GAMBARAN JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT SEBELUM DAN SESUDAH MASTEKTOMI DAN OVARIOHISTEREKTOMI PADA KELINCI YANG DIINDUKSI TUMOR DAN DIOBATI DENGAN EKSTRAK RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)
EVA DEVARI PERMATASARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Gambaran Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit Sebelum dan Sesudah Mastektomi dan Ovariohisterektomi pada Kelinci yang Diinduksi Tumor dan Diobati dengan Ekstrak Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2010
Eva Devari Permatasari B04050387
ABSTRACT EVA DEVARI PERMATASARI. Total and Differentiation of Leucocytes Before and After Mastectomy dan Ovariohisterectomy in Rabbit Induced by Tumour and Treated by Zedoary Rhizome Extract. Undersupervision : GUNANTI and ANITA ESFANDIARI The objective of this research is to find out the potency of zedoary rhizome extract on the total and differentiation of leucocytes of mammary glands tumor rabbit before and after surgey. Twelves females between 6-9 months old rabbit were divided into 4 groups. First group was a control, the second group was induced by n-methyl-n-nitrosourea (MNU), the third group was induced by MNU and treated by operation, and the fourth group was induced by MNU and treated by combination between operation and administration of extract of zedoary rhizome. MNU was given every week for 4 weeks and the next week was the surgery. Extract of zedoary rhizome was given every week after surgery for 5 weeks. The blood collection was done every week for 9 weeks. Blood were observe to count total and differentiation of leucocytes. The result showed that the leucocytes and lymphocytes increased in blood circulatory of group 1,2, and 4. The conclusion is the administration of zedoary rhizome extract can increased the immunity system by increasing of leucocytes and lymphocytes. Keywords: Rabbit, Leucocyte, Zedoary.
ABSTRAK EVA DEVARI PERMATASARI. Gambaran Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit Sebelum dan Sesudah Mastektomi dan Ovariohisterektomi pada Kelinci yang Diinduksi Tumor dan Diobati dengan Ekstrak Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe). Dibimbing oleh GUNANTI dan ANITA ESFANDIARI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak rimpang temu putih terhadap gambaran jumlah total dan diferensiasi leukosit pada kelinci tumor kelenjar mammaria sebelum dan sesudah operasi. Dua belas ekor kelinci betina berumur 6-9 bulan dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan, kelompok kontrol, kelompok induksi n-metil-n-nitrosourea (MNU), kelompok induksi MNU + operasi dan kelompok induksi MNU + operasi + ekstrak temu putih. Induksi dilakukan selama 4 minggu dan minggu ke-5 kelinci dioperasi. Ekstrak temu putih diberikan selama 5 minggu sesudah operasi. Darah kelinci diambil setiap minggu selama 9 minggu. Darah diperiksa untuk dihitung jumlah total dan diferensiasi leukosit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah total leukosit dan limfosit meningkat di sirkulasi pada kelompok 1,2 dan 4. Dari pengamatan dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak temu putih dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh melalui peningkatan jumlah total leukosit dan limfosit. Kata kunci : kelinci, leukosit, zedoaria.
GAMBARAN JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT SEBELUM DAN SESUDAH MASTEKTOMI DAN OVARIOHISTEREKTOMI PADA KELINCI YANG DIINDUKSI TUMOR DAN DIOBATI DENGAN EKSTRAK RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)
EVA DEVARI PERMATASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tugas Akhir
: Gambaran Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit Sebelum dan Sesudah Mastektomi dan Ovarihisterektomi pada Kelinci yang Diinduksi Tumor dan Diobati Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) : Penelitian : Eva Devari Permatasari : B04050387
Bentuk Tugas Akhir Nama Mahasiswa NIM
Disetujui,
Dr. Drh, Hj. Gunanti, MS Pembimbing I
Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi Pembimbing II
Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr. Nastiti Kusumorini 1962 1205 1987 03 2 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tugas akhir dengan judul “Gambaran Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit Sebelum dan Sesudah Mastektomi dan Ovariohisterektomi pada Kelinci yang Diinduksi Tumor dan Diobati dengan Ekstrak Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)”. Skripsi ini disusun untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS dan Dr. drh Anita Esfandiari, MSi selaku pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan serta evaluasi dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. drh. Eva Harlina, MS, Dr. drh Umi Cahyaningsih, MS dan drh Kusdianto Muhammad,MSi selaku dosen penguji dan penilai atas masukan, kritik serta sarannya. 3. Dr. drh. Upik Kesumawati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan motivasi yang telah diberikan selama masa perkuliahan. 4. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Bagian Bedah, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah membantu penulis selama penelitian. 5. Keluarga tercinta (Alm. Bapak I Sarnika, Ibu Iin Indarwati, Mas Agus Jayapurwa dan Mas Septrias Patria) atas segala doa, nasehat dan dukungan moral sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Abang Aprialdy atas doa, kesabaran, kritik dan motivasi yang telah diberikan sampai skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga segala yang kita cita-citakan dapat terkabul dan langkah kita selalu diridhoi Allah SWT. 7. Keluarga besar di Cirebon atas doa dan motivasinya. 8. Rekan sepenelitian Siti Sarah Ulia, Betania Suswati, Data Putra atas kerjasama, bantuan dan saran dalam penelitian serta penulisan skripsi. 9. Sahabat-sahabatku (Reta, Endah, Mega, Bomber, dan Four Depti) atas doa dan kritiknya.
10. Teman-teman kosan Pondok Putri Rahmah lantai 3 (Jijah, Icha, Putri, Aida, Etta, Cila, Achy, Ani, Nidya, Agnita) atas semua kenangan yang tidak terlupakan. 11. Teman-teman asrama (Femi, Nando, Ichay, dan Fera). 12. Satya Fahriani, Deva Putri Attikasari, Cut Desna A., Zahrotun Nuri, Rina Firantiani, Retno Wulandari, Jainuri Atun Nisa dan teman-teman Goblet „42 atas kenangan manis selama empat tahun ini. 13. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang turut membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap tulisan ini dapat memberi manfaat sebagai sumber informasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2010
Eva Devari Permatasari
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 13 September 1986. Penulis adalah anak dari pasangan suami isteri Alm. Letkol Marinir (Purn) H. I Sarnika dan Hj. Iin Indarwati. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 1993 penulis bersekolah di SDN Kelapa Gading Barat 01 Pagi, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 30 Jakarta pada tahun 1999 dan selanjutnya pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 13 Jakarta . Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menjadi mahasiswi, penulis mengikuti kegiatan Himpunan Profesi HKSA (Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
PENDAHULUAN Latar Belakang...……………….………………...............................
1
Tujuan Penelitian...……………………..…………………………..
2
Manfaat Penelitian...………………………………………………..
2
TINJAUAN PUSTAKA Tumor.....................………................................................................
3
N-metil-n-nitrosourea (MNU)………………………………………
5
Temu Putih.…………………………………………………………
5
Darah...................…….......................................................................
8
Leukosit......................………………………………………………
8
Neutrofil.............................................................................................
9
Limfosit..............................................................................................
11
Monosit...............................................................................................
12
Basofil................................................................................................
13
Eosinofil.............................................................................................
14
Kelinci................................................................................................
15
METODOLOGI Waktu dan Tempat Pelaksanaan …………………………………..
18
Bahan dan Alat……………….....................................................
18
Metode Penelitian ………………....................................................
19
Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci..….............................
19
Induksi tumor …………...................…...............................
19
Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Putih.........................
20
Pemberian Ekstrak Rimpang Temu putih ………...….......
20
Pengambilan Darah..................................…………...........
20
Pembuatan Preparat Ulas Darah..........................................
21
Penghitungan Jumlah Total Leukosit..................................
21
Penghitungan Diferensiasi Leukosit...................................
21
Operasi................................................................................
21
Praoperasi............................................................................
22
Ovariohisterektomi..............................................................
22
Mastektomi..........................................................................
23
Post Operasi.........................................................................
23
Variabel yang Diamati.........................................................
24
Analisis Data........................................................................
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit…………………………..…………………
25
Neutrofil………………………………………………….………...
28
Limfosit…………………………………………………………….
30
Monosit…………………………………………………………….
32
Basofil…………………………………………………..................
33
Eosinofil……………………………………………………………
35
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan…..……………………………………………………..
37
Saran..………….……...………………..………………..……….
37
DAFTAR PUSTAKA …..………..………..………………………..
38
LAMPIRAN......................................................................................
43
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Rimpang temu putih…………...……...................................................…..……
7
2
Neutrofil kelinci……………………….................................................…….....
10
3
Limfosit kelinci……………………...................................................................
11
4
Monosit kelinci……………...............................................................................
12
5
Basofil kelinci….................................................................................................
14
6
Eosinofil kelinci….............................................................................................
15
7
Kelinci penelitian……………………………………........................................
16
8
Perbandingan rataan jumlah total leukosit sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan ………………………...…………………………
9
26
Perbandingan rataan jumlah neutrofil sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan................................................................................
28
10
Mekanisme obat anti radang………………......................................................
30
11
Perbandingan rataan jumlah limfosit sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan……………..……………………………………..
31
................. 12
Perbandingan rataan jumlah monosit sebelum dan sesudah pada setiap kelompok perlakuan...........................................................................................
13
Perbandingan rataan jumlah basofil sebelum dan sesudah pada setiap kelompok perlakuan...........................................................................................
14
32
34
Perbandingan rataan jumlah eosinofil sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan…….....................................……...........................
35
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Perlakuan pada masing-masing kelompok kelinci percobaan............................
2
Rataan jumlah total leukosit semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum operasi dan setelah operasi ………………………............................................
3
33
Rataan jumlah basofil semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum operasi dan setelah operasi…………………………………………………………….
7
31
Rataan jumlah monosit semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum operasi dan setelah operasi…………………………………………………………….
6
29
Rataan jumlah limfosit semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum operasi dan setelah operasi…………………………………………………………….
5
27
Rataan jumlah neutrofil semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum operasi dan setelah operasi…………………………………………………………….
4
19
34
Rataan jumlah eosinofil semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum operasi dan setelah operasi…………………………………………………………….
36
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tumor
(neoplasma)
merupakan
penyakit
yang
sulit
untuk
disembuhkan. Banyak penelitian melaporkan bahwa pemicu tumor dan kanker berasal dari pengaruh dari dalam maupun luar tubuh. Pengaruh dari dalam tubuh berupa unsur genetika, sedangkan pengaruh dari lingkungan luar yaitu berupa makanan, udara, zat kimia dan faktor tekanan lingkungan. Terapi yang paling sering dilakukan adalah operasi, kemoterapi, radioterapi dan kombinasinya. Pada umumnya, beberapa jenis terapi tersebut memiliki efek samping yang membuat para penderita tidak nyaman, mual, rasa terbakar, saraf perasa tak berfungsi untuk sementara, pencernaan terganggu dan rambut rontok (Cheville 2006). Pengobatan suatu penyakit dengan menggunakan tanaman telah digunakan oleh nenek moyang sejak zaman dahulu. Menurut Dalimarta (2005), salah satu tanaman yang banyak diteliti dan memiliki banyak khasiat adalah temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe). Menurut Sumarny (2006), di Cina, temu putih sudah lama digunakan untuk pengobatan kanker serviks dan vulva. Temu putih ini dapat digunakan sebagai peredam pertumbuhan sel kanker (Syukur dan Hernani 2002). Tanaman temu putih banyak ditemukan di Indonesia dan memiliki banyak manfaat, umumnya ditanam sebagai tanaman obat, dapat ditemukan tumbuh liar pada tempattempat terbuka yang tanahnya lembab. Temu putih banyak ditemukan di Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Ambon, hingga Irian, serta dibudidayakan di India, Banglades, China, Madagaskar, Filipina dan Malaysia (Dalimartha 2005). Menurut Guyton dan Hall (1997), tubuh memiliki suatu sistem khusus untuk membuang bermacam-macam bahan yang bersifat infeksius dan toksik, salah satunya leukosit (sel darah putih). Imunitas tubuh terbagi menjadi 2, yaitu bawaan dan dapatan. Imunitas dapatan merupakan produk dari sistem limfosit tubuh. Imunitas dapatan terbagi dua yaitu imunitas
humoral dan imunitas selular. Menurut Girindra (1988), hasil pemeriksaan darah merupakan parameter yang baik, yang secara umum dapat menggambarkan kondisi tubuh diantaranya pemeriksaan jumlah total dan diferensiasi leukosit. Suatu penelitian umumnya membutuhkan hewan coba. Hewan yang umumnya digunakan sebagai hewan coba adalah mencit, tikus, dan kelinci. Penelitian ini menggunakan hewan coba kelinci. Kelinci digunakan pada penelitian ini karena harganya terjangkau, mudah dipelihara, mudah ditangani, dan memiliki papilla mammari yang cukup besar.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran jumlah total dan diferensiasi leukosit sebelum dan sesudah operasi mastektomi dan ovarihisterektomi pada kelinci yang diinduksi tumor dan diobati dengan ekstrak rimpang temu putih.
