersebut yang tidak kalah pentingnya adalah memperbaiki dan meningkatkan kinerja Ditjen Pajak sebagai institusi maupun para fiskus sebagai orang yang melaksanakan tugastugas di bidang perpajakan. Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus merupakan Kantor Eselon II dibawah Direktorat Jenderal Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi
3
Perpajakan
disebutkan
bahwa
Kantor
Wilayah
mempunyai
tugas
melaksanakan bimbingan teknis, evaluasi, dan pengendalian pelaksanaan tugas di bidang perpajakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Kanwil DJP Jakarta Khusus adalah memberikan bimbingan, koordinasi dan pengamanan teknis pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak dalam wilayahnya, pengaman rencana kerja dan rencana penerimaan perpajakan, memberi bimbingan dan koordinasi di bidang penyuluhan serta pelayanan masyarakat di bidang perpajakan, penyelesaian keberatan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian informasi perpajakan, registrasi dan evaluasi data Wajib Pajak, pemeriksaan dan penyidikan pajak, evaluasi dan pembinaan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak serta pengawasan terhadap unit-unit operasional di wilayah kerjanya masing-masing. Berkaitan dengan penerimaan pajak pada tahun 2006 target penerimaan Kanwil DJP Jakarta Khusus adalah sebesar Rp. 98,82 triliun, dibandingkan dengan rencana penerimaan nasional sebesar Rp. 371,70 triliun berarti peranan Kanwil DJP Jakarta Khusus adalah sebesar 26,59 %. Adapun realisasinya sejumlah Rp. 98,95 triliun atau 100,14 % dari target. Tahun 2007 target penerimaan Kanwil DJP Jakarta Khusus dalam APBN tahun 2007 adalah sebesar Rp. 117,39 triliun, dibandingkan dengan rencana penerimaan nasional sebesar Rp. 452,56 triliun berarti peranan Kanwil DJP Jakarta Khusus adalah sebesar 21,64 %. Kontribusi penerimaan yang besar
4
tersebut menjadi salah satu karakteristik khusus dari Kanwil DJP Jakarta Khusus. Keberhasilan Ditjen Pajak dalam mengemban fungsi perpajakan sangat ditentukan oleh kepatuhan wajib pajak terutama voluntary compliance dan law enforcement. Penegakan hukum berfungsi untuk memberikan kepastian hukum dan untuk menciptakana rasa keadilan terhadap wajib pajak. Salah satu bentuk penegakan hukum tersebut adalah berupa pemeriksaan. Dalam pemeriksaan diharapkan wajib pajak dapat memahami peraturan perpajakan yang berlaku dan segera memperbaiki jika terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam melaporkan kewajiban perpajakannya. Pemeriksaan pajak diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa tidak seorangpun yang dapat menghindari kewajibannya sebagai warga negara, dan negara menjamin bahwa setiap orang dapat diperiksa dan diberlakukan secara adil. Selanjutnya hasil dari pemeriksaan pajak adalah adanya jumlah yang harus dikembalikan kepada wajib pajak apabila dalam pemeriksaan pajak menghasilkan Surat Keputusan Pajak Lebih Bayar atau jumlah yang harus dibayar oleh wajib pajak apabila dalam pemeriksaan pajak menghasilkan Surat Keputusan Pajak Kurang Bayar. Apabila kekurangan pembayaran pajak ini tidak juga segera dibayar oleh wajib pajak dalam waktu 1 bulan sejak keluarnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka jumlah yang harus dibayar wajib pajak tersebut menjadi tunggakan pajak. Setelah menjadi tunggakan, inilah yang menjadi tanggung jawab seksi penagihan Kantor
5
Pelayanan Pajak (KPP) untuk melakukan upaya-upaya penagihan dalam rangka pencairan tunggakan pajak tersebut. Kegiatan penagihan pajak ini yang menjadi andalan apabila hasil dari pemeriksaan yaitu berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tidak dibayar oleh wajib pajak pada saat jatuh tempo yaitu satu bulan (30 hari) sejak tanggal diterbitkannya SKP. Pelaksanaan penagihan pajak ada dua macam yaitu penagihan pajak persuasif dan penagihan pajak represif. Penagihan pajak persuasif dilakukan antara lain dengan menerbitkan surat pemberitahuan jatuh tempo kepada wajib pajak dan diterbitkannya Surat Teguran apabila setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo tunggakan pajak belum dibayar. Selanjutnya dalam waktu 21(dua puluh satu) hari akan dimulai upaya penagihan represif yaitu dengan diterbitkan Surat Paksa (SP). Selanjutnya minimal dalam waktu 2 x 24 jam sejak diterbitkannya surat paksa akan diterbitkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) diikuti dengan Berita Acara Sita (BAS). Empat belas hari setelah barang atau asset wajib pajak disita akan dilakukan pengumuman lelang dan empat belas hari kemudian akan dilaksanakan lelang barang yang disita tersebut. Ada beberapa upaya penagihan pajak represif yang belum disebutkan diatas yaitu pemblokiran monetary assets, pencegahan dan penyanderaan. Syarat dari dilakukannya upaya penagihan tersebut adalah sudah diterbitkannya surat paksa. Kegiatan penagihan pajak tersebut dilaksanakan oleh petugas pajak yang disebut Jurusita Pajak. Sebagai ujung tombak kegiatan penagihan Jurusita
6
Pajak melakukan tugas yang tidak mudah selain melakukan tugas administrasi di Kantor Jurusita Pajak juga melakukan tugas dilapangan yang jauh lebih berat dalam pelaksanaan penyitaan asset wajib pajak. Seorang Jurusita Pajak harus dibekali dengan pengetahuan perpajakan dan hukum yang baik serta mental yang kuat karena dalam melaksanakan tugasnya sering dihadapkan pada tekanan-tekanan dari pihak wajib pajak yang tidak mau dilakukan tindakan penagihan pajak. Jurusita Pajak sering berhadapan dengan penasehat hukum wajib pajak yang sangat kritis sehingga para Jurusita Pajak harus mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Kinerja Jurusita Pajak yang maksimal tentu saja akan memberikan kontribusi yang besar dalam rangka pengamanan penerimaan negara dalam kaitannya dengan pencairan tunggakan Pajak. Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai kinerja Jurusita Pajak dan hambatan-hambatan yang dihadapi sehingga berguna bagi Ditjen Pajak sebagai masukan dalam pengambilan keputusan. Penulis tertarik untuk meneliti kinerja Jurusita Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus karena besarnya potensi penerimaan pajak di Kanwil DJP Jakarta Khusus dan wajib pajak Kanwil DJP Jakarta Khusus mempunyai karakteristik yang tidak ditemukan di Kantor Pelayanan Pajak lainnya yaitu sebagian besar berstatus Penanaman Modal Asing (ada 6 KPP), Badan dan Orang Asing (2 KPP), Perusahaan Masuk Bursa (1 KPP) dan Badan Usaha Milik Negara (1 KPP). Hal tersebut menuntut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang prima dari segenap aparat Ditjen Pajak dalam hal ini Jurusita Pajak.
7
Berkaitan dengan hal tersebut, pada skripsi ini penulis mencoba untuk melakukan penelitian atas kinerja Jurusita Pajak dengan judul ”Evaluasi atas Kinerja Jurusita Pajak di KPP dalam Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus Tahun 2006”. B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini akan diukur kinerja Jurusita Pajak di KPP-KPP dalam lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus sebagai obyek penelitian dan yang menjadi responden adalah para atasan Jurusita Pajak yaitu Kepala Seksi Penagihan. Untuk mengukur kinerja diperlukan adanya suatu indikator kerja yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja Jurusita Pajak di KPP dalam lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus? 2. Apa kendala Jurusita Pajak dalam melaksanakan kegiatan penagihan pajak? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian: a. Untuk mengetahui kinerja Jurusita Pajak di KPP dalam lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus b. Untuk mengetahui kendala Jurusita Pajak dalam melaksanakan kegiatan penagihan pajak
8
2. Kegunaan Penelitian: a. Peneliti Kegunaan
penelitian
ini
bagi
peneliti
adalah
untuk
mengimplementasikan teori yang telah dipelajari dalam perkuliahan sekaligus memberikan wawasan bagi penulis dalam bidang perpajakan khususnya tentang penagihan pajak oleh Jurusita Pajak. b. Obyek yang diteliti Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Ditjen Pajak dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai informasi yang bisa dijadikan bahan atau dasar dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penagihan pajak, baik tentang program diklat, standar kinerja Jurusita Pajak dan evaluasi kinerja Jurusita Pajak sehingga masukan dalam penelitian ini bisa digunakan untuk meningkatkan kinerja Jurusita Pajak. c. Kalangan Akademik Bagi kalangan akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan ruang pemikiran bagi para pemerhati perpajakan dalam memahami kegiatan penagihan pajak serta dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya yang lebih sempurna. D. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri atas 5 bab dan disusun dengan sistematis mungkin dengan harapan Penulis bahwa para pembaca dapat memahami apa yang disampaikan oleh Penulis, dengan sistematika sebagai berikut :
9
1. Bab I Pendahuluan Pada bab ini menjelaskan dengan secara rinci mengenai latar belakang dari penulisan skripsi, perumusan masalah dan tujuan dan kegunaan Penulis menyusun skipsi ini. 2. Bab II Landasan Teoritis Bab ini menjelaskan bagi para pembaca mengenai landasan teori dan konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan digunakan oleh Penulis dalam menyusun skripsi. Pada bab ini dapat diketahui mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengertian-pengertian dan definisi-definisi yang berkaitan dengan Jurusita Pajak dan kegiatan penagihan pajak dari segi peraturan perundangan maupun dari ilmu yang lain, sehingga dapat diketahui dengan jelas hal-hal apa saja yang dimaksudkan dan dibahas oleh Penulis sehingga apa yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini bisa tercapai. 3. Bab III Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan tentang metodologi yang digunakan oleh Penulis dalam menyusun skripsi agar skripsi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metodologi
penelitian
yang
digunakan
meliputi
pokok
permasalahan yang terjadi, ruang lingkup pembahasan, hipotesa kerja penyusunan skripsi dan prosedur yang digunakan Penulis dalam rangka pengumpulan dan pengolahan data.
10
4. Bab IV Analisa Hasil dan Pembahasan Bab ini merupakan inti penyusunan skripsi ini, pada bab ini Penulis melakukan pengujian instrumen penelitian, pendeskripsian data hasil analisa, pengujian persyaratan pengolahan data, pengolahan data dan interpretasi dan pembahasan. Dalam interpretasi dan pembahasan ini penulis akan melakukan evaluasi kinerja Jurusita Pajak dan permasalahan yang timbul dari kegiatan Jurusita Pajak dalam penagihan pajak sehingga dapat ditemukan solusi atas permasalahan yang ada. 5. Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini merupakan bab penutup dari seluruh penyusunan skripsi ini, dimana pada bab ini Penulis berusaha membuat kesimpulan dari apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya secara ringkas dan terakhir adalah saran dari Penulis setelah memperhatikan kesimpulan sebelumnya dalam hal pelaksanaan kegiatan penagihan pajak oleh Jurusita Pajak secara umum.
11
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Kinerja dan Pengukuran Kinerja Anwar Prabu dalam bukunya Manajemen SDM Perusahaan (2001:67) memaknai kinerja sebagai prestasi kerja sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang. Kinerja seseorang berkaitan erat dengan tingkat pencapain sasaran atau
tujuan
dari
suatu
organisasi.
Oleh
karena
itu
diperlukan
penilaian/pengukuran untuk menentukan/mengetahui seberapa besar prestasi kerja yang diraih oleh seseorang sehingga tujuan dari pekerjaan tersebut bisa tercapai. Pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas keberhasilan / kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijaksanaan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi instansi pemerintah (LAN, 1999). Sementara itu Willy Susilo (2002:29) menyebutkan sebagai berikut: Pengukuran kinerja adalah suatu proses pengukuran secara akurat dan valid terhadap efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan yang telah terealisasi dan membandingkan dengan tingkat prestasi yang direncanakan. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja seseorang diperlukan rencana kerja atau target dari suatu pekerjaan dan hasil nyata dari pekerjaan itu. Kedua aspek tersebut kemudian dibandingkan sehingga dapat diperoleh kesimpulan apakah kinerja seseorang bisa dikatakan berhasil atau gagal. Dengan demikian bisa diambil tindakkan selanjutnya guna menyikapi hasil dari pengukuran tersebut.
12
Selain hal tersebut di atas, pengukuran kinerja juga berguna untuk mengetahui seberapa besar tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Pengukuran kinerja menjadi faktor penting untuk memperoleh informasi dan merupakan sarana pengendalian dalam sebuah organisasi karena dapat menilai prestasi yang telah dicapai olehnya dan sebagai sarana kontrol terhadap pemberian tugas dan tanggung jawab kepada seseorang (Hadari Nawawi:2001). Hal ini sangat diperlukan untuk menentukan tugas dan tanggung jawab selanjutnya yang harus diberikan seseorang juga untuk menentukan langkah apa yang harus ditempuh oleh orang tersebut. Dalam manajemen modern, penilaian kinerja mutlak diperlukan. Informasi
hasil
penilaian/pengukuran
kinerja
sangat
berguna
dalam
merencanakan, mengkoordinasi, dan mengatur program pelatihan dan pengembangan pegawai dalam rangka evaluasi. Selain itu, juga diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan promosi, kenaikan gaji, perubahan tugas, pemberhentian/pemecatan, dan lain-lain. Sedangkan bagi pegawai itu sendiri, pengukuran kinerja atas dirinya sangat berguna dalam menentukan langkah selanjutnya untuk terus memperbaiki kinerjanya. Penilaian kinerja biasanya dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab seperti supervisor atau atasan pegawai yang tentu saja melibatkan bagian kepegawaian secara langsung. Sementara itu metode pengukuran kinerja bisa disesuaikan
dengan
kebutuhannya.
