PEMBERIAN NEBULIZER DAN BATUK EFEKTIF TERHADAP STATUS PERNAFASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN CHRONIC OBSTRUKTIVE PULMONALY DISEAS DI RUANG ANGGREK 1 RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DISUSUN OLEH :
DESI AISYARINI NIM. P 13 076
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
PEMBERIAN NEBULIZER DAN BATUK EFEKTIF TERHADAP STATUS PERNAFASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN CHRONIC OBSTRUKTIVE PULMONALY DISEAS DI RUANG ANGGREK 1 RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
DESI AISYARINI NIM. P 13 076
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
i
ii
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan Judul “Pemberian
Nebulizer dan Batuk Efektif Terhadap Status
Pernafasan pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan Chronic Obstruktive Pulmonaly Deases di Ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penilis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku Ketua STIKes yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 2. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Prodi Studi DIII Keperawtan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 3. Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII Keperawtan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 4. Ns. Anisa Cindy Nurul A, M.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. iv
5. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku dosen penguji I yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 6. Ns. Anisa Cindy Nurul A, M.Kep, selaku dosen penguji II yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 7. Semua dosen Progran Studi DIII Keperawtan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memeberikan bimbingan dengan sabar dan wawasanya serta ilmu yang bermanfaat. 8. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 9. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta 3A maupun 3B, teman-teman Fredi’s and Bandy’s Family dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin. Surakarta, Mei 2016 Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................1 B. Tujuan Pnulisan ................................................................................5 C. Manfaat ............................................................................................6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori .................................................................................... 7 B. Penyakit Paru Obstruksi Kronis ........................................................ 7 C. Asuhan Keperawatan ....................................................................... 16 D. Nebulizer ......................................................................................... 25 E. Batuk Efektif ..................................................................................... 28 F. Status Pernafasan .............................................................................. 30
vi
G. Kerangka Teori ................................................................................ 37 BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek Aplikasi Riset ...................................................................... 38 B. Tempat dan Waktu ........................................................................... 38 C. Media dan Alat ................................................................................ 38 D. Prosedur Tindakan .......................................................................... 40 E. Alat Ukur Evaluasi Dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset ...... 43 BAB IV LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien ................................................................................. 45 B. Pengkajian ........................................................................................ 46 C. Perumusan masalah keperawatan ..................................................... 54 D. Perancanaan ...................................................................................... 56 E. Implementasi ..................................................................................... 57 F. Evaluasi ............................................................................................. 63 BAB V PEMBAHASAN A. Pengkajian ........................................................................................ 67 B. Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 72 C. Perencanaan ...................................................................................... 77 D. Implementasi .................................................................................... 82 E. Evaluasi ............................................................................................. 87
vii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................................................... 92 B. Saran ................................................................................................. 96 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL 1 Tabel 1 Kecepatan Respiratory Rate............................................... 44
ix
DAFTAR GAMBAR
1 Gambar 1 Kerangka Teori ............................................................... 37
x
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1
USULAN JUDUL
LAMPIRAN 2
LEMBAR KONSULTASI
LAMPIRAN 3
SURAT PERNYATAAN
LAMPIRAN 4
JURNAL
LAMPIRAN 5
ASUHAN KEPERAWATAN
LAMPIRAN 6
LOG BOOK
LAMPIRAN 7
PENDELEGASIAN
LAMPIRAN 8
LEMBAR OBSERVASI
LAMPIRAN 9
SOP NEBULIZER, BATUK EFEKTIF DAN STATUS PERNAFASAN
LAMPIRAN 10
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruksi kronis merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia saat ini tidak hanya bagi negara maju namun juga di negara berkembang (Helmi, dkk 2013). Pada tahun 2002 jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik memiliki angka prevalens (6,3%). Angka bagi masing-masing negara berkisar (3,5-6,7%). Negara dengan angka terkecil adalah Hongkong dan Singapura (3,5%), sedangkan negara dengan angka terbesar adalah Vietnam (6,7%). Indonesia memiliki angka angka (5,6%). Pada tahun 2008 PPOK menjadi salah satu penyakit dengan angka morbiditas yang tinggi di Selandia Baru pada tahun 2012 dengan proporsi (14%) penduduk usia 40 tahun ke atas dan pada tahun berikutnya diperkirakan akan mengalami kenaikan (WHO, 2013). Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Tengah, Jawa Barat,Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukan PPOK berada diurutan pertama dengan angka 35%. Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Yogyakarta menyatakan PPOK menduduki peringkat ke-4
1
2
penyebab kematian di Indonesia. Sebanyak (10%) penduduk usia 40 tahun keatas menderita PPOK (WHO 2010). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pumonaly Disease (COPD) adalah penyakit yang dapat diobati dan dicegah yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon peradangan yang abnormal dari paru terhadap udara yang berbahaya yang mengakibatkan penyempitan dari saluran udara, hipersekresi lendir, dan perubahan dalam pembuluh darah paru (Brunner & Suddarth, 2002). Penyakit Paru Obstruksi
Kronis sering ditandai oleh sekresi yang sangat banyak dan sekresi tersebut harus di keluarkan untuk mencegah komplikasi paru. PPOK atau COPD merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan presisten dari jalan nafas di dalam paru (Murwani, 2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pumonaly Disease (COPD) merupakan keadaan yang ditandai dengan kelemahan kemampuan untuk bernapas, mereka yang menderita COPD akan menanggung akibat dari kurangnya oksigen. Penurunan kadar oksigen dalam sirkulasi dan jaringan tubuh, menempatkan pasien pada risiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius lainnya. Bila COPD menunjukkan keadaan ketidak seimbangan antara perbaikan paru dan mekanisme pertahanan diri menyebabkan fibrosis jalan nafas perifer, sehingga rusaknya struktur
3
bronkiolus dan melebarnya alveoli yang nantinya menyebabkan meningkatnya tahanan
dijalan
napas
perifer,
akhirnya
terjadi
obstruksi
sehingga
memperberat penyempitan jalan napas akibat adanya edema dan hipersekresi mucus (Brunner & Suddarth, 2002). Pada asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronis akan muncul masalah yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang disebabkan oleh hipersekresi, pasien mengalami batuk produktif kronik, sesak nafas, intoleransi aktifitas karena suplei oksigen terganggu, mengi (Francis, 2008). Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka dilakukan Intervensi keperawatan yang dilaksanakan pada pasien Penyakit paru obstruksi kronis yaitu membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara, pengobatan simtomatik (lihat tanda dan gejala yang muncul), sesak nafas diberi posisi yang nyaman semi fowler, dehidrasi diberi minum yang cukup, penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul, mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi jumlah udara yang terperangkap, memberi penjelasan tentang teknik-teknik relaksasi dan cara untuk menyimpan energi (Padila, 2012). Salah satu intervensi keperawatan yang dilaksanakan pada pasien PPOK yaitu mengeluarkan sekret agar saluran pernafasan kembali efektif. Salah satunya yaitu tindakan yang bisa di laksanakan klien untuk mengeluarkan sekret yaitu terapi nebulizer dan teknik terapi batuk efektif (Pranowo, 2008).
4
Nebulasi adalah salah satu terapi inhalasi dengan menggunakan alat bernama nebulizer. Alat ini mengubah cairan menjadi droplet aerosol sehingga dapat dihirup oleh pasien. Obat yang digunakan untuk nebulizer dapat berupa solusio atau suspensi (Tanto, 2014). Nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara pemberian obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut terlebih dahulu dipecahkan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol atau humidifikasi. Tujuan dari pemberian nebulizer yaitu rileksasi dari psasme bronchial, mengencerkan sekret melancarkan jalan nafas, melembabka saluran pernafasan (Purnamadyawati, 2000). Tehnik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah untuk meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek samping dari retensi sekresi seperti pneumonia, atelektasis dan demam. Dengan batuk efektif pasien tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan sekret (Pranawo, 2008). Caranya adalah sebelum dilakukan batuk, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak. Setelah itu dianjurkan untuk inspirasi dalam. Hal ini dilakukan selama dua kali. Kemudian setelah inspirasi yang ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat (Pranowo, 2008). Berdasarkan berbagai data dan informasi di atas maka penulis tertarik untuk melakukan studi kasus tentang pemberian nebulizer dan batuk efektif
5
pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis, karena pada kasus ini pasien mengalami batuk produktif dan peningkatan frekuensi infeksi saluran pernafasan bawah. Pada dasarnya jika sputum tertumpuk maka akan terjadi pengumpalan sekresi pernafasan pada area jalan nafas dan paru-paru serta menutup sebagian jalan udara yang kecil sehingga menyebabkan ventilasi menjadi tidak adekuat dan gangguan pernafasan, maka tindakan yang harus dilakukan adalah nebulizer dan batuk efektif (Pranowo, 2008). B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mengaplikasikan tindakan nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pada pasien PPOK 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan PPOK b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan PPOK c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien dengan PPOK d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan PPOK e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan PPOK f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien PPOK
6
C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Institusi Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam manfaat pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien PPOK 2. Bagi Tenaga Kesehatan Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam manfaat pemberian nebulizer dan batuk efektif yang pada pasien yang mengalami penyakit PPOK sehingga perawat mampu memberikan tindakan yang tepat kepada pasien. 3. Bagi Masyarakat Sebagai tambahan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang manfaat pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien PPOK 4. Bagi Penulis Menambah
pengetahuan
peneliti
tentang
masalah
keperawatan
oksigenisasi dan merupakan suatu pengalaman baru bagi penulis atas informasi yang diperoleh selama penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik a. Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah keadaan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. keterbatasan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya (Tanto, 2014). Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK/COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan PPOK adalah asma bronchitis, bronchitis kronis, dan emfisema (Soemantri, 2007). b. Klasifikasi 1) Bronkitis kronis Adanya gangguan klinis yang ditandai dengan hiperproduksi mukus dari percabangan bronkus dengan pencerminan batuk yang menahun. Simtom tersebut terus terdapat setiap hari selama 2
7
8
tahun berturut-turut. Hal ini terdapat pada TBC paru, tumor paru dan abses paru (Murwani, 2011). 2) Empisema Adanya kelainan paru dengan pelebaran abnormal dari ruang udara distal dari bronkiolis terminal yang disertai dengan penebalan dan kerusakan di dinding alveoli (Murwani, 2011). 3) Bronkitis empisema Adalah campuran bronkitis menahun dan empisema (Murwani, 2011). 4) Asma kronis dan bronkitis asmatis a) Asma
menahun
pada
asma
bronkial
menahun
yang
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. b) Bronkitis asmatis adalah bronkitis yang menahun kemudian menunjukkan tanda-tanda hiperaktifitas bronkus, yang di tandai dengan sesak nafas dan wheezing (Murwani, 2011). 5) Penyakit TBC yang berkembang menjadi PPOM (Murwani, 2011). c. Etiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronis disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus pada laki-laki dengan usia antara 30 sampai 40 tahun paling banyak menderita PPOK (Padila, 2012).
9
1) Usia PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk perkeculian yang jarang dari pernyataan umum ini seringkali berhubungan dengan sifat yang terkait dengan defisiensi bawaan. Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan seseorang mengalami emfisiema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko menjadi semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008). 2) Merokok Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Diduga bahwa sekitar 20% orang yang merokok akan mengalami PPOK, dengan resiko perseorangan meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah rokok yang dihisapnya. Mengenai merokok, merokok
akan
menekan
aktivitas
sel-sel
pemangsa
dan
mempengaruhi mekanisme pembersihan siliaris dari trakus respiratorius, yaitu berfungsi untuk menjaga saluran pernafasan bebas dari iritan, bakteri dan benda asing lainya yang terhirup. Jumlah yang diisap oleh seseorang diukur dengan istilah pack years, Satu pack years = menghisap 20 batang rokok per hari selama satu tahun. Dengan demikian, seseorang yang merokok 40 batang rokok per hari selama satu tahun atau mereka yang
10
merokok 20 batang rokok selama dua tahun akan memiliki akumulasi yang ekuivalen dengan 2 pack years (Francis, 2008). 3) Latar belakang genetik dan keluarga Telah ditemukan keterkaitan keluarga yang lemah, tidak seperti pada asma di riwayat asma sebelumnya di dalam keluarga sangat dipertimbangankan sebagai faktor resiko yang penting. (Francis, 2008). d. Manifestasi klinis Menurut Padila (2012) manifestasi klinis meliputi : 1) Batuk kronis 2) Sputum yang sangat produktif 3) mudah terkena iritasi oleh iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi. 4) Sesak nafas 5) Terdapat otot bantu pernafasan 6) Hipoksia dan hiperkapnea 7) Takipnea e. Patofisiologi Menurut Morton,dkk, (2012) patofisiologi PPOK : Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologis berikut biasanya terjadi secara berurutan: hipersekesi mukus, disfungsi sillia, keterbatasan aliran udara, hiperinflanasi pulmonal, abnormalitas
11
pertukuran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas perifer menjadi tempat utama obstruksi pada pasien PPOK. Perubahan struktural dinding jalan nafas adalah penyebab terpenting peningkatan tahanan jalan nafas perifer. Perubahan inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh abnormalitas ini dapat terjadi selama beberapa tahun sebelum abnomalitas lain terjadi. Keterbatasan aliran udara ekspirsi adalah temuan penting pada PPOK. Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi kuat dalam satu detik (forced expiratory volume in 1 second, FEV 1) dan kapasitas vital kuat (forced vital capacity, FPC) menurun, hal ini berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas, penurunan kelekatan alveolar dan penurunan recoil elastis paru. Sering kali tanda pertama terjadi keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio FEV1 pasca bronkodilator kurang dari 80% dari nilai prediksi yang dikombinasikan. f. Komplikasi Menurut Muwarni (2011) komplikasi PPOK : 1) Kegagalan respirasi akibat sesak nafas atau dispnea. 2) Kardiovaskuler yaitu kor pulmonal aritmia jantung. 3) Ulkus peptikum.
