1
DINAMIKA POTENSI TEGAKAN DAN SISTEM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JATI DI KABUPATEN JEPARA
MAY CAESARRY RACHMADINI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
RINGKASAN MAY CAESARRY RACHMADINI. Dinamika Potensi Tegakan dan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jati di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Barat. Dibawah bimbingan oleh HERRY PURNOMO dan EFI YULIATI YOVI.
Hutan rakyat yang terdapat di Kabupaten Jepara saat ini perlu dikembangkan tentang cara pengelolaan budidaya hutan rakyatnya, karena masih terdapat areal lahan kritis sebesar 19.413 ha yang tidak termanfaatkan, yang seharusnya dapat dijadikan sebagai areal hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung dinamika potensi tegakan Jati dengan menggunakan Stella dan mengetahui kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan. Dalam penelitian ini pengambilan lokasi dilakukan secara sengaja pada tiga desa yaitu Desa Damarwulan, Desa Clering, dan Desa Suwawal, dimana pada masing-masing desa ditentukan sebanyak 30 petani yang memiliki areal hutan rakyat Jati. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain, data sekunder yang berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara mengenai data struktur hutan rakyat meliputi umur tanaman, diameter, dan tinggi bebas cabang. Sedangkan data primer yang dikumpulkan mengenai kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh para petani. Dalam membangun suatu model diperlukan 4 tahap yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, serta penggunaan model. Volume potensi kayu rakyat jati di Kabupaten Jepara sampai tahun 2010 adalah sebesar 22.718 m³. Hutan Rakyat Jati di Kabupaten Jepara tersebar di 15 kecamatan, dimana kecamatan yang memiliki potensi terbesar adalah Kecamatan Donorojo dan kecamatan yang memiliki potensi yang paling kecil adalah Kecamatan Pecangaan. Model yang dibuat dalam pendugaan dinamika potensi tegakan terdiri dari 8 sub model. Daur yang digunakan dalam model ini adalah 25 tahun. Hasil pendugaan potensi Kabupaten Jepara sejak penanaman sampai dengan daur 25 tahun berdasarkan tahun tanam yang berbeda yaitu sebesar 488.120 m³. Hutan rakyat yang dikelola di tiga desa penelitian meliputi pemilihan jenis tanaman, persiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan. Dari adanya hutan rakyat ini diharapkan mampu mendukung pasokan bahan baku industri terutama kayu Jati di wilayah Kabupaten Jepara, sehingga Jepara tidak hanya mengambil kayu Jati dari daerah lain, tetapi juga dapat menghasilkan kayu Jati dari daerah sendiri. Pemerintah Kabupaten Jepara harus mendorong, memberikan bantuan modal dan melakukan penyuluhan kepada petani hutan rakyat, agar mau menanam tanaman jati di lahan hutan rakyatnya. Kata Kunci:
hutan rakyat, potensi tegakan, Stella, kegiatan pengelolaan hutan rakyat
3
SUMMARY MAY CAESARRY RACHAMADINI. Forest Stands Dynamic and Management System of Teak Community Forests in Jepara District, West Java Province. Under Supervision of HERRY PURNOMO and EFI YULIATI YOVI.
Community forests which are located in Jepara district needs to be developed on the management of community forests cultivation, because there still unutilized critical land of 19.413 ha which should be used as a community forests area. This study aims to calculate the dynamic of teak stands potency through using Stella and find out the community forest management activities have been carried out. The study areas were taken purposively to three villages, Damarwulan, Clering, and Suwawal, where in each village was determined 30 farmers who own teak forest. Collected data in this study, among others, the secondary data derived from the Forestry and Plantation Regional Office of Jepara about community forests structure includes plant age, diameter, and clear bole height. While collected primary data concerned in community forest management activities which were conducted by farmers. In creating a model, it is required 4 stages namely identification of issues, objectives and constraints, model conceptualization, model specification, and the use of model. Volume of community teak wood potency in Jepara District until the year 2010 amounted to 22.718 m³. Community teak forests of Jepara District Teak spread over 15 sub-districts, where the greatest and smallest potencies respectively are Donorojo and Pecangaan. Created model in estimating the dynamic of stand potency consists of 8 sub-models. Cycle used in this model is 25 years. The result of potency estimation in Jepara Disctrict since the planting until 25 years cycle based on different planting year is 488.120 m³. Community forests which are managed in the three study areas include the species selection, land preparation, seedlings procurement, planting, fertilizing, and maintenance. The community forests is expected could support the supply of industrial raw materials, especially teak wood in Jepara District, so as Jepara does not just get teak wood from other areas, but also produce teak wood from its own region. Jepara District government should encourage, provide capital and conduct assistance for the community forest farmers to plant teak in their land.
Keywords: Community forests, stands potency, Stella, community forest management activities
4
DINAMIKA POTENSI TEGAKAN DAN SISTEM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JATI DI KABUPATEN JEPARA
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
MAY CAESARRY RACHMADINI E14060884
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
5
Judul skripsi : Dinamika Potensi Tegakan dan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jati di Kabupaten Jepara. Nama
: May Caesarry Rachmadini.
NRP
: E14060884
Menyetujui : Dosen Pembimbing, Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Herry Purnomo M.Comp
Dr. Efi Yuliati Yovi S.Hut.M.life. Env. Sc
NIP. 19640421 198803 1 002
NIP. 19740724 199903 2 003
Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP : 19630401 199403 1 001
Tanggal lulus : Juni 2011
6
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Dinamika Potensi Tegakan dan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jati di Kabupaten Jepara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
May Caesarry Rachmadini NRP E14060884
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 1 Mei 1989 dari Ayahanda Dendy Rochendy dan Ibunda Nenny Meyani. Penulis merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh diantaranya adalah SDN Taman Pagelaran Bogor pada tahun 1994–2000, SLTP Negeri 6 Bogor pada tahun 2000–2003, SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2003–2006, pada tahun 2006 penulis diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) dan menempuh pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun (2006/2007), sebelum akhirnya diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada masa perkuliahan penulis pernah memperoleh beasiswa Bantuan Belajar Mandiri (BBM). Selama melakukan studinya penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan di antaranya Forest Management Student Club (FMSC) sebagai anggota bidang Planologi pada tahun 2007–2008 dan staff Divisi Kesekretariatan pada tahun 2008–2009, serta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan sebagai Bendahara 1 Pada tahun 2009. Selain itu juga penulis pernah memegang jabatan kepanitiaan sebagai Bendahara pada acara Temu Manajer 2008 dan Himpunan Mahasiswa FMSC E-GREEN pada tahun 2008 yang merupakan salah satu kegiatan Unit Manajemen Hutan. Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2008 di daerah Sancang–Kamojang, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) pada tahun 2009 di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan KPH Tanggeung, Cianjur Selatan, Jawa Barat. Selanjutnya penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HTI PT. Arara Abadi, Pekanbaru selama 2 bulan terhitung dari Bulan Maret sampai Bulan Mei 2010. Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Dinamika Potensi Tegakan dan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jati di Kabupaten Jepara. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life. Env.Sc.
8
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Dinamika Potensi Tegakan dan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jati di Kabupaten Jepara dengan lancar. Dalam penyusunan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu baik secara moral maupun materil. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Mamah, Papah, Teteh, Om Teddy, Tante Dina, Tante Anne, serta keluarga besar Affandi Mangundikarta yang telah memberikan segala doa, nasehat, inspirasi, pegangan hidup, rasa kasih sayang, dan semangatnya 2. Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Ibu Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life. Env.Sc. selaku dosen pembimbing atas segala arahan, bimbingan, saran, nasehat, dan ilmu yang diberikan. 3. Bapak Dr. Ir. Achmad selaku dosen penguji dan Bapak Ir. Ahmad Hadjib selaku ketua sidang. 4. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara serta seluruh karyawan dan pekerja atas izin yang telah diberikan untuk pelaksanaan penelitian. 5. Mas Lilik, Mas Nekson, dan Mas Arif atas segala bantuan, nasehat, dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama penelitian. 6. Bapak Wahyudi, Bapak Subiono, dan seluruh petugas penyuluh lapang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara atas segala bantuan dalam pengambilan dan pelengkapan data penelitian. 7. Keluarga besar Mba Wiwi, Keluarga Bapak Pangtrimo dan Keluarga Bapak Supaat atas segala bantuan, tempat tinggal, dan kerjasama selama penelitian berlangsung. 8. Bang Lutfi Yalam dan Mas Desy Suyamto atas bantuan pembelajaran Stella dalam proses pengolahan data.
9
9. Suci Dian Firani, Miranti Dewi, Andina Ayu Mayangsari Putri, Hania Purwitasari, dan Elisda Damayanti atas segala bantuan dan persahabatan yang telah terjalin selama ini. 10. Teman-teman seperjuangan penelitian Anita Sopiana, dan Woro Sutia Lestari atas bantuannya selama penelitian dan semangatnya. 11. Teman-teman Manajemen Hutan 43, Rizky Rahadikha, Yuliatno Budi Santosos, Novriandri Asmar, Sukesti Budiarti, Kristanto Nugroho, Yayat Syarif, Andi Rustandi, Ratih Solichia Maharani, dan Anak-anak Semeru, terima kasih atas kebersamaannya selama hampir empat tahun di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 12. Kepada Pak Ipul, Pak Edi, Ibu Asih dan Staff
Departemen Manajemen
Hutan, Fakultas Kehutanan IPB lainnya yang telah membantu penulis dalam pengurusan administrasi kemahasiswaan. 13. Seluruh pihak terkait yang baik secara langsung atau tidak langsung telah membantu penelitian dan pengerjaan skripsi ini hingga selesai.
i
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Dinamika Potensi Tegakan dan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jati di Kabupaten Jepara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya dinamika potensi tegakan jati pada hutan rakyat di Kabupaten Jepara yang disertai dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang digunakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada petani penggarap hutan rakyat serta Dinas Kehutanan dan perkebunan Kabupaten Jepara. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juni 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................... i DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v I. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................... 3 II. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Rakyat ............................................................................. 4 2.2 Prinsip-prinsip Hutan Rakyat ................................................................... 6 2.3 Peranan Hutan rakyat ............................................................................... 6 2.4 Manfaat Hutan Rakyat .............................................................................. 7 2.5 Pengelolaan Hutan Rakyat ....................................................................... 8 2.6 Analisis Kesesuaian Lahan ....................................................................... 12 2.7 Potensi Hutan Rakyat ............................................................................... 12 2.8 Karakteristik Jensi Jati.............................................................................. 13 2.9 Pendekatan Sistem .................................................................................... 14 II. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 16 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ........................................................................ 16 3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 16 3.4 Metode Pengambilan Lokasi dan Responden .......................................... 17 3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 17 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas ........................................................................................... 22 4.2 Topografi dan Erosi .................................................................................. 22 4.3 Penggunaan Lahan .................................................................................. 23 4.4 Jenis Tanah dan Tekstur Tanah ................................................................ 24 4.5 Kependudukan .......................................................................................... 24 4.6 Tingkat Pendidikan................................................................................... 25 4.7 Mata Pencaharian Penduduk .................................................................... 25 4.8 Agama dan Sosial Masyarakat ................................................................. 26 4.9 Sarana Perekonomian ............................................................................... 27 4.10 Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara ................................. 27 4.11 Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Hutan Rakyat ............... 27
iii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jenis Jati ...................................................... 31 5.2 Potensi Jati Tahunan................................................................................. 35 5.3 Pemodelan Dinamika Potensi Tegakan .................................................... 36 5.4 Potensi Lahan Berdasarkan Analisis LQ .................................................. 55 5.5 Peta Sebaran Jati ....................................................................................... 57 5.6 Pengelolaan Hutan Rakyat ...................................................................... 57 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 69 5.2 Saran ......................................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... . 70
iv
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Penggunaan lahan di Kabupaten Jepara .......................................................... 23 2. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin .................................... 24 3. Tingkat pendidikan berdasarkan umur 10 tahun ke atas ................................. 25 4. Penduduk berdasarkan mata pencaharian ....................................................... 26 5. Luas kawasan hutan KPH Pati ........................................................................ 29 6. Tegakan Jati di BKPH Kabupaten Jepara ....................................................... 30 7. Sebaran umur tegakan jati tahun 2010 ............................................................ 32 8. Potensi Jati 2010 setiap kecamatan ................................................................. 34 9. Potensi Jati 2006–2010 setiap tahun tanam .................................................... 36 10. Jumlah penanaman awal hutan rakyat Jati di Kabupaten Jepara .................... 42 11. Biaya produksi pada tiap kecamatan .............................................................. 48 12. Biaya produksi setiap pohon ........................................................................... 49 13. Analisis kesesuaian lahan (LQ) ....................................................................... 56 14. Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan ............................. 58 15. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan .......................................... 58
v
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman 1. Kebun bibit Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara ................. 28 2. Jumlah batang Jati tahun 2010 ........................................................................ 33 3. Potensi tegakan Jati tahun 2010 setiap kecamatan ................................................ 35 4. Hubungan antara sub model dinamika pertumbuhan dan penanaman ..................... 38 5. Hubungan antara sub model dinamika, potensi, dan pendapatan kayu........... 39 6. Konseptualisasi model .................................................................................... 41 7. Sub model dinamika pertumbuhan Jati ........................................................... 41 8. Sub model penanaman .................................................................................... 42 9. Jumlah batang Jati saat awal penanaman ........................................................ 43 10. Sub model dinamika tegakan Jati .................................................................... 44 11. Sub model stok seluruh kabupaten.................................................................. 45 12. Jumlah batang Jati pada akhir daur ................................................................. 45 13. Sub model potensi tegakan.............................................................................. 46 14. Volume kayu rakyat Jati pada akhir daur ........................................................ 46 15. Sub model potensi kabupaten.......................................................................... 47 16. Sub model pendapatan kayu............................................................................ 48 17. Sub model pendapatan kayu kabupaten .......................................................... 50 18. Trend penanaman berdasarkan luas hutan rakyat Jati ..................................... 51 19. Evaluasi model ................................................................................................ 51 20. Analisis sensitivitas model .............................................................................. 52 21. Skenario daur .................................................................................................. 54 22. Skenario pendapatan ....................................................................................... 55 23. Bentuk hutan rakyat pola monokultur di Desa Clering................................... 61 24. Tempat penyediaan bibit di Desa Damarwulan .............................................. 63 25. Ilustrasi tempat penampungan kayu di Kabupaten Jepara .............................. 67
vi
DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Peta kawasan Kabupaten Jepara...................................................................... 74 2. Potensi Jati untuk seluruh kecamatan tahun 2010........................................... 75 3. Potensi kayu Jati pada areal hutan rakyat di Kabupaten Jepara ...................... 78 4. Volume kayu Jati rakyat Kabupaten Jepara tahun 2006–2009 ...................... 78 5. Luas lahan kering menurut penggunaan di Kabupaten Jepara tahun 2008 ..... 79 6. Sub model pada Stella .................................................................................... 80 7. Jumlah stok batang setelah daur berdasarkan tahun penanaman .................... 89 8. Potensi setelah daur berdasarkan tahun penanaman ....................................... 90 9. Pendapatan setelah daur berdasarkan tahun penanaman 1995–2009 ............. 91 10. Peta sebaran Jati .............................................................................................. 93 11. Identitas responden.......................................................................................... 94 12. Tabel skor penilaian hasil wawancara............................................................. 97 13. Kuesioner penelitian.......................................................................................100
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan hutan yang luas, Hutan ini seharusnya bisa dijadikan sumber pemasukan oleh setiap daerah bila dikelola dengan baik. Perkembangan suatu daerah tentunya tidak terlepas dari adanya sektor yang berdampak positif dan negatif terhadap pengembangan sektor lain. Salah satu sektor yang dianggap sebagai sektor andalan Kabupaten Jepara adalah sektor industri mebel dan ukir kayu. Industri yang berkembang secara turun-temurun ini telah menjadi aktivitas dominan bagi penduduk Jepara. Perkembangan aktivitas ini terlihat dari semakin berkembangnya berbagai jenis usaha yang tidak hanya merambah pasar lokal, regional, dan nasional, bahkan sampai pasar internasional. Namun, pada kenyataannya selama ini bahan baku kayu untuk industri mebel dan ukir tidak didatangkan dari daerah sendiri, melainkan dari daerah lain diluar Kabupaten Jepara. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap persediaan bahan baku kayu dari Perhutani yang semakin merosot setiap tahun. Sebaliknya kebutuhan bahan baku bagi industri mebel terus meningkat. Oleh karena, itu agar keberlangsungan industri ini tetap berjalan, perlu dilakukan dukungan terhadap pasokan bahan baku industri dari luar kawasan hutan milik negara, tanpa mengabaikan kualitas lingkungan. Salah satu alternatif yang mempunyai prospek baik untuk mendukung tersedianya
bahan baku kayu
industri adalah
pengembangan hutan rakyat. Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara tahun 2007, menyebutkan bahwa luas hutan rakyat sebesar 12.116 ha. Luas hutan rakyat tersebut dapat terus bertambah, karena terdapat areal lahan kritis sebesar 19.413 ha yang tidak termanfaatkan, yang seharusnya dapat dijadikan sebagai areal hutan rakyat. Departemen kehutanan berdasarkan arah pembangunan jangka panjang kehutanan 2006–2025 telah mencantumkan program peningkatan luasan hutan rakyat yang mandiri dan mendukung fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
2
Berdasarkan dari permasalahan tersebut ditambah dengan adanya potensi lahan yang tersedia, penulis mencoba melakukan studi yang berkaitan dengan dinamika potensi tegakan dan sistem pengelolaan hutan rakyat jati di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Informasi mengenai dinamika potensi tegakan jati pada areal hutan rakyat digunakan untuk mengetahui seberapa besar jumlah tegakan jati pada hutan rakyat yang tersedia dimasa yang akan datang. Analisis terhadap aspek teknis sangat diperlukan, karena merupakan pengetahuan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang petani pengelola hutan rakyat agar usaha taninya dapat mendatangkan manfaat secara optimal. Dengan luas kepemilikan lahan yang terbatas, petani harus mampu menentukan jumlah dan jenis pohon yang ditanam, karena hal ini berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas kayu yang dihasilkan. Sehingga informasi ini diharapkan berguna bagi pengusahaan dan pengelolaan sumber daya hutan, agar kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan rakyat dapat dilaksanakan dengan lebih baik berdasarkan perencanaan yang matang.
1.2 Perumusan Masalah Menurut Sukadaryati (2006), potensi hutan rakyat di Indonesia mencakup populasi jumlah pohon yang diharapkan mampu menyokong bahan baku untuk industri. Potensi tegakan hutan rakyat memilik prospek yang baik untuk dikembangkan dalam rangka menggantikan peran hutan yang hilang akibat adanya penggunaan lahan dan hutan. Informasi mengenai potensi tegakan hutan rakyat jati sangat diperlukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah tegakan hutan rakyat jati yang tersedia, sehingga dapat menentukan dinamika potensi tegakan jati untuk menduga besarnya potensi jati pada beberapa tahun yang akan datang. Alasan pemilihan tegakan jati, karena selama ini jati merupakan sumber bahan baku utama dalam perindustrian mebel dan ukir yang dilakukan di Kabupaten Jepara. Untuk mendukung data potensi tegakan jati yang dibutuhkan, tentunya tidak terlepas dari adanya sistem pengelolaan hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat yang baik, diperlukan selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan, juga mampu
3
mendukung kebutuhan industri kehutanan. Beberapa permasalahan yang sering dijumpai dalam pengembangan hutan rakyat diantaranya : 1. Pengelolaan hutan rakyat masih tergantung pada pemilik lahan begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, karena mereka menginginkan jenis pohon tertentu untuk ditanam di lahan miliknya, sehingga berakibat pada pemerataan jenis tanaman. 2. Sulitnya mengatur kegiatan penebangan pohon yang dilakukan di lahan hutan rakyat. Hal ini berkaitan dengan belum tersedianya landasan hukum yang mengatur kegiatan pemanenan. Masyarakat pemilik lahan sering dihadapkan pada persoalan ekonomi, sehingga
mereka akan menjualnya tanpa
memperhatikan apakah pohon tersebut masih muda atau sudah pantas untuk dipanen, yang terpenting adanya pedagang yang akan membeli. Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Jepara diperlukan agar hutan rakyat dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pemiliknya, tersedianya produksi kayu yang berkualitas dalam jumlah yang cukup untuk menjamin tersedianya bahan baku kayu untuk industri mebel dan pengelolaan teknik budidaya yang baik, serta mendorong kemandirian masyarakat dalam rangka pengembangan hutan rakyat.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menghitung potensi hutan rakyat tegakan jati di Kabupaten Jepara. 2. Menduga dinamika potensi tegakan hutan rakyat jati dengan Stella. 3. Membuat model untuk menduga besarnya pendapatan kayu yang didapatkan. 4. Mengetahui kegiatan pengelolaan hutan rakyat jati. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Dari sisi akademik, hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang potensi dan sistem pengelolaan hutan rakyat jati di Kabupaten Jepara. 2. Mengetahui informasi tentang dinamika struktur tegakan untuk menduga hasil kayu yang dapat diperoleh dimasa yang akan datang yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut hutan milik (Hardjanto 2000). Sedangkan menurut Dirjen RRL (1976) hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi tanaman perkayuan lebih dari 50 %, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Suharjito (2000) mendefinisikan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karena hutan rakyat juga disebut hutan milik. Lembaga Penelitian IPB (1990), membagi bentuk hutan rakyat berdasarkan jenis tanaman menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Hutan rakyat murni, hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pohon berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur. 2. Hutan rakyat campuran, hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohonpohonan yang ditanam secara campuran. 3. Hutan rakyat agroforestry, hutan rakyat yang memiliki bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya, seperti perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan, dan lain-lain secara terpadu. Dengan demikian suatu kebun (talun kebun) yang hanya ditumbuhi oleh beberapa pohon termasuk dalam kategori hutan rakyat. Hutan rakyat juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hutan rakyat tradisional dan hutan rakyat inpres. Hutan rakyat tradisional adalah hutan rakyat yang dibangun atau ditanami diatas tanah milik dan atas inisiatif pemiliknya sendiri tanpa adanya subsidi atau
5
bantuan dari pemerintah. Sedangkan hutan rakyat inpres adalah hutan rakyat yang dibangun melalui kegiatan atau program bantuan penghijauan. Di Jawa, hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan karang kitri. Secara nasional, pengembangan hutan rakyat selanjutnya berada di bawah payung program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Di dalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia mangium), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain sebagainya. Sedangkan yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu yang hasil utamanya berupa buah antara lain mangga, durian, kelapa, dan pisang. Hutan rakyat mulanya dibangun pada lahan-lahan kritis namun dalam perkembangannya beralih ke lahan-lahan yang subur, dan telah diperhitungkan sebagai usaha ekonomi. Masyarakat Jawa mempunyai tradisi budidaya kayu yang dikenal dengan istilah wono atau lebih dikenal dalam bahasa Indonesia dengan hutan rakyat. Wono dapat berwujud tegalan, pekarangan, kebonan bahkan sawah (Suharjito dan Darusman 1998). Menurut Departemen Kehutanan (1995), pengusahaan hutan rakyat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10 % dari pendapatan total.