Hadari
Nawawi
(2001:278)
mengemukakan macam-macam metode penilaian kinerja sebagai berikut:
13
Metode pengukuran kerja sangat beragam yaitu terdiri dari: uraian ringkas, skala nilai, check list (daftar perilaku), distribusi atau penyebaran kemampuan, grafik skala nilai, pencatatan kejadian penting, manajemen berorientasi pada hasil MBO, dan metode penyusunan dan review perencanaan pekerjaan. Pengukuran kerja tersebut semuanya pada prinsipnya memiliki prosedur yang sama. Dari semua metode tersebut di atas pada dasarnya menilai kemampuan (skill) tertentu atau karakteristik perilaku (behavioral) atas keberhasilannya dalam melaksanakan tugas dengan mengacu pada aspek kualitas dan kuantitas seseorang. Hadari Nawawi (2001:268) menyebutkan bahwa pengukuran kerja adalah perbandingan antara hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh
seorang
pegawai
berdasarkan
kemampuannya
dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dari semua keterangan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa pengukuran kinerja bisa diartikan sebagai suatu proses pengukuran kemampuan seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan mengacu pada peraturan tertentu untuk membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil yang direncanakan. B. Jurusita dan Penagihan Pajak 1. Jurusita Pajak Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan (monetary assets dan non monetary assets) pencegahan dan penyanderaan. Jurusita Pajak bertugas sesuai dengan Undang-undang Nomor 19/1997 pasal 5 ayat 2 dan dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi dengan tanda pengenal yang harus diperlihatkan pada Wajib
14
Pajak (WP)/Penanggung Pajak (PP). Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh pejabat untuk penagihan pajak pusat yaitu Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala kantor Pajak Bumi dan Bangunan. Pengangkatan Jurusita Pajak dilakukan berdasarkan beberapa persyaratan sebagai berikut; a. Petugas Jurusita Pajak merupakan karyawan Direktorat Jenderal pajak yang ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Inspeksi Pajak (sekarang Kepala Kantor Pelayanan Pajak), b. Sebelum memangku dan melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak harus diambil sumpahnya terlebih dahulu oleh pejabat menurut agama dan kepercayaanya, c. Petugas Jurusita Pajak berpendidikan dan memiliki ijazah serendahrendahnya Sekolah menengah Umum atau setingkat dengan itu, d. Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda golongan II/a, e.
Berbadan sehat dan tidak cacat fisik,
f.
Lulusan pendidikan Jurusita Pajak,
g.
Jujur, bertanggung jawab dan penuh pengabdian. Menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Jurusita
Pajak digolongkan menjadi 5 kategori sebagai berikut; a. Jurusita Pengadilan Negeri (HIR. S. 1941 Nomor 44) yang melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata. Tugas dari Jurusita ini adalah melakukan pemberitahuan kepada pihak-pihak yang
15
berperkara, melakukan pemanggilan, membuat pengumuman dan melakukan penyitaan atas perintah hakim. b. Jurusita Pajak Pusat (Undang-undang Nomor 19/1997) yaitu Jurusita yang menyampaikan atau memberitahukan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang menunggak atau mempunyai utang pajak sekaligus melakukan
penyitaan
dan
menyampaikan
keputusan
tentang
penyanderaan. c. Jurusita Pajak Daerah (Undang-undang Nomor 19/1997) mempunyai tugas yang sama dengan Jurusita Pajak Pusat, hanya saja Jurusita Pajak Daerah hanya menangani kasus-kasus pajak yang terjadi di daerah. d. Jurusita PUPN/BUPLN (Undang-undang nomor 19/1960) secara garis besar bertugas mengurus piutang negara yang meliputi penyampaian panggilan terakhir, penyampaian pernyataan bersama, penyampaian Surat Paksa, pelaksanaan penyitaan harta kekayaan debitur atau jaminan dan pelaksanaan penyaderaan terhadap debitur. e. Jurusita Pengadilan Agama (Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1989) merupakan Jurusita yang bertugas melaksanakan putusan pengadilan agama (Hakim), yaitu menyampaikan pengumumanpengumuman, Surat Teguran dan vonis pengadilan berdasarkan perundang-undangan agama.
yang berlaku, penyitaan atas perintah hakim
16
2. Penagihan Pajak Penagihan Pajak adalah serangkaian kegiatan dalam rangka mencairkan tunggakan pajak kepada Penanggung Pajak baik pokok pajak, bunga, maupun sanksi administrasi. Tunggakan pajak ini muncul dikarenakan adanya jumlah yang tidak dibayarkan oleh wajib pajak ke kas negara dari hasil pemeriksaan yang menghasilkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) padahal sudah melewati batas waktu yang telah ditentukan (jatuh tempo) yaitu satu bulan (30 hari) sejak tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Pelaksanaan penagihan pajak ada dua macam yaitu penagihan pajak persuasif dan penagihan pajak represif. Penagihan pajak persuasif dilakukan antara lain dengan menerbitkan surat pemberitahuan jatuh tempo kepada wajib pajak dan diterbitkannya Surat Teguran apabila setelah 7 hari sejak tanggal jatuh tempo tunggakan pajak belum dibayar. Selanjutnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari akan dimulai upaya penagihan represif yaitu dengan diterbitkan Surat Paksa (SP). Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak yang mempunyai kekuatan sama dengan grosse putusan hakim dalam perkara perdata sehingga tidak dapat diminta banding lagi pada hakim atasan. SP ini dalam bahasa hukum disebut Parate Eksekusi (eksekusi langsung) yang berati penagihan pajak secara paksa dapat dilakukan tanpa melalui proses Pengadilan Negeri. Selanjutnya minimal dalam waktu 2 x 24 jam sejak diterbitkannya SP akan diterbitkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) diikuti
17
dengan Berita Acara Sita (BAS). Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari penanggung pajak. Oleh karena itu penyitan dapat dilaksanakan terhadap semua barang penanggung pajak baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan penanggung pajak atau ditempat lain sekalipun penguasaannya berada ditangan pihak lain. Pengertian penyitaan menurut Moeljo (2001: 49) adalah: Serangkaian tindakan dari jurusita pajak yang dibantu oleh dua orang saksi untuk menguasai barang-barang dari wajib pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak dengan perundangundangan yang berlaku. Empat belas hari setelah barang atau asset wajib pajak disita akan dilakukan pengumuman lelang di media massa baik cetak ataupun elektronik dengan sebelumnya Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta jadwal waktu dan tempat pelaksanaan lelang kepada Kepala Kantor Lelang Negara. Empat belas hari kemudian akan dilaksanakan lelang barang yang telah disita. Lelang adalah penjualan barang yang dilakukan dengan cara penawaran ”naik-naik” atau ”turun-turun” dan atau tertulis melalui usaha mengumpulkan orang. Penjualan secara lelang harus dilakukan didepan pejabat lelang yaitu pejabat yang berwenang melaksanakan lelang dengan dihadiri oleh Kepala KPP atau wakilnya. Hasil dari lelang akan digunakan lebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak dan biaya lelang dan sisanya untuk melunasi utang pajak. Apabila lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
18
pajak, maka lelang bisa dihentikan, walaupun barang yang dilelang masih ada. Segera setelah lelang selesai hak wajib pajak/penanggung pajak atas barang tersebut berpindah kepada pembeli dan kepada pembeli diberikan risalah lelang sebagai bukti otentik untuk pendaftaran dan pengalihan hak. Ada beberapa upaya-upaya penagihan pajak represif yang belum disebutkan diatas yaitu pemblokiran monetary assets, pencegahan dan penyanderaan. Syarat dari dilakukannya upaya penagihan tersebut adalah sudah diterbitkannya surat paksa. Pemblokiran
adalah
tindakan
pengamanan
harta
kekayaan
penanggung pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun kecuali penambahan jumlah atau nilai. Pemblokiran dilakukan terhadap deposito berjangka, tabungan, rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dapat dipersamakan. Sesuai PP Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Pemblokiran dilaksanakan dengan urut-urutan kegiatan sebagai berikut: a. Pejabat (Kepala KPP) mengajukan permintaan pemblokiran kepada bank disertai dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. b. Bank wajib melakukan pemblokiran seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Kepala KPP dan membuat berita acara
19
pemblokiran dan menyampaikan salinannya kepada Kepala KPP dan penanggung pajak. c. Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank memerintahkan penanggung pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak. d. Dalam hal penanggung pajak tidak memberikan kuasa kepada bank, Kepala KPP meminta kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan agar memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan penangggung pajak. e. Setelah saldo kekayaan yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan bank yang bersangkutan; f. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan Pajak; g. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap kekayaan Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak sekalipun telah dilakukan pemblokiran. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara republik
20
Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tindakan pencegahan ini harus memenuhi syarat kualitatif dan kuantitatif. Syarat kuantitatif yaitu utang pajaknya sekurangkurangnya Rp. 100.000.000,-. Syarat kualitatifnya yaitu diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Pencegahan
dapat
dilakukan
apabila
sudah
ada
Keputusan
pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri atas permintaan pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan kemudian dapat diperpanjang selama-lamanya 6 (enam) bulan. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkan di tempat tertentu. Seperti halnya pencegahan, tindakan penyanderaan juga harus memenuhi syarat kuantitatif
dan
kualitatif
yaitu
utang
pajak
sekurang-kurangnya
Rp.100.000.000,- dan Penanggung Pajak diragukan itikad baiknya untuk melunasi utang pajaknya. Surat perintah penyanderaan segera diterbitkan oleh pejabat (Kepala Kantor) setelah menerima izin tertulis dari Menteri Keuangan yang memuat
sekurang-kurangnya
identitas
Penanggung
pajak,
alasan
penyanderaan, izin penyanderaan, lama penyanderaan dan tempat penyanderaan. Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan di tempat tertentu dengan syarat bahwa tempat tersebut tertutup dan terasing dari
21
masyarakat, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai. Jangka waktu penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan kemudian dapat diperpanjang selama-lamanya lama 6 (enam) bulan. C. Kinerja Jurusita Pajak Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja Jurusita Pajak bisa dimaknai sebagai prestasi kerja sesungguhnya yang dicapai oleh petugas pelaksana tindakan penagihan pajak dalam melaksanakan tugasnya yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Dalam rangka pengukuran kinerja tersebut maka diperlukan rencana atau target yang harus dihasilkan oleh Jurusita Pajak dalam jangka waktu tertentu dan hasil yang diperoleh selama pelaksanaan tugas tersebut. Kedua hal tersebut kemudian dibandingkan sehingga bisa diketahui seberapa tingkat keberhasilan atau kegagalan dari kinerja Jurusita Pajak. Dengan demikian bisa dilakukan evaluasi dan diambil tindakan selanjutnya guna menyikapi hasil pengukuran tersebut. Oleh karena itu diperlukan setidaknya tiga hal untuk mengukur kinerja Jurusita Pajak yaitu penguasaan materi, ketaatan pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan keterampilan dalam melakukan pemeriksaan, dan jumlah laporan penagihan pajak mengenai kegiatan-kegiatan penagihan yang telah dilakukan dalam satu tahun.
22
1. Penguasaan Materi Penguasaan materi berhubungan dengan kemampuan (skill) atau kompetensi seseorang. Seperti telah dikemukakan sebelumnya tentang persyaratan menjadi jurusita pajak adalah antara lain harus telah lulus Pendidikan Jurusita Pajak sehingga Jurusita Pajak telah mempunyai pendidikan teknis yang cukup dan memiliki ketrampilan sebagai pelaksana kegiatan penagihan di lapangan. Dalam melakukan kegiatan penagihan pajak Jurusita Pajak seharusnya menguasai materi perpajakan yang berhubungan dengan kegiatan penagihan pajak dan materi hukum karena seringkali dalam melakukan tugasnya sering berbenturan dengan masalah hukum. 2. Ketaatan
pada
Ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan
Perpajakan dan Keterampilan dalam Melakukan Penagihan Pajak Ketaatan berkaitan erat dengan perilaku (behavioral) yang sesuai dengan peraturan. Pelaksanaan penagihan pajak harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan tindakan penagihan sehingga semua tindakan yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan dan mempunyai payung hukum yang jelas. Jurusita pajak berkedudukan sangat strategis dalam Kantor Pelayanan Pajak karena Jurusita pajak merupakan benteng terakhir dalam rangka pengamanan peneriman pajak dari pencairan tunggakan pajak. Mereka harus bisa bekerja secara profesional dengan didukung oleh
23
ketrampilan, keuletan, kejelian, dan mental yang kuat karena akan banyak hambatan baik fisik maupun non-fisik yang akan dilalui sehubungan dengan pekerjaannya yang lebih banyak di lapangan daripada di kantor. Oleh karena itu mereka perlu dibekali peraturan-peraturan yang harus mereka taati dalam menjalankan tugasnya sehingga dapat memperlancar tugas mereka di lapangan. a. Ketaatan
pada
Ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan
Perpajakan Peraturan perpajakan yang berkaitan dengan kegiatan penagihan pajak antara lain: 1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; 2) Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Penyanderaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
24
5) Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Penagihan Seketika dan Sekaligus dalam Pelaksanaan Surat Paksa; 6) Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; 7) Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 562/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak. 8) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No: SE-01/PJ.75/2005 tanggal 3 Maret 2005 tentang Kebijakan Penagihan Tahun 2005 Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan penagihan pajak dari mulai tahap persiapan sampai tahap pembuatan pelaporan harus didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku yang mengikat kepada Jurusita untuk mematuhi aturan-aturan yang ada. Kegiatan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak dalam penagihan pajak adalah sebagai berikut: 1) Persiapan Jurusita dalam melakukan kegiatan penagihan perlu melakukan persiapan-persiapan sebagai berikut: (a) Menyiapkan dan mempelajari berkas-berkas yang akan digunakan dalam kegiatan penagihan;
25
(b) Menganalisa dan mengidentifikasi masalah yang mungkin terjadi; (c) Menentukan langkah-langkah yang akan diambil apabila Wajib Pajak yang akan disampaikan Surat Paksa tidak ditemukan atau tidak mau menandatangani Berita Acara Penyampaian Surat Paksa serta melakukan perlawanan fisik pada saat eksekusi sita. (d) Menyiapkan sarana untuk pelaksanaan kegiatan penagihan 2) Pelaksanaan Kegiatan Penagihan Kegiatan penagihan pajak yang dilakukan oleh Jurusita Pajak meliputi beberapa hal yang saling berkaitan dengan tujuan untuk mencairkan tunggakan pajak.. Menurut pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 Jurusita Pajak bertugas: (a) Melaksanakan
Surat
Perintah
Penagihan
Seketika
dan
Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat untuk Penagihan Pajak. Istilah ”seketika” di sini mengandung pengertian bahwa pelunasan pajak tersebut harus dilunasi dengan segera sedang istilah ”sekaligus” berarti bahwa pajak tersebut harus dilunasi dalam waktu bersamaan untuk semua jenis pajak yang terutang. Penagihan Seketika dan Sekaligus dilaksanakan dalam rangka mengamankan dan mengawasi penerimaan negara di sektor perpajakan berdasarkan Undang-undang Nomor 19/1997 pasal 6 ayat (1) tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran.
