v
POTENSI DAN PENGEMBANGAN TEGAKAN HUTAN RAKYAT JATI DAN MAHONI DI JEPARA
KHAIRUL UMAM GUNAWAN
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
v
POTENSI DAN PENGEMBANGAN TEGAKAN HUTAN RAKYAT JATI DAN MAHONI DI JEPARA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
KHAIRUL UMAM GUNAWAN E14053693
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
v
RINGKASAN KHAIRUL UMAM GUNAWAN (E14053693). Potensi dan Pengembangan Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni di Jepara. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan EFI YULIATI YOVI. Sejak penelitian yang dilakukan IPB pada tahun 1976 dan UGM pada tahun 1977 tentang konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Pulau Jawa, hutan rakyat dirasakan cukup berperan penting dalam upaya menyediakan bahan baku untuk industri kayu. Jepara yang dikenal sebagai salah satu daerah penghasil meubel dan furniture terbesar di Indonesia, ternyata belum mampu memasok bahan baku industri kayunya secara swadaya. Kebutuhan akan bahan baku kayu tersebut sebagian besar dipenuhi dari luar Jepara sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hutan rakyat untuk jenis jati dan mahoni di Jepara serta mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan usaha pengembangan hutan rakyat di Jepara. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling berdasarkan luas lahan, umur pohon yang terdapat di dalam lahan contoh serta ketersebarannya, dengan mempertimbangkan akses kemudahan serta aspek waktu dan biaya dalam pengumpulan data. Lahan dipilih secara purposive dalam suatu desa yang ditentukan dengan metoda transek jaringan jalan, serta diukur dengan menggunakan metode Systematic Plot Sampling With Random Start dengan Intensitas Sampling sebesar 15% dan plot contoh berupa circular plot berukuran 0,2 ha dan 0,4 ha masing-masing untuk tanaman yang berukuran kurang dari 4 tahun dan lebih dari 4 tahun. Struktur tegakan hutan rakyat jenis jati dan mahoni yang terdapat di Kabupaten Jepara mayoritas merupakan tegakan seumur (even-aged) yang didominasi oleh tegakan muda dengan kisaran umur rata-rata 7 tahun. Dari seluruh lahan responden yang diukur, 58,07% merupakan hutan rakyat yang ditanami jati atau mahoni berumur kurang dari 5 tahun, 32,26% untuk lahan dengan umur pengelolaan jati atau mahoni antara 6-10 tahun, dan 9,67% lahan dengan umur tanaman yang sudah lebih dari 11 tahun. Kerapatan tegakan untuk jenis jati berkisar antara 494-2303 pohon per ha, dan mahoni antara 455-1442 pohon per ha, dengan kisaran volume tegakan untuk jati antara 63,30-218,23 m³ per ha dan untuk mahoni berkisar antara 131,51-205,78 m³ per ha. Motivasi usaha hutan rakyat sebagian besar yaitu sebesar 83,33% sebagai tabungan di masa mendatang agar dapat dimanfaatkan oleh anak cucu mereka, sementara 10% terorientasi untuk usaha di bidang perkayuan, 3,33% untuk dikonsumsi sendiri dan serta 3,33% lainnya coba-coba. Sistem pengelolaan hutan rakyat, dari segi penanaman sudah dikenal sistem jarak tanam serta bibit umumnya didapat dengan cara membeli. Tidak ada perlakuan khusus dalam pemeliharaan selain pemberian pupuk sebanyak 1 atau 2 kali setahun. Untuk pemanenan dan pemasaran yaitu dengan sistem jual tegakan. Secara umum petani lahan di sana baru pertama kali melakukan usaha hutan rakyat jati atau mahoni. Kata kunci: hutan rakyat, jati, mahoni
v
SUMMARY KHAIRUL UMAM GUNAWAN (E14053693). Potential and Development of Forest Stands of Teak and Mahogany in Jepara. Supervised by HERRY PURNOMO dan EFI YULIATI YOVI. Since the research that was done by IPB in 1976 and UGM 1977 about construction timber and firewood consumption in Java Island, the village plantation is realized to be very important as an effort to provide raw materials for wood industry. Jepara that known as one of the largest region in producing meubel and furniture in Indonesia is not able to supply raw materials of timber for industry it self. The need for raw materials mostly supplied from outside of Jepara. The objective of this research was to identify the potential of village plantation i.e. teak and mahogany species in Jepara and several matters related to village plantation development efforts in Jepara. This research was done by using purposive sampling method based on land size, age of trees within the sample area and its spreadness, with taking into consideration on the accessibility as well as time and cost constraint in data collection. The land was selected purposively in a village which is determined by transect of road network method, and measured by using Systematic Plot Sampling with Random Start method with sampling intensity in the amount of 15% and example plot shaped of circular plot have a measurement of 0,2 ha and 0,4 ha and each for under-sized plants 4 years and no less under 4 years. Standing stock structure of teak and mahogany on village plantation that located in Jepara district stands remain majority of even-aged dominated by the young age range of stands with an average of 7 years. From all the lands of respondents which measured 58,07% was planted teak or mahogany woods less than 5 years old; 32,26% with teak or mahogany age between the 6-10 years.; and 9,67% with more than eleven year old plants. Stands density for the teak ranged from 494-2303 trees/ha, and for mahogany ranged from 455-1442 trees/ha. The range of teak standing volume between 63,30-218,23 m3/ha and for mahogany between 131,51-205,78 m3/ha. Business motivation of the people most of the village plantation that is equal 83,33% as savings in the future to use for their children and grandchildren, while 10% oriented to business in timber field, 3,33% for own consumption and other 3,33% for trial and error. Management system for village plantation, in terms of planting already known of seed spacing system is and for seedline usually obtained by way of purchase. There is no special treatment in the maintenance of the plants other than fertilizing in once or twice a year. For harvesting and marketing are by stands selling system. In general, it was the first time for the farmers in Jepara by doing business village plantation of teak or mahogany. Keywords: village plantation, teak, mahogany
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi dan Pengembangan Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni di Jepara adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010 Khairul Umam Gunawan NRP E14053693
v
Judul Penelitian
: Potensi dan Pengembangan Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni di Jepara
Nama
: Khairul Umam Gunawan
NRP
: E14053693
Menyetujui: Dosen Pembimbing, Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp
Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc
NIP. 19640421 198803 1 002
NIP. 19740724 199903 2 003
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus :
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada 20 Januari 1988 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Ir. H. Umar Hamzah, M.Ma dan Hj. Dewi Sri Suryani. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 49 Jakarta Selatan dan pada tahun yang sama melanjutkan studinya dengan masuk Institut Pertanian Bogor melalui tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), kemudian masuk Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan pada tahun kedua. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di keanggotaan organisasi Music Agriculture Xpression (MAX!!!) periode 2006-2007. Penulis juga tergabung dalam kepanitiaan Temu Manajer (TM) Departemen Manajemen Hutan (2007), melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Linggarjati dan Indramayu (2007), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan KPH Cianjur, Unit III Jawa Barat (2008) serta Praktik Kuliah Lapang (PKL) di IUPHHK HT PT. ARARA ABADI di Kabupaten Siak, Riau (2009). Penulis pernah membela tim basket Fakultas Kehutanan untuk kejuaraan Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) 2007 dan 2008 serta tim futsal Fakultas Kehutanan untuk kejuaraan OMI 2008. Penulis juga menjadi asisten lab untuk mata ajaran Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ketiga di IPB, dan asisten dosen untuk mata ajaran Analisis Biaya Pengelolaan Hutan pada tahun berikutnya. Selain itu penulis juga pernah tergabung dalam tim asisten IPB sebagai konsultan IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera untuk melakukan studi diagnostik dan High Conservation Value of Forest (HCVF) di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Potensi dan Pengembangan Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni di Jepara di bawah bimbingan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc.
v
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam juga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan pada bulan Mei 2009 ini berjudul Potensi dan Pengembangan Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni di Jepara dengan tujuan untuk menghitung potensi tegakan hutan rakyat jenis jati dan mahoni di Jepara serta mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan usaha pengembangan hutan rakyat. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2010 Penulis
v
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc selaku dosen pembimbing skripsi, atas segala bimbingan pengarahan, motivasi, kesabaran, biaya dan waktu yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Mas Agus beserta keluarga di Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara yang telah membantu penelitian penulis dalam penyediaan tempat tinggal, fasilitas, serta memberikan dukungan moril. 3. Seluruh keluarga, terutama Ayahanda, Ibunda, dan Saudara penulis yang tak pernah lelah memberikan kasih sayang, dukungan moril dan materil, serta kepercayaan dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan atas dukungan dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. 5. Rekan-rekan satu angkatan Departemen Manajemen Hutan 42 atas kebersamaan dan cerita indah yang pernah tergores dan akan selalu terkenang dalam hati. 6. Rekan-rekan mahasiswa seluruh angkatan Fakultas Kehutanan, dan angkatan 42 khususnya. 7. Teman-teman asrama, kontrakan dan kost penulis selama di Bogor. 8. Seluruh elemen civitas Fakultas Kehutanan. 9. Seluruh pihak-pihak terkait yang belum disebutkan yang turut membantu dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini.