6
2.2 Prinsip-prinsip Hutan Rakyat Sistem
hutan rakyat
memiliki
prinsip-prinsip
sebagaimana
yang
dikemukakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (2004) yaitu: 1. Aktor utama pengelola adalah rakyat, masyarakat lokal atau adat. 2. Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan. 3. Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya. 4. Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat. 5. Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat. 6. Pengetahuan lokal menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan. 7. Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat. 8. Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian. 9. Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama. 10. Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
2.3 Peranan Hutan Rakyat Menurut Simon (1995) keberhasilan pembangunan hutan rakyat, akan memberikan sumbangan yang positif terhadap pembangunan nasional dalam bentuk (1) meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan ikutan, (2) memperluas aksesibilitas dan kesempatan kerja di pedesaan, (3) memperbaiki sistem tata air dan meningkatkan perlindungan permukaan tanah dari bahaya erosi, (4) meningkatkan proses pembentukan karbon dioksida (CO₂) dan polutan lain di udara karena adanya peningkatan proses fotosintesis di permukaan bumi, (5) dari proses fotosintesis dapat menjaga kadar oksigen udara segar tetap pada tingkat yang menguntungkan bagi makhluk hidup, dan (6) menyediakan habitat yang untuk menjaga keragaman hayati (biodiversity).
7
Departemen Kehutanan (1995) sendiri menegaskan bahwa tujuan pokok dari pengembangan hutan rakyat adalah: 1. Memenuhi kebutuhan kayu. 2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat. 3. Memperluas kesempatan penduduk dalam memperoleh pekerjaan. 4. Salah satu upaya pengentasan kemiskinan.
2.4 Manfaat Hutan Rakyat Hutan rakyat sudah sejak lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan masyarakat, selain sebagai investasi ternyata juga dapat memberi tambahan penghasilan yang dapat diandalkan. Masyarakat biasa memanfaatkan kayu yang ditanam di lahan milik sendiri untuk berbagai keperluan terutama untuk mencukupi kebutuhan kayu sebagai bahan baku bangunan atau mebel. Sewaktu-waktu mereka menjual kayunya ketika ada kebutuhan ekonomi yang mendesak, akan tetapi tidak sedikit diantara mereka yang mewariskan pohon yang masih berdiri untuk anak cucu mereka (Sukadaryati 2006). Menurut Djajapertjunda (2003), karena hutan rakyat adalah hutan, sama halnya seperti hutan-hutan lainnya yang tanamannya terdiri atas pohon sebagai jenis utamanya, maka peranannya pun tidak banyak berbeda, yaitu: a. Ekonomi, untuk memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat. b. Sosial, untuk membuka lapangan pekerjaan. c. Ekologi, sebagai penyangga kehidupan masyarakat dalam mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi, dan sebagai prasarana untuk memelihara kualitas lingkungan hidup (penyerap Karbon dioksida dan produsen Oksigen). d. Estetika, berupa keindahan alam. e. Sumber, merupakan sumberdaya alam untuk pengetahuan, antara lain ilmu biologi, ilmu lingkungan dan lain-lain. Pembangunan hutan tanaman rakyat akan melibatkan seluruh penduduk disekitarnya, sehingga akan memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan waktunya secara maksimal (Simon 1995).
8
2.5 Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan
hutan
rakyat
selain
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat juga untuk menyediakan bahan baku bagi industri tanpa meninggalkan azas kelestarian lingkungan. Lembaga Penelitian IPB (1990) menerangkan bahwa ada tiga sub sistem yang saling terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yaitu: 1. Sub sistem produksi a. Pendapatan petani hutan rakyat dari hutan rakyat (PPHR). b. Jumlah petani hutan rakyat (JPHR). c. Luas hutan rakyat (LHR). 2. Sub sistem pengolahan hasil a. Jumlah volume hasil produksi hutan rakyat (VKR). b. Kualitas kayu hasil produksi hutan rakyat (KKR). 3. Sub sistem pemasaran hasil a. Jumlah permintaan terhadap kayu rakyat (DKR). b. Jumlah persediaan kayu rakyat (SKR). c. Harga kayu rakyat (HKR). Djajapertjunda (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat terdapat beberapa ciri-ciri aspek teknis yang sama seperti aspek teknis hutan yang lain, diantaranya : a. Pemilihan Lokasi Syarat lokasi pembangunan hutan rakyat adalah lokasinya dekat dengan pemukiman. Dalam hal ini berkaitan dengan aksesbilitas lahan yang digunakan sebagai areal hutan rakyat dari lokasi industri yang akan mengolah hasilnya, sehingga jika terlalu jauh akan sulit mengolah hasilnya, karena biaya pengangkutan lebih tinggi. Selain itu, lokasi yang dipilih, sebaiknya kawasankawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian secara permanen. Apabila di lahan-lahan tersebut sudah ada tanaman-tanaman yang berupa tanaman kayu atau buah-buahan, maka tanaman-tanaman kayu dapat dilaksanakan sebagai tanaman sisipan diantara tanaman yang sudah ada, sehingga seluruh kebun akan menjadi lebih produktif. Cara seperti ini sudah dipraktekkan oleh masyarakat petani.
9
b. Persiapan Lahan Persiapan lahan sebelum penanaman dilakukan sesuai dengan kategori lahannya. Tanah-tanah yang akan ditanami tanaman kayu pada umumnya berupa tanah yang sudah berupa kebun yang mungkin sudah ada tanaman lainnya dan relatif mengandung tumbuhan liar. Karena itu untuk menanam kayu tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan. Untuk setiap bibit yang akan ditanam cukup disiapkan lubang tanam berukuran kurang lebih 30 x 30 cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan garis tengah kurang lebih sekitar 100 cm (sistem cemplongan). Apabila tanaman kayu akan ditanam bersama-sama dengan tanaman palawija, dengan sendirinya persiapan lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhannya. c. Pemilihan Jenis Kayu Pemilihan jenis kayu yang tepat sangat penting dilakukan. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan pasar baik sebagai bahan untuk kayu konstruksi maupun sebagai bahan baku untuk industri. Pemilihan jenis tanaman untuk hutan rakyat sebaiknya memperhatikan persyaratan sebagai berikut (Departemen Kehutanan, 1995): 1. Kesesuaian lahan dan iklim 2. Keinginan rakyat 3. Manfaat yang tinggi dan serbaguna bagi masyarakat 4. Mempunyai nilai ekonomi dan mudah dipasarkan 5. Cepat tumbuh dan cepat menghasilkan 6. Jenis yang berfungsi melindungi dan menyuburkan tanah 7. Mempunyai manfaat perlindungan tata air dan pelestarian lingkungan. d. Pengadaan Bibit Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang berasal dari batang dan cabang atau bibit secara generatif. Untuk pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek atau cangkokan pada tanaman yang muda, sedangkan persiapan bibit secara generatif berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan langsung dengan menanamkan biji di lapangan atau dibuat bibit dalam persemaian, tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan.
10
e. Pengangkutan Mengangkut bibit dari persemaian ke lokasi penanaman perlu diperhatikan, karena pengangkutan yang tidak baik dapat menyebabkan rusaknya bibit. Bahaya terbesar adalah sulitnya memperoleh air dan kerusakan akar, sehingga diusahakan untuk memilih lokasi persemaian yang dekat dengan lokasi penanaman, memiliki sumber air yang tersedia sepanjang tahun, dan kondisi tanah yang datar. f. Penanaman Dalam menanam bibit, pertama perlu ditetapkan jarak tanam yang tepat. Perlu diperhatikan apakah tanaman kayu akan ditanam secara murni atau sebagai tanaman yang dicampur dengan tanaman lain. Apabila pohon yang akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka kiranya perlu diperhatikan jarak tanam diatur agar tidak saling mengganggu. Apabila tanaman kayu akan ditanam tanaman murni, maka perlu diperhatikan apakah akan dimulai dengan tanaman yang rapat, misalnya 3 x 2 m. Hal ini akan tergantung dari kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan dilaksanakan tumpangsari dengan jenis tanaman lain, mungkin dapat dipilih jarak tanam 4 x 5 m dan diantara dua larikan pohon masih dapat ditanami tanaman palawija atau tanaman lain sebagai tanaman campurannya. tanaman pohonnya. g. Pemeliharaan Pemeliharaan pada umunya dilakukan pada tanaman muda (berumur kurang lebih satu tahun). Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda terbebas dari gulma, semak belukar, dan alang-alang. Karena itu untuk mengurangi biaya pemeliharaan, sebaiknya di antara larikan ditanami dengan tanaman palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, kacang wijen, dan lain-lain. Pemeliharaan berupa penjarangan dan pembuangan gulma akan sangat membantu pertumbuhan kayunya. h. Penebangan Dalam sistem pengelolaan hutan rakyat kebanyakan tidak terdapat sistem pengaturan hasil dalam proses pemanenannya. Pohon yang ditebang biasanya digunakan untuk membangun rumah sendiri maupun untuk dijual guna mendapatkan uang tunai. Penebangan pohon tergantung dari beberapa faktor,
11
yaitu (i) tujuan penanaman, (ii) kondisi alami tanaman, (iii) kondisi pasar, dan (iv) cara menebang. Berdasarkan pengalaman penebangan dengan orientasi pasar, maka penebangan sebaiknya dilaksanakan secara tebang pilih. Perlu diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan yaitu bersifat penjarangan, maka harus selalu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah harus mencapai suatu ukuran yang dapat dimanfaatkan, sehingga kayu yang dihasilkannya selalu akan dapat dipasarkan, walaupun hanya sebagai kayu bakar. i. Penanaman Kembali Dibekas pohon yang ditebang harus ditanami kembali sehingga jumlah tanaman akan selau tetap. Karena itu setiap akan melakukan penebangan petani penanaman kayu hendaknya sudah menyiapkan diri dengan bibit yang akan ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang. j. Kemurnian Tanaman Penanaman kayu, terutama pada usia muda dianjurkan untuk ditanam bersama dengan tanaman lain, terutama tanaman bawah yang tidak saling menganggu. Di antara tanaman yang dianjurkan sebagai tanaman sela adalah jenis tanaman palawija, tanaman ekonomi seperti tanaman rami, berbagai umbiumbian, dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan jagung juga banyak digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak terlalu rapat menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih dapat menjangkau tanaman palawija yang ada dibawahnya. Mindawati, et al. dalam Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat (2006), mengemukakan bahwa pertumbuhan diameter dan tinggi sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah, iklim, sumber bibit, pola tanam dan teknik budidaya yang diterapkan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian daur ekonomi dan umur optimal pada berbagai prediksi pertumbuhan dan nilai tegakan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang silvikultur merupakan komponen pengelolaan hutan merujuk pada tindakan level yang digunakan untuk mengatur struktur, komposisi jenis dan pertumbuhannya sangat penting diketahui oleh masyarakat petani hutan rakyat.
12
Pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara individu (pada tingkat keluarga) pada lahan miliknya, sehingga hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu, tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani (Jurnal Hutan Rakyat dalam Himmah 2005). Prabowo dalam Suharjito (2000) menyatakan, untuk menjaga kelestarian hutan dan kelestarian hasilnya, petani-petani hanya akan melakukan penebangan bila sangat memerlukan saja dan hanya menebang jika diameter batang telah cukup besar, yaitu cukup untuk membuat tiang rumah (diameter sekitar 30 cm). Mengetahui pertumbuhan kayu dari hutan rakyat sama artinya dengan mengetahui besarnya produksi kayu maksimum yang diperbolehkan dari hutan rakyat yang dapat digunakan untuk menyusun rencana pengaturan hasil kayu di hutan rakyat (Himmah et al. 2005).
2.6 Analisis Kesesuaian Lahan Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan tertentu. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001).
2.7 Potensi Hutan Rakyat Menurut Departemen Kehutanan (1992) penaksiran volume kayu pohon yang masih berdiri hanya merupakan langkah awal untuk menghitung hasil akhir dari inventarisasi hutan. Target yang lebih penting adalah menaksir volume tegakan dari berbagai areal hutan yang ada. Penaksiran tegakan dengan menggunakan tabel volume akan memperbaiki hasil taksiran yang paling cermat karena disusun dengan menggunakan data yang dikumpulkan secara ekstensif dan mencakup segala variasi tegakan yang ada di lapangan. Dalam kegiatan inventarisasi hutan, umumnya potensi pohon dan tegakan yang ingin diketahui adalah volume. Dengan asumsi bahwa penampang melintang batang pohon berbentuk lingkaran, maka volume pohon dapat ditentukan berdasarkan hasil perkalian antara luas bidang dasar dengan tinggi yang kemudian
13
dikoreksi oleh suatu konstanta yang disebut angka bentuk pohon. Volume pohon dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu: a. Pengukuran secara langsung dengan alat xylometer. b. Penggunaan rumus silinder terkoreksi. c. Penggunaan tabel volume pohon. d. Penggunaan rumus-rumus empiris.
2.8 Karakteristik Jenis Jati (Tectona grandis) Jati termasuk kedalam family Verbenaceae, daerah penyebarannya meliputi India, Birma, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Di Indonesia terutama di Pulau Jawa, jati ditemukan di daerah-daerah pada ketinggian kurang dari 700 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan ini juga terdapat di Muna, Buton, Maluku, dan Nusa Tenggara. Jati digolongkan sebagi kayu kuat II dan kelas awet I–II yang tahan gangguan terhadap rayap serta jamur dan mampu bertahan hingga 500 tahun (Khairul 2002). Jati tumbuh baik pada tanah yang banyak mengandung Fosfor (P) dan Kalsium (Ca), dengan pH antara 6–8. Kondisi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan jati adalah lingkungan dengan musim kering yang banyak curah hujan antara 1200–3000 mm/tahun, intensitas cahaya tinggi, dan suhu 22–31°C (Dirjen RRL, 1995). Menurut Sumarna (2003) tinggi pohon jati dapat mencapai 30–45 m dengan tinggi batang bebas cabang 15–20 m dan diameter 220 cm. Pertumbuhan jati cukup cepat sampai umur 25 tahun namun setelah itu pertumbuhannya relatif lambat, pada umur 50 tahun produksinya dapat mencapai 417 m³/ha, sedangkan pada umur 80 produksinya mencapai 539 m³/ha. Mempunyai riap pertumbuhan 7,9 –10,9 m³/ha/tahun. Untuk mendapatkan kayu yang berkualitas baik daur tanaman minimal 40 tahun. Menurut Kuncahyo (1984) kurva pertumbuhan diameter jati dengan menerapkan metode multiphase sampling memiliki persamaan : Log Y = 0,61 + 0,60 log X
14
dimana Y adalah nilai diameter dan X adalah umur pohon, sedangkan menurut Hermawan (1997) model pertumbuhan peninggi tegakan hutan tanaman jati memiliki persamaan : Log Y = 0,814 + 0,388 log X dimana Y adalah nilai peninggi dan X adalah umur pohon.
2.9 Pendekatan Sistem Menurut Sulisyowati (2000), cara berpikir sistem adalah salah satu pendekatan yang memandang persoalan-persoalan dengan menyeluruh sehingga pengambilan keputusan dan pilihan aksi dapat dibuat lebih terarah kepada sumber-sumber persoalan yang akan mengubah sistem secara efektif. Beberapa nilai yang terkandung dalam cara berpikir sistem adalah: a. Menghargai bagaimana model mental mempengaruhi cara pandang kita. b. Mengubah perspektif untuk melihat leverage point baru. c. Melihat pada saling ketergantungan. d. Merasakan dan menghargai kepentingan jangka panjang dan lingkungan. e. Memperkirakan yang biasanya tidak diperkirakan. f. Berfokus pada struktur yang membangun dan menyebabkan perilaku sistem. g. Menyadari
bagian
yang
tersulit
tanpa
teridentifikasi
untuk
menyelesaikannya dengan tergesa-gesa. h. Mencari pengalaman. i. Menggunakan bahasa pola dasar dan anologi yang mengantisipasi perilaku dan kecenderungan untuk berubah. Sistem adalah kesatuan atau kumpulan dari objek yang berhubungan pada beberapa interaksi yang tetap atau keadaan saling tergantung (Gordon 1989). Sistem adalah keseluruhan interaksi antara unsur dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Suatu sistem adalah suatu kumpulan dari bagian-bagian yang berinteraksi menurut proses tertentu dan sistem sering divisualisasikan sebagai kotak-kotak komponen dengan hubunganhubungan tertentu ditarik diantara kotak-kotak.
15
Analisis sistem didefinisikan sebagai aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode ilmiah untuk suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks, analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur matematis dan statistik tingkat tinggi serta penggunaan computer (Grant et al. 1997). Simulasi
adalah
proses
penggunaan
model
untuk
meniru
atau
mengambarkan secara bertahap sistem yang dipelajari. Model simulasi terbentuk dari suatu susunan operasi matematik dan logika yang bersama-sama mewakili struktur dan perilaku dari ruang lingkup sistem (Grant et al. 1997).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, yaitu dari bulan September sampai dengan November 2010, berlokasi di tiga desa yaitu Desa Damarwulan (Kecamatan Keling), Desa Clering (Kecamatan Donorojo), dan Desa Suwawal (Kecamatan Mlonggo) Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta wilayah kabupaten dan dokumen lain yang berkaitan dengan lokasi penelitian, kuesioner untuk mengumpulkan data sekunder maupun primer, kamera untuk dokumentasi dan obyek guna kelengkapan penyusunan laporan, peralatan tulis, kalkulator, perangkat keras (hardware) berupa seperangkat komputer, serta perangkat lunak (software) berupa program-program komputer dalam mengolah data seperti Microsoft Office Word 2007, Microsoft Office Excel 2007, ArcGis, ArcView, Stella 9.0.2, Vensim, dan Minitab 14.
3.3 Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder 3.3.1 Data Primer Data primer dikumpulkan melalui pengamatan secara langsung, pengisian kuesioner, dan wawancara terhadap responden petani hutan rakyat yang terdiri dari: 1. Data tentang karakteristik umum sosial dan kependudukan, meliputi: nama, umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan sumber mata pencaharian. 2. Data pengelolaan hutan rakyat, meliputi: luas kepemilikan lahan, status kepemilikan lahan, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat, seperti penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
17
3.3.2
Data Sekunder Data sekunder adalah data yang menyangkut keadaan lingkungan baik fisik,
sosial ekonomi masyarakat dan data lain yang berhubungan dengan obyek penelitian yang tersedia baik di tingkat desa, kecamatan maupun instansi-instansi terkait lainnya, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Penelitian dan Perencanaan Daerah (BAPPEDA), serta Perhutani Kabupaten Jepara. Adapun jenis data yang dikumpulkan diantaranya: 1. Keadaan umum lokasi penelitian, meliputi: luas areal, letak keadaan fisik lingkungan, jenis tanah, tekstur tanah, topografi lahan, iklim, curah hujan, luas hutan rakyat, dan luas penggunaan lahan. 2. Keadaan umum penduduk, meliputi: pendidikan, jumlah penduduk, lapangan pekerjaan, dan tingkat kesejahteraan penduduk. 3. Berbagai jenis peta, meliputi: peta tanah, peta adminstrasi, peta penggunaan lahan, dan peta kawasan Kabupaten Jepara. 4. Data struktur tegakan hutan rakyat, meliputi: jenis pohon, sebaran diameter dan tinggi bebas cabang pohon.
3.4
Metode Pengambilan Lokasi dan Responden Metode pengambilan lokasi dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan dengan sengaja. Dimana dilakukan di Kabupaten Jepara, kemudian memilih tiga kecamatan terpilih dari satu kabupaten, lalu memilih satu desa dari masing-masing kecamatan tersebut, dimana kecamatan dipilih berdasarkan areal yang memiliki lahan hutan rakyat yang paling produktif dan tidak produktif. Pengambilan responden dilakukan secara sengaja dengan jumlah responden pada masing-masing desa ditentukan sebanyak 30 petani yang memiliki areal hutan rakyat jati.
3.5
Metode Pengolahan dan Analisis Data
3.5.1 Pendugaan Potensi Tegakan Pendugaan potensi pada hutan rakyat dihitung menggunakan data sekunder dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara. Dari data tersebut, kemudian dapat dihitung parameter-parameter tegakannya untuk mendapatkan
18
volume pohon. Volume pohon diperoleh dengan memasukkan variabel diameter dan tinggi pohon ke dalam persamaan berikut (Departemen Kehutanan 1992). V = 0,25 x π x d² x tbc x f
Keterangan:
V
= volume pohon (m³)
π
= konstanta (3,14)
d
= diameter pohon (cm)
tbc
= tinggi bebas cabang pohon (m)
f
= faktor bentuk (0,759)
3.5.2 Pendugaan Dinamika Potensi Tegakan Metode
pendugaan
dinamika
potensi
tegakan
dianalisis
dengan
menggunakan pemodelan. Pemodelan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Grant et al. 1997 dan Purnomo 2003): 3.5.2.1 Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan Identifikasi isu atau masalah dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Setelah identifikasi isu dilakukan maka selanjutnya ditentukan tujuan dari pemodelan tersebut. Batasan dapat berupa batas daerah atau ruang, batas waktu dan batasan isu yang telah diidentifikasi sesuai dengan tujuan pemodelan. 3.5.2.2 Konseptualisasi Model Tahap ini bertujuan untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual didasarkan pada segala sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi, sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memeperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Langkah-langkah untuk memenuhi tujuan tersebut adalah: a. Kategorisasi komponen dalam sistem Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem dikategorikan ke dalam berbagai kategori, sesuai dengan karakter dan fungsinya. b. Pengidentifikasian hubungan antar komponen. c. Menyatakan komponen dari hubungannya dalam model yang lazim.
