PENGGUNAAN BANTAL SNIFFING POSITION TERHADAP PENINGKATAN VISIBILITAS LARING SAAT PEMASANGAN ENDOTRACHEAL (ET) PADA ASKEP Ny. P DENGAN POST LAPARATOMI a.i ILEUS OBSTRUKTIF DI INTENSIVE CARE UNIT DI RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
PARJIYANTI NIM : P.12 100
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
i
PENGGUNAAN BANTAL SNIFFING POSITION TERHADAP PENINGKATAN VISIBILITAS LARING SAAT PEMASANGAN ENDOTRACHEAL (ET) PADA ASKEP Ny. P DENGAN POST LAPARATOMI a.i ILEUS OBSTRUKTIF DI INTENSIVE CARE UNIT DI RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
PARJIYANTI NIM : P.12 100
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena, berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “penggunaan bantal sniffing position terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan endoracheal tube (ET) pada Ny. P dengan post laparatomi a.i ileus obstruktif di intensive care unit RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada yang terhormat: 1. Ibu Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 2. Ibu Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku sekretaris Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 3. Ibu Ika Subekti Wulandari, M.Kep, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan – masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
v
4. Ibu Wahyuningsih S, S.Kep., M.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Ibu Intan Batubara, S.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 6. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 7. Kedua orangtua dan kakakku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta,
Penulis
vi
Juni 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .....................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
iv
KATA PENGANTAR....................................................................................
v
DAFTAR ISI...................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..............................................................................
1
B. Tujuan Penulisan ...........................................................................
5
C. Manfaat Penulisan .........................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar ................................................................................
7
B. Kerangka Teori..............................................................................
16
C. Kerangka Konsep ..........................................................................
17
BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek Aplikasi Riset ....................................................................
18
B. Tempat Dan Waktu .......................................................................
18
C. Media Dan Alat Yang Digunakan.................................................
18
D. Prosedur Tindakan.........................................................................
19
E. Alat Ukur.......................................................................................
20
vii
BAB IV LAPORAN KASUS A. Identitas klien ................................................................................
22
B. Pengkajian .....................................................................................
22
C. Perumusan diagnosa keperawatan.................................................
28
D. Intervensi keperawatan..................................................................
29
E. Implementasi .................................................................................
31
F. Evaluasi .........................................................................................
35
BAB V PEMBAHASAN A. Pengkajian .....................................................................................
38
B. Perumusan diagnosa keperawatan.................................................
40
C. Intervensi.......................................................................................
42
D. Implementasi .................................................................................
45
E. Evaluasi .........................................................................................
47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan....................................................................................
52
B. Saran..............................................................................................
54
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR
1. Posisi Kepala Ekstensi (sniffing position) ...........................................
19
2. Malampati Classification .....................................................................
21
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Asuhan Keperawatan
Lampiran 2
Jurnal
Lampiran 3
Usulan Judul
Lampiran 4
Surat Pernyataan
Lampiran 5
Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 6
Log Book Kegiatan Harian
Lampiran 7
Format Pendelegasian Pasien
Lampiran 8
Daftar Riwayat Hidup
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus (Sabara, 2007). Obstruksi ileus adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana menghambat proses pencernaan secara normal (Sjamsuhidayat, 2006). penyebab yang paling utama adalah obstruksi mekanis; atrisia bawaan. Lesi-lesi extrinsik misalnya perlengketan, hernia interna dan eksterna. Striktura akibat peradangan, volvulus (usus melilit), invaginasi (usus halus masuk ke usus besar), thrombosis pada mesentrium, bahkan bisa juga oleh cacing. Non
mekanis;
akibat
dari
gangguan
neuromuskuler
yang
menimbulkan paralyse otot-otot atau faktor degenaratif pada usia manula 50%. Penyakit ini sering terjadi pada individu yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang rendah serat, dari kebiasaan tersebut akan muncul permasalahan pada kurangnya membentuk massa feses yang menyambung pada rangsangan peristaltik usus kemudian saat kemampuan peristaltik usus menurun maka akan terjadi konstipasi yang mengarah pada feses yang mengeras dan mampu menyumbat lumen usus sehingga menyebabkan terjadinya osbtruksi (Mansjoer, 2001). Beberapa penyebab ileus obstruktif adalah hernia inkarserata, invaginasi, keganasan, volvulus,
1
2
malformasi usus. Tanda dan gejala pada ileus obstruktif adalah konstipasi dan kegagalan membuang gas melalui rektum (tidak bisa platus), muntah-muntah: mula-mula mengandung empedu dan mucus pada obstruksi bagian usus yang tinggi, Suhu tubuh meningkat, dan Perut kembung, distensi abdomen. Komplikasi dari penyakit ileus obstruktif adalah peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen, perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada organ intra abdomen, sepsis infeksi akibat dari peritonitis yang tidak tertangani dengan baik dan cepat, syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma (Brunner and Suddarth, 2001). Salah satu cara penanganan pada pasien denga obstruksi ileus adalah dengan pembedahan laparotomi, penyayatan pada dinding abdomen. Laparotomi adalah suatu pembedahan yang dilakukan pada bagian abdomen untuk mengetahui suatu gejala dari penyakit yang diderita oleh pasien.suatu kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan tindakan laparotomi yaitu kanker organ abdominal, radang selaput perut, appendisitis, pankreasitis, obstruksi ileus (Smeltzer, 2002). Angka kejadian di Indonesia menunjukan kasus laparotomi meningkat dari 162 kasus pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada 2006 dan 1281 kasus pada tahun 2007 (Depkes RI, 2007). Angka kejadian di Rumah Sakit H. Adam
Malik
Medan menunjukan semakin tingginya angka terapi
pembedahan abdomen tiap tahunya, pada tahun 2008 terdapat 172 kasus laparotomi, lalu pada tahun 2009 terdapat 182 kasus pembedahan laparotomi
3
(Razid, 2010). Di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2013 pasien laparatomi dengan indikasi ileus sebanyak 100 pasien, tahun 2014 sebanyak 109 pasien, dan tahun 2015 sebanyak 21 pasien. Salah satu komplikasi pada pasien post operasi laparatomi adalah penurunan kesadaran karena terpengaruh anestesi. Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seorang individu sepenuhnya sadar akan diri dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penilaian kesadaran dapat terganggu apabila terdapat keadaan-keadaan di mana pasien sadar namun tidak dapat merespons terhadap stimulus yang diberikan oleh pemeriksa, seperti keadaan kerusakan input sensorik, kelumpuhan (locked in states) atau gangguan psikiatrik. Menurut (Mumenthaler, 2006) penurunan kesadaran terjadi oleh karena adanya kerusakan menyeluruh dari fungsi korteks, sehingga menyebabkan penurunan kualitas kesadaran secara menyeluruh atau karena kerusakan jalur-jalur tertentu dari batang otak. Pada pasien post operasi laparatomi dapat menyebabkan depresi pernafasan kemudian saturasi menurun atau tidak sadar karena pengaruh anestesi perlu manajemen pernafasan dengan cara pemasangan Endotracheal Tube (ET). Menurut (Harsono, 2005) pemasangan Endotracheal Tube (ET) yang bertujuan untuk memberikan bantuan hidup dasar yaitu airway (jalan nafas ). Airway yaitu tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap dan bertujuan membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh.
4
Saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) pasien diberikan posisi sniffing positionkepala (kepala ekstensi). Sniffing position adalah dimana pasien diposisikan dalam keadaan ekstensi dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan di berikan dibawah bahu untuk memperluas pandangan laring. Kesulitan saat pemberian posisi kepala ekstensi (sniffing position) pada pasien tidak sadar laring tidak terlihat karena melemahnya syaraf dan masih terpengaruh anestesi. Belum adanya bantal khusus yang digunakan untuk memposisikan sniffing position (kepala ekstensi) dan hanya menggunakan selimut atau flabot infus untuk memberikan posisi kepala ekstensi (sniffing position). Posisi kepala ideal sebagai elevasi kepala ringan dan ekstensi dengan meninggikan kepala 8 – 10 cm dengan cara sederhana menggunakan bantal (Adnet F, 2001). Menurut penelitian dari Lee BJ, 2007 posisi ekstensi sederhana itu sendiri juga dapat menghasilkan posisisi fleksi karena fleksi leher rendah. Keefektifan penggunaan bantal pasien yang tidak sadar bisa diposisikan kepala ekstensi (sniffing position) laring terlihat jelas dan dapat mempermudah untuk pemasangan Endotracheal Tube (ET). Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penyusunan karya tulis ilimiah yang berjudul “Penggunaan Bantal Sniffing Position
terhadap
Peningkatan
Visibilitas
Laring
saat
Pemasangan
Endotracheal Tube (ET) pada Ny. P dengan post operasi laparatomi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.
