ISSN : 1412-3568 L E M B AG A AD M I N I S T R AS I N E G AR A P U S AT K AJ I A N D E S E N T R A L I S AS I D AN O T O N O M I D AE R AH
Jurnal JURNAL DESENTRALISASI VOLUME 13 NOMOR 1 TAHUN 2015
Desentralisasi Volume 13
Nomor 1
Halaman 1-83
2015
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa : Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Marsono Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Potensi Permasalahan dan Solusi Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Edy Sutrisno Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa : Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Rusman Nurjaman Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan Rico Hermawan
Menilik Potensi Disharmoni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus
ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 13 No. 1 Tahun 2015 Redaksi : Pengarah
:
Sri Hadiati WK SH, MBA
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi
:
Dr. Ridwan Rajab, M.Si
Dewan Redaksi
:
Dr. Ridwan Rajab, M.Si Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si
Mitra Bestari
:
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Administrasi Publik) Dr. Makhdum Priyatno, MA (Administrasi Publik) Dr. Hanif Nurcholis, M.Si (Pemerintahan Desa) Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, MA (Politik Lokal)
Redaktur Pelaksana
:
Tony Murdianto Hidayat, S.Si
Redaksi
:
Rico Hermawan, SIP Rusman Nurjaman, S.Fil Maria Dika Puspita Sari, SIA
Diterbitkan oleh: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Center For Decentralization and Local Autonomy Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute Of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102 Website : www.lan.go.id/web/dkk/ Email :
[email protected] 2015
UNDANGAN MENULIS : Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Politik Lokal. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak, melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik
i
Daftar Isi
Editorial Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa : Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Marsono
1-15
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Potensi Permasalahan dan Solusi Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis
16-31
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Edy Sutrisno
32-46
Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa : Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Rusman Nurjaman
47-60
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan Rico Hermawan
61-75
Menilik Potensi Disharmoni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus
76-83
Petunjuk Penulisan
ii
iii - iv
84-85
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Editorial Kehadiran Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa harapan sekaligus kegelisahan baru. Semangat untuk membangun Indonesia melalui pembangunan desa menjadi filosofi penyusunan undangundang tersebut. Kucuran dana milIaran yang akan diterima desa menjadi pendorong untuk mensejahterakan masyarakat desa. Sudah saatnya desa diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk membangun wilayahnya sendiri, untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, sejajar dengan daerah-daerah perkotaan. Di sisi lain, muncul kegelisahan terkait kapasitas sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemerintahan desa. SDM di desa dipandang belum mampu diserahi tugas dan tanggung jawab seberat itu. Apalagi mengelola dana yang mencapai milyaran rupiah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 14 potensi penyelewengan dana desa yang meliputi aspek regulasi dan kelembagaan, tata laksana pengawasan, dan sumber daya manusia. Terlepas dari pro dan kontra yang timbul, kehadiran Undang-undang tentang Desa memang membuka ruang diskusi bagi publik. Untuk itulah, Jurnal Desentralisasi kali ini mengangkat tema besar seputar implementasi UU Desa. Melalui topik tersebut, diharapkan muncul ide, gagasan maupun pemikiran konstruktif tentang penguatan desa dan kapasitas pemerintah desa. Edisi ini menyajikan sejumlah tulisan yang merefleksikan sejumlah gagasan sebagai respon atas dinamika yang berkembang terkait implementasi UU Desa. Melalui tulisan berjudul “Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa”, Marsono menawarkan pengembangan suatu model pelayanan publik bagi masyarakat desa. Adanya UU Desa baru tentu akan mengubah model pelayanan publik yang selama ini diberikan kepada masyarakat desa. Tulisan berikutnya menyoal aspek pengelolaan keuangan desa. Dalam tulisan bertajuk “Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi”, Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis mencoba mengidentifikasi JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
potensi permasalahan pengelolaan keuangan desa yang timbul akibat dikucurkannya dana desa dan mencoba menawarkan solusinya. Sementara itu, Edy Sutrisno mengangkat tema kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah dalam sistem pemerintahan. Melalui tulisan berjudul “Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Edy menguraikan analisisnya mengenai efektivitas kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan rumusan kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di masa mendatang. Menurut dia, terdapat sejumlah faktor determinan yang menjadi penyebab mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak berjalan efektif. Selain itu, dia juga merumuskan dua desain sistem pemerintahan daerah, yaitu 1) provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom-kabupaten/ kota daerah otonom; dan 2) provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom-kabupaten/kota wilayah administrasi dan daerah otonom. Artikel selanjutnya membahas dinamika dan problematika dalam implementasi UU Desa yang ditulis oleh Rusman Nurjaman. Melalui tulisan bertajuk “Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah Kabupaten di Jawa Barat”, dia menilik bagaimana kesiapan Desa dalam implementasi UU Desa di beberapa daerah di Jawa Barat. Penulis berharap, pengalaman beberapa desa dalam mempersiapkan diri pada masa-masa awal implementasi UU Desa bisa menjadi pembelajaran berharga bagi upaya perumusan kebijakan baru dalam mengoptimalkan implementasi UU Desa. Rico Hermawan menelusuri riwayat pengaturan desa dalam rentang sejarah kebijakan tentang desa. Melalui tulisannya yang berjudul “Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia: Melihat Desa Dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-undangan”, penulis menyoroti sejarah pelaksanaan otonomi desa. Apakah UU Desa mampu memberikan jalan keluar bagi upaya pembaharuan desa dan otonomi desa.
iii
Terakhir, melalui sebuah artikel lepas, Sabilla Ramadhiani mengetengahkan suatu tinjauan mengenai UU Desa itu sendiri. Dalam artikel berjudul “Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”, Sabilla mengidentifikasi adanya potensi ketidakselarasan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, utamanya menyangkut kewenangan kementerian yang terkait desa. Selain itu, dia juga mengingatkan kembali mengenai peraturan pemerintah apa saja yang harus dibuat untuk menghindari dan meminimalisir adanya disharmoni atau tumpang tindih kewenangan kementerian terkait desa dalam menjalankan amanat undang-undang dan pengoptimalan implementasi UU Desa. Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan serta apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari selaku reviewer yang memberikan masukan yang berharga atas seluruh naskah yang masuk. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua penulis yang telah berupaya keras dan tidak putus asa telah melakukan revisi dan perbaikan naskahnya sesuai koreksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada sidang pembaca budiman, kami haturkan selamat membaca. Komentar dan masukkan dari pembaca mengenai isi, topik, dan pengembangan jurnal ke depan juga sangat kami nantikan. Semoga bermanfaat.
iv
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Strengthening the Capacity of Village Government in Public Services: The Construction of Public Services Model Marsono Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Pembangunan model pelayanan publik desa menjadi hal yang mendesak sejalan dengan meningkatnya kewenangan Pemerintahan Desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintahan desa menyusun RPJMDes, APBDes, serta menyusun rencana pembangunan tahunan desa secara mandiri. Dengan demikian, terbuka peluang bagi pemerintahan desa untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada seluruh warga masyarakatnya sesuai dengan sifat dan karakteristik Desa masing-masing. Oleh karena itu, dalam perspektif pelayanan publik desa kedepan perlu disusun pola/model pelayanan publik desa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Berdasarkan data empiris, pelayanan publik desa selama ini hanya berupa pelayanan administratif berupa surat pengantar, yang selanjutnya masyarakat desa mengurus sendiri ke Kantor Kecamatan dan/atau ke Kantor Dinas Kabupaten/Kota. Untuk menghasilkan sebuah model pelayanan publik desa yang ideal, maka dalam kajian ini digunakan metode analisis yang relevan yaitu deskriptif eksploratif. Metode deskriptif dimaksudkan untuk menelaah dan mendeskripsikan pelayanan publik desa selama ini secara komprehensif. Sedangkan eksploratif lebih kepada upaya mengidentifikasi dan mengekplorasi jenis dan lingkup pelayanan publik desa yang secara tersirat dalam kewenangan-kewenangan yang dimiliki pemerintah desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Selanjutnya berdasarkan kondisi eksisting dan kewenangan baru yang dimiliki, maka dapat disusun desain/konstruksi model pelayanan publik pemerintahan desa sesuai yang diamanatkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kata Kunci: Penguatan kapasitas, pelayanan publik, pemerintahan Desa Abstract Development model of rural public services becomes an urgent matter in line with the increasing authority of the village government as mandated by Law No. 6 of 2014 on the village. With authority possessed, village governance arrange RPJMDes, APBDes, as well as the village's annual development plans independently. Thus, there are opportunities for rural districts to provide the best public services to all citizens of the community in accordance with the nature and characteristics of each village. Therefore, in the perspective of rural public services need to be developed in the future pattern / model of rural public services in accordance with its authority. Based on empirical data, the public service during the village's only form of administrative services in the form of a letter of introduction, which then takes care of the villagers themselves to the District Office and / or to the Office of the District / City. To produce a model of public service ideal village, then in this study used a method of analysis that is descriptive exploratory relevant. Descriptive method is intended to examine and describe the public services the village has been comprehensively. While exploratory rather the effort to identify and explore the type and scope of public services that are implied in the village of powers owned by the village government in accordance with Act No. 6 of 2014. Furthermore, based on the conditions existing and new authority owned, it can be arranged design / construction of village governance model of public service as mandated Act No. 6 of 2014 on the village. Keyword : Capacity building, public services, the village government
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
1
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa A.
PENDAHULUAN
Pelaksanaan otonomi dan demokrasi Desa yang dibingkai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bukan sekadar perkara kelembagaan semata, melainkan mempunyai dasar filosofis yang dalam. Masa depan negara ini, membutuhkan bangsa yang mandiri, bermartabat, pemerintah yang kuat (berkapasitas dan bertenaga) dan demokratis. Upaya penguatan otonomi daerah dan “otonomi desa” menjadi bagian dari cita-cita itu, sekaligus hendak membangun imajinasi Indonesia yang kuat dan sempurna, yang melampaui (beyond) sentralisme dan lokalisme. NKRI akan menjadi lebih kuat bila ditopang oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang “menghargai” lokal dan lokal yang “menghormati” pusat. Kemandirian Desa akan menjadi fondasi dan kekuatan NKRI, oleh karenanya jika Desa selamanya marginal dan tergantung, maka justru akan menjadi beban berat pemerintah dan melumpuhkan fondasi NKRI tersebut. Jika menilik amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, disebutkan bahwa pada dasarnya otonomi Desa memiliki tujuan sebagai berikut: (1) memperkuat kemandirian Desa sebagai basis kemandirian NKRI; (2) memperkuat posisi Desa sebagai subyek pembangunan; (3) mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat; (4) memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan; (5) menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal; (6) menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat Desa; (7) memberikan kepercayaan, tanggung jawab dan tantangan bagi Desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi Desa; (8) menempa kapasitas Desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan; (9) membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Desa, lembagalembaga Desa dan masyarakat; dan (10) merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal. Untuk mewujudkan kondisi Desa sebagaimana tersebut di atas, tentu banyak sekali hal yang harus dilakukan oleh pemerintah, baik 2
pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan serta seluruh stake holders terkait. Salah satu hal yang sangat krusial adalah terkait dengan penguatan kapasitas pelayanan publik Pemerintahan Desa, dimana esensi desentralisasi dan otonomi daerah salah satunya adalah mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Oleh karena itu, membangun model pelayanan publik dalam Pemerintahan Desa menjadi sebuah keniscayaan dalam mendorong desentralisasi dan otonomi desa sebagai strategi dalam memperkuat NKRI kedepan. Membangun konstruksi model pelayanan publik Desa paling tidak harus dimulai dari mengidentifikasi aspek-aspek yang berkaitan dengan manajemen pelayanan publik Desa secara menyeluruh. Beberapa aspek yang berpengaruh terhadap totalitas dalam pemberian pelayanan publik Desa yang berkualitas, antara lain terkait dengan: (1) pengorganisasiannya; (2) bisnis proses; (3) SDM; (4) Standar-standar; (5) IT dan Sarana pendukung lainnya. Oleh karena itu, penguatan kapasitas pelayanan publik Desa pada dasarnya adalah upaya-upaya untuk mengidentifikasi, membangun, menerapkan dan mengevaluasi secara baik dan konsisten seluruh aspek-aspek pelayanan publik Desa sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian, akan dapat dikembangkan konstruksi model pelayanan publik Desa baik menyangkut jenis dan jumlahnya, pengorganisasiannya, ruang lingkupnya, kompetensi SDM pelayanan Desa, standarstandar pelayanannya serta penggunaan IT untuk mendukung kelancaran dan kualitas pelayanan publik Desa. B. KONSTRUKSI PELAYANAN PUBLIK DALAM UNDANG-UNDANG DESA Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Kemandirian Desa bukanlah kesendirian Desa dalam menghidupi dirinya sendiri serta berada di ruang yang hampa politik, tetapi juga terkait dengan dimensi keadilan yang berada dalam konteks relasi antara Desa JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL (sebagai entitas lokal) dengan kekuatan supra Desa (pusat dan daerah) yang lebih besar. Secara lokal-internal, kemandirian Desa berarti kapasitas dan inisiatif lokal yang kuat. Inisiatif lokal adalah gagasan, kehendak dan kemauan entitas Desa yang berbasis pada kearifan lokal, komunalisme dan modal sosial (kepemimpinan, jaringan dan solidaritas sosial). Dengan demikian, inisiatif lokal yang kuat merupakan fondasi lokal bagi kemandirian Desa. Perspektif pelayanan publik Desa, berdasarkan amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 4 butir f, dinyatakan bahwa pengaturan desa bertujuan meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum. Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (3) butir c, disebutkan bahwa penataan Desa dimaksudkan untuk mempercepat proses pelayanan publik. Selanjutnya Pasal 67 ayat (2) butir e, menyatakan bahwa Desa berkewajiban memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa. Lebih lanjut, dalam Pasal 68 ayat (1) butir b disebutkan bahwa masyarakat desa berhak memperoleh pelayanan yang sama dan adil.
Isu kesejahteraan mencakup dua komponen besar, yakni penyediaan layanan dasar (pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) dan pengembangan ekonomi Desa yang berbasis pada potensi lokal. Kemandirian dan demokrasi Desa merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat Desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya kepada Desa, dan demokrasi memungkinkan pengelolaan sumberdaya Desa berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa untuk mengelola sumberdaya alam, misalnya, merupakan modal yang sangat berharga bagi ekonomi rakyat Desa. Demikian juga dengan alokasi dana Desa yang lebih besar akan sangat bermanfaat untuk menopang fungsi Desa dalam penyediaan layanan dasar warga Desa. Namun, kesejahteraan rakyat Desa yang lebih optimal tentu tidak mungkin mampu dicakup oleh pemerintah Desa semata, karena itu dibutuhkan juga kebijakan pemerintah yang responsif dan partisipatif, yang berorientasi pada perbaikan pelayanan dasar dan pengembangan ekonomi lokal. Secara garis besar konstruksi penataan Pemerintahan Desa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP pelaksanaannya dapat dilihat gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1 Konstruksi Peraturan Perundangan tentang Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
3
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Metode Pemodelan Pelayanan Publik Desa
sarkan kewenangan yang dimiliki berdasarkan Undang-undang Desa.
Dalam studi pengembangan model pelayanan publik desa ini, pendekatan yang digunakan adalah deskriptif eksploratif. Dimana pada tahap awal dilakukan pendeskripsian terhadap data empiris berupa pola atau model pelayanan publik desa yang selama ini dilakukan. Disamping itu, pemanfaatan data empiris pelayanan publik desa juga akan dipergunakan dalam menentukan gap antara model pelayanan publik desa eksisting dengan model pelayanan publik desa ke depan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan Undang-Undang Desa.
Selanjutnya bagaimana perspektif model pelayanan publik desa ke depan, yang memiliki berbagai karakteristik yang berbedabeda. Dari aspek tipologi ada desa adat, yang juga memilki berbagai bentuk yang juga berbeda-beda. Sedangkan dari aspek geografis, karakteristik desa dapat dibedakan menjadi desa industri, desa maritim, desa pertanian dan desa wisata. Berbagai karakteristik desa tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pola/model pelayanan publik desa masing-masing. Contoh untuk desa pertanian, kebutuhan pelayanan publik di luar kebutuhan dasar dan administratif, tentu akan lebih diutamakan pada pelayanan penyuluhan, pengadaan bibit, pengadaan pupuk, pengolahan hasil panen serta pemasaran hasil panen. Begitu juga akan berlaku untuk desadesa dengan karakteristik yang berbeda, baik berdasarkan tipologi maupun karakteristik berdasarkan geografis.
Sedangkan terkait dengan pendekatan eksploratif, pada prinsipnya bahwa kewenangan desa yang telah diamanatkan UndangUndang Desa tersebut harus diidentifikasi, ditelaah, diekplorasi sehingga kewenangankewenangan tersebut dapat diwujudkan ke dalam tindakan-tindakan nyata berupa kegiatan-kegiatan pelayanan publik kepada masyarakat desa. Dengan demikian, maka pembangunan model pelayanan publik desa pada dasarnya adalah mengisi gap antara pelayanan publik desa existing dan jenis, jumlah serta lingkup pelayanan publik desa berda-
Berikut ini adalah frame work kerangka pemodelan dalam membangun model pelayanan publik pemerintah desa pasca UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014.
Gambar 2 Frame Work Kerangka Pemodelan Pelayanan Publik Desa
Masyarakat Pelayanan Publik Desa Sesuai Kewenangan Desa UU 6 2014
Pelayanan Publik Desa Existing
Gap
Model Pelayanan Publik Desa C.
D.
4
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL C. PELAYANAN PUBLIK DESA : KONDISI TERKINI Studi tentang pelayanan publik desa telah dilakukan Joni Suwarno (2012) yang telah dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan Lokal, Volume I Edisi 2, JuliDesember 2012. Adapun judul penelitiannya adalah : “Kualitas Pelayanan Pemerintahan Desa (Studi Pelayanan KTP Dan KK Di Desa Teluk Kepayang Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu)”. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa bentuk pelayanan yang diberikan oleh Desa Teluk Kepayang dalam hal administrasi kependudukan adalah berupa rekomendasi dari desa untuk dapat diteruskan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) melalui Kantor Kecamatan Kusan Hulu. Namun pelayanan yang tidak resmi lainnya adalah adanya masyarakat yang meminta pengurusan sampai selesai atas KTP dan KK yang berimplikasi kepada biaya tambahan seperti biaya transportasi serta biaya tak terduga lainnya. Kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Desa Teluk Kepayang Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu khususnya dalam pemberian dokumen surat pengantar pembuatan atau pencetakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) masih belum maksimal dalam hal ketepatan waktu, prosedur pembiayaan dan tingkat kesalahan pencetakan dokumen. Dengan demikian artinya bahwa kualitas pelayanan publik di kantor desa Teluk Kepayang masih belum begitu memuaskan. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa secara umum, pelayanan yang diberikan Pemerintahan Desa Teluk Kepayang kurang memadai. Seperti jumlah petugas yang memberikan pelayanan saat ini hanya terdiri dari tujuh orang yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan, Bendahara Desa, Kaur Pembangunan, Kaur Umum dan Tata Usaha. Ditinjau dari segi peralatan dan fasilitas pada kantor Pemerintahan Teluk Kepayang terlihat bahwa ketersediaan peralatan sangat tidak memadai, dimana fasilitas penunjang kerja yang JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
tersedia hanya terdiri dari 2 (dua) mesin ketik. Jadi pegawai dalam memberikan pelayanan masih menggunakan mesin ketik manual. Sejalan dengan kondisi di atas, dalam Diskusi Terbatas di LAN yang mengangkat tema “Pelayanan Publik Pemerintahan Desa, Bagaimana Kualitas dan Inovasinya”, dengan salah satu narasumber Kepala Desa Sukamanah, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, menyatakan bahwa beberapa pelayanan yang bersifat administratif memang sudah bisa diselesaikan di Desa Sukamanah, namun bentuknya masih berupa pengantar saja. Setelah itu, masyarakat datang sendiri ke dinas terkait untuk melanjutkan pengurusan pelayanannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa ada beberapa bentuk pelayanan administratif lainnya yang disesuaikan dengan hukum adat masyarakat lokal, seperti pengurusan peralihan hak atas tanah dan bangunan, pembagian waris dan sebagainya dimana pelayanan ini dilakukan atas sepengetahuan pemerintah daerah setempat. Selain pelayanan yang bersifat administratif, Desa Sukamanah sudah memberikan pelayanan non-administratif yakni berupa kegiatan pemberdayaan masyarakat desa untuk pembangunan yang dikemas dalam “Geser” (Gerakan Sebungkus Rokok untuk pembiayaan pembangunan yang tidak masuk ke dalam APBD, APBN, dan APBDes), Gerakan Membangun untuk Petani, serta untuk pendidikan berupa SMU Gratis bagi masyarakat kurang mampu. Data empiris lain terkait dengan pelayanan publik desa, adalah hasil visitasi Pusat Inovasi Pelayanan Publik ke beberapa desa seperti Desa Lambangsari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi Jawa Barat, Desa Gabus, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen Jawa Tengah serta Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo dan Desa Masangan, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, telah menemukan kondisi bahwa pelayanan di desa hanya bersifat administratif dan masih berupa pengantar. Dari hasil visitasi tersebut ditemukan jumlah dan jenis pelayanan publik desa, yang dituangkan ke dalam dua kelom5
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa pok, sebagai berikut: (1) Pelayanan bersifat Pengantar, mencakup : (a) KTP (baru dan Perpanjang); (b) KK (baru dan perubahan); (c) SKDU (Baru dan Perpanjang); (d) Domisili Haji; (e) Surat Pengantar SKCK; (f) Surat Pindah; (g) SKTM; (h) Izin Keramaian; (i) Surat Pengantar Nikah (NA); (2) Pelayanan Selesai di desa: (a) Surat keterangan Kelahiran; dan (2) Surat keterangan Kematian. Selanjutnya terkait dengan pelaksanaan pelayanan publik desa saat ini, Sekretaris Camat Sidoarjo Jawa Timur (2015), menyatakan bahwa : (1) sudah ada sistem Pelayanan Kecamatan Terpadu (PATEN); (2) pelayanan tidak ada yang selesai di desa karena bersifat rekomendasi yang harus ditandatangani camat (antar provinsi), sekcam, atau kasubbid pelayanan kecamatan (dalam hitungan menit); dan (3) pelayanan publik yang selesai di tingkat kecamatan: pengantar kegiatan kades, surat keterangan waris (jika tidak untuk keperluan sertifikat ke BPN, KTP sementara (KTP kertas), IMB 200 m ke bawah, Ijin Keramaian (dengan Polsek). Sejalan dengan penjelasan Sekretaris Camat Sidoarjo tersebut di atas, Lisbetty B. Tambunan (2015), pejabat Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, menyatakan bahwa “menurut PP Nomor 43 Tahun 2014, dari 4 (empat) urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa, kewenangan yang paling mendasar dan dapat diselesaikan di desa hanya 2 (dua) kewenangan, yakni kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenang-an lokal berskala desa. Dalam ranah tersebutlah desa dapat menciptakan dan mengem-bangkan inovasi yang seluas-luasnya demi terselenggaranya pelayanan yang prima bagi masyarakat desa”. D. KEBIJAKAN DAN KONSEPSI PELAYANAN PUBLIK Pemberian pelayanan publik yang berkualitas pada hakekatnya adalah pemenuhan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pemerintah sebagai agent dan masyarakat sebagai principal (pemegang kedaulatan). Kewajiban pemberian pelayanan tersebut mencakup pelayanan yang bersifat welfare (kesejahteraan) seperti 6
kesehatan, pendidikan, sandang dan pangan, maupun pelayanan terkait dengan barang publik, jasa publik, pelayanan administratif serta berbagai jenis pelayanan perizinan dan non-perizinan. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi sangat penting dalam mendorong dan mewujudkan pelayanan publik yang inovatif, kontekstual dan partisipatoris (LAN, 2013). Sejalan dengan hal tersebut di atas, beberapa agenda prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pelayanan publik yang harus dicapai oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah antara lain mencakup: (a) peningkatan kualitas implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; (b) modernisasi sistem dan manajemen pelayanan publik (SDM, ICT, Standar Pelayanan); (c) monitoring dan supervisi kinerja pelayanan publik; (d) membuka ruang partisipasi publik melalui Citizen Charter; dan (e) penguatan integritas dalam pelayanan publik. Pengertian pelayanan publik berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa “pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”. Selanjutnya berdasarkan Pasal1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa pengertian pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Secara konseptual pelayanan publik dibagi kedalam tiga kelompok jenis pelayanan, yaitu : Pertama, Kelompok Pelayanan AdmiJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL nistratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Contoh : KTP, Akta Kelahiran, Akta Kematian, SIM, STNK, BPKB, IMB, Paspor dan sebagainya. Kedua, Kelompok Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, tenaga listrik, air bersih dan sebagainya. Ketiga, Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan jasa transportasi, pos dan sebagainya. Adapun ruang lingkup pelayanan publik berdasarkan Pasal Pasal 5 Ayat (1) disebutkan bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara lebih jelas terkait dengan ruang lingkup pelayanan publik dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
Tabel1 Ruang lingkuppelayanan publik
Sumber : Undang-Undang No. 25 Tahun 2009
Merujuk pada Undang-undang Pelayanan Publik tersebut, setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh pemerintah desa, meliputi: 1) Menyusun dan menetapkan standar pelayanan; 2) Menyusun, menetapkan, dan mempublikasikan maklumat pelayanan; 3) Menempatkan pelaksana yang kompeten; dan 4) Menyediakan sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai. Pada dasarnya karakteristik pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerinJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
tah adalah: (1) memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders), (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki konfigurasi indikator kinerja yang perlu kelugasan (complex and debated performance indicators), serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik (LAN, 2006). Berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, penyediaan pelayanan oleh sektor swasta memiliki karak7
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa teristik: (1) didasarkan kepada kebijakan Dewan Direksi (board of directors), (2) terfokus pada pemegang saham (share holders) dan manajemen, (3) memiliki tujuan mencari keuntungan, (4) harus akuntabel pada kalangan terbatas (limited share holders), (5) kinerjanya ditentukan atas dasar kinerja manajemen, termasuk didalamnya kinerja finansial, serta (6) tidak terlalu terkait dengan isu politik. Terkait dengan pengertian dan konsepsi pelayanan publik, Pamudji (1994) mengemukakan “pelayanan publik adalah berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasajasa”. Hal yang sama dikemukakan Widodo (2001 : 269) bahwa ”Pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan”. Selanjutnya Boediono (2003) menyatakan bahwa pelayanan pelanggan adalah upaya atau proses yang secara sadar dan terencana dilakukan organisasi atau badan usaha agar produk/jasanya menang dalam persaingan melalui pemberian/penyajian pelayanan kepada pelanggan sehingga tercapai kepuasan optimal bagi pelanggan. Sedangkan, Djaenuri (1999:15) mendefinisikan pelayanan masyarakat sebagai suatu kegiatan yang merupakan perwujudan dari tugas umum pemerintahan mengenai bidang tugas pokok suatu instansi untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat secara maksimal. Ndraha (1996) mengemukakan bahwa pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah terkait dengan suatu hak dan lepas dari persoalan apakah pemegang hak itu dibebani suatu kewajiban atau tidak. Dalam hal ini dikenal adalah hak bawaan (sebagai manusia) dan hak berian. Hak bawaan bersifat individual dan pribadi, sedangkan hak berian meliputi hak sosial politik dan hak individual. Lembaga yang berkewajiban memenuhi hak tersebut adalah pemerintah. Kegiatan pemerintah untuk memenuhi hak bawaan dan hak berian itulah yang disebut pelayanan pemerintah kepada masyarakat
8
termasuk pribadi-pribadi pemilik hak bawaan. Dalam konteks hubungan pemerintah dengan masyarakat, menurut Saefullah (1999: 5), pelayanan publik (public service) adalah pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Karenanya birokrasi publik (pemerintah) berkewajiban untuk memberi-kan layanan publik yang baik dan profesional. Dalam perkembangan konsep pelayanan publik, seiring dengan reformasi di sektor publik, mulai di adopsi pendekatan-pendekatan pelayanan yang dilakukan sektor privat dalam rangka kompetisi untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Dalam konteks ini masyarakat mulai ditempatkan tidak hanya sebagai penerima layanan, akan tetapi masyarakat juga ditempatkan sebagai pelanggan atau konsumen yang ikut menentukan kualitas pelayanan itu sendiri. Adapun terkait dengan penguatan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah, diamanatkan pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana disebutkan bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Upaya penyediaan pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Berdasarkan Kep MenPAN No 63 tahun 2003 kriteriakriteria pelayanan tersebut adalah : 1. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan. 2. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelayaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL nan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu. 3. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan. 4. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan. 5. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan. 6. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung. 7. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan gamblang, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain. 8. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti. 9. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia. 10. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan. 11. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keraguraguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada diri sendiri. 12. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan mempelajari kebutuhankebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan dan memberikan perhatian secara personal. 13. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya. 14. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan. 15. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar. Mengenai kualitas pelayanan publik, Goetsch dan Davis (2002) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas pelayanan juga diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan terpenuhinya harapan/kebutuhan pelanggan, di mana pelayanan dikatakan berkualitas apabila dapat menyediakan produk dan jasa (pelayanan) sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Senada dengan pendapat di atas, Evans dan Lindsay (1997) berpendapat bahwa kualitas pelayanan dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, maka kualitas pelayanan selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik/ 9
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa prima (excellent). Jika kualitas pelayanan dipandang dari sudut ”product-based”, maka kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagi suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan karakteristik produk yang bersangkutan. Kualitas pelayanan jika dilihat dari sudut “user-based”, maka kualitas pelayanan adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Sedangkan, jika dilihat dari “valuebased”, maka kualitas pelayanan merupakan keterkaitan antara kegunaan atau kepuasan dengan harga. Berdasarkan konsepsi kualitas pelayanan publik tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik desa yang berkualitas, hanya akan diwujudkan apabila dalam pemerintahan desa terdapat sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan warga masyarakat desa sebagai pengguna jasa pelayanan dan perangkat desa memeliki kepedulian terhadap kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat desa. E.