Manfaat Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui efektivitas temu putih sebagai zat alami untuk kepentingan penyembuhan tumor melalui pengamatan terhadap gambaran jumlah total dan diferensiasi leukosit.
TINJAUAN PUSTAKA
Tumor Tumor di dalam literatur memiliki arti pembengkakan yang bersifat abnormal. Menurut istilah kedokteran modern, kata tersebut memiliki arti spesifik yaitu suatu lesio yang dihasilkan dari sel yang pertumbuhannya abnormal yang terjadi setelah rangsangan yang menginisiasi terjadinya pertumbuhan tersebut telah dihilangkan; dengan kata lain sel tersebut berkembang (tumbuh) diluar dari mekanisme pengaturannya (Cheville 2006). Tumor atau neoplasma menurut Priosoeryanto dkk (2006) adalah gangguan pertumbuhan yang dicirikan oleh adanya proliferasi yang berlebihan, abnormal, dan tidak terkendali akibat transformasi atau perubahan dari satu atau lebih unsur penting di dalam tubuh hospes, dan sering terjadi pada satu atau lebih lokasi metastatik. Definisi tumor atau neoplasia banyak diungkap oleh berbagai ilmuwan, namun menurut Rumawas (1989), definisi yang paling tepat adalah yang diungkap Willis pada tahun 1942 yaitu, neoplasia atau tumor adalah suatu massa jaringan abnormal; pertumbuhannya melebihi jaringan yang normal dan pertumbuhan ini tidak ada koordinasi serta berlangsung terus dalam keadaan yang berlebihan walaupun perangsang yang menimbulkan telah dihilangkan. Tumor terdiri dari dua jenis, tumor jinak dan tumor ganas. Menurut Cheville (2006) tumor dapat diklasifisikasikan berdasarkan aktivitas dan asal sel tumor menjadi jinak (benign) dan ganas (malignant). Kanker (sebutan yang digunakan pada segala kasus tumor ganas (malignant) merupakan penyakit kronis dan pertumbuhannya telah dimulai sebelum gejala klinis terlihat (Cheville 2006). Penyebab tumor dan kanker sangat beragam. Penyebab pasti dari kanker belum diketahui. Menurut Dalimartha (2003) dan Heffefinger (2006), karsinogen secara umum dapat diartikan sebagai penyebab yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker, antara lain : 1. Senyawa kimia (karsinogen)
Banyak senyawa kimia yang dapat mempengaruhi timbulnya kanker pada berbagai macam jaringan. Misalnya sisa-sisa industri batubara, ter (jelaga), zat pewarna, zat pengawet, bahan tambahan pada makanan, arsen, kromium, benzene, kloramfenikol, fenilbutason, senyawa nitrosamine, aflatoksin B1, aflatoksin G1, asap rokok dan sitostatika (alkil). 2. Faktor fisika Faktor fisika yang utama adalah radiasi seperti bom atom dan radioterapi agresif (radiasi sinar pengion). Radiasi sinar ultraviolet yang berasal dari matahari dapat menimbulkan kanker kulit. 3. Virus Virus berhubungan erat dengan perubahan sel normal menjadi sel kanker. Jenis virus ini disebut virus penyebab kanker atau virus onkogenik. 4. Hormon Hormon adalah zat yang dihasilkan oleh kelenjar tubuh yang berfungsi mengatur kegiatan alat-alat tubuh. Hormon estrogen juga terbukti memiliki peran pada kasus tumor mammari. Secara umum, kanker dapat menyerang setiap jaringan tubuh kecuali rambut dan kuku (Wijayakusuma 2005). Menurut Madewell &Theilen (1987), diantara beberapa jenis tumor, tumor mammari merupakan salah satu jenis tumor yang sering terjadi. Tumor mammari merupakan tumor yang umum pada beberapa spesies, yaitu anjing, tikus, mencit dan manusia. Beberapa spesies anjing bahkan sangat sensitif terhadap terjadinya tumor mammari. Hal ini diduga berkaitan dengan regulasi hormon-hormon reproduksi yang memicu terjadinya neoplasma (jaringan baru) pada kelenjar mammari. Menurut Cheville (2006), tumor mammari terjadi karena pengaruh dari tiga faktor, yaitu stimulasi hormonal dari jaringan mammari, paparan karsinogen dari luar (lingkungan), dan keturunan yang rentan terhadap kanker (genetis). Menurut Dalimartha (2003), beberapa jenis pengobatan kanker yang
biasanya
dilakukan
adalah
Penyinaran/radiasi (radioterapi);
:
(1)
Pembedahan
(Operasi);
(2)
(3) Obat-obat pembunuh sel kanker /
sitostatika (kemoterapi); (4) Obat yang meningkatkan daya tahan tubuh (imunoterapi); (5) Pengobatan dengan hormon dan (6) Tumbuhan obat, simplisia dari binatang dan mineral lainnya. Menurut Stone (2000), terapi yang dapat dilakukan terhadap hewan yang terkena tumor mammari, yaitu terapi operasi dan terapi medis. Terapi operasi yang dapat dilakukan meliputi operasi kelenjar mammari adalah : (1) lumpectomy, (2) simple mastectomy, (3) regional mastecctomy, serta (4) ovariohisterektomi. Terapi medis meliputi kemoterapi, terapi anti estrogen dan menggunakan biologic respons modifiers (levamisole dan bacille Calmette-Guérin/BCG). Penggunaan BCG untuk tumor belum tentu terjamin kesembuhannya. Ihle (2006) melaporkan bahwa operasi ovariohisterektomi sebelum masa estrus pertama dapat menurunkan resiko tumor mammari secara dramatis.
N-metil-n-nitrosourea (MNU) N-metil-n-nitrosourea (MNU) merupakan salah satu karsinogen kimia yang baik dan efektif untuk digunakan sebagai bahan penginduksi tumor dan model yang sangat baik untuk mammary carcinoma (Osborne et al. 1992; Vegh dan Salamanca 2007). Karsinogenik atau zat yang dapat menimbulkan kanker, merupakan unsur yang dinilai mempengaruhi ketidaknormalan pertumbuhan sel dalam tubuh (Lu 2006). Penggunaan MNU dalam penginduksian tumor telah dilaporkan memiliki beberapa keuntungan, antara lain kespesifikan terhadap organ yang diinduksi, tumor yang berasal dari duktus terutama yang berkarakteristik carcinomatous, kemampuan untuk percobaan inisiasi yang baik dan meningkatkan proses terjadinya tumor. Secara umum, MNU menginduksi mammary carcinoma yang agresif dan lokal (Roomi et al. 2005). Dosis yang digunakan dalam penginduksian tumor pada hewan adalah dosis tunggal sebesar 50 µg/kg BB, hanya untuk menginisiasi saja. Saat hewan diinduksi hanya dengan menggunakan MNU, perkembangan tumor sudah tampak
(Pazos et al. 1998).
Temu Putih Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) adalah tanaman yang banyak ditemukan di Indonesia dan memiliki banyak manfaat. Temu putih umumnya ditanam sebagai tanaman obat, dapat ditemukan tumbuh liar pada tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembab. Temu putih banyak ditemukan di Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Ambon, hingga Irian. Juga dibudidayakan di India, Banglades, China, Madagaskar, Filipina dan Malaysia (Dalimartha 2005). Dalam pengobatan China, temu putih populer sebagai e zhu . Tanaman ini telah ditanam pada masa lalu untuk diekstrak rimpangnya dan untuk memproduksi Abir (cairan pencelup yang digunakan pada saat festival Holi) (Ravindran et al. 2007). Menurut Syukur dan Hernani (2002), jenis tanah yang sesuai untuk lahan budi daya temu putih adalah andosol dan lasotol merah cokelat. Kondisi tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan rimpang temu putih adalah tanah yang gembur, subur, mengandung bahan organik yang tinggi dan kondisi drainase yang baik. Pada umumnya daerah pertanaman temu putih berada pada ketinggian 250-1000 meter dari permukaan laut. Walaupun demikian temu putih sangat mudah tumbuh pada berbagai ketinggian. Klasifikasi temu putih meliputi divisi Spermatophyta, temasuk dalam subdivisi Angiospermae, kelas Monocotylodonae, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga Curcuma dan spesiesnya Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe (CCRC Farmasi UGM 2008). Sosok tanaman Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe dapat mencapai tinggi 2 meter. Salah satu ciri khas spesies ini adalah adanya warna ungu di sepanjang ibu tulang daun. Helai daun berwarna hujau muda sampai hijau tua dengan punggung daun berwarna pudar dan berkilat. Panjang dan lebar daun masing-masing berkisar antara 31-75 cm dan 7-20 cm (Syukur dan Hernani 2002). Tangkai bunga langsung muncul dari bagian perakaran sebelum daun
mucul dari permukaan tanah. Bunga steril berwarna merah muda dan bagian ujung bunga lebih tua dengan tangkai berwarna hijau pada permukaan tanah (Syukur dan Hernani 2002). Mahkota temu putih terdiri dari 3 daun yang berwarna putih kemerahan dengan tinggi rata-rata 4.5 cm (BPPT 2005). Secara umum, rimpang (rhizoma) terdiri dari dua bagian, yaitu bagian sentral berbentuk seperti buah pir disebut “mother rhizome” serta cabang yang disebut sebagai “finger” (Ravindran et al. 2007). Rimpang induk berbentuk lanset-lonjong, sedangkan rimpang cabang berupa akar menggembung pada bagian ujung membentuk umbi dengan kulit rimpang berwarna putih. Terdapat bulatan-bulatan atau bintil-bintil pada ujung akar yang merupakan cadangan air. Kulit rimpang berwarna putih. Apabila diiris, daging rimpang berwarna putih ke arah kuning muda dan rasanya pahit (Syukur dan Hernani 2002). Rimpang temu putih merupakan bahan alami yang berkhasiat untuk menghambat laju perkembangbiakan sel kanker. Rimpang ini sekaligus bermanfaat untuk mencegah kerusakan gen salah satu penyebab timbulnya kanker (Syukur dan Hernani 2002). Menurut Sumarny (2006), rimpang temu putih (Curcuma zedoria. Rosc.) secara empiris digunakan untuk mengobati kanker dan biasanya digunakan dalam jangka waktu yang lama. Bentuk rimpang temu putih dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Rimpang temu putih (Dalimartha 2005).
Rimpang temu putih memiliki sari air dan sari etanol yang mengandung kurkuminoid sekitar 6-50 μg/ml. Apabila diperlakukan pada kultur jaringan mammalia selama 4-48 jam menyebabkan terjadinya
perubahan morfologi kromosom, menghentikan mitosis, mengganggu sintesis asam nukleat, dan mengganggu daur sel (Goodpasture dan Ariggi 1976). Ekstrak etanol turmeric juga menunjukkan penghambatan fase mitosis pada sel mamalia secara in vitro dengan menghambat pembentukan kromosom (Mills dan Bone 2000). Menurut penelitian Kuo ML, Huang TS, dan Lin JK dari Universitas Nasional Taiwan, kurkumin mengandung antioksidan dan antitumor promoter. Dalam laporannya disebutkan, kurkumin yang digunakan sebagai bumbu dan pewarna makanan itu memiliki zat aktif antioksidan, antiradang, dan antitumor (Wed 2004). Menurut Syukur dan Hernani (2002), kurkuminoid yang terkandung dalam
temu
putih
meliputi
kurkumin,
demetoksikurkumin,
bisdemetoksikurkumin, dan 1,7-bis (4-hidroksifenil-1,4,6-heptatrien-3-on. Minyak atsiri yang terkandung dalam temu putih terdiri dari turunan guaian (kurkumol, kurkumenol, isokurmenol, prokurmenol, kurkumadiol); turunan germakram
(furanodienon,
isofuranodienon,
zederon,
furanodien,
foranogermenon) dan kerangka elemen (kurserenon yang identik dengan edoaron, epikurserenon, isofuranogermakren) (BPPT 2005). Di antara zat-zat yang terkandung dalam rimpang temu putih, yang bersifat sebagai antikanker adalah kurkumol dan kurdion (PDPERSI 2006).