5
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Untuk mengaplikasikan tindakan penggunaan bantal sniffing position terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) askep Ny. P dengan post laparatomi. 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien post laparatomi b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien post laparatomi c. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien post laparatomi d. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien post laparatomi e. Penulis mampu menganalisa hasil penggunaan bantal sniffing position terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) askep Ny. P dengan post laparatomi
C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Penulis Penulis dapat meningkatkan kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi penggunaan bantal sniffing position terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) serta melengkapi pengetahuan penulis dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah
6
2. Bagi Institusi a. Rumah Sakit Karya tulis ini diharapkan dapat digunakan sebagai sebagai asuhan dalam melakukan asuhan keperawatan khususnya bagi pasien penurunan kesadaran
dalam penggunaan bantal sniffing position
terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) pada pasien post laparatomi b. Institusi Akademik Digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang tentang penggunaan bantal sniffing position terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) pada pasien post laparatomi c. Bagi pasien dan keluarga keluarga
mendapatkan
informasi
dan
pengetahuan
tentang
penggunaan bantal sniffing position terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) pada pasien post laparatomi 3. Bagi Pembaca Sebagai sumber informasi bagi pembaca tentang penyakit dan penggunaan bantal sniffing position terhadap peningkatan visibilitas laring saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) pada pasien post laparatomi.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori 1. Laparatomi a. Pengertian Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong, 2005). Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi (Lakaman: 2000). Menurut Ramali Ahmad (2000) mengatakan laparatomi yaitu pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi dan pembedahan melalui dinding perutatau abdomen. Tujuan: Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma abdomen. Laparatomi eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma. Post Laparatomi adalah tahapan setelah proses pembedahan pada area abdomen (laparatomi) dilakukan (Perry dan Potter, 2005). Perawatan pada pasien post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut. Tujuan perawatan post laparatomi antara lain yaitu
mengurangi
komplikasi
akibat
7
pembedahan,
mempercepat
8
penyembuhan, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin. Pasien post laparatomi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca bedah dapat memperlambat penyembuhan pasien itu sendiri. Pada pasien post laparatomi dengan keadaan tidak sadar atau mengalami penurunan kesadaran karena terpengaruh anestesi, lidah jatuh perlu manajemen pernafasan untuk membuka jalan nafas dengan cara pemasangan Endotracheal Tube (ET). Endotracheal Tube (ET) adalah ventilasi yang melaui pipa endtrotrakeal merupakan cara yang efektif, jalan nafas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen, tekanan udara pernafasan juga menjadi mudah dikendalikan. ET yang sering digunakan untuk resusitasi adalah pipa plastik lengkung dengan kedua ujung yang terbuka. Komplikasi pada pasien menggunakan alat bantu jalan nafas (ET) yaitu kerusakan pita suara, pipa ET masuk kedalam esophagus yang dapat menyebabkan hipoksia, luka pada bibir dan lidah, perforasi pada faring dan esophagus, dan laserasi pada faring. Saat pemasangan Endotracheal Tube (ET) pasien diposisikan dengan sniffing position dengan bantal untuk peningkatan visibilitas laring. Sniffing position adalah dimana pasien diposisikan dalam keadaan ekstensi dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan di berikan dibawah bahu untuk memperluas pandangan laring. Kesulitan saat pemberian posisi kepala ekstensi (sniffing position) pada pasien tidak sadar laring tidak terlihat karena melemahnya syaraf dan masih terpengaruh anestesi. Belum adanya bantal
9
khusus yang digunakan untuk memposisikan sniffing position (kepala ekstensi) dan hanya menggunakan selimut atau flabot infus untuk memberikan posisi kepala ekstensi (sniffing position). b. Etiologi Etiologi sehingga di lakukan laparatomi adalah karena disebabkan oleh beberapa hal (Smeltzer, 2005) yaitu : 1) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) 2) Perdarahan saluran pencernaan 3) Sumbatan pada usus halus dan usus besar 4) Masa pada abdomen 5) Peritonitis c. Manifestasi Klinis Manifestasi biasa timbul pada pasien post laparatomi (Smeltzer, 2005) diantaranya : 1) Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan 2) Peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi 3) Kelemahan 4) Mual, muntah, anoreksia (tidak nafsu makan) 5) Konstipasi 6) Pernafasan cepat 7) Sianosis pada bibir, gusi dan lidah 8) Kulit dingin dan terasa basah 9) Tekanan darah rendah dan urine pekat
10
d. Patofisiologi Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi. Tusukan/tembakan,pukulan,benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-dapat mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus di lakukan laparatomy (Smeltzer, 2005). Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan individu dapat kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organorgan, nyeri, iritasi cairan usus. Sedangkan traumatembus abdomen dapat mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri,
11
kematian sel. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ dan respon stress dari saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya kerusakan integritas kulit, syok dan perdarahan, kerusakan pertukaran gas, resiko tinggi terhadap infeksi, nyeri akut (Smeltzer, 2005). e. Penatalaksanaan Dasar pengobatan obstruksi usus (laparatomi) adalah koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan kompresi, memperbaiki peritonitis dan syok bila
ada,
serta
menghilangkan
obstruksi
untuk
memperbaiki
kelangsungan dan fungsi usus kembali normal (Arif, 2009) 1) Obstruksi Usus Halus Dekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik bermamfaat dalam mayoritas kasus obstruksi usus halus.Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka strangulasi yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan, sebelum pembedahan, terapi intra vena diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit (natrium, klorida dan kalium).Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus tergantung penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti hernia dan perlengketan. Tindakan pembedahannya adalah herniotomi. 2) Obstruksi Usus Besar Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi,
12
pembukaan secara bedah yang dibuat pasa sekum, dapat dilakukan pada pasien yang berisiko buruk terhadap pembedahan dan sangat memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa dilakukan adalah reseksi bedah utntuk mengangkat lesi penyebab obstruksi. Kolostomi sementara dan permanen mungkin diperlukan. f. Komplikasi Ada beberapa komplikasi yang terjadi pada pasien laparatomi menurut (Harnawati. 2008) yaitu : 1) Syok Sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai dengan
ketidakmampuan
untuk
mengekspresikan
produk
metabolisme. 2) Hemoragi a) Hemoragi primer Yaitu terjadi pada waktu pembedahan b) Hemoragi intermediari Yaitu beberapa jam setelah pembedahan ketika kenaikan tekanan darah ketingkat normalnya melepaskan bekuan yang tersangkut dengan tidak aman dari pembuluh darah yang tidak terikat c) Hemoragi sekunder Yaitu beberapa waktu setelah pembedahan bila ligatur slip karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh selang drainage.
13
g. Pemeriksaan Penunjang Menurut (Christine, 2001) ada beberapa pemeriksaan penunjang yaitu : 1) Pemeriksaan rektum Yaituadanya
darah
menunjukkan
kelainan
pada
usus
besar;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing 2) Laboratorium Yaitu hemoglobin, hematokrit, leukosit, albumin 3) Radiologik Yaitu jika diindikasikan untuk melakukan laparatomi 4) Parasentesis perut Yaitu tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu. 5) Lavase peritoneal Yaitu fungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga.
14
2. Illeus Obstruktif Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus (Sabara, 2007). Obstruksi ileus adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana menghambat proses pencernaan secara normal (Sjamsuhidayat, 2006). penyebab yang paling utama adalah obstruksi
mekanis;
atrisia
bawaan.
