KONDISI DAN POTENSI TEGAKAN PADA BEBERAPA POLA PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT : KASUS DI KABUPATEN CIAMIS Oleh: Eva Fauziyah dan Dian Diniyati
1
RINGKASAN Pola pengembangan hutan rakyat hingga saat ini terdiri dari pola subsidi (inpres, padat karya), pola swadaya dan pola kemitraan. Tujuan dari kegiatan penelitian untuk mengetahui kondisi dan potensi hutan rakyat. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terhadap responden sebanyak 20% petani hutan rakyat yang ikut dalam kegiatan kemitraan dan dipilih secara sengaja. Kondisi tegakan hutan rakyat pada pola pengembangan swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi hutan rakyat kurang bagus, namun jenis dan jumlah pohonnya sangat bervariasi. Petani menjadikan hutan rakyat sebagai sumber mata pencaharian utama tetapi bibit yang ditanam berasal dari anakan alamiah yang tidak selalu tersedia sepanjang tahun sehingga penanaman tidak bisa dilakukan secara serentak. Sedangkan pada pola pengembangan hutan rakyat swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi hutan rakyat, pola kemitraan dengan pemerintah maupun Perhutani jenis tanamannya cenderung monokultur tetapi kondisi tegakannya bagus, karena pada pola ini sudah diterapkan sistem silvikultur yang baik, memperhatikan waktu penanaman dan dilakukan pemeliharaan. Sebaran kelas diameter dan sebaran kelas tinggi tegakan pada pola pengembangan swadaya lebih bervariasi dibandingkan pada pola kemitraan disebabkan jarak tanam pohon pada pola swadaya lebih lebar. Jenis pohon yang dominan ditanam pada hutan rakyat adalah sengon. Dari beberapa pola pengembangan yang ada, potensi sengon terbesar pada pola pengembangan hutan rakyat swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi. Sedangkan pada pola kemitraan potensi kayu sengon belum dapat dihitung mengingat umur tanaman masih muda. Kata Kunci :
Hutan Rakyat, Sengon, Pola Swadaya, Pola Kemitraan, Potensi Kayu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat, hutan rakyat di Indonesia pada umumnya dikembangkan pada lahan masyarakat. Pembangunan hutan rakyat diarahkan untuk mengembalikan produktivitas lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan
1
Peneliti pada Loka Litbang Hutan Monsoon Ciamis
1
hutan, dan pengentasan kemiskinan melalui upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Ada tiga pola pengembangan hutan rakyat hingga saat ini yaitu pola subsidi (inpres, padat karya), pola swadaya dan pola kemitraan. Pola subsidi bertujuan agar masyarakat mau terlibat dalam upaya rahabilitasi dan konservasi tanah sekaligus sebagai tambahan pendapatan (Menhut, 1997 dalam Indrawati, 1999). Pola swadaya yang merupakan tindak lanjut dari keberhasilan pola subsidi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mutu lingkungan dan menunjang pemenuhan bahan baku kayu industri. Sedangkan pola kemitraan bertujuan agar terciptanya unit-unit usaha perhutanan rakyat pada daerah sentra industri pengolahan kayu serta terbinanya partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan (Dirjen RRL, 1997 dalam Donie, et. al., 2001). Salah satu kendala yang dihadapi oleh petani dalam pengembangan dan pembangunan hutan rakyat adalah faktor modal. Pola kemitraan diyakini sebagai suatu cara untuk mengatasi permasalahan ini dengan mengembangkan kemitraan baik dengan pemerintah, swasta maupun dengan Perhutani (BUMN). Menurut Donie, et. al (2001), dengan adanya pola kemitraan paling tidak ada tiga hal yang akan dicapai yaitu kualitas dan kuantitas tegakan yang lebih baik, pasar yang telah terjamin dan minat serta kemampuan petani semakin meningkat. Kondisi dan potensi tegakan sangat penting diketahui untuk menilai keberhasilan pengelolaan hutan rakyat, di mana kondisi tegakan ini dipengaruhi oleh bentuk-bentuk pengembangan hutan rakyat. B. Rumusan Masalah Permasalahan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti bagaimana polapola pengembangan hutan rakyat yang ada? Faktor apa yang menyebabkan kondisi tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah pola apa yang dinilai baik dari segi kualitas tegakan dengan membandingkan beberapa pola yang ada tersebut. C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui kondisi hutan rakyat pada beberapa pola pengembangan dan faktor-faktor penyebabnya serta membandingkan tiap pola pengembangan hutan rakyat yang ada. 2. Mengetahui potensi hutan rakyat pada beberapa pola pengembangan hutan rakyat yang ada. II. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Pada saat sekarang ini pembangunan hutan rakyat banyak dikembangkan dengan berbagai pola diantaranya yaitu pola kemitraan, pola swadaya dan bentuk bantuan murni seperti bantuan dari pemerintah dan pihak lainnya. Dari penelitian yang terdahulu diketahui bahwa tegakan yang dihasilkan pada pola swadaya cukup bagus baik diamater maupun tinggi pohonnya dibandingkan dengan pola kemitraan. Padahal dengan adanya pola kemitraan itu diharapkan akan menghasilkan kualitas dan kuantitas tegakan yang lebih baik.