MEMBANGUN PUBLIK DESA
MODEL
PELAYANAN
Dalam konteks pemerintahan desa, dengan semakin kuatnya otonomi pemerintahan desa maka otorisasi pelayanan publik pemerintahan desa harus segera diwujudkan. Lantas bagaimana mewujudkan dan melaksanakan otorisasi pelayanan publik pemerintahan desa tersebut di atas? Tentu saja kita harus mengidentifikasi urusan atau kewenangan yang dimiliki pemerintah desa sesuai dengan amanat UU Nomor 6 tahun 2014. Disamping itu, juga perlu mengidentifikasi kondisi empiris dan current conditions terkait dengan jenis, jumlah dan lingkup pelayanan publik pemerntah desa yang selama ini dilakukan. Dari hasil identifikasi tersebut, akan ditemukan jenis, jumlah dan lingkup pelayanan publik pemerintahan desa yang kontekstual, yang pada akhirnya akan menjadi model pelayanan publik pemerintahan desa yang seluruhnya menjadi totalitas sepenuhnya pemerintah desa. Model ini paling tidak akan dapat menjadi rumusan secara
10
umum terkait dengan pelayanan publik desa yang bersifat administratif. Berdasarkan kondisi empiris diketahui bahwa pelayanan publik desa secara umum berupa pengantar atau rekomendasi saja dan penyelesaian pelayanannya berada di Kantor Kecamatan atau bahkan di Dinas Teknis Pemerintah Kabupaten. Beberapa pelayanan publik di salah satu desa di Kabupaten Bekasi antara lain meliputi: (1) Surat Pengantar Pembuatan KTP; (2) Surat Pengantar Akte Kelahiran; (3) Surat Keterangan Domisili; (4) Surat Pengantar Nikah; (5) Surat Keterangan Sudah/Belum Menikah; (6) Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM); (7) Surat Keterangan Pindah Penduduk; (8) Surat Pengantar IMB; (9) Surat Keterangan Duda/Janda; (10) Surat Keterangan Kematian; (11) Surat Keterangan Kelahiran; (12) Surat Pengantar Calon Tenaga Kerja; (13) Surat Keterangan Tanah; (14) Surat Pengantar Izin Keramaian; (15) Legalisir; (16) Surat Keterangan Usaha; dan (17) Surat Pengantar SKCK. Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Selanjutnya dalam Pasal 19, secara lebih eksplisit disebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan hak asal usul; (b) kewenangan lokal berskala Desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan (d) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan kewenangan desa tersebut di atas, sesuai dengan Pasal 26, Kepala Desa berwenang: (a) memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa; (b) mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa; (c) memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Aset Desa; (d) menetapkan Peraturan Desa; (e) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; (f) membina kehidupan masyarakat Desa; (g) membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa; (h) membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa; (i) mengembangkan sumber pendapatan Desa; (j) mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; (k) mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa; (l) memanfaatkan teknologi tepat guna; (m) mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif; (n) mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (o) melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas dasar wewenang Kepala Desa tersebut di atas, dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa berkewajiban: (a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; (b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; (c) memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa; (d) menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan; (e) melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender; (f) melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme; (g) menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
pemangku kepentingan di Desa; (h) menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik; (i) mengelola Keuangandan Aset Desa; (j) melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa; (k) menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa; (l) mengembangkan perekonomian masyarakat Desa; (m) membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa; (n) memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa; (o) mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan (p) memberikan informasi kepada masyarakat Desa. Selanjutnya bagaimana perspektif pelayanan publik desa kedepan, yang memiliki berbagai karakteristik yang berbeda-beda. Dari aspek tipologi ada desa adat, yang juga memilki berbagai bentuk yang juga berbedabeda. Sedangkan dari aspek geografis, karakteristik desa dapat dibedakan menjadi desa industri, desa maritim, desa pertanian dan desa wisata. Berbagai karakteristik desa tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pola/model pelayanan publik desa masingmasing. Contoh untuk desa pertanian, kebutuhan pelayanan publik di luar kebutuhan dasar dan administratif, tentu akan lebih diutamakan pada pelayanan penyuluhan, pengadaan bibit, pengadaan pupuk, pengolahan hasil panen serta pemasaran hasil panen. Begitu juga akan berlaku untuk desadesa dengan karakteristik yang berbeda, baik berdasarkan tipologi maupun didasarkan pada karakteristik berdasarkan geografis. Untuk membangun pola/model pelayanan publik desa yang kontekstual, maka harus dimulai dari kewenangan desa serta melihat kembali pelayanan empiris saat ini. Framework untuk mendesain model pelayanan publik pemerintahan desa dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:
11
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Gambar 3 Framework Kerangka Pemodelan Pelayanan Publik Desa
Berdasarkan framework tersebut di atas, maka dapat didesain pola/model pelayanan publik pemerintahan desa sesuai dengan kewenangan yang dimiliki serta karakteristik desa baik berdasarkan tipologi maupun mau-
pun berdasarkan geografis. Oleh karena itu, pola/model pelayanan publik pemerintahan desa yang dapat dibangun ke depan dapat di lihat pada gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4 Desain Pola/ModelPelayanan PublikPemerintahan Desa
Sumber : Kewenangan desaUU 6/2014 dan pelayanan desa existing diolah
Dari model pelayanan publik pemerintahan desa tersebut di atas, maka selanjutnya perlu disusun bisnis proses pelayanan publik desa baik untuk pelayanan publik yang berakhir di Desa, Kantor Kecamatan, maupun pelayanan publik yang berakhir di Dinas Kabupaten. Pada gambar 5 berikut ini adalah Bisnis proses pelayanan publik pemerintahan
12
desa terintegrasi dari Desa, Kecamatan dan Dinas Kabupaten.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Gambar 5 Bisnis Proses Pelayanan PublikPemerintahan Desa Terintegrasi
Dinas Kabupaten
Proses
Proses Kantor Kecamatan
Meneruskan ke dinas Proses
Pemerintahan Desa Meneruskan ke Kecamatan Mengajukan Permohonan Masyarakat Desa
Jika dicermati bisnis proses tersebut di atas, maka sesungguhnya pelayanan publik desa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan publik Kecamatan dan Pemerintah Kabupaten. Namun demikian, seiring dengan kewenangan yang dimiliki maka pemerintahan desa sudah selayaknya dapat membuat model pelayanan publiknya yang benar-benar mandiri dan selesai di pemerintahan desa masing-masing. Atau dengan kata lain, pemerintahan desa harus segera menyusun manajemen pelayanan publik desa. Mulai dari menentukan jenis pelayanan publik apa saja yang harus dilaku-
Menerima hasil
kan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki desa berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014. Selanjutnya menentukan lingkupnya, pelayanan apa saja yang menjadi kewenangan dan selesai di tingkat pemerintahan desa, pelayanan apa yang selesai di Kantor Kecamatan, serta pelayanan apa saja yang selesai di Dinas Kabupaten. Untuk jenis pelayanan publik yang menjadi kewenangan mutlak pemerintahan desa dan selesai di tingkat desa, maka dapat disusun bisnis proses pelayanan publik internal desa sebagaimana dapat dilihat pada gambar 6 sebagai berikut.
Gambar 6 Bisnis Proses Pelayanan Publik Internal Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa
Proses Mengajukan Permohonan
Masyarakat Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Menerima hasil
13
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Berdasarkan peta bisnis proses (business process mapping) jenis dan lingkup pelayanan publik pemerintahan desa, maka perlu disusun Standar Pelayanan (SP) dan Maklumat Pelayanan serta disusun Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk setiap jenis pelayanan. F.
PENUTUP
Seiring dengan meningkatnya kewenangan desa sebagaimana diamanatkan Undangundang Desa, serta ketersediaan anggaran Desa yang relatif besar saat ini, tentu akan berpengaruh terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat desa terhadap pelayanan publik desa. Oleh karena itu, kapasitas pemerintah desa perlu ditingkatkan sesuai dengan ekspektasi dan transformasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik desa. Agar transformasi pelayanan publik desa tersebut dapat diwujudkan dengan baik, maka perlu disusun desain model/pola pelayanan publik desa. Studi ini telah menghasilkan desain model pelayanan publik desa, yang penyusunannya melalui telaah data empiris pelayanan publik desa dan kewenangan desa sesuai dengan Undang-undang Desa. Namun demikian, desain model yang telah disusun masih terbatas pada kerangka model serta mapping business process pelayanan publik desa sebagai satu kesatuan pelayanan publik Kecamatan dan Dinas Teknis Pemerintah Kabupaten. Desain model pelayanan publik desa ini, belum dapat menghasilkan jumlah, jenis dan ruang lingkup pelayanan publik desa yang baru sebagaimana diamanatkan Undang-undang Desa. Mengingat hingga saat ini, belum ada tindak lanjut kebijakan operasional terkait dengan kewenangan desa. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih lanjut terkait dengan penjabaran terhadap wewenang pemerintah desa, sehingga dapat diidentifikasi jumlah, jenis dan lingkup pelayanan publik desa secara konkrit. Adapun terkait dengan upaya percepatan penguatan kapasitas desa dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik desa, 14
dapat dilakukan melalui: (1) training perubahan mindset dan cultur set aparat desa untuk melayani warganya; (2) perubahan budaya kerja; (3) Bimtek penyusunan visi dan misi pelayanan publik desa, penyusunan SP dan SOP; (4) pelaksanaan survey kepuasan masyarakat desa dan pengelolaan pengaduan; (5) monitoring dan evaluasi pelaksanaan SP dan SOP.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa. Kep MenPAN No 63 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa. Lembaga Administrasi Negara RI, Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta, 2006. Lembaga Administrasi Negara RI, Simplifikasi Administrasi Pelayanan Perizinan Dunia Usaha, Jakarta, 2013. Lembaga Administrasi Negara RI, Pelayanan Publik Desa, Bagaimana Kualitas dan Inovasinya, Bahan Paparan Diskusi Terbatas, Jakarta, 2015. Boediono, Pelayanan Prima Perpajakan. PT. Rineka Cipta: Jakarta, 1993. Evan. James R and Lindsay, The Management and Control of Quality, West Publishing Company, United State. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Jaenuri, Peranan Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPPP) Kabupaten Pati Dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Membayar Pajak, Jurnal Ilmiah Ppkn Ikip Veteran, Semarang,1999. Joni Suwarno, Kualitas Pelayanan Pemerintah Desa Teluk Kepayang, Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Jurnal Ilmu Politik dan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pemerintahan Lokal, Volume I, Edisi 2 Tahun 2012. Ndraha, Kybernologi Ilmu Pemerintahan Baru 1, Jakarta, 2003. Saefullah, Konsep dan Metode Pelayanan Umum yang Baik, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sumedang: FISIP UNPAD, 1999. Widodo, Joko. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta : Bayumedia Publishing. 2001.
15
ARTIKEL
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014: Potential Problems and Solutions Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan kekuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan menerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap. Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel. Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan kapasitas serta kesadaran aparatur desa. Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan Abstract: The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready. Actually, by visiting the real condition of village’s government and society today, there are risks that village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly, policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed. Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management
PENDAHULUAN Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan sebuah tonggak bersejarah dalam sejarah kebijakan mengenai desa. UU tersebut merupakan balikan paradigmatis (paradigmatic turn) dari pendekatan atau cara pandang pemerintah terhadap desa sebagai satuan masyarakat terkecil, di mana desa kini dipandang sebagai subjek pembangunan dengan kewenangan yang luas. Melalui asas rekognisi, hak asal-usul desa sebagai self governing community dan self local government diakui. Sementara melalui asas subsidiaritas, desa 16
diberi kewenangan untuk menyelenggarakan empat domain urusannya secara penuh, yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Sebagai satuan masyarakat dengan sejarah panjang yang sudah ada sebelum Republik ini berdiri, sudah seharusnyalah desa kini menikmati hak-hak yang sesungguhnya merupakan fitrahnya. Meskipun dibahas dan disahkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, spirit yang terkandung dalam UU Desa sesungguhnya berselaras pula dengan visi-misi pemerintahan Joko JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi Widodo-Jusuf Kalla, yang dalam Nawacitanya memuat ikhtiar “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerahdaerah dan Desa dalam kerangka Negara Kesatuan.” (http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015). Misi tersebut berusaha membalik desa yang selama ini menjadi alas kaki kekuasaan dan obyek pembangunan yang pasif sebagai penonton pembangunan menjadi entitas yang menjadi lebih mandiri, berdaulat, demokratis, dan sejahtera. Tetapi setelah UU Desa lahir, bukan berarti perdebatan selesai. Banyak pakar, pengamat, dan praktisi yang mempersoalkan hakikat sesungguhnya dari UU Desa: apakah roh yang ada di dalamnya didorong oleh pilihan democratic driven (pokoknya proses demokratisasi pembagian kue pembangunan sudah didistribusikan hingga tingkat desa) atau economic driven (berorientasi mencari pengungkit pemberdayaan ekonomi yang berasal dari desa)? (Huseini, 2015: 7), apakah UU Desa mengadopsi paradigma “desa membangun” atau “membangun desa” atau gabungan dari keduanya?, apakah UU Desa dapat diartikan sebagai otonomi desa dan dengan demikian memunculkan rezim desentralisasi tingkat tiga yang lebih kompleks? Muncul juga kekhawatiran pada tataran implementasi: sudahkah pemerintah desa dan tingkatan pemerintah di atasnya benar-benar siap melaksanakannya? Sementara pada aras kelembagaan, perdebatan diwujudkan melalui rebutan kewenangan antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Masing-masing merasa yang paling berhak mengurus desa dengan mangajukan logika dan argumennya masing-masing. Akhirnya, setelah percekcokan selama hampir enam bulan, polemik tersebut baru dapat diakhiri, atau demikianlah kelihatannya, setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kemendagri dan Perpres No. 12 Tahun 2015 tentang Kemendes PDTT sebagai pelengkap atas Perpres No. 165 Tahun 2014 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berwenang mengurusi pembinaan pemerintahan desa dan melalui Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa serta Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan, Kemendes PDTT berwenang mengurusi hal-hal lain di luar pemerintahan desa. Diharapkan, dengan pembagian kerja semacam ini, tidak muncul lagi instrumen kebijakan dari kementerian yang menerobos lingkup wewenangnya, seperti misalnya Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa format pembagian kerja semacam itu sesungguhnya mengingkari prinsip pengelolaan desa dalam UU Desa yang bersifat sistemik-integratif (Jaweng, 2015: 6). Sementara menurut Hasani (2015: 7), karena Kemendagri tetap memiliki kaki hingga ke desa, maka otonomi desa dibonsai dengan tetap menjadikannya unit pemerintahan paling rendah. Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang otonom dalam NKRI. Namun, dari berbagai isu dan tema di seputar UU Desa, tidak ada diskursus yang lebih hangat dari satu hal ini, yakni dana desa. Sejalan dengan pengakuan dan perhatian besar yang diberikan kepada desa, pendanaan yang diberikan kepadanya pun meningkat. Terkait dengan dana ini, dulu pada waktu RUU Desa masih dibahas ada wacana bahwa kelak setiap desa akan mendapat dana Rp 1,4 miliar setiap tahun. Isu ini tentu menarik sebagai janji politik yang manis, sehingga tak heran bahwa kala itu sejumlah fraksi di DPR berebut menjadi pimpinan panitia khusus (pansus) ketika pembahasan RUU Desa dimulai Maret 2012 (Kompas, 3 Juli 2015). Bahkan, setelah UU Desa disahkan dan musim kampanye politik untuk pemilihan umum presiden 2014 dimulai, calon presiden berlomba-lomba menjanjikan akan memberikan miliaran rupiah untuk setiap desa jika terpilih, seolah mengabaikan fakta siapapun yang terpilih dana desa akan tetap turun karena itu 17
ARTIKEL merupakan amanat UU Desa. Ketertarikan terhadap iming-iming dana desa juga ditengarai menyebabkan terjadinya lonjakan usulan pemekaran desa. Kemendagri mencatat, jumlah desa meningkat dari 72.944 pada awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015 (http://www.koransindo.com/read/964858/149/dana-desapicu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2014). Kenyataannya, hal yang terjadi tidaklah demikian. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa menyebutkan bahwa “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.” Artinya, pemberian dana dalam hitungan miliar untuk tiap desa baru akan diberlakukan di masa depan setelah melalui tahapan waktu tertentu. Pada APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1 persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000 triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya mengalokasikan Rp 9,1 triliun) yang disalurkan selama tiga tahap pada minggu kedua bulan April, Agustus, dan Oktober. Rata-rata desa yang jumlahnya 74.093 mendapat Rp 280 juta. Baru pada tahun 2017 persentase 10 persen tersebut akan dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa pengalokasian dana desa untuk tahun anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3 persen, pada tahun anggaran 2016 paling sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10 persen dari anggaran transfer ke daerah. Meskipun dana desa yang diperoleh desa pada tahun ini masih terbatas, isu tentang pengelolaannya tidak boleh dikesampingkan karena sebesar apa pun dana publik yang diterima oleh sebuah entitas harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Lagipula dana desa sebenarnya hanyalah sebagian saja dari total pendapatan yang diterima desa untuk dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa 18
(APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis dari kelompok pendapatan desa yang digolongkan sebagai transfer bersama dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari hasil pajak daerah kabupaten/kota dan retribusi daerah (PDRB), dan bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga pos pendapatan asli desa (PAD) dan pendapatan lain-lain. Salah satu jenis pendapatan dari kelompok transfer yang besar, bahkan lebih besar dari dana desa, adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan sebesar Rp 33,2 triliun. Berdasarkan data yang dikumpulkan IRE (2015) sebagaimana dikutip Muhammad (2015: 6), misalnya, Kabupaten Sleman tahun 2015 ini mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp 300 juta per desa. Sementara dari PDRB tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total dana yang akan masuk ke desa tahun ini di luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015). Total pendapatan desa akan semakin bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana desa, diperkirakan bahwa pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi sekitar Rp 47 triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun. 1 Adapun menurut data yang dimiliki Jaweng (2015: 6), rencana pertumbuhan dana desa di masa depan berturut-turut sebesar Rp 44 triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6 triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019). Sementara Farouk Muhammad mengkalkulasi bahwa pada 2017 minimum per desa akan memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau lebih (Muhammad, 2015: 6).
Informasi disampaikan oleh Direktur Bina Pemerintahan Desa Eko Prasetyanto pada diskusi terbatas yang dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 26 Juni 2015. Perkiraan ini menjadi kenyataan karena dalam pidatonya saat Sidang Paripurna Pembukaan Masa Sidang 1 DPR, 14 Agustus 2015, Presiden menyampaikan RUU APBN Tahun Anggaran 2016 di mana pos dana desa dialokasikan sebesar Rp 47 triliun (Kompas, 15 Agustus 2015). 1
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi Jumlah pendapatan yang diterima desa, baik pada tahun ini dan terlebih di tahuntahun mendatang, dengan demikian dapat dikatakan cukup besar. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam menggunakan dana tersebut secara bertanggungjawab dan berkeadilan. Banyak kalangan yang skeptis dan meremehkan kemampuan desa. Pengamat ekonomi Didik J. Rachbini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan dana desa bak memberi uang dari langit ke kerumunan massa di mana masyarakat akan saling berebut dan bertengkar untuk mendapatkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya tak punya tradisi akuntabilitas (http://www.koransindo.com/read/964587/149/salah-keloladana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik1423968895, diakses 9 Juli 2015). Karena khawatir bahwa dana desa dapat menjadi jebakan yang menjerat kepala desa untuk korupsi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran, maka berbagai pihak pun menyerukan solusi, misalnya dengan usulan agar pada masa transisi (tahun pertama dan kedua) pemerintah dan penegak hukum jangan terlalu kaku dalam menerapkan pengawasan dan penegakan hukum, harus ada langkah persuasif jika pelanggaran sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6). Ada juga usulan untuk mempertanggungjawabkan dana desa cukup dengan bukti yang menunjukkan dana telah masuk ke rekening kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana itu sebagai anggaran dalam kelompok mata anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial. Selanjutnya, urusan selesai begitu dana diterima desa (Padjung, 2015: 7). Kementerian yang mengurusi desa juga melakukan berbagai upaya untuk mencegah dana desa disalahgunakan atau dikelola dengan tidak mengikuti kaidah yang benar. Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa pihaknya berkoordinasi dengan Kemendes PDTT telah melatih para aparat desa secara terpadu mengenai tata kelola dan sistematika dalam membuat laporan penggunaan JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
keuangan desa secara benar. Kemendagri juga akan memberikan pelatihan kepada kepala desa dan aparat desa untuk peningkatan kapasitas dalam penyusunan anggaran dan pengelolaan anggaran. Satu desa minimal mengirimkan tiga perwakilan sehingga seluruhnya ada 273.000 orang yang akan ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Mendagri juga telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku pihak yang akan mengaudit dana desa secara langsung agar mengizinkan penyederhanaan pelaporan keuangan bagi desa sehingga dalam membuat laporan tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar saja (http://www.koransindo.com/read/1012635/149/bpk-akanaudit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit dan pelaporan serta pelatihan administrasi kepada aparat desa agar dana desa terkelola secara akuntabel dan transparan (http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan perekrutan untuk pendamping desa yang dapat membantu pemerintah desa mengelola keuangannya. Namun, ada juga kalangan yang meyakini bahwa desa telah siap menerima dan mengelola dana desa. Menurut Padjung, pengelolaan uang dalam jumlah yang relatif besar sesungguhnya bukan barang yang sama sekali baru bagi desa. Kelompok masyarakat, melalui Badan Keswadayaan Masyarakat dan Unit Pengelola Kegiatan sudah biasa mengelola bantuan langsung masyarakat. Selama ini juga telah ada ADD yang disalurkan langsung ke kas desa. Pengalaman melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang telah menyentuh 67.108 desa juga telah memberikan pembelajaran kepada masyarakat desa mengenai arti penting akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana, termasuk tentang pentingnya menempelkan fotokopi rekening dan rincian penggunaan dana di papan informasi (Padjung, 2015: 7). Sukasmanto memberikan bukti lain bahwa desa 19
ARTIKEL sesungguhnya mampu mengelola keuangan. Pada tahun 2009, total jumlah pendapatan yang diterima desa sebesar Rp 8,569 triliun. Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi Rp 10,612 triliun (Sukasmanto, 2014: 5). Hal ini menyiratkan bahwa desa mampu mengelola dana dengan baik karena bila tidak maka secara logis tidak mungkin pendapatan yang diberikan kepadanya meningkat. Tulisan ini menyoroti isu pengelolaan keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman secara komprehensif mengenai pengelolaan keuangan desa, substansi peraturan yang mengaturnya, potensi permasalahan, dan solusi untuk menghindari problem yang mungkin muncul. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini distrukturkan sebagai berikut. Pertama, dipaparkan mengenai keuangan desa secara rinci, mulai dari peraturan yang menjadi landasannya dan alur atau mekanisme pengelolaannya, mulai dari awal sampai akhir. Dengan demikian, pembaca dapat memahami kerangka legal, aturan main, dan logika dari pengelolaan keuangan desa secara menyeluruh. Selanjutnya, dipaparkan mengenai potensi risiko dari pengelolaan keuangan desa yang dilihat dari berbagai aspek, mulai dari tata laksana, kelembagaan, regulasi, dan SDM. Pemahaman atas risiko ini memampukan pembaca untuk melihat celah yuridis, sosiologis, dan politis dari konstruksi yang membentuk tatanan pengelolaan keuangan desa. Bagian ini banyak memanfaatkan hasil kajian yang telah dibuat oleh berbagai lembaga. Selanjutnya, dituliskan mengenai dua isu penting yang menjadi kunci dan faktor determinan yang secara krusial memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa dari sisi SDM, yakni isu kompetensi kepala desa selaku kuasa pengguna anggaran di desa dan isu pendamping desa sebagai fasilitator yang membantu segala permasalahan di desa, termasuk pengelolaan keuangan.2 Tulisan 2Keberhasilan
pengelolaan keuangan desa tentu tidak hanya ditentukan dari sisi SDM yang menjadi fokus dari tulisan ini, melainkan juga dipengaruhi oleh sisi sistem, di antaranya regulasi yang baik 20
diakhiri dengan penutup yang kesimpulan dan rekomendasi.
berisi
METODE Data dan analisis yang menjadi bagian dari hasil kajian ini didapatkan dengan metode kajian pustaka (literary studies) dan diskusi terbatas. Kajian pustaka dilakukan dengan mempelajari UU dan berbagai peraturan terkait lain yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan desa, juga berbagai artikel dan tulisan yang membahas mengenai isu tersebut. Sementara diskusi terbatas dilakukan untuk mendapatkan data primer yang relevan dengan isu pengelolaan keuangan desa dengan mengundang narasumber dari kalangan kementerian, SKPD, dan kepala desa. Diskusi terbatas dilakukan oleh Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara (LAN) selama dua kali kesempatan pada 26 Juni 2015 dan 9 Juli 2015 dengan peserta para peneliti di lingkungan LAN.3 KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAANNYA Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal 71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1), dinyatakan bahwa “Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.” Selanjutnya, pengaturan mengenai keuangan desa dan hal lain yang terkait (lengkap, jelas, dan tidak tumpang tindih) dan mekanisme pengawasan yang efektif, ketat, dan menyeluruh. Tentang hal ini, lihat Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015. 3 Diskusi terbatas tanggal 26 Juni 2015 menghadirkan narasumber Eko Prasetyanto (Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri) dan Tifna Purnama (Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang), sedangkan diskusi terbatas 9 Juli 2015 menghadirkan narasumber Bito Wikantosa (Ditjen PPMD Kemendes PDTT), Beni Yusnandar (BPMPD Kabupaten Bekasi), dan Saidih (Kepala Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi). Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak di Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN sebagai penyelenggara diskusi terbatas, terutama kepada Dr. Basseng. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai peraturan, di antaranya PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun 2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014, Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Permenkeu No. 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No. 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa, dan Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Mengenai pendapatan desa, seturut Permendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian Kesatu (Pasal 9-11), dinyatakan bahwa pendapatan desa terdiri atas tiga elemen, yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha; hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotongroyong; dan lain-lain PAD); 2) transfer (terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan keuangan APBD provinsi; dan bantuan keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3) pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang sah). Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa Permendagri No. 113 Tahun 2014 membedakan antara dana desa dengan ADD. Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bahwa ADD adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpotensi menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman meskipun istilah ADD sebenarnya pernah muncul dan diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta membaca bahwa pembedaan kedua jenis dana tersebut bermotif politik, yakni sebagai upaya Kemendagri mengamankan dana desa sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerintahan, pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan. Dengan demikian, Kemendagri yang menangani urusan pemerintahan masih mempunyai ruang yang luas untuk bekerja karena dana desa tidak melulu dititikberatkan pada urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sesuai ketentuan Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa (Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimanapun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pasal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014 sudah mengunci bahwa dana desa memang harus diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Terlepas dari masalah tersebut, dana desa dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa pendapatan desa yang dikelola dalam APBDes harus dikelola secara transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permendagri No. 113 Tahun 2014). Karena bersumber dari negara, maka pengelolaannya harus mengikuti aturan main yang berlaku terkait pengelolaan dana publik. Dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban. Jika ditilik mulai dari hulu, pengelolaan keuangan desa dimulai dari perencanaan. Pertama kali diadakan musyawarah desa yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk membahas hal-hal yang sifatnya strategis (lihat Pasal 54 UU Desa). Kemudian, hasil musyawarah desa berupa perencanaan pembangunan desa ditindaklanjuti dengan musyawarah pemba21
ARTIKEL ngunan perencanaan desa (musrenbangdes) yang diselenggarakan kepala desa dan perangkatnya. Musren-bangdes inilah yang membahas mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) serta APBDes tiap setahun sekali. Setelah Raperdes tentang APBDes disepakati bersama oleh kepala desa dan BPD paling lambat bulan Oktober dan hasil evaluasi dari bupati/walikota atau camat (yang mendapat delegasi untuk mengevaluasi Raperdes APBDes) menyatakan bahwa Raperdes APBDes tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, APBDes dapat ditetapkan.