Darah Darah merupakan cairan yang bersirkulasi yang menyuplai oksigen dan nutrien ke seluruh bagian tubuh untuk mendistribusikan panas, bahan kimia (Samuelson 2007) dan membuang sisa produksi ke organ pembuangan (Dellman dan Eurell 1998). Menurut Girindra (1988), darah memiliki fungsi diantaranya (1) transpor oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru, (2) transpor zat gizi yang diserap dalam saluran pencernaan dan transpor sisa metabolisme ke ginjal, paruparu, kulit dan usus, (3) mempertahankan keseimbangan asam-basa, (4) mengatur cairan jaringan dan cairan ekstra sel, (5) mengatur suhu tubuh dengan membagikan panas tubuh, (5) pertahanan tubuh dengan mengedarkan
antibodi dan sel darah putih, (6) transpor hormon untuk mengatur metabolisme, dan (7) transpor metabolit. Menurut Dellman dan Eurell (1998), volume total darah yang bersirkulasi bersifat konstan dan berhubungan dengan berat badan (dalam % atau ml/kg berat badan). Secara umum, volume darah pada hewan besar domestik berkisar antara 8-11% dan pada hewan laboratorium seperti tikus sampai monyet, berkisar antara 6-7% berat badan. Volume darah total yang bersirkulasi dalam tubuh berkisar antara 55-70 ml/kg berat badan (5,5-7% berat badan) (Hawk dan Laery 1995).
Leukosit Leukosit merupakan unit aktif sistem pertahanan tubuh. Leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang. Setelah dibentuk, leukosit diangkut oleh darah menuju ke jaringan tubuh untuk digunakan. Fungsi sel darah putih yaitu untuk pertahanan tubuh yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius yang mungkin ada dengan cara mentransportasikan secara khusus pada daerah yang terinfeksi dan yang sedang mengalami peradangan (Guyton dan Hall 1997). Menurut (Clark 2009) dan (Guyton dan Hall 1997), leukosit melindungi tubuh melalui dua mekanisme yang berbeda yaitu fagositosis yang dilakukan oleh makrofag dan neutrofil dan pembentukan antibodi.
Leukosit
mempergunakan
medium
darah
sebagai
sarana
transportasi dari asalnya yaitu dari sumsum tulang dan sebagian terjadi di jaringan limfe ke berbagai jaringan seperti hati, limpa, ginjal, sumsum tulang. Menurut (Campbell 2004), dalam keadaan normal, darah perifer kelinci mengandung leukosit dengan jumlah berkisar antara 6300-10060 sel /µL. Dikatakan leukositosis apabila jumlah leukosit dalam darah meningkat melebihi kisaran dalam keadaan normal, sedangkan leukopenia apabila leukosit dalam darah menurun di bawah kisaran dalam keadaan normal (Vansteenhouse 2006). Leukosit pada mamalia diklasifikasikan menjadi granulosit (neutrofil,
eosinofil dan basofil) dan agranulosit (monosit dan limfosit) (Harvey 2001). Neutrofil,
eosinofil
dan
basofil
termasuk
ke
dalam
golongan
polimorfonuklear. Limfosit dan monosit termasuk ke dalam golongan mononuklear (Kelly 1984). Leukosit
polimorfonuklear
memiliki
inti
yang
padat
dan
bersegmentasi. Neutrofil, eosinofil dan basofil disebut granulosit karena memiliki granul sitoplasma dalam jumlah banyak. Granul adalah lisosom yang mengandung enzim hidrolitik, agen antibakteri dan komponen lainnya. Sel granulosit memiliki masa hidup 4-8 jam dalam darah yang bersirkulasi setelah dilepaskan dari sumsum tulang dalam keadaan normal dan 4-5 hari berikutnya dalam jaringan (Guyton dan Hall 1997). Leukosit mononuklear juga mengandung granul tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok sel granulosit (Harvey 2001).
Neutrofil Neutrofil dalam sirkulasi darah merupakan sel matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus (Guyton dan Hall 1997). Neutrofil dilepaskan dari tempat pembentukan, yaitu sumsum tulang, menuju daerah periferal kemudian bertahan hingga 6-14 jam sebelum akhirnya menuju jaringan untuk menghadapi kondisi infeksi (Jackson 2007; Dellman dan Eurell 1998). Persentase neutrofil diperkirakan berkisar antara 40-70% dari jumlah total leukosit. Neutrofil yang telah matang mempunyai bentuk inti satu sampai lima, yang disatukan oleh helai yang tipis sehingga memberikan karakteristik bentuk segmentasi. Neutrofil matang memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai pertahanan seluler yang melindungi jaringan tubuh saat menghadapi ancaman peradangan atau invasi bakteri (Kelly 1984). Morfologi normal neutrofil pada hewan mamalia domestik hampir sama (Harvey 2001). Menurut O‟Malley (2005), heterofil diartikan sebagai neutrofil kelinci yang berwarna merah muda. Granul pada neutrofil kelinci tidak bersifat netral dengan pewarnaan Romanowsky, tetapi lebih bersifat
eosinofilik (Campbell 2004). Menurut Thrall (2001), neutrofil kelinci memiliki inti yang berbentuk polimorfik yang akan berwarna biru terang sampai dengan ungu dengan pewarnaan Romanowsky. Sitoplasma neutrofil kelinci memiliki sifat khas yaitu berwarna pink dan menyebar karena gabungan dari granul asidofilik yang berukuran kecil-kecil. Sel darah ini (neutrofil) sering disebut juga sebagai pseudo-eosinofil atau heterofil. Granul sitoplasmik eosinofilik yang berwarna dari pink tua hingga merah dengan pewarnaan Romanowsky. Menurut Dellman dan Eurell (1998), granul sitoplasma pada kelinci, guinea pig, dan ayam berwarna merah dan berukuran besar. Morfologi neutrofil kelinci dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Neutrofil kelinci (Lester et al. 2005).
Neutrofil yang telah matang ditandai dengan adanya inti yang berlobus-lobus yang dihubungkan oleh filamen dan lebih dikenal dengan nama sel yang bersegmentasi (segmented cells), sedangkan sel neutrofil yang belum matang masih memiliki satu buah lobus yang terlihat seperti pita dan disebut neutrofil muda (band neutrophyl) (Swenson dan Reece 1993). Hanya neutrofil matang yang berada dalam sirkulasi pada kondisi sehat. Sedangkan neutrofil yang belum matang secara normal tidak akan beredar, tetapi mereka dapat beredar saat terjadinya suatu penyakit. Bahan-bahan yang merangsang neutrofil adalah beberapa racun yang dikeluarkan oleh bakteri, produk degeneratif dari jaringan yang mengalami peradangan, beberapa produk reaksi “kompleks komplemen”, dan beberapa produk reaksi yang disebabkan
oleh pembekuan plasma dalam area yang meradang (Guyton dan Hall 1997).
Limfosit Limfosit memiliki peranan penting dalam pertahanan imunobiologis. Limfosit terletak secara tersebar dalam nodus limfe dan jaringan limfoid seperti limfa, daerah submukosa traktus gastrointestinal dan sumsum tulang (Guyton dan Hall 1997). Menurut Harvey (2001), limfosit banyak terletak pada organ limfoid seperti limfonodus, timus, limpa, dan sumsum tulang. Selain aktif sebagai sel pertahanan yang berada di dalam sirkulasi darah, limfosit juga aktif pada beberapa jaringan setelah limfosit tersebut meninggalkan pembuluh darah. Berdasarkan fungsi dasarnya, limfosit dapat dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu sel limfosit B, sel limfosit T, dan natural killer (NK) (Samuelson 2007). Berdasarkan spesies dan variasi individu, sekitar 50-75% merupakan limfosit T, 20-35% merupakan limfosit B. Secara morfologi limfosit dibedakan menjadi dua, yaitu limfosit besar dan kecil (Dellmann dan Brown 1989). Limfosit besar memiliki diameter berkisar antara 10-15µm, sedangkan limfosit kecil 6-9µm (Samuelson 2007). Menurut Campbell (2004), jumlah limfosit pada kelinci yang sehat berkisar antara 33607000/µL. Limfosit merupakan jenis sel leukosit yang paling dominan pada kelinci (O‟Malley 2005 dan Hrapkiewicz dan Medina 2007). Morfologi limfosit kelinci dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Limfosit Kelinci (Lester et al. 2005).
Limfosit kelinci memililki morfologi yang sama dengan limfosit pada spesies lainnya. Limfosit memiliki nukleus berukuran besar, sedikit melengkung, dan memiliki sitoplasma kecil berwarna biru terang. Walaupun limfosit kecil predominan, namun terdapat juga limfosit besar. Limfosit besar memiliki ukuran yang hampir sama dengan neutrofill (Lester et al. 2005).
Monosit Leukosit mononuklear dapat diklasifikasikan sebagai limfosit dan monosit (Harvey 2001). Monosit merupakan leukosit dengan diameter berkisar antara 15-20 µm, memiliki nukleus besar dengan sitoplasma tanpa granul (Dellmann & Brown 1992). Menurut Campbell (2004), jumlah normal monosit di dalam sirkulasi darah kelinci berkisar antara 50-450/µL. Monosit pada kelinci mirip dengan monosit pada hewan domestik lain. Monosit memiliki satu nukleus, bersifat motil dan fagositik, sitoplasma lebih banyak dibandingkan dengan limfosit, berwarna abu-abu pucat dan memiliki inti berbentuk lonjong seperti ginjal dan tapal kuda (Jain 1993; Swenson & Reece 1993). Menurut Jain (1993), inti sel monosit memiliki sifat amuboid sehingga dapat ditemukan dalam bentuk yang berbeda-beda. Menurut Harvey (2001),sitoplasma berwarna biru-keabuan dan mengandung vakuola dengan berbagai ukuran. Morfologi monosit dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Monosit Kelinci (Lester et al. 2005).
Monosit
berkembang
menjadi
makrofag
setelah
monosit
meninggalkan darah dan memasuki jaringan. Monosit yang bersirkulasi dan makrofag disebut mononuclear phagocyte system (MPS). Monosit dan makrofag memproduksi berbagai zat untuk kepentingan biologis, seperti colony stimulating factors (CSFs), sitokin (interleukin-1), interleukin-3, tumor necrosis factor (TNF), pirogen endogen, enzim lisosomal, dan prostaglandin (Dellmann dan Eurell 1998). Menurut Campbell (2004), monosit memiliki kemampuan untuk menelan dan mendegradasi mikroorganisme, sel-sel yang abnormal dan selsel debris. Monosit juga berperan dalam regulasi respon imun dan mielopoiesis. Menurut Guyton dan Hall (1997), monosit bekerja sama dengan
neutrofil
di
jaringan
melakukan
proses
fagositosis
untuk
mengeliminasi agen infeksi
Basofil Basofil berasal dari jaringan mieloid yang sama dengan penghasil eosinofil, dan mengikuti jalur perkembangan seperti sel granulosit lainnya (Jackson 2007). Basofil sangat jarang terdapat dalam sirkulasi darah normal, dengan persentase berkisar antara 0-1.5% dari jumlah total leukosit. Ukuran diameter basofil berkisar antara 10-15µm dan memiliki segmentasi atau inti berbentuk heterokromatik iregular (Dellman dan Eurell 1998). Sel basofil memiliki daya fagositik yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali (Swenson dan Reece 1993). Morfologi basofil dapat dilihat pada Gambar 5. Basofil dan sel mast memiliki granul yang serupa, tetapi inti sel basofil mengalami segmentasi, sedangkan inti sel mast berbentuk bulat atau oval (Vansteenhose 2006). Basofil memiliki granula yang homogen, rER (rough endoplasm reticulum), mitokondria, dan kompleks Golgi (Delmann dan Eurell 1998). Inti basofil akan berubah menjadi ungu gelap dengan pewarnaan Romanowsky dan jumlah granul sangat bervariasi diantara spesies (Jackson 2007). Menurut Campbell (2004) dan Hrapkiewicz dan Medina (2007), sel
basofil pada kelinci relatif lebih banyak dibandingkan dengan hewan mamalia lainnya. Basofil pada spesies domestik memiliki granula yang besar, berbentuk bola atau oval, berwarna ungu kemerah-merahan dan granul biasanya akan menutupi inti (Dellmann dan Eurell 1998).
Gambar 5 Basofil Kelinci (Lester et al. 2005).
Basofil memiliki reseptor Ig E yang menyebabkan terjadinya degranulasi melalui proses eksositosis (Dellmann dan Eurell 1998). Saat terjadi peradangan, basofil akan melepaskan histamin dan sedikit bradikinin, serotonin sehingga menyebabkan reaksi jaringan dengan manifestasi alergi (Guyton dan Hall 1997).
