BAB V TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA KOMUNITAS JEMBATAN SERONG Pada bab ini, dijabarkan beberapa hal yang terkait dengan tingkat ketahanan pangan, antara lain: tingkat ketahanan pangan rumahtangga Komunitas Jembatan Serong, tingkat ketahanan pangan rumahtangga yang dikepalai pria (RTKP), tingkat ketahanan pangan rumahtangga yang dikepalai wanita (RTKW), perbandingan tingkat ketahanan pangan RTKP dan RTKW, dan upaya yang dilakukan rumahtangga untuk mengatasi kekurangan pangan. 5.1 Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Komunitas Jembatan Serong Tingkat ketahanan pangan rumahtangga Komunitas Jembatan Serong termasuk ke dalam kategori “tahan pangan”. Hal tersebut dikarenakan persentase rumahtangga yang tingkat ketahanan pangannya termasuk ke dalam kategori tahan pangan lebih banyak dibandingkan dengan persentase rumahtangga yang tingkat ketahanan pangannya termasuk ke dalam kategori lebih tidak tahan pangan. Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa terdapat 55,9 persen tingkat ketahanan pangan rumahtangga termasuk ke dalam kategori tahan pangan dan 44,1 persen tingkat ketahanan pangan rumahtangga termasuk ke dalam kategori lebih tidak tahan pangan. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga Komunitas Jembatan Serong merupakan hasil dari penggabungan tingkat ketahanan pangan pada dua tipe rumahtangga, yaitu RTKP dan RTKW. Persentase tingkat ketahanan pangan RTKP yang termasuk ke dalam kategori tahan pangan lebih banyak dibandingkan dengan persentase tingkat ketahanan pangan RTKW yang termasuk ke dalam kategori tahan pangan. Tabel 17. Sebaran Jumlah dan Persentase Rumahtangga Berdasarkan Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga, Komunitas Jembatan Serong, 2010 Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan Jumlah
Jumlah (Rumahtangga) 41 52 93
Persentase (%) 44,1 55,9 100
54
Jika dilihat berdasarkan tipe rumahtangga, tingkat ketahanan pangan RTKP berbeda dengan tingkat ketahanan pangan RTKW, dimana tingkat ketahanan pangan RTKP termasuk ke dalam kategori “tahan pangan” sedangkan tingkat ketahanan pangan RTKW termasuk ke dalam kategori “lebih tidak tahan pangan”. Berdasarkan Tabel 18 diketahui bahwa terdapat 59,4 persen tingkat ketahanan pangan RTKP termasuk ke dalam kategori tahan pangan dan 45,8 persen tingkat ketahanan pangan RTKW termasuk ke dalam kategori tahan pangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase tingkat ketahanan pangan RTKP yang termasuk ke dalam kategori tahan pangan lebih banyak dibandingkan dengan persentase tingkat ketahanan pangan RTKW yang termasuk ke dalam kategori tahan pangan. Perbedaan persentase tingkat ketahanan pangan RTKP dan RTKW, tidak menimbulkan ketimpangan ketahanan pangan. Dalam hal ini, ketimpangan ketahanan pangan adalah kondisi kurang terpenuhinya pangan yang tercermin dari tidak meratanya jumlah pangan yang tersedia, distribusi, dan konsumsi pangan. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diketahui bahwa tingkat ketahanan pangan RTKP sama dengan tingkat ketahanan pangan RTKW, artinya tidak terjadi ketimpangan ketahanan pangan di RTKP dan RTKW. Hasil perhitungan Chi Square menunjukkan bahwa χ20 (χ hitung) adalah 1,034 dan χ2 (χ tabel) adalah 3,84. Sesuai dengan hipotesa uji, jika χ hitung lebih kecil daripada χ tabel maka H0 diterima, artinya tingkat ketahanan pangan RTKP sama dengan tingkat ketahanan pangan RTKW. Tabel 18. Sebaran Jumlah dan Persentase Rumahtangga Berdasarkan Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga dan Tipe Rumahtangga, Komunitas Jembatan Serong, 2010 Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan Jumlah
Tipe Rumahtangga RTKP RTKW Jumlah Jumlah (rumahtangga Persentase (rumahtangga Persentase ) (%) ) (%) 28 41 69
40,6 59,4 100
13 11 24
54,2 45,8 100
Jumlah 41 52 93
55
