POTENSI MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN PEDESAAN DI KABUPATEN BONE
BUSTANG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Potensi Masyarakat Dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2008
Bustang NIM. P061030121
ABSTRACT BUSTANG. The Potency of Community and Local Institution to Empower The Rural Poor Families at Bone District, Supervised by BASITA GINTING SUGIHEN, MARGONO SLAMET, and IGN. DJOKO SUSANTO. The Local Institution in Bone Regency are the local governance and society organization, its existence expected can solve the poverty problem through the empowerment of poor family in rural area. Without the institution involvement (local governance and society organization), it is impossible to alleviate the poor family in rural area, and the poverty problem will be increase and become more complex. The aim of this research are: (1) to study the social responsibility socialization towards poverty in the society, (2) to elaborate the good governance implementation in local institution, especially in local community and local government, (3) to explain the society knowledge towards poverty and belief of the overcoming of poverty, (4) to elaborate the actualization level of the community attention and social responsibility in handling poverty, (5) to explain the empowerment level of poor community, (6) to identify the community potencies which can developed in empowering the poor family, (7) to analyze the relationship between characteristics, process of social responsibility socialization, good governance perception in local institution, and poverty knowledge with level of actualization of the attention and social responsibility in empowering the group of poor family. This research was designed as the survey research with descriptive correlation. The sample selection is using cluster method. The selection of the unit area covers sub district and village as a cluster. The steps of the sample selection: are as selectin follow 3 (three) sub districts which cover (1) Palakka, (sub district which is closed to the regenscy boundry), (2) Kajuara village sub district (coastal sub district area) and (3) Patimpeng sub district (inland sub district). Furthermore, from each three district, 1 (one) village (smallest unit) selected by randomly. The selected area covers (1) Lemo Ape village, Palakka sub district, (2) Aneu village, Kajuara sub district, (3) Maddanreng Pulu village, Patimpeng sub district. The sample selection based on the result calculation from the actual population condition of the research location, and 276 respondents has been selected from those three villages. The obtained data was analyzed by frequency, cross tabulation and correlation. The result show that (1) the social responsibility is a form of the solidarity and obligation, (2) the appraisal of accountability, transparency, participation, responsiveness and commitment, from the respondent still on lower and middle level, (3) the social awareness in handling the poverty is common responsibility and should be done collectively, (4) there are two effective ways in increasing the empowerment of the poor people, family, (a) to increase the implementation of good governance principles in social organization, especially transparency and participation; (b) to increase the attention and social responsibility, especially in collective/group activities. Keywords: community potential and local institution, empowerment, poor family.
RINGKASAN BUSTANG. Potensi Masyarakat Dan Kelembagaan Lokal dalam Pemberdayaan Keluaga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone. Di bawah Bimbingan BASITA GINTING SUGIHEN, MARGONO SLAMET, dan IGN. DJOKO SUSANTO. Kelembagaan lokal dibatasi pada organisasi pemerintah lokal dan organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Kabupaten Bone, keberadaannya diharapkan mampu melakukan pemecahan kemiskinan melalui pemberdayaan keluarga miskin di perdesaan. Keterlibatan kelembagaan lokal dibutuhkan, karena senantiasa berinteraksi dengan keluarga miskin di perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan sosialisasi tanggung jawab sosial kelembagaan lokal terhadap kemiskinan dalam masyarakat, (2) menguraikan implementasi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada kelembagaan lokal, yaitu organisasi kemasyarakatan lokal dan pemerintah lokal, (3) menjelaskan perilaku masyarakat terhadap kemiskinan dan kepercayaan terhadap penanggulangan kemiskinan, (4) menguraikan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan, (5) menjelaskan tingkat keberdayaan keluarga miskin, (6) mengidentifikasi potensi-potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam upaya menberdayakan keluarga miskin, (7) menganalisis hubungan karakterisitik, proses sosialisasi tanggung jawab sosial, persepsi terhadap tata kepemerintahan yang baik pada kelembagaan lokal, dan perilaku kemiskinan dengan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka memberdayakan kelompok keluarga miskin. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bone, dengan menetapkan unit wilayah administratif pemerintahan yaitu, Kecamatan dan Desa. Penentuan lokasi dipilih 3 yaitu 3 (tiga) kecamatan dan 3 (tiga) desa yang dilakukan dengan cara acak untuk mewakili masing-masing tipologi kecamatan. Ketiga kecamatan tersebut di masingmasing: (1) Kecamatan Palakka dan Desa Lemo Ape (kecamatan dan desa yang berbatasan langsung dengan ibu kota kabupaten), (2) Kecamatan Kajuara dan Desa Ancu, (kecamatan dan desa pesisir) dan (3) Kecamatan Patimpeng dan Desa Maddanreng Pulu, (kecamatan dan kecamatan pedalaman). Penentuan sampel dilakukan berdasarkan hasil perhitungan dengan kondisi aktual penduduk lokasi penelitian, yang kemudian diperoleh responden sebanyak 276 orang di tiga desa tersebut. Untuk menganalisis data digunakan: frekuensi, tabulasi silang dan analisis korelasi. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa (1) Tanggung jawab sosial merupakan wujud kesetiakawanan dan kewajiban terhadap sesama telah diyakini sebagai suatu kebenaran; (2) Penilaian aspek-aspek akuntabilitas, transparan, partisipasi, daya tanggap dan komitmen, dari responden masih menunjukkan rendah dan sedang (3) Adanya kesadaran masyarakat bahwa penanganan penanggulan kemiskinan merupakan tanggung jawab bersama dan harus dikerjakan secara bersama-sama (4) Terdapat dua jalur yang efektif dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin yaitu: (a) dilakukan melalui strategi peningkatan implementasi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada organisasi kemasyarakatan khususnya mengenai transparansi dan partisipasi; (b) dilakukan melalui strategi peningkatan perhatian dan tanggung jawab sosial khususnya pada aktivitas kelompok/kolektif.
Di samping itu program-program, kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan stakeholder lainnya hendaknya berlandaskan pada tatanan kelembagaan masyarakat lokal berupa pemahaman, nilai-nilai dan keyakinan sehingga lebih mudah bekerja sama sekaligus meningkatkan patisipasi aktif masyarakat dalam pemberdayaan keluarga miskin di perdesaan. Kata kunci: Potensi masyarakat dan kelembagaan lokal, pemberdayaan, keluarga miskin.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
POTENSI MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN PEDESAAN DI KABUPATEN BONE
BUSTANG
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Siti. Amanah, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Wahyudi Ruwiyanto, MS 2. Sumedi Andoromulyo, MA, PhD
Judul Disertasi
: Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: BUSTANG : P 061030121 : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua
Prof.Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc Anggota
Prof.(Riset) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir. Siti Amanah, M.Sc
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 02 April 2008
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga draf disertasi dengan judul: “Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal Dalam Perberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan di Kabupaten Bone” ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA., Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM., dan Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, M.Sc., yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan dan dukungan yang tidak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaiakn disertasi ini dan melewati tahap program Studi Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. St. Amanah, M.Sc, selaku ketua program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan kesediannya menjadi menjadi penguji pada ujian tertutup . Demikian juga ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Wahyudi Ruwiyanto, MS dan Sumedi Andoromulyo, MA, Ph.D sebagai penguji pada ujian terbuka. Demikian pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Muksin, Dr. Hamidah, Dr. Dasmin, dan Bahrin serta teman-teman kuliah lainnya pada program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah banyak membantu penulis dalam membeerikan dorongan penyelesaian disertasi ini. Demikian pula bagi seluruh dosen di lingkungan program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih atas segala dorongan selama mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih kepada Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone, Andi Idris Lagaligo, SH yang telah memberikan kesempatan dengan berbagai kemudahan kepada penulis selama melakukan penelitian di Kabupaten Bone. Demikian pula, ucapan terima kasih kepada Drs. Andi Sumardi, MM, Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, dan dorongan moril selama melakukan penelitian lapangan di Kabupaten Bone. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala, Kecamatan Palakka, Kecamatan Kajuara, dan Kecamatan Patimpeng, dan Kepala Desa Lemo Ape, Desa Ancu, dan Desa Maddanreng Pulu. Kepada responden yang belum kami sebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga kepada kedua orang tua H. A. Andi Mappaseling dan H. Andi Rosmini. Demikian pula istri dan anak-anak saya yakni Andi Hidayanti, dan Andi Abizar Giffary, Andi Irba Haifah Ilmi dan Andi Haikal Tanri Ruwa. Ucapan terima kasih juga kepada Ir. St. Alfiah, MSi, Andi Safari Suaib, Drs. Andi Sura Suaib, Msi, dan Andi Arwin Suaib SH yang selama ini banyak membantu dalam proses penyelesaian studi penulis. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih membutuhkan penyempurnaan disana-sini, oleh karena itu saran kritik dari berbagai pihak demi penyempurnaan disertasi ini masih selalu kami harapkan. Semoga segala usaha untuk menuju kesempurnaan dalam berkarya demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan senantiasa mendapatkan tuntunan dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bogor,
Bustang
Mei 2008
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kecamatan Mare, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan pada tanggal 14 Oktober 1964 sebagai anak kedua dari pasangan H.A. Mappaseling dan H. A. Rosmini. Pendidikan sarjana di tempuh di jurusan Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas), lulus pada tahun 1989. Kemudian melanjutkan pendidikan pada jenjang Strata 2 (S2) pada program studi Administrasi Pembangunan Unhas, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan biaya sendiri. Selain pendidikan formal juga beberapa pendidikan non formal telah dijalani penulis antara lain: (1) Kursus Quantitative Policy Analisys Techniques And Computer Programming Tahun 1996 di UI Jakarta; (2) TOT in Policy Analisys And Management Tahun 2000 Nagoya University, Jepang; (3) Pelatihan Evaluasi Kinerja Proyek Pembangunan, Tahun 1998 di UI Jakarta; (4) Pendidikan dan Pelatihan Teknik Dan Manajemen Publik Bagi Staf Bappenas. Tahun 2002 UI Jakarta; dan (5) Studi Perbandingan Mengenai Reformasi Audit Tahun 2005 di India. Penulis bekerja diawali dengan menjadi Dosen tetap yayasan STIE-YPUP Makassar, untuk mata kuliah Administrasi Pembangunan sejak tahun 1990 sampai dengan awal tahun 1994. Selanjutnya penulis memperoleh kesempatan ke Jakarta, menjadi asisten Dr. Marwah Daud Ibrahim MA, untuk membantu berbagai kegiatan beliau. Kemudian sebagai pegawai di lingkungan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Meneg. PPN/Bappenas) sejak 1995 sampai sekarang. Selain aktivitas sebagai staf perencana di Meneg. PPN/Bappenas juga aktif sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi – Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Jakarta, dengan mata kuliah Administrasi Pembangunan.
DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT...................................................................................................... iii RINGKASAN................................................................................................... iv DAFTAR TABEL......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 Latar Belakang......................................................................................... 1 Masalah Penelitian .................................................................................. 7 Tujuan Penelitian .................................................................................... 9 Kegunaan Penelitian ............................................................................. 10 Definisi Istilah….................................... ……………………………... 10 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. Masyarakat dan Potensinya................................................................. Kelembagaan Lokal............................................................................ Organisasi Kemasyarakatan ............................................................. Organisasi Pemerintah .................................................................... Peran Kelembagaan Lokal .................................................................... Kemiskinan............................................................................................. Pengertian Kemiskinan..................................................................... Keluarga Miskin .............................................................................. Pemberdayaan Masyarakat ................................................................. Konsep Pemberdayaan.................................................................. Pembangunan Pedesaan................................................................... Tanggung Jawab Sosial................................................................. Partisipasi Masyarakat ..................................................................
12 12 14 18 22 24 28 28 32 36 36 41 47 51
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ......................................... Kerangka Pemikiran ........................................................................... Kemiskinan................................................................................... Pemberdayaan Keluarga Miskin.................................................... Potensi Masyarakat Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin ......... Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin. Hipotesis ............................................................................................
53 53 53 56 57 59 62
METODE PENELITIAN ............................................................................ Lokasi Penelitian ................................................................................ Desain Penelitian................................................................................ Populasi dan Sampel........................................................................... Populasi............................................................................................ Sampel.............................................................................................. Definisi Operasional dan Pengukuran Vriabel.................................... Pengumpulan Data.............................................................................. Data dan Instrumentasi ....................................................................... Data ............................................................................................. Instrumentasi ...............................................................................
63 63 64 65 65 65 68 72 73 73 74
Validitas instrumen....................................................................... Reliabilitas instrumen ................................................................... Analisis Data .....................................................................................
74 75 76
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………... 78 Deskripsi Kabupaten Bone ................................................................. 78 Karakteristik Responden..................................................................... 85 Pemahaman Masyarakat Terhadap Kemiskinan .................................. 94 Potensi Kelembagaan lokal dalam Mendukung Pemberdayaan Keluarga Miskin................................................................................. 99 Karakteristik Responden, Peran Kelembagaan Lokal, dan Pemahaman Kemiskinan................................................................... 114 Potensi Masyarakat Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan................................................................................ 123 Pengetahuan, Sikap, dan Kepercayaan Masyarakat Pada Kemiskinan . 125 Aktualisasi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Pada Keluarga Miskin...................................................................................... 130 Tingkat Keberdayaan Keluarga Miskin .................................................. 140 Model Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kabupaten Bone 143 Proses Penyuluhan Untuk Meningkatkan Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin................ 153 Model Pemberdayaan Keluarga Miskin Perdesaan Berdasarkan Tipologi Desa......................................................................................... 158 KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 168 Kesimpulan ....................................................................................... 168 Saran ................................................................................................. 170 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
171
LAMPIRAN……………………………………………………………….... 180
DAFTAR TABEL 1.
Halaman Katagori pembagian organisasi ..................................................................... 20
2.
Paradigma Neo-Liberal dan Demokrasi-Sosial tentang kemiskinan
3.
Prinsip-Prinsip Tata Kepemerintahan Yang Baik ....................................... 60
4.
Hasil Uji Validitas Dan Relliabilitas Instrumen Penelitian………………… 76
5.
Diskripsi Karakteristik Responden................................................................ 86
6.
Distribusi Tingkat Pemahaman Terhadap Kemiskinan ................................ 96
31
Hubungan Karakteristik Individu dengan Tingkat Pemahaman Terhadap Kemiskinan .................................................................................................. 92 8. Peran Pemerintah Lokal dalam Kegiatan Pemberdayaan Keluarga Miskin................ 103 9. Peran Organisasi Kemasyarakatan dalam pemberdayaan Keluarga Miskin................ 110 10. Hubungan karakteristik Responden dan Peran Pemerintah Lokal 114 7.
11. Hubungan karakteristik Responden dan Peran Organisasi Kemasyarakatan 116 12. Distribusi Persentase Responden Menurut Pemahaman Terhadap Kemiskinan dan Peran Pemerintah Lokal/Desa............................................. 118 13. Distribusi Persentase Responden Menurut Pemahaman Terhadap Kemiskinan dan Peran Organisasi Kemasyarakatan..................................... 118 14. Distribusi Persentase Responden Menurut Peran Pemerintah Lokal dan Aktualisasi Perhatian dan Tanggung Jawab Sosial...................................... 120 15. Distribusi Persentase Responden Menurut Peran Organisasi Kemasyarakatan, Aktualisasi Perhatian dan Tanggung Jawab Sosial ……. 121 16. Hubungan Sub Peubah Tingkat Pemahaman terhadap kemiskinan dengan Sub Peubah Tingkat Aktualisasi Tanggungjawab Sosial ……………….. 128 17 Hubungan Sub Peubah Aktualisasi Tanggungjawab Sosial dengan Sub 133 Peubah Keberdayaan Keluarga Miskin ...................................................... 18 Tingkat Keberdayaan Keluarga Miskin .........................................................140 19 Nilai Koefisien Korelasi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberdayaan Keluarga Miskin......................................................................145 20 Nilai Koefisien Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan 148 Keluarga Miskin ........................................................................................... 21 Pokok Pikiran Penyuluhan yang Meningkatkan Potensi Masyarakat dan 155 Kelembagaan Lokal dalam Memberdayakan Keluarga Miskin.....................
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Halaman Kerangka berpikir potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin perdesaan di kabupaten bone .............. 61 Distribusi tingkat pendidikan formal responden.................................... 88 Distribusi tingkat pendidikan non formal responden...................................... 88 Distribusi tingkat pendapatan responden ....................................................... 92 Diskripsi aktualisasi dan tanggung jawab sosial................................... 131 Model konseptual pemberdayaan keluarga miskin ................................. 146 Model empirikal pemberdayaan keluarga miskin di kabupaten bone ... 149 Model empirikal pemberdayaan keluarga miskin desa ancu (desa pesisir)....................................................................................................... Model empirikal pemberdayaan keluarga miskin desa maddenreng pulu............................................................................................................. Model empirikal pemberdayaan keluarga miskin desa lemo ape (desa dekat kota)........................................................................................................
160 163 165
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Peta Kabupaten Bone
181
2. 3.
Nama kecamatan dan jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Bone Peta Kecamatan/Desa Penelitian
182 183
PENDAHULUAN
Latar Belakang Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah “rasa tidak berdaya secara individu maupun kelompok bila berhadapan dengan penyakit atau kematian, kebingungan dan ketidaktahuan pada saat orang terbata-bata
dan
meraba-raba untuk memahami perubahan, penyerahan nasib kepada manusiamanusia lain yang keputusannya menentukan apa yang bakal terjadi, ketidakberdayaan menghadapi kelaparan dan bencana alam”. Goulet (Chamber 1987) mengemukakan kemiskinan kronis adalah neraka yang kejam, dan orang tidak dapat mengetahui
betapa kejamnya neraka,
semata-mata dengan menatap
kemiskinan sebagai obyek belaka”. Keterbelakangan merupakan musuh seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dan harus diperangi dengan meningkatkan harkat sosial ekonomi dan kultur masyarakat. Upaya pemerintah memerangi kemiskinan terus menerus dilakukan. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin sebesar 54,2 juta jiwa , atau 40,1 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Kemudian pada tahun 1981 angka tersebut turun menjadi 40,6 juta atau 26, 9 persen, pada tahun 1990 jumlah Penduduk miskin menurun menjadi 27 juta atau 15, 1 persen, dan terakhir pada tahun 1996 kembali mengalami penurunan menjadi 22,5 juta jiwa atau 11, 3 persen. Namun demikian pada tahun 1997 penduduk miskin mengalami kenaikan yang sangat luar biasa. Bappenas (2003) mencatat bahwa seiring dengan krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia 1997, jumlah penduduk miskin kembali meningkat. Pada rentang 1997 – 2002, jumlah penduduk miskin tertinggi terjadi pada tahun
2
1998, yakni 49,5 juta jiwa atau 24, 2 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Namun demikian, dengan kecenderungan semakin membaiknya perekonomian Indonesia, maka tingkat kemiskinan terus menerus mengalami penurunan secara bertahap. Bappenas (2005), menemukan bahwa pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin sekitar 36,1 juta jiwa atau 16, 6 persen dari total jumlah penduduk. Kemiskinan tersebut tersebar di perkotaan dan dengan rincian: (a) jumlah penduduk miskin di perkotaan 11,5 juta jiwa (12,6 persen) ; (b) jumlah penduduk miskin dipedesaan 24, 6 juta jiwa (19,5 persen). Kemudian untuk memerangi kemiskinan, yang dilakukan secara terencana miskin.
dibutuhkan suatu perubahan
menuju suatu arah masyarakat yang tidak
Upaya ke arah perubahan yang lebih baik tersebut disebut sebagai
pembangunan. Menurut Todaro (1977) menyatakan bahwa pembangunan adalah proses multi dimensi yang mencakup perubahan-perubahan
penting dalam
struktur sosial, sikap-sikap rakyat dan lembaga nasional, dan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality), dan pemberantasan kemiskinan absolut. Sedangkan Bryant & White (1989) menyatakan bahwa Pembangunan
sebagai peningkatan
kemampuan orang untuk mempengaruhi
masa depannya. Oleh karena itu, pembangunan dapat dipandang sebagai upaya pembebasan manusia dari segala bentuk keterbelakangan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan hidup, yang diawali dengan peningkatan kapasitas manusia dengan mendayagunakan seluruh potensi dan kemampuan sumber daya yang terbatas untuk membuat pilihan-pilihan masa depan yang lebih baik tanpa merusak lingkungan hidup.
3
Proses penyadaran masyarakat tentang betapa pentingnya pembangunan dalam menjaga proses kelangsungan hidup individu dan masyarakat itu sendiri perlu ditingkatkan.
Kemudian siapa yang harus melakukan proses penyadaran
masyarakat tersebut juga adalah masyarakat itu sendiri, yang telah memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam mendorong masyarakat lain yang buta pembangunan ke arah melek pembangunan “learning process”. Upaya tersebut dilakukan secara terus-menerus (berkesinambungan) agar tujuan pembangunan, sesuai dengan harapan masyarakat dapat diwujudkan. Pencapaian tujuan pembangunan sebagai harapan kolektif masyarakat, membutuhkan kerja sama produktif antar individu dalam menggerakkan aktivitas sosial, ekonomi di kota dan desa yang lahir dan berkembang melalui proses prakarsa yang ada di lingkungan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, peran individu sebagai mahluk sosial dibutuhkan proses saling interaksi dalam upaya untuk menggerakkan dinamika kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Upaya menggerakkan aktivitas dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik membutuhkan proses penyadaran untuk melakukan perubahan terencana terhadap masyarakat. Proses penyadaran tersebut tentunya tidak dapat dilakukan secara invidu, melainkan secara kolektif masyarakat dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya yang tersedia untuk digunakan yang juga demi kepentingan kolektif. Upaya kolektif tersebut dilakukan agar lebih efisien dan efektif dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Mengantisipasi proses penyadaran secara cepat dan tepat, maka dibutuhkan organisasi untuk berkumpul dalam membangun kebersamaan dalam melakukan perubahan. Dalam konteks ini, untuk melakukan perubahan di
4
lingkungan di butuhkan organisasi lokal yang lahir dan berkembang di lingkungan itu sendiri. Organisasi lokal di maksudkan disini selain organisasi pemerintah, dalam hal ini pemerintah desa, juga organisai non pemerintah yang lahir dan tumbuh di lingkungan. Organisasi lokal ini daharapkan mampu menjadi penyuluh, dalam memfasilitasi dan menggerakkan masyarakat. Di samping itu organisasi lokal
tersebut,
diharapkan mampu membangun pemahaman akan betapa
pentingnya suatu pembangunan, dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan, khususnya masalah kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat di desa. Sebagai langkah awal, organisasi lokal perlu merumuskan secara tepat mengenai rencana pembangunan yang bagaimana agar dapat mendorong proses pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk merumuskan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat diperlukan sumber daya manusia yang memiliki perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) pembangunan. Dalam upaya merumuskan rencana pembangunan pedesaan, maka setidaktidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu: Pertama, siapa yang menjadi kelompok-kelompok sasaran (golongan miskin di desa, atau petani kecil, nelayan, buruh tani tidak bertanah, berkebun, dan sebagainya).
Kedua,
harus
mampu
memperkirakan
besarnya
kebutuhan
masyarakat menurut batasan masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, sarana dan prasarana harus dirumuskan sedemikian rupa, untuk
mendapatkan gambaran
kebutuhan pokok minimum. Sehubungan dengan hal tersebut, keberadaan organisasi lokal ini diharapkan dapat mendorong proses perubahan ke arah yang lebih baik yaitu perubahan
dari
perilaku
masyarakat
tradisional
menjadi
masyarakat
5
pembangunan, di lingkungan. Proses perubahan tersebut dilakukan dengan melalui pemberdayaan masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat pedesaan dapat dilakukan melalui proses pemberdayaan, sangat erat kaitannya dengan sejauh mana peran kelembagaan lokal di
itu sendiri dalam mendorong proses pembangunan. Demikian pula
kelembagaan lokal di pedesaan dapat memberikan fasilitas agar perilaku pembangunan di lingkungan masyarakat miskin dapat tumbuh dan berkembang. Fasilitas yang dimaksud untuk memberdayakan kegiatan produktif masyarakat miskin dan meningkatkan posisi bargaining mereka terhadap semua bentuk eksploitasi dan superordinasi adalah kemudahan ekonomi (economic facilities) yang benar-benar nyata dan peluang-peluang sosial (social opportinies) yang memihak kepada masyarakat miskin (Bagong, 2003). Upaya-upaya mendapatkan kemudahan tersebut, yang dilakukan oleh masyarakat miskin seringkali mengalami kegagalan. Salah satu hal yang menjadi faktor kegagalan lebih disebabkan mental dan kinerja birokrasi yang kurang maksimal dalam mendorong proses pemberdayaan masyarakat. Terdapat fakta dalam menjalani kehidupan sehari-hari. kelompok miskin disinyalir tidak banyak memiliki keterkaitan, atau tidak terjadi proses interaksi dengan organisasi sosial yang ada di lingkungan masyarakat itu sendiri. Akibatnya seluruh akses dan kontrol atas seluruh potensi sumber daya yang mestinya menjadi hak mereka sering kali tidak tersampaikan. Beberapa indikator mengenai hal tersebut
antara lain; Pertama, fasilitas kemudahan bagi petani
miskin dari pemerintah seperti kredit, bantuan, ternyata cenderung lebih banyak dinikmati oleh mereka dengan penguasaan tanah yang luas. Oleh karena itu,
6
masyarakat miskin lebih banyak terjebak oleh usaha-usaha komersial baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, maupun para lintah darat
untuk
mendapatkan kredit dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, baik untuk kebutuhan produksi maupun konsumsi. Kedua, aspek distribusi informasi bila dilihat dalam konteks kemiskinan struktural ini bahwa bimbingan dan informasi yang relevan hanya berhenti sampai kepada kalangan terbatas. Sebagaimana diungkapkan Sumardjo (1999), selama ini pendekatan program lebih bersifat “Top Down” sehingga seluruh program beserta dengan perangkatnya telah disediakan dari atas. Gejala demikian berdampak pada tingkat partisipasi yang rendah. Demikian kompleksnya sebab kemiskinan, baik kemiskinan alamiah, kemiskinan kultural, maupun struktural, menjadikan kelompok miskin tak berdaya dalam mengatasi kondisi yang dihadapi. Bebagai latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka penting dan perlu untuk dipikirkan suatu upaya memampukan (empowering) kelompok miskin yang ada
di dalam
mengintegrasikan
lingkungan
masyarakat dengan
melakukan
upaya-upaya
ke dalam organsiasi lokal yang memiliki misi dan visi
perubahan melalui pemberdayaan masyarakat. Upaya berkelompok pada satuan individu miskin diduga lebih mengutamakan bagaimana hanya bisa bertahan untuk hidup tanpa memikirkan masa depannya. Oleh karena itu, perlu ada kearifan yang dapat melihat potensi serta faktor-faktor yang berpengaruh, mampu mendorong, memfasilitasi kesadaran (awareness) dan memunculkan kekuatan dirinya sendiri, untuk mengatasi ketidakberdayaan.
7
Masalah Penelitian Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki permasalahan dengan penduduk miskin yang tinggal di wilayah. 10 persen dari total 186.211 penduduk miskin di provinsi Sulawesi Selatan berada pada wilayah Kabupaten Bone, tepatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bone adalah 92.360 jiwa. Hal ini mendudukkan Kabupaten Bone pada peringkat teratas dalam jumlah penduduk miskinnya setelah Kabupaten Tana Toraja. (Depsos, 2007). Pemerintah Kabupaten Bone memerlukan usaha keras untuk memberdayakan masyarakat miskin agar terlepas dari jerat kemiskinan. Kemiskinan dan batasan kemiskinan menyangkut indikator fisik dan nonfisik yang sudah berkembang harus dipahami dalam kerangka operasionalisasi identifikasi kemiskinan baik terhadap kelompok (menyangkut siapa?) maupun identifikasi terhadap tipologi (menyangkut daerah mana?). Dalam konteks kemiskinan kelompok masyarakat di tempat penelitian ini dilakukan, maka operasionalisasi
batasan
kemiskinan
menyangkut
identifikasi
kelompok
(menjawab siapa?). Dengan demikian batasan fisik dan nonfisik kemiskinan menyangkut ukuran terhadap pemakaian garis kemiskinan (poverty line), sedangkan yang kedua menyangkut kemampuan buruh tani untuk akses dan kontrol terhadap sumber daya. Spektrum ukuran yang kedua (non fisik) lebih luas karena menyangkut antara lain tingkat integrasi dalam sistem sosial, keterdedahan terhadap program oleh pemerintah, motivasi dan tingkat kepercayaan diri, interaksi sosial yang terwujud dalam tingkat pengaruh kelembagaan formal maupun informal di mana buruh tani berada.
8
Selanjutnya batasan kemiskinan normatif maupun absolut yang dibawa individu dari luar kelompok miskin dan lingkungannya, harus dan senantiasa dikomparasikan dengan batasan kemiskinan menurut kelompok miskin dan masyarakat dimana kelompok ini berada. Karena bisa jadi kategori kemiskinan absolut menurut orang luar, bukan merupakan bentuk kemiskinan menurut masyarakat setempat. Dalam hal ini maka penetapan batasan absolut kemiskinan harus dipadukan dengan batasan pengertian kemiskinan menurut masyarakat. Dengan demikian pengertian kemiskinan bergerak dari cerita penderitaan masyarakat masa lalu ke pengertian kondisi kekinian yang dihadapi oleh sebagian masyarakat yang hidup dalam keadaan miskin. Kemiskinan
seharusnya
didefinisikan
sendiri
oleh
masyarakat.
Pendefinisian dan pembatasan kemiskinan oleh masyarakat sangat penting artinya untuk membangun suatu kerangka solusi upaya memampukan (empowering) kelompok tidak berdaya. Dengan demikian untuk mengubah kondisi masyarakat miskin di Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan dari ketidakberdayaan menjadi berdaya, maka penelitian ini penting dan perlu menjawab beberapa rumusan permasalahan berikut ini: 1.
Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan?
2.
Bagaimana peran
kelembagaan lokal, khususnya pada organisasi
kemasyarakatan dan pemerintah lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin? 3.
Bagaimana tingkat aktualisasi tanggung jawab masyarakat dalam membantu keluarga atau kelompok miskin?
4.
Bagaimana hubungan karakteristik responden, persepsi terhadap peran kelembagaan lokal, dan pemahaman kemiskinan dengan tingkat aktualisasi
9
perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat miskin? 5.
Apa potensi-potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin?
6.
Bagaimana tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin?
7.
Bagaimana model alternatif pemberdayaan keluarga miskin di pedesaan?
Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan. 2. Mengkaji peran kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin. 3. Menguraikan tingkat aktualisasi tanggung jawab sosial masyarakat dalam membantu keluarga atau kelompok miskin. 4. Menganalisis hubungan karakteristik responden, peran kelembagaan lokal, dan pemahaman kemiskinan dengan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat miskin. 5. Mengidentifikasi potensi-potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin. 6. Menjelaskan tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin. 7. Menyusun model alternatif pemberdayaan keluarga miskin di pedesaan.
10
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang penyuluhan dan manfaat praktis dalam mengembangkan alternatif upaya-upaya menyelesaikan masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan digunakan: (1)
Secara akademik memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu penyuluhan yang berkaitan dengan mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi
masyarakat
iuntuk
menyelesaikan
masalah-masalah
kemiskinan. (2)
Sebagai dasar bagi peneliti atau kelembagaan yang berminat untuk mengembangkan potensi masyarakat terkait peran kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin di.
Definisi Istilah Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Kabupaten Bone
dengan
penekanan pada potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam upaya pemberdayaan terhadap keluarga miskin. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan defenisi istilah yang digunakan dalam penelitian untuk menghindari pemahaman yang berbeda dan dijelaskan sebagai berikut: (1) Potensi adalah kemampuan yang meliputi kekuatan, kesanggupan, dan daya seseorang maupun
kelompok
dikembangkan lebih baik.
yang
mempunyai kemungkinan
untuk
11
(2) Masyarakat adalah kelompok manusia yang lebih besar yang tinggal disatu wlayah mempunyai kebiasaan, tradisi, perilaku di bawah suatu seperangkat kepercayaan, ideal dan tujuan yang kemudian disatukan dalam suatu rangkaian kehidupan bersama. (3) Kelembagaan Lokal adalah kelompok ataupun organisasi pada level pedesaan yang memiliki doktrin, tata nilai, norma, aturan yang mengikat setiap individu dalam organisasi atau kelompok tersebut, meliputi organisasi atau kelompok kemasyarakatan dan organisasi pemerintahan pada desa setempat. (4) Pemberdayaan adalah pemberian kemudahan akses yang meliputi pemahaman akan masalah serta kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk mendayagunakan sumber daya yang dimilki terarah untuk pebaikan nasib. (5) Keluarga miskin adalah unit terkecil dari kelompok sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang tinggal dan hidup bersama dalam kondisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum hidup yang meliputi: (a) sandang-pangan, (b) layanan kesehatan, (c) layanan pendidikan, (d) perumahan, (e) air bersih, aman, dan sanitasi yang baik.
12
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat dan Potensinya Manusia selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial dalam upaya menjalin proses interaksi. Mutahhari (1986) menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki serangkaian kebutuhan, kepercayaan, ideologi dan tujuan yang tersatukan dan terlebur dalam suatu rangkaian kehidupan bersama. Ciri-ciri masyarakat dalam suatu bentuk kehidupan bersama menurut Soekanto (1982) adalah sebagai berikut: (a) manusia yang hidup bersama; (b) bercampur untuk waktu yang cukup lama; (c) mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan; (d) mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sementara itu Bertrand (dalam Syani, 1995) menyebutkan ada tiga ciri masyarakat yaitu: pertama, pada masyarakat mesti terdapat sekumpulan individu yang jumlahnya cukup besar; kedua individu-individu tersebut harus mempunyai hubungan yang melahirkan kerjasama diantara mereka, minimal pada satu tingkatan interaksi; ketiga hubungan individu-individu itu sedikit banyak harus permanen sifatnya. Masyarakat ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari masyarakat di mana ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakatnya yang saling mencintai dan saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
13
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka ciri ciri masyarakat antara lain: 1. Setiap warganya mempunyai hubungan yang mendalam dan
erat bila
dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. 2. Sistem kehidupan mereka pada umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan. 3. Sebagian besar sumber penghidupan mereka dari sektor pertanian 4. Cenderung homogen dalam pekerjaan, agama, adat istiadat dan lainnya. Keseluruhan nilai dan kelembagaan masyarakat, memiliki kemanfaatan bagi setiap anggota masyarakat tersebut. Setiap anggota dapat mempertahankan diri dan mempertahankan eksistensinya melalui mekanisme adaptasi terhadap kelembagaan yang telah terbangun. Pada sisi lain, setiap individu dalam prosesnya memiliki andil dan pengaruh dalam dinamika kelembagaan masyarakat. Dengan demikian setiap individu memiliki potensi sendiri yang dapat menjadi model dalam upaya keberlangsungan hidupnya, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (2005), potensi
adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; dan daya. Oleh karena itu potensi sebenarnya melekat pada setiap individu
dalam upaya mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidup sebagai individu maupun makhluk sosial. Kelembagaan dan mekanisme yang telah terbangun dalam upaya mempertahankan diri pada akhirnya dapat menjadi dan sekaligus potensi itu sendiri dalam memberdayakan anggota masyarakat. Pada akhirnya kelembagaan
14
masyarakat memberikan ruang bagi anggotanya untuk berkreasi dalam mempertahankan eksistensinya. Kelembagaan Lokal Lembaga berasal dari kata institute lebih menunjuk kepada suatu “badan”
seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi dan berbagai bentuk
organisasi yang memiliki beragam tujuan (Tonny, 2003). Kelembagaan menunjuk pada segi doktrin, tata nilai, norma, aturan
yang mengikat
setiap individu
anggotanya dalam berprilaku. Suatu lembaga hanya akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik apabila didukung oleh kelembagaan yang benar dan dipatuhi serta mengingat bagi setiap anggotanya. Kelembagaan sosial
merupakan terjemahan dari istilah social
institution. Koentjaraningrat (1964) menyebut kelembagaan sosial sebagai pranata sosial, yaitu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitasaktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Dalam sosiologi, yang dimaksud dengan kelembagaan sosial atau sosial institution adalah ”suatu kompleks atau sistem peraturanperaturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting”. Kelembagaan memiliki tujuan untuk mengatur antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Polak, 1966). Fungsi kelembagaan sosial Doorn dan Lammers dalam Tonny (2003): a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan;
15
b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara; c. Memberi pegangan kepada asyarakat mengadakan kontrol sosial: artinya system pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya; d. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Berbagai kelembagaan lokal dibentuk untuk memberikan layanan kepada anggota khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Kelembagaan sosial bertujuan memenuhi kebutuhan pokok manusia, yang dikategorikan berdasarkan jenis-jenis
kebutuhan
pokok
tersebut.
Koentjaraningrat
(1993)
mengkategorikannya ke dalam delapan golongan sebagai berikut. 1. Kelembagaan kekerabatan (domestic institutions); bertujuan memenuhi kebutuhan
kehidupan
kekerabatan.