Eosinofil Dinamakan eosinofil karena granul yang terdapat pada eosinofil memiliki persamaan dengan eosin, zat pewarna berwarna merah yang umum terdapat pada pewarnaan darah. Ukuran, bentuk dan jumlah granul eosinofil sangat bervariasi (Harvey 2001). Menurut Lester et al. (2005), eosinofil berukuran sedikit lebih besar dibandingkan dengan neutrofil, dan memiliki diameter berkisar antara 12-16 µm. Inti berwarna ungu dan berbentuk dua lobus, sangat asidofilik dan bulat. Granul sitoplasma berbentuk lebih besar dan lebih banyak dibandingkan dengan neutrofil. Kelinci memiliki bentuk granul sitoplasma eosinofil seperti bentuk jarum (Campbell 2004). Eosinofil kelinci berukuran lebih besar dan granul yang lebih pekat dibandingkan dengan
neutrofil
(pseudoeosinofil,
heterofil)
(Campbell
2004
dan
Hrapkiewicz dan Medina 2007). Morfologi eosinofil dapat dilihat pada Gambar 6. Proses migrasi sel eosinofil ke dalam jaringan dipengaruhi oleh faktor kemotaktik lokal, seperti komplek antigen-antibodi, produk yang dilepaskan oleh sel mast seperti ECF-A (Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylaxis), histamin, interleukin-2, fibrinogen dan komponen yang dilepaskan oleh jaringan rusak (Jain 1993). Persentase eosinofil dalam keadaan normal berkisar antara 2-8% dari seluruh leukosit dalam darah (Guyton dan Hall 1997; Dellman dan Eurell 1998). Jumlah eosinofil dalam darah kelinci berkisar antara 100-150/µL (Campbell 2004).
Gambar 6 Eosinofil Kelinci (Lester et al. 2005).
Hewan dikatakan mengalami eosinofilia apabila memiliki jumlah eosinofil melebihi kisaran normal. Campbell (2004) melaporkan bahwa eosinofilia berhubungan dengan infeksi metazoa (terutama larva cacing), peradangan karena alergi (berasosiasi dengan sel mast dan degranulasi basofil) dan kompleks antigen-antibodi. Menurut Dellmann dan Eurell (1998), eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut dan proses peradangan, mengatur investasi parasit, dan memfagositosis bakteri, antigenantibodi kompleks, mikoplasma, dan ragi (khamir). Menurut Vansteenhouse (2006), eosinofil berperan dalam reaksi alergi atau hipersensitivitas anafilaktik.
Kelinci Hewan percobaan adalah setiap hewan yang digunakan dalam penelitian- penelitian biologis maupun biomedis. Untuk memperoleh hasil yang relevant dengan tujuan penelitian dan yang mempunyai nilai ulang tinggi, hewan-hewan yang dipergunakan harus memenuhi persyaratan atau standar dasar yang diperlukan sebagai hewan percobaan. Disamping itu, diperlukan juga penguasaan tentang teknik pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan hewan dan tentang hewan yang paling cocok untuk penelitian yang bermanfaat dan efektif. Kelinci merupakan hewan yang sering digunakan sebagai hewan percobaan. Kelinci berasal dari Eropa (Smith dan Mangkoewidjojo
1989).
Kelinci
banyak
dikembangbiakkan
untuk
kepentingan komersial agar dapat diambil daging, kulit, dan bulu. Kelinci juga dipelihara sebagai hewan kesayangan dan digunakan secara ekstensif dalam penelitian biomedis dan product testing (Sirois 2005). Kelinci penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1998), kelinci mempunyai kemampuan untuk hidup dalam habitat yang bervariasi mulai dari padang pasir hingga daerah subtropik. Namun demikian, kelinci berkembang biak paling baik di daerah beriklim sedang. Menurut Sarwono (2005), beberapa macam ras kelinci antara lain Angora, English, Japanese atau Harlequin. Jenis ras yang lain adalah American Chincilla, Flemish Giant, Polish, Himalayan, Lop, Silver dan Tan. Kelinci ras Dutch yang terkenal di seluruh dunia merupakan kelinci peliharaan. Klasifikasi kelinci yang digunakan dalam percobaan ini adalah kingdom Animalia, filum vertebrata, kelas mammalia. ordonya dimasukkan ke dalam ordo Lagomorpha, famili Leporidae, Subfamili Leporine, Genusnya Oryctolagus dan Spesiesnya adalah Oryctolagus cuniculus (Sarwono 2005).
Gambar 7 Kelinci Penelitian.
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1998), kelinci percobaan seperti bangsa New Zealand White, California, Dutch Belted dan Lops (telinga amat besar) paling sering dipakai sebagai hewan percobaan. Bobot badan kelinci jantan dewasa berkisar antara 2-5 kg sedangkan kelinci betina dewasa 2-6 kg. Volume darah total kelinci berkisar antara 55-70 ml/kgBB. Dewasa kelamin kelinci, baik jantan maupun betina, dimulai pada umur 2252 minggu (O‟malley 2005). Umumnya kelinci dapat bertahan hidup selama 5-10 tahun bahkan hingga 12 tahun. Lama kebuntingan berkisar antara 30-31 hari, dengan jumlah kelahiran berkisar antara 4-10 ekor (Smith dan Mangkoewidjojo 1998). Kelinci memiliki sifat yaitu memakan tinjanya sendiri (coprophagy). Kelinci mengeluarkan dua macam, tinja dimana pada siang hari butir tinja keras dan kering. Akan tetapi pada malam dan pagi hari tinja lembek dan berlendir. Tinja malam hari akan dimakan langsung dari dubur dan meliputi 30-80% dari jumlah tinja kelinci sehari-hari. Tabiat ini penting sebagai pemanfaatan protein dan serat tumbuhan dari pakannya. Selain itu “pelet” khusus ini mengandung banyak vitamin, khususnya niasin, riboflavin, asam pantotenat dan sianokobalamin (B12) (Smith dan Mangkoewidjojo 1998).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Kandang Hewan Percobaaan yang dikelola oleh Unit Pelayanan Teknis Hewan Laboratorium (UPT Helab) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Tropis (Balitro) dan Laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2008 hingga Januari 2009. Bahan dan Alat Hewan coba yang digunakan dalam penelitian adalah kelinci betina sebanyak 12 ekor berumur antara 6-9 bulan dan telah mencapai dewasa kelamin. Bahan pakan kelinci berupa pelet yang diberikan dua kali sehari serta air minum ad libitum. Bahan lain adalah induksan tumor yaitu n-metiln-nitrosourea (MNU) yang dilarutkan dengan NaCl fisiologis, Ekstrak etanol rimpang temu putih, etanol 70% dan propilen glikol, cangkang kapsul ukuran 0, erosil dan SL (Sacharum Lactis). Bahan yang digunakan untuk analisis darah adalah alkohol 70%, antikoagulan EDTA (Ethylene Diamine Acetic Acid) 10%, larutan Turk, metanol, larutan Giemsa 10%, xylol dan minyak emersi. Sedangkan bahan yang digunakan pada saat operasi adalah alkohol 70%, iodium tincture 3%, ketamin HCl 10%, xylazine 2%, antibiotik penisilin yang telah diencerkan, antibiotik umum (Novamox-G®), NaCl fisiologis, benang cat gut 4/0, benang silk 3/0, tampon, kain kasa dan plester. Peralatan yang digunakan adalah kandang, tempat pakan dan air minum, maserator berupa tabung untuk menampung simplisia, alkohol 70%, kain katun tebal, plastik pembungkus, kandang jepit, stomach tube, syringe 1 dan 3 ml, jarum no.23, dan vacutainer tube plain (Becton-Dickinson®), hemositometer Neuenbauer, pipet leukosit, selang hisap, cover glass, counter, tisu, mikroskop, gelas obyek, timbangan, lampu dan meja operasi,
stetoskop, mistar, termometer, stopwatch, duk steril, clem, scalpel, needle holder, jarum jahit berpenampang bulat dan segitiga pinset anatomis, pinset sirurgis, gunting bedah (lancip-tumpul, bengkok, dan lancip-lancip) dan tang arteri.
Metode Penelitian
Persiapan dan Pemeliharaan kelinci Sebanyak 12 ekor kelinci betina dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok 1 (kontrol), kelompok 2 (induksi n-metil-n-nitrosourea (MNU)), kelompok 3 (induksi + operasi), kelompok 4 (induksi + operasi + temu putih). Sebelum perlakuan, kelinci diadaptasikan selama 3 minggu. Kelinci diberi minum dan pakan secara ad libitum. Perlakuan pada masing-masing kelompok diatas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1 Perlakuan pada masing-masing kelompok kelinci percobaan. Kelomp ok
Perlakuan Minggu ke 1
2
3
4
5
2
IT
IT
IT
IT
3
IT
IT
IT
IT
OP
4
IT
IT
IT
IT
OP+
6
7
8
9
TP
TP
TP
TP
1
TP Keterangan :
IT = induksi tumor; TP = ekstrak temu putih; OP = operasi
Induksi Tumor Induksi MNU dilakukan pertama kali pada minggu ke-4. Induksi zat karsinogen dilakukan setiap minggu selama 4 minggu berturut-turut. Sebelum digunakan, MNU sebanyak 1 ml dilarutkan ke dalam 10 ml NaCl
fisiologis (konsentrasi 100 µg/ml). Kelinci ditimbang terlebih dahulu untuk menentukan dosis MNU yang sesuai. Dosis yang digunakan yaitu 50µg/kg BB, dan dibagi menjadi 2, masing-masing untuk diaplikasikan pada kedua puting. Kelenjar mammari yang diinduksi yaitu kelenjar mammari kuartir kedua. Induksi dilakukan intra mammaria melalui papilla. Induksi ini dilakukan dengan menggunakan syringe yang posisinya tegak lurus dengan sumbu
tubuh.
Kemudian
kelinci
kelompok
3
dan
4
dioperasi
ovariohisterektomi dan mastektomi pada minggu ke-5 sesudah 4 minggu berturut-turut diinduksi (sesudah tumor tumbuh pada kelenjar mammari). Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Putih Pembuatan ekstrak rimpang temu putih meliputi dua proses, yaitu maserasi dan evaporasi. Zat aktif dari simplisia diperoleh dari proses maserasi melalui perendaman menggunakan pelarut. Pelarut yang digunakan adalah etanol dengan perbandingan 1:10 pada tabung maserator. Proses ini dilakukan selama 2x24 jam. Hasil maserasi (maserat) kemudian dipisahkan. Proses selanjutnya adalah evaporasi. Evaporasi adalah suatu proses pemekatan maserat dengan cara menguapkan pelarut tanpa menjadi kering. Ekstrak hanya menjadi kental/pekat sehingga didapatkan ekstrak etanol rimpang temu putih yang kental. Ekstrak etanol dilarutkan terlebih dahulu dengan propilen glikol dengan perbandingan 1:5.
Pemberian Ekstrak Rimpang Temu Putih Sesudah dilakukan operasi, kelinci kelompok 4 kemudian diberi ekstrak temu putih. Pemberian ekstrak temu putih dilakukan per-oral dengan dosis 250 mg/kg BB. Pemberian temu putih menggunakan stomach tube sementara kelinci diletakkan di kandang jepit. Ekstrak temu putih yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat Tropis, Cimanggu Bogor. Ekstrak temu putih dibuat dari simplisia rimpang temu putih lalu dibuat menjadi ekstrak di Laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Pemberian ekstrak temu putih dilakukan setiap hari selama 5 minggu berturut-turut sesudah operasi.
Pengambilan Darah Pengambilan darah dilakukan melalui vena auricularis lateralis. Pengambilan darah dilakukan setiap minggu selama 9 minggu sejak awal diinduksi MNU. Sebelum darah diambil, kulit di sekitar vena dibersihkan dengan menggunakan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%. Darah diambil sebanyak 1.5 ml dengan menggunakan antikoagulan EDTA. Pembuatan Preparat Ulas Darah Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan menempelkan gelas obyek pada vena auricularis lateralis. Darah tersebut diulas pada gelas obyek lainnya dan dikeringkan di udara. Kemudian preparat ulas diberi larutan methanol selama 5 menit dan dikeringkan di udara kembali. Selanjutnya preparat ulas dimasukkan ke dalam larutan pewarna Giemsa 10% selama 30 menit. Preparat dibersihkan dengan air yang mengalir kemudian dikeringkan di udara.
Penghitungan Jumlah Total Leukosit Penghitungan jumlah total leukosit dilakukan menggunakan metode hemositometer. Sampel darah dihisap dengan pipet pengencer hingga batas tera 0.5, kemudian larutan Turk dihisap hingga batas angka 11. Selanjutnya ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan pangkal ditutup dengan jari tengah. Pipet kemudian dihomogenkan dengan membentuk angka delapan selama 510 menit. Kemudian isi pipet dibuang 2-3 tetes, ujung pipet disentuhkan pada tepi cover glass-hemositometer sehingga larutan mengisi seluruh bagian kamar hitung. Penghitungan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10 pada ruang hitung untuk leukosit (lima kotak). Jumlah sel darah putih yang telah dihitung kemudian dikalikan dengan 50.