19
d. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model, serta menentukan pola perilaku model sesuai dengan pengetahuan dan teori. 3.5.2.3 Spesifikasi Model Tujuan dari tahap ini adalah untuk membuat model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: a. Memilih struktur kuantitatif umum untuk model. b. Memilih unit waktu dasar untuk simulasi. c. Mengidentifikasi bentuk-bentuk fungsional dari persamaan model. d. Menduga parameter dari persamaan model. e. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi. f. Menjalankan simulasi acuan (baseline simulation). g. Menetapkan persamaan model. 3.5.2.4 Evaluasi Model Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui kelogisan yang dibuat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh adalah sebagai berikut: a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model. b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan. c. Membandingkan model dengan sistem nyata. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat. 3.5.2.5 Penggunaan Model Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievakuasi, sehingga dapat
digunakan
untuk
memahami
perilaku
model,
serta
mengetahui
kecenderungan di masa mendatang. 3.5.3 Biaya Pengelolaan Hutan Rakyat Setelah masing-masing aspek telah diketahui pada model stella kemudian dihitung pendugaan biaya yang dikeluarkan dari mulai persiapan lokasi, harga
20
bibit, harga pupuk, biaya pemeliharaan serta biaya pekerja yang terlibat untuk pengeluaran produksi dalam pembangunan hutan rakyat. Biaya Pengelolaan = Biaya Penanaman + Biaya Pemeliharaan + Biaya Tetap
3.5.4 Analisis Location Quotient Potensi pengembangan hutan rakyat di lokasi penelitian terutama dilihat dari luasan lahan yang digunakan untuk pengusahaan hutan rakyat, jika dibandingkan dengan luas lahan secara keseluruhan. Potensi utama dalam pengembangan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah tersedianya lahan yang dimiliki yang dapat digunakan untuk pengembangan hutan rakyat. Untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan analisis untuk mengetahui apakah kegiatan penggunaan lahan dilokasi penelitian merupakan kegiatan basis, jika dilihat dari luas lahan untuk kegiatan hutan rakyat dan termasuk sektor bukan basis jika dibandingkan dengan luas lahan secara keseluruhan. Untuk mengetahui apakah suatu kegiatan di suatu wilayah merupakan sektor basis atau bukan basis digunakan analisis Location Quetiont yang biasa disingkat LQ. Berikut ini merupakan rumus LQ dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001). LQij = Xij / xi X.j/X.. Dimana : LQij
= Indeks kuosien lokasi
Xij
= Jumlah luas areal suatu aktivitas pada tingkat wilayah Kecamatan
xi..
= Jumlah luas areal total seluruh aktivitas pada tingkat wilayah Kabupaten Jepara
X.j
= Jumlah luas areal total suatu aktivitas pada tingkat wilayah Kecamatan
X..
= Jumlah luas areal total seluruh aktivitas pada tingkat wilayah Kabupaten Jepara
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah : 1. Jika nilai LQ lebih besar dari satu (LQ>1), maka pemanfaatan lahan untuk aktivitas hutan rakyat tersebut merupakan sektor basis.
21
2. Jika nilai LQ sama atau kurang dari satu (LQ≤1) berarti sub sektor yang dimaksud termasuk ke dalam sektor non basis pada kegiatan pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten Jepara.
3.5.5 Pengelolaan hutan rakyat Data dan informasi yang telah dikumpulkan untuk selanjutnya diolah dan dinalisis secara kuantitatif untuk mengetahui hubungan atau keterkaitan antara variabel yang satu dengan yang lain. Data yang diperoleh dari hasil wawancara meliputi pengelolaan hutan rakyat, seperti: 1. Pemilihan lokasi, aspek yang diamati adalah jarak dengan tempat tinggal pemilik lahan, aksesbilitas, status kepemilikan lahan. 2. Pemilihan jenis kayu, didasarkan pada pengamatan terhadap besarnya permintaan pasar. 3. Persiapan lahan, yaitu data tentang kondisi lahan dan lubang tanam. 4. Pengadaan bibit untuk mengetahui apakah bibit berasal dari Dinas Kehutanan atau dihasilkan sendiri dan jumlah bibit yang digunakan. 5. Penanaman untuk mengetahui cara menanam yang dilakukan oleh pemilik lahan. 6. Pemeliharaan untuk mengetahui jenis dan intensitas pemeliharaan yang telah dilakukan.
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Letak dan Luas Kabupaten Jepara adalah salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi
Jawa Tengah, dengan luas wilayah sebesar 100.413 ha atau sekitar 1.004 km². Secara geografis Kabupaten Jepara berbatasan langsung dengan Laut Jawa di bagian barat dan utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus di bagian timur, serta Kabupaten Demak di bagian selatan atau tepatnya terletak diantara 110° 9’ 48.02”-110° 58’ 37.40” BT dan 5° 43’ 20.67”– 6° 47’ 25.83” LS. Secara administrasi, sejak tahun 2008 wilayah Kabupaten Jepara telah mengalami pemekaran wilayah kecamatan, dimana sebelumnya terdapat 14 kecamatan dan pada saat ini telah dimekarkan menjadi 16 kecamatan yang terdiri dari 183 desa dan 11 kelurahan. Peta kawasan Kabupaten Jepara terdapat pada Lampiran 1. Kabupaten Jepara memiliki laut seluas 2.112 km² dengan panjang garis pantai 83 km dan 29 pulau. Pulau berpenghuni sebanyak 5 pulau, sedangkan pulau yang tidak berpenghuni sebanyak 24 pulau. Berdasarkan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 98.143 ha, pembagian wilayah dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu DAS Balong (63.269 ha), DAS Juana (15 ha) dan DAS Serang (34.859 ha). Sementara kondisi penutupan lahan Kabupaten Jepara dalam keadaan buruk seluas 54.538 ha, dalam keadaan sangat buruk seluas 24.372 ha, sedang seluas 126 ha dan baik seluas 19.107 ha yang meliputi kecamatan Bangsri, Batealit, Keling, Kembang, Mlonggo, dan Nalumsari (Sumber: Sistem Informasi Profil Daerah Kab. Jepara Tahun 2008).
4.2 Topografi dan Erosi Kabupaten Jepara memiliki topografi yang bervariasi meliputi dataran sangat curam, tinggi (sekitar Gunung Muria dan Gunung Clering), rendah dan daerah pantai dengan rincian sebagai berikut : 1. Daerah dataran tinggi dengan ketinggian > 100 mdpl dengan kelerengan antara 25–40% meliputi Kecamatan Batealit, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong dan Nalumsari.
23
2. Daerah dataran sedang dengan ketinggian antara 50–100 mdpl dengan kelerengan antara 8–15% meliputi sebagian Kecamatan Tahunan, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa. 3. Daerah dataran rendah dengan ketinggian < 50 mdpl dengan kelerengan berkisar antara 0–8% meliputi sebagian Kecamatan Welahan, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa. Sementara kelerengan > 40% (sangat curam) paling luas terletak di wilayah Kecamatan Keling yaitu sebesar 2.527,92 ha, berada pada DAS Balong Ds. dengan tingkat kelerengan tersebut Kecamatan Keling memiliki potensi yang cukup tinggi akan terjadinya erosi dan longsor, dimana terdapat di Desa Tempur seluas 223,67 ha yang meliputi kawasan Hutan Lindung seluas 151,50 ha, Hutan Tanaman Produksi seluas 21,76 ha dan Hutan Produksi seluas 50,41 ha.
4.3
Penggunaan Lahan
Tabel 1 Penggunaan lahan di Kabupaten Jepara No
Jenis Penggunaan
1 Lahan Sawah Berpengairan Irigasi Teknis Irigasi Non PU Semi Teknis Sederhana PU Tadah Hujan 2 Lahan Kering Hutan Rakyat Bangunan dan Halaman Padang Rumput Hutan Negara Perkebunan Tambak Kolam Rawa-rawa Lain-lain Jumlah
Sumber: Jepara dalam angka (2008)
Luas (Ha)
Persentase (%)
4.729,71 4.967,05 3.596,90 7.803,69 5.193,72
4,71 4,95 3,58 7,77 5,17
18.436,23 28.287,31 8,00 17.562,27 3.954,29 1.201,39 9,55 21,00 4.642,10 100.413,19
18,36 28,17 0,01 17,49 3,94 1,20 0,01 0,02 4,62 100,00
24
Penggunaan lahan di Kabupaten Jepara dibagi menjadi lahan sawah berpengairan sebesar 26.291,06 ha dan lahan kering sebesar 74.122,13 ha.
4.4 Jenis Tanah dan Tekstur Tanah Jenis tanah yang ada di Kabupeten Jepara terdiri dari lima , yaitu tanah andosol coklat, regusol, alluvial, mediteran, dan latosol. Jenis tanah yang paling dominan adalah tanah latosol sebesar 61,02% terdapat di perbukitan Gunung Muria. Tanah latosol berasal dari bahan induk vulkanik baik tuff maupun batuan beku, meliputi tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan intensif dan mengalami pencucian unsur-unsur basa, bahan organik dan silika. Latosol bersifat agak peka terhadap erosi. Jenis tanah ini sangat kondusif di wilayah Kabupaten Jepara yang didominasi penggunaan lahan sawah berpengairan, karena bertekstur tanah sedang dan mudah diolah.
4.5
Kependudukan
Tabel 2 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Pakis Aji Bangsri Kembang Keling Donorojo Karimunjawa Jumlah
Laki-laki (Orang) 35.671 37.824 28.128 35.892 40.775 34.777 38.527 49.827 38.674 38.503 27.373 47.276 32.408 30.353 28.527 4.418 548.953
Sumber: Jepara dalam angka (2008)
Perempuan (Orang) 35.273 38.081 28.831 36.016 41.203 35.304 37.016 46.708 37.485 37.432 26.163 46.835 33.025 30.108 28.137 4.269 541.886
Jumlah (Orang) 70.944 75.905 56.959 71.908 81.978 70.081 75.543 96.535 76.159 75.935 53.536 94.111 65.433 60.461 56.664 8.687 1.090.839
25
Jumlah penduduk di Kabupaten Jepara sebanyak 1.090.839 orang yang terdiri dari 548.935 laki-laki (50,32%) dan 541.886 perempuan (49,68%), dimana sebaran penduduk terbanyak di Kecamatan Tahunan (96.535 jiwa atau 8,8%) dan jumlah penduduk paling sedikit di Kecamatan Karimunjawa (8.687 jiwa atau 0,8%). Kepadatan penduduk mencapai 1.086 jiwa/km². Penduduk terpadat berada di Kecamatan Jepara (3.087 jiwa/km²), sedangkan kepadatan terendah berada di Kecamatan Karimunjawa (122 jiwa/km²).
4.6
Tingkat Pendidikan Pada umumnya tingkat pendidikan di Kabupaten Jepara masih tergolong
cukup rendah. Pada tabel terlihat Lulusan SD/MI sangat tinggi 33,07%, sedangkan lulusan S1/S2/S3 hanya 3,14%. Tabel 3 Tingkat pendidikan berdasarkan umur 10 tahun ke atas Tingkat Pendidikan
2008 (%)
Tidak Pernah Sekolah Tidak Tamat SD SD/MI SLTP SMU SMK DI/II DIII S1/S2/S3
Tahun 2007 (%)
8,49 18,24 33,07 21,30 12,27 1,64 0,78 1,08 3,14
7,19 17,98 34,84 23,58 10,91 1,69 0,85 0,89 2,07
2006 (%) 9,94 20,29 33,43 21,44 10,70 1,82 0,52 0,64 1,22
Sumber: Badan Pusat Statistik (2008) Terjadinya peningkatan jumlah lulusan S1/S2/S3 ini tidak terlepas dari adanya sarana prasarana jumlah sekolah (fasilitas sekolah) dan guru pendidik yang memadai. Pada kecamatan tertentu telah dibuat tempat kuliah bagi warganya yang ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
4.7
Mata Pencaharian Penduduk Sebagian besar penduduk Jepara bermata pencaharian di sektor industri.
Besarnya jumlah orang yang berkerja di sektor industri, tidak terlepas dari banyaknya jumlah industri mebel dan ukir yang tersedia, mulai dari industri kecil, menengah, dan besar yang terdapat disetiap kecamatan. Berdasarkan data
26
perekonomian 2005, sektor industri memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan PDRB. Kerajinan industri mebel dan ukir ini sudah terkenal sampai luar negeri. Sebanyak 18,49% masyarakat bekerja disektor perdagangan. Sedangkan ditempat ketiga masyarakat bekerja di sektor pertanian. Ketersediaaan lahan bagi masyarakat sangatlah penting untuk memperoleh pendapatan, karena untuk bekerja di luar sektor ini mereka terbentur dengan banyaknya kendala, terutama rendahnya tingkat pendidikan dan modal usaha. Tabel 4 Penduduk berdasarkan mata pencaharian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan / Penggalian Industri Listrik, Gas & Air Kontruksi Perdagangan Komunikasi Keuangan Jasa Lainnya
2006 16,15 0,29 46,99 0,22 5,10 18,69 2,63 0,54 9,24 0,15
Tahun (%) 2007 19,13 0,29 41,34 0,14 3,57 18,98 4,40 0,42 10,87 0.86
2008 18,49 0,61 44,93 0,26 7,75 15,24 3,88 0,55 8,30 0,09
Sumber: Jepara dalam Angka (2008)
4.8
Agama dan Sosial Masyarakat Di Kabupaten Jepara, penduduknya mayoritas beragama islam. Kegiatan-
kegiatan keagamaan sering dilakukan pada saat Idul Fitri, Lebaran Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW dan Isro’ Mi’raj. Acara-acara tersebut biasanya dilakukan di masjid-masjid terdekat ataupun musholla-musholla. Selain itu terdapat pula pengajian rutin setiap minggunya, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa majelis taklim yang telah terbentuk di berbagai tempat. Kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat berupa kerja bakti membangun irigasi maupun memperbaiki jalan. Kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya yaitu tujuh belasan memperingati Hari Kemerdekaan RI dengan berbagai macam lomba. Dengan adanya kegiatan keagamaan dan kerja baktiyang rutin dilakukan mempererat hubungan silaturahmi antar masyarakat.
27
4.9
Sarana Perekonomian Sarana perekonomian mencirikan kemajuan daerah secara fluktuatif dari
waktu ke waktu, dilihat dari tingkat daya beli masyarakat, perputaran uang, makin banyaknya penyedia modal (lembaga keuangan), investor, bangunan gedung, jalan, perhotelan, dan sebagainya. Kabupaten Jepara memiliki sarana pasar yang makin meningkat meliputi 60 pasar umum, 7 pasar hewan, 2 pusat perbelanjaan dan pasar buah, pasar swalayan, pasar sepeda masing-masing 1 buah, serta mini market sebanyak 54 buah. Lembaga Keuangan BUMD 9 buah, BPR 44 buah, 11 buah lembaga keuangan milik pusat, propinsi dan daerah.
4.10 Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Jepara sudah berlangsung cukup lama, bahkan bisa dikatakan merupakan warisan budaya dari nenek moyang yang telah berkembang puluhan tahun yang lalu. Sebagian masyarakat mengelola hutan rakyat dengan menerapakan sistem agroforestry atau kebun campuran, tetapi ada juga yang menerapkan sistem kebun campuran dan monokultur. Perkembangan pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Jepara saat ini dipengaruhi oleh maraknya permintaan kayu untuk kebutuhan lokal bagi industri mebel dan ukir. Berdasarkan hasil survei di lapangan diperoleh informasi bahwa hasil penjualan kayu rakyat secara ekonomi cukup menjanjikan terutama untuk jenis kayu jati dan sengon dimana saat ini banyak dicari oleh para tengkulak atau para pedagang pengumpul. Jenis kayu jati khususnya cukup banyak diminati karena nilai jual yang cukup tinggi, walaupun daurnya cukup lama. Adanya prospek pasar yang cukup baik merupakan peluang usaha yang cukup menguntungkan bagi para petani. Namun kenyatannya di tingkat petani saat ini menunjukkan bahwa tingginya permintaan kayu rakyat tersebut belum diimbangi dengan peningkatan teknologi budidaya yang cenderung masih sangat sederhana.
4.11 Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Hutan Rakyat Salah satu program Departemen Kehutanan yang bertujuan untuk menyelamatkan dan melestarikan kondisi hutan dan lahan di Indonesia yang
28
sudah berada di ambang kehancuran adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Keadaan ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa bencana alam yang sering terjadi, seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan (daerah-daerah yang kekurangan air), salah satunya disebabkan oleh rusaknya lingkungan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Jepara untuk lebih mengembangkan hutan rakyat adalah dengan diadakannya kegiatan Gerakan Nasional (GERHAN) dari tahun 2003–2007 seluas 7.235 ha dan jumlah tanaman sebanyak 4.485.142 batang. Pembuatan Kebun Bibit Dinas melalui sistem target adalah memproduksi bibit sejumlah 150.000 batang, penyaluran sejumlah 115.000 batang serta bibit dalam pemeliharaan sebanyak 33.875 batang. Adapun jenis bibit yang disalurkan untuk tahun 2008 yaitu jati, mahoni dan sengon laut.
Gambar 1 Kebun bibit Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Tegakan jati di Kabupaten Jepara berasal dari areal milik negara (Perhutani) dan areal milik rakyat (hutan rakyat). Oleh karena itu, sebelum membahas tentang struktur tegakan hutan rakyat di Kabupaten Jepara, ada baiknya untuk melihat terlebih dahulu tegakan jati yang terdapat di Perhutani. Kabupaten
Jepara
termasuk
kedalam
KPH Pati.
Wilayah
administrasi
pemerintahan yang termasuk bagian wilayah kerja KPH Pati meliputi Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobongan. Dari kelima kabupaten tersebut Kabupaten Jepara menempati wilayah administrasi yang terluas dibandingkan keempat kabupaten lainnya. Wilayah kerja KPH Pati terbagi menjadi 10 BKPH, dengan luasan masing-masing sebagai berikut: Tabel 5 Luas kawasan hutan KPH Pati KPH Pati
BKPH Barisan Gajahbiru Klumobangsri Kuwawur Lunggoh Muria Patiayam Ngarengan Regaloh Sukolilo Tambarkromo Alur Jumlah
BRS GJB KLB KWW LGH MPA NGR RGL SKL TBR
Luas (Ha) 2.361,20 7.161,40 3.439,30 2.435,90 2.536,80 7.980,70 5.045,20 2.357,90 2.340,90 3.109,30 630,10 39.104,50
Sumber: KPH Pati Terdapat 4 (empat) BKPH yang terdapat di Kabupaten Jepara dengan luas 23.626,60 Ha yang meliputi BKPH Gajahbiru, BKPH Klumobangsri, BKPH Muria Patiayam, dan BKPH Ngarengan. BKPH Muria Patiayam merupakan BKPH yang arealnya paling luas. Keempat BKPH tersebut meliputi Kecamatan Donorojo, Keling, Kembang, Bangsri, Pakis Aji, dan Nalumsari. Tegakan jati di setiap BKPH terbagi menjadi 5 (lima) kelas umur dan tegakan jati bertumbuhan
30
kurang (TJBK). Setiap kelas umur selangnya adalah 10 tahun yaitu, kelas umur I (1–10 tahun), kelas umur II (11–20 tahun), kelas umur III (21–30 tahun), kelas umur IV (31–40 tahun), dan kelas umur V (41–50 tahun). Jarak tanam yang digunakan untuk kelas umur I adalah 3 x 3 m, sedangkan untuk kelas umur II–V jarak tanamanya adalah 4 x 4 m. Semakin besar kelas umur, jarak tanamanya juga akan semakin besar. Tabel 6 Tegakan Jati di BKPH Kabupaten Jepara No
Kelas Umur
1 2 3 4 5 6
I II III IV V TJBK
Jumlah Batang Jati Berdasarkan BKPH GJB KLB MPA NGR 538.778 584.556 1.082.667 329.111 58.063 134.000 80.938 74.437 16.688 182.625 110.063 605.563 194.063 Jumlah
Jumlah 2.535.112 347.438 16.688 1.092.314 3.991.552
Sumber: KPH Pati dan hasil analisis Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa tegakan jati yang terdapat di BKPH wilayah Kabupaten Jepara adalah sebanyak 3.991.552 batang, yang didominasi oleh tegakan jati dengan kelas umur I sebesar 2.535.112 batang, sedangkan untuk kelas umur III dan kelas umur IV tidak terdapat tegakan jati. Jati yang terdapat di KPH Pati tebagi menjadi 2 (dua) yaitu JPT dan non JPT. Untuk jati JPT daur yang digunakan adalah 20 tahun, sementara untuk non JPT daurnya adalah 40 tahun. Untuk penebangan terbagi menjadi lima bagian, yaitu tebangan A, tebangan B, tebangan C, tebangan D, dan tebangan E. Untuk tebangan A merupakan tebangan habis (basah dan kering yang melalui teresan), tebangan B merupakan tebangan pembersihan (dari kelas hutan TJBK dan TK), tebangan D merupakan tebangan karena bencana alam dan penerang untuk tujuan khusus, dan tebangan E merupakan tebangan untuk penjarangan. Tebangan yang berhubungan dengan kelas umur terhadap jarak tanam adalah tebangan A dan tebangan E yang diatur setiap 5 (lima) tahun sekali. Namun ada peraturan terbaru yang berlaku mulai tahun 2009–2018 dimana penjarangan dilakukan setiap 10 tahun sekali. Penjarangan ini digunakan untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal dan mengurangi jumlah pohon secara berangsur-angsur. Dengan bertambahnya umur,
31
dimensi pohon juga semakin bertambah. Sehingga setiap individu pohon memerlukan ruang tumbuh yang lebih luas (Simon 1993). Setelah mendapatkan besarnya tegakan jati yang terdapat di Perhutani, selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengenai struktur tegakan jati yang terdapat pada hutan rakyat.