12
4) PPOM umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu yang lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari. 5) Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi dan kematian mendadak karena aritmia jantung. g. Penatalaksanaan 1) Penatalaksanaan farmakologi a) Bronkodilator Sesak nafas yang memburuk biasanya dapat ditangani dengan penambahan bronkodilator kerja-singkat biasa maupun dengan meningkatkan frekuensi penggunaannya. Penggunaan nebulezier untuk memberikan pengobatan inhalasi secara rutin digunakan di rumah sakit, walaupun demikian jika pasien mampun mempertahankan tehnik inhalasi yang baik dengan menggunakan spacer bervolume besar, maka metode ini telah terbukti sama efektifnya dengan terapi nebulisasi (Francis, 2008). b) Antibiotik Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK, dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada kebijakan lokal, terapi secara umum berkisar pada penggunaan yang disukai antara amoksisilin, klaritromisin, atau trimetopri.
13
Biasanya lama terapi tujuh hari sudah mencukupi (Francis, 2008). c) Indikasi oksigen Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek dengan ekserbasi akut, dan serangan akut pada asma (Murwani, 2011). 2) Penatalaksanaan non farmakologi a) Aktivitas olahraga Program aktivitas olahraga untuk PPOK dapat terdiri atas sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan diatur waktunya, dan frekuensinya dapat berkisar dari setiap hari sampai setiap minggu (Morton,dkk, 2012). b) Konseling nutrisi Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden
malnutrisi
bervariasi
sesuai
dengan
abnormalitas pertukaran gas (Morton,dkk, 2012).
derajat
14
c) Penyuluhan Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK dan memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi konseling singkat
untuk
mendorong
perokok
berhenti
merokok
menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai 10% (Morton,dkk, 2012). 3) Pemeriksaan diagnostik a) Uji fungsi paru Bisa menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara pada kasus PPOK merupakan hal yang paling penting secara diagnostik. Hal ini biasanya dilakukan menggunakan laju aliran ekspirasi puncak PEF. Pada beberapa kasus dimana PPOK dicurigai, perlu dipertimbangkan untuk mengunakan peak expiratory flow pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat volume keluaran yang lebih kecil dengan menyediakan skala yang tepat untuk akurasi yang lebih baik. Hal ini sangat berguna jika sebelumnya peak expiratory flow dewasa menunjukkan angka yang rendah dan berubah-rubah atau jika pasien mengalami kesulitan merapatkan mulut disekitar mouth piece pada peak expiratory flow dewasa. Penting untuk dicatat bahwa, sementara nilai laju aliran ekspirasi puncak yang
15
normal saja tidak dapat menyingkirkan diagnosis PPOK, nilai FEV (volume udara yang dapat diekspirasi dalam waktu standar selama tindakan FVC) normal yang diukur dengan spirometer akan menyikirkan diagnosis PPOK (Francis, 2008). b) Spirometri Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji reversibilitas digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat. Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan hasil spirometri yang di dapat saat episode debilitas respirasi dengan hasil yang didapat setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus asma uji reversibilitas akan menunjukkan bahwa terjadi perbaikan setelah pemulihan, data numerik yang diperoleh dapat berada diantara batas normal atas dan bawah. Hal ini tidak khas pada PPOK dimana data akan menunjukkan terjadinya sedikit perbaikan (Francis, 2008). d) Pemeriksaan laboratorium Menurut Murwani (2012) pemeriksaan laboratorium pada PPOK : (1) Leukosit (2) Eritrosit (3) Hemoglobin (4) BBS atau LED
16
(5) Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen) (6) Semuanya sama dengan penyakit primernya (7) Photo thoraks Menurut Murwani (2012) photo thoraks meliputi : (1) Bayangan lobus (2) Corakan paru bertambah (bronkitis akut) (3) Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema) 2. Asuhan keperawatan a. Pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan pasien, menentukan masalah keperawatan dan kesehatan pasien, menilai keadaan kesehatan pasien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah – langkah berikutnya (Dermawan, 2012). Pengkajian yang di lakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis: 1) Berapa lama pasien mengalami kesulitan pernafasaan 2) Kapan gejala muncul
17
3) Batasan terhadap toleransi aktifitas 4) Makanan dan pola tidur 5) Pengetahuan pasien tentang penyakit yang dialaminya Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan: 1) Frekuensi nadi dan pernafasan 2) Sianosis 3) Pembesaran vena leher 4) Edema perifer 5) Warna, jumlah, dan konsistensi sputum 6) Tingkat kegelisahan (Smeltzer dan Bare, 2002) b. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial yang merupakan dasar untuk memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang
merupakan
tanggung
jawab
perawat.
Tujuan
adalah
mengarahkan rencana asuhan keperawatan untuk membantu klien dan keluarga beradaptasi terhadap penyakit dan menghilangkan masalah keperawatan kesehatan (Dermawan, 2012). Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul diagnosa keperawatan, maka perawat harus melakukan prioritas diagnosa keperawatan menurut kebutuhan dasar manusia. Manusia mempunyai
18
kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting, bermaanfaat, atau diperlukan untuk menjaga homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari berbagi segi. Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang Kebutuhan Dasar Manusia Maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori kebutuhan dasar, yakni: 1) Kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam hierarki maslow, kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan hidup. Manusia memiliki delapan macam kebutuhan, yaitu: kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine, kebutuhan istirahat dan tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan temperatur tubuh, kebutuhan seksual. 2) Kebutuhan keselamatan dan rasa aman 3) Kebutuhan rasa cinta 4) Kebutuhan harga diri 5) Kebutuhan aktualisasi diri (Mubarak dan Cahyatin, 2008).
19
Berdasarkan
pada
semua
data
pengkajian,
diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada pasien PPOK menurut Smeltzer dan Bare (2002) dapat mencakup yang berikut ini: 1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi. 2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal. 3) Resiko tinggi infeksi pernafasan behubungan dengan akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif. 4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif ventilasi dan oksigen. 5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan pola pernafasan tidak efektif. c. Intervensi keperawatan Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan, menentukan hasil akhir perawataan klien, mengidentifikasi tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional ilmiahnya, dan menetapkan rencana asuhan keperawatan, diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan atau mengancam jiwa. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi fokus keperawatan kepada pasien atau
20
kelompok, untuk membedakan tangguang jawab perawat dengan profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan evaluasi keperawatan, untuk menyediakan kriteria dan klasifikasi pasien (Dermawan, 2012). 1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi. Intervensi keperawatan : a) Kaji keefektifan jalan nafas. Rasional : Bronkhospasme di deteksi ketika terdengar mengi saat di auskultasi dengan stetoskop. Peningkatan pembentukan mukus sejalan dengan penurunan aksi mukosiliaris menunjang penurunan lebih lanjut diameter. b) Kolaborasi untuk pemberian bronkhodilator Rasional : terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga dapat dibuang. Bronkhodilator yang dihirup sering ditambahkan ke dalam nebulizer untuk memberikan aksi bronkhodilator langsung pada jalan nafas, dengan demikian memperbaiki pertukaran gas. c) Lakukan fisioterapi dada Raional : Setelah inhalasi bronkodilator nebulizer, klien disarankan
untuk
mengencerkan
meminum
sekresi,
air
kemudian
putih
untuk
membatukkan
lebih dengan
21
ekspulsif atau postural drainase akan membantu dalam pengeluaran sekresi. Klien dibantu untuk melakukan hal ini dengan cara yang tidak membuatnnya keletihan. d) Kolaborasi untuk pemantauan analisis gas arteri Rasional : sebagai bahan evaluasi setelah melakukan intervensi. e) Kolaborasi pemberian oksigen via nasal Rasional : oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia. Perawat harus memantau menggunakan alat pemberian oksigen. Klien diinstruksikan tentang penggunaan oksigen yang tepat dan tentang bahaya peningkatan laju aliran oksigen tanpa ada arahan yang eksplisit dari perawat (Muttaqin, 2008). 2) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif. Intervensi keperawatan: a) Kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum Rasional : karakteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi. b) Atur posisi semi fowler Rasional : meningkatkan ekspansi dada. c) Ajarkan cara batuk efekti Rasional : batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran sekret yang melekat di jalan nafas.
22
d) Bantu klien latihan nafas dalam Rasional : ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan. e) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari kecuali tidak diindikasikan. Rasional: hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas. f) Kolaborasi pemberian mukolitik dan ekspektoran Rasional : menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru unuk memudahkan pembersihan. g) Kolaborasi pemberian kortikosteroid Rasional : menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa dan dinding bronkus (Muttaqin, 2008). 3) Resiko tinggi infeksi pernafasan berhubungan dengan akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif. Intevensi keperawatan: a) Kaji kemampuan batuk klien. Rasional : batuk yang diberikan dengan infeksi bronkhial melalui siklus yang ganas dengan trauma dan kerusakan pada paru
lebih
lanjut,
kemajuan
gejala,
peningkatan
bronkhospasme, dan peningkatan lebih lanjut terhadap
23
kerentanan infeksi bronkhial. Infeki menggangu fungsi paru dan merupakan penyebab umum gagal nafas pada klien dengan PPOK. b) Monitor adanya perubahan yang mengarah pada tanda-tanda infeksi penafasan Rasional: klien di instruksikan untuk melaporkan dengan segera jika sputum mengalami warna, karena pengeluaran sputum purulen atau perubahan karakter, warna, atau jumlah adalah tanda dari infeksi. c) Ajarkan latihan bernafas dan training penafasan Rasional : latihan bernafas, sebagian besar individu dengan PPOK bernafas dalam dari dada bagian atas dengan cara yang cepat dan tidak efisien. Jenis bernafas dengan dada atas ini dapat diubah menjadi bernafas diafragmatik dengan latihan. Training pernafasan diafragmatik mengurangi frekuensi pernafasan, meningkatkan ventilasi alveolar, dan kadang membantu mengeluarkan udara sebanyak mungkin selama ekspiasi (Muttaqin, 2008). 4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufiensif ventilasi dan oksigenasi. Intervensi keperawatan:
24
a) Ajarkan
pasien
diagframatik
untuk
dengan
mengkoordinasikan
efektivitas
(misalnya
pernapasan berjalan
dan
membungkuk). Rasional : akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas. b) Berikan pasien dorongan untuk memulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan dan minum. Bahas tentang tindakan penghematan energi. Rasional : sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak namun perlu di dorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan. c) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan Rasional : memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawatan dirinya, membantu membangun harga diri dan menyampaikan untuk mengatasi di rumah (Smletzer dan Bare, 2002). 5) Intoleransi
aktifitas
berhubungan dengan akibat
hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif. Intervensi keperawatan: a) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
keletihan,
25
Rasional : menjadi dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya. b) Atur cara aktifitas klien sesuai kemampuan Rasional : klien dengan PPOM mengalami penurunan toleransi terhadap olahraga pada periode yang pasti dalam satu hari, hal ini terutama tampak nyata pada saat bangun di pagi hari, karena sekresi bronkhial dan edema menumpuk dalam paru selama malam hari ketika individu berbaring. c) Ajarkan latihan otot-otot pernafasan Rasional : setelah klien mempelajari pernafasan diafragmatik, suatu program pelatihan otot-otot penafasan dapat diberikan untuk membantu menguatkan otot-otot yang digunakan dalam benafas (Muttaqin, 2008). 3. Nebulizer Nebulasi adalah salah satu terapi inhalasi dengan menggunakan alat bernama nebulizer. Alat ini mengubah cairan menjadi droplet aerosol sehingga dapat dihirup oleh pasien. Obat yang digunakan untuk nebulizer dapat berupa solusio atau suspensi (Tanto, 2014). Nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara pemberian obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut terlebih dahulu dipecahkan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol atau humidifikasi (Purnamadyawati, 2000).
26
a. Tujuan pemberian nebulizer Menurut Purnamadyawati (2000) tujuan dari pemberian nebulizer antara lain : 1) Rileksasi dari spasme bronchial 2) Mengencerkan sekret 3) Melancarkan jalan nafas 4) Melembabkan saluran pernafasan b. Alat Menurut Tanto (2014) alat yang digunakan : 1) Nebulizer (umumnya nebulizer jet, dapat juga digunakan kompresor oksigen) 2) Masker, mouth piece, atau kanul trakea. 3) Konektor. 4) Chamber sebagai tempat penampungan obat. c. Bahan Menurut Tanto (2014) bahan yang digunakan : 1) Obat-obatan dalam bentuk solusio. Seperti : a) Beta-2 agonis : salbutamol solusio 2,5 mg/2cc, fenoterol solusio 100µg/ml. b) Antikolinergik : ipratropium bromida solusio 0,25 mg/ml. c) Deuretik,
antibiotik,
kartikosteroit.
anestesi
lokal,
surfaktan,
atau
27
d) Cairan salin normal. d. Indikasi Menurut Tanto (2014) : 1) Asma 2) PPOK 3) Fibrosis kristik 4) Bronkiektasis 5) Pneumonia pada pasien AIDS 6) Prosedur bronkoskopi 7) Obstruksi saluran nafas pada pasien dengan trakeostomi 8) Hipertensi pulmonal e. Prosedur Menurut Tanto (2014) prosedur pemberian nebulizer : 1) Siapkan alat dan bahan, pastikan nebulizer bekerja, konektor sudah tersambung ke chamber, dan pilihlah ukuran masker yang sesuai. Pastikan nebulizer sudah terpasang sumber listrik. 2) Masukkan obat kedalam chamber, tambahkan cairan salin normal bila diperlukan. 3) Pasangkan masker dengan ujung chamber sehingga menempel. 4) Nyalakan nebulizer. Apabila nebulizer bekerja dengan baik akan terlihat uap keluar dari masker.