26
(b) Penagihan Seketika dan Sekaligus dapat dilaksanakan apabila dipenuhi 5 (lima) unsur sesuai dengan pasal 20 Undang-undang Nomor 6/1983, juncto Undang-undang Nomor 9/1994 tentang KUP, juncto Undang-undang Nomor 19/1997. kelima unsur tersebut adalah apabila Penanggung Pajak (PP) meninggalkan atau berniat meninggalkan Indonesia, PP mengecilkan atau menghentikan
atau
memindahtangankan
kegiatan
perusahaannya di Indonesia, PP membubarkan badan usaha atau berniat untuk itu, badan usaha dibubarkan oleh negara, dan terjadi penyitaan barang oleh pihak ketiga. (c) Memberitahukan Surat Paksa yaitu surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak (Undang-undang Nomor 19/1997). (d) Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; (e) Melaksanakan
penyanderaan
berdasar
Surat
Perintah
Penyanderaan. Dalam melaksanakan tugasnya Jurusita Pajak mempunyai wewenang dan tanggung jawab sebagai berikut: (a) Dalam melaksanakan tugasnya Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci dan tempat lain untuk menemukan obyek sita di tempat usaha dan melakukan penyitaan di tempat kedudukan,
27
atau di tempat tinggal Penanggung Pajak atau ditempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan obyek sita. (b) Jurusita Pajak berkewajiban: (1)
Memperlihatkan tanda pengenal Jurusita Pajak.
(2)
Memberitahukan dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa (SP).
(3)
Membuat berita acara pemberitahuan Surat Paksa.
(4)
Membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa.
(5)
Menyampaikan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
(6)
Membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita.
(7)
Membuat lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita.
(8)
Menempelkan segel sita pada barang-barang yang telah disita, bila dianggap perlu.
(9)
Menempelkan
Surat
Paksa
(salinan)
pada
papan
pengumuman kantor Pejabat. (10) Meninggalkan
Surat
Paksa
(salinan)
dalam
hal
penanggung pajak menolak menerima salinan Surat Paksa. (c) Jurusita pajak dapat meminta bantuan kepada Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman dan HAM, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau
28
pihak lain dalam rangka melaksanakan pencegahan bepergian ke luar negeri Penanggung Pajak. 3) Pembuatan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Penagihan Setelah melakukan tugas di lapangan Jurusita Pajak masih mempunyai kewajiban untuk membuat laporan pelaksanaan kegiatan penagihan yang dilaporkan ke Kanwil melalui KPL. 7.496 yang dikirimkanksetiap 3 bulan sekali. Laporan ini digunakan oleh Kanwil sebagai salah satu acuan dalam menilai kinerja Jurusita Pajak. b. Keterampilan dalam Melakukan Kegiatan Penagihan Pajak Ketrampilan Jurusita dalam melakukan kegiatan penagihan pajak sangat menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan penagihan pajak. Jurusita dengan ketrampilan yang cukup akan memudahkan kegiatan penagihan pajak misalnya dalam kasus penyampaian Surat Paksa dimana wajib pajak tidak bisa ditemukan sesuai alamat yang ada karena seringkali wajib pajak melakukan penghindaran terhadap tindakan penagihan yang dilakukan oleh kantor pajak dengan berbagai macam cara, dalam hal ini Jurusita Pajak harus jeli dan punya keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menemukan wajib pajak dengan menghubungi atau datang ke kelurahan untuk mencari alamat yang benar. Dalam hal penyitaan yang dihalang-halangi, Jurusita Pajak yang terampil bisa menggunakan pendekatan-pendekatan psikologis yang sebaik-baiknya kepada wajib
29
pajak, sehingga wajib pajak bisa menerima tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak adalah tindakan yang telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. c. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Penagihan Pajak Pelaksanaan kegiatan penagihan harus diadministrasikan dengan baik dalam bentuk laporan pelaksanaan kegiatan seperti laporan penyampaian Surat Paksa, Pelaksanaan Sita, Pencegahan dan Penyanderaan
harus
dibuat
oleh
Jurusita
Pajak
dan
harus
diadministrasikan untuk kepentingan pengukuran kinerja Jurusita Pajak itu sendiri. Laporan tersebut dikirimkan ke Kanwil sesuai dengan jadwal pengiriman laporan periodik setiap bulan dan setiap triwulan sekali.
30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Sejarah Kanwil DJP Jakarta Khusus dimulai dengan dibentuknya Kanwil X DJP Jaya Khusus berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 173/KMK.01/1979 tanggal 17 April 1979 dengan tugas utama menghimpun penerimaan pajak dari Kantor Inspeksi Pajak (KIP) Khusus. Sejalan dengan reorganisasi yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 1989 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 276/KMK.01/1989, Kanwil X DJP Jaya Khusus diubah menjadi Kanwil VI DJP Jaya Khusus dan Kantor Inspeksi Pajak (KIP) diubah namanya menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kantor Pelayanan Pajak yang berada dibawah kewenangan kerja Kanwil VI DJP Jaya Khusus adalah KPP Perusahaan Negara dan Daerah, KPP Penanaman Modal Asing dan KPP Badan dan Orang Asing. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 516/KMK.01/1992, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Raya, yang terdiri dari KPPBB Jakarta Pusat, KPPBB Jakarta Selatan, KPPBB Jakarta Barat, KPPBB Jakarta Timur, KPPBB Jakarta Utara, dan Kantor Penyuluhan Pajak Jakarta III serta Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Khusus masuk dalam wilayah kerja Kanwil VI DJP Jaya Khusus. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 94/KMK.01/1994, dibentuk satu unit kantor baru, KPP Go Public, yang masuk
31
dalam wilayah Kanwil VI DJP Jaya Khusus. Lain daripada itu, Kantor Penyuluhan Pajak Jakarta III tidak lagi masuk dalam wilayah kerja Kanwil DJP VI Jaya Khusus. Setelah itu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 162/KMK.01/1997, KPP Go Public berubah nama menjadi KPP Perusahaan Masuk Bursa dan KPP Penanaman Modal Asing dipecah menjadi tiga yaitu KPP PMA Satu, KPP PMA Dua dan KPP PMA Tiga. Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
RI
Nomor:
443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001, Kanwil VI DJP Jaya Khusus diubah menjadi Kanwil VII DJP Jaya Khusus yang membawahi 8 KPP dan 2 Karikpa, sedangkan KPPBB yang ada di Jakarta Raya tidak lagi masuk dalam wilayah kerja Kanwil VII DJP Jaya Khusus. Kemudian Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 587/KMK.01/2003 tanggal 31 Desember 2003, terjadi perubahan struktur organisasi yang mendasar yaitu struktur organisasi Kanwil beserta KPP diubah sedemikian rupa sehingga mencerminkan prototype institusi masa depan yang menyelenggarakan administrasi perpajakan secara modern dengan menekankan pada fungsi pelayanan dan pengawasan secara profesional sebagai perwujudan customer satisfaction dan good corporate governance. Pada tahun 2004 seiring dengan diterapkannya sistem administrasi modern pada Kanwil DJP Jakarta Khusus, terjadi pemekaran unit-unit kantor di Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus menjadi 10 KPP yaitu KPP PMA Satu, KPP PMA Dua, KPP PMA Tiga, KPP PMA Empat, KPP PMA Lima,
32
KPP PMA Enam, KPP BUMN, KPP PMB, KPP Badora Satu dan KPP Badora Dua. 1. Tugas Pokok dan Kegiatan Kanwil DJP Jakarta Khusus Kanwil DJP Jakarta Khusus merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak. Berlokasi di Graha Sucofindo Lantai 10-11 Jalan Raya Pasar Minggu Kav.34 Jakarta Selatan. Kanwil DJP Jakarta Khusus mempunyai tugas melaksanakan bimbingan teknis, evaluasi dan pengendalian pelaksanaan tugas di bidang perpajakan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berada di bawah koordinasinya berdasarkan peraturanperaturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kanwil DJP Jakarta Khusus menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: a. Pemberian bimbingan dan evaluasi pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak; b. Pengamanan rencana kerja dan rencana penerimaan di bidang perpajakan; c. Bimbingan konsultasi dan pembinaan penggalian potensi perpajakan serta pemberian dukungan teknis komputer; d. Pengumpulan, pencarian dan pengolahan data serta penyajian informasi perpajakan; e. Penyiapan dan pelaksanaan kerjasama perpajakan, serta pemberian bantuan hukum;
33
f. Bimbingan pemeriksaan dan penagihan, serta pelaksanaan dan adminstrasi penyidikan; g. Bimbingan pelayanan dan penyuluhan, serta pelaksanaan hubungan pelayanan masyarakat; h. Penyelesaian keberatan dan pelaksanaan urusan banding; i. Pembetulan surat ketetapan pajak. 2. Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta Khusus Kanwil DJP Jakarta Khusus dipimpin oleh seorang kepala kantor yang membawahi beberapa bidang sebagai berikut: a. Bagian Umum Melaksanakan urusan kepegawaian seperti pengadaan absensi, kenaikan pangkat, kenaikan gaji berkala, melaksanakan urusan keuangan seperti penggajian karyawan, melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga serta bantuan hukum. Bagian ini terdiri dari: 1) Subbagian Kepegawaian 2) Subbagian Keuangan 3) Subbagian Tata Usaha dan Rumah Tangga 4) Subbagian Bantuan Hukum dan Pelaporan b. Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi Melaksanakan pemberian dukungan teknis komputer, bimbingan konsultasi, bimbingan penggalian potensi perpajakan, pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data, serta penyajian informasi perpajakan, terdiri dari:
34
1) Seksi Dukungan Teknis Konputer 2) Seksi Bimbingan Konsultasi 3) Seksi Data dan Potensi c. Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Melaksanakan bimbingan dan pemantauan penyuluhan dan pelayanan perpajakan, melaksanakan urusan hubungan pelayanan masyarakat yang menjadi tanggung jawab Kanwil.Bidang ini terdiri dari: 1) Seksi Bimbingan Pelayanan 2) Seksi Bimbingan Penyuluhan 3) Seksi Hubungan Pelayanan Masyarakat d. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Melaksanakan bimbingan teknis administrasi pemeriksaan dan penagihan pajak, pemantauan pemeriksaan dan penagihan pajak, peer review, bantuan penagihan, dan urusan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan termasuk bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. Bidang ini terdiri dari: 1) Seksi Bimbingan Pemeriksaan 2) Seksi Administrasi Penyidikan 3) Seksi Bimbingan Penagihan 4) Kelompok Jabatan Fungsional Pemeriksa dan Penyidik Pajak e. Bidang Keberatan dan Banding
35
Melaksanakan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan Surat Keputusan, pengurangan sanksi administrasi serta proses banding dan peninjauan kembali. Bidang ini terdiri dari : 1) Seksi Keberatan dan Banding I 2) Seksi Keberatan dan Banding II 3) Seksi Keberatan dan Banding III 3. Kantor Pelayanan Pajak Kantor Pelayanan Pajak atau yang biasa disingkat KPP merupakan kantor pajak yang berada di dalam wilayah Kanwil. Tugas pokok dari KPP yaitu pelayanan, pengawasan administratif, konsultasi, pemeriksaan sederhana maupun lengkap dan penagihan pajak terhadap wajib pajak dalam wilayah wewenangnya berdasarkan kebijaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut di atas, KPP berfungsi untuk melaksanakan tugas sebagai berikut; a. Pengumpulan dan pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, pengamatan potensi perpajakan, dan ekstensifikasi wajib pajak, b. penelitian dan penatausahaan surat pemberitahuan tahunan, dan surat pemberitahuan masa serta berkas wajib pajak, c. pengawasan pembayaran masa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Tidak Langsung lainnya.