5.1 Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jenis Jati Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat berdasarkan areal kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga hutan milik. Hutan rakyat di Kabupaten Jepara memiliki arti yang cukup penting bagi masyarakat. Saat ini, hutan rakyat telah mampu memberi manfaat sosial ekonomi seperti dalam menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perdagangan kayu. Agar hutan rakyat lebih memberikan manfaat yang besar maka strategi pengelolaan hutan rakyat yang seringkali merupakan pengelolaan secara perorangan perlu mendapatkan pengarahan secara intensif agar hutan rakyatnya dapat lebih dikembangkan. Ada dua pola pengembangan hutan rakyat yang dilakukan di Kabupaten Jepara yaitu hutan rakyat pola swadaya dan hutan rakyat pola pembangunan. Hutan rakyat pola swadaya dibangun secara perorangan dengan kemampuan, modal, dan tenaga kerja berasal dari sendiri. Melalui program ini masyarakat didorong untuk melaksanakan pembangunan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis dari dinas kehutanan, sedangkan hutan rakyat pola pembangunan merupakan hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan pemerintah, agar masyarakat semakin terdorong untuk menanam pohon pada lahan yang dimiliknya. Untuk mendapatkan volume kayu jati dari hutan rakyat yang dibutuhkan oleh industri perkayuan yang ada, perlu diketahui luas hutan rakyat yang sudah dibangun, kelas (sebaran) umur, dan lokasi sehingga dapat diperkirakan potensi hutan rakyat yang dapat dipanen secara lestari. Hasil pendataan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara luas hutan rakyat yang sudah dibangun sampai dengan tahun 2010 adalah seluas 1.265,11 Ha dengan 861.555 pohon jati berdasarakan tahun penanaman yang berbeda. Dengan menggunakan rumus pendugaan volume kayu, yaitu:
32
V = 0,25 x π x (diameter)² x (tbc) x 0,759 Didapatkan volume potensi kayu rakyat jati sebesar 22.718,079 m³ atau sebesar 17,957 m³/Ha. Tabel 7 Sebaran umur tegakan jati tahun 2010 Umur Tanaman (Tahun) 1 2 3 4 5 6 7 8 10 12 15 Jumlah
Jumlah Batang 2.898 38.745 286.180 98.625 165.981 121.181 87.404 42.056 15.459 2.995 31 861.555
Volume (m³) 0,39 82,95 1.909,22 1.480,93 4.377,38 4.959,65 4.911,28 2.821,07 1.771,66 397,00 6,51 22.718,07
Sumber : Dinas Kehutanan dan Kabupaten Jepara dan hasil analisis Tahun penanaman dimulai pada tahun 1995–2009 (kecuali untuk tahun 1996, 1997, 1999, dan 2001 tidak dilakukan penanaman). Dari tabel 6 terlihat bahwa secara umum struktur tegakan hutan rakyat jati berkisar antara umur 1–15 tahun. Tanaman jati yang paling banyak terdapat pada tanaman berumur 3 tahun dan yang paling kecil berumur 15 tahun. Besarnya jumlah tegakan pada umur 3 tahun tidak terlepas dari adanya GERHAN pada tahun 2007, sehingga banyak kecamatan yang mendapatkan bibit secara gratis. Tidak semua kecamatan di Kabupaten Jepara yang memperoleh bibit dari adanya kegiatan GERHAN dan GNRHL, seperti Kecamatan Tahunan, Jepara, Kedung, Pecangaan, dan Kalinyamatan. Menurut P.21/Menhut-V/2007 syarat untuk memperoleh bantuan bibit adalah (1) termasuk dalam DAS Prioritas, (2) terdapat hutan rusak dan lahan kritis yang perlu direhabilitasi, (3) tingkat kerawanan yang tinggi bencana banjir, tanah longsor, kerusakan pantai, dan kekeringan, (4) perlindungan waduk, bendungan dan danau prioritas serta bangunan vital lainnya, dan (5) prioritas khusus adalah kegiatan GERHAN pada sempadan sungai, daerah perlindungan
33
mata air, serta daerah pantai rawan bencana tsunami, intrusi air laut dan abrasi pantai.
Gambar 2 Jumlah batang Jati tahun 2010. Walaupun jumlah tegakan jati didominasi tanaman berumur 3 tahun, tetapi potensi yang paling besar adalah tanaman yang berumur 6 tahun. Hal ini dikarenakan potensi tegakan dipengaruhi oleh diameter dan tinggi, sehingga umur tegakan yang lebih tua, akan mengakibatkan potensi tegakan yang semakin tinggi. Namun perlu diingat bahwa, kayu jati baru bisa digunakan pada saat tanamannya berumur lebih dari 10 tahun. Peningkatan jumlah masyarakat yang menanam jati menunjukkan bahwa masyarakat telah menyadari manfaat hutan rakyat, secara swadaya membangun hutan rakyat di lahan miliknya, dan kesadaran masyarakat akan tingginya nilai jual kayu. Hutan rakyat jati di Kabupaten Jepara tersebar di 15 kecamatan. Satusatunya kecamatan yang tidak mempunyai tegakan jati adalah Kecamatan Welahan, disebabkan tidak tersedianya lahan yang dapat dijadikan areal untuk hutan rakyat. Kecamatan yang memiliki jumlah tegakan jati lebih dari 100.000 batang yaitu kecamatan Donorojo dan Kecamatan Bangsri. Besarnya jumlah tegakan di dua kecamatan tersebut, dikarenakan wilayahnya termasuk ke dalam kategori untuk kegiatan GERHAN maupun GNHRL. Kecamatan yang memiliki potensi jati paling banyak adalah Kecamatan Donorojo dan yang paling kecil yaitu Kecamatan Pecangaan. Untuk Kecamatan Donorojo tegakan jati yang tersedia sampai tahun 2010 berumur antara 2–10 tahun dan jati yang paling banyak berumur 5–6 tahun. Sedangkan kecilnya potensi tegakan di Kecamatan Pecangaan, disebabkan oleh tegakan jatinya yang masih muda, walaupun jatinya yang paling tua berumur 10 tahun, namun masyarakat baru terdorong untuk menanam kembali pada tahun 2005.
34
Tabel 8 Potensi Jati 2010 setiap kecamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kecamatan Donorojo Keling Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Tahunan Batealit Kedung
Diameter (cm) 4,3 – 17,6 5,6 – 19,8 5,5 – 11,2 4,0 – 12,7 5,5 – 16,9 3,7 – 13,3 6,8 – 16,5 3,0 – 13,5 3,9 – 16,8 8,9 – 17,8
TBC (m) 3,2 – 7,8 3,7 – 9,0 3,6 – 5,0 2,7 – 5,7 3,4 – 7,0 2,4 – 5,0 3,5 – 7,4 2,2 – 5,7 2,6 – 7,1 4,0 – 7,7
Jumlah Batang 198.587 49.530 44.235 151.603 24.968 62.199 20.800 51.537 87.968 27.580
Pecangaan Kalinyamatan Nalumsari Mayong Karimunjawa Jumlah
1,3 – 15,8 3,5 – 16,7 5,4 – 17,5 3,7 – 17,6 10,4 – 13,7
1,3 – 6,5 2,4 – 6,9 3,4 – 7,8 2,6 – 7,9 4,7 – 5,5
20.133 21.815 46.225 48.876 5.499 861.555
Sumber : Dinas Kehutanan dan Kabupaten Jepara dan hasil analisis Kecamatan yang salah satu desanya menjuarai penghijauan tingkat nasional dan kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Kecamatan Keling memiliki tegakan jati yang tidak terlalu banyak, yaitu sebesar 49.530 batang. Petani hutan rakyat di kecamatan ini lebih memilih untuk menanam tanaman sengon. Saat ini mayoritas penduduk Jepara yang memilik areal hutan rakyat banyak yang sudah beralih ke jenis tanaman sengon, karena daurnya yang relatif lebih cepat, jika dibandingkan dengan jati. Sementara Kecamatan Jepara yang berada di pusat kota memiliki tegakan sebesar 20.800 batang, walaupun jumlah tegakannya lebih kecil dari Kecamatan Nalumsari dan Mayong, tetapi Kecamatan Jepara memiliki potensi yang lebih besar, dari pada dua kecamatan tersebut. Hal ini disebabkan, dengan areal hutan rakyat yang terbatas, tetapi masyarakatnya memanfaatkan areal hutan rakyat yang dimiliki untuk menanam jati, mereka semakin terdorong dari banyaknya showroom yang terdapat hampir di sepanjang jalan raya di wilayah tersebut. Jika dilihat dari ukuran diameter dan tinggi, pertumbuhan yang paling baik adalah Kecamatan Donorojo, sedangkan kecamatan yang pertumbuhannya kurang baik adalah Kecamatan Jepara. Lahan di kecamatan Donorojo sangat cocok untuk
35
ditanami jati, karena rata-rata tanahnya mengandung kapur, sehingga sangat cocok untuk tanaman jati yang tahan terhadap kekeringan. Terdapat 4 (empat) desa di Kecamatan Donorojo yang memiliki tegakan jati yang mendominasi dibandingkan dengan desa-desa lainnya, yaitu Desa Clering, Sumberrejo, Jugo, dan Blingoh. Pertumbuhan yang baik tidak hanya dilihat dari besarnya diameter, tinggi atau kondisi lahan yang cocok, tetapi juga diakibatkan adanya pemeliharaan yang baik. Pemeliharaan yang dilakukan dengan benar akan membuat pertumbuhan semakin cepat, sebaliknya pemeliharaan yang tidak dilakukan dengan benar akan membuat pertumbuhan semakin lama dan terhambat. Kecamatan yang berada jauh dengan pusat kota, umumnya masih memperhatikan pemeliharaan yang baik terhadap tanaman hutan rakyatnya. Sementara kecamatan yang berada dekat dengan pusat kota tidak terlalu memperhatikan pemeliharaan. Peningkatan potensi hutan rakyat berupa luas dan produktivitas berkaitan erat dengan harga produk (kayu) dari hutan rakyat. Semakin tinggi harga kayu, yang ditentukan tingkat permintaan dan penawaran, semakin besar volume kayu yang diproduksi.
Gambar 3 Potensi tegakan Jati tahun 2010 setiap kecamatan.
5.2 Potensi Jati Tahunan Setelah diketahui potensi pada tahun penanaman yang berbeda, selanjutnya diketahui besarnya potensi untuk tiap tahunnya sampai tahun 2010 adalah sebesar 311 m³/tahun, dimana rata-rata pertumbuhan jati setiap batangnya sebesar 0,01 m³/batang.
36
Kondisi hutan rakyat tegakan jati yang ada di Kabupaten Jepara secara umum masih baik namun kemungkinan luasnya akan berkurang, karena berdasarkan data volume kayu rakyat 5 (lima) tahun dari tahun 2006–2010, dapat dilihat bahwa volume kayu rakyat jati cenderung mengalami peningkatan, namun untuk penanaman berbanding terbalik, yaitu mengalami penurunan. Hal ini disebabkan jati mempunyai daur (umur tebang) yang cukup lama untuk ditebang, sehingga walaupun dalam beberapa tahun terus digalakkan kegiatan penanaman, hasilnya belum dapat dimanfaatkan. Tegakan jati yang tersedia sekarang belum layak untuk ditebang, karena umurnya yang relatif masih muda. Hutan yang dikelola dengan baik diharapkan akan memberikan manfaat optimal bagi para petani. Volume kayu rakyat di atas belum sepenuhnya mencerminkan kondisi yang sebenarnya, karena data yang digunakan berasal dari data yang terdapat di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara, sehingga terdapat kemungkinan adanya potensi hutan yang tidak tercatat. Tabel 9 Potensi Jati 2006–2010 setiap tahun tanam Tahun Jumlah Batang Volume (m³) 2006 447.326 2.185,36 2007 588.349 4.502,24 2008 855.438 8.317,05 2009 879.627 13.900,77 Sumber : Dinas Kehutanan dan Kabupaten Jepara dan hasil analisis
5.3 Pemodelan Dinamika Potensi Tegakan Dalam membangun suatu model diperlukan 4 (empat) tahap yang digunakan dalam suatu pemodelan yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, serta penggunaan model. 5.3.1 Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan Peningkatan harga kayu jati sebagai bahan baku bagi industri mebel, sangat berpengaruh terhadap biaya produksi yang semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya industri mebel yang terdapat di Jepara, sehingga membuat masyarakat terdorong untuk menanan tanaman kehutanan di areal hutan rakyat terutama untuk jenis jati. Karena jati merupakan bahan baku utama yang digunakan untuk industri mebel di Kabupaten Jepara.
37
Model yang disusun bertujuan untuk menduga banyaknya potensi tegakan hutan rakyat jati di Kabupaten Jepara pada saat tegakan siap untuk dipanen berdasarkan daur tetentu dan pendapatan kayu yang diperoleh dari hasil produksi hutan rakyat tegakan jati. Batasan-batasan yang digunakan dalam penyusunan model ini antara lain: 1. Jumlah pohon (tegakan) adalah banyaknya pohon jati di areal hutan rakyat yang terdapat di Kabupaten Jepara. Faktor yang mempengaruhi jumlah pohon adalah banyaknya pohon yang ditanam. 2. Daur adalah umur tanaman saat ditebang. Untuk daur, karena lahannya berupa hutan rakyat, maka daur ditentukan berdasarkan keinginan pemilik lahan, sehingga daur yang digunakan sebagai simulasi adalah 25 tahun. 3. Tahun penanaman adalah penanaman yang dilakukan berdasarkan tahun terjadinya penanaman. 4. Luas tanam adalah besarnya penanaman yang dilakukan pada areal hutan rakyat. 5. Gangguan hutan adalah luas gangguan yang terjadi pada setiap areal hutan rakyat. Gangguan hutan terdiri dari penjarangan dan mortality, yang besarnya ditentukan sebagai simulasi yang dinyatakan dalam persen. 6. Dinamika jati adalah perubahan jumlah tegakan jati karena berbagai macam faktor, seperti banyaknya pohon mati (mortality), penjarangan, dan penebangan pohon. 7. Pendapatan kayu adalah besarnya penerimaan kayu akibat berubahnya suatu pengelolaan serta proses-proses yang terlibat setelah dikurangi dengan biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya tetap (biaya pajak). 5.3.2 Konseptualisasi Model Model konseptual yang dikembangkan dideskripsikan melalui aliran dan stok. Kategorisasi dilakukan pada setiap sub model. Model yang dibuat dalam pendugaan dinamika potensi tegakan terdiri dari 8 (delapan) sub model, diantaranya: a. Sub model dinamika pertumbuhan jati b. Sub model penanaman c. Sub model dinamika tegakan jati
38
d. Sub model stok kabupaten e. Sub model potensi tegakan jati f. Sub model potensi kabupaten g. Sub model pendapatan kayu h. Sub model pendapatan kayu kabupaten Untuk sub model penanaman, dinamika tegakan, potensi tegakan, dan pendapatan kayu dibuat masing-masing sebanyak 15 model untuk setiap kecamatan. Semua sub model tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. Satuan waktu yang digunakan adalah tahun. Hubungan antar sub model tersebut bila dilakukan pengelolaan yang benar dapat menghasilkan produksi tanaman yang optimal.
Gambar 4 Hubungan antara sub model dinamika pertumbuhan dan penanaman.
39
Gambar 5 Hubungan antara sub model dinamika, potensi, dan pendapatan kayu.
40
Sub model penanaman setiap kecamatan dipengaruhi oleh sub model dinamika pertumbuhan jati yang mencakup 1 (satu) Kabupaten Jepara. Sub model penanaman menggambarkan jumlah bibit yang tersedia pada saat awal penanaman berdasarkan tahun tanam yang berbeda-beda. Jika penanaman yang dilakukan semakin banyak, maka potensi yang tersedia akan semakin besar dan berdampak pada besarnya pendapatan kayu yang dihasilkan. Stok dalam tegakan dipengaruhi oleh penanaman dan pemanenan. Penanaman pohon akan meningkatkan jumlah pohon, sementara besarnya mortality (kematian) dan penjarangan akan mengurangi jumlah pohon. Hubungan antara jumlah penanaman dan stok dalam tegakan merupakan hubungan yang positif, semakin besar jumlah pohon yang ditanam, maka jumlah stok dalam tegakan akan semakin bertambah. Sementara pemanenan merupakan hubungan yang negatif dengan stok dalam tegakan. Semakin banyak dilakukan pemanenan, maka stok yang tersedia akan berkurang. Hubungan antara stok dengan penjarangan dan mortality merupakan hubungan negatif, semakin besar mortality dan penjarangan dalam suatu tegakan, maka stok akan semakin berkurang. Penjarangan dilakukan untuk mengurangi kerapatan tegakan agar memperoleh pertumbuhan yang optimal. Sedangkan mortality dilakukan untuk memperkirakan tegakan yang hilang akibat pohon yang mati secara alami. Semakin tinggi intensitas penjarangan dan mortality maka jumlah stok dalam tegakan akan semakin berkurang. Daur akan mempengaruhi penanaman dan pemanenan. Semakin lama daur, maka penanaman akan bertambah (positif), sedangkan pemanenan akan berkurang (negatif). Penanaman akan berdampak positif terhadap adanya kegiatan pengelolaan hutan rakyat (biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya tahunan). Semakin banyak penanaman yang dilakukan, maka biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi. Namun biaya pengelolaan terhadap penanaman merupakan hubungan negatif, karena biaya yang dikeluarkan akan semakin banyak. Stok dalam tegakan akan berdampak positif terhadap pendapatan dan harga kayu. Jika stok dan harga kayu semakin meningkat, maka pendapatan yang diperoleh petani akan semakin besar, karena harga kayu setiap tahunnya mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan petani mendapat keuntungan yang maksimal.
41
Gambar 6 Konseptualisasi model.
5.3.3 Spesifikasi Model 5.3.3.1 Sub Model Dinamika Pertumbuhan Jati Sub model dinamika pertumbuhan jati merupakan sub model yang menggambarkan jumlah tegakan jati untuk seluruh kabupaten yang tersedia pada saat awal penanaman atau berdasarkan bibit yang ditanam. Aliran materi dalam sub model ini adalah jumlah tegakan jati. Materi yang masuk berasal dari banyaknya penanaman jati.
Gambar 7 Sub model dinamika pertumbuhan Jati. Jumlah tegakan jati adalah banyaknya jumlah pohon jati yang terdapat dalam luasan tertentu yang mengalami perubahan dari adanya penanaman yang dilakukan oleh para pemilik areal hutan rakyat, baik hutan rakyat yang bibitnya berasal dari swadaya maupun pemerintah. Data jumlah penanaman diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara berdasarkan hasil perhitungan antara luas pohon per hektar dibagi dengan jarak tanam. Jarak tanam yang digunakan oleh pemilik hutan rakyat berbeda-beda. Jarak tanam yang terlalu dekat akan menyebabkan pertumbuhan pohon terganggu, karena terdapat persaingan tumbuh dari tanaman yang ada disampingnya, sehingga sulit didapatkan pertumbuhan yang optimal. Oleh karena itu diusahakan dibuat jarak tanam yang tidak terlalu dekat.
42
Pada aliran yang masuk, penanaman dilakukan mulai dari tahun 1995– 2009, karena jumlah penanaman setiap tahun berbeda, untuk menyamakannya dibuat jangka waktu penanaman selama 15 kali. Jumlah tegakan jati berdasarkan awal terjadinya penanaman adalah 1.031.601 batang. Jumlah pohon dari tahun 1995–2007 terus mengalami peningkatan, karena adanya jumlah penanaman yang dilakukan, namun pada tahun 2006, 2008, dan 2009 mengalami penurunan. Tabel 10 Jumlah penanaman awal hutan rakyat Jati Kabupaten Jepara No
Tahun Penanaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1995 1998 2000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah
Hutan Rakyat Swadaya dan Pembangunan Jumlah Awal Penanaman 56 3.928 20.073 52.120 107.896 149.770 196.666 116.803 336.859 44.180 3.25 1.031.601
5.3.3.2 Sub Model Penanaman Sub model ini menggambarkan jumlah tegakan jati yang tersedia pada masing-masing kecamatan. Karena setiap kecamatan berbeda jumlahnya dan tahun tanamnya, maka model dibuat sebanyak 15 sesuai dengan jumlah kecamatan yang memiliki tegakan jati di Kabupaten Jepara.
Gambar 8 Sub model penanaman.
43
Pada sub model ini yang menjadi aliran materi adalah jumlah tegakan pada masing-masing kecamatan, sedangkan materi yang masuk berasal dari penanaman di tiap kecamatan. Data penanaman setiap kecamatan didapatkan dari jumlah penanaman jati yang terdapat pada sub model dinamika pertumbuhan jati sebelumnya, kemudian penanamannya dibagi menjadi masing-masing kecamatan. Penamanan yang paling banyak dilakukan adalah pada tahun 2007, sedangkan yang paling sedikit adalah pada tahun 1995 (Kecamatan Keling) dan tahun 2009 (Kecamatan Pecangaan). Setiap kecamatan terlihat bahwa tiap tahunnya tidak rutin dilakukan penanaman, tergantung dari keinginan pemilik hutan rakyat. Jumlah penanaman yang paling banyak terdapat di Kecamatan Donorojo sebesar 227.784 batang dan yang paling paling sedikit adalah Kecamatan Karimunjawa sebesar 6.667 batang, karena di kecamatan ini penanamannya hanya dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu tahun 2002 dan 2004.