Penghitungan Diferensiasi Leukosit Penghitungan masing-masing jenis leukosit dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x10
(menggunakan minyak imersi).
Masing-masing jenis sel dihitung hingga leukosit yang ditemukan mencapai
jumlah 100. Hasil yang diperoleh dalam persentase (%), kemudian dilakukan penghitungan untuk mendapatkan nilai absolut untuk masing-masing jenis leukosit.
Operasi Operasi dilakukan pada minggu ke-5 yaitu setelah tumor tumbuh pada
kelenjar
mammari
kelinci.
Operasi
yang
dilakukan
yaitu
ovariohisterektomi dan mastektomi. Tahapan operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Praoperasi Kelinci dilakukan pemeriksaan general untuk mengetahui kondisi umum kelinci tersebut yang meliputi temperatur, frekuensi jantung, frekuensi napas dan gizi. Kemudian kelinci ditimbang untuk menentukan dosis anaestetikum yang akan diberikan yaitu xylazine 2% dengan dosis 2 mg/kg BB dan ketamin HCl dengan dosis 35 mg/kg BB secara intra muskular. Tahap yang selanjutnya adalah mencukur kelinci pada bagian abdomen dan sekitar mammae kemudian didesinfeksi dengan menggunakan alcohol 70% dan iodium tincture 3%. Kelinci kemudian diletakkan di atas meja operasi dengan posisi enterodorsal dan keempat kakinya diikat. Peralatan bedah juga telah tersedia dalam kondisi steril pada samping meja operasi. Operator beserta asisten I kemudian mempersiapkan diri dengan memakai tutup kepala dan masker. Tangan dicuci pada air yang mengalir dengan menggunakan sabun dan sikat sampai bersih beberapa kali. Pencucian tangan ini dikonsentrasikan pada bagian kuku dan sela-sela jari (Hickman dan Walker 1983) Setelah dikeringkan kemudian operator dibantu asisten I memakai baju operasi dan sarung tangan. Lampu operasi yang memadai harus tersedia pada ruang operasi untuk menunjang operasi.
Operasi
Ovariohisterektomi Ovariohisterektomi adalah operasi untuk menghilangkan uterus dan ovarium (Bubenik 2006). Operasi ini dilakukan dengan metode laparotomi medianus untuk menghindari terjadinya banyak perdarahan. Penyayatan dilakukan di posterior umbilikal sepanjang ± 5 cm. Secara berturut-turut mulai dari kulit, aponeuros muskulus, peritoneum, dan omentum dikuakkan untuk mempermudah dibukanya abdomen. Kemudian ditelusuri untuk menemukan ovarium yang terletak pada bagian kaudal dari abdomen. Ovarium diangkat kemudian bagian kranial dan kaudal mesometrium dijepit dengan tang arteri. Apabila di sekitar daerah tersebut terdapat pembuluh darah, maka dilakukan ligasi terlebih dahulu untuk menghindari perdarahan. Lalu jepitan pada mesometrium tersebut masing-masing diikat dengan benang cat gut 4/0 kemudian pada bagian tengahnya dipotong sampai ovarium lepas. Ovarium lainnya dilakukan perlakuan yang sama. Kemudian dari kedua uterus itu ditelusuri hingga menemukan bifurkatio. Setelah itu bifurkatio dijepit secara kuat dengan dua tang arteri kemudian di kaudal tang tersebut masing-masing diikat kuat dengan benang cat gut 4/0. Setelah diikat, pada bagian tengah ikatan tersebut dipotong sehingga uterus dapat terlepas. Setiap bekas luka baik sayatan maupun potongan diberikan antibiotik penicillin 50000 IU/ml. Antibiotik ini juga diberikan pada ruang-ruang abdomen. Kemudian tahap selanjutnya dilakukan reposisi organ-organ secara bertahap. Peritonium dan aponeuros muskulus dijahit dengan menggunakan benang cat gut 4/0 dan jarum berpenampang bulat dengan metode simple suture. Sebelum dilakukan penutupan kulit, antibiotik kembali diberikan diatas jahitan tersebut. Kulit dijahit dengan menggunakan benang silk 3/0 dengan metode simple suture dan jarum berpenampang segitiga. Iodium tincture 3% digunakan sebagai antiseptik dan dibubuhkan diatas jahitan kulit tersebut. Luka kemudian ditutup dengan verban dan plester.
Mastektomi Mastektomi adalah suatu operasi untuk menghilangkan kelenjar mammari. Sayatan mastektomi berbentuk elips mengelilingi daerah kelenjar mammari yang telah diinduksi tumor. Tumor tersebut diangkat secara perlahan dan teliti. Pembuluh darah sekitar kelenjar mammari diligasi sebelum dipotong. Antibiotik penicillin 50000 IU/ml diberikian pada bekas sayatan. Kemudian kulit dijahit dengan menggunakan benang silk 3/0 dan jarum berpenampang segitiga. Iodium tincture 3% digunakan sebagai antiseptik dan dibubuhkan diatas jahitan kulit tersebut. Luka kemudian ditutup dengan verban dan plester.
Post Operasi Setelah selesai operasi, kelinci diberi antibiotik umum yaitu Amoxylin (Novamox-G®) secara intramuskular dengan dosis 50 mg/50 kgBB kemudian dirawat di dalam kandang. Selama masa perawatan, kelinci diberi pakan dan minum yang baik. Luka dibalut dengan verban dan diberi iodium tincture 3% dan diganti setiap hari untuk menjaga kebersihannya. Benang dibuka setelah luka kering yaitu sekitar seminggu setelah operasi.
Variabel yang diamati Variabel yang diamati adalah jumlah total dan diferensiasi leukosit meliputi neutrofil (heterofil), eosinofil, basofil, monosit dan limfosit.
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis ragam (Anova) untuk melihat perbedaan yang nyata dari setiap kelompok perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Haryadi (2008) melaporkan bahwa induksi MNU akan menghasilkan tumor mammari dengan geljala klinis yang terlihat adalah peningkatan diameter mammari. Sifat karsinogen yang dimiliki MNU akan memberikan efek berupa pembentukan tumor. Diameter kelenjar mammari mengalami peningkatan pada minggu kedua, kembali meningkat pada minggu ketiga dan mengalami penurunan pada minggu keempat. Hal ini karena induksi hanya dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada minggu pertama, kedua dan ketiga. Secara umum hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Jumlah Total Leukosit Rataan jumlah total leukosit dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 2. Rataan jumlah total leukosit pada saat sebelum operasi berkisar antara 4871-5542sel/µL. Menurut Campbell (2004), kisaran normal jumlah total leukosit kelinci berkisar antara 6300-10060 sel/µL. Menurut Dharma et al. (2006), jumlah total leukosit didalam sirkulasi dapat dipengaruhi oleh umur dan penyimpangan dari keadaan basal. Peningkatan jumlah total leukosit (leukositosis) dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik. Leukositosis fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan emosi, kejang, takhikardi proksimal, partus dan haid. Leukositosis menurut Jain (1993) dibagi menjadi tiga yaitu fisiologi, reaktif dan proliferatif. Leukositosis fisiologis terjadi akibat respon epinefrin, neutrofil dan/atau limfosit dari “pool” dimobilisasi untuk bersirkulasi yang akhirnya akan meningkatkan jumlah total leukosit. Induksi kortikosteroid atau “stres” leukositosis dapat terjadi pada keadaan sehat maupun sakit. Leukositosis reaktif terjadi akibat respon dari suatu penyakit, sedangkan leukositosis proliferatif terjadi akibat adanya tumor pada sel darah.
Rataan Jumlah Total Leukosit Sebelum dan Sesudah Operasi Leukosit/µl
8000 6000 4000
Sebelum
2000
Sesudah
0 1
2
3
4
Kelinci
Gambar 8 Perbandingan rataan jumlah total leukosit sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan.
Secara umum terjadi peningkatan jumlah total leukosit pada waktu sesudah operasi pada semua kelompok perlakuan kecuali pada kelompok 3. Peningkatan jumlah total leukosit pada kelompok 1 sebesar 32.76%, namun demikian peningkatan jumlah total leukosit tersebut masih berada dalam batas kisaran normal. Peningkatan ini diduga terkait dengan ditemukannya investasi ektoparasit pada hewan kelompok 1 yaitu Sarcoptes scabiei sehingga hewan menjadi stres. Menurut Anonim (2006), pada stres tahap ringan, intensitas stres masih belum mengakibatkan gangguan yang berat dan merusak, sehingga tubuh masih mampu untuk mengatasi gangguan yang terjadi. Peningkatan sistem pertahanan tubuh salah satunya adalah dengan peningkatan jumlah sel darah putih yang beredar dalam sirkulasi darah. Menurut Guyton dan Hall (1997), hampir semua jenis stres baik fisik maupun neurogenik akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH (adrenokortikotropik) atau kortisol. Menurut Jain (1993), kortisol dapat menyebabkan neutrofilia, limfopenia dan eosinopenia.
Tabel 2
Rataan jumlah total leukosit semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum dan sesudah operasi.
Kelompok
Sebelum Operasi
Sesudah Operasi
1*
5542 ± 957
7423 ± 2773
2*
5012 ± 1311
6173 ± 2388
3
5408 ± 1134
5278 ± 2461
4
4871 ± 1156
5103 ± 1316
Keterangan : 1 (kontrol negatif); 2 (kontrol positif); 3 (induksi tumor + operasi); 4 (induksi tumor + operasi + temu putih). (* menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi).
Peningkatan jumlah total leukosit sesudah operasi juga terjadi pada kelompok 2 yaitu sebesar 23.16%, namun demikian masih berada dalam batas kisaran normal. Hal ini diduga pada kelompok 2 tidak dilakukan operasi maupun pemberian ekstrak temu putih. Menurut Degenhardt et al (2006), tumor menyebabkan apoptosis dan nekrosis serta menimbulkan peradangan. Menurut Aughey dan Frye (2001), peradangan akan memicu terjadinya peningkatan jumlah total leukosit. Penurunan jumlah total leukosit pada kelompok 3 sesudah operasi yaitu sebesar 2.4%. Hal ini diduga diakibatkan oleh pengangkatan tumor dengan operasi. Tubuh mengalami perlukaan sehingga terjadi peningkatan leukosit yang bermigrasi ke jaringan sehingga leukosit yang terdapat dalam sirkulasi darah akan menurun. Menurut Macfarlane et al. (2000), pada saat proses persembuhan luka, pada lokasi luka tersebut akan terbentuk neovaskularisasi yang kemudian akan menarik makrofag, neutrofil, dan fibroblas sehingga jumlah total leukosit pada sirkulasi darah menurun. Pada kelompok 4 terjadi peningkatan jumlah total leukosit sebesar 4.8%. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh proses persembuhan luka operasi dan pemberian temu putih. Curcuma zedoaria berkhasiat sebagai anti oksidan atau obat kanker. Khasiat antioksidan didapat dari imunomodulator, zat ini mampu memperbanyak jumlah limfosit, meningkatkan toksisitas sel
pembunuh kanker dan sintesis antibodi spesifik (Anonim 2010).
Neutrofil Rataan jumlah neutrofil semua kelompok perlakuan pada saat sebelum operasi berkisar antara 1590-1969 sel/µL. Menurut Campbell (2004), kisaran normal jumlah neutrofil kelinci berkisar antara 1490-3210 sel/µL. Menurut Judarwanto (2009), jumlah neutrofil dipengaruhi oleh beberapa faktor patofisiologik seperti infeksi, stres, hormon, faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor = TNF), colony stimulating factors (CSF), Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-3 (IL-3). Rataan jumlah neutrofil semua kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Tabel 3. Jumlah neutrofil sesudah dilakukan operasi terlihat bervariasi pada tiap kelompok perlakuan. Jumlah neutrofil pada kelompok 1 mengalami peningkatan namun masih dalam kisaran normal. Peningkatan jumlah neutrofil akan mempengaruhi jumlah total leukosit. Peningkatan ini diduga karena pengaruh stress pada saat di kandang dan investasi parasit. Menurut Jain (1993), kortisol dapat menyebabkan neutrofilia, limfopenia dan eosinopenia.
Neutrofil/µl
Rataan Jumlah Neutrofil Sebelum dan Sesudah Operasi 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Sebelum Sesudah k1
k2
k3
k4
Kelinci
Gambar 9 Perbandingan rataan jumlah neutrofil sebelum dan sesudaoperasi pada setiap kelompok perlakuan.
Jumlah neutrofil sesudah operasi pada kelompok 2 mengalami penurunan sebesar 20.4%. Hal ini diduga neutrofil telah memasuki jaringan akibat induksi MNU sehingga terjadi peradangan. Menurut Meyer et al. (1992), stres dan peradangan akut akan menyebabkan peningkatan jumlah neutrofil yang bermigrasi ke dalam jaringan sehingga jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah menurun. Jumlah neutrofil kelompok 3 mengalami peningkatan sebesar 6.72%, namun demikian masih dalam kisaran normal. Peningkatan jumlah neutrofil merupakan fenomena fisiologis untuk mempertahankan homeostasis tubuh pada kondisi perlukaan akibat operasi.