Penggunaan dana desa dikelola oleh pemerintah desa melalui kuasa kepala desa dan digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan APBDes disampaikan kepala desa kepada bupati/walikota berupa laporan semester pertama yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan Juli dan laporan semester akhir tahun paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permendagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan, kepala desa juga harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa kepada bupati/walikota setiap akhir tahun anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113 Tahun 2014).
Sebelum desa dapat menerima pencairan dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota harus mengesahkan APBD kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No. 93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupati/walikota itu dibuat, desa menyelesaikan terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan adanya peraturan kepala daerah tersebut sebagai indikasi bahwa kabupaten telah siap untuk menyalurkan dana sesuai peraturan. Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/ kota yang belum menerima pencairan dana desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun karena belum menyerahkan persyaratan tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Supiori, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Majalengka, Kota Batu, Kabupaten Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas, 2 Juli 2015).4
Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan keuangan desa? Pengawasan memegang peranan penting dalam memastikan agar pengelolaan dana desa berjalan dengan akuntabel, transparan, dan partisipatif demi kemaslahatan umum masyarakat desa. Pengawasan yang ketat, terkontrol, profesional, dan berintegritas menjadi prasyarat penting. Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya diawasi secara berlapis oleh banyak pihak. Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun 2014 disebutkan bahwa “Pemerintah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.” Dalam hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan penting sebagai leading institution ihwal pengawasan pengelolaan keuangan desa. Sementara di tingkat pusat, BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga akan mengawasi pengelolaan keuangan desa secara sampling. Dana desa menjadi ranah pengawasan mereka karena
Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa 4
22
untuk daerahnya, sebagian daerah adalah daerah otonom baru, dan bupati atau kepala desanya digantikan oleh pejabat sementara sehingga masih memerlukan waktu untuk memahami peraturan. Sementara itu, Beni Yusnandar dari BPMPD Kabupaten Bekasi mengatakan bahwa daerahnya sengaja tidak mengeluarkan perbup karena menunggu keluarnya Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 agar penghitungan yang dilakukan dalam perbup mempunyai landasan hukum yang kokoh dan jelas. Sejak 8 Juli 2015, dana desa sudah masuk ke rekening kabupaten. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi dana desa adalah uang negara yang bersumber dari APBN sehingga pengelolaannya harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dana desa, pemerintah pusat juga telah membentuk tim pengendali dana desa yang beranggotakan pejabat lintas kementerian (http://www.koransindo.com/read/1005329/149/penyerapandana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2014). POTENSI PROBLEMATIK PENGELOLAAN KEUANGAN DESA Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, para pengamat terbelah dalam penilaiannya atas pembagian dana desa, yakni mereka yang percaya bahwa dana desa dalam jumlah yang besar belum tepat diberikan kepada desa saat ini dan mereka yang percaya bahwa desa telah mampu mengelola dana desa dengan baik dan benar. Menurut Sofyan Sjaf, keterbelahan tersebut berkaitan dengan paradoks dari ketentuan mengenai dana desa tersebut. Ada tiga paradoks yang diidentifikasinya (Sjaf, 2015: 7). Pertama, pemberian dana desa menciptakan birokratisasi alih-alih pemberdayaan desa. Beberapa peraturan yang mengatur dana desa dipandang sebagai bentuk birokratisasi baru karena terlalu mengatur secara teknis dan prosedural hal-hal seperti dasar alokasi dana desa, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana desa, prioritas penggunaan dana desa, pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan sebagainya. Makna pemberdayaan desa yang menjadi intensi normatif dari UU Desa menjadi potensial terlupakan. Sejatinya, apa yang lebih substantif adalah penguatan pengetahuan aparat dan warga desa dalam pengambilan keputusan penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi desa, juga monitoring serta evaluasi penggunaan dana desa yang partisipatif melibatkan warga desa. Pada titik ini, paradigma “membangun desa” yang bernuansa top-down menjadi terasa lebih dominan daripada paradigma “desa membangun” yang lebih bottom-up sifatnya.
Kedua, dana desa meretas kesenjangan struktural antara negara dengan desa tetapi menciptakan kesenjangan antarwilayah, atau lebih tepatnya kesenjangan antarpulau. Dari Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribusikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih dari separuh berada di Pulau Jawa dan Sumatra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena dana desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1) PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa. Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di kedua pulau tersebut.5 Padahal, sesungguhnya desa yang tertinggal lebih banyak berada di luar kedua pulau ini sehingga dana desa seharusnya lebih banyak terdistribusi di luar keduanya. Dengan fakta ini, maka problem pemerataan masih belum dapat diatasi. Ketiga, perencanaan desa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan. Dokumen yang disyaratkan untuk pencairan dana desa seperti RPJMDes dan RKPDes tidak disusun secara partisipatif dan transparan. Karena keterburu-buruan, dokumen tersebut dibuat secara elitis, tidak jarang menggunakan jasa konsultan, sehingga hanya segelintir warga desa yang mengetahuinya. Ini tentu bertentangan dengan harapan pemerintah bahwa perencanaan desa hendaknya dilakukan secara partisipatif, akuntabel, dan transparan. Eksesnya, apa yang tertuang dalam dokumen perencanaan juga belum tentu sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat desa. Berbagai paradoks di atas membuka tilikan kepada proposisi bahwa pengelolaan dana desa rentan disalahgunakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kajiannya menemukan 14 persoalan dana desa yang berpotensi menjadi korupsi yang terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi
5Informasi
dari Eko Prasetyanto dalam diskusi terbatas 26 Juni 2015. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
23
ARTIKEL dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia (http://www.kpk.go.id/id/berita/siaranpers/2731-kpk-temukan-14-potensipersoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015). Pada aspek regulasi dan kelembagaan, persoalan tersebut antara lain: 1) belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa; 2) potensi tumpang tindih kewenangan antara Kemendes PDTT dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri; 3) formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas pemerataan; 4) pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5) kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih. Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDes belum tersedia; 3) transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDes masih rendah; 4) laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, salah satunya disebabkan karena ketidakjelasan sistem akuntansi yang akan dipakai; serta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa karena penyusunan tidak dilakukan secara partisipatif. Sementara pada aspek pengawasan, terdapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pe-ngawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah; 2) saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah dan mekanisme pengaduannya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.
24
Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan berupa tenaga pendamping yang berpotensi melakukan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, di mana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa justru melakukan korupsi dan kecurangan. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian yang serupa dengan KPK. Dalam kajian FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana desa dipakai untuk anggaran pilkada serentak yang tidak teralokasi di APBD; 3) penggunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di desa; 4) aset desa tidak terinventarisir dengan baik; 5) ketidakmampuan administrasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang berdampak pada potensi penyalahgunaan wewenang dan melanggar hukum; dan 6) minimnya pengawasan dari masyarakat dan pendamping (Kompas, 3 Juli 2015). Dari berbagai kajian mengenai risiko pengelolaan dana desa di atas, ada beberapa hal yang patut dicatat. PP No. 47 Tahun 2015 telah mengatur ulang mengenai pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD. Ketentuan tersebut dalam PP No. 43 Tahun 2014 menurut KPK kurang adil, di mana disebutkan dalam Pasal 81 ayat (2) bahwa penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa bagi desa yang ADD-nya kurang dari Rp 500 juta maksimal 60 persen, kalau Rp 500-700 juta maksimal 50 persen, kalau Rp 700-900 juta maksimal 40 persen, dan kalau di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen. Ini kemudian direvisi dalam Pasal 81 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015 menjadi: ADD sampai dengan Rp 500 juta maksimal 60 persen, ADD Rp 500-700 juta maksimal 50 persen dengan nominal minimal Rp 300 juta, ADD Rp 700-900 juta maksimal 40 persen dengan nominal minimal Rp 350 juta, dan ADD di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen dengan nominal minimal Rp 360 juta. KetenJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi tuan ini kemudian dikunci lebih lanjut pada pasal 100 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015, di mana disebutkan bahwa paling banyak 30 persen dari APBDes digunakan untuk penghasilan tetap dan tunjangan kepa-la desa dan perangkat desa, operasional pe-merintah desa, tunjangan dan operasional BPD, dan insentif rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Kemudian, terkait dengan formula pembagian dana desa juga diadakan perubahan seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun 2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014. KPK menilai bahwa formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota pada PP No. 22 Tahun 2015 tidak adil karena lebih condong didasarkan pada pertimbangan pemerataan, dengan alokasi dasar sebesar 90 persen dibagi secara merata kepada setiap desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10 persen sisanya yang memperhitungkan variabel jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan indeks kesulitan geografis (IKG). Maka tak heran apabila jumlah dana yang diterima setiap desa dalam satu kabupaten tidak jauh berbeda, padahal kondisi demografis, geografis, dan sosiologis antara desa satu dengan yang lain bisa jadi sangat berbeda. Namun, sesungguhnya alokasi dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara merata tersebut sesungguhnya hanya berlaku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi pertimbangan kepraktisan karena dikejar waktu. Kemendagri bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan kementerian terkait tidak sanggup untuk menghitung dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60 Tahun 2014 sebelum pencairan tahap pertama dilakukan. Data yang paling susah adalah data yang menyangkut IKG. KOMPETENSI KEPALA DESA SEBAGAI PENJAMIN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA YANG BAIK. Kepala desa memegang peranan penting dalam pengelolaan keuangan desa karena dia merupakan pemegang kekuasaan pengelolaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
an keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permendagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas, antara lain: menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri atas sekretaris desa, kepala seksi, dan bendahara; menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APBDes; dan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 113 Tahun 2014). Jelaslah di sini bahwa kepala desa menjadi tumpuan utama untuk memastikan apakah pengelolaan keuangan desa sudah dijalankan sesuai dengan asas-asas dan prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah kepala desa sanggup menanggung tanggungjawabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa saja beragam mengingat kualitas kepala desa berbeda di desa satu dengan yang lain. Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal 26 Juni 2015, salah satu narasumber yaitu Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang Tifna Purnama memberikan kesaksian bahwa banyak kepala desa di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di bawah standar. Ada kepala desa yang korup (menggunakan ADD untuk menutup hutang kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik terus dengan BPD sehingga telat atau gagal menghasilkan APBDes dan perdes lainnya, tidak paham perencanaan, bahkan ada yang buta huruf. Salah satu hal yang ditengarai menjadi muara dari banyaknya kepala daerah yang tidak kompeten adalah ketentuan yang termaktub dalam Permendagri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peraturan tersebut tidak memberikan persyaratan kompetensi bagi calon kepala desa menyangkut hal-hal substantif seperti memahami (setidaknya secara teoretis) manajemen kepemimpinan desa, manajemen pengelolaan keuangan, perencanaan pembangunan desa, dan sebagainya. Pasal 21 hanya memuat persyaratan yang sifatnya normatif dan adminis25
ARTIKEL tratif seperti bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat, berusia paling rendah 25 tahun pada saat mendaftar, terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang satu tahun sebelum pendaftaran, tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara, berbadan sehat, tidak pernah sebagai kepala desa selama tiga kali masa jabatan, dan sebagainya. Dengan persyaratan seperti di atas, tentu tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala desa yang lulus seleksi merupakan orangorang dengan kualitas dan kapasitas mumpuni.6 Seharusnya, kepala desa dituntut dan dipersyaratkan untuk memiliki kompetensi dalam hal teknis dan manajerial terkait penyelenggaraan pemerintahan desa agar dana desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tanpa mengorbankan kualitas pengelolaannya. Seiring dengan titik berat pembangunan yang semakin bertumpu kepada desa, seharusnyalah persyaratan untuk pencalonan kepala desa juga ditingkatkan kualifikasinya. Penjaringan calon kepala desa yang berkualitas sedikit banyak akan ditentukan oleh masyarakat desa itu sendiri. Setiap masyarakat mendapatkan pemimpin yang pantas dia dapatkan. Jika dinamika dan tatanan masyarakat desa berkembang secara organis dan demokratis, maka akan muncul pemimpin-
Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan keterbatasan pendidikan tersebut membuat mereka tidak dapat memahami manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik. Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni Permendagri No. 112 tahun 2014. 6
26
pemimpin alamiah yang bijak sekaligus kompeten. Sebaliknya, jika masyarakat tersebut telah diinfiltrasi oleh nilai-nilai yang merusak modal sosialnya seperti individualisme, keserakahan, pemaksaan, dan kekerasan, maka akan sulit untuk mengharapkan lahirnya calon-calon pemimpin asli yang berkualitas. PENDAMPING PEMBERDAYA
DESA
SEBAGAI
AGEN
Pendampingan desa merupakan aspek lain yang berperan krusial dalam menentukan terjaminnya pengelolaan keuangan desa secara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pendampingan masyarakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu, ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa camat atau sebutan lain melakukan koordinasi pendampingan masyarakat desa di wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta. Pendampingan oleh jajaran pemerintah dikoordinasikan oleh Kemendagri dan pendampingan oleh masyarakat dikoordinasikan Kemendes PDTT. Menarik untuk disoroti di sini adalah tugas pendampingan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Pendamping desa merupakan aktor di tingkat masyarakat yang berperan penting dalam mengawal pengelolaan keuangan desa. Mereka melakukan fasilitasi untuk pemerintah dan masyarakat desa agar kegiatan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan kemasyarakatan dapat berjalan dengan efektif demi percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa telah mengatur dengan rinci mengenai pendamping desa ini, di antaranya tujuan pendampingan desa, ruang lingkup pendampingan desa, tugas pendamping desa, manajemen pendampingan desa, dan pendanaannya. Di dalamnya disebutkan bahwa tujuan pendampingan desa meliputi: a) meJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi ningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa; b) meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif; c) meningkatkan sinergi program pembangunan Desa antarsektor; dan d) mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris (Pasal 2 Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015). Ada pun pendamping desa terdiri atas tenaga pendamping profesional (yang terdiri atas pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan, pendamping teknis yang berkedudukan di kabupaten, dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang berkedudukan di pusat dan provinsi), kader pemberdayaan masyarakat desa yang berkedudukan di desa dan diperoleh melalui mekanisme musyawarah desa, dan pihak ketiga (terdiri dari LSM, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan perusahaan). Pendamping desa profesional memiliki tugas dalam ruang lingkup yang luas, di mana fasilitasi dan bimbingan pengelolaan keuangan hanya salah satu di antaranya, meskipun hal itu tak disebutkan secara ekplisit di dalam Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.7 Rekrutmen pendamping profesional dilakukan secara terbuka. Mengingat tugas dan tanggungjawabnya yang luas, maka wajar bila ditetapkan bahwa mereka harus memiliki kualifikasi yang tinggi. Untuk pendamping desa misalnya, disebutkan bahwa mereka harus memiliki kompetensi yang sekurangkurangnya memenuhi unsur kualifikasi antara lain: memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat; memiliki pengalaman dalam pengorganisasian masyarakat desa; mampu melakukan pendampingan usaha ekonomi masyarakat desa; mampu melakukan teknik fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat desa dalam musyawarah des; dan/atau memiliki kepekaan terhadap kebiasaan, adat-istiadat, dan nilainilai budaya masyarakat desa (Pasal 24 Permendes PDTT No. 3 tahun 2015). Khusus untuk tenaga pendamping profesional, mereTugas pendamping desa profesional secara rinci dapat dilihat dalam Bab II (Pasal 11-17) Permendes PDTT No. 3 tahun 2015. 7
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ka bahkan harus memiliki sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi (Pasal 27 ayat (1)). Sebelum terjun ke lapangan, tenaga pendamping profesional juga diberikan pembekalan peningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan (Pasal 28 ayat (1)). Dalam catatan Kemendes PDTT, dibutuhkan lebih dari 44.030 pendamping desa di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dari jumlah tersebut, 12.442 orang merupakan eks fasilitator PNPM dan 31.558 sisanya merupakan tenaga baru lulusan sarjana dan pendamping lokal desa yang direkrut dari kalangan masyarakat desa sendiri.8 Meskipun telah diatur dalam suatu instrumen kebijakan yang cukup ideal secara normatif, namun bukan berarti isu pendamping desa bebas dari masalah dan risiko. Syarat kualifikasi yang tinggi bisa jadi terpaksa dikompromikan mengingat kebutuhan akan pendamping desa dalam jumlah yang banyak perlu segera dilakukan, padahal jumlah calon pendamping yang benar-benar kompeten dan berpengalaman terbatas. Salah satu poin dalam kajian KPK mengenai risiko pengelolaan dana desa juga menyoroti mengenai peluang korupsi yang dilakukan oleh pendamping desa. Dengan otoritas pengetahuan dan pengalamannya, mereka dapat memanipulasi aparatur desa sehingga penggunaan dana desa disetir sedemikian rupa untuk kepentingan pribadinya. Ada juga kekhawatiran bahwa pendamping desa menjadi lahan profesi yang dijatahkan untuk kader partai politik atau sukarelawan pendukung calon presiden pemenang pemilu, dengan demikian mengorbankan tuntutan profesionalitas. Keterpakuan berlebihan akan dimensi profesionalitas pendamping desa juga harus dijaga agar jangan sampai membawa kerja pendampingan sebagai usaha yang melulu bernapaskan teknokratis. Pengalaman dalam program PNPM Mandiri Perdesaan dapat dipetik sebagai pelajaran. Di luar cerita dan citra keberhasilan yang sering digembar-gemborkan pemerintah, sesungguhnya banyak Informasi disampaikan Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT dalam diskusi terbatas, 9 Juli 2015. 8
27
ARTIKEL hal defektif yang berada di baliknya. Persentase dana yang macet atau tidak bergulir memang rendah, namun pembelajaran akan pengembangan demokrasi dan pemberdayaan mandiri masyarakat desa rendah. Fasilitator lebih banyak perperan sebagai perancang yang mendikte alih-alih transformator. Dana secara seragam lebih banyak dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur dengan sedikit alokasi untuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan dan peningkatan produktivitas masyarakat. Terjadi “eksploitasi warga lewat tirani partisipasi” (Agusta, 2008) dengan memaksa warga membangun proyek secara gotong-royong, padahal di sisi lain orang kota mendapatkan fasilitas serupa secara gratis. Dana yang berasal dari hutang lembaga donor lebih banyak mengalir ke pendamping internasional, nasional, kabupaten, hingga kecamatan sehingga tak heran bahwa menurut BPS, hanya 14 persen desa yang melaporkan rumah tangga miskin mendapatkan manfaat PNPM (Agusta, 2015b: 7). Lebih jauh, Carroll (2010) secara kritis menilai bahwa program PNPM mengintrodusir nilai-nilai good governance (partisipasi, akuntabilitas) dan kompetisi yang kompatibel dengan neoliberalisme. Dengan berpijak pada pengalaman tersebut, ada yang khawatir bahwa pendampingan desa akan terjebak pada logika yang sama, yakni berorientasi teknokratis-birokratis. Meminjam istilah James Ferguson (1990), pendamping desa berpotensi menjadi “mesin antipolitik” yang melakukan depolitisasi warga, di mana hak warga desa akan edukasi politik dan penguatan representasi politik diblok oleh rasionalitas instrumental (Eko, 2015: 7). Ini patut menjadi peringatan yang diantisipasi dengan serius, mengingat sebagian besar eks fasilitator PNPM Mandiri sejumlah 13 ribu orang yang kontraknya berakhir pada 31 Desember 2014 inilah yang menjadi pendamping desa dalam era UU Desa.9 CaraBito Wikantosa dari Kemendes PDTT menginformasikan bahwa eks fasilitator PNPM Mandiri telah dimobilisasi sebagai pendamping desa pada awal Juli 2015. Jumlahnya yang berada di kecamatan 10.604 orang dan di tingkat kabupaten 1.834 orang. 9
28
cara dan paradigma lama mereka dalam melakukan pendampingan dan fasilitasi harus diubah. UU Desa mentransformasi dimensi keproyekan ala PNPM menjadi lebih tersistematisir dalam kerangka pembangunan desa yang holistik. Oleh karenanya, pendamping tidak boleh menyisihkan pemerintah desa sebagaimana terjadi dalam PNPM, melainkan mendudukkannya sebagai aktor pembangunan bersama dengan warga (Agusta, 2015b: 7). PENUTUP Dana desa menjadi tema yang paling euforis sejak UU Desa disahkan. Wajar saja, melalui dana desa, desa akan mendapatkan dana dalam jumlah yang besar tanpa preseden. Berbagai kekhawatiran pun mencuat di kalangan publik pada umumnya dan pemerhati desa pada khusunya. Sosiolog Viviana Zelizer berpendapat bahwa uang dapat dimaknai secara jamak dan cair. Cara dalam mana masing-masing pihak memberikan makna tertentu kepada uang disebutnya sebagai pencirian (earmarking) (Zelizer, 1994). Pemerintah pusat yang mengalokasikan dana desa dalam jumlah tertentu kepada desa memandang uang tersebut sebagai instrumen untuk membuat desa lebih sejahtera dan otonom, anggota DPR memandang persetujuannya atas dana desa dalam APBN sebagai modal politik yang dapat dipromosikan kepada konstituen di desa bahwa dirinya adalah pihak yang berjasa, demikian pula macammacam aktor yang berkecimpung di desa akan memandang dana desa dalam perspektifnya masing-masing, entah apakah itu sebagai amanah, bonus cuma-cuma, peluang mencari untung, dan sebagainya. Uang dalam jumlah yang besar adalah gula-gula, dan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan pun bisa diprediksi akan tertarik untuk masuk ke desa mendesakkan kepentingannya. Uang yang banyak dikhawatirkan dapat merusak pranata sosial dan budaya yang berlaku di desa, menggerus modal sosial melalui infiltrasi praktik-praktik kotor. Beberapa desa di Jawa Timur misalnya, sebelum menerima dana desa sudah melakukan pengadaan laptop yang dananya ditalangi peJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi ngusaha setempat. Sementara di Sulawesi Selatan ada pengusaha menyumbang dana kampanye pada pemilihan kepala desa agar mendapat proyek pengadaan dari dana desa (Kompas, 3 Juli 2015) dan di Bekasi ada desa yang menerima sumbangan dua mobil ambulans dari perusahaan sebelum dana desa turun.10 Fenomena kolusi dan praktik perburuan rente (rent-seeking) yang selama ini marak di pemerintah daerah pasca-desentralisasi bisa jadi akan mengalir turun ke desa. Pemilihan kepala desa juga diperkirakan akan semakin sengit dan diintervensi oleh politik uang dan manipulasi, antara lain karena tergiur oleh dana desa yang besar. Jika kepala desa yang terpilih memiliki kaitan dengan partai politik, maka dana desa bisa dikorupsi tidak saja untuk menutupi biaya kampanye dan kepentingan pribadi namun juga untuk “sumbangan” ke partainya. Sebagai rekomendasi untuk mencegah pengelolaan dana desa dapat dilakukan dengan baik dan berintegritas, maka diperlukan pencermatan atas poin-poin berikut. Pertama, berbagai peraturan yang mengatur tentang dana desa mulai dari tingkat UU, PP, Permen, Perda dan Perbup/Perwal harus dicek keselarasan dan koherensinya. Jangan sampai ada peraturan yang tumpang tindih dan bertentangan dan jangan sampai ada peraturan yang substansinya bukan menjadi urusan dari pihak yang mengeluarkan peraturan. Dengan demikian, tidak akan ada cerita pelanggaran pengelolaan dana desa akibat peraturan yang bertentangan atau tidak jelas. Lebih jauh, peraturan tersebut juga hendaknya dievaluasi agar jangan terlalu restriktif dan kaku (dengan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik) karena itu hanya akan memperluas birokratisasi dan ujung-ujungnya ruang gerak desa menjadi terbatas. Kemungkinan untuk perubahan atau revisi juga harus dibuka setiap saat sebagai respons atas feedback dan dinamika yang terjadi di lapangan, atau manakala peraturan yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan aspirasi otentik masyarakat desa. Kesediaan pemerintah untuk merevisi PP No. Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015. 10
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
43 Tahun 2014 dan PP No. 60 Tahun 2014 merupakan contoh yang baik bahwa pemerintah mau mendengar aspirasi tersebut.11 Kedua, sistem pengawasan dan monev yang tegas dan cermat perlu diterapkan. Saat ini, pengelolaan dana desa dikawal dan diawasi secara berlapis oleh banyak pihak, mulai dari pemerintah pusat (melalui BPK dan BPKP), pemerintah daerah (melalui Inspektorat Daerah, BPKD), dan KPK. BPD hendaknya juga melakukan penguatan dalam fungsi pengawasan internal, termasuk dalam hal pengelolaan keuangan desa. Semua pihak tersebut harus memiliki kesamaan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan desa yang baik dan benar. Di luar lembaga-lembaga pemerintah tersebut, masyarakat desa sendiri juga harus dibekali dengan kesadaran kritis mengenai pentingnya dana desa dikelola dengan transparan dan akuntabel. Untuk itu, pendamping desa dan organisasi masyarakat sipil harus aktif memberikan pelatihan mengenai cara dan strategi melakukan pengawasan. Penciptaan model-model pengawasan yang efektif harus diujicoba dengan seksama. Ketiga, penguatan kapasitas dan kesadaran bagi aparatur desa mutlak diperlukan. Kepala desa dan jajarannya perlu diberikan pemahaman dan pelatihan mengenai hal ihwal pengelolaan keuangan desa, mulai dari awal (perencanaan dan penganggaran) sampai akhir (laporan pertanggungjawaban). Peran pendamping desa yang memfasilitasi desa berperan krusial di sini. Mereka harus mampu untuk melakukan transfer pengetahuan dan pembimbingan intensif. Selain itu, pendamping pada aras pemerintahan supraMisalnya, Pasal 100 PP No. 47 Tahun 2015 menyebutkan bahwa perhitungan belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah bengkok (atau sebutan lain). Hasil pengelolaan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan dari maksimal 30 persen APBDes. Ketentuan ini telah memenuhi aspirasi kepala desa yang khawatir bila pendapatan hasil pengelolaan tanah bengkok dimasukkan dalam perhitungan belanja desa maka pendapatannya akan berkurang. 11
29
ARTIKEL desa juga harus mampu untuk melakukan kerja peningkatan kapasitas dan pelatihan. Untuk ini, salah satu hal yang dapat direkomendasikan adalah memperlengkapi kecamatan dengan keberadaan tenaga fungsional yang paham dalam aspek-aspek teknis dan sektoral tata kelola desa (keuangan, teknik, pengembangan usaha, pertanian, dan sebagainya), jadi tidak hanya diisi oleh staf administrasi, agar pemerintah desa dapat berkonsultasi kepada kecamatan. Dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran yang hasil akhirnya tertuang dalam RPJMDes, RKPDes, dan APBDes, aparat desa tidak cukup hanya paham mengenai teknis mekanisme pelaksanaannya, melainkan juga mampu untuk melakukannya secara berkeadilan dan demokratis, yakni disusun dengan benar-benar memperhatikan kebutuhan aktual masyarakat dan melibatkan partisipasi otentik (bukan partisipasi semu dan mobilisasi) dari masyarakat desa seluas-luasnya. Dengan demikian, pembelanjaan desa dapat diaransemen agar mampu meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, dan keberdayaan masyarakat desa. Untuk mencapai ini, peningkatan kapasitas hanya akan melahirkan keahlian teknis yang mekanis jika tidak diiringi dengan perubahan kesadaran. Diperlukan peningkatan kesadaran agar kepala desa dan aparat benar-benar memahami bahwa dana desa adalah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel, bukannya hadiah yang dapat digunakan secara bebas oleh elite desa.
DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal, dan Artikel Agusta, Ivanovich, 2008, “Kritik Paradigma PNPM Mandiri (Critique on Paradigm of PNPM Mandiri)”, dalam http://iagusta.blogspot.com/200 8/11/kritik-paradigma-pnpmmandiri-critique.html, diakses 10 Juli 2015. _______________, 2015a, “Memandirikan Keuangan Desa”, Kompas, 4 April, hal. 7.
30
_______________, 2015b, “Membalik Pendamping Desa”, Kompas, 4 Mei, hal. 7. Carroll, Toby, 2010, “Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal”, Prisma, Vol. 29, No. 3, hal. 84-101. Eko, Sutoro, 2015, “Pendampingan Desa”, Kompas, 2 Juli 2015, hal. 7. Hasani, Ismail, 2015, “Mantra Membangun Desa”, Kompas, 22 April, hal. 7. Huseini, Martani, 2015, “”Saemaul Undong”, Semua Berawal dari Desa”, Koran Sindo, 25 Juni 2015, hal. 7. Jaweng, Robert Endi, 2015, “Setahun UU Desa”, Kompas, 14 Februari, hal. 6. Muhammad, Farouk, 2015, “Menjaga Momentum UU Desa”, Kompas, 3 Juli, hal. 6. Padjung, Rusnadi, 2015, “Khawatir Dana Desa Dikorupsi”, Kompas, 6 Juli, hal. 7. Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015, “Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014”, Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN. Sjaf, Sofyan, 2015, “Menjawab Kekhawatiran Dana Desa”, Kompas, 25 Juni, hal. 7. Sukasmanto, 2014, “Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi”. Disampaikan dalam 4th Indonesia Anti-Corruption Forum, Jakarta, 10-12 Juni 2014. Zelizer, Viviana A., 1994, The Social Meaning of Money, Princeton: Princeton University Press. Undang-undang dan Peraturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
Peraturan
Peraturan
Peraturan
Peraturan
Peraturan Peraturan
Peraturan
Peraturan
Peraturan
Peraturan
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undangundang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berita “Dana Besar Akan Banjiri Desa”, Kompas, 27 Februari 2015, hal. 5. “Pendulum Anggaran Mulai ke Daerah”, Kompas, 15 Agustus 2015, hal. 1. “Persyaratan Hambat Pencairan”, Kompas, 2 Juli 2015, hal. 5. “Tantangan di Balik Janji Manis”, Kompas, 3 Juli 2015, hal. 5. Laman Website http://www.koransindo.com/read/964587/149/sal ah-kelola-dana-desa-bisa-jadisumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015. http://www.koransindo.com/read/964858/149/da na-desa-picu-tingginyapemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2015. http://www.koransindo.com/read/1005329/149/p enyerapan-dana-desa-baru-rp38-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2015. http://www.koransindo.com/read/1012635/149/b pk-akan-audit-anggaran-desa1434331148, diakses 10 Juli 2015. http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015. http://www.kpk.go.id/id/berita/siaranpers/2731-kpk-temukan-14potensi-persoalan-pengelolaandana-desa, diakses 7 Juli 2015. http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838penanggulangan-kemiskinan-iaidana-desa, diakses 9 Juli 2015.
31
ARTIKEL
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Governor as a Representative of the Central Government in Local Government System in the Republic of Indonesia Edy Sutrisno Peneliti Muda pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kedudukan sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan strategis tersebut mengalami banyak tantangan dan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak efektif dan untuk merumuskan konstruksi kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berjalan tidak efektif yang disebabkan oleh 6 (enam) determinant factor, yaitu lemahnya dukungan instrumen kebijakan, ketiadaan institusi kelembagaan, ketiadaan personil aparatur, ketidakjelasan anggaran, kepemimpinan, dan political will pemerintah. Hasil penelitian merumuskan dua desain sistem pemerintahan daerah. Pertama, provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota daerah otonom. Kedua, provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota wilayah administrasi dan daerah otonom. Kedua desain tersebut meletakkan dekonsentrasi dan desentralisasi pada provinsi dan mendudukkan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat mapun selaku kepala daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya institusi kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam penelitian ini dirumuskan sebagai intermediate government dalam bentuk direktorat dekonsentrasi. Kata kunci: Gubernur, Wakil Pemerintah Pusat, Dekonsentrasi, Desentralisasi, Prefectoral System, Intermediate Government, Direktorat Dekonsentrasi Abstract: Governor as the Central Government representative has a very important position on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia. The strategic position have faced lots of challenges and problems. This study aims to analyze why the position of the governor as the central government representative is ineffective and to formulate the construction of the governor’s position, role and function as the Central Government representative on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia for the future. The results show that the governor’s position as the central government representative is ineffective. The ineffectiveness determinant factors are the lack of support in policy instruments, institutions, personnel officers, budget uncertainty, leadership, and political will of the governments. This study formulates two designs for the local administration system. First, the provinces are both an administrative area and an autonomous region, then the regencies/municipalities are an autonomous region. Second, both the provinces and regencies/municipalities are an administrative area and an autonomous region. Both designs set deconcentration and decentralization at the province as well as governor as the Central Government representative and as the head area. This study indicate the need of governor’s institution as the central government representative which in this study is formulated as an intermediate government in the deconcentration directorate format. Keywords: Governor, Central Government Representative, Deconcentration, Decentralization, Prefectoral System, Intermediate Government, Directorate Deconcentration
32
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia LATAR BELAKANG Sejarah sistem pemerintahan daerah di Indonesia menunjukkan kecenderungan berimpitnya daerah otonom dan daerah administrasi melalui implementasi asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Bhenyamin Hoessein (2009) mengemukakan, penyelenggaraan desentralisasi mewujudkan local self government dengan terbentuknya daerah otonom, sedangkan dekonsentrasi menciptakan field administration (instansi vertikal) dan/atau local state government.1 Penyelenggaraan dekonsentrasi memperoleh pijakan yang kuat ketika UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dilaksanakan. Desain dekonsentrasi dalam undang-undang tersebut mengadaptasi pola Integrated Field Administration yang dijalankan secara paralel dengan desentralisasi. Model tersebut mengharuskan terwujudnya keseragaman batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal menurut wilayah administrasi di bawah wakil pemerintah.2 Di samping dekonsentrasi, UU No. 5 Tahun 1974 juga mengamanatkan pelaksanaan desentralisasi. Maka dianutnya Integrated Field Administration menuntut berimpitnya wilayah daerah otonom dengan wilayah administrasi (fused model) serta perangkapan jabatan kepala daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah (dual role).3 Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, provinsi, kabupaten/kota menempati posisi sebagai daerah otonom dan wilayah administrasi sedangkan gubernur, bupati, dan walikota merangkap jabatan sebagai kepala daerah dan selaku wakil pemerintah. Menurut Hoessein, sesuai dengan pendapat Fried (1967), sistem pemerintahan daerah dengan karakteristik seperti tersebut adalah model Integrated Prefectoral System.4
1Bhenyamin
Hoessein, Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Konteks Pemerintahan Umum, “Pemerintahan Daerah Di Indonesia”(Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, 2009). 2Ibid. 3Ibid. 4Ibid. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun selaku kepala daerah memiliki peran dan fungsi yang efektif sebagai figur sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dimana dekonsentrasi dan desentralisasi dilaksanakan secara paralel. Peran dan fungsi tersebut diantaranya adalah membina ketenteraman dan ketertiban, melaksanakan pembinaan ideologi, politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan bangsa, menyelenggarakan koordinasi kegiatan instansi vertikal dan dinas daerah, serta membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Tetapi saat ini, lebih dari satu dasawarsa pasca dihentikannya UU No. 5 Tahun 1974 dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 kedudukan gubernur baik sebagai wakil pemerintah maupun selaku kepala daerah mengundang kontroversi terkait dengan tidak efektifnya peran ganda yang dimiliki gubernur. Kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang digantikannya. Dihapuskannya kantor wilayah kementerian/lembaga serta pembatasan kedudukan bupati/walikota dibatasi hanya sebagai kepala daerah dan tidak lagi menjabat sebagai wakil pemerintah membawa implikasi bagi pemerintah pusat. Konstruksi demikian mengharuskan pemerintah pusat mengoptimalkan peran gubernur agar pemerintah pusat dapat menjalankan fungsi pemerintahannya secara efektif. Tetapi revisi UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan harapan cerah bagi perbaikan pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah. Upaya pemerintah untuk memperkuat kedudukan, tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah melalui UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 37 dan Pasal 38 tidak menghasilkan formulasi yang jelas. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sudah seharusnya diletakkan dalam konteks dekonsentrasi. Analisis yang dilakukan oleh Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan (2006) menunjukkan kelemahan-kelemahan dekonsentrasi dalam un33
ARTIKEL dang-undang tersebut sebagai berikut: pertama, UU No. 32 Tahun 2004 tidak memuat satu pasalpun yang menyebutkan adanya wilayah administrasi untuk kepentingan dekonsentrasi. Kedua, provinsi sebagai wilayah yurisdiksi operasi gubernur selaku wakil pemerintah tidak didefinisikan sebagai wilayah administrasi. Ketiga, ketidaktepatan penggunaan frasa “di wilayah tertentu” dalam definisi dekonsentrasi yang dapat mengakibatkan munculnya perbedaan batas yurisdiksi antara peta administrasi lapangan dengan peta yurisdiksi daerah otonom tertentu baik provinsi maupun kabupaten/kota bagi operasi instansi vertikal.5 Keempat, ketidakjelasan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah terhadap instansi vertikal, ini terkait dengan ketidaksinkronan antara Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1).6 Legal problem tersebut jelas mempengaruhi efektifitas pelaksanaan dekonsentrasi sebagai bagian dari amanat UU No. 32 Tahun 2004. Konstruksi UU No. 32 Tahun 2004 menempatkan provinsi secara fused model. Selain itu terdapat pula karakteristik Integrated Field Administration dan Integrated Prefectoral System yang dijalankan. Dengan demikian maka instansi vertikal yang beroperasi di wilayah administrasi provinsi seharusnya berada di bawah koordinasi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Tetapi konstruksi dekonsentrasi yang dibangun dalam undang-undang tersebut secara implisit justru mereduksi peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah dalam hubungannya dengan instansi vertikal penyelenggara dekonsentrasi. Argumentasi untuk menjelaskan fakta ini terletak pada substansi Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menurut Irfan Ridwan Maksum (2008) bahwa, gubernur sebagai Definisi dekonsentrasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 6 Eko Prasojo, et al, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural (Depok: Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006).
wakil pemerintah tidak diberi tugas untuk berhadapan langsung dengan instansi vertikal.7 Dalam arti gubernur tidak memiliki peran dan fungsi apapun terhadap instansi vertikal, sedangkan merujuk teori wakil pemerintah yang dinyatakan oleh Hoessein mengacu Fried (1967) tidak demikian, yang menyebutkan terdapatnya tanggungjawab wakil pemerintah sebagai integrator dan koordinator seluruh instansi vertikal di daerahnya.8 KONSTRUKSI PERAN DAN FUNGSI GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT KE DEPAN Berdasarkan analisis, terdapat sejumlah faktor determinan yang menyebabkan mengapa tugas, wewenang dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak berjalan seperti yang diharapkan, yaitu: •
•
•
5
34
Instrumen Kebijakan, pengaturan gubernur sebagai wakil pemerintah dalam UU No. 32 Tahun 2004 sangat miskin sehingga dapat dikatakan pada tataran implementasi gubernur sebagai wakil pemerintah tidak memiliki dasar kebijakan yang kuat. Dukungan instrumen kebijakan sangat lamban, lemah dan tidak implementatif. Kelembagaan, semenjak UU No. 32 Tahun 2004 diterbitkan dan memposisikan gubernur sebagai wakil pemerintah selain selaku kepala daerah, faktor kelembagaan menjadi persoalan krusial bagi pelaksanaan peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Ketidakjelasan struktur kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat menyebabkan gubernur tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Personil Aparatur, personil sebagai salah satu perangkat gubernur keberadaannya sangat penting dan strategis, idealnya antara personil gubernur sebagai wakil pe-
Irfan Ridwan Maksum, Dekonsentrasi dan Instansi Vertikal (Catatan Kritis UU No.32 Tahun 2004), Seluk Beluk Pemerintahan Daerah Mencari Alternatif Memperkuat Negara Bangsa. FISIP UI Press, Depok, 2008. 8Ibid. 7
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
•
•
•
merintah pusat dengan aparatur gubernur selaku kepala daerah adalah terpisah berdasarkan kompetensi serta ruang lingkup tugas dan fungsi masing-masing. Pembiayaan/Anggaran Keuangan, berdasarkan analisis data diketahui bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah tidak memiliki anggaran yang memadai untuk membiayai dan menunjang pelaksanaan tugas dan wewenang yang diembannya, setidaknya hingga PP No. 19 Tahun 2010 belum dikeluarkan. Kepemimpinan Gubernur, lima faktor determinan yang dikemukakan di atas merupakan faktor-faktor mutlak untuk mendorong gubernur dapat menjalankan tugas, wewenang dan fungsinya secara efektif. Namun demikian berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data lapangan diketahui bahwa faktor kepemimpinan juga menjadi salah satu determinan faktor yang tidak kalah penting bagi efektifitas kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Faktor kepemimpinan gubernur dalam konteks ini meliputi kepemimpinan politik dan kepemimpinan birokrasi. Political Will Pemerintah, pemerintah terkesan tidak serius dan setengah hati dalam memberikan mandat atas kedudukan ganda gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Sinyalemen ini dapat dijelaskan dalam beberapa argumentasi, seperti lemahnya dukungan instrumen kebijakan, perangkat organisasi, ruang lingkup tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan yang tidak jelas.
1. Konstruksi Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Berdasarkan analisis dirumuskan pokokpokok pemikiran konstruksi pemerintahan daerah berkaitan dengan kedudukan provinsi, kabupaten/kota dan kedudukan, tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstruksi tersebut terdiri dari 2 (dua) desain sebagai berikut: a.
Desain 1, Provinsi: Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom – Kabupaten/Kota: Daerah Otonom
Desain pertama meletakkan provinsi se-bagai wilayah administrasi dan daerah otonom dan memposisikan daerah kabupa-ten/kota hanya sebagai daerah otonom. Pada level provinsi dianut Fused Model, kedudukan daerah otonom provinsi dengan wilayah administrasi berimpit. Provinsi menjalankan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi konsekuensinya gubernur memiliki kedudukan ganda, yakni: sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Dalam desain ini daerah kabupaten dan kota hanya berkedudukan sebagai daerah otonom dan posisi bupati/walikota adalah murni sebagai kepala daerah. a.1. Struktur Organisasi Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota Desain pertama dengan dasar teori Integrated Prefectoral System mewujudkan penyatuan wilayah pemerintahan, yakni wilayah administrasi dengan daerah otonom pada level provinsi. Gubernur memiliki dual role, sebagai kepala wilayah administrasi/ wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Tugas dan wewenang desentralisasi di serahkan kepada gubernur, bupati/walikota sebagai kepala daerah otonom. Adapun tugas dan wewenang dekonsentrasi dilimpahkan kepada gubernur sebagai kepala wilayah administrasi yang berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat.
35
ARTIKEL Gambar 1 Desain 1, Provinsi Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom – Kabupaten/Kota Daerah Otonom
a.2. Konstruksi Kelembagaan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat/ Deputi Dekonsentrasi Institusi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seharusnya bersifat operasional, taktis dan memiliki tugas dan fungsi menyelesaikan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Institusi tersebut diisi oleh personil dengan kualitas yang memadai dan
36
desain anggaran keuangan yang mantap. Apabila tidak demikian, maka peran dan fungsi gubernur selaku wakil pemerintah pusat tidak berjalan. Berdasarkan analisis data, penulis merumuskan desain kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam bentuk unit kedeputian sebagai berikut:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia Gambar 2 Struktur Kelembagaan Deputi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat/ Deputi Dekonsentrasi
Keterangan : • Asisten 1 : Asisten Deputi Bidang Perencanaan dan Program • Asisten 2 : Asisten Deputi Urusan Pemerintahan Umum • Asisten 3 : Asisten Deputi Bidang Koordinasi, Pembinaan, dan Pengawasan • Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota • Asisten 4 : Asisten Deputi Bidang Koordinasi Instansi Vertikal • Gubernur WPP: Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat 1) Konstruksi Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Dalam konteks kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat konstruksi peran dan fungsi gubernur dirumuskan ke dalam dua bentuk, yaitu: kewenangan atributif dan kewenangan delegatif. Kewenangan atributif merupakan kewenangan yang melekat pada jabatan gubernur sebagai kepala wilayah administrasi dan/atau wakil pemerintah pusat. Kewenangan atributif dalam konteks ini mengacu pada konsep Integrated Field Administration dan Integrated Prefectoral System dan lebih kepada urusan-urusan yang berhubungan dengan pemerintahan umum. Kewenangan delegatif, merupakan kewenangan yang berkaitan dengan pelimpahan wewenang urusan-urusan kementerian teknis kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam konteks Fragmented Field Administration.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
2) Distribusi Urusan Pemerintahan Organisasi negara dalam menjalankan peran dan fungsinya selalu terdapat sejumlah urusan yang diselenggarakan secara sentralistis dan diperhalus melalui dekonsentrasi. Pada sisi lain tidak pernah ada suatu urusan pemerintahan yang mutlak diserahkan sepenuhnya kepada daerah melalui desentralisasi. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pemerintah pusat secara absolut memegang 6 (enam) urusan pemerintahan meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Sedangkan di luar urusan absolut di atas adalah 31 (tiga puluh satu) urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, seperti pendidikan, kesehatan, 37
ARTIKEL pekerjaan umum, dan seterusnya. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mengedepankan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. 3) Anggaran Keuangan Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, terdapat tiga mekanisme pembiayaan atau asas yang dianut oleh pemerintah, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Besaran anggaran keuangan dekonsentrasi bagi gubernur di suatu wilayah administrasi menurut peneliti ditentukan berdasarkan beberapa variabel, yaitu: besar kecilnya wilayah administrasi provinsi, besar kecilnya beban tugas gubernur yang diukur berdasarkan kompleksitas dan dinamika permasalahan dimasing-masing provinsi. Besaran anggaran dekonsentrasi harus mampu memberi peluang bagi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan program dan kegiatan secara nyata. Besaran anggaran bukan hanya untuk kegiatan rapat koordinasi dan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial. Anggaran dekonsentrasi seharusnya dapat digunakan untuk membiayai program-program kegiatan termasuk proyek-proyek dekonsentrasi yang mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Dana dekonsentrasi untuk gubernur sebagai wakil pemerintah pusat baru diberikan mulai tahun 2011 hanya untuk membiayai kegiatan rapat dan koordinasi dengan jumlah peserta terbatas khususnya anggota Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah). Bahkan desain anggaran tidak dapat memberikan kebutuhan akomodasi seperti biaya transportasi dan honorarium bagi peserta dari luar sekretariat daerah. Menurut peneliti dalam konteks anggaran, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus dapat berperan sebagai budget optimizer. 4) Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur Tarik ulur tentang mekanisme pengisian jabatan gubernur, bupati, dan walikota apakah 38
dipilih presiden dan/atau DPRD atau melalui pilkada terjadi karena lemahnya konsep yang digunakan dalam pengisian kepala daerah. Pilihan yang paling memungkinkan dan visible untuk digunakan adalah dengan melakukan tahapan seleksi pemimpin daerah melalui metode campuran, misalnya seleksi oleh presiden dan dipilih oleh DPRD atau seleksi calon oleh presiden dan dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada. Metode ini dapat menjadi alternatif solusi bagi polemik penyelenggaraan pilkada yang tidak berkesudahan, meskipun mekanisme ini juga belum tentu memberikan pilihan terbaik atas proses pengisian jabatan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Dalam metode ini setiap pasangan calon gubernur diajukan kepada presiden dalam jumlah pasangan tertentu misalnya minimal empat pasangan dan maksimal tujuh pasangan. Presiden selanjutnya memilih pasangan yang akan dipilih oleh DPRD atau melalui pilkada minimal tiga pasangan dan maksimal empat pasangan. Kemudian pasangan-pasangan tersebut dipilih oleh DPRD atau pilkada melalui tahapan yang telah ditentukan. b. Desain 2, Provinsi Sebagai Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom Kabupaten/Kota Sebagai Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom Dalam desain kedua kedudukan kabupaten/ kota sama dengan provinsi yaitu sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom. Pada posisi ini daerah kabupaten/kota menganut Fused Model. Seperti yang dikemukakan Leemans (1970) Fused Model mengakomodasi terciptanya penyatuan antara unit administrasi lapangan dari pusat dengan pemerintahan lokal. Konsekuensinya kepala daerah kabupaten/kota memiliki peran ganda sebagai kepala daerah otonom kabupaten/kota dan selaku kepala wilayah administrasi kabupaten/kota. Fused Model identik dengan Integrated Prefectoral System yang dikemukakan oleh Fried (1963) dalam konteks kesatuan kewilayahan antara daerah otonom dan wilayah administrasi serta peran ganda yang dipegang oleh kepala wilayah administrasi dan kepala daerah. Sebagai kepala wilayah admiJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia nistrasi bupati/walikota berperan sebagai wakil pemerintah pusat dan menjalankan asas dekonsentrasi, sedangkan selaku kepala daerah bupati/walikota melaksanakan asas desentralisasi. Kedudukan kabupaten/kota sebagai wilayah administrasi dalam desain kedua dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya unbroken chain of command antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Dalam arti hierarki antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota tidak terputus. Posisi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah subordinat bagi pemerintah pusat, sebab garis hierarki wilayah administrasi melalui kedudukan gubernur, bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat menjamin terciptanya garis komando oleh pusat bagi wilayah administrasi di bawahnya yaitu provinsi dan kabupaten/kota. Hierarkhi pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota tidak terputus dan pada tataran penyelenggaraan pembangunan terwujud kesinambungan program antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, kabupaten/kota. Desain kedua memiliki substansi bahasan yang sama dengan desain pertama khususnya pada level provinsi karena konstruksinya sama yakni provinsi menjalankan dekonsen-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
trasi dan desentralisasi serta kedudukan ganda gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Berdasarkan hal tersebut maka, struktur organisasi provinsi, konstruksi kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, konstruksi peran dan fungsi gubernur, distribusi urusan pemerintahan, personil gubernur, anggaran keuangan serta mekanisme pengisian jabatan gubernur memiliki substansi yang sama dengan desain pertama. Beberapa perbedaan yang terdapat pada desain pertama dan kedua yaitu: pertama, pada desain pertama hanya menjalankan desentralisasi dan kedudukan bupati/walikota murni sebagai kepala daerah. Sementara pada desain kedua kabupaten/kota menjalankan dekonsentrasi dan desentralisasi sama halnya provinsi dan kedudukan bupati/ walikota ganda sama seperti gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Kedua, apabila pada desain pertama kabupaten/kota tidak terdapat unit dekonsetrasi, maka pada desain kedua terdapat unit dekonsentrasi yakni direktorat dekonsentrasi yang berada di bawah koordinasi langsung bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat. Apabila digambarkan, maka konstruksi organisasi yang menempatkan provinsi, kabupaten/kota sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom adalah sebagai berikut:
39
ARTIKEL Gambar 3 Provinsi Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom – Kabupaten/KotaWilayah Administrasi dan Daerah Otonom
Untuk menghindari pengulangan dalam pembahasan atau repetisi, maka dimensi-dimensi yang sama tersebut di atas tidak dibahas lagi dalam desain kedua kecuali aspekaspek yang berbeda dan perlu penguatan dibahas peneliti secara tersendiri. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut: b.1. Kelembagaan Gubernur, Bupati/ Walikota Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Seperti yang dituangkan dalam gambar 3 di atas tampak bahwa dalam konstruksi pemerintahan daerah kabupaten/kota terdapat 40
unit dekonsentrasi yang oleh peneliti secara titelatur disebut direktorat dekonsentrasi. Direktorat dekonsentrasi di kabupaten/kota dijabat oleh direktur dekonsentrasi yang secara hierarkhis berada di bawah kendali langsung bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat dan memiliki hubungan koordinasi dengan deputi dekonsentrasi pada level provinsi. Tugas dan fungsi direktorat dekonsentrasi adalah untuk mencapai dan melaksanakan tugas dan wewenang bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat. Secara struktur direktorat dekonsentrasi membawahi bidang-bidang tertentu seJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia laras dengan deputi dekonsentrasi. Gambar direktorat dekonsentrasi pada kabupaten/ kota dikemukakan sebagai berikut: Gambar 4 Direktorat Dekonsentrasi Pada Kabupaten/Kota
Keterangan: Bidang 1 Bidang 2 Bidang 3 Bidang 4
:Bidang Perencanaan dan Program :Bidang Urusan Pemerintahan Umum :Bidang Koordinasi Instansi Vertikal :Bidang Urusan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Posisi direktur dekonsentrasi diisi oleh Pegawai Negeri Sipil karier, yang direkrut melalui mekanisme seleksi terbuka yang dapat diikuti oleh PNS baik dari Kabupaten/ kota maupun provinsi dan pusat. Bidang Perencanaan dan Program memiliki tugas dan fungsi menyusun program dan rencana kegiatan yang akan dilakukan direktorat dekonsentrasi setiap tahun. Sumber dari program dan rencana tersebut berasal dari bidang-bidang yang lain. Adapun Bidang Urusan Pemerintahan Umum melaksanakan tugas dan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan umum, menghidupkan Forkopimda tingkat kabupaten. Sementara Bidang Koordinasi Instansi Vertikal menjalankan tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan yang dilakukan instansi vertikal dengan program dan kegiatan pemerintah kabupaten/ kota. Bidang Urusan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melaksanakan tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan memfasilitasi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di kabaupaten dan kota. Sama halnya dengan deputi dekonsentrasi pada provinsi yang tidak dijabat secara exofficio oleh sekretaris daerah provinsi, direktur dekonsentrasi juga tidak dijabat oleh exofficio sekretaris daerah kabupaten/kota, tetapi diisi oleh PNS karier melalui mekanisme rekrutmen terbuka. Jabatan-jabatan yang dijabat secara ex-officio seringkali tidak berjalan secara optimal. Conflict of interest serta kapasitas dan kapabilitas yang terbatas ketika seseorang merangkap jabatan juga menjadi alasan mengapa jabatan deputi dekonsentrasi maupun direktur dekonsentrasi tidak harus dijabat secara ex-officio oleh sekretaris daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Direktur dekonsentrasi membawahi bidang-bidang yang secara tugas dan fungsi seperti yang dikemukakan di atas dan dijabat oleh kepala bidang. Kepala bidang selanjutnya mengkoordinir dan mensinergikan kelompok jabatan fungsional yang
41
ARTIKEL memiliki keahlian dan keterampilan sesuai dengan bidang masing-masing. b.2. Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Sebagai wakil pemerintah, gubernur memiliki konstruksi peran dan fungsi yang sama dengan desain pertama, sebab basisnya adalah pada teori Integrated Prefectoral System, Fused Model, maupun Integrated Field Administration. Demikian juga dengan peran dan fungsi gubernur sebagai kepala daerah tugas dan fungsi utamanya adalah menyelenggarakan pemerintahan daerah otonom dengan berbagai urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah dalam konteks desentralisasi. Konstruksi tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat baik dalam konteks kewenangan atributif maupun delegatif seharusnya sejajar dengan tugas dan wewenang gubernur selaku kepala daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat perlu diberikan ruang dan diskresi kebijakan untuk menjalankan tugas dan wewenang yang diembannya. Komitmen pemerintah dalam mendukung gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum, menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggara-an pemerintahan daerah, dan melakukan fungsi koordinasi dan integrasi instansi vertikal menjadi faktor mutlak terwujudnya efektifitas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Begitu juga dengan kewenangan delegatif, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seharusnya memiliki peran untuk sinkronisasi, mengawasi, dan membina urusan pemerintahan lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat merupakan intermediator bagi pemerintah pusat dengan daerah otonom provinsi, kabupaten/kota. Gubernur menjadi penghubung bagi gubernur kepala daerah dan bupati/walikota. Dengan desain seperti ini, derajat otonomi daerah tidak berkurang bagi pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Pemerintah tetap dapat melaksanakan peran dan fungsinya menjalankan koordinasi, mem42
bina, dan mengawasi serta memfasilitasi peran dan fungsi pemerintah pusat di daerah otonom dengan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagai aktornya. Konsep ini sesungguhnya telah tertuang dalam peran dan fungsi Prefek dalam Integrated Prefectoral System dimana gubernur adalah mata, telinga, dan mulut pemerintah. Pemerintah pusat dapat mendelegasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan program pembangunan kepada gubernur dan gubernur menyampaikan ke bupati/walikota termasuk kepada instansi vertikal. Demikian pula sebaliknya gubernur selaku kepala daerah adalah institusi penghubung bagi kepentingan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dalam konteks daerah otonom. Melalui peran intermediary government ini keberadaan pemerintah pusat tetap dapat dirasakan oleh pemerintah daerah dan rakyat di daerah. Peran dan fungsi pemerintah secara nyata dikawal oleh gubernur, bupati/walikota dengan kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Presiden sebagai representasi dari pemerintah tetap terjaga kewibawaannya melalui peran dan fungsi yang ditugaskan kepada gubernur, bupati/ walikota sebagai wakil pemerintah pusat di daerah otonom. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan analisis diatas, terdapat 6 (enam) faktor determinan yang menyebabkan peran dan fungsi gubernur berjalan tidak efektif, yaitu: a.
b.
c.
d.