2
Kondisi dan potensi tegakan yang diamati akan memberikan gambaran bagaimana pertumbuhan tegakan yang sesungguhnya pada tiap-tiap pola pengembangan yang ada. Selain itu akan diketahui pula hal-hal lain yang menjadi sebab dari baik atau tidaknya pertumbuhan tegakan hutan rakyat tersebut, karena pertumbuhan tegakan kayu atau tanaman sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Selanjutnya dengan dihasilkannya tegakan yang berkualitas maka diharapkan akan meningkatkan daya jual kayu rakyat dan pada akhirnya akan menambah pendapatan petani sehingga kesejahteraannya akan meningkat. Dengan kondisi tersebut akan merangsang petani untuk terus mengembangkan hutan rakyatnya sehingga kelestarian kayu rakyat akan terjamin. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Ciamis selama 2 bulan pada Bulan Nopember sampai dengan Desember 2004. C. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Kecamatan dan desa di Kabupaten Ciamis yang mempunyai kegiatan hutan rakyat baik swadaya maupun kemitraan diinventarisir dan dipilih tiga kecamatan secara sengaja yakni Kecamatan Ciamis (Desa Sukamulya dan Mekarjaya) yang mewakili hutan rakyat pola swadaya, Kecamatan Banjarsari (Desa Raharja) dan Kecamatan Panawangan (Desa Jagabaya) yang mewakili hutan rakyat pola kemitraan/inpres. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner yang telah disiapkan terlebih dahulu. Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden untuk masing-masing desa ditentukan sebanyak 20% dari jumlah petani hutan rakyat yang ikut dalam kegiatan kemitraan. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kondisi masingmasing pola pengembangan sehingga dapat diketahui perbandingannya. Untuk mengetahui kondisi dan potensi tegakan baik yang dikelola secara swadaya maupun kemitraan dilakukan pengamatan dan pengukuran terhadap pohon/tegakan hutan rakyat (diameter dan tinggi). Sampel adalah petani pemilik hutan rakyat yang memiliki/menggarap hutan rakyat (pola swadaya atau kemitraan) secara acak dimana luas yang disurvey adalah luasan seluruhnya yang dimiliki oleh petani yang terpilih tersebut dalam satu hamparan. Untuk memperkirakan potensi tegakan dilakukan melalui pendekatan penaksiran volume pohon, dengan rumus : V = ¼ π d2 x t x f, dimana : V = volume pohon (m3), π = 3,14, d = diameter pohon setinggi dada (m), t = tinggi pohon (m), dan f = bilangan angka bentuk (0,7). Data sekunder dikumpulkan dari data-data yang tersedia di desa, kecamatan, dinas maupun instansi lain yang terkait dengan kegiatan penelitian ini. Data sekunder tersebut diantaranya adalah mengenai kondisi lokasi penelitian, kependudukan dan penggunaan lahan di lokasi.
3
III. KEADAAN UMUM LOKASI A. Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108o20’ BT dan 7o40’20” LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah timur dengan Kota Banjar dan Propinsi Jawa Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, dan sebelah selatan dengan Samudera Indonesia. Pada tahun 2003, wilayah Kota Administratif Banjar terpisah dari wilayah Kabupaten Ciamis dan berubah status menjadi Kota Banjar. Dengan terpisahnya wilayah tersebut, Kabupaten Ciamis mengalami pengurangan luas dari 255.910 ha menjadi 244.479 ha. Secara administratif Kabupaten Ciamis (tahun 2003) terdiri dari 30 kecamatan, 336 desa dan 7 kelurahan. Menurut identifikasi desa/kelurahan di Ciamis terdapat 200 desa swadaya dan 143 desa swakarya. B. Sosial, Demografi, dan Penggunaan Lahan Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Panawangan, dan Kecamatan Ciamis. Kecamatan Banjarsari memiliki luas wilayah sebesar 162,62 km2, jumlah penduduk 95.378 orang yang terdiri dari laki-laki 247.151 orang dan perempuan 48.227 orang dengan rata-rata kepadatan per km2 587 orang. Kecamatan Panawangan memiliki luas wilayah 80,91 km2, jumlah penduduk 48.097 orang yang terdiri dari laki-laki 23.420 orang dan perempuan 24.677 orang, dengan rata-rata kepadatan per km2 adalah 594 orang. Sedangkan Kecamatan Ciamis memiliki luas 57,36 km2, jumlah penduduk 117.610 jiwa yang terdiri dari laki-laki 58.290 orang dan perempuan 59.320 orang dengan rata-rata kepadatan penduduk 2.050 orang per km2. Di Kecamatan Banjarsari terdapat 39 kelompok tani hutan rakyat dengan jumlah anggota 1.024 orang dengan klasifikasi sebagai berikut: kelas pemula berjumlah 24 kelompok, 1 kelompok kelas lanjut, dan 14 kelompok kelas madya. Kecamatan Panawangan mempunyai 41 kelompok tani yang terdiri dari 30 kelompok kelas lanjut, 10 kelompok kelas madya dan 1 kelompok kelas utama dengan jumlah anggota keseluruhan sebanyak 1.693 orang. Di Kecamatan Ciamis terdapat 10 kelompok tani dengan jumlah anggota 239 orang dengan kualifikasi termasuk dalam kelas pemula seluruhnya. Kondisi dan penggunaan lahan lainnya di tiga kecamatan yang diamati dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Kondisi dan Penggunaan Lahan Kecamatan Contoh di Kabupaten Ciamis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kondisi dan Penggunaan Tanah Tanah sawah Tanah bukan sawah Tanah kering Tanah lainnya Pekarangan Tegal/kebun Ladang huma Padang rumput Sementara tidak digunakan Kolam/tebat/empang Lahan kering Lahan kritis Hutan rakyat
Banjarsari 3.140
Kecamatan Panawangan 2.262