Contohnya;
pelamaran,
poligami,
pengasuhan anak, perceraian dsb. 2. Kelembagaan ekonomi, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencaharian hidup, memproduksi, menimbun
dan mendistribusikan harta
benda. Contoh; pertanian, peternakan, industri, koperasi, perdagangan dsb. 3. Kelembagaan pendidikan, bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan (pencerahan) dan pendidikan manusia agar menajdi anggota masyarakat yang berguna. Contoh; pendidikan dasar, menengah dan tinggi, pers dll. 4. Kelembagaan ilmiah, bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah dan menyelami alam semesta. Contoh: pendidikan ilmiah, penelitian, metode ilmiah. 5. Kelembagaan estetika dan rekreasi, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya dan untuk rekreasi. Contoh; seni rupa, seni suara, seni gerak, kesusasteraan dsb.
16
6. Kelembagaan keagamaan, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Contoh; doa, kenduri, upacara penyiaran agama, pantangan dll. 7. Kelembagaan politik, bertujuan memenuhi kebutuhan untuk mengatur kehidupan berkelompok
secara besar-besaran
atau kehidupan bernegara.
Contoh; pemerintahan, kepartaian, demokrasi, kepolisian, kehakiman dll. 8. Kelembagaan somatik, bertujuan memenuhi kebutuhan jasmani manusia. Contoh; pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kecantikan dll. Di
samping
penggolongan
di
atas,
Uphoff
(1986)
melakukan
penggolongan kelembagaan berdasarkan sektor-sektor sosial di tingkat lokalitas, yaitu sektor publik (public sector), sektor partisipatori (participatori sector) dan sektor swasta (private sector). Kelembagaan sektor publik
di tingkat lokal
mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Sedangkan kelembagaan sektor partisipatori merupakan kelembagaan
yang tumbuh dan dikembangkan oleh
masyarakat secara sukarela, misalnya organisasi non pemerintah (NGO atau LSM). Terakhir adalah kelembagaan sektor swasta, yang berorientasi kepada upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang perdagangan, industri dan jasa. Interaksi yang terdapat dalam kelembagaan atau dalam hal ini organisasi kemasyarakatan memiliki kekhasan. Menurut Becker dalam Hayami dan Kikuchi (1987), adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral dijalankan melalui interaksi sosial dalam komunitas desa. Interaksi sosial adalah fungsi kegunaan seseorang untuk melibatkan reaksi orang lain ke dalam tindakannya. Jadi tradisi, kekerabatan, pertalian karena tempat tinggal yang sama dan kebutuhan untuk
17
bekerja sama demi keamanan dan daya tahan minimum, suatu interksi sosial yang akrab yang merupakan ciri-ciri masyarakat desa. Selanjutnya berdasarkan teori interaksi sosial dapat diramalkan bahwa pranata desa dapat lebih mudah dilaksanakan apabila komunitasnya lebih terpadu dan bersifat lebih ketat. Pada dasarnya setiap individu memiliki kecenderungan untuk berkumpul dan melakukan interaksi sosial. Selanjutnya interaksi ini membentuk suatu jaringan sosial. Jaringan sosial yang terbentuk telah melalui proses panjang dan didalmnya telah terakumulasi nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasan yang disepakati. Kesemuanya ini kemudian dapat digolongkan sebagai bagian dari modal sosial. Dengan demikian modal sosial (Social Capital) dapat merupakan bentuk-bentuk kepercayaan (trust), kemauan dan kemampuan untuk melakukan kerjasama dan berkoordinasi yang pada akhirnya merupakan energi penggerak produktivitas kolektif (Solow et al, 2000). Fukuyama (2000) menyatakan bahwa modal sosial dapat diartikan sebagai sekumpulan nilai-nilai, norma yang terbagikan (shared) dalam dan antar anggota suatu komunitas yang menjalin dan terjalin kerjasama (cooperation). Nilai-nilai tersebut menyangkut kepercayaan (trust) maupun kejujuran. Pada akhirnya kepercayaan dan kejujuran yang terlembagakan dalam komunitas akan menjadi bahan pelumas yang menggerakkan kelompok menjadi lebih efisien. Institusi masyarakat merupakan modal dasar (Sosial capital) yang dapat dipandang sebagai aset produktif. Institusi masyarakat dapat mendorong individuindividu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama dalam rangka meningkatkan produktivitas anggotanya secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Rusaknya ikatan institusi
18
masyarakat secara langsung akan menurunkan produktivitas masyarakat sehingga akan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam di mana masyarakat tersebut berada (Kartodiharjo, 2000). Modal sosial berupa nilai, norma, kelembagaan-kelembagaan pada komunitas yang memiliki energi agregat yang besar bagi anggota komunitas untuk melakukan kerjasama. Sebagaimana ditemukan oleh Sukesi, (1982), bahwa dalam rangka menyambung hidup, ternyata pranata sosial di pedesaan sangat membantu buruh tani dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan peranan lembaga formal di desa yang tidak banyak menjangkau buruh tani. Pada sisi lain adanya kelembagaan lokal yang tidak berdaya terkadang justru karena adanya beberapa campur tangan pemerintah lokal (Surayana, 1998). Dengan demikian, secara konseptual kelembagaan sosial menunjuk kepada seperangkat norma, peraturan-peraturan dan tata nilai yang dibentuk untuk memberikan layanan kepada anggota khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya melalui interaksi sosial dalam suatu komunitas untuk mengatur perilaku dalam memenuhi kebutuhannya. Kelembagaan sosial di tingkat lokal
dalam
konteks penelitian ini mengacu pada Uphoff (1992) yang terdiri dari kelembagaan sosial dalam bentuk: (1) sektor publik yaitu pemerintah lokal / pemerintah desa, (2) sektor partisipatori yaitu organisasi kemasyarakatan, dan (3) sektor swasta atau sektor private/pribadi.
Organisasi Kemasyarakatan Secara sederhana Sutarto (2002) merumuskan: Organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Slamet (2003) menyatakan bahwa organisasi
terbentuk atau
19
terdiri atas beberapa kelompok, di mana terjadi proses interaksi di atara mereka yang mengikuti suatu struktur tertentu dalam rangka mencapai tujuan bersama. Soedijanto (1980) menyatakan organisasi adalah suatu sistem sosial terdiri dari dua kelompok atau lebih saling berhubungan, memiliki sistem control tertentu, memiliki identitas bersama dan memiliki kegiatan bersama untuk mencapai tujuan (organisasi dibentuk oleh kelompok, dan kelompok dibentuk oleh individu). Berdasarkan berbagai pengertian organisasi tersebut di atas, maka dapat ditemukan beberapa faktor dasar yang yang merupakan prasyarat terbentuknya suatu organisasi, yaitu : sejumlah orang, kerjasama, dan tujuan tertentu. Ketiga faktor tersebut tidak dapat saling lepas dan berdiri sendiri melainkan saling berkaitan satu sama lain sebagai satu kesatuan. Bentuk organisasi berkembang sedemikian rupa, sesuai dengan dinamika kebutuhan manusia yang semakin berkembang. Menurut Slamet (2004) terdapat lima ciri utama organisasi yaitu: (1) adanya kesatuan sosial yang berinteraksi satu sama lainnya; (2) adanya koordinasi secara sadar (ada rencana, ada aturan, bias diperbaiki, kejelasan tujuan); (3) adanya batas tertentu (dibedakan antara anggota dan bukan anggota); (4) adanya kesinambungan (dibentuk untuk waktu yang tidak terbatas); (5) adanya tujuan bersama (tujuan tidak bisa dicapai secara individu). Hicks (1996) membagi organisasi dengan tiga cara pandang, yaitu menurut strukturnya, menurut keterlibatan emosi anggotanya dan menurut tujuan dasar organisasi tersebut. Lebih jauh klasifikasi organisasi dapat di lihat pada Tabel 1. Hayes (1947) menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan berarti tindakan kolektif untuk mencapai sejumlah tujuan atau maksud yang dianggap bermanfaat. Kemudian masyarakat menunjuk orang-orang setempat
yang
20
berkenaan pada wilayah setempat
dan dengan maksud dan tujuan serta
mengembangkan kehidupan dan kepentingan secara bersama. Dengan demikian masyarakat harus mengetahui sendiri nilai-nilai dan kepentingan-kepentingannya kalau hal tersebut dapat menghasilkan kondisi-kondisi kehidupan yang memuaskan dan seimbang. Tabel 1: Kategori Pembagian Organisasi (Hicks 1996) Berdasarkan Struktur • Ada dua macam organisasi; yaitu organisasi formal dan organisasi informal yang membentuk satu garis conti-nuum • Organisasi yang mengarah ke formal bilamana struktur-nya relative kaku, terdefenisi dengan jelas dan berlangsung lama, sedang-kan sesuatu organisasi informal jika strukturnya relative longgal, fleksibel, tidak terdefenisi dengan jelas, dan tumbuh secara spontan.
Berdasarkan Keterlibatan Emosi • Ada dua jenis organisasi yaitu organisasi primer dan organisasi sekunder, di mana masing masing juga membentuk garis continuum. • Organisasi primer adalah jika terdapat keterlibatan emosional yang menyeluruh, sedangkan organisasi sekunder adalah jika pola hubungan hanya terbatas kontrak atau tergantung perjanjian.
Ross (1967) memberi pengertian suatu proses
Berdasarkan Tujuan Utama • Setiap organisasi dibentuk tidak lain adalah untuk mencapai tujuan tertentu, yang lebih dikenal secara umum disebut untuk memuaskan keinginan, kebutuhan, harapan dan tujuan anggotanya. • Terdapat beberapa jenis organisasi yang didasarkan atas tujuan yaitu: 1. Organisasi pelayanan. 2. Orgnisasi ekonomi. 3. Organisasi keagamaan. 4. Organisasi pengayom masyarakat. 5. Organisasi pemerintah. 6. Organisasi sosial
organisasi kemasyarakatan
sebagai
dimana masyarakat mengidentifikasi kenutuhan-kebutuhan atau
tujuan-tujuannya, mengatur (atau menyusun) kebutuhan-kebutuhan dan tujuantujuan tersebut, mengembangkan kepercayaan dan kehendak untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan
dan tujuan-tujuan tersebut, menemukan sumberdaya
(internal dan atau eksternal) dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan dan tujuantujuan tersebut dan juga melakukan perluasan atau mengembangkan sikap-sikap kolaborasi dan kegiatan-kegiatan kooperatif (kerjasama) dalam masyarakat.
21
Secara
akademik
dalam
definisi
umumnya
Ruwiyanto
(2003)
mengemukakan bahwa organisasi kemasyarakatan dapat diartikan sebagai organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat
yang bebas dari kendali
lembaga negara dan dari kepentingan keuntungan ekonomi yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat yang
dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari berbagai pengertian tersebut di atas, maka secara operasional dapat diberi batasan bahwa organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh beberapa orang warga masyarakat secara sukarela atas dasar tertentu bukan untuk mencari keuntungan ekonomi melainkan untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang menjadi sasaran (target) baik secara langsung maupun tidak langsung serta bersifat independen. Ciri dasar organisasi dinamis seperti organisasi sosial kemasyarakatan menurut Ruwiyanto (2003) adalah meliputi: (1) lingkungan sosial budaya yang volatile, (2) sifat organisasi yang proaktif, (3) rantai pengambilan keputusan pendek, (4) cenderung desentralisasi, (5) interaksi internal tinggi, (6) mobilisasi struktural tinggi, dan (7) mementingkan aspek material daripada formal. Hagul (1985) menyebutkan bahwa yang menjadi ciri pembeda dengan organisasi lainnya, meliputi: (1) menjangkau masyarakat miskin, (2) berstruktur dinamis (tidak birokratis), (3) mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas, (4) mampu bereksperimen, dan (5) dana yang dibutuhkan relatif murah. Ditinjau dari dimensi tujuan menurut Salusu (2000) Orkemas bercirikan: (1) syarat kebebasan, (2) loyalitas masyarakat rendah karena bersifat sukarela, (3) struktur organisasi relatif beragam/berbeda sesuai kebutuhan, (4) kebanyakan kurang
22
nampak professional kecuali bidang keagamaan, (5) keuntungan yang didapat tidak dibagi kepada pemilik, (6) bersifat memampukan masyarakat, (7) melayani kepentingan masyarakat, dan (8) sebagai fasilitator pembangunan. Pendapat tentang ciri-ciri organisasi kemasyarakatan yang dikemukakan di atas paling tidak mempunyai dua variasi, yaitu ciri-ciri yang bersifat umum dan ciri-ciri yang bersifat khusus yang membedakannya dengan organisasi pemerintah yang bersifat formal dan organisasi ekonomi. Trum dan Johnson (1989) menguraikan fungsi-fungsi vital yang harus dijalankan dalam organisasi kemasyarakatan yang meliputi: 1. Mengintegrasikan organisasi sebagai salah satu bagian dari masyarakat luas 2. Menjamin kemudahan memperoleh sumberdaya 3. Hubungan dengan klien (pemakai dan penerima jasa) 4.
Memantapkan misi organisasi
5. Perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, pengendalian dan evaluasi 6. Mengintegrasikan sub-sistem social dan tugas-tugas.
Organisasi Pemerintah Organisasi pemerintah baik pada tingkat tertinggi sampai pada tingkat terendah, yaitu mulai dari pemerintahan pusat, pemerintahan daerah propinsi, kabupaten/kota sampai pada pemerintahan desa, dibentuk dalam rangka untuk melaksanakan tugas-tugas negara. Labolo ( 2006) “pemerintah adalah segenap alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga kenegaraan
yang berfungsi
sebagai alat untuk mencapai tujuan negara”. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut di atas, Ndraha (2000) “pemerintah memiliki dua fungsi yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder”.
23
Sedangkan menurut Rasyid (2001) fungsi-fungsi pemerintahan adalah fungsi pengaturan, pelayanan, pemberdayan, dan pembangunan. Fungsi pengaturan atau lebih dikenal dengan fungsi regulasi, fungsi pelayanan akan meberikan pelayanan dengan dasar keadilan, fungsi pemberdayaan untuk mendorong kemandirian dan fungsi pembangunan untuk Menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Dari fungsi-fungsi tersebut di atas, maka Osborn dan Gaebler (1996) bahwa pemerintah tidak bisa dijalankan seperti sebuah bisnis dengan alasan: pertama, pimpinan bisnis selalu didorong oleh motif laba, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk bisa dipilih kembali; kedua, bisnis memperoleh sebagian besar uang dari pelanggannya, sedangkan pemerintah dari membayar pajak; ketiga, perusahaan biasanya di dorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintah menggunakan monopli; keempat, pemerintah mendapat penghasilannya
terutama
dari
pajak,
sedangkan
perusahan
memperoleh
penghasilan bila pelanggan membeli produk atau jasa; kelima, pemerintah bersifat demokratis dan terbuka sehingga terkesan lebih lamban, sedangkan bisnis biasa mengambil keputusan yang lebih cepat. Namun demikian, Bertrand (dalam Syani, 1995) oganisasi pemerintah desa termasuk salah satu bentuk organisasi sosial. Dalam kaitan dengan hal tersebut Schumacher (1979) menyebutkan bahwa penyebab utama masalah struktural di ialah karena pemerintah desa sebagai struktur perantara dan sekaligus agen pembaharuan ternyata semakin tindak mampu menjalankan fungsinya secara optimal sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat yang berubah dengan cepat. Artinya tingginya kepercayaan pemerintah desa dari masyarakatternyata belum mampu berbuat banyak demi kepentingan masyarakat. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan
24
organisasi pemerintah desa yang cenderung ambivalen. Pada satu sisi organisasi terjebak dengan struktur formalistik sesuai dengan peraturan, sehingga kegiatan formalistik dengan keterbaasan kewenangan yang di miliki. Kemudian disisi lain pemerintah desa yang merupakan organisasi yang beriteraksi langsung dengan masyarakat di harusnya lebih non strukturalis
sehingga lebih memudah
mendekatkan diri kepada masyarakat. Kondisi pemerintah lokal/desa yang pada saat ini belum mampu menjalankan fungsinya secara maksimal dan hanya tergantung pada level pemerintah di atasnya. Hal ini berimplikasi langsung pada perubahan sosial di lingkungan berjalan lambat dan aksi sosial seringkali hanya dilakukan bersamaan dengan adanya uluran sumber daya dari pemerintah daerah atau pusat. Oleh karena itu, peran pemerintah lokal/desa dalam pemberdayaan keluarga miskin perlu untuk lebih ditingkatkan dimasa akan datang sehingga mampu meberdayakan keluarga miskin yang ada di desanya.
Peran Kelembagaan Lokal Lewin (dalam Steers 1991)
menyebutkan bahwa ada dua kekuatan
perubahan, yaitu kekuatan untuk mendorong perubahan (driving forces) dan kekuatan untuk menentang perubahan ( restraining forces). Kedua kekuatan tersebut saling tarik menarik, jika kekuatan yang menentang perubahan mendominasi
maka cenderung akan perubahan tidak akan berlangsung dan
demikian pula sebaliknya. Peran kelembagaan lokal yaitu pemerintah lokal/desa dan lembaga kemasyarakatan lokal, di pandang sebagai suatu proses dari tata kelola
25
pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran kelembagaan lokal dalam pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terencana yang memperlihatkan adanya mitra kesejajaran yang nyata diantara pelaku pembangunan yang meliputi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha/swasta. Dalam konteks ini, ketiga pilar tata kelola pemerintahan yang baik yaitu pemerintah, masyarakat dan dunia usaha/swasta berada dalam posisi kesetaraan dalam mendorong proses perubahan. Dengan demikian, posisi dominan terhadap ketiga pilar tersebut di atas tidak lagi dikenal dalam proses pembangunan termasuk upaya untuk memberdayakan keluarga miskin di. Menurut Sudarmajanti (2004) mengemukakan bahwa istilah tata kelola kepemerintahan yang baik mengandung pemahaman sebagai berikut: (1) nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kemampuan
rakayat
dalam
pencapaian
tujuan
nasional,
kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial, dan (2) aspek fungsional pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya Budi (1999) mengemukakan bahwa sedikitnya terdapat lima ciri sebagai prinsip utama yang harus dipenuhi dalam kriteria tata kelola pemerintahsan yang baik
sebagai prinsip yang saling terkait yaitu: (1)
akuntabilitas (accountability); (2) keterbukaan dan trasnparansi (openness and transparency); (3) Ketaatan pada aturan hukum; (4) Komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan Negara, dan bukan pada kelompek atau pribadi; (5) Komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
26
Sekretariat Pengembangan Good Public Governance Bappenas (2005) menyebutkan terdapat 14 (empat belas) prisip-prinsip Tata Kepemerintahan Yang Baik yang terdiri dari: (1) wawasan ke depan (visionary), (2) keterbukaan dan transparansi
(openness and
transparency),
(3)
partisipasi
masyarakat
(partisipation), (4) tanggung gugat (accountability), (5) supremasi hukum (rule of low), (6) demokrasi (democracy), (7) profesionalisme dan kompetenxi (profesionalism and compotency), (8)
daya tanggap (responsiveness), (9)
keefisienan dan keefektifan ( efficiency and effectiveness), (10) desentralisasi (decentralization), (11) kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private and civil society parnership), (12) komitmen pada penanggulangan kesenjangan commitment to reduce inequality), (13) komitmen pada lingkungan hidup (commitment to enviromental protection), (14) Komitmen pada pasar yang adil (commitment to fair market). Menurut Bhatta dalam Syaukani (2003) pada dasarnyardapat empat prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik yaitu; (1) akuntabilitas, (2) transparansi, (3) keterbukaan, dan (4) penegakan hukum. Pada penulisan ini, secara substansial terdapat lima prinsip tata kelola kepemerintahaan yang baik sebagai bagian dari peran kelembagaan lokal dan pemberdayaan keluarga miskin. Kelima prinsip tersebut masing-masing: 1. Akuntabilitas; para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swastadan masyarakat sivil (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. 2. Transparansi; dibangun atas dasar kebebasan arus informasi di pusat maupun di daerah. Di samping itu transparansi juga
mengarah kepada kejelasan
27
mekanisme formulasi dan implementasi setiap kwebijakan, Program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. 3. Partisipasi; setiap warga negara ikut serta dalam pengambilan keputusan, baik dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya. Di samping itu partisipasi mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara berfikirdan kebiasaan hidupnya. 4. Daya tanggap; Setiap masyarakat, institusi dan prosesnya diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkempentingan. 5. Komitmen pengurangan kesenjangan; semua warga negara, mempunyai kesempatan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dan
mempertahankan
kesejahteraan. Memperhatikan hal tersebut, maka peran kelembagaan lokal dalam upaya pemberdayaan keluarga miskin di dapat dilakukan dengan menerapkan prinsipprinsip tata pemerintahan yang baik yang meliputi: akuntabel, transparan, partispatif, berdaya tanggap, dan bertanggung jawab pada pengurangan kesenjangan. Dengan demikian dengan menerapkan peran kelembagaan lokal yang di dasarkan pada prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dalam upaya pemberdayaan keluarga miskin di dapat diwujudkan. Di samping itu dengan adanya pemahaman akan peran kelembagaan lokal akan memudahkan bagi masyarakat untuk melihat peran mereka masing-masing dalam pembangungan termasuk upaya pemberdayaan keluarga miskin di.
28
Kemiskinan Pengertian Kemiskinan Definisi kemiskinan dapat ditelusuri dari beberapa sudut pandang, yang diawali dari pendapat bahwa kemiskinan merupakan ketidakmampuan memenuhi konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, hingga pengertian lebih luas yang memasukkan komponen komponen sosial dan moral. Kemiskinan yang didefinisikan dari sudut pandang penyebab terjadinya kemiskinan karena adanya ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi, maka kemiskinan tersebut terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat yang mendorong timbulnya kemiskinan. Di sisi lain, kemiskinan diartikan sebagai bentuk ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Kondisi terakhir ini lebih dikenal dengan kemiskinan struktural (Tim Smeru, 2001). Menurut Bappenas (2003) kemiskinan sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh masalah-masalah internal orang miskin, seperti rendahnya pendapatan, rendahnya posisi tawar, budaya hidup yang tidak mendukung kemajuan atau rendahnya kemampuan orang miskin dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungannya, di samping itu, kemiskinan juga berkaitan erat dengan faktor-faktor eksternal seperti: 1. Rendahnya akses terhadap sumberdaya dasar (pendidikan, kesehatan, air bersih), atau berada di daerah terpencil ; 2. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat yang antara lain disebabkan oleh sistem yang kurang mendukung;
29
3. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik; 4. Konflik sosial dan politik; 5. Bencana alam, seperti longsor, gempa bumi; 6. Kebijakan
publik
yang
tidak
peka
dan
tidak
mendukung
upaya
penanggulangan kemiskinan, serta aspek eksternal lainnya yang dapat menjadi determinan dari poses pemiskinan. Menurut Chambers (dalam Bagong, 2003), inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali berkait satu sama lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Menurut Narayan (2000) terdapat paling tidak lima pengertian kemiskinan dan faktor-faktor penyebabnya dari perspektif kelompok miskin. Pertama, kemiskinan adalah bersifat multidimensional. Paling tidak terdapat enam dimensi kemiskinan, yaitu: (a) kekurangan pangan dan kelaparan, (b) ketidakberdayaan, ketidakmampuan berbicara, ketergantungan, tidak percaya diri atau malu, (c) kurangnya akses terhadap infrastruktur: jalan, transportasi, air bersih, (d) kerendahan pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan, (e) kesehatan yang lemah dan umumnya berpenyakit, dan (f) ketidakmampuan mengelola asset fisik, manusia, sosial, dan lingkungan. Berdasarkan pengertian-pengertian kemiskinan yang berwajah majemuk tersebut, terdapat berbagai dimensi kemiskinan, antara lain:
30
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan) 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, transportasi) 3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untu pendidikan dan keluarga) 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam 6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan social masyarakat 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil). Di sisi lain bahwa kemiskinan adalah merupakan permasalahan klasik, yang telah ada bersamaan dengan adanya umat manusia sebagai mahluk sosial. Namun demikian sampai saat ini belum ditemukan model untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan itu sendiri. Secara teoritis dari berbagai uraian tersebut di atas,
Suharto E ( 2006) mengemukakan bahwa ada dua paradigma atau
pandangan dalam menganalisis kemiskinan maupun merumuskan kebijakan dan program-program anti kemiskinan sebagaimana Tabel 2 berikut ini.
31
Tabel 2. Paradigma Neo-Liberal dan Demokrasi-Sosial tentang kemiskinan Paradigma
Neo-Liberal
Landasan Teoritis Individual Konsepsi dan Indikator Kemiskinan Absolut. Kemiskinan Penyebab Kemiskinan Kelemahan dan pilihanpilihan individu; lemahnya pengaturan pendapatan; lemahnya kepribadian (malas, pasrah, bodoh). Strategi • Penyaluran pendapatan Penanggulangan terhadap orang miskin Kemiskinan secara selektif • Memberi pelatihan keterampilan pengelolaan keuangan melalui inisiatif masyarakat dan LSM.
Demokrasi-sosial Struktural Kemiskinan Relatif. Ketimpangan struktur ekonomi dan politik; ketidakadilan sosial.
• Penyaluran pendapatan dasar secara universal • Perubahan fundamental dalam pola-pola pendistribusian pendapatan melalui intervensi negara dan kebijakan sosial. Sumber : Cheyne, O’Brien dan Belgrave dalam Suharto (2006). Paradigma pengentasan kemiskinan di atas merupakan konsep yang di
arahkan untuk menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Di samping itu, pembangunan yang di laksanakan, pada dasarnya adalah mengangkat harkat hidup dengan meningkatkan kesejahteraaan masyarakat. Namun demikian, salah satu tujuan dari pembangunan di negara berkembang termasuk Indonesia adalah menekan tingkat kemiskinan. Dalam kaian dengan Indonesia berbagai program-program pembangunan telah dilakukan pemerintah dalam upaya mengatasi permasalahan yang terkait dengan kemiskinan. Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai
upaya melalui program pengentasan
nasib orang
miskin. Pendekatan kesejahteraan dilakukan oleh Pemerintah antara lain melalui Instruksi Presiden (Inpres) dan berbagai kebijakan yang mendukung lainnya.
32
Keluarga Miskin Menurut Sua’dah (2005) keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Hakekatnya keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan suatu kesatuan yang khusus. Menurut Iver dan Page (dalam Khairuddin, 1997) ciri-ciri keluarga meliputi; 1) keluarga merupakan hubungan perkawinan, 2) berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara, 3) sesuatu sistem tata norma termasuk perhitungan garis keturunan, 4) ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus
terhadap
kebutuhan-kebutuhan
ekonomi
yang
berkaitan
dengan
kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak, dan 5) merupakan tempat tinggal bersana, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga. Menurut Hasnida (2007) ada beberapa pengertian yang dapat dijelaskan untuk memaknai keluarga. Menurut teori peran keluarga, keluarga adalah suatu unit yang berfungsi sesuai atau tidak sesuai menurut tingkat persepsi peran dan interaksi di antara kinerja peran dari setiap anggotanya. Selanjutnya menurut Becvar (dalam Hasnida, 2007) keluarga yang berhasil, berfungsi dengan baik, bahagia, dan kuat tidak hanya seimbang, tetapi perhatian terhadap anggota keluarga yang lain, menggunakan waktu bersama-sama, memiliki pola komunikasi yang baik, memiliki tingkat orientasi yang tinggi terhadap agama, dan dapat menghadapi krisis dengan pola yang positif. Krisis dalam keluarga dapat
33
lebih dimengerti, apabila tiap tahap perkembangan keluarga diteliti, karena setiap tahap mempunyai permintaan peran, tanggung jawab, problem dan tantangantantangan sendiri-sendiri. Tahapan perkembangan keluarga yang dimaksudkan adalah (1) Keluarga baru, (2) Keluarga dengan anak, (3) Keluarga dengan balita (4) Keluarga dengan anak sekolah, (5) Keluarga dengan anak remaja, (6) Keluarga sebagai pusat peluncuran, (7) Keluarga tahun-tahun tengah, dan (8) Pensiun. Berdasarkan definisi keluarga tersebut dan jika dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan, maka unit terkecil dalam masyarakat yang rentan terhadap masalah kemiskinan adalah keluarga, karena keluarga memiliki peran dalam pemenuhan kebutuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Guhardja dkk (1992), fungsi keluarga adalah: (i) pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, (ii) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental emosional, dan spiritual. Pengembangan melalui interaksi individu dan keluarga akan memberikan dampak pada tingkat perkembangan individu lebih luas dalam berbagai aspek, budaya, intelektual, dan sosial. Lebih lanjut, Gunn, Duncan dan Aber (dalam Small dan Memmo, 2004), menyatakan
walaupun
kemiskinan
tidak
menjelaskan
mengapa
terjadi
peningkatan keberadaan resiko: keluarga yang miskin memiliki lebih sedikit sumberdaya keuangan untuk memperoleh barang-barang yang diperlukan, memiliki akses yang lebih rendah pada pelayanan dan sekolah yang berkualitas, hidup dalam kondisi yang cenderung dengan tingkat bahaya dalam konteks ketetanggaan, memiliki pengalaman stress yang lebih tinggi dalam kehidupan
34
sehari-hari, dan memiliki dukungan sosial yang lebih sedikit untuk melakukan mobilitas dan meningkatnya isolasi pada keluarga ini. Ketidakberdayaan keluarga miskin salah satunya tercermin dalam kasus di mana elite desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan
keluarga
miskin
di
kesempatan
yang
lain
mungkin
dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan terjadinya bias bantuan terhadap si miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi (Hafids, 2000; Bagong, 2003). Hardjono (1999) menemukan bahwa bagi 31% dari jumlah rumah tangga, dampak krisis moneter tersebut dirasakan dengan meningkatnya persaingan dalam pekerjaan, terutama pada upah buruh pertanian, perdagangan dan penarik becak. Selama kurun waktu dua tahun terakhir sebagian besar responden telah menjual barang-barang miliknya, terutama yang berupa anting-anting dan kalung wanita, termasuk barang-barang rumah tangga seperti TV, sepeda dan perabotan rumah (mebel). Alasan yang paling sering dikemukakan adalah untuk membeli bahan pangan dan membayar biaya pendidikan anak, sementara penjualan aset seperti sepeda motor adalah untuk mendapatkan modal untuk bisnis. Ditemukan kenyataan bahwa semakin jauh suatu lokasi dari pusat pemerintahan desa dan kecamatan, maka keikutsertaan dalam program Jaring Pengaman Sosial (JPS) cenderung menurun. Responden yang tinggal di kampung terpencil dan berada di wilayah perbatasan antara dua kecamatan ternyata sama sekali tidak mengikuti satupun dari program jaring pengaman sosial yang ada.
35
Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik ekonomi seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya. Sedangkan penyebaran kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik geografisnya, yaitu dengan menentukan di mana penduduk miskin terkonsentrasi. Untuk kasus Indonesia, aspek geografis ini bisa terbagi dalam penyebaran kota dan desa, di Jawa dan di luar Jawa (Subagyo et al, 2001). Pada dasarnya metode identifikasi gejala kemiskinan dilakukan dengan menggunakan metodologi dengan penelaahan pada aspek: (1) identifikasi golongan/kelompok masyarakat miskin untuk menjawab (siapa?) dan (2) identifikasi daerah miskin untuk mengetahui (di mana?). Selanjutnya untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin umumnya dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan (poverty line) (Sumardjo et al., 1994). Inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, perangkap kemiskinan terdiri dari lima unsur, yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin (Bagong, 2003). Beberapa
faktor
yang
berkontribusi
pada
kemiskinan
termasuk,
diantaranya: (a) geografi, (b) peningkatan jumlah kepala rumah tangga tunggal,
36
(c) pengurangan pemerintah dari keuntungan-keuntungan dalam pendapatan program sekuritas, (d) peluang ketenagakerjaan menyangkut ketersediaan lowongan dan kemudahan akses untuk mencari kerja, (e) restrukturisasi ekonomi, dalam konteks ini pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi berkorelasi dengan gaji tinggi, sebaliknya keterampilan rendah berkorelasi dengan gaji rendah), (f) tingkat pendidikan, dalam konteks ini secara umum pencapaian pendidikan yang lebih tinggi dapat menjaga sesorang berada dibawah garis kemiskinan, dan (g) umur, dalam hal ini masyarakat yang berusia lanjut cenderung untuk hidup pada pendapatan yang tetap.
Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pemberdayaan Untuk melakukan perubahan secara sadar dalam suatu masyarakat maka yang sangat dibutuhkan adalah bagaimana masyarakat itu diberdayakan dengan melalui optimalisasi seluruh potensi yang dimiliki masyarakat. Menurut Weissglass (1990) pemberdayaan (empowerment)
“a process of supporting
people to construct meaning and exercise their freedom to choice” (suatu proses yang mendukung orang-orang untuk membangun suatu pengertian dan tindakan yang batu mengenai kebebasan yang mereka pilih). Lebih lanjut Christensen dan Robinson (1984) menyatakan bahwa “pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak; diberdayakan adalah memberikan suatu gelompbang kekuatan dari seseoran kepadayang lainnyadan juga berasal dari dalam, khususnya
37
kekuatan untk bertindak dan berkembang, untuk menjadi apa yang yang disebut Paolo Freire ‘lebih memanusia’. Sumodiningrat (1996) menyebutkan bahwa “upaya memberdayakan masyarakat harus dilakukan melalui 3 jalur. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakt memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran agar potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam kerangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagi masukan (imput, perta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin dalam memanfaatkan peluang. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Korten (1988) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya adalah pemberian kemampuan untuk mengelola berbagai sumber daya bagi kepentingan rakyat. Kemudian Bennis and Mische (1994) pemberdayaan berarti menghilangkan batasan birokratis yang mengkotak-kotakkan orang dan membuat mereka menggunakan seefektif mungkin keterampilan, pengalaman, energi dan ambisinya.
Kemudian Ife (1995), pemberdayaan berarti upaya
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, Hidayati (1999)
pemberdayaan pada hakekatnya adalah upaya
38
pemberian kesempatan, kewenangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan seluruh bidang , sesuai dengan profesi, peranan serta fungsinya. Dengan demikian
pemberdayaan
ialah pemberian accessibility,
meliputi pemahaman masalah kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk mendayagunakan sumber daya yang dimiliki terarah untuk perbaikan nasib. Lebih lanjut Pranarka & Moeljarto (1996) ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama,
proses pemberdayaan yang
menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individul lebih berdaya. Kecendrungan atau proses pertama tadi dapat disebut sebagai
kecenderungan
promer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyau kemampuan atau kebedayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”. Kemudian Slamet (2004)
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Selanjutnya Sumardjo dalam Pardosi (2005) menyebutkan ciri-ciri masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (3) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (4) memiliki kekuatan untuk berunding, (5)
39
memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (6) bertanggungjawab atas tindakannya. Oleh karena itu untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat ada beberapa dasar pokok yang menjadi patokan yaitu; (a) mengutamakan masyarakat, khususnya kaum miskin, buta huruf dan kelompok yang terpinggirkan, (b) menciptakan hubungan kerjasama antara mayarakat dan lembaga-lembaga pengembangan, (c) memobilisasi dan optimalisasi penggunaan sumber daya lokal secara berkelanjutan, (d) mengurangi ketergantungan, (e) membagi kekuasaan dan tanggung jawab, (f) meningkatkan tingkat keberlanjutan. Untuk membangun partisipasi, lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan masyarakat.
Hulme dan Tunner (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan
mendorong terjadinya sutu proses perubahan sosial yang memungkinkan orangorang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu, konsep mengenai pemberdayaan tidak hanya bersifat individual tetapi lebih dari itu yaitu bermakna kolektif atau kelompok. Sementara itu Billah (1993) menjelaskan bahwa agenda pemberdayaan rakyat hendaknya diarahkan pada: Pertama, terciptanya gerakan rakyat. Istilah ini digunakan secara sadar untk menerobos kisi-kisi sekat secara sengaja terbangun untuk mendorong partisipasi masyarakat akar rumput.Agenda ini untuk menggandeng berbagai kekuatan berbagai kekuatan masyarakat agar mampu memiliki bargaining position dihadapan negara
sekaligus berperan untk
memperjuangkan independensi dan otonomi masyarakat demi mengantisipasi intervensi negara. Kedua, transformasi sosial, konsepsi pokoknya gugatan
40
terhadap ekonomi pertumbuhan yang ditandai oleh pembangunan ekonomi berskala besar, padat modal dana berorientasi ekspor. Ketiga, kedaulatan rakyat dalam masyarakat sipil yang kokoh. Ketiga agenda tersebut merupakan upaya membangun kesadaran rakyat untuk mengembangan potensi yang dimiliki demi mewujudkan kesejehateraan kolektif diantara mereka tanpa ada tekanan ekternal. Dalam hubungan dengan hal tersebut di atas maka upaya pemberdayaan pada dasarnya untuk menuju suatu kemandirian dalam suatu masyarakat. Ginanjar (1992) Kemandirian pada hakekatnya dapat dikatakan sebagai kemampuan manusia, masyarakat atau bangsa untuk bertahan dalam lingkungan yang berubah, baik lingkungan alam, masyarakat maupun lingkungan antar bangsa tanpa mengrbankan falsafah hiupnya. Sejalan dengan hal tersebut dalam konteks keluarga, maka keluarga yang mandiri adalah keluarga
yang tidak
memerlukan ketegantungan berkelanjutan pada orang, keluarga lain untuk mendorong kemajuan dan kelangsungan hidupnya di masa mendatang. Di samping itu kemandirin keluarga miskin adalah
ketika memiliki kekuatan
bertahan terhadap berbagai perubahan dan dinamikan yang terjadi di luar dirinya. Untuk mencapai keluarga yang mandiri maka langkah awal yang harus dipenuhi oleh setiap keluarga miskin adalah memenuhi kebutuhan dasar yang meliputi; (a) kebutuhan dasar atas pangan, (b) kebutuhan dasar akan layanan kesehatan, (c) kebutuhan dasar akan layanan pendidikan, (d) kebutuhan dasar atas pekerjaan dan berusaha, (e) kebutuhan dasar akan perumahan, (f) kebutuhan dasar atas air bersih dan aman, serta sanitasi yang baik, (g) kebutuhan dasar atas tanah, (h) kebutuhan dasar atas sumber daya alam dan lingkungan hidup, (i) kebutuhan dasar atas aman; dan (10) kebutuhan dasar atas partisipasi.