36
d. Penatausahaan piutang pajak, penerimaan, penagihan, penyelesaian keberatan, penatausahaan banding, dan penyelesaian restitusi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Baraang Mewah, dan Pajak Tidak Langsung lainnya. e. pemeriksaan dan penerapan sanksi perpajakan f. penerbitan surat ketetapan pajak g. pembetulan surat ketetapan pajak h. pengurangan sanksi pajak, i. penyuluhan dan konsultasi perpajakan, j. pelaksanaan administrasi KPP. Dalam hal ini Jurusita Pajak ditempatkan pada Kantor Pejabat untuk penagihan pajak pusat/daerah tertentu yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Dinas Pendapatan Daerah Tingkat I (Propinsi), Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II (Kabupaten), dan Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II (Kotamadya). B. Metodologi Penelitian Skripsi ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat dari populasi (obyek) penelitian. Penelitian jenis ini tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan (korelasi) atau pengaruh, dan juga tidak perlu menguji hipotesis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan.
37
C. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional diperlukan agar variabel penelitian dapat diberi batasan pengertian dalam dimensi-dimensi terukur. Selain itu agar pembaca memahami pengertian, lingkup, dan maksud serta mempunyai persepsi yang sama mengenai variabel yang digunakan dalam penelitian. Berdasarkan landasan teori tentang kinerja dan pengukuran kinerja pada Bab II, definisi operasional kinerja yang digunakan dalam penelitian adalah tingkat kemampuan (skill) atau kompetensi, perilaku (behavioral) sesuai dengan peraturan atau ketaatan pada peraturan, dan efektivitas pelaksanaan tugas sesuai tujuan/standar yang telah ditetapkan. Sedangkan yang digunakan dalam aplikasinya untuk pengukuran kinerja Jurusita Pajak adalah: 1. Tingkat penguasaan materi perpajakan dan materi hukum. 2. Tingkat ketaatan Jurusita Pajak terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penagihan pajak dan keterampilan Jurusita Pajak dalam melakukan kegiatan penagihan pajak. 3. Tingkat penyampaian Surat Paksa dan SPMP dalam satu tahun. Hasil tersebut diperoleh dengan mengukur tingkat penguasaan materi, tingkat ketaatan Jurusita Pajak terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penagihan pajak dan keterampilan dalam melakukan tindakan penagihan pajak, dan tingkat pelaksanaan tindakan penagihan (Surat Paksa dan SPMP) yang diukur dengan kuesioner/daftar isian yang diisi oleh atasan Jurusita Pajak. Dengan demikian, semakin tinggi skor tingkat penguasaan materi perpajakan dan materi hukum, tingkat ketaatan
38
Jurusita Pajak terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penagihan pajak dan keterampilan dalam melakukan kegiatan penagihan pajak; dan tingkat penyampaian Surat Paksa dan SPMP maka semakin tinggi tingkat kinerja Jurusita Pajak. 1. Dimensi Kemampuan (Skill) atau Kompetensi Dalam pengukuran dimensi kemampuan (skill) atau kompetensi para Kepala Seksi (Kasi) Penagihan diminta untuk menilai tingkat penguasaan materi para Jurusita Pajak melalui kuesioner/daftar isian yang dibagikan berdasarkan skala yang telah ditentukan. Tingkat penguasaan materi tersebut meliputi tingkat pemahaman dan penguasaan Jurusita Pajak terhadap: a. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). b. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). c. Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). d. Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. e. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Perdata. f. Undang-undang Perseroan Terbatas Agar data hasil kuesioner tersebut dapat diolah lebih lanjut diperlukan skala pengukuran. Menurut Sugiyono (2002:84) pengertian skala pengukuran adalah kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga apabila alat ukur tersebut digunakan dalam pengukuran akan
39
menghasilkan data kuantitatif. Dengan tujuan untuk mendukung penelitian ini, maka digunakanlah Skala Likert untuk mengolah data yang diperoleh. Skala Likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan menggunakan Skala Likert untuk mengukur dimensi penguasaan materi, maka jawaban kuesioner akan diberi skor sebagai berikut : No.
J awaban
Skor
1
Kurang Sekali
1
2
Kurang
2
3
Cukup
3
4
Baik
4
5
Baik Sekali
5
2. Dimensi Perilaku (Behavioral) Sesuai dengan Peraturan Pada pengukuran dimensi perilaku (behavioral) yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan para Kasi Penagihan diminta untuk mengisi kuesioner/daftar isian yang di dalamnya terdapat pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan tingkat ketaatan Jurusita Pajak pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan ketrampilannya dalam melakukan tindakan penagihan pajak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diolah dan digali berdasarkan UU, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktur Jenderal
40
Pajak yang berkaitan dengan penagihan pajak sebagaimana disebutkan dalam Bab II. Pertanyaannya berkaitan dengan : a. Sebelum melakukan tindakan penagihan terlebih dahulu melakukan penelaahan terhadap berkas wajib pajak. b. Memastikan telah dikirim surat teguran kepada wajib pajak yang akan diterbitkan Surat Paksa. c. Melakukan tindakan penagihan berupa penyampaian Surat Paksa tepat waktu yaitu setelah 21 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran. d. Melakukan Inventarisasi Obyek Sita Wajib pajak berupa barang bergerak dan atau tidak bergerak e. Melakukan Inventarisasi Rekening Wajib pajak dalam database Rekening wajib pajak. f. Berusaha mencari data rekening wajib pajak ke seksi lain yang memungkinkan didapatkannya data rekening wajib pajak yang akan digunakan untuk melakukan pemblokiran. g. Melampirkan salinan Surat Paksa dan salinan Surat Perintah Melakukan
Penyitaan
pada
waktu
mengajukan
permintaan
Pemblokiran Rekening wajib pajak yang tersimpan pada bank h. Memerintahkan penanggung pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak, setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank. i. Dalam hal penanggung pajak tidak memberikan kuasa kepada bank,
41
Jurusita Pajak segera membuat surat meminta kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan agar memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak. j. Berusaha mencari keberadaan wajib pajak jika pada waktu menyampaikan Surat Paksa tidak menemukan lokasi wajib pajak k. Berusaha untuk memperoleh informasi lain untuk mencari keberadaan wajib pajak ke kantor kelurahan atau instansi terkait Kuesioner/daftar isian yang disebarkan ke seluruh Kasi Penagihan pada KPP-KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus diolah dengan menggunakan Skala Likert. Jawaban yang diberikan akan diberi skor sebagai berikut:
No.
J awaban
Skor
1
Tidak Pernah
1
2
Jarang Sekali
2
3
Jarang
3
4
Sering
4
5
Selalu
5
Sedangkan sebaliknya.
pertanyaan-pertanyaan
yang
negatif
digunakan
skor
42
3. Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Tugas Efektivitas pelaksanaan tugas dapat diukur berdasarkan tingkat penyelesaian tindakan penagihan pajak yaitu dengan mengukur berapa jumlah Surat Paksa dan SPMP yang dapat diterbitkan dan disampaikan oleh seorang Jurusita Pajak dalam jangka waktu satu tahun dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh Ditjen Pajak. Berdasarkan kuesioner/daftar isian yang dibagikan, atasan langsung dalam hal ini baik melalui Laporan Evaluasi Kinerja Penagihan KPL. 7.4-96 yang dikirimkan KPP ke Kanwil setiap triwulan dan Kasi Penagihan yang diminta untuk menilai tingkat penyelesaian tindakan penagihan bawahannya. Pertanyaan yang diajukan adalah yang berkaitan dengan: a. Jumlah Surat Paksa (SP) yang disampaikan kepada Penanggung Pajak dalam satu tahun dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan Ditjen Pajak. b. Jumlah
Surat
Perintah
Melakukan
Penyitaan
(SPMP)
yang
disampaikan kepada Penanggung Pajak dalam satu tahun dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan Ditjen Pajak. Agar data penelitian dapat diolah lebih lanjut dan diperoleh keseragaman dalam proses pengolahan data maka perlukan pemberian skor dengan berdasarkan pada Skala Likert. Oleh karena itu jawaban yang diperoleh dari para Kasi Penagihan akan diberi skor sebagai berikut:
43
No.
J awaban
Skor
1
Jauh di bawah standar
1
2
Di bawah standar
2
3
Mendekati standar
3
4
Di atas standar
4
5
Jauh di atas standar
5
D. Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini, baik data primer maupun data sekunder, dikumpulkan selama periode bulan Juni 2007. Data penelitian diperoleh dan dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner/daftar isian kepada atasan langsung atau Kasi Penagihan di KPP dalam lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus sebagai populasi penelitian. Kuesioner/daftar isian ini juga berfungsi sebagai formulir penilaian. Kuesioner/daftar isian ini berisi sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat penguasaan materi perpajakan dan hukum, tingkat ketaatan Jurusita Pajak terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan penagihan pajak dan keterampilan Jurusita Pajak dalam melakukan tindakan penagihan pajak, dan tingkat pelaksanaan tindakan penagihan (Surat Paksa dan SPMP) dalam satu tahun. Pembagian Kuesioner/daftar isian ini dilaksanakan secara langsung dengan tujuan agar para responden secara sukarela bersedia untuk mengisi kuesioner/daftar isian tersebut. Selain itu sangat diharapakan agar para responden mengisi
44
kuesioner/daftar isian tersebut dengan sejujur-jujurnya sesuai dengan keadaan/kondisi yang sebenarnya. E. Metode Analisis Data Agar data penelitian kuantitatif yang terkumpul dapat dianalisis lebih lanjut, maka data tersebut harus diolah terlebih dahulu. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel atau jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari keseluruhan responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah. Data-data yang diperoleh selama penelitian akan diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel dengan harapan agar pengolahan data tersebut dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan lebih akurat, sehingga tidak memerlukan penghitungan-penghitungan manual yang kompleks. Karena merupakan penelitian deskriptif, maka dalam pengolahan data tersebut akan digunakan teknik statistik deskriptif kuantitatif. Karakteristik data empiris akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel atau diagram/grafik untuk menggambarkan tendensi sentral, deviasi, rata-rata, median, modus dan sebagainya. Statistik deskriptif merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi.