Ciamis 1.623
2.397 5.549 -
912 3.757 25
1.533 1.080 2 -
102 13.122 282,8 2.416,82
104 5.829 51 962
165 4.113 100 288
Sumber : Diolah dari Kabupaten Ciamis Dalam Angka , 2003
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Ciamis mempunyai hutan rakyat dengan luas sekitar 28.830,44 ha yang tersebar di 30 Kecamatan. Luas hutan rakyat berturut-turut di Kecamatan Banjarsari, Panawangan, dan Ciamis, adalah 2.416,82 ha, 288 ha, dan 962 ha (Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis, 2003). Hutan rakyat ini dikembangkan baik melalui swadaya masyarakat maupun dengan bantuan pemerintah melalui program penghijauan. Hutan rakyat di Ciamis mempunyai ciri diantaranya adalah rata-rata luas hutan rakyat pada umumnya sempit dan jenis tanaman yang diusahakan campuran. Jenis tanaman yang banyak dikembangkan diantaranya sengon, mahoni, jati, dan jenis buah-buahan seperti durian, rambutan, duku, dan sebagainya. Hasil hutan rakyat berupa kayu menjadi sangat penting manfaatnya sehigga istilah kayu rakyat lebih menonjol dibandingkan hutan rakyat. Petani hutan rakyat pada umumnya telah menguasai sistem budidaya hutan rakyat mulai dari penyediaan bibit/biji, penanaman, pemeliharaan, sampai pemasaran yang semuanya dilakukan secara sederhana. Meskipun mempunyai potensi yang cukup besar namun pengelolaanya belum mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakat karena belum berorientasi bisnis. Hal lain adalah sedikitnya jumlah pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang tidak menentu. Petani hutan rakyat cenderung memposisikan pohon yang ada hutan rakyat sebagai ”tabungan” dan tidak sebagai sumber pendapatan utama. Dimana pada saat diperlukan dapat ditebang dan dijual, yang lebih dikenal dengan daur butuh. Cara pandang ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan hutan rakyat itu sendiri dimana jika pohon dipandang sebagai sumber pendapatan utama maka pengelolaannya akan lebih intensif. Pola usaha tani hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang paling
5
menguntungkan (Hardjanto, 1990 dalam Hardjanto, 2003). Selanjutnya dikemukakan pemilik hutan rakyat umumnya belum menggantungkan penghidupannya pada hutan-hutan yang dimilikinya, karena masih mengusahakan sebagai kegiatan sampingan. Meskipun di lokasi penelitian yang diamati ada pula sebagian petani yang menjadikan hutan rakyat sebagai mata pencaharian utama, namun kondisi tegakan yang ada belum mencerminkan sebagai sumber mata pencaharian utama. A. Kondisi Tegakan Menurut Lembaga Penelitian (LP) IPB (1983) dalam Hardjanto (2003) dikemukakan bahwa pola pembangunan hutan rakyat terdiri dari dua bentuk yaitu: hutan rakyat tradisional dan hutan rakyat inpres. Hutan rakyat tradisional merupakan cara penanaman hutan pada tanah milik (lahan kering) yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Bentuk penanamannya adalah campuran antara tanaman buah-buahan dan dikenal dengan pola usaha tani lahan kering. Sedangkan hutan rakyat inpres yaitu hutan rakyat yang penanamannya murni dilakukan di tanah terlantar. Pembangunan hutan rakyat ini diprakarsai oleh proyek bantuan penghijauan. Berdasarkan jenis tanamannya, hutan rakyat terbagi atas tiga bentuk; 1) hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur; 2) hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran; dan 3) hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu. Berdasar hal di atas, di lapangan dijumpai dua jenis hutan rakyat yaitu hutan rakyat swadaya/tradisional dan hutan rakyat kemitraan/inpres. Pola swadaya dibagi lagi menjadi dua berdasarkan kedekatan jarak pemilik dengan lokasi hutan rakyat yakni pemilik memiliki jarak dekat dan jauh dari lokasi hutan rakyat. Pembagian ini dilakukan karena terdapat perbedaan cukup signifikan terhadap pengelolaan hutan rakyat itu sendiri. Hutan rakyat pola kemitraan dengan pemerintah dapat digolongkan kepada jenis hutan rakyat inpres, meskipun hutan rakyat inpres tidak ada lagi programnya sekarang ini. Kegiatan ini termasuk inpres karena semua bantuan yang diberikan berasal dari pemerintah dan tidak perlu dikembalikan lagi dana yang digulirkan kepada petani. Jenis tanaman yang ditanam terdiri dari jenis kayu maupun MPTs (Multipurpose Tree Species). Jenis-jenis kayu yang banyak ditemui di lapangan terdiri dari: mahoni (Swietenia sp.), sengon (Paraserianthes falcataria), pala (Myristrica fragrans), afrika (Maesopsis eminii), sungkai (Peronema canescens), suren (Toona sureni), jati (Tectona grandis), dan sebagainya. Pohon-pohon MPTs atau pohon serbaguna adalah jenis pohon yang memiliki beragam kegunaan, selain dapat dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan lainlain, pohon ini memiliki manfaat lain sebagai makanan (buah, biji, daun atau kulitnya), pakan ternak bahkan dapat dijadikan obat-obatan. Dari sisi ekologis pohon ini juga dapat berfungsi sebagai penahan angin, konservasi tanah, pagar hidup, fiksasi nitrogen, pupuk, dan sebagainya. Dengan adanya pohon-pohon
6