Bogor, Juni 2010 Penulis
v
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...............................................................................
ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vii
BAB I.
PENDAHULUAN .....................................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................
2
1.3. Manfaat Penelitian ..............................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
4
2.1. Hutan Rakyat .......................................................................
4
2.2. Potensi Tegakan Hutan .......................................................
7
2.3. Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn. f.) .................
9
2.4. Tinjauan Umum Mahoni Daun Besar (Swietenia macrophylla King) ...............................................................
11
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................
13
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..............................................
13
3.2. Bahan dan Alat ....................................................................
13
3.3. Jenis Data ............................................................................
13
3.4. Metode Pengumpulan Data .................................................
13
3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...............................
14
BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...........................
16
4.1. Letak dan Kondisi Wilayah Geografis ................................
16
4.2. Ketinggian Tempat dan Solum Tanah .................................
18
4.3. Jenis dan Tekstur Tanah ......................................................
18
4.4. Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................
19
4.4.1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ............................................................
19
4.4.2. Keadaan Umum Penduduk Berdasarkan Mata Mata Pencaharian ......................................................
19
4.4.3. Tingkat Pendidikan ...................................................
19
v
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
21
5.1. Kondisi Umum Tegakan Hutan Rakyat ..............................
21
5.2. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ......................................
23
5.3. Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat ........................................
24
5.4. Pengembangan Hutan Rakyat .............................................
29
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................
32
6.1. Kesimpulan .........................................................................
32
6.2. Saran ...................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
33
LAMPIRAN ...............................................................................................
35
v
DAFTAR TABEL .
Halaman
1 Pembagian Wilayah Berdasarkan DAS / Sub DAS Kabupaten Jepara .....................................................................................................
17
2 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat jenis jati ......................................
24
3 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat jenis mahoni ...............................
24
4 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat jenis jati dan mahoni ..................
25
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta wilayah Kabupaten Jepara ...............................................................
16
2 Peta sebaran desa wilayah penelitian ......................................................
21
3 Sebaran kelas diameter pada berbagai kelas umur untuk jenis jati .........
26
4 Sebaran kelas diameter pada berbagai kelas umur untuk jenis mahoni ..
26
5 Sebaran kelas diameter pada berbagai kelas umur untuk jenis jati ......... dan mahoni ..............................................................................................
27
6 Perbandingan kerapatan tegakan per hektar antara jenis jati dan Mahoni .....................................................................................................
28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cukup banyak rumah tangga yang mengusahakan hutan rakyat di Indonesia. Badan Pusat Statistik (2003) dalam Anonim (2004) menyatakan untuk sub sektor kehutanan, data dari hasil listing yang mencakup kegiatan pendaftaran bangunan dan rumah tangga menunjukan bahwa rumah tangga yang mengusahakan tanaman kehutanan (hutan rakyat) cukup besar, yaitu sekitar 3,43 juta. Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m³ dengan luas 1.568.415,64 ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian pada tahun 2003 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m³ dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019 batang, dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang (Anonim 2004). Menurut Darusman dan Hardjanto (2006) dalam Anonim (2006) hutan rakyat telah sejak puluhan tahun yang lalu diusahakan dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga masyarakatnya dan lingkungannya. Sekalipun demikian pada awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang diminati oleh para birokrat, peneliti maupun ilmuwan pada umumnya, hingga adanya temuan hasil penelitian IPB pada tahun 1976 dan UGM pada tahun 1977 tentang konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa yang ternyata sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat, bahwa 70% konsumsi kayu pertukangan dan 90% konsumsi kayu bakar di Jawa dipenuhi dari kayu rakyat. Hasil penelitian tersebut ternyata mengejutkan banyak pihak yang berkecimpung di dunia kehutanan. Sejak saat itu kayu rakyat tersebut menjadi bahan yang tidak ditinggalkan dalam berbagai macam pembicaraan mengenai konsumsi kayu (Hardjanto 2003).
2
Sejak saat itu muncul keyakinan bahwa hutan rakyat menyimpan potensi yang sangat berarti dalam percaturan pengelolaan hutan nasional. Hal tersebut antara lain ditunjukkan oleh dimasukkannya hitungan potensi hasil hutan rakyat dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin bertambah sejak disadarinya terjadi penurunan potensi hutan negara secara pasti, baik yang berasal dari hutan alam maupun tanaman (Darusman dan Hardjanto 2006 dalam Anonim 2006). Jepara yang dikenal sebagai salah satu daerah penghasil meubel dan ukiran terbesar di Indonesia, menurut Roda et al (2007) dalam Yovi, Bachruni dan Nurrochmat (2009) didominasi oleh unit-unit industri skala kecil, yaitu sebanyak 14.921 unit dari 15.271 unit industri meubel yang ada di sana. Namun kenyataannya sebagian besar unit-unit industri tersebut tidak memasok bahan baku industri mereka dari Jepara sendiri. Menurut Yovi, Bachruni dan Nurrochmat (2009) 15% dari industri skala kecil tersebut mendapatkan bahan baku kayu jati dari Perum Perhutani, 48% dari hutan rakyat jati, dan sisanya tidak teridentifikasi. Hanya 10% dari total responden yang mengonsumsi mahoni, dimana 50% diantaranya dipasok dari Perum Perhutani. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar potensi kayu rakyat untuk jenis jati dan mahoni yang ada di Kabupaten Jepara, dengan urgensi melihat kemampuan Jepara memasok bahan baku industri secara swadaya dalam waktu dekat.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menghitung potensi tegakan hutan rakyat jenis jati dan mahoni di Jepara. 2. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan usaha pengembangan hutan rakyat.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, antara lain: 1. Dari sisi akademik, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi dan pengembangan hutan rakyat sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut di lokasi penelitian.
3
2. Memberikan masukan kepada penentu kebijakan dalam pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat. 3. Memberikan sumbangan bagi petani dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan usaha hutan rakyat.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat Berbagai pihak mendefinisikan pengertian hutan rakyat secara berbeda, baik dengan sebutan hutan rakyat, hutan masyarakat, hutan milik maupun kebun rakyat. Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan berdasarkan pemilikannya dibagi menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara merupakan kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan lazim disebut hutan rakyat (Hardjanto 2003). Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50% (Kepmenhut 369/Kpts-V/2003) dalam Winarto (2006). Menurut Departemen Kehutanan (1990) dalam Winarto (20060, hutan rakyat merupakan lahan rakyat atau milik adat atau ulayat yang secara terus-menerus diusahakan untuk usaha perhutanan, yaitu jenis kayu-kayuan, seperti pinus, albizia dan lain-lain, baik yang tumbuh secara alami atau pun buatan. Dala dan Adijaya (2002) mengatakan bahwa hutan rakyat terdiri atas dua macam, yakni kawasan hutan yang karena status hak tanah atau alasnya diberi status oleh pemerintah (daerah) sebagai hutan milik masyarakat dan kawasan hutan negara yang diklaim oleh masyarakat sebagai hutan (hak) adat. Tim Arupa (2001) dalam Sofiyuddin (2007) menyatakan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik perseorangan maupun bersama-sama atau badan hukum dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pengelolaan hutan rakyat berorientasi pada kawasan yang sempit dengan lebih menekankan pada pengelolaan pohon per pohon, sehingga setiap individu pohon mendapat perhatian yang khusus. 2. Penebangan pohon dilakukan apabila pohon telah mencapai umur tertentu dan ukuran fisik yang cukup besar, sehingga sudah siap diserap oleh pasar kayu setempat. Pada hutan rakyat umur tebang kurang diperhatikan, seperti pada
5