Gambar 9 Jumlah batang Jati saat awal penanaman. 5.3.3.3 Sub Model Dinamika Tegakan Jati Sub model dinamika tegakan Jati digunakan untuk memberi gambaran banyaknya tegakan hutan rakyat jati seiring berjalannya waktu pada masingmasing kecamatan, karena perbedaan struktur dinamika hutan akibat terjadinya pemanenan berdasarkan intensitas penebangan dan mortality. Yang menjadi aliran materi adalah stok pada kecamatan tertentu. Stok jati pada tiap kecamatan
44
dipengaruhi oleh besarnya hutan rakyat (aliran masuk) dikurangi mortality, pencurian tegakan, dan pemanenan di tiap kecamatan (aliran keluar). Hutan rakyat menjelaskan banyaknya penanaman yang dilakukan pada setiap kecamatan berdasarkan tahun tanam yang dipengaruhi adanya daur. Jumlah pohon yang berkurang disebabkan adanya mortality dan pencurian tegakan. Mortality berasal dari banyaknya laju kematian tiap tahunnya dan daur dikalikan dengan stok kecamatan. Mortality yang disimulasikan dalam model ini sebesar 1% untuk setiap tahunnya.
Gambar 10 Sub model dinamika tegakan Jati. Pencurian tegakan berasal dari intensitas pencurian yang dipengaruhi oleh stok Jati kecamatan. Tujuan dari pencurian tegakan yaitu memperkirakan tegakan yang hilang akibat dicuri. Besarnya intensitas pencurian tegakan disimulasikan setiap 5 (lima) tahun sekali sebesar 3%. Mortality dan intensitas pencurian yang digunakan tidak terlalu besar, karena bila pohon pada akhir daur berkurang banyak dari penanaman awal, maka petani akan menderita kerugiaan. Pemanenan dilakukan berdasarkan daur yang ditetapkan. Daur yang digunakan dalam model ini adalah 25 tahun. Semakin besar mortality, pencurian, dan pemanenan yang dilakukan akan mengurangi stok yang tersedia.
45
5.3.3.4 Sub Model Stok Kabupaten Sub model stok kabupaten menggambarkan jumlah tegakan yang tersedia untuk seluruh Kabupaten Jepara. Stok Kabupaten Jepara diperoleh dari penjumlahan stok pada tiap kecamatan.
Gambar 11 Sub model stok kabupaten. Stok yang tersedia adalah pendugaan jumlah batang untuk 25 tahun mendatang (menurut daur) berdasarkan tahun penanaman. Stok terbanyak terdapat pada tahun 2007 dengan jumlah tegakan pada awal penanaman sebesar 377.823 batang dan pada akhir daur jumlah batang yang tersedia adalah 266.689 batang, sedangkan yang paling sedikit pada tahun 1995. Simulasi pada Gambar 12 dibawah merupakan pendugaan jumlah batang untuk 25 tahun yang akan datang sejak awal penanaman.
Gambar 12 Jumlah batang Jati pada akhir daur.
46
5.3.3.5 Sub Model Potensi Tegakan Sub model ini menggambarkan potensi tegakan yang tersedia dalam beberapa tahun yang akan datang pada masing-masing kecamatan. Aliran masuk (potensi tiap kecamatan) dipengaruhi oleh diameter, tbc, dan jumlah batang yang tersedia.
Gambar 13 Sub model potensi tegakan. Untuk menyeragamkan ukuran diameter dan tbc digunakan persamaan regresi pada program Minitab 14 dengan rumus: Logten (Diameter/tinggi bebas cabang) = a + b logten (Umur) Karena pertumbuhan setiap kecamatan tidak sama, maka persamaan diameter dan tinggi dibuat berbeda. Semakin besar ukuran diameter, tinggi dan stok, maka potensi akan semakin meningkat. Pemeliharaan yang dilakukan dengan benar akan membuat diamter dan tbc yang dihasilkan lebih baik. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi pada suatu daerah. Jika penanaman yang dilakukan saat awal tanam besar, maka potensi juga akan semakin tinggi. Pada Gambar 14, menggambarkan pendugaan volume produksi yang tersedia berdasarkan tahun penanaman untuk daur 25 tahun.
Gambar 14 Volume kayu rakyat Jati pada akhir daur.
47
5.3.3.6 Sub Model Potensi Kabupaten Sub model ini menggambarkan potensi yang tersedia di Kabupaten Jepara dengan cara menjumlahkan potensi pada tiap kecamatan.
Gambar 15 Sub model potensi kabupaten. Dengan model ini dapat diketahui potensi Kabupaten Jepara sejak penanaman sampai dengan daur 25 tahun berdasarkan tahun tanam yang berbeda yaitu sebesar 488.120 m³, dimana potensi yang paling besar terdapat pada tahun penanaman 2007 sebesar 168.436 m³ dan yang paling kecil terdapat pada tahun penanaman 1995 sebesar 25,48 m³. Setelah diketahui besarnya potensi untuk seluruh kecamatan, maka dapat diketahui potensi tiap tahun jati untuk seluruh tahun tanam adalah 161,36 m³/tahun.
5.3.3.7 Sub Model Pendapatan Kayu Sub model pendapatan kayu menggambarkan besarnya pendapatan kayu yang diperoleh dari hasil pemasukan kayu dikurangi pengeluaran kayu. Pemasukan kayu diperoleh dari besarnya potensi yang ada dikalikan dengan harga kayu, permasalahan yang terjadi dalam menjual kayu bagi para petani adalah rendahnya harga yang diberikan tengkulak. Oleh karena itu model ini mensimulasikan harga kayu dijual dalam bentuk m³, dengan tujuan agar petani mendapat keuntungan yang lebih besar. Harga kayu dijual sebesar 2.500.00/m³, tetapi harga disini dapat berubah sewaktu-waktu, karena setiap tahunnya harga kayu mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap kayu.
48
Gambar 17 Sub model pendapatan kayu. Pengeluaran kayu berasal dari penjumlahan biaya produksi yang terdiri dari biaya penanaman, pemeliharaan, dan tetap (pajak) yang dikeluarkan selama pengelolaan dalam satu daur. Biaya produksi pada model ini dihitung berdasarkan luasan dalam 1 Ha, sehingga untuk mendapatkan besarnya pengeluaran kayu pada masing-masing kecamatan, maka dikalikan dengan luas hutan rakyat tegakan jati yang tersedia. Tabel 11 Biaya produksi pada tiap kecamatan No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Donorojo Keling Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Tahunan Batealit Kedung Pecangaan Kalinyamatan Nalumsari Mayong Karimunjawa
Biaya Penanaman 3.663.750 3.563.750 3.741.750 4.017.300 5.047.500 4.085.000 7.687.500 6.620.000 4.696.250 3.590.000 4.426.000 5.752.600 5.940.600 3.347.500 5.002.500
Biaya Produksi Biaya Pemeliharaan 6.060.000 6.045.000 6.313.000 7.076.000 6.712.500 6.760.000 6.800.000 7.240.000 6.139.000 5.920.000 6.068.000 6.104.000 6.410.000 5.275.000 6.320.000
Biaya Tahunan 2.092.500 2.067.500 2.125.000 2.125.000 2.250.000 2.250.000 2.750.000 2.625.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.250.000 2.250.000 2.375.000 2.250.000
Total 11.816.250 11.676.250 12.179.750 13.218.300 14.010.000 13.095.000 17.237.500 16.485.000 13.335.250 12.010.000 12.994.000 14.106.600 14.600.600 10.997.500 13.572.500
49
Biaya penanaman dan pemeliharaan terdiri dari biaya persiapan lahan, persediaan bibit, pupuk, dan upah tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap terdiri dari biaya pajak (sewa dan bangunan) dikalikan dengan daur. Semakin besar daur, biaya produksi akan semakin meningkat, karena semakin banyak pemeliharaan yang dilakukan. Dari Tabel 11, dapat dilihat bahwa biaya produksi paling besar adalah Kecamatan Jepara, kecamatan ini letaknya dekat dengan pusat kota, sehingga biaya produksinya cenderung mahal, seperti upah tenaga kerja dan tenaga yang dibutuhkan lebih besar, karena pemilik lahannya tidak ikut serta dalam mengelola tanamannya di lahan, semua pekerjaannya diserahkan pada pekerja dan pemeliharaan terhadap tanaman kurang diperhatikan. Sedangkan biaya produksi yang paling kecil yaitu Kecamatan Mayong. Semakin tinggi potensi tegakan jati, maka akan meningkatkan besarnya pendapatan kayu yang diterima, seperti yang terjadi di Kecamatan Donorojo. Berdasarkan total biaya produksi yang telah didapat, dapat diketahui bahwa biaya produksi untuk setiap pohonnya dalam luas 1 Ha pada masing-masing kecamatan yang paling mahal adalah Kecamatan Kedung, karena jumlah pohon dalam 1 ha sebanyak 625 batang, mengakibatkan biaya produksi setiap pohonnya mahal. Sementara biaya produksi untuk setiap pohon yang termurah yaitu Kecamatan Kalinyamatan. Tabel 12 Biaya produksi setiap pohon No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Donorojo Keling Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Tahunan Batealit Kedung Pecangaan Kalinyamatan Nalumsari Mayong Karimunjawa
Biaya Produksi 11.816.250 11.676.250 12.179.750 13.218.300 14.010.000 13.095.000 17.237.500 16.485.000 13.335.250 12.010.000 12.994.000 14.106.600 14.600.600 10.997.500 13.572.500
Jumlah Pohon (1 Ha) 1.111 1.111 1.111 1.111 1.600 1.000 1.667 1.600 1.111 625 833 1.667 1.667 625 833
Biaya Produksi/Pohon 10.636 10.510 10.963 11.898 8.756 13.095 10.340 10.303 12.003 19.216 15.599 8.462 8.759 17.596 16.294
50
5.3.3.8 Sub Model Pendapatan Kayu Kabupaten Sub model ini menggambarkan besarnya pendapatan kayu yang dihasilkan untuk Kabupaten Jepara berdasarkan penjumlahan pendapatan kayu pada tiap kecamatan untuk setiap tahun penanaman. Kecamatan yang potensinya besar, maka pendapatan yang dihasilkan juga akan besar.
Gambar 17 Sub model pendapatan kabupaten. Pendapatan yang dihasilkan pada setiap tegakan sampai umur tebang (25 tahun) dengan tahun penanaman yang berbeda seluruhnya adalah sebesar Rp 1.210.251.367.487, dimana yang paling tinggi adalah pada tahun penanaman 2007, sedangkan pendapatan yang paling sedikit pada tahun penanaman 1995.
5.3.4 Evaluasi Model Evaluasi kewajaran model dilakukan untuk menguji kewajaran suatu model berdasarkan model yang telah dibuat. Kewajaran dari model dilihat berdasarkan besarnya potensi tegakan yang terus meningkat dari awal penanaman. Evaluasi model pertama dilihat dari besarnya luas penanaman hutan rakyat jati. Berdasarkan Gambar 18 terlihat bahwa luas penanaman hutan rakyat jati dari tahun 1995–2005 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2007–2009 luas penanamannya menurun. Hal ini diakibatkan para pemilik lahan yang mulai beralih kepada tanaman sengon. Luas penanaman yang berbeda setiap tahunnya, akan berdampak terhadap jumlah batang yang dihasilkan. Walaupun luas penanaman yang tinggi, belum tentu jumlah batangnya besar, karena jumlah
51
batang dipengaruhi oleh jarak tanam. Semakin tinggi jarak tanam, maka jumlah batang akan semakin berkurang.
Gambar 18 Trend penanaman berdasarkan luas hutan rakyat Jati. Tegakan pohon tanpa adanya gangguan akan mengalami peningkatan secara terus menerus, sehingga untuk mendapatkan potensi tegakan yang dianggap logis, maka dibuat faktor gangguan seperti mortality dan pencurian tegakan Dalam penelitian ini evaluasi model dilakukan terhadap sub model dinamika potensi tegakan jati, yang berkaitan dengan pendugaan potensi tegakan jati dengan adanya gangguan dan tanpa adanya gangguan. Struktur simulasi tegakan jati diperoleh melalui pembuatan sub model dinamika tegakan jati yang dipengaruhi adanya mortality dan penjarangan. Besarnya stok pada awal simulasi didasarkan atas data potensi tegakan jati seluruk Kabupaten Jepara.
Gambar 19 Evalusi model. Keterangan: 1. Potensi tegakan jati dengan adanya gangguan hutan. 2. Potensi tegakan jati tanpa adanya gangguan hutan.
52
Kewajaran dan kelogisan sub model tegakan jati dilihat dari taksiran jumlah pohon pada setiap tahun penanaman pada kondisi tidak ada gangguan dan dengan adanya gangguan. Evalusi model yang disajikan pada Gambar 21 merupakan potensi tegakan saat tahun penanaman 2007, karena tahun 2007 merupakan penanaman yang paling banyak dilakukan. Dari Gambar 19 terlihat bahwa tegakan jati yang mengalami gangguan, jumlah pohonnya akan mengalami penurunan sesuai dengan besarnya gangguan yang dilakukan, sehingga potensinya akan berkurang. Sementara tegakan jati yang tidak mengalami gangguan akan terus mengalami peningkatan, dengan kata lain stabil atau mendekati jumlah pohon pada saat awal penanaman, besarnya sama seperti pada awal penanaman dan potensi yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan yang mengalami gangguan. Oleh karena itu, model dapat dikatakan logis dan wajar.
5.3.5 Analisis Sensitivitas Model Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan-perubahan dalam parameter yang mendukung. Sensitivitas model pada penelitian ini akan dilakukan terhadap besarnya potensi yang diperoleh apabila gangguan hutan (mortality dan intensitas pencurian) dirubah. Untuk mortality dirubah menjadi 0,5%, 2%, dan 3,5 %, sedangkan intensitas pencurian dirubah menjadi 1,5%, 4,5%, dan 6%. Dengan semakin tinggi gangguan yang terjadi, maka potensi yang dihasilkan akan semakin berubah.
Gambar 20 Analisis sensitivitas model.
53
Keterangan: 1. Potensi tegakan dengan mortality 0,5% dan intensitas pencurian 1,5%. 2. Potensi tegakan dengan mortality 2% dan intensitas pencurian 5%. 3. Potensi tegakan dengan mortality 4% dan intensitas pencurian 10%. Gangguan hutan yang semakin besar akan berdampak terhadap besarnya potensi tegakan. Analisis sensitivitas dengan tingkat gangguan hutan dengan mortality dan intensitas pencurian, masing-masing sebesar 0,5% dan 1,5% menunjukkan bahwa besarnya potensi tegakan cenderung meningkat pada awal daur hingga mencapai kondisi yang realtif stabil dan kemudian berkurang. Hal ini menunjukkan pada tingkat gangguan hutan tersebut masih berada dalam batas yang bisa ditoleransi untuk mendukung terjadinya dinamika pertumbuhan tegakan. Apabila gangguan hutan dinaikkan untuk mortality menjadi 4% dan intensitas pencurian menjadi 10% terlihat bahwa besarnya potensi tegakan akan berkurang drastis. Sehingga dapat dismpulkan bahwa semakin besar gangguan hutan yang ditimbulkan, maka semakin banyak jumlah pohon yang hilang akibat adanya gangguan hutan yang menyebabkan penurunan terhadap besarnya potensi tegakan, karena jumlah tegakan setiap tahunnya mengalami penurunan.
5.3.6 Penggunaan model Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario yang telah ditetapkan dalam rangka memberikan jawaban mengenai tujuan penelitian. Skenario dibuat untuk melihat besarnya potensi tegakan pada berbagai daur berdasarkan model dinamika tegakan jati, serta hubungan antara potensi tegakan dan pendapatan kayu yang diperoleh. Skenario yang akan dijalankan pada tahap ini adalah: a. Skenario daur, dimana pengelolaan dilakukan dengan cara mengurangi dan menambah daur, sehingga akan berpengaruh terhadap besarnya potensi tegakan. b. Skenario pendapatan dengan cara menurunkan dan meningkatkan harga kayu yang berpengaruh terhadap besarnya pendapatan kayu yang dihasilkan oleh petani hutan rakyat.
54
5.3.6.1 Skenario Daur Pada skenario daur, akan dilakukan tingkat pengaruh daur yang berbeda terhadap potensi tegakan yang dihasilkan pada daur yang digunakan. Dalam skenario ini daur dirubah menjadi 20 tahun dan 30 tahun pada tahun penanaman 2007.
Gambar 21 Skenario daur. Keterangan: 1. Potensi tegakan dengan daur 20 tahun. 2. Potensi tegakan dengan daur 40 tahun. Hasil simulasi skenario daur yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda pada potensi tegakan. Hasil simulasi dengan daur 30 tahun menghasilkan potensi produksi yang lebih besar dibandingkan dengan potensi tegakan pada daur 20 tahun. Semakin besar daur, maka potensi yang dihasilkan akan semakin meningkat, karena berdampak terhadap besarnya umur tanaman, sehingga diameter dan tbc akan semakin tinggi yang berpengaruh terhadap potensi yang dihasilkan. Selama daur 25 tahun saat simulasi terlihat bahwa terjadi selisih yang cukup besar antara potensi tegakan antara daur 40 tahun dan 20 tahun. 5.3.6.2 Skenario pendapatan Pada skenario ini akan dilakukan untuk mendapatkan pengaruh kenaikan pendapatan yang berbeda terhadap harga kayu. Harga kayu akan berpengaruh terhadap besarnya pendapatan kayu. Harga kayu dirubah menjadi Rp 2.000.000/m³ dan Rp 3.000.000/m³.
55
Gambar 22 Skenario pendapatan. Keterangan: 1. Pendapatan kayu, pada saat harga kayu 2.000.000/m³. 2. Pendapatan kayu, pada saat harga kayu 3.000.000/m³. Hasil simulasi skenario diatas menunjukkan respon yang berbeda antara harga kayu dengan tingkat pendapatan. Semakin rendah harga kayu, maka pendapatan kayu akan berkurang. Sebaliknya semakin tinggi harga kayu, maka akan meningkatkan besarnya pendapatan. Karena harga kayunya berbeda, tetapi biaya produksi yang dikeluarkan sama. . 5.4 Potensi Lahan Berdasarkan Analisis LQ Untuk melihat penyebaran perkembangan budidaya hutan rakyat dibandingkan dengan sektor-sektor sejenis lainnya pada setiap wilayah di Kabupaten Jepara digunakan analisis LQ (Location Quetiont). Nilai LQ lebih besar dari satu menunjukkan bahwa budidaya hutan rakyat memiliki peranan penting dalam perkembangan hutan rakyat. Untuk analisis LQ ini indikator yang digunakan adalah luas pemanfaatan lahan kering untuk areal hutan rakyat campuran dan hutan rakyat jenis jati untuk setiap kecamatan. Berdasarkan Tabel 12 menunjukkan nilai LQ yang tidak sama antara hutan rakyat campuran dan hutan rakyat jenis jati. Untuk hutan rakyat campuran terdapat tujuh kecamatan yang memiliki nilai LQ lebih besar dari 1, yaitu Kecamatan Mayong, Nalumsari, Batealit, Jepara, Pakis Aji, Keling, dan
56
Donorojo. Sementara untuk hutan rakyat jenis jati terdapat empat kecamatan, yaitu, Mayong, Bangsri, Pakis Aji dan Donorojo. Perbedaan nilai LQ antara hutan rakyat campuran dan jenis jati, disebabkan oleh pemilihan jenis tanaman yang mendominasi di tiap kecamatan tersebut. Tabel 13 Analisis kesesuaian lahan (LQ)
No.
Kecamatan
Luas Wilayah (Ha)
Hutan Rakyat Campuran (Ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Pakis Aji Bangsri Kembang Keling Donorojo Karimunjawa Jumlah
4.306,28 3.587,81 2.370,00 2.764,21 6.504,27 5.696,54 8.887,87 3.890,58 2.466,70 4.240,24 6.055,28 8.535,24 10.812,38 12.311,59 10.864,22 7.120,00 100.413,21
13,42 25,32 388,91 87,00 2.166,69 1.686,56 1.774,34 519,72 701,58 421,63 2.049.00 990,47 1.060,55 2.579,97 2.440,07 1.178,00 18.436,23
LQ 0,17 0,39 0,89 0,17 1,81 1,61 1,09 0,73 1,55 0,54 1,84 0,63 0,53 1,14 1,22 0,90
Hutan Rakyat Jati (Ha) 52,00 28,10 15,72 0,00 92,00 32,74 96,00 38,30 96,10 18,70 96,10 164,20 57,00 55,40 209,25 8,00 979,51
LQ 0,92 0,60 0,51 0,00 1,08 0,44 0,83 0,75 0,50 0,34 1,21 1,47 0,40 0,34 1,47 0,09
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara (diolah) Dari total seluruh kecamatan, hanya 1 (satu) kecamatan yang tidak ada tegakan jati, yaitu Kecamatan Welahan, dikarenakan tidak tersedianya areal untuk hutan rakyat yaitu hanya memiliki areal hutan rakyat seluas 87 Ha, paling kecil dibandingkan kecamatan lainnya. Dapat dikatakan bahwa Kabupaten Jepara bukan merupakan wilayah yang dapat dijadikan pengembangan hutan rakyat, karena dari seluruh total kecamatan, tidak mencapai 50% kecamatan yang nilai LQ lebih dari 1 (satu), baik pada areal hutan rakyat campuran maupun hutan rakyat jenis jati. Dari hasil ini juga dapat dikatakan bahwa dengan wilayah yang luas, seharusnya luas hutan rakyatnya lebih besar, tetapi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan adanya analisis LQ untuk wilayah yang nilai LQ
57
kurang dari 1 dan memiliki areal hutan yang tersedia, diharapkan lebih meningkatkan kembali peran masyarakat dalam menanam hutan rakyat, baik melalui pemerintah maupun secara perorangan agar areal tersedia dapat lebih dimanfaatkan.
5.5 Peta Sebaran Jati Peta sebaran jati diperoleh setelah diproyeksikan dalam bentuk peta, berdasarkan hasil pengamatan langsung dengan menandakan pohon-pohon yang memiliki sebaran hutan rakyat jati di Kabupaten Jepara pada setiap kecamatan dengan menggunakan GPS. Sehingga didapatkan data tentang koordinat, elevasi, dan ketinggian tempat. Dari hasil penandaan tersebut terdapat 319 titik sebaran jati pada hutan rakyat di Kabupeten Jepara. Penandaan GPS ini dilakukan dengan cara pengambilan secara acak, dimana terdapat areal yang memiliki tegakan jati pada seluruh hutan rakyat di setiap kecamatan. Peta sebaran jati terdapat pada Lampiran 10.