MPTs yang ditanam di lahan masyarakat ini akan memberikan penghasilan tambahan yang bisa lebih sering dirasakan manfaatnya dibanding tanaman kayu. Jenis-jenis MPTs diantaranya: alpukat (Persea americana), nangka (Arthocarpus heterophyllus), duku (Lansium domesticum), petai (Parkia speciosa), rambutan (Nephelium lappceum), manggis (Garcinia mangostana), dan lain-lain. Berdasarkan jenis tanamannya, hutan rakyat tipe pemilik dekat dengan lokasi merupakan hutan rakyat campuran yang terdiri dari berbagai jenis tanaman tahunan (tanaman kayu) dan tanaman buah-buahan serta jenis-jenis tanaman pertanian seperti kelapa (Cocos nucifera), pepaya (Carica papaya), pisang (Musa paradisica), ubi kayu (Manihot utilisima), dan lain-lain. Sedangkan hutan rakyat tipe pemilik jauh dari lokasi hutan rakyat merupakan hutan rakyat murni yang hanya ditanami satu jenis tanaman yaitu sengon. Menurut Donie, et. al (2001) kondisi tegakan merupakan hal penting yang perlu diketahui untuk menilai keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Kondisi tersebut dicerminkan oleh beberapa parameter diantaranya jumlah batang/ha, sebaran diameter, tinggi tanaman. Kondisi tegakan atau tanaman kayu rakyat dinyatakan dengaan luasan ha dapat menyesatkan, sebab beberapa faktor seperti umur, jenis tanaman, kerapatan pada umumya tidak jelas. Tanaman kayu rakyat juga tidak ditanam secara murni dan ditanam dalam waktu yang sama (Djajapertjunda, 2003). Data tegakan diperoleh melalui inventarisasi tegakan tingkat perkembangan pohon, tiang, dan pancang. Hasil dari inventarisasi tegakan hutan rakyat tersebut terdiri dari jenis kayu-kayuan dan MPTs seperti disajikan pada Lampiran 1. Menurut Vanclay (2003) pengelompokkan berdasarkan kelompok jenis dan kelas diameter dapat memberikan gambaran yang lebih baik terhadap variasi perilaku individu pohon. Dari Lampiran 1 tersebut dapat dilihat bahwa pola pengembangan swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi mempunyai jumlah jenis terbanyak baik untuk jenis kayu maupun MPTs. Hal ini disebabkan karena petani menyadari bahwa dengan bervariasinya jenis yang ditanam akan memberikan hasil yang bervariasi pula baik dilihat dari segi umur panen maupun jenis yang dipanen (buah atau kayu). Selain itu, variasi jenis tanaman yang ada juga disebabkan karena sumber bibit berasal dari anakan yang tumbuh secara alami melalui seleksi alam, sehingga waktu penanaman tidak serentak. Petani hutan rakyat ada yang hanya menjadikan hutan rakyat sebagai sampingan namun ada juga petani menjadikan hutan rakyat sebagai sumber mata pencaharian utama. Meskipun jenis kayu dapat dipanen dalam jangka waktu yang lama namun memberikan hasil yang lebih besar, sehingga diharapkan bisa untuk memenuhi kebutuhan petani yang cukup besar, misalnya untuk bangunan, kebutuhan sekolah anak, pesta dan lain-lain. Sedangkan jenis MPTs dapat dipanen lebih sering untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek. Pada hutan rakyat swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi dan pola kemitraan baik kemitraan dengan pemerintah maupun dengan Perhutani, jenis yang ditanam relatif lebih homogen atau monokultur (variasi jenis sedikit) dan cenderung menanam jenis kayu-kayuan saja. Hal ini disebabkan adanya orientasi bisnis dan keinginan mitra (pemerintah maupun Perhutani), dan disesuaikan dengan kondisi
7
lokasi pengembangan (kondisi lapangan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat). Pola sebaran diameter pohon yang terdapat di hutan rakyat sangat bervariasi antar jenis, pemilik, dan lokasi. Dilihat dari penyebaran kelas diameter, hutan rakyat swadaya dengan pemilik dekat dengan lokasi mempunyai kelas diameter yang cenderung menyebar. Hal ini menunjukkan umur tanaman yang bervariasi karena faktor sumber bibit yang berasal dari anakan alamiah yang tidak tersedia sepanjang tahun, sehingga waktu penanaman tidak seragam/serentak. Menurut Hardjanto (2003), bentuk sebaran diameter pohon yang beragam ini menyebabkan kesulitan pengaturan kelestarian hasil hutan rakyat. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa sebaran diameter terbesar terdapat pada hutan rakyat swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi yaitu jenis mahoni pada kelas 20-30 cm dengan jumlah 14 pohon. Sedangkan pada tipe pengembangan lainnya, pengaturan waktu penanaman sangat diperhatikan, ini terlihat dari homogennya penyebaran kelas diameter. Pada pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi, kelas yang mempunyai diameter tertinggi yaitu jenis sengon. Perbandingan ketiga pola pengembangan hutan rakyat seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan pola pengembangan hutan rakyat No. No. 1.
2. 3.
Pola Pengembangan
Jenis Tanaman
Sebaran Diameter
Orientasi
Swadaya - Pemilik dekat dari lokasi
Campuran
Menyebar
- Pemilik jauh dari lokasi
monokultur
Cenderung Seragam
Kemitraan dengan Pemerintah Kemitraaan dengan Perhutani
monokultur monokultur
Cenderung Seragam Cenderung Seragam
Kebutuhan sehari-hari jangka pendek Kebutuhan sehari-hari dan Jangka panjang Bisnis/Jangka Panjang Bisnis/Jangka panjang
Selanjutnya untuk melihat persentase jumlah pohon (kayu-kayuan) terhadap total pohon pada satu hamparan pada berbagai pola pengembangan digambarkan oleh grafik di bawah ini. Perbandingan jumlah pohon pada pola swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi pada luasan survey 1400 m2 dan 2100 m2 berdasarkan kelompok jenis dan jenis kayu berturut-turut seperti pada Gambar 1 dan Gambar 2.