Tabel 3
Rataan jumlah neutrofil semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum dan sesudah operasi. Kelompok
Sebelum Operasi
Sesudah Operasi
1*
1797.81 ± 192.671
2536.75 ± 774.486
2*
1590.37 ± 860.164
1266.23 ± 683.257
3
1794.04 ± 470.554
1914.63 ± 1160.919
4
1968.69 ± 662.010
1334.67 ± 980.252
Keterangan : 1 (kontrol negatif); 2 (kontrol positif); 3 (induksi tumor + operasi); 4 (induksi tumor + operasi + temu putih). (* menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi).
Jumlah neutrofil pada kelompok 4 mengalami penurunan sesudah operasi sebesar 32.2%. Hal ini diduga temu putih memiliki efek sebagai antiinflamasi yang mampu menurunkan neutrofil. Pemberian temu putih dapat menurunkan jumlah neutrofil (Gunanti et al. 2004). Temu putih mengandung kurkumin yang dapat merangsang pembentukan glukokortikoid (Anthony dan Kuttan 1999). Mekanisme kerja kurkumin (obat anti radang glukokortikoid) dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini :
Gambar 10 Mekanisme obat anti radang (Mutschler (1991); Hieschelmann (1991)).
Kurkumin
adalah
penghambat
jalur
siklooksigenase
dan
lipooksigenase (Utami 2009). Glukokortikoid selain dapat menghambat pembebasan asam arakidonat yang mengakibatkan terhambatnya sintesis prostaglandin dan leukotrien, glukokortikoid juga dapat menghambat tumor nekrosis faktor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). IL-1 mempunyai peranan penting pada aksi radang antara lain menstimulasi PGE2 dan kolagenase, mengaktivasi limfosit T, menstimulasi proliferasi fibroblast, kematraktan (menarik) leukosit dan menyebabkan neutrofilia (Haynes 1991).
Limfosit Rataan jumlah limfosit kelinci dari setiap perlakuan sebelum dan sesudah operasi dapat dilihat pada Gambar 11 dan Tabel 4. Rataan jumlah limfosit pada saat sebelum operasi berkisar antara 2518-3543 sel/µL. Menurut Campbell (2004), kisaran normal jumlah limfosit kelinci berkisar antara 3360-7000 sel/µL. Sebelum operasi, jumlah limfosit pada semua kelompok perlakuan relatif stabil dan berada dalam kisaran nilai normal.
Rataan Jumlah Limfosit Sebelum dan Sesudah Operasi Limfosit/µl
5000 4000 3000 2000
Sebelum
1000
Sesudah
0 1
2
3
4
Kelinci
Gambar 11 Perbandingan rataan jumlah limfosit sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan.
Menurut Coles (1986) dan Colville dan Bassert (2002), peningkatan jumlah limfosit dapat terjadi pada (1) semua kondisi yang menyebabkan neutropenia; (2) leukositosis fisiologis; (3) lymphositic leucemias (bentuk kanker limfosit); (4) periode pemulihan pasca infeksi; (5) infeksi kronis; (6) insufisiensi adenokortikoid dan (7) hipertiroidisme. Sesudah operasi, pada semua kelompok kecuali kelompok 3 terjadi peningkatan jumlah limfosit yang bervariasi. Peningkatan jumlah limfosit tertinggi terjadi pada kelompok 2 yaitu sebesar 53.74%. Kelompok 2 tidak memperoleh terapi apapun sehingga tumor semakin berkembang. Jumlah limfosit pada kelompok 3 mengalami penurunan sebesar 2.4% namun masih berada dalam batas kisaran normal.
Tabel 4
Rataan jumlah limfosit semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum dan sesudah operasi.
Kelompo
Sebelum Operasi
Sesudah Operasi
k 1*
3543.01 ± 1003.538
4645.08 ± 2044.771
2*
3165.97 ± 990.866
4867.24 ± 1965.444
3
3434.32 ± 918.8
2956.92 ± 1619.558
4
2518.01 ± 823.283
3593.88 ± 1385.342
Keterangan : 1 (kontrol negatif); 2 (kontrol positif); 3 (induksi tumor + operasi); 4 (induksi tumor + operasi + temu putih). (* menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi).
Jumlah limfosit pada kelompok 4 mengalami peningkatan sebesar 42.73%. Menurut Najib (1995), kurkumin bersifat anti neoplastik. Kurkumin dapat merusak pembentukan ribosoma pada sel-sel kanker dan jaringan liar dengan cara meningkatkan pembentukan jaringan fibroblas di sekeliling jaringan kanker, lalu membentuk lapisan limfosit dalam sel-sel jaringan kanker. Jaringan fibroblas dan lapisan limfosit kemudian akan membungkus sel jaringan kanker, sehingga sel-sel jaringan kanker tersebut tidak dapat berkembang dan akhirnya akan mati, serta tidak menimbulkan bahaya lagi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pemberian temu putih dapat meningkatkan jumlah limfosit sehingga dapat meningkatkan pertahanan tubuh.
Monosit Rataan pemeriksaan jumlah monosit kelinci dari setiap perlakuan sebelum dan sesudah operasi dapat dilihat pada Gambar 12 dan Tabel 5. Rataan jumlah monosit pada saat sebelum operasi berkisar antara 81.89141.01 sel/µL. Menurut Campbell (2004), kisaran normal jumlah monosit kelinci berkisar antara 50-450 sel/µL. Sebelum operasi jumlah monosit pada setiap kelompok terlihat stabil dan masih berada dalam kisaran normal.
Monosit/µl
Rataan Jumlah Monosit Sebelum dan Sesudah Operasi 350 300 250 200 150 100 50 0
Sebelum Sesudah 1
2
3
4
Kelinci
Gambar 12 Perbandingan rataan jumlah monosit sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan.
Sesudah operasi terjadi penurunan jumlah monosit pada kelompok 1 dan 2, dimana masing-masing penurunannya sebesar 26.6% dan 46.5%. Peningkatan monosit yang terjadi pada kelompok 3 dan 4 masing-masing sebesar 312% dan 111.4% diduga berkaitan dengan peningkatan jumlah neutrofil dalam sirkulasi darah dan akibat perlukaan akibat operasi. Namun demikian jumlah monosit masih dalam kisaran normal.
Tabel 5
Rataan jumlah monosit semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum dan sesudah operasi.
Kelompok
Sebelum Operasi
Sesudah Operasi
1*
138.19 ± 99.818
101.37 ± 72.757
2*
141.01 ± 83.349
75.455 ± 56.801
3
82.92 ± 35.084
341.64 ± 580.890
4
81.89 ± 32.942
173.127 ± 160.922
Keterangan : 1 (normal); 2 (tumor); 3 (tumor + operasi); 4 (tumor + operasi + temu putih). (* menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi).
Proses fagositosis monosit bekerja sama dengan neutrofil di jaringan untuk mengeliminasi agen infeksi (Guyton dan Hall 1997). Kerja utama neutrofil adalah mengatasi infeksi akut sedangkan monosit bekerja pada keadaan yang kronis (Frandson 1996). Kondisi yang berkaitan dengan meningkatnya
aktivitas
fagositik
dapat
menyebabkan
Peradangan dan gangguan imun dapat terjadi tanpa
monositosis.
adanya perubahan
jumlah monosit pada peredaran darah perifer (Jackson 2007).
Menurut
Suparyanto (2009), kejadian monositosis menunjukan fase penyembuhan infeksi.
Basofil Rataan jumlah basofil dapat dilihat pada Gambar 13 dan Tabel 6. Rataan jumlah basofil pada saat sebelum operasi berkisar antara 55.42-214 sel/µL. Menurut Campbell (2004), kisaran normal jumlah basofil kelinci berkisar antara 60-360 sel/µL. Jumlah total basofil pada kelompok 3 dan 4 pada saat sebelum operasi cukup tinggi bila dibandingkan dengan kelompok 1 dan 2. Namun demikian, jumlah basofil pada kelompok 3 dan 4 masih berada pada kisaran normal. Hal ini diduga diakibatkan oleh adanya induksan MNU.
Rataan Jumlah Basofil Sebelum dan Sesudah Operasi 250 Basofil/µl
200 150 100
Sebelum
50
Sesudah
0 1
2
3
4
Kelinci
Gambar 13 Perbandingan rataan jumlah basofil sebelum dan sesudahoperasi pada setiap kelompok perlakuan.
Menurut Colville dan Bassert (2002), peningkatan jumlah basofil pada sirkulasi darah dapat dihubungkan dengan adanya kejadian alergi dan hipersensitivitas pada jaringan tubuh. Kadang-kadang basofil dan eosinofil terlihat pada waktu yang bersamaan karena menurut Coles (1986), basofil mempunyai eosinophilic chemotactic factor pada granul sitoplasmanya. Tabel 6
Rataan jumlah basofil semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum dan sesudah operasi.
Kelompok
Sebelum Operasi
Sesudah Operasi
1*
55.42 ± 46.52
27.55 ± 20.24
2*
74.85 ± 64.93
26.52 ± 19.322
3
214.009± 385.837
67.62 ± 81.467
4
131.41 ± 162.175
135.33± 242.75
Keterangan : 1 (kontrol negatif); 2 (kontrol positif); 3 (induksi tumor + operasi); 4 (induksi tumor + operasi + temu putih). (* menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi).
Jumlah basofil sesudah operasi cenderung mengalami penurunan
kecuali pada kelompok 4. Peningkatan basofil pada kelompok 4 sesudah operasi diduga disebabkan oleh adanya reaksi penyembuhan akibat operasi. Namun demikian peningkatan basofil pada kelompok 4 ini masih dalam kisaran normal jumlah basofil kelinci. Menurut Thrall (2001), peningkatan basofil pada kelinci belum tentu menunjukkan adanya kelainan. Kelinci memiliki jumlah basofil yang relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan spesies lainnya yaitu 5-30% dari jumlah total leukosit. Menurut Campbell (2004) dalam O‟Malley (2005), kelinci memiliki keunikan dalam hal sirkulasi basofil, yaitu dapat meningkat sampai 30% dari jumlah total leukosit dalam sirkulasi tanpa menunjukkan abnormalitas.
Eosinofil Rataan jumlah eosinofil setiap perlakuan sebelum dan sesudah operasi dapat dilihat pada Gambar 14 dan Tabel 7. Rataan jumlah eosinofil pada saat sebelum operasi berkisar antara 34.74-57.40 sel/µL. Menurut Campbell (2004), kisaran normal jumlah eosinofil kelinci berkisar antara 10150 sel/µL.
Eosinofil/µl
Rataan Jumlah Eosinofil Sebelum dan Sesudah Operasi 140 120 100 80 60 40 20 0
Sebelum Sesudah k1
k2
k3
k4
Kelinci
Gambar 14 Perbandingan rataan jumlah eosinofil sebelum dan sesudah operasi pada setiap kelompok perlakuan.
Rataan jumlah eosinofil sebelum operasi paling tinggi terdapat pada kelompok 1. Namun demikian, jumlah eosinofil masih dalam kisaran normal. Rataan jumlah eosinofil sesudah operasi sangat fluktuatif pada setiap kelompoknya, namun secara umum terjadi peningkatan pada semua kelompok. Kelompok 1 mengalami peningkatan paling tinggi yaitu sebesar 121.01%. Hal ini diduga akibat parasit Sarcoptes Scabiei yang menginfeksi hewan. Jumlah eosinofil sesudah operasi pada kelompok 4 mengalami peningkatan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kelompok 2 dan 3.
Tabel 7
Rataan jumlah eosinofil semua kelompok perlakuan (sel/µL) sebelum dan sesudah operasi.
Kelompok
Sebelum Operasi
Sesudah Operasi
1*
57.40 ± 23.844
126.56 ± 91.875
2*
61.93 ± 12.433
96.79 ± 53.86
3
55.60± 17.219
88.74 ± 48.059
4
49.26 ± 26.622
85.98 ± 42.164
Keterangan : 1 (kontrol negatif); 2 (kontrol positif); 3 (induksi tumor + operasi); 4 (induksi tumor + operasi + temu putih). (* menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi).
Dari hasil pengamatan didapatkan hasil yaitu temu putih memiliki efek yang cenderung meningkatkan jumlah total leukosit melalui peningkatan jumlah limfosit dan menurunkan jumlah neutrofil. Jenis leukosit yang tampak berperan dalam reaksi terhadap tumor adalah neutrofil, limfosit dan monosit. Sedangkan jenis leukosit yang berperan pada proses persembuhan sesudah operasi adalah neutrofil dan monosit.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengobatan dengan operasi dan pemberian ekstrak temu putih dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh.