Perbedaan tingkat ketahanan pangan pada RTKP dan RTKW berhubungan dengan tingkat pendidikan pengelola pangan dan tingkat pendapatan yang diperoleh kedua rumahtangga tersebut. Tingkat pendidikan pengeola pangan RTKW lebih banyak yang termasuk ke dalam kategori rendah jika dibandingkan dengan RTKP bahkan di RTKW tidak ada pengelola pangan yang tingkat pendidikannya termasuk ke dalam kategori tinggi. Pengelola pangan dalam penelitian ini umumnya adalah wanita (ibu). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alderman dan gracia (1994) dalam Antang (2002) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan ketahanan pangan melalui konsumen pangan rumahtangga. Selain tingkat pendidikan pengelola pangan rumahtangga, tingkat pendapatan rumahtangga juga berhubungan dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. Tingkat pendapatan RTKP lebih banyak yang termasuk ke dalam kategori tinggi sedangkan pada RTKW tingkat pendapatannya lebih banyak yang termasuk ke dalam kategori rendah. Pada RTKP sebesar 36 persen rumahtangga termasuk ke dalam kategori berpendapatan tinggi dan sedang sedangkan pada RTKW
sebesar
50
persen
rumahtangga
termasuk
ke dalam kategori
berpendapatan rendah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susiana (2009), bahwa rumahtangga yang dikepalai oleh wanita pada umumnya lebih miskin daripada rumahtangga yang dikepalai oleh pria karena tenaga kerja wanita umumnya dibayar lebih rendah dibandingkan dengan pria sehingga pendapatan yang diperoleh oleh wanita sedikit yaitu US$ 1 per harinya, dengan rata-rata lima orang anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. 5.2 Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga yang Dikepalai Pria (RTKP) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat ketahanan pangan RTKP termasuk ke dalam kategori “tahan pangan”. Hal tersebut disebabkan karena tingkat pendidikan pengelola pangan dan tingkat pendapatan rumahtangganya lebih banyak yang termasuk ke dalam kategori sedang dan tinggi. Tingkat pendidikan pengelola pangan yang termasuk ke dalam kategori sedang dan tinggi mengakibatkan rumahtangga tersebut mampu mengkonsumsi pangan yang bergizi dan pengelola pangan rumahtangga memiliki strategi untuk
56
dapat mengakses pangan dengan gizi tinggi dengan anggaran yang sesuai untuk pangan. Selain tingkat pendidikan pengelola pangan, tingkat pendapatan yang termasuk ke dalam kategori sedang dan tinggi juga mengakibatkan rumahtangga tersebut mampu mengakses berbagai jenis pangan. Tingkat ketahanan pangan RTKP termasuk ke dalam kategori ”tahan pangan” tetapi ditemukan peristiwa yang struktur rumahtangganya termasuk ke dalam kategori ”lebih tidak tahan pangan”, yaitu RTKP lajang sedangkan struktur rumahtangga lainnya, yaitu RTKP tanpa anak, RTKP tahap ekspansi demografis awal, dan RTKP tahap ekspansi demografis lanjut tingkat ketahanan pangannya teramsuk ke dalam kategori ”tahan pangan”. Tingkat ketahanan pangan RTKP lajang termasuk ke dalam kategori ”lebih tidak tahan pangan” karena tingkat pendidikan pengelola pangan rumahtangganya termasuk ke dalam kategori rendah dan tidak memiliki pengetahuan mengenai pangan dan gizi sehingga tidak mampu menyediakan pangan yang memiliki kandungan zat gizi. Meskipun tingkat pendapatan yang diperoleh oleh RTKP lajang termasuk ke dalam kategori tinggi namun pendapatannya tersebut tidak diprioritaskan untuk mengakses pangan yang lebih banyak. Tingkat pendidikan pengelola pangan pada RTKP tanpa anak, RTKP tahap ekspansi demografis awal, dan RTKP tahap ekspansi demografis lanjut termasuk ke dalam kategori sedang dan tinggi dan memiliki pengetahuan mengenai pangan dan gizi sehingga mampu mengakses dan menyediakan pangan yang bergizi untuk anggota rumahtangganya. Selain itu, ketiga RTKP tersebut tingkat pendapatannya lebih banyak yang termasuk ke dalam kategori tinggi sehingga dengan pendapatan yang tinggi mampu mengakses berbagai jenis pangan dengan kandungat zat gizi yang baik sehingga tingkat ketahanan pangannya dapat lebih tahan pangan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hunger Site (2003) dalam Tanziha (2005) yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan keluarga dapat memperbaiki ketahanan pangan keluarga melalui peningkatan akses mereka terhadap pangan dan konsumsi pangan sangat berhubungan dengan tingkat pendapatan, berdasarkan hasil penelitiannya baik di perkotaan maupun di pedesaan menunjukkan bahwa pendapatan berhubungan nyata dengan konsumsi kalori.