8
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Pohon pada Pola Swadaya Tipe Pemilik Dekat dengan Lokasi Hutan Rakyat, pada Luasan Survey 1400 m2 (Kiri) dan 2100 m2 (Kanan) Berdasarkan Kelompok Jenis
Gambar 2. Perbandingan Jumlah Pohon pada Pola Swadaya Tipe Pemilik Dekat dengan Lokasi Hutan Rakyat, pada Luasan Survey 1400 m2 (Kiri) dan 2100 m2 (Kanan) untuk Jenis Kayu-kayuan Pada Gambar 1 terlihat bahwa pada pola swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi hutan rakyat persentase tanaman kayu-kayuan lebih besar dibandingkan dengan tanaman MPTs ataupun tanaman lainnya (tanaman perkebunan). Dari Gambar 2 terlihat bahwa persentase tanaman kayu-kayuan yang terbesar pada kedua lokasi yang disurvey adalah jenis sengon dan mahoni yang masing-masing sekitar 31,5% dan 60,2%. Pada pola swadaya tipe pemilik jauh dengan lokasi, dari dua lokasi yang disurvey persentase tanaman kayu juga lebih banyak dibandingkan dengan tanaman MPTs, dan jenis kayu yang paling besar persentasenya (dominan) adalah sengon seperti terlihat pada Gambar 3 dan 4. Dalam skala kecil, sengon sangat cocok dikembangkan dengan sistem perkebunan rakyat yang mengusahakannya sebagai pohon utama termasuk di Kabupaten Ciamis dimana hampir seluruh petani hutan rakyat menanam pohon sengon baik untuk dibudidayakan atau sekedar sebagai pohon peneduh di kebun yang dimilikinya. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya keuntungan yang diperoleh sehingga para petani atau peilik lahan berpikir dua kali untuk menanam jenis pohon lainnya (Atmosuseno, 1999).
9
Gambar 3. Perbandingan Jumlah Pohon pada Pola Swadaya Tipe Pemilik Jauh dari Lokasi Hutan Rakyat, pada Luasan Survey 3360 m2 (Kiri) dan 2100 m2 (Kanan) Berdasarkan Kelompok Jenis
Gambar 4. Perbandingan Jumlah Pohon pada Pola Swadaya Tipe Pemilik Jauh dari Lokasi Hutan Rakyat, pada Luasan Survey 3360 m2 (Kiri) dan 2100 m2 (Kanan) untuk Jenis kayu-kayuan Gambar 5 berikut menunjukkan perbandingan jumlah pohon pada pola kemitraan dengan pemerintah yang sifatnya subsidi. Pada program penghijauan ini pemerintah menyediakan bibit tanaman kayu dan buah-buahan. Persentase jumlah pohon kayu-kayuan mencapai 91% dengan 3 jenis tanaman yaitu suren, mahoni dan sengon dengan jenis kayu yang paling dominan adalah sengon.
Gambar 5. Perbandingan Jumlah Pohon pada Pola Kemitraan dengan Pemerintah, pada Luasan Survey 1200 m2 untuk Jenis Kayu-kayuan Pada pengembangan hutan rakyat pola kemitraan dengan Perhutani ada dua jenis yaitu pola kemitraan sharing kayu dan pola kemitraan murni Jati. Pada pola kemitraan murni jati, dalam hamparan tersebut hanya ditanam jati dan sama sekali tidak ada tanaman jenis lainnya. Sedangkan pada pola kemitraan sharing kayu persentase tanaman kayu-kayuan adalah 100% dengan jenis tanaman mahoni, sengon dan jati. Jati memiliki persentase paling besar karena merupakan tanaman pokok yang ditentukan olah mitra, sedangkan sengon yang merupakan tanaman milik masyarakat hanya sekitar 12 % dan 34,3 % seperti tertera pada Gambar 6.
10
Gambar 6. Perbandingan Jumlah Pohon pada Pola Kemitraan dengan Perhutani (Sharing kayu), pada Luasan Survey 1000 m2 (Kiri) dan 1000 m2 (Kanan) untuk Jenis Kayu-kayuan Berdasarkan pengamatan lapangan secara visual diketahui bahwa kondisi tegakan yang relatif paling bagus diantara ketiga pola pengembangan hutan rakyat yakni pola kemitraan dengan Perhutani, hal ini terkait dengan upaya pengelolaan yang lebih intensif dengan melakukan tindakan silvikultur seperti jarak tanam, pemupukan, dan sebagainya. Seperti dijelaskan di atas bahwa hal ini berkaitan dengan orientasi/cara pandang petani terhadap hutan rakyat yang dikelolanya. Hal paling penting yang sering diabaikan dalam pembangunan hutan rakyat adalah mutu bibit. Padahal keberhasilan suatu penanaman hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kualitas bibit, dimana bibit yang rendah mutunya akan menghasilkan kayu yang juga rendah kualitasnya. Pembelian bibit sangat jarang dilakukan apalagi bibit yang berlabel, karena memerlukan biaya mahal (Yuliani, et. al, 2004). Pada pola pengembangan swadaya dengan pemilik dekat dengan lokasi, bibit sengon yang ditanam merupakan anakan liar (tumbuh alami), sehingga kualitasnya tidak terjamin. Hal ini menyebabkan kualitas pohon yang tumbuhpun kurang bagus, bahkan mudah sekali terserang hama penyakit.