5.6 Pengelolaan Hutan Rakyat 5.6.1 Karakteristik Responden Untuk mengetahui kegiatan pengelolaan hutan rakyat di wilayah Kabupaten Jepara dilakukan wawancara terhadap 90 orang petani yang mewakili tiga desa pada tiga kecamatan yang berbeda. Alasan dalam pemilihan lokasi tersebut adalah (1) Desa Damarwulan (Kecamatan Keling) merupakan desa yang menjuarai penghijauan swadaya tingkat nasional, (2) Desa Clering (Kecamatan Donorojo) merupakan desa yang paling banyak memiliki tegakan hutan rakyat jati, dan (3) Desa Suwawal (Kecamatan Mlonggo) merupakan desa yang tegakan hutan rakyat jatinya tidak mendominasi dan berada didekat pusat kota. Pengambilan responden pada masing-masing desa dilakukan secara sengaja. Karakteristik responden petani dalam penelitian ini meliputi desa, penguasaan lahan, pola tanaman hutan rakyat, umur, pendidikan, mata pencaharian dan alasan-alasan dalam pembudidayaan hutan rakyat. Status kepemilikan lahan hutan rakyat adalah milik sendiri. Berdasarkan hasil wawancara terdapat 44,44% responden memiliki lahan dengan luas antara
58
0,25–0,50 ha. Sedangkan sebanyak 2,22% memiliki lahan diatas 1 Ha. Desa Suwawal tergolong ke dalam desa yang luas kepemilikan lahannya paling sedikit diantara ketiga desa lainnya, yaitu didominasi lahan kurang dari 0,25 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa luas kepemilikan lahan hutan rakyat masih tergolong kecil. Di tempat yang luas kepemilikan lahannya sempit, maka pengembangan hutan rakyatnya akan lebih menekankan pada peningkatan produktivitas sehingga pengelolaannya menjadi lebih intensif. Jarak tempuh yang terjauh antara lahan garapan dengan tempat tinggal berkisar 3 km dan terdekat antara 5 m–100 m. Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan Nama Desa
< 0,25
Luas Kepemilikan Lahan (Ha) 0,25–0,50 0,50–1,00 % N % N %
2 4 14 20
2,22 4,44 15,56 22,22
N Damarwulan Clering Suwawal Jumlah
16 13 11 40
17,78 14,44 12,22 44,44
12 12 1 28
> 1,00 N %
13,33 13,33 4,44 31,11
0 1 1 2
0 1,11 1,11 2,22
Pada umumnya umur responden berkisar antara 36–45 tahun, yang termuda berumur 32 tahun dan tertua berumur 80 tahun. Rata-rata umur responden termasuk dalam usia yang produktif. Pada Desa Damarwulan dan Desa Suwawal rata-rata umur responden tertinggi berumur antara 46–55 tahun. Sementara untuk Desa Clering, rata-rata umur responden terbanyak sebesar 18,89% yaitu pada umur 36–45 tahun. Tabel 15 Distribusi responden menurut tingkat pendidikan
Nama Desa Damarwulan Clering Suwawal Jumlah
Tidak Tamat SD N % 1 1,11 0 0 0 0 1 1,11
Tingkat Pendidikan SD/ SMP/ SMA/ Sederajat Sederajat Sederajat N % N % N % 12 13,33 8 8,89 9 10 14 15,56 6 6,67 7 7,78 2 2,22 12 13,33 10 11,11 28 31,11 26 28,89 26 28,89
S1 N 0 3 6 9
% 0 3,33 6,67 10
Dalam hal pendidikan, rata-rata responden hanya berpendidikan sampai tamat SD sebesar 31,11%. Sedangkan yang menamatkan pendidikannya sampai SMP/sederajat dan SMA/sederajat nilainya sama sebesar 28,89%. Desa yang
59
paling banyak tingkat pendidikannya sampai S1 adalah Desa Suwawal. Desa Damarwulan dan Desa Clering khususnya para petani penggarap hutan rakyat mempunyai tingkat pendidikan yang masih rendah. Rata-rata hanya sampai SD. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan teknologi dan informasi tentang pengelolaan hutan rakyat dan informasi pasar terhadap harga kayu, selain itu juga berpengaruh terhadap status sosial mereka di masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula status sosialnya di masyarakat. Selain itu, akan berdampak pada peluang kerja dan tingkat upah seseorang. Oleh karena itu, lebih dari 50% responden bekerja sebagai petani, sedangkan untuk Desa Suwawal sebagian besar bekerja mulai dari PNS, pengusaha mebel, pengrajin mebel, pemgusaha penggergajian kayu, pedagang. Hal ini disebabkan, karena Desa Suwawal letaknya dekat dengan pusat kota, sehingga kebanyakan penduduk yang mempunyai areal hutan rakyat bukan bermata pencahariaan utama sebagai petani. Tujuan utama responden dalam membudidayakan hutan rakyat adalah untuk dijual kayunya, sedangkan di Desa Suwawal tujuannya untuk keperluan sendiri yang akan digunakan dalam usaha mebel, karena di Desa Suwawal ratarata yang memiliki lahan hutan rakyat memiliki industri mebel, sehingga bila sudah saatnya masak tebang, mereka ingin menggunakan hasil hutan rakyatnya untuk usaha mebel mereka sendiri.
5.6.2 Aspek Teknis Pengelolaan Hutan Rakyat Dahulunya lahan hutan rakyat di tiga desa tersebut tidak seperti sekarang ini, sebelumnya lahan berupa padang alang-alang dan petani hanya menanam tanaman seperti padi, jagung, ubi, dan singkong. Namun karena sering terjadi bencana seperti banjir dan longsor, serta lahannya sudah tidak cocok untuk ditanami tanaman tersebut, maka petani beralih dengan menanam tanaman kehutanan ditambah dengan adanya penyuluhan dari berbagai instansi terkait, penduduk mulai melakukan penghijauan dengan menanam berbagai macam tanaman kehutanan. Agar semua hutan memenuhi fungsinya dengan baik, maka hutan rakyat perlu diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh negara meskipun pelaksanaan pengurusan dan pengusahaannya dilakukan sendiri oleh pemiliknya.
60
Oleh sebab itu sudah sewajarnya pengurusan hutan rakyat dilakukan sendiri oleh pemiliknya dengan bimbingan dan atas pengawasan dari pemerintah. Meskipun telah diberikan penyuluhan oleh beberapa pihak yang terkait dengan bidang kehutanan, umumnya hutan rakyat dikelola dengan menggunakan pengetahuan lokal, mereka menganggap penyuluhan tidak memberikan hasil yang optimal pada tanaman hutan mereka. Bentuk hutan rakyat pada ketiga desa tersebut berbeda-beda. Desa Damarwulan termasuk ke dalam hutan rakyat agroforestry dengan pola tumpang sari, karena pemilikan lahan petani relatif sempit dengan berbagai kepentingan penggunaan lahan. Dengan pola tumpangsari diharapkan produktifitas lahan meningkat dan petani dapat memperoleh pendapatan dari hasil panen untuk jenisjenis tanaman yang diusahakan, baik dalam jangka pada waktu lama (tanaman hutan rakyat) maupun jangka waktu musiman (tanaman tumpangsari), alasan pemilik lahan menanam mengikuti pola agroforestry, karena mayoritas penduduk yang memiliki areal hutan rakyat di Desa Damarwulan merupakan petani, sehingga jika mereka hanya mengandalkan dari tanaman hutan rakyat yang hasil panennya lama, mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Desa Suwawal termasuk ke dalam kategori hutan rakyat campuran, karena pemilik lahan hutan rakyat rata-rata bekerja bukan sebagai petani, sehingga mereka dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari berasal dari luar areal usaha hutan rakyat. Desa Clering umumnya termasuk dalam kategori hutan rakyat monukultur, namun ada juga yang mengikuti pola agroforestry. Di Desa Clering sebagian besar areal hutan rakyatnya ditanam pada daerah pegunungan yang memilki topografi curam dan berbukit-bukit, sehingga cocok untuk tanaman jati, karena tanahnya mengandung kapur. Kondisi lahan yang curam dan berbukit menjadi salah satu alasan kurang optimalnya lahan, sehingga penanaman hutan rakyatnya mengikuti pola monokultur. Pola seperti ini didasarkan pada pertimbangan keuntungan yang lebih besar, meskipun jati daurnya lama. Pemilik lahan di desa ini walaupun pekerjaan utamanya sebagai petani, tetapi mereka masih dapat mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari sektor lain seperti tambak, perdagangan, dan pertambangan.
61
Gambar 23 Bentuk hutan rakyat pola monokultur di Desa Clering. Jenis tanaman kehutanan yang dijumpai pada tiga desa tersebut diantaranya sengon, jati, mahoni, waru, jengkol, mangga, dan kapuk. Dengan menanam tanaman kayu yang dilakukan secara monokultur, campuran maupun tumpang sari dengan
tanaman
pertanian,
perkebunan,
hortikultura,
dan
buah-buahan,
manfaatnya bagi petani selain untuk penghijauan juga dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan di waktu mendatang. Hutan rakyat yang ada di Desa Damarwulan, Desa Clering, dan Desa Suwawal merupakan hutan rakyat hasil dari swadaya dan pembangunan yang dilaksanakan secara tradisional. Ketiga Desa tersebut termasuk kedalam desa yang mendapatkan bibit gratis dari adanya program GERHAN maupun GNRHL. Teknik budidaya hutan rakyat pada dasarnya sudah dikuasai oleh para petani pengelola hutan rakyat secara turun-temurun. Hardjanto (2000) mengatakan bahwa teknik budidaya hutan rakyat yang dikuasai oleh para petani masih sebatas dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual, dilakukan secara sederhana. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai kegiatan pengelolaan di tiga desa yang dijadikan tempat penelitian a. Pemilihan Jenis Tanaman Pemilihan jenis tanaman hutan rakyat pada umunya didasari oleh alasan yang berbeda-beda, diantaranya mudah dalam penanaman, mudah dijual, paling menguntungkan secara ekonomi, kecocokan dengan kondisi lahan, cepat tumbuh,
62
dan untuk usaha mebel. Dari hasil wawancara di Desa Damarwulan paling banyak responden memilih karena mudah dijual, sedangkan di Desa Clering sebanyak 36,7% memilih karena kecocokan dengan kondisi lahan. Sementara di Desa Suwawal alasan utamanya paling menguntungkan secara ekonomi dan untuk mendukung usaha mebel. Penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, karena mereka menginginkan jenis pohon tertentu untuk ditanam di lahan miliknya. Jenis tanaman sengon paling banyak diminati oleh masyarakat pada saat ini, selain karena cepat tumbuh dan harganya sesuai, juga karena mudah dalam pembudidayaannya. Pada umumnya pemilik areal hutan rakyat jenis jati dan sengon, menanam tanaman sengon cukup sekali, karena untuk tanaman berikutnya, bibitnya berasal dari trubusan yang dibiarkan menjadi pohon. Tanaman yang paling mendominasi di Desa Damarwulan dan Desa Suwawal adalah jenis sengon, sedangkan di Desa Clering yaitu jenis jati. b. Persiapan lahan Persiapan lahan dilakukan kurang lebih 2 minggu sampai 1 bulan sebelum kegiatan penanaman tergantung pada luas lahan dan jumlah pekerja (HOK). Kegiatan yang dilakukan seperti membersihkan lahan dari semak belukar dan tanaman liar yang tumbuh di lahan (ilalang) dengan menggunakan cangkul dan sabit. Pembersihan lahan sebenarnya tidak mutlak dilakukan jika areal yang akan ditanami sudah bersih. Pada Desa Damarwulan dan Clering rata-rata pemilik areal hutan rakyat selain memanggil buruh tani, juga melakukan secara langsung kegiatan persiapan lahan, karena pekerjaan utama mereka umumnya petani. Khusus di Desa Damarwulan, pada Kelompok Tani Langgeng Makmur, anggotanya mengenal istilah arisan kerja, yaitu arisan yang dilakukan dengan cara bersama-sama dalam melakukan persiapan lahan. Dengan adanya cara seperti ini, dapat mengurangi biaya produksi. Sementara itu di Desa Suwawal, pemilik lahan, memanggil buruh tani untuk melakukan kegiatan persiapan lahan. Hal ini disebabkan, karena penduduknya rata-rata bekerja di kantoran, sehingga tidak ada waktu dalam persiapan lahan. Setelah lahan dibersihkan, dilanjutkan mengolah tanah dengan tujuan agar tanah tersebut gembur dengan cara dicangkul, kemudian setelah itu dipasang ajir
63
pada jarak tanam yang berbeda-beda. Untuk Desa Damarwulan dan Desa Clering menggunakan jarak tanam (3 x 3) m. Sementara di Desa Suwawal menggunakan ukuran (4 x 4) m. Setelah pemasangan ajir selesai di kerjakan maka langkah selanjutnya adalah adalah pembuatan lubang tanam dengan kedalaman tanah kirakira 20 x 20 x 20 cm atau 25 x 25 x 25 cm. Untuk pembuatan jarak dan lubang tanam tidak seluruh petani melakukannya, karena rata-rata petani menginginkan jumlah yang maksimal, sehingga bila ukuran jarak tanamnya terlalu besar, maka jumlah pohon akan semakin berkurang. Tetapi ada juga petani yang tetap menggunakan jarak tanam, karena bila dilakukan dengan benar maka pertumbuhan pohon yang dihasilkan akan maksimal. Semakin kecil ukuran jarak tanam, maka pertumbuhan pohon akan terganggu karena tidak adanya ruang gerak untuk pohon tumbuh (terdesak oleh tanaman yang ada disebelahnya). Sebaliknya bila ukuran jarak tanam lebih besar, maka pertumbuhan pohon akan maksimal, pohon tidak akan mendapat gangguan dari pohon yang ada disebelahnya. Setelah pembuatan lubang tanam selesai maka bibit siap untuk ditanam. c. Penyediaan bibit Umumnya bibit diperoleh dengan cara membeli langsung kepada penjual bibit ataupun diperoleh secara gratis dari Dinas Kehutan dan Perkebunan (dalam kegaiatan GERHAN dan GNRHL) melalui kelompok tani yang ditunjuk. Dalam hal ini petani jarang untuk membuat bibit sendiri walaupun sebenarnya lebih menguntungkan secara ekonomi. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani mengenai pembibitan dan kurangnya lahan yang dibutuhkan untuk persemaian.
Gambar 24 Tempat penyediaan bibit di Desa Damarwulan.
64
Oleh karena itu, pada tahun 2008 mulai dibangun sebuah organisasi bernama GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani Hutan) yang berada di Desa Damarwulan. Tujuan dari pembuatan organisasi ini adalah membuat bibit sendiri agar memudahkan petani dalam memperoleh bibit dengan harga yang lebih murah. Bibit yang dibeli dari penjual bibit harganya berkisar antara Rp 1000 – Rp 2000 per batang dengan tinggi berkisar antara 30–50 cm untuk tanaman jati, sedangkan untuk tanaman sengon harganya antara Rp 800 – Rp 1500 per batang dengan tinggi 20–50 cm. d. Penanaman dan pemupukan Penanaman dilakukan setelah bibit dan lahan siap untuk dguanakan. Kegiatan penanaman dilakukan dengan upah Rp 30.000 – Rp 40.000 per hari, tergantung kesepakatan antara pemilik lahan dan buruh tani. Tanaman jati dan sengon sangat peka terhadap kekeringan pada awal masa tanam, sehingga petani menanamnya pada musim penghujan, sehingga bibit yang ditanam mendapatkan air yang cukup. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu diberi pupuk. Pupuk yang sering digunakan adalah pupuk kandang dan urea. Untuk pupuk kandang kebanyakan petani mempunyai hewan ternak, sehingga mereka membuat pupuk kandang secara tradisional. Daun-daun yang berserakan di areal hutan rakyat dijadikan sebagai makanan ternak. Tetapi bila petani tidak memiliki hewan ternak mereka membelinya sebesar Rp 600 – Rp 1000/kg, sedangkan untuk pupuk urea yang digunakan adalah jenis NPK, TSP, ZA, KCL dan ponska, dengan harga berkisar antara Rp 3500 – Rp 4000/kg. Dosis pemakaian dalam satu tahun rata-rata 1–2 kali pada saat tanam dengan banyaknya pupuk yang digunakan sebanyak 2 (dua) keranjang untuk 4–5 pohon, sedangkan untuk pupuk urea dan lainnya sebanyak 1 (satu) sendok makan. Untuk lahan yang dikelola secara agroforestry, kegiatan pengelolaan tanaman tumpangsarinya dilakukan terlebih dahulu, seperti tanaman pertanian, perkebunan, semusim, buah-buahan, dan tanaman hortikultura. Tanaman perkebunan yang biasanya ditanami adalah kopi, jahe, cengkeh lada, dan cokelat. Tanaman semusim meliputi pisang, singkong, dan ubi jalar. Tanaman buahbuahan diantaranya durian, jengkol, pete, manggis, nangka dan mangga. Tanaman
65
hortikultura ditanami cabai. Sedangkan untuk tanaman pertanian ditanami padi, jagung, kacang tanah dan kacang panjang. Bila penanaman tumpangsari telah selesai dilakukan, maka petani baru mengolah tanaman kehutanan, sehingga petani dapat mempergunakan waktu luangnya untuk mengelola dan memelihara tanaman kayunya. Dengan cara ini petani dapat mengurangi biaya upah kerja penanaman. e. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal sesuai dengan yang diharapkan. Kegiatan yang dilakukan oleh petani hutan rakyat di Desa Damarwulan, Desa Clering, dan Desa Suwawal diantaranya adalah penyiangan, pendangiran, pemupukan, penyemprotan, dan pemangkasan. Penyiangan yaitu pembersihan lahan dari tumbuhan bawah yang dilakukan dalam waktu yang tidak tentu. Kegiatan pendangiran berguna untuk menghindari pengerasan tanah akibat siraman air dan menjaga kelembaban tanah. Pendangiran juga bisa dilakukan jika petani membutuhkan hijauan untuk makanan ternak. Di Desa Damarwulan dan Desa Clering pendangiran dilakukan sampai umur tanaman 15 tahun. Sementara di Desa Suwawal dilakukan hingga 8 (delapan) tahun. Kegiatan penyulaman hanya dilakukan satu kali yaitu pada awal pengelolaan hutan rakyat dengan tujuan mengganti pohon-pohon yang mati. Pemupukan dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Pupuk yang diberikan setelah penanaman untuk Desa Damarwulan dan Clering adalah jenis pupuk kandang dan urea. Sedangkan di Desa Suwawal menggunakan pupuk urea. Pemupukan dilakukan sampai tahun keempat setelah penanaman. Pupuk yang diberikan dengan benar, akan mempengaruhi pertumbuhan pohon yang dihasilkan. Pemangkasan hanya dilakukan di Desa Suwawal dengan tujuan untuk memangkas batang. Pemangkasan dapat dilakukan jika tanaman sudah kelihatan rimbun pada saat ketinggian pohon telah mencapai 5 m atau terlihat jika dahan sudah cukup kuat. Pemangkasan harus dilakukan dengan hati-hati, karena jika tidak akan membuat batang menjadi lengkung, sehingga tidak diperoleh hasil kayu sesuai yang diharapkan. Pemeliharaan tegakan pohon melalui kegiatan penjarangan belum dilaksanakan. Petani beranggapan bahwa semua tanaman hutan rakyat merupakan
66
investasi jangka panjang yang tetap memiliki nilai ekonomis walaupun tumbuh secara tidak optimal akibat kerapatan yang cukup tinggi. Selain itu, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah penyemprotan terhadap tanaman yang terkena penyakit, tetapi jika tanaman tersebut terkena penyakit pada tanaman kayu yang sudah besar, petani langsung menjualnya kepada tengkulak. Bahan yang digunakan oleh petani dalam penyemprotan adalah matador dan curacron dengan harga antara Rp 90.000 – Rp 100.000/liter. Dosis yang digunakan adalah satu tutup botol dicampur dengan 15 liter air. Untuk kegiatan penyemprotan dilakukan mulai tahun kedua sampai tahun kelima. Sementara di Desa Suwawal dilakukan hingga tahun ketiga. Alasan penyemprotan dilakukan sampai tahun kelima dikarenakan tanaman jati bila umurnya semakin besar, sering terdapat ulat, maka pemilik lahan lebih memilih untuk membiarkan saja, karena kebanyakan petani lebih mementingkan hasil yang didapat dibandingkan dengan kualitas kayu yang dihasilkan. f. Pemanenan dan Pemasaran Pemanenan yang biasa dilakukan dikenal dengan istilah sistem tebang butuh atau tebang pilih, yaitu kegiatan penebangan yang diakibatkan oleh kepentingan ekonomi yang mendesak, seperti kebutuhan anak sekolah, hutangpiutang, dan lain-lain. Dengan cara ini petani memilih beberapa tegakan berdasarkan kriteria diameter yang telah mencapai ukuran diameter tertentu, walaupun belum masak tebang. Cara ini sebenarnya tidak baik untuk lahan hutan rakyat, karena pemanenan menjadi sering dilakukan, yang menyebabkan lahan menjadi rusak. Semua responden menjawab memanen kayu ketika pohon masih berdiri, yang dilakukan oleh pihak pembeli atau tengkulak yang datang langsung ke areal hutan rakyat setelah adanya kesepakatan harga dengan petani. Cara pemanenan seperti ini memiliki keuntungan dan kerugian bagi petani. Keuntungannya adalah petani tidak menanggung biaya penebangan, biaya pemasaran, dan resiko kerusakan kayu yang terjadi akibat proses penebangan. Sedangkan kerugiannya adalah petani berada dalam harga tawar yang rendah, karena kurangnya informasi tentang harga kayu dan tingkat harga dikuasai oleh tengkulak. Berdasarkan wawancara sebesar 29,9% memperoleh harga kayu dari petani lain dan hanya
67
6,67% memperoleh harga kayu yang berasal dari harga jual dasar Perhutani. Sisanya memperoleh harga dari para tengkulak. Untuk jenis tanaman hasil tumpangsari seperti kopi dan coklat dipanen setiap 3–4 bulan, sehingga dalam setahun dapat dipanen sebanyak 4 (empat) kali. Sementara untuk pisang menunggu kurang dari setahun, dapat dipanen dua kali seminggu. Pada masing-masing pohon terdapat 1–2 sisir dengan jumlah maksimal sekitar 20–25 buah. Untuk jahe dapat dipanen pada umur 1 (satu) tahun. Untuk menjual pemasaran tanaman kehutanan para tengkulak menjual kepada penampung kayu atau log, sedangkan untuk tanaman hasil tumpangsari sistem pemasaran yang dilakukan petani adalah ada yang dijual langsung ke pasar, ada yang dijual ke tetangga dan adapula pembeli datang langsung ke rumah untuk membeli hasil produknya.