28
5) Minta pasien untuk melakukan inspirasi dalam melalui masker selama uap keluar. 6) Tunggu sekitar 15-20 menit sampai uap habis. 7) Periksa respon pasien terhadap obat. 8) Apabila hendak mengulangi nebulisasi disankan pemberian jeda selama 15-20 menit. 4. Batuk Efektif Batuk adalah proteksi utama pasien terhadap akumulasi sekresi dalam bronki dan bronkiolus. Batuk diakibatkan oleh iritasi membran mukosa dimana saja dalam saluran pernafasan. Batuk hebat, berulang, atau tidak terkontrol yang tidak produktif akan sangat melelahkan dan berpotensi membahayakan. Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru terhadap setiap iritan yang kambuh secara konstan, tindakan yang bisa dilakukan untuk mobilisasi sputum secara mandiri yaitu dengan terapi batuk efektif (Smeltzer & Bare, 2002). Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar dan pasien dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal. Namun latihan ini hanya bisa dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama (kooperatif) (potter & perry, 2005). Pemberian latihan batuk efektif terutama pada infeksi saluran pernafasaan bawah yang berhubungan dengan akumulasi sekret pada jalan nafas yang sering diakibatkan oleh kemampuan batuk yang menurun
29
atau adanya nyeri sehingga pasien malas untuk melakukan batuk (Muttaqin, 2008). a. Tujuan Batuk efektif dilakukan untuk memobilisasi sekret dan mencegah efek samping
dari
penumpukan
sekret,
memobilisasi
sekret
dan
mengeluarkannya, mencegah komplikasi pernafasan atelektasis dan pneumonia, batuk tidak efektif dapat mengakibatkan efek yang merugikan pasien dengan penyakit paru-paru kronis berat, seperti kolaps saluran pernafasan, ruptur dingin alveoli dan pneumotoraks (Muttaqin, 2008). b. Prosedur Menurut Kusyati (2006) prosedur tindakan batuk efektif : 1) Setelah menggunakan pengobatan bronkodilator (jika diresepkan), tarik napas dalam lewat hidung dan tahan napas untuk beberapa detik. 2) Batuk 2 kali, batuk pertama untuk melepaskan mukus dan batuk kedua untuk mengeluarkan sekret. Jika klien merasa nyeri dada pada saat batuk, tekan dada dengan bantal. Tampung sekret pada sputum pot yang berisi lisol. 3) Untuk batuk menghembus, sedikit maju kedepan dan ekspirasi kuat dengan suara “hembusan”. Teknik ini menjaga jalan napas terbuka ketika sekresi bergerak ke atas dan keluar paru.
30
4) Inspirasi
dengan
napas
pendek
cepat
secara
bergantian
(menghirup) untuk mencegah mukus bergerak kembali ke jalan napas yang sempit. 5) Istirahat 6) Hindari batuk yang terlalu lama karena dapat menyebabkan kelelahan dan hipoksia. 5. Status Pernafasan Kemampuan hidup manusia bergantung pada kemampuan oksigen (O2) untuk mencapai sel-sel tubuh dan karbon dioksida (CO2). Pernafasan adalah mekanisme tubuh menggunakan pertukaran udara antara atmosfir dengan darah serta dengan sel (Potter & Perry, 2005). Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang keadaan intrakranial. Jika frekuensi nafasnya cepat (>28 kali permenit) dan tidak teratur, merupakan kadaan emergensi yang harus segera dilaporkan kepada dokter. Tetapi untuk tindakan awalnya dapat segera dinaikkan jumlah oksigen yang diberikan (Japardi, 2010). Frekuensi adalah gerakan pernafasan yang diatur oleh pusat pernafasan diotak, sedangkan aktivitas stimulus (rangsangan) dari karbon diogsida (CO2). Pada umumnya manusia mampu bernafas antara 12-20 kali per menit. Frekuensi pernafasan dapat dipengaruhi oleh penyakit atau keadaan sakit pada fungsi pernafasan (Potter & Perry, 2005).
31
a. Faktor Yang Mempengaruhi Karakter Pernafasan menurut Potter & Perry (2005) sebagai berikut : 1) Olahraga Olahraga meningkatkan frekuensi dan kedalaman untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk menambah oksigen. 2) Nyeri Akut Nyeri akut meningkatkan frekuensi dan kedalaman sebagai akibat dari stimulasi simpatik. Klien dapat memmperberat pergerakan dinding dada jika ada nyeri pada area dada atau abdomen. Nafas akan menjadi dangkal. 3) Ansietas Ansietas meningkatkan frekuensi dan kedalaman sebagai akibat stimulasi simpatik. 4) Merokok Merokok
kronik
mengubah
jalan
arus
udara
paru,
mengakibatkan peningkatan frekuensi. 5) Anemia Perubahan kadar hemoglobin menurunkan jumlah pembawa O2 dalam
darah.
Individu
bernafas
meningkatkan penghantaran O2.
dengan
cepat
untuk
32
6) Penyakit paru kronik Penyakit paru kronik mengakibatkan klien menggunakan otot leher, dinding dada, dan obdomen secara aktif untuk memaksa pengeluaran udara yang terperangkap dalam paru-paru. 7) Posisi Tubuh Postur tubuh yang lurus dan tegak, meningkatkan ekspansi penuh paru. Posisi yang bungkuk dan telungkup mengganggu pergerakan ventilasi. 8) Medikasi Analgesik narkotik dan sedatif menekan frekuensi dan kedalaman. Amfetamin dan kokain dapat meningkatkan frekuensi dan kedalaman. 9) Cedera Batang Otak Cedera pada batang otak mengganggu pusat pernafasan dan menghambat frekuensi dan irama pernafasan. b. Gangguan dalam pola nafas menurut Potter & Perry (2005) yaitu : 1) Bradipnea Frekuensi bernafas teratur namun lambat secara tidak normal (kurang dari 16 kali per menit) 2) Takipnea Frekuensi bernafas teratur namun cepat secara tidak normal (lebih dari 24 kali per menit)
33
3) Hiperapnea Pernafasan
sulit,
peningkatan
kedalaman,
peningkatan
frekuensi. Secara normal terjadi setelah olahraga. (lebih dari 24 kali per menit) 4) Apnea Pernafasan berhenti untuk beberapa detik. Penghentian persisten mengakibatkan henti nafas. 5) Hiperventilasi Frekuensi dan kedalaman pernafasan meningkat. Dapat terjadi hipokarbia. 6) Hipoventilasi Frekuensi
pernafasan
abnormal
dalam
kecepatan
dan
kedalaman. Ventilasi mungin mengalami depresi. Dapat terjadi hiperkarbia. 7) Pernafasan Cheyne-Stokes Frekuensi dan kedalaman tidak teratur, ditandai dengan periode apnea dan hiperventilasi yang berubah-ubah. Siklus pernafasan mulai dengan lambat, nafas dangkal yang meningkat secara perlahan sampai frekuensi dan kedalaman yang abnormal. Pola tersebut berbalik, bernafas lambat dan dangkal, klimaksnya pada apnea sebelum kembali bernafas.
34
8) Pernafasan Kussmaul Pernafasan dalam secara tidak normal dalam dan frekuensi meningkat. 9) Pernafasan Biot Pernafasan dangkal secara tidak normal untuk dua atau tiga nafas diikuti periode apnea yang tidak teratur. c. Pengkajian Pernafasan Pernafasan adalah tanda vital yang paling mudah dikaji, namun sering di ukur secara sembrono. Pengukuran yang akurat memerlukan observasi dan palpasi gerakan dinding dada (Potter & Perry, 2005). Perubahan karakter pernafasan yang tiba-tiba mungkin penting. Karena pernafasan berhubungan erat dengan berbagai sistem tubuh. Pengkajian pernafsan dapat sangat baik dilakukan segera setelah mengukur frekuensi nadi, dengan tangan perawat tetap di atas abdomen atau dada (Potter & Perry, 2005). 1) Prosedur Menurut Potter & Perry (2007) prosedur pengkajian pernafasan yaitu : a) Jaga agar posisi pasien tetap selama melakukan pengukuran kecepatan pernafasan. b) Amati dada atau abdomen pasien selama respirasi
35
c) Hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan ekshalasi di hitung sebagai satu pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme teratur, kalikan dua jumlah tadi. d) Jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas dalam 1 menit. Catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm). d. Menurut Doengoes (2000), gejala pernafasan pada PPOK : 1) Nafas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea) 2) Sulit bernafas 3) Rasa dada tertekan 4) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut setiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum dapat banyak sekali. 5) Batuk hilang timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif. 6) Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia atau iritan pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu (asap) misalnya asbes, debu batubara, serbuk gergaji. 7) Pengunaan oksigen pada malam hari atau terus-menerus. e. Tanda pernafasan pada PPOK 1) Pernafasan biasanya
cepat
dan lambat, fase
memanjang dengan mendengkur nafas bibir.
ekspirasi
36
2) Lebih memilih posisi tiga titik (tripot) untuk bernafas 3) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, melebarkan hidung. 4) Dada dapat terlihat hiperinflasi, gerakan diafragma minimal. 5) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi, menyebar, lembut, atau krekles lembab kasar, ronki mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan pada inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas. 6) Perkusi : hiperesonan pada area paru, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa. 7) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus. 8) Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku abu-abu keseluruhan, warna merah, atau pink puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
37
B. Kerangka Teori Gejala klinik -batuk kronik -dahak kronik - Sesak nafas
Faktor Merokok
Faktor Lingkungan -paparan asap atau polutan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pemeriksaan Fisik - Inspeksi Barrel chest Sela iga melebar Purse lips breathing Hipertrofi otot bantu napas - Auskultasi Fremitus melemah Mengi, ronkhi Ekspirasi memanjang - Perkusi Hipersonor
Faktor host -riwayat penyakit keluarga atau pasien
Penatalaksanaan -Diet/nutrisi -Olahraga -Farmakologis
Pem Penunjang - Spirometri FEV1/FVC - Foto toraks - Analisa gas darah - Lab darah rutin
Gambar 2.1 Status Kesehtan
Gambar 2.1 Kerangka Teori
COPD Assessment Test
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek Aplikasi Riset Subjek aplikasi riset ini adalah pemberian nebulizer dan batuk efektif pada Tn.A dengan Chronic Obstructive Pumonaly Disease (COPD) / Penyakit Paru Obstruksi kronik (PPOK) B. Tempat danWaktu Tempat yang digunakan adalah di Ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 11-13 Januari 2016. C. Media dan Alat yang digunakan 1. Nebulizer Alat yang digunakan : a. Tabung oksigen lengkap dengan flowmeter, humidifier b. Masker nebulizer c. Stetoskop d. Perlak pengalas e. Obat yang akan diberikan Jenis obat-obat : 1) Pulmicort
: kombinasi anti radang dengan obat yang
melonggarkan saluran pernafasan 2) NaCl
: mengencerkan dahak
38
39
3) Bisolvon Cair
: mengencerkan dahak
4) Atroven
: melonggarkan saluran nafas
5) Berotex
: melonggarkan saluran nafas
6) Inflamid
: untuk anti radang
7) Comboiven
: kombinasi untuk melonggarkan saluran nafas
8) Meptin
: melonggarkan saluran nafas
f. Spuit 2cc (sesuai dengan jumlah obat yang diberikan) g. Alat tulis 2. Batuk Efektif Alat yang digunakan : a. Sputum pot b. Lisol 2-3 % c. Handuk pengalas d. Peniti e. Bantal jika diperlukan f. Tissue g. Bengkok 3. Status pernafasan Alat yang digunakan : a. Jam arlogi b. Alat tulis D. Prosedur tindakan
40
1. Nebulizer a. Fase Orientasi 1) Memberi salam/ menyapa paisen 2) Memperkenalkan diri 3) Menjelaskan tujuan tindakan 4) Menjelaskan langkah prosedur 5) Menanyakan kesiapan pasien b. Fase kerja 1) Mencuci tangan 2) Mendekatkan alat-alat dengan klien 3) Memasang handscoon 4) Mendengarkan suara nafas menggunakan stetoskop dan memasang perlak pengalas 5) Mengambil tempat obat kemudian memasukkan obat kedalam tempat obat pada nebulizer 6) Memasang tutup adaptor, kemudian menyalakan dengan tombol ON 7) Memasang masker nebulizer pada hidung pasien 8) Menganjurkan pasien untuk menghirup uap keluar dari nebulizer melalui hidung dan keluar lewat mulut selama 10 menit 9) Mematikan nebulizer 10) Melepaskan masker
41
11) Mendengarkan lagi suara nafas dengan stetoskop 12) Membersihkan area sekitar mulut pasien dengan tissue 13) Membereskan alat 14) Mencuci tangan c. Fase Terminasi 1) Melakukan evaluasi tindakan 2) Menyampaikan rencana tindak lanjut 3) Berpamitan d. Penampilan 1) Melakukan komunikasi terapiutik selama tindakan 2) Ketelitian selama tindakan 3) Menjaga keamanan pasien 4) Menjaga keamanan perawat 2. Batuk Efektif a. Fase Orientasi 1) Mengucapkan salam 2) Memperkenalkan diri 3) Menjelaskan tujuan tindakan 4) Menjelaskan langkah prosedur 5) Menanyakan kesiapan pasien
b. Fase Kerja
42
1) Mencuci tangan 2) Memakai sarung tangan 3) Melakukan auskultasi pada area paru pada dada depan dan belakang, pasien diminta tarik nafas panjang 4) Memberikan air minum hangat 5) Mengatur posisi pasien dengan letak secret, pasien membungkuk dan memeluk bantal 6) Memasang handuk pada dada dan pengalas pada pangkuan 7) Melakukan clapping selama 3-5 menit pada area yang terdapat secret 8) Melakukan vibrasi pada saat ekshalasi selama 3 kali pada area terdapat sekret 9) Mengajarkan batuk efektif dan meminta pasien melakukanya 10) Menampung secret pada sputum pot 11) Memberikan pasien minum air hangat 12) Melepas sarung tangan 13) Mencuci tangan c. Terminasi 1) Melakukan evalusai 2) Menyampaikan rencana tindak lanjut 3) Berpamitan dengan pasien d. Penampilan
43
1) Ketenangan 2) Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan 3) Ketelitian E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset Alat ukur status pernafasan tidak di jelaskan di dalam jurnal normal penuh kecepatan pernafasan. Inspeksi dilakukan untuk mengevaluasi kecepatan pernafasan pasien. Karena kebanyakan orang tidak menyadari pernafasannya dan mendadak menjadi waspada terhadap pernafasannya dapat mengubah pola pernafasan normalnya, maka jangan memberitahu pasien ketika mengukur kecepatan pernafasannya. Untuk mengukur kecepatan pernafasan: 1. Jaga agar posisi pasien tetap selama melakukan pengukuran kecepatan pernafasan. 2. Amati dada atau abdomen pasien selama respirasi 3. Hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan ekshalasi dihitung sebagai satu pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme teratur, kalikan dua jumlah tadi. 4. Jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas dalam 1 menit. 5. Catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm).