Saran Kondisi klinis pada kelinci perlu diperhatikan secara rutin dan teliti, jumlah (n) hewan coba pada setiap kelompok perlakuan perlu ditambah dan pengobatan dengan temu putih yang lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2006. Pengaruh Stres Akibat Cemas Ujian Semester Terhadap Jumlah
LeukositMahasiswa.
http://www.m3undip.org/ed2/artikel_03_full _text_03 . html. 1Mei 2010 [Anonim]. 2010. Khasiat Kunir Putih (Curcuma Zedoaria) untuk Kesehatan dan Basmi Kanker. http://cintaherbal.wordpress.com / 11 April 2010 [BPPT].
2005.
Tanaman
Obat
Indonesia
:
Temu
Putih.
http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=259 25 April 2009 [CCRC FARMASI UGM]. 2008. Temu Putih (Curcuma zedoaria). http://ccrcfarmasiugm.wordpress.com/ensiklopedia-tanaman-antikanker/t/temu-putih/ 20 Juli 2009 [Clark]. 2009. Leukocyte Function in Inflammation and Immunity www.elrinajoubert-huebner.online.de/IFPDF/IF18.pdf [Dharma R, Immanuel S, Wirawan R]. 2006. Penilaian Hasil Pemeriksaan Hematologi Rutin. Cermin Dunia Kedokteran Volume ke-30. Jakarta: Grup Kalbe Farma. Hlm.28. http://www.kalbe.co.id.htm. 11 April 2010 [Judarwanto]. 2009. Sistem fagosit. http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/04/24/sistemfagosit/ [PDPERSI].
1 Januari 2010 2006.
Obat
Tadisional
:
Temu
Putih.
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=865&tbl=alter natif 25 April 2009 [Suparyanto]. 2009. Patofisiologi Darah (Pathophysiology of Blood). http://dr-suparyanto.blogspot.com/2009/12/patofisiologidarah.html 11 April 2010 [Wed].
2004.
Terapi
Kanker
dari
Alam.
http://www.gizi.net/cgi-
bin/berita/fullnewa.cgi?newsid1102403985,42580. 25 April 2009
Antony S dan Kuttan GA. 1999. Immunomodulatorry activity of curcumin. Immunol Invest. 28: 5-6 Aughey E dan Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology. UK: Manson Publishing Bubenik LJ. 2006. Small animal surgical nursing. Di dalam: Dennis M Mccurnin, Joanna M Bassert, editor. Clinical Textbook
for
Veterinary Technicians. Ed ke-6. Missouri : Elsevier Saunders Campbell TW. 2004. Mammalian hematology : Laboratory animals and miscellaneous species. Di dalam : Mary Anna Thrall, Dale C Baker, Terry W Campbell, Dennis Denicola, Martin J Fettman, E. Duane Lassen, Alan Rebar, Galde Weiser, editor. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Philadelphia : Lippincott Williams dan Wilkins Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology (third edition). USA-Australia : Blackwell Publishing Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company Colville dan Bassert. 2002. Clinical Anatomy and physiology for Veterinary Technicians. Missouri : Mosby, An Affiliate of Elsevier Dalimartha. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta : Puspa Swara Dalimartha. 2005. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta : Puspa Swara Delman dan Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Jakarta : UI Press Dellmann dan Eurell. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Baltimore : Lippincott Williams & Wilkins Degenhardt K, Robin M, Brian B, Kevin B, Diana A, Guanghua C, Chandreyee Mu, Yufang S, Ce´ l, Ge´ l, Yongjun F, Deirdre A. Nelson, Shengkan J and Eileen W. 2006.
Autophagy promotes tumor cell
survival and restricts necrosis, inflammation, and tumorigenesis ELSEVIER INC. 10, 51–64
Feldman, Zinkl dan Jain. 2000. Schalm’s Veterinary hematology 5th edition. Baltimore : Lippincott Williams & Wilkins Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke IV. UGM Press. Hal 935-407 Girindra A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Bogor : PAU IPB Gunanti, Priosoeryanto BP, Huminto H. 2004. Pendekatan pencegahan penyakit tumor melalui kajian mekanisme invasi dan metastase sel tumor serta efek anti metastase dari interferon rekombinan dan kombinasinya pada hewan [Laporan Hibah Bersaing Perguruan XI]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Goodpasture dan Arrigi. 1976. Effect of food seasoning on the cell cycle and chromosome morphology of mamalian cell in vitro with special reference to turmeric-food. Cosmed Toxicology 14: 9-14 Guyton dan Hall. 1997. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC Haryadi JD. 2008. Efek Penghambatan Tumorigenesis Kelenjar Mammari yang Diinduksi N-Metil-N-Nitrosourea oleh Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Secara Makroskopis pada Kelinci [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Harvey JW. 2001. Atlas of Veterinary Hematology : Blood and Bone Marrow of Domestic Animals. Philadelphia : WB Saunders Hawk dan Laery. 1995. Formulatory for Laboratory Animal. Ames : Iowa State University Haynes RC. 1991. Adrenocorticotropic Hormone. Dalam: Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. Ed 8. Editor: Gilman, A.G. et al. New York: Pergamon Press Heffelfinger SC. 2006. Breast Cancer. Di dalam : Warshawsky David and Landolph Jr. Joseph R.
Molecular Carcinogenesis dan The
Molecular Biology of Human. London : Taylor dan Francis Group Hickman J dan Walker. 1983. An Atlas of Veterinary Surgery. Bristol : English Language Book Society
Hrapkiewicz K dan Medina L. 2007. Clinical Laboratory animal Medicine. Ed ke-3. Iowa : Blackwell Publishing Ihle DSS. 2006. Small Animal Internal Medicine. USA : Blackwell Publishing Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia : Lea and Febringer Jackson ML. 2007. Veterinary Clinical Pathology : An Introduction. USA : Blackwell Publishing Kelly. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis 3rd edition. London : Bailliere Tindall Lester, Vanessa K, Heather L Tarpley, Kenneth S Latimer. 2005. Small Mammal Hematology: Leukocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs. Athens : University of Georgia Lu CF. 2006. Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi Kedua. Eddi Nugroho, penterjemah. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Terjemahan dari : Basic Toxicology: Fundamental, Target Organs and Risk Asessment Madewell dan Theilen. 1987. Etiology of cancer in animals. Di dalam : Gordon H Theilen, Bruce R Madewell, editor. Veterinary Cancer Medicine. Ed ke-2. Philadelphia: Lea & Febringer Macfarlane PS, Robin Reid, dan Robin Callander. 2000. Pathology Illustrated. London : Churchill Livingstone Meyer DJ, Cole EH dan Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory medicine Interpretation and Diagnosis. Philadelphia : WB Saunders Company Mills dan Bone K. 2000. Principles and Practice of Phytotherapy. Toronto (ON): Churchill Livingstone Mutschler E. (1991). Arzneimittelwirkungen, Terjemahan: Dinamika obat oleh: Mathilda B. dan Anna S.R. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 194-195, 359, 388, 401-402 Najib.
1995.
Terapi
Herbal
Untuk
Kanker.
nadjeeb.files.wordpress.com/2009/02/terapi-herbaluntuk_kanker.pdf 25 November 2009 O‟Maley B. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species. New York: Elsevier Saunders Osborne MP, Ruperto JF, Crowe JP, Rosen PP dan Telang NT. 1992. Effect of tamoxifen on preneoplastic cell proliferation in n-nitrosourea-nmethylurea induced mammary carcinogenesis. [Abstrak]. Cancer Res. 1992 15;52(6):1477-80 Pazos P, Lanari C, Elizalde P, Montecchia F, Charreau E dan Molinolo AA. 1998. Promoter Effect of Medroxyprogesterone Acetate (MPA) in n-methyl-n-nitrosourea (MNU)Induced Mammary Tumorsin Balb/c Mice. Dalam : Carcinogenesis vol. 19 no.3 pp, 529-531,1998 Priosoeryanto BP, Gunanti, Hernomoadi Huminto, dan Ros Sumarny. 2006. In Vitro Anti-Proliferation and Anti-Invasion Activities of the Combination between Recombinant Canine Interferon (rCaIFN) with Luffa cylindrica Seed Methanol and Chloroform Extracts on MCM-B2 Derived Tumor Cell Line In Collagen Gel Medium. In : Mini Workshop of Southeast Asia Germany Alumni Network (SEAG) on topic of “Development of Animal health and Production for Improving the Sustainability of Livestock Farming in the Integrated Agriculture System”. Bogor : Indonesia Ravindran, Nirmal Babu, Sivaraman. 2007. Turmeric : the genus Curcuma. London : CRC Press Roomi MW, Roomi NW, Ivanov V, Kalinovsky T, Niedzwiecki A dan Rath M. 2005. Modulation of n-metil-n-nitrosourea induced mammary tumors in Sprague-dawley rats by combination og lysune, proline, arginine, ascorbic acid, and green tea extract. Breast cancer research. 7:R291-R295 Rumawas W. 1989. Patologi Umum. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan IPB Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Florida : Saunders
Elsevier Sarwono. 2005. Kelinci Potong dan Hias. Jakarta: Agromedia Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine : Principles and Procedures. Missouri : Elsevier Mosby Smith J dan Mangkoewidjojo. 1989. Pemeliharaan, Pembiakan Dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press Stone EA. 2000. Mammary gland neoplasia. Di dalam : Stephen J Birchard, Robert G Sherding, editor. Saunders Manual of Small Animal Practice. Ed ke-2. Philadelphia : W.B. Saunders Company. Hal 222-225 Sumarny Ros. 2006. Majalah Farmasi Indonesia. Fakultas Farmasi UGM Syukur dan Hernani. 2002. Temu Putih : Tanaman Obat Anti Kanker. Jakarta : Penebar Swadaya Swenson MJ, Reece WO. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal. 11th edition. Cornell Univ Pr, Ithaca and Londin Thrall MA. 2001. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. USA : Lippincott Williams and Wilkins Utami AN. 2009. Perbandingan efek antiinflamasi kurkumin 1% dalam vehikulum krim dan salep pada kulit mencit yagn telah disinari ultraviolet [skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Vansteenhouse. 2006. Clinical Pathology. Di dalam : Dennis M Mccurnin, Joanna M Bassert, editor. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Ed ke-6. Missouri : Elsevier Saunders Vegh I dan RE de Salamanca. 2007. Prolactin, tnf alpha and nitric oxide expression in nitroso-n-methylure-induced-mammary tumours. Dalam :Journal of Carcinogenesis 2007,6:18 Wijayakusuma H. 2005. Atasi Kanker dengan Tanaman Obat. Jakarta : Puspa Swara
LAMPIRAN
BEFORE One-way ANOVA: Eosinofil versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 12 15
S = 20,79
Level K1 K2 K3 K4
SS 331 5185 5516
MS 110 432
F 0,26
N 4 4 4 4
R-Sq = 6,00%
Mean 57,41 61,94 55,61 49,27
StDev 23,84 12,44 17,22 26,62
P 0,856
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(--------------*--------------) (--------------*--------------) (--------------*--------------) (--------------*--------------) --+---------+---------+---------+------30 45 60 75
Pooled StDev = 20,79
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.856 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar eosinofil yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Basofil versus Kelinci Source Kelinci Error Total S = 213,0
DF 3 12 15
Level K1 K2 K3 K4
N 4 4 4 4
SS 60688 544667 605355
MS 20229 45389
R-Sq = 10,03%
Mean 55,4 74,9 214,0 131,4
StDev 46,5 64,9 385,8 162,2
Pooled StDev = 213,0
F 0,45
P 0,725
R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(-------------*--------------) (--------------*-------------) (-------------*--------------) (-------------*--------------) -+---------+---------+---------+--------160 0 160 320
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.725> 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar basofil yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama. One-way ANOVA: Monosit versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 12 15
S = 69,33
Level K1 K2 K3 K4
SS 13103 57679 70782
MS 4368 4807
N 4 4 4 4
R-Sq = 18,51%
Mean 138,20 141,02 82,92 81,90
F 0,91
P 0,466
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (------------*------------) (------------*-----------) (------------*-----------) (------------*-----------) ---------+---------+---------+---------+ 60 120 180 240
StDev 99,82 83,35 35,08 32,94
Pooled StDev = 69,33
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.466 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar monosit yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Limfosit versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 12 15
S = 936,9
Level K1 K2 K3 K4
N 4 4 4 4
SS 2536081 10532679 13068760
MS 845360 877723
R-Sq = 19,41%
Mean 3543,0 3166,0 3434,3 2518,0
StDev 1003,5 990,9 918,8 823,3
Pooled StDev = 936,9
F 0,96
P 0,442
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(-----------*------------) (------------*-----------) (------------*------------) (-----------*------------) -+---------+---------+---------+-------1600 2400 3200 4000
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.442 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar limfosit yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Leukosit versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 12 15
S = 1146
Level K1 K2 K3 K4
SS 1354309 15771515 17125824
MS 451436 1314293
N 4 4 4 4
R-Sq = 7,91%
Mean 5592 5013 5408 4871
StDev 957 1311 1134 1156
F 0,34
P 0,794
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(------------*-----------) (-----------*------------) (-----------*------------) (------------*-----------) ----+---------+---------+---------+----4000 5000 6000 7000