Lesi-lesi
extrinsik
misalnya
perlengketan, hernia interna dan eksterna. Striktura akibat peradangan, volvulus (usus melilit), invaginasi (usus halus masuk ke usus besar), thrombosis pada mesentrium, bahkan bisa juga oleh cacing. Non
mekanis;
akibat
dari
gangguan
neuromuskuler
yang
menimbulkan paralyse otot-otot atau faktor degenaratif pada usia manula 50%. Penyakit ini sering terjadi pada individu yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang rendah serat, dari kebiasaan tersebut akan muncul permasalahan pada kurangnya membentuk massa feses yang menyambung pada rangsangan peristaltik usus kemudian saat kemampuan peristaltik usus menurun maka akan terjadi konstipasi yang mengarah pada feses yang mengeras dan mampu menyumbat lumen usus sehingga menyebabkan terjadinya osbtruksi (Mansjoer, 2001). Beberapa penyebab ileus obstruktif adalah hernia inkarserata, invaginasi, keganasan, volvulus, malformasi usus. Tanda dan gejala pada ileus obstruktif adalah konstipasi dan kegagalan membuang gas melalui rektum (tidak bisa platus), muntahmuntah: mula-mula mengandung empedu dan mucus pada obstruksi bagian
15
usus yang tinggi, Suhu tubuh meningkat, dan Perut kembung, distensi abdomen. Komplikasi dari penyakit ileus obstruktif adalah peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen, perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada organ intra abdomen, sepsis infeksi akibat dari peritonitis yang tidak tertangani dengan baik dan cepat, syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma (Brunner and Suddarth, 2001). Salah satu cara penanganan pada pasien denga obstruksi ileus adalah dengan pembedahan laparotomi, penyayatan pada dinding abdomen. Laparotomi adalah suatu pembedahan yang dilakukan pada bagian abdomen untuk mengetahui suatu gejala dari penyakit yang diderita oleh pasien.suatu kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan tindakan laparotomi yaitu kanker organ abdominal, radang selaput perut, appendisitis, pankreasitis, obstruksi ileus (Smeltzer, 2002).
16
B. Kerangka Teori
Trauma abdomen, sumbatan pada usus
Kerusakan jaringan akibat penyumbatan di usus
Nyeri & sesak nafas
Dilakukan operasi laparatomi
Post op laparotomi
Penumpukan secret
Kerusakan integritas kulit
Penurunan kesadaran karena anestesi
Bersihan jalan nafas
Saturasi (SPO 2 ) menurun
(Arif, 209) Gambar 2.1
Pola nafas tidak efektif
Bersihan jalan n
17
C. Kerangka Konsep
Pemberian
bantal
untuk
Peningkatan visibilitas
sniffing position
laring pemasangan
(kepala ekstensi)
Endotracheal Tube (ET)
Gambar 2.2
18
BAB III METODEAPLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset Subjek dari aplikasi riset adalah pada pasien post laparatomi yang akan dilakukan pemasangan ET B. Tempat dan waktu Aplikasi riset akan dilakukan di ruang ICU pada tanggal 9-21 Maret 2015 C. Media dan alat yang digunakan Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang digunakan: Bantal yaitu untuk memberi posisi sniffing atau kepala ekstensi saat pemasangan ET. Bantal yang digunakan berukuran 8-10 cm. Alat dan bahan : 1. Dakron 2 kantong plastik 2. Kain katun 3. Benang dan jarum 1 buah Cara pembuatan : 1. Potong kain 2. Jahit sudut 4 sisi 3. Isi dengan dakron dengan ketebalan 15 cm setelah di beri beban 4. Tutup jahitan di sudut akhir
18
19
8-10 cm
Gambar 3.1
D. Prosedur Tindakan Prosedur tindakan yang akan dilakukan pada aplikasi penelitian tindakan “penggunaan bantal saat pemasangan Endotracheal Tube (ET)” adalah : 1. Fase orientasi a. Mengucapkan salam b. Memperkenalkan diri c. Menjelaskan tujuan tindakan d. Menjelaskan prosedur tindakan e. Menjaga privasi 2. Fase kerja a. Menyiapkan peralatan b. Cuci tangan c. Memposisikan kepala ekstensi dengan head chin lift
20
d. Mengukur mallampati score sebelum menggunakan bantal e. Mengangkat bahu pasien kemudian bantal dimasukkan dan di letakkan di bawah bahu dan kepala diposisikan ekstensi (sniffing position) f. Mengukur mallampati score setelah menggunakan bantal g. Proses pemasangan Endotracheal Tube (ET) h. Merapikan alat 3. Fase terminasi a. Melakukan evaluasi tindakan b. Berpamitan dengan pasien c. Mencuci tangan E. Alat Ukur 1. Alat ukur yang digunakan adalah Mallampati Score 2. Nilai Score Mallampati ada 4 yaitu
21
Gambar 3.2 Keterangan : 1. Rahang tonsil atas dan pilar membuka terlihat 2. Rahang tonsil parsial dan terlihat membuka 3. Bagian dasar terbuka akan tetapi tidak terlihat 4. Langit – langit keras terlihat
BAB IV LAPORAN KASUS
Bab ini penulis menjelaskan tentang aplikasi jurnal tentang keefektifan penggunaan bantal untuk memberikan sniffing positon (kepala ekstensi) pada Asuhan Keperawatan Ny.P dengan laparatomi dengan indikasi ileus obstruktif di ruang ICU RSUD Dr. Moewardi. Asuhan Keperawatan Ny. P meliputi pengkajian, perumusan masalah keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Pengkajian dilakukan pada tanggal 17 Maret 2015 jam 09.00 WIB dengan menggunakan metode alloanamnesa. A. Identitas Klien Hasil pengkajian diperoleh data antara lain, nama pasien Ny. P, berjenis kelamin perempuan dengan umur 77 tahun, berstatus sudah menikah, beragama islam, pendidikan terakhir sekolah dasar (SD), pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan bertempat tinggal di Saditan, Kartasura. Identitas penanggung jawab adalah Tn. S berumur 45 tahun, pendidikan terakhir sekolah menengah pertama (SMP) dan pekerjaan wiraswasta, alamat Saditan, Kartasura, hubungan dengan pasien adalah sebagai anak kandung. B. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 17 Maret jam 09.00 WIB. Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah susah bernfas. Riwayat penyakit sekarang yaitu keluarga pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit
22
23
pasien mengeluh perutnya sakit sebelah kanan atas selama dua hari dan sesak nafas kemudian pada tanggal 16 Maret 2015 jam 08.00 WIB pasien di bawa ke RSUD Dr.Moewardi. di IGD di diagnose laparatomi dengan indikasi ileus obstruktif dan pasien mendapatkan terapi infuse RL 20 tpm, ketorolac 30 mg dan di rencanakan operasi laparatomi jam 10.30 WIB. Pada tanggal 17 Maret 2015 jam 08.15 WIB pasien di pindah ke ruang ICU dengan tingkat kesadaran menurun GCS : E2 M4 V1 (supor). Keluarga pasien mengatakan pasien sering memakai tagen kurang lebih 2 tahun dan belom pernah di rawat di rumah sakit, tidak mempunyai alergi obat ataupun makanan. Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mempunyai penyakit ketrunan seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma. Keluarga pasien mengatakan lingkungan rumahnya jauh dari industri, bersih, bebas dari polusi dan terdapat ventilasi yang cukup. Hasil pengkajian primer, pada pola airway : lidah jatuh, terpasang mayo atau OPA, ada suara seperti berkumur-kumur (gargling). Breathing : respirasi 15x/menit, saturasi 100%. Circulation : nadi 100x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, capillary refile < 2 detik, akral dingin, warna kulit sawo matang,perdarahan luka operasi minimal terbalut kassa steril. Disability : E = 2 (respon membuka mata dengan rangsangan nyeri), M = 4 (motorik), V = x (terpasang OPA verbal tidak terkaji). Exposure : terpasang selimut, terpasang bedside monitor, kateter, tangan kanan terpasang infus RL, luka operasi kurang lebih 12 cm di perut kanan atas.