44
Kecepatan Respiratory Rate Usia
Pernafasan (rpm)
Bayi
< 25 atau > 60
1-4 tahun
< 20 atau > 30
5-14 tahun
< 15 atau > 25
Dewasa 14 tahun atau lebih
≤ 11 atau > 24
Sumber : Nanda NIC NOC(2014) Tabel 3.2
BAB IV LAPORAN KASUS
Pada bab ini akan disampaikan studi kasus pada Tn.A selama tiga hari di ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Studi kasus yang dilakukan oleh penulis meliputi pengkajian, analisa data, diagnosa, intervensi, implementasi, evaluasi keperawatan. A. Identitas Pasien Pengkajian dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 07.45 WIB dengan metode alloanamnesa dan autoanamnesa. Dari wawancara tersebut didapatkan identitas pasien yaitu pasien dengan inisial Tn.A dengan usia 62 tahun, agama islam, pendidikan SMA, pekerjaan pedagang, alamat karangganyar, tanggal masuk 07 Januari 2016, merupakan pasien rujukan dari puskesmas Ngargoyoso karangganyar dengan diagnosa medis cronic obstruksi pelmonal disease, nomer register 01325720. Selain identitas pasien juga didapatkan identitas penanggung jawab pasien yaitu nama dengan inisial Tn.B, usia 26 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan swasta, alamat karangganyar, hubungan dengan pasien adalah anak ke tiga pasien.
45
46
B. Pengkajian 1.
Riwayat penyakit Sekarang Pada tanggal 07 Januari 2016 pasien masuk IGD jam 21.00 WIB. Pasien
merupakan
pasien
rujukan
dari
peskesmas
ngargoyoso
karangganyar. Pasien mengeluh batuk berdarah dengan dahak warna putih dan sesak nafas, di IGD pasien mendapat terapi nebulizer berotek 16 tetes : atroven 14 tetes, Nacl 2cc, infus Nacl 0,9 % 20 tetes per menit, O2 nasal kanul 3 liter, injeksi metil pretnisolon 62,8 gram/8 jam, ceftriaxon 2 gram/24 jam (skin test), asam traneksamat 1 gram/ 8 jam, N asetil sifein 3 x 1 200 mg. Pada tanggal 08 Januari 2016 jam 04.00 WIB pasien di pindah kebangsal anggrek 1. Pada tanggal 11 Januari 2016 jam 07.45 WIB saat pengkajian pasien mengatakan batuk berdahak, sulit untuk mengeluarkan dahak, pasien mengatakan masih sesak nafas, dada ampek, bila malam hari pasien sering terbangun karena sesak nafas dan suasana yang berisik. Pasien tampak batuk, terdapat suara tambahan wheezing, vasekuler melemah, pasien bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir, dan pasien tampak bernafas dengan otot bantu pernafasan, pasien tampak memakai O2 nasal kanul 2 lpm, pasien tampak lemah dan kelelahan, kantung mata sedikit hitam. Tangan kanan pasien terpasang infus NaCl 20 tetes per menit, dan dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah : 130/100 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila, Respiratori Rate : 29 x/menit.
47
2. Riwayat Penyakit Dahulu Dalam hasil pengkajian penulis mendapatkan riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan 1½ tahun yang lalu pernah dirawat dan operasi hernia di RSUD karangganyar, pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan makanan apapun. Pasien mengatakan batuk sudah 2 tahun. Sejak kelas 2 SD pasien mengatakan sudah mulai merokok dan berhenti merokok ±2 tahun. 3. Riwayat Kesehatan Keluarga Dalam riwayat kesehatan keluarga pasien mengatakan dalam keluarga tidak ada riwayat penyakit yang menular dan menurun seperti hipertensi, jantung, dan diabetus militus. Pasien memiliki satu kakak, pasien menikah dengan Ny. S dan memiliki empat anak dan tiga cucu. Pasien tinggal serumah dengan istri dan anak ketiga. Genogram :
Tn.A 62 th
48
Keterangan : : Laki-laki : Perempuan
: Garis keturunan -------
: Laki-laki meninggal
: Tinggal serumah : Pasien
: Perempuan meninggal
4.
Pola Kesehatan Fungsional Pola persepsi dan pemeliharaan diri, pasien mengatakan kesehatan itu sangat penting sehingga jika terdapat keluarga yang sakit segera memeriksakan diri ke puskesmas terdekat. Pola nutrisi metabolisme, sebelum sakit pasien mengatakan tinggi badan : 160 cm, berat badan : 46 kg, makan 3 x sehari dengan porsi 1 piring habis ada nasi, sayur, lauk, air putih 7 – 8 gelas sehari dan teh 1 gelas tiap pagi, tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tinggi badan : 160 cm, berat badan : 46 kg, IMT 17,96 (kurang), hemoglobin : 12,4 g/dl (kurang), albumin 3,5 u/L (normal), pasien mengatakan tidak mual dan muntah, pasien tampak tidak pucat dan konjungtiva tidak anemis, makan 3 x sehari dengan porsi 1 piring habis ada nasi, sayur, lauk, buah, air putih 6–7 gelas dan teh 1 gelas sehari, tidak ada keluhan. Pola eliminasi, pasien mengtakan sebelum sakit BAK 4–6 x/hari, warna kuning, tidak ada keluhan. BAB 1 kali sehari tiap pagi, dengan bentuk lunak dan bau khas, warna kuning kecoklatan, dan juga tidak ada
49
keluhan. Selama sakit pasien mengatakan BAK 4–5 x/hari, warna kuning, dan tidak ada keluhan. BAK 1 kali sehari pagi hari, dengan bentuk padat berbentuk dan bau khas, warna kuning kecoklatan, dan juga tidak ada keluhan. Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit pasien makan/minum, toileting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur, berpindah dan ambulasi secara mandiri. Selama sakit makan/minum mandiri, toileting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur, berpindah dan ambulasi dibantu orang lain. Pola istirhat tidur, sebelum sakit pasien mengatakan pasien biasa tidur siang 2 jam dan pasien tidur malam selama 7–8 jam, tidak ada keluhan tidur dan saat bangun terasa nyaman. Selama sakit pasien mengatakan tidur siang 1 jam dan tidur malam 3–4 jam, kantung mata hitam, pasien tampak lemas, pasien sering terbangun karena sesak nafas yang dirasakan dan suasana yang berisik. Pola kognitif dan perseptual, sebelum sakit pasien mengatakan dapat berbicara dengan jelas, tidak ada gangguan penglihatan dan pendengaran. Selama sakit pasien mengatakan dapat berbicara dengan baik, tidak ada gangguan penglihatan, tetapi ada gangguan pada pendengaran telinga kanan sejak ±5 tahun karna kemasukan air. Pola persepsi konsep diri, pada gambaran diri pasien mengatakan optimis dengan kondisi tubuhnya saat ini. Ideal diri pasien mengatakan
50
ingin cepat sembuh dan cepat pulang. Harga diri pasien mengatakan merasa dihargai dan disayangi oleh istri dan anak-anaknya. Peran diri, pasien mengatakan tidak bisa menjalankan tugas sebagai seorang suami selama sakit. Identitas diri, pasien mengatakan seorang ayah dan kakek, pasien memilik 4 orang anak, 2 laki–laki dan 2 perempuan dan pasien sudah memiliki 3 orang cucu. Pola hubungan peran, sebelum sakit pasien mengatakan hubungan dengan keluarga baik, pasien juga ikut serta dalam kegiatan desa seperti gotong royong. Selama sakit pasien mengatakan hubungan dengan keluarga baik, pasien juga di jenguk oleh tetangga saat pasien sakit. Pola seksual reproduksi, pasien mengatakan menikah umur 27 tahun, pasien saat ini memiliki 4 orang anak 2 laki – laki dan 2 perempuan, dan memiliki 3 orang cucu, pasien tidak memiliki penyakit kelamin. Pola mekanisme koping, pasien mengatakan tidak terlalu cemas dengan sakitnya saat ini, pasien terlihat menerima dan tabah menghadapi penyakitnya saat ini, jika memiliki masalah pasien selalu mendiskusikan dengan istri dan anak – anaknya. Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan beragama islam dan pasien selalu beribadah dan berdoa untuk kesehatan dan kesembuhan dirinya.
51
5.
Pemeriksaan Fisik Hasil pemerikasaan, keadaan umum pasien baik. Tingkat kesadaran pasien sadar penuh (Composmentis) dengan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) = 15 (E= 4, V= 5, M= 6), hasil pemerikasaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 130/100 mmHg, nadi dengan frekuensi 86 x/menit irama teratur dengan kekuatan/isi kuat, respiratori rate dengan frekuensi 29 x/menit irama cepat dan dalam, suhu 36,3 ˚C/aksila. Bentuk kepala mesochepal tidak ada cedera, kulit kepala sedikit lembab dan tidak ada ketombe, rambut lurus pendek dan beruban. Bentuk muka simetris kanan dan kiri, palpebra terlihat sedikit hitam, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter kanan dan kiri 2 mm simetris kanan dan kiri, reflek terhadap cahaya positif, dan pasien tidak mengguanakan alat bantu penglihatan. Lubang hidung simetris tidak ada polip dan terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit. Mulut simetris, mukosa bibir kering dan tidak ada sianosis. Gigi tampak kekuningan dan terdapat lubang pada gigi bagian belakang bawah kanan. Telinga simetris, terdapat gangguan pendengaran pada telinga bagian kanan sejak 5 tahun karena kemasukan air dan ada sedikit serumen. Leher tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan tidak ada kaku kuduk. Pada pemeriksaan paru-paru : inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong) simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler
52
menurun dan suara wheezing. Abdomen : inspeksi bentuk simetris kanan/kiri dan terdapat luka insisi pada kuadran IV, auskultasi bising usus terdengar 5 x/menit, perkusi terdengar pekak pada kuadran I dan terdengar tympani pada kuadran II,III,IV, palpasi tidak teraba massa dan tidak ada nyeri tekan. Jantung : inspeksi bentuk kanan dan kiri sama dan ictus cordis tidak tampak, palpasi ictus cordis teraba pada ICS 4 kelima mid klavikula, perkusi pekak, auskultasi tidak ada suara tambahan reguler. Genetalia bersih, tidak memiliki penyakit kelamin dan tidak menggunakan kateter. Rektum tidak terdapat hemoroid. Ekstremitas atas dan bawah kekuatan otot kanan dan kiri 5, capilary refile < 2 detik, akral hangat dan tidak ada perubahan bentuk tulang. 6.
Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016 didapatkan hasil sebagai berikut : hemoglobin sebesar 13,1 g/dl (nilai normal 13,5 – 17,5) , hematokrit 38% (33 – 45), leukosit 14,9 ribu/uL (4,5 – 11,0), trombosit 185 ribu/uL (150 – 450), eritrosit 3,93 juta/uL (4,50 – 5,90), MCV 95,7 fL (80,0 – 96,0), MCH 33,3 pg (28,0 – 33,0), MCHC 34,8 g/dl (33,0 – 36,0), RDW 12,7% ( 11,6 – 14,6), MPV 8,4 fL ( 7,2 – 11,1), PDW 16% (25 – 65), eosinofil 0,10% (0,00 – 4,00),basofil 0,10% (0,00 – 2,00), netrofil 81,90% (55,0 – 80,00), limfosit 8,20% (22,0 – 44,0), monosit 9,70 % (0,00 – 7,00),
53
golongan darah B, PT 16,0 detik (10,0 – 15,0), APPT 33,7 detik (20,0 – 40,0), albumin 2,9 g/dL (3,2 – 4,6), creatinine 0,9 mg/dL (0,8 – 1,3), ureum 38 mg/dL (<50), natrium darah 133 mmol/L (136 – 145), kalium darah 3,7 mmol/L (3,7 – 5,4), klorida darah 103 mmol/L (98 -106), PH 7,430 mmol/L (7,310 – 7.420), BE 9,9 mmol/L (-2 - +3), PCO2 51,0 mmHg (27,0 – 41,0), PO2 106,0 mmHg (80,0 – 100,0), hematokrit 43% (37 – 50), HCO3 31,3 mmol/L (21,0 – 28,0), total CO2 36,0 (19,0 – 24,0), O2 saturasi 98,0% (94,0 – 98,0), arteri 1,50 mmol/L ( 0,36 – 0,75), HBSAg nonreactive, troponin1 <0,01 ug/L (0,00 – 0,50), CKMB 3,17 ng/ml (<4,9). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 didapatkan hasil sebagai berikut : hemoglobin sebesar 12,4 g/dl (nilai normal 13,5 – 17,5) , hematokrit 38% (33 – 45), leukosit 5,6 ribu/uL (4,5 – 11,0), trombosit 241 ribu/uL (150 – 450), monosit 3,83 juta/uL (4,50 – 5,90), SGOT 41 u/L (<35), SGPT 22 u,L (<45), albumin 3,5 u/L (3,2 – 4,6). 7.
Terapi Pada tanggal 07-01-2016 terapi yang diberikan adalah infus NaCl 0,9% 20 tpm fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi metil pretnisolon 62,8 gr/8 jam, ceftriaxon 2gr/24 jam (skin test) fungsinya untuk mengobati infeksi saluran nafas dalam, asam tranexamat 1 gr/8 jam fungsinya untuk mengatasi perdarahan abnormal dan gejala lain seperti hipertensi, N asetil sifein 3 x 1 200 mg fungsinya pengencer
54
dahak, nebulizer : berotek 16 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas, atroven 14 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas, NaCl 2cc fungsinya untuk mengencerkan dahak. Terapi pada tanggal 11 januar 2016 yaitu infus NaCl 0,9% 20 tpm fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi asam tranexamat 500 mg/8 jam fungsinya untuk mengatasi perdarahan abnormal dan gejala lain seperti hipertensi, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam fungsinya untuk mengobati tukak lambung, injeksi ceftriaxon 2 gr/24 jam fungsinya untuk mengobati infeksi saluran nafas dalam, furosemid 40 mg x 1 fungsinya untuk mengobati oedem karena gangguan jantung, diavon 80 mg x 1 fungsinya untuk menurunkan tekanan darah tinggi, bisoprolol 1,25 mg x 1 fungsinya untuk pengobatan hipertensi, N asetil sistein 200 mg x 3 fungsinya pengencer dahak, codein 10 mg x 3 fungsinya untuk mengobati batuk, vitamin C 250 mg x 3 fungsinya untuk memperkuat daya tahan tubuh, curcuma 20 mg x 2 fungsinya untuk pengobatan gangguan fungsi hati, nebulizer : berotek 16 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas, atroven 14 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas, NaCl 2cc fungsinya untuk mengencerkan dahak (ISO,2014). C. Perumusan Masalah Keperawatan Dari hasil pengkajian dan observasi di atas penulis merumuskan masalah utama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang berlebih dengan alasan karena merupakan keluhan utama
55
yang dirasakan pasien dan harus segera ditangani. Prioritas diagnosa keperawatan Tn.A adalah bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang berlebih. Data penunjang diagnosa keperawatan tersebut meliputi data subyektif pasien mengatakan batuk sudah 2 tahun batuk berdahak dan sulit untuk mengeluarkan dahak. Data obyektif yang didapat adalah pasien tampak batuk, pada pemeriksaan paru-paru = inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong) simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler menurun dan suara wheezing. Tekanan darah : 130/100 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila, respiratori rate : 29 x/menit Dan untuk masalah keperawatan yang kedua penulis merumuskan masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Dengan data penunjang meliputi data subyektif pasien mengatakan sesak nafas dan dada ampek. Dan data obyektif pasien tampak kelelahan, bernafas dengan otot bantu pernafasan, bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir, auskultasi vasekuler melemah, RR : 29 x per menit. Diagnosa ketiga penulis merumuskan masalah gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan sesak nafas. Dengan data penunjang meliputi data subyektif pasien mengatakan tiap malam terbangun karna sesak nafas dan lingkungan yang berisik. Data obyektif pasien tampak lemas, kantung mata hitam dan tidur malam 3–4 jam.
56
D. Perencanaan Kperawatan Penulis melakukan intervensi keperawatan berdasarkan ONEC, O (Observation), N (nursing), E (education), C (Colaboration). Setelah ditemukan masalah keperawatan, kriteria hasil yang ingin dicapai berdasarkan SMART, S (Spesifik), M (Measureble), A (Achieveable), R (Region), T (Time). Pada diagnosa pertama, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan bersihan jalan nafas tidak efektif dengan kriteria hasil tanda-tanda vital dalam batas normal, mampu batuk efektif secara mandiri, jalan nafas paten, tidak ada bunyi nafas tambahan. Rencana keperawatan yaitu observasi tanda-tanda vital, rasional untuk mengetahui keadaan umum pasien. Jelaskan manfaat pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif, rasional untuk memberikan pengetahuan pada pasien. Ajarkan batuk efektif, rasional untuk membantu mengeluarkan sputum. Berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter, rasional untuk membantu mengencerkan dahak dan melonggarkan saluran nafas. Diagnosa yang kedua, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman, RR (respiratory rate) dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan. Rencana keperawatan yaitu obsevasi status pernafasan pasien, rasional untuk mengetahui keadaan pernafasan pasien. Berikan posisi semi fowler, rasional untuk memudahkan jalan nafas pasien. Menjelaskan manfaat oksigen nasal
57
kanul, rasional untuk memberikan pengetahuan pada pasien. Berikan terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter, rasional untuk memberikan tambahan oksigen. Pada diagnosa yang ketiga, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur 7-8 jam per hari, pasien tampak segar, kantung mata tidak hitam. Rencana keperawatan yaitu observasi jumlah jam tidur pasien, rasional untuk memantau kebutuhan tidur pasien. Berikan lingkungan yang nyaman, rasional untuk memberikan kenyamanan.
Diskusikan
pentingnya
tidur
adekuat,
rasional
untuk
memberikan pengetahuan pada pasien dan keluarga pasien. Kolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter, rasional untuk mempercepat proses penyembuhan. E. Implementasi Keperawatan Tanggal 11 Januari 2014, tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan dignosa yang pertama yaitu pada jam 07.45 WIB mengobservasi tanda-tanda vital dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, dan respon obyektif keadaan umum composmentis, tekanan darah 130/100 mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 36,3 ˚C/aksila, dan pernafasan 29 x/menit. Jam 08.30 WIB menjelaskan tentang manfaat nebulizer dan batuk efektif dengan respon subyektif pasien mengatakan mengerti manfaat nebulizer untuk mengencerkan dahak dan
58
batuk efektif untuk mengeluarkan dahak, dan data obyektif Tn.A tampak mengerti edukasi yang diberikan. Jam 14.30 WIB memberikan nebulizer sesuai advis dokter dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diberi terapi nebulizer, dan data obyektif Tn.A tampak menghirup uap dan mengeluarkan dari mulut. Jam 15.00 WIB mengajarkan batuk efektif dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk melakukan batuk efektif, dan data obyektif Tn.A tampak melakukan batuk efektif dengan baik dan dahak bisa keluar sedikit. RR : 29 x/menit. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yaitu, jam 09.00 WIB mengobservasi status pernafasan pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan sesak nafas dan dada ampek, dan data obyektif Tn.A tampak kelelahan dan pasien memakai oksigen nasal kanul, RR : 29 x per menit, irama cepat dan dalam. Jam 09.30 WIB memberikan posisi semi fowler pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk berposisi setengah duduk, dan respon obyektif Tn.A tampak nyaman dengan posisi setengah duduk. Jam 10.00 WIB memberikan oksigen nasal kanul dengan respon subyektif pasien mengatakan oksigen yang dipakai membuat pasien nyaman, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman. Jam 10.30 menjelaskan manfaat oksigen nasal kanul dengan respon subyektif pasien mengatakan mengerti bila sesak nafas menggunakan oksigen nasal kanul agar menambah / mendapatkan oksigen, data obyektif Tn.A tampak menghirup oksigen nasal kanul dan bernafas dengan otot bantu pernafasan.
59
Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yaitu, jam 11.00 WIB memberikan obat sesuai resep yang diberikan dokter dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk di suntik, dan data obyektif Tn.A tampak mendapat suntikan IV ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 2 gr/24 jam. Jam 12.00 WIB mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan malam hari sering terbangun karena sesak nafas dan lingkungan yang berisik, data obyektif pasien tampak lemas, kantung mata hitam dan tidur malam 3-4 jam siang ½ jam. Jam 13.00 WIB mendiskusikan pentingnya tidur adekuat dengan respon subyektif keluarga pasien mengatakan bila malam pasien sering terbangun, data obyektif keluarga pasien tampak mengerti edukasi yang diberikan untuk mengontrol tidur pasien dan bersikap tenang saat pasien tidur dan juga memberikan lingkungan yang nyaman. Jam 14.00 WIB memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif pasien mengatakan ingin tidur dengan satu bantal dan tirai di tutup, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman dengan posisinya dan keluarga tampak tidak berisik. Tanggal 12 Januari 2016, tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa pertama yaitu jam 14.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa, dan data obyektif pasien tampak tenang, tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 83 x/menit, suhu : 36,5 ˚C/aksila, RR : 28 x/menit. Jam 14.30 WIB memberikan terapi nebulizer dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk
60
diberi terapi nebulizer untuk mengencerkan dahak, dan data obyektif Tn.A tampak memakai masker dan menghirup uap dan menghembuskan lewat mulut. Jam 15.00 WIB mengajarkan batuk efektif dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk melakukan batuk efektif agar dahak dapat keluar dan pasien masih batuk berdahak, dan data obyektif Tn.A tampak melakukan batuk efektif dengan baik, sputum dapat keluar ±2 sendok teh, batuk efektif dilakukan 3-4 kali. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yaitu, jam 15.30 WIB mengobservasi status pernafasan pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan merasa longgar setelah di nebulizer dan batuk efektif, dan data obyektif Tn.A tampak lemas dan masih memakai oksigen nasal kanul, RR : 27x per menit, Irama : cepat dan dalam. Jam 16.00 WIB memberikan posisi semi fowler dengan respon subyektif pasien mengatakan mau untuk berposisi setengah duduk, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman berposisi setengah duduk dengan menggunakan 2 bantal. Jam 17.00 WIB memberikan oksigen nasal kanul dengan respon subyektif pasien mengatakan merasa sesak nafas dan mesih memakai O2 nasal kanul 2 lpm, dan data obyektif pasien tampak memakai O2 nasal kanul, dan pasien masih menggunakan otot bantu pernafasan dan cuping hidung. Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yaitu, jam 18.00 WIB mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan tidur malam hanya terbangun sebentar dan tidur lagi, dan data
61
obyektif Tn.A tampak agak segar jumlah jam tidur malam 4-5 jam dan siang 1 jam. Jam 19.00 WIB mendiskusikan tidur yang adekuat dengan respon subyektif keluarga pasien mengatakan masih tetap menjaga ketenangan bila pasien sedang tidur dan membantu menutup tirai, dan data obyektif keluarga pasien tampak memberikan perhatianya pada pasien. Jam 20.00 WIB memberikan obat sesuai resep dokter dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk disuntik dan meminum obat, dan data obyektif Tn.A tampak mau disuntik injeksi ranitidin 50 mg/ 8jam dan meminum obat oral N.asetil sistein 200 mg x 3, codein 10 mg x 3, vitamin C 250 mg x 3. Jam 20.45 WIB memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif pasien mengatakan ingin tidur dengan 1 bantal dan bad dinaikan sedikit, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman tidur dengan 1 bantal dan bad dinaikan ssedikit, keluarga tampak menutupkan tirai. Tanggal 13 Januari 2016, tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa pertama yaitu, jam 14.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, susu : 36 ˚C/aksila, RR : 26 x/menit. Jam 15.00 WIB memberikan terapi nebulizer dengan respon subyektif pasien mengatakan mau untuk diberikan terapi nebulizer berotex : atroven dan NaCl 2cc, dan data obyektif Tn.A tampak tenang dan menghirup uap nebulizer dan menghembuskan lewat mulut. Jam 16.00 WIB memberikan terapi batuk efektif dengan respon
62
subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak dan pasien mau untuk melakukan batuk efektif, dan data obyektif Tn.A tampak melakukan batuk efektif dan mengeluarkan sputum ±3 sendok teh berwarna putih, suara tambahan wheezing terdengar lirih. Tindakan keperawatan diagnosa kedua yaitu, jam 17.00 WIB mengobservasi status pernafasan pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan nafas masih sedikit berat dan dada ampek, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman setelah di nebulizer dan batuk efektif dan bernafas dengan otot bantu pernafasan dan pasien tampak tidak memakai oksigen nasal kanul, RR: 24x per menit, irama: cepat dan dalam. Jam 18.00 WIB memberikan posisi semi fowler dengan respon subyektif pasien mengatakan mau untuk berposisi setengah duduk agar merasa nyaman, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman berposisi semi fowler. Tindakan keperawatan diagnosa ketiga yaitu, jam 19.00 WIB mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan malam hari masih terbangun sebentar dan tidur lagi, dan data obyektif pasien tampak agak segar, jam tidur malam 4-5 jam siang 1½ jam. Jam 19.30 WIB mendiskusikan pentingnya tidur adekuat dengan respon subyektif keluarga pasien mengatakan masih menjaga ketenangan bila pasien tidur, dan data obyektif keluarga pasien tampak memberikan perhatian kepada pasien dengan membantu menaikan bad tidur. Jam 20.00 WIB memberikan obat sesuai resep dokter dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia
63
untuk disuntik dan meminum obat, dan data obyektif Tn.A tampak mau untuk di injeksi ranitidin 50 mg/ 8jam dan meminum obat oral N. asetil sistein 200 mg x 3, codein 10 mg x 3, vitamin C 250 mg x 3. Jam 20.45 WIB memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif pasien mengatakan nyaman dengan posisi tidurnya saat ini, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman, kantung mata hitam mulai berkurang. F. Evaluasi Keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi pada tanggal 11 Januari 2016 dengan metode SOAP, diagnosa pertama hasilnya adalah subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak, dan sulit untuk mengeluarkan dahak. Obyektif pasien tampak batuk, auskultasi terdengar suara wheezing, tekanan darah : 130/90 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila, RR (Respiratory Rate) : 29 x/menit. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda vital, ajarkan batuk efektif dan berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter. Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan masih sesak nafas dan dada ampek. Obyektif pasien tampak kelelahan, bernafas dengan otot bantu pernafasan dan cuping hidung dan pasien menggunakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit. Analisis masalah belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status
64
pernafasan pasien, berikan posisi semi fowler, berikan oksigen nasal kanul sesuai advis dokter. Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan tiap malam terbangun karena sesak nafas dan lingkungan yang berisik. Obyektif pasien tampak lemah, kantung mata hitam. Analisis masalah belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai jadwal dan dosis. Hasil evaluasi tanggal 12 Januari 2016 diagnosa pertama yaitu subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak, tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 83 x/menit, suhu : 36,5 ˚C/aksila, RR : 27 x/menit. Obyektif pasien tampak batuk, terdengar suara wheezing, dahak bisa keluar ±2 sendok teh. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda vital, ajarkan batuk efektif, berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter. Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan masih sesak nafas dan pernafasan pasien lebih nyaman. Obyektif pasien tampak nyaman dan memakai oksigen nasal kanul 2 liter per menit. Analisis masalah teratasi sebagian. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan pasien, beri posisi semi fowler, beri oksigen nasal kanul.