Gambar 7. Bibit Tanaman Sengon Alamiah Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa kondisi tegakan di hutan rakyat tipe swadaya pemilik dekat dengan lokasi kurang bagus. Hal ini dapat dilihat dari kondisi visual dan diameternya, ini disebabkan oleh kualitas bibit dan kurangnya pemeliharaan termasuk pemupukan akibat keterbatasan modal. Situasi ini sangat menarik dan cukup ironi karena sebagai sumber mata pencaharian utama seharusnya petani mengelola hutan rakyat dengan intensif ditambah dengan kedekatan jarak dengan tempat tinggalnya. Berbeda dengan tipe lainnya yang cenderung sudah menerapkan teknik silvikultur seperti pengaturan
11
jarak tanam, pemeliharaan dan lain-lainnya sehingga kondisi tegakannya lebih baik seperti yang terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Tegakan Hutan Rakyat Pola Swadaya Tipe pemilik Jauh dari Lokasi Kondisi tegakan pada hutan rakyat yang dimitrakan dengan Perhutani jauh lebih baik dibandingkan dengan tipe hutan rakyat lainnya karena sudah ada pengaturan jarak tanam dan pembinaan teknis penanaman yang dilakukan oleh petugas (mandor tanam), sehingga persen tumbuh tanaman jauh lebih tinggi seperti terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Tegakan Hutan Rakyat Pola Kemitraan (Murni Jati) B. Potensi Tegakan Pengukuran terhadap potensi tegakan dilakukan pada beberapa jenis tanaman kayu tanpa memperhatikan kelas umur, karena kesulitan menemukan hutan/kebun rakyat dalam satu hamparan yang memiliki umur yang sama. Parameter yang diamati adalah diameter dan tinggi pohon, sehingga dapat diketahui volumenya. Potensi tegakan yang dihitung hanya potensi tegakan yang paling dominan saja pada setiap pola pengembangan yaitu sengon. Produktivitas suatu pohon ditentukan oleh dua faktor yakni faktor keturunan (genetik) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan suatu faktor yang diturunkan oleh pohon induk asal bibit tersebut yang sangat menentukan terutama
12
dalam bentuk batang. Sedangkan faktor lingkungan merupakan suatu sifat yang dipengaruhi oleh lingkungan misalnya kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi tinggi pohon dan diameter batang. Untuk mendapatkan produktivitas yang optimal, kedua faktor tersebut harus sama-sama diperhatikan karena suatu pohon dengan tinggi dan diameter yang baik tapi bentuk batangnya bengkok akan mempunyai nilai jual yang rendah (Yuliani, et. al, 2004). Potensi tegakan kayu yang dihasilkan pada setiap pola pengembangan sangat dipengaruhi oleh jumlah pohon persatuan luas, diameter, dan tinggi tanaman, dimana diameter dan tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor eksternal dari petani seperti kesuburan tanah, dan iklim sedangkan pola pengembangannya sangat dipengaruhi faktor internal seperti pengetahuan petani tentang jarak tanam, sistem silvikultur, dan sebagainya. Sehingga potensi tegakan yang dihasilkan pada setiap pola pengembangan akan berlainan. Pada semua tipe pengembangan terdapat jenis yang selalu ada/ditanam di lahan hutan rakyat yakni jenis sengon. Hal ini disebabkan jenis sengon selalu diidentikkan dengan hutan rakyat. Potensi sengon pada tiap pengembangan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Potensi Sengon pada Beberapa Pola Pengembangan Hutan Rakyat Table 3. Potency of Paraserianthes falcataria at Several Private Forest Development Pattern No. No
1. 2. 3.
4.
Pola Pengembangan Pattern of Development Swadaya (dekat lokasi) Swadaya (jauh dari lokasi) Kemitraan Pemerintah Kemitraan Perum Perhutanisharing kayu
Luas yang disurvey (m2) Extend of surveying (m2) 1400 2100 3360 2100 1820
11 17 78 66 6
Jumlah pohon per ha Total of Trees per ha 79 81 233 315 33
23,38 23,81 10,12 7,02 28
16 12 9,88 7,31 15,17
29,80 21,33 31,77 6,85 37,90
139
68
567
2,75
262,50
-
1000
131
45
450
3,58
319,00
-
1000
124
14
140
2,82
263,00
-
Jumlah total pohon Total of Trees
Jumlah pohon sengon Total of Paraserianthes falcataria
75 95 97 109 145
1200
Rata-rata Ø Tinggi (cm) (m) Ø Height (cm) (m)
Volume (m3) Volume (m3)
Sumber : Data Primer, 2004 (diolah)
Source : Primary Data, 2004 (proceesed)
Dari tabel di atas diketahui bahwa pola pengembangan hutan rakyat swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi mempunyai jumlah pohon per ha lebih sedikit namun diameter dan tinggi pohon rata-rata lebih besar daripada pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi. Hal ini disebabkan pada pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi mempunyai kondisi tegakan yang cukup rapat serta adanya jenis kayu lain yang ditanam. Dari hasil perhitungan dihasilkan volume pohon pada hutan rakyat tipe pemilik dekat dengan lokasi hutan rakyat lebih besar. Pada pola kemitraan dengan pemerintah (sejenis subsidi) lahan yang digunakan adalah lahan kritis milik desa dan pohon sengon yang ada merupakan subsidi/bantuan dari pemerintah. Jumlah pohon yang ditanam cukup banyak,
13
namun karena usianya baru 2 tahun, maka diameter dan tinginya masih relatif kecil serta volume pohonnya belum dapat ditaksir. Demikian juga dengan hutan rakyat pada pola kemitraan dengan Perhutani, volumenya belum dapat dihitung mengingat umur tegakan baru mencapai 2 tahun. Selanjutnya untuk melihat kondisi tanaman sengon pada tiap pola pengembangan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Batang dan Sebaran Kelas Diameter Tegakan Sengon per Luasan yang Disurvey Table 4. Total of Trees and Diameter Classis Paraserianthes falcataria Stands per Extend of Surveying
No. No.