45
BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengujian Instrumen Penelitian Pengujian Instumen penelitian yang digunakan untuk mengukur kinerja Jurusita Pajak ini dilakukan terlebih dahulu sebelum hasil penelitian diolah. Instrumen penelitian diuji baik validitas maupun reliabilitasnya. Instrumen penelitian dikatakan valid jika dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur dan reliabel jika digunakan beberapa kali pada obyek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Dengan demikian, hasil penelitiannya bisa dikatakan valid karena terdapat kesamaan antara data yang terkumpul (data statistik) dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (data parameter). Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan reliabel yaitu ketika diadakan penelitian dalam waktu yang berbeda dengan obyek yang sama maka akan diperoleh hasil yang sama. Oleh karena itu, guna mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel, maka instrumen-instrumen yang digunakan terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas dengan menggunakan analisis item yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir untuk mengetahui butir mana yang tidak valid. Setelah itu butir yang tidak valid tersebut harus di-drop. Di sisi lain, pengujian reliabilitas dilakukan dengan
46
internal consistency yang menggunakan teknik belah dua (spilt half) yaitu dengan membagi dua instrumen menjadi kelompok instrumen ganjil dan kelompok instrumen genap. Skor data tiap kelompok kemudian disusun sendiri untuk mengetahui koefisien korelasi skor total dari kelompok ganjil dan genap untuk masing-masing instrumen. 1. Pengujian Validitas Instrumen Dalam penelitian ini instrumen yang paling penting yang digunakan adalah kuesioner daftar isian. Berdasarkan kuesioner yang terkumpul dilakukan pengujuan validitas atas semua kuesioner sejumlah 23 (duapuluh tiga) kuesioner. Pengujian validitas terhadap instrumen ini dilakukan untuk memastikan bahwa instrumen-instrumen ini dapat digunakan untuk mengukur variabel penelitian sesuai dengan yang telah didefinisikan dalam Bab II. Tiap butir pertanyaan / item dalam kuesioner daftar isian tersebut diuji validitasnya dengan menggunakan analisis item dimana skor tiap butir dikorelasikan dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir. Dengan menggunakan koefisien korelasi minimum yaitu r = 0,3 maka tiap butir yang memiliki koefisien korelasi kurang dari 0,3 dinyatakan tidak valid dan harus di-drop atau diganti (Wibowo: 2004). Data uji coba yang diperoleh dari 23 Jurusita Pajak adalah sebanyak 23 dengan 19 koefisien korelasi. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 19
47
butir / item terdapat satu item yang dinyatakan tidak valid yaitu item ke- 16 dan harus di-drop karena memiliki nilai koefisien korelasi kurang dari 0,3 sebagai syarat kevaliditasan suatu butir pertanyaan. Item ke-16 tersebut selanjutnya tidak dipergunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini. Di sini dapat dilihat bahwa koefisien korelasi tertinggi adalah 0,74 sedangkan koefisien terendah adalah 0,31. Tabulasi data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 2. Tabel 1 Hasil Analisis Item Instrumen untuk Mengukur Kinerja Jurusita Pajak No Butir Instrumen
Koefisien Korelasi (r kritis) 0,30
Keterangan
1
Koefisien Korelasi (r hitung) 0,36
2
0,31
0,30
Valid
3
0,35
0,30
Valid
4
0,48
0,30
Valid
5
0,32
0,30
Valid
6
0,37
0,30
Valid
7
0,68
0,30
Valid
8
0,50
0,30
Valid
9
0,63
0,30
Valid
10
0,64
0,30
Valid
11
0,66
0,30
Valid
12
0,69
0,30
Valid
13
0,74
0,30
Valid
14
0,70
0,30
Valid
Valid
48
15
0,71
0,30
Valid
16
0,15
0,30
Drop
17
0,56
0,30
Valid
18
0,35
0,30
Valid
19
0,58
0,30
Valid
Sumber: Data Primer Diolah 2007 2. Pengujian Reliabilitas Instrumen Pengujian validitas saja tidaklah cukup untuk menentukan bisa atau tidaknya sebuah instrumen penelitian digunakan, untuk itu perlu dilakukan pengujian reliabilitas untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengujian reliabilitas dilakukan dengan internal consistency yang menggunakan teknik belah dua (split half). Selanjutnya hasil koefisien korelasinya dianalisis dengan rumus Spearman Brown. Namun demikian terlebih dahulu instrumen dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ganjil dan kelompok genap. Setelah skor total dari masing-masing kelompok diperoleh, maka korelasi skor total antara kedua kelompok tersebut dapat dihitung (lihat lampiran 3). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi antara kelompok ganjil dan genap diperoleh angka 0,88 yang selanjutnya menjadi acuan penggunaan rumus Spearman Brown (Saifuddin Azwar: 2006) sebagai berikut: ri = 2 x rb 1 + rb ri = 2 x 0,88 = 0,93 1 + 0,88
49
Berdasarkan hasil tingkat reliabilitas di atas diketahui bahwa reliabilitas instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kinerja Jurusita Pajak adalah 0,93. Dapat diambil kesimpulan bahwa berdasarkan hasil uji coba di atas instrumen ini dinyatakan sudah valid dan reliabel seluruh butirnya. Dengan demikian, instrumen ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai alat pengukuran dalam rangka pengumpulan data. B. Deskripsi Data Hasil Analisis Dengan menggunakan instrumen yang berupa kuesioner/daftar isian maka dapat diperolah data yang diperlukan untuk mengukur kinerja Jurusita Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus. Dalam kuesioner tersebut terdapat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat penguasaan materi, tingkat ketaatan pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan keterampilan dalam melakukan penagihan pajak, dan tingkat penyelesaian laporan pelaksanaan kegiatan penagihan pajak sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Sebelumnya kuesioner/daftar isian diberikan kepada 10 Kepala Seksi Penagihan Pajak pada KPP untuk disebarkan kepada Jurusita Pajak yang ada di seksi penagihan masing-masing KPP. Sejumlah 23 kuesioner disebarkan sesuai dengan jumlah Jurusita Pajak yang ada di KPP dalam lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus. Selanjutnya peneliti menerima kembali sejumlah 23 kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan berarti bahwa jumlah kuesioner
50
yang diterima peneliti sesuai dengan jumlah kuesioner yang telah disebarkan. Dengan demikian tingkat pengembalian kuesioner sebanyak 100%. Berdasarkan data dari 23 kuesioner yang telah diterima peneliti semuanya diisi dengan sempurna oleh responden. Dengan demikian jumlah kuesioner yang memenuhi syarat untuk bisa diolah dalam rangka penelitian ini sebanyak 23 atau 100%. Hal ini disebabkan karena adanya kerjasama yang baik antara peneliti dengan responden. Selain itu peneliti juga mencoba untuk mengadakan pendekatan langsung kepada para responden sehingga selama riset peneliti juga mendapatkan keterangan-keterangan lain baik dari para Jurusita Pajak maupun Kepala Seksi Penagihan Pajak. C. Pengujian Persyaratan Pengolahan Data Berdasarkan pengujian reliabilitas dan validitas terhadap instrumen penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa instrumen penelitian ini dinyatakan reliabel dan valid untuk digunakan. Selanjutnya instrumen digunakan untuk mengumpulkan data yang sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Dari proses pengumpulan data diperoleh data yang berupa data-data rasio. Namun demikian data tersebut belum dapat diolah lebih lanjut karena terlebih dahulu harus dilakukan pengujian persyaratan pengolahan data. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat normalitas distribusi data. Dalam penelitian ini pengujian persyaratan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan rumusan Chi Kuadrat (χ2). Rumus ini digunakan untuk
51
menguji signifikansi perbedaan frekuensi yang diobservasi fo, (frekuensi yang diperoleh berdasarkan data), dengan frekuensi yang diharapkan fh (Suharsimi Arikunto, 1998:259). Pengujian normalitas data kinerja Jurusita Pajak ini diperoleh dari 23 sampel dengan interval enam. Menurut Sugiyono (2002:173) jumlah kelas interval adalah 6, karena luas kurva normal dibagi menjadi enam yang masing-masing luasnya adalah 2,7%, 13,53%, 34,13%, 34,13%, 13,53% dan 2,7%. Tabel 2 Pengujian Normalitas Data Kinerja Jurusita Pajak Interval
fo
fh*
(fo-fh)
(fo-fh)2
50 - 55
1
0.6
0.4
0.16
(fo-fh)2 fh 0.266667
56 - 61
6
3.1
2.9
8.41
2.712903
62 - 67
5
7.8
-2.8
7.84
1.005128
68 - 73
4
7.8
-3.8
14.44
1.851282
74 - 79
6
3.1
2.9
8.41
2.712903
80 - 85
1
0.6
0.4
0.16
0.266667
Jumlah
23
23
0
39.42
8.81555
Sumber: Data Primer Diolah 2007 Keterangan: fh* = 2,7% x 23 ;13,53% x 23 ; 34,13% x 23 ; 34,13% x 23 ; 13,53% x 23 ; 2,7% x 23 Berdasarkan hasil penghitungan Chi Kuadrat di atas diketahui bahwa nilai χ2 pengolahan data pada penelitian ini adalah 8.81555. Selanjutnya nilai χ2 ini dibandingkan dengan harga kritik χ2 yang tertera pada tabel lampiran 10.
52
Apabila nilai χ2 lebih besar atau sama dengan harga kritik χ2 tabel maka data dinilai tidak normal, akan tetapi apabila nilainya lebih kecil maka data bisa dinyatakan normal. Dengan menggunakan derajat kebebasan (dk) 6-1=5 maka dapat diketahui bahwa taraf kesalahan 5% dan harga kritik Chi Kuadrat 11,070. Berdasarkan nilai dan harga kritik di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai χ2 lebih kecil dari harga kritik χ2 pada tabel (8.81555<11,070). Dengan demikian maka distribusi data kinerja Jurusita Pajak yang telah diperoleh dinyatakan normal dan dapat diolah lebih lanjut. D. Pengolahan Data Data yang diperoleh dan layak untuk diolah lebih lanjut selama riset ini diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel. Hasil pengolahan datadata yang berkaitan dengan kinerja Jurusita Pajak dalam penelitian ini selengkapnya dipaparkan dalam lampiran 5, 6, dan 7. Namun demikian secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini: Tabel 3 Hasil Pengolahan Data Kinerja Jurusita Pajak
Tingkat penguasan materi
483
690*
Proporsi (%) 23
Tingkat
902
1150**
44
ketaatan
peraturan
pada
perundang-
undangan perpajakan dan keterampilan
dalam
melakukan penagihan
Skor
Maks
Proporsi Maks 33 56
53
Tingkat
penyelesaian
155
230***
7
11
1540
2070
74
100
tindakan penagihan pajak
Tingkat kinerja Jurusita Pajak
Sumber: Data Primer Diolah 2007 Keterangan: *
6 x 5 x 23 =
690
** 10 x 5 x 23 = 1150 *** 2 x 5 x 23 = 230 Sedangkan rata-rata skor hasil pengukuran disajikan dalam Tabel 4 berikut: Tabel 4 Rata-rata Hasil Pengolahan Data Kinerja Jurusita Pajak Skor
Maks
- Tingkat penguasan materi
3,50
5,00
Persentase (%) 70
- Tingkat ketaatan pada peraturan
3,92
5,00
78
3,37
5,00
67
3,72
5,00
74
perundang-undangan perpajakan dan keterampilan dalam melakukan penagihan - Tingkat penyelesaian tindakan penagihan pajak - Tingkat kinerja Jurusita Pajak Sumber: Data Primer Diolah 2007 E. Interpretasi dan Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini dibagi menurut dimensi kinerja Jurusita Pajak dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Jurusita Pajak dan Penagihan Pajak sebagai berikut:
54
1. Evaluasi atas Tingkat Penguasaan Materi Berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh para kepala seksi Penagihan Pajak yang terkait dengan tingkat penguasaan materi para Jurusita Pajak dapat diketahui bahwa skor yang mereka peroleh adalah 483 dari skor maksimum 690 atau 70% untuk 23 Jurusita Pajak. Sedangkan skor rata-ratanya adalah 3,50 dari skor maksimum 5,00. Hal ini menunjukkan bahwa menurut penilaian Kepala Seksi Penagihan Pajak, para Jurusita Pajak pada umumnya tidak terlalu menguasai materi perpajakan atau bisa juga dikatakan bahwa tingkat penguasaan materi para Jurusita Pajak termasuk dalam kategori cukup. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa para Jurusita Pajak memiliki kecenderungan hanya menguasai materi perpajakan yang berkaitan langsung dengan ruang lingkup penagihan. Hal ini disebabkan karena luasnya scope perpajakan dan sering berubahnya peraturan perpajakan seiring dengan adanya permasalahan-permasalahan baru dalam bidang pajak. Hal ini memberi dampak adanya spesialisasi dalam bidangnya masing-masing dikarenakan pertimbangan cost benefit yang harus dikeluarkan para fiskus jika harus menguasai seluruh bidang perpajakan. Meskipun demikian, seorang Jurusita Pajak dituntut untuk benar-benar memahami serta menguasai peraturan perundang-undangan perpajakan secara global karena mereka lah yang bekerja secara teknis bertemu
55
langsung dengan wajib pajak. Mereka tidak hanya bekerja melakukan penagihan tetapi juga memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada wajib pajak sehingga diharapkan tidak adanya perbedaan pandangan antara Jurusita Pajak dengan wajib pajak. Hal ini akan memudahkan Jurusita Pajak untuk melakukan tugas-tugasnya dikemudian hari jika harus melakukan kegiatan penagihan pajak. Materi perundang-undangan yang memiliki skor lebih dari 70% adalah: a. Penguasaan terhadap materi ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) b. Penguasaan terhadap materi Undang-undang Pajak Penghasilan (PPH) c. Penguasaan terhadap materi Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Sedangkan materi perundang-undangan yang memilki skor kurang dari 70% adalah: a. Penguasaan terhadap materi Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dibagikan dan telah diolah diketahui bahwa skor untuk penguasaan terhadap materi Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah 67%. Hal ini menunjukkan bahwa para Jurusita Pajak kurang menguasai materi ini yang pada
56
akhirnya dapat dilihat bahwa penerbitan dan penyampaian Surat Paksa dan SPMP sangat kurang dibandingkan dengan target yang sudah ditetapkan oleh Dirjen Pajak. b. Penguasaan terhadap materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Perdata Selain peraturan perundang-undangan perpajakan seorang Jurusita Pajak seharusnya juga menguasai peraturan perundang-undangan baik hukum pidana maupun perdata karena seringkali kegiatan penagihan ini bersangkutan dengan masalah hukum. Tanpa penguasaan materi hukum yang baik dapat diprediksikan bahwa kemungkinan kegiatan penagihan akan mengalami kegagalan karena seperti yang sudah diketahui bahwa para wajib pajak semakin pandai dan mereka bisa saja didampingi oleh pengacara-pengacara profesional. Berdasarkan penelitian ini, skor untuk penguasaan terhadap materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Perdata adalah 64%. Hal ini menunjukkan bahwa para Jurursita Pajak belum sepenuhnya menguasai materi hukum yang sebenarnya sangat diperlukan dilapangan ketika kegiatan penagihan pajak ini berbenturan dengan masalah hukum. Kurangnya pemahaman tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Perdata ini bisa berdampak kegagalan dalam pelaksanaan tugas sehingga akan mengakibatkan kerugian oleh negara. Kenyataan ini
57
sangat disayangkan karena Jurusita Pajak merupakan ujung tombak suksesnya kegiatan penagihan para Wajib Pajak yang mangkir dari kewajibannya membayar pajak. c. Penguasaan terhadap materi Undang-undang Perseroan Terbatas Penguasaan terhadap materi yang terakhir ini memiliki skor terendah yaitu 59% yang menggambarkan bahwa tidak banyak Jurusita yang memahami materi Undang-undang Perseroan Terbatas. Mungkin memang tampak kurang penting untuk menguasai masalah Perseroan terbatas, akan tetapi seharusnya Jurusita pajak menguasai materi ini karena dalam tindakan penagihan mereka akan berhadapan dengan para wajib pajak yang mungkin memilki Perseroan Terbatas. Disamping penguasaan materi seorang Jurusita juga wajib memiliki kapabilitas sebagai seorang Jurusita Pajak yang disiplin, konsisten, loyal, dan terbuka. Oleh karena itu seorang Jurusita diharapkan bersikap profesional dalam arti mempunyai integritas moral yang tinggi dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. 2. Evaluasi atas Tingkat Ketaatan pada Peraturan Perundang-undangan Perpajakan dan Keterampilan dalam melakukan Penagihan pajak Hasil pengukuran terhadap tingkat ketaatan Jurusita Pajak pada peraturan perundang-undangan perpajakan serta keterampilan dalam melakukan penagihan pajak menunjukkan bahwa skor yang diperoleh
58
adalah 902 dari total skor 1150 atau sudah mencapai 78%. Sedangkan untuk skor rata-ratanya adalah 3,92 dari skor maksimum 5,00. Secara sepintas hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketaatan para Jurusita Pajak terhadap peraturan perundang-undangan sudah cukup bagus. Mereka juga sudah cukup terampil dalam melakukan penagihan pajak. Berikut ini norma, pedoman dan aturan yang sudah dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan cukup optimal: a. Sebelum melakukan tindakan penagihan terlebih dahulu melakukan penelaahan terhadap berkas wajib pajak. Pentingnya prosedur ini sudah dipahami dan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan sangat baik seperti yang terlihat pada skor yang diperoleh yaitu sebesar 83%. Prosedur ini banyak sekali membantu Jurusita Pajak dalam melakukan tindakan penagihan karena memberi gambaran kepada Jurusita Pajak tentang apa yang harus dilakukan nantinya. Berdasarkan penelaahan terhadap berkas wajib pajak seorang jurusita dapat mengetahui jumlah tunggakan pajak yang tidak dibayarkan oleh wajib pajak, alamat wajib pajak, ada tidaknya surat teguran, Surat Paksa, serta latar belakang wajib pajak sehingga Jurusita pajak dapat menganalisa dan mengidetifikasi masalah yang mungkin terjadi. Dengan demikian Jurusita Pajak dapat menentukan langkahlangkah yang harus diambil sehingga kegiatan penagihan pajak dapat
59
berjalan dengan lancar. b. Memastikan telah dikirim surat teguran kepada wajib pajak yang akan diterbitkan Surat Paksa. Surat Teguran diterbitkan apabila setelah 7 hari sejak tanggal jatuh tempo wajib pajak belum membayar tunggakan pajaknya. Penerbitan Surat Teguran sangat penting karena menyangkut tindakan penagihan selanjutnya yaitu penerbitan Surat Paksa. Tugas Jurusita Pajak adalah memastikan bahwa Surat Teguran sudah dikirim kepada wajib pajak untuk memberikan peringatan kepada wajib pajak agar segera membayar tunggakan pajak. Dalam hal ini Jurusita tidak boleh mengabaikan prosedur ini karena dapat berakibat salahnya penerbitan Surat Paksa yang bisa berujung pada masalah hukum. Melalui penelitian ini diketahui bahwa kinerja Jurusita Pajak dalam hal memastikan terbitnya surat teguran sebelum Surat Paksa sangat baik. Hal itu terbukti dengan perolehan skor yang tertinggi untuk dimensi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yaitu sebesar 84%. Jurusita Pajak dalam melakukan tindakan penagihan pajak memang sudah seharusnya melakukan penelitian terhadap administrasi penagihan pajak termasuk sudah diterbitkan atau belum surat teguran sehingga prosedur tindakan penagihan pajak dilakukan dengan sebaikbaiknya.