Instrumen kebijakan, pemerintah sangat lamban dalam menyiapkan dan menerbitkan kebijakan pendukung kedudukan, tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Ketiadaan kelembagaan, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki konstruksi kelembagaan yang jelas. Personil aparatur, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki dukungan personil aparatur. Anggaran keuangan, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak didukung JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
e.
f.
oleh desain anggaran keuangan yang jelas guna mendukung pelaksanaan peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kepemimpinan, kapabilitas kepemimpinan gubernur berpengaruh terhadap efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Political will pemerintah, berupa dukungan nyata dari pemerintah terhadap gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memberi pengaruh besar terhadap efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat ditentukan oleh desain sistem pemerintahan daerah. Berdasarkan analisis, desain kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan dikonstruksikan, sebagai berikut: Terdapat 2 (dua) konstruksi kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, yaitu: 1) Provinsi, kabupaten/kota berkedudukan sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota berkedudukan sebagai daerah otonom. Dalam arti, dekonsentrasi dan desentralisasi diimplementasikan di provinsi - kabupaten/kota menyelenggarakan desentralisasi. Konstruksi demikian menempatkan gubernur pada kedudukan ganda, sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah, sedangkan bupati/walikota sebagai kepala daerah. 2) Provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota berkedudukan sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom. Provinsi, kabupaten/kota menyelenggarakan dekonsentrasi dan desentralisasi. Kedudukan gubernur, bupati/walikota adalah ganda sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Konstruksi peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat meliputi: 1) Wewenang atributif yang menjalankan 3 (tiga) tugas, wewenang dan fungsi pokok, meliputi: Melaksanakan urusan pemerintahan umum; Menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; Menjalankan fungsi koordinator dan integrator instansi vertikal 2) Wewenang delegatif, berhubungan dengan wewenang, tugas dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk membina dan mengendalikan urusan-urusan pemerintahan dalam konteks dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 3) Ketiadaan institusi kelembagaan mempengaruhi efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Hasil analisis data menunjukkan bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memerlukan institusi kelembagaan. Titelatur kelembagaan tersebut pada level provinsi dalam bentuk deputi dekonsentrasi, sedangkan pada level kabupaten/kota adalah direktorat dekonsentrasi untuk mendukung peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. 4) Konstruksi sistem pemerintahan daerah secara teori dan konseptual menganut Integrated Prefectoral System yang ditunjukkan melalui pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota yang menjalankan dekonsentrasi dan/atau desentralisasi secara paralel serta terwujudnya kedudukan dan peran ganda gubernur, bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. 5) Indonesia sebagai negara kesatuan terdesentralisasi telah memiliki konstruksi ideal penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah seperti yang saat ini berjalan. Desain pemerintahan daerah yang menempatkan dekonsentrasi dan desentralisasi pada provinsi dan desentralisasi pada kabupaten/kota yang mewujudkan 43
ARTIKEL kedudukan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun selaku kepala daerah dan kedudukan bupati/walikota sebagai kepala daerah relevan dipertahankan, diperkuat dan disempurnakan. 2. Rekomendasi dan Implikasi Akademis dan Praktis Berdasarkan analisis yang dilakukan, peneliti merumuskan rekomendasi serta implikasi akademis dan praktis sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
e.
44
Memperjelas kedudukan, tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melalui penguatan instrumen kebijakan baik pada level undangundang maupun peraturan perundangundangan lainnya. Memperkuat kedudukan, tugas dan fungsi kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, pada level provinsi dibentuk unit deputi dekonsentrasi sebagai intermediate government (struktur perantara) bagi kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan instansi vertikal. Memperkuat tugas dan fungsi personil aparatur pendukung bagi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Posisi deputi dekonsentrasi bukan diisi secara exofficio oleh sekretaris daerah provinsi. Posisi tersebut diisi oleh PNS karier yang direkrut secara terbuka. Demikian pula pada posisi asisten deputi dan staf personil, diisi oleh kelompok jabatan fungsional yang memiliki kompetensi andal di bidang masing-masing. Kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat perlu didukung dengan anggaran keuangan yang kuat. Gubernur dapat berperan sebagai budget optimizer sehingga dapat melaksanakan program dan kegiatan yang signifikan bagi pemerintah daerah dan tidak sekedar anggaran untuk kegiatan rapat, koordinasi, dan seremonial belaka. Political will pemerintah terhadap kedudukan ganda gubernur sangat diperlukan melalui dukungan nyata terhadap perangkat kelembagaan, anggaran keuang-
an, dan aspek lainnya sehingga kedudukan ganda gubernur memiliki kontribusi optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konstruksi kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan daerah bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu disempurnakan melalui strategi sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
Memperkuat dekonsentrasi dan desentralisasi di provinsi dan desentralisasi pada level kabupaten/kota; Mempertahankan dan memperkut kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah serta didukung dengan perangkat kelembagaan, peran dan fungsi, personil aparatur, dan kedudukan keuangan yang jelas; Teori Integrated Prefectoral System perlu terus dikembangkan dan diselaraskan sesuai dengan karakteristik dan tantangan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dihadapi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat perlu menginisiasi dan menerbitkan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang kedudukan, tugas dan fungsi instansi vertikal di daerah sebagai panduan bagi instansi vertikal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya termasuk keberadaanya dalam sistem pemerintahan daerah secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Albertini, Jean-Benoit, La Deconcentration, L’Administration Territoriale La Reforme De L’Etat, Economica, Paris, 1997. Alderfer Harold .F: Local Government in Developing Countries, McGraw-Hill Series in International Development, 1964. Bakry La, Pengaturan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah, JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia Pemerintahan Daerah di Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2009. Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development. Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, London, 1983. Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, Decentralizing Governance, Emerging Concepts and Practice, Brookings Institution Press, Washington, D.C. Cohen, John M. dan Stephen B. Peterson, Administrative Decentralization, Strategies for Developing Countries, Kumarian Pers, Connecticut, USA, 1999. Corbin, Juliet dan Anselm Staruss, Dasardasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (2003). Creswell W John., Research Design: Qualitative & Quantitative Approach, Sage Publications, Inc, California, 1994. Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qulitative Research, Norman K. Denzin , Yvonna S. Lincoln, Edisi Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Fried .C Robert, The Italian Prefects, A Study in Administrative Politics, New Haven and London, Yale university Press, 1963. Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Universitas Pancasila, Jakarta, 2009. Hoessein, Bhenyamin, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, “Perubahan Model, Pola, danBentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi”, Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009. Hoessein, Bhenyamin, et al, Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Depok: PKPADK FISIP Universitas Indonesia, 2005. Huberman.A. Michael dan Matthew B. Miles, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Universitas Indonesia, Jakarta, 1992. Koswara, E Kertapraja, Pemerintahan Daerah: Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Dulu, Kini dan TanJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
tangan Globalisasi, Inner bekerja sama dengan Universitas Satyagama, Jakarta, 2012. Khairuddin, Ahmad, Fenomena Keadilan Dalam Otonomi Daerah: Otonomi Daerah, Etnonasionalisme dan Masa Depan Indonesia, Editor: Bungaran Antonius Simnajuntak, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010. Leemans, A.F.: Changing Patterns of Local Governemnt, IULA, The Hague, Netherlands, 1970. Machin, Howard. The Prefect in French Public Administration, Croom Helm Ltd, London, 1977. Maksum, Irvan Ridwan, Seluk Beluk Pemerintahan Daerah, Mencari Alternatif Memperkuat Negara Bangsa, Fisip UI Press, Depok, 2008. Mawhood, Phillip, Decentralization: The Concept and The Practice, Local Government in The Third World, The Experience of Tropical Africa, edited by Philip Mawhood, John Wiley and Sons, 1983. Prasojo, Eko, et al, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006. Prasojo, Eko, Federalisme dan Negara Federal: Sebuah Pengantar, Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI, Depok, 2005. Ramses, Andy M dan La Bakry, Politik & Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2009. Smith, B.C., Field Administration: An Aspect of Decentralization. Routhledge and Kegan Paul, London, 1967. Smith, B.C, Decentralization: The Territorial Dimension of The State, George Allen & Unwin (publishers) Ltd, London, 1985. Makalah: Hoessein, Bhenyamin, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, makalah disampaikan dalam “DiskusiKebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Jangka Panjang”, diselenggarakan oleh Direk-
45
ARTIKEL torat Pengembangan Otonomi Daerah, Bappenas, 27 November 2002. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.
46
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Permendagri No. 66 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Dynamics and Problems of Implementation of Law Village : Lesson Learn from Three Districts in West Java Rusman Nurjaman Peneliti pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara
Abstrak: Lahirnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa menjanjikan harapan pembaharuan untuk mewujudkan desa yang mandiri, maju, demokratis, dan sejahtera. Kajian ini bertujuan untuk melihat bagaimana praktik implementasi UU Desa tersebut dijalankan di beberapa daerah. Pengalaman desa dan pemerintah daerah di beberapa daerah kabupaten di Jawa Barat dalam mempersiapkan diri dan masa-masa awal implementasi UU Desa di sana menarik untuk dikaji sebagai sumber pembelajaran berharga bagi upaya pengoptimalan implementasi UU Desa di masa depan. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan varian studi kasus terhadap persiapan dan pelaksanaan UU Desa di tiga daerah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sukabumi, yang dipilih karena alasan-alasan metodologis dan praktis tertentu. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang relevan, focus group discussion (FGD), wawancara mendalam, dan observasi. Hasil kajian menunjukkan adanya dinamika dan sejumlah tantangan persoalan dalam implementasi UU Desa di desa-desa di ketiga daerah kabupaten yang menjadi lokus kajian. Telaahan yang cermat dan mendalam terhadap problem normatif di lapangan dapat menjadi sumber pembelajaran berharga bagi upaya perumusan kebijakan baru dalam mengoptimalkan implementasi UU Desa. Kata kunci: kapasitas desa,pemerintahan desa, perencanaan desa. Abstract: The enactment of Law No. 6/ 2014 concerning villagespromising new hopes to realize an independent, advanced, democratic, and prosperous villages. This study aims to look at the practice of implementation of the Law in several areas. The experiencee of villages and local governments in several districts in West Java in the preparation and implementation of Village Law in the early days is interesting to be studied as a valuable learning resources to optimize the implementation of Village Law in the future. This study used qualitative method with case study variant of the preparation and execution of Village Law in three districts in West Java province, namely Sumedang, Bandung, and Sukabumi. Those three regions were chosen for specific methodological and practical reasons. Data collected through the study of relevant literature, focus group discussion (FGD), in-depth interviews, and observation. The results show the dynamics and challenges in the implementation of Village Law in the village in three districts that became the locus of the study. A careful and in-depth research on normative problems in the field can be a valuable learning resources for the formulation of new policies in order to optimize the implementation of Law No. 6/ 2014 concerning. Keyword: the capacity of the village, the village planning, the village administration
PENDAHULUAN Tak pelak lagi, lahirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa medio Januari 2014 silam membuka babak sejarah baru dalam perjalanan republik ini. Regulasi baru yang mengusung semangat pembaharuan desa ini mendorong munculnya optimisme yang merebak, JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
terutama di kalangan masyarakat desa, akademisi ilmu sosial, dan para pegiat advokasi isu pedesaan. Dengan berlandaskan prinsip yang jauh lebih substantif dan komprehensif, banyak pihak yang meyakini bahwa UU Desa yang baru tersebut bakal mampu membawa desa meninggalkan citra keterbelakangan dan ketertinggalannya menuju desa yang 47
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat kuat, demokratis, maju, sejahtera, dan mandiri. Gayung bersambut manakala presiden yang baru terpilih juga datang dengan visimisi dan program yang sejalan dengan semangat pembaharuan desa. Kita tahu, Presiden Joko Widodo dalam teks Nawacita menegaskan kembali visinya untuk mengkoreksi perencanaan dan praktik pembangunan yang salah arah dan melahirkan ketimpangan tajam melalui apa yang disebutnya sebagai “membangun Indonesia dari pinggir dengan memperkuat daerah dan desa” (Tim Kampanye Jokowi-JK, 2014: 7). Namun demikian, rupanya terlalu dini untuk menjawab sejauh mana optimisme ini bakal terwujud. Hal ini karena banyaknya tantangan dan menumpuknya pekerjaan rumah yang tak lain dan tak bukan merupakan warisan dari tatanan sosial politik sebelumnya (Aloysius Gunadi Brata dalam Baskara T Wardaya, dkk, 2007: 119-129; Dwi Astuti dalam Baskara T Wardaya, dkk, 2007: 209222). Bahkan lebih dari itu, kajian para sarjana yang lama memfokuskan diri pada studi seputar isu agraria dan pedesaan menunjukkan bahwa semua rezim yang pernah tampil dalam panggung sepanjang sejarah negeri ini tidak mempunyai basis sosial atau komitmen yang kuat bagi berlangsungnya perubahan sosial yang mendasar di ranah desa (Benjamin White dalam Hadiz dan Dhakidae, 2006: 119-155). Dalam suatu review kritisnya mengenai perjalanan satu tahun implementasi UU Desa, misalnya, Robert Endi Jaweng (2015) menyebut setidaknya terdapat dua tantangan utama dalam implementasi UU Desa. Pertama, suksesi pemerintahan/kepemimpinan nasional yang memengaruhi teknis peralihan dan lanjutan persiapan pelaksanaan UU Desa. Kedua, dominannya logika uang (dana desa/DD), yang awalnya dipandang sebagai langkah maju dalam pembagian alokasi kue pembangunan bagi desa, pada gilirannya menjadi kontraproduktif karena bisa membuat elemen-elemen lain hanya sebagai faktor pendukung.
48
Di lapangan, bisa jadi problemnya jauh lebih beragam dan kompleks. Ambil saja satu soal, misalnya, terkait isu kelembagaan desa. Problem struktur kelembagaan desa tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, optimalisasi pelaksanaan UU Desa salah satunya juga mengandaikan penguatan struktur kelembagaan desa itu sendiri. Oleh karena itu, penguatan struktur dan kelembagaan desa menjadi satu agenda penting nan krusial demi menunjang penataan jalannya pemerintahan desa dan pengelolaan dana desa yang efektif dalam rangka implementasi UU Desa. Masalah muncul manakala selama ini, sebagaimana terjadi di banyak tempat, kapasitas aparatur desa masih terbatas sehingga perlu pendampingan dan bimbingan teknis yang lebih intensif dari pusat ke daerah (Kompas, 9 Juli 2015). Tak heran jika banyak pihak yang masih meragukan tingkat pemahaman aparatur desa terhadap pelaksanaan pembangunan desa. Jika memang demikian, jelas hal itu bisa menjadi halangan dalam memastikan efektivitas penyaluran dana desa. Namun, para pihak juga menengarai bahwa situasi ini tak lepas dari belum optimalnya persiapan yang dilakukan oleh aktor pemerintahan supradesa, dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi). Padahal, mereka mengemban kewajiban untuk memberikan bimbingan teknis secara berkala terkait dengan tugas pokok dan fungsi aparatur desa. Selain membuat regulasi turunan, pemerintah daerah memang sudah melakukan bimbingan teknis untuk penguatan kapasitas dan struktur kelembagaan desa melalui pendidikan dan penyuluh dan pendampingan terhadap para aparatur desa. Selain persoalan kelembagaan desa, penataan sistem administrasi desa juga menjadi tantangan yang sama bobotnya. Kedua tantangan ini, baik tantangan kelembagaan maupun penataan sistem administrasi, mensyaratkan perlunya pengembangan kapasitas sumber daya manusia aparatur desa untuk membangun manajemen tata kelola pemerintahan dan pengelolaan dana desa yang efektif, transparan, partisipatif, dan akuntabel.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Di luar itu, dalam rangka implementasi UU Desa, dimensi tantangan dan persoalan yang dihadapi pemerintah desa bisa jadi teramat luas. Mulai dari belum adanya peta jalan (road map), regulasi turunan, instrumentasi kebijakan, persiapan operasional, kapasitas aparatur desa, yang belum sepenuhnya berada dalam kondisi ideal untuk memulai tahapan pelaksanaan yang optimal. Mencermati implementasi UU Desa di beberapa daerah kabupaten di Jawa Barat, terdapat beberapa isu, tantangan, dan dinamika di aras lokal yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Berdasarkan catatan lapangan tersebut, sejatinya kita dapat melihat dan memetakan beberapa problem normatif dan problem lapangan, serta dinamika lokal yang tergolong unik—yang sedikit banyak berkaitan dengan struktur demografi, tantangan geografis, kebijakan, konstelasi politik lokal, dan struktur sosiologis masyarakatnya. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya tulisan ini akan menguraikan dan memetakan bagaimana problematika dan dinamika implementasi UU Desa di beberapa daerah kabupaten di Jawa Barat tersebut, yaitu antara lain Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang. Dari situ kemudian akan diperoleh beberapa catatan yang dapat menjadi pijakan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mengoptimalkan implementasi UU Desa di masa depan. Berdasarkan uraian di muka, pada bagian selanjutnya tulisan ini akan mencoba untuk menjawab beberapa masalah berikut: Bagaimana problematika yang dihadapi pemerintah desa dalam rangka implementasi UU Desa? Bagaimana pula upaya yang dilakukan pemerintah daerah (kabupaten/kota) dalam mengatasi problem tersebut? METODE KAJIAN Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan varian metode studi kasus terhadap pelaksanaan implementasi UU Desa di 3 (tiga) daerah kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Dalam hal ini ketiga daerah yang menjadi lokus kajian antara lain Kabupaten SukaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
bumi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang. Ketiga lokus ini dipilih karena kedudukannya sebagai daerah kabupaten di Jawa Barat yang dianggap cukup merepresentasikan karakteristik umum tipologi desadesa di daerah kabupaten di Jawa Barat, baik dari segi struktur sosial ekonomi, demografis, maupun tingkat kesulitan geografis. Kabupaten Sukabumi yang memiliki 364 desa dan 4 kelurahan, secara demografis dan geografis, merepresentasikan daerah dengan karakteristik desa yang cukup lengkap, yaitu meliputi desa-desa pantai, desa pedalaman dengan basis produksi agraris, desa pedalaman dengan basis ekonomi industri (pabrik), dan desa-desa dengan berbasis ladang atau kebun di daerah lereng pegunungan. Sedangkan Kabupaten Sumedang yang memiliki 276 desa dan 7 kelurahan merepresentasikan daerah dengan karakteristik desa-desa pedalaman berbasis agraris dan industri. Adapun Kabupaten Bandung yang melingkupi 270 desa dan 10 kelurahan merepresentasikan daerah dengan karakteristik desa yang secara geografis berdekatan dengan ibukota Provinsi Jawa Barat dan dengan tingkat urbanisasi (baca: proses pengkotaan desa) yang cukup tinggi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang relevan, focus group discussion (FGD), dan wawancara mendalam dengan para pihak terkait, serta observasi lapangan, yang dilakukan pada bulan April 2015. KERANGKA TEORI Sebagai kerangka kajian, bagian berikut tulisan ini akan memaparkan beberapa konsep kunci. Beberapa konsep seperti paradigma pengaturan desa, pemerintahan desa, kapasitas pemerintahan desa, merupakan konsep kunci yang menjadi kerangka penjelas dalam tulisan ini. PARADIGMA PENGATURAN DESA Lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa berimplikasi pada perubahan kedudukan desa dalam bangunan tata negara Indonesia dan relasinya dengan negara dan 49
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat warga. UU Desa yang baru menegaskan bahwa paradigma atau asas yang mengkonstruksi hubungan negara dan desa berdasarkan pada prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Konstruksi mengenai kedudukan dan relasi baru ini tentunya sangat berbeda dengan konstruksi sebelumnya. Dalam konstruksi awal, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, kedudukan desa merupakan bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Dengan konstruksi residualitas yang menempatkannya sebagai bagian dari daerah tersebut, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Konstruksi serupa ini bersifat residualitas karena hanya menempatkan desa sebagai penerima “sisasisanya” kewenangan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk alokasi dana desa (Sutoro Eko, 2014: 23). Menurut Sutoro Eko (2014: 28), ditetapkannya konsep rekognisi sebagai asas pertama bagi kedudukan desa dalam UU Desa berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah. Kedua, desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, dan sudah mempunyai susunan asli maupun membawa hak asal usul. Ketiga, desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak bisa serta merta diseragamkan. Keempat, dalam lintasan sejarah yang panjang, desa secara struktural menjadi arena eksploitasi terhadap tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan secara tidak adil, mulai dari era kerajaan, pemerintahan kolonial, hingga pemerintah NKRI. Kelima, konstitusi telah memberikan amanat kepada negara untuk mengakui dan menghormati desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Asas rekognisi berarti negara mengakui dan menghormati keragaman desa, keduduk50
an, kewenangan, dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan. Namun sesungguhnya rekognisi tidak hanya dilakukan melalui upaya-upaya yang mendorong pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman desa dalam mewujudkan keadilan politik dan keadilan budaya tersebut, melainkan juga, sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa, negara melakukan redistribusi sumber daya ekonomi melalui bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Redistribusi uang merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan marjinalisasi yang dilakukan oleh negara selama ini terhadap desa. Dengan mengacu pada asas rekognisi, UU Desa juga melindungi desa dari berbagai bentuk imposisi (pemaksaan) dan mutilasi yang dilakukan oleh aktor-aktor supradesa, politisi, dan investor. Sedangkan asas subsidiaritas atau kewenangan lokal berskala desa berarti bahwa urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat berskala lokal lebih baik ditangani organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang paling dekat dengan masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh Sutoro Eko (2014: 31), dalam penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa. Dalam hal ini, asas subsidiaritas hadir untuk mengkoreksi dan menggantikan asas residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004, yang menempatkan desa sebagai hanya sebagai penerima sisa-sisa kewenangan yang dilimpahkan pemerintah supradesa (kabupaten/kota). Hal ini juga sekaligus meluruskan pemahaman keliru dari sebagian kelompok yang menganggap UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mempunyai kesamaan dengan PP No. 72 Tahun 2005, yang merupakan regulasi turunan dari UU No. 32 Tahun 2004. Sebaliknya, menurut Sutoro Eko, sebagaimana asas rekognisi yang menghormati dan mengakui kewenangan asal usul desa, penjabaran subsidiaritas sebagai penetapan kewenangan lokal berskala desa berarti bahwa UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL ngan desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota. Pemerintah juga tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa. Pemerintah supradesa sebagai lembaga sosial yang lebih kuat dan lebih besar justru mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan dukungan, kepercayaan dan bantuan (fasilitasi) terhadap desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam konteks mendorong keadilan ekonomi dan politik (distribusi sumberdaya), skema alokasi keuangan dari APBN untuk desa juga merupakan salah satu wujud konkret dari pengakuan negara terhadap kewenangan berdasarkan hak asal usul (asas rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (asas subsidiaritas) (Sudjatmiko dan Zakaria: 2014: 6). Pemerintahan Desa Desa merupakan organisasi pemerintahan terkecil. Sebagai organisasi pemerintahan, desa berbeda dengan daerah walaupun keduanya sama-sama merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum. Implikasinya, pemerintahan desa pun memiliki konsepsi dan karakter yang berbeda dengan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah bersama dengan DPRD merupakan unsur pembentuk daerah otonom dan merupakan subjek hukum yang merepresentasi-kan daerah, sedangkan kepala daerah (bupati/walikota) dalam hal ini merupakan personifikasi pemerintah daerah. Adapun desa sebagai kesatuan masyarakat hukum merupakan organisasi kekuasaan ataupun organisasi pemerintahan, yang secara jelas—sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 6 Tahun 2014—mempunyai batasbatas dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Dengan demikian, desa bukanlah kelompok atau organisasi komunitas lokal semata, atau desa bukanlah masyarakat. Bahkan, posisinya sebagai organisasi pemerintahan desa berbeda dengan posisi pemerintahan desa terendah di bawah camat sebagaimana yang dikonstruksikan dalam UU No. 5 Tahun 1979. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pemerintahan desa juga berbeda dengan pemerintahan daerah yang tidak memiliki unsur masyarakat, melainkan hanya perangkat birokrasi. Oleh karena itulah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam penjelasannya menempatkan bahwa desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Inilah yang menjadi bentuk desa sebagai pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat. Artinya, desa tidak identik dengan pemerintah desa dan kepala desa, melainkan desa mengandung pemerintahan dan sekaligus mengandung masyarakat sehingga membentuk kesatuan subjek hukum (Sutoro Eko, 2014: 34) Dalam praktiknya sebagai organisasi pemerintahan, pemerintahan desa merupakan penyelenggara pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat (desa) dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 6 Tahun 2014. Bertindak sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa adalah kepala desa yang merupakan representasi dari pemerintah desa dengan dibantu oleh perangkat desa. Lebih lanjut, UU Desa juga menjelaskan bahwa pemerintahan desa dijalankan dengan bertumpu pada beberapa asas, antara lain: a) kepastian hukum; b) tertib penyelenggaraan pemerintahan; c) kepentingan umum; d) keterbukaan; e) proporsionalitas; f) profesionalitas; g) akuntabilitas; h) efektivitas dan efisiensi; i) kearifan lokal; j) keberagaman; dan k) partisipatif. Kapasitas dan Kinerja Pemerintahan Desa Dalam satu elaborasi mendalam tentang UU No. 6 Tahun 2014, Sutoro Eko (2014: xv) mengatakan bahwa kehadiran UU Desa yang baru ini menegaskan komitmen politik dan konstitusional bahwa negara melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, 51
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat makmur dan sejahtera. Namun dalam implementasinya, visi mulia tersebut sudah barang tentu tidak akan terwujud tanpa ditopang oleh kapasitas dan kinerja desa dalam pemerintahan dan pembangunan. Pada titik ini, kapasitas dan kinerja desa merupakan komponen penting dalam mendorong kemandirian desa. Lalu, kapasitas pemerintahan desa seperti apakah yang menjadi prasyarat keberhasilan implementasi UU Desa untuk mencapai visi kemandirian tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan ini, pada bagian berikut akan mendiskusikan konsep kapasitas pemerintahan desa terlebih dahulu dengan berpijak pada kewenangan pemerintahan desa. UU No. 6/2014 menyebutkan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Dengan memperhatikan sejumlah kewe-nangan desa tersebut, maka urusan yang menjadi fokus pemerintah desa meliputi 1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul; 2) urusan pemerintahan berdasarkan kewenangan lokal berskala desa; 3) urusan pemerintahan berdasarkan kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan 4) urusan pemerintahan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Kapasitas pemerintah desa tentunya terkait dengan kemampuan pemerintahan desa dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut di atas. Dalam konteks ini pengembangan kapasitas pemerintah desa idealnya sejalan dengan kewenangan yang diemban desa sebagaimana diamanatkan oleh UU Desa. Kapasitas pemerintah desa menjadi parameter penting bagi pencapaian kinerja pemerintahan desa. Dengan kata lain, pencapaian kinerja pemerintahan desa yang baik hanya akan terwujud jika mendapat dukung52