1.
Lokasi (Desa) Location (Village)
Pola pengembangan Pattern of Development
Desa Sukamulya
Swadaya (dekat lokasi)
Luas disurvey (m2) Extend of Surveying (m2) 1400 2100 3360
2.
Desa Mekarjaya
Swadaya (jauh dari lokasi)
2100 1820
3.
Desa Jaga Baya
4.
Desa Raharja
Kemitraan Pemerintah Kemitraan Perum Perhutani – sharing kayu
1200 1000 1000
Jumlah pohon Total of Trees 11 (14,67%) 17 (17,89%) 78 (80,4%) 66 (60,6%) 6 (4,1%) 68 (48,9%) 45 (34,4%) 14 (11,3%)
Kelas diameter pohon (cm) Diameter Classis of Trees (cm)
<10
10 - 20
20 - 30
>30
6 (54,5) 4 (23,5) 71 (91,0) 37 (56,1) -
2 (18,2) 5 (29,4) 7 (9,0) 25 (37,9) 2 (33,3) -
1 (9,1) 4 (23,5) -
2 (18,2) 4 (23,5) -
4 (6,1) 2 (33,3) -
2 (33,3) -
-
-
-
-
-
-
68 (100) 45 (100) 14 (100)
Sumber : Data Primer, 2004 (diolah) Source : Primary Data, 2004 (processed)
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada pola swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi umumnya memiliki jenis tanaman yang lebih beragam, dengan diameter kayu yang juga bervariasi. Sedangkan pada pengembangan pola kemitraan dengan pemerintah, jenis tanaman yang ditanam disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan keinginan petani sebagai mitra, tapi jenis yang ditanam cenderung pada satu jenis dan sistem penanaman dilakukan secara serentak sehingga diameter tidak terlalu bervariasi. Pola swadaya tipe pemilik dekat lokasi mempunyai rata-rata jumlah sengon sebesar 16,28% pada seluruh jumlah pohon kayu yang ada di lokasi. Sedangkan pada pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi mempunyai rata-rata 46,4%, jumlah pada pola kemitraan dengan pemerintah sebesar 48,9% dan pola kemitraan dengan Perhutani sebesar 22,85%. Disini terlihat bahwa pola kemitraan dengan pemerintah menunjukkan tanaman sengon lebih banyak disusul oleh pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi. Sedangkan untuk kelas diameternya pada semua pola pengembangan prosentase terbesar adalah untuk diameter dibawah 10 cm.
14
Untuk diameter diatas 30 cm hanya ditemui pada pola swadaya dengan prosentase yang tidak begitu besar. Pada pola pengembangan hutan rakyat swadaya umumnya petani kurang mengetahui umur pohon yang ditanamnya. Hal ini disebabkan karena sengon yang ada di lahannya tidak ditanam secara sengaja dan bersamaan sehingga umur tanamnya bervariasi dengan diameter dan tinggi yang bervariasi pula. Dengan kondisi yang demikian memang belum tepat bila ingin membandingkan kondisi dan potensi tegakan pada pola swadaya dengan pola kemitraan dengan pemerintah maupun pola kemitraan dengan Perhutani, mengingat banyak hal yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan suatu pohon misalnya kesuburan tanah, kondisi iklim, jenis-jenis pohon yang ditanam, dan sebagainya. Sehingga akan lebih baik jika membandingkan pohon yang tahun tanamnya (umur) sama. Namun demikian berdasarkan Tabel 3 diketahui volume kayu rakyat (sengon) cukup besar, seperti pada pola swadaya tipe pemilik jauh dengan lokasi hutan rakyat, dengan luasan 3360 m2 menghasilkan volume kayu 31,77 m3, dan luasan 1820 m2 menghasilkan sengon 37,90 m3. Hal ini menunjukkan bahwa potensi kayu rakyat cukup besar sehingga keberadaannya harus dilestarikan. Menurut Hardjanto (2003) bahwa potensi kayu rakyat yang berasal dari hutan rakyat cukup besar, hanya karena belum adanya pola pemantauan yang baik sehingga perannya belum terlihat dalam statistik yang terpublikasikan. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya adalah: 1. Kondisi tegakan hutan rakyat pada pola swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi lebih bagus dibandingkan tipe pemilik jauh dari lokasi, hal ini disebabkan karena kualitas bibit dan kurangnya pemeliharaan (pemupukan) akibat keterbatasan modal. Demikian halnya dengan pola kemitraan dengan pemerintah maupun Perhutani mempunyai kondisi tegakan bagus, karena pada pola ini sudah diterapkan sistem silvikultur dan pemeliharaan yang baik. 2. Pola hutan rakyat swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi mempunyai jumlah pohon per ha lebih sedikit namun diameter dan tinggi pohon rata-rata lebih besar daripada pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi. Hal ini disebabkan karena pada pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi mempunyai kondisi tegakan yang cukup rapat serta adanya jenis kayu lain yang ditanam. Pola kemitraan dengan pemerintah (sejenis subsidi) dan Perhutani volume pohonnya belum dapat dihitung mengingat umur tegakan baru mencapai 2 tahun. 3. Jenis pohon yang dominan ditanam pada setiap pola pengembangan hutan rakyat adalah sengon. Potensi sengon terbesar terdapat pada pola swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi hutan rakyat. Sedangkan pada pola kemitraan potensi kayu sengon belum dapat dihitung mengingat umur tanaman masih muda.