60
c. Melakukan tindakan penagihan berupa penyampaian Surat Paksa tepat waktu yaitu setelah 21 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran. Pedoman penyampaian Surat Paksa tepat waktu sangat diperlukan oleh Jurusita karena dapat memperlihatkan kedisiplinan dan loyalitas Jurusita Pajak dalam melaksanakan kegiatan penagihan. Berdasarkan data yang diperoleh selama pembuatan skripsi ini diketahui bahwa skor untuk ketaatan Jurusita Pajak terhadap peraturan tindakan penyampaian Surat Paksa tepat waktu yaitu 21 hari sejak diterbitkan Surat Teguran adalah 83%. Hal ini menunjukkan bahwa Jurusita Pajak sudah melaksanakan tugasnya dengan cukup baik. Penyampaian Surat Paksa yang tepat waktu akan membantu Jurusita Pajak untuk melakukan penagihan secara paksa kepada wajib pajak karena Surat Paksa ini memiliki kekuatan hukum sama seperti putusan hakim. Langkah selanjutnya yang dapat dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan diterbitkannya Surat Paksa ini adalah penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) dalam waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa diterbitkan. d. Melakukan Inventarisasi Obyek Sita Wajib Pajak berupa barang bergerak dan atau tidak bergerak Pada prosedur pengumpulan data inventaris obyek sita yang dimiliki wajib pajak diperoleh skor 83%. Dalam hal ini dapat dilihat
61
bahwa kinerja Jurusita Pajak sudah sangat baik. Inventarisasi obyek sita wajib pajak dibedakan menjadi dua yaitu barang bergerak dan tidak bergerak. Inventaris yang termasuk barang bergerak antara lain kendaraan, komputer, furniture, dan lain-lain. Barang tidak bergerak antara lain tanah dan atau bangunan. e. Melakukan Inventarisasi Rekening Wajib pajak dalam database Rekening wajib pajak Prosedur ini dilakukan untuk mengetahui rekening-rekening wajib pajak karena biasanya wajib pajak memiliki lebih dari 1 rekening. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemindahan rekening wajib pajak ke rekening lain ataupun penyimpanan kekayaan yang luput dari penyitaan Jurusita Pajak. Dengan inventarisasi ini diharapkan Jurusita Pajak bisa menghitung jumlah kekayaan wajib pajak sehingga bisa menentukan tindakan penyitaan atas tunggakan pajak yang belum dibayar. Kegiatan invetarisasi ini sangat bermanfaat dalam kegiatan pemblokiran rekening wajib pajak yang saat ini menjadi salah satu andalan kegiatan penagihan pajak. Pada prosedur ini kinerja Jurusita Pajak diperoleh skor 78% berarti cukup mendekati bagus. f. Berusaha mencari data rekening wajib pajak ke seksi lain yang memungkinkan didapatkannya data rekening wajib pajak yang akan digunakan untuk melakukan pemblokiran.
62
Pada kenyataanya di lapangan seringkali petugas Jurusita Pajak mengalami kesulitan dalam melakukan inventarisasi rekening wajib pajak. Oleh karena itu Jurusita Pajak dapat meminta bantuan seksi lain guna mendapatkan data rekening wajib pajak yang akan digunakan untuk melakukan pemblokiran. Pada prosedur ini Jurusita Pajak dituntut untuk menjunjung tinggi loyalitas dan kejujuran serta kedisiplinannya sehingga wajib pajak tidak bisa menyembunyikan harta kekayaanya dan meloloskan diri dari kewajibannya membayar pajak. Kerjasama antara Jurusita Pajak dengan seksi lain mendapat skor 73%. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kerjasama yang terjalin antara Jurusita Pajak dan pihak-pihak yang terkait dengan data rekening wajib pajak. Kegagalan pengumpulan data rekening wajib pajak akan berdampak lepasnya wajib pajak dari kewajiban melunasi tunggakan pajak sehingga akan merugikan negara. Jurusita Pajak bisa mendapatkan informasi nomor rekening wajib pajak melalui seksi lain atau unit kantor lain misalnya dari seksi pelayanan jurusita bisa meminta informasi rekening wajib pajak yang sedang dalam proses pembayaran kelebihan pajaknya melalui SPMKP dimana kelebiohan pembayaran pajaknya ditransfer ke rekening wajib pajak. Rekening wajib pajak ini bisa dimasukkan dalam database nomor rekening yang di kemudian hari bisa digunakan dalam kegiatan
63
penagihan pajak khususnya pemblokiran apabila dikemudian hari wajib pajak menunggk pajak. g. Melampirkan salinan Surat Paksa dan salinan Surat Perintah Melakukan Penyitaan pada waktu mengajukan permintaan Pemblokiran Rekening wajib pajak yang tersimpan pada bank Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Jurusita Pajak adalah mengajukan permintaan Pemblokiran Rekening wajib pajak yang tersimpan pada bank. Hal ini bertujuan agar wajib pajak tidak bisa memindahkan atau mengecilkan rekeningnya. Jurusita Pajak wajib melampirkan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebagai bukti bahwa wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak. Rekening wajib pajak bisa dilakukan pemblokiran apabila kepada wajib pajak tersebut telah diterbitkan surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Dengan demikian bank akan menerima permintaan pemblokiran dan membuat berita acara pemblokiran. Prosedur ini memiliki skor 77% yang berarti bahwa sebagian besar Jurusita Pajak sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. h. Memerintahkan penanggung pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak, setelah menerima berita acara pemblokiran dari
64
bank. Penerbitan berita acara pemblokiran dari bank memberikan kuasa kepada Jurusita Pajak guna memerintahkan penanggung pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahu kekayaanya yang tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak, sehingga Jurusita Pajak dapat memperhitungkan kekayaan wajib pajak dengan tunggakan pajaknya dan segera melakukan eksekusi terhadap saldo kekayaan wajib pajak pada rekening yang telah diblokir. Prosedur ini di lapangan sudah cukup dilakukan tetapi wajib pajak sering tidak mau memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo rekening wajib pajak sehingga cukup menyulitkan Jurusita untuk menghitung apakah saldo yang ada dalam rekening yang telah diblokir tersebut sudah cukup atau belum untuk melunasi tunggakan pajak wajib pajak Perolehan skor dari prosedur ini
73 %. Ini menggambarkan bahwa prosedur ini telah
dilakukan oleh para Jurusita tetapi masih dalam kategori cukup sehingga perlu ditingkatkan lagi sehingga proses penagihan pajak dalam hal ini pemblokiran rekening menjadi lebih bagus pencapaiannya. i. Dalam hal penanggung pajak tidak memberikan kuasa kepada bank, Jurusita Pajak segera membuat surat meminta kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan agar memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak.
65
Pada
kenyataanya
penanggung
pajak
seringkali
tidak
mengindahkan perintah dari Jurusita Pajak untuk memberi kuasa kepada bank dalam rangka memberitahukan jumlah kekayaanya yang tersimpan di bank. Oleh karena itu Jurusita Pajak mempunyai kekuasaan untuk meminta Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan agar memerintahkan bank memberitahu saldo kekayaan penanggung pajak. Hal ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan penagihan sehingga Jurusita Pajak dapat segera melaksanakan penyitaan atas kekayaan wajib pajak guna melunasi tunggakan pajaknya. Pada prosedur ini petugas Jurusita kurang dapat memanfaatkan kekuasannya untuk mengetahui saldo penanggung pajak. Skor yang diperoleh adalah skor terendah dalam dimensi ketaatan dalam yaitu 72%. Kurangnya kinerja Jurusita Pajak dalam mentaati prosedur ini terjadi karena kendala waktu yang sempit karena melaksanakan tugas tugas administrasi penagihan yang tidak sedikit sehingga prosedur ini tidak segera dilakukan oleh Jurusita Pajak dan kadang-kadang tertunda untuk waktu beberapa lama dalam meminta kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan agar memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak. j. Usaha untuk memperoleh informasi lain untuk mencari keberadaan wajib pajak ke kantor kelurahan.
66
Pekerjaan yang paling sulit dan yang wajib dilakukan petugas Jurusita Pajak adalah mencari wajib pajak ketika secara tiba-tiba wajib pajak menghilang sehingga kewajiban membayar pajak tidak dilakukan. Kejadian seperti ini seringkali terjadi ketika dengan sengaja penanggung pajak meninggalkan tempat usaha atau tempat tinggalnya sehingga Jurusita Pajak tidak dapat menyampaikan surat pemberitahuan, teguran maupun Surat Paksa karena karakteristik wajib pajak di Kanwil DJP Jakarta Khusus adalah wajib pajak-wajib pajak yang status modalnya asing dan atau orang asing sehingga seringkali wajib pajak / penanggung pajak sulit dicari keberadaannya karena setelah mereka mempunyai utang pajak mereka pulang ke negaranya dan tempat kedudukan usahanyapun hanya menyewa sehingga Jurusita kesulitan dalam melakukan tindakan penagihan. Oleh karena itu Jurusita Pajak dituntut untuk bersikap tanggap dengan perilaku wajib pajak yang tidak kooperatif seperti ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh oleh Jurusita Pajak dalam rangka mencari informasi mengenai keberadaan wajib pajak adalah dengan meminta bantuan kantor kelurahan tempat tinggal wajib pajak. Akan tetapi karena kemungkinan bahwa kantor kelurahan tidak mengetahui kepindahan wajib pajak cukup besar maka kemungkinan usaha Jurusita Pajak akan gagal. Meskipun demikian petugas Jurusita Pajak tidak begitu saja
67
mengecilkan prosedur ini. Hal ini terbukti dengan cukup tingginya skor yang diperoleh pada prosedur ini yaitu sebesar 76%. 3. Evaluasi atas Tingkat Penyelesaian Tindakan Penagihan Pajak Berdasarkan data-data yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa skor untuk dimensi Efektivitas Pelaksanaan Tugas yang diukur dengan melihat jumlah Surat Paksa dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) adalah 155 dari skor maksimum 230 atau 67%, sedangkan untuk skor rata-ratanya adalah 3,37 dari nilai maksimum 5,00. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah Surat Paksa dan SPMP yang diterbitkan dan disampaikan oleh seorang Jurusita Pajak dalam satu tahun jauh di bawah standar jika dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh Ditjen Pajak Penerbitan dan penyampaian Surat Paksa dan SPMP yang kurang ini disebabkan oleh banyaknya kendala yang ditemui Jurursita Pajak di lapangan. Beberapa kendala tersebut antara lain kurangnya sikap bersahabat dan bekerjasama dari wajib pajak, sulitnya menemukan alamat wajib pajak, kurang lengkapnya data-data yang diperlukan untuk menerbitkan Surat Paksa serta tugas administrasi penagihan lain yang harus dikerjakan Jurusita di kantor sehingga Jurusita terganggu konsentrasi dan waktunya dalam melakukan tindakan penagihan pajak di lapangan. Pada penelitian ini diketahui bahwa penerbitan dan penyampaian Surat Paksa kepada
68
penanggung pajak hanya dilakukan sebesar 70% saja sedangkan persentase penyampaian SPMP kepada penanggung pajak adalah 65%. Ini berarti bahwa jumlah Surat Paksa dan SPMP yang disampaikan ke wajib pajak masih kurang dari target yang telah ditentukan oleh Ditjen Pajak. 4. Analisis atas Kendala-kendala Jurusita Pajak dalam melaksanakan kegiatan Penagihan Pajak Kurang berhasilnya Jurusita pajak dalam melakukan kegiatan Penagihan tidak selalu karena kurangnya kemampuan penguasaan materi perundang-undangan maupun kurangnya keterampilan Jurusita Pajak dalam melakukan tugasnya, namun bisa jadi dikarenakan adanya hambatanhambatan yang datang dari pihak wajib pajak. Dalam praktiknya pelaksanaan Penagihan Pajak tidak semudah dan selancar seperti apa yang dibayangkan. Berdasarkan hasil kuesioner yang dibagikan dan wawancara yang dilakukan dengan para Jurusita Pajak, dapat disimpulkan adanya beberapa kendala utama yang paling sering dikeluhkan para Jurusita Pajak dalam menyelesaikan tindakan penagihan pajak. Kendala-kendala tersebut antara lain: a. Alamat wajib pajak tidak ditemukan Salah satu tindakan tidak kooperatif wajib pajak yang paling merugikan adalah ketika wajib pajak tiba-tiba menghilang atau bahkan berpindah
alamat
tanpa
pemberitahuan.