hutan negara, akan tetapi lebih menekankan pada umur tebang rata-rata pohon yang akan ditebang. 3. Penebangan pohon di hutan rakyat biasanya dilakukan tanpa pengukuran diameter dan tinggi pohon serta tidak dilakukan perhitungan volume pohon atau volume tegakan, yang biasanya dilakukan untuk mengetahui besarnya produksi yang dihasilkan. Secara umum hutan rakyat adalah hutan milik dan berada di luar kawasan hutan negara, dari batasan ini hutan rakyat memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Tidak merupakan kawasan yang kompak, tetapi terpencar-pencar di antara pedesaan lainnya. 2. Bentuk usaha tidak selalu murni berupa usaha bercocok tanam pohon-pohonan, adakalanya terpadu atau dikombinasikan dengan cabang-cabang usaha tani lainnya (perkebunan, peternakan, pertanian pangan dan lain-lain). Hutan rakyat menunjukkan pada pengelolaannya, yakni rakyat dengan kasus hutan pada tanah miliknya yang bervariasi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Istilah untuk hutan rakyat berbeda-beda antar kelompok masyarakat, ada talun, leuweng, wono, lembo, simpung, repong, tombak dan lain-lain. Beberapa faktor telah mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa, faktor ekologis, ekonomi, dan budaya, hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (Suharjito 2000). Berbagai penelitian di pulau Jawa mengenai hutan rakyat telah banyak dilakukan. Menurut penelitian Hardjanto (2000) di Jawa, bahwa pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total dan diusahakan dengan cara yang masih sederhana. Dengan kontribusi sebesar itu serta jumlah pendapatan yang tidak dapat diterima secara kontinu, menunjukkan hutan rakyat belum menjadi tumpuan penghidupan rumah tangga petani. Lembaga Penelitian IPB (1990) mengatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat dengan sistem silvikultur belum sepenuhnya diterapkan, seperti penggunaan bibit unggul, pengaturan jarak tanam dan pemeliharaan sehingga pertumbuhan pohon dan mutu batang yang dihasilkan kurang baik. Dalam sistem pemanfaatan hasil,
6
pada umumnya masih belum ada usaha kayu untuk pengelolaan lebih lanjut, dan walaupun ada masih menggunakan alat-alat yang sederhana. Kurangnya pengetahuan rakyat dalam mengolah kayu menyebabkan mutu kayu olahan yang dihasilkan seringkali masih rendah dan banyak menghasilkan limbah. Tiga tujuan pengelolaan hutan rakyat yaitu: 1. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan petani hutan rakyat secara berkesinambungan. 2. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan kualitas linkungan secara berkesinambungan. 3. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan. Pengusahaan hutan rakyat dalam perekonomian pedesaan memegang peranan penting, baik bagi petani pemilik hutan rakyat maupun untuk tumbuhnya industri pengolahan kayu rakyat. Meskipun demikian, sampai saat ini masih banyak diterapkan apa yang disebut ’daur butuh’, yakni umur pohon yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan pendapatan. Di masa mendatang sistem pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah menjadi sistem pemanenan yang terencana karena semakin meningkatnya permintaan dari industri-industri pengolahan kayu yang berada dekat di daerah sekitar hutan rakyat, seperti industri penggergajian dan meubel. Permintaan kayu rakyat dirasakan semakin meningkat sejak pemerintah memberlakukan moratorium atau jeda balak. Dengan adanya kebijakan tersebut maka pasokan kayu dari hutan negara ke industri pengolahan kayu juga semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini, hutan rakyat muncul menjadi salah satu alternatif sumber pasokan bahan baku kayu (Anonim 2004). Usaha tanaman kehutanan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman kehutanan (kayu) dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Sebuah rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga kehutanan apabila rumah tangga tersebut memelihara/menguasai tanaman kehutanan. Yang dimaksud dengan dikuasai, bisa berasal dari milik sendiri maupun berasal dari pihak lain. Sedangkan jumlah pohon seluruhnya adalah seluruh pohon baik yang sudah siap tebang ataupun yang masih muda. Pohon siap tebang adalah pohon yang sudah
7
dapat dimanfaatkan hasilnya sebagai kayu pertukangan atau sebagai bahan baku industri. Sebuah rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga usaha BMU apabila jumlah pohon siap tebang yang diusahakan oleh rumah tangga kehutanan lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha. Batas Minimal Usaha (BMU) adalah jumlah pohon minimal yang dikuasai dan diusahakan oleh rumah tangga kehutanan sebagai syarat untuk dapat dikategorikan sebagai rumah tangga usaha BMU atau apabila nilai produksi kotornya lebih besar atau sama dengan Rp.700.000,- per tahun. Adapun BMU per jenis tanaman kehutanan (hutan rakyat) untuk jenis jati yaitu 1 pohon dan mahoni sebanyak 2 pohon. Artinya sebuah rumah tangga dapat dikategorikan mengusahakan hutan rakyat jika syarat Batas Minimum Usaha terpenuhi (Anonim 2004). Hutan rakyat pada umumnya dikembangkan pada lahan kritis, lahan kering berupa tegalan maupun kebun atau lahan-lahan yang kurang produktif pada daerah yang bergelombang atau dengan kelerengan rata-rata diatas 45%. Namun dalam perkembangannya hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat secara swadaya tidak hanya dikembangkan pada lahan kritis, tetapi sebagian besar justru berkembang pula di daerah yang subur atau produktif (Prabowo dan Prahasto, 2002).
2.2 Potensi Tegakan Hutan Untuk mengetahui potensi hutan rakyat yang dibutuhkan oleh industri perkayuan perlu di ketahui: luas hutan rakyat, jenis tanaman, kelas (sebaran umum) dan lokasi hutan rakyat sehingga dapat diperkirakan potensi hutan rakyat yang dapat dipanen secara lestari (Hardjanto 2003). Potensi hutan adalah jumlah pohon jenis niagawi tiap hektar menurut kelas diameter pada suatu lokasi hutan tertentu yang dihitung berdasarkan rata-rata jumlah pohon pada suatu tegakan alam (Kepmenhut 88/Kpts-II/2003) dalam Winarto (2006). Untuk memperoleh data potensi suatu tegakan hutan dibutuhkan suatu kegiatan inventarisasi yang dapat dilakukan dengan menghitung volume tegakan berdiri. Inventarisasi hutan adalah pengumpulan dan penyusunan datadata mengenai hutan dalam rangka pemanfaatan hutan bagi masyarakat secara lestari dan serba guna (PP 33/1970). Inventarisasi hutan merupakan upaya untuk
8
mengetahui hal ikhwal mengenai hutan, antara lain lokasi, komposisi jenis pohon, potensi, aksesibilitas, serta informasi lain yang dibutuhkan (Kepmenhut 8205/Kpts-II/2002). Sementara menurut Husch (1987) inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk melukiskan atau menggambarkan kuantitas dan kualitas pohonpohon atau tegakan hutan dan berbagai karakteristik areal-areal lahan hutan dimana pohon-pohon tersebut tumbuh dan berkembang. Menurut Tiryana (2003), pada dasarnya kegiatan inventarisasi di hutan tanaman dapat dilakukan dengan cara sensus, yakni mendaftar dan mengukur setiap pohon dalam tegakan. Namun hal ini tidaklah efektif karena umumnya tegakan hutan memiliki luasan yang cukup besar sehingga memerlukan sumberdaya (biaya, waktu dan tenaga) yang besar pula apabila dilakukan secara sensus. Oleh karena itu, kegiatan inventarisasi di hutan tanaman dilakukan dengan cara sampling (penarikan contoh), yakni dengan mengamati dan mengukur karakteristik tegakan melalui contoh (sample) yang diambil dari populasi tegakan tersebut. Kegiatan inventarisasi yang dilakukan pada tegakan yang relatif homogen seperti halnya di areal PT. Perhutani, umumnya dengan menggunakan teknik sampling sistematic plot sampling with random start yakni penarikan contoh dengan pengacakan awal dengan unit contoh berupa plot lingkaran dengan ukuran tertentu. Penggunaan plot lingkaran tersebut lebih disukai untuk diterapkan di hutan tanaman karena memiliki keuntungan dalam hal kemudahan pembuatannya di lapangan. Menurut Departemen Kehutanan (1992) penaksiran volume kayu pohon yang masih berdiri hanya merupakan langkah awal untuk menghitung hasil akhir dari inventarisasi hutan. Target yang lebih penting adalah menaksir volume tegakan dari berbagai areal hutan yang ada. Penaksiran tegakan dengan menggunakan tabel volume akan memperbaiki hasil taksiran yang paling cermat karena disusun dengan menggunakan data yang dikumpulkan secara ekstensif dan mencakup segala variasi tegakan yang ada di lapangan. Penaksiran kayu dengan persamaan volume saat ini dapat dipisahkan ke dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1. Pengukuran diameter seluruh tegakan atau pembuatan petak-petak ukur. 2. Pengukuran tinggi pohon sampel yang representatif.
9
3. Pembuatan kurva tinggi melalui analisis regresi. 4. Perhitungan volume dengan program komputer. 5. Pengelompokkan pohon ke dalam kelas-kelas diameter. 6. Perhitungan tinggi dengan menggunakan kurva tinggi tegakan. 7. Perhitungan volume individu pohon dengan persamaan volume. 8. Penjumlahan volume seluruh individu pohon per kelas diameter.
2.3 Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn. f.) Menurut Sumarna (2003) tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari india. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. secara historis, nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati ini dikenal dengan banyak nama daerah, seperti ching-jagu (di wilayah Asam); saigun, segun (Bengali); sagwan (Bombay); kyun (Burma); saga, sagach (Gujarat); sagun, sagwan (Hindi); jadi, saguan, tega, tiayagadamara (Kannad); sag, saga, sgwan (Manthi); singuru (oriya); bardaru, bhumisah, dwardaru, kaharachchad, saka (Sangskrit); tekkumaran, tekku (Tamil); dan adaviteeku, peddatekku, teekuchekka (Telugu). Tanaman ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan nama teak. Sumarna (2003) menyatakan dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyte
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Verbenales
Family
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Spesies
: Tectona grandis Linn. f.