Pooled StDev = 1146
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.794 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar leukosit yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Neutrofil versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 12 15
S = 599,3
Level K1 K2 K3 K4
N 4 4 4 4
SS 287349 4310055 4597404
MS 95783 359171
R-Sq = 6,25%
Mean 1797,8 1590,4 1794,0 1968,7
StDev 192,7 860,2 470,6 662,0
Pooled StDev = 599,3
F 0,27
P 0,848
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(------------*------------) (------------*------------) (------------*------------) (------------*------------) -+---------+---------+---------+-------1000 1500 2000 2500
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.848 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar Neutrofil yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
AFTER One-way ANOVA: Eusinofil versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 16 19
S = 62,11
Level K1 K2 K3 K4
SS 5272 61715 66987
MS 1757 3857
F 0,46
N 5 5 5 5
R-Sq = 7,87%
Mean 126,86 96,80 88,74 85,99
StDev 91,87 53,86 48,06 42,16
P 0,717
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(--------------*-------------) (--------------*--------------) (--------------*--------------) (-------------*--------------) ---+---------+---------+---------+-----40 80 120 160
Pooled StDev = 62,11
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.717 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar eusinofil yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Basofil versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 16 19
S = 129,3
Level K1 K2 K3 K4
N 5 5 5 5
SS 39171 267336 306507
MS 13057 16708
R-Sq = 12,78%
Mean 27,6 26,5 67,6 135,3
StDev 20,2 19,3 81,5 243,8
Pooled StDev = 129,3
F 0,78
P 0,521
R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(-----------*-----------) (------------*-----------) (-----------*-----------) (------------*-----------) +---------+---------+---------+---------100 0 100 200
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.521> 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar basofil yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama. One-way ANOVA: Monosit versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 16 19
S = 304,9
SS 215440 1487411 1702850
Level K1 K2 K3 K4
N 5 5 5 5
MS 71813 92963
R-Sq = 12,65%
Mean 101,4 75,5 341,7 173,1
StDev 72,8 56,8 580,9 160,9
F 0,77
P 0,526
R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (-----------*-----------) (-----------*-----------) (-----------*----------) (-----------*----------) ---------+---------+---------+---------+ 0 250 500 750
Pooled StDev = 304,9
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.526 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar monosit yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Limfosit versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 16 19
S = 1774
Level K1 K2 K3 K4
N 5 5 5 5
SS 12100883 50344792 62445675
MS 4033628 3146549
R-Sq = 19,38%
Mean 4645 4867 2957 3594
StDev 2045 1965 1620 1385
Pooled StDev = 1774
F 1,28
P 0,314
R-Sq(adj) = 4,26%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(----------*----------) (----------*-----------) (----------*----------) (----------*----------) -+---------+---------+---------+-------1500 3000 4500 6000
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.314 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar limfosit yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Leukosit versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 16 19
S = 2301
Level K1 K2 K3 K4
SS 16903090 84714732 101617822
MS 5634363 5294671
N 5 5 5 5
R-Sq = 16,63%
Mean 7423 6173 5278 5103
StDev 2773 2388 2461 1316
F 1,06
P 0,392
R-Sq(adj) = 1,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -----+---------+---------+---------+---(----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*---------) -----+---------+---------+---------+---4000 6000 8000 10000
Pooled StDev = 2301
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.392 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar leukosit yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
One-way ANOVA: Neutrofil versus Kelinci Source Kelinci Error Total
DF 3 16 19
S = 935,5
Level K1 K2 K3 K4
N 5 5 5 5
SS 2537836 14001683 16539519
MS 845945 875105
R-Sq = 15,34%
Mean 2536,7 1653,4 1753,8 1751,0
StDev 774,5 938,7 880,5 1115,4
Pooled StDev = 935,5
F 0,97
P 0,433
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (-----------*------------) (------------*-----------) (------------*------------) (------------*------------) ---------+---------+---------+---------+ 1400 2100 2800 3500
Note : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (rata-rata sampel tiap perlakuan sama) H0 : i ≠ 0 (ada perlakuan yang rata-ratanya tidak sama) Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.433 > 0.05), maka hipotesis awal tidak akan ditolak. Artinya rata-rata kadar Neutrofil yang dimiliki 4 kelinci tersebut adalah sama.
ALL General Linear Model: Eosinofil versus Status; Kelinci Factor Status Kelinci
Type fixed fixed
Levels 2 4
Values After; Before K1; K2; K3; K4
Analysis of Variance for Eosinofil, using Adjusted SS for Tests Source Status Kelinci Status *Kelinci Error Total S = 48,8803
DF 1 3 3 28 35
Seq SS 16854 3599 2004 66900 89357
R-Sq = 25,13%
Adj SS 16854 3050 2004 66900
Adj MS 16854 1017 668 2389
F 7,05 0,43 0,28
P 0,013 0,736 0,840
R-Sq(adj) = 6,41%
Note : Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (status sebelum dan setelah operasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar eosinofil) H0 : i ≠ 0 (status sebelum dan setelah operasi berpengaruh nyata terhadap kadar eosinofil) Karena nilai p-value lebih kecil dari α (0.013 < 0.05), maka hipotesis awal ditolak. Artinya ada pengaruh yang cukup signifikan dari status sebelum dan sesudah operasi terhadap kadar eosinofil. H0 : β1 = β2 = β3 = β4 (perlakuan yang diberikan pada kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap kadar eusinofil) H0 : βi ≠ 0 (perlakuan yang diberikan pada kelinci berpengaruh nyata terhadap kadar eosinofil) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.736 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari perlakuan yang diberikan pada kelinci terhadap kadar eosinofil.
General Linear Model: Basofil versus Status; Kelinci Note : Type Levels Values Factor Status fixed After; Before Pada kasus ini nilai α 2yang digunakan adalah Kelinci fixed 4 K1; K2; K3; K4
0.05 H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (status sebelum dan setelah operasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar basofil) Analysis for Basofil, using Adjusted SS fornyata Tests H0 :ofi ≠Variance 0 (status sebelum dan setelah operasi berpengaruh terhadap kadar basofil) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.347 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Source Seq SS Adj SS Adj MS F Artinya tidak DF ada pengaruh yang cukup26559 signifikan dari statusPsebelum dan sesudah operasi Status 1 26559 26559 0,92 0,347 terhadap kadar 3basofil. Kelinci 71849 74239 24746 0,85 0,477 StatusH*Kelinci 28010 9337 0,32 0,809tidak berpengaruh nyata terhadap yang diberikan pada kelinci 0 : β1 = β2 = β33 = β28010 4 (perlakuan Error kadar basofil)28 812003 812003 29000 Total 35 938421 H0 : βi ≠ 0 (perlakuan yang diberikan pada kelinci berpengaruh nyata terhadap kadar basofil) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.477 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. S = 170,294 R-Sq = 13,47% R-Sq(adj) = 0,00% Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari perlakuan yang diberikan pada kelinci terhadap kadar basofil.
General Linear Model: Monosit versus Status; Kelinci Factor Status Kelinci
Type fixed fixed
Levels 2 4
Values After; Before K1; K2; K3; K4
Analysis of Variance for Monosit, using Adjusted SS for Tests Source Status Kelinci Status *Kelinci Error Total S = 234,908
DF 1 3 3 28 35
Seq SS 34051 82780 145763 1545089 1807683
R-Sq = 14,53%
Adj SS 34051 60298 145763 1545089
Adj MS 34051 20099 48588 55182
F 0,62 0,36 0,88
P 0,439 0,779 0,463
R-Sq(adj) = 0,00%
Note : Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (status sebelum dan setelah operasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar monosit) H0 : i ≠ 0 (status sebelum dan setelah operasi berpengaruh nyata terhadap kadar monosit) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.439 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari status sebelum dan sesudah operasi terhadap kadar monosit. H0 : β1 = β2 = β3 = β4 (perlakuan yang diberikan pada kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap kadar monosit) H0 : βi ≠ 0 (perlakuan yang diberikan pada kelinci berpengaruh nyata terhadap kadar monosit) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.779 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari perlakuan yang diberikan pada kelinci terhadap kadar monosit.
General Linear Model: Limfosit versus Status; Kelinci Factor Status Kelinci
Type fixed fixed
Levels 2 4
Values After; Before K1; K2; K3; K4
Analysis of Variance for Limfosit, using Adjusted SS for Tests Source Status Kelinci Status *Kelinci Error Total S = 1474,52
DF 1 3 3 28 35
Seq SS 6429105 8856462 5780502 60877471 81943540
R-Sq = 25,71%
Adj SS 6429105 7793706 5780502 60877471
Adj MS 6429105 2597902 1926834 2174195
F 2,96 1,19 0,89
P 0,097 0,330 0,460
R-Sq(adj) = 7,14%
Note : Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (status sebelum dan setelah operasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar limfosit) H0 : i ≠ 0 (status sebelum dan setelah operasi berpengaruh nyata terhadap kadar limfosit) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.097 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari status sebelum dan sesudah operasi terhadap kadar limfosit. H0 : β1 = β2 = β3 = β4 (perlakuan yang diberikan pada kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap kadar limfosit) H0 : βi ≠ 0 (perlakuan yang diberikan pada kelinci berpengaruh nyata terhadap kadar limfosit) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.330 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari perlakuan yang diberikan pada kelinci terhadap kadar limfosit.
General Linear Model: Leukosit versus Status; Kelinci Factor Status Kelinci
Type fixed fixed
Levels 2 4
Values After; Before K1; K2; K3; K4
Analysis of Variance for Leukosit, using Adjusted SS for Tests Source Status Kelinci Status *Kelinci Error Total S = 1894,41
DF 1 3 3 28 35
Seq SS 5321686 12971330 5286069 100486247 124065332
R-Sq = 19,01%
Adj SS 5321686 11243688 5286069 100486247
Adj MS 5321686 3747896 1762023 3588795
R-Sq(adj) = 0,00%
F 1,48 1,04 0,49
P 0,233 0,388 0,691
Note : Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (status sebelum dan setelah operasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar leukosit) H0 : i ≠ 0 (status sebelum dan setelah operasi berpengaruh nyata terhadap kadar leukosit) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.233 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari status sebelum dan sesudah operasi terhadap kadar leukosit. H0 : β1 = β2 = β3 = β4 (perlakuan yang diberikan pada kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap kadar leukosit) H0 : βi ≠ 0 (perlakuan yang diberikan pada kelinci berpengaruh nyata terhadap kadar leukosit) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.388 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari perlakuan yang diberikan pada kelinci terhadap kadar leukosit.
General Linear Model: Neutrofil versus Status; Kelinci Factor Status Kelinci
Type fixed fixed
Levels 2 4
Values After; Before K1; K2; K3; K4
Analysis of Variance for Neutrofil, using Adjusted SS for Tests Source Status Kelinci Status *Kelinci Error Total
: SNote = 808,697
DF 1 3 3 28 35
Seq SS 164445 1658562 1166623 18311738 21301367
R-Sq = 14,03%
Adj SS 164445 1408508 1166623 18311738
Adj MS 164445 469503 388874 653991
R-Sq(adj) = 0,00%
F 0,25 0,72 0,59
P 0,620 0,550 0,624
Pada kasus ini nilai α yang digunakan adalah 0.05 H0 : 1 = 2 = 3 = 4 (status sebelum dan setelah operasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar neutrofil) H0 : i ≠ 0 (status sebelum dan setelah operasi berpengaruh nyata terhadap kadar neutrofil) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.620 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari status sebelum dan sesudah operasi terhadap kadar neutrofil. H0 : β1 = β2 = β3 = β4 (perlakuan yang diberikan pada kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap kadar neutrofil) H0 : βi ≠ 0 (perlakuan yang diberikan pada kelinci berpengaruh nyata terhadap kadar neutrofil) Karena nilai p-value lebih besar dari α (0.550 > 0.05), maka hipotesis awal tidak ditolak. Artinya tidak ada pengaruh yang cukup signifikan dari perlakuan yang diberikan pada kelinci terhadap kadar neutrofil.