Keadaan
ini
sangat
69
menggaggu jalannya penagihan karena dengan menghilangnya wajib pajak Jurusita Pajak tidak dapat menyampaikan Surat Teguran, Surat Paksa, SPMP dan tindakan-tindakan penagihan selanjutnya. Dengan demikian tunggakan pajak tidak dapat dilunasi yang berarti bahwa negara telah dirugikan oleh wajib pajak. Berdasarkan tata cara penagihan pajak seorang Jurusita harus jeli dan mempunyai keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan ketika menghadapi wajib pajak yang tidak kooperatif. Dalam hal alamat wajib pajak tidak ditemukan Jurusita Pajak segera melakukan pencarian baik melalui sistem administrasi kantor melalui masterfile wajib pajak atau dengan meminta bantuan kantor kelurahan untuk mencari alamat wajib pajak yang baru. Namun demikian ketika wajib pajak lebih cerdik dengan tidak melaporkan kepindahannya ke kantor kelurahan maka Jurusita Pajak tidak dapat melakukan kewenangannya untuk menyerahkan Surat Paksa yang nantinya digunakan untuk melakukan tindakan penagihan selanjutnya yaitu penyitaan
harta
kekayaan wajib pajak seperti pemblokiran rekening. Hal ini pada akhirnya menghambat tindakan penagihan oleh Jurusita Pajak. b. Wajib Pajak tidak kooperatif Keberhasilan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh Jurusita Pajak sangat tergantung dengan sikap dan kerjasama dari wajib
70
pajak. Dalam hal ini persepsi wajib pajak tentang tindakan penagihan sangat menentukan jalannya penagihan. Wajib pajak yang mempunyai persepsi positif terhadap tindakan penagihan akan bertindak kooperatif dengan membantu Jurusita Pajak sehingga tindakan penagihan bisa berjalan lancar. Sebaliknya, bagi wajib pajak yang mempunyai persepsi yang negatif terhadap tindakan penagihan akan memberikan respon yang negatif pula dan cenderung bersikap tertutup bahkan menghindar. Namun demikian, seperti diketahui bahwa tindakan penagihan terjadi karena wajib pajak memiliki tunggakan pajak yang belum dibayarkan, oleh karena itu sikap wajib pajak pun menjadi tidak kooperatif. Dengan demikian diharapkan petugas Jurusita Pajak mampu bersikap profesional dan bersahabat serta ramah dengan wajib pajak, sehingga kesan menakutkan dari tindakan penagihan maupun sosok Jurusita Pajak akan hilang. Selain itu Jurusita Pajak diharap membantu wajib pajak dengan memberikan penjelasan yang tepat tentang adanya tindakan penagihan tersebut sehingga wajib pajak tau akan hak dan kewajibannya pada saat wajib pajak menunggak pajak dan dilakukan tindakan penagihan dan tidak ada kesan bahwa Jurusita Pajak sengaja mencari-cari kesalahan wajib pajak dan membuat wajib pajak makin terbebani dengan pajak yang harus dibayar. Untuk tujuan itu Jurusita Pajak diharapkan memiliki keterampilan menggunakan pendekatan-
71
pendekatan psikologis yang sebaik-baiknya kepada wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat menerima tindakan penagihan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak. c. Permasalahan penagihan pajak kompleks Prosedur pertama yang harus dilakukan oleh Jurusita pajak sebelum melakukan tindakan penagihan adalah menelaah berkasberkas wajib pajak. Melalui penelaahan yang cukup diharapkan Jurusita Pajak mendapatkan informasi yang jelas mengenai jenis usaha yang dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini bertujuan agar setelah mendapat informasi tentang ruang lingkup usaha dari wajib pajak, Jurusita Pajak dapat mempelajari tentang bisnis tersebut sehingga mampu merumuskan dan membuat analisa awal tentang langkahlangkah yang harus diambil selanjutnya. Dengan demikian Jurusita Pajak dapat lebih fokus pada masalah-masalah yang dihadapi oleh wajib pajak dan dapat menentukan kemungkinan yang dilakukan wajib pajak sehingga Jurusita Pajak tidak mengalami hambatan bahkan kegagalan dalam melaksanakan tugasnya. Namun demikian yang menjadi permasalahannya adalah banyaknya Jurusita Pajak yang tidak memiliki waktu bahkan enggan untuk melakukan penelaahan berkasberkas wajib pajak sebelum melakukan penagihan.
72
Badan Usaha atau bisnis wajib pajak yang bermacam-macam dan memiliki karakteristik berbeda satu sama lain menjadi masalah tersendiri bagi Jurusita Pajak. Kesalahpahaman antara wajib pajak dengan Jurusita Pajak tidak dapat dihindari karena Jurusita Pajak kurang memahami karakteristik usaha wajib pajak. Hal ini pada prinsipnya dapat dihindari apabila Jurusita Pajak mau mempelajari dan memahami karakteristik badan usaha wajib pajak. Berdasarkan hasil penelitian ini yang terdapat pada dimensi tingkat penguasaan materi dapat dilihat bahwa hanya 59% saja Jurusita Pajak yang mempelajari tentang perseroan terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa Jurusita Pajak kurang menguasai materi-materi yang berkaitan dengan badan usaha dari wajib pajak. Pemahaman atas masalah pajak yang komplek ini bisa dilakukan oleh wajib pajak dengan mempelajari literatur yang ada melalui bukubuku, learning by doing jadi sejalan dengan pelaksanaan tugas sebagai jurusita bisa dipelajari permasalahan permasalahan yang ada. Diklat yang berkaitan dengan tugas-tugas Jurusita juga perlu diadakan oleh Subbag Pengembangan agar hal-hal yang bisa mendukung kinerja Jurusita bisa diadakan diklatnya d. Data harta kekayaan penunggak pajak (obyek sita) yang kurang lengkap
73
Salah satu kendala Jurusita Pajak adalah kurangnya data harta kekayaan penunggak pajak (obyek sita) dari pihak lain. Jurusita Pajak sangat tergantung pada kelengkapan data-data wajib pajak dimana Jurusita Pajak tidak akan bisa melakukan tugasnya tanpa data-data tersebut. Pada persiapan penagihan Jurusita Pajak memerlukan berkasberkas wajib pajak untuk ditelaah sebagai bahan dalam menentukan tindakan yang akan di ambil. Ketika berkas-berkas wajib pajak terlambat sampai ke tangan Jurusita Pajak maka kegiatan penagihan belum bisa berjalan, dan yang lebih parah lagi apabila Jurusita kehilangan jejak wajib pajak hanya karena hal tersebut. Pada saat Jurusita Pajak memerlukan data-data inventarisasi rekening wajib pajak dari seksi lain maka Jurusita Pajak berharap data tersebut segera di dapatkan. Sebagai contoh data asset wajib pajak seharusnya bisa dilihat pada Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) dalam kolom daftar harta. Informasi rekening wajib pajak juga sangat diperlukan dalam kegiatan pemblokiran. Informasi rekening wajib pajak yang lengkap akan mempercepat proses penyitaan asset wajib pajak melalui pemblokiran rekening. Apabila data-data tersebut tidak segera di dapatkan Jurusita memiliki dua kerugian yaitu waktu yang semakin sempit dan kemungkinan wajib pajak telah memindahkan kekayaannya ke rekening lain.
74
Komunikasi yang baik dengan seksi lain (seksi pelayanan, seksi pemeriksaan dan seksi Pengawasan dan Konsultasi) serta kerjasama dengan unit lain dalam hal ini Kantor Wilayah yang membawahi KPP bisa menjadi solusi agar apabila pihak lain tersebut mempunyai data harta kekayaan wajib pajak (obyek sita) segera bisa memberikan kepada seksi penagihan KPP yang bersangkutan agar diinventarisir sehingga pada saat dibutuhkan nanti bisa memaksimalkan kegiatan penagihan pajak. e. Lokasi wajib pajak dan obyek sita yang jauh Lokasi wajib pajak seringkali menjadi hambatan yang berarti bagi Jurusita Pajak karena jarak yang jauh tersebut bisa menyita waktu yang banyak sehingga banyak waktu terbuang dalam perjalanan. Wajib Pajak dalam lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus sebagian besar berstatus Penanaman Modal Asing dimana lokasi pabrik atau tempat usahanya banyak di luar Jakarta yaitu di Tangerang, Cikarang, Bogor bahkan diluar pulau jawa seperti di Batam, Padang, Bali dan lain lain. Keberadaan obyek sita yang jauh ini tentu menjadi kendala bagi Jurusita misalnya seorang Jurusita harus menyampaikan Surat Paksa ke Cikarang dan Tangerang dalam hari yang sama tentu akan menyulitkan sehingga waktu terbuang dijalan. Penjadualan yang baik
75
dan tenaga jurusita yang diperbanyak bisa menjadi solusi yang tepat sehingga kendala tempat yang jauh ini bisa diatasi. f. Pemeliharaan obyek sita Obyek sita yang telah didapatkan dan dikuasai oleh Jurusita pajak seringkali masih menimbulkan masalah. Masalah yang timbul berkaitan dengan pemeliharaan obyek sita jaminan tersebut. Obyek sita berupa kendaraan biasanya langsung dibawa oleh Jurusita ke Kantor tetapi obyek sita yang lain seperti furniture, mesin, komputer dan lain-lain hanya ditempelkan segel disita dan tidak dibawa dengan pertimbangan antara lain di KPP tidak tersedia tempat atau ruangan yang bisa digunakan untuk menyimpan dengan aman obyek sita ini sampai saat obyek sita ini dilelang. Pada saat obyek sita ini hanya ditempel segel sita sesuai Undang-undang penanggung pajak atau siapapun tidak diperbolehkan mencopot atau merusak segel sita tersebut. Tetapi bagaimana halnya apabila atas barang yang sudah ditempeli segel sita itu dirubah spesifikasinya atau bahkan dihilangkan. Hal ini bisa mengganggu proses kegiatan penagihan pajak selanjutnya yaitu lelang. g. Harus menyelesaikan tugas-tugas lain Berdasarkan data Jurusita Pajak yang diukur kinerjanya, diketahui bahwa banyak dari para Jurusita yang mengeluhkan akan
76
banyaknya tugas yang harus mereka selesaikan sedangkan jumlah Jurusita setiap KPP sangat sedikit. Setiap KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus hanya memiliki 2 sampai 3 Jurusita saja. Padahal seperti diketahui tugas Jurusita sangatlah banyak dengan standar yang telah ditetapkan sangatlah berat sehingga hal tersebut sangat merepotkan untuk Jurusita. Tugas-tugas administrasi yang seharusnya dikerjakan oleh pegawai yang bukan berstatus Jurusita terpaksa dikerjakan oleh Jurusita karena memang Sumber Daya Manusianya kurang. Laporan bulanan dan atau Triwulanan yang harus dikirimkan ke Kanwil ikut memberikan andil atas kurangnya penyampaian Surat Paksa dan penerbitan SPMP sehingga kegiatan penagihan pajak menjadi kurang maksimal. Keadaan ini jelas mempengaruhi tingkat penyelesaian maupun kualitas hasil pekerjaan Jurusita Pajak padahal keberhasilan tindakan penagihan ini sangat berpengaruh pada tingkat pencapaian pencairan tunggakan pajak untuk mendukung penerimaan negara dari pajak. Kebutuhan sumber daya manusia yang cukup di Seksi Penagihan KPP baik Jurusita ataupun petugas administrasi sangat berpengaruh terhadap kinerja penagihan pajak karena dengan tersedianya tenaga yang cukup maka fungsi-fungsi yang ada akan berjalan dengan
77
maksimal sesuai tugas pokoknya sehingga perangkapan tugas yang tidak semestinya tidak terjadi. 5. Evaluasi atas Manajemen Jurusita Pajak Sejalan dengan adanya reformasi di segala bidang maka masyarakat yang semakin kritis menuntut penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Ditjen Pajak sebagai salah satu institusi pemerintah yang mengemban tugas di bidang fiskal adalah institusi yang paling disorot oleh masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan KKN. Oleh karena itu Ditjen Pajak harus merespon tuntutan masyarakat tersebut secara proaktif, bukan represif. Ditjen Pajak mencoba memenuhi tuntutan tersebut dengan menggalakkan perubahan struktur organisasinya dengan adanya kantorkantor pajak modern. Dalam menjalankan suatu organisasi, fungsi pengawasan yang di dalamnya mencakup evaluasi, memegang peranan penting dan harus berjalan dengan efektif sehingga tingkat pencapaian tujuan organisasi yang sesuai dengan visi dan misinya dapat diketahui dan diukur. Cara yang dilakukan dalam pengawasan adalah dengan melihat semua hasil pekerjaan yang sudah dilakukan dibandingkan dengan standar atau rencana yang telah ditetapkan sebelumnya serta mengadakan perbaikan-perbaikan bilamana terjadi penyimpangan. Sistem pengawasan harus dapat menunjukkan apa
78
yang menjadi penyebab adanya penyimpangan tersebut serta memberikan solusi untuk memperbaikinya. Dalam struktur organisasi Ditjen Pajak, wewenang dan tanggung jawab terhadap penentuan kebijakan penagihan pajak, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan penagihan pajak, dan penataan tenaga Jurusita Pajak berada pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak setiap tahun mengeluarkan surat edaran Direktur Jenderal Pajak berkaitan dengan Kebijakan Penagihan Pajak yang akan diterapkan dalam kurun waktu tertentu yang ditujukan agar dalam suatu tahun tertentu ada arahan yang jelas tentang pokok-pokok tugas dalam bidang penagihan pajak. Untuk tahun 2006 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang kebijakan penagihan pajak adalah SE-02/PJ.75/2006 tanggal 25 April 2006. Dalam surat edaran tersebut Kantoe Pusat Direktorat Jenderal pajak Melalui Direktorat Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak memberikan poinpoin penting antara lain: a. Tertib administrasi b. Kegiatan Penagihan Pajak c. Pengawasan administrasi dan tindakan penagihan d. Pemberian Penghargaan (reward) dan Sanksi (punishment)