57
5.3 Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga yang Dikepalai Wanita (RTKW) Tingkat ketahanan pangan RTKW termasuk ke dalam kategori ”lebih tidak tahan pangan”. Hal tersebut disebabkan karena tingkat pendidikan pengelola pangan dan tingkat pendapatan rumahtangganya lebih banyak yang termasuk ke dalam kategori rendah. Tingkat pendidikan pengelola pangan yang termasuk ke dalam kategori rendah mengakibatkan rumahtangga tersebut kurang mampu mengkonsumsi pangan yang bergizi karena tidak memiliki pengetahuan mengenai pangan dan gizi pada berbagai jenis bahan pangan. Pengelola pangan rumahtangga juga tidak memiliki strategi untuk dapat mengakses pangan gizi tinggi dengan anggaran yang sesuai untuk pangan. Selain itu, tingkat pendapatan rumahtangga yang termasuk ke dalam kategori rendah juga turut mengakibatkan rumahtangga tersebut menjadi lebih tidak tahan pangan. Hal tersebut terjadi karena pendapatan yang diperoleh rumahtangga tersebut tidak hanya digunakan untuk pangan tetapi juga digunakan untuk non pangan. Kebutuhan non pangan yang meningkat berdampak pada penurunan anggaran pangan yang pada akhirnya menurun juga aksesnya terhadap berbagai jenis pangan. Tingkat ketahanan pangan RTKW termasuk ke dalam kategori ”lebih tidak tahan pangan”. Begitu pula tingkat ketahanan pangan RTKW dengan struktur RTKW tahap ekspansi demografis lanjut termasuk ke dalam kategori “lebih tidak tahan pangan”. Hal tersebut terjadi karena lebih banyak pendidikan pengelola pangan dan tingkat pendapatan rumahtangga yang termasuk ke dalam kategori rendah. Tingkat pendidikan pengelola pangan rumahtangga yang rendah menggambarkan bahwa pengelola pangan tersebut tidak memiliki pengetahuan pangan dan gizi yang baik sehingga tidak mampu menentukan pangan yang kaya akan gizi yang diperlukan tubuh. Tingkat pendapatan rumahtangga turut pula mempengaruhi tingkat ketahanan pangan karena tingkat pendapatan yang termasuk ke dalam kategori rendah ini tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan akan pangan. Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat FAO (1997) dalam Tanziha (2005) yang menyatakan bahwa determinan utama dari ketahanan pangan/ketidaktahanan pangan adalah pendapatan yang memadai atau daya beli untuk memenuhi biaya hidup.