an dari individu, organisasi dan sistem yang memadai. Namun banyak pihak selama ini justru menganggap kapasitas pemerintah desa sangat terbatas, sehingga yang terjadi adalah ketergantungan terhadap pemerintah (Sutoro Eko, 2014: 131). Namun, menurut Sutoro Eko pula, lemahnya kapasitas dan kinerja desa bukan fakta yang abadi. Berpijak dari pengalaman menjalankan program di desa-desa dampingan ACCESS (The Austalian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme)—yang kemudian menginspirasi para perumus UU Desa—pendampingan, pemanfaatan jaringan, dan pembelajaran yang berkelanjutan terbukti mampu mendongkrak kapasitas dan kinerja desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Setidaknya, terdapat dua hal pokok yang menjadi fokus pengembangan kapasitas dan kinerja pemerintah desa. Pertama, kapasitas dalam pemetaan sosial dan perencanaan pembangunan desa. Kedua, kapasitas dalam mengelola dan mengalokasikan anggaran desa untuk kepentingan masyarakat luas. Sebagai contoh, pembuatan perencanaan desa dapat menjadi salah satu titik masuk untuk melihat kapasitas dan kinerja desa. Dalam konteks implementasi UU Desa, dokumen perencanaan (RPJMDes, APBDes, dan RKPDes) merupakan syarat pencairan Alokasi Dana Desa dari Kabupaten. Proses perumusan dokumen perencanaan desa pun tidak hanya berlangsung seperti halnya kegiatan seremonial Musrembangdes belaka, melainkan lebih dari itu. Proses perencanaan desa dirumuskan melalui suatu mekanisme bertahap dan agenda panjang yang dilakukan secara kolektif dan inklusif, yakni mulai dari musyawarah desa, pemetaan desa, sensus, eksplorasi, pengorganisasian aset, pertemuan apresiatif, perencanaan dan penganggaran. Tak hanya itu, pengalaman ACCESS juga menunjukkan bahwa pemerintah desa dan masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk memetakan potensi, aset, dan kemiskinan desa dengan menggunakan instrumen pemetaan desa maupun analisis kemiskinan partiJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL sipatif. Hasilnya kemudian menjadi pijakan dalam penyusunan perencanaan desa. Lebih dari itu, pengalaman desa-desa ACCESS bahkan tidak hanya mampu menyusun dokumen administratif, tetapi juga yang lebih penting adalah meyusun strategi dan program secara logis sebagai jawaban atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi desa. Pengalaman inilah yang terjadi antara lain di desa Bontosungu, Kepulauan Selayar dan desa-desa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dan desa Lepadi, Dompu, Nusa Tenggara Barat. PEMBAHASAN Implementasi UU Desa: Bagaimana Respon Pemerintah Daerah? Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyangga dan berbatasan langsung dengan daerah khusus ibukota Jakarta. Di Jawa Barat sendiri terdapat 5.321 desa dan 643 kelurahan yang tersebar 18 wilayah kabupaten dan 9 kota. Dalam rangka implementasi UU Desa, jumlah desa yang mencapai ribuan tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam upaya menjalankan amanat UU Desa. Namun letak geografis yang berdekatan dengan pusat pemerintahan di Jakarta, tentunya akan memudahkan proses sosialisasi, implementasi, dan monitoring setiap kebijakan atau regulasi dari pusat. Berdasarkan temuan di lapangan, kajian ini menunjukkan bahwa implementasi UU No. 6/2014 di Jawa Barat memunculkan dinamika dan problematika tersendiri. Suatu hal yang pada gilirannya membutuhkan strategi dan regulasi turunan baru yang lebih kontekstual guna menjawab tantangan lapangan dalam melaksanakan amanat UU. Selain itu, ada juga peluang yang dapat terus digali demi mengoptimalkan pelaksanaan UU Desa. Sebagai contoh, sebelum berlaku UU Desa No. 6 Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri sudah memberikan bantuan secara langsung kepada setiap desa sebesar Rp 100 juta. Hingga bulan April 2015, Pemprov Jabar termasuk daerah provinsi yang lebih dini melakukan sosialisasi penerapan UU Desa, terutama terkait pertanggungjawaban dana desa, walaupun peraturan dari pusat belum ada yang lebih rinci dan jelas. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Bahkan peraturan yang sudah ada pun, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara pun direvisi lagi. Berdasarkan pembagian alokasi dana desa dari APBN dalam rangka melaksanakan UU Desa, setiap desa di Provinsi Jabar diperkirakan mendapat alokasi dana sekitar Rp 300-400juta.1 Lalu bagaimana respon pemerintah daerah dan desa mengenai implementasi UU Desa tersebut? Berdasarkan penelusuran ke tiga daerah lokus kajian, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang, pemerintah daerah sudah melakukan beberapa persiapan, baik terkait dengan pembuatan regulasi turunan (Perda/Perbup) maupun program peningkatan kapasitas desa dan perangkatnya. Pemerintah Kabupaten Bandung, misalnya, dalam melaksanakan implementasi UU Desa, sudah membuat 2 Perda dan 1 Perbup, antara lain: Peraturan Daerah No. 19 Tahun 2014 tentang Pemilihan dan Pemberhentian Kepala Desa, yang kemudian diimplementasikan melalui Perbup No. 3 Tahun 2014, Peraturan Daerah No. 20 Tahun 2014 tentang Keuangan Desa, dan Peraturan Bupati tentang peruntukan anggaran desa yang tengah dalam proses penyusunan2. Sedangkan Pemkab Sumedang sejauh ini sudah membuat 3 Perda dan 1 Perbup, antara lain Perda No. 2 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, dan Pemberhentian Kepala Desa; Perda No. 3 Tahun 2014 tentang Pilkades Serentak; dan Perda No. 4 Tahun 2014 tentang Badan Permusyawaratan Desa.3 Mereka juga tengah menyiapkan Peraturan Bupati tentang pemilihan kepala desa serentak. Adapun Pemkab Sukabumi 1Wawancara
dengan Radian, Bagian Tata Pemerintahan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 22 April 2015. 2Wawancara dengan Agus Rizal, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabupaten Bandung, 22 April 2015. 3Wawancara dengan Teti, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Sumedang, 22 April 2015. 53
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat baru menyelesaikan rancangan 2 Perbup, yaitu Perbup tentang Pengaturan ADD yang bersumber dari APBD dan Perbup tentang pengaturan ADD yang bersumber dari APBN. Pengesahan kedua Perbup ini akan dilakukan setelah revisi PP Permendagri selesai. Sebelumnya, Kabupaten Sukabumi mempunyai 4 Perda dan Perbup tentang desa. Kini sudah tidak bisa dipakai karena harus menyesuaikan dengan UU baru. Pelaksanaan UU Desa yang beriringan dengan pelaksanaan Pilkada, menjadi masalah tersendiri bagi beberapa pemerintah daerah. Di Kabupaten Sukabumi, misalnya, terserapnya anggaran untuk penyelenggaraan Pilkada berdampak pada kurangnya anggaran untuk membangun sarana dan prasarana, termasuk di desa. yang lebih genting lagi, Pemda juga mengalami kekurangan anggaran untuk mengawal pelaksanaan UU Desa, sementara bebannya kian bertambah. Namun di luar segala keterbatasan yang ada, pemerintah daerah kabupaten/kota tetap berkomitmen menjalankan amanah UU dengan segenap kemampuan fiskal yang ada.4 Mendekati pelaksanaan UU Desa, sejak tahun 2014 beberapa mereka melakukan kegiatan persiapan, yaitu melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMD) atau lembaga sejenis di setiap kabupaten/kota. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah melakukan sosialisasi tentang UU Desa dan mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas perangkat desa. Mengacu pada PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa, pemerintah dan pemerintah daerah masih mempunyai kewenangan menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat Desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pelaksanaannya, pendampingan masyarakat Desa dapat dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, 4Wawancara
dengan Agus Rahmat, Sekretaris BPMPD Kabupaten Sukabumi, 23 April 2015.
kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga. Hal ini ditegaskan pula melalui Permendesa No. 3 Tahun 2015 tentang pendampingan desa. Masalah muncul manakala,baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, terbentur keterbatasan waktu, tenaga, biaya. Akibatnya, meski dana sudah dapat dicairkan, pendamping belum siap. Dari wacana yang bergulir, beberapa pihak menyarankan agar pendampingan tersebut ditangani oleh pihak ketiga saja, dan dalam hal ini rekomendasinya jatuh tidak lain dan tidak bukan kepada mantan fasilitator program PNPM Mandiri. Dua Isu Krusial 1.
Pengelolaan Keuangan Desa
Dalam prosesnya, pelaksanaan UU Desa di Jawa Barat memang memunculkan dinamika dan permasalahan baik yang bersifat normatif maupun permasalahan di lapangan. Terkait dengan menyebutkan bahwa pengalokasian ADD secara proporsional dengan mempertimbangkan 4 faktor berikut: jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa. Namun dalam kenyataan di lapangan menunjukkan adanya problem. Jika tetap dipaksakan, mekanisme pembagian ADD menggunakan asas proporsionalitas, menghasilkan pembagian yang timpang dan berpotensi memicu konflik horisontal di ranah desa. Selain itu, pembagian ADD menurut asas proporsional mensyaratkan pemutakhiran dan akurasi data wilayah dan demografi dari BPS. Masalah muncul karena data yang dimiliki BPS seringkali berasal dari pendataan duadi daerah adalah data lama yang berasal dari 2-3 tahun silam. Dengan kondisi demikian, tak pelak lagi, pengelolaan keuangan desa merupakan salah satu isu krusial dalam implementasi UU Desa.5 Di awal-awal periode pelaksanaannya, UU Desa memunculkan kebingungan, baik di kalangan pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah desa, maupun masyarakat umum. Dana desa memang sudah tersedia di kas pemerintah kabupaten/kota, namun belum 5Wawancara
54
dengan Agus Rahmat...
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL bisa dicairkan karena peraturannya belum jelas dan operasional. Di satu sisi, mekanisme pencairan harus menunggu revisi peraturan PP 43 dan PP 60 yang hingga laporan ini ditulis belum tuntas. Di desa juga beredar kabar bahwa Permendagri No. 113 tentang Pengelolaan Keuangan Desa juga tengah direvisi. Di sisi lain, sebagian pemerintah daerah masih belum membuat aturan-aturan yang diperlukan, semisal Perbup atau Perda, karena menunggu peraturan yang lebih jelas dan rinci. Sementara itu, daerah sangat terbatas dengan waktu, padahal harus segara mengimplementasikan UU Desa. Baik di kalangan aparatur pemerintah daerah dan perangkat desa, muncul kesan bahwa implementasi UU Desa ini terlalu birokratis mengingat banyaknya peraturan yang harus diperhatikan untuk mencairkan dana desa. Kepala desa sering beranggapan Pemkab mempersulit pemberian dana desa. Banyak desa yang belum menyiapkan RPJMDes, APBDes, RKP Desa, sebagai persyaratan untuk mencairkan dana desa karena pembuatan semua dokumen itu mengandaikan adanya kepastian besaran jumlah dana yang akan dikelola oleh setiap desa. Desa memang mempunyai RPJMDes pola lama, tapi dengan adanya UU Desa perlu ada penyesuaian baru.6 Masing-masing daerah merespon secara beragam adanya kecenderungan birokratisasi yang kian menguat dalam pengelolaan dana desa ini. Karena khawatir dana desa akan diselewengkan, Pemerintah Kabupaten Bandung merasa perlu untuk membentuk tim verifikasi di tingkat kecamatan dan pengawasan pembinaan oleh camat.7 Sedangkan di Kabupaten Sumedang selama ini ada kecenderungan desa tidak tahu tentang pola-pola penggunaan dana desa sehingga banyak Kepala Desa yang diundang ke kejaksaan/kepolisian untuk dimintai keterangan. Untuk itu, Pemkab Sumedang menyambut baik upaya Polda Jawa Barat yang menugaskan jajaran Polres di setiap kabupaten/kota melakukan pembinaan aparatur pemerintah6Wawancara 7Wawancara
an desa dalam rangka menyongsong implementasi UU Desa. Hal ini bertujuan agar desa lebih waspada dalam mengoptimalkan penggunaan dana dan sesuai aturan. Sementara itu, pemerintah Kabupaten Sukabumi menghadapi problem yang berbeda. Keluhan muncul karena dalam APBD kabupaten tidak ada pos anggaran untuk membiayai kegiatan sosialisasi tentang anggaran desa. Padahal, seperti yang dialami oleh desa-desa di Kabupaten Sumedang, desa-desa di Kabupaten Sukabumi kesulitan menyusun RAPBDes karena besaran nominalnya belum pasti dan aturannya pun belum jelas alias membingungkan. Masih dalam konteks pengelolaan dana desa, menjadi penting pula kiranya untuk memperhatikan temuan Tim STIA LAN Bandung. Penelitian mereka yang dilakukan di wilayah kabupaten Bandung menjelang ditetapkannya UU Desa menemukan bahwa sebagian desa di sana dalam beberapa tahun terakhir mempunyai sumber anggaran desa yang cukup besar dan beragam. Selain dari penghasilan asli dan swadaya masyarakat desa, aliran dana yang masuk ke dalam anggaran desa juga antara lain berasal dari dana bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, perusahaan/dana CSR, dana Parpol, hibah, dan lain-lain. Dengan sumber yang beragam tersebut, setiap desa dapat mengelola anggaran berkisar antara Rp 600-800 juta. Namun, mekanisme pengaturan dan pertanggungjawabannya yang selama ini belum jelas dapat menjadi masalah di kemudian hari. 2.
Perencanaan Pembangunan Desa
Isu krusial lainnya dalam rangka implementasi UU Desa adalah perencanaan pembangunan desa. Pasal 79 UU Desa antara lain menyebutkan bahwa penyusunan perencanaan pembangunan desa dilakukan dengan memperhatikan: 1) mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/ Kota; 2) Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yangberskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa; 3) sebagai salah satu sumber ma-
dengan Teti... dengan Agus Rizal...
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
55
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat sukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/ Kota. Pada Pasal 80 juga disebutkan bahwa prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan melalu mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan desa. Namun dalam kenyataannya di lapangan tidak semua kegiatan desa sesuai dengan perencanaan desa. Kasus yang sering terjadi justru desa membuat program tanpa memperhatikan dokumen perencanaan. Di Kabupaten Sumedang, bahkan tidak sedikit desa yang belum tahu bentuk perencanaannya seperti apa; apakah harus mengikuti model daftar pengeluaran anggaran (DPA, seperti di SKPD) atau model rencana anggaran belanja (RAB) saja. Berdasarkan kasus di Kabupaten Sumedang, selama ini bentuk perencanaan belanja mengikuti model RAB, tetapi pelaksanaan pembelanjaannya sering tidak sesuai.8 Problem juga muncul terkait dengan rancangan pembangunan kawasan perdesaan. Pasal 83 UU Desa mengamanatkan agar rancangan pembangunan kawasan perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah DaerahProvinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa. Hasilnya, kemudian ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten/kota. Namun perencanaan desa belum bisa dilakukan sepenuhnya karena perencanaan di tingkat kabupaten/provinsi sering terlambat. Padahal sejak bulan Desember, desa sudah menetapkan Perdes tentang pembangunan desa. Tidak hanya itu, sosialisasi rencana tata ruang dari atas ke bawah (provinsi-kabupaten-desa) juga kadang tidak sampai hingga ke tingkat desa, sehingga menyebabkan perencanaan desa bentrok dengan perencanaan kabupaten/provinsi. Masalah kian bertambah karena di desa sering juga dipimpin oleh figur-figur pemimpin desa yang berwawasan sempit. Dalam
segi ini, desa seyogyanya justru membutuhkan figur pemimpin yang paling tidak dapat memahami perencanaan wilayah yang dibuat kabupaten.9 Sesungguhnya, lemahnya koordinasi antara pemerintah desa dengan lembaga pemerintahan supra desa seperti yang tergambar di atas terkait dengan hubungan antara keduanya dalam konteks lebih luas yang selama ini, sayangnya, juga memperlihatkan pola hubungan yang tidak “sedang baik-baik saja”. Pasal 15 dan 16 UU Desa memang mengatur hubungan pemerintah desa dengan pemerintahan supra desa (Pemerintah Pusat, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota). Dalam hal ini, UU Desa menyebutkan bahwasanya Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk melakukan: 1) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa; 2) mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah; dan 3) memberdayakan masyarakat desa. Yang perlu menjadi catatan bahwa semenjak adanya otonomi hubungan berjenjang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, hingga ke desa justru sering berjalan kurang lancar. Hal ini karena dalam banyak kasus seorang kepala daerah kadang-kadang masih membawa kepentingan Parpol-nya sendiri. Jika dari atas hingga ke bawah Parpolnya berbeda, biasanya hubungan yang terbangun diwarnai ketegangan.10 Terkait perencanaan pembangunan desa, hal yang juga perlu diperhatikan di masa depan adalah seputar ketimpangan akses terhadap informasi. Berdasarkan pengalaman desa-desa di Jawa Barat, salah satu hambatan penyampaian informasi rencana pembangunan desa adalah disebabkan oleh kesenjangan pemahaman dan penerimaan informasi tentang anggaran desa. Untungnya, guna menjawab masalah ini UU Desa sudah mengakomodasi isu mengenai pentingnya membangun sistem informasi desa. Pasal 86 antara lain menyebutkan “Pemerintah dan 9Wawancara
8Wawancara
56
dengan Teti...
dengan Radian...
10Ibidem.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan”. Lebih lanjut, Pasal 86 mengamanatkan agar sistem informasi desa tersebut yang dikelola oleh pemerintah desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, sistem informasi desa meliputi data desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Dimensi akses terhadap informasi ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Sistem informasi desa yang tertata dengan baik dan solid memungkinkan terwujudnya kemudahan dan pemerataan akses atas informasi yang relevan dengan pembangunan desa. Penguasaan akses informasi desa yang relatif merata dan memadai pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kepercayaan diri masyarakat desa untuk kemudian turut terlibat dalam pembangunan desanya. Dari segi ini, pemerataan akses informasi akan berdampak pada dua hal: penguatan demokratisasi desa dan pendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjawab problem bahwa selama ini tidak banyak desa yang mempunyai pengalaman untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, baik dalam tataran perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dalam Pasal 80, UU No. 6 Tahun 2014 sendiri secara eksplisit mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan desa harus mengikutsertakan masyarakat desa. Tantangan SDM Desa Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa yang menjadi tantangan utama di desa salah satunya adalah potensi dan kapasitas sumber daya manusia setempat yang masih minim. Hal ini tidak hanya tercermin dari sulitnya mencari figur-figur pemimpin desa yang visioner, berwawasan luas, dengan kapasitas yang mumpuni, melainkan juga problem yang kurang lebih sama terletak pada kelompok perangkat desa dengan kapaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
sitas yang terbatas. Di Jawa Barat memang terdapat beberapa desa yang berhasil mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada karena sejumlah faktor seperti kapasitas pemimpin, perangkat desa dan masyarakatnya, serta sebagai buah dari kolaborasinya dengan organisasi masyarakat sipil, sehingga tampil menjadi desa yang mandiri—seperti desa Ciburial di Kabupaten Bandung. 11 Namun, umumnya desa-desa di Jawa Barat masih mengalami kesulitan serius dalam menghadapi tantangan rendahnya kapasitas sumber daya manusia di pedesaan. Minimnya potensi sumber daya manusia di desa selama ini tidak mengherankan karena rata-rata tingkat pendidikan penduduk desa hanya lulusan sekolah dasar (SD). Tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi UU Desa. Sebab, Pasal 50 UU Desa menyebutkan bahwa persyaratan perangkat desa antara lain berpendidikan minimal SMA dan berusia 2042 tahun. Padahal selain hambatan tingkat pendidikan, berdasarkan temuan lapangan dari ketiga daerah kabupaten di Jawa Barat yang menjadi lokus kajian, selama ini posisi perangkat desa serungkali diisi oleh orangorang yang menjelang usia pensiun. Mereka dipilih berdasarkan pertimbangan ketokohan atau pengalaman yang bersangkutan. Dinamika politik desa pun tak jarang mempengaruhi pemilihan dan pengangkatan perangkat desa. Di sejumlah desa di Jawa Barat, misalnya, ada kecenderungan fenomena “ganti kepala desa, ganti perangkat”. Fenomena ini jelas merugikan desa karena pembinaan yang sudah dilakukan BPMPD selama ini menjadi sia-sia.12 Dimensi keberlanjutan program pembinaan juga menjadi terancam dan hanya menghambur-hamburkan anggaran. Apa sebenarnya yang menyebabkan desa mengalami kelangkaan sumber daya manusia yang mumpuni, termasuk untuk menjalankan pemerintahan desa? Benarkah desa tak pernah melahirkan sumber daya manusia yang
11Wawancara 12Wawancara
dengan Agus Rizal... dengan Radian... 57
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat mampu menjawab tantangan kebutuhan pembangunan dan pemerintahan di tingkat desa? Para ahli sosiologi dan antropologi pedesaan sesungguhnya mempunyai pandangan yang cukup menarik disimak. Salah satunya datang dari Robert Z Lawang, guru besar sosiologi pedesaan Universitas Indonesia. Menurut Lawang, paradigma pembangunan yang cenderung “anti-desa” yang selama ini melahirkan struktur sosial yang timpang antara desa dan kota menyebabkan hidup di desa serba susah (Lawang, 2006). Kurangnya perhatian pemerintah dan sektor swasta pada pembangunan prasarana jalan, pendidikan, kesehatan, perbankan di daerah pedesaan, membuat desa itu menjadi tempat yang penuh masalah yang tidak teratasi. Tak heran jika kemudian desa ditinggalkan oleh orang-orang terbaik yang pernah dilahirkannya. EF Schumacher, ahli ekonomi dan pemikir sosial dari Inggris yang mempunyai perhatian besar terhadap desa, bahkan sejak jauh-jauh hari mengingatkan perihal kondisi ini. Menurut Schumacher (1979:182), pokok persoalan kemiskinan di dunia adalah terutama menyangkut masalah dua juta desa. Selama beban hidup di pedesaan tidak dapat diringankan, masalah kemiskinan di dunia tidak akan dapat diselesaikan, malah kondisinya akan semakin memburuk. Penutup Kesimpulan Geliat desa dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa menunjukkan dinamika dan tantangan yang menarik. Berdasarkan temuan lapangan di tiga daerah kabupaten di Jawa Barat yang menjadi lokus kajian ini, umumnya pemerintah daerah dan desa sudah mempersiapkan diri dalam rangka pelaksanaan UU Desa. Persiapan yang dilakukan antara lain dengan membuat regulasi turunan di tingkat daerah (Perda dan Perbup), sosialisasi dan upaya peningkatan kapasitas aparatur desa melalui serangkaian kegiatan bimbingan teknis yang dilakukan oleh BPMPD. 58
Namun rupanya, seiring beban pemerintah daerah yang bertambah tidak diimbangi dengan kemampuan fiskal yang memadai. Kondisi ini menyebabkan kegiatan sosialisasi dan upaya peningkatan kapasitas aparatur desa oleh BPMPD tidak bisa berjalan optimal, bahkan cenderung seadanya. Di Kabupaten Sukabumi, misalnya, sisa anggaran yang ada harus berebut dengan kebutuhan penyelenggaraan Pilkada. Sedangkan pembuatan regulasi turunan (Perda dan Perbup) agak tersendat karena adanya revisi PP No. 60 Tahun 2014 dan PP No. 43 Tahun 2014 dan pengesahan Permendagri yang terlambat. Hal ini menyebabkan pelaksanaan UU Desa menjadi terhambat karena peraturan turunannya yang belum jelas dan operasional. Hingga April 2015, banyak desa yang belum dapat menyusun dokumen perencanaan karena peraturan yang belum jelas ini. Penyusunan perencanaan pembangunan desa dan pengelolaan keuangan desa menjadi dua isu krusial dalam implementasi UU Desa. Tantangannya adalah bagaimana agar desa mampu menyusun perencanaan desa berdasarkan problem dan kebutuhan yang ada dengan tidak hanya melalui mekanisme yang bersifat teknokratis belaka, melainkan juga membuka dengan ruang keterlibatan masyarakat seluas-luasnya dengan memanfaatkan saluran yang ada sebagaimana diatur dalam UU Desa. Dalam konteks, ini penguatan BPD dan musyawarah desa layak menjadi prioritas, kendati memerlukan proses panjang dan berliku mengingat banyak desa yang belum berpengalaman untuk mengakomodasi partisipasi warga dalam merumuskan perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pembangunan desa. Selain itu, ada juga beberapa problem lapangan dan problem normatif bagi implementasi UU Desa. Kelangkaan sumber daya manusia yang memadai di ranah desa menjadi problem kunci di lapangan karena hal ini pada gilirannya berimbas pada rendahnya kapasitas desa dalam mengoptimalkan agenda pembangunan desa sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Rekomendasi Berpijak pada uraian di muka, beberapa rekomendasi yang perlu ditempuh bagi upaya mengoptimalkan implementasi UU Desa di masa mendatang adalah: Pertama, penataan desa perlu segera disiapkan oleh pemerintah pemerintah kabupaten/kota dengan memprioritaskan penataan sistem administrasi desa dan memasukkan agenda pengembangan kapasitas SDM untuk membangun manajemen yang efektif. Kedua, perlunya memprioritaskan pemetaan kapasitas desa untuk menentukan tipologi desa melalui penghitungan aset desa, kapasitas sumber daya manusia, jumlah dan sebaran penduduk desa, ketersediaan infrastruktur dasar bagi masyarakat desa, serta kondisi ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat desa. Dengan demikian, perencanaan desa di masa mendatang tidak hanya sekadar mengacu padaapa yang sudah ada saat ini. Ketiga, lembaga sosial supradesa (pemerintah kabupaten/kota), perlu mengoptimalkan program pendampingan desa, pemanfaatan jaringan, dan menetapkan program pembelajaran yang berkelanjutan untuk mendongkrak kapasitas dan kinerja desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Keempat, peningkatan kapasitas perangkat desa diarahkan pada dua hal pokok: 1) penguatan kapasitas dalam pemetaan sosial dan perencanaan pembangunan desa; 2) penguatan kapasitas dalam mengelola dan mengalokasikan anggaran desa untuk kepentingan masyarakat luas. Kelima, pemerintah desa perlu mengintegrasikan sistem informasi desa (SID) tidak hanya ke dalam sistem perencanaan pembangunan, tapi juga dalam pengelolaan keuangan dan aset desa. Dalam hal ini, kiranya penting bagi desa diberi kewenangan untuk membentuk unit organisasi baru yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam pembuatan dan pembaharuan data base desa, hingga melakukan pemantauan atas perubahan struktur geografis desa, baik karena proses alamiah atau penetrasi modal yang masuk ke desa. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Keenam, partisipasi masyarakat merupakan salah satu elemen kunci dalam perumusan perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban program pembangunan desa. Proses perencanaan desa dirumuskan melalui suatu mekanisme bertahap dan agenda panjang yang dilakukan secara kolektif-partisipatif dan inklusif, yakni mulai dari musyawarah desa, pemetaan desa, sensus, eksplorasi, pengorganisasian aset, pertemuan apresiatif, perencanaan dan penganggaran. Ketujuh, perencanaan daerah dan perencanaan desa mempunyai hubungan yang terkonsolidasi. Desa dalam menyusun RPJM Desa dan RKP Desa memuat program prioritas, program dan kegiatan lokal berskala desa yang akan dibiayai sendiri oleh desa. Sedangkan kabupaten/kota berkewajiban memberikan informasi tentang program dan prioritas kegiatan pembangunan daerah yang akan dilaksanakan di desa. Untuk memudahkan desa dalam mengacu program-program daerah, maka informasi perencanaan daerah yang diberikan kepada desa dibuat lebih sederhana, misalnya berupa ringkasan RPJMD/RKPD. Hal ini dimaksudkan agar RPJM Desa/RKP Desa dan RPJMD/RKPD kabupaten/kota dapat terkonsolidasi dengan baik. Kedelapan, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berskala desa, pemerintah supra desa (Kementerian/Lembaga Sektoral dan Dinas/SKPD) hadir dalam rangka memberikan panduan (asistensi) dan dukungan (fasilitasi), misalnya melalui penyelenggaraan-penyelenggaraan pelatihan atau bantuan teknis yang dibutuhkan desa. Kesembilan, perlunya memperkuat musyawarah desa dengan melibatkan lebih banyak aktor dalam proses perencanaan desa. Semakin banyak aktor yang dilibatkan dalam proses perencanaan, maka hasilnya semakin legitimated. Selain melibatkan aktor-aktor yang merepresentasikan kelompok elite desa seperti pemerintah desa, BPD, tokoh agama/adat, musyawarah desa perlu melibatkan kelompok-kelompok kegiatan/ kepentingan tertentu seperti kelompok tani, kelompok rentan (warga miskin, perempuan, 59
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat dan penyandang disabilitas), serta organisasi masyarakat sipil yang ada di desa. DAFTAR PUSTAKA Buku, Majalah, Media Cetak Astuti, Dwi. “Pedesaan: Potret Kemiskinan yang Belum Usai” dalam Baskara T. Wardaya, dkk, 2007, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Jakarta: ELSAM. Eko,Sutoro, dkk., 2014, Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa. Gunadi Brata,Aloysius. “Kehancuran Ekonomi Perdesaan, Mengapa Berlanjut?” dalam Baskara T. Wardaya, dkk, 2007, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Jakarta: ELSAM. Jaweng, Robert Endi. 2015, “Setahun UU Desa”, Harian Kompas 14 Februari, hal. 6 Kompas, 2015. “Untuk Kelancaran Dana Desa, Perkuat Struktur Kelembagaan Desa”, Harian Kompas Edisi Siang, 9 Juli 2015. Lawang, Robert Z. 2006, “Anti Desa: Sebuah Telaah Sosiologis”, Teks Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Modern FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 16 November. Schumacher, EF. 1979, Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil (diterjemahkan oleh S. Supomo dari Small Is Beautiful: A Study of Economics as If People Mattered), Jakarta: LP3ES. Sudjatmiko, Budiman dan Zakaria,Yando. 2014, Desa Kuat, Indonesia Hebat!: Buku Pegangan bagi Aparat/ Perangkat Desa Seluruh Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia. Tim Kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla, 2014, “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian: Visi Misi dan Program Aksi Joko Widodo-Jusuf Kalla 2014”, Jakarta: Tim Kampanye Jokowi-JK
tan Dunia Ilmiah di Indonesia” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (Peny.), 2006, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta-Singapore: Equinox Publishing. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa Peraturan Kementerian Desa No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa. Wawancara Wawancara dengan Radian, Bagian Tata Pemerintahan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 22 April 2015. Wawancara dengan Agus Rizal, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabupaten Bandung, 22 April 2015. Wawancara dengan Teti, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Sumedang, 22 April 2015. Wawancara dengan Agus Rahmat, Sekretaris BPMPD Kabupaten Sukabumi, 23 April 2015.