24
Hasil pengkajian pola gordon pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan keluarga pasien mengatakan bahwa kesehatan adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat melakukan aktivitas sehari-hari, tidak dalam keadaan sakit, sehat jasmani dan rohani. Apabila ada keluarga yang sakit segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Pola nutrisi dan metabolisme sebelum sakit pasien makan 3x sehari dengan jenis nasi, sayur, dan lauk, habis 1 porsi, pasien tidak mengalami keluhan, Minum pasien habis 6-8 gelas per hari, dengan air putih dan teh 1 gelas belimbing 250 ml x 6 = 1.500 ml, pasien mengatakan tidak ada keluhan, selama sakit pola nutrisi dan metabolisme tidak terkaji. Pola eliminasi BAB,baik sebelum sakit pasien BAB 3x sehari dengan konsistensi lunak berwarna kuning kecoklatan dan berbau khas. Selama sakit BAB lunak berwarna kuning kecoklatan dan berbau khas. Pola eliminasi BAK sebelum sakit 5-6x sehari, 50-100 cc setiap kali BAK, berwarna kuning jernih berbau khas amoniak dan tidak ad keluhan, selama sakit terpasang kateter, bag urine terisi 100-200 cc/7 jam, berwarna kuning jernih berbau khas amoniak. Pola aktivitas dan latihan sebelum sakit pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (score 0), selama sakit makan dan minum di bantu dengan alat (score 1), toiletin, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah dan ambulasi di bantu orang lain dan alat (score 3). Data diatas disimpulkan bahwa Ny. P tergantung total.
25
Pola istirahat tidur, sebelum sakit pasien tidur nyenyak baik siang maupun malam hari, tidur siang 2-3 jam dan tidur malam 7-8 jam tanpa menggunakan obat tidur, selama sakit pola istirahat dan tidur tidak terkaji. Pola persepsi konsep diri keluarga pasien mengatakan pasien sudah melakukan yang terbaik dan merasa berharga berada di lingkungannya, gambaran diri keluarga pasien mengatakan pasien menyukai seluruh anggota tubuhnya, ideal diri keluarga pasien mengatakan pasien menerima kehadirannya, peran diri keluarga pasien mengatakan pasien sebagai ibu rumah tangga. Pola hubungan peran, sebelum sakit keluarga pasien mengatakan pasien dengan keluarga harmonis dan hubungan pasien dengan masyarakat cukup baik dan sering mengikuti kegiatan social, selama sakit pola hubungan peran tidak terkaji. Pola seksualitas reproduksi pasien berjenis kelamin perempuan berusia 77 tahun, sudah menikah dan mempunyai dua seorang anak yaitu anak pertama Tn. S (45 tahun), Ny. P (39 tahun) dan menggunakan KB pil, pasien tidak mempunyai penyakit di bagian reproduksi. Pola mekanisme koping keluarga pasien mengatakan jika pasien ada masalah di dalam keluarganya selalu bercerita kepada seluruh anggota keluarga dan ketika mengambil suatu keputusan dilakukan secara musyawarah dan pasien mau dibawa ke rumah sakit dan saat mau operasi pasien tampak cemas dan gelisah.
26
Pola nilai dan keyakinan, sebelum sakit pasien sabar dalam menghadapi cobaan karena sakit adalah suatu cobaan, pasien beragama islam dan menjalankan sholat 5 waktu. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien lemas dan kesadaran supor, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 100x/menit teraba kuat dan berirama teratur, respirasi 15x/menit irama teratur, suhu 36° C. Bentuk kepala mesochepal,kulit kepala bersih, tidak ada luka, rambut beruban (putih), tidak rontok, tidak ada kutu. Pemeriksaan mata didapatkan data mata simetris kanan kiri, sclera tidak ikhterik, pupil isokor, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pemeriksaan hidung bersih tidak ada sekret, tidak ada nafas cuping hidung. Mulut simetris, mukosa bibir kering. Gigi tidak bersih dan jumlah gigi tidak lengkap. Telinga simetris, tidak ada serumen, dan tidak ada gangguan pendengaran. Pemeriksaan leher, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada pembesaran limfe. Pemeriksaan paru, didapatkan hasil inspeksi: bentuk dada simetris, tidak menggunakan otot bantu nafas, ekspansi paru kanan/kiri sama, palpasi: vocal fremitus kanan/kiri sama, perkusi: sonor, auskultasi: suara vesikuler dan irama regular. Pemeriksaan fisik jantung inspeksi: ictus cordis tidak tampak, perkusi: ictus cordis teraba di ICS V, perkusi: pekak, auskultasi: bunyi jantung I,II sama, tidak ada suara tambahan. Pada pemeriksaan fisik abdomen inspeksi: perut simetris, ada jejas (luka jahitan), panjang luka jahitan 12 cm, terdapat umbilicus, auskultasi: bising usus 12x/menit, perkusi pekak pada
27
kuadran 1, tympani kuadran III, palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa. Pemeriksaan genetalia, didapatkan hasil genetalia bersih, tidak ada jejas, terpasang DC pada tanggal Maret 2015. Pemeriksaan rektum bersih, tidak ada luka. Pemeriksaan ekstermitas bagian atas didapatkan hasil kekuatan 1 (tidak bisa di gerakkan/pasien tidak sadar), tangan kanan terpasang infus Nacl20 tpm, perabaan akral dingin, capillary refile < 2 detik. Pada pemeriksaan ekstermitas bagian bawah diperoleh hasil kekuatan otot kaki kanan dan kiri 1 (tidak bisa di gerakkan/pasien tidak sadar), perabaan akral dingin, tidak oedema, capilery refile < 2 detik. Hasil pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 17 Maret 2015 diperoleh hasil : hemoglobin 11.3 g/dl (nilai normal 11.6 – 16.1), hematokrit 34 % (nilai normal 33 - 45), leukosit 12.7 ribu/ul (nilai normal 4.5 – 10), trombosit 382 ribu/ul (nilai normal 15.0 – 45.0), eritrosit 3.91 juta/ul (nilai normal 4.10 – 5.10), GDS 107 mg/dl (nilai normal 60 - 140), albumin 2.2 g/dl (nilai normal 3.2 – 4.6), natrium darah 131 mmol/l (nilai normal 132 - 146), kalium darah 4.0 mmol/l (nilai normal 3.7 – 5.4), chloride darah 102 mmol/l (nilai normal 98 - 106), PH 7.399 (nilai normal 7.310 – 7.420), BE -4.1 mmol/l (nilai normal -2 - 3), PCO2 33.0 mmHg (nilai normal 27.0 – 41.0), PO2 182.4 mmHg (nilai normal 70.0 – 100.0), HCO3 21.0 % (nilai normal 21.0 – 28.0), total CO2 18.2 mmol/l (nilai normal 19.0 – 24.0), saturasi O2 99.5 % (nialai normal 94 - 100). Pada pemeriksaan tanggal 18 Maret 2015 diperoleh hasil: albumin 2.7 g/dl, PH 7.380, BE -4.1 mmol/l, PCO2 35.0
28
mmHg, hematokrit 26 %, HCO3 22.0 mmol/l, CO2 22.7 mmol/l, saturasi O2 99.0 %. Selama dirawat di ICU, pasien mendapatkan therapy Nacl 0.9% 20 tpm untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi, injeksi ranitidine 50 mg/12 jam untuk pengobatan tukak lambung jangka pendek, paracetamol 1 gr/8 jam untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan menurunkan demam, morfin 10 mg/9 jam untuk pengobatan pernafasan, metrodinazol 500 mg/8 jam untuk pengobatan pencegahan infeksi, ciprofloxacin 400 mg/12 jam untuk pengobatan infeksi gram negative dan gram positif saluran cerna. C. Perumusan Diagnosa Keperawatan Berdasarkan data pengkajian dan obsevasi diatas, penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan. Data subyektif tidak terkaji. Data obyektif lidah pasien tampak jatuh, ada suara seperti berkumur – kumur (gargling) di trakea, mengalami penurunan kesadaran GCS: E = 2(dengan rangsangan nyeri), V = 1 (tidak ada respon karena terpasang ET), M = 4 (menjauh dari stimulus), kesadaran supor,reflek batuk dan menelan tidak ada. Berdasarkan data diatas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret. Data subyektif tidak terkaji. Data obyektif respirasi 15x/menit, nadi 100x/menit, hasil inspeksi breathing tidak ada jejas, bentuk simetris, palpasi: tidak ada nyeri tekan, perkusi: sonor seluruh lobus paru, auskultasi: ada suara
29
tambahan ditrakea (gargling).Hasil AGD pada tanggal 17 maret 2015 PH 7.399, PCO2 33.0 mmHg, HCO3 21.0 mmol/l, saturasi 100 %, kesimpulan asidosis metabolik terkompensasi sebagian. Berdasarkan data diatas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular. Data subyektif tidak terkaji. Data obyektif pasien tampak ada luka jahitan di abdomen (perut), panjang luka 12 cm, perabaan akral dingin. Berdasrkan data di atas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan D. Intervensi Keperawatan Berdasarkan diagnosa pertama bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret. Berdasarkan NOC Respiratory Status : Airway Patency, maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di rumah sakit jalan nafas efektif dengan kriteria hasil menunjukkan jalan nafas yang paten, mampu mengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas, status pernafasan respiration rate dalam batas normal. Intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan berdasarkan NIC Airway suction dan Airway Management adalah monitor respirasi dan status oksigen dengan rasional evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan, bersihkan jalan nafas dengan cara suction dengan rasional untuk mengurangi secret, berikan posisi kepala ekstensi (sniffing position) dengan
30
bantal saat pemasangan alat bantu jalan nafas (ET) dengan rasional untuk mempermudah melakukan pemasangan ET, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction dengan rasional untuk melatih kemandirian, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam) dengan rasional untuk mengatasi rasa sakit yang terbilang parah (pada saraf dan otak). Berdasarkan diagnosa kedua ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Berdasarkan NOC Respiratory Status : Ventilaton. Maka penulis menyusun intervensi atau rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan berdasarkan NIC Airway Management
selama di rumah sakit dirapkan pola nafas efektif
dengan kriteria hasil kaji tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, respirasi atau pernafasan), menunjukkan jalan nafas yang paten, tidak ada retraksi atau otot bantu nafas. Intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan adalah monitor respirasi dan oksigen dengan rasional evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan, bersihkan mulut dengan tisu, berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan dengan rasional untuk memaksimalkan pernafasan, pertahankan jalan nafas yang paten dengan rasional untuk mempermudah dalam pernafasan. Berdasarkan diagnosa ketiga kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Maka penulis menyusun intervensi atau rencana keperawatan berdasarkan NOC Skin Care dengan tujuan setelah