Secara morfologis, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m dengan tinggi bebas cabang 15-20 m serta diameter batang 220 cm. Kulit kayu berwarna kecoklatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan memiliki sekitar 4 cabang. Daun berbentuk opposite (bentuk jantung membulat dengan ujung meruncing) dengan
10
ukuran panjang 20-50 cm dan lebar 15-40 cm serta permukaannya berbulu. Daun muda (petiola) berwarna hijau kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabuan (Sumarna 2003). Buah jati berkeping dua dengan kotiledon berukuran panjang 3-6 mm, epikotil akan tumbuh tegak menghasilkan organ batang dan pada ujung batang akan menghasilkan daun muda dengan bentuk membulat dan berwarna hijau atau kemerahan. Tahapan pertumbuhan anakan jati ditunjukan oleh warna akar primer yang putih-kuning, akar sekunder tumbuh relatif sedikit. Kemudian dilanjutkan sdengan tumbuhnya tunas/daun berwarna hijau muda dengan ukuran antara 7,515,5 cm (panjang). Setelah menghasilkan daun 6-9 helai, anakan tumbuh memanjang hingga mencapai 1,5-3,5 cm. Pertumbuhan jati cukup cepat sampai umur 25 tahun namun setelah itu pertumbuhannya relatif lambat, pada umur 50 tahun produksinya dapat mencapai 417 m³/ha (Sumarna 2003). Tanaman jati yang tumbuh di alam dapat mencapai diameter 220 cm. namun, umumnya jati dengan diameter 50 cm sudah ditebang karena banyaknya permintaan. Bentuk batang tidak teratur serta beralur. Warna kayu teras (bagian tengah) cokelat muda, cokelat-merah tua, atau merah-cokelat, sedangkan warna kayu gubal (bagian luar teras hingga kulit) putih atau kelabu kekuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat lurus dan agak terpadu. Permukaan kayu licin agak berminyak dan memiliki gambaran yang indah (Sumarna 2003). Jati tumbuh baik pada tanah yang banyak mengandung Fosfor (P) dan Kalsium (Ca), dengan pH antara 6-8. Kondisi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan jati adalah lingkungan dengan musim kering yang banyak dengan curah hujan antara 1200-3000 mm/th, intensitas cahaya tinggi, dan suhu 22-31°C (Dirjen RRL 1995). Menurut Kuncahyo (1984) kurva pertumbuhan jati dengan menerapkan metode multiphase sampling memiliki persamaan: Log Y = 0,61 + 0,60 Log X, dimana Y adalah nilai diameter dan X adalah umur pohon, sedangkan menurut Hermawan (1997) model pertumbuhan peninggi tegakan hutan tanaman jati memiliki persamaan: Log Y = 0,814 + 0,388 Log X, dimana Y adalah nilai peninggi dan X adalah umur pohon.
11
2.4 Tinjauan Umum Mahoni Daun Besar (Swietenia macrophylla King) Swietenia macrophylla King yang terkenal dengan nama mahoni daun besar/lebar termasuk dalam genus Swietenia dan famili Meliceae. Jenis ini tergolong pohon yang mampu mengadakan pemangkasan alami dan dapat mencapai ketinggian 35 m. Tajuknya rapat dan lebat, daunnya berwarna hijau tua. Jenis ini tersebar di seluruh pulau Jawa Jawa Barat sampai Jawa Timur (Samingan 1982). Mahoni daun besar tumbuh pada zona lembab dan menyebar luas secara alami atau dibudidayakan. Jenis ini merupakan jenis asli dari Meksiko, bagian tengah dan utara Amerika yaitu sekitar wilayah Amazon. Penanaman dan pembudidayaannya secara luas dilakukan di daerah Asia bagian selatan dan pasifik (Departemen Kehutanan RI 2001). Mahoni banyak digunakan sebagai bahan baku pelapis kategori mewah. Serat kayunya cukup indah memberikan lukisan-lukisan garis yang khas pada sayatan kayu, dengan berat jenis rata-ratanya 0,61 dan termasuk dalam kategori kelas awet III dan kelas kuat II-III, dengan kayu teras berwarna coklat kemerahan. Selain sebagai bahan baku kayu lapis (plywood) mahoni juga banyak digunakan sebagai bahan bangunan, meubel, lantai dan rangka pintu (Samingan 1982). Manan (1982) dalam Sofiyuddin (2007) menyatakan bahwa produksi mahoni daun besar pada tanah yang baik dapat menghasilkan kayu dua kali lebih besar dibandingkan jati, yaitu 500 m³/ha, sedangkan pada tanah yang buruk hasilnya lebih buruk dibandingkan dengan jati, sedangkan riap tanaman mahoni daun besar diperkirakan 15-17 m³/ha/tahun pada umur tanaman 40-50 tahun. Pada daur 50-60 tahun dalam sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) pertumbuhan riap volume rata-rata tahunan tegakan mahoni pada tanah subur yaitu 15-20 m³/ha dan pada tanah kurus yaitu 7-11 m³/ha, sedangkan kerapatannya mencapai 200-400 ph/ha pada umur 35 tahun (Ditjen Kehutanan 1976). Mayhew dan Newton (1998) menyebutkan, suhu rata-rata bulanan di lokasi penanaman mahoni harus berada dalam kisaran 15-35°C. Angka curah hujan yang baik bergantung pada tingkat evapotranspirasi lokal. Tanaman mahoni akan
12
tumbuh dengan baik jika menerima curah hujan 1000-4000 mm/tahun, dengan musim kering sampai 4 bulan yang masih dapat ditolerir. Tanaman mahoni dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah liat (tapi tidak gleys) sampai tanah berpasir kasar. Sedikit basa untuk tanah pH netral lebih disukai tanaman ini, tetapi tanah asam dengan pH serendah 4,5 masih memberikan hasil yang dapat diterima. Pada umumnya mahoni lebih menyukai jenis tanah yang kering, namun pada iklim yang relatif kering, tanah yang dapat menyimpan air lebih disukai (Mayhew dan Newton 1998).
13
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada hutan rakyat jenis jati dan mahoni, berlokasi di Kabupaten Jepara. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2009.
3.2 Bahan dan Alat Bahan atau obyek yang digunakan dalam penelitian adalah tegakan hutan rakyat yang dimiliki masyarakat di lokasi penelitian. Beberapa alat yang dipergunakan seperti alat pengukur keliling (pita ukur), alat pengukur tinggi (haga hypsometer), tally sheet, alat pengukur jarak (meteran), peralatan tulis kantor, kalkulator, perangkat keras (hardware) berupa seperangkat komputer, serta perangkat lunak (software) berupa program-program komputer dalam mengolah data, seperti Microsoft Office Word 2007, Microsoft Office Excel 2007 dan ArcView GIS 3.2.
3.3 Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Data primer, berupa data yang diukur langsung di lapangan yang berkaitan dengan keadaan vegetasi setempat, seperti keliling dan tinggi pohon, luas lahan serta hasil wawancara terhadap pemilik lahan. 2. Data sekunder, merupakan data pelengkap dan penunjang yang diperoleh dari studi literatur dan kondisi lapangan, seperti keadaan umum lokasi penelitian meliputi kondisi fisik lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat secara umum.
3.4 Metode Pengumpulan Data Penentuan lokasi dan pemilihan contoh dilakukan dengan menggunakan metode sampel terpilih (purposive sampling) berdasarkan luas lahan, umur pohon yang terdapat di dalam lahan contoh serta ketersebarannya di Kabupaten Jepara, dengan mempertimbangkan akses kemudahan serta aspek waktu dan biaya dalam
14
pengumpulan data. Lahan dipilih secara purposive dalam suatu desa yang ditentukan dengan metoda transek jaringan jalan dari 10 kecamatan di Jepara. Lahan yang diukur juga merupakan lahan yang dimiliki oleh petani responden yang diwawancara. Pengukuran potensi tegakan dilakukan dengan metode Systematic plot sampling with random start dengan intensitas sampling sebesar 15%. Plot contoh yang digunakan yaitu circular plot atau plot lingkaran dengan luasan 0,02 ha (jarijari lingkaran 7,98 m) untuk tanaman berumur < 4 tahun, serta luasan 0,04 ha (jari-jari lingkaran 11,28 m) untuk tanaman berumur ≥ 4 tahun, mengacu dari kegiatan IHMB pada tahun 2007. Pengukuran dan pencatatan mencakup jenis atau spesies, keliling, dan tinggi pohon.
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data Setelah memperoleh data-data yang dibutuhkan dari pengukuran di lapangan, data-data tersebut diolah untuk mendapatkan nilai kerapatan, volume pohon, dan volume tegakan. a. Kerapatan tegakan per hektar diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pohon yang diinventarisasi pada petak ukur (lahan contoh) dan membaginya dengan luasan lahan yang diukur dalam hektar.
b. Diameter diperoleh dengan membagi hasil pengukuran keliling dengan phi (π) yang bernilai 3,14.
c. Volume pohon diperoleh dengan memasukkan variabel diameter dan tinggi pohon ke dalam persamaan berikut (Departemen Kehutanan 1992).
Keterangan:
V = volume pohon (m³) π = konstanta (3,14) d = diameter pohon (m) t = tinggi pohon (m) f = faktor bentuk (0,7)
15
d. Volume tegakan per ha diperoleh dengan menjumlahkan seluruh volume pohon yang terdapat dalam plot contoh kemudian membaginya dengan luas lahan tersebut (Departemen Kehutanan 1992).
keterangan:
Vteg = volume rata-rata tegakan (m³/ha) Vph = volume pohon (m³) L
= luas lahan contoh (ha)
16
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Kondisi Wilayah Geografis Secara geografis Kabupaten Jepara terletak antara 3°23’20”-4°9’35” BT dan 5°43’30”-6°47’44” LS. Luas administrasi seluas 100.413,189 ha atau sekitar 1.004,13 km².