65
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan pada malam hari terbangun sebentar dan tidur lagi. Obyektif pasien tampak agak segar, jumlah jam tidur siang 1 jam dan malam 4-5 jam. Analisis masalah teratasi sebagian. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai resep dokter. Hasil evaluasi tanggal 13 Januari 2016 diagnosa pertama yaitu subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak. Obyektif pasien tampak batuk, terdengar suara wheezing, sputum dapat keluar sebanyak 3 sendok teh, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, suhu : 36 ˚C/aksila, RR : 24 x/menit. Analisis masalah keperawatan teratasi sebagian. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda vital, ajarkan batuk efektif, beri terapi nebulizer sesuai advis. Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan tidak sesak nafas tetapi dada ampek. Obyektif pasien tampak nyaman dan tidak tampak kelelahan. Analisis maslah keperawatan teratasi sebagian. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan, beri posisi semi fowler. Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan malam hari masih terbangun sebentar dan tidur lagi. Obyektif pasien tampak agak segar, kantung mata hitam sedikit berkurang, jumlah jam tidur malam 4-5 jam, siang 1½ jam. Analisis masalah keperawatan teratasi sebagian. Planning lanjutkan
66
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur, beri lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai resep dari dokter.
BAB V PEMBAHASAN Pembahasan pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang “Pemberian Nebulizer dan Batuk Efektif Terhadap Status Pernafasan pada Asuhan Keperawatan Tn.A dengan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Bangsal Anggrek 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta”. Di samping itu bab ini penulis juga akan membahas tentang faktor pendukung dan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara teori dan kenyataan yang meliputi
pengkajian,
diagnosa
keperawatan,
intervensi
keperawatan,
implementasi, dan evaluasi. Prinsip dari pembahasan ini memfokuskan pada kegawat daruratan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan. A. Pengkajian Pengkajian mengumpulkan
adalah
informasi
pemikiran atau
data
dasar
yang
tentang
bertujuan
pasien,
agar
untuk dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan pasien, menentukan masalah keperawatan dan kesehatan pasien, menilai keadaan kesehatan pasien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah–langkah berikutnya (Dermawan, 2012).
67
68
Dalam pengkajian penulis melakukan empat kegiatan yaitu observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka. Observasi dilakukan melalui pengamatan pada pasien dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada pasien. Wawancara dilakukan penulis yaitu dengan cara menyimpulkan data secara autoanamnesa (pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan pada klien) dan alloanamnesa (pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan pada orang lain selain pasien). Studi dokumentasi dengan cara membaca data-data pasien atau catatan pasien seperti catatan status, catatan program terapi, pemeriksaan laboratorium. Pada kegiatan studi pustaka penulis mencari sumber yang berkaitan pada kasus ini. Sumber-sumber didapat dari buku-buku keperawatan medikal bedah dan dari sumber data dari internet (Priharjo, 2007). Dalam riwayat kesehatan tanda dan gejala PPOK ditandai dengan keluhan pasien batuk kronis, sputum yang produktif, mudah terkena iritasi oleh iritan-iritan inhalan udara dingin atau infeksi, sesak nafas, terdapat otot bantu pernafasan, hipoksia, hiperkapnea, takipnea (Padila, 2012). Pengkajian Tn.A dilakukan tanggal 11 Januari 2016 penulis menemukan tanda dan gejala PPOK yaitu batuk berdahak dan dahak tidak dapat keluar, terdengar suara tambahan wheezing, sesak nafas, bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir, pernafasan 29 x/menit (rentan normal 16-24x/menit). Pada pemeriksaan paru-paru didapat inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), menggunakan otot bantu pernafasan, simetris
69
kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan suara wheezing. Berdasarkan tanda dan gejala yang telah disebutkan di atas, antara teori dan observasi serta pengkajian pada Tn.A penulis tidak menemukan kesenjangan, pada pasien PPOK batuk kronis ditimbulkan karena stimulasi pembesaran kelenjar yang menyekresi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediatior inflamasi seperti leukosillia mengalami metaplasia skuoamosa, yang menyebabkan gangguan pembersihan mukosillia, yang biasanya merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali tejadi pada PPOK, dan pada pasien PPOK sesak nafas ditimbulkan karena hipersekresi mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer (Morton,dkk 2012). Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data pada istirahat tidur selama sakit Tn.A mengatakan tidak bisa tidur, tidur hanya 3-4 jam per hari dan sering terbangun karena merasa sesak nafas. Pada pasien PPOK salah satu masalah yang muncul yaitu gangguan pola tidur. Data dasar pada pengkajian istirahat tidur pasien dengan PPOK menyatakan bahwa pasien PPOK akan mengalami intensitas tidur karena mengalami distress pernafasan dan perlu tidur dalam posisi duduk tinggi (Doengoes, 2000). Pada Tn.A penyebab dari PPOK yang dialami yaitu karena Tn.A memiliki riwayat perokok aktif sejak kelas 2 SD, dalam sehari pasien dapat
70
menghabiskan 1 bungkus rokok dan sudah berhenti merokok 2 tahun yang lalu. Dalam teori dijelaskan ada beberapa penyebab dari PPOK, yaitu faktor usia, merokok, lingkungan, genetik dan keluarga. Ini merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Diduga bahwa 20% orang yang merokok akan mengalami PPOK. Merokok menekan aktivitas sel-sel pemangsa dan mempengaruhi mekanisme pembersihan siliaris dari trakus respiratorius, yaitu berfungsi untuk menjaga saluran pernafasan bebas dari iritan, bakteri dan benda asing lainya yang terhirup (Francis, 2008). Pada kasus Tn.A ditemukan adanya persamaan dengan teori yaitu penyebab dari PPOK salah satunya adalah merokok. Pada pemeriksaan fisik PPOK di dalam teori didapatkan hasil inspeksi pada pasien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan, serta penggunaan otot bantu pernafasan. Pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat pasien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot, bernafas dengan bibir, dan pernafasan abnormal yang tidak efektif. Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau menurun. Pada auskultasi sering didapatkan adanya bunyi ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruksi pada bronkhiolus (Muttaqin, 2008). Hasil dari pemeriksaan fisik paru yang telah dilakukan penulis pada Tn.A didapatkan inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), menggunakan
71
otot bantu pernafasan, simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan suara wheezing. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik paru dengan teori tidak ada kesenjangan, pada pasien PPOK ronkhi dan wheezing ditimbulkan karena terdapat obstruksi pada bronkhiolus (Muttaqin,2008). Untuk lebih mendukung tanda dan gejala yang muncul pada pasien PPOK perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pengukuran fungsi paru, analisa gas darah, pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, hematokrit, jumlah darah merah, eosinofil, pulse oksimetri), pemeriksaan sputum (Muttaqin, 2008). Pada Tn.A pemeriksaan yang dilakukan sesuai teori yaitu yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 pada Tn. A didapatkan hasil hemoglobin sebesar 12,4 g/dl (nilai normal 13,5 – 17,5), hematokrit 38 % (nilai normal 33-45), leukosit 5,6 ribu/uL (4,5 – 11,0), sputum berwarna putih, dari hasil tersebut pada hemoglobin kurang dari normal karena Tn.A yang masih mengalami sesak nafas sehingga pasokan oksigen ke bagian tubuh berkurang dan dapat menyebabkan hemoglobin tidak normal (Brunner & Suddarth, 2002). Terapi yang diberikan pada Tn.A adalah infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi asam tranexamat 500 mg/8 jam fungsinya untuk mengatasi perdarahan abnormal dan gejala lain seperti hipertensi, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam fungsinya
72
untuk mengobati tukak lambung, injeksi ceftriaxon 2 gr/24 jam fungsinya untuk mengobati infeksi saluran nafas dalam, furosemid 40 mg x 1 fungsinya untuk mengobati oedem karena gangguan jantung, diavon 80 mg x 1 fungsinya untuk menurunkan tekanan darah tinggi, bisoprolol 1,25 mg x 1 fungsinya untuk pengobatan hipertensi, N asetil sistein 200 mg x 3 fungsinya pengencer dahak, codein 10 mg x 3 fungsinya untuk mengobati batuk, vitamin C 250 mg x 3 fungsinya untuk memperkuat daya tahan tubuh, curcuma 20 mg x 2 fungsinya untuk pengobatan gangguan fungsi hati, nebulizer : berotek 16 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas, atroven 14 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas, NaCl 2cc fungsinya untuk mengencerkan dahak (ISO, 2014). B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial yang merupakan dasar untuk memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung jawab perawat. Tujuan adalah mengarahkan rencana asuhan keperawatan untuk membantu klien dan keluarga beradaptasi terhadap penyakit dan menghilangkan masalah keperawatan kesehatan (Dermawan, 2012). Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 11 Januari 2016 di dapat hasil untuk diagnosa pertama, yaitu data subyektif pasien mengatakan batuk sudah 2 tahun batuk berdahak dan sulit untuk mengeluarkan dahak. Data
73
obyektif yang didapat adalah pasien tampak batuk dan lemah, pada pemeriksaan paru-paru = inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), menggunakan otot bantu pernafasan, simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan suara wheezing. Tekanan darah : 130/100 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila, respiratori rate : 29 x/menit. Maka muncul masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan (Smletzer dan Bare, 2012). Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan ketidakmampuan untuk membersihakan
sekresi
atau
obtruksi
dari
saluran
nafas
untuk
mempertahankan bersihan jalan nafas (Nanda, 2014). Batasan karakteristik dari bersihan jalan nafas tidak efektif yaitu batuk, suara nafas tambahan, perubahan frekuensi nafas, perubahan irama nafas, sianosis, kesulitan berbicara/mengeluarkan suara, perubahan bunyi nafas, dispnea, sputum dalam jumlah berlebih, batuk yang tidak efektif, ortopnea, gelisah, mata terbuka lebar (Nanda, 2014). Sedangkan batasan karakteristik yang muncul pada Tn.A yaitu batuk berdahak, dahak sulit keluar, terdapat suara tambahan wheezing. Pada masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas penulis menentukan etiologi sekret yang berlebih karena adanya gangguan klinis yang ditandai dengan hiperproduksi mukus dari percabangan broncus dengan pencerminan batuk yang menahun atau pun sputum yang produktif (Murwani, 2011).
74
Pada diagnosa kedua saat pengkajian didapat data subyektif pasien mengatakan sesak nafas dan dada ampek dan bertambah saat posisi terlentang, data obyektif pasien tampak bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir, pasien tampak menggunakan otot bantu pernafasan dan pasien tampak kelelahan, auskultasi vasekuler melemah, respiratory rate 29x per menit. Maka penulis memunculkan masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi (Bruner & Suddarth, 2002). Ketidakefektifan pola nafas merupakan inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat (Nanda, 2014). Batasan karakteristik ketidakefektifan pola nafas yaitu perubahan kedalaman pernafasan, bradipnea, perubahan tekanan ekspirasi, perubahan tekanan inspirasi, perubahan ventilasi semenit, perubahan kapasitas vital, dispnea, pernafasan cuping hidung, ortopnea, fase ekspirasi memanjang, pernafasan bibir, takipnea, penggunaan otot aksesoris untuk bernafas (Nanda, 2014). Sedangkan batasan karakteristik yang muncul pada Tn.A yaitu sesak nafas dan dada ampek, bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir, pasien tampak menggunakan otot bantu pernafasan dan pasien tampak kelelahan. Pada masalah ketidakefektifan pola nafas penulis menentukan etiologi hiperventilasi, karena adanya gangguan klinis yang ditandai dengan hipersekresi mukus yang menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer dengan pencerminan bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir (Marton,dkk 2012).
75
Pada diagnosa ketiga saat pengkajian didapat data subyektif pasien mengatakan tiap malam terbangun karena sesak nafas dan lingkungan yang berisik. Data obyektif pasien tampak lemah, kantung mata hitam dan tidur malam 3–4 jam per hari. Maka penulis memunculkan masalah gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas (Bruner & Suddarth, 2002). Gangguan pola tidur merupakan gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal (Nanda, 2014). Batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu perubahan pola tidur normal, penurunan kemampuan berfungsi, ketidakpuasan tidur, menyatakan sering terjaga, menyatakan mengalami kesulitan tidur, menyatakan tidak merasa cukup istirahat (Nanda, 2014). Sedangkan batasan karakteristik yang muncul pada Tn.A yaitu pasien sering terbangun karna sesak nafas, pasien tampak lemah, kantung mata hitam, tidur malam 3-4 jam. Pada masalah gangguan pola tidur penulis menentukan etiologi gangguan sesak nafas, karena pasien sesak nafas juga akan mengalami gangguan pola tidur karena mengalami distress pernafasan (Doengoes, 2000). Data pasien melaporkan sering terjaga dimalam hari sudah terkaji oleh penulis dan sudah terdokumentasikan pada asuhan keperawatan Tn.A. Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan umum seharusnya masuk dalam dokumnentasi asuhan keperawatan Tn.A, yaitu dengan data Tn.A melakukan aktivitas makan/minum mandiri, toileting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur, berpindah dan ambulasi dibantu orang
76
lain. Itu disebabkan Tn.A sudah merasa sesak nafas jika melakukan banyak aktifitas. Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis dan fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan seharihari yang harus atau yang dilakukan (Nanda, 2014). Batasan karakteristik intoleransi aktivitas yaitu respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas, respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas, perubahan EKG yang mencerminkan aritmia dan iskemia,dan ketidaknyamanan setelah beraktivitas, dispnea setelah beraktivitas, menyatakan merasa letih dan lemah (Nanda, 2014). Namun karena keterbatasan waktu dan kurang ketelitian penulis maka diagnosa ini tidak dapat terangkat. Secara teori diagnosa yang muncul pada PPOK yaitu gangguan pertukaran
gas
berhubungan
dengan
ketidaksamaan
ventilasi-perfusi,
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan
mukus,
batuk tidak efektif,
dan
infeksi
bronkopulmonal, resiko tinggi infeksi pernafasan behubungan dengan akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif, defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif ventilasi dan oksigen, intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan pola pernafasan tidak efektif. Namun pada kasus penulis diagnosa yang muncul yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang
77
berlebih, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dan gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas. Diagnosa ini penulis tegakkan berdasarkan hasil pengkajian pada pasien. Untuk
menentukan
prioritas
masalah
keperawatan
penulis
menggunakan Teori Hierarki Maslow yaitu terdapat lima kebutuhan dasar manusia yang harus tepenuhi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan rasa aman, kebutuhan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri (Mubarak dan Cahyatin, 2008). Hasil analisa di atas, maka penulis membuat prioritas diagnosa keperawatan yang pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang berlebih, yang kedua keetidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, yang ketiga gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas. C. Intervensi Keperawatan Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan, menentukan hasil akhir klien, mengidentifikasi tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional ilmiahnya, dan menetapkan rencana asuhan keperawatan, diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan atau mengancam jiwa. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi fokus keperawatan kepada pasien atau kelompok, untuk membedakan tangguang jawab perawat dengan profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan
78
evaluasi keperawatan, untuk menyediakan kriteria dan klasifikasi pasien (Dermawan, 2012). Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan SMART (Spesific, Measurable, Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesific adalah berfokus pada klien, measurable dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakan, dan dibau, achieveble adalah tujuan yang harus dicapai, sedangkan reasonable merupakan tujuan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, time adalah batasan pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya (Dermawan, 2012). Penulis
mencantumkan
diagnosa
keperawatan
ketidakefektifan
bersihanjalan nafas berhubungan dengan sekresi yang berlebih, dengan tujuan dan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, daharapkan bersihan jalan nafas tidak efektif dengan kriteria hasil : RR (Respirotory Rate) dalam batas normal (1624x/menit), mampu batuk efektif secara mandiri, jalan nafas paten, tidak ada bunyi nafas tambahan wheezing (Muttaqin, 2008). Menurut teori intervensi yang diberikan pada pasien PPOK dengan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi yang berlebih adalah observasi tanda-tanda vital, intervensi yang diberikan menurut teori obsevasi tanda-tanda vital bertujuan untuk mengetahui keadaan umum pasien (Priharjo, 2007). Jelaskan manfaat pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif, intervensi yang diberikan
79
menurut teori untuk pemberikan penjelasan kepada pasien berguna untuk memulihkan fungsi paru sebelumnya dan menghilangkan gejala-gejala sebanyak mungkin (Bruner & Suddarth, 2002). Ajarkan batuk efektif, intervensi yang diberikan menurut teori batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran sekret yang melekat di jalan nafas (Muttaqin, 2008) . Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar dan pasien dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal. Namun latihan ini hanya bisa dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama (kooperatif) (potter & pery, 2005). Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru terhadap setiap iritan yang kambuh secara konstan, tindakan yang bisa dilakukan untuk mobilisasi sputum secara mandiri yaitu dengan terapi batuk efektif (Smeltzer & Bare, 2002). Berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter, intervensi yang diberikan dalam teori terapi nebulizer untuk rileksasi dari psasme bronchial, mengencerkan sekret melancarkan jalan nafas, melembabka saluran pernafasan (Purnamadyawat, 2000). Nebulasi adalah salah satu terapi inhalasi dengan menggunakan alat bernama nebulizer. Alat ini mengubah cairan menjadi droplet aerosol sehingga dapat dihirup oleh pasien. Obat yang digunakan untuk nebulizer dapat berupa solusio atau suspensi (Tanto, 2014).
80
Nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara pemberian obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut terlebih dahulu dipecahkan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol atau humidifikasi (Purnamadyawati, 2000). Diagnosa kedua penulis mencantumkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dengan tujuan dan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman, tanda-tanda vital dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan (Bruner & Suddarth, 2002). Menurut teori intervensi yang diberikan yaitu obsevasi status pernafasan pasien, dalam teori observasi status pernafasan berfungsi untuk mengetahui pola nafas dan adanya bunyi tambahan yang ada ganguan (Smeltzer, 2002). Pernafasan adalah mekanisme tubuh menggunakan pertukaran udara antara atmosfir dengan darah serta dengan sel (Potter & Perry, 2005). Pada umumnya manusia mampu bernafas antara 12-20 kali per menit. Frekuensi pernafasan dapat dipengaruhi oleh penyakit atau keadaan sakit pada fungsi pernafasan (Potter & Perry, 2007). Berikan posisi semi fowler, intervensi yang diberikan menurut teori posisi semi fowler digunakan untuk pasien yang mengalami masalah pernafasan dan posisi ini untuk mempertahankan kenyamanan dan
81
menfasilitasi fungsi pernafasan membuat oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas dan menurunkan tekanan darah (Potter & Perry, 2006). Posisi semi fowler (setengah duduk) adalah posisi tidur pasien dengan kepala dan dada lebih tinggi dari pada posisi panggul dan kaki. Pada posisi semi fowler kepala dan dada dinaikkan dengan sudut 30-45 derajat (Potter & Perry, 2006). Jelaskan manfaat oksigen nasal kanul, intervensi yang diberikan menurut teori klien diinstruksikan tentang penggunaan oksigen yang tepat dan tentang bahaya peningkatan laju aliran oksigen tanpa ada arahan yang eksplisit dari perawat. Berikan terapi O2 nasal kanul 2 liter per menit, menurut teori oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia dan pemberian oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan keracunan O2 pada pasien. (Muttaqin, 2008) Diagnosa ketiga penulis mencantumkan diagnosa keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan ganguan sesak nafas, dengan tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur 7-8 jam per hari, pasien tampak segar, kantung mata tidak hitam (Doengoes, 2000). Menurut teori intervensi yang diberikan yaitu observasi jumlah jam tidur pasien, rasional untuk memantau kebutuhan tidur pasien. Berikan
82
lingkungan yang nyaman, rasional untuk memberikan kenyamanan. Diskusikan pentingnya tidur adekuat, rasional untuk memberikan pengetahuan pada pasien dan keluarga pasien. Kolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter, rasional untuk mempercepat proses penyembuhan (Doengoes, 2000). D. Implementasi Keperawatan Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Darmawan, 2012). Diagnosa
keperawatan
ketidakefektifan
bersihan
jalan
nafas
berhubungan dengan sekret yang berlebih pada tanggal 11-13 Januari 2016 dilakukan implementasi yaitu mengobservasi tanda-tanda vital pasien, menjelaskan kepada pasien tentang manfaat pemberian nebulizer dan batuk efektif agar dapat memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa menyebabkan sesak nafas dan keletihan, dan dengan batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran dari sekret yang melekat di jalan nafas (Muttaqin, 2008). Memberikan terapi nebulizer pada pasien dengan terapi nebulizer 1 kali selama 15 menit, dan Tn.A mendapatkan obat untuk nebulizer yaitu berotex 16 tetes, atroven 14 tetes dan NaCl 2cc dengan cara penulis mencuci tangan dan mendekatkan alat dan memakai handscoon, kemudian penulis mendengarkan suara nafas dan memasang perlak pengalas, memasukan obat
83
kedalam tempat obat pada nebulizer dan alat nebulizer sudah penulis pastikan berfungsi dengan baik, memasangkan masker pada hidung pasien dan menyuruh pasien menghirup uap selama 10-15 menit, setelah itu mematikan alat serta melepas masker lalu penulis mendengarkan suara nafas dan membersihkan area sekitar mulut dengan tisue. Menurut teori alat yang digunakan yaitu nebulizer (umumnya nebulizer jet, dapat juga digunakan kompresor oksigen), masker, mouth piece, atau kanul trakea, konektor, chamber sebagai tempat penampungan obat (Tanto, 2014). Dengan bahan yang digunakan seperti obat-obatan dalam bentuk solusio, beta-2 agonis : salbutamol solusio 2,5 mg/2cc, fenoterol solusio 100µg/ml, antikolinergik : ipratropium bromida solusio 0,25 mg/ml, deuretik, antibiotik, anestesi lokal, surfaktan, atau kartikosteroit (Tanto, 2014). Pemberian nebulizer menurut teori yaitu siapkan alat dan bahan, pastikan nebulizer bekerja, konektor sudah tersambung ke chamber, dan pilihlah ukuran masker yang sesuai. Pastikan nebulizer sudah terpasang sumber listrik, masukkan obat kedalam chamber, tambahkan cairan salin normal bila diperlukan, pasangkan masker dengan ujung chamber sehingga menempel, nyalakan nebulizer. Apabila nebulizer bekerja dengan baik akan terlihat uap keluar dari masker, minta pasien untuk melakukan inspirasi dalam melalui masker selama uap keluar, tunggu sekitar 15-20 menit sampai uap
84
habis, periksa respon pasien terhadap obat, apabila hendak mengulangi nebulisasi disarankan pemberian jeda selama 15-20 menit (Tanto, 2014). Mengajarkan batuk efektif kepada pasien dengan cara penulis memberikan terapi batuk efektif 3-4 kali setelah pemberian nebulizer dan dengan cara penulis mencuci tangan dan memakai sarung tangan, kemudian penulis melakukan auskultasi dada depan dan belakang dan meminta pasien tarik nafas panjang, kemudian pasien meminum air hangat dan meminta pasien untuk membungkuk dengan memeluk bantal dan memasang handuk pada dada dan pengalas pada pangkuan pasien, kemudian penulis melakukan claping selama 3-5 menit, dan vibrasi 3 kali pada area yang terdapat sekret, kemudian penulis meminta pasen tarik nafas dan membatukan serta menampung sekret pada bengkok yang berisi lisol 2-3%. Menurut teori prosedur batuk efektif yaitu tarik napas dalam lewat hidung dan tahan napas untuk beberapa detik, Batuk 2 kali, batuk pertama untuk melepaskan mukus dan batuk kedua untuk mengeluarkan sekret. Jika klien merasa nyeri dada pada saat batuk, tekan dada dengan bantal, tampung sekret pada sputum pot yang berisi lisol, untuk batuk menghembus, sedikit maju ke depan dan ekspirasi kuat dengan suara “hembusan”. Teknik ini menjaga jalan napas terbuka ketika sekresi bergerak ke atas dan keluar paru, inspirasi dengan napas pendek cepat secara bergantian (menghirup) untuk mencegah mukus bergerak kembali ke jalan napas yang sempit, istirahat,
85
hindari batuk yang terlalu lama karena dapat menyebabkan kelelahan dan hipoksia (Kusyati, 2006). Tn.A sebelumnya bersedia melakukan terapi nebulizer dan teknik batuk tanpa mengaplikasikan teori betuk efektif didapatkan hasil sputum belum bisa keluar dan status respiratory rate pasien 29x per menit, setelah pasien mengaplikasikan nebulizer dan batuk efektif sekret dapat keluar sebanyak ± 2 sendok dan status respiratory rate pasien 27x permenit, dan selanjutnya keluar ± 3 sendok dengan status respiratory rate pasien 24x per menit. Dari hasil penelitian Wahyuni (2014) didapatkan hasil sebelum pemberian nebulizer dan batuk efektif dan setelah pemberian nebulizer dan batuk efektif sebanyak 15 responden (75%) mengalami peningkatan atau menjadi lebih baik, sedangkan 5 responden (25%) yang tidak mengalami penurunan status pernafasan. Implementasi yang dilaksanakan sudah sesuai dengan teori terdapat penurunan status pernafasan setelah melaksanakan terapi nebulizer dan teknik batuk efektif dibuktikan dengan hasil yang didapatkan penulis sama dengan penelitian sebelumnya dan ditandai dengan tindakan yang sudah dilaksanakan ada dalam teori (Muttaqin, 2008). Tindakan yang dilakukan pada Tn.A untuk diagnosa kedua penulis sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 11-13 Januari 2016 dilakukan implementasi yaitu mengobservasi status
86
pernafasan pasien dengan mengobservasi frekuensi pernafasan dan adanya suara tambahan pada Tn.A dengan cara penulis mengamati dada dan abdomen dan menaruh tangan penulis pada abdomen pasien, kemudian penulis menghitung jumlah pernafasan selama 30 detik dan penulis mengalikan jumlah 2 dan penulis mencatat nilai respiratory rate pasien pada tanggal 11 Januari 2016 respiratory rate pasien 29 kali per menit, tanggal 12 Januari 2016 respiratory rate pasien 27 kali per menit, tanggal 13 Januari 2016 respiratory rate pasien 24 kali per menit. Menurut teori prosedur pengkajian pernafasan yaitu jaga agar posisi pasien tetap selama melakukan pengukuran kecepatan pernafasan, amati dada atau abdomen pasien selama respirasi, hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan ekshalasi dihitung sebagai satu pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme teratur, kalikan dua jumlah tadi, jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas dalam 1 menit, catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm) (Potter & Perry, 2007). Memberikan posisi semi fowler pada pasien dengan cara penulis meninggikan bed pasien dengan sudut 45 derajat atau memberikan bantal 1-2 dengan bed dinaikan sedikit atau tanpa bed dinaikan, menjelaskan oksigen nasal kanul pada pasien bahwa penulis memastikan pada pasien oksigen tidak menimbulkan kecanduan dan menjelaskan tindak kewaspadaan yang mencakup dalam penggunaan oksigen, memberikan terapi O2 nasal kanul 2 liter per menit pada Tn.A, antara implementasi yang dilaksanakan penulis
87
dengan teori sudah sesuai dengan yang ditandai dengan tindakan yang dilaksanakan penulis sesuai dengan teori (Muttaqin, 2008). Tindakan keperawatan dengan diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan sesak nafas pada tanggal 11-13 Januari 2016 dilakukan implementasi yaitu mengobservasi jumlah jam tidur pasien, memberikan lingkungan yang nyaman dengan cara penulis meminta keluarga untuk tenang dan tidak berisik ketika pasien istirahat, diskusikan pentingnya tidur adekuat, kolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter. Implementasi yang dilaksanakan sudah sesuai dengan teori, ditandai dengan tindakan yang dilakukan penulis sesuai dengan teori yang ada (Doengoes, 2000). E. Evaluasi Keperawatan Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang ditetapkan dengan respon perilaku klien yang tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi tindakan keperawatan, mendapatkan umpan balik dari respon klien, dan sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan (Dermawan, 2012) Evaluasi hari pertama pada diagnosa pertama hasilnya adalah klien mengatakan masih batuk berdahak dan sulit untuk mengeluarkan dahak, auskultasi terdengar suara wheezing, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 86x
88
per menit, suhu 36,3˚C, respiratory rate 29x per menit, masalah bersihan jalan nafas belum teratasi, lanjutkan intervensi observasi tanda-tanda vital, ajarkan batuk efektif dan berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter. Hasil evaluasi pada hari kedua adalah klien mengatakan masih batuk berdahak, tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 83 x/menit, suhu : 36,5 ˚C/aksila, RR : 27 x/menit, klien tampak batuk, suara wheezing terdengar lirih, dahak bisa keluar ±2 sendok teh, masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian., lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda vital, ajarkan batuk efektif, berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter. Hasil evaluasi hari ketiga adalah klien mengatakan masih batuk berdahak, klien tampak batuk, suara wheezing terdengar lirih, sputum dapat keluar sebanyak ±3 sendok teh,tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, suhu : 36 ˚C/aksila, RR : 24 x/menit, masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tandatanda vital, ajarkan batuk efektif, beri terapi nebulizer sesuai advis. Kriteria evaluasi yang diharapkan pada klien dengan diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif adalah klien dapat mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, batuk efektif dan pengeluaran sekret, tanda-tanda vital dalam batas normal (Doengoes, 2000). Dari hasil analisa penulis kriteria pada teori di atas belum dicapai oleh Tn.A karena auskultasi klien masih terdengar suara tambahan wheezing karna masih terdapat penyempitan jalan nafas.
89
Pada hari pertama, klien mengatakan masih sesak nafas dan dada ampek, klien tampak kelelahan, bernafas dengan otot bantu pernafasan, bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir, pasien menggunakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit, respiratory rate 29 x/menit, masalah pola nafas belum teratasi, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan pasien, berikan posisi semi fowler, berikan oksigen nasal kanul sesuai advis dokter. Hasil hari kedua klien mengatakan masih sesak nafas dan pernafasan pasien lebih nyaman, klien masih bernafas dengan cuping hidung, menggunakan pernafasan bibir kadangkadang, dan masih menggunakan otot bantu pernafasan, pasien tampak nyaman, masih mengguanakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit, masalah pola nafas teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan pasien, beri posisi semi fowler, beri oksigen nasal kanul. Hasil hari ketiga klien mengatakan tidak sesak nafas tetapi dada ampek, klien tampak nyaman, sedikit tampak kelelahan, masih bernafas dengan cuping hidung dan otot bantu pernafasan, tidak menggunakan pernafasan bibir, pasien tidak menggunakan oksigen nasal kanul, masalah pola nafas teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan, beri posisi semi fowler. Kriteria evaluasi yang diharapkan dari klien dengan diagnosa ketidakefektifan pola nafas klien melaporkan tidak sesak nafas, tidak ada
90
sianosis, tidak ada otot bantu pernafasan (Doengoes, 2000). Menurut analisa penulisan klien pada teori diatas belum mencapai kriteria evaluasi, karena klien masih menggunakan otot bantu pernafasan karena pasien masih sesak nafas. Pada hari pertama, klien mengatakan tiap malam terbangun karena sesak nafas dan lingkungan yang berisik, klien tampak lemah, kantung mata hitam tidur siang 1 jam, masalah pola tidur belum teratasi, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai jadwal dan dosis. Hasil hari kedua klien mengatakan pada malam hari terbangun sebentar dan tidur lagi, klien tampak agak segar, jumlah jam tidur siang 1 jam dan malam 4-5 jam, masalah pola tidur teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai resep dokter. Hasil hari ketiga klien mengatakan malam hari masih terbangun sebentar dan tidur lagi, klien tampak agak segar, kantung mata hitam sedikit berkurang, jumlah jam tidur malam 4-5 jam, siang 1½ jam, masalah pola tidur teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur, beri lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai resep dari dokter.
91
Kriteria evaluasi yang diharapkan dari klien dengan diagnosa gangguan pola tidur klien melaporkan perbaikan dalam pola tidur, mengungkapkan rasa sejahtera dan segar (Doengoes, 2000). Menurut analisa penulisan klien pada teori diatas belum mencapai kriteria evaluasi, karena pola jumlah jam tidur pasien kurang. Berdasarkan hasil evaluasi asuhan keperawatan dan hasil observasi pada terapi nebulizer dan batuk efektif pada Tn.A dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronis menunjukan bahwa terapi nebulizer dan batuk efektif dapat meningkatkan status pernafasan dibuktikan dengan hasil yang didapatkan penulis sama dengan penelitian sebelumnya dan ditandai dengan tindakan yang sudah dilaksanakan ada dalam teori.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah
penulis
melakukan
pengkajian,
penentuan
diagnosa,
perencanaan, implementasi, evaluasi serta mengaplikasikan pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pada Asuhan Keperawatan pada Tn.A dengan penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) di Bangsal Anggrek 1 RSU Moewardi Soerakarta, maka dapat ditarik kesimpulan : 1. Pengkajian Hasil pengkajian pada Tn.A didapat data subyektif klien mengatakan batuk sudah 2 tahun batuk berdahak dan sulit untuk mengeluarkan dahak, sesak nafas dan dada ampek, pasien tampak batuk dan terdengar suara tambahan wheezing, pasien tampak bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir, dan bernafas dengan otot bantu pernafasan. Pada pemeriksaan paru-paru = inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), menggunakan otot bantu pernafasan, simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan suara wheezing. Tekanan darah : 130/100 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila, respiratori rate : 29 x/menit.
92
93
2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.A dengan PPOK yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang tertahan, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dan gangguan tidur berhubungan dengan gangguan sesak nafas. Diagnosa utama yang muncul pada Tn.A adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang tertahan. 3. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan yang direncanakan oleh penulis pada Tn.A dengan PPOK dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang tertahan memiliki tujuan dan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan bersihan jalan nafas tidak efektif dengan kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, mampu batuk efektif secara mandiri, jalan nafas paten, tidak ada suara nafas tambahan. Dengan berdasarkan ONEC O (observatio), N (Nursing), E (Education), C (Colaboration). Pada diagnosa pertama, rencana keperawatan yaitu observasi tanda-tanda vital, jelaskan manfaat pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif, ajarkan batuk efektif, berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter.
94
Diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi memiliki tujuan dan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman, tanda-tanda vital dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan. Pada diagnosa kedua rencana keperawatan yaitu, obsevasi status pernafasan pasien, berikan posisi semi fowler, jelaskan manfaat oksigen nasal kanul, berikan terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter. Diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan sesak nafas memiliki tujuan dan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur 7-8 jam per hari, pasien tampak segar, kantung mata tidak hitam. Pada diagnosa ketiga rencana keperawatan yaitu, observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, kolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter. 4. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn.A selama 11-13 Januari 2016 yaitu diagnosa pertama mengobservasi tanda-tanda vital, menjelaskan manfaat pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif, mengajarkan batuk efektif, memberikan terapi nebulizer sesuai advis dokter.
95
Diagnosa
kedua
mengobsevasi
status
pernafasan
pasien,
memberikan posisi semi fowler, menjelaskan manfaat oksigen nasal kanul, memberikan terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter. Diagnosa ketiga mengobservasi jumlah jam tidur pasien, memberikan lingkungan yang nyaman, mendiskusikan pentingnya tidur adekuat, mengkolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter. 5. Evaluasi Keperawatan Evaluasi keperawatan pada Tn.A selama 3 hari dengan evaluasi hari ketiga klien masih mengatakan batuk berdahak pasien tampak batuk, tetapi suara wheezing terdengar lirih, sputum dapat keluar sebanyak 3 sendok teh, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, suhu : 36 ˚C/aksila, RR : 24 x/menit. Masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian dan intervensi masih dilanjutkan. 6. Analisa Pemberian Nebulizer dan Batuk Efektif Pada Pasien dengan PPOK Pengaplikasian pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pada Tn.A belum berhasil sepenuhnya, setelah 3 hari dengan pemberian nebulizer dan batuk efektif respiratory rate menjadi 24 x per menit. Klien mengatakan saat diberikan terapi nebulizer dan batuk efektif pernafasan pasien berkurang meskipun sesak nafas belum hilang dan secret masih belum banyak yang keluar. Hal ini disebabkan karena
96
pasien belum bisa menerapkan teknik batuk efektif dengan baik dan benar sesuai teori. B. Saran Setelah penulis melakukan aplikasi pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pada asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) penulis akan memberikan usulan dan masukan positif khususnya di bidang kesehatan antara lain : 1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan Diharapkan Rumah Sakit Umum Khususnya Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan kerja sama baik antara tim kesehatan maupun klien sehingga dapat menngkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan dapat mengaplikasikan pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien batuk berdahak, khususnya pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). 2. Bagi Tenaga Kesehatan Khusunya Perawat Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainya dalam memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal, khususnya pada klien gangguan pemenuhan dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Perawat diharapkan dapat mengaplikasikan pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap pasien keluhan batuk berdahak.
97
3. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas dan profesional agar tercipta perawat yang profesional, terampil, inovatif, aktif, dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh
berdasarkan
kode
etika
keperawatan
dan
dapat
mengaplikasikan pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien batuk berdahak.
98
DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jilid I. Jakarta: EGC Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja.Gosyen Doengoes, Marlyn E, Moorhouse, Mary F dan Geissler, Alice C, 2000, Rencana Keperawatan Francis, C. (2008). Perawatan respiasi. Jakarta: Erlangga Helmi, N. (2013). Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK. Univesitas riau ISO. 2014. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI Kusyati, E. (2006). Keterampilan dan prosedur laboratorium keperawatan dasar. Jakarta: EGC Morton, dkk. (2012). Keperawatan Kritis Volume 1. Jakarta: EGC Mubarak, Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta: EGC Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika Muwarni, A (2011). Perawatan pasien penyakit dalam. Yogyakarta: Gosyen Publishing NANDA dan NIC – NOC. 2014. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawat Profesional Jilid 2. Jogjakarta. Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha medika Potter, A.P, & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Pranowo, C.(2008). Efektifitas batuk efektif dalam pengeluaran sputum untuk penemuan bta pada pasien tb paru di ruang rawat inap rumah sakit mardi rahayu kudus. Diakses pada tanggal 02 November 2015 Purnamadyawati. (2000). Nebulizer Work Shop II. Jurnal Perbedaan Postural Drainage dan Latihan Batuk Efektif pada Intervensi Nebulizer Terhadap Penurunan Frekuensi Batuk pada Asma Bronchiale Anak Usia 3-5 Tahun. Diakses tanggal 02 November 2015 Soemantri , I . 2007. Gangguan Sistem Pernafasan, Edisi 2. Jakarta : Salemba
99 Medika Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Tanto Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedoktera., edisi 4.Media Aedculapius. jakarta Wahyuni, L.(2014). Pengaruh pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien COPD. Diakses pada tanggal 24 November 2015 WHO.2011. Noncommunicable Deseases Country Profile. 2010 WHO.2013.World COPD Day in Your Country.http://www.Goldcopd.Org/wed in yourcountry.html?country_id=55&submit=Go. Diakses tgl 2 Maret 2013