58
Peristiwa lain yang juga terjadi pada RTKW, yaitu tingkat ketahanan pangan RTKW ada yang termasuk ke dalam kategori “tahan pangan”, seperti yang terjadi pada struktur RTKW tanpa anak dan RTKW tahap ekspansi demografis awal. Hal tersebut terjadi karena tingkat pendidikan pengelola pangan rumahtangga termasuk ke dalam kategori rendah dan sedang serta tingkat pendapatan rumahtangga termasuk ke dalam kategori rendah dan tinggi. Tingkat pendidikan pengelola pangan dan tingkat pendapatan rumahtangga RTKW tanpa anak meskipun termasuk ke dalam kategori rendah tetapi tingkat ketahanan pangannya termasuk ke dalam kategori “tahan pangan”. Hal tersebut terjadi karena di rumahtangga tersebut tidak ada anggota rumahtangga lain sehingga ia dapat menentukan sendiri pangan yang ingin dikonsumsi dan seluruh pendapatan yang ia miliki digunakan untuk mengakses pangan yang ia inginkan. Tingkat pendidikan pengelola pangan RTKW tanpa anak termasuk ke dalam kategori sedang dan tingkat pendapatannya termasuk ke dalam kategori tinggi. Hal tersebut terjadi karena rumahtangga tersebut memiliki pengetahuan mengenai pangan dan gizi sehingga mampu menyediakan pangan yang memiliki kandungan zat gizi. Selain itu, tingkat pendapatan rumahtangga yang tinggi menjadikan rumahtangga tersebut mudah mengakses berbagai jenis pangan yang memiliki kandungan gizi yang baik untuk tubuh. 5.4 Perbandingan Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga yang Dikepalai Pria (RTKP) dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga yang Dikepalai Wanita (RTKW) Tingkat ketahanan pangan RTKP jika dibandingkan dengan RTKW maka RTKP lebih “tahan pangan” dibandingkan dengan RTKW. Hal tersebut disebabkan karena tingkat pendidikan pengelola pangan dan tingkat pendapatan rumahtangganya RTKW lebih banyak yang termasuk ke dalam kategori rendah. Tingkat pendidikan pengelola pangan yang termasuk ke dalam kategori rendah mengakibatkan rumahtangga tersebut kurang mampu mengkonsumsi pangan yang bergizi karena tidak memiliki pengetahuan mengenai pangan dan gizi pada berbagai jenis bahan pangan. Selain itu, pengelola pangan rumahtangga juga tidak memiliki strategi untuk dapat mengakses pangan gizi tinggi dengan anggaran yang sesuai untuk pangan. Tingkat pendapatan rumahtangga yang termasuk ke
59
dalam kategori rendah juga turut mengakibatkan rumahtangga tersebut menjadi tidak lebih tahan pangan. Hal tersebut terjadi karena pendapatan yang diperoleh rumahtangga tersebut tidak hanya digunakan untuk pangan tetapi juga digunakan untuk non pangan. Kebutuhan non pangan yang meningkat berdampak pada penurunan anggaran pangan yang pada akhirnya menurun juga aksesnya terhadap berbagai jenis pangan. 5.5 Upaya Rumahtangga Mengatasi Kekurangan Pangan Setiap
rumahtangga
memiliki
upaya
tersendiri
untuk
mengatasi
kekurangan pangan. Tabel 19. menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh RTKP yang ”lebih tidak tahan pangan” dalam mengatasi kekurangan pangan dari yang paling sering hingga jarang dilakukan adalah dengan mengutang ke warung, meminjam uang, membeli makanan yang murah, meminta ke saudara, dan bekerja lebih keras. Berbeda dengan RTKP, pada RTKW yang “lebih tidak tahan pangan” upaya yang dilakukan dari yang paling sering hingga jarang dilakukan untuk mengatasi kekurangan pangan adalah dengan meminjam uang, meminta ke saudara, mengutang ke warung, membeli makanan yang murah, bekerja lebih keras, mengurangi makanan jajanan, dan mengurangi frekuensi makan. Tidak semua rumahtangga yang “lebih tidak tahan pangan” di lokasi penelitian melakukan upaya tersebut karena ada beberapa rumahtangga yang “lebih tidak tahan pangan” belum pernah mengalami kekurangan pangan sehingga tidak sampai melakukan upaya-upaya tersebut. Upaya untuk mengatasi kekurangan pangan yang paling sering dilakukan RTKP yang “lebih tidak tahan pangan” sebesar 36 persen adalah dengan mengutang ke warung sedangkan pada RTKW yang “lebih tidak tahan pangan” sebesar 28,6 persen adalah dengan meminjam uang. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa RTKP yang “lebih tidak tahan pangan” lebih senang mengutang ke warung dan langsung mendapatkan jenis bahan pangan yang diinginkan sedangkan pada RTKW yang “lebih tidak tahan pangan” lebih senang meminjam uang karena dengan meminjam uang dapat membuat anggaran untuk pangan yang sesuai dengan pinjaman uang yang diperoleh.
60
Tabel 19. Upaya Rumahtangga dalam Mengatasi Kekurangan Pangan Berdasarkan Rumahtangga yang lebih tidak tahan pangan Upaya Rumah Tangga Mengatasi Kekurangan Pangan Membeli makanan yang murah Meminjam uang Mengutang ke warung Meminta ke saudara Mengurangi makanan jajanan Mengurangi frekuensi makan Bekerja lebih keras Tidak Melakukan apa-apa
RTKP n = 28 Jumlah Persentase (orang) (%) 7 14,6 16 33 17 36 4 8 0 0 0 0 1 2,1 3 6,3
RTKW n = 13 Jumlah Persentase (upaya) (%) 3 10,7 8 28,6 5 17,8 6 21,4 1 3,6 1 3,6 3 10,7 1 3,6
Tabel 20 menunjukkan bahwa strategi yang dilakukan oleh RTKP dan RTKW untuk mengatasi kekurangan pangan berbeda-beda. Pada RTKP, sebesar 15,9 persen rumahtangga melakukan strategi meminjam uang dan mengutang ke warung sedangkan pada RTKW, sebesar 20,8 persen rumahtangga melakukan strategi meminjam uang dan meminta ke saudara. Baik RTKP maupun RTKW sama-sama mempunyai strategi dengan meminjam uang karena strategi tersebut paling mudah untuk dilakukan. Peminjaman uang umumnya kepada bank keliling yang setiap hari berkeliling di wilayah Jembatan Serong. Jika meminjam kepada tetangga atau saudara kondisi keuangannya sama sehingga meminjam kepada bank keliling. Pengembalian uang ke bank keliling dilakukan dengan cara mengangsurnya setiap hari hingga hutangnya lunas. Besaran angsurannya adalah Rp 2.000/hari. Jika yang meminjam tidak memiliki uang maka bisa ’libur’ mengangsur tetapi di hari berikutnya dilakukan pembayaran dua kali Meminjam uang, membeli makanan yang murah, dan mengutang ke warung merupakan strategi lain yang dilakukan oleh RTKP dan RTKW. Sebesar 2,8 persen RTKP dan 8,3 persen RTKW yang melakukan strategi tersebut. Membeli makanan murah, yaitu dengan membeli sembako murah di ketua RT (Rukun Tetangga) yang berasal dari kantor kepala desa. Sembako murah tersebut berupa beras miskin (raskin) yang disubsidi oleh pemerintah. Sembako murah ini hanya diperuntukkan bagi rumahtangga yang kurang mampu mengakses pangan pokok dan setiap rumahtangga mendapatkan kesempatan membeli sembako murah ditentukan banyaknya beras yang akan dibeli agar rumahtangga lainnya
61
yang kurang mampu dapat memperoleh pangan pokok tersebut. Selain itu, terdapat rumahtangga yang tidak melakukan strategi untuk mengatasi kekurangan pangan karena belum pernah mengalami kondisi kekurangan pangan. Sebesar 30,4 persen RTKP dan 29,2 persen RTKW tidak melakukan strategi apapun. Tabel 20. Sebaran Jumlah dan Persentase Rumahtangga Berdasarkan Strategi Rumahtangga Mengatasi Kekurangan Pangan, Komunitas Jembatan Serong, 2010 5.6 Ikhtisar Strategi Rumahtangga Mengatasi Kekurangan Pangan Membeli makanan yang murah Meminjam uang Mengutang ke warung Meminta ke saudara Bekerja lebih keras Menabung Pemberian dari anak/saudara Meminjam uang dan meminta ke saudara Meminjam uang dan mengutang ke warung Meminjam uang, mengutang ke warung, dan meminta ke saudara Meminjam uang, mengutang ke warung, meminta ke saudara, mengurangi makanan jajanan, mengurangi frekuensi makan Meminjam uang dan membeli makanan yang murah Meminjam uang, membeli makanan yang murah, dan mengutang ke warung Meminjam uang, mengutang ke warung, dan bekerja lebih keras Membeli makanan yang murah dan bekerja lebih keras Membeli makanan murah dan mengutang ke warung Mengutang ke warung dan meminta ke saudara Mengutang ke warung dan bekerja lebih keras Meminta ke saudara dan bekerja lebih keras Meminta ke saudara dan pemberian anak/saudara Tidak melakukan apa-apa Total
RTKP Jumlah Persentase (rumahtangga) (%) 6 8,7 2 2,9 2 2,9 1 1,5 1 1,5 1 1,5 1 1,5
RTKW Jumlah Persentase (rumahtangga) (%) 0 0 1 4,2 2 8,3 1 4,2 0 0 0 0 0 0
3
4,3
5
20,8
11
15,9
2
8,3
4
5,7
0
0
0
0
1
4,2
3
4,3
0
0
2
2,8
2
8,3
1
1,5
0
0
1
1,5
1
4,2
2
2,9
0
0
5
7,2
0
0
1
1,5
0
0
0
0
2
8,3
1 21 69
1,5 30,4 100
0 7 24
0 29,2 100
62
Tingkat ketahanan pangan rumahtangga Komunitas Jembatan Serong termasuk ke dalam kategori “tahan pangan”. Hal tersebut dikarenakan persentase rumahtangga yang tingkat ketahanan pangannya termasuk ke dalam kategori tahan pangan lebih banyak dibandingkan dengan persentase rumahtangga yang tingkat ketahanan pangannya termasuk ke dalam kategori lebih tidak tahan pangan. Jika dilihat berdasarkan tipe rumahtangga, tingkat ketahanan pangan RTKP berbeda dengan tingkat ketahanan pangan RTKW, dimana tingkat ketahanan pangan RTKP termasuk ke dalam kategori “tahan pangan” sedangkan tingkat ketahanan pangan RTKW termasuk ke dalam kategori “lebih tidak tahan pangan”.