Gambar 1 Peta wilayah Kabupaten Jepara
17
Wilayah administrasi terbagi atas 16 Kecamatan yaitu Kedung, Pecangan, Kalinyamatan, Welahan, Mayong, Nalumsari, Batealit, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo dan Karimunjawa. Kabupaten Jepara terdiri dari 194 Desa dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Timur
: Kabupaten Pati dan Kudus
Sebelah Selatan
: Kabupaten Demak
Sebelah Barat
: Laut Jawa
Kabupaten Jepara memiliki 3 (tiga) Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Balong Ds yang memiliki luasan 63.269,12 ha; DAS Juana Ds dengan luas sebesar 14,74 ha; serta DAS Serang Ds seluas 34.859,43 ha dengan total luas dari ketiga DAS tersebut yaitu sebesar 98.143,29 ha. Tabel 1 Pembagian Wilayah Berdasarkan DAS / Sub DAS Kabupaten Jepara DAS / Sub DAS DAS Balong Ds - Sub Das Balong - Sub Das Banjaran - Sub Das Tayu - Sub Das Teluk DAS Juana Ds - Sub Das Gungwedi DAS Serang Ds - Sub Das Bakalan / Pecangan Ds - Sub Das Gelis - Sub Das Mayong - Sub Das Tunggul JUMLAH
Luas (ha)
Sebaran Meliputi sebagian Kecamatan :
63.269,12 Bangsri, Keling, Donorojo, Kembang, Batealit Bangsri, Batealit, Jepara, Kembang, 28.687,79 Mlonggo, Pakisaji, Tahunan 68,34 Keling, Donorojo 9.564,20 Keling, Donorojo 14,74 14,74 Keling, Donorojo 34.859,43 Batelait, Tahunan, Kalinyamatan, Kedung, 24.136,29 Mayong, Pecangan, Welahan 60,26 Batealit 9.234,55 Batealit, Mayong, Welahan, Nalumsari 1.428,34 Batealit, Nalumsari 98.143,29 24.948,80
Sumber data: Buku data spasial lahan kritis Jepara
18
4.2 Ketinggian Tempat dan Solum Tanah Kabupaten Jepara secara garis besar memiliki pembagian alam yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Daerah dataran tinggi dengan ketinggian > 100 mdpl dengan kelerengan antara 25-40% meliputi Kecamatan Batealit, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong dan Nalumsari. 2. Daerah dataran sedang dengan ketinggian antara 50-100 mdpl dengan kelerengan antara 8-15% meliputi sebagian Kecamatan Tahunan, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa. 3. Daerah dataran rendah dengan ketinggian < 50 mdpl dengan kelerengan berkisar antara 0-8% meliputi sebagian Kecamatan Welahan, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa.
4.3 Jenis dan Tekstur Tanah Ada 5 jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Jepara yaitu : 1. Andosol Coklat, terdapat di perbukitan bagian utara dan puncak Gunung Muria seluas 3.525,469 ha (3,15%). 2. Regusol, terdapat di bagian utara seluas 2.700,857 ha (2,69%). 3. Alluvial, terdapat di sepanjang pantai barat seluas 19.126,433 ha (19,05%). 4. Assosiasi Mediteran, terdapat di pantai barat seluas 9.667,857 ha (6,63%). 5. Latosol, adalah jenis tanah yang paling dominan di Kabupaten Jepara dan terdapat di perbukitan Gunung Muria seluas 65.392,573 ha (65,12%). Jenis Latosol yang mendominasi di Kabupaten Jepara ini bersifat agak peka terhadap erosi, jenis Andosol Coklat bersifat peka terhadap erosi dan Regosol sangat peka terhadap erosi. Jenis tanah Alluvial dan Assosiasi Mediteran yang mendominasi daerah pantai bertekstur kasar serta sulit diolah. Sementara untuk jenis Latosol sangat kondusif untuk Kabupaten Jepara yang didominasi penggunaan lahan sawah berpengairan, karena bertekstur tanah sedang dan mudah untuk diolah atau digarap. Secara garis besar tekstur di Jepara ini terbagi menjadi dua bagian yaitu
19
tanah bertekstur sedang dengan luas sebesar 71.618 ha dan tanah bertekstur kasar seluas 28.794 ha.
4.4 Sosial Ekonomi Masyarakat 1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Jumlah penduduk di Kabupaten Jepara hasil Susenas 2006 adalah sebanyak 1.058.064 jiwa, terdiri dari 532.459 laki-laki (50,32%) dan 525.605 perempuan (49,68%), dimana sebaran penduduk terbanyak sebesar 125.581 jiwa atau 11,87%) terdapat di Kecamatan Mlonggo dan Pakisaji (dulu satu kecamatan) dan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Karimunjawa (8.427 jiwa atau 0,80%). Kepadatan penduduk Kabupaten Jepara mencapai 1.054 jiwa per km². Penduduk terpadat berada di Kecamatan Jepara (2.995 jiwa per km²), sedangkan kepadatan terendah berada di Kecamatan Karimunjawa (118 jiwa per km²).
2. Keadaan Umum Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Mata pencaharian yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Kabupaten Jepara adalah sektor industri (46,99%) dan Pertanian (16,15%), selebihnya berusaha/bekerja di sektor pertambangan, listrik, konstruksi, keuangan, dan jasa-jasa.
3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan berdasarkan umur 10 tahun keatas menurut Pendidikan Tahun 2006 (prosen), terlihat lulusan SD dan sederajat sebesar 33,43%; tidak atau belum pernah sekolah 9,94%; tidak / belum tamat SD 20,29%; lulusan SLTP dan sederajat 20,29%; lulusan SMU 10,70%; lulusan SMK 1,82%; lulusan
D1/D2
0,52%;
lulusan
D3/SARMUD
0,64%;
serta
lulusan
D4/S1/S2/S3 sebesar 1,22%. Namun dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah lulusan sarjana maupun pascasarjana, meningkatnya tingkat pendidikan tidak terlepas dari sarana dan prasarana jumlah sekolah dan guru pendidik (guru pendidik mencukupi sesuai dengan modul pelajaran yang diajarkan dan kapabilitas pendidik dengan SDM cukup), tingkat kesadaran
20
masyarakat tentang kondisi lingkungan saat ini, juga tidak terlepas dari tingkat penyerapan informasi pengetahuan terkini. Semakin tinggi pendidikan masyarakat diharapkan berkorelasi positif terhadap kondisi lingkungan alam. Upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan beraspirasi dari masyarakat serta masyarakat sendirilah yang secara aktif sebagai aktor pendukung kebaikan alam dan lingkungannya. Secara luas, pemberdayaan masyarakat dengan peran serta masyarakat langsung sebagai yang terdepan adalah mewujudkan kemandirian dan kesiapan bangsa dalam menghadapi kemajuan global.
21
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 Peta sebaran desa wilayah penelitian Gambar 2 menunjukkan peta sebaran lokasi desa penelitian yang ditunjukkan oleh warna-warna yang berbeda. Peta dibuat menggunakan software ArvView GIS 3.2 dengan beberapa sumber seperti Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Jepara dan Peta Jaringan Jalan yang sudah terkoreksi.
5.1 Kondisi Umum Tegakan Hutan Rakyat Secara umum struktur tegakan hutan rakyat jati dan mahoni yang terdapat di Jepara masih merupakan tegakan muda yang didominasi oleh kelas pancang dan tiang. Dari seluruh lahan responden yang diukur, lebih dari separuhnya, yaitu sebesar 58,07% merupakan lahan yang ditanami jati atau mahoni berumur kurang dari 5 tahun. Sebanyak 32,26% untuk lahan dengan umur pengelolaan jati atau mahoni antara 6-10 tahun, dan sisanya hanya sebesar 9,67% yang umur tanamannya sudah lebih dari 11 tahun.