15
B. SARAN 1. Bantuan kemitraan yang diberikan kepada petani sebaiknya dimulai dari hulu sampai hilir, artinya mulai dari teknis penanaman di lapangan sampai dengan pemasaran hasil produksi dari kegiatan tersebut. 2. Hutan rakyat pola swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi, perlu mendapat perhatian lebih diantaranya melalui pemberian bantuan modal baik berupa sistem kemitraan ataupun hibah murni (subsidi) dan bantuan transfer teknologi yaitu dengan mengaktifkan kembali kegiatan penyuluhan. 3. Pada pola kemitraan dengan Perhutani perlu dihitung kembali prosentase jumlah kayu rakyat (sengon) yang diperbolehkan ditanam di lahan Perhutani, sehingga dihasilkan titik keseimbangan yang dapat memberikan keuntungan yang maksimal bagi petani maupun Perhutani. VII. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Kabupaten Ciamis Dalam Angka 2003. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis Dengan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Ciamis. Djajapertjunda, S. 2003. Jatinangor.
Mengembangkan Hutan Milik di Jawa.
Alqaprint.
Donie, S., Mashudi dan E. Irawan. 2001. Kemitraan dalam rangka pengembangan hutan rakyat. Kasus di Kabupaten Klaten, Karanganyar dan Blitar. Buletin Teknologi Pengelolaan DAS No. VII, 1, 2001 hlm 42–62. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta. Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana., IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Indrawati, D.R. 1999. Model-Model Kemitraan Dalam Pengembangan Hutan Rakyat. Buletin Teknologi Pengelolaan DAS No. V, 1, 1999 hlm 1–14. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta. Yuliani, S.E., dan D. Diniyati. 2004. Identifikasi masalah pengembangan hutan rakyat di Desa Boja, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap. Al-Basia No. 1/thn 1/Januari/2004. Hlm 31-38. Loka Litbang Hutan Monsoon Ciamis. Vanclay, J.K, F.L Sinclair and R. Prabhu. 2003. Modeling Interactions Among People and Forest Resources at the Landscape Scale. Journal of Small-Scale Forest Economics, Management and Policy, 2 (2) : 117-120.
16
LAMPIRAN Lampiran 1. Tabel . Kondisi Tegakan Berdasarkan Kelompok Jenis Table . Condition of Stands Based on Species Groups Desa (Village)
Desa Sukamulya
Pola Pengembangan Pattern of Development
Luas yang di survey (m2) Extend of Surveying (m2)
Swadaya (tipe pemilik dekat dengan lokasi hutan rakyat )
Kelompok Jenis Species Groups
Jumlah pohon Total of Trees
<10
10 – 20
20 - 30
Mahoni Sengon Balang Afrika Tisuk Katulampa
31 11 4 3 1 2
2 6 4 2 1 2
13 2 -
14 1 1 -
MPTs
Alpukat Nangka Duku Petai Rambutan Manggis Pala
3 4 1 5 3 1 2
1 3 1 1 1
2 2 2 1
1 1 -
Lain-lain
Kopi Cengkeh
3 4
-
-
-
Kayu-kayuan
Jenis Pohon Trees Species
Kelas diameter pohon (cm) Tree Diameter Class (cm)
1400
> 30 2 2 1 2 -
17
Sengon Mahoni Katulampa Afrika Sungkai Picung Balang
17 12 1 10 12 1 1
4 5 1 6 12 1
5 5 4 -
4 1 1 -
4 1 -
MPTs
Jengkol Manggis Nangka Alpukat Tundu Kemiri Duku Petai Melinjo
5 2 11 7 1 2 2 3 6
2 6 5 1 1 2 4
3 2 4 2 2
1 2 1 -
Lain-lain
Kopi
14
-
-
-
Sengon Suren Mahoni Afrika Sengon
78 19 38 5 66
71 19 38 5 37
7 25
4
1 -
-
-
-
-
-
79 14 6
65 8 26
10 2 2
2 3 2
2 1 2
-
-
-
-
-
Kayu-kayuan
2100
3360
Kayu-kayuan MPTs
Desa Mekarjaya
Swadaya (tipe pemilik jauh dari lokasi hutan rakyat)
Kayu-kayuan 2100 MPTs
-
Kayu-kayuan
Mahoni Afrika Sengon
MPTs
-
1820
18
Desa Jaga Baya
Kemitraan dengan Pemerintah
Kemitraan dengan Perhutani – sharing kayu
Kemitraan dengan Perhutani – murni jati
68 46 13
68 46 13
-
-
MPTs
Melinjo Petai
6 6
6 6
-
-
Kayu-kayuan
Jati Mahoni Sengon
71 15 45
71 15 45
-
-
Jati Mahoni Sengon
-
-
-
-
97 13 14
97 13 14
-
-
-
-
-
-
-
112
112
-
-
-
-
-
-
-
-
MPTs
1000
Desa Raharja
Sengon Mahoni Suren
1200
1000 Desa Raharja
Kayu-kayuan
Kayu-kayuan MPTs
-
Kayu-kayuan
Jati
MPTs
-
1000
Sumber : Data Primer, 2004 Source : Primary Data, 2004
19