41
Pembangunan Pedesaan Berbagai pengertian mengenai pembangunan memiliki makna yang beragam, namun pada dasarnya merupakan perubahan yang secara terencana. Bryant
dan Writhe(1987) “pembangunan; suatu peningkatan kapasitas untuk
mempengaruhi masa depan dengan mempunyai implikasi tertentu. Pertama, yaitu ia berarti memberikan perhatian terhadap “kapasitas” terhadap apa yang perlu digalakkan untuk mengembangkan kemampuan dan tenaga, guna membuat perubahan. Kedua, yaitu mencakup equity (keadilan). Ketiga, yaitu ia menumbuhkan kuasa dan wewenang dalam pengertian bahwa hanya jika masyarakat mempunyai kuasa dan wewenang tertentu maka mereka menerima manfaat”.
Kemudian Gable (1976) menyatakan pembangunan sebagai suatu
proses sosial yang transpormasi struktur dasar dan fungsional dilakukan dalam satu system sosial sehingga kebebasan berbuat dari rakyat ditingkatkan, alternatifnya diperbanyak, dana kemampuannya untuk mengendalikan lingkungan fisik, sosial, dan budaya diperbesar. Jahi (1988) menyatakan pembangunan sebagai “suatu proses perubahan sosial dalam suatu masyarakat, yang diselenggarakan dengan jalan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat tersebut untuk berpartisipasi, untk mendapatkan kemajuan baik secara sosial maupun material (termasuk dalam hal ini ialah pemerataan, kebebasan, dan berbagai kualitas lain yang diinginkan agar menjadi lebih baik) bagi mayoritas warga masyarakat itu, dengan mengendalikan lingkungan hidup mereka secara lebih baik”.
42
Menurut Todaro (1991) pembangunan mengandung tiga nilai utama: 1. Menunjang
kelangsungan
hidup;
memampuan
untuk
mempengaruhi
kebutuhan-kebutuhan dasar. Sebab semua orang mempunyai kebutuhankebutuhan dasar tertentu untuk memungkinkan kehidupan. Kebutuhan “penunjang kelansungan hidup” itu meliputi pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan rasa aman”. 2. Harga diri; kemampuan untuk menjadi seorang manusia, suatu pribadi. Komponen universala kedua daru suatu kehidupan yang lebih baik ialah harga diri, perasaan layak dan menhormati diri sendiri, tidak menjadi alat orang lain demi tujuan orang lain itu semata-mata. 3. Kemerdekaaan dari perbudakan dan penjajahan; kemampuan untuk memilih. Nilai universal ketiga yang harus merupakan bagian dari makna pembangunan ialah konsep ‘kebebasan’. Kebebasan disini hendaknya tidak difahami dalam makna politik atau idiologi, melainkan dalam pengertian lebih mendasar mengenai kebebasan atau emansipasi dari perampasan kondisi materil kehidupan, dari penjajahan sosial atas manusia oleh alam, kebodohan, orangorang lain, penderitaan, lembaga-lembaga dan keyakinan-keyakinan dogmatis. Sedangkan
Rogers dan Shoemaker (1983) menyatakan bahwa
pembangunan suatu jenis perubahan sosial dimana ide-ide baru diperkenalkan kepada suatu system social untuk menghasilkan pendapatan perkapita dan tingkat kehidupan yang lebih tinggi melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi yang lebih baik.
43
Dari berbagai pengertian mengenai pembangunan sebagaimana di sebutkan di atas, maka terdapat beberapa hal yang penting yang terkandung dalam pengertian pembangunan yaitu meliputi: 1. Perubahan yang dilakukan secara terencana kearah yang lebih baik; 2. Terjadi proses tranformasi struktural dan kultural di dalam masyarakat; 3. Pertumbuhan ekonomi yang berbarengan dengan pemerataan; 4. Metode produksi yang moderen dan organisasi sosial yang lebih baik; 5. Kebebasan berkehendak dalam upaya menjaga kesinambungan; 6. Bertujuan untuk meningkatkan kualitas kolektif kesejahteraan masyarakat; 7. Mampu menjaga keberlangsungan kehidupan social; ekonomi masyarakat, dengan kehidupan lingkungannya. Berbagai hal penting yang terkandung mengenai pembangunan di atas, maka kata masyarakat dituntut untuk melakukan perubahan perilaku, yang dalam konteks penyuluhan seluruh aktor pembangunan harus mengubah pemahaman, sikap dan keterampilannya untuk menjadi manusia pembangunan. Dalam konteks pembangunan patrisipatif merupakan suatu proses pembangunan yang dilakukan dengan memberdayakan masyarakat pada setiap tahap pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan”. Di samping itu pembangunan partisipatif merupakan proses masyarakat modern. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Inkeless (1964) “masyarakat modern memiliki karakteristik pokok; (a) terbuka terhadap pengalaman baru, (b) manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisioal, (c) manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk
44
menundukkan alam semesta, (d) manusia modern memiliki orientasi moblitas dan ambisi hidup yang tinggi, (e) manusia modern memiliki rencana jangka panjang; (f) manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik. Sementara itu Slamet (2003) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Selanjutnya Slamet
(2003) mengemukakan bahwa partisipasi dalam pembangunan dapat di bagi menjadi 5 jenis; (a) ikut memberi imput proses pembangunan, menerima imbalan atas imput, tersebut dan ikut menikamati hasilnya, (b) ikut memberi imput dan menikmati hasilnya; (c) ikut memberi imput dan dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung, (d) menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi imput, (e) memberi imput tanpa menerima imbsalan dan tidak menikmati hasilnya. Konsep
pembangunan
yang
lebih
mengutamakan
pemanfaatan
sumberdaya lokal melalui pemberdayaan seluruh potensi lokal, mulai berkembang di tahun 1970. Perkembangan tersebut, seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat sebagai bagian dari proses perkembangan pemikiran masyarakat. Untuk melaksanakan pembangunan dari bawah dengan melibatkan partisipasi masyarakat, tidak dalam konteks individu melainkan
dalam konteks
kebersamaan, terhadap seluruh proses pembangunan yang dilaksanakan. Untuk membangun partisipasi tersebut, dibutuhkan dua hal penting masing-masing dari sisi internal dan dari sisi eksternal. Dari sisi internal terkait
terbangunnya
kesadaran masyarakat untuk ikut dalam proses pembangunan; sedangkan dari sisi
45
ekternal terkait dengan kebijakan untuk mendorong masyarakat berpartisipasi dalam proses pembangunan atau lebih dikenal dengan pembangunan partisipatif. Kemudian menurut Slamet (2003), pembangunan perlu didekati dengan berbagai cara sekaligus: (1) pengelolaan potensi dapat dibangun oleh masyarakat setempat, (2) pembinaan teknologi tepat guna yang meliputi penciptaan, pengembangan, penyebaran sampai digunakannya teknologi itu oleh masyarakat perdesaaan, (3) pembinaan organisasi usaha atau unit pelaksana yang melaksanakan penerapan berbagai teknologi tepat guna untuk mencapai tujuan pembangunan,
(4)
pembinaaan
organisasi
pembina/pendukung
yang
menyambungkan usaha pembangunan yang dilakukan individu-individu warga masyarakat perdesaaan dengan lembaga lain atau dengan tingkatyang lebih tinggi (kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional), dan (5) pembinaan kebijaksanaan pendukung, yaitu yang mencakup input. Bagi negara berkembang seperti Indonesia
masih dijumpai sejumlah
penyakit-penyakit birokrasi seperti sulitnya mewujudkan koordinasi diantara aktivitas pokok publik.
pemerintahan
Kecenderungan
khususnya yang berkaitan dengan pelayanan
keengganan
dalam
melakukan
pendelegasian
kewenangan dari struktur yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah senantisa menjadi penghambat dari kelancaran pelayanan publik. Di samping itu, sifat keengganan bawahan mengambil inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap sewenang-wenang kepada masyarakat, legalisme dan formalisme, pelembagaan korupsi, berlebihan pembantu (Riggs 1986). Watson dalam Adi (2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu
46
maupun berasal dari sistem sosial yaitu : pertama.
Berasal dari kepribadian
individu meliputi; (a) Kestabilan (Homeostatis), (b) Kebiasaan (Habit), (c) Seleksi ingatan dan persepsi (Selective Perception and Retention), (d) Ketergantungan (Depedence), (e) Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan (f) Rasa tak percaya diri (self-Distrust). Kedua. Berasal dari sistem sosial yang meliputi; (a) Kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, (b) Kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), (c) Kelompok kepentingan (vested Interest), (d) Hal yang bersifat sakral (The Sacrosanct), dan (e) Penolakan terhadap ”orang ouar” (Rejection of Outsiders). Beberapa kelemahan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan dewasa ini adalah: (1) Kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) Kebijakan yang sifatnya sentralistik atau terpusat sehingga tidak peka pada kebutuhan lokal, (3) Bersifat karitatif, cenderung memosisikan masyarakat sebagai obyek, (4) Memandang kemiskinan hanya dari aspek ekonomi saja, dan (5) Permasalahan kemiskinan di berbagai daerah dan komunitas dianggap serba sama (uniform) (Bagong, 2003). Disamping itu sebagaimana dinyatakan Gani (2000) bahwa masyarakat desa
pada
dasarnya
tidak
dibina
untuk
membangun
“tatanannya”
(kelembagaannya) sehingga semangat kooperatif yang selama ini menjadi modal utama petani atau masyarakat pedesaan tidak pernah menjadi rujukan dalam merumuskan kebijakan yang diperlukan. Kerjasama atau kooperatif adalah bahan penting sebuah modal sosial.
47
Sajogyo et al.,
(1999) mengemukakan bahwa penguatan organisasi
masyarakat lokal mutlak diperlukan dalam upaya memberdayakan diri mereka, mengacu pada prinsip memanfaatkan potensi kelembagaan
yan berakar kuat
dalam struktur masyarakat lokal. Setiap komunitas desa umumnya telah memiliki wadah dalam mengelola potensi sosial kolektif, yang tercermin dari norma-norma, nilai-nilai, aturan-aturan yang menginkat, dan kebutuhan-kebutuhan yang mempunyai pola tertentu yang memiliki beragam tingkat perkembangan. Oleh karena itu kinerja organisasi lokal perlu dinilai kembali oleh, dari, dan untuk masyarakat setempat. Dari penilaian masyarakat tersebut, kemudian mengambil langkah-langkah selanjutnya untuk melakukan
aksi
atau tidakan yang
memungkinkan organisasi lokal yang ada dalam masyarakat bisa lebih mandari berdaya dalam melakukan interaksi dengan kekuaatan lain dalam kerangka yang lebih luas, dan mampu menghadapi pengaruh berbagai perubahan.
Tanggung Jawab Sosial Tanggungjawab
sosial
seringkali
diasosiasikan
dalam
pengertian
kewajiban yang mestinya dilakukan oleh pihak tertentu. Secara substansial hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari kewajiban yang mestinya dilakukan oleh semua komponen masyarakat dan pemerintah. Kondisi ini erat kaitannya dengan proses pelaksanaan dari tanggungjawab sosial sesungguhnya yang meliputi banyak aspek kehidupan dan ujungnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam ajaran agama tanggungjawab sosial, banyak disebut sebagai kewajiban-kewajiban yang mestinya dilaksanakan oleh setiap ummat beragama. Dalam konteks ini penghargaan agama ditunjukkan pada para pemeluknya yang
48
dengan sukarela memberikan bantuan kepada kelompok kurang mampu (miskin). Namun
demikian,
perkembangan
selanjutnya
bahwa
bahwa
konsepsi
tanggungjawab sosial hakekatnya tidak hanya dalam ajaran agama saja, dan hanya terkait pada salah satu lembaga atau komponen, tetapi tanggungjawab sosial hakekatnya menjadi tanggungjawab semua pihak, yang merupakan kolektivitas melakukan tindakan dan upaya-upaya menekan perilaku yang tidak etis, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengancam keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam kehidupan sosial (Anonim, 2007). Oleh karena itu, pada hakekatnya tanggungjawab sosial harus melingkupi perlindungan terhadap masyarakat atau penduduk suatu wilayah tertentu, dan lingkungan fisik masyarakat dari berbagai ancaman yang dapat merugikan masyarakat lokal. Bebeberapa teori tanggungjawab sosial dapat dilihat dari konsepsi pengembangan dan peran media massa. Pada teori ini didefinisikan pelaksanaan hakekat tanggungjawab sosial harus diselenggarakan oleh institusi-institusi penyelenggara aktivitas baik itu dalam konteks negara maupun dalam konteks perusahaan. Substansinya adalah bahwa ketika sebuah hak dimanfaatan oleh komponen masyarakat tertentu, maka hal ini telah berkonsekuensi pada munculnya kewajiban tertentu. Dalam konteks ini maka kebebasan harus sepadan dengan tanggungjawab yang mesti diemban (Anonim, 2007). Kotler dan Lee (2005) menyatakan tanggung jawab sosial merupakan suatu bentuk komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktek atau kegiatan tertentu yang mempergunakan sumberdaya yang mereka miliki. Dalam hal ini terdapat kebebasan yang dimiliki individu atau kelompok
49
masyarakat untuk mewujudkan kepeduliannya kepada kelompok masyarakat sasaran, baik dalam menentukan tujuan, jenis kegiatan, kelompok sasaran, alokasi sumberdaya yang dimiliki untuk kegiatan tersebut, dan sebagainya. Isu-isu yang menjadi sasaran kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak hanya menitik beratkan pada kondisi sumber daya manusianya saja akan tetapi juga memberikan porsi yang seimbang dengan isu lingkungan. Hal tersebut tercemin dari konsep pembangunan yang berkelanjutan menjadi bagian yang tidak terabaikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komitmen masyarakat diharapkan dapat berkontribusi pada: pembangunan ekonomi berkelanjutan yang memerlukan kerjasama dengan individu dalam kelompok tersebut, keluarganya dan masyarakat dalam lingkup yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam proses implementasinya, komitmen ini menjunjung tinggi prinsip-prinsip: nilai-nilai etis, persyaratan hukum, menghargai sesama, kemasyarakatan, dan lingkungan. Dalam konteks organisasi kemasyarakatan, (Ross, 1967) berpendapat bahwa komponen masyarakat kelas atas (upper class) dan praktisi organisasi kemasyarakatan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin. Untuk itu perlu dikembangkan; (1) rasa memiliki (sense of belonging) dan kontrol seluruh anggota masyarakat terhadap lingkungan di sekitarnya, dan (2) kepedulian terhadap tetangga pada masyarakat metropolitan melalui pembentukan kelompok-kelompok atau organisasi rukun tetangga. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa tanggung jawab sosial perlu dibangun dari lingkungan terkecil yaitu keluarga dan tetangga, hal ini dapat mengurangi terbentuknya kesenjangan ekonomi terutama di kota besar.
50
Pada definisi tanggungjawab sosial oleh korporasi, asumsi-asumsi tanggung jawab sosial dibangun dalam kerangka harmoni dan kehidupan yang lebih berkeadilan. Implementasi tanggungjawab sosial, hakekatnya memberi jalan dialog bagi para pemilik perusahaan dengan masyarakat untuk saling berkontribusi dalam hidup berdampingan menuju kesejahteraan bersama yang lebih baik. Dalam konteks ini maka hak-hak komponen pelaku dalam masyarakat, lingkungan, dihormati dan dihargai sebagai investasi bersama (Yasabari, 2007). Konsep tanggung jawab sosial merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap seluruh rakyatnya yang dituangkan dalam konstitusi negara. Negara Indonesia menuangkan tanggung jawab sosial
dalam tujuan negara: (a)
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, (b) memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, (e) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perkembangan konsep dasar negara yang di jalankan oleh pemerintah, diadopsi oleh dunia usaha dalam bentuk coorporate social responsibility (CSR) yang diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkonstribusi untuk meningkatkan ekonomi (kesejahteraan), bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas. Di sisi lain Budimanta et al., (2004) CSR adalah komitmen bisnis untuk berkonstribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka peningkatkan kualitas kehidupan.
51
Pada faktanya penekanan perlunya penanganan terhadap orang miskin telah ditunjukkan oleh semua ajaran agama. Dalam konteks ini sesungguhnya makna tanggungjawab sosial secara nilai telah tertanam dalam perasaan masyarakat. Bentuk-bentuk saling menolong dan membantu antar sesama telah dikembangkan dan menjadi salah satu intrumen keberdayaan masyarakat.
Partisipasi Masyarakat Suatu perubahan ke arah yang lebih baik tanpa melibatkan masyarakat lebih tepat disebutkan sebagai mobilisasi, dan bukan pembangunan. Oleh karena itu salah satu unsur utama dalam proses pembangunan yang harus dilakukan adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam setiap perubahan ke arah yang lebih baik dan terencana. Dalam konteks ini partisipasi merupakan salah satu bentuk yang sangat mendasar dan sekaligus mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bertanggungjawab dalam setiap proses pembangunan mulai dari tajap perencanaan sampai pada pengawasan dan evaluasi. Jaffar (1986) menyatakan partisipasi pada hakekatnya merupakan kemandirian, kemauan dan kemampuan diri sendiri melakukan kegiatan, bukan karena pemaksaan. Sedangkan menurut merupakan kesediaan
Ismawan (dalam Mubyarto, 1984)
untuk membantu berhasilnya suatu program, sesuai
kemampuan setiap orang tanpa harus mengorbangkan diri sendiri. Kemudian Margono dalam Yustina & Sudradjat (2003) partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
52
Berbagai pengertian partisipasi tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa partisipasi pada dasarnya adalah kerelaan individu, kelompok untuk ikut serta melakukan kegiatan pembangunan. Untuk melakukan partisipasi diperlukan beberapa syarat mutlak yaitu: (a)merasa senasib dan sepenanggungan, (b) ada keterkaitan dari tujuan hidup, (c) kemahiran menyesuaikan diri, (d) ada prakarsa, (e) ada iklim partisipasi, yang meliputi, (i) kedaulatan peserta dihormati, (ii) wewenang yang dilimpahkan dihormati, (iii) tenggangrasa, (iv) mempunyai perasaan bahwa keikutsertaannya berarti bagi dirinya dan masyarakat (Pasaribu dan Simanjuntak, 1986). Sementara itu, menurut Margono S (dalam Yustina & Sudradjat, berpartisipasi
2003) syarat-syarat
yang diperlukan agar masyarakat dapat
terbagi atas 3 golongan yaitu: (1) adanya kesempatan untuk
membangun kesempatan dalam pembangunan; (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu; dan (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Listyawati (2003) bentuk-bentuk dari pada partisipasi meliputi: 1. Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka; 2. Partisipasi dalam bentuk iuran atau barang, dana dan praswarana sebaiknya datang dari masyarakat sendiri dan masyarakat pada umumnya, kalaupun terpaksa dperlukan dari luar hanya bersifat sementara dan sebagai umpan; 3. Partisipasi dalam bentuk dukungan; 4. Partisipasi dalam bentuk pengambilan keputusan 5. Partisipasi representative dalam memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang duduk dalam organisasi.
53
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Kemiskinan Proses pembangunan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan berakhirnya era Orde Baru, diakui atau tidak, telah banyak menghasilkan hal positif di berbagai bidang pembangunan. Namun berbagai keberhasilan pembangunan tersebut, juga tidak dapat dipungkiri bahwa dari beberapa sisi pembangunan masih dirasakan nilai negatifnya. Meningkatnya pengangguran, banyaknya anak-anak yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan demikian pula anak putus sekolah, masih adanya warga negara yang terserang penyakit menular, anak gizi buruk, dan masyarakat yang tuna wisma, serta lingkungan yang makin rusak. SNPK (2005) BPS menyatakan pada tahun 2004 sekitar 36, 146 juta jiwa atau 16,66 % dari jumlah penduduk hidup dengan pengeluaran sebulan lebih rendah dari garis kemiskinan, yaitu jumlah rupiah yang diperlukan untuk membayar harga makanan setara dengan 2.100 kilo kalori (kkal) sehari, dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan transportasi. Jumlah penduduk tersebut adalah sangat besar dan merupakan tanggung jawab bersama untuk penyelesaian kemiskinan. Berbagai indikator tersebut membuktikan bahwa masyarakat masih rentan terhadap kemiskinan. Di samping angka kemiskinan tersebut cenderung mengalami kenaikan antara lain diakibatkan oleh lapangan kerja sangat terbatas, banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan terutama daerahdaerah dekat perkotaan. Oleh karena itu, upaya untuk menanggulangi kemiskinan
54
dibutuhkan kebijakan yang benar-benar memihak pada permasalahan masyarakat miskin.
Di samping itu,
pemerintah, harus bergerak ke arah mendorong
perluasan tenaga kerja, baik tenaga kerja potensial yang terdidik maupun tenaga kerja potensial yang kurang terdidik, serta menggerakkan sektor pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kurang terdidik di pedesaan. Namun demikian, bahwa permasalahan kemiskinan tidak sekedar persoalan tidak adanya lapangan kerja kerja, tetapi sangat kompleks dan multi dimensi, serta merupakan tanggung jawab bersama untuk mengatasinya. Oleh karena itu dibutuhkan tanggung jawab masing-masing komponen baik itu pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, maka untuk melepaskan
masyarakat dari kemiskinan, maka hal mendasar yaitu negara telah memberi mandat dan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memberdayakan seluruh sumber daya yang tersedia, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dalam menanggulangi kemiskinan dengan menjamin keterpenuhan hak-hak dasar seluruh warga negara khususnya rakyat miskin. Mandat konstitusi tersebut, merupakan cerminan bahwa pemerintah merupakan penanggungjawab utama dalam pengentasan kemiskinan, di sampiing unsur masyarakat lainnya. Oleh karena, permasalahan kemiskinan multidimensi,
bersifat
maka dibutuhkan pendekatan yang lebih komprefhensif dalam
penelaahan guna mengetahui apa yang menjadi akar penyebab pokok masalah kemiskinan. Untuk mengetahui hal tersebut tentunya harus ditelusuri dari masyarakat yang miskin itu sendiri. Di samping peran pemerintah sebagai amanah
55
konstitusi untuk tetap menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak orang-orang yang tergolong miskin. Keterjaminan akan hak-hak orang miskin oleh negara sebagai bagian warga negara harus dilindungi. Untuk melindungi warga negara diwujudkan melalui upaya nyata oleh negara dalam mengelola berbagai sumber daya yang tersedia untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin. Upaya nyata oleh negara, dilaksanakan oleh seluruh pilar-pilar pemerintahan yang meliputi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mengatasi permasalahan kemiskinan. Karena ketiga pilar tersebut, secara nyata turut serta dan bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pemunuhan kebutuhan dasar terhadap seluruh warga negara tanpa terkecuali termasuk masyarakat miskin. Adapun komponen kebutuhan dasar masyarakat miskin yang seharusnya dapat dipenuhi, yaitu: Pemenuhan hak atas pangan, pemenuhan hak atas layanan kesehatan, pemenuhan hak atas layanan pendidikan, pemenuhan hak atas pekerjaan dan berusaha, pemenuhan hak atas perumahan, pemenuhan hak atas air bersih dan aman, serta sanitasi yang baik, pemenuhan hak atas tanah,
pemenuhan hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup,
pemenuhan hak atas rasa aman, dan pemenuhan hak untuk berpartisipasi. Permasalahan kemiskinan sangat kompleks dan tidak dapat dihilangkan sama sekali, namun dapat dikurangi apabila ada kesungguhan dari pemerintah dunia usaha dan masyarakat untuk mengatasi. Khusus keterlibatan masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan, diperlukan peningkatan pemahaman dengan pengetahuan, sikap, dan kepercayaan untuk menanggulangi kemiskinan. Sehingga dengan peningkatan pemahaman mereka termotivasi untuk memberikan perhatian
56
dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat miskin di sekitarnya. Selain masyarakat kelembagaan lokal juga potensial untuk melakukan kegiatan penanggulangan kemiskinan melalui aksi sosial yang diberikan, terutama yang mengarah pada upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pada keluarga miskin.
Pemberdayaan Keluarga Miskin Pemberdayaan merupakan upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan dan keterampilan. Hasil yang diperoleh dari kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat berdaya yaitu masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang memiliki peran sekaligus fungsi yang urgen bagi upaya-upaya perubahan-perubahan sosial. Faktanya krisis yang terjadi dalam masyarakat dapat dimulai dari krisis dan kegoncangankegoncangan yang terjadi pada lembaga keluarga. Secara keseluruhan keluarga miskin akan mempengaruhi kondisi masyarakat, karena keluarga memiliki peran dalam pemenuhan berbagai kebutuhan yaitu: (1) kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, dan (2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental emosional, dan spiritual.
57
Dengan demikian pemberdayaan keluarga menjadi keharusan bagi pengembangan masyarakat. Proses pemberdayaan keluarga diorientasikan pada upaya-upaya meningkatkan kapasitas dalam menghadapi kehidupan masa depannya
dengan
memberikan
sumberdaya,
peluang,
pengetahuan
dan
keterampilannya. Upaya pemberdayaan ini menitikberatkan pada terjadinya perubahan perilaku sehingga mereka termotivasi untuk meningkatkan kemampuan memenuhi kebutuhan primer, melakukan aktivitas konsumsi, dan berusaha produktif Dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat, terdapat tiga komponen utama yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program pembangunan, disamping itu ketiga komponen tersebut merupakan sub-sub prasyarat terbentuknya suatu negara. Ketiga komponen tersebut adalah pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. (1) Pemerintah, selain sebagai penggerak pembangunan juga sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat. (2) Masyarakat sebagai bagian dalam proses pembangunan melalui partisipasi baik yang dilakukan baik secara individu maupun secara berkelompok (organisasi), mulai dari proses penentuan pilihan, penyusunan rencana, pelaksanaan sampai pada pengawasan dan evaluasinya. (3) Dunia usaha sebagai mitra kesetaraan pemerintah dan masyarakat, merupakan komponen yang terlibat dalam upaya menggerakkan kehidupan ekonomi
sehingga tersedia lapangan kerja bagi
masyarakat untuk sekaligus mengurangi pengangguran.
Potensi Masyarakat dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Masyarakat sebagai salah satu stakeholder pembangunan yang merupakan sekumpulan individu yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama tentunya
58
memiliki kesadaran bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dan suatu sistem hidup bersama sehingga memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap sesamanya. Diantara anggota masyarakat memiliki tanggungjawab terhadap permasalahan sosial di sekitarnya, termasuk di dalamnya adalah masalah kemiskinan. Komitmen masyarakat untuk mengurangi penderitaan anggota masyarakat yang miskin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, dilakukan melalui praktek atau kegiatan tertentu yang mempergunakan sumberdaya yang mereka miliki. Dalam hal ini terdapat kebebasan yang dimiliki individu atau kelompok masyarakat untuk mewujudkan kepeduliannya kepada kelompok masyarakat sasaran, baik dalam menentukan tujuan, jenis kegiatan, kelompok sasaran, alokasi sumberdaya yang dimiliki untuk kegiatan tersebut, dan sebagainya. Potensi yang dimiliki masyarakat dalam melaksanakan tanggung jawab sosial dan memberikan perhatian terhadap kemiskinan di sekitarnya penting untuk dikaji dalam rangka meningkatkan keberdayaan keluarga miskin. Potensi ini dimiliki masing individu kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; dan daya. Setiap manusia memiliki potensi, namun potensi tersebut bersifat terbatas sehingga perlu upaya-upaya untuk mengembangkannya. Pada konteks pemberdayaan, masyarakat merupakan sekumpulan individu yang memiliki kemampuan, kekuatan, dan kesanggupan yang dapat dikembangkan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap keluarga miskin, khususnya keluarga miskin di sekitar mereka. Potensi masyarakat dalam pemberdayaan keluarga miskin yang terdapat dalam diri masing-masing individu adalah karakteristik yang melekat pada individu, yang berupa ciri fisik, psikis, dan sosial. Selain itu juga perilaku yang
59
berupa pemahaman tentang kemiskinan, sikap terhadap kemiskinan, dan kepercayaan diri dalam penanggulangan kemiskinan. Potensi tersebut perlu dikembangkan dengan memberikan penyuluhan yang berkelanjutan kepada masyarakat sehingga mereka termotivasi untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab kepada keluarga miskin.
Potensi Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Berkaitan dengan komponen nomor dua yaitu masyarakat, dibutuhkan wadah untuk menghimpun berbagai kepentingan individu-individu dalam masyarakat
yang dikenal dengan organisasi. Untuk memberdayakan seluruh
keluarga miskin sampai mereka dapat bekerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasarnya, dibutuhkan peran organisasi lokal, baik itu sebagai organisasi pemerintah lokal dan organisasi sosial kemasyarakatan lokal. Namun demikian, kelembagaan lokal yang dibutuhkan adalah organisasi baik organisasi pemerinah lokal maupun organisasi kemasyarakatan lokal yang memiliki komitmen akan keberpihakan untuk membantu dalam mengatasi berbagai masalah yang dialami oleh keluarga miskin, dan memiliki tanggung jawab sosial dalam mengelola perubahan. Oleh
karena
itu
untuk
mengelola
perubahan
maka
dibutuhkan
kelembagaan lokal yang dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dilaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
Peran kelembagaan lokal baik pada organisasi
pemerintah lokal maupun pada organsiasi kemasyarakatan lokal secara positif akan teraktualisasikan dalam penerapan prinsip-prinsip tersebut yang meliputi prinsip akuntabilitas, transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, dan komimen pada
60
mengurangi kesenjangan merupakan bentuk keniscayaan dan sekaligus tanggung jawab dalam menanggulangi kemiskinan. Lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip dan indikator tata kepemerintahan yang baik
terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik No. 1.
Prinsipprinsip Akuntabilitas
Indikator
2.
Transparansi
3.
Partisipasi
4.
Daya tanggap Tercapainya daya tanggap yang tinggi masyarakat, institusi dan penyelenggara pembangunan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan.
5.
Komitmen pada pengurangan kesenjangan
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil (civil society) memiliki tanggung jawab tinggi kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Terdapat kebebasan arus informasi di pusat maupun di daerah, dan kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi setiap kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Keikutsertaan yang tinggi setiap warga negara dalam pengambilan keputusan, baik dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya agar penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara berfikir dan kebiasaan hidupnya.
Terdapatnya tanggung jawab yang tinggi pada semua warga negara, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mempertahankan kesejahteraan, dengan tetap menjaga agar tidak terjadi kesenjangan tingkat kesejahteraan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka dirumuskan suatu kerangka kerja analisis penelitian ini sebagaimana Gambar 1.
(X2) PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN Akuntabilitas Transparansi Partisipasi Daya tanggap Komitmen pada pengurangan kesenjangan
1. 2. 3. 4. 5.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
1. 2. 3. 4. 5.
(X1) KARAKTERISTIK RESPONDEN Usia Jenis kelamin Jumlah tanggungan Pendidikan formal Pendidikan nonformal Jenis pekerjaan Tingkat pendapatan Keanggotaan organisasi
(X3) PERAN ORGANISASI PEMERINTAH LOKAL/DESA Akuntabilitas Transparansi Partisipasi Daya tanggap Komitmen pada pengurangan kesenjangan
(Y1) PEMAHAMAN TERHADAP KEMISKINAN 1. 2. 3.
Pengetahuan tentang kemiskinan Sikap terhadap kemiskinan Kepercayaan diri dalam penanggulangan kemiskinan
(Y2) AKTUALISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL 1. Aktivitas/tindakan individu 2. Aktivitas/tindakan dalam kelompok (kolektif)
1. 2. 3.
(Y3) TINGKAT KEBERDAYAAN Kemampuan memenuhi kebutuhan primer Perilaku dalam aktivitas konsumsi Perilaku dalam usaha produktif
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Dasar 1. Sandang, pangan 2. Layanan kesehatan 3. Layanan pendidikan 4. Perumahan 5. Air bersih, dan aman, serta sanitasi yang baik
Gambar 1: Kerangka Berpikir Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin di Pedesaan 66600 61
62
Hipotesis Berdasarkan penjabaran tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik masyarakat dengan peran kelembagaan lokal dan pemahaman terhadap kemiskinan
2.
Terdapat hubungan nyata antara peran kelembagaan lokal dengan pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan
3.
Terdapat hubungan nyata peran kelembagaan lokal dan pemahaman terhadap kemiskinan dengan aktualisasi tanggung jawab sosial dalam mengatasi kemiskinan
4.
Terdapat hubungan antara aktualisasi tanggung jawab sosial dalam mengatasi kemiskinan dengan tingkat keberdayaan masyarakat miskin.
63
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone yang merupakan daerah yang memiliki penduduk dengan kategori miskin yang cukup besar. 13 persen dari jumlah masyarakat termasuk dalam kategori miskin. Masyarakat miskin tersebut sebagian besar berada pada wilayah yaitu sebesar 89 persen. Penduduk miskin di Kabupaten Bone tersebar di seluruh desa yang berjumlah 333 yang berada di 27 wilayah Kecamatan. Penentuan daerah penelitian didasarkan pada pertimbangan antara lain: tingkat aksesibilitas penduduk miskin terhadap pusat perekonomian, tipologi geografis dan lingkungan, serta keragaman mata pencaharian yang diasumsikan membentuk suatu pola interaksi sosial dan kelembagaan masyarakat yang relatif berbeda atau memiliki keragaman. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka daerah penelitian merupakan representasi dari keseluruhan keragaman masyarakat Bone, yang dapat dikategorikan menjadi tiga karakter wilayah meliputi: daerah kota atau berbatasan langsung dengan ibukota Kabupten Bone, kecamatan yang berada di wilayah pesisir Teluk Bone, dan Kecamatan yang berada pada pedalaman Kabupaten Bone. Berdasarkan penentuan tiga kategori tersebut terpilih secara acak tiga Kecamatan yaitu: 1. Kecamatan Palakka, merupakan kecamatan yang berbatasan dengan ibu kota Kabupaten sekaligus dapat mewakili wilayah dimana masyarakatnya memiliki
aksesibilitas
tinggi
pemerintahan Kabupaten Bone.
dengan
pusat
perekonomian
dan
64
2. Kecamatan Kajuara, yang terletak di pesisir yang sekaligus dapat mewakili wilayah dengan masyarakat yang memiliki aksesibilitas sedang dengan pusat perekonomian dan pemerintahan Kabupaten Bone. 3. Kecamatan Patimpeng, merupakan Kecamatan yang berada pada wilayah pedalaman, yang mewakili wilayah dengan masyarakat yang memiliki aksesibilitas rendah dengan pusat perekonomian dan pemerintahan Kabupaten Bone. Berdasarkan 3 Kecamatan yang terpilih mewakili tiga kategori tersebut maka masing-masing dipilih satu desa yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, masing-masing adalah Desa Lemo Ape Kecamatan Palakka yang merupakan desa dekat kota, Desa Ancu Kecamatan Kajuara sebagai desa pesisir, dan Desa Maddenreng Pulu Kecamatan Patimpeng yang termasuk dalam kategori desa pedalaman. Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian survei bersifat deskriptif korelasional. Dalam penelitian ini dilakukan upaya menjelaskan dan menguraikan berbagai fakta-fakta dan informasi yang diperoleh dan diamati selama berada di lapangan. Dari pendekatan yang digunakan tersebut di atas, untuk meneliti karakterisitik, kondisi, dan dinamika kehidupan masyarakat yang menjadi obyek penelitian.
Di samping itu, metode demikian bertujuan
untuk memberikan
gambaran umum dan sistematis, mengenai fakta-fakta yang faktual dan akurat, sekaligus menggambarkan hubungan antara fenomena yang diteliti, menguji hipotesis, membuat prediksi ke depan serta mendapatkan makna langsung maupun tidak langsung, dari suatu permasalahan yang dihadapi dan yang diteliti.
65
Populasi dan Sampel Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota masyarakat Kabupaten Bone, yaitu individu yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah yang tinggal di wilayah pedesaan di Kabupaten Bone yang diwakili oleh tiga Kecamatan di Kabupaten Bone. Adapun jumlah desa yang terpilih dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) desa yaitu Desa Lemo Ape, Desa Ancu, dan Desa Maddenreng Pulu.
Sampel Penentuan sampel dari populasi dilakukan dengan cluster sampling. Unit wilayah administrasi pemerintahan, yaitu: Kabupaten, Kecamatan, Desa, dan digunakan sebagai cluster (Sugiyono, 1997). Desa digunakan sebagai unit terkecil lokasi penelitian, kemudian anggota masyarakat sebagai sampel diperoleh secara acak. Jadi yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah individu yang tinggal di desa cluster. Besarnya sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin dalam Sevilla, dkk (1993):
n
Dengan ketentuan:
n= N= e=
=
N 1 + Ne2
Jumlah sampel Jumlah populasi Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran karena kesalahan pengambilan populasi sampel.
Berdasarkan formulasi tersebut di atas dan pertimbangan dari jumlah aktual penduduk di lokasi penelitian, maka secara keseluruhan diperoleh jumlah
66
responden sebanyak 276 orang dari tiga desa lokasi penelitian. Dari keseluruhan total jumlah responden tersebut, dengan menggunakan rumus di atas maka didapatkan jumlah responden pada masing-masing desa sebagai berikut; (1) Desa Lemo Ape berjumlah 157 orang responden, (2) Desa Ancu berjumlah 62 orang responden, dan (3) Desa Maddanreng Pulu berjumlah 57 orang responden.
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Singarimbun dan Effendi ( 1989) mengatakan bahwa definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti. Dari pengertian tersebut, maka dapat lebih mempermudah dalam mengolah informasi demi kepentingan peneliti. Adapun defenisi operasional dan pengukuran peubah dalam penelitian ini meliputi: (X1) Karakteristik individu 1. Usia adalah umur responden dinyatakan dalam jumlah tahun, dihitung mulai dari saat kelahiran sampai dengan saat dilakukan penelitian dan dibulatkan dalam jumlah tahun terdekat saat ulang tahun bila terdapat selisih bulan. 2. Jumlah tanggungan adalah semua anggota keluarga yang tinggal dengan responden dan tinggal satu atap dan makan dari 1 (satu) dapur. 3. Pendidikan
formal tingkat
lamanya
responden
mengikuti proses
pendidikan formal yang dinyatakan dalam jumlah tahun sekolah, yakni berdasarkan jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Data diukur dengan skala ordinal, dengan penjenjangan sebagai berikut: Tidak sekolah = 0 tahun, sekolah dasar = 1-6 tahun, Sekolah lanjutan pertama = 7-9
67
tahun, Sekolah lanjutan atas 10 – 12 tahun, Perguruan tinggi lebih dari 13 tahun. Jadi: (1) 0 – 6 tahun dikategorikan rendah, (2) 7 – 9 tahun dikategorikan sedang, dan (3) lebih dari 10 tahun dikategorikan tinggi. 4. Pendidikan nonformal adalah proses belajar nonformal yang pernah diikuti responden dapat berupa pelatihan, kursus, magang, sekolah lapang, mengaji yang dinyatakan dalam jumlah keikutsertaanya. Data diukur dalam skala ordinal atas jumlah pendidikan nonformal yang pernah diikuti. Lebih dari sama dengan 5 kali dalam setahun = tinggi, 3 - 4 kali dalam setahun = sedang, 1 - 2 kali dalam setahun = rendah, 0 = tidak pernah mengikuti. 5. Jenis pekerjaan adalah mata pencaharian yang dilakukan selama satu tahun terakhir. Dikategorikan menjadi: (1) 1 jenis pekerjaan (2) 2 – 3 jenis pekerjaan. (3) Lebih dari 3 jenis pekerjaan. 6. Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperolah dari hasil usaha yang dilakukan selama satu bulan terakhir, berdasarkan fakta di lapangan, maka dikategorikan menjadi: (1) Rendah, yaitu berpendapatan sampai dengan Rp. 140.000,- perbulan, (2) Sedang, yaitu berpendapatan antara Rp. 150.000 sampai dengan Rp. 300.000,- perbulan, (3) Tinggi, yaitu berpendapatan di atas Rp. 300.000,- perbulan,. 7. Keanggotaan organisasi adalah kesertaan dalam organisasi atau kelompok dalam lingkungan tempat tinggal yang ditunjukkan dengan kehadirannya dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan organisasi atau kelompok.
68
(X2) Peran organisasi kemasyarakatan adalah persepsi masyarakat tentang keberadaan organisasi kemasyarakatan dalam mendukung kegiatan pemberdayaan keluarga yang diukur berdasarkan prinsip-prinsip berikut: 1. Akuntabilitas, adalah Persepsi responden tentang tanggung jawab organisasi masyarakat dalam melakukan kegiatan pemberdayaan keluarga miskin. 2. Transparansi, adalah persepsi responden tentang kebebasan arus informasi, kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi setiap kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan keluarga miskin yang dilakukan organisasi kemasyarakatan. 3. Partisipasi, adalah persepsi responden tentang peran organisasi masyarakat dalam melibatkan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin. 4. Daya tanggap, adalah persepsi responden tentang ketercapaian daya tanggap organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. 5. Komitmen pada pengurangan kesenjangan adalah persepsi responden tentang tanggung jawab organisasi kemasyarakatan dalam melakukan kegiatan
pemberdayaan
keluarga
miskin,
untuk
meningkatkan
kesejahteraan dan mempertahankan kesejahteraan, dengan tetap menjaga agar tidak terjadi kesenjangan tingkat kesejahteraan Hasil pengukuran dikategorikan menjadi: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi.
69
(X3) Peran pemerintah lokal/desa adalah persepsi masyarakat tentang keberadaan organisasi kemasyarakatan dalam mendukung kegiatan pemberdayaan keluarga yang diukur berdasarkan prinsip-prinsip berikut: 1. Akuntabilitas, adalah persepsi responden tentang tanggung jawab pemerintah lokal/desa dalam melakukan kegiatan pemberdayaan keluarga miskin. 2. Transparansi, adalah persepsi responden tentang kebebasan arus informasi, kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi setiap kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan keluarga miskin yang dilakukan pemerintah desa. 3. Partisipasi, adalah persepsi responden tentang peran pemerintah lokal/desa dalam melibatkan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin. 4. Daya tanggap, adalah persepsi responden tentang ketercapaian daya tanggap pemerintah lokal/desa dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. 5. Komitmen pada pengurangan kesenjangan adalah persepsi responden tentang tanggung jawab pemerintah lokal/desa dalam melakukan kegiatan pemberdayaan keluarga miskin, untuk meningkatkan kesejahteraan dan mempertahankan kesejahteraan, dengan tetap menjaga agar tidak terjadi kesenjangan tingkat kesejahteraan Hasil pengukuran dikategorikan menjadi: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi.
70
(Y1) Pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan adalah penilaian masyarakat terhadap makna dari ketidakmampuan yang menunjukkan indkator-indikator kemiskinan dan keyakinan akan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi ketidakmampuan yang dialami oleh kelompok yang kurang beruntung dalam lingkungannya. Pemahaman terhadap kemiskinan diukur berdasarkan : 1. Pengetahuan tentang kemiskinan yaitu penilaian masyarakat terhadap makna dari ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan yang menunjukkan indkatorindikator kemiskinan. 2. Sikap terhadap kemiskinan yaitu sikap masyarakat terhadap kemiskinan dan
kelompok masyarakat niskin serta upaya-upaya yang dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan. 3. Kepercayaan
diri
dalam
penanggulangan
kemiskinan
yaitu
keyakinan
masyarakat terhadap upaya-upaya penanggulangan kemiskinan Hasil pengukuran dikategorikan menjadi: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi. (Y2) Aktualisasi tanggung jawab sosial adalah aktualisasi perilaku membantu dalam bentuk fisik atau non fisik untuk mengurangi beban kelompok miskin baik yang dilakukan secara sengaja/terencana maupun yang tidak terencana, individu maupun kelompok, terorganisasi ataupun tidak terorganisasi. Aktualisasi tanggung jawab sosial diukur berdasarkan: 1. Aktivitas/tindakan individu adalah perilaku aktual individu dalam membantu
untuk mengurangi beban kelompok miskin dalam bentuk fisik atau non fisik baik yang dilakukan secara sengaja/terencana maupun yang tidak terencana.
71
2. Aktivitas/tindakan dalam kelompok adalah perilaku aktual yang dilakukan kelompok masyarakat dalam membantu untuk mengurangi beban kelompok miskin dalam bentuk fisik atau non fisik baik yang dilakukan secara sengaja/terencana maupun yang tidak terencana. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi. (Y3) Tingkat keberdayaan adalah persepsi responden dalam menilai kemampuan masyarakat miskin yang dilihat berdasarkan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam hal aktivitas produksi, konsumsi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat keberdayaan masyarakat diukur berdasarkan : 1. Kemampuan memenuhi kebutuhan primer adalah perilaku aktual yang dilakukan kelompok masyarakat dalam membantu untuk mengurangi beban kelompok miskin dalam bentuk fisik atau non fisik baik yang dilakukan secara sengaja/terencana maupun yang tidak terencana. 2. Perilaku dalam aktivitas konsumsi adalah Persepsi responden terhadap aktivitas konsumsi keluarga miskin. 3. Perilaku dalam usaha produktif adalah Persepsi responden terhadap kemampuan keluarga miskin untuk melakukan kegiatan usaha produktif untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi.
72
Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi : (1) Karakterisitik individu. (2) Peran kelembagaan lokal (organisasi kemasyarakatan dan Pemerintah lokal). (3) Pemahaman terhadap kemiskinan. (4) Aktualisasi tanggung jawab sosial. (5) Tingkat keberdayaan keluarga miskin. (6) Pola hubungan antara berbagai peubah. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pencatatan data-data yang telah tersedia di kantor-kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bone seperti Kantor Bappeda, Kantor Statistik, Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana, Kantor Kecamatan dan Desa dan instansi terkait. Mengenai jenis data sekunder yang ditelusuri meliputi : 1. Keadaan umum daerah penelitian seperti keadaan geografis, iklim, sosial ekonomi (kependudukan, mata pencaharian, pemilikan lahan dan pola pemanfaatannya, pemilikan ternak, angkatan kerja dan lain-lain), dan lainnya yang menunjang. 2. Keadaan wilayah Kabupaten Bone secara umum, kecamatan dan desa yang menjadi sampel penelitian. 3. Bagan struktur organisasi dan personalia pemerintahan Kabupaten Bone, kecamatan dan desa sampel penelitian.
4. Peta-peta mengenai Kabupaten Bone, kecamatan dan desa lokasi penelitian.
73
Data dan Instrumentasi Untuk menjawab berbagai pertanyaan dalam penelitian ini dikumpulkan data dari lapangan berdasarkan kebutuhan. Dalam melakukan pengumpulan data menggunakan instrumen yang tepat sesuai dengan tujuan pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini.
Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden yang meliputi: (1) Karakterisitik individu, (2) Peran organisasi kemasyarakatan, (3) Peran pemerintah lokal, (4) Pemahaman terhadap kemiskinan, (5) Aktualisasi tanggung jawab sosial, (6) Tingkat keberdayaan keluarga miskin. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pencatatan data yang berkaitan dengan keadaan umum dan potensi Kabupaten Bone, Kecamatan Palakka, Kecamatan Kajuara, dan Kecamatan Patimpeng. Data sekunder tersebut telah tersedia di kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bone, Kantor Kecamatan dan Kantor Desa. Data sekunder tersebut yaitu Kabupaten Bone dalam Angka, Kecamatan Palakka dalam angka, Kecamatan Kajuara dalam angka dan Kecamatan Patimpeng dalam Angka. Demikian Pula Desa Limo Ape dalam angka, Desa Ancu dalam angka dan Desa Maddanreng Pulu dalam Angka. Kemudian untuk memperoleh data yang dibutuhkan baik itu data primer maupun data sekunder, dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:
74
1.
Pengamatan, yaitu melakukan pengamatan langsung untuk mengumpakan data yang dibutuhkan terhadap obyek penelitian.
2.
Wawancara, yaitu dilakukan dengan melakukan wawancara langsung dengan responden untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan.
3.
Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dengan cara mencatat data-data yang sudah tersedia (tercetak dan tergambar) di kantor-kantor atau instansi-instansi yang ada kaitannya dengan penelitian.
Instrumentasi Kuesioner dibuat sedemikian rupa dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan difahami.
Hal tersebut dilakukan untuk menghindari
kemungkinan bias kepentingan pribadi peneliti. Responden diberikan kebebasan dan
kenyamanan dalam menjawab, menggunakan kata-kata yang mudah
dipahami, semua pengajuan atau pelaksanaan wawancara menyesuaikan dengan waktu luang atau kebiasaan responden, serta sejauh mungkin menghindari pertanyaan yang sensitif.
Validitas Instrumen Azwar (2002) Validitas berasal dari kata validaty yang mempunyai arti ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur/instrument dalam melakukan fungsi ukurnya. Menurut Singarimbun dan Effendi (1987), menjelaskan bahwa validitas instrument mnunjukkan kualitas dari keseluruhan proses pengumpulan
data
dalamsuatu penelitian. Kemudian untuk mengukur validitas dari pertanyaan dalam
75
kuesioner, maka data yang telah didapatkan dianalisis dengan menggunakan tehnik korelasi product moment yang dirumuskan sebagai berikut: n (ΣXY) – (ΣXΣY) R
= nΣX2 – (ΣX2) n ΣY2 (ΣY2)
Keterangan :
R n X Y
= Koefisien korelasi product moment = Jumlah responden = Butir soal ke-x = Total butir soal dalam kuesioner
Pertanyaan yang valid didapatkan jika nilai r hasil > r table, jika sebaliknya maka harus dilakukan perbaikan atau butir pertanyaan tersebut dihilangkan. Dalam penelitian ini validitas konkuren dilihat dari signifikansi hubungan antara item pertanyaan pada masing-masing peubah penelitian.
Reliabilitas Instrumen Menurut Azwar (2001) bahwa reliabilitas merupakan terjemahan dari reliability yang artinya kepercayaan, keterandalan, konsistensi dan sebagainya. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan reliabilitas instrument adalah hasil pengukuran yang dapat dipercaya, dan dipelukan untuk mendapatkan data sesuai denan tujuan pengukuran. Singarimbun dan Effendi (1987), pengukuran reliabilitas instrument dapat dilakukan dengan tehnik belah dua. Perlu diperhatikan item pertanyaan harus relatif banyak. Cara mencari reliabilitas keseluruhan item dengan mengoreksi angka korelasinya, dengan rumus:
76
R. total
Keterangan :
=
2 (r.tt) 1 + (r.tt) R total r.tt
= Angka reliabilitas keseluruhan item = Angka korelasi belahan pertama dan belahan kedua
Apabila angka korelasi yang kedua lebih besar dari yang pertama dapat dinyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut reliabel. Reliabilitas data seluruh item pertanyaan dari seluruh peubah penelitian diuji dengan analisis reliabilitas dengan koefisen α cronbach. Merujuk pada pendapat Malhotra (1996) suatu instrumen penelitian (keseluruhan indikator) dianggap reliabel (reliabilitas konsistensi internal) bilamana α cronbach ≥ 0,6. Hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian No Nama Peubah
1 2 3 4 5 6
Karakteristik Individu X1 Peran Organisasi Kemasyarakatan X2 Peran Pemerintah Lokal X3 Perilaku Terhadap Kemiskinan Y1 Aktualisasi Tanggung Jawab Sosial Y2 Tingkat Keberdayaan Y3
Validitas (Koefisen r) 0,855(**) 0,855(**)
Reliabilitas (Alpha Cronbach) 0, 6071 0, 6725
Keterangan
Valid dan Reliabel Valid dan Reliabel
0,900(**)
0, 6371
Valid dan Reliabel
0,665(**)
0, 8966
Valid dan Reliabel
0,865(**)
0, 8369
Valid dan Reliabel
0,868(**)
0, 6725
Valid dan Reliabel
Keterangan: ** Nyata pada alpha = 0,01
Analisis Data Data dari hasil wawancara dikumpulkan kemudian ditabulasi untuk selanjutnya dianalisis. Beberapa analisis yang digunakan untuk mengolah data: 1) Analisis deskriptif (Frekuensi dan crostabb) untuk melihat distribusi dan sebaran dari kategori peubah yang diamati dan,
77
2) Analisis chi square untuk mengamati sejauh mana sebaran pada kategori peubah tertentu bila dilihat dari sebaran pada kategori peubah yang lain. 3) Analisis Korelasi, untuk mendapatkan informasi atas hubungan peubah yang ada, digunakan analisis korelasi product moment, dan analisis Tau Kendall. 4) Analisis jalur digunakan untuk melihat nilai pengaruh langsung dan tidak langsung antar peubah serta untuk menentukan jalur efektif yang berguna bagi penyusunan model pembertdayaan bagi keluarga miskin secara empiris. Dalam memudahkan tabulasi dan pengolahan data digunakan program SPSS versi 13.
78
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kabupaten Bone Kabupaten Bone adalah merupakan salah satu kabupaten yang letaknya di pesisir timur Propinsi Sulawesi Selatan. Pusat ibu kota Kabupaten Bone, berada pada jarak 174 km dari Kota Makassar ibu kota propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Bone dengan ibu kota Watampone. Kabupaten Bone berbatasan langsung dengan beberapa wilayah kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan yaitu: •
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Kabupaten Soppeng.
•
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Gowa.
•
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep dan Barru sebelah timur meripakan wilayah pplanut yaitu Teluk Bone. Oleh karena itu, kabupaten Bone selain memiliki wilayah daratan yang
luas, juga memiliki wilayah laut dan pesisir. Wilayah pesisir dan laut yang terletak disebelah timur berhadapan Teluk Bone.
Panjang pantai
Kabupaten Bone
mencapai 138 km dari arah selatan kearah utara. Dengan demikian, Kabupaten Bone terletak pada posisi strategis, merupakan jalur yang menghubungkan antara propinsi Sulawesi Selatan dengan Propinsi Sulawesi Tenggara melalui angkutan laut. Hubungan laut kedua propinsi tersebut menggunakan kapal atau perahu motor/layar, penyeberangan yang dilakukan terus-menerus, untuk mengangkut warga yang melakukan migrasi, dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengara,
79
maupun dalam rangka perdagangan antar propinsi untuk meningkatkan ekonomi kedua propinsi. Kabupaten Bone memiliki luas dasar 4.559 km2, yang merupakan salah satu kabupaten terluas di propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Bone terdiri dari 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan. Berdasarkan hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) pada tahun 2004 di Kabupaten Bone, jumlah Penduduk Kabupaten Bone sebanyak 688.080 jiwa. Jumlah penduduk tersebut, terdiri dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 325. 661 jiwa, dan jenis kelamin perempuan berjumlah 362.419 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut terdapat 291.633 jiwa merupakan angkatan kerja yang terdiri laki-laki berjumlah 196.232 jiwa dan angkatan kerja perempuan berjumlah 95.40l1 jiwa. Pembagian angkatan kerja tersebut, meliputi yang bekerja di sektor petanian sekitar 67. 54 persen, yang bekerja pada sektor perdagangan berkisar 11, 88 persen, sedangkan yang bekerja pada sektor jasa 8,61 persen, dan sektor lainnya berjumlah 10,58 persen. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bone mencapai 92.360 jiwa. Hal ini berarti 13 persen lebih penduduk di Kabupaten Bone merupakan penduduk miskin yang perlu diberdayakan. Sebagian besar (89 persen) penduduk miskin di Kabupaten Bone tinggal di wilayah pedesaan. Penduduk miskin di pedesaan memiliki keterbatasan dalam mengakses sumber daya yang dapat meningkatkan taraf kehidupan mereka karena mereka dihadapkan pada beberapa kendala yang terkait dengan sarana dan prasarana pembangunan perekonomian yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan keberdayaan pemenuhan kebutuhan primer. Serta
80
sarana dan prasarana pendidikan yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Deskripsi Kecamatan Palakka Kecamatan Palakka merupakan salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan ibu kota Kabupaten Bone.
Kecamatan Palakka dengan ibu
kotanya adalah Passippo. Kecamatan Palakka memiliki luas 115, 32
km2.
Kecamatan palakka terdapat 15 desa. Kecamatan Palakka memiliki penduduk sebanyak 21.081 jiwa, dengan rincian penduduk jenis kelamin laki-laki berjumlah 9.724 jiwa dan jenis kelamin perempuan berjumlah 11.356 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut sekitar 6.663 jumlah penduduknya adalah penduduk miskin yang tersebar di 15 desa. Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian. Hal tersebut disebabkan Kecamatan Palakka yang berbatasan dengan ibukota kabupaten merupakan daratan rendah/persawahan dengan ketinggian antara 500 sampai 700 dari permukaan laut. Di samping itu sebagian penduduk baik perempuan maupun lelaki termobilisasi ke ibu kota kabupaten
untuk bekerja. Namun demikian
Berbagai pekerjaan yang dilakukan di ibu kota kabupaten yaitu bergerak di sektor non formasl, antara lain sebagai pedagang kaki lima, buruh bangunan/pasar, dan sektor lainnya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Demikian Pula, penduduk lainnya, juga ada yang bekerja pada sektor industri pembuatan batu merah, dan penambang pasir, yang kebutulan Kecamatan Palakka dilewati Sungai Palakka yang banyak menghasilkan pasir sebagai bahan bangunan. Namun demikian berbagai kegiatan usaha pada sektor lainnya bersifat membantu sedangkan pekerjaan utama adalah masih pada sektor pertanian.
81
Deskripsi Kecamatan Kajuara. Kecamatan Kajuara letaknya berada pada pesisir Teluk Bone. Kecamatan Kajuara dengan ibu kotanya Kelurahan Bojo. Kecamatan Kajuara memiliki luas 124,13 Km2
yang meliputi 17 desa dan 1 kelurahan. Kecamatan Kajuara
memiliki jumlah penduduk sebanyak 31.714 jiwa, dengan rincian penduduk jenis kelamin laki-laki berjumlah 15.202 jiwa dan jenis kelamin perempuan berjumlah 16.512 jiwa. Dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Kajuara terdapat penduduk miskin yang berjumlah 10.043 penduduk yang tersebar di seluruh desa. Keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Kajuara tersebut, sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, dan perikanan (nelayan). Sedangkan kegiatan ekonomi lainnya yaitu sektor perdagangan dan jasa, hal ini lebih diarahkan pada kegiatan penunjang untuk mendukung kehidupan masyarakat
Kecamatan
Kajuara. Kecamatan Kajuara merupakan kecamatan yang berada pada pesisir pantai Bone. Sehingga selain bertani, juga bekerja sebagai nelayan atau petani tambak.Di samping itu juga sebagian penduduk lelaki memili untuk berlayar sebagai nelayan, maupun berlayar antar propinsi amupun antar pulau. Kegiatan yang demikian selain berdagang hasil bumi dan kebutuhan pokok untuk diperjualbelikan, juga ada yang sampai menetap di daerah migrasi.
Deskripsi Kecamatan Patimpeng Kecamatan Patimpeng merupakan kecamatan pedalaman yang terletak di Selatan
dari
Ibu Kota Kabupaten Bone. Kecamatan Patimpeng dengan ibu
kotanya Patimpeng. Kecamatan Patimpeng memiliki luas 130,47 Km2 dengan 10 desa. Kecamatan Patimpeng memiliki jumlah penduduk sebanyak 14.344 jiwa,
82
dengan rincian penduduk jenis kelamin laki-laki berjumlah 6.827 jiwa dan jenis kelamin perempuan berjumlah 7.825 jiwa. Dari Keseluruhan jumlah penduduk di Kecamatan Patimpeng terdapat 5.262 penduduk miskin. Penduduk Kecamatan Patimpeng sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Kecamatan Patimpeng merupakan kecamatan baru, hasil pemekaran dari Kecamatan Kahu pada tahun 1998. Mata pencaharian utama penduduk Kecamatan Patimpeng adalah selain petani (sawah)/berkebun, juga pedagang dan menjadi tenaga buruh di industri pabrik Gula Bone, di samping itu juga bekerja di sektor pertanian hortikultura umbi-umbian dan kacang-kacangan. Khusus untuk kegiatan perdagangan dilakukan oleh kelompok kecil warga terhadap berbagai jenil hasil bumi antara lain beras dan kacang-kacangan sertta sayur mayur yang dibeli dari petani, kemudian diangkut ke Kabupaten Sinjai (Kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Bone) untuk di jual. Di samping itu juga ada sebagian warga berusaha di biodang peternakan melalui penggemukan sapi.
Deskripsi Desa Lemo Ape Desa lemo Ape adalah salah satu desa di Kecamatan Palakka, yang berbatasan langsung dengan ibu kota Kabupaten Bone. Desa Limo Ape memiliki luas sebesar 555, 52 Km2 dengan jumlah penduduk 2.014 jiwa yang terdiri dari penduduk jumlah laki-laki 987 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 1.027 jiwa. Dari jumlah keseluruhan penduduk tersebut terdapat penduduk miskin berjumlah 501 penduduk. Sumber mata pencaharian penduduk Desa Lemo Ape sebagian besar di sektor pertanian, di mana sekitar 144, 97 ha wilayah Desa Lemo Ape merupakan
83
sawah tadah hujan dan 427,50 ha merupakan tegal /ladang, sehinga musim sawah hanya 1 (satu) kali dalam satu tahun, sedangkan tegal/ladang ditanami sayur-sayuran dipasarkan ke ibu kota kabupaten.
Oleh karena itu, untuk
memenuhi kebutuhan hidup, maka masyarakat Desa Lemo Ape melakukan migrasi temporer ke ibukota kabupaten sebagai buruh bangunan, buruh pasar atau sebagai pedagang kaki lima. Upaya mencari nafkah di ibu kota kabupaten baik sebagai buruh, maupun berdagang kaki lima, maupun pedagang musiman. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan warga Desa Lemo Ape yang melakukan migrasi di ibu kota kabupaten. Proses migrasi tersebut, lebih disebabkan oleh hubungan dalam hal ini sarana transportasi dari dan ke ibu kota kabupaten relatif sangat lancar, sehingga perjalanan ke ibu kota kabupaten hanya ditempuh sekitar 15 menit.
Deskripsi Desa Ancu. Desa Ancu adalah desa pesisir Kecamatan Kajuara yang letaknya tepat di pesisir Teluk Bone. Desa Ancu memiliki luas sebesar 350 Km2, dengan jumlah penduduk 1.146 jiwa yang terdiri dari penduduk jumlah laki-laki 549 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 597 jiwa.
Dari jumlah penduduk Desa Ancu
tersebut terdapat 351 penduduk miskin. Desa Ancu merupakan desa pemekaran di Kecamatan Kajuara. Oleh karena itu, sarana dan prasarana Desa Ancu termasuk kantor Kepala Desa belum permanen dan sebagian urusan kantor masih dikerjakan di rumah kepala desa.
84
Penduduk Desa Ancu memiliki mata pencaharian utama sebagai petani, baik sawah maupun tambak, di samping itu terdapat mata pencaharian sampingan yaitu sebagai nelayan, pedagang dan jasa dan juga sebagai buruh bangunan. Untuk sarana sosial desa seperti
jalan desa, sarana olah raga, sarana
peribadatan bagi warga telah tersedia atas swadaya masyarakat Desa Ancu. Hal tersebut tercermin dari sarana peribadatan, yang bagus, dan jalanan menuju Desa Ancu sangat baik untuk kendaraan roda 4 (empat).
Deskripsi Desa Maddanreng Pulu Desa Maddanreng Pulu merupakan desa pedalaman yang terletak di Kecamatan Patimpeng. Desa Maddanreng Pulu memiliki luas desa 3,77 Km2 dengan dengan jumlah penduduk 936 jiwa, yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki 425 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 481 jiwa.
Dari jumlah
penduduk Desa Maddareng Pulu tersebut terdapat 335 penduduk miskin. Sumber mata pencaharian penduduk Desa manddanreng Pulu sebagian besar di sektor pertanian, baik sebagai petani sawah maupun sebagai petani hortikultura. Dari keseluruhan wilayah Desa Maddareng Pulu sebagian besar (144, 97 ha) merupakan sawah tadah hujan dan 427,50 merupakan tegal/ladang. Desa Maddanreng Pulu sebagai desa pedalaman, kegiatan ekonomi masyarakatnya lebih banyak di sektor pertanian. Di sisi lain terdapat juga warga masyarakat yang bekerja sebagai buruh di lingkungan industri Pabrik Gula Bone. Karena Desa Maddanreng Pulu merupakan desa yang berbatasan langsung dengan lokasi Pabrik Gula Bone, dan sebagian lahan kebun penanaman tebu itu berada di desa Maddareng Pulu. Di samping itu,
85
sebagian warga Desa Maddanreng Pulu juga menjadi pedagang, membuat batu merah, dan buruh bangunan, bahkan ada di antara warga yang melakukan usaha penggemukan sapi, meskipun dalam usaha yang kecil karena keterbatasan modal.
Karakterisitik Responden Karakterisitik masyarakat Kabupaten Bone di 3 (tiga) desa di Kabupaten Bone yaitu: (1) Desa lemo Ape, (2) Desa Kajuara, dan (3) Desa Maddareng Pulu yang diamati dalam penelitian ini meliputi: (1) Jenis kelamin, (2) Umur, (3) Pendidikan formal, (4) Pendidikan non formal, (5) Jenis pekerjaan, (6) Pekerjaan tambahan, (7) Tingkat pendapatan, dan (8) Keikutsertaan dalam Organisasi. Deskripsi karakteristik responden disajikan pada Tabel 5. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (81,5 persen). Meskipun secara keseluruhan desa yang menjadi lokasi penelitian mempunyai penduduk berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Namun demikian responden yang terpilih adalah kepala keluarga, sementara dalam masyarakat di Kabupaten Bone yang menjadi kepala keluarga adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut disebabkan oleh posisi laki-laki dalam masyarakat Kabupaten Bone merupakan tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah
untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sedangkan
perempuan lebih banyak tinggal di rumah untuk mengurus keluarga. Namun demikian tidak berarti bahwa perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah untuk membantu kepala keluarga mencari nafkah demi kepentingan keluarga.
86
Tabel 5 Deskripsi Karakteristik responden Karakteristik Masyarakat
Kategori
Desa Maddenreng Pulu (Desa pedalaman)
n1 Jenis kelamin
Kategori umur
Kategori pendidikan formal Pendidikan Non Formal
Jenis pekerjaan
Pekerjaan Sampingan
Tingkat Pendapatan
Tanggungan keluarga Keanggotaan dalam Organisasi
%
Desa Ancu (Desa Pesisir)
n2
%
Desa Lemo Ape (Desa dekat kota)
n3
%
Total
n
%
Laki-laki Perempuan Total
49 8 57
86 14 100
47 15 62
76 24 100
129 28 157
82 18 100
225 51 276
82 18 100
Muda ( < 30 tahun) Sedang/baya (30-50) Tua ( > 50 tahun) Total Rendah Sedang Tinggi Total Kursus Pelatihan Mengaji Jumlah Wiraswasta PNS Karyawan swasta Buruh Pengangguran Jumlah 0 Wiraswasta Buruh Pengangguran Jumlah Rendah Sedang Tinggi Total Sedikit Sedang Banyak Total Tidak ikut organisasi Keagamaan Sosial Kemasy Kepemudaan Politik Profesi
27 14 16 57 22 22 13 57 23 10 24 57 1 1 2 51 2 57 53 0 4 0 57 2 42 13 57 14 24 19 57 55 0 1 0 1 0
47 25 28 100 39 39 23 100 40 18 42 100 2 2 4 89 4 100 93 0 7 0 100 4 74 23 100 25 42 33 100 96 0 2 0 2 0
19 21 22 62 9 28 25 62 31 20 11 62 13 5 3 41 0 62 46 5 10 1 62 0 48 14 62 19 25 18 62 50 2 8 2 0 0
31 34 35 100 15 45 40 100 50 32 18 100 21 8 5 66 0 100 74 8 16 2 100 0 77 23 100 31 40 29 100 81 3 13 3 0 0
46 64 47 157 48 83 26 157 37 66 54 157 16 2 0 139 0 157 124 30 3 0 157 0 110 47 157 43 67 47 157 138 5 11 1 0 2
29 41 30 100 31 53 17 100 24 42 34 100 10 1 0 89 0 100 79 19 2 0 100 0 70 30 100 27 43 30 100 88 3 7 1 0 1
92 99 85 276 79 133 64 276 91 96 89 276 30 8 5 231 2 276 223 35 17 1 276 2 200 74 276 76 116 84 276 243 7 20 3 1 2
33 36 31 100 29 48 23 100 33 35 32 100 11 3 2 84 1 100 81 13 6 0 100 1 72 27 100 28 42 30 100 88 3 7 1 0 1
87
Umur responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mereka yang telah berumur di atas 17 tahun dan atau telah menikah baik laki-laki maupun perempuan. Umur dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu: (1) muda yaitu berumur 17 tahun dan atau telah menikah sampai dengan 37 tahun, (2) sedang/baya yaitu yang telah berumur 38 tahun sampai dengan 50 tahun, dan (3) tua yang telah berumur 51 tahun ke atas. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa dari keseluruhan jumlah responden, kelompok umur sedang/baya dan muda, masih banyak dibandingkan dengan kelompok umur tua, dan menggambarkan bahwa responden adalah anggota masyarakat yang potensi sebagai tenaga tenaga kerja produktif di desanya.
Distribusi Responden Menurut Pendidikan Pendidikan responden yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah meliputi pendidikan formal dan pendidikan nonformal yang telah diikuti oleh rensponden. Pendidikan formal yang dimaksudkan adalah
tingkat lamanya
responden dalam mengikuti pendidikan formal. Selanjutnya tingkat pendidikan formal responden dikategorikan menjadi (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah. Kategori rendah kalau responden belum pernah mengikuti pendidikan formal sampai dengan 5 tahun (tidak tamat sekolah dasar), kategori sedang adalah telah mengikuti pendidikan formal tamat SD namun tidak tamat SLTP, dan kategori tinggi apabila telah tamat SLTP dan atau telah mengikuti pendidikan di atasnya baik itu pada SLTA maupun itu perguruan tinggi. Berikut ini digambarkan distribusi tingkat pendidikan responden.
88
Gambar 2. Distribusi Tingkat Pendidikan Formal Responden
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa responden yang berpendidikan sedang dan rendah masih sangat dominan dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi. Dominan penduduk di tiga desa sampel penelitian adalah mereka yang belum mampu menyelesaikan pendidikan sampai tamat SLTA. Kemudian yang dimaksudkan dengan pendidikan non formal, adalah segala proses pendidikan (belajar) yang pernah diikuti oleh responden baik dalam bentuk pelatihan, kursus, mengaji yang kesemuanya dapat berpotensi untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan). .
Gambar 3. Distribusi Tingkat Pendidikan Non Formal Responden
89
Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa terdapat kecenderungan responden untuk mengikuti pendidikan non formal agar dapat mengubah menjadi perilaku yang produktif (pengetahuan, sikap dan keterampilan) masih sangat terbatas, meskipun untuk kegiatan pendidikan non formal seperti mengaji mereka ikuti karena responden adalah beragama Islam. Sedangkan pendidikan non formal lainnya seperti pelatihan, kursus keterampilan responden, masih sangat sedikit yang pernah mengikutinya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi mengenai berbagai pendidikan non formal di lingkungannya yang dapat berpotensi untuk mengubah perilaku hidup mereka. Rendahnya daya minat untuk mengikuti berbagai pendidikan nonformal (kursus, pelatihan) juga disebabkan oleh asumsi dari masyarakat itu sendiri, bahwa setelah mengikuti pendidikan non formal (kursus atau pelatihan) yang telah memakan waktu, tenaga dan materi, ternyata tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan baik formal maupun non formal yang lebih baik, dan dapat menggantikan pekerjaan sehari-hari yang dilakukan selama ini, atau memberikan motivasi untuk berwirausaha dengan bantuan modal baik dari pemilik modal maupun dari pemerintah. Kecenderungan lain adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti kursus dan pelatihan yang relatif banyak itu dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga. Namun demikian pendidikan non formal yang masih banyak ikuti oleh masyarakat pedesaan adalah keikutsertaan dalam mengaji. Keikutsertaan dalam pendidikan non formal dari seluruh responden karena sebagai suatu kewajiban bagi ummat muslim. Oleh karena itu diantara 276 reponden, terdapat 267 responden telah mengetahui mengikuti pendidikan non formal mengaji, meskipun sebagian responden tidak begitu mendalaminya.
90
Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Pekerjaan responden yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah segala aktivitas/kegiatan responden
baik yang dilakukan secara formal maupun
nonformal yang bernilai ekonomi dan dapat menghasilkan materi/uang untuk mempertahankan hidup diri dan keluarganya. Jenis pekerjaan pokok dari responden ditemukan pekerjaan
5 kategori jenis
yaitu meliputi (1) wiraswasta, (2) Pegawai negeri Sipil (PNS), (3)
karyawan swasta, (4) buruh (tani milik sendiri/tani
penggarap, perkebunan,
bangunan dll), dan (4) pengangguran. Terdapat kecenderungan sebagian besar responden (83,7%) bekerja sebagai buruh, baik sebagai buruh tani, maupun buruh nelayan, buruh pasar dan buruh perkebunan pabrik gula bone. Buruh tani yang dimaksud adalah petani, yang memiliki lahan sawah yang terbatas di bawah seperdua hetto are, maupun menjadi petani penggarap tanpa memiliki lahan sawah. Di samping itu buruh dimaksudkan disini adalah mereka yang bekerja pada perkebunan, bangunan, yang mengandalkan tenaga fisik saja dengan mendapatkan
hanya
upah
(harian,
mingguan,
bulanan)
dari
yang
memperkerjakannya. Sedangkan kegiatan wiraswasta adalah bekerja pada usaha seperti usaha pembuatan batu merah, usaha di bidang jasa seperti transportasi (termasuk menjadi supir, kondektur mobil angkutan penumpang), berdagang untuk kebutuhan rumah tangga, alat-alat pertanian yang sederhana dan nelayan. Sementara responden PNS yang terpilih adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai kecamatan/kelurahan dan yang sebagai guru SD. Di samping pekerjaan utama, terdapat pula pekerjaaan sampingan dari para responden untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, sekaligus dapat
91
meningkatkan pendapatan di luar pekerjaan utama. Berdasarkan observasi terkait dengan pekerjaan sampingan responden, diketahui bahwa sebagian besar responden (80,8%) tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Mereka lebih memilih berkumpul dengan keluarga dari pada melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan keluarga.
Distribusi Responden Menurut Pendapatan Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan pendapatan responden adalah seluruh aktivitas pekerjaan baik itu pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan
yang mampu mendatangkan hasil yang dinyatakan dalam satuan
rupiah. Dari sisi pendapatan dilakukan pembagian menjadi tiga kategori yaitu (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah. Distribusi tingkat pendapatan responden tercantum pada Gambar 4. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Maddenreng Pulu
Ancu
T ingkat Pendapatan Rendah
Lemo Ape
T ingkat Pendapatan Sedang
Kab Bone
T ingkat Pendapatan T inggi
Gambar 4. Distribusi Tingkat Pendapatan Responden
Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa 200 responden adalah mereka yang memiliki pendapatan sedang; kemudian yang berpenghasilan tinggi terdapat
92
74 orang (26,7 persen), dan hanya 2 orang yang berpenghasilan rendah. Dari sisi pendapatan secara kuantitaf masih sedikit namun dalam beberapa hal penghasilan responden yang tidak dinilai dengan uang seperti hasil pertanian, perkebunan dan nelaan untuk dikonsumsi sendiri bersama keluarga.
Distribusi Keanggotaan Responden Dalam Organisasi Kerterlibatan responden dalam organisasi ini dimaksudkan adalah keikutsertaan atau tidak ikut serta menjadi pengurus dan atau menjadi anggota organisasi, baik organisasi sosial maupun organisasi pemerintah. Dari responden yang diamati terhadap keterlibatannya atau ketidak keterlibatannya dalam organisasi di lingkungannya, baik itu organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah (ormas) yang dikelompokkan menjadi dua kategori. Kedua kategori tersebut masing-masing (1) ikut serta dalam organisasi, (2) tidak ikut serta dalam organisasi. Sebagian besar masyarakat merasa tidak ikut serta dalam organisasi (88 persen), baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota dalam suatu organisasi yang ada di lingkungannya. Pada faktanya ketidakterlibatan masyarakat pada organisasi yang dimaksudkan adalah ketidakaktifan masyarakat dalam mengikuti organisasi formal dan berposisi sebagai pengurus. Sementara dari hasil wawancara dengan kepala desa dan pengurus desa, menjelaskan bahwa anggota masyarakat yang ada di desanya sebagian besar ikut serta dalam organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di desa, apakah sebagai anggota aktif maupun sebagai anggota yang tidak aktif. Keterlibatan tersebut sebagian besar pada organisasi-organisasi seperti PKK, Posyandu, karang taruna, kelompok tani, kelompok pengajian, kelembagaan dan aktivitas rutin masjid, dan kelompok serta kegiatan sosial lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masih banyak
93
banyak organisasi ataupun kelompok yang ada di lingkungan desa baik yang memiliki keterkaitan dengan program pemerintah dan menjadi salah satu program pembinaan di bawah struktur pemerintah desa maupun organisasi kemasyarakatan yang lahir dan berkembang di desa itu sendiri, tanpa adanya keterlibatan langsung dari pemerintah desa dalam kepengurusan dan pengelolaannya. Adapun jenis organisasi yang diikuti responden adalah organisasi yang ada dalam lingkungan masyarakat di mana responden bertempat tinggal. Kemudian jenis organisasi diuraikan dalam 5 kategori yaitu (1) keagamaan, (2) sosial kemasyarakatan, (3) kepemudaan, (4) politik, (5) profesi. Responden yang terlibat dalam organisasi selain sebagai anggota juga terlibat dalam kepengurusan organisasi. Aktivitas-aktivitas yang merupakan aktualisasi
partisipasi aktif nampak sekali terutama pada kegiatan-kegiatan
keagamaan, gotong royong atau kerja bakti yang memerlukan keterlibatan warga, kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah lokal (kepala desa) seperti musyawarah perencanaan pembangunan desa, dan acara-acara memperingati hari besar nasional khususnya acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan tujuh belas agustus, yang melibatkan seluruh organisasi masyarakat yang ada di desa. Terkait dengan keikutsertaan masyarakat dalam organisasi maupun kelompok kemasyarakatan pada dasarnya dapat dilihat dari tingkat kehadiran dalam pertemuan formal yang diadakan oleh organisasi atau kelompok yang diikuti. Jadi tingkat kehadiran yang dimaksudkan adalah anggota organisasi yang ikut hadir dalam setiap pertemuan ataupun kegiatan yang dilaksanakan organisasi dimana responden ikut menjadi pengurus dan atau anggota organisasi. Sebagian besar pengurus dan atau anggota organisasi yang diikuti responden senantiasa
94
mengikuti setiap kali kegiatan yang dilaksanakan organisasinya baik itu pada level desa maupun pada level kecamatan ketika diundang untuk menghadiri kegiatan/rapat yang dilaksanakan oleh aparat kecamatan. Ini menunjukkan bahwa setiap pengurus dan atau anggota organisasi memiliki kesadaran yang tinggi untuk dalam setiap aktivitas organisasi dengan menyempatkan waktunya untuk ikut dalam dalam setiap kegiatan baik yang dilakukan organisasi sendiri, maupun organisasi lain desa, maupun kecamatan.
Pemahaman Masyarakat Terhadap Kemiskinan Pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan terhadap kemiskinan, sikap terhadap kemiskinan, dan kepercayaan diri dalam penanggulangan kemiskinan, yang kemudian dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi. Hasil pengamatan secara rinci ditunjukkan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Diskripsi Tingkat Pemahaman Terhadap Kemiskinan Peubah dan Sub peubah
Kategori
Pengetahuan
Rendah Sedang Tinggi Total Kurang positif Cukup Positif Positif Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
Sikap
Keyakinan
Tingkat Pemahaman Terhadap Kemiskinan
Desa Maddenreng Pulu (Desa pedalaman) n1 % 19 33 17 30 21 37 57 100 7 12 18 32 32 56 57 100 23 40 13 23 21 37 57 100 22 39 12 21 23 40 57 100
Desa Ancu (Desa Pesisir)
n2
% 28 12 22 62 27 19 16 62 17 14 31 62 33 10 19 62
Desa Lemo Ape (Desa dekat kota) n3
45 19 35 100 44 31 26 100 27 23 50 100 53 16 31 100
45 45 67 157 24 61 72 157 39 46 72 157 37 76 44 157
%
Total
n 29 29 43 100 15 39 46 100 25 29 46 100 24 48 28 100
92 74 110 276 58 98 120 276 79 73 124 276 92 98 86 276
% 33 27 40 100 21 36 43 100 29 26 45 100 33 36 31 100
95
Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pemahaman terhadap kemiskinan terkategori sedang, sedangkan lainnya adalah rendah dan tinggi. Ini berarti bahwa pengetahun, sikap terhadap kemiskinan dan keyakinan masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan belum optimal. Kondisi ini mengandung implikasi adanya kebutuhan upaya-upaya yang lebih intensif lagi dari berbagai pihak yang memiliki kompetensi dan komitmen pemberdayaan (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) untuk secara terpadu dalam melakukan penyuluhan mengenai pemahaman terhadap kemiskinan. Upaya itu dilakukan agar lebih meningkatkan pemahaman terhadap kemiskinan, yang pada akhirnya mendorong perilaku positif masyarakat terhadap cara-cara atau upaya dalam mengatasi permasalahan kemiskinan. Bila dilihat dari kategori desa, desa Maddanreng Pulu merupakan desa pedalaman dapat dikategorikan memiliki pemahaman yang lebih positif terhadap kemiskinan dibandingkan dengan kedua desa, yaitu Ancu dan Lemo Ape. Ini berarti dibandingkan dengan kedua desa, masyarakat Maddanreng Pulu lebih memahami kemiskinan baik dalam arti fisik, maupun nonfisik. Demikian juga sikap dan keyakinan bahwa kemiskinan dapat diatasi melalui upaya-upaya sistematis terencana, menunjukkan kondisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua desa. Selanjutnya pemahaman terhadap kemiskinan umumnya bervariasi diantara anggota masyarakat satu dengan lainnya.
Adanya keragaman
pemahaman, sikap dan keyakinan terhadap kemiskinan tersebut, itu tergantung pada karakteristik responden yang umumnya spesifik. Oleh karena itu, karakteristik responden pada dasarnya merupakan suatu kondisi alamiah yang
96
menentukan potensi-potensi dan kendala-kendala yang dihadapi seseorang. Di samping itu terdapat situasi-situasi alamiah lainnya seperti lingkungan seseorang bermukim. Karaktersitik responden akan memberikan peluang bagi anggota masyarakat dalam memahami kemiskinan dan mempersepsikan apa yang telah dilakukan kelembagaan dalam hal ini organisasi pemerintah dan non pemerintah dalam mengatasi kemisikinan. Pada Tabel 7 menunjukkan hubungan karaktersitik masyarakat dengan tingkat pemahaman terhadap kemiskinan. Tabel 7. Hubungan Karakteristik Individu Dengan Tingkat Pemahaman Terhadap Kemiskinan Karakteristik Individu Jenis Kelamin Umur Pendidikan Formal Pendidikan non formal Jenis pekerjaan utama Tingkat Pendapatan Tanggungan Keluarga Kesertaan dalam Organisasi
Tingkat Pemahaman terhadap Kemiskinan Nilai Chi square (X2) 1,305 5,655 4,376 2,702 7,043 2,194 1,711 0,17
Keterangan: Tidak ada hubungan nyata antara seluruh nilai karakterisitik dengan tingkat pemahaman terhadap kemiskinan.
Berdasarkan Tabel 7 tersebut, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik individu dengan tingkat pemahaman terhadap kemiskinan. Hal ini berarti bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan tidak dapat dibedakan berdasarkan karakteristik individu tesebut. Artinya tingkat pemahaman terhadap kemiskinan tidak dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan formal, dan pendidikan non formal individu. Demikian halnya tingkat pemahaman terhadap kemiskinan juga tidak
97
dapat dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, maupun kesertaan individu dalam organisasi. Dengan demikian secara umum karakteristik responden tidak memiliki perbedaan yang nyata dalam hal sejauhmana kemiskinan dipahami dan keyakinan kemiskinan dapat diatasi. Dalam konteks ini pemaknaan terhadap kemiskinan dalam kaitan dengan karakteristik responden tidak memiliki implikasi terhadap adanya perbedaan tentang apa arti kemiskinan, sikap masyarakat terhadap upayaupaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan, dan sejauhmana upaya-upaya penanggulangan
kemiskinan
yang
dilakukan
dapat
meminimalkan
atau
menanggulangi kemiskinan yang terjadi. Namun demikian apabila dilihat dari jumlah persentase relatif dari hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa beberapa kategori dari karakteristik individu tersebut menunjukkan perbedaan. Beberapa karakteristik individu yang dimaksud adalah kategori umur, kategori pendidikan non formal, dan juga tingkat sosialisasi nilai-nilai tanggungjawab sosial terhadap masyarakat (kelompok miskin). Pada kelompok kategori umur tua menunjukkan, jumlah persentase relatif kategori tingkat pemahaman yang lebih tinggi dibandingkan kategori umur muda dan sedang/baya. Sehubungan hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa dengan semakin tinggi umur seseorang, berkorelasi dengan banyaknya pengalaman yang didapatkan dan berpengaruh terhadap pemaknaan yang lebih tepat mengenai kemiskinan. Demikian halnya pada kelompok yang memiliki tingkat pendidikan nonformal tinggi, menunjukkan jumlah persentase relatif tingkat pemahaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kategori pendidikan non formal sedang dan rendah. Kedua kondisi di atas terkait erat dengan tingkat sosialisasi yang dialami
98
seseorang terkait dengan nilai-nilai tanggungjawab sosial terhadap keluarga miskin. Oleh karena itu, menunjukkan bahwa semakin tinggi usia seseorang dengan tingkat pendidikan nonformal terutama dalam hal pengajaran keagamaan, memberikan dampak positif pada tingkat pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan pedesaan di Bone. Anggota masyarakat selama menjalani proses ”mengaji” (pendidikan non formal) yang dilakukan secara berkelompok telah terinternalisasi ajaran-ajaran agama (Islam), yang memberikan/mengajarkan bagaimana berperilaku yang baik, tolong menolong sesama manusia termasuk didalamnya kewajiban membantu orang miskin. Adanya pemahaman yang tepat terhadap kemiskinan dari mereka yang pernah mengikuti pendidikan non formal, pada akhirnya akan berdampak pada munculnya semangat berupa optimisme untuk dapat mengatasi permasalahan kemiskinan. Faktanya bahwa terdapat beberapa kendala teknis yang dihadapi oleh kelembagaan lokal dalam mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Kendala tersebut
antara lain adalah masih terbatasnya sumber daya yang tersedia,
khususnya sumber keuangan sebagai salah satu penggerak kelembagaan lokal dalam mengatasi permasalahan kemiskinan di pedesaan. Kendala lainnya adalah sumber daya manusia, yang memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan, untuk menggerakkan kelembagaan lokal dalam mengatasi kemiskinan pedesaan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kategori
kemiskinan yang dialami pada desa di Kabupaten Bone adalah
kemiskinan pendapatan. Di mana kemiskinan tersebut disebabka oleh kekurangan Pendapatan sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
99
minimum. Meskipun dari data lapangan yang dikelompokk dalam tiga katagori masing-masing: (a) tinggi yaitu bila pendapatan rensonden di atas Rp. 300.000 persatu bulan, (b) sedang yaitu bila pendapatan responden antara 150.000 – 300.000 persatu bulan, dan (c) yaitu bila pendapatan responden kurang dari Rp. 150.000 persatu bulan. Namun demikian berdasarkan defenisi kemiskinan yang dikeluarkan Bank Dunia
yaitu apabila pendapatan di bawah UG$ 1 perhari perorang. Dengan
demikian berdasarkan dari ukuran kemiskinan apabila pendapatan perbulan di bawah US$1 per hari perorang. Maka secara nyata dinyatakan dari seluruh responden, terdapat 202 responden yang miskin yaitu responden yang berpendapatan di bawah US$ 1 persatu haru. Sehubungan hal tersebut, dari perspektif penyuluhan
perlu lebih
mendorong masyarakat dalam meningkatkan pemahaman, melalui pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam mendorong untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada peningkatan pendapatan masyarakat. Hal tersebut memungkinkan mengingat Kabupaten Bone merupakan daerah potensial yang memiliki sumber daya alam baik dari persepktif sumber daya darat (pertanian, perkebunan) maupun dalam perspektif sumber daya laut (perikanan).
Potensi Kelembagaan Lokal dalam Mendukung Pemberdayaan Keluarga Miskin Pemerintah Lokal Kelembagaan lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasiorganisasi atau kelompok-kelompok yang ada dan tumbuh dalam masyarakat Bone yang secara dinamis memberikan panduan nilai sekaligus berinteraksi dalam
100
kehidupan masyarakat, berperan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Bone. Kelembagaan lokal mencerminkan tatanan yang ada dalam masyarakat yang mencerminkan organisasi atau kelompok yang memiliki nilainilai, aturan yang terus dipelihara untuk menjaga harmoni masyarakat pedesaan. Namun fokus utama dalam penelitian ini adalah organisasi pemerintah lokal/desa dan organisasi kemasyarakatan yaitu PKK, kelompok tani, karang taruna, dan kelompok pengajian, serta kelompok sosial yang terdapat di Kabupaten Bone. Peran umum pemerintah secara konsisten adalah sebagai institusi yang memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminasi, transparan, dan akuntabel. Dalam kaitan hal tersebut, maka pemerintah desa sebagai bagian dari struktur kepemerintahan di Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana salah satu tugas dan fungsinya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan hasil
wawancara
mendalam dari beberapa pemuka
masyarakat ditemukan bahwa sebenarnya segenap perangkat desa, (kepala desa dan
staf
pemerintah
desa)
dalam
pemberian
pelayanan
kepada
warganya/masyarakatnya tidak hanya sebatas pada tugas pokok pekerjaan semata yang dibatasi oleh jam kerja formal di kantor desa saja sebagaimana biasanya dalam memberikan pelayanan yang dilakukan di kantor desa, namun aparat desa tetap memberikan layanan kapan dan di mana saja (baik di rumah maupun di jalan ketika menemui kepala desa) di luar jam kantor. Keluasan dalam memberikan pelayanan di luar jam kantor tersebut, karena eratnya hubungan kekerabatan antara aparat pemerintah desa dengan warganya. Di samping itu, kecenderungan pemerintah desa (khususnya kepala desa)
menempatkan diri sebagai kantor
101
berjalan, sehingga setiap kali kepala desa keluar rumah senantiasa membawa “cap stempel” kantor desa, sehingga apabila ada warga yang harus berhubungan dengan kepala desanya berkaitan dengan pengurusan surat-surat seperti surat penjualan hewan ternak, maka kepala desa langsung memberikan pelayanan kepada warganya tanpa harus menunggu waktu untuk ke kantor. Di samping itu dalam mendorong aktivitas desa, aparat desa juga membantu warga desa dalam penggunaan sarana kerja alat dan mesin pertanian seperti
pembajak
dalam
mempercepat
pengelolaan
sawah/ladang
warga/masyarakat. Kemudahan yang disiapkan aparat pemerintah desa dalam pengelolaan lahan pertaniannya dilakukan dengan sistem penyewaan sesuai kesepakatan antara petani operator mesin pembajak sawah. Hal tersebut dilakukan karena mesin bajak sawah yang merupakan bantuan dari Departemen Pertanian yang diberikan kepada kelompok tani, namun pemeliharaan mesin tersebut diserahkan kepada warga desa. Dari hasil sewa tersebut itulah kemudian digunakan untuk
upah operator dan pemeliharan mesin pembajak sawah.
Penggunaan alat bajak sawah tersebut di koordinasikan oleh kelompok tani dengan sepengetahuan kepala desa. Demikian halnya dalam upaya pemberdayaan keluarga miskin di pemerintah juga senantiasa memberikan bantuan kepada masyarakat miskin khususnya bagi petani berupa subsidi benih padi, pupuk, beras miskin dan termasuk juga dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM). Upaya yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan bentuk tanggung jawab sosial dalam sebagaimana amanah konstitusi membantu keluarga miskin dalam rangka untuk meningkatkan kualitas hidup warga/masyarakat .
102
Dalam konteks partisipasi masyarakat terkait dengan upaya membangun suasana demokrasi di lingkungan pedesaan nampak pada saat pemilihan pemimpin mereka baik pemilihan kepala desa, ketua Rumah Tangga (RT), Ketua Rukun kampung, kepala dusun, maupun kepala desa, warga dengan penuh kesadaran datang berbondong-bondong untuk memilih calon mereka sebagai kepala RT, RK, Kepala Dusun maupun Kepala Desa. Pemilihan dilakukan secara musyawarah, dan didasarkan pada apa yang menjadi rencana/program/kegiatan mereka kalau menduduki jabatan sebagai ketua RT, RK, kepala dusun maupun kepala desa. Oleh karena itu, semangat kompetisi dalam tatanan demokrasi di lingkungan pedesaan relatif baik, tanpa memandang jenis kelamin. Dalam kaitan tersebut, dari wawancara mendalam dengan ibu kepala Desa Lemo Ape, mengemukakan bahwa terpilihnya dia sebagai kepala desa walaupun perempuan, tetapi dia menawarkan kegiatan-kegiatan yang benarbenar menjadi kebutuhan masyarakat, dan bermanfaat bagi warga dalam upaya meningkatkan pola hidup warga ke arah yang lebih baik. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, nampak jelas bahwa pemerintah lokal (desa) yang merupakan bagian struktur pemerintahan terendah dari alat kelengkapan negara atau
lembaga negara yang berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan negara” (Ndraha. 1997) terdapat dinamika kehidupan berdemokrasi dalam masyarakat Bone. Dari pemikiran inilah, peran pemerintah (pemerintah desa) memiliki porsi yang cukup strategis mengingat beberapa hal: pemerintah memiliki itikad baik dan secara tegas memiliki beberapa kegiatan nyata dalam pemberdayaan masyarakat. Kegiatan nyata tersebut didukung oleh beberapa nilai-nilai lokal yang diadaptasi dan terinternalisasi dalam diri individu,
103
dalam melibatkan diri untuk mendorong dan membantu agar keluarga miskin dapat berdaya. Dalam konteks ini maka peran pemerintah lokal dapat dilihat sejauh mana pelaksanaan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik yang terdiri dari: akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, komitmen pada pengurangan kesenjangan. Mengenai pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik dalam pemerintahan lokal, kemudian dikelompokkan dalam tiga katagori yaitu (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah.
Untuk mengetahui gambaran mengenai peran
pemerintahan lokal dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Peran Pemerintahan Lokal dalam Kegiatan Pemberdayaan Keluarga Miskin Peubah dan Sub peubah (1)
Kategori
Akuntabilitas
Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
Transparansi
Partisipasi
Daya Tanggap
Komitmen
Peran Pemerintah Lokal
Desa Maddenreng Pulu (Desa pedalaman) n1 % 42 74 13 23 2 4 100 57 47 82 8 14 2 4 57 100 27 47 25 44 5 9 57 100 49 86 6 11 2 4 100 57 49 86 6 11 4 2 57 100 39 68 18 32 0 0 100 57
Desa Ancu (Desa Pesisir)
n2 16 36 10 62 20 34 8 62 19 31 12 62 24 25 13 62 15 38 9 62 19 32 11 62
% 26 58 16 100 32 55 13 100 31 50 19 100 39 40 21 100 24 61 15 100 31 52 18 100
Desa Lemo Ape (Desa dekat kota) n3 54 75 28 157 70 76 11 157 72 79 6 157 60 89 8 157 71 74 12 157 42 82 33 157
% 34 48 18 100 45 48 7 100 46 50 4 100 38 57 5 100 45 47 8 100 27 52 21 100
Kabupaten Bone
n 112 124 40 276 137 118 21 276 118 135 23 276 133 120 23 276 135 118 23 276 100 132 44 276
% 41 45 14 100 50 43 8 100 43 49 8 100 48 43 8 100 49 43 8 100 36 48 16 100
104
Berdasar Tabel 8 di atas, persepsi responden terhadap peran pemerintahan lokal masih dominan rendah dan sedang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa peran pemerintahan lokal/desa belum dilaksanakan dengan baik dan kurang optimal. Meskipun dari
hasil
wawancara mendalam dengan beberapa tokoh
masyarakat, terungkap bahwa masyarakat cukup antusias dalam berbagai aktifitas kegiatan. Pada beberapa kegiatan desa yang membutuhkan partisipasi warga masyarakat, aparat desa cukup mengumumkan melalui mesjid desa, dusun untuk suatu kegiatan, maka warga akan berkumpul untuk melaksanakan
kegiatan.
Karena selain kantor desa sebagai pusat layanan warga masyarakat desa, mesjid juga selain sarana peribadatan juga
merupakan media efektif untuk pusat
informasi desa. Masyarakat desa Lemo Ape menunjukkan persepsi yang lebih positif pada peran pemerintah lokal dibandingkan dengan kedua desa lainnya, yaitu Desa Ancu dan Desa Maddanreng Pulu. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Lemo Ape menilai bahwa apa yang sudah dilakukan pemerintah dalam melayani masyarakat lokal cukup baik. Pada sisi lain masyarakat Maddanreng Pulu dan Desa Ancu menilai bahwa proses pelayanan yang dilakukan pemerintah setempat belum cukup optimal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Maddanreng Pulu dan Desa Ancu belum menaruh harapan sepenuhnya bahwa kemiskinan dapat diatasi dengan peran pemerintah setempat. Namun demikian, secara menyeluruh persepsi warga dari tega desa mengenai persepsi masyarakat berkaitan peran tersebut
masih perlu terus
ditingkatkan. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah dan segenap aparatur di
105
daerah yang tugas dan fungsinya memberikan penyuluhan kepada seluruh warga masyarakat untuk melakukan sosialisasi mengenai kegiatan pemberdayaan. Dalam konteks ini, peran penyuluh pembangunan sebagai agen perubahan perilaku masyarakat memiliki peran yang strategis untuk melakukan sosialisasi tentang bagaimana pentingnya penerapan tata kepemerintahan yang baik menuju suatu tatanan masyarakat yang maju mandiri. Dalam sosialisasi tersebut mengajak seluruh aparat pemerintah lokal/desa untuk mengubah perilaku menjadi perilaku pembangunan
dengan
menggerakkan
seluruh
potensi
sumber
daya
di
lingkungannya dalam mengatasi permasalahan kemiskinan. Kemudian persepsi tingkat pemahaman masyarakat mengenai peran pemerintah lokal/desa dalam
mendukung kegiatan pemberdayaan, yang
dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan survei lapangan menunjukkan bahwa akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap dan komitmen, di lingkungan pemerintah lokal/desa masih diketagorikan rendah sampai sedang. Ini menunjukkan bahwa masyarakat masih menilai pemerintah lokal kurang maksimal dalam mengupayakan penerapan prinsip tata kepemerintahan yang baik dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dari beberapa tokoh masyarakat, terungkap bahwa mereka masih melihat akuntabilitas pemerintah desa dalam melaksanakan rencana dan kegiatan di lingkungan pemerintah desa senantiasa belum disosialisaikan kepada masyarakat dengan baik. Demikian pula tentang partisipasi, oleh warga disebut dengan gotong royong dalam membantu keluarga miskin lebih disebabkan oleh inisatif masyarakat atau organisasi kemasyarakatan sendiri, sedang peran pemerintah yang seharusnya menjadi pelopor dalam
106
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat belum dilaksanakan secara optimal. Hal tersebut terlihat dengan lahirnya beberapa prasarana seperti jalan, sarana peridabatan, sarana pos ronda, kesepakatan membantu keluarga miskin, sumber pendanaannya dari swadaya masyarakat sendiri. Berkaitan dengan prinsip daya tanggap, pemerintah desa masih kurang menyediakan fasilitas pengaduan yang seharusnya setiap RW terdapat fasilitas pengaduan atau pada tingkat dusun yang disiapkan oleh pemerintah desa, tidak hanya di kantor desa saja. Hal tersebut sangat dibutuhkan oleh warga desa untuk menyampaikan berbagai permasalahan yang dialami oleh warga desa. Di sisi lain komitmen pemerintah desa terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat desa terutama berkaitan dengan kemiskinan, belum optimal. Hal tersebut, karena masih tingginya keluhan masyarakat terhadap kurangnya layanan masyarakat khususnya kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Hal tersebut terkait dengan sarana kesehatan di tingkat desa belum tersedia dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) hanya ada di ibu kota kecamatan. Sementara itu, waktu pelayanan pemeriksaan di Puskesmas masih terbatas. Demikian pula kurangnya perhatian
terhadap anak putus sekolah
disebabkan oleh tidak adanya biaya sekolah, yang tentunya tidak hanya dengan dengan membayar di samping untuk membantu orang tua mencari nafkah untuk keperluan rumah tangga. Organisasi Kemasyarakatan Lokal Salah satu komponen penting dalam sistem sosial masyarakat Bone adalah terbentuknya berbagai kelompok atau organisasi kemasyarakatan di pedesaan. Kelompok atau organisasi ini umumnya memiliki ciri-ciri, yakni kehadirannya
107
berasal dari masyarakat karena alasan kebutuhan tertentu. Trump dan Johnson (1989) menjelaskan bahwa ”keberadaan organisasi kemasyakatan
pada
hakekatnya adalah untuk ikut berkonstribusi dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat”. Dalam kenyatannya kelompok-kelompok ini tumbuh dan berkembang sesuai karakteristik lokal dan tujuan yang ingin dicapai. Kelembagaan lokal di Kabupaten Bone dimaksud adalah organisasi lokal yang lahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat karena didasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kelembagaan lokal di Kabupaten Bone dalam melakukan kegiatan masih bersifat insidentil, dalam artian belum dilaksanakan secara terencana. Organisasi kemasyarakatan yang ada di lingkungan, dengan berbagai kelompok sosial ikut membantu dalam kegiatan sosial. Salahsatunya adalah kegiatan sosial keagamaan masyarakat dilakukan secara berkelompok merupakan kegitan rutin yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga di. Kegiatan tersebut antara lain berupa pemberian sumbangan dengan cara seperti setiap rumah tangga yang ingin memasak nasi, maka senantiasa menyisihkan segenggam beras, yang kemudian disimpan pada tempat tertentu yang telah disediakan oleh kelompok pengajian. Simpanan dari beras segenggam tersebut, pada setiap hari kamis dikumpulkan oleh organisasi sosial melalui salah satu anggotanya. Kegiatan yang lain juga seperti setiap anggota pengajian mengumpulkan beras ½ sampai satu liter per satu bulan yang kemudian dikumpulkan oleh salah satu anggota kelompok pengajian. Disamping kegiatan tersebut, sebagian besar dari setiap masyarakat menyediakan antara ½ (setengah) sampai 1 liter beras
108
untuk dikumpulkan bersama-sama, melalui penunjukan salah seorang dari anggota organisasi untuk mengumpulkan beras-beras warga tersebut setiap bulan. Di samping kegiatan tersebut, dalam setiap aktivitas pengajian atau kegiatan lain dari anggota masyarakat juga dilakukan permohonan sumbangan sukarela kepada setiap anggota yang hadir dalam kegiatan atau pengajian tersebut. Dari hasil sumbangan tersebut kemudian dikumpulkan, diadministrasikan, dan selanjutnya diberikan atau didistribusikan kepada anggota masyarakat yang memerlukannya termasuk yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer. Kegiatan organisasi kemasyarakatan seperti pengajian berkelompok sangat bermanfaat bagi warga khususnya anggota pengajian untuk memberikan pemahaman dalam upaya membentuk perilaku masyarakat yang mandiri yaitu masyarakat yang mampu mengelola potensinya dalam memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Kegiatan yang demikian tersebut di atas dilakukan secara bersama-sama warga masyarakat untuk memberikan bantuan kepada keluarga miskin, baik yang bersifat rutin maupun kalau sewaktu-waktu mengalami musibah. Meskipun upaya ini lebih sifatnya sukarela namun memiliki manfaat yang besar bagi keluarga miskin dipedesaan. Demikian pula dalam kaitan dengan kearifan lokal budaya gotong-royong di kalangan masyarakat masih dapat ditemukan pada masyarakat di desa. Hal tersebut terlihat kalau ada kematian, dengan penuh kesadaran warga lainnya membantu kepada warga yang terkena musibah. Bantuan tersebut baik berupa bantuan fisik maupun bantuan lainnya terhadap keluarga yang ditinggalkan, sehingga keluarga korban terkena musibah tidak harus mengeluarkan biaya untuk menangani musbah yang menimpahnya. Bantuan tersebut dikoordinasikan oleh
109
organisasi kemasyarakatan yang ada di desa tersebut, seperti organisasi pengajian, pengurus mesjid, ibu-ibu kelompok arisan, dan PKK. Dalam melakukan kegiatan sosial seperti kelompok ibu-ibu pengajian senantiasa melakukan kegiatan arisan, pengisian tabungan yang hasilnya disatukan kemudian diberikan kepada warga lainnya yang dianggap paling membutuhkan. Di samping itu para pengurus mesjid melakukan pengadaan alatalat pesta, perlengkapan kematian, yang hasilnya itu untuk memberikan gaji pada pengurus mesjid, dan anak-anak yatim piatu. Semua itu dilakukan karena masih tingginya tingkat kekerabatan di antara penduduk desa. Salah satu nilai yang banyak dianut adalah bahwa ”keluarga yang paling dekat tetangga”. Di samping itu, karena masyarakat pedesaan relatif masih taat dengan nilai-nilai agama sehingga ”di antara harta-harta kita terdapat milik orang miskin”. Dari falsafah tersebut itulah sehingga mereka senantiasa memiliki komitmen untuk membantu keluarga miskin yang ada di lingkungannya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, nampak jelas kelompok atau organisasi masyarakat lokal memiliki dinamika yang khas dalam kehidupan masyarakat Bone.
Organisasi
kemasyarakatan
memiliki
peran
penting
mengingat
kehadirannya memang dikehendaki masyarakat karena sebagai upaya membantu pemerintah dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat dan mengatasi masalah masyarakat secara bersama-sama dalam upaya pencapaian tujuan. Dalam
konteks
ini
maka
peran
organisasi
masyarakat
dalam
pemberdayaan masyarakat miskin dilihat dari aspek akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen yang dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu ( 1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah. Untuk mengetahui gambaran mengenai
110
peran organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin ditunjukkan dalam Tabel 9. Tabel 9. Peran Organisasi Kemasyarakatan dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Peubah dan Sub peubah
Kategori
Akuntabilitas
Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
Transparansi
Partisipasi
Daya Tanggap
Komitmen
Peran Organisasi Kemasyarakatan
Desa Maddenreng Pulu (Desa pedalaman) n1 % 46 81 11 19 0 0 57 100 46 81 11 19 0 0 57 100 49 28 25 44 4 7 57 100 60 34 22 39 1 2 57 100 77 44 13 23 0 0 57 100 45 79 12 21 0 0 57 100
Desa Ancu (Desa Pesisir)
n2 11 44 7 62 2 48 12 62 4 43 15 62 11 38 13 62 13 40 9 62 8 36 18 62
% 18 71 11 100 3 77 19 100 6 69 24 100 18 61 21 100 21 65 15 100 13 58 29 100
Desa Lemo Ape (Desa dekat kota) n3 58 94 5 157 66 83 8 157 72 79 6 157 77 74 6 157 56 96 5 157 55 92 10 157
% 37 60 3 100 42 53 5 100 46 50 4 100 49 47 4 100 36 61 3 100 35 59 6 100
Kabupaten Bone
n 115 149 12 276 114 142 20 276 104 147 25 276 122 134 20 276 113 149 14 276 108 140 28 276
% 42 54 4 100 41 51 7 100 38 53 9 100 44 49 7 100 41 54 5 100 39 51 10 100
Berdasar Tabel 9, persepsi responden terhadap peran organisasi kemasyarakatan
masih dominan sedang dan rendah. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa meskipun kegiatan sosial dilaksanakan dengan frekuensi yang relatif tinggi dan reguler, peran organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin belum dilaksanakan secara optimal. Apabila dilihat dari persepsi masing-masing desa menunjukkan bahwa, masyarakat Desa Ancu memiliki persepsi yang lebih positif pada peran organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin dibandingkan
111
dengan kedua desa lainnya, yaitu Desa Lemo Ape dan Maddanreng Pulu. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Ancu menilai bahwa apa yang sudah dilakukan organisasi kemasyarakatan lokal dan perannya dalam membantu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat lokal cukup baik dan sangat diperlukan. Namun, pada sisi lain masyarakat Desa Maddanreng Pulu menilai bahwa proses pelayanan dan peran yang dilakukan organisasi masyarakat dalam membantu memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat belum cukup optimal, walaupun upaya-upaya ke arah tersebut
sudah cukup memberikan
dampak pada masyarakat. Masyarakat Desa Maddanreng Pulu masih menilai formalitas organisasi kemasyarakatan kadang-kadang menjadi hambatan psikologis bagi partisipasi kelompok masyarakat tertentu khususnya kelompok masyarakat kurang mampu. Sementara itu,
masyarakat Desa Lemo Ape upaya peran serta organisasi
kemasyarakatan lokal juga berjalan dengan baik meskipun tanggapan masyarakat masih perlu di optimalkan, seperti kegiatan PKK bersama dengan pemerintah desa melakukan kegiatan pemeriksaan bayi, yang dilakukan di kantor desa. Demikian pula kegiatan kerja bakti seperti membangun sarana ibadah telah dilakukan. Hal tersebut tercermin dengan tingginya peran serta aktif
Kepala Desa dalam
mengajak masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Berdasarkan data empiris mengenai aktualisasi pemberian pelayanan terhadap masyarakat oleh kelompok atau organisasi kemasyarakatan lokal dalam kegiatan pemberdayaan dan
dalam
mendorong keluarga
miskin
untuk
mendapatkan hak-hak publik masih perlu terus dikembangkan. Sebagian besar responden menyatakan bahwa tingkat akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya
112
tanggap, dan komitmen masih diketagorikan sedang dan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada aspek-aspek tersebut masyarakat masih menilai organisasi kemasyarakatan masih minimal dalam mengupayakan pemberian pelayanan kepada masyarakat
dengan baik. Dalam konteks ini juga
mencerminkan bahwa masih belum maksimalnya kepercayaan masyarakat terhadap
organisasi
kemasyarakatan
dalam
upaya
turut
serta
dalam
penanggulangan masalah kemiskinan. Kecenderungan persepsi masyarakat yang masih sedang atau rendah terkait dengan akuntabilitas hal tersebut lebih disebabkan belum adanya standar prosedur pelaksanaan dari setiap kegiatan. Kegiatan yang dilaksanakan, karena lebih bersifat sukarela sehingga setiap anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tidak berdasarkan pada standar prosedur khusus sebagai dasar pijakan pelaksanaan kegiatan. Meskipun dalam hal tertentu seperti keterlibatan organisasi kemasyarakatan dalam beberapa kegiatan pengumpulan dan pembagian zakat, infaq
dan
sedekah,
masih
dilakukan
secara
sangat
sederhana
dipertanggunjawabkan dan diumumkan melalui masjid. Kemudian dalam kaitan dengan transparansi, secara umum pelaksanaan prinsip transparansi sebenarnya sudah dilaksanakan di masyarakat, namun masih dalam taraf kurang optimal. Hal tersebut biasanya dalam usaha kegiatan yang sifatnya melibatkan unsur masyarakat informasi yang mudah didapatkan adalah melalui tempat ibadah atau melalui staf pemerintah desa dengan memberikan informasi keliling desa untuk menginformasikan kepada seluruh warga desa. Oleh karena itu informasi mengenai kegiatan yang dilaksanakan di pedesaan, atau syukuran terkait dengan
113
selesainya suatu kegiatan itu masyarakat diundang untuk hadir melalui mesjid, atau di kantor desa. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan proses pengambilan keputusan organisasi masyarakat lokal/desa
itu relatif masih sangat terbatas.
Hal ini
disebabkan warga masyarakat miskin setiap harinya harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan minimum rumah tangganya, namun dalam kegiatan lain seperti membantu masyarakat miskin, melalui kegiatan sosial khususnya dalam bentuk pengumpulan beras yang dikoordinir oleh organisasi masyarakat baik itu PKK maupun pengurus mesjid relatif sedang.
Kegiatan tersebut antara lain
dengan mengumpulkan beras antara ½ (seperdua) liter sampai dengan 1 (satu) liter tiap bulannya yang dikumpul oleh salah satu anggota kelompok yang ditugaskan oleh kelompoknya yang kemudian didistribusikan untuk membantu keluarga miskin. Kemudian berkaitan dengan daya tanggap masyarakat terhadap berbagai permasalahan kemiskinan juga masih sedang dan rendah, yang disebabkan oleh masih kurangnya wadah informasi yang disiapkan oleh pemerintah lokal, sehingga masyarakat kurang dapat mengakses informasi tersebut. Demikian halnya berkaitan dengan komitmen masyarakat yang relatif masih sedang dan rendah, itu karena upaya untuk meningkatkan keluarga miskin yang berorientasi pada bagaimana kebutuhan dasar bagi segenap anggota masyarakat masih dibatasi. Hal tersebut lebih disebabkan oleh tingkat pendapatan masyararat secara rata-rata masih berada antara sedang dan rendah, meskipun terdapat keinginan anggota masyarakat untuk memberikan bantuan kepada keluarga miskin.
114
Karakteristik Responden, Peran Kelembagaan Lokal, dan Pemahaman Kemiskinan Karakteristik dan lingkungan setiap individu memberikan pengaruh terhadap cara pandang dan perilakunya. Dalam hal ini termasuk bagaimana mempersepsi upaya-upaya yang dilakukan oleh kelembagaan dalam mengatasi kemiskinan. Tabel 10 menunjukkan hubungan karakteristik individu dengan persepsi
terhadap
peran
pemerintah
lokal
dalam
mendukung
kegiatan
pemberdayaan masyarakat miskin. Tabel 10. Hubungan Karakteristik Responden Dengan Peran Pemerintah Lokal Dalam Mendukung Kegiatan Pemberdayaan Terhadap Masyarakat Miskin. Karakteristik responden Jenis Kelamin Umur Pendidikan Formal Pendidikan non formal Jenis pekerjaan utama Tingkat Pendapatan Tanggungan Keluarga
Peran pemerintah lokal Nilai Chi square (X2) Nilai p (p level) 4,301 0,116 2,937 0,568 2,244 0,691 17,668 0,001* 9,579 0,296 12,743 0,013* 5,921 0,205
Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata pada sebagian besar karakteristik individu dengan persepsi terhadap peran pemerintah lokal dalam mendukung kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah lokal yang terwujud dalam implementasi tata kepemerintahan yang baik pada pemerintah lokal secara umum tidak dapat dibedakan berdasarkan sebagian besar karakteristik individu tesebut. Artinya persepsi terhadap peran pemerintah lokal tidak dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan formal, dan jenis pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, maupun kesertaan individu dalam organisasi.
115
Namun
demikian, kondisi berbeda ditunjukkan pada karakteristik
pendidikan non formal dan tingkat pendapatan yang berhubungan nyata dengan persepsi
terhadap
peran
pemerintah
lokal
dalam
mendukung
kegiatan
pemberdayaan terhadap masyarakat miskin. Pada kategori pendidikan non formal nampak bahwa keikutsertaan responden dalam berbagai pendidikan non formal, menunjukkan jumlah persentase yang relatif rendah pada kategori persepsi pada peran pemerintah lokal dalam mendukung kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin. Hal yang sama juga ditunjukkan pada kategori tingkat pendapatan apabila dilihat dari hasil tabulasi silang dengan peran pemerintah lokal dalam
mendukung
kegiatan
pemberdayaan
terhadap
masyarakat
miskin.implementasi. Hal ini dapat diartikan bahwa pada kelompok masyarakat yang mengalami proses pendidikan nonformal yang tinggi dan juga tingkat pendapatan yang tinggi umumnya menganggap bahwa pemerintah lokal dalam hal ini kecamatan dan desa dianggap belum benar-benar mengaktualisasikan aspekaspek akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen pada pengurangan kesenjangan. Nampak bahwa sosialisasi nilai-nilai tanggungjawab sosial terkait dengan hak dan kewajiban terhadap orang miskin menjadi aspek penting dalam munculnya persepsi terhadap peran pemerintah lokal dalam mendukung kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin. Pada aspek tingkat
pendapatan,
kesejahteraan
seseorang
lebih
memberikan
dan
mengindikasikan kemampuan untuk melakukan interaksi dengan kelembagaan lokal, sehingga lebih banyak memiliki informasi dan kemampuan melihat kinerja pemerintah lokal.
116
Selanjutnya hampir sama dengan penilaian terhadap kelembagaan pemerintah lokal, persepsi terhadap peran organisasi masyarakat juga tidak berbeda nyata bila dihubungkan dengan karakteristik responden. Tabel 11 menunjukkan hubungan Karakteristik responden dengan persepsi terhadap peran organisasi kemasyarakatan dalam mendukung kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin. Tabel 11 Hubungan Karakteristik Responden Dengan Peran Organisasi Kemasyarakatan Dalam Mendukung Kegiatan Pemberdayaan Terhadap Keluarga Miskin Karakteristik responden Jenis Kelamin Umur Pendidikan Formal Pendidikan non formal Jenis pekerjaan utama Tingkat Pendapatan Tanggungan Keluarga
Peran organisasi kemasyarakatan Nilai p (p level) Nilai Chi square (X2) 3.619 0.164 5,774 0,217 2,703 0,609 16,557 0,002* 12,034 0,150 5,185 0,269 3,477 0,481
Berdasarkan Tabel tersebut, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata pada mayoritas Karakteristik responden dengan persepsi terhadap peran organisasi kemasyarakatan dalam mendukung kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap peran organisasi kemasyarakatan dalam mendukung kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin tidak dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan formal, dan jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, maupun kesertaan individu dalam organisasi. Namun demikian, kondisi berbeda ditunjukkan pada pendidikan non formal yang berhubungan nyata dengan persepsi terhadap peran organisasi kemasyarakatan dalam mendukung kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat
117
miskin. Umumnya pada kategori pendidikan nonformal yang tinggi, menunjukkan persepsi yang kurang positif terhadap peran organisasi kemasyarakatan yang terwujud dalam implementasi tata kepemerintahan yang baik pada organisasi masyarakat. Dengan demikian kelompok responden yang sering atau pernah mengikuti kegiatan (kursus, pelatihan dan pengajian) pendidikan nonformal cenderung kurang percaya bahwa organiasi kemasyarakatan (termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) yang berorientasi pada penanganan masalah kemiskinan,
belum sungguh-sungguh dan optimal dalam menerapkan aspek-
aspek akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen pada pengurangan kesenjangan. Namun demikian organisasi kemasyarakatan yang lahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat seperti pengajian desa, organisasi kemakmuran masjid, dan dari hasil diskusi dengan tokoh masyarakat lainnya, menunjukkan bahwa keterlibatan/peranserta aktif anggota masyarakat sangat membantu anggota masyarakat lainnya, khususnya keluarga miskin di pedesaan. Meski demikian, memang disadari dan diakui bahwa upaya-upaya yang dilakukan belum menunjukkan upaya yang benar-benar terkoordinasikan secara rapi. Selanjutnya pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan juga akan berhubungan dengan bagaimana masyarakat memberikan persepsi
mengenai
peran-peran yang telah dilaksanakan oleh kelembagaan lokal (pemerintah desa organisasi sosial kemasyarakatan desa) khususnya yang berkaitan dengan upayaupaya dalam menanggulangi kemiskinan atau pemberdayaan keluarga miskin pedesaan . Hubungan antara pemahaman terhadap kemiskinan dengan peran pemerintah lokal/desa terlihat pada Tabel 12.
118
Tabel 12.
Distribusi Persentase Responden Menurut Pemahaman Terhadap Kemiskinan dan Peran Pemerintah Lokal/Desa
Pemahaman Terhadap Kemiskinan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Peran pemerintah lokal/desa Rendah Sedang Tinggi n % n % n 39 26 35 100
39 26 35 100
40 52 40 132
30,3 39,4 30,3 100
13 20 11 44
% 29,5 45,5 25,0 100
Keterangan: *Hasil uji chi-square nyata pada α = 0,05. Chi-square hitung= 6,89, P level 0,142
Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa nilai Chisquare adalah 6,89 pada p level 0,142, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata pemahaman terhadap kemiskinan dengan peran pemerintah lokal/desa. Artinya tingkat pemahaman terhadap kemiskinan tidak dapat dibedakan berdasarkan persepsi masyarakat terhadap peran pemerintah lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin. Adapun hubungan antara pemahaman terhadap kemiskinan dengan peran organisasi kemasyarakatan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13.
Distribusi Persentase Responden Menurut Pemahaman Terhadap Kemiskinan Dan Peran Organisasi Kemasyarakatan Pemahaman Terhadap Peran organisasi kemasyarakatan Kemiskinan Rendah Sedang Tinggi n % n % n % Rendah 39 36,1 49 35 4 14,3 Sedang 38 35,2 49 35 11 39,3 Tinggi 31 28,7 42 30 13 46,4 Jumlah 108 100 140 100 28 100 Keterangan: *Hasil uji chi-square nyata pada α = 0,05. Chi-square hitung = 5,905, p level 0,206
119
Hasil analisis Chisquare adalah 5,905 pada p level 0,206. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata pemahaman terhadap kemiskinan dengan peran organisasi kemasyarakatan. Berdasarkan dari dua tabel diatas, menunjukkan bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lokal maupun organisasi kemasyarakatan dalam bentuk kegiatan-kegiatan belum memiliki pengaruh nyata terhadap peningkatan pada pemahaman terhadap kemiskinan. Apabila dilihat dari jumlah persentase relatif hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa pada kelompok responden yang memiliki persepsi positif terhadap peran organisasi kemasyarakatan, umumnya adalah kelompok responden yang juga memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap kemiskinan. Pada sisi lain kondisi ini tidak ditemukan pada kelompok-kelompok kategori persepsi terhadap peran pemerintah lokal. Kondisi ini diduga terkait dengan kemampuan kelompok-kelompok atau organisasi masyarakat yang lebih ”dekat” dengan masyarakat. Artinya peran-peran organisasi masyarakat dalam upaya mengatasi penaggulangan kemiskinan lebih dirasakan secara nyata oleh masyarakat dibandingkan dengan pemerintah lokal. Di samping bahwa jaringan yang dikembangkan oleh organisasi kemasyarakatan lebih mengakar, memiliki jaringan yang lebih luas, dan pendekatan-pendekatan partisipatif yang lebih kuat. Di sisi lain organisasi kemasyarakatan
mendorong
dan
mengatasi
masalah
kemiskinan
lebih
mengedepankan partisipasi dan tidak terjebak pada pendekatan struktural ataupun formalisme.
120
Peran kelembagaan lokal yang terwujud dalam aktualisasi prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik secara timbal balik akan membentuk persepsi masyarakat dalam mengartikan kesungguhan upaya-upaya kelembagaan lokal (pemerintah dan organisasi masyarakat) dalam mengatasi kemiskinan. Dalam konteks ini peran pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan akan besar pengaruhnya terhadap kepercayaan yang muncul pada masyarakat dalam mengatasi kemiskinan. Bagaimanapun dalam masyarakat negara berkembang, pemerintah dan organisasi-organisasi kemasyarakatan masih dijadikan sebagai salah satu pedoman penting dalam mengarahkan perilaku. Dalam hal ini maka peran-peran kelembagaan lokal termasuk peran pemerintah dan organisasi masyarakat lokal akan berhubungan dengan bagaimana masyarakat mewujudkan perilakunya
dalam
ikut
serta
memberdayakan
keluarga
miskin
atau
penanggulangan kemiskinan secara umum. Bahasan berikut ini akan diuraikan hubungan antara Peran Pemerintah Lokal dengan perhatian dan tanggung jawab sosial dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14.
Distribusi Persentase Responden Menurut Peran Pemerintah Lokal dan Aktualisasi Perhatian dan Tanggung Jawab Sosial
Peran Pemerintah Lokal
Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Aktualisasi Perhatian dan Tanggung Jawab Sosial Rendah Sedang Tinggi n % n % n % 46 38 6 90
51,1 42,2 6,7 100
36 68 18 122
29,5 55,7 14,8 100
Keterangan: *Hasil uji chi-square nyata pada α = 0,05. Chi-square hitung= 25,3, p level 0,00
18 28,1 26 40,6 20 31,3 64 100
121
Hasil analisis Chisquare adalah 25,3 pada p level 0,00, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata Peran Pemerintah Lokal dengan tingkat perhatian dan tanggung jawab sosial masyarakat dalam mengatasi kemiskinan. Adapun hubungan antara implementasi tata kelola kepemerintahan yang baik pada organisasi kemasyarakatan dengan perhatian dan tanggung jawab sosial dalam mengatasi kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15.
Distribusi Persentase Responden Menurut Peran Organisasi Kemasyarakatan, Aktualisasi Perhatian dan Tanggung Jawab Sosial
Peran Organisasi Kemasyarakatan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Aktualisasi Perhatian dan Tanggung Jawab Sosial Rendah Sedang Tinggi N % N % N % 40 47 3 90
44,4 52,2 3,3 100,0
47 70 5 122
38,5 57,4 4,1 100,0
21 23 20 64
32,8 35,9 31,3 100,0
Keterangan: *Hasil uji chi-square nyata pada α = 0,05. Chi-square hitung= 41,78, p level 0,00
Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa nilai Chisquare adalah 41,78 pada p level 0,00, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata implementasi tata kepemerintahan yang baik pada organisasi kemasyarakatan dengan perhatian dan tanggung jawab sosial dalam mengatasi kemiskinan. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya bahwa secara berturut-turut terdapat hubungan yang nyata peran pemerintah lokal maupun organisasi kemasyarakatan dengan perhatian dan tanggungjawab sosial dalam mengatasi kemiskinan. Hubungan diatas menunjukkan seberapa jauh peran kelembagaan dalam permberdayaan keluarga miskin dapat dibedakan berdasarkan tingkat perhatian dan tanggung jawab sosial masyarakat. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi peran pemerintah
122
lokal, maka semakin tinggi pula upaya-upaya yang dilaksanakan sebagai bentuk perhatian dan tanggung jawab sosial. Demikian pula semakin tinggi peran semakin tinggi upaya-upaya yang dilaksanakan sebagai bentuk perhatian dan tanggung jawab sosial dalam mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu, adanya sikap masyarakat yang senantiasa mendorong untuk membantu masyarakat lainnya dalam upaya menumbuhkembangkan keberdayaan
masyarakat agar terus menerus dilaksanakan. Sebagai contoh
adanya kemaunan masyarakat untuk menyisihkan antara ½ (seperdua) kilogram sampai 1 (satu) kilogram setiap bulannya untuk disumbangkan kepada keluarga yang tidak mampu yang dikelola oleh organisasi kemasyarakatan ”pengurus masjid”. Demikian pula, adanya toleransi diantara masyarakat untuk membantu keluarga pada umumnya dan keluarga miskin pada khususnya apabila tertimpah musibah. Gejala yang demikian, nampak kalau ada acara kematian, di mana seluruh sarana dan prasarana di tanggung oleh kelompok masyarakat yang ada di desa tersebut. Dari persepektif tersebut, masih terlihat adanya nilai-nilai gotong-royong dalam masyarakat. Namun nilai-nilai tersebut harus di dukung oleh pemerintah lokal dengan terus mendorong agar nilai-nilai positif yang demikian agar terus menerus dikembangkan. Karena tanpa adanya dorongan pemerintah lokal, maka nilai kearifan lokal seperti gotong royong cepat atau lambat akan mengamami kepunahan. Dengan demikian pemerintah lokal/desa harus mampu memfasilitasi agar nilai-nilai kearifan lokal yang demikian terus ditumbuhkembangkan di dalam masyarakat
yang
pada
akhirnya
memberdayakan keluarga miskin.
akan
membantu
pemerintah
dalam
123
Demikian halnya kebiasaan duduk bersama yang dikenal “tudangsipulung” diantara warga desa dalam memecahkan permasalahan lingkungan, yang senantiasa dilakukan apabila ada kegiatan yang membutuhkan keterlibatan langsung dari warga desa. Demikian halnya apabila kegiatan tersebut sudah selesai, mereka secara bersama-sama melakukan syukuran bersama. Hal tersebut biasanya dilakukan kalau ada kegiatan partisipasi warga untuk perbaikan fasilitas umum, termasuk dalam membantu masyarakat yang kurang mampu Demikian pula kebiasaan warga untuk melibatkan warga masyarakat yang kurang mampu diikutsertakan baik pada musim penanam padi maupun pada saat panen padi, dengan memberikan upah yang wajar kepada warga yang membantu dalam musim panen padi. Kegiatan tersebut juga berlaku untuk kegiatan lainnya tanpa harus memanggil orang dari luar desa.
Potensi Masyarakat Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Di Pedesaan Potensi masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai-nilai, kegiatan-kegiatan ataupun tindakan-tindakan, dan keseluruhan kemampuan yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan lebih lanjut dari anggota masyarakat secara individu maupun secara kolektif yang bertujuan untuk membantu secara langsung maupun tidak langsung, terorganisasikan maupun tidak terorganisasikan untuk meningkatkan taraf dan mutu hidup kelompok miskin (tidak mampu) menjadi lebih baik. Lebih jauh komponen-komponen potensi yang dimaksud dalam penelitian diatas dapat berupa nilai-nilai, cara-cara, maupun kemampuan yang melembaga dan teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
124
Baik nilai-nilai, pemahaman, dan tindakan-tindakan secara individu dan kolektif dipandang sebagai suatu kekuatan besar yang dapat dimanfaatkan dalam melakukan proses pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini pemberdayaan dimaksudkan sebagai upaya sadar untuk meningkatkan kapasitas kelompok kurang mampu sehingga mampu membantu dan mengarahkan dirinya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Keseluruhan komponen tersebut merupakan potensi yang dapat diarahkan lebih lanjut dalam mengatasi pemasalahan kemiskinan melalui proses pemberdayaan berbasis kelembagaan lokal. Selanjutnya potensi-potensi yang dimaksud dapat dilihat dari beberapa kondisi faktual, seperti: telah tersosialisasikannya nilai-nilai tanggungjawab sosial pada masyarakat, adanya fakta bahwa kemiskinan tidak saja dipahami pada konteks dan dimensi ekonomis semata tetapi sekaligus psikologis, dan sosiologis, serta adanya aktualisasi perhatian dan tanggung jawab sosial masyarakat pada kelompok miskin. Dalam masyarakat pedesaan yang masih kuat pemihakannya terhadap nilai-nilai religius, termasuk didalamnya keinginan untuk menyisihkan sebagian nafkahnya untuk zakat, infak dan sedekah. Faham keagamaan bahwa membantu orang miskin adalah pahala, disamping terdapat kesadaran dan keyakinan dalam masyarakat beragama di pedesaan bahwa ”diantara harta-harta orang kaya terdapat sebagian kecil harta orang-orang miskin”. Konsep yang demikian ini masih bertahan dalam hati dan pikiran sebagianmasyarakat perdesaaan.
125
Pengetahuan, Sikap, dan Kepercayaan Masyarakat Pada Kemiskinan Secara faktual pemahaman terhadap kemiskinan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Dalam ajaran agama, adat-istiadat, dan nilai-nilai lainnya kewajiban membantu sesama atau kelompok tidak mampu sudah menjadi keniscayaan. Nilai-nilai tanggungjawab sosial terhadap keluarga miskin telah eksis dan memedomani perilaku masyarakat dalam kehidupan seharihari. Nilai adalah sesuatu yang dianggap dan diterima sebagai suatu yang baik. Dengan demikian nilai-nilai tanggungjawab sosial adalah penerimaan dalam bentuk perasaan kewajiban melakukan tindakan atau perbuatan untuk membantu mengatasi keluarga tidak mampu. Dalam konteks ini tanggung jawab sosial adalah pranata yang mengarahkan seseorang untuk melakukan perbuatan membantu kelompok miskin. Pada faktanya, sosialisasi nilai-nilai tanggungjawab sosial pada dasarnya telah dialami oleh setiap anggota masyarakat dalam kelembagaan sosial. Nilainilai kewajiban membantu sesama telah tersosialisasikan meskipun dalam kadar yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang, status sosial dan karakteristik lingkungan sosial tentu berpengaruh terhadap tingkat sosialisasi yang diterima setiap anggota individu. Pada penelitian ini ditemukan secara umum masyarakat telah mengalami sosilisasi nilai-nilai tanggung jawab sosial. Sosialisasi pada dasarnya adalah komunikasi antara individu dengan individu dan lingkungannya. Tersosialisasikannya nilai-nilai tanggungjawab sosial berasal dari keluarga dan tokoh masyarakat. Disamping itu penyebaran nilai-nilai tanggungjawab sosial juga bersumber dari media massa dan pemerintah lokal/desa. Masyarakat memahami bahwa nilai-nilai tanggungjawab sosial dimaknai sebagai suatu
126
keniscayaan atau kepastian karena kita tidak dapat hidup sendiri dan adanya saling ketergantungan diatara sesama warga masyarakat, serta tanggungjawab sosial adalah kewajiban terhadap sesama. Dengan demikian tidak terlepas dari proses pendidikan informal dan nonformal. Melalui kedua proses pendidikan ini hakekatnya pesan-pesan tersebut tersampaikan. Proses pendidikan informal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah saluran-saluran komunikasi melalui media massa seperti televisi, radio dan koran. Pada proses pendidikan nonformal melalui keikutsertaan ”mengaji” yang sangat umum dan biasa dilakukan oleh setiap anggota masyarakat Bone untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya beragama. Dengan terbangunnya pemahaman dan kesadaran baru terhadap perlunya saling membantu sesama yang pada akhirnya beriplikasi dalam diri individu, warga masyarakat. Hal tersebut berawal dari adanya proses dialog antar individu dan peubah lingkungan terus-menerus terjadi dan terinternalisasi dalam diri masing-masing individu. Pada tataran ini, tanggungjawab individu pada awalnya diterima sebagai keyakinan agama, namun dalam perkembangannya diterima sebagai suatu nilai-nilai universal kemanusiaan. Pemahaman
masyarakat
dimaknai
merupakan
potensi,
karena
pengetahuan, sikap, dan kepercayaan diri akan menjadi langkah awal bagi upayaupaya lanjutan untuk mengatasi kemiskinan. Pengetahuan dan sikap yang baik atau tepat terhadap kemiskinan, ditambah dengan kepercayaan yang tinggi bahwa kemiskinan dapat diatasi diharapkan akan menjadi faktor yang berpengaruh sekaligus modal dalam rangka mengembangkan upaya-upaya pemberdayaan kelompok miskin.
127
Pengetahuan masyarakat tentang kemiskinan dapat dikategorikan sebagian besar adalah tinggi. Dalam konteks ini pengetahuan yang dimaksudkan adalah terkait dengan pemaknaan kemiskinan. Orang miskin yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup anggota masyarakat yang kurang mampu secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, perumahan, air bersih, dan aman serta sanitasi yang baik, berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari baik dalam kegiatan produktif maupun sosial kemasyarakatan. Masyarakat juga memaknai pada perkembangannya kelompok miskin terkadang tidak mendapatkan perlakuan yang cukup adil dari sebagian masyarakat, padahal kedudukan mereka sama dimata hukum. Disamping itu masyarakat juga mengetahui bahwa kelompok miskin tentu bukanlah menjadi tanggungjawab pemerintah semata dalam menanggulangi kemiskinan tetapi perlu keterlibatan aktif dari semua komponen masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kenyataannya masyarakat secara umum bersikap cukup positif bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik dari sisi kebijakan mupun dari pelaksanannya suda ada. Dalam konteks ini masyarakat menganggap bahwa walaupun ada fasilitasi dari pemerintah maupun masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup mereka, namun perilaku individu dari kelompok miskin tetaplah memegang peranan kunci dalam melakukan perubahan unntuk dirinya sendiri. Artinya perubahan mendasar yang perlu ditekankan adalah perubahan pada aspek individu yang bersangkutan. Berdasarkan hasil analisis, sebagain besar responden atau sekitar 45% meyakini bahwa proses penanggulangan kemiskinan dapat dilaksanakan. Artinya
128
sebagian besar masyarakat optimis bahwa kemiskinan dapat diatasi atau dapat diminimalkan. Keyakinan ini didasarkan pada beberapa logika pemikiran, bahwa penanganan atau penanggulangan dapat dilakukan harus dilandaskan pada perubahan perilaku dari individu kelompok miskin, penguatan terhadap kemauan dan kemampuan para tetangga (komunitas) untuk membantu anggota komunitas yang butuh bantuan, dan yang terakhir adalah prinsip kerjasama dari semua pihak dalam mengatasi kemiskinan. Kerjasama yang dimaksud adalah pemerintah, warga masyarakat dan dunia usaha untk secara besama-sama melaksanakan secara sungguh-sungguh dalam menanggulangi masalah kemiskinan. Pada faktanya dalam masyarakat telah hidup dan berkembang jiwa saling membantu atau tolong menolong yang dapat dilihat dari aksi-aksi individu maupun kelompok melalui kelembagaan yang terbentuk dalam rangka dan misi membantu kelompok kurang mampu. Walaupun aksi-aksi individu ini umumnya belum terkoordinir secara rapi dan dikelola dengan baik, sehingga menjadi suatu kekuatan kolektif yang diharapkan efektif untuk menanggulangi kemiskinan. Sehubungan dengan hal tersebut, Tabel 16 berikut ini menunjukkan hubungan sub peubah tingkat pemahaman dengan sub peubah pada tingkat perhatian dan tanggungjawab sosial.
Tabel 16 Hubungan Sub Peubah Tingkat Pemahaman terhadap kemiskinan dengan Sub Peubah Tingkat Aktualisasi Tanggungjawab Sosial Peubah Pengetahuan terhadap Kemiskinan Sikap terhadap kemiskinan Kepercayaan dalam penanggulangan kemiskinan Keterangan: ** = Sangat Nyata pada α = 0,01 * = Nyata pada α = 0,05
Nilai Korelasi Aktivitas Individu Aktivitas Kelompok 0,111* 0,022 0,193** 0,001 0,130* 0,166**
129
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa semua aspek pemahaman, sikap, dan kepercayaan dalam menganggulangi kemiskinan berhubungan nyata dengan perilaku secara individu dalam membantu keluarga miskin. Sebaliknya hanya aspek kepercayaan dalam menanggulangi kemiskinan yang berhubungan sangat nyata dengan aktifitas berkelompok dalam upaya membantu mengatasi keluarga miskin. Kondisi ini memberi gambaran bahwa keseluruhan aspek-aspek tersebut umumnya mendorong anggota masyarakat untuk melakukan upaya-upaya membantu mengatasi kemiskinan pada kelompok atau keluarga kurang mampu, umumnya dilakukan secara individual. Pada kondisi lain, hanya kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi bahwa kemiskinan dapat ditanggulangi (walaupun tidak dapat dihilangkan sama sekali) yang memiliki perilaku melakukan upaya-upaya perbantuan melalui kelompok. Fakta ini memberikan gambaran bahwa pengetahuan dan sikap yang cukup positif terhadap upaya-upaya penanggulangan kemiskinan lebih banyak berpengaruh terhadap aktualisasi individu dalam membantu kelompok miskin. Upaya-upaya individual dilaksanakan umumnya terbatas pada cara instan dalam membantu anggota masyarakat tidak mampu yang umumnya berbentuk pemenuhan kebutuhan primer. Upaya-upaya mentransformasi aksi individu menjadi aksi sosial bersifat kolektif dan terintegrasi perlu dijalankan dengan menekankan upaya-upaya bahwa kemiskinana dapat diatasi. Faktor kebersamaan harus dijadikan kata kunci dalam proses transformasi sehingga muncul kesadaran sinergi potensi individu akan memperbesar peluang dan kemampuan mengatasi kemiskinan. Kesadaran sinergi terbangun dalam suatu organisasi kemasyarakatan dalam mengelola sumber daya dari setiap angotanya untuk mengatasi kemiskinan.
130
Aktualisasi Tanggung jawab Sosial Masyarakat Pada Keluarga Miskin Kondisi faktual dan aktual yang terlihat di tengah masyarakat adalah kemauan untuk menolong kelompok miskin, baik secara individu maupun kolektif. Aktivitas-aktivitas individu yang paling menonjol dalam konteks ini adalah pemberian bantuan langsung oleh individu kepada kelompok miskin. Umumnya aktivitas-aktivitas semacam ini dilakukan dalam dua bentuk kegiatan, yaitu:
pemberian
bantuan
langsung
kepada
orang-orang
sekitar
yang
membutuhkan baik dikenal maupun tidak dikenal. Bentuk kedua terutama terkait dengan pemberian bantuan langsung kepada sanak saudara yang berada pada status kurang mampu. Bentuk kedua ini umumnya sudah dilaksanakan secara turun temurun artinya sudah merupakan nilai-nilai yang diterima dalam keluarga. Selain itu terdapat perilaku membantu lain berupa implementasi nilai-nilai agama yaitu memberikan sedekah, zakat, dan bentuk-bentuk pemberian yang bersifat individu kepada kelompok miskin. Bentuk-bentuk kegiatan kolektif umumnya dikoordinasikan oleh lembaga di tingkat desa, terutama terkait dalam jaringan kelembagaan keagamaan. Dalam hal ini bantuan umumnya diberikan kepada seorang tokoh masyarakat atau ulama untuk kemudian didistribusikan kepada kelompok kurang mampu di tingkat desa. Namun demikian, pengelolaan yang dilakukan melalui kelompok/organisasi kemasyarakatan masih dominan hanya sekedar konsumtif saja, bukan untuk usaha-usah produktif dalam rangka mmberdayakan keluarga miskin di pedesaan. Oleh karena usaha-usaha yang telah dirintis dan dikerjakan oleh individu maupun organissi kemasyaakatan lebih pada sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan
131
saja, dan lebih bersifat jangka panjang, tidak untuk diinvestasikan sebagai modal tambahan. Perhatian dan tanggung jawab sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktualisasi perilaku membantu dalam bentuk fisik dan non fisik untuk mengurangi
beban
kelompok
miskin
baik
yang
dilakukan
secara
sengaja/terencana maupun yang tidak terencana, oleh individu maupun kelompok, terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Dengan kata lain perhatian tanggung jawab sosial
merupakan tindakan individu atau kelompok untuk membantu
kelompok miskin di pedesaan yang dikategorikan sebagai yaitu (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah. Selanjutnya untuk mengetahui gambaran mengenai perhatian dan tanggung jawab sosial responden terhadap kelompok miskin di di uraikan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Diskripsi Aktualisasi Dan Tanggung Jawab Sosial
Pada Gambar 5 terlihat bahwa perhatian dan tanggung jawab sosial responden terhadap permasalahan kemiskinan sebagian besar terkategorikan
132
sedang (44 persen). Berbagai aktivitas yang dikategorikan sebagai aktivitas individu dalam memberdayakan keluarga miskin umumnnya dikelompokkan sedang, artinya aktivitas individu sudah dilaksanakan cukup baik. Kondisi agak berbeda ditunjukkan pada aktivitas yang dilaksanakan secara kelompok atau kolektif. Pada aktivitas yang dikelompokkkan sebagai tindakan kelompok masih dikategorikan rendah, artinya aktivitas-aktivitas berupa upaya membantu dalam proses pemberdayaan kelompok kurang mampu belum cukup optimal dilaksanakan secara berkelompok. Kedua fakta ini memberikan gambaran bahwa walaupun telah terjadi kesadaran dan aktualisasi dalam membantu proses pemberdayaan kelompok miskin terutama ditingkat individu, namun kegiatankegiatan tersebut masih belum optimal karena belum terkoordinasikan secara kolektif dengan baik. Masyarakat Maddanreng Pulu memiliki tingkat perhatian dan tanggung jawab sosial lebih tinggi dibandingkan dengan kedua desa lainnya, yaitu Desa Lemo Ape dan Desa Ancu. Ini menunjukkan bahwa proses melaksanakan bantuan secara individu atau personal dari masyarakat Maddanreng Pulu kepada kelompok kurang mampu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua desa. Hal tersebut disebabkan oleh kepala desa yang kebetulan adalah perempuan senantiasa aktif untuk mengajak masyarakat dalam upaya melaksanakan aktivitas kemasyarakatan. Meskipun secara umum ketiga desa menunjukkan bahwa aktualisasi perhatian dan tanggung jawab sosial secara individu atau personal sudah dilakukan dan melembaga. Pada sisi lain dalam banyak hal perbantuan kepada kelompok miskin secara kolektif dan terkordinasikan masih belum banyak dijalankan secara baik.
133
Pada dasarnya proses mengorganisasikan kegiatan-kegiatan yang masih bersifat individual adalah penting mengingat beberapa dampak positif yang dapat diperoleh. Pengorganisasian kegiatan atau aksi-aksi individu dapat mendatangkan sinergi potensi yang dapat memberikan energi yang lebih besar dalam proses pemberdayaan keluarga miskin. Disamping itu aksi-aksi kolektif secara psikologis dapat memberikan manfaat terutama pada keluarga miskin bahwa mereka tidak merasa sendiri (teralienasi) dari lingkungan. Kondisi ini dapat memberikan pengaruh positif, terutama pada tumbuhnya kepercayaan diri keluarga miskin dalam mengatasi berbagai permasalahannya. Mengenai hubungan antara sub peubah tingkat pemahaman dengan sub peubah pada tingkat perhatian dan tanggungjawab sosial dapat di lihat pada Tabel 17 berikut ini. Tabel 17 Hubungan Sub Peubah Aktualisasi Tanggungjawab Sosial dengan Sub Peubah Keberdayaan Keluarga Miskin Peubah
Aktivitas Individu Aktivitas Kelompok
Kemampuan penuhi kebutuhan primer -0,015 0,274**
Nilai Korelasi Kemampuan dalam perilaku aktivitas sosial -0,149** 0,273**
Kemampuan perilaku dalam usaha 0,334** 0,090
Keterangan: ** = Sangat Nyata pada α = 0,01 * = Nyata pada α = 0,05
Berdasarkan Tabel 17, aktivitas membantu yang dilakukan oleh masyarakat secara individu berhubungan nyata dan positif dengan kemampuan perilaku keluarga miskin dalam usaha. Artinya semakin tinggi aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara individu dalam membantu keluarga miskin, maka semakin meningkat kemampuan kelompok miskin dalam usaha. Kegiatan produktif tersebut antara lain pembuatan batu merah, kegiatan berkebun kacang-kacangan dan sayuran lainnya yang dijual tidak hanya di
134
desa/kecamatan tersebut tapi sampai pada lintas kabupaten. Demikian pula usaha produktif lainnya adalah sebagai penambak ikan/udang yang hasilnya di jual di luar Kabupaten Bone melalui perantara/pedagang yang langsung kelokasi untuk membeli hasil dari masyarakat.
Kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai
tambah dijual kepada pengumpul yang biasanya datang ke lokasi untuk membeli hasil pertanian mereka (perkebunan, nelayan, penjual batu merah dan lainnya) yang kemudian pengumpul itulah yang kemudian menjual kembali pada pedagang besar. Sebaliknya aktivitas membantu yang dilakukan oleh masyarakat secara individu berhubungan nyata dan negatif dengan kemampuan keluarga miskin dalam berinteraksi sosial. Artinya semakin tinggi aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara individu dalam membantu kelompok miskin semakin rendah kemampuan kelompok miskin dalam berinteraksi sosial. Kondisi ini terkait dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat lokal, dimana proses atau upayaupaya yang dilakukan oleh individu dalam membantu orang miskin kerap kali disertai dengan upaya-upaya pemberian nasehat atau saran untuk melaksanakan kegiatan produktif yang bermanfaat. Namun yang banyak ditemui dalam penelitian ini, sebagian besar penerima bantuan mempersepsi kurang positif terhadap nasehat tersebut sehingga berdampak pada meningkatnya keengganan untuk berinteraksi sosial baik kepada individu pemberi bantuan atau anggota masyarakat lain yang mengetahuinya. Kondisi ini banyak dipicu oleh perasaan minder atau kurang percaya diri, sehingga merasa terasingkan (teralienasi) dalam sistem sosial.
135
Di samping itu aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat secara individu dalam menanggulangi kemiskinan banyak dilakukan dengan cara memberikan pekerjaan kepada keluarga miskin sebagaimana di sebutkan di atas, yaitu ikut membantu pemilik lahan dalam menggarap sawah, tambak, kebun dengan sistem penggajian/upah harian, atau bagi hasi. Kegiatan ekonomi lainnya adalah ikut menjadi tenaga buruh pada industri pembuatan batu merah, buruh pabrik, khususnya pada pabrik gula. Pada sisi lain bantuan secara individual yang semakin meningkat terhadap keluarga miskin, akan berdampak pada semakin menurunkan tingkat intensitas keluarga miskin dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif. Hal yang demikian, juga senantiasa dimanfaatkan oleh sebagian kecil keluarga miskin, terhadap segenap bantuan baik itu yang datangnya dari individu maupun dari pemerintah. Sehingga masih ada sebagian keluarga miskin senantiasa hanya mengharapkan bantuan, baik bantuan individu maupun bantuan dari Pemerintah pusat maupun Pemerintah daerah. Khusus bantuan berupa subsidi benih, pupuk, beras miskin, maupun dana kompensasi BBM dan lainnya yang diberikan kepada kelompok masyarakat miskin di desa hareus ada tenaga pendamping memngawasi secara ketat terhadap Penggunaan bantuan yang datangnya dari pemerintah. Namun demikian berbagai bentuk bantuan khususnya dari pemerintah yang semestinya harus ada pengawasan ketat sehingga bantuan tersebut bukan hanya untuk konsumtif tetapi dalam rangka untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin dipedesaan. Pada aktivitas masyarakat yang dilakukan secara bersama atau secara terorganisir melalui organisasi kemasyarakatan yang ada di desa, menunjukkan
136
hubungan yang sangat nyata dan positif dengan kemampuan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan primer dan juga kemampuan dalam berinteraksi sosial. Kondisi ini terkait dengan perasaan merasa tidak sendirian dari kelompok miskin, dan tetap melakukan interaksi secara sosial dengan msyaakat disekelilingnya. Artinya upaya-upaya atau aksi-aksi anggota masyarakat yang dilakukan secara kolektif berupaya memfasilitasi tumbuhnya aktivitas produktif. Namun demikian, terdapat rasa keengganan dari kluarga miskin yang disebabkan oleh kondisi psikologis, bahkan merasa terasing dari komunitas yang ada di lingkungannya. Perasaaan yang demikian harus dihilangkan melalui interaksi positif melalui aksi-aksi masyarakat kepada keluarga miskin di perdesaaan. Secara umum fakta-fakta diatas memberikan petunjuk bahwa upaya-upaya memberdayakan kelompok miskin sudah dilakukan oleh anggota masyarakat, khususnya melalui aksi-aksi individu. Namun demikian proses atau upaya penanggulangan kemiskinan tersebut belum secara sistematis, terkoordinasikan, dan terlembagakan dalam melaksanakannya. Konsekuensinya, upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan perlu dikoordinasikan kembali, terutama dalam menemukan cara yang paling efektif secara kolektif dan terlembagakan dalam masyarakat. Upaya ini dilakukan agar aktivitas pemberdayaan keluarga miskin dapat berjalan secara berkesinambungan, melalui usaha produktif. Secara faktual dapat dijelaskan bahwa potensi-potensi peran masyarakat dan kelembagaan lokal dalam memberdayakan keluarga miskin sangat tinggi. Potensi tersebut terbangun melalui nilai-nilai yang terbangun dalam masyarakat yaitu pemahaman, sikap, dan kepercayaan bahwa kemiskinan pada dasarnya dapat diatasi secara bersama, dan yang paling penting adalah aktivitas-aktivitas individu
137
maupun kelompok yang secara nyata telah melakukan upaya-upaya dalam memberdayakan keluarga miskin. Oleh karena itu, tingkat pemahaman terhadap kemiskinan yang tepat dan positif, maka dapat di fahami bahwa kemiskinan dapat ditanggulangi, melalui upaya yang dilakukan oleh pemerintah lokal maupun oleh organisasi kemasyarakatan. Kemudian dengan pemahaman yang tepat tersebut, maka dapat meningkatkan perhatian dan tanggungjawab sosial masyarakat dalam bentuk tindakan nyata dalam rangka menanggulangi kemiskinan. Tindakan-tindakan nyata tersebut dapat berbentuk tindakan kolektif atau upaya-upaya kolektif yang dilaksanakan dalam rangka berikhtiar untuk mengatasi masalah keluarga miskin. Hasil analisis menujukkan hubungan pemahaman terhadap kemiskinan dengan perhatian dan tanggungjawab sosial dalam mengatasi kemiskinan adalah 0,255** nyata pada α = 0,01. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara kedua peubah tersebut. Artinya semakin tinggi dan positif tingkat pemahaman individu terhadap kemiskinan, maka semakin besar pula upaya-upaya yang dilaksanakan dalam kaitan dengan permasalahan kemiskinan sebagai bentuk perhatian dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, tingkat pemahaman yang tinggi pada kemiskinan dan adanya kepercayaan yang positif bahwa kemiskinan dapat diatasi, mendorong dan menjadi motif bertindak masyarakat Bone dalam mengaktualisasikan prilakunya untuk membantu secara individu maupun kelompok dalam menanggulangi permasalahan kemiskinan. Hal ini juga berarti bahwa upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dipandang sebagai salah satu aktivitas yang penting dalam kehidupan masyarakat Bone.
138
Hal serupa ditunjukkan pada hubungan antara peran kelembagaan lokal yang merupakan implementasi tata kepemerintahan pemerintah dan organisasi kemasyarakatan lokal, dengan perhatian dan tanggungjawab sosial dalam mengatasi kemiskinan. Persepsi yang sangat positif terhadap peran kelembagaan lokal dalam mengimplementasikan tata kepemerintahan yang baik, membantu masyarakat
untuk
semakin
optimis
dalam
melakukan
upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan. Dalam konteks ini, kepercayaan yang tumbuh dari individu ditopang oleh lingkungan yang mendukung semakin meningkatkan kepercayaan individu untuk melangkah membantu keluarga miskin secara kolektif. Berdasarkan paparan sebelumnya dapat dipahami bahwa potensi masyarakat dalam membantu atau berperan dalam pemberdayaan kelompok miskin cukup besar. Potensi tersebut dapat diamati pada aspek-aspek berikut.
Terdapat pemahaman yang cukup tinggi bahwa kemiskinan tidak saja berdimensi fisik akan tetapi memiliki dimensi lain dalam hal ini adalah dimensi-dimensi non fisik. Selanjutnya sikap yang setuju bahwa kemiskinan adalah bagian dari masalah bersama sehingga kemiskinan perlu ditanggulangi secara bersama-sama. Dalam hal ini terdapat kesepakatan bahwa kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi semua komponen masyarakat memiliki kewajiban dan peran yang sama pentingnya. Dengan demikian apabila kondisi kewajiban bersama ini dapat dilaksanakan maka terdapat keyakinan yang besar bahwa kemiskinan akan dapat ditanggulangi melalui upaya-upaya
139
pemberdayaan
masyarakat
miskin
secara
sistematis
dan
berkesinambungan.
Faktanya terdapat aksi nyata yang umumnya dilaksanakan secara individu dalam membantu orang miskin. Pada masyarakat di ketiga desa menunjukkan bantuan-bantuan yang dilakukan secara individu telah dilaksanakan secara sukarela dalam bentuk sedekah atau bantuan langsung. Umumnya pelaksanaan bantuan tersebut tanpa koordinasi dan umumnya diberikan pada keluarga terdekat disamping kepada orang lain. Upaya-upaya bantuan secara kelompok melalui koordinasi oleh lembaga tertentu belum optimal dijalankan. Kondisi ini disebabkan antara lain oleh pemahaman bahwa yangdimaksud bantuan kepada kelompok miskin lebih efektif dilakukan sendiri, karena dapat diterima langsung kelompok miskin yang bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut nampak nyata bahwa potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam membantu atau berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat miskin cukup besar. Secara faktual nilai-nilai dan proses sosialisasi sudah berjalan cukup baik, dan aktualisasi tanggungjawab sosial secara individu sudah dapat dijalankan dan melembaga. Dalam konteks ini yang diperlukan adalah upaya-upaya melakukan persuasi melalui pendidikan kepada masyarakat tentang perlunya aksi bersama (kolektif) yang terkoordinasi, sistematis, dan berkesinambungan sehingga upaya pemberdayaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Proses penyuluhan, advokasi, dan dukungan kebijakan publik yang memadai yang dilaksanakan secara sistematis akan mengembangkan potensi-potensi yang telah dimiliki masyarakat tersebut, menjadi suatu
140
sumberdaya aktual yang mampu menjadi faslitasi bagi pemberdayaan keluarga atau kelompok miskin. Tingkat keberdayaan Keluarga Miskin Tingkat keberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kemampuan masyarakat dilihat dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam aktivitas usaha produksi, aktivitas konsumsi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (primer). gambaran mengenai persepsi masyarakat terhadap keberdayaan dalam tiga kelompok adalah sebagaimana pada Tabel 18. Tabel 18 Tingkat Keberdayaan Keluarga Miskin Peubah dan Sub peubah
Tingkat kemampuan penuhi kebutuhan Tingkat kemampuan interaksi sosial
Perilaku dalam usaha
Tingkat keberdayaan
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
Desa Maddenreng Pulu (Desa pedalaman) n1 % 32 56 23 40 2 4 57 100 45 79 7 12 5 9 100 57 14 11 32 57 35 14 8 57
25 19 56 100 61 25 14 100
Desa Ancu (Desa Pesisir)
Desa Lemo Ape (Desa dekat kota)
Total
n2 13 32 17 62 4 44 14 62
% 21 52 27 100 6 71 23 100
n3 39 66 52 157 50 43 64 157
% 25 42 33 100 32 27 41 100
n 84 121 71 276 99 94 83 276
% 30 44 26 100 36 34 30 100
20 27 15 62 13 33 16 62
32 44 24 100 21 53 26 100
84 65 8 157 50 77 30 157
54 41 5 100 32 49 19 100
118 103 55 276 98 124 54 276
43 37 20 100 36 45 20 100
Berdasar Tabel 18 terdapat gambaran bahwa persepsi masyarakat terhadap tingkat keberdayaan keluarga miskin di pedesaan di Kabupaten Bone masih dominan berada dalam katagori sedang dan rendah. Sedangkan hanya sebagian kecil dari persepsi masyakat yang mengatakan sudah tinggi.
141
Lebih lanjut apabila dilihat dari masyarakat pada ketiga desa, menunjukkan bahwa desa ancu dinilai memiliki tingkat keberdayaan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua desa yang lain. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa proses perhatian dan tanggungjawab sosial dinilai telah memberikan dampak yang berarti, sehingga melalui proses baik individu maupun kelompok telah dinilai mampu memberikan manfaat yang baik kepada kelompok miskin. Beberapa ukuran yang sering dinyatakan oleh masyarakat adalah mengenai terpenuhinya kebutuhan pokok berupa makan sehari-hari. Kondisi ini relevan dengan bantuan-bantuan yang diberikan oleh masyarakat dalam bentuk makanan atau beras. Namun demikian pada dasarnya keterpenuhan secara fisik ini belum banyak diikuti dengan keterpenuhan kebutuhan yang lain, khususnya dalam rangka memenuhi kebutuhan berkomunikasi dan menumbuhkan kepercayaan diri pada kelompok miskin. Perhatian dan tanggung jawab sosial yang besar diduga akan meningkatkan keberdayaan pada keluarga miskin. Tingkat keberdayaan keluarga miskin dapat dilihat pada kemampuan dalam memenuhi kebutuhan primer, prilaku produktif dalam berusaha, maupun interaksi sosial yang positif. Hasil analisis menujukkan nilai korelasi hubungan tingkat perhatian dan tanggung jawab sosial dengan tingkat keberdayaan pada kelompok miskin adalah 0,203 nyata pada α = 0,01. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara kedua peubah tersebut. Artinya semakin besar perhatian dan tanggung jawab sosial yang ditunjukkan oleh anggota masyarakat kepada kelompok miskin semakin tinggi pula tingkat keberdayaan kelompok miskin.
142
Peran-peran anggota masyarakat dalam mengupayakan atau membantu keluarga miskin atau kurang mampu, sebenarnya sudah terjadi dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Praktek-praktek pemberian bantuan langsung dalam bentuk zakat infaq dan sadekah, telah menjadi kebiasaan warga masyarakat desa kepada orang yang membutuhkan. Hal tersebut dilakukan karena, nilai-nilai yang dianut yaitu tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan di bawah. Di samping itu, pemahaman bahwa sebagian harta orang kaya terdapat di dalamnya harta orang-orang miskin. Oleh karena itu, pemahaman sebagian warga masyarakat pedesaan, memandang bahwa ketika melakukan
sedekah, infak dan
mengeluarkan zakat demi untuk membantu keperluan orang miskin akan mendapatkan pahala yang sangat besar, dan merupakan bagian dari bentuk tanggung jawab sosial. Bentuk-bentuk aktualisasi nilai-nilai agama dalam bentuk kewajiban membayar zakat, memberikan sedekah dan infaq sudah menjadi kebiasaan sebagian besar warga masyarakat. Kegiatan tersebut di atas senantiasa dilakukan secara reguler yang tidak hanya dilaksanakan saat menjelang lebaran, tetapi juga dalam kegiatan-kegiatan pengajian, atau arisan yang dilakukan oleh warga, baik secara individu maupun dalam orgnisasi kemasyarakatan. Perilaku membantu orang lain, dengan sendirinya dapat menyentuh aspek perasaan bagi kelompok miskin, bahwa anggota masyarakat cukup peduli dengan keberadaan dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk orang miskin. Dalam konteks ini, perilaku saling membantu telah merekatkan anggota masyarakat dalam rasa kepercayaan sesama manusia. Pada sisi lain, perasaan ”diperhatikan” pada keluarga miskin memberikan dorongan dan semangat dalam menumbuhkan harapan untuk terus berusaha meningkatkan kesejahteraannya.
143
Terdapat fakta bahwa perhatian terhadap kelompok miskin, dalam bentuk kegiatan yang terselenggarakan secara kolektif dan terkoordinasi secara baik masih sangat minim. Aksi-aksi individu masih merupakan bentuk-bentuk kegiatan yang mendominasi dengan maksud membantu orang yang dianggap kurang mampu. Kondisi demikian apabila terjadi terus-menerus akan memunculkan kecenderungan ketergantungan kelompok miskin pada bentuk-bentuk pemberian. Sebagaimana disinyalir banyak pihak bahwa meningkatnya anak jalanan, gelandangan, dan kelompok miskin di jalanan perkotaan adalah salah satu bentuk dampak negatif dari pemberian langsung (sedekah) yang diberikan masyarakat secara individu. Kondisi ini juga memberikan pengaruh pada semakin meningkatnya ketertarikan sebagain warga pedesaan untuk pergi ke kota bermaksud menjadi (berprofesi) pengemis. Fakta tersebut menjadi dasar pemikiran, kebutuhan membuat suatu strategi sehingga aksi-aksi individu yang bermaksud untuk membantu kelompok miskin dapat diorganisasikan secara profesional. Upaya koordinasi dan pengorganisasian aksi kolektif tersebut harus tetap memberikan ruang atau mengkoordinir pelakupelaku atau tokoh-tokoh masyarakat ataupun tokoh agama yang selama ini menjadi salah satu bagian penting dalam pendistribuan bantuan di pedesaan.
Model Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kabupaten Bone Pemberdayaan keluarga miskin adalah suatu proses untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan keluarga miskin yang lemah agar mereka dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus
144
mencari solusi alternatif pemecahannya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Pemberian daya, kekuatan atau kemampuan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor ketersediaan modal fisik, modal munusia yang berkualitas, modal sosial yang kuat, kemampuan pelaku pemberdayaan yang memadai dan proses pemberdayaan yang melibatkan warga keluarga miskin. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan nyata antara faktor karakteristik masyarakat miskin (umur, jenis kelamin, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan formal, lama pendidikan non formal, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan), sosialisasi tanggungan sosial, pemahaman terhadap kemiskinan, peran organisasi kemasyakatan, dan peran organisasi pemerintahan lokal dengan faktor keberdayaan warga keluarga miskin digunakan uji korelasi Pearson Product Moment. Tingkat keberdayaan warga keluarga miskin memiliki korelasi positif dengan jenis kelamin, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan formal, lama pendidikan non formal, dan tingkat pendapatan, pemahaman terhadap kemiskinan, dan peran organisasi kemasyakatan. Artinya, bahwa faktor-faktor tersebut sangat berperan dalam meningkatkan keberdayaan warga keluarga miskin Kabupaten Bone. Berdasarkan hasil perhitungan analisis diperoleh kefisien korelasi sebagiamana dalam Tabel 19.
145
Tabel 19 Nilai Koefisien Korelasi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberdayaan Keluarga Miskin Peubah bebas
Umur (X11) Jenis Kelamin (X12) Jumlah Tanggungan Keluarga (X13) Pendidikan Formal (X14) Lama Pendidikan Non Formal (X15) Jenis Pekerjaan (X16) Tingkat Pendapatan (X17) Peran Organisasi Kemasyakatan (X2) Peran Organisasi Pemerintahan Lokal (X3) Pemahaman Terhadap Kemiskinan (Y1)
Tingkat Keberdayaan Keluarga miskin 0.028 0.040 0.039 0.093 0.209* 0.081 0.111 0.127* 0.631** 0.331**
Katerangan : ** Sangat nyata pada α 0,01. Nilai r = 0,00 -. 0,20, korelasi sangat lemah, r = 0,21 - 0,40, korelasi lemah, r = 0,41 - 0,60, korelasi cukup kuat, r = 0,61 - 0,80 korelasi kuat, r = 0,81 -1,00 korelasi sangat kuat (Triton, 2005)
Secara konseptual arah dan besarnya pengaruh umur, jenis kelamin, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan formal, lama pendidikan non formal, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan), peran organisasi kemasyarakatan, peran organisasi pemerintahan lokal, dan pemahaman terhadap kemiskinan, terhadap keberdayaan warga keluarga miskin divisualisasikan pada Gambar 6.
146
Umur X11
Jenis Kelamin X12 Peran Organisasi Kemasyarakatan X2 Jml Tanggungan X13
Pendidikan Formal X14 Pemahaman terhadap kemiskinan Y1
Aktualisasi Tanggung Jawab Sosial Y2
Tingkat Keberdayaan Y3
Pendidikan Non Formal X15
Jenis Pekerjaan X16 Peran Pemerintah Lokal X3 Tingkat Pendapatan X17
Sosialisasi tanggung jawab sosial X2
Keterangan:
: Peubah yang Nyata : Peuabh yang tidak Nyata
Gambar 6. Model konseptual pemberdayaan keluarga miskin Gambar 6 menunjukkan bahwa keberdayaan keluarga miskin secara berturut-turut dipengaruhi oleh faktor karakteristik masyarakat miskin (pendidikan formal, lama pendidikan non formal, dan tingkat pendapatan) memiliki hubungan yang nyata terhadap, pemahaman terhadap kemiskinan, peran organisasi kemasyakatan dan peran pemeritahan lokal. Pemahaman terhadap kemiskinan, peran organisasi kemasyakatan, peran pemeritahan lokal dan perhatian dan tanggungjawab sosial memiliki pengaruh langsung positif dan nyata terhadap
147
tingkat keberdayaan warga keluarga miskin. Artinya, bahwa untuk meningkatkan keberdayaan warga keluarga miskin, maka strategi yang dapat dilakukan adalah membangun pemahaman terhadap kemiskinan, maupun meningkatkan peran organisasi kemasyakatan dan pemerintahan lokal/desa serta perhatian dan tanggungjawab sosial. Pemahaman keluarga miskin terhadap kemiskinan dapat ditingkatkan melalui peningkatan peran organisasi kemasyakatan dan peran organisasi pemerintahan lokal terutama terkait dengan transparsani dan partisipasi keluarga miskin
dalam
pemberdayaan
proses keluarga
penanggulangan miskin
kemiskinan.
Kabupaten
Bone
Perumusan
model
bertujuan
untuk
menyederhanakan faktor-faktor yang secara konseptual didukung oleh beberapa kajian teori yang relevan dan mampu menjelaskan keadaan suatu sistem. Berdasarkan kajian literatur, maka model pemberdayaan keluarga miskin di Kabupaten Bone secara konseptual dibangun seperti yang disajikan pada Gambar 6. Faktor-faktor yang ada dalam model pemberdayaan warga keluarga miskin yang dibangun berdasarkan teori dan logika, dianalisis menggunakan analisis jalur (path analysis) berdasarkan data empirik yang dikumpulkan dari hasil survei, pengamatan, wawancara, dan indepth interview). Analisis jalur (path analysis) dimaksudkan untuk memperoleh nilai pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung, pengaruh secara bersama-sama dan pengaruh di luar model untuk setiap faktor. Selain itu, analisis jalur juga untuk menentukan jalur-jalur efektif yang merupakan prioritas dalam meningkatkan faktor output dan outcame atau sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dalam rangka pencapaian hasil
148
yang diinginkan. Hasil analisis jalur diperoleh koefisien jalur seperti yang disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Nilai Koefisien Jalur Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga Miskin Hubungan antar Peubah X14 dengan Y1 X15 dengan Y1 X17dengan Y1 X14 dengan X2 X15 dengan X2 X14 dengan X3 X15 dengan X3
Lambang Py114 py115 py117 P214 P215 P314 P315
X17dengan X3 X2 dengan Y1 X3 dengan Y1 Y1 dengan Y2 X2 dengan Y2 X3 dengan Y2 Y1 dengan Y3 X2 dengan Y3 X3 dengan Y3 Y2 dengan Y3
P317 Py12 Py13 Py2y1 Py22 Py23 Py3y1 pY32 pY25 pY2Y1
Keterangan : * Nyata pada α = 0,05
Koefisien Jalur (p) 0.340** 0.505** 0.084** 0.508** 0.125** 0.234** 0.156** 0.496** 0.151** 0.468** 0.112** 0.131** 0.386** 0.178** 0.292** 0.109** 0.222*
** Nyata pada α = 0,01
Berdasarkan hasil perhitungan keofisien jalur seperti yang tampak pada Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar faktor/peubah bebas memiliki pengaruh langsung yang nyata terhadap tingkat keberdayaan keluarga miskin. Secara berturut-turut faktor yang menjadi prioritas untuk diperhatikan dalam meningkatkan tingkat keberdayaan keluarga miskin adalah peran organisasi kemasyakatan, perhatian dan tanggung jawab sosial, dan peran pemerintah lokal.
149
Hal ini mengandung makna bahwa tingkat keberdayaan keluarga miskin Kabupaten Bone dapat ditingkatkan melalui perbaikan peran organisasi kemasyakatan, terutama transparasi dan partisipasi keluarga miskin dan pengentasan kemiskinan dan perhatian dan tanggung jawab sosial terutama pada aktivitas/tindakan kelompok/kolektif. Secara empirikal model hubungan dan besarnya pengaruh faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap pemahaman terhadap kemiskinan, dan peran kelembagaan lokal terhadap keberdayaan masyarakat miskin di Kabupaten Bone secara keseluruhan divisualisasikan pada Gambar 7. Peran Organisasi Kemasyarakatan X2
0,508 Pendidikan Formal X1.4
0.125
0.131
0.151
0.292
0.178
0.343 0.505
Pendidikan Nonformal X1.5
Pemahaman terhadap kemiskinan Y1
0.112
Aktualisasi Tanggung Jawab Sosial Y2
0.222
Tingkat Keberdayaan Y3
0.084 0.234
0.468
0.386
0.109
0.156
Tk Pendapatan X1.7
Peran Pemerintah Lokal
0.496 Keterangan:
X3 : Jalur alternatif/prioritas pertama : Jalur alternatif/prioritas kedua
Gambar 7: Model Empirikal Pemberdayaan Keluarga Miskin di Kabupaten Bone
150
Berdasarkan Gambar 7, maka dirumuskanlah strategi pemberdayaan masyarakat yang menunjukan bahwa ada dua jalur alternatif yang efektif dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di Kabupaten Bone, yaitu: Alternatif pertama, tingkat keberdayaan keluarga miskin di Kabupaten Bone dapat dilakukan melalui strategi peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial khususnya pada aktivitas kelompok/kolektif. Pada strategi yang kedua hal yang perlu diperhatikan agar tanggungjawab sosial khususnya pada aktivitas kelompok/kolektif dapat optimal mendorong terciptanya masyarakat miskin yang berdaya, maka perlu ditempuh dengan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan melalui peran organisasi pemerintah lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin khususnya mengenai transparansi dan partisipasi. Peningkatan peran organisasi pemerintahan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin pada transparasi dan partisipasi dapat ditempuh melalui peningkatan atau perbaikan ekonomi masyarakat dengan mendorong kenaikan tingkat pendapatan keluarga miskin. Sebagaimana ditunjukkan pada model diatas, pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan secara nyata juga dapat ditingkatkan melalui pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal yang ditemukan dalam penelitian terkait dengan proses pendidikan agama (Islam) yang banyak dilaksanakan melalui mengaji di mushalla atau Masjid. Internalisasi nilai-nilai
tanggungjawab sosial terhadap
kelompok miskin sangat kuat, karena dipahami sebagai kewajiban individu yang bersifat transendental. Dengan demikian pendidikan nonformal secara faktual
151
sangat penting dan urgen bagi pengembangan perilaku terkait tanggung jawab sosial kepada kelompok miskin. Proses pembentukan pemahaman terhadap kemiskinan memang terkait dengan pola pendidikan nonformal, dimana di pedesaan proses mengaji (belajar ilmu agama) telah melembaga dan menjadi salah satu mekanisme sosialisasi yang efektif. Namun terdapat fakta bahwa aktualisasi tanggungjawab dan perhatian sosial masih terorientasi pada aktivitas individu atau personal. Kelembagaan lokal seperti musholla ataupun masjid, tempat sosialisasi nilai-nilai tanggungjawab dan perhatian sosial masih belum berperan efektif dalam mengkoordinasikan aksi bersama. Dalam konteks ini program yang jelas, berupa penyusunan program penyuluhan yang didukung oleh beberapa dinas terkait perlu diselenggarakan. Program penyuluhan harus berisi perlunya kepedulian sosial dan ski-aksi yang bersifat individu atau personal dikoordinasikan dan menjadi suatu aksi bersama yang terkoordinasikan, memiliki target sasaran yang jelas, dan tahapan kegiatan serta tujuan yang terukur dan jelas. Penyelenggaraan penyuluhan dalam konteks ini perlu memperhatikan peran-peran kelembagaan lokal terutama kelembagaan religi, dan memberikan porsi serta posisi yang jelas dalam keseluruhan desain penyuluhan. Disamping itu aksi bersama harus berorientasi pada upaya-upaya produktif dengan memfasilitasi kelompok miskin untuk memiliki modal kerja, keterampilan kerja yang diperlukan, serta jaringan yang relevan terkait dengan produk atau jasa dari pekerjaan yang dihasilkan. Implikasi dari kondisi demikian adalah, perlunya pemerintah lokal memfasilitasi lembaga teknis-dan non teksni untuk bersama-sama terlibat dan berkoordinasi secara nyata dan jelas.
152
Sebagaimana dipahami bahwa perilaku tanggungjawab sosial yang sudah kondusif sebagai potensi, belum sepenuhnya memberikan pengaruh yang kuat terhadap aktualisasi dalam bentuk aktivitas individu maupun kelompok untuk membantu masyarakat miskin. Dalam konteks ini penguatan terhadap aktualisasi prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik pada pemerintah maupun oorganisasi masyarakat perlu dilakukan terus menerus. Penguatan terhadap implementasi tata kepemerintahan yang baik, akan menjadi fasilitasi bagi individu untuk mencontohnya. Artinya semakin baik persepsi dan keyakinan masyarakat bahwa organisasi masyarakat dan pemerintah lokal bersungguh-sungguh dalam menganggulangi kemiskinan, akan berdampak pada motivasi diri untuk bersamasama menanggulangi kemiskinan. Alternatif Kedua, tingkat keberdayaan masyarakat miskin dapat dilakukan melalui strategi penigkatan peran organisasi kemasyarakatan dalam pemberdayaan keluarga miskin pada organisasi kemasyarakatan khususnya mengenai transparasi dan partisipasi. Terkait dengan strategi tersebut, agar peran organisasi kemasyarakatan
dalam
pemberdayaan
keluarga
miskin
pada
organisasi
kemasyarakatan khususnya mengenai transparasi dan partisipasi meningkat, maka harus diperhatikan faktor pendukungnya yaitu tingkat pendidikan formal masyarakat miskin harus diperhatikan. Pada Alternatif kedua, aspek yang mendapat tekanan adalah peran organisasi kemasyarakatan dan pendidikan formal, sehingga aspek-aspek lain yang cukup penting tidak diprioritaskan. Agar strategi tersebut dapat dioperasionalisasikan oleh seluruh stakeholder pembangunan keluarga miskin, maka disusunlah model strategis peningkatan potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin
153
terdiri dari faktor input, process, output dan outcame. Faktor input dari kegiatan terdiri dari masyarakat (jenis kelamin, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan formal, lama pendidikan non formal, dan tingkat pendapatan), organisasi kemasyarakatan, dan organisasi pemerintah desa. Faktor yang berfungsi sebagai process adalah kegiatan penyuluhan yang meningkatkan potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam memberdayakan keluarga miskin yang meliputi kegiatan peningkatan pemahaman terhadap kemiskinan dan peningkatan aktualisasi tanggung jawab sosial. Sedangkan faktor output adalah peningkatan pemahaman terhadap kemiskinan dan peningkatan aktualisasi tanggung jawab sosial outcome adalah tingkat keberdayaan keluarga miskin dan tingkat terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga miskin. Implementasi strategi ini dapat berjalan optimal bila didukung oleh beberapa kondisi yang diciptakan. Kondisi tersebut antara lain adanya sistem penyuluhan yang relevan dan andal, dukungan kebijakan publik yang memadai, dan keterlibatan stakeholder yang signifikan. Proses Penyuluhan untuk Meningkatkan Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin
Fokus Penyuluhan Peningkatan
potensi
masyarakat
dan
kelembagaan
lokal
untuk
memberdayakan keluarga miskin di memiliki fokus pada perubahan perilaku masyarakat dalam memahami masalah-masalah kemiskinan yang ada pada keluarga miskin sehingga dapat mendorong pada tanggung jawab sosial masyarakat untuk membantu keluarga miskin. Baik secara individu maupun secara kolektif. Untuk perlu difokuskan pada kawasan pemahaman, sikap dan
154
kepercayaan masyarakat untuk membantu keluarga miskin. Agar dapat mewujudkan harapan tersebut, maka proses penyadaran masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial menjadi salah satu prioritas kegiatan penyuluhan. Selain itu peningkatan peran kelembagaan lokal dalam melakukan pemberdayaan terhadap keluarga miskin perlu ditingkatkan menuju kelembagaan lokal yang memiliki akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen pada pengurangan kesenjangan. Penyuluhan yang meningkatkan tanggung jawab sosial masyarakat membutuhkan partisipasi masayarakat dalam kegiatan perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Oleh karena itu kesadaran masyarakat terhadap permasalahan kemiskinan diharapkan mampu menarik minat masyarakat untuk mengaktualisasikan tanggung jawab sosialnya terhadap keluarga miskin.
Peran Masyarakat Potensi masyarakat dalam melakukan pemberdayaan keluarga miskin perlu diidentifikasi dengan jelas agar tidak terjadi bias dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan. Potensi tersebut meliputi pemahaman terhadap keluarga miskin dan aktualisasi tanggung jawab sosialnya. Penyuluhan perlu disusun berdasarkan kebutuhan klien sehingga dapat memberikan kepuasan bagi klien dan agar dapat berjalan secara efektif. Untuk itu, diperlukan kesamaan antara kebutuhan dengan substansi penyuluhan. Berdasarkan hasil analisis desriptif, pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan dan aktualisasi tanggung jawab sosial relatif masih rendah, yang ditunjukkan oleh aspek pengetahuan, sikap, dan kepercayaan terhadap
155
kemiskinan. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi kebutuhan materi penyuluhan didasarkan pada perlunya peningkatan pengetahuan, sikap dan kepercayaan masyarakat.
Data tentang potensi masyarakat ini menjadi input bagi
penyelenggaraan program peningkatan potensi masyarakat dalam pemberdayaan keluarga miskin. Tabel 21. Pokok Pikiran Penyuluhan yang Meningkatkan Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Memberdayakan Keluarga Miskin. Pokok Pikiran Fokus Penyuluhan
Pendekatan Peran Masyarakat dan Kelembagaan Lokal Peran penyuluh
Aktor yang terlibat
Kelembagaan
Teknik Penyuluhan
Output
Outcome
Penjelasan Perubahan perilaku masyarakat dan kelembagaan lokal pada masalah-masalah kemiskinan dan peningkatan aktualisasi tanggung jawab sosial dalam memberdayakan keluarga miskin di. ▪ Partisipatif ▪ Subyek penyuluhan ▪ Sumber informasi dan pengolah informasi ▪ Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa. ▪ Fasilitator, mendampingi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam mengaktualisasikan tanggung jawab sosial terhadap keluarga miskin. ▪ Motivator, memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran kritisnya terhadap permasalahan kemiskinan. ▪ Pemerintah daerah; organisasi non pemerintah (lembaga pendidikan, bdan usaha swasta, koperasi, LSM, lembaga penelitian, atau LSM); dan pemimpin informal. ▪ Lembaga pemberdayaan yang independen adalah lembaga yang memiliki tenaga profesional dalam bidang perilaku dan pemberdayaan yang memiliki akses pada tenaga ahli lintas disiplin ilmu. ▪ Pelatihan ▪ Diskusi kelompok ▪ Simulasi ▪ Demonstrasi ▪ Peningkatan pemahaman terhadap kemiskinan. ▪ Peningkatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap keluarga miskin. ▪ tingkat keberdayaan keluarga miskin ▪ tingkat terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga miskin
156
Peran Kelembagaan Lokal Peran kelembagaan lokal yang terdiri dari organisasi kemasyarakatan dan organisasi pemerintah lokal/desa terbukti secara nyata mampu meningkatkan pemahaman dan aktualisasi tanggung jawab sosial dalam memberdayakan keluarga miskin di pedesaan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan metode penyuluhan yang meningkatkan peran kelembagaan lokal dalam memberdayakan keluarga miskin melalui prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik yang meliputi: akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen pada pengurangan kesenjangan.
Peran Penyuluh Tersedianya
penyuluh
yang
kompeten
merupakan
prasarat
terselenggaranya penyuluhan yang mampu meningkatkan potensi masyarakat dan kelembagaan lokal. Karena belum tersedia penyuluh lapang yang secara formal berperan dalam peningkatan potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin, maka proses fasilitasi dapat dilakukan oleh penyuluh swakarsa atau swadaya. Penyuluh dikoordinasikan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan organisasi non pemerintah di luar organisasi kemasyarakatan lokal (badan usaha swasta, perguruan tinggi, LSM, atau orkemas lainnya) dengan melibatkan masyarakat yang mampu, dan tokoh masyarakat. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyuluh adalah komitmen yang kuat untuk meningkatkan potensi masyarakat dalam melakukan kegiatan pemeberydaan keluarga miskin. Penyuluh hendaknya: (1) memiliki pemahaman tentang masalah yang dihadapi keluarga miskin, (2) mampu mengembangkan interaksi sosial yang harmonis dengan segenap lapisan masyarakat, (3)
157
memfasilitasi masyarakat agar dapat melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial secara berkelanjutan, dan (4) mampu menumbuhkan jejaring secara internal dan eksternal untuk kebutuhan pemberdayaan keluarga miskin. Peran penyuluh dalam kegiatan peningkatan potensi masyarakat dan kemebagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin adalah sebagai: (1) Educator,
penyuluh
sebagai
pendidik
yang
menerapkan
prinsip-prinsip
pendidikan orang dewasa; (2) Fasilitator, mendampingi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin, dan (3) Motivator, memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran kritisnya terhadap permasalahan kemiskinan. Dukungan kebijakan juga diperlukan dalam peningkatakan potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin, berupa pengalokasian anggaran dan kebijakan untuk melembagakan kegiatan penyuluhan mengingat belum adanya organisasi penyuluhan yang otonom di Kabupaten Bone. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang mendukung terciptanya keberdayaan keluarga miskin, penyediaan sarana dan prasarana yang mampu mendukung kegiatan pemberdayaan, seperti membangun sarana informasi yang merata (akses informasi yang mudah) untuk peningkatan aktivitas perekonomian masyarakat desa. Sebab dalam rangka otonomi daerah, pemerintah daerah paling berperan dalam pengambilan keputusan pembangunan masyarakat miskin.