22
Hampir seluruh responden yang diwawancara baru pertama kali melakukan usaha hutan rakyat. Tujuan dan motif mereka melakukan usaha hutan rakyat umumnya sebagai tabungan jangka panjang untuk anak cucu mereka. Dari 30 responden, 83,33% di antaranya menanam jati dan atau mahoni untuk tabungan di masa mendatang, sehingga mereka tidak dapat mematok kapan akan menebang tegakan yang berada di lahannya. Sementara hanya 10% responden yang berorientasi untuk kayu pertukangan, mereka menanam dengan dasar tujuan melakukan usaha di bidang perkayuan, 3,33% responden menanam jati dan atau mahoni untuk dikonsumsi sendiri ketika penen nanti serta 3,33% lainnya untuk coba-coba. Luas rata-rata kepemilikan lahan hutan rakyat yang dikelola oleh responden Kabupaten Jepara yaitu sebesar 0,31 ha dengan kisaran luas terkecil dan terbesar masing-masing sebesar 0,02 ha dan 1,2 ha, dengan umur rata-rata tanaman yaitu 7 tahun. Untuk jenis tanaman yang disukai dalam penanaman selanjutnya, 46,67% responden belum berpikir mengenai jenis apa yang akan ditanam selanjutnya, mengingat tegakan jati atau mahoni yang mereka miliki saat ini umumnya masih relatif muda. Dari 53,33% sisanya, hanya 6,25% yang lebih menyukai jenis mahoni untuk penanaman selanjutnya, sedangkan 43,75% memilih jati karena dianggap paling menguntungkan dengan harganya yang relatif tinggi dibanding jenis lainnya, serta sisi kemudahan dalam permudaannya dimana pemilik lahan tidak perlu membeli bibit lagi karena dapat memanfaatkan biji-biji pada tegakan sebelumnya. Sementara 50% berencana mengganti tanaman sengon untuk penanaman selanjutnya karena pertumbuhannya yang relatif cepat sehingga lebih cepat dalam menghasilkan pendapatan. Uniknya para pemilik lahan yang lebih menyukai jenis sengon ini hanya terdapat di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Bangsri, Kecamatan Kembang dan Kecamatan Keling. Hal ini disebabkan oleh adanya sebuah tren untuk menanam sengon yang terdapat di beberapa kecamatan tersebut karena jenis sengon dirasakan relatif lebih cepat untuk tumbuh dan dipanen.
23
5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat a. Pembibitan dan Penanaman. Petani lahan di Jepara umumnya mendapatkan bibit jati dan mahoni dengan cara membeli dan memanfaatkan biji-biji dari tegakan sebelumnya. Teknik penanamannya sudah mengenal sistem jarak tanam, mulai dari 1,5 x 1,5 m, 2 x 2 m, dan 3 x 3 m. b. Pemeliharaan Tidak ada perlakuan khusus dalam kegiatan pemeliharaan. Umumnya lahan yang sudah ditanami hanya diberi pupuk 1 atau 2 kali dalam setahun. Beberapa petani juga mengenal sistem penjarangan, sehingga menebang pohon-pohon yang tidak tumbuh dengan baik agar tidak mengganggu pertumbuhan pohon-pohon lainnya. c. Pemanenan dan Pemasaran Dari hasil wawancara diketahui bahwa sistem pemasaran hasil hutan rakyat di Jepara yaitu dengan menjual tegakan. Tegakan akan dijual jika pemilik lahan sedang membutuhkan uang. Setelah tegakan dijual, segala sesuatunya yang berkaitan seperti kegiatan penebangan, pengangkutan, dan sebagainya diserahkan kepada pembeli tersebut.
24
5.3 Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat Seperti dijelaskan dalam metodologi penelitian, data primer yang diukur adalah data tegakan pohon yang mencakup keliling, tinggi, luas dan umur pengelolaan lahan. Kelompok umur pengelolaan dibuat berdasarkan selang data yang diperoleh di lapangan yaitu sebagai berikut: 1. 0-5 tahun (Kelas umur I) 2. 6-10 tahun (Kelas umur II) 3. ≥ 11 tahun (Kelas umur III) Tabel 2 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat jenis jati
Kelas umur
Diameter rata-rata (cm)
Kerapatan tegakan rata-rata (pohon/ha)
Volume rata-rata (m³/ha)
I
7,61
2303
63,30
II
11,94
889
97,53
III
19,85
494
218,23
Dari nilai kerapatan tegakan rata-rata pada Tabel 2, dapat dilihat dominansi tegakan muda tanaman jati yang masih berada dalam kategori kelas pancang, yaitu sebesar 2303 pohon per ha dengan volume rata-rata 63,30 m³/ha. Tabel 3 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat jenis mahoni
Kelas umur
Diameter rata-rata (cm)
Kerapatan tegakan rata-rata (pohon/ha)
Volume rata-rata (m³/ha)
I
8,98
1442
131,51
II
13,50
455
205,78
III
-
-
-
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa umur pengelolaan mahoni di bawah 5 tahun juga mendominasi dari keseluruhan tegakan yang ada seperti halnya pada jenis jati, yaitu dengan kerapatan tegakan rata-rata sebesar 1442 pohon per ha dengan volume rata-rata sebesar 131,51 m³/ha.
25
Deskripsi sebaran potensi tegakan hutan rakyat secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat jenis jati dan mahoni
Kelas umur
Diameter rata-rata (cm)
Kerapatan tegakan rata-rata (pohon/ha)
Volume rata-rata (m³/ha)
I
8,30
1873
97,41
II
12,72
672
151,66
III
19,85
494
218,23
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa diameter rata-rata dan volume ratarata meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, berbanding terbalik dengan kerapatan tegakan yang menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan penjarangan dan penebangan pada umur tertentu. Dari nilai kerapatan tegakan rata-rata dapat dilihat dominansi dari tegakan muda yang masih termasuk dalam kategori pancang dengan diameter rata-rata 8,30 cm, yaitu sebesar 1873 pohon/ha dengan volume rata-rata sebesar 97,41 m³/ha.
26
Sementara itu untuk melihat sebaran kelas diameter tiap umur pengelolaan untuk jenis jati dan mahoni dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Gambar 3 Sebaran kelas diameter pada berbagai kelas umur untuk jenis jati
Gambar 4 Sebaran kelas diameter pada berbagai kelas umur untuk jenis mahoni
27
Berdasarkan grafik sebaran kelas diameter pada Gambar 3 dan Gambar 4, untuk jenis jati dapat dijelaskan bahwa kerapatan tegakan pada KU I dan KU II didominasi oleh kelas diameter < 10 cm. Sementara untuk kelas diameter 20-30 cm hanya terdapat pada umur pengelolaan diatas 10 tahun. Sedangkan untuk jenis mahoni sebaran kelas diameter 10-20 cm mendominasi pada KU I dan KU II. Untuk sebaran kelas diameter untuk jenis jati dan mahoni secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Sebaran kelas diameter pada berbagai kelas umur untuk jenis jati dan mahoni Berdasarkan grafik sebaran kelas diameter pada Gambar 5, dapat diketahui bahwa tidak terdapat kelas diameter 20-30 cm pada KU I dan KU II, maupun kelas diameter < 10 cm pada KU III. Hal tersebut disebabkan karena kondisi tegakan hutan rakyat jenis jati dan mahoni di Kabupaten Jepara umumnya merupakan tegakan yang seumur, dan masih berusia relatif muda. Selain itu, kerapatan tegakan akan berkurang seiring dengan bertambahnya kelas diameter pohon pada tegakan tersebut. Namun jika membandingkan kerapatan antara jenis jati dan mahoni pada tiap umur pengelolaannya, jenis jati memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahoni, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.
28
Gambar 6 Perbandingan kerapatan tegakan per hektar antara jenis jati dan mahoni. Dari Gambar 6 terlihat jelas bahwa jenis jati memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis mahoni. Kerapatan tegakan rata-rata per hektar jenis jati untuk seluruh kelas umur yaitu sebesar 1229 pohon per hektar, sementara pada mahoni kerapatan tegakan rata-ratanya sebesar 949 pohon per hektar. Sedangkan besarnya kerapatan tegakan per hektar rata-rata untuk jenis jati dan mahoni pada seluruh kelas umur yaitu sebesar 1117 pohon per hektar.