Perbedaan tingkat ketahanan pangan tersebut tidak menimbulkan
ketimpangan ketahanan pangan. Dalam hal ini, ketimpangan ketahanan pangan adalah kondisi kurang terpenuhinya pangan yang tercermin dari tidak meratanya jumlah pangan yang tersedia, distribusi, dan konsumsi pangan. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diketahui bahwa tingkat ketahanan pangan RTKP sama dengan tingkat ketahanan pangan RTKW. Hasil perhitungan Chi Square menunjukkan bahwa χ20 (χ hitung = 1,034) lebih kecil daripada χ2 (χ tabel = 3,84). Sesuai dengan hipotesa uji, jika χ hitung lebih kecil daripada χ tabel maka H0 diterima, artinya tingkat ketahanan pangan RTKP sama dengan tingkat ketahanan pangan RTKW. Oleh karena itu, tidak terjadi ketimpangan ketahanan pangan di kedua rumahtangga tersebut. Setiap
rumahtangga
memiliki
upaya
tersendiri
untuk
mengatasi
kekurangan pangan. Upaya yang dilakukan RTKP ”lebih tidak tahan pangan” dalam mengatasi kekurangan pangan dari yang paling sering hingga jarang dilakukan adalah dengan mengutang ke warung, meminjam uang, membeli makanan yang murah, meminta ke saudara, dan bekerja lebih keras. Berbeda dengan RTKP, pada RTKW yang “lebih tidak tahan pangan” upaya yang dilakukan dari yang paling sering hingga jarang dilakukan untuk mengatasi kekurangan pangan adalah dengan meminjam uang, meminta ke saudara, mengutang ke warung, membeli makanan yang murah, bekerja lebih keras, mengurangi makanan jajanan, dan mengurangi frekuensi makan. Tidak semua rumahtangga yang “lebih tidak tahan pangan” di lokasi penelitian melakukan upaya tersebut karena ada beberapa rumahtangga yang “lebih tidak tahan pangan”
63
belum pernah mengalami kekurangan pangan sehingga tidak sampai melakukan upaya-upaya tersebut. Strategi yang dilakukan oleh RTKP dan RTKW untuk mengatasi kekurangan pangan berbeda-beda. Pada RTKP, strategi yang sering dilakukan dengan meminjam uang dan mengutang ke warung sedangkan pada RTKW strategi yang sering dilakukan dengan meminjam uang dan meminta ke saudara. Umumnya mereka meminjam uang kepada bank keliling. Menurut mereka, peminjaman uang kepada bank keliling merupakan upaya yag mudah dan cepat untuk mengatasi kekurangan pangan mengingat kondisi tetangga dan saudara yang sama dengan kondisinya. Strategi lain yang dilakukan oleh RTKP dan RTKW adalah dengan meminjam uang, membeli makanan yang murah, dan mengutang ke warung. Membeli makanan murah, yaitu dengan membeli sembako murah di ketua RT (Rukun Tetangga) yang berasal dari kantor kepala desa. Membeli makanan yang murah dilakukan untuk menekan pengeluaran pangan pokok dan dapat dialokasikan untuk keperluan bahan pangan lainnya. Selain itu, terdapat rumahtangga yang tidak melakukan strategi untuk mengatasi kekurangan pangan karena belum pernah mengalami kondisi kekurangan pangan.