White,Ben. “Di Antara Apologia Diskursus Kritis: Transisi Agraria dan Peliba60
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan The Village within the Framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI): Looking at the Village from Regulations Perspective Rico Hermawan Peneliti pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Abstrak Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana masyarakat memiliki pemerintahannya sendiri. Secara jelas, dalam konstitusi pemerintah mengakui keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum asli Indonesia ini yang jenisnya kurang lebih mencapai 250 jenis. Pada awal Indonesia berdiri, melalui berbagai peraturan perundang-undangan, pemerintah telah mengakui dan memberikan otonomi kepada desa untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Desa mengemban tugas sebagai agen pembangunan terkecilatau dengan kata lain pembangunan nasional dimulai dari desa. Akan tetapi, situasi berubah sejak orde baru berkuasa dan melakukan proses negaranisasi terhadap desa. Sentralisasi pemerintahan berimbas pada peran desa. Penyeragaman terhadap desa di seluruh Indonesia dilakukan atas nama stabilisasi politik. Pasca Orde Baru, peran dan fungsi desa mulai direposisi. Pemerintah mulai mengakui kembali esksistensi desa-desa adat. Desentralisasi dan demokratisasi menjadi isu krusial dalam upaya pembaharuan terhadap desa. Tulisan ini mencoba untuk melacak kebelakang upaya pelaksanaan otonomi desa di Indonesia. Apakah undang-undang tentang desa teranyar yaitu UU Nomor 6 tahun 2014 akan menjadi jalan keluar dari upaya melakukan pembaharuan terhadap desa dan otonomi desa itu sendiri. Kata kunci : Desa, Undang-Undang Desa, Otonomi Desa Abstract The village (Desa) is an entity in which the community has its own government. Clearly, the constitution recognizes the existence of the units of the original Indonesian legal community is that kind reaches approximately 250 types. At the beginning of Sukarno’s government, through a variety of laws and regulations, the government has acknowledged and give autonomy to the village to hold its own government. The village carry out duties as agents of development, or in other words the national development started from the village. However, the situation changed since the Soeharto’s New Order ran and did the negaranization over the villages. Centralized administration impact on the role of the village. Uniformity of the villages in Indonesia carried out on behalf of political stabilization. Post new order, the role and function of the village began to be repositioned. The government began to acknowledge the existence of the desa adat. Decentralization and democratization become a crucial issue in the reform efforts of the village. This paper attempts to trace backward village autonomy implementation efforts in Indonesia. Are the laws about the latest village namely Law No. 6 of 2014 will be the way out of the reform efforts of the villagers and village autonomy itself. Keywords : The Village,Law Village, Village Autonomy
PENDAHULUAN Sejak dahulu desa digambarkan sebagai ibu kandung suatu negara. Secara argumen sosiologis, nuansa-nuansa kehidupan yang ditampilkan di desa merupakan gambaran riil dari kehidupanmasyarakat suatu negara. Pencerminan sebagainegara yang beasaskan gotong royong dalam Pancasila merupakan cerminan perilaku dan modal sosialdari masyarakat desa, atau disebut dengan nama lain, di horizon Indonesia.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Sebagai entitas yang terlebih dahulu ada sebelum NKRI berdiri, Desa telah memiliki susunan asli atau asal usul yang tidak bisa diganggu gugat. Artinya, NKRI memiliki kewajiban untuk mengakui keberadaan merekabaik secara kontekstual maupun konstitusional. Dalam perjalanannya, proses pengakuan ini mengalami pasang surut. Meski secara konstitusi pendiri bangsa secara istimewa memberi pengakuan keberadaan desa namun, selama puluhan tahun upaya rekognisi ini cenderung diabaikan. Rezim Orde 61
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan Baru yang berkuasa selama tiga dasawarsa berhasil mengubah pandangan tentang desa, dari entitas yang nyata ada menjadi seolaholah semu. Hal ini berimbas pada pola relasi negara dengan desa yang menjadi tidak jelas. Seolah-olah ia ada tapi cenderung terabaikan. Dalam proses pembangunan, peran desa hanya diletakkan sebatas objek pembangunan, yaitu tempat segala kebijakan pembangunan bermuara. Hal ini tidak terlepas dari pandangan minor terhadap desa sebagai kantung utama seluruh permasalahan negara yang seolah-olah menjadi beban bagi pemerintah. Padahal pandangan tersebut tidak terlepas dari proses pelemahan yang terstruktur. Rezim pembangunan (developmentalisme) yang mengedepankan industrialisasi sebagai prioritas pembangunan masa depan, seolah “tidak memerlukan” Desa sebagai agen. Permasalahan-permaslahan seperti kemiskinan di desa akan bisa teratasi dari efek rembes keuntungan-keuntungan yang diterima melalui jalur pembangunan topdown dan pelayanan publik. Tetapi, semua itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi justru adalah Desa mengalami proses pemiskinan akibat proyek negaranisasi masuk ke desa, yang membuat desa mengalami krisis multidimensi. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal
di desa. Survei penduduk tahun 1980 menyebutkan sekitar 78 persen penduduk Indonesia tinggal di desa. Namun, situasi kian berubah. Populasi desa makin tergerus karena terjadi kesenjangan akibat ketidakmerataan pembangunan. Akibatnya, sektor inti desa seperti pertanian semakin mengalami kemunduran. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, perbandingan jumlah penduduk desa dengan kota semakin berimbang. Sekitar 50,2 persen penduduk Indonesia ada di desa, dan 49,8 persen berada di kota (BPS, 2010). Apabila tren ini terus berlanjut, sangat mungkin jumlah penduduk desa ke depan akan semakin sedikit (lihat Gambar 1). Dan ini merupakan ancaman besar bagi keberlangsungan hidup suatu negara. Pilihan meninggalkan desa menjadi pilihan yang dianggap rasional bagi penduduk desa karena desa semakin dilanda permasalahan internal dan eksternal. Kehidupan ekonomi di desa dinilai sudah tidak menjanjikan. Desa terus-menerus mengalami proses kapitalisasi baik berskala lokal maupun global. Proyek pembangunan-isme, negaranisasi, modernisasi, dan kapitalisasi menyerbu desa yang membuat desa terus mengalami krisis ekonomi-politik. Tumbuh pesatnya pasar-pasar modern di desa menjadi salah satu contoh dari bagaimana desa mengalami proses ditundukkan secara struktural tersebut.
Gambar 1. Komposisi Penduduk Pedesaan dan Perkotaan
Sumber : Kementerian Pertanian, 2013; Lembaga Demografi UI, 2012.
62
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Regulasi yang mengatur tentang desa sudah banyak diterbitkan oleh pemerintah. Namun sayangnya, silih bergantinya rezim ikut berimbas pada silih bergantinya pula cara pandang memperlakukan desa dari sebagaimana mestinya menjadi sebagaimana kehendaknya pemerintah.
dimana desa diatur sebagai “daerah kecil”. Daerah besar dan daerah kecil yang dmaksud dalam pasal tersebut adalah daerah otonom (Nurcholis, 2013: 405). Penjelasan Bab 18 UUD menjadi alat legitimasi bahwa negara mengakui keberadaan mereka sebagai entitas natuur :
Setidaknya dalam memahami soal Desa, seringkali kita dihadapkan pada petimbangan-pertimbangan yang terkesan rumit, seperti kondisi asimetris daerah dan desa-desa di Indonesia. Apakah dengan jumlah dan karakter yang banyak dan beragam, apakah bisa pemerintahan terendah ini diatur dalam suatu regulasi perundang-undangan, seperti Undang-Undang Desa. kerumitan seperti ini yang kerap pada akhirnya menimbulkan distorsi di level elit hingga bawah.
“dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 ‘Zelfbesturende Landschappen’ dan ‘Volksgeemeenschappeu’ seperti Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.”
Tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan desa. Melihat bagaimana negara selama ini mendudukkan desa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekaligus mencoba mendiskusikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang digadang-gadang sebagai petunjuk sekaligus jawaban melakukan pembaharuan terhadap desa. Dengan menggunakan perspektif kesejarahan serta membaca ulang peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan desa, dijadikan sebagai bahan kajian dan alat analisis dalam tulisan ini. PENGATURAN TENTANG DESA DI AWAL KEMERDEKAAN Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, keberadaan desa telah ada sebelum negara-bangsa bernama Indonesia dilahirkan pada 1945. Pada sidang BPUPKI 1945, Muhammad Yamin, seorang Minangkabau, dan Soepomo, seorang Jawa dan bergelar ahli hukum adat, mengusulkan agar volksgemeenschappen (persekutuan-persekutuan masyarakat pribumi) didudukkan sebagai daerah otonom yang bersifat istimewa, yang artinya menempatkan mereka sebagai komunitas mandiri. Mereka dianggap daerah yang memiliki susunan asli dan tidak dapat diperlakukan sama dengan daerah-daerah kesatuan teritorial lain yang tidak memiliki susunan asli (Zakaria, 2000 : 205). Gagasan tersebut akhirnya disetujui dan dituangkan dalam UUD 1945 -sebelum amandemanpasal 18 yang mengatur pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pada pemerintahan awal kemerdekaan, pembagian kekuasaan antara pusat, daerah, dan desa pada orde Sukarno sangat memperhatikan kesesuaiannya dengan konstitusi. Ada empat undang-undang pemerintahan daerah yang memasukkan aturan tentang otonomi desa, yaitu, UU No. 22 tahun 1948, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965 dan UU No. 19 tahun 1965. Pada UU Nomor 22 Tahun 1948, pemerintah membagi wilayah Negara Republik Indonesia ke dalam tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten (Kota Besar), dan Desa (Kota Kecil). Pemerintah mengakui desa sebagai agen pembangunan untuk menegaskan orientasi pembangunan negara dari bawah ke atas. Desa adalah daerah otonom terbawah yang diberikan hak kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, seperti digambarkan dalam bagian penjelasan tentang “titik berat dalam memberi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”: “Menurut Undang-undang pokok ini, maka daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu adalah sendi negara, 63
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segalasegalanya, diperkuat dan didinamisir, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya didesa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pulaatau sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu. Desa tetap tinggal terbelakang, negara tidak berdaya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah. Tetapi Pemerintah Republik kita mempunyai tujuan sebaliknya. Untuk memenuhi Pasal 33 UUD., negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran ini harus dimulai dari bawah, dari desa. Oleh karena itu desa harus dibikin didalam keadaan senantiasa bergerak maju, (dinamis). Maka, untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan didalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak sebegitu saja, tetapi juga akan diusulkan supaya bimbingan terhadap daerah-daerah yang mendapat pemerintahan menurut Undang-undang pokok ini lebih diutamakan diadakan didesa”.
Pengakuan dan pemberian hak otonomi kepada desa sebagai agen utama pembangunan tidak lain merupakan bentuk ikhtiar pemerintah terhadap amanat konstitusi. Agar tujuan negara dalam menciptakan kemakmuran tercapai, caranya adalah dengan memulainya dari desa. Desa harus senantiasa bergerak dinamis karena desa merupakan bentuk pemerintahan terkecil dan terdekat dengan rakyat. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang otonomi daerah pertama sejak berlakunya sistem pemerin64
tahan semi-parlementer dan UUD Sementara (UUDS) 1950. Dalam UU ini, daerah otonom yang diatur oleh pemerintah hanya dua jenis, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Mengenai pembentukan Daerah Tingkat III, pemerintah menilai bahwa pembentukannya harus dilakukan dengan hati-hati dikarenakan desa merupakan batu sandar pembangunan sehingga harus dipersiapkan secara matang dan tidak serampangan, seperti dijelaskan dalam penjelasan UU tersebut : “Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuankesatuan masyarakat hukum yang ada.”
Dinamika pemerintahan pada pertengahan 1950-an yang ditandai dengan pergulatan politik di parlemen dan daerah memaksa UU ini tidak berjalan hingga Presiden Sukarno pada 1959 mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 yang membuat UUDS 1950 dan Demokrasi semi-parlementer dibubarkan. Dengan demikian Desapraja (sebagai daerah Tingkat III) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga UU No. 1 tahun 1957 belum dapat dilaksanakan. Ketika Sukarno telah berkuasa penuh atas pemerintahan sejak 1959, pemerintahannya menerbitkan UU No. 18/1965 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah. Pengaturan tentang desa tetap menjadi bagian dalam UU ini dengan penekanan bahwa akan ada suatu undang-undang yang mengatur tentang Daerah Otonomi Tingkat III. Pada 1 September 1965 terbitlah UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Republik Indonesia. Pemerintah memberikan istilah baru untuk menyebut kesatuan masyarakat hukum ini yaitu Desapraja. Meski menggunakan sebutan baru, namun pemerintah tetap mengakui bentuk kesatuan masyarakat hukum asli Indonesia dengan segala aturanaturan (adat) yang berlaku. Di UU ini keberadaan desapraja bukanlah sebagai bentuk terakhir dari hirarkis otonomi daerah, namun suatu saat semua Desapraja harus ditingkatkan menjadi Daerah Otonomi tingkat III seperti yang telah diamanatkan dan dijelaskan dalam UU No. 18 tahun 1965 dimana JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Daerah Otonomi tingkat III adalah Kecamatan dan/atau Kotapraja.
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sama halnya dengan UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 19 tahun 1965 tidak bisa berjalan efektif. Tepat satu bulan setelah diterbitkan, pemerintahan Sukarno diterpa badai politik yang dimulai dari peristiwa G30S yang berdampak pada jatuhnya kekuasaan Sukarno. UU ini tidak sempat dilaksanakan di seluruh daerah. Namun, anehnya, UU No. 19 Tahun 1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui instruksi Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 1966 (Kemendagri, Naskah Akademik 2013 : 47). Dengan demikian, apa yang dinamakan sebagai Desapraja dan Daerah Otonomi Tingkat III praktis tidak terwujud dan dengan itu pengaturan desa kembali berdasarkan IGO 1906 dan IGOB 1938 zaman Belanda.
Melalui UU ini, pusat menjadikan desa sebagai perpanjangan (subordinat) pemerintahan terkecil. Konsep desa yang dibentuk adalah desa administratif yang berada di bawah kecamatan dalam hirarki pemerintahan. UU ini menjadi instrumen untuk memperkuat birokratisasi, otoritarianisme, sentralisasi, dan pembangunan yang berorientasi pada pembentukan pemerintah pusat di daerah-daerah (local state government). Menurut Eko (2005) secara menyolok UU ini mengedepankan korporatisasi politik untuk menciptakan stabilitas politik desa, memperkuat birokratisasi dan kontrol politik untuk membuat loyalitas pemerintah desa, membuka ruang-ruang bagi penetrasi modal ke desa, serta membuang berbagai bantuan ke desa yang terkesan populis. Asas yang dibangun oleh rezim otoriter orde baru adalah asas uniformitas yang menghilangkan eksistensi desa-desa adat karena semua desa merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Terdapat beberapa bukti empirik yang menggambarkan desa mengalami krisis ekonomipolitik dari implementasi UU No. 5 Tahun 1979 itu diantaranya adalah:
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pertama republik sebenarnya telah meletakkan fondasi kuat untuk mendudukan desa sebagai daerah otonom. Akan tetapi, dinamika politik yang terjadi membuat efektivitas aturan itu tidak berjalan sesuai harapan. UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1979: NEGARANISASI DESA ALA ORDE BARU Namun, pengakuan terhadap otonomi desa hanya bertahan sampai ketika rezim orde baru melakukan pelanggaran konstitusi melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Rezim orde baru yang mengedepankan sentralisasi, atau meminjam istilah Mas’oed (1989) sebagai pemerintahan “otoritarianisme-birokratik”, menutup keran otonomi terhadap desa. Terlihat kesan orde baru begitu anti terhadap konsep otonomi yang seluasluasnya seperti yang telah dilakukan sebelumya melalui UU No. 5 Tahun 1974. Orde baru mencoba melakukan penyeragaman seluruh desa di Indonesia yang menyebabkan hilangnya eksistensi desa-desa adat. Seperti yang tertuang dalam pasal 1 UU tersebut, bahwa desa adalah, “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pertama, hilangnya kontrol desa terhadap tanah sehingga menghancurkan kedaulatan rakyat desa. Sebagian besar tanah dikuasai oleh negara. Negara seolah menjadi komprador pemberi lisensi terhadap pemilik modal untuk menguasai tanah yang menyebabkan marjinalisasi terhadap rakyat desa. Kedua, hancurnya basis sosial otonomi desa. Peran pemimpin desa diganti menjadi bawahan camat dan bupati. Di luar Jawa, peran penghulu adat dipinggirkan oleh perangkat desa. Peraturan-peraturan adat digantikan dengan peraturan negara yang menghancurkan pranata sosial. Ketiga, negaranisasi telah menciptakan kematian demokratisasi di tingkat desa. Desa dikelola secara sentralisasi dan otoriter. Kepala desa merupakan penguasa tunggal yang mengendalikan segala hajat hidup orang desa. Kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat namun sebagai bagian birokratisasi negara. Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi ia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan dipercaya. Keempat, kebijakan pembangunan desa memang telah menyajikan se65
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan jumlah cerita sukses, namun di satu sisi justru membawa kerugian besar. Kemiskinan selalu menghantui masyarakat desa. Pemerintah menjadikan kemiskinan tersebut sebagai komoditas proyek. Atas nama pembangunan dan pemberantasan kemiskinan proyek-proyek pemerintah masuk yang salah satu akibatnya adalah meminggirkan petani dari sawahnya. Harga produk-produk pertanian rendah yang menyebabkan kemiskinan dan pengangguran merajalela di desa. Kelima, berbagai program bantuan yang mengalir ke desa merupakan jebakan yang mematikan kemandirian desa. Gotongroyong yang selama ini menjadi modal sosial bagi masyarakat desa justru tergerus oleh ban-tuan-bantuan pembangunan pemerintah. Program bantuan tidak meningkatkan kapasitas dan kemandirian (otonomi) desa, tetapi justru menciptakan ketergantungan abadi desa terhadap bantuan pemerintah supradesa. Salah satu kasus yang mencolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah desa “menguangkan” gotong royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Keenam, serbuan kapitalisasi telah membuat keterbatasan sumberdaya lokal dan pemiskinan desa. Di bawah skenario pembangunanisme Orde Baru, eksploitasi sumberdaya lokal (desa) terjadi secara besarbesaran yang mengalir ke negara serta kotakota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Akibatnya desa dihadapkan pada kemiskinan struktural. Pergerakan ekonomi baru ditempuh dengan cara-cara kapitalisasi desa yaitu dengan membuka selebar-lebarnya investasi yang ramah bagi pemilik modal. Elit desa dalam pengambilan keputusan cenderung meminimalkan proses demokrasi dengan berkolaborasi dengan elit lain. Ketujuh, terciptanya relasi dengan model ketergantungan baru desa terhadap sektor ekonomi kota, atau masyarakat lokal terhadap pasar. Terserapnya sumber daya desa akibat proses kapitalisasi membuat keuntungan produksi lari ke kota dan mobilitas warga desa semakin deras ke kota yang membuat desa menjadi tidak berkembang akibat semakin berkurangnya masyarakat produktif desa (Eko, 2005). Setelah kejatuhan Orde Baru, sistem politik Indonesia mengalami periode transisi. Seiring dengan gelombang demokrasi dan desentralisasi membuat desa mulai bangkit 66
dan menjanjikan harapan baru bagi desa sekaligus tantangan-tantangan baru baik dari domestik maupun global. DESA PASCA ORDE BARU: PEMBAHARUAN DESA DAN UPAYA PEMERATAAN PEMBANGUNAN Kejatuhan rezim otoriter Orde Baru menjadi langkah awal membangun kehidupan pemerintahan yang lebih adil dan demokratis. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004, dan yang terbaru UU No. 23 tahun 2014 lahir sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut. Demokrasi, Desentralisasi dan otonomi daerah menjadi jargon suci sekaligus sebuah antitesis dari pengelolaan pemerintahan yang sentralistis dan otoriter di masa lalu. Melalui desentralisasi, daerah mendapatkan kewenangan mengelola rumah tangga pemerintahannya sendiri secara mandiri, adil, dan demokratis. Khusus bagi desa, semangat yang hendak dibangun dari undang-undang otonomi daerah adalah semangat kemandirian. Desa sudah saatnya diberikan kepercayaan untuk berdaya, mengambil keputusan, bahkan mengelola keuangan sendiri sesuai dengan asas subsidiaritas, lokalisasi pengambilan keputusan dan penggunaan wewenang oleh struktur atau organisasi untuk kepentingan masyarakat desa. Mendorong desa untuk lebih mandiri sama saja mengurangi beban pemerintah. Situasi pemerintah telah berubah sejak periode krisis ekonomi 1997/98, reformasi hingga era sustainabilitas ekonomi seperti sekarang ini. Hal ini membuat cara pandang pembangunan di daerah ikut berubah. Sentralisasi ditinggalkan. Desentralisasi diletakkan sebagai pilihan, selain demi integritas nasional, membagi urusan ke daerah menjadi pilihan lebih rasional. Salah satu produk penting dari reformasi salah satunya adalah Ketetapan MPR (TAP MPR) No. XV/MPR/ 1998 yang menetapkan kewajiban pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta (berkeadilan) dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI dimana desa berada dalam entitas penting tersebut dalam pelaksanaan pembagunan nasional Indonesia. UU Desa Nomor 6 tahun 2014 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL lahir dari perjuangan para aktivis desa, kepala dan perangkat desa, hingga politisi di DPR selama kurang lebih 7 tahun. a.
UU No. 22 tahun 1999 : Melepaskan Atribut-atribut Orde Baru
Pemerintahan reformasi terlihat jelas ingin melepaskan semua atribut-atribut yang berbau Orde Baru. UU No. 22/1999 lahir dengan semangat menghapus bayang-bayang sentralisasi pemerintahan yang selama ini hanya memperkaya pusat tetapi memiskinkan daerah. Desentralisasi daerah dengan pemberian otonomi kepada daerah kemudian menjadi jawaban seperti yang dimaktubkan dalam UU tersebut. Secercah harapan muncul dari UU 22 Tahun 1999 dimana dalam UU tersebut pemerintah mengakui kembali asal-usul desa di Indonesia (rekognisi) yang hilang selama periode Orde Baru, artinya UU ini menghapus uniformitas desa yang terkesan Jawaisme selama Orde Baru berkuasa. Dalam UU 22 Tahun 1999, definisi Desa diubah menjadi, “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.”