29
5.4 Pengembangan Hutan Rakyat Jepara dikenal sebagai salah satu daerah penghasil meubel dan ukiran terbesar di Indonesia. Di beberapa pusat perbelanjaan di kota-kota besar tidak jarang dijumpai show room yang menampilkan kerajinan meubel, mulai dari tipe ukiran sampai futuristik yang diproduksi dari tanah Jepara. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahan baku utama industri permeubelan dan ukiran adalah kayu. Namun yang cukup mengejutkan, Jepara yang dikenal sebagai daerah penghasil meubel dan ukiran terbesar ternyata belum mampu memasok sebagian besar bahan baku yang dibutuhkan untuk proses produksi usaha mereka. Dari hasil wawancara lepas, diduga bahwa kebanyakan pengrajin memasok kayu dari para pengumpul yang sebagian besar mendapatkan kayu dari luar Jepara. Roda et al. (2007) dalam Yovi, Bachruni dan Nurrochmat (2009) menyebutkan bahwa kebutuhan bahan baku industri meubel di Jepara mencapai 1,5-2,2 juta m³ per tahunnya. Angka tersebut terbilang sangat besar jika dibandingkan dengan kayu yang mampu diproduksi oleh Departemen Kehutanan untuk di Pulau Jawa, sebagai contoh pada tahun 2004 hanya mampu mencapai 923.632 m³. Sehingga peran dari hutan rakyat dirasakan amat penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku industri tersebut. Namun ditemukan kesulitan untuk menduga ketersediaan potensi hutan rakyat jenis jati dan mahoni ini di masa mendatang, karena status kepemilikannya yang bersifat pribadi serta sebagian besar orientasi usaha yang bertujuan hanya sebagai tabungan. Selain itu juga tidak tersedianya data mengenai hutan rakyat yang secara khusus hanya membahas mengenai jenis jati dan mahoni di Jepara menyulitkan untuk menduga dinamika dari hutan rakyat untuk kedua jenis tersebut. Menurut Hardjanto (2003) terdapat 4 permasalahan dalam dinamika sistem usaha kayu rakyat yang perlu dibahas sebelum membuat rumusan strategi dan program pengembangan sistem usaha kayu rakyat. Sistem usaha kayu rakyat itu sendiri terdiri dari sub sistem produksi, sub sistem pengelolaan, sub sistem pemasaran dan sub sistem kelembagaan. (1) Sub sistem produksi. Salah satu ciri khas petani di Jawa adalah pemilikan lahan yang sempit, karenanya skala usaha tani setiap rumah tangga juga kecil. Dengan jumlah pemilikan yang sedikit ini
30
ditambah belum adanya persatuan antar pemilik, sehingga sulit diidentifikasi perilaku kontinuitas produksinya dan sekaligus memperlemah posisi tawarnya. (2) Sub sistem pengelolaan. Pada sub sistem ini belum ada upaya pengelompokkan industri, sehingga belum terjadi kerjasama menuju spesialisasi industri. Sehingga terjadi industri-industri yang bekerja di bawah skala usaha yang mengakibatkan hubungan antara sub sistem produksi dan sub sistem pengelolaan tidak langgeng, karena kecenderungan penekanan terhadap sumber bahan baku dalam bentuk eksploitasi berlebih. Secara logis semestinya antara petani kayu rakyat dengan pelaku industri memiliki ikatan yang saling membutuhkan karena adanya ketergantungan usaha. Namun kenyataannya terjadi penurunan sediaan dari daerah-daerah sumber kayu rakyat. Hal ini merupakan indikator adanya permasalahan dalam kelestarian usaha. (3) Sub sistem pemasaran. Sebagaimana ciri umum dalam pemasaran hasilhasil pertanian, biasanya pihak produsen (petani) selalu pada posisi tawar yang rendah, karena umumnya produsen merupakan petani-petani kecil dan tidak memiliki organisasi, sementara pihak konsumen (pedagang, tengkulak, industri kecil, dsb.) merupakan suatu usaha yang lebih terorganisir. Terdapat tiga hal yang memperlemah posisi tawar produsen (petani): pertama, masing-masing individu tidak memiliki pengetahuan dan atau informasi pasar dengan baik; kedua, kayu rakyat masih diposisikan sebagai tabungan oleh pemiliknya; dan ketiga, belum adanya kerjasama antar produsen. (4) Sub sistem kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud meliputi kelembagaan pengurusan hutan rakyat, kelembagaan sosial, dan kelembagaan ekonomi yang dapat mempengaruhi kinerja usaha kayu rakyat. Belum ada kelembagaan yang mengurus hutan rakyat secara teknis, baik lembaga bentukan pemerintah maupun masyarakat. Satu-satunya instansi yang mengurusi hutan rakyat adalah Dinas Perhutanan dan Konversi Tanah, dengan berlakunya SK Menhut No.86/Kpts-II/94 tentang penyerahan beberapa urusan kepada Dati II. Namun demikian lembaga ini sampai sekarang aktivitasnya baru sampai kepada penyediaan bibit kepada para petani. Kelembagaan sosial pada usaha kayu rakyat di Jawa juga belum ada, hanya pada beberapa tempat saja dijumpai adanya kerjasama dalam penyediaan bibit, penyebarluasan informasi dalam teknik
31
budidaya dan sebagainya, yang semuanya masih bersifat sangat terbatas. Kelembagaan ekonomi lebih menonjol perannya dalam usaha kayu rakyat ini khusunya dalam kegiatan pemasaran. Lembaga ini tumbuh dengan sendirinya pada masyarakat, namun seperti dikemukakan bahwa dalam permasalahan ini petani masih pada posisi yang lemah. Di Kabupaten Jepara ini juga ditemukan permasalahan seperti pada keempat sub sistem tersebut. 83,33% petani melakukan usaha hutan rakyat untuk tabungan di masa mendatang. Kesulitan dalam mengetahui kontinuitas produksi serta belum banyak ditemukannya persatuan kelompok antar petani akan menyebabkan petani berada pada posisi tawar yang rendah, di samping kurangnya informasi pasar yang diperoleh petani dibanding dengan pelaku-pelaku usaha yang lain. Dalam hal ini dibutuhkan peran pemerintah dalam meregulasi sistem usaha rakyat secara menyeluruh, yang pada akhirnya akan mendorong petani hutan rakyat untuk mengembangkan usahanya. Selain permasalahan dari keempat sub sistem tersebut, petani hutan rakyat di Jepara juga masih memiliki pengetahuan yang relatif sedikit dalam urusan pengelolaan lahan tanaman jati dan mahoni, meski sesungguhnya secara umum kondisi iklim dan lahan di Jepara cukup baik untuk di tanami kedua tanaman tersebut.
32
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Struktur tegakan hutan rakyat jenis jati dan mahoni yang terdapat di Kabupaten Jepara mayoritas merupakan tegakan seumur (even-aged) yang didominasi oleh tegakan muda dengan kisaran umur rata-rata yaitu 7 tahun. Hal ini dapat dilihat, bahwa dari seluruh lahan responden yang diukur 58,07% merupakan hutan rakyat yang ditanami jati atau mahoni berumur kurang dari 5 tahun; 32,26% untuk lahan dengan umur pengelolaan jati atau mahoni antara 6-10 tahun; dan 9,67% lahan dengan umur tanaman yang sudah lebih dari 11 tahun. 2. 83,33% responden memiliki motivasi usaha hutan rakyat sebagai tabungan di masa mendatang agar dapat dimanfaatkan oleh anak cucu mereka, sementara 10% terorientasi untuk usaha di bidang perkayuan, serta 3,33% untuk dikonsumsi sendiri dan coba-coba. Secara umum petani lahan di sana baru pertama kali menanam tanaman jati dan mahoni. 3. Kerapatan tegakan untuk jenis jati berkisar antara 494-2303 pohon per ha, dan mahoni antara 455-1442 pohon per ha, dengan kisaran volume tegakan untuk jati antara 63,30-218,23 m³ per ha dan untuk mahoni berkisar antara 131,51205,78 m³ per ha. 4. 83,33% orientasi usaha hutan rakyat hanya sebagai tabungan serta sedikitnya persatuan petani yang ditemukan di Jepara menyebabkan petani berada pada posisi tawar yang rendah.
6.2. Saran 1. Perlu peran pemerintah dalam meregulasi sistem usaha rakyat secara menyeluruh sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani, yang akan dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya. 2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ketersediaan standing stock kayu rakyat dimasa mendatang yang dapat digunakan sebagai bahan baku indsutri sehingga Jepara dapat mengakomodir seluruh kebutuhan bahan bakunya secara swadaya.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Kerjasama Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik. Jakarta. [Anonim]. 2006. Kontribusi Hutan Rakyat Dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor. Dala YT dan Adijaya S. 2002. Pranata Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta. Direktorat Jendral RRL (Dirjen RRL). 1995. Peranan Pembangunan Hutan Rakyat dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Mutu Lingkungan. Makalah Dalam Rangka Seminar Nasional Hutan Rakyat Menuju Modal Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, 29 Agustus 1995. Jakarta. Departemen Kehutanan RI. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan RI. 2001. Informasi Singkat Benih. Edisi-5. Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan. Jakarta. Ditjen Kehutanan. 1976. Pedoman Penanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King). Departemen Pertanian. Jakarta. Hardjanto. 2000. Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Di dalam: Didik Suharjito, penyunting. Hutan Rakyat di Jawa Peranannya dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM), Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa [disertasi]. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Hermawan H. 1997. Model Pertumbuhan Peninggi Tegakan Jati di Pulau Jawa [tesis]. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Husch B. 1987. Perencanaan Inventarisasi Hutan. Setyarso A, penerjemah; Hardjosoediro S, editor. UI Press. Jakarta. Terjemahan dari: Planning A Forest Inventory.
34
Kuncahyo B. 1984. Penerapan Multiphase Sampling Pada Pendugaan Kurva Pertumbuhan Diameter Pohon Jati. [skripsi]. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Lembaga Penelitian IPB dengan Proyek Pengembangan Hutan Rakyat Jawa Barat. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Mayhew JE, Newton AC. 1998. The Silviculture of Mahogany. CABI Publishing. New York. Prabowo HD dan Prahasto H. 2002. Alokasi Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai dan Prospek Hutan Rakyat. Jurnal Hutan Rakyat 4 (3): 17-38. Samingan T. 1982. Dendrologi. Gramedia. Jakarta. Sofiyuddin M. 2007. Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan mahoni yang Tersertifikasi Untuk Perdagangan Karbon [skripsi]. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat Di Jawa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor. Sumarna Y. 2003. Budi Daya Jati. Cetakan ke-3. Penebar Swadaya. Jakarta. Tiryana T. 2003. Teknik Inventarisasi Hutan [tidak dipublikasikan]. Fakultas kehutanan, IPB. Bogor. Winarto B. 2006. Kamus Rimbawan. Yayasan Bumi Indonesia Hijau. Jakarta. Yovi EY, Bahruni, Nurrochmat DR. 2009. Sources of Timber and Constraints to the Timber Acquisition of Jepara’s Small-Scale Furniture Industries. JMHT Vol XV (1): 32-40.
