DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEDESAAN (Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog, Kec. Cikelet dan Desa Girijaya, Kec. Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat).
RAIS SONAJI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ; “Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan : Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut”, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir karya ilmiah ini.
Bogor, Februari 2009
RAIS SONAJI A 152040031
ii
ABSTRACT
RAIS SONAJI. The Empowerment Dinamics of Coastal and Mountain Peasant community Institutions in Realizing Rural Society Food Security in Garut District. Case Study of Empowerment Dinamics at Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet and Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Garut District, West Java. Under direction of FREDIAN TONNY NASDIAN and HANDEWI PURWATI P.S. RACHMAN Food crisis and poverty elevation are the main problems of rural community development. The main objective of this research is to analyze the empowerment dynamic of coastal and mountain peasant community institutions to realizing rural community food security. Method used in this research were ”sustainable livelihood” approach and “community empowerment” studies, based on participatory and positive sum approaches, through qualitative and case studies. The results of the research indicates that: (1) different of sociological and ecological characteristics caused different manner and form of food institutions, relatively, (2) process and results of food security programs implementation at mountain peasant community was relatively more successful in comparison with coastal peasant community, and this phenomenon happened because of institutions capacities in mountain peasant community are relatively more stronger than institutions capacity in coastal peasant community, (3) structures and processes of institutional change in coastal peasant community tends to supporting by two pillars of institution (regulative an normative), meanwhile structures and processes of institutional change in peasant community tends to supporting by three pillars of institution (regulative, normative and cultural-cognitive) continuously, (4) adaptation pattern that was developed by mountain peasant community to solve the food crisis problems, tends to have the character long-range (adaptive mechanism) and sustainable, while the mountain peasant community tends to have short-range (cope mechanism) and unsustainable character, (5) economic institutions characteristic of mountain peasant community expands toward ”gotong-royong” (mutual assistance) economic institution, where the nature of cooperation tend to positive sum, meanwhile economic institutions characteristic of coastal peasant community expand toward ”local capitalist” and “loan-shark” institutions, where the nature of cooperation tend to zero sum, especially for poor peasant. Keywords : Empowerment Dinamics, Coastal and Mountain Peasant Community, Institution, and Rural Community Food Security.
iii
RINGKASAN RAIS SONAJI. Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan : Studi Kasus Dinamika Pemberdayaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN dan HANDEWI P.S. RACHMAN. Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhan kebutuhan akan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan pilar utama bagi eksistensi dan kedaulatan sebuah bangsa. Latar belakang dilakukannya penelitian ini adalah mengingat bahwa bangsa Indonesia pada saat ini tengah menghadapi permasalahan pangan yang serius. Permasalahan pangan tersebut tidak hanya terbatas pada sub-sistem produksi, melainkan juga pada sub-sistem distribusi, dan sub-sistem konsumsi. Maka melalui penelitian ini, diharapkan dapat dirumuskan suatu strategi pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan bagi komunitas petani pesisir dan pegunungan di Kabupaten Garut. Penelitian ini memiliki tujuan pokok untuk mengkaji dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan komunitas petani di pedesaan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, dengan berbasiskan pada keragaman aspek sosiologis dan ekologis. Sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini adalah untuk : (1) Mengidentifikasi peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, phisycal capital, financial capital) komunitas desa, (2) Mengidentifikasi proses kebijakan dan hasil implementasi program pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa, (3) Mengidentifikasi peran dan menganalisis tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan, (4) Menganalisis dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa. Penelitian ini terutama difokuskan pada studi kelembagaan, maka penelitian ini didasarkan pada paradigma konstruktivisme yang berimplikasi pada penggunaan metode penelitian kualitatif dan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth interview), diskusi kelompok terarah (focus grup discussion), penelusuran sejarah hidup (life history), pengamatan berpartisipasi (participant observation), studi arsip, dokumen dan studi pustaka. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah model analisis siklus interaktif antara data yang terkumpul, pereduksian data, penampilan data dan penarikan kesimpulan. Agar penarikan kesimpulan memiliki validitas data yang kebenarannya dapat diyakini dan diuji, maka peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber data dan metode. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan pada aspek peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (livelihood resources) maka dapat disimpulkan bahwa komunitas petani pesisir relatif memiliki kelebihan dan kekuatan pada modal alam (natural capital), jika dibandingkan dengan komuitas petani pegunungan. Sedangkan komunitas pegunungan relatif memiliki kelebihan dan kekuatan pada modal manusia
iv