31
dilakukan tindakan keperawatan selama di rumah sakit diharapkan tidak ada kerusakan integritas kulit dengan kriteria hasil integritas kulit baik, tidak ada luka, perfusi jaringan baik. Intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan berdasarkan NIC Skin Care : Graft Site (3583) adalah observasi kulit akan adanya kemerahan dengan rasional untuk mengetahui , bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan dengan rasional untuk menjaga kebersihan pada luka jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit dengan rasional untuk menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat dengan rasional untuk proses penyembuhan. E. Implementasi Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret atau mucus pada hari selasa, 17 Maret 2015 pukul 09.30 WIB yaitu memonitor respirasi dan oksigen. Respon subyektif tidak terkaji, respon obyektif pasien tampak lemah, RR : 15 x/menit, nadi 100x/menit, SPO 2 85%. Pukul 09.45 WIB membersihkan jalan nafas dengan cara suction. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif terdengar suara tambahan (berkumur-kumur). Pukul 10.00 WIB memberikan posisi kepala ekstensi (sniffing position) dengan bantal. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif Endotracheal Tube (ET) sudah terpasang, Pukul 10.10 WIB mengajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction. Respon subyektif keluarga pasien mengatakan bersedia untuk di ajarkan cara suction. Respon obyektif keluarga pasien tampak memperhatikan dan kooperatif. Pukul 10.25 WIB kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
32
obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat masuk, tidak ada tanda-tanda alergi. Pukul 10.35 WIB diagnosa kedua pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Memonitor respirasi dan status oksigen. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 15x/menit, nadi 100x/menit. Pukul 11.00 WIB memberikan oksigen tambahan sesuai kebutuhan 4 liter per menit. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 18x/menit,pasien tampak tidak sesak nafas. Pukul 11.10 WIB mempertahankan jalan nafas yang paten. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak tidak sesak, RR 18x/menit. Pukul 11.30 WIB diagnosa ketiga kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor kimia : pembedahan. Mengobservasi kulit akan adanya kemerahan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak ada luka di perut. Pukul 11.45 WIB membersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif luka post operasi tampak bersih. Pukul 13.00 WIB mengajarkan cara menjaga kebersihan kulit. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif keluarga pasien tampak mengerti dengan penjelasan perawat. Pukul 13.30 WIB kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat sudah di berikan. Tindakan keperawatan yang dilakukan hari kedua, rabu 18 Maret 2015 pukul 08.10 WIB pada diagnosa ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret. Memonitor respirasi dan oksigen.
33
Respon subyektif tidak terkaji, respon obyektif pasien tampak lemah, RR : 16x/menit, nadi 100x/menit, SPO 2 99%. Pukul 08.20 membersihkan jalan nafas dengan cara suction. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif masih
terdengar
suara
tambahan
(berkumur-kumur).
Pukul
08.40
mengajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction. Respon subyektif keluarga pasien mengatakan bersedia untuk di ajarkan cara suction. Pukul 09.00 kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat masuk, tidak ada tanda-tanda alergi. Pukul 09.15 WIB pada diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Memonitor respirasi. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 16x/menit, nadi 100x/menit. Pukul 09.40 memberikan oksigen tambahan sesuai kebutuhan 4 liter per menit. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 17x/menit, pasien tampak tidak sesak nafas. Pukul 10.00 WIB mempertahankan jalan nafas yang paten. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak tidak sesak, RR 17x/menit. Pukul 10.40 WIB pada diagonsa ketiga kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Mengobservasi kulit akan adanya kemerahan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak ada luka di perut. Pukul 11.00 WIB membersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif luka post operasi tampak bersih. Pukul 11.20 WIB mengajarkan cara menjaga kebersihan kulit. Respon subyektif tidak terkaji.
34
Respon obyektif keluarga pasien tampak mengerti dengan penjelasan perawat. Pukul 12.05 WIB kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat sudah di berikan. Tindakan keperawatan yang dilakukan hari ketiga, 19 Maret 2015 pukul 08.15 pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret. Memonitor respirasi. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 17x/menit, nadi 85x/menit, SPO2 99%. Pukul 10.00 WIB kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat masuk, tidak ada tanda-tanda alergi. Pukul 11.20 WIB pada diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. memberikan oksigen tambahan sesuai kebutuhan 4 liter per menit. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 17x/menit, pasien tampak tidak sesak nafas. Pukul 12.05 mempertahankan jalan nafas yang paten. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak tidak sesak, RR 17x/menit. Pukul 12.20 pada diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Mengobservasi kulit akan adanya kemerahan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak ada luka di perut, pukul 12.35 WIB membersihkan pada luka jahitan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif luka post operasi tampak bersih. Pukul 12.45 WIB mengajarkan cara menjaga kebersihan kulit. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif keluarga pasien tampak mengerti dengan penjelasan perawat. Pukul 13.00
35
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat sudah di berikan. F. Evaluasi Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis kemudian dievaluasi pada hari selasa, 17 Maret 2015 pukul 13.30 WIB dengan metode SOAP pada diagnosa bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret. Subyektif tidak terkaji. Obyektif lidah jatuh terpasang OPA, terdengar suara tambahan (berkumur-kumur), RR 15x/menit, nadi 100x/menit, kesadaran sopor (GCS : 7), SPO 2 85%. Analisa bersihan jalan nafas belum teratasi. Planning monitor respirasi dan status oksigen, bersihkan jalan nafas dengan cara suction, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam). Pukul 13.40 WIB penulis juga melakukan evaluasi untuk diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Subyektif tidak terkaji. Obyektif RR : 15x/menit. Analisa masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planning monitor respirasi dan oksigen, berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan, pertahankan jalan nafas yang paten. Pukul 14.00 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa kerusakan intgeritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Subyektif tidak terkaji. Obyektif pasien tampak ada luka jahitan diperut. Analisa masalah belum teratasi. Planning observasi kulit akan adanya
36
kemerahan, bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Pada hari kedua Rabu, 18 Maret 2015 pukul 13.30 WIB dengan metode SOAP. Subyektif tidak terkaji. Obyektif lidah jatuh terpasang OPA, terdengar
suara
tambahan
(berkumur-kumur),
RR
16x/menit,
nadi
100x/menit, kesadaran spoor (GCS : 7), SPO 2 99%. Analisa bersihan jalan nafas belum teratasi. Planning monitor respirasi dan status oksigen, bersihkan jalan nafas dengan cara suction, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam). Pukul 13.45 WIB penulis melakulan evaluasi untuk diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Subyektif tidak terkaji. Obyektif RR : 17x/menit. Analisa masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planning monitor respirasi dan oksigen, berikan posisi kepala ekstensi (sniffing position) saat pemasangan alat jalan nafas (Endo Tracheal Tube), berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan, pertahankan jalan nafas yang paten. Pukul 14.00 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanik : pembedahan. Subyektif tidak terkaji. Obyektif pasien tampak ada luka jahitan diperut. Analisa masalah belum teratasi. Planning observasi kulit akan adanya kemerahan, bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka
37
jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Pada hari ketiga Kamis, 19 Maret 2015 pukul 13.35 dengan metode SOAP pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumlasi sekret. Subyektif tidak terkaji. Obyektif tampak tidak terdengar suara tambahan (berkumur – kumur), RR : 17x/menit, nadi 85x/menit, SPO 2 99%. Analisa masalah keperawatan ketidakefetifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret teratasi sebagian. Planning monitor respirasi, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Pukul 13. 55 penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Subyektif tidak terkaji. Obyektif RR : 17x/menit. Analisa masalah keperawatan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular teratasi sebagian. Planning berikan oksigen tambahan 4 liter per menit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor kimia : pembedahan. Subyektif tidak terkaji. Obyektif pasien tampak ada luka jahitan di perut, panjang luka 12 cm, perabaan akral dingin. Analisa masalah keperawatan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan belum teratasi. Planning
observasi
kulit
akan
adanya
kemerahan,
bersihkan
dan
meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.
38
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respons pasien saat ini dan waktu
sebelumnya (Carpenito, 2005). Pengkajian dilakukan
dengan
menggunakan metode alloanamnesa, dimulai dari biodata pasien, riwayat kesehatan, dan hasil laboratorium, pengkajian fisik. Metode dalam pengumpulan data adalah observasi yaitu dengan mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah – masalah yang dialami pasien. Selanjutnya data dasar tersebut digunakan untuk menentukan diagnosis keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah pasien (Darmawan, 2012). Pengkajian pada Ny. P yang berumur 77 tahun mengalami penurunan kesadaran karena terpengaruh anestesi setelah menjalani operasi, lidah jatuh, terpasang mayo atau OPA atau oropharing yaitu Penggunaan pipa orofaring dapat digunakan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan nafas terutama bagi penderita tidak sadar, saturasi atau SPO 2 menurun, sehingga menyebabkan bersihan jalan nafas tidak efektif dan pemenuhan oksigen atau O 2 berkurang. Menurut Djojodibroto (2012) menyebutkan bahwa
38
39
secara umum pasien yang terpasang mayo atau OPA ada produksi sputum yang banyak. Pada pemeriksaan fisik dada didapatkan hasil : inspeksi paru bentuk dada simetris, tidak ada jejas atau bekas luka, palpasi vocal fremitus kanan kiri sama, saat diperkusi bunyi sonor diseluruh lobus, saat di auskultasi ada suara tambahan yaitu suara sperti berkumur – kumur atau gargling. Respirasi 15x/menit. Ketika saturasi atau SPO 2 menurun dan respirasi 15x/menit perlu manajemen pernafasan dengan cara pemasangan Endotracheal Tube (ET). Menurut Harsono (2005) pemasangan Endotracheal Tube (ET) yang bertujuan untuk memberikan bantuan hidup dasar yaitu airway (jalan nafas). Airway yaitu tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap dan bertujuan membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi tubuh. Kesulitan saat pemberian posisi kepala ekstensi (sniffing position) pada pasien tidak sadar laring tidak terlihat karena melemahnya syaraf dan masih terpengaruh anestesi. Belum adanya bantal khusus yang digunakan untuk memposisikan sniffing position (kepala ekstensi) dan hanya menggunakan selimut atau flabot infus untuk memberikan posisi kepala ekstensi (sniffing position). Menurut penelitian dari Lee BJ, 2007 posisi ekstensi sederhana itu sendiri juga dapat menghasilkan posisisi fleksi karena fleksi leher rendah. Keefektifan penggunaan bantal pasien yang tidak sadar bisa diposisikan kepala ekstensi (sniffing position) laring terlihat jelas dan dapat mempermudah
40
untuk pemasangan Endotracheal Tube (ET). Posisi kepala ideal sebagai elevasi kepala ringan dan ekstensi dengan meninggikan kepala 8 – 10 cm dengan cara sederhana menggunakan bantal (Adnet F, 2001). B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respons individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual, potensial atau proses kehidupan (Potter dan Perry, 2005). Diagnosa pertama yang diangkat penulis adalah bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret. Bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruktif dari saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan nafas (Nanda, NIC NOC 2013). Akumulasi sekret adalah dimana suatu keadaan tubuh terdapat penumpukan atau akumulasi dahak yang tidak bisa dikeluarkan. Saat dilakukan pengkajian didapatkan data subyektif tidak terkaji (Arif, 2006). Data obyektif lidah pasien tampak jatuh, ada suara seperti berkumur – kumur (gargling) di trakea, mengalami penurunan kesadaran GCS: E = 2 (dengan rangsangan nyeri), V = 1 (tidak ada respon karena terpasang ET), M = 4 (menjauh dari stimulus), kesadaran sopor. Sopor adalah keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. Diagnosa kedua yang diangkat penulis yaitu pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular. Pola nafas tidak efektif adalah pertukaran udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat (NANDA NIC NOC 2013). Disfungsi neuromuskular adalah melemahnya syaraf karena
41
pengaruh anestesi. Saat dilakukan pengkajian diperoleh data subyektif tidak terkaji. Data obyektif respirasi 15x/menit, nadi 100x/menit, hasil inspeksi breathing tidak ada jejas, bentuk simetris, palpasi: tidak ada nyeri tekan, perkusi: sonor , auskultasi: ada suara tambahan ditrakea (gargling).Hasil AGD pada tanggal 17 maret 2015 PH 7.399, PCO2 33.0 mmHg, HCO3 21.0 mmol/l, saturasi 84%, kesimpulan asidosis metabolic terkompensasi sebagian. Diagnosa ketiga yang diangkat penulis adalah kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Kerusakan integritas kulit adalah perubahan atau gangguan epidermis atau dermis (NIC NOC, 2013). Saat dilakukan pengkajian diperoleh data subyektif tidak terkaji. Data obyektif pasien tampak ada luka jahitan di perut, panjang luka 12 cm, perabaan akral dingin. Hal ini sesuai dengan teori mengenai batasan karakteristik kerusakan integritas kulit adalah gangguan permukaan kulit, invasi struktur tubuh, kerusakan lapisan kulit (NANDA, 2013) faktor mekanik karena pasien post operasi laparatomi termasuk pembedahan di area abdomen atau perut. Penulis mengangkat diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret sebagai diagnosa yang prioritas dan actual. Hal ini sesuai dengan teori hierarki Maslow yang menyebutkan bahwa kebutuhan oksigen (menghirup udara) termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan hidup dan harus dipenuhi terlebih dahulu daripada kebutuhan yang lain (Mubarak, 2008).
42
C. Intervensi Intervensi merupakan langkah berikutnya dalam proses keperawatan. Pada langkah ini, perawat menetapkan tujuan dan kriteria hasil yang diharapka bagi pasien dan merencanakan intervensi keperawatan (Andarmoyo, 2013). Sesuai dengan prioritas diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret (00031). Penulis membuat tujuan yaitu setelah dilakulan tindakan keperawatan selama di rumah sakit jalan nafas efektif dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Clasifications) Respiratory Status : Airway Patency : menunjukkan jalan nafas yang paten, mampu umengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas, status pernafasan respiration rate dalam batas normal. Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Interventions Clasifications) Airway suction dan Airway Management : monitor respirasi dan status oksigen dengan rasional evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan. Respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandungkan O 2 (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO 2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Syaifuddin, 1996), bersihkan jalan nafas dengan cara suction dengan rasional untuk mengurangi secret. Sekret adalah suatu cairan atau lendir yang berada di dalam tubuh maka diperlukan tindakan suction untuk mengurangi sekret, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan
43
suction dengan rasional untuk melatih kemandirian, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam) dengan rasional untuk mengatasi rasa sakit yang terbilang parah (pada saraf dan otak). Diagnosa kedua ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuscular (00032), penulis membuat tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di rumah sakit diharapkan pola nafas efektif dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Clasifications) Respiratory Status : Ventilaton : kaji tanda-tanda vital dalam rentang normal (nadi, respirasi atau pernafasan), menunjukkan jalan nafas yang paten, tidak ada retraksi atau otot bantu nafas. Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Interventions Clasifications) Airway Management : monitor respirasi dan oksigen dengan rasional evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan, berikan posisi kepala ekstensi (sniffing position) saat pemasangan alat jalan nafas (Endotracheal Tube) dengan rasional untuk mempermudah melakukan pemasangan alat jalan nafas. Sniffing position adalah dimana pasien diposisikan dalam keadaan ekstensi dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan di berikan dibawah bahu untuk memperluas pandangan laring (Adnet F, 2001). Berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan dengan rasional untuk memaksimalkan pernafasan. Pernafasan adalah proses pertukaran gas yang berasal dari makhluk hidup dengan gas yang ada di
44
lingkungan. kebutuhan oksigen (menghirup udara) termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan hidup dan harus dipenuhi terlebih dahulu daripada kebutuhan yang lain (Mubarak, 2008). Pertahankan jalan nafas yang paten dengan rasional untuk mempermudah dalam pernafasan (Nanda NIC NOC, 2013). Diagnosa ketiga kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan, penulis membuat tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di rumah sakit diharapkan tidak ada kerusakan integritas kulit dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Clasications) Skin Care : integritas kulit baik, tidak ada luka, perfusi jaringan baik. Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi
keperawatan
berdasarkan
NIC
(Nursing
Interventions
Clasifications) Skin Care : Graft Site (3583) : observasi kulit akan adanya kemerahan dengan rasional untuk mengetahui tanda – tanda akan terjadi infeksi. Infeksi adalah dimana suatu keadaan suatu luka adanya pus atau nanah yang disebabkan karena kuman atau bakteri. Bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan dengan rasional untuk menjaga kebersihan pada luka jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit dengan rasional untuk menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat dengan rasional untuk proses penyembuhan.
45
D. Implementasi Implementasi keperawatan adalah komponen dari proses keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan kriteria hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter and Perry, 2005). Dalam melakukan tindakan keperawatan selama di rumah sakit penulis tidak mengalami hambatan, penulis melakukan implementasi berdasarkan intervensi yang telah di buat. Pada prioritas diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret tindakan yang dilakukan pada tanggal 17 Maret 2015 pukul 08.10 WIB memonitor respirasi dan oksigen. Respon subyektif tidak terkaji, respon obyektif pasien tampak lemah, RR : 15 x/menit, nadi 100x/menit. Pukul 10.00 WIB membersihkan jalan nafas dengan cara penghisapan atau suction. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif
tidak terdengar suara tambahan
(berkumur-kumur). Pukul 11.00 WIB mengajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction, Pukul 10.00 WIB memberikan posisi kepala ekstensi (sniffing position) dengan bantal. Nilai Mallampati Score sebelum menggunakan bantal adalah 4 yaitu laring belum terlihat jelas masih tertutup oleh lidah dan nilai Mallampati Score sesudah menggunakan bantal adalah 2 yaitu laring terlihat jelas. Jadi posisi kepala ekstensi (sniffing position) efektif. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif Endotracheal Tube (ET) sudah terpasang. Sniffing position adalah dimana pasien diposisikan dalam keadaan ekstensi dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan bantuan bantal atau
46
selimut yang dilipat dan di berikan dibawah bahu untuk memperluas pandangan laring. Kesulitan saat pemberian posisi kepala ekstensi (sniffing position) pada pasien tidak sadar laring tidak terlihat karena melemahnya syaraf dan masih terpengaruh anestesi. Belum adanya bantal khusus yang digunakan untuk memposisikan sniffing position (kepala ekstensi) dan hanya menggunakan selimut atau flabot infus untuk memberikan posisi kepala ekstensi (sniffing position). Posisi kepala ideal sebagai elevasi kepala ringan dan ekstensi dengan meninggikan kepala 8 – 10 cm dengan cara sederhana menggunakan bantal (Adnet F, 2001). Menurut penelitian dari Lee BJ, 2007 posisi ekstensi sederhana itu sendiri juga dapat menghasilkan posisisi fleksi karena fleksi leher rendah. Keefektifan penggunaan bantal pasien yang tidak sadar bisa diposisikan kepala ekstensi (sniffing position) laring terlihat jelas dan dapat mempermudah untuk pemasangan Endotracheal Tube (ET). Respon subyektif keluarga pasien mengatakan bersedia untuk di ajarkan cara suction. Respon obyektif keluarga pasien tampak memperhatikan dan ko-operatif. Pukul 11.15 WIB kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat masuk, tidak ada tanda-tanda alergi. Tindakan keperawatan yang dilakukan hari kedua pada tanggal 18 maret 2015 pada pukul 09.15 WIB memonitor respirasi dan status oksigen. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 17x/menit, nadi 100x/menit. Pukul 08.45 WIB memberikan posisi kepala ekstensi (sniffing position). Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak
47
nyaman. Pukul 10.00 WIB memberikan oksigen tambahan sesuai kebutuhan 4 liter per menit. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif RR : 18x/menit,pasien
tampak
tidak
sesak
nafas.
Pukul
11.00
WIB
mempertahankan jalan nafas yang paten. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak tidak sesak, RR 17x/menit. Tindakan keperawatan yang di lakukan hari ketiga pada 19 Maret 2015 pada pukul 10.40 pada diagonsa ketiga kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Mengobservasi kulit akan adanya kemerahan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif pasien tampak ada luka di perut. Pukul 11.00 WIB membersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif luka post operasi tampak bersih. Pukul 11.20 WIB mengajarkan cara menjaga kebersihan kulit. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif keluarga pasien tampak mengerti dengan penjelasan perawat. Pukul 12.05 WIB kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Respon subyektif tidak terkaji. Respon obyektif obat sudah di berikan. E. Evaluasi Evaluasi keperawatan merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan untuk mengukur respons pasien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan pasien ke arah pencapaian tujuan (Potter dan Perry, 2006). Hasil evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret. pada hari selasa, 17 Maret 2015 pukul 13.30 WIB dengan metode SOAP pada diagnosa bersihan jalan nafas
48
berhubungan dengan akumulasi sekret. Subyektif tidak terkaji. Obyektif lidah jatuh terpasang OPA, terdengar suara tambahan (berkumur-kumur), RR 15x/menit, nadi 100x/menit, kesadaran sopor (GCS : 7), SPO 2 85%. Analisa bersihan jalan nafas belum teratasi. Masalah belum teratasi karena masih ada suara seperti orang berkumur – kumur atau gargling dan masih ada peningkatan produksi sekret. Planning monitor respirasi dan status oksigen, bersihkan jalan nafas dengan cara suction, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam). Pukul 13.40 WIB penulis juga melakukan evaluasi untuk diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Subyektif tidak terkaji. Obyektif RR : 15x/menit. Analisa masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Masalah keperawatan pola nafas belum teratasi karena pasien terpasang alat bantuan ventilator untuk semaksimal mungkin oksigen masuk ke dalam tubuh. Planning monitor respirasi dan oksigen, berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan, pertahankan jalan nafas yang paten. Pukul 14.00 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa kerusakan intgeritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Subyektif tidak terkaji. Obyektif pasien tampak ada luka jahitan diperut. Analisa masalah belum teratasi. Masalah keperawatan kerusakan integritas kulit belum teratasi karena luka jahitan di perut atau abdomen belum kering. Planning