35
LAMPIRAN
36
Lampiran 1 Potensi lahan responden Pemilik lahan : Abdul Wahid Luas lahan : 0,25 ha Jenis tanaman : Jati
Pemilik lahan : HM Jamhari Luas lahan : 1,20 ha Jenis tanaman : Jati total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
14,30 2,86 71,50 14,70 8,93
Pemilik lahan : Sabar Luas lahan : 1,00 ha Jenis tanaman : Mahoni total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
26,05 6,51 162,79 19,30 15,18
total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
13,75 183,31 20,60 1,14 15,17
Pemilik lahan : H. Narwi Luas lahan : 0,10 ha Jenis tanaman : Jati 17,32 4,33 108,23 14,40 13,22
Pemilik lahan : H. Sahli Luas lahan : 0,04 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
1,09 0,54 27,16 83,50 5,50
Pemilik lahan : Mansyur Luas lahan : 0,08 ha Jenis tanaman : Jati
Pemilik lahan : H. Dimyati Luas lahan : 1,00 ha Jenis Tanaman : Jati total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
7,22 72,20 14,60 0,82 8,16
Pemilik lahan : Panidi Luas lahan : 0,25 ha Jenis tanaman : Jati 10,93 260,30 17,35 0,93 22,16
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
3,55 3,55 88,68 16,15 9,74
37
Lampiran 1 (lanjutan) Pemilik lahan : Nurcham Luas lahan : 0,20 ha Jenis tanaman : Jati
Pemilik lahan : Rosnaeni Luas lahan : 0,05 ha Jenis tanaman : Mahoni total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
7,47 166,06 21,10 0,58 12,83
Pemilik lahan : Kanafi Luas lahan : 0,11 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
5,67 5,67 141,82 17,00 14,20
Pemilik lahan : Nuralim Luas lahan : 0,7 ha Jenis tanaman : Mahoni 5,17 45,97 12,70 0,70 6,26
total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
0,58 5,12 9,00 0,11 0,94
Pemilik lahan : Nuryadi Luas lahan : 1,00 ha Jenis tanaman : Jati
23,87 341,01 23,75 1,69 24,11
Jenis tanaman : Mahoni total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha) Pemilik lahan : Ahmad Biyantoro Luas lahan : 0,35 ha Jenis tanaman : Jati total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
1,03 0,34 17,02 9,25 2,97
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
10,06 1,26 62,87 13,90 8,52
Pemilik lahan : Rita Juriva Luas lahan : 0,08 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
7,51 93,89 15,80 0,71 8,86
38
Lampiran 1 (lanjutan) Pemilik lahan : Hj. Siti Zumairoh Luas lahan : 0,20 ha Jenis tanaman : Jati
Pemilik lahan : Koko Luas lahan : 0,21 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
44,33 211,09 25,05 2,97 14,14
Pemilik lahan : Dedi Luas lahan : 0,20 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
5,54 2,77 138,44 15,45 15,12
Pemilik lahan : Yasrun Luas lahan : 0,90 ha Jenis tanaman : Mahoni 5,54 138,51 16,55 0,66 3,30
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
10,32 10,32 257,89 16,85 26,71
Pemilik lahan : Infiati Luas lahan : 0,05 ha Jenis tanaman : Jati
0,95 19,03 112,00 0,16 3,20
Pemilik lahan : Likin Luas lahan : 0,20 ha Jenis tanaman : Jati
36,58 9,14 228,62 23,70 20,99
Jenis tanaman : Mahoni total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha) Pemilik lahan : Trisno Luas lahan : 0,05 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
2,00 2,00 99,81 9,90 16,77
1,78 0,89 44,43 11,40 6,56
39
Lampiran 1 (lanjutan) Pemilik lahan : Kadioto Luas lahan : 0,3 ha Jenis tanaman : Jati
Pemilik lahan : Ibu Suroto Luas lahan : 0,12 ha Jenis tanaman : Jati total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
2,73 2,73 68,31 12,25 9,69
Pemilik lahan : Edi Luas lahan : 0,6 ha Jenis tanaman : Jati total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
1,12 1,12 55,90 9,15 9,41
total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
19,69 130,41 18,70 1,73 11,44
Pemilik lahan : H. Achmad Zainuri Luas lahan : 0,25 ha Jenis tanaman : Jati 2,96 49,39 14,05 0,39 6,45
Pemilik lahan : Purwadi Luas lahan : 0,02 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
4,90 1,63 81,61 12,10 11,60
Pemilik lahan : H. K. Hadi Suyono Luas lahan : 0,15 ha Jenis tanaman : Mahoni
Pemilik lahan : H. Thamrin Luas lahan : 0,06 ha Jenis tanaman : Jati total vol/luasan (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) total lbds (m²) lbds/ha (m²/ha)
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
0,64 0,64 15,98 9,45 2,93
Pemilik lahan : H. Achmad Ataillah Luas lahan : 0,80 ha Jenis tanaman : Jati 1,75 87,28 13,45 0,20 9,84
total vol seluruh plot (m³) rata-rata vol/plot (m³/ha) rata-rata vol/ha (m³/ha) rata-rata peninggi (m) lbds/ha (m²/ha)
4,26 1,42 35,47 11,55 5,23
40
Lampiran 2 Rekapitulasi data potensi seluruh lahan responden
1,20
10,81
Kerapatan tegakan (ph/ha) 417
9,00
1,00
13,09
500
162,79
Jati
6,00
1,00
12,79
800
108,23
Kedung
Jati
12,00
0,04
25,42
381
260,30
Kedung
Jati
3,00
0,25
5,82
2400
27,16
Bugel
Kedung
Jati
29,00
0,08
13,81
747
183,31
H, Narwi
Jlegong
Keling
Jati
10,00
0,10
11,93
690
72,20
8
Panidi
Jlegong
Keling
Jati
5,00
0,25
10,35
1800
88,68
9
Rosnaeni
Jlegong
Keling
Mahoni
10,00
0,05
13,70
734
166,06
10
Cepogo
Kembang
Jati; Mahoni
4,00
0,11
9,87; 5,47
809; 383
45,97; 5,12
Bucu
Kembang
Jati
3,00
0,35
6,28
1429
17,22
12
Kanafi Ahmad biyantoro Nurham
Cepogo
Kembang
Jati
6,00
0,20
9,51
2175
141,82
13
Nuralim
Tengguli
Bangsri
Mahoni
9,00
0,07
12,19
142
341,01
14
Nuryadi
Kepuk
Bangsri
Jati
2,00
1,00
6,91
250
62,87
15
Rita juriva
Serobyong
Mlonggo
Jati
10,00
0,08
14,66
363
93,89
16
Koko
Serobyong
Mlonggo
Jati
35,00
0,21
20,32
353
211,09
17
Dedi
Bondo
Mlonggo
Jati; Mahoni
5,00; 5,00
0,04; 0,16
10,20; 12,49
1725; 2500
138,51; 257,89
18
Trisno Hj, Siti zumairoh Yasrun
Bulungan
Pakisaji
Jati
3,00
0,05
5,67
1200
19,03
Bulungan
Pakisaji
Jati
3,00
0,20
9,28
2500
138,44
Pekalongan
Batealit
Mahoni
6,00
0,90
11,29
445
228,62
Nomor
Responden
Desa
Kecamatan
Jenis tanaman
1
HM, Jamhari
Kecapi
Tahunan
Jati
2
Sabar
Plajan
Pakisaji
Mahoni
3
H, Dimyati
Bangsri
Bangsri
4
H, Sahli
Bugel
5
Abdul wahid
Sukosono
6
Mansyur
7
11
19 20
Umur tegakan (tahun) 6,00
Luas lahan (ha)
Diameter ratarata (cm)
Volume tegakan (m³/ha) 71,50
41
Lampiran 2 (lanjutan)
21
Infiati
Pekalongan
Batealit
Jati
Umur pohon (tahun) 2,00
22
Likin
Pekalongan
Batealit
Jati
23
Ibu suroto
Langon
an
24
Edi
an
25
H, Thamrin
Pelang
26
Purwadi
27
Kadioto H, K,Hadi Suyono H, Achmad Zainuri H, Achmad athaillah
Nomor
28 29 30
0,05
6,90
Kerapatan tegakan (ph/ha) 9524
2,50
0,20
9,06
1750
44,43
Jati
4,00
0,12
7,47
2500
68,31
an
Jati
2,00
0,06
6,63
417
55,90
Mayong
Jati
5,00
0,06
6,92
1567
49,39
Pelang
Mayong
Jati
3,00
0,02
5,55
2900
87,28
Pelang
Mayong
Jati
3,50
0,30
8,50
2667
81,61
Kuasen
Jepara
Mahoni
8,00
0,15
17,22
451
130,41
Wonorejo
Jepara
Jati
4,00
0,25
5,95
3200
15,98
Saripan
Jepara
Jati
4,00
0,80
7,95
2500
35,47
Responden
Desa
Kecamatan
Jenis tanaman
Luas lahan (ha)
Diameter ratarata (cm)
Volume/ha (m³/ha) 99,81