79
Melalui standar kinerja yang telah ditetapkan maka Jurusita Pajak bekerja atas dasar standar yang telah ditentukan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut. Standar tersebut ditetapkan per Kantor Wilayah. Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus telah ditetapkan Standar yang cukup tinggi yaitu Surat Paksa per Jurusita per bulan adalah 12 SP, SPMP yang harus diterbitkan 3 SPMP per Jurusita per bulan, Lelang yang harus dilakukan 2 kali lelang per Triwulan per KPP, Pemblokiran yang harus dilakukan 3 kali per bulan per KPP dan Pencegaha 2 kali per bulan per KPP. Pengawasan tentu saja sangat penting dalam memaksimalkan kinerja penagihan. KPP sebagai unit kantor paling ujung setiap bulan akan dievaluasi oleh Kantor Wilayah masing masing melalui Laporan kegiatan penagihan pajak yang dituangkan dalam berbagai macam laporan bulanan atau triwulanan antara lain: Laporan Pencairan Tunggakan 100 Besar, Laporan Pemblokiran, Laporan Pencegahan dan lain-lain. Setiap bulan Kantor Wilayah menganalisa laporan-laporan KPP dan mengkompilasi untuk dikirimkan sebagai laporan Kantor Wilayah ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Selama ini peran Jurusita Pajak terhadap penerimaan negara sangat besar dan sangat diharapkan. Peran penting Jurusita sebagai ujung tombak kegiatan penagihan pajak memberikan andil besar terhadap berhasil atau tidaknya upaya-upaya penagihan pajak yang pada akhirnya akan
80
menentukan
penerimaan
negara
dari
pencairan
tunggakan
pajak.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi pengawasan dalam manajemen penagihan di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus sudah berfungsi dengan cukup baik. Keadaan tersebut didukung dengan adanya sanksi yang tegas apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berkaitan dengan penagihan pajak. Ditjen Pajak selalu berusaha untuk menaikkan standar dari tahun-tahun sebelumnya sehingga ada perbaikan dari tahun ke tahun. Selain itu reward and punishment dalam penagihan pajak diterapkan secara terbuka sebagai alat untuk memacu kinerja Jurusita Pajak. 6. Evaluasi atas Pengembangan SDM Jurusita Pajak Berdasarkan data dari Jurusita Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus diperoleh keterangan bahwa hanya 6 orang petugas Jurusita atau 26 % yang pernah mengikuti Diklat DPT I. Sedangkan petugas Jurusita yang pernah mengikuti DPT II sebanyak 5 orang atau 22 %, 5 orang atau 22% lainnya pernah mengikuti DPT III dan 15 orang atau 65 % Jurusita yang pernah mengikuti diklat Jurusita. Sebanyak 4 orang atau 17 % dari semua Jurusita di wilayah Kanwil DJP Jakarta Khusus pernah mengikuti diklat pemeriksaan pajak, dan 2 orang atau 9 % sisanya belum pernah mengikuti diklat apapun. Hal ini memberi gambaran nyata bahwa masih
81
banyak petugas Jurusita Pajak yang belum mengikuti diklat-diklat perpajakan terutama yang bekaitan dengan Penagihan Pajak. Seperti diketahui bahwa diklat perpajakan terutama yang dikhususkan untuk Jurusita Pajak sangat penting untuk para petugas Jurusita Pajak. Kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja Jurusita Pajak yang notabene merupakan ujung tombak suksesnya kegiatan penagihan pajak. Dengan adanya diklat-diklat perpajakan terutama yang berkaitan dengan bagian penagihan pajak, diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pengalaman tentang perpajakan dan ruang lingkupnya. Selain menimba ilmu dari instruktur diklat, para peserta diklat juga bisa menambah ilmu dengan bertukar pengalaman dari peserta diklat lainnya guna menghadapi masalah-masalah yang timbul pada waktu melaksanakan tugas di lapangan. Pengalaman yang beragam serta pengetahuan yang mendalam akan meningkatkan kinerja Jurusita Pajak. Data yang dihimpun dari Sub Bagian Pengembangan Pegawai Bagian Kepegawaian Kantor Pusat Ditjen Pajak pada tahun 2006 hanya dilaksanakan 1 kali diklat untuk Jurusita Pajak yang diikuti oleh 100 peserta. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan diklat Jurusita Pajak oleh Subbag Pengembangan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak masih dirasa kurang karena hanya menyelenggarakan 1 kali dalam 1 tahun padahal kegiatan tersebut
sangat bermanfaat bagi para Jurusita Pajak Pada
82
kenyataannya permasalahan yang dihadapi oleh seorang Jurusita sangatlah kompleks terutama ketika harus berhadapan langsung dengan wajib pajak yang berbeda-beda karakternya. Oleh karena itu akan lebih baik apabila Jurusita Pajak telah dibekali pengetahuan yang cukup serta keterampilan yang baik dalam melaksanakan tugasnya melalui berbagai diklat yang wajib diikuti. Namun demikian diklat apapun yang diselenggarakan Ditjen Pajak tidak akan efektif apabila tidak ada kerjasama dan dukungan dari penyelenggara dan peserta diklat. Oleh karena itu, agar diklat tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal maka harus dikelola dengan baik serta di dukung dengan sumber pendanaan yang memadai. Selain itu program seperti ini harus di dukung oleh sumber daya manusia (instruktur) yang qualified dengan materi diklat yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan sehingga diklat yang dilaksanakan tidak menjadi sia-sia. Pada akhir pelaksanaan diklat diperlukan evaluasi terhadap semua program diklat guna memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan program diklat pada periode-periode berikutnya. Terakhir dan yang terpenting adalah perlunya monitoring terhadap peserta diklat pasca diklat sehingga dapat diketahui bahwa diklat tersebut benar-benar bermanfaat dan bukan hanya sebagai program rutin saja. F. Keterbatasan Penelitian
83
Penelitian tentang kinerja Jurusita Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus ini diakui peneliti memiliki beberapa keterbatasan, sehingga hasilnya seperti yang telah dipaparkan di depan. Keterbatasan itu antara lain jumlah populasi yang sedikit karena jumlah KPP yang terbatas serta jumlah Jurusita yang memang tidak banyak di setiap KPP, sehingga dalam penelitian data diperoleh hanya dari 23 Jurusita Pajak dari 10 KPP. Dengan demikian apabila populasi maupun samplenya diperluas ada kemungkinan akan didapatkan hasil yang berbeda. Penggunaan metode penilaian rating scales yang dilakukan oleh seorang atasan dalam hal ini Kepala Seksi Bidang Penagihan memiliki potensi-potensi terjadinya halo effect, constant or liniency error, recency error, central tendency, dan personal biases yang akan memperlemah pengumpulan data, sehingga data yang diperoleh tidak akurat. Halo effect merupakan penilaian seorang pengevaluasi yang telah dipengaruhi oleh beberapa kesan sebelumnya atas orang yang dinilai sehingga hasil penilaiannya tidak obyektif. Constant or liniency error terjadi karena dalam memberikan nilai Kepala Seksi Penagihan menyamaratakan semua karyawannya meskipun pada kenyataannya setiap karyawan memiliki kinerja yang berbeda-beda. Kelemahan ini sangat sering terjadi karena beberapa hal seperti kesibukan Kepala Seksi Penagihan sehingga tidak ada waktu untuk menilai satu-persatu karyawannya dan kekurangtahuan Kepala Seksi Penagihan
secara mendetail tentang kinerja karyawan-
84
karyawannya. Recency error terjadi ketika Kepala Seksi Penagihan hanya mengingat perilaku terakhir seseorang yang dinilai dan menganggap hal itu sebagai representasi dari keseluruhan perilaku orang tersebut. Central tendency terjadi karena Kepala Seksi Penagihan menilai semua bawahannya dalam skala evaluasi yang sempit. Personal biases direfleksikan dalam berbagai nilai personal, prasangka, dan stereotype.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang kinerja Jurusita Pajak di KPP-KPP dalam lingkungan Kanwil Direktorat Jendral Pajak Jakarta Khusus Tahun 2006 beserta uraian-uraian yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya, pada bab ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kinerja Jurusita pajak di KPP-KPP dalam lingkungan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus tahun 2006 menunjukkan tingkat penguasaan materi yang tidak terlalu tinggi atau termasuk kategori cukup. Sedangkan untuk tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan perpajakan dan keterampilan dalam melakukan penagihan pajak menunjukkan adanya realisasi yang bagus dalam proses penagihan. Dalam hal tingkat penyelesaian tindakan penagihan dapat dilihat bahwa prestasi yang diraih masih di bawah standar jika dibandingkan dengan standar prestasi yang telah ditetapkan. 2. Belum optimalnya kinerja Jurusita Pajak disebabkan oleh banyaknya hambatan/kendala dalam proses pelaksanaan panagihan pajak yang antara lain: alamat wajib pajak tidak ditemukan, Wajib Pajak tidak kooperatif, permasalahan penagihan pajak kompleks, data harta kekayaan penunggak
85
pajak (obyek sita) yang kurang lengkap, lokasi wajib pajak dan obyek sita yang jauh, kendala pemeliharaan obyek sita, dan banyaknya tugas dari Jurusita Pajak yang tidak sebanding dengan jumlah Jurusita Pajak di tiap KPP. B. Saran Penulis akan mencoba memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kinerja Jurusita Pajak sehubungan dengan hasil penelitian serta analisis hasil penelitian. Saran-saran dari penulis antara lain: 1. Menurut pendapat penulis seharusnya Ditjen Pajak tidak hanya membuat rencana kerja penagihan dan standar kinerja Jurusita Pajak tetapi harus dilakukan juga suatu penelaahan dan penelitian secara berkala. Dengan demikian dapat diketahui tingkat pencapaian standar penagihan pajak dan tingkat kinerja Jurusita pajak. Selain itu Ditjen Pajak dapat mengetahui penyebab tinggi rendahnya tingkat kinerja Jurusita pajak sehingga kebijakan yang diambil berkaitan dengan penagihan pajak tidak salah. 2. Fungsi pengawasan perlu untuk lebih diberdayakan terutama kegiatan evaluasi atas hasil penagihan pajak. Oleh karena itu fungsi pangawasan harus dirumuskan dengan jelas dan tegas termasuk sanksi atas pelanggarannya. Dengan demikian diharapkan semua fungsi manajemen penagihan pajak terutama fungsi pengawasan tidak hanya sekedar formalitas saja. Pada akhirnya dengan adanya pengawasan yang ketat
86
diharapkan adanya feedback yang bermanfaat dalam meningkatkan kinerja Jurusita Pajak. 3. Penilaian kinerja Jurusita Pajak diharapkan tidak hanya sekedar rutinitas saja tetapi benar-benar dapat dimanfaatkan oleh para atasan dalam hal ini Kepala Seksi Penagihan untuk meningkatkan kinerja Jurusitanya berkaitan dengan reward yang akan diberikan terhadap Jurusita yang berprestasi. 4. Komunikasi yang baik harus dilakukan antara Seksi Penagihan dan seksiseksi yang lain di KPP terutama Seksi Pemeriksaan, Seksi Pengawasan dan Konsultasi dan Seksi Pelayanan agar informasi harta kekayaan wajib pajak dapat diketahui secara komprehensif dan Seksi Penagihan KPP harus mempunyai database Harta kekayaan wajib pajak baik berupa harta bergerak, tidak bergerak dan database informasi nomor rekening wajib pajak. 5. Sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan Jurusita Pajak seharusnya disediakan seperti kendaraan operasional, ruangan khusus untuk menyimpan obyek sita agar keamanan atas obyek sita bisa terjaga.
87
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-Buku Arikunto, Prof. Dr. Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Azwar, Saifuddin, M.A. 2006. Reliabilitas dan Validitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Furqon, Ph.D. 2004. Statistik Terapan untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Jakarta. Hadi, H. Moeljo, S.H. 2001. Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak Pusat dan Daerah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Nawawi, Hadari. 2001. Manajemen SDM untuk Bisnis yang Kompetitif, UGM, Yogyakarta. Prabu, Anwar. 2001. Manajemen SDM Perusahaan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Bisnis, CV. Alfabeta, Jakarta. Susilo, Willy. 2002. Audit SDM, PT. Vorqist Utama Binamega, Jakarta. Trihendradi, Cornelius. 2005. SPSS 12 Statistik Inferen Teori Dasar dan Aplikasinya, And,: Yogyakarta 2. Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Penyanderaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Penagihan Seketika dan Sekaligus dalam Pelaksanaan Surat Paksa Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 562/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No: SE-02/PJ.75/2006 tanggal 25 April 2006 tentang Kebijakan Penagihan Tahun 2006 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa