BAB V PROSES KEBIJAKAN DAN HASIL IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN KOMUNITAS DESA
5.1.
Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional Perangkat hukum tertinggi yang memayungi dan sekaligus mengamanahkan
kepada penyelenggara negara untuk memberikan jaminan kepada warga negaranya agar dapat hidup sejahtera lahir dan batin. Amanat tersebut tersurat pada Pasal 28 A, ayat 1 UUD 1945 Amandemen II yang menyebutkan bahwa “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Disamping itu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa “ Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Kedua UU tersebut di atas, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan hak atas pangan, namun secara implisit memuat perintah kepada penyelenggara negara untuk menjamin kecukupan pangan kepada setiap warganya. Pernyataan secara eksplisit yang mewajibkan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU tersebut menjelaskan tentang konsep ketahanan pangan, komponen serta pihak yang harus berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Secara umum, UU tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat wajib mewujudkan ketahanan pangan. UU tersebut juga telah dijabarkan ke dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP) antara lain : 1). PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang Ketahanan Pangan mencakup ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional, 2). PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan 3). PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang bertujuan untuk menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab.
100
Pola kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah dan masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan diatur pula melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Dimana UU tersebut mengatur bahwa peran
pemerintah lebih bersifat inisiator, fasilitator dan regulator, sedangkan peran masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan ketahanan pangan.
Kebijakan
ketahanan pangan nasional dalam hal ini menjadi “payung kebijakan” bagi kebijakan ketahanan pangan daerah, sedangkan ketahanan pangan daerah menjadi komponen utama dalam kebijakan ketahanan pangan nasional. Kebijakan ketahanan pangan nasional harus menjamin sinergi kebijakan antar daerah, sehingga tidak ada kebijakan suatu daerah yang merugikan daerah lain. Terkait dengan ini, maka pemerintah pusat memberikan pedoman, norma, standar, dan kriteria yang harus ditaati pemerintah daerah,
melakukan
pemantauan
dan
pengendalian
untuk
menjaga
sinergi
pembangunan antar daerah dan mengarahkan proses pembangunan pada tujuan bersama, yaitu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Mengacu kepada pedoman Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 – 2009 yang merupakan strategi penjabaran pembangunan nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, nampak bahwa kebijakan ketahanan pangan tersebut telah memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat petani, terutama di fokuskan pada petani kecil (gurem) dan buruh tani.
Hal yang mendasari lahirnya
kebijakan ini adalah terutama karena data kemiskinan di Indonesia menunjukan bahwa setengah dari kelompok miskin di Indonesia adalah petani kecil, dan seperlima darinya adalah para buruh tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan rumahtanggannya.
Petani miskin ini tidak memiliki kemampuan (entitlement) dan
kebebasan (freedom) untuk melakukan sesuatu bagi keluarga dan bangsanya. Petani miskin juga tidak memiliki penghasilan yang memadai, terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumberdaya lahan yang merupakan faktor produksi terpenting dalam budidaya pertanian. Berdasarkan pertimbangan atas adanya beragam potensi, masalah, hambatan, serta tantangan yang dihadapi dalam upaya mewudkan ketahanan pangan nasional , baik itu di sub sistem produksi, distribusi dan konsumsi, maka pemerintah telah menyusun kegiatan
14 kebijakan pokok berikut dengan kegiatan operasional
pembangunan ketahanan pangan 2005 – 2009. Sejauh mana kegiatan opeasional dari
101
kebijakan tersebut telah berorientasi pada pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan dianalisis pada Tabel 19. Tabel 19. Analisis Prinsip-Prinsip Pemberdayaan pada Kebijakan dan Kegiatan Operasional Ketahanan Pangan 2005-2009 Tujuan Kebijakan & Kegiatan Operasional 1. Menjamin Ketersediaan Pangan a. Pengembangan lahan abadi 15 jt ha sawah beririgasi & 15 jt lahan kering b. Pengembangan konservasi & rehabilitasi lahan
No
Prinsip Pemberdayaan
Tipologi Pemberdayaan
Prinsip ekologis
Kelembagaan
Prinsip ekologis
Kelembagaan, bantuan teknis & penyuluhan Kelembagaan, bantuan teknis & penyuluhan
c.
Pelestarian sumberdaya air & pengelolaan DAS
Prinsip ekologis
d.
Pengembangan & penyediaan benih, bibit unggul & alsintan
Prinsip menghargai Kelembagaan & lokal bantuan teknis
e. f.
Pengaturan pasokan gas utk produksi pupuk Pengembangan skim permodalan bagi petani/nelayan Peningkatan produksi & produktivitas (perbaikan genetik & teknologi budidaya)
Prinsip proses Prinsip keadilan sosial Prinsip proses dan menghargai lokal
Kelembagaan Kelembagaan
Pencapaian swasembada 5 komoditas strategis (Padi, Jagung, Kedelai, Tebu, Daging Sapi) Penyediaan insentif investasi bid. Pangan termasuk industri gula, peternakan & perikanan Penguatan penyuluhan, kelembagaan petani/nelayan & kemitraan
Prinsip proses
Kelembagaan & bantuan teknis
Prinsip keadilan sosial
Kelembagaan
Prinsip keadilan sosial & proses
Kelembagaan dan penyuluhan
Prinsip keadilan sosial & proses
Kelembagaan
g. h.
I.
j.
Menata Pertanahan & Tata Ruang Wilayah a. Pengembangan reforma agraria
Kelembagaan & bantuan teknis
2.
b.
Penyusunan tata ruang daerah & wilayah
c.
Penyusunan administrasi pertanahan & sertifikasi lahan
d.
Pengenaan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian subur & yang menelantarkan lahan pertanian 3. Mengembangkan Cadangan Pangan a. Pengembangan cadangan pangan pemerintah (nasional, daerah & desa) b.
Prinsip ekologis & Kelembagaan proses Prinsip keadilan Kelembagaan sosial & proses Prinsip keadilan sosial & proses
Kelembagaan
Prinsip proses
Kelembagaan
Pengembangan lumbung pangan masyarakat Prinsip menghargai Kelembagaan dan lokal & proses bantuan teknis
102
No 4.
Tujuan Kebijakan & Kegiatan Operasional Mengembangkan Sistim Distribusi Pangan yang Adil & Efisien
Prinsip Pemberdayaan
a.
Pembangunan & rehabilitasi sarana prasarana Prinsip proses pertanian b. Penghapusan retribusi produk pertanian & Prinsip proses perikanan c. Pemberian subsidi transportasi bagi daerah Prinsip proses rawan pangan & daerah terpencil d. 5. a.
b. 6 a. b.
Pengawasan sistem persaingan perdagangan Prinsip proses & yg tidak sehat keadilan Menjaga Stabilitas Harga Pangan Pemantauan harga pangan pokok secara Prinsip proses & berkala utk mencegah jatuhnya harga keadilan sosial gabah/beras di bawah HPP Pengelolaan pasokan pangan & cadangan Prinsip proses penyangga untuk stabilitas harga pangan Peningkatan Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan Pemberdayaan masyarakat miskin & rawan pangan Peningkatkan efektivitas program raskin
7. a.
Melakukan Diversifikasi Pangan Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dgn gizi seimbang
b.
Pemberian makanan tambahan utk anak sekolah (PMTAS)
c. d. 8. a.
b. c.
Pengembangan teknologi pangan Diversifikasi usahatani & pengembangan pangan lokal Meningkatkan Mutu dan Keamanan Pangan Pengembangan & penerapan sistem mutu pada proses produksi, olahan & perdagangan pangan Peningkatan kesadaran mutu & keamanan pangan konsumen Pencegahan dini dan penekanan hukum terhadap pelanggaran aturan mutu dan keamanan pangan
Tipologi Pemberdayaan
Bantuan teknis & charity Kelembagaan Charity
Kelembagaan Kelembagaan
Kelembagaan
Prinsip keadilan sosial & proses Prinsip keadilan sosial & proses
Kelembagaan & charity
Prinsip proses & menghargai lokal
Penyuluhan
Prinsip proses
Charity
Charity
Prinsip menghargai Bantuan teknis lokal Prinsip ekologi dan Kelembagaan dan menghargai lokal bantuan teknis
Prinsip proses
Kelembagaan dan penyuluhan
Prinsip proses
Penyuluhan
Prinsip proses dan keadilan sosial
Kelembagaan
103
No Tujuan Kebijakan & Kegiatan Operasional 9. a. b.
c. 10. a. b. 11. a.
12. a. b.
13. a. b. c.
14. a.
b. c.
Prinsip Pemberdayaan
Mencegah & Menangani Keadaan Rawan Pangan & Gizi Pengembangan isyarat dini & penanggulangan Prinsip proses keadaan rawan pangan Peningkatan keluarga sadar gizi melalui penyuluhan & bimbingan sosial dgn menyempurnakan sistem komunikasi, informasi & edukasi (KIE) Pemanfaatan lahan pekarangan utk peningkatan gizi keluarga Memfasilitasi Penelitian dan Pengembangan Alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian dan pengembangan
Tipologi Pemberdayaan
Kelembagaan dan penyuluhan
Prinsip proses
Penyuluhan
Prinsip ekologi
Penyuluhan
Prinsip proses
Kelembagaan
Peningkatan kerjasama & kemitraan antara Prinsip proses lembaga penelitian Meningkatkan Peran Serta Masyarakat Pemberian penghargaan bagi masyarakat yang Prinsip proses berjasa pada pembangunan ketahanan pangan & gizi Melaksanakan Kerjasama Internasional Penggalangan kerjasama internasional dalam Prinsip proses melawan kelaparan dan kemiskinan
Penguatan jejaring
Penguatan jejaring
Penguatan jejaring
Perbaikan kinerja diplomasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya untuk meningkatkan ketahanan pangan Mengembangkan Sumberdaya Manusia Perbaikan program pendidikan, pelatihan & penyuluhan pangan Pemberian muatan pangan & gizi pada pendidikan formal dan non-formal
Prinsip proses
Penguatan jejaring
Prinsip proses
Kelembagaan & penyuluhan Kelembagaan
Pemberian jaminan pendidikan dasar & menengah khususnya bagi perempuan & anakanak di pedesaan Kebijakan Makro dan Perdagangan yang Kondusif Kebijakan fiskal yang memberikan insentif dan keringanan pajak bagi usaha pertanian dan bisnis pangan Alokasi APBN dan APB yang memadai bagi pengembangan sektor pertanian dan pangan
Prinsip keadilan Kelembagaan sosial
Kebijakan perdagangan yang memberikan proteksi dan promosi bagi produk pertanian strategis
Prinsip proses
Prinsip proses
Charity
Prinsip proses
Kelembagaan
Prinsip proses
Kelembagaan
Sumber : Dewan Ketahanan Pangan (2006) dan Sumarti, dkk. (2007).
104
Berdasarkan hasil tabel analisis di atas, diketahui bahwa kebijakan dan kegiatan operasional ketahanan pangan 2006-2009 telah mempertimbangkan aspek pemberdayaan dengan prinsip ekologis, keadilan sosial, menghargai kearifan dan sumberdaya lokal, serta proses.
Disamping itu, jika ditinjau dari aspek tipologi
pemberdayaan, kebijakan tersebut tidak hanya telah melakukan pendekatan charity, bantuan teknis dan penyuluhan, kelembagaan dan
melainkan juga telah melakukan pendekatan
penguatan jejaring.
Permasalahannya sejauh mana pada
implementasinya kebijakan dan kegiatan tersebut
benar-benar menerapkan
pendekatan pemberdayaan tersebut, perlu ada kajian yang lebih mendalam di lapangan (Sumarti, dkk., 2007). Rencana pembangunan ketahanan pangan tingkat nasional pada tahun 2006 diarahkan pada terwujudnya kemandirian ketahanan pangan masyarakat
petani
berbasis sumberdaya lokal. Ketahanan pangan yang dimaksud meliputi ketahanan pangan tingkat rumah tangga, daerah dan nasional secara berkelanjutan. Sedangkan yang menjadi sasaran dari pembangunan ketahanan pangan antara lain :
(1)
ketersediaan energi minimal 2.200 kkal/kapita/hari dan ketersediaan protein minimal 57 gram/kapita/hari, (2) menurunnya ketergantungan kepada salah satu jenis pangan tertentu, (3) meningkatnya kemampuan rumah tangga dalam mengatasi masalah ketahanan pangan, dan (4) menurunnya tingkat kerawanan pangan rumah tangga. Prioritas program kerja pembangunan ketahanan pangan tahun 2006 difokuskan pada : (1) pengembangan Desa Mandiri Pangan, (2)
pengembangan
modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), (3) percepatan diversifikasi pangan dan peningkatan mutu serta keamanan pangan masyarakat, (4) pengembangan pembiayaan pangan dan pertanian, (5) revitalisasi Dewan Ketahanan Pangan Daerah, (6) pemantapan program Participatory Integrated Development in Rainfed Area (PIDRA) dan Spesial Programme for Food Security (SPFS) dan, (7) pemantauan analisis dan ketahanan pangan. 5.2.
Program dan Kegiatan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Garut Program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan di tingkat Kabupaten
Garut pada dasarnya merupakan penjabaran dari kebijakan dan program pembangunan di tingkat nasional.
Dimana untuk Kabupaten Garut
program
105
tersebut dibagi ke dalam dua program
utama yaitu: (1) Program Peningkatan
Ketahanan Pangan dan (2) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Kedua program tersebut di atas kemudian dijabarkan ke dalam 9 kegiatan yaitu: (1) Perumusan kebijakan ketahanan pangan melalui analisis ketersediaan, cadangan pangan dan pemenuhan kebutuhan pangan, pola distribusi dan analisis harga pangan strategis
dan analisis situasi konsumsi pangan, (2) Percepatan
diversifikasi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang melalui pengembangan pangan lokal dan makanan khas Indonesia, pemanfaatan pekarangan dan gerakan penganekaragaman konsumsi pangan pada berbagai media serta penyuluhan langsung kepada masyarakat, (3) Penanganan kerawanan pangan dilakukan dengan revitalisasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi serta pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi kerawanan pangan, (4) Pengembangan Desa Mandiri Pangan, (5) Peningkatan keamanan pangan, (6) Peningkatan kemampuan daerah dalam mendorong stabilitas harga gabah/beras melalui
kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha
Ekonomi Pedesaan (DPM/LUEP), (7) Meningkatkan motivasi dan kepedulian masyarakat dalam pemantapan ketahanan pangan, dilaksanakan melalui : pemberian penghargaan, promosi, kampanye dan pendampingan, (8) penyempurnaan peta kerawanan pangan (food map security) untuk tingkat kabupaten dan kecamatan dan, (9) Penyelenggaraan manajemen pembangunan ketahanan pangan melalui serangkaian agenda pertemuan, perencanaan, sinkronisasi pelaksanaan, pemantauan, monitoring dan evaluasi. Sembilan kegiatan tersebut di atas pada umumnya sedang dijalankan oleh Kantor Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Ketahanan Pangan (KPSDMKP) dan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Garut. Sejauh mana tingkat keberhasilan dari kesembilan kegiatan tersebut tidak dapat dievaluasi, mengingat pada umumnya kegiatan tersebut masih dalam proses pelaksanaan. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pejabat KPSDM-KP, diperoleh informasi bahwa salah satu dari sembilan kegiatan tersebut yaitu kegiatan DPM/LUEP tidak berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya indikasi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
Bahkan persoalan
tersebut pada saat penelitian ini dilakukan sudah sampai ke tingkat pengadilan, dimana beberapa oknum pejabat dinas dan pelaksana kegiatan tersebut ikut terlibat.
106
Selain itu kinerja pelaksanaan kegiatan pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Garut sempat juga terhambat karena adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Bupati. Berdasarkan
uraian
di
atas,
jelas
bahwa
keberhasilan
pelaksanaan
pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, tidak hanya terkait dengan masalah-masalah keterbatasan sumberdaya alam dan finansial. Namun pada faktanya juga terkait dengan masalah pendekatan kebijakan dan proses atau dinamika implementasinya di lapangan. Seperti halnya kasus-kasus KKN yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Garut selama periode tahun 2006-2007, selain telah merugikan rakyat banyak, juga terbukti telah menghambat
kinerja
kelembagaan pelayanan yang ada di tingkat kabupaten, termasuk Kantor PSDM-KP. Fenomena ini semakin menguatkan dugaan bahwa salah satu masalah penting dalam implementasi pembangunan ketahanan pangan di tingkat daerah dan pedesaan adalah masalah kelembagaan.
Dalam pengertian, keberhasilan dan keberlanjutan
(sustainability) pembangunan ketahanan pangan di pedesaan mensyaratkan adanya kelembagaan pemerintah yang
memiliki kapabilitas tinggi, adil, bersih (clean),
transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountable). 5.3.
Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan pada Komunitas Petani Pesisir Beberapa program pemberdayaan masyarakat terkait dengan ketahanan
pangan yang terdapat pada komunitas petani pesisir di Desa Cigadog diantaranya adalah : (1) Upaya komunitas petani menuntut distribusi lahan HGU Perkebunan Sawit PT. Condong, (2) Program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K), (3) Program Modal Usaha Bergulir Remaja (MUBR), (4) Program Pengembangan Koperasi Wanita di bidang usaha simpan pinjam, (5) Program Raksa Desa, (6) Program Ternak (Domba) Bergulir, dan (7) Program Desa Mandiri Pangan. 20 Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan data dan fakta bahwa pada umumnya program-program dana bergulir yang diimplementasikan pada komunitas petani pesisir mengalami kemacetan atau tidak berkelanjutan.
Program-program dana
20
Penjelasan tentang proses dan hasil dari upaya komunitas petani dalam menuntut redistribusi lahan HGU Perkebunan Sawit PT. Condong, sebagian sudah dibahas pada Bab IV dan akan dianalisis lebih lanjut pada Bab VII.
107
bergulir yang tidak berkelanjutan tersebut diantaranya program UP2K, MUBR, Simpan Pinjam Koperasi Wanita, Raksa Desa. Sedangkan implementasi program Ternak
Domba Bergulir, meskipun tidak mengalami kemacetan total, namun
mengalami keterlambatan dalam perguliran.
Satu-satunya program yang dapat
dikategorikan berhasil dalam pergulirannya adalah Program Desa Mapan (Tabel 20). Tabel 20. Program-Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Cigadog, Tahun 2008 No
Program Pemberdayaan
Kondisi Awal Program
Perkembangan Program (2008)
1.
Upaya menuntut redistribusi lahan HGU Perkebunan Sawit PT. Condong.
- Dimulai Tahun 1999 - Para petani penggarap mengorganisasikan diri & melakukan advokasi menuntut pendistribusian lahan HGU PT. Condong.
- Tercapai kesepakatan para petani penggarap (± 703 orang) diijinkan untuk menggarap lahan HGU seluas 247 hektar.
2.
Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K)
- Dimulai tahun 2001 - Dana bantuan bergulir utk modal usaha, terutama Ibu-Ibu rumahtangga sebesar Rp. 500.000.-
- Dana bergulir macet
3.
Modal Bergulir (MUBR)
Usaha - Dimulai tahun 2001 Remaja - Dana bantuan bergulir utk modal usaha, terutama remaja sebesar Rp 150.000.-
- Dana bergulir macet
4.
Koperasi Pinjam
Simpan - Dimulai tahun 2004 - Koperasi Wanita Bina Sejahtera - Dana bantuan simpan pinjam sebesar Rp 10.000.000.-
- Dana simpan pinjam macet
5.
Raksa Desa
- Dimulai tahun 2005 - Dana bantuan Rp 100 juta Æ Rp 40 juta utk pemb. infrastruktur & Rp 60 juta utk dana bergulir peningkatan ekonomi warga.
- Terbangunnya infrastruktur jalan desa (aspal) sepanjang 1,3 Km. - Dana bergulir macet
6.
Ternak Bergulir
- Dimulai pada akhir tahun - Bantuan ternak domba 104 ekor - 1 ekor domba dibagikan untuk 2-3 keluarga
- Terlambat bergulir dan sebagian macet.
7.
Desa Mandiri Pangan
- Dimulai tahun 2006 - Dana bergulir Rp 80 juta, dicairkan Juli 2007, anggota 99 orang
- Dana berkembang Rp. 105.600.000.- Anggota menjadi 196 orang
Sumber : Data primer dari berbagai sumber.
108
Faktor penyebab terjadinya kasus ketidakberlanjutan program dana bergulir dan simpan pinjam melalui lembaga PKK dan Koperasi Bina Sejahtera terutama disebabkan oleh rendahnya kapasitas kelembagaan tersebut dalam mengelola dan mengawal dana simpan pinjam. Rendahnya kapasitas kelembagaan koperasi tersebut pada akhirnya menyebabkan sebagian besar anggotanya pinjamannya.
tidak mengembalikan
Diakui sendiri oleh pengurus lembaga PKK dan Koperasi Wanita di
Desa Girijaya bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kasus kemacetan dana bergulir dan simpan pinjam adalah dikarenakan pengurus kurang aktif dalam menagih dana pinjaman tersebut dari para anggotanya. Meskipun demikian para pengurus lembaga tersebut juga mengemukakan faktor penyebab lainnya, yaitu karena kurangnya kesadaran para anggota untuk mengembalikan dana simpan pinjam. Kemacetan dana bergulir di Desa Cigadog tidak hanya terbatas pada dana bergulir yang disalurkan kepada lembaga PKK dan Koperasi Wanita, melainkan juga bantuan lain yang serupa seperti ternak “domba” bergulir, dan Dana Raksa Desa. Menurut penuturan Pak Sukarna (Kepala Desa Cigadog), Desa Cigadog memperoleh bantuan Ternak Domba Bergulir sebanyak 100 ekor pada Tahun 2007, sebagai konpensasi dari dimusnahkannya ternak unggas milik warga karena terserang virus flu burung.
Mengingat jumlah penduduk Desa Cigadog yang miskin banyak, maka
ternak tersebut kemudian dibagikan kepada warga dengan sistem 1 ekor domba dibagikan kepada
2 sampai 3 rumah tangga miskin.
Pada saat penelitian ini
dilakukan, proses perguliran ternak ini belum juga bisa berjalan dan pada umumnya ternak tersebut masih dipelihara oleh para penerima awal. Sedangkan untuk kasus bantuan dana Raksadesa dari Permerintah Daerah, total dana bantuan yang diberikan sebesar Rp. 100 juta. Dimana Rp. 40 juta diperuntukan bagi pembangunan infrastruktur (fisik) dan sisanya Rp. 60 juta untuk pengembangan ekonomi bergulir.
Dari dana sebesar Rp. 40 juta tersebut,
pemerintah desa bersama-sama warga berhasil membangun jalan desa dengan bahan dasar aspal sepanjang 1 km. Sedangkan dana sisanya sebesar Rp. 60 juta dibagikan ke masyarakat untuk kegiatan dana bergulir, namun pada akhirnya mengalami kemacetan. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat pemerintahan desa, ketua penggerak tim PKK, pengurus koperasi dan warga, maka diperoleh kesimpulan
109
bahwa
terjadinya
kasus
kegagalan
dalam
implementasi
program-program
pemberdayaan pada komunitas petani pesisir, terutama disebabkan oleh faktor lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat komunitas desa yang tercermin dari : (1) lemahnya kemampuan lembaga pelayanan pemerintah di tingkat desa dalam merencanakan, mengelola, mengontrol dan mengevaluasi program dana-dana bergulir ; (2) rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang tercermin dari rendahnya rasa tanggung jawab anggota untuk menjaga dan mengembalikan dana-dana bergulir ; (3) rendahnya dukungan teknis, pendampingan dan evaluasi dari pihak pemerintah atas desa; (4) lemahnya sinergy antar stakeholders dalam mendukung implementasi programprogram pemberdayaan yang ada. 5.4.
Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan pada Komunitas Petani Pegunungan Beberapa program pemberdayaan masyarakat sedang dilaksanakan di Desa
Girijaya yang terkait dengan program ketahanan pangan baik secara langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah : (1) Program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K), ( 2). Program Modal Usaha Bergulir Remaja (MUBR), dan (3) Paket Lebaran, (4) Program Raksa Desa, (5) Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), (6) Program Desa Mandiri Pangan, (7) Program Pengembangan Koperasi Wanita di bidang usaha simpan pinjam, dan (8) Program Ternak Sapi Bergulir. Keberhasilan Desa Girijaya dalam membangun sebuah lembaga keuangan mikro desa sebenarnya telah dirintis sejak masuknya program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) pada tahun 2001. Dimana pada tahun tersebut Desa Girijaya melalui lembaga PKK mendapatkan bantuan dana bergulir sebesar Rp 500.000.-.
Dana bergulir tersebut kemudian dimanfaatkan dan dikelola oleh kader-
kader PKK untuk mendukung permodalan usaha kecil yang dijalankan oleh para ibu rumah tangga, mulai dari pengrajin pipiti, pedagang gula, usaha keripik dapros, dll. Hingga pada tahun 2007 dana bergulir tersebut berkembang menjadi sebesar Rp 40.000.000.-
dan jumlah anggota penerima manfaat pun semakin banyak yaitu
sebanyak 220 orang. Selain program UP2K sebenarnya ada juga program serupa bagi kelompok remaja yang dinamakan program Modal Usaha Bergulir Remaja (MUBR).
Namun jika dibandingkan dengan program UP2K program ini
110
berkembang lebih lambat. Dimana pada tahun 2001 diberi bantuan modal awal sebesar Rp 150.000, dan pada tahun 2007 berkembang menjadi Rp. 1.000.000.Disamping kedua program di atas, kelembagaan PKK Desa Girijaya juga membangun program mandiri seperti “Program Paket Lebaran”. Melalui program Paket Lebaran ini, sebanyak 200 ibu rumah tangga yang tergabung diwajibkan menabung minimal sebesar Rp 1.000 setiap minggunya. Setiap tahunnya program ini dapat mengumpulkan dana kurang lebih hingga sebesar Rp 20 juta. Dana hasil tabungan ini kemudian dibelanjakan menjelang bulan Ramadhan, dimana barang yang dibeli disesuaikan kebutuhan masing-masing anggota.
Melalui program-program di
atas, maka secara tidak langsung lembaga PKK di Desa Girijaya telah berhasil merintis upaya pembangunan lembaga keuangan desa (LKD).
Dimana melalui
program-program tersebut mereka telah belajar membangun sistem pengelolaan keuangan, administrasi/pembukuan keuangan, tatacara penagihan dan penyetoran, serta bagaimana cara memanfaatkan dana tersebut bagi peningkatan kesejahteraan keluarga. Model pengelolaan keuangan yang telah dikembangkan oleh lembaga ibu-ibu PKK tersebut kemudian juga “diadopsi” oleh Pemerintahan Desa untuk mengelola dana Program Raksa Desa dari Provinsi Jawa Barat yang turun pada tahun 2005. Dimana program tersebut memberikan bantuan sebesar Rp 100 juta, dengan peruntukan Rp 40 juta untuk pembangunan infrastruktur dan Rp 60 juta untuk dana bergulir perekonomian masyarakat. Hingga tahun 2007, dana Raksa Desa sebesar Rp 60 juta kini telah berkembang dua kali lipat menjadi Rp 120 juta. Program-program pemberdayaan yang masuk ke Desa Girijaya berikut dengan perkembangannya ditampilkan pada Tabel 21. Tabel 21. Program-Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Girijaya Tahun 2008 No
Program Pemberdayaan
Kondisi Awal Program
1.
Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K)
2.
Modal Usaha - Dimulai tahun 2001 Bergulir Remaja - Dana bantuan sebesar Rp (MUBR) 150.000.-
- Dimulai tahun 2001 - Dana bantuan bergulir utk modal usaha ibu-ibu rumah tangga sebesar Rp. 500.000.-
Perkembangan Program (2008) - Dana bergulir berkembang menjadi Rp. 40.000.000.- Anggota 220 orang. - Dana bergulir berkembang menjadi Rp 1.000.000.-
111
No
Program Pemberdayaan
Kondisi Awal Program
Perkembangan Program (2008)
3.
Paket Lebaran
- Program ini berupa tabungan ibu-ibu rumah tangga selama setahun, dan pada Hari Raya Lebaran dibelanjakan sesuai kebutuhan masing-masing anggota.
- Setiap minggu ibu-ibu diwajibkan menabung sebesar Rp. 1.000.- Terkumpul dana Rp. 20.000.000/tahun.
4.
Raksa Desa
- Dimulai tahun 2005 - Dana bantuan Rp 100 juta Æ Rp 40 juta utk pembangunan infrastruktur dan Rp 60 juta utk dana bergulir peningkatan ekonomi warga.
- Membangun infrastruktur jalan desa (beton) sepanjang 1,2 Km dengan lebar jalan 3 meter. - Dana bergulir program Raksa Desa dari Rp. 60 juta berkembang menjadi Rp. 120 juta.
5.
Pengelolaan - Kerjasama dimulai tahun 2006 Hutan Bersama dengan Perum Perhutani Unit Masyarakat III Jawa Barat KPH Garut (PHBM) - Lahan seluas 30 hektar
- 10 hektar lahan sudah diusahakan - Ditanami tanaman keras dan palawija
6.
Desa Mandiri Pangan
- Dana berkembang menjadi Rp. 107.955.250.- Jumlah anggota menjadi 375 orang
7.
Koperasi Simpan Pinjam -
8.
Ternak Bergulir
- Dimulai tahun 2006 - Dana bergulir Rp 80 juta, dicairkan Juli 2007, anggota 99 orang Dimulai Januari 2008 Koperasi Wanita Serba Jaya Bantuan dana Rp 7,5 juta Bantuan mesin tik dan meja
- Akhir tahun 2008 dana berkembang menjadi Rp. 10 juta
- Dimulai Juli 2008 - Bantuan Sapi sebanyak 18 ekor dan bantuan uang pembuatan kandang Rp 6 juta - 6 Kelompok dan jumlah anggota 60 orang
- Sapi dan berikut dana pembuatan kandang sudah dicairkan - Program sedang berjalan
Sumber : Data primer dari berbagai sumber.
Dengan adanya sejumlah dana bergulir dari beberapa program di atas, maka sebagian dari masyarakat Desa Girijaya kini telah merasakan banyak manfaatnya. Sebagian warga masyarakat yang miskin di desa tersebut kini “tidak terlalu” kesulitan jika mereka membutuhkan dana untuk modal usaha, mereka tidak perlu mencari dana kemana-mana, cukup dengan mengajukan kepada lembaga keuangan desa.
112
Bahkan dengan masuknya Proksi Desa Mandiri Pangan pada tahun 2005/2006, maka kini untuk setiap minggu pertama, kedua dan ketiga di Desa Girijaya telah ada sejumlah dana yang dapat digulirkan secara rutin kepada warganya. Meskipun demikian, mengingat masih banyaknya rumahtangga miskin dan rawan pangan di Desa Girijaya, maka dana yang sudah terkumpul dan terkelola dengan baik tersebut belum sepenuhnya mampu melayani seluruh kebutuhan para peminjam. Dengan adanya tiga program dana bergulir utama tersebut (UP2K, Raksa Desa dan Desa Mapan), maka pada setiap minggu I, II dan III di LKD sudah tersedia dana pinjaman bergulir. Pihak aparat desa dan warga berharap desa mereka akan dapat bantuan satu program bergulir lagi, sehingga setiap minggunya selalu tersedia dana untuk digulirkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Salah satu kunci keberhasilan implementasi Program Dana Bergulir di Desa Girijaya adalah terbangunnya sebuah lembaga keuangan desa (LKD) beserta kaderkader Pokmas yang dapat mengelola/mengatur dana-dana bergulir tersebut. Para pengurus yang duduk di LKD tersebut bukan berasal dari aparat pemerintahan desa, melainkan terdiri dari para tokoh masyarakat dan warga penerima manfaat yang berasal dari golongan miskin. Sehingga dengan demikian, pihak aparat pemerintahan desa tidak terlalu disibukan oleh masalah keuangan dana bergulir dan sekaligus mengurangi timbulnya pandangan-pandangan negatif terhadap aparat pemerintahan desa. Selain itu dana bergulir tersebut tidak pernah “mengendap” di LKD, dimana ditetapkan tanggal tertentu untuk pembayaran dan sekaligus untuk peminjaman bagi anggota lain yang belum mendapatkan kesempatan untuk meminjam. Jadi setiap saat, dana tersebut selalu berada dan bergulir di tangan masyarakat, bukan berada di LKD. Secara umum keberhasilan komunitas petani pegunungan dalam implementasi program-program
pemberdayaan
disebabkan
oleh
relatif
kuatnya kapasitas
kelembagaan komunitas tersebut yang tercermin dari : (1) terbangunnya kelembagaan pelayanan pemerintah di tingkat desa yang bersih (clean), transparan (tranparancy), dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dan demokratis ; (2) terbangunnya kelembagaan keuangan desa (LKD) yang mampu mengumpulkan dan mengelola dana masyarakat sebesar ± Rp. 300.000.000.- ; (3) partipasi aktif kaum perempuan dalam kepengurusan dan menjadi kader-kader program dana bergulir ; (4) tingginya rasa tanggung jawab dan kejujuran semua pihak (pengurus dan anggota) dalam menjaga
113
dan mengelola dana bergulir ; (5) adanya dukungan dan kemauan yang kuat dari seluruh stakeholders di tingkat komunitas untuk mensukseskan program. 5.5.
Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan : Suatu Analisis Berdasarkan pada keseluruhan uraian di atas mengenai proses kebijakan
ketahanan pangan pemerintah pusat dan implementasinya di tingkat daerah dan komunitas pedesaan, secara konseptual telah mempertimbangkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Dimana tujuan kebijakan dan kegiatan operasional ketahanan pangan telah memperhatikan prinsip proses, prinsip keadilan sosial, prinsip menghargai lokal, serta prinsip ekologis. Demikian pula halnya dengan rencana tipologi pemberdayaan ketahanan pangan yang akan diterapkan tidak hanya terbatas pada tipologi pemberdayaan yang bersifat charity, melainkan juga penyuluhan, bantuan teknis, pengembangan kelembagaan, dan penguatan jejaring. Sedangkan pada tataran praktis atau implementasinya di lapangan (tingkat kabupaten dan desa), tampak dengan jelas bahwa implementasi program-program ketahanan pangan pada umumnya dihadapkan pada kendala relatif masih lemahnya kapasitas kelembagaan ketahanan pangan di tingkat kabupaten dan desa dalam mendukung dan mengelola program-program tersebut.
Pada tingkat kabupaten
kondisi lemahnya kapasitas kelembagaan ketahanan pangan tercermin dari relatif masih lemahnya kapasitas lembaga Dewan Ketahanan Pangan Daerah, Dinas Pertanian dan Kantor PSDM-KP Kab. Garut dalam mengelola program-program ketahanan pangan. Sebagai contoh kasus, implementasi Program DPM/LUEP tidak berjalan baik karena dalam pelaksanaannya ada indikasi kasus praktek KKN. Sementara untuk kasus implementasi Program Desa Mandiri Pangan, lemahnya kapasitas kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan Daerah tercermin dari tidak berjalannya fungsi koordinasi dan sinkronisasi.
Kondisi tersebut pada akhirnya
menyebabkan implementasi Program Desa Mandiri Pangan seolah-olah berjalan sendiri di bawah pengawasan dan kendali KPSDM-KP dan tidak terintegrasi dengan program-program sejenis dari dinas/instansi lainnya. Sementara itu pada tingkat komunitas desa, implementasi program-program pemberdayaan terkait ketahanan pangan dapat dianalisis dengan 5 komponen pengembangan masyarakat (Lubis, 2007). Kelima komponen tersebut terdiri dari ; (1)
114
advokasi, (2) pengorganisasian komunitas, (3) pengembangan jaringan, (4) pengembangan kapasitas, dan (5) komunikasi, informasi dan edukasi.
Pada
prinsipnya kelima komponen tersebut saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Namun pada tataran praktis, kegiatan pengembangan masyarakat pada umumnya memilih salah satu dari kelima komponen tersebut. Pada kasus pemberdayaan komunitas petani pesisir di Desa Cigadog, tampak bahwa implementasi program-program pemberdayaan (baik itu yang lahir dari dalam komunitas maupun yang datang dari intervensi pemerintah atas desa), masih didominasi oleh tipe pengembangan masyarakat yang berupa ; (1) advokasi dan (2) pengorganisasian komunitas dan (3) pengembangan kapasitas.
Tipe
pengembangan masyarakat berciri advokasi terutama tercermin dari upaya-upaya komunitas pesisir dalam menuntut pendistribusian lahan Hak Guna Usaha (HGU) dari pihak swasta (PT. Condong) dan pemerintah daerah Kabupaten Garut. Tipe pengorganisasian komunitas tercermin dari proses dan implementasi Program : UP2K, MUBR, Koperasi Simpan Pinjam, Raksa Desa, dan Desa Mandiri Pangan. Sedangkan
tipe
pengembangan
kapasitas
sebenarnya
baru
tercermin
dari
implementasi Program Desa Mapan, itu pun dengan catatan bahwa pada implementasinya upaya pengembangan kapasitas kelembagaan belum terlaksana secara optimal. Sedangkan untuk kasus komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya, implementasi program-program pemberdayaan secara relatif telah ditopang oleh kelima tipe pengembangan masyarakat yakni ; (1) advokasi, (2) pengorganisasian komunitas, (3) pengembangan jaringan, (4) pengembangan kapasitas, (5) komunikasi, informasi dan edukasi. Tipe pengembangan berciri advokasi tercermin dari proses dan implementasi Program PHBM. Tipe pengorganisasi komunitas tercermin dari proses dan implementasi program : UP2K, MUBR, Paket Lebaran, Koperasi Simpan Pinjam, Raksa Desa, Ternak Sapi Bergulir dan Desa Mandiri Pangan.
Tipe
pengembangan jaringan tercermin dari proses implementasi Program PHBM dan Desa Mandiri Pangan. Tipe pengembangan kapasitas dicerminkan melalui proses dan implementasi program UP2K, Raksa Desa dan Desa Mandiri Pangan. Sementara tipe pengembangan masyarakat berbasis pada pengembangan komunikasi, informasi dan
115
edukasi pada dasarnya telah dilakukan secara terbatas oleh komunitas petani pegunungan. Kondisi ini terutama tercermin dari telah dimanfaatkannya kelompokkelompok pengajian agama dan kesenian tradisional sebagai wadah atau ruang untuk ; (1) pendidikan (edukasi) masyarakat, dan (2) penyebaran informasi tentang programprogram pembangunan desa. Tabel 22. 5 (Lima) Elemen Pengembangan Masyarakat dalam Program-Program Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan 5 Elemen Pengembangan Masyarakat
Program-Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan Komunitas Petani Pesisir
Komunitas Petani Pegunungan
1. Advokasi
Upaya menuntut pendistribusian lahan HGU dari pihak perkebunan sawit PT. Condong
Proses dan Implementasi Program PHBM
2. Pengorganisasian Masyarakat
UP2K, MUBR, Koperasi UP2K, MUBR, Paket Lebaran, Simpan Pinjam, Raksa Desa, Koperasi Simpan Pinjam, Raksa dan Desa Mandiri Pangan Desa, Ternak Sapi Bergulir dan Desa Mandiri Pangan
3. Pengembangan Jaringan 4. Pengembangan Kapasitas 5. Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Desa Mandiri Pangan -
Program PHBM dan Desa Mandiri Pangan UP2K, Raksa Desa dan Desa Mandiri Pangan Pemanfaatan kelompok-kelompok pengajian agama dan kesenian tradisional untuk mendukung program-program pemberdaayan masyarakat
Sumber : Lubis (2007)
Berdasarkan pada uraian di atas, maka nampak bahwa implementasi programprogram pemberdayaan pada kasus komunitas petani pegunungan relatif telah ditopang oleh kelima elemen pengembangan masyarakat. Sementara untuk kasus komunitas pegunungan implementasi program-program pemberdayaan masyarakat relatif hanya ditopang oleh tiga tipe pengembangan masyarakat (advokasi, pengorganisasian komunitas, dan pengembangan kapasitas).
Tampak jelas pada
Tabel 22 bahwa untuk kasus implementasi program-program pemberdayaan pada komunitas pesisir lemah dari aspek ; pengembangan jaringan, pengembangan
116
kapasitas dan komunikasi, informasi dan edukasi. Upaya pengembangan kapasitas pada komunitas petani pesisir baru dilakukan terutama pada implementasi Program Desa Mandiri Pangan. Perbedaan inilah yang juga menjadi faktor penyebab timbulnya fenomena dimana implementasi program-program pemberdayaan masyarakat pada komunitas petani pegunungan relatif menunjukan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan komunitas petani pesisir. Ditinjau dari paradigma partisipasi, proses dan implementasi pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari aspek partisipasi. Dimana pemberdayaan itu sendiri merupakan jalan bagi partisipasi (the empowerment is road to participation).
Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian, secara konseptual program-
program pemberdayaan masyarakat terkait ketahanan pangan di kedua komunitas telah memperhatikan aspek partisipasi.
Dimana partisipasi tidak lagi dipandang
sebagai proses bertemunya aksi pemberdayaan yang diinisiasi dan direncanakan oleh pemerintah supra desa dengan reaksi masyarakat terhadap aksi pemberdayaan tersebut. Melainkan partisipasi lebih dipandang sebagai proses keterlibatan secara bersama-sama dari seluruh stakeholders dalam setiap tahapan aksi pemberdayaan (perencanaan, pelaksanaan, kontrol dan evaluasi). Berdasarkan hasil kajian, program pemberdayaan
masyarakat di bidang ketahanan pangan yang secara relatif telah
menerapkan pendekatan pemberdayaan partisipatif di kedua komunitas adalah Program Desa Mandiri Pangan. Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari sekian banyak program pemberdayaan terkait ketahanan pangan yang terdapat di kedua komunitas, maka Program Desa Mandiri Pangan secara konseptual telah memenuhi syarat-syarat dari sebuah model/bentuk pemberdayaan masyarakat yang partisipatif. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana konsep-konsep pemberdayaan partisipatif yang terkandung dalam Program Desa Mandiri Pangan dapat dijalankan atau dilaksanakan secara baik dan tepat pada tataran praktis ? Jawaban atas pertanyaan tersebut, secara lebih mendetil akan dibahas pada Bab VI mengenai peran dan partisipasi kelembagaan lokal, pemerintah dan swasta dalam dinamika pemberdayaan Program Desa Mandiri Pangan.
117