Gambar 25 Ilustrasi tempat penampungan kayu di Kabupaten Jepara.
5.6.3 Kelembagaan Kelompok Tani Pengelolaan hutan rakyat di Desa Damarwulan dan Desa Clering didukung oleh keberadaan kelompok tani hutan. Kelompok tani hutan berfungsi sebagai wadah bagi para petani pengelola hutan rakyat dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan informasi anggota kelompok tani tentang cara mengelola hutan rakyat dengan benar. Kelompok tani hutan di Desa Damarwulan dan Desa Clering sudah dirasakan manfaatnya oleh anggota-anggotanya. Kelompok tani hutan dikedua desa tersebut digunakan sebagai wadah bagi para petani dalam memberikan informasi, saling belajar, dan berbagi pengalaman. Petugas penyuluh
68
lapang dari Dinas Kehutanan dan perkebunan juga selalu memberikan penyuluhan setiap bulan. Sedangkan di Desa Suwawal, kelompok tani hutannya sudah tidak berjalan lagi. Kelompok Tani Hutan Langgeng Makmur VI yang berada di Desa Damarwulan pada tahun 2005 berhasil menjuarai lomba penghijauan tingkat kabupaten dan tingkat provinsi sebagai juara I.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Hutan rakyat di Kabupaten Jepara sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan oleh masyarakat, selain sebagai investasi ternyata juga dapat memberi tambahan penghasilan yang dapat diandalkan. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan, kecamatan yang berpotensi untuk lebih diarahkan pengembangan hutan rakyat jenis jati adalah Kecamatan Mayong, Bangsri, Pakis Aji, dan Donorojo. Potensi kayu rakyat jati sampai tahun 2010 adalah sebesar 22.718 m³, dimana yang terbesar berada di Kecamatan Donorojo dan yang paling kecil di Kecamatan Pecangaan. Potensi hutan rakyat yang ada saat ini, bila sudah masak tebang diharapkan mampu mendukung pasokan bahan baku industri di wilayah Kabupaten Jepara. Hasil pendugaan potensi Kabupaten Jepara sejak penanaman sampai dengan daur 25 tahun berdasarkan tahun tanam yang berbeda yaitu sebesar 488.120 m³. Pendapatan yang dihasilkan pada setiap tegakan sampai umur tebang (25 tahun) dengan tahun penanaman yang berbeda seluruhnya adalah sebesar Rp 1.210.251.367.487, dimana kecamatan yang memiliki pendapatan yang paling besar adalah kecamatan yang juga memiliki potensi terbesar, yaitu Kecamatan Donorojo. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan di tiga desa penelitian meliputi pemilihan jenis tanaman, persiapan lahan, penyediaan bibit, penanamana, pemupukan, dan pemeliharaan.
6.2 Saran Saran dalam penelititan ini di antaranya adalah perlunya dukungan seluruh pemangku kepentingan agar pengembangan budidaya hutan rakyat dapat mendorong meningkatnya perekonomian daerah secara keseluruhan dan perlu ditingkatkan kembali tentang kelembagaan kelompok tani hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Awang S. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Pustaka Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta. 2002. Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2009. http://www.google.co.id [28 Juli 2010]. Barus V. 1997. Hutan Rakyat, Hutan Untuk Masa Depan. Yayasan Lestari Budaya. Jakarta. Darusman D dan D. Suharjito 1998. Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Institut Pertanian Bogor. Departemen Kehutanan 1990. Peta Kesesuaian Agroklimat Pengembangan Hutan Tanaman Industri Sengon (Albazia falcataria) di Pulau Jawa. Jakarta: Kerjasama Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. . 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. . 1995. Hutan Rakyat. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. . 2001. Hutan Rakyat. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara. 2009. Statistik Kehutanan Tahun 2009. Jepara. Direktorat Hutan Tanaman Industri. 1991. Teknik Pembuatan Tanaman Jati. Diterbitkan oleh Pusat Penyuluhan Kehutanan. Departemen Kehutanan Jakarta. Direktorat Jenderal RRL (Dirjen RRL). 1976. Pedoman Penanaman Mahoni
(Swietenia macrophylla King). Departemen Pertanian. Jakarta. 1995. Peranan Pembangunan Hutan Rakyat Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Mutu Lingkungan. Makalah Dalam Rangka Seminar Nasional Hutan Rakyat Menuju Modal Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan; Jakarta, 29 Agustus 1995.
Djajapertjunda S. 2003. Mengembangkan Hutan Milik di Jawa. Alqaprint Jatinangor. Bandung.
Gordon G. 1989. System Simulation. Edisis Ke-2. New Delhi : Prentice-Hall of India Private. Grant William E. Pedersen, and Sandra L. 1997. Ecology and Natural Resource Management System Analysis and Simulation. Toronto : John Willey and Son Inc. Hardjanto 1990. Pengembangan Kebijakan Ekonomi dalam Pelestarian Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 2000. Pengusahaan hutan rakyat di jawa. Di dalam: Didik Suharjito, penyunting. Hutan rakyat di jawa peranannya dalam perekonomian desa. Bogor: Program Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Harjowigeno S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Managemedn Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 1993. Klasifikasi Tanah dan Morfologi. Akademi Press. Jakarta. Hendayana R. 2003. Aplikasi Metode Location Quetient (LQ) dalam Penentuan Komoditas
Unggulan
Nasional.
Informatika
Pertanian
12:1-21.
http//www.litbang deptan.go.id [20 Juli 2010]. Hermawan H. 1997. Model Pertumbuhan Peninggi Tegakan Jati di Pulau Jawa [tesis]. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Himmah B, S Riyanto, dan W.T. Widayati 2005. Kajian
Potensi Hutan Rakyat
dan Analisis Interaksi Masyarakat dengan Sumberdaya Alam di Kabupaten Boyolali. Jurnal Hutan Rakyat Volume VII No. 2/2005. Pusat Kajian Hutan Rakyat Bagian Mananjemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Khairul A Nia T. 2002. Mengebunkan Jati Unggul. PT. Agro Media Pustaka. Jakarta. Kuncahyo B. 1984. Penerapan Multiphase Sampling Pada Pendugaan Kurva Pertumbuhan Diameter Pohon Jati. [Skipsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
2006. Model Simulasi Pengaturan Hasil Lestari yang Berbasis Kebutuhan Masyarakat Desa Hutan. [Disertasi]. Pasca Sarjana. IPB. Lembaga Penelitian IPB. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Bogor. Manan S. 1994. Mengapa Hutan Produksi Campuran. Makalah pada Diskusi Panel Tentang Landscaping HPHTI, 27 Juni 1994. Ditjen Pengusahaan Hutan. Jakarta. Mindawati 2001. Aspek Silvikultur Jenis Khaya, Mahoni, dan Meranti. Makalah Seminar. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian 6 Desember 2001. Pengembangan Jenis Tanaman Potensial. Balibanghut. Bogor. Prabowo A. 2000. Hutan Rakyat : Sistem Pengelolaan dan Manfaat Ekonomis (Kasus di Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah) dalam Hutan Rakyat di Jawa; Perannya dalam Perekonomian Desa. Penyunting Didik Suharjito. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Purnomo H. 2004. Sistem Kompleks, Pemodelan dan Manajemen Sumber Daya Alam Secara Kolaboratif dan Adaptif (Lecture Notes). Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Samingan T. 1982. Dendrologi. Gramedia. Jakarta Simon H. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Aditya Media. Demangan Kidul. . 1994. Pengaturan Hasil Hutan. Diktat Mata Kuliah Perencanaan Hasil Hutan. Penerbit Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. . 1995. Pokok-pokok Pikiran Tinjauan Ekonomi Pengembangan Hutan Rakyat, Dalam Proceeding Seminar Pengembangan Hutan Rakyat. Bangkinang, Riau. 10-11 April 1995, Riau. Sofiyuddin M. 2007. Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan mahoni yang Tersertifikasi Untuk Perdagangan Karbon [skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Suhendang E. 2002. Pengantar Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sukadaryati 2006. Potensi Hutan Rakyat Di Indonesia dan Permasalahannya. Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Hasil
Hutan
Bogor.
http://www.dephut.go.id/files/HR_Permasalahan.pdf&w=potensi+hutan+r akyat [15 Juli 2010]. Sulistyowati A. 2000. Cara Berpikir Sistem dan Penerapan . Jakarta Sumarna Y. 2003. Budi Daya Jati. Penebar Swadaya. Bogor. Sutarahardja S. 1997. Metoda Petak Berubah (Tree Sampling) dalam Pendugaan Volume Tegakan Hutan Tanaman. Laboratorium Inventarisasi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. ____________. 1999. Metoda Sampling dalam Inventarisasi Hutan. Laboratorium Inventarisasi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tiryana Tatang. 2003. Analisis Regresi Linier dengan Program Minitab For Windows. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Umar H. 2003. Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa. PT. Ghalia Indonesia : Jakarta. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Zein AS. 1997. Aspek Pembinaan kawasan Hutan dan stratifikasi Hutan Rakyat. Penerbit Rineka cipta. Jakarta. Wahana Lingkungan Hidup. 2004. Sistem Hutan Kerakyatan. BPFE Yogyakarta. Edisi Kedua. Yogyakarta. Wahyuningsih L. 1993. Peran Hutan Rakyat Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Terhadap Pendapatan Masyarakat di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.
23
Lampiran 1 Peta kawasan Kabupaten Jepara
74
75
Lampiran 2 Potensi Jati untuk seluruh kecamatan tahun 2010
No
Kecamatan
Umur Tanam (Tahun)
1 Donorojo
10 8 7 6 5 4 3 2 Jumlah
2 Keling
15 12 10 8 7 5 4 3
209,25 0,05 0,25 0,55 4,25 4,00 9,00 3,50 33,80
198.587 31 169 435 3.606 3.462 7.841 3.076 30.910
6 5 3
55,40 2,00 3,00 52,00
49.530 1.844 2.775 39.616
7 6 5 4 3 2
57,00 41,00 20,00 33,00 14,00 53,50 2,70
44.235 35.360 15.486 31.305 11.900 54.976 2.576
10 8 7 6 5 4 3
164,20 2,75 2,70 3,50 3,95 0,30 4,00 1,50
151.603 3.586 3.580 4.592 5.310 410 5.450 2.040
6
18,70 27,30
24.968 14.330
Jumlah 3 Kembang
Jumlah 4 Bangsri
Jumlah 5 Mlonggo
Jumlah 6 Pakis Aji
Hutaan Rakyat Swadaya dan Pembangunan Luas Jumlah Diameter Tbc Volume (Ha) Batang (cm) (m) (m³) 0,65 535 17,6 7,8 77,21 1,05 946 15,2 6,8 87,53 30,50 27.889 13,5 6,2 1.893,89 49,40 46.888 12,2 5,8 2.377,84 48,30 46.357 10,2 5,2 1.490,92 31,85 30.396 8,4 4,6 584,87 40,00 38.491 6,0 4,2 345,05 7,50 7.085 4,3 3,2 25,52 19,8 18,2 17,0 14,6 12,7 9,6 7,7 5,6 11,2 9,4 5,5 12,7 11,2 9,5 7,6 5,5 4,0 16,9 14,2 12,5 11,0 9,5 7,5 5,5 11,3
9,0 8,3 7,2 6,2 5,8 4,7 4,2 3,7
6.882,87 6,51 27,51 53,93 280,48 192,05 203,58 45,04 213,69
5,0 4,6 3,6
1.022,83 68,90 67,20 259,16
5,8 5,1 4,8 4,2 3,6 2,7
395,28 1938,53 592,69 806,61 168,73 355,92 6,63
7,0 5,9 5,5 5,0 4,5 4,0 3,5
3.868,81 425,47 255,19 235,12 191,40 9,92 73,06 12,45
5,0
1.202,64 547,98
76
5 4
28,40 12,90
15.989 6.944
9,7 7,6
4,6 4,1
406,78 97,74
Lampiran 2 Potensi Jati untuk seluruh kecamatan tahun 2010 (lanjutan) No
Kecamatan
Umur Tanam (Tahun) 3 2 Jumlah
7 Jepara
12 10 8 7 6 5 4
96,10 1,25 0,70 2,65 3,20 4,12 2,05 2,03
62.199 1.600 915 3.725 4.510 5.790 2.180 2.080
8 7 6 5 4 3 2
16,00 7,40 4,30 6,00 6,60 7,20 3,00 3,80
20.800 9.676 5.883 7.935 8.837 9.789 4.101 5.316
10 8 6 5 4 3 2
38,30 7,50 8,50 6,00 11,00 21,00 36,50 5,50
51.537 6.240 7.240 5.201 9.619 20.332 34.295 5.041
10 8 7 6 5
96,00 5,00 8,50 10,00 13,50 15,00
87.968 2.495 4.322 5.708 7.084 7.971
10 8 5
52,00 1,00 1,50 6,30
27.580 648 1.014 4.450
Jumlah 8 Tahunan
Jumlah 9 Batealit
Jumlah 10 Kedung
Jumlah 11 Pecangaan
Hutaan Rakyat Swadaya dan Pembangunan Jumlah Diameter Tbc Volume Luas (Ha) Batang (cm) (m) (m³) 20,00 17.816 5,5 3,5 110,27 7,50 7.120 3,7 2,4 13,90 16,5 15,8 13,1 11,4 9,9 8,8 6,8 13,5 11,7 10,1 9,0 7,0 4,9 3,0
7,4 6,4 5,5 5,0 4,5 4,0 3,6
1.176,69 191,59 87,18 205,99 173,91 151,60 39,99 20,19
5,7 5,2 4,8 4,2 3,7 3,2 2,2
870,47 602,12 249,50 232,36 180,62 107,41 18,48 6,31
7,2 6,1 5,2 4,7 4,1 3,6 2,7
1.396,82 753,25 549,01 193,85 238,91 279,87 221,41 12,37
6,5 5,7 5,1 4,6 4,0
2.248,71 243,05 258,24 228,25 195,28 152,48
6,5 5,6 4,0
1.077,32 62,64 59,84 84,00
. 16,8 14,4 10,9 9,5 7,5 5,5 3,9 15,9 13,3 11,5 10,1 8,9 16,0 13,0 9,0
77
4 3 2 1
5,00 4,90 5,50 3,90
3.573 3.532 4.018 2.898
7,0 5,0 3,0 1,3
3,6 3,0 2,1 1,3
35,45 13,48 3,92 0,39
Lampiran 2 Potensi Jati untuk seluruh kecamatan tahun 2010 (lanjutan) No
Kecamatan
Umur Tanam (Tahun) Jumlah
12 Kalinyamatan
10 6 5 3 2 Jumlah
13 Nalumsari
12 10 8 6 5 2
15,72 0,21 0,18 0,95 0,38 1,11 29,92
21.815 250 235 1.285 515 1.535 42.405
12 8 6 5 4 3 2
32,74 2,00 5,00 8,00 38,00 9,50 25,00 4,50
46.225 976 2.561 4.185 20.002 5.085 13.593 2.474
8 6
92,00 6,00 2,00
48.876 4.101 1.398
8,00
5.499
Jumlah 14 Mayong
Jumlah 15 Karimunjawa Jumlah
Hutaan Rakyat Swadaya dan Pembangunan Jumlah Diameter Tbc Volume Luas (Ha) Batang (cm) (m) (m³) 28,10 20.133 259,77 0,30 370 16,7 6,9 42,42 3,95 5.215 11,0 5,0 187,64 4,92 6.710 9,7 4,5 167,93 3,05 4.405 5,4 3,4 26,02 3,50 5.115 3,5 2,4 9,17 17,5 16,6 14,0 10,9 9,3 5,4 17,6 14,2 11,3 9,6 7,5 5,4 3,7 13,7 10,4
7,8 6,8 5,9 5,0 4,5 3,4
433,19 35,59 26,47 88,48 18,22 35,74 250,10
7,9 5,9 5,1 4,5 4,1 3,5 2,6
454,62 142,30 180,67 159,36 492,63 68,52 83,13 5,10
5,5 4,8
1.131,74 253,46 42,79 296,25
78
Lampiran 5 Luas lahan kering menurut penggunaan di Kabupaten Jepara Tahun 2008
No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Pakis Aji Bangsri Kembang Keling Donorojo Karimunjawa Jumlah
Luas (Ha) 4.306,28 3.587,81 2.370,00 2.764,21 6.504,27 5.696,54 8.887,87 3.890,58 2.466,70 4.240,24 6.055,28 8.535,24 10.812,38 12.311,59 10.864,22 7.120,00 100.413,19
Hutan Rakyat 132,42 259,32 388,91 87,00 2.166,69 1.686,56 1.774,34 519,72 701,58 421,63 2.049,00 990,47 1.060,55 2.579,97 2.440,07 1.178,00 18,436.23
Bangunan Halaman 1.301,00 1.618,48 540,16 1.013,00 1.921,92 1.091,15 2.713,35 2.234,79 1.061,86 2.146,06 2.261,25 3.279,25 2.213,00 1.591,77 1.426,27 1.874,00 28.287,31
Luas Lahan Kering Menurut Penggunannya(Ha) Padang Hutan Perkebunan Tambak Rumput Negara Negara/Swasta 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 8
0 0 0 0 138,00 572,60 2.020,00 24,44 0 208,70 0 1.341,35 3.576,82 3.352,61 4.300,76 2.027,00 17.562,27
0 31,00 0 0 0 99,00 0 0 0 0 0 0 1.368,00 2.192,31 263,98 0 3.954,29
717,00 0 0 0 0 0 0 8,00 85,00 109,62 0 5,54 0 2,50 237,73 36,00 1.201,39
Kolam 0 6,00 0 1,00 0 0 0 0 0 0,55 0 0 0 0 0 2,00 9,55
Rawa
Lain-lain
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21,00 21,00
4.306,28 3.587,81 2.370,00 2.764,21 6.504,27 5.696,54 8.887,87 3.890,58 2.466,70 4.240,24 6.055,28 8.535,24 10.812,38 12.311,59 10.864,22 7.120,00 100.413,19
79
Lampiran 6 Sub model pada Stella
80
81
82
83
84
85
86
87
88
Lampiran 7 Jumlah stok batang setelah daur berdasarkan tahun penanaman Kecamatan Donorojo Keling Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Tahunan Batealit Kedung Pecangaan Kalinyamatan Nalumsari Mayong Karimunjawa Jumlah
1995 0 39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 39
1998 0 195 0 0 0 0 1.438 0 0 0 0 0 246 877 0 2.756
Jumlah Stok Batang Setelah Daur Berdasarkan Tahun Penanaman 2000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 505 817 23.779 38.516 37.658 24.833 27.881 429 3.314 3.118 0 7.017 2.729 26.353 0 0 0 1.559 2.339 0 40.420 0 0 31.967 15.593 25.729 10.916 41.712 2.807 3.031 3.930 5.557 337 4.491 1.684 0 0 0 12.154 13.309 5.765 14.034 1.158 3.063 3.704 4.793 1.786 1.681 0 0 8.308 4.828 6.736 7.410 8.084 33.682 5.847 6.627 0 4.678 8.576 16.373 28.458 2.193 3.728 4.386 5.921 6.578 0 0 585 877 0 0 3.684 2.924 2.865 351 0 0 4.470 5.614 0 3.586 211 1.105 0 439 1.298 0 35.049 0 2.193 0 3.509 16.665 4.167 10.964 0 3.509 0 1.170 0 0 0 14.085 36.573 75.711 105.094 138.001 81.961 266.689
2008 5.847 0 0 2.105 0 5.221 0 4.266 4.288 0 3.216 4.084 0 1.974 0 31.001
2009 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2.281 0 0 0 0 2.281
89
Lampiran 8 Potensi setelah daur berdasarkan tahun penanaman Kecamatan
1995 1998 Donorojo 0 0 Keling 25,48 126,51 Kembang 0 0 Bangsri 0 0 Mlonggo 0 0 Pakis Aji 0 0 Jepara 0 846,93 Tahunan 0 0 Batealit 0 0 Kedung 0 0 Pecangaan 0 0 Kalinyamatan 0 0 Nalumsari 0 143,39 Mayong 0 540,22 Karimunjawa 0 0 Jumlah 25,48 1.657,05
2000 375,49 278,49 0 0 1.810,31 0 681,67 0 3.695,95 1.324,07 347,44 223,21 122,91 0 0 8.859,54