Kelembagaan penyuluhan dan Aktor yang Terlibat Sebelum dilaksanakan tahap proses pemberdayaan dibutuhkan pelembagaan kegiatan penyuluhan melalui koordinasi dan komunikasi antar aktor yang terlibat dalam penyelenggaran penyuluhan karena ini selama ini penyuluhan
158
tentang kemiskinan masih jarang dilakukan. Pemerintah daerah didorong untuk secara bottom-up mengembangkan program peningkatan tanggung jawab sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya pemerintah (pemerintah daerah) desa saja yang perlu memberikan dukungan bagi pada pemberdayaan kelaurga miskin, akan tetapi organisasi kemasyarakatan dan masyarakat mampu juga sangat dibutuhkan keterlibatannya. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dalam bentuk fasilitasi program penyuluhan (penjadwalan, penyiapan materi, penyediaan tenaga penyuluh, dan pendanaan). Beberapa aktor yang dapat berperan dalammeningkatkan tanggung jawab sosial diantaranya adalah: lembaga pendidikan, badan usaha swasta melalu program corporate social responsibility, koperasi, LSM, lembaga penelitian, perguruan tinggi atau LSM. Selama proses pelaksanaan penyuluhan, pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah berkoordinasi dan berkomunikasi agar tidak terjadi overlapping pada materi kegiatan.
Model Pemberdayaan Keluarga Miskin berdasarkan Tipologi Desa Model Pemberdayaan Keluarga miskin di Kabupaten Bone dapat dipilahkan berdasarkan tipologi desa yaitu desa dekat kota, desa pedalaman, dan desa pesisir. Pada dasarnya strategi yang diperlukan untuk memberdayakan keluarga miskin ada ketiga desa tersebut adalah sama yaitu melalui peningkatan perhatian dan tanggung jawab sosial, namun penekanan terhadap faktor pendukungnya yang memiliki kekhususan pada masing-masing desa. Faktor-faktor yang menjadi komponen model pemberdayaan warga keluarga miskin terdiri dari faktor input, process, output dan outcame. Faktor input terdiri dari karakteritik masyarakat miskin (jenis kelamin, jumlah
159
tanggungan keluarga, pendidikan formal, lama pendidikan non formal, dan tingkat pendapatan), faktor yang berfungsi sebagai process adalah pemahaman terhadap kemiskinan, peran organisasi kemasyakatan dan peran organisasi pemerintahan lokal, sedangkan faktor output adalah tingkat keberdayaan keluarga miskin dan faktor outcame adalah tingkat terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga miskin. Faktor-faktor yang ada dalam model pemberdayaan warga keluarga miskin yang dibangun berdasarkan teori dan logika, dianalisis menggunakan analisis jalur (path analysis) berdasarkan data empirik yang dikumpulkan dari hasil survei, pengamatan, wawancara, dan indepth interview). Analisis jalur (path analysis) dimaksudkan untuk memperoleh nilai pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung, pengaruh secara bersama-sama dan pengaruh di luar model untuk setiap faktor. Selain itu, analisis jalur juga untuk menentukan jalur-jalur efektif yang merupakan prioritas dalam meningkatkan faktor output dan outcame atau sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dalam rangka pencapaian hasil yang diinginkan. Pada kelompok masyarakat di dekat kota, strategi pemberdayaan keluarga miskin digambarkan pada model yang tercantum pada Gambar 8. Pada Gambar tersebut menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan masyarakat Desa Ancu dipengaruhi oleh beberapa peubah yang saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Model tertutup sebagaimana ditunjukkan pada gambar tersebut dapat diterjemahkan bahwa tingkat keberdayaan keluarga miskin dapat ditempuh melalui strategi peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial yang dalam implementasinya berbentuk aktivitas individu dan kolektif. Pengembangan dan peningkatan terhadap perhatian dan tanggungjawab sosial pada dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan suatu kondisi dimana masyarakat
160
mau berbagi, yang teraktualkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan membantu yang dilakukan oleh individu maupun dalam bentuk kolektif. Sebagaimana diuraikan sebelumnya efektivitas bantuan akan terjadi apabila bantuan dikoordinasikan dalam bentuk kolektif, yang disusun melalui program sistematis, berdimensi jangka panjang, ditujukan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan produktif yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran (kelompok miskin), dan terkoordinasikan sehingga meminimalisir kemungkinan salah sasaran dan/atau tumpang tindih dalam memberikan bantuan pada kelompok sasaran.
Peran Organisasi Kemasyarakatan X2
.0,00 Pendidikan Formal X14
-0.10
0.44*
0.13 0.38* 0.14
0.12 Pemahaman terhadap kemiskinan Y1
-0.07
Pendidikan Nonformal X15
0.29*
Tingkat Keberdayaan Y3
0.25*
-0.11
0.02 Tk Pendapatan X17
0.54*
Aktualisasi Tanggung Jawab Sosial Y2
0.04
0.27*
-0.15
0.01 Peran Pemerintah Lokal X3
-0.02
Keterangan:
: Jalur alternatif/prioritas pertama : Jalur alternatif/prioritas kedua
Gambar 8: Model Empirikal Pemberdayaan Keluarga Miskin Desa Ancu (Desa Pesisir)
161
Komitmen yang tinggi pada perhatian dan tanggungjawab sosial dapat dicapai melalui upaya peningkatan pemahaman yang tepat pada kemiskinan. Dalam hal ini pemahaman terkait dengan pengertian masyarakat desa bahwa kemiskinan harus diartikan tidak hanya pada kelemahan atau ketidakmampuan secara ekonomi, akan tetapi juga terkait dengan ketidakmampuan berperan serta dalam aktivitas masyarakat, keterabaian hak-hak bersuara, dan ketidaktahuan informasi-informasi yang sebenarnya ditujukan bagi pemberdayaan kelompok miskin. Selain itu perhatian dan tanggungjawab sosial akan dapat ditingkatkan apabila upaya-upaya memberikan keyakinan dan sikap yang positif dalam mempersepsi program-program pemberdayaan atau pembangunan secara umum dapat dilakukan. Artinya apabila terdapat keyakinan yang kuat bahwa kemiskinan dapat ditanggulangi bersama melalui program-program pembangunan yang jelas, maka peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial dapat dicapai. Pemahaman yang tepat terhadap kemiskinan dapat dicapai melalui upayaupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Ini berarti peningkatan kesejahteraan melalui kegiatan-kegiatan produktif yang tersusun dalam program yang jelas dan berdampak luas pada masyarakat desa Ancu akan mendorong penguatan pada
pemahaman yang tepat pada kemiskinan dan
keyakinan bahwa kemiskinan dapat ditanggulangi bersama-sama. Alternatif kedua, yang dapat dilakukan pada pemberdayaan keluarga miskin desa Ancu tidak terlalu berbeda dengan prioritas pertama. Tingkat keberdayaan dapat diupayakan melalui peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial. Kondisi perhatian dan tanggungjawab sosial dapat dicapai melalui upaya nyata dalam meningkatkan pemahaman yang tepat terhadap kemiskinan. Pada
162
alternatif kedua ini, pemahaman terhadap kemiskinan dapat dicapai melalui peranperan yang nyata dari kelembagaan organisasi masyarakat dan juga pendidikan formal. Peran kelembagaan lokal dalam hal ini organisasi masyarakat, merupakan insitusi sosial yang dapat memfasilitasi transfer nilai sekaligus internalisasi nilainilai termasuk didalamnya pemahaman terhadap kemiskinan dan kewajiban membantu kelompok miskin. Selain itu hal terpenting lainnya adalah bahwa kelembagaan organisasi masyarakat memberikan penguatan pada pentingnya mengkoordinasikan upaya membantu keluarga miskin melalui kegiatan kolektif yang terkoordinasikan dalam hal ini organisasi masyarakat sendiri. Pada sisi lain pemahaman juga dapat ditingkatkan apabila upaya-upaya peningkatan pendidikan formal dilaksanakan secara serius. Ini berarti program pemerintah dan lainnya harus juga diorientasikan pada peningkatan kualitas pendidikan formal yang ada di desa tersebut. Pilihan strategi pada Model pemberdayaan keluarga miskin desa Maddenreng Pulu tidak terlalu jauh berbeda dengan desa Ancu, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9. Strategi pertama sebagai prioritas pertama adalah tingkat keberdayaan keluarga miskin dapat dicapai melalui peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial masyarakat. Perhatian dan tanggungjawab sosial akan memberikan harapan hidup yang lebih terjamin bagi keluarga miskin karena upaya nyata secara individu maupun kolektif masyarakat setempat. Perhatian dan tanggungjawab sosial dapat dicapai melalui peningkatan pemahaman masyarakat desa terhadap kemiskinan. Pemahaman dapat dicapai melalui peran-peran yang nyata dari kelembagaan organisasi masyarakat. Peran kelembagaan lokal dalam hal ini adalah memberikan fasilitasi bagi aktivitas kolektif membantu keluarga
163
miskin sekaligus sebagai tempat dimana internalisasi nilai-nilai dan pemahaman terhadap kemiskinan terjadi. Interaksi antar anggota dalam suasana dan iklim yang positif akan menguatkan dan menjadi proses pembelajaran yang sangat efektif.
Peran Organisasi Kemasyarakatan X2
-0,01
Pendidikan Formal X14
0,27*
0,03 0,34*
0,16
-0,14
0,10 Pemahaman terhadap kemiskinan Y1
0,00
Pendidikan Nonformal X15
0,41*
Aktualisasi Tanggung Jawab Sosial Y2
0,46*
Tingkat Keberdayaan Y3
0,07
0,04
0,09
0,09
0,27*
0,02
-0,11 Tk Pendapatan X17
Peran Pemerintah Lokal X3 0,03
Keterangan:
: Jalur alternatif/prioritas pertama : Jalur alternatif/prioritas kedua
Gambar 9: Model Empirikal Pemberdayaan Keluarga Miskin Desa Maddenreng Pulu
Peran kelembagaan dalam hal ini organisasi masyarakat dapat dicapai melalui peningkatan kualitas dari pendidikan non formal. Penguatan proses pendidikan dan sarana pendidikan akan mempengaruhi kualitas hasil belajar yang diterima. Dengan demikian upaya-upaya peningkatan pada pendidikan nonformal menjadi sangat strategis dilaksanakan pada masyarakat desa Maddenreng Pulu.
164
Alternatif kedua yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan peran kelembagaan lokal dalam hal ini pemerintahan desa. Peningkatan kualitas dan komitmen SDM kelembagaan lokal yang jelas akan memudahkan pencapaian dan peningkatan perhatian dan tanggung jawab sosial masyarakat kepada kelompok miskin. Peran yang jelas, citra yang positif, SDM yang memiliki orientasi pelayanan yang prima akan memberikan dampak kepercayaan pada masyarakat akan keseriusan masyarakat dalam memfasilitasi pemberdayaan keluarga miskin. Upaya mencapai peningkatan kualitas peran kelembagaan organisasi pemerintah lokal dapat dicapai melaui proses pendidikan formal. Artinya keberdayaan masyarakat desa harus didahului peningkatan proses pendidikan yang berkualitas. Pada desa Maddenreng Pulu faktor pendidikan (pendidikan non formal dan pendidikan formal) menjadi fundamental dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin. Aspek pendidikan menjadi dasar penguatan dan peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial masyarakat pada keluarga miskin. Strategi pemberdayaan keluarga miskin Lemo Ape digambarkan berikut.
165
Peran Organisasi Kemasyarakatan X2
-0,10
0,09 Pendidikan Formal X14
-0,22*
-0,06 0,19* 0,04
0,10 Pemahaman terhadap kemiskinan Y1
-0,04
Pendidikan Nonformal X15
0,07
Aktualisasi Tanggung Jawab Sosial
0,13*
Tingkat Keberdayaan Y3
0,02
0,09
0,02
0,10
0,39*
0,33
-0,04
Tkt Pendapatan X17
Peran Pemerintah Lokal X3 0,12*
Keterangan:
: Jalur alternatif/prioritas pertama : Jalur alternatif/prioritas kedua
Gambar 10. Model Empirikal Pemberdayaan Keluarga Miskin Desa Lemo Ape (Desa Dekat Kota)
Gambar 10 menunjukkan bahwa secara umum tingkat keberdayaan keluarga miskin di desa Lemo Ape harus dibangun dari proses penguatan dan peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial masyarakat desa terhadap keluarga miskin. Strategi pertama, untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat dapat dicapai melalui peningkatan perhatian dan tangggungjawab sosial. Komitmen masyarakat dalam bentuk perhatian yang nyata dan tanggungjawab sosial diaktualkan dalam bentuk aktivitas individu dan kegiatan kolektif. Pencapaian komitmen dalam bentuk perhatian dan tanggungjawab sosial dapat diupayakan
166
melalui aktivitas dalam meningkatkan kualitas peran kelembagaan lokal dalam hal ini pemerintahan desa. Meningkatnya peran kelembagaan pemerintahan desa ditandai dengan peran yang jelas, citra yang positif, SDM yang memiliki orientasi pelayanan yang prima akan memberikan dampak kepercayaan pada masyarakat akan keseriusan masyarakat dalam memfasilitasi pemberdayaan keluarga miskin. Upaya mencapai peningkatan kualitas peran kelembagaan organisasi pemerintah lokal dapat dicapai melaui proses peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Peningkatan kesejahteraan terkait dengan peningkatan kebutuhan dasar manusia, fasilitasi peran masyarakat dalam pembangunan, dan penghargaan serta rasa keadilan. Masyarakat yang sejahtera akan mampu berperan serta dalam pembangunan komunitas dan memiliki kekritisan dalam mengawasi jalannnya pemerintahan desa. Kondisi ini diharapkan memberikan dampak pada kinerja atau peran kelembagaan pemerintahan desa yang lebih baik. Pada sisi lain, penguatan peran kelembagaan lokal dalam hal ini pemerintahan desa akan berdampak pada tiga hal. Pertama, peran kelembagaan lokal yang transparan, demokratis, akuntabel, dan tanggap akan memberikan kepercayaan
yang
tinggi
bagi
masyarakat
terkait
upaya-upaya
dalam
mensejahterakan masyarakat. Kedua, peran kelembagaan pemerintahan desa yang tepat akan mampu memfasilitasi nilai-nilai positif dalam hal ini tanggungjawab sosial masyarakat terhadap kelompok miskin. Penguatan nilai-nilai tersebut akan mampu mendorong terjadinya harmonisasi di kalangan anggota masyarakat. Saling menghargai dan trust diantara anggota masyarakat adalah modal dasar pembangunan komunitas yang sangat vital. Ketiga, proses implementasi peran pemerintahan desa yang bersih, amanah, akuntabel adalah sekaligus merupakan
167
proses komunikasi sekaligus kepemimpinan yang akan berpengaruh dalam mengarahkan masyarakat pada tujuan ideal yang diharapkan dalam hal ini adalah kesejahteraan masyarakat. Ketiga dimensi ini akan berdampak pada kondisi kesejahteraan yang menjadi tujuan dari proses pembangunan. Dengan demikian penguatan terhadap peran kelembagaan desa dalam hal ini pemerintahan desa merupakan alternatif kedua sebagai strategi dalam meningkatkan tingkat keberdayaan keluarga miskin.
168
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Pemahaman
masyarakat
terhadap
kemiskinan
cukup
baik,
yang
menunjukkan bahwa kemiskinan tidak saja dimaknai sebagai kekurangan daya ekonomi tetapi juga kelemahan aspek psikologis dan sosiologis terkait kebutuhan sosial kemasyarakatan, dan harus menjadi tanggung jawab semua pihak, serta adanya keyakinan bahwa kemiskinan dapat diatasi atau dapat diminimalkan. Pemahaman terhadap kemiskinan dilatarbelakangi
adanya
tanggungjawab
terhadap
nilai-nilai kelompok
tanggungjawab miskin
sosial
bahwa
merupakan
wujud
kesetiakawanan dan kewajiban terhadap sesama manusia yang diyakini sebagai kebenaran. 2.
Peran kelembagaan lokal yang merupakan implementasi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik masih belum optimal dijalankan khususnya pada organisasi masyarakat lokal maupun pemerintah lokal, yang ditunjukkan dari penilaian pada aspek-aspek akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap dan komitmen, masih berada pada katagori sedang dan rendah.
3.
Tingkat aktualisasi dan tanggung jawab masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan cukup tinggi, yang diwujudkan dalam dua bentuk aktivitas utama yaitu kegiatan yang bersifat individu dan kegiatan yang bersifat kelompok atau kolektif.
4.
Berdasarkan hasil uji hipotesis terbukti bahwa: (a) terdapat hubungan nyata antara karakteristik responden (pendidikan formal, pendidikan non
169
formal, dan tingkat pendapatan) dengan peran kelembagaan lokal dan pemahaman terhadap kemiskinan, (b) terdapat hubungan nyata antara peran kelembagaan lokal dengan pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan, (c) terdapat hubungan nyata peran kelembagaan lokal dan pemahaman terhadap kemiskinan dengan aktualisasi tanggung jawab sosial dalam mengatasi kemiskinan, dan (d) terdapat hubungan antara aktualisasi tanggung jawab sosial dalam mengatasi kemiskinan dengan tingkat keberdayaan masyarakat miskin. 5.
Potensi-potensi masyarakat dalam mengatasi kemiskinan pada dasarnya terbagi dalam dua bentuk yaitu adanya pemahaman, nilai-nilai, sekaligus keyakinan, cara-cara dan kemampuan yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan tindakan membantu pada kelompok kurang mampu dan aksi-aksi individu maupun kelompok atau kolektif dalam membantu kelompok miskin secara langsung.
6.
Tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin dikategorikan sedang, yang terindikasikan pada aspek kemampuan pemenuhan kebutuhan primer, interaksi sosial dan prilaku dalam usaha.
7.
Model alternatif pemberdayaan keluarga miskin pedesaan dapat ditempuh melalui dua jalur yang efektif
yaitu: (a) melalui strategi peningkatan
implementasi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada organisasi
kemasyarakatan
khususnya
mengenai
transparansi
dan
partisipasi; (b) melalui strategi peningkatan perhatian dan tanggung jawab sosial khususnya pada aktivitas kelompok/kolektif.
170
Saran 1.
Program-program dilaksanakan
atau
hendaknya
kegiatan-kegiatan berlandaskan
pada
pemberdayaan tatanan
yang
kelembagaan
masyarakat lokal berupa pemahaman, nilai-nilai dan keyakinan sehingga lebih mudah bekerjasama sekaligus meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. 2.
Perlu adanya kebijakan pemerintah, agar berbagai program-program atau kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah menjadi lebih terkoordinasi, dan agar terjadi sinergi antar instansi di lingkungan pemerintah lokal terkait dalam koordinasi perencanaan, implementasi, dan monitoring serta evaluasi program pemberdayaan sehingga lebih efektif, berdampak luas, dan nyata kepada keluarga kemiskinan di perdesaaan.
3.
Perlu pengarusutamaan peran penyuluh, dalam hal ini penyuluh bersama kelembagaan lokal bekerja bersama dalam mendorong perubahan perilaku keluarga miskin menuju perilaku pembangunan. Selanjutnya, upaya pemberdayaan masyarakat secara kolektif perlu didahului oleh suatu program penyuluhan terencana dan menyeluruh yang mengarahkan masyarakat
memahami
dan
memiliki
kesadaran,
serta
memiliki
kemampuan bahwa upaya kolektif akan lebih efektif dan efisien. 4.
Perlu lebih meningkatkan peran dari nilai-nilai positif yang tumbuh secara alamiah dari masyarakat seperti (kearifan lokal) dalam memfasilitasi upaya menyelesaikan permasalahan yang dialami masyarakat miskin.
171
5.
Mengingat peran organisasi kemasyarakatan lokal yang strategis untuk meningkatkan pemahaman terhadap kemiskinan dan aktualisasi tanggung jawab sosial, maka perlu revitalisasi peran organisasi kemasyarakatan lokal dan menggali lebih jauh nilai-nilai dalam organisasi kemasyarakatan yang dapat digunakan untuk merajut saling kepercayaan (trust) antar komponen masyarakat bahwa aksi-aksi individu dalam membantu masyarakat miskin lebih efektif bila dikelola dalam manajemen kelompok atau kolektif.
6.
Perlunya para penyuluh pembangunan memiliki pemahaman ilmu kebijakan publik, sehingga dalam melakukan upaya pemberdayaan terhadap keluarga miskin penyuluh tahu dan paham terhadap programprogram dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah.
7.
Pada latar belakang budaya yang berbeda, faktor kemiskinan dipengaruhi juga oleh faktor perilaku yang bersifat destruktif pada kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu memerlukan penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model pemberdayaan keluarga miskin dengan mengamati perilaku destruktif pada keluarga yang dapat menyebabkan kemiskinan, dan menghambat kegiatan pemeberdayan keluarga miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Amsyah Z. 2003. Manajemen Sistem Informasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Antlov, H. 2001. Romantisme Desa dan Kepastian Hukum. Buletin Lesung Edisi 01 Tahun II, bulan Juli. Apps, JW. 1973. Toward a Working Philosophy of Adult Education. New York: Syracuse University. Azwar, S. 2002. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Liberty.
Yogyakarta:
Badan Pusat Statistik 2004 – 2005. Kabupaten Bone Dalam Angka. BPS Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan. ---------- 2006. Kecamatan Kajuara Dalam Angka. BPS Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan. ---------- 2005. Kecamatan Patimpeng Dalam Angka. BPS Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan. ---------- 2005. Kecamatan Palakka Dalam Angka. BPS Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan. Bambang Ismawan, Kartjono. 1993. Kemandirian Kelompok Swadaya dan Peranannya dalam Penciptaan Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan dalam Mubyarto. 1993. Peluang Kerja dan Berusaha di Perdesaan. Yogyakarta: BPFE. Bass, B.M. 1981. Stogdill’s Handbook of Leadership A Survey of Theory and Research. London: Collier Macmillan Publisher. Bappenas. 2003. Peta Kemiskinan di Indonesia. Bappenas: Jakarta. ………... 2005 Penerapan Tata Kepemerintahan Yang Baik. Sek PKN Tata Kepemerintahan Yang Baik. Bappenas: Jakarta. ................. 2007. Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Kementrian Negara PPN/Bappenas. Jakarta.
172
173
Beebe, S.A., and J.T. Masterson,.1994. Communicating in Small Groups: Principles and Practice. Fourth Edition.New York: Harper Colliins College Publisher. Blau, M.P. and Meyer, W. 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Prestasi Pustakarya. Bryant Cand Louise G White. 1980, Manajemen Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Budi.1999. Dalam Jurnal Perencanaan Pembangunan “Aparatur Pemerintah Yang Profesional: Dapatkah Diciptakan” Jakarta: Bappenas. Cartwright, D., and A. Zander, 1968. Group Dynamics. Third edition. NewYork, Evanston, and London: Harper & Row, Publisher. Chamber, 1987, Pembangunan Desa, Mulai dari Belakang, Jakarta, LP3ES. Christenson, James A., Robinson, JR. Jerry W (Editor). 1989. Community Development in Perspective. Iowa: Iowa State University Press/Ames. Combs P. H. dan Ahmed M. 1985. Memerangi Kemiskinan di Perdesaan Melalui Pendidikan Non-Formal. Jakarta: C. V. Rajawali. Cullen BJ. 1999. Multinational Management: A Strategic Approach. USA: International Thomson Publishing. Dahnke, G.L., and G.W. Clatterbuck.. 1990. Human Communication : Theory and Research. California: Wadsworth publishing Company. Davis K. 1967. Human Relation at Work: The Dynamics Of Organizational. Tokyo, Mc. Graw Hill: KogakushaLtd. Dwipayana Ari dan Sutoro Eko. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment (IRE). Direktorat Jenderal Sosial Politik. 1999. Direktori Organisasi Kemasyarakatan. Jakarta: Departemen Dalam Negeri RI. English Departement the University of Birmingham. 1992. Collins Cobuild English Language Dictionary. London and Glasgow: Collins Publishers. Faisol. 2002. Model Perluasan Kerja melalui Penguatan Institusi Lokal. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Fukuyama F. 2000. The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order. NewYork: Simon & Schuster.
174
Gani
AR. 2000. Prosiding lokakarya Perencanaan Pembangunan dan Implementasi Otonomi Daerah Walikota/Bupati Se-Sulawesi. Makasar: Pusat Studi Kebijakan dan Manajemn Pembangunan UNHAS.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M. dan Donnely, J.H. 1994. Organisasi dan Manajement. Alih Bahasa Djoerban Wahid. Penerbit PT Erlangga, Jakarta. Guhardja S., Herien P., Hartoyo, dan Dwi H. D. M. 1992. Manajemen Sumber Daya Keluarga: Diktat. Bogor: Jurusan GMSK Fakultas Pertanian IPB. Hafids W. 2000. Kemiskinan Kota. Edisi Berita Kota: Elshinta FM. Edisi 2 Desember. Hardjono J. 1999. Hasil Survei Dampak Sosial di Jalur Purwakarta – Cirebon: Jurnal SMERU Indonesia No 07 bulan Agustus. Hayami, Y., Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hersey P, Blanchard, K.H., Johnson D.E. 1996. Management of Organizational, Utilizing Human Resources. New Jersey USA: Prentice hall, Inc Engelwood clif. Hicks, H.G., dan G.R. Gullet. 1996. Organisasi Teori dan Tingkah Laku. Edisi Bahasa Indonesia. Cet. Ke-3. G. Kartasaputra, Penerjemah. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Hradesky, J.L. 1995. Total Quality Management Handbook. New York: Mc Graw-Hill Inc. Ife, Jim. 1995. Community Development: Ceating Community Alternatives, Vision, Analysis and Praktice, Australia: Longman. Jaffar A. 1987. Partisipasi. Jogyakarta: Bagian penelitian Fisipol UGM. Jones, Patricia., & Kahaner, Larry. 1999. Misi dan Visi 50 Perusahaan Terkenal di Dunia. Batam Centre: Interaksara. Joesoef S. 2004. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bina Aksara Kartodihardjo H. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Bogor: K3SB. Kerlinger FN. 1990. Asas - Asas Penelitian Behavioral: Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
175
Korten, D. 2001. Menuju Abad Ke- 21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kotler, Philip dan Nancy Lee. 2005. Coorporate Sosial Responsibility. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. Komisi Mandiri Kependudukan dan Kualitas Hidup. 2000. Kepedulian Masa Depan : Agenda Radikal Menuju Perubahan Positif: Terjemahan. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan . Labolo M. 2006. Memahami Ilmu Pemerintahan, Jakarta, PT. Radjagrafindo Persada. Listyawati A. 2003. dalam Jurnal Penelitian kesejahteraan Sosial (PKS), “Partisipasi Masyarakat Desa Somongari dalam Upaya Meminimalisir Dampak Bencana Tanah Longsor”. Jogyakarta: B2P3KS. Ludlow R, Panton F. 1992. The Essence of Effective Communication. UK: Prentice Hall International Malassis, L. 1981. Dunia Pedesaan Pendidikan dan Perkembangan. Jakarta: Gunung Agung. Ndraha T. 1987. Prospek Pemerintahan Desa Pada Mellenium Ketiga. Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 6: Jakarta. ________ 2000. Kybernologi I. Jakarta; Rineka Cipta. Novelli P. 2000. Buku Panduan Diskusi Kelompok. Jakarta: AED Healt Thcom Publishing Co, Inc. Narayan. 200. Voices Of The Poor Can Anyone Hear Us. Neo York: Oxford Univercity Press For World Bank. Pasaribu & Simandjuntak. 1986. Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito. Pranarka, A.M.W., dan Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS. Rasjid R. 1999. Makna Pemerintahan. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. _______ 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1983. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Ranaweera A. M. 1989. Pendekatan Non-Konvensional dalam Pendidikan Tingkat Dasar. Semarang: IKIP Semarang Press.
176
Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi: Jakarta: Penerbit Arcan.
Struktur Desain & Aplikasi.
Rogers, Everett M., Rabel J Burdge, and Peter F Korsching. 1983. Diffusion of Innovation.s (3rd editions). New York: The Free Press A Division of Mc Millan Publishing Co. Inc. Ross, Murray G. 1967. Community Organization: Theory, Principles and Prantice. New York: Harper and Row Publishers. Rothman, J., Erlich, John L., Tropman, John E. 1974. Strategis of Community Intervention. Colombia University Press Copyright NCSW. Salusu, 2000, Suatu Analisis tentang Proses Pengambilan Keputusan Strategik pada Tingkat Manajemen Eksekutif Puncak, Sebuah Studi Kasus Pada Universitas Hasanuddin antara Tahun 1974-1982. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin. Santoso S. 2000. Buku Latihan SPSS: Statistik Parametrik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. .2001. SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Komputindo. Shadilly H dan Echal SJM. 1987. Kohesivitas Kelompok Pada Masyarakat Miskin. Yogyakarta: Laporan penelitian UGM. Shah MK. 1999. Embracing Participation in Development. USA: The Unitesd States Agency for International Development. Sajogyo. 1977. Memacu Perekonomian Rakyat, Yogyakarta: Aditya Media. Schumacher, E.F. 1979, Kecil Itu Indah – Ilmu Ekonomi Yang mementingkan Rakyat Kecil. Jakarta: LP3ES. Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesian Dictionary: Tanpa Tahun. Sallis, E. 1993. Kogan Page Educational Management Series: Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Ltd. Sedarmayanti. 2004. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik). Bandung: Mandar Maju. Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES Slamet, M. 2003. “Pemberdayaan Masyarakat.” Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press.
177
Slamet, M dan Sumardjo. 2002. Bahan Kuliah Kelompok Organisasi dan Kepemimpinan. Bogor: PPN IPB. Soekanto, S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafika Persada. Solohin D. 2004. Pembangunan Masyarakat Kota. Jakarta: LPPM STIAKIN. Solow, Dasgupta P, Serageldin I. 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank. Su’adah. 2005. Sosiologi Keluarga. Jakarta: UMN Press. Subagyo, Daryanto, Irawan A. 2001. Kemiskinan di Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Sebuah Kajian Pemodelan: Makalah. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sudman S, Norman MB. 1989. Asking Questions: A Practical Guide to Questionnaire Design. Oxford: Jossey-Bass Publishers. Suharto E. 2006. Membangun Masyarakat memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan pekerjaan Sosial.Bandung: Refika Aditama. Sulaiman H. 1985. Partisipasi Masyarakat. Bandung: STKS. Sukesi K. 1982. Pola Pekerjaan Produktif yang Langsung dan Tidak Langsung Menghasilkan Pendapatan Rumah Tangga Buruh Tani di Pedesaan: Tesis. Bogor: Institut Petanian Bogor. Sumardjo, Rusli S, Soetarto. 1994. Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin Suatu Tinjauan dan Alternatif. Jakarta: Grasindo. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani ( Kasus di Propinsi Jawa Barat ): Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sumodiningrat G. 1996. Pemberdayaan masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sunyoto, U. Pengaruh dan Jaringan Interaksi Elite Lokal dalam Pembangunan Desa. 1996. Didalam: Sofyan Effendi, Sjafri Sairin, M.A. Dahlan. 1996. Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Surayana
A. 1998. Pemberdayaan Asosiasi Lokal Dalam Mendukung Kemampuan Pemerintah Daerah Untuk Menyelenggarakan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Antar Universitas-Pusat Studi Indonesia UI.
Sumarto 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
178
Sutarto. 2002. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Steers, Richard M., Porter, Lyman W., Bigley, Gregory A., 1991, Motivation and Leadership at Work, The Mcgraw-Hill Company, San Fransisco, USA Stoner J, Freeman R, Gilbert D. 1996. Manajemen: Edisi Indonesia. Jakarta: Prenhalindo. Syaukani. 2003. Akses dan Indikator Tata Kelola Pemerintahan Daerah Yang Baik. Jogyakarta. PT. Lkis Pelangi Aksara. Tim SMERU. 2001. Paket Informasi Dasar Penanggulangan Kemiskinan. Jurnal SMERU. No 2 bulan Januari. Trum, B dan A. Johnson. 1989. Manajamen Organisasi Nirlaba. Diterjemahkan oleh R. Topatimasang dan R. Dilts. Jakarta, SEPMA dan PEM. Tjokroamidjojo. 2004. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance Dan Perwujudan Masyarakat Madani. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Utomo W., Gugum G., Heryono S., Ma’mun., Windra M., Mulyono A. 2005. Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Kalimantan. Jakarta: PKP2A III LAN. Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 1985. Peraturan Pelaksanaannya.
Organisasi Kemasyarakatan dan
United Nations Children’s Fund. 1966. Children and Youth in National Development in Latin America. USA: United Nations Shildren’s Fund. Uphor. N 1986. Local Institutional Defelopment: An Analytical Source Book With Cases. West Hartford City: Kumarian Press. Wolf, Thomas. 1990. Managing a Nonprofit Organization. New York, London, Sydney, Tokyo & Singapore: Prentice Hall Press. Internet Bagong S. 2003. Kemiskinan di Jawa Timur Kenapa Meningkat. [Serial Online]. http://Kompas Cyber Media. Com/342689.htm [2 Juni 2003] Chin-Chun Yi and Richter R. 2004. “Introduction: Youth and Family: Intergenerational Tensions and Transfer”. Journal of Comparative Family Studies. 35: 519 [Jurnal on-line]; Diperoleh dari http://www.proquest.org/pqdweb; Internet; Diakses pada 2 Mei 2005. Depsos, 2007, Tabulasi Data Rumah Tangga Miskin Penerima Sumbangan Langsung Tunai, www.depsos.go.id/kfm/, Internet; Diakses pada 2 Maret 2008
179
Hasnida. 2007. ”Teori Keluarga”; Diperoleh dari: /modules.php Diakses pada 11 Juni 2007.
http://library.usu.ac.id
Kalla Y. 2003. Tingkat kemiskinan akan capai 17 %. [serial online]. http://Tempo Interaktif.com/ 1.1.1..id.html [18 Juni 2003]. Moote G. and Wodarski J. S. 1997. “The Ackquisition of Life Skills through Adventure-Based Activities and Program: A Review of Literature”. Adolescence. 32:25 [Jurnal on-line]; Diperoleh dari http://www.proquest.org/pqdweb; Internet; Diakses pada 2 Mei 2005. Park N. 2004. “Character Strengts and Positive Youth Development”. Annual of the American Academy of Political and Socia Science. 591: 40 [Jurnal on-line]; Diperoleh dari http://www.proquest.org/pqdweb; Internet; Diakses pada 2 Mei 2005. Small S. and Memmo M. 2004. “Contemporary Model of Youth Development and Problem Prevention: Toward an Integration of Terms, Concepts, and Models”. Family Relation. 53: 9 [Jurnal on-line]; Diperoleh dari http://www.proquest.org/pqdweb; Internet; Diakses pada 2 Mei 2005 . Werner-Wilson R.J., and Morrissey K.M. 2005. “The Relationship Between Outof-School Activities and Positive Youth Development: An Investigation of The Influences of Communities and Family”. Adolescence. 157: 40 [Jurnal on-line]; Diperoleh dari http://www.proquest.org/pqdweb; Internet; Diakses 2 Mei 2005.
LAMPIRAN
182
Lampiran 2. Nama Kecamatan dan Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Bone No.
Nama Kecamatan
Jumlah Desa
Jumlah kelurahan
1
Bontocani
10
1
2
Kahu
19
1
3
Kajuara
17
1
4
Salomekko
7
1
5
Tonra
11
-
6
Patimpeng
10
-
7
Libureng
19
1
8
Mare
17
1
9
Sibulue
19
1
10
Cina
11
1
11
Barebbo
18
-
12
Ponre
9
-
13
Lappariaja
9
-
14
Lamuru
11
1
15
Tellu limpoe
11
-
16
Bengo
9
-
17
Ulaweng
14
1
18
Palakka
15
1
19
Awangpone
17
1
20
Tellu Siattingge
15
2
21
Amali
15
-
22
Ajangale
14
-
23
Dua Boccoe
21
1
24
Cenrana
15
1
25
Tanete Riattang Barat
-
8
26
Tanete Riattang
-
8
27
Tanete Riattang Timur
-
8
Jumlah
333
39
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka 2004 – 2005