observasi
kulit
akan
adanya
kemerahan,
bersihkan
dan
49
meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Pada hari kedua Rabu, 18 Maret 2015 pukul 13.30 WIB dengan metode SOAP. Subyektif tidak terkaji. Obyektif lidah jatuh terpasang OPA, terdengar suara tambahan (berkumur-kumur), RR 16x/menit, nadi 100x/menit, kesadaran sopor (GCS : 7), SPO 2 99%. Sopor adalah keadaan seperti tertidur lelap tetapi ada respon nyeri. Analisa bersihan jalan nafas belum teratasi. Planning monitor respirasi dan status oksigen, bersihkan jalan nafas dengan cara suction, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam). Pukul 13.45 WIB penulis melakulan evaluasi untuk diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Subyektif tidak terkaji. Obyektif RR : 17x/menit. Analisa masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planning monitor respirasi dan oksigen, berikan posisi kepala ekstensi (sniffing position) saat pemasangan alat jalan nafas (Endo Tracheal Tube), berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan, pertahankan jalan nafas yang paten. Pukul 14.00 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanik : pembedahan. Subyektif tidak terkaji. Obyektif pasien tampak ada luka jahitan diperut. Analisa masalah belum teratasi. Planning observasi kulit akan adanya kemerahan, bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka
50
jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Pada hari ketiga Kamis, 19 Maret 2015 pukul 13.35 dengan metode SOAP pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumlasi sekret. Subyektif tidak terkaji. Obyektif tampak tidak terdengar suara tambahan (berkumur – kumur), RR : 17x/menit, nadi 85x/menit, SPO 2 99%. Analisa masalah keperawatan ketidakefetifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret teratasi sebagian karena sekret sudah berkurang setelah dilakukan tindakan penghisapan (suction) sekret atau lendir melalui selang ET. Planning monitor respirasi, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Pukul 13. 55 penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular. Subyektif tidak terkaji. Obyektif RR : 17x/menit. Analisa masalah keperawatan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular teratasi sebagian karena pasien sudah tidak menggunakan ventilator lagi hanya masih terpasang alat bantu nafas yaitu Endotracheal Tube (ET). Planning berikan oksigen tambahan 4 liter per menit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan. Subyektif tidak terkaji. Obyektif pasien tampak ada luka jahitan di perut, panjang luka 12 cm, perabaan akral dingin. Analisa masalah keperawatan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan belum teratasi karena luka
51
jahitan di perut atau abdomen belum kering dan sedikit masih basah akan tetapi tidak ada pus atau nanah. Planning observasi kulit akan adanya kemerahan, bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan, ajarkan cara menjaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnose, intervensi, implementasi, dan evaluasi tentang pemberian posisi sniffing position (kepala ekstensi) untuk membuka jalan nafas pada Asuhan Keperawatan Ny. P di ruang ICU RSUD Dr. MOEWARDI secara metode study kasus, maka di tarik kesimpulan : A. Kesimpulan 1. Pengkajian Pengkajian terhadap masalah bersihan jalan nafas pada Ny. P telah dilakukan secara komprehensif dan diperoleh hasil yaitu dengan keluhan utama sesak nafas, pasien tampak sesak dengan RR : 15 x/menit, nadi : 100 x/menit, sianosis (-), nafas cuping hidung (-), pasien tampak lemah, akral dingin, suhu 34°C, pola aktivitas dibantu dengan alat. Diagnosa yang muncul pada Ny. P yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuscular, kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan 2. Rencana keperawatan yang disusun untuk diagnose ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret yaitu monitor respirasi dan status oksigen, bersihkan jalan nafas dengan cara suction, berikan posisi kepala ekstensi (sniffing position) dengan bantal, ajarkan
52
53
keluarga bagaimana cara melakukan suction, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam). Pada gangguan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuskular yaitu monitor respirasi dan oksigen, berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan, pertahankan jalan nafas yang paten. Pada diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan yaitu observasi kulit akan adanya kemerahan, bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan, jaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat 3. Tindakan keperawatan yang dilakukan merupakan implementasi dari rencana keperawatan yang telah disusun. Evaluasi keperawatan yang dilakukan selama 3 hari sudah dilakukan secara komprehensif dengan acuan rencana asuhan keperawatan (Nur arif & Kusuma, 2011) serta telah berkolaborasi dengan tim medis lainnya didapatkan hasil evaluasi keadaan klien dengan criteria hasil belum tercapai, maka ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumukasi sekret pada Ny. P teratasi sebagian intervensi di lanjutkan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan monitor respirasi dan status oksigen, bersihkan jalan nafas dengan cara suction, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat untuk saluran pernafasan (morfin 10 mg/9 jam, ciprofloxacin 400 mg/12 jam). Pada gangguan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi
54
neuromuskular didapatkan evaluasi pasien dengan kriteria hasil belum tercapai dan intervensi di lanjutkan monitor respirasi dan oksigen, berikan oksigen tambahan sesuai dengan kebutuhan, pertahankan jalan nafas yang paten. Pada kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik : pembedahan pada Ny. P belum teratasi dan intervensi di lanjutkan dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan observasi kulit akan adanya kemerahan, bersihkan dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka jahitan, jaga kebersihan kulit, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat 4. Hasil analisa kondisi Ny. P keluarga pasien mengatakan pola nafas pasien sudah lebih baik setelah di berikan tindakan pemberian posisi sniffing (kepala ekstensi) saat buka jalan nafas selama satu hari untuk meningkatkan pola nafas yang efektif. B. Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan institusi mampu meningkatkan mutu pendidikan sehingga menghasilkan perawat yang profesional dan inovatif, terutama dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien post operasi laparatomi. 2. Bagi Perawat Perawat mampu memberikan dan meningkatkan kualitas pelayanan dalam memberikan asuhan keperawatan terutama pemberian tindakan sniffing position saat buka jalan nafas dengan Endotracheal Tube (ET) pada
55
pasien penurunan kesadaran karena pengaruh anestesi dan lidah jatuh untuk mencukupi kebutuhan oksigen ke tubuh semaksimal mungkin serta mampu melakukan asuhan keperawatan kepada pasien yang sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP). 3. Bagi rumah sakit Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik serta menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana yang memadai untuk penyembuhan pasien, khususnya pasien dengan post operasi laparatomi. 4. Bagi profesi keperawatan Diharapkan para perawat memiliki keterampilan dan tanggung jawab yang baik dalam memberikan asuhan keperawatan, serta mampu menjalin kerjasama dengan tim kesehatan lain dan keluarga pasien dalam membantu proses penyembuhan pasien khususnya pada pasien post operasi laparatomi dengan penurunan kesadaran dan melemahnya syaraf karena anestesi untuk memberikan sniffing position (kepala ekstensi).
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, S. 2013. Persalinan Tanpa Nyeri Berlebihan. Ar – Ruzz: Yogyakarta.
Adnet F, Baillard C, Borron SW, Denantes C, Lefebvre L, Galinski M, Martinez C, Cupa M, Lapostolle F. Randomized study comparing the "sniffing position" with simple head extension for laryngoscopic view in elective surgery patients. Anesthesiology 2001; 95: 836-41.
Ahmad. R. 2000. Definisi Laparatomi. EGC: Jakarta.
Brooker. 2001. Patofisiologi dalam Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.
Brunner & Suddarth, 2001. Komplikasi Penyakit Ileus Obstruktif. EGC: Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall.2007. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2. EGC: Jakarta.
Christine. 2008. Komplikasi pada Penyakit Laparatomi.EGC: Jakarta.
Darmawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja. Gosyen Publishing. Yogyakarta.
Depkes RI. 2007. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.
Djojodibroto. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Intubasi.EGC: Jakarta.
Harsono. 2005. Buku Ajar tentang Intubasi. EGC: Jakarta.
Harnawati. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.
Lee BJ, Kang JM, Kim DO. Laryngeal exposure during laryngoscopy is better In The 25 degrees back-up position than in the supine position. Br J Anaesth 2007; 99: 581-6.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid II. Media : FKUI.
Mumenthaler, 2006. Laporan Pendahuluan Post Operasi Laparatomi. EGC: Jakarta.
Mubarak. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktik. EGC: Jakarta.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Muskuloskeletal. EGC: Jakarta.
Keperawatan
Klien
Gangguan
Sistem
NANDA International. 2009. Diagnosa Keperawatan. 2009 – 2011. EGC: Jakarta.
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Volume I. Edisi 4. Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Volume II. Edisi 4. Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Syaifuddin, 1996. Buku Ajar Ilmu Pernafasn. EGC: Jakarta.
Sabara, 2007. Laporan Pendahuluan Ileus Obstruktif. EGC: Jakarta.
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran. EGC: Jakarta.
Smeltzer. 2005. Laporan Pendahuluan Laparatomi. Surya Medika: Jakarta.