Potensi Setelah Daur Berdasarkan Tahun Penanaman (m³) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 607,56 17.673,07 28.625,39 27.988.10 18.455,86 20.721,84 4.345,26 0 2.149,23 2.022,27 0 4.550.56 1.769,71 17.090,08 0 0 0 0 951,94 1427,90 0 24.677,91 0 0 0 19.887,71 9.701,13 16.007,17 6.791,05 25.950,59 1.309,67 0 1.955,13 2.534,43 3.584,41 217,24 2.896,49 1.086,18 0 0 0 0 8.028,16 8.791,57 3.808,28 9.270,39 3.449,05 0 1.803,33 2.180,52 2.821,71 1.051,43 989,46 0 0 0 5.044,63 2.931,34 4.090,24 4.499,26 4.908,29 20.451,19 2.590,48 0 4.188,71 0 2.957,02 5.420,84 10.348,92 17.987,86 2.710,42 0 2.251,13 2.648,14 3.575,20 3.972,21 0 0 0 0 521,36 0 0 2.189,72 1.738,02 1.702,98 1.911,53 1.355,54 0 0 2.843,68 3.571,34 0 2.281,19 2.598,15 0 645,27 0 256,06 757,94 0 20.463,61 0 0 1.350,56 0 2.160,89 10.264,24 2.566,28 6.752,79 1.215,72 0 2.012,78 0 671,06 0 0 0 0 0 22.529,69 49.877,48 70.266,89 90.709,52 54.272,36 168.436,61 20.130,28 1.355,54
90
Lampiran 9 Pendapatan setelah daur berdasarkan tahun penanaman 2005 – 2009 Kecamatan
1995 Donorojo 0 Keling 63.124.004 Kembang 0 Bangsri 0 Mlonggo 0 Pakis Aji 0 Jepara 0 Tahunan 0 Batealit 0 Kedung 0 Pecangaan 0 Kalinyamatan 0 Nalumsari 0 Mayong 0 Karimunjawa 0 Jumlah 63.124.004
Pendapatan Setelah Daur Berdasarkan Tahun Penanaman 1998 2000 2002 2003 0 931.044.832 1.506.502.778 43.822.279.618 313.344.741 689.813.486 5.323.447.675 5.008.965.295 0 0 0 0 0 0 0 49.177.327.757 0 4.487.239.894 4.849.301.285 6.287.039.351 0 0 0 0 2.095.766.747 1.692.113.007 4.462.649.386 5.396.147.949 0 0 12.489.576.678 7.257.456.718 0 9.139.853.952 10.358.427.223 0 0 3.250.126.285 5.525.744.312 6.500.252.569 0 855.596.837 1.283.916.619 0 0 553.789.193 0 0 355.419.889 304.645.619 1.599.389.499 0 1.327.663.333 0 3.319.158.332 0 0 0 4.950.514.437 0 4.092.194.709 21.904.223.104 55.668.628.224 12.3449.469.258
2004 70.979.746.957 0 2.355.478.561 23.988.461.223 8.905.679.940 19.712.900.644 6.983.250.786 10.126.683.793 7.312.548.458 8.775.870.597 0 7.053.468.679 634.678.373 5.310.653.332 1.650.506.942 173.789.928.284
91
Lampiran 9 Pendapatan setelah daur berdasarkan tahun penanaman 2005–2009 (lanjutan) Kecamatan Donorojo Keling Kembang Bangsri Mlonggo
Pendapatan Setelah Daur Berdasarkan Tahun Penanaman 2005 2006 2007 2008 69.399.519.231 45.763.309.372 51.331.953.934 10.774.516.998 11.271.309.553 4.383.413.453 42.330.534.826 0 3.533.217.842 0 61.061.437.805 0 39.581.724.990 16.792.577.689 64.169.297.480 3.238.475.007 538.889.087 7.185.187.830 2.694.445.436 0
2009 0 0 0 0 0
Pakis Aji 21.607.037.665 9.351.764.932 22.914.074.762 8.524.408.910 0 Jepara 2.593.230.524 2.438.649.887 0 0 0 Tahunan 11.139.352.172 12.152.020.551 51.078.513.964 6.413.566.402 0 Batealit 13.405.414.817 25.592.256.361 44.482.914.143 6.702.707.408 0 Kedung 9.750.378.854 0 0 0 0 Pecangaan 5.392.449.801 4.280.069.639 4.193.780.047 4.707.346.695 3.338.1832.10 Kalinyamatan 8.858.934.302 0 5.659.951.262 6.445.993.358 0 Nalumsari 1.878.647.983 0 50.722.177.070 0 0 Mayong 25.225.603.325 6.306.941.055 16.595.791.661 2.987.782.722 0 Karimunjawa 0 0 0 0 0 Jumlah 224.175.710.145 134.246.190.769 417.234.872.391 49.794.797.501 3.338.183.210
92
Lampiran 10 Peta sebaran Jati
93
Lampiran 11 Identitas responden Umur No
Responden
Luas HR Pendidikan
Pekerjaan Utama
Pekerjaan Sampingan
(Tahun)
(Ha) Desa Damarwulan, Kecamatan Keling
1
Darsilah
40
SMA
Petani
Guru tk
0,40
2
Ali solkan
48
SMP
Petani
Peternak
0,40
3
Sutiar
48
SMA
Petani
Tkg pijat
0,25
4
Surahmat
42
SD
Petani
Peternak
0,30
5
Rohman
45
SD
Petani
Peternak dan tukang gali pasir
0,50
6
Sukur
43
SMP
Petani
Buruh
0,50
7
Mahtori
54
SMP
Petani
-
0,25
8
Romlan
42
SD
Petani
Peternak
0,15
9
Kasmin
35
SD
Petani
Peternak dan pedagang
0,50
10
Surat
80
-
Petani
Peternak
0,75
11
Supadi
50
SD
Petani
Peternak
0,35
12
Salamun
54
SMP
Petani
Pedagang
0,45
13
Giyono
45
SMP
Petani
Peternak
0,50
14
Suwarno
38
SMA
Petani
Pedagang
0,75
15
Jasemu
50
SMP
Petani
Peternak
0,25
16
Mat kaseri
47
SMA
Petani
-
0,60
17
Eko. P
54
SMA
Petani
-
0,20
18
Ahmadi
36
SMP
Petani
Ppedagang
0,25
19
Jari
40
SD
Petani
-
0,70
20
Ruslan
50
SMA
Sopir
Petani
0,85
21
Suyono
41
SMA
Petani
Pedagang
0,67
22
Sobri
52
SD
Petani
-
0,56
23
Sumari
48
SD
Petani
-
0,55
24
Barnawi
55
SD
Petani
-
0,80
25
Sailan
48
SD
Petani
-
0,77
26
Dori
60
SD
Petani
-
0,55
27
Mahmudi
52
SMA
Petani
Pengukir
0,33
28
Solikin
39
SMA
Petani
-
0,35
94
29 30
Kasah Latif
45
SMP
47
SD
Petani
Petani
0,52 -
0,30
Desa Clering, Kecamatan Donorojo 1
Juari
45
SMA
Pengusaha batako
Petani
0,15
2
M. Ali.S
37
S1
Pengusaha batako
Petani
0,75
3
Sutris
51
SMP
Pengusaha genteng
Petani
0,40
4
Sardi
48
SD
Petani
-
0,40
5
Mujaimin
39
SD
Petani
-
0,15
6
Wakini
42
SD
Petani
-
0,10
7
Rasmin
55
SMP
Pengusaha batako
Petani
0,60
8
Romlah
45
SMP
Petani
-
0,75
9
Subari
32
SD
Petani
-
0,45
10
Jaeni
39
S1
Guru
Petani
0,34
11
A.untung
44
SD
Pengusaha genteng
Petani
0,30
12
Zaeni
38
SMA
Pengusaha genteng
Petani
0,40
13
Muhi
53
SD
Pengusaha genteng
Petani
0,60
14
Irene
55
SD
Petani
-
0,15
15
Kamto
56
SMP
Petani
-
0,55
16
Sunar
44
SD
Pengusaha batako
Petani
0,34
17
Sagimin
37
SMA
Pengusaha batako
Petani
0,40
18
Kalam
40
SD
Pengusaha batako
Petani
0,30
19
Wandi
39
SD
Petani
-
0,60
20
A.Syarifudin
35
S1
Guru
Petani
2,00
21
Suwono
47
SD
Petani
-
0,30
22
Roji
33
SD
Petani
-
0,40
23
Dulloh
45
SD
Petani
-
0,30
24
Legiman
48
SMA
Pengusaha batako
Petani
0,70
25
Daud
40
SMP
Petani
-
0,60
26
Giman
47
SMA
Pengusaha batako
Petani
1,00
27
Samian
44
SD
Petani
-
0,40
28
Kusnan
37
SMP
Petani
-
0,60
29
Pangtrimo
45
SMA
Pengusaha batako
Petani
0,75
95
30
Jamari
48
SMA
Pengusaha batako
Petani
0,65
Desa Suwawal, Kecamatan Mlonggo 1
Maksum
50
SMA
Pengusaha mebel
Petani
0,50
2
Darso
47
SMA
Pegawai swasta
Petani
0,20
3
Muntono
53
SMP
Petani
-
0,20
4
Mustofa
45
SMP
Petani
-
0,14
5
A.Chamid
36
S1
Pengawai swasta
Petani
1,00
6
Yusdi
44
S1
Petani
0,28
7
Jamasri
52
SMP
PNS Pengusaha pengergajian kayu
Petani
0,30
8
Kambali
55
SD
-
0,20
9
Naryo
43
SMP
petani Pengusaha pengergjian kayu
Petani
0,30
10
Karjin
44
SMP
Pedagang
Petani
0,30
11
Hadi
47
SMA
PNS
Petani
0,20
12
Komar
30
S1
PNS
Petani
0,25
13
Purwoko
35
S1
Pengrajin mebel
Petani
0,30
14
Pikin
60
SD
Petani
-
0,14
15
Sutikno
55
SMP
Petani
0,18
16
Ahmadi
57
SMP
Pedagang Pengusaha pengergajian kayu
Petani
0,20
17
Rusni
40
SMP
Pedagang
Petani
0,20
18
Sabar
45
SMA
Pengrajin mebel
Petani
0,30
19
Chamdan
33
SMA
PNS
Petani
0,28
20
Kasim
41
SMA
Pengrajin mebel
Petani
0,30
21
A.Rohim
45
SMA
PNS
Petani
0,20
22
Solikhin
35
SMA
PNS
Petani
0,20
23
Maryono
32
SMA
Pegawai swasta
Petani
0,14
24
Suntono
50
S1
Pegawai swasta
Petani
0,14
25
Sarkadi
47
SMP
Petani
-
0,20
26
Mulyono
45
SMP
Pengusaha penggergajian kayu
Petani
0,20
27
Rofii
47
S1
PNS
Petani
0,70
28
Taman
50
SMP
Petani
-
0,90
29
Yono
35
SMA
Pengrajin mebel
Petani
0,30
96
30
A.Afif
55
SMP
Pedagang
Petani
0,75
Lampiran 12 Tabel skor penilaian hasil wawancara No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Responden
Skor Penilaian A B C D E F Desa Damarwulan, Kecamatan Keling
Darsilah Ali solkan Sutiar Surahmat Rohman Sukur Mahtori Romlan Kasmin Surat Supadi Salamun Giyono Suwarno Jasemu Mat kaseri Eko .P Ahmadi Jari Ruslan Suyono Sobri Sumari Barnawi Sailan Dori Mahmudi Solikin Kasah Latif
4 4 2 3 3 3 4 3 1 3 4 4 3 2 3 2 3 3 2 1 4 3 4 1 2 3 4 3 2 2
1 Juari 2 M. Ali sofyan 3 Sutris
4 4 3
3 1 3 2 3 6 1 3 2 3 3 1 2 2 3 3 1 3 2 3 3 1 3 2 3 6 1 3 2 3 3 1 3 2 3 3 1 3 2 3 2 1 1 2 3 6 1 3 2 3 2 1 3 2 3 2 1 3 2 3 6 1 3 2 3 2 1 2 2 3 3 1 3 2 3 3 1 1 2 3 3 1 3 2 3 2 1 3 2 3 3 1 1 2 3 6 1 4 2 3 2 1 3 2 3 3 1 3 2 3 3 1 3 2 3 3 1 4 2 3 3 1 1 2 3 3 1 3 2 3 2 2 3 2 3 3 1 3 2 3 3 1 2 2 3 3 1 2 2 3 Desa Clering, Kecamatan Donorojo 5 4 4
1 1 1
3 3 2
1 1 1
3 3 3
G
H
I
J
1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3
1 1 1
1 1 1
1 1 1
97
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sardi Mujaimin Wakini Rasmin Romlah Subari Jaeni A.untung Zaeni Muhi Irene Kamto Sunar Sagimin Kalam Wandi A.Syarifudin Suwono Roji Dulloh Legiman Daud Giman Samian Kusnan Pangtrimo Jamari
4 3 3 3 4 4 2 3 2 2 4 3 3 3 3 3 3 2 1 2 2 1 3 3 4 4 3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Maksum Darso Muntono Mustofa A.Chamid Yusdi Jamasri Kambali Naryo Karjin Hadi Komar Purwoko Pikin
3 3 2 2 2 1 2 2 2 3 3 3 3 2
3 1 3 1 3 3 1 3 2 3 3 1 3 1 3 4 1 3 1 3 2 1 3 1 3 2 1 3 1 3 5 1 4 1 3 5 1 3 1 3 5 1 2 1 3 5 1 2 1 3 4 1 3 1 3 2 1 3 1 3 5 1 3 1 3 5 1 3 1 3 4 1 3 1 3 2 1 3 1 3 4 1 3 1 3 2 1 2 1 3 2 1 4 1 3 2 1 2 1 3 5 1 2 1 3 2 1 1 1 3 5 1 2 1 3 2 1 3 2 3 2 1 3 2 3 5 1 3 1 3 5 1 3 1 3 Desa Suwawal, Kecamatan Mlonggo 5 5 5 5 5 5 9 5 9 5 5 5 9 5
1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 2 1
3 2 2 2 1 2 1 3 1 2 2 2 3 3
1 1 1 2 1 1 1 1 1 4 4 1 1 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 4 2 2 2 2 2 4 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
98
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sutikno Ahmadi Rusni Sabar Chamdan Kasim A.Rohim Solikhin Maryono Suntono Sarkadi Mulyono Rofii Taman Yono A.Afif
2 2 2 2 2 3 3 1 1 1 1 1 2 2 2 3
5 9 5 9 5 9 5 5 5 5 2 9 5 2 9 5
1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1
3 1 1 3 2 3 2 2 4 4 4 1 2 3 3 3
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 2 2 2 4 2 2 2 2 2 2 2 4 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keterangan : A. Lamanya pembudidayaan tanaman hutan rakyat : 1. < 5 tahun 2. 5-10 tahun 3. 10-15 tahun 4. > 15 tahun B. Alasan yang dilakukan dalam pemilihan jenis tanaman hutan rakyat : 1. Mudah dalam pembibitan 6. Cepat tumbuh 2. Mudah dalam penanaman 7. Baik untuk konservasi 3. Mudah dijual 8. Ikut-ikutan orang lain 4. Paling menguntungkan secara ekonomi 9. Alasan lainnya ……… 5. Kecocokan kondisi lahan C. Tujuan utama dalam menanam tanamn hutan rakyat : 1. Untuk dijual kayunya 3. Untuk konservasi lahan 2. Untuk keperluan sendiri 4. Sekedar sampingan D. Yang mengusulkan dalam menanam tanaman hutan rakyat : 1. Kemauan sendiri 3. Melanjutkan warisan orang tua 2. Mengikuti anjuran pemerintah 4. Ikut-ikutan orang lain E. Waktu yang tepat untuk menanam tanaman hutan jati : 1. Apabila telah mencapai masak tebang 4. Harga tinggi 2. Sesuai kebutuhan 4. Alasan lainnya ………….. 3. Ada yang menawar F. Pada saat bertransaksi yang berperan besar dalam menentukan harga : 1. Pembeli 3. Tawar-menawar antara kedua belah pihak 2. Pedagang G. Pada saat bertransaksi harga jual kayu jati didasarkan pada : 1. Harga jual dasar Perhutani 3. Informasi dari petani lain 2. Informasi harga dari pembeli 4. Alasan lainnya ………. H. Penjualan kayu jati yang dilakukan dalam bentuk : 1. Pohon berdiri 2. Sortimen 3. Kayu gergajian I. Permasalahan yang terjadi saat menjual tanaman hutan rakyat : 1. Harga rendah (tidak sesuai harga pasar)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
99
2. Penetapan harga tidak berdasarkan kualitas kayu 3. Lemah dalam negoisasi J. Bentuk jenis hutan rakyat yang dilakukan : 1. Monokultur 2. Campuran 3. Agroforestry
Lampiran 13 Kuesioner penelitian KUESIONER PENELITIAN
KUESIONER PETANI HUTAN RAKYAT Tanggal Wawancara : ……………………. Kecamatan / Desa : ……………………. I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Responden : .................................................................................................... 2. Jenis Kelamin :L/P 3. Alamat : .................................................................................................... .................................................................................................... 4. Pekerjaan utama : .................................................................................................... 5. Pekerjaan sampingan : .................................................................................................... 6. Jumlah Anggota Keluarga : .................................................................................................... II. INFORMASI LAHAN 2.1 Status lahan dan luas lahan No. Jenis Lahan Luas yang dimiliki (m2) 1. Tanaman Hutan Rakyat 2. Kebun 3. Sawah 4. ............... 5 ............... 6 ............... Keterangan : (1) a. Milik sendiri b. Sewa (2) a. Warisan b. Pembelian c. Sewa 2.2 Jarak lahan garapan ke a Rumah : ....................m b Jalan utama : ....................m c Jalan desa : ....................m 2.3 Pengetahuan tentang Hutan Rakyat 1. Pengertian hutan rakyat menurut bapak / ibu
Status Lahan (1)
Asal Lahan (2)
c. Lain-lain (Sebutkan):__________
d. Jalan setapak e. Pasar terdekat
: ..................m : ..................m
100
2. Manfaat hutan rakyat menurut bapak / ibu
3. Sudah berapa lama bapak / ibu membudidayakan tanaman hutan rakyat ? a. < 5 th b. 5-10 th c. 10-15 th d. > 15 th 4. Apakah alasan yang dilakukan dalam pemilihan jenis tanaman hutan rakyat ? a. Mudah dalam pembibitan atau mudah dalam mendapatkan bibit b. Mudah dalam penanaman atau mudah dalam pemeliharaan c. Mudah dijual d. Paling menguntungkan secara ekonomi e. Karena kecocokan dengan kondisi lahan f. Cepat tumbuh g. Baik untuk konservasi h. Ikut-ikutan orang lain i. Alasan lainnya 5. Apakah tujuan utama dalam menanam tanaman hutan rakyat ? a. Untuk dijual kayunya b. Untuk keperluan sendiri c. Untuk konservasi lahan d. Sekedar sampingan 6. Siapakah yang mengusulkan dalam menanam tanaman hutan rakyat ? a. Kemauan sendiri b. Mengikuti anjuran pemerintah c. Melanjutkan atau warisan orang tua d. Ikut-ikutan orang lain III. Kegiatan pengolahan hutan rakyat 3.1 Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan : Tenaga kerja Upah tenaga kerja Kegiatan yang dibutuhkan (Rp/hari/borongan) (orang)
Hari orang kerja (HOK) (hari)
keterangan
3.2 Kegiatan penanaman yang dilakukan: a. Sumber bibit : alami/beli/dikasih * Jika beli, berapa harganya Rp………../bibit dan berapa jumlahnya………bibit, b. Banyaknya jumlah lubang tanam yang dibuat sebanyak..................lubang/ hari c. Jarak tanam…….m x…….m d. Apakah dilakukan pemupukan terhadap lahan sebelum penanaman?*: ya / tidak e. Jenis pupuk yang digunakan…………………….. harga Rp…………….............. Tenaga kerja Hari orang Upah tenaga kerja Kegiatan yang dibutuhkan kerja (HOK) keterangan (Rp/hari/borongan) (orang) (hari)
101
3.3 Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan Tenaga kerja Upah tenaga kerja Kegiatan yang dibutuhkan (Rp/hari/borongan) (orang)
Hari orang kerja (HOK) (hari)
IV. Sistem Pemanenan Komoditi 1. Sejak kapan bapak/ibu mengusahakan tanaman jati? a. Lebih dari 10 tahun yang lalu b. Antara 5 – 10 tahun yang lalu c. Kurang dari 5 tahun yang lalu 2. Berapa jumlah pohon jati yang ada bapak / ibu miliki? batang/ 3. Biasanya bapak/ibu menebang pada umur pohon tahun 4. Sekali memanen, biasanya berapa banyak pohon yang ditebang ? 5. Apa alasan bapak/ibu melakukan pemanenan / penebangan?
keterangan
ha
6. Apakah bapak / ibu biasanya menjual / memanfaatkan dari semua bagian dari pohon selain batang, mulai dari cabang, ranting dan tuggak pohon? a. Ya b. Tidak Jika jawaban Ya,digunakan untuk apakah bagian pohon tersebut ? a. keperluan sendiri b. dijual? jika untuk keperluan sendiri, digunakan untuk membuat apa saja ?
Jika di jual kira-kira berapa harga masing-masing bagian tersebut No Bagian pohon Diameter (cm) Harga jual
7. Menurut bapak / ibu, kapan waktu yang tepat untuk memanen / menebang jati ? a. Apabila telah mencapai masak tebang. Berapa lama tahun b. Sesuai kebutuhan c. Ada yang menawar d. Harga tinggi e. Lainnya, sebutkan 8. Pada saat melakukan transaksi siapa yang berperan besar dalam menentukan harga? a. Pembeli b. Pedagang c. Tawar-menawar antara kedua belah pihak 9. Pada saat bertarnsaksi harga jual kayu jati, darimana bapak / ibu memperoleh rujukan harga? a. Harga jual dasar Perhutani c. Informasi dari petani lain b. Informasi harga dari pembeli d. Alasan lainnya 10. Dalam bentuk apa penjualan kayu jati yang dilakukan bapak / ibu? a. Pohon berdiri b. sortimen c. kayu gergajian 11. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam kegiatan penebangan .orang. upah tenaga kerja
102
Rp /orang Berapa lama hari orang kerja (HOK) hari 12. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam kegiatan pengangkutan orang. upah tenaga kerja Rp /orang Berapa lama hari orang kerja (HOK) hari 13. Permasalahan apa yang bapak/ibu alami pada saat menjual jati kepada pedagang a. Harga rendah (tidak sesuai harga pasar) b. Penetapan harga tidak berdasarkan kualitas kayu c. Persyaratan ijin tebang/panen (SKAU) d. Persyaratan sertifikat asal kayu e. Lemah dalam negosiasi f. Alasan lainnya 14. Apakah dalam jangka waktu beberapa tahun kedepan bapak/ibu akan tetap mengusahan usaha hutan rakyat ini ? a. Yq b. Tidak 15. Kira-kira jenis usaha hutan rakyat yang dilakukan dalam bentuk seperti apa? a. Monokultur b. Campuran c. agroforestry 16. Apakah saran dari bapak/ibu agar petani tidak dirugikan dalam kegiatan pemasaran kayu jati ini