(human capital), kapital sosial (social capital), modal fisik (physical capital), dan modal keuangan (financial capital). Perbedaan dalam kepemilikan/penguasaan sumbersumber kehidupan di atas, menjadi faktor pembeda dan penyebab mengapa komunitas petani pegunungan relatif lebih tahan pangan dan sejahtera jika dibandingkan dengan komunitas petani pesisir. Perbedaan karakteristik sosiologis dan ekologis komunitas petani pesisir dan pegunungan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam karakteristik kelembagaan ketahanan pangan yang ada. Perbedaan tersebut terutama terletak pada aspek kapasitas kelembagaan. Dimana kapasitas kelembagaan komunitas petani pegunungan relatif lebih kuat dan efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan komunitas petani pesisir. Ditinjau dari aspek sosiologis, faktor yang menyebabkan timbulnya perbedaan kapasitas tersebut adalah karena proses evolusi bersama (coevolution) kelembagaan komunitas petani pegunungan ditopang oleh tiga pilar kelembagaan (regulative, normative, cultural-cognitive) secara kontinum. Sedangkan pada proses evolusi bersama (co-evolution) kelembagaan komunitas petani pesisir cenderung hanya ditopang oleh dua pilar saja yakni pilar regulative dan normative. Sementara itu, pilar cultural-cognitive nyaris tidak diberi ruang dalam proses perkembangan kelembagaan komunitas petani pesisir, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru. Proses dan hasil program-program pemberdayaan kelembagaan pangan pada komunitas pegunungan relatif lebih baik jika dibandingkan dengan komunitas pesisir. Dimana komunitas petani pegunungan relatif lebih berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan berbasis pada pendekatan partisipatif, penguatan jejaring kerjasama (networking) dan sinergy yang bersifat “positive sum” dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sedangkan komunitas petani pesisir belum berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan yang bersifat “positive sum”, dan hal ini disebabkan oleh relatif masih lemahnya (SDM, kapasitas kelembagaan komunitas, kapital sosial, jejaring kerjasama), serta dukungan teknis dan non-teknis dari pemerintahan “atas desa”. Ditemukan pula perbedaan dalam hal pola adaptasi yang dikembangkan kedua komunitas guna mengatasi kerawanan pangan. Pola adaptasi yang dikembangkan komunitas petani pegunungan cenderung bersifat jangka panjang (adaptive mechanism) yaitu dengan memperkuat sumber-sumber kehidupannya melalui membangun kelembagaan ekonomi yang berkelanjutan dengan berbasiskan pada nilai ”gotong royong” (lumbung paceklik, beras perelek, tabungan, arisan dan lembaga keuangan desa). Sedangkan pada kasus komunitas petani pesisir, pola adaptasi yang dikembangkan cenderung bersifat jangka pendek (coping mechanism) terutama bertujuan untuk mengakses pangan, dengan cara bergantung pada sumberdaya alam yang ada (pertanian dan kelautan) dan meminjam dari tengkulak/bandar. Ditemukannya gejala bahwa kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa Girijaya berkembang ke arah kelembagaan “gotong royong” yang sifat jalinan kerjasamanya cenderung “positive-sum”, sedangkan untuk kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa Cigadog cenderung berkembang ke arah kelembagaan “kapitalis lokal” atau “rentenir” (loan-shark), dimana jalinan kerjasamanya bersifat “zero-sum”, terutama bagi petani kecil. Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian ini, maka secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kondisi ketahanan pangan sebuah komunitas dipengaruhi oleh faktor-faktor : (1) kondisi sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital,
v
natural capital, physical capital dan financial capital) yang dimiliki komunitas tersebut, (2) Pola relasi sosial antar stakeholders dalam mengakses (pola entitlement) dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan yang ada pada komunitas tersebut, (3) Tingkat kerentanan (vulnerability) atau kemampuan suatu komunitas tersebut dalam merespon perubahan yang disebabkan oleh adanya tekanan shock, trend dan seasonality, (4) Struktur dan proses perkembangan kelembagaan pangan (lokal & intervensi) yang ada pada komunitas tersebut, dan (5) Proses dan implementasi kebijakan terkait dengan ketahanan pangan pada komunitas tersebut. Terkait dengan hubungan antara kelembagaan dan ketahanan pangan komunitas petani pedesaan, maka dari hasil penelitian ini setidaknya dapat diajukan sebuah proposisi bahwa : suatu komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya ditopang dengan tiga pilar kelembagaan (regulative, normative, cultural-coginitive) secara kontinum, maka secara relatif akan menunjukan kondisi ketahanan pangan komunitas yang lebih kuat jika dibanding dengan komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya hanya ditopang oleh dua pilar kelembagaan saja (regulative dan normative). Proposisi di atas sama sekali tidak ditujukan untuk membuat generalisasi karena pada dasarnya penelitian ini tidak ditujukan untuk verifikasi suatu teori atau hipotesis, melainkan lebih kepada untuk menjelaskan (explanatory) suatu realitas sosial yang berada dalam lingkup ruang dan waktu yang tertentu dan terbatas. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa fakta-fakta dan realitas sosial yang berhasil ditangkap dan dijelaskan oleh peneliti pada akhirnya juga akan bersifat relatif dan terbatas. Kata Kunci : Dinamika Pemberdayaan, Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan, Kelembagaan dan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan.
vi
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEDESAAN (Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog, Kec. Cikelet dan Desa Girijaya, Kec. Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat).
Rais Sonaji
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
viii
Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mau merubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri.” (Al-Qur’an, Ar Ra’ad (Guruh), Surat ke – 13, ayat 11)
Segala sesuatu yang baik dan benar dari tesis ini dipersembahkan sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih penulis kepada : 1. Allah SWT 2. Kedua orang tua penulis tercinta, Ibu Suprapti dan Bapak Yusuf Suhanda 3. Seluruh guru-guru penulis dari sejak Taman Kanak-Kanak hingga saat ini 4. Kakak terkasih (Mbak Ratna Yusianti & Mas Sigit Yunanto) dan Adik tersayang (Ralin Dwisasi & Takwin Saptaji) 5. Seluruh warga komuitas Desa Cigadog dan Desa Girijaya
x