Permasalahan tentang penyeragaman desa sungguh menarik perhatian para penyusun UU No. 22 Tahun 1999 untuk segera mengganti dan mengubahnya menjadi rumusan yang lebih demokratis. Akhirnya keputusan untuk mengganti peraturan tentang desa itu tertuang pada Bagian Menimbang butir e : “Bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Rumusan tentang desa diatas merupakan sebuah lompatan luar biasa. Dalam pengertian tersebut disebutkan kembali karakteristik alami desa-desa di Indonesia yang beranekaragam, menjunjung nilai-nilai leluhur (asalusul), gotong royong, otonom, dan demokratis yang menjadi modal sosial dan membentuk pranata sosial sebagai modal pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik. Poin penting lain dari UU No. 22 Tahun 1999 adalah tentang demokratisasi desa. Kepala Desa tidak lagi memiliki kekuasaan dominan, dimana sebelumnya, disamping menjadi kepala desa juga menjabat ketua Lembaga Musyawarah Desa sebagai lembaga legislatif desa. Dalam undang-undang tersebut disebutkan pula bahwa pertanggungjawaban kapala desa tidak lagi kepada bupati (melalui Camat), tetapi langsung kepada masyarakat desa yang terwakili dalam lembaga perwakilan desa yaitu, Badan Perwakilan Desa (BPD). Pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) sendiri merupakan perwujudan dari demokratisasi desa. BPD lahir sebagai kritik terhadap Lembaga Musyawarah Desa (LMD) bentukan orde baru. Pada era orba, LMD merupakan lembaga pemerintahan yang sifatnya korporatis. Ketua LMD adalah kepala desa. Menurut UU No. 22/1999 anggota BPD dipilih dengan melibatkan masyarakat. Berbeda dengan LMD yang anggotanya ditunjuk oleh lurah/kepala desa. Dalam UU ini telah ada pemisahan antara lembaga eksekutif dengan legislatif. Setidaknya terdapat tiga (3) domain kekuasaan yang dibagi oleh kepala desa dengan BPD, (1) pembuatan keputusan dalam bentuk peraturan desa (perdes) yang dikerjakan bersama-sama antara kepala desa dengan BPD, (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDes dan pelelangan tanah kas desa, (3) rekruitmen perangkat desa yang dulu dikendalikan oleh lurah dan kecamatan, sekarang dikendalikan oleh BPD. Fungsi pengawasan yang dilakukan BPD pun telah lebih baik meskipun masih sebatas pada laporan pertanggungjawaban kepala desa (Eko, 2008). Namun di sisi lain, tidak jarang keberadaan BPD justru menimbulkan masalah, terutama terkait hubungan antara BPD dengan kepala desa. Dalam beberapa kondisi ada kepala desa yang sulit atau tidak mau berbagi kekuasaan dengan BPD, ada pula yang tidak 67
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan mau di kontrol oleh BPD, dan ada pula kepala desa yang berpandangan kekuasaan itu adalah “tunggal” (Abdul Rozak, dkk, 2004). Ada pula ketegangan antara keduanya bermula dari lemahnya pemahaman para anggota BPD terhadap tugas pokok dan fungsinya, sehingga BPD sering kali melanggar batas-batas kekuasaan yang ditetapkan oleh regulasi (Eko, 2003). Keberadaan BPD pun dalam tugasnya menyerap aspirasi masyarakat terkadang juga perlu dipertanyakan karena kerap kali BPD bergerak dalam koridor kepentingan mereka dan elit lain.
di antara kecamatan dan desa/gampong), yang selama orde baru mukim dihilangkan dari sistem hirarkis pemerintahan di Aceh (Naskah Akademik UU Desa Kemendagri, 2013: 77).
b. UU Nomor 32 Tahun 2004 : Resentralisasi Orde Baru?
Namun demikian, beberapa akademisi mengkritisi pemberlakuan undang-undang ini sebagai bagian dari resentralisasi sistem pemerintahan rezim orde baru. UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 mengandung banyak kecacatan. Menurutnya, substansi UU No. 32 Tahun 2004 menjauh dari UU No. 22 Tahun 1999 yang bersifat devolutif-liberal, sebaliknya UU No. 32 Tahun 2004 bersifat sentralistik-otokratis-korporatis (Eko, 2008). Gejala resentralisasi ini terlihat pada pola hubungan pusat-daerah dan akuntabilitas kepala daerah maupun kepala desa. UU No. 32 Tahun 2004 menghendaki penegasan hirarkis kekuasaan yang simetris dari pusat hingga desa/kelurahan. Artinya level di atas memiliki kontrol kekuasaan yang besar terhadap level di bawahnya. Pasal 200 pada undang-undang ini menyebutkan bahwa “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)”. Ini menandakan bahwa desa menjadi entitas bagian dari pemerintah kabupaten. Padahal dalam konsep aslinya, kedudukan desa adalah berdiri otonom terpisah dari pemerintah. Pertanggungjawaban yang diberikan oleh pemerintah desa bukan kepada level pemerintahan di atasnya, tetapi kepada rakyatnya. Pemindahan akuntabilitas itulah yang disebut sebagai upaya resentralisasi (Eko, 2008).
Antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 22 Tahun 1999 sebenarnya tidak memiliki banyak perbedaan yang signifikan. Pengaturan tentang desa dalam UU ini, yang diperjelas pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 sebagai bagian dari penguatan pelaksanaan otonomi daerah. Secara umum UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 1999 sama-sama telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan desadesa adat tradisional asli Indonesia. Pengakuan terhadap desa adat berserta hak-hak tradisional juga terlihat dalam undangundang yang mengatur otonomi khusus seperti di Aceh misalnya dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengakui keberadaan ”mukim” (berada
Bukti lain dari upaya tersebut adalah pengangkatan seorang sekretaris desa dari pegawai negeri sipil, yaitu PNS kecamatan yang ditugaskan di desa. Keberadaan sekretaris desa di desa dari kalangan PNS menunjukkan bentuk birokratisasi negara terhadap desa dengan meletakkan desa berada langsung di bawah camat. Dalam beberapa kondisi, seringkali Sekdes mengerjakan wewenang yang seharusnya dilakukan kepala desa. Tugas-tugas kepala desa dikerjakan oleh Sekdes. Sehingga kemandirian desa menjadi hilang karena campur tangan kecamatan yang begitu besar. Bahkan dari segi pendapatan Sekdes yang berasal dari Negara sedangkan Kepala Desa hanya mendapatkan sebuah tanah bengkok, rentan menimbulkan kecembu-
Dari sisi keuangan, sumber pembiayaan pemerintahan desa berupa pendapatan desa, bantuan dari pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, atau sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa. Bantuan dari pemerintah kabupaten sendiri meliputi dana bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). ADD merupakan perwujudan pemenuhan terhadap hak-hak desa yang diamanatkan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan otonomi desa. Fungsi ADD sebagai bentuk pemerataan pembangunan di desa dan untuk memenuhi pelayanan publik di desa. Meskipun demikian, pada beberapa kasus masih banyak daerah yang tidak serius melaksanakan perimbangan keuangan yang menyebabkan nasib pembangunan di desa terkatung-katung.
68
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL ruan sosial. Dari sisi keuangan desa, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 sebenarnya telah meletakkan dasar perimbangan keuangan untuk desa. Alokasi Dana Desa yang menjadi dana pembangunan berasal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/ Kota untuk Desa paling sedikit 10 persen, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional. Artinya porsi keuangan yang diterima oleh desa dari dana perimbangan pusat telah ditentukan besarannya. Namun, dalam kenyataannya dana alokasi desa seringkali belum dilandasi komitmen besar dari pemerintah daerah. Masih banyak kabupaten atau kota yang tidak mengucurkan dananya untuk desa. Bahkan, untuk desa yang wilayahnya jauh dari pusat pemerintahan, dana desa hampir tidak pernah menyentuh mereka. UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014: UPAYA PEMBAHARUAN DESA? Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014 menjadi undang-undang kedua yang secara spesifik mengatur tentang desasejak terakhir UU No. 5 tahun 1979. UU Desa 2014 hadir membawa semangat baru pembaharuan desa. Undang-undang ini menjadi koreksi sekaligus otokiritik terhadap peraturan perundangan tentang desa selama ini yang terkesan tidak serius. Mengenai pembaharuan desa, pembaharuan yang dimakud adalah tidak hanya sekedar melakukan renovasi desa atau merekonstruksi desa yang sudah rusak. Pembaharuan adalah proses transformasi sosial, atau perubahan yang sustain (berkelanjutan) yang direkayasa melalui perubahan paradigma, kebijakan publik, dan gerakan sosial dari masyarakat sipil (Eko 2008). UU Desa 2014 berada pada koridor pemerintah mengakui seluruh hak asal-usul desa beserta pranata tradisionalnya yang telah ada sejak dahulu. Artinya asas rekognisi tetap diakui oleh pemerintah terhadap beragam desa asli (adat) Indonesia. Disamping itu, desa juga diberikan kewenangan otonom untuk mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri (subsidiaritas). Kombinasi antara asas rekognisi dan subsidiaritas ini menghasilkan definisi Desa yang baru (Eko, dkk : 2014) yaitu “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
njutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerin-tahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
UU ini menggunakan dua pendekatan pembangunan yaitu “desa membangun” dan “membangun desa”. UU Desa juga meletakkan desa dalam sifatnya sebagai komunitas inklusif. Tidak bersifat eksklusif. Desa tidak boleh lagi menjadi tempat bermuaranya kepentingan-kepentingan elit yang menandai desa bukanlah milik segelintir elit lokal maupun elit desa. Sifatnya yang inklusif ini memberikan ruang kepada masyarakat desa untuk memikirkan nasib desanya sendiri bersamasama (rembug). Perencanaan pembangunan dilakukan secara musyawarah dan tugas kepala desa adalah melaksanakan mandat musyawarah rakyat. Untuk mendukung pembangunan dan pengembangan kawasan pedesaan, pemerintah memperkuat dua poin aturan penting yang mengatur instrumen pembangunan tersebut yaitu mengenai Dana Alokasi Desa yang bersumber dari APBN dan Sumber Pendapatan Desa. Dana alokasi desa yang selama ini kerap tidak diindahkan oleh pemerintah kabupaten/kota diatur dengan jelas bahwa alokasi dana desa paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana alokasi khusus (DAK). Dengan besaran tersebut, setiap desa di Indonesia bisa mendapatkan dana alokasi yang lebih besar. Harapannya, dengan dana yang lebih besar itu dapat mendukung program pengembangan kapasitas dan pembangunan di desa. Disamping itu, desa juga diberikan kesempatan untuk mengelola sumber-sumber pendapatan desa mandiri yang dapat berasal dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pengelolaan pasar desa, pengelolaan kawasan wisata skala desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam, tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber pendapatan lain yang tidak untuk dijualbelikan. Di samping memperkuat basis ekonomi desa, UU Desa 2014 juga memberikan kesempatan untuk penguatan demokrasi di desa. 69
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan Berbeda dengan UU No.32 Tahun 2004, dalam UU ini dijelaskan adanya pembagian kekuasaan antara kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang jelas. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, yakni sebagai lembaga pemerintahan desa, dan fungsi yang berbeda, yaitu kepala desa sebagai lembaga eksekutif, sedangkan BPD sebagai lembaga legislatif. Pembagian tugas kepala desa dan BPD, antara lain : 1. 2.
3.
4.
5.
6.
Kepala Desa dan BPD membahas dan menyepakati bersama peraturan desa (Pasal 1 angka 7) Kepala Desa dan BPD memprakarsai perubahan status desa menjadi kelurahan melalui musyawarah desa (Pasal 11 ayat (1)) Kepala desa memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada BPD (Pasal 27 huruf c) BPD memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir (Pasal 32 ayat (1)) Kepala Desa mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan memusyawarahkannya bersama BPD (Pasal 73 ayat (2)) Kepala Desa dan BPD membahas bersama pengelolaan kekayaan milik desa (Pasal 77 ayat (3))
Mengenai keanggotaan BPD, UU Desa mengisyaratkan pemilihan anggota BPD yang lebih demokratis. Jika pada UU No. 32 Tahun 2004 keanggotaan BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga (RW), Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemangku Agama, dan tokoh masyarakat, dan ikut campurnya kecamatan dalam penentuan anggota, memberikan kepala desa kekuasaan yang dominan, dikarenakan potensi keberadaan anggota BPD yang merangkap sebagai bawahan kepala desa sehingga menyulitkan fungsi kontrol terhadap kepala desa. Sedangkan dalam UU Desa 2014, keanggotaan BPD dilakukan secara demokratis dengan diberikan keleluasaan pemilihan menggunakan cara-cara yang dianut dan diakui oleh masing-masing desa. Di samping itu, sekretaris desa yang selama berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 berasal dari kalangan PNS, yaitu orang kecamatan 70
yang ditempatkan di desa, dihapuskan. Menempatkan PNS dalam struktur organisasi pemerintah desa sebenarnya tidak mengandung tujuan jelas. Meski, keberadaannya dimaksudkan untuk menjembatani hubungan antara desa dengan pemerintah, namun keberadaannya justru malah menimbulkan polemik. Jabatan sebagai PNS sangat berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan perangkat desa. Hal ini sangat berdampak pada efektivitas jalannya pemerintahan desa. Dalam UU Desa 2014 ditegaskan posisi sekretaris desa bukan dari kalangan PNS. Hal ini membuat posisi desa menjadi lebih otonom dan menghilangkan upaya birokratisasi negara. Ambivalensi dan Resistensi : Kasus Sumatera Barat Namun, upaya ini bisa saja redup pasalnya dalam undang-undang tersebut juga mengandung pasal-pasal yang cukup bisa dipertanyakan keseriusannya dalam membentuk pemerintahan desa yang mandiri, seperti pada pasal 26 ayat 3 poin a disebutkan bahwa, Kepala desa dalam melaksanakan tugasnya memiliki hak mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. Kata “mengusulkan” menimbulkan ambivalensi yang berkepanjangan jika tidak diperjelas pemaknaannya. Kata ini bisa saja mereduksi tujuan utama dari undang-undang yaitu membentuk pemerintahan desa mandiri. Jika seorang kepala desa hanya memiliki hak untuk mengusulkan struktur organisasi dimana hak untuk memutuskan struktur tersebut berada di tingkat kabupaten, maka bisa saja usulan struktur yang telah dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi riil kebutuhan desa dianulir atas nama “kemudahan koordinasi” antara kabupaten/kecamatan dengan desa, seperti aturan sebelumnya dimana struktur organisasi di desa (urusan) disesuaikan dengan seksi-seksi yang ada di kecamatan. Apalagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang peraturan pelaksanaan UU Desa pada pasal 62 ayat 2 juga telah menentukan komposisi sekretariat desa dibatasi paling banyak hanya tiga bidang urusan. Artinya, keleluasaan yang diberikan kepada desa sebenarnya begitu sedikit. Hal ini memancing kecurigaan untuk menjaga hegemoni negara di desa yang sangat mungkin bisa menghambat proses transisi pola pikir (mindset) masyarakat desa. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Selain itu, pengakuan terhadap eksistensi desa-desa adat juga menjadi concern utama dalam undang-undang ini. Meski pemerintah mengedepankan asas pengakuan terhadap desa-desa asli Indonesia, akan tetapi masih terdapat ketidakjelasan dalam tataran implementasi. Terdapat kesan adanya penyamarataan memahami desa-desa adat di seluruh Indonesia. Padahal tiap-tiap mereka memiliki karakteristik berbeda. Nagari di Minangkabau sangat berbeda dengan Desa Adat di Bali, dan sebagainya. Hal ini yang kemudian menimbulkan resistensi dan reaksi terhadap ketidakjelasan UU ini memaknai dan memperlakukan eksistensi mereka. Di Minangkabau, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) menunjukkan kekecewaan terhadap UU Desa ini. Menurut Ketua LKAAM Sumatera Barat, Datuk Sayuti, konsep desa tidak cocok diaplikasikan di Sumbar. Karena sejak berabad-abad lalu Sumbar menggunakan konsep Nagari, yang menghimpun masyarakat hukum adat berdasarkan filosofi ‘Adat Basandi Syara’, ‘Syara Basandi Kitabullah’ (ABS-SBK). “Ia meminta pemerintah pusat untuk tidak memaksakan konsep desa yang dipakai oleh Jawa, Madura dan Bali, terhadap Sumbar. Kalau tetap dipaksakan, pemerintah pusat berarti telah mengangkangi UUD 1945 yang menghargai keragaman, dan telah mengobrak-abrik keutuhan NKRI” (Wawancara dengan Sayuti, 2 September 2015 di Padang). Pertanyaan menarik menyangkut hal tersebut adalah apa alasan sebenarnya dari pemerintah menggunakan kata “Desa” sebagai judul Undang-Undang nomor 6 tersebut. Hal ini yang menjadi pertanyaan besar bagi Sayuti dalam wawancaranya dengan penulis (2 September 2015). Sebelumnya, menurut pengakuannya, LKAAM telah mencoba untuk menemui dan memberikan usulan kepada Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang notabene Putra asli Minangkabau. Akan tetapi pertemuan itu tidak pernah terjadi karena sikap menghindar dari Mendagri, kata Sayuti. LKAAM mengajukan tawaran kepada Kemendagri untuk tidak menggunakan nama “Desa” dalam judul UU, tetapi mengajukan istilah “Undang-Undang Pemerintahan Terendah” yang dianggapnya akan lebih mengakomodasi kebhinekaan desa-desa di Indonesia (Wawancara, 2 September 2015).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Selama ini pemahaman publik terhadap desa adalah seperti desa yang ada di Jawa. Padahal secara argumen filosofis dan sosiologis, desa-desa di Jawa (Madura dan Bali) berbeda dengan “desa-desa” di luar Jawa. Di Jawa (Madura dan Bali) pengaruh peninggalan hindu dan islam begitu kental mempengaruhi corak sosiologis desa di Jawa yang kental nuansa feodal yang oleh Schrieke (1960) dibahasakan sabagai konsekuensi dari budaya masyarakat pertanian. Kerukunan dan kepatuhan penduduk desa menjadi ikatan dan modal sosial desa, sedangkan kehidupan ekonomi pada tingkat di atas desa yang memenuhi kebutuhan raja dan bangsawan didasarkan atas pungutan barang dan jasa yang dinamai ikatan feodal yang menjadi corak ikatan tradisional masyarakat desa. Ikatan tradisional inilah yang meresap ke sendi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat desa (Burger, 1962) atau menurut Wertheim, hubunganhubungan patrimonial dalam masyarakat pedesaan Jawa (dalam Breman, 1980). Sedangkan di luar Jawa, sebagai contoh Nagari di Sumatera Barat. Nagari adalah bentuk desa asli masyarakat Minangkabau. Nagari berfungsi sebagai organisasi sosial dan politik tertinggi, sekaligus unit pemerintahan utama. Pada dasarnya nagari merupakan “republik otonom” yang memiliki wilayah geografis sendiri dan pemerintahan sendiri. Secara simbolis nagari-nagari melekatkan diri ke dalam suatu federasi yang bersifat longgar yang disebut luhak (Abdullah, 1984: 108). Luas wilayah suatu nagari dapat berukuran sama dengan luas sebuah kabupaten dengan jumlah penduduk dapat mencapai 50 ribu jiwa. Nagari dan desa di Jawa tidak hanya berbeda dalam ukuran luas dan struktur administratif, tetapi juga dalam hal filosofi keberadaannya (Naim, 1990 dalam Beckmann dan Beckmann, 2007). Dalam Nagari berlaku sistem sosial-politik yang egaliter-demokratis. Tanah sebagai faktor produksi terpenting dalam adat minangkabau bukanlah kepemilikan raja, sebagaimana dalam sistem feodalisme di wilayah lain. Kepemilikan tanah dimiliki bersama oleh masyarakat desa. Karena kepemilikan bersama tanah desa ini, maka, hasrat tiap orang untuk menggunakan tanah ini harus melalui persetujuan bersama kaumnya (Latif, 2011: 387). Semua yang menyangkut kepentingan umum diputuskan secara mufakat, seperti disebut dalam pepatah minangkabau: Bulek aei dek pambuluah, bulek kato 71
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan dek mufakat (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Jumlah nagari di Sumatera Barat yang hanya berjumlah 880 –hampir sama dengan jumlah desa di satu kabupaten di Kabupaten Aceh Utara yang mencapai 852 desa– ikut berpengaruh terhadap jumlah dana desa yang akan diterima oleh Sumatra Barat. Hal ini ternyata menimbulkan resistensi lebih tajam di tingkat aras bawah karena “imingiming” dana desa yang besar sejak UU diterbitkan menjadi alasan untuk meneriakkan keseteraan penerimaan dana desa. Saat desa dibawah peraturan UU No. 5 Tahun 1979, jumlah desa yang ada di Sumatera Barat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 1977 tentang Penetapan Jumlah Desa di Seluruh Indonesia mencapai 3.516. Jumlah yang sangat banyak ini tidak terlepas dari pilihan Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat yang menghendaki Jorong, yang berada di bawah Nagari, dinaikkan statusnya menjadi Desa sesuai UU No. 5 tahun 1979. Jumlah ini kemudian mengalami penyusutan seiring pilihan untuk “kembali ke Nagari” setelah rezim Orde Baru runtuh, yang membuat eksistensi Nagari kembali bangkit dan Jorong-Jorong banyak melakukan penyatuan dan kembali berada di bawah Nagari. Akan tetapi, lahirnya UU Desa 2014 ini disambut dengan seruan untuk melakukan pemekaran besar-besaran. Kini pilihan untuk memekarkan Jorong-Jorong dan menaikkan statusnya menjadi Nagari/ Desa bermunculan di Sumatera Barat, seperti yang terjadi di Kabupaten Solok (wawancara dengan Kepala Bagian Pemerintahan Nagari, Kabupaten Solok, 2 September 2015). Masalah jumlah Jorong yang banyak ini ditambah dengan problem jumlah penduduk yang terhitung cukup besar untuk ukuran sebuah desa di beberapa Nagari di Sumatera Barat. Sebuah Nagari di Kabupaten Pasaman bernama Nagari Aia Bangih jumlah penduduknya mencapai 62 ribu jiwa. Untuk ukuran sebuah desa, jumlah ini tentu sangat besar. Maka dari itu, desakan untuk melakukan pemekaran cukup kuat menguat di beberapa nagari di Sumatera Barat. Terlepas dari persoalan ambivalensi regulasi dan resistensi yang muncul, lahirnya UU Desa telah memberikan keyakinan tentang tercapainya sebuah transformasi desa yang berkeadilan, mandiri dan berbudaya. Jenis 72
desa asli Indonesia jika mengacu pada penjelasan UUD 1945 mencapai 250 jenisnya. Dengan jumlahnya yang begitu banyak ini, otomatis karakteristik desa secara sosiologis dan filosofis sangatlah beragam. Pemerintah perlu untuk mengakomodasi keberadaan mereka dalam aturan kelembagaan yang secara khusus mengatur tentang desa-desa adat Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka, meminimalisir konflik dan disintegrasi, serta menjaga kearifan lokal khas Indonesia. PENUTUP a.
Rekomendasi
Konsep pembaharuan desa muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap ketimpangan pembangunan yang terjadi selama ini antara pusat dan daerah, atau antara kota dan desa. Orientasi pembangunan yang bias desa menjadikan desa terus tergerus pada modernitas absurd yang tidak disadari oleh para pemangku kepentingan sebagai bentuk penghancuran terhadap kehidupan negara secara perlahan. Semua ini tidak terlepas dari posisi desa sebagai “saka bumi” kehidupan suatu negara, titik tolak pembangunan. Bagaimana sebenarnya kita meletakkan konsep pembaharuan desa dalam konteks UU Desa 2014 sekarang? Pembaharuan desa semestinya diletakkan sebagai usaha “perjuangan kelas”, yaitu kelas masyarakat desa, kelas masyarakat petani, untuk membawa modernitas abad dua puluh satu ke desa-desa di seluruh Indonesia. Kita tidak bisa menafikan bahwa sisi-sisi tradisional desa selama ini seperti menjadi faktor penghambat pembangunan desa. Akan tetapi, kita juga tidak bisa meminggirkan faktor struktural yang telah menjadikan desa terpinggirkan sebagai entitas pemerintahan rakyat. Dengan kata lain, negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terjadinya pelemahan tersebut. Lahirnya UU Desa harus dijadikan sebagai usaha menempatkan konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) sebagai basis utama pembangunan desa. Rakyat harus bergerak mandiri untuk membangun pemerintahannya, baik dalam tatanan sosial-politiknya, ekonomi, maupun kebudayaan. Dari segi sosial-politik, UU ini memberikan kesempatan bagi masyarakat desa menJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL jalankan sebuah praktik politik yang lebih mengedepankan “swadaya politik masyarakat”. Konsep ini diterjemahkan ke dalam praktik demokrasi partisipatoris yang aktif dimana masyarakat sejak masa persiapan pelaksanaan pilkades hingga penjaringan calon kades melakukannya secara swadaya. Sebagai contoh dalam pelaksanaan, masyarakat dapat melakukan pengumpulan dana dari para kepala keluarga untuk membiayai pelaksanaan pilkades. Kemudian, dalam penjaringan kepala desa, masyarakat bisa mengajukan calonnya sesuai dengan kemampuan kepemimpinannya dan tingkat kejujurannya selama ini di mata masyarakat desa. Mencontoh apa yang dilakukan dalam adat Minangkabau, dalam alam Minangkabau, setiap Nagari terbagi ke dalam beberapa “partai kecil” yang mewakili beberapa golongan yaitu golongan Niniak Mamak (perhimpunan datuk-datuk kepala suku); Bundo Kanduang (pemimpin seluruh perempuan-perempuan dan anak cucunya dalam suatu kaum); Alim Ulama (pemimpin dalam urusan agama); Pemuda (perhimpunan orang-orang muda pada suatu kaum); Cerdik Pandai (perhimpunan orangorang yang disebabkan karena ia memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta arif dan bijaksana). Dari kelima golongan tersebut, setiap golongan kemudian mengajukan salah satu orang sebagai calon Wali Nagari yang dianggapnya memiliki kemampuan sebagai pemimpin, arif, dan bijaksana. Setelah itu dilakukan pemilihan secara demokratis (pemilihan langsung) dan mufakat untuk memilih Wali Nagari (Sanggoeno Diradjo, 2015). Praktik seperti ini tentunya akan meminimalisir munculnya elite-elite desa yang bisa dengan mudah menggunakan menguasai panggung politik desa. Dengan demikian, diharapkan pemimpin yang lahir adalah pemimpin yang sesuai kehendak masyarakat. Dari segi ekonomi, tujuan utama dari lahirnya UU Desa adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Ada sebuah usaha reposisi peran desa yang coba dilakukan melalui UU ini. Tidak lagi menjadi objek pembangunan semata namun, desa mesti berperan secara langsung sebagai agen pembangunan itu sendiri. Dalam UU Desa telah diatur secara jelas mengenai beberapa hal yang terkait dalam bidang ekonomi seperti Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Pedesaan, Badan Usaha Milik Desa, dan juga Kerjasama Antar Desa. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Beberapa langkah yang perlu dilakukan saat ini dalam usaha pembangunan desa adalah pertama, pentingnya pemahaman masyarakat terhadap arti penting dan peran Desa ikut serta dalam pembangunan nasional. Jangan sampai apa yang telah diatur dengan jelas dalam UU ternyata tidak dipahami sebagai tugas dan kewenangan mereka ikut serta dalam pembangunan. Pengetahuan mereka terhadap hal ini diharapkan mampu menggerakkan masyarakat desa untuk bersinergi, membangun soliditas dan kegotongroyongan. Tentu saja, kondisi ini juga membutuhkan peran serta pemerintah pusat dan daerah untuk memandu dan menata sumbersumber daya di desa, membangun trust, serta menciptakan sinergitas pembangunan yang terencana dan berkeadilan. Kedua, perlunya membangun hubungan emosional yang erat antara masyarakat dengan desanya. Selama ini, dimensi ini luput dari perhatian masyarakat desa. Tidak hanya masyarakat di itu sendiri, akan tetapi, juga bagi para kaum urban (perantau) yang telah lama meninggalkan desanya. Desa kerap menghadapi persoalan putusnya hubungan emosional dengan masyarakatnya yang telah pergi merantau ke kota. Menengok kasus di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dapat menjadi contoh, dimana Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar memiliki sebuah unit pemerintahan bernama Bagian Pemerintah Nagari dan Urusan Rantau. Dimana salah satu tugas fungsi unit ini salah satunya adalah mewadahi para perantau-perantau dari Kabupaten Tanah Datar untuk terlibat dalam pembangunan di Kabupaten Tanah Datar. Hubungan emosional terhadap Nagari-Nagari yang ditinggalkan itulah yang menjadikan permasalahan pembangunan di Sumatera Barat tidak begitu nyata terlihat. Ketiga, terpecahnya UU tentang Pemerintah Daerah, menjadi salah satunya UU Desa, membuat pembagian kewenangan dan urusan serta pembagian kue keuntungan yang diterima Desa menjadi samar-samar. Perlu adanya regulasi yang mengatur secara jelas mengenai hak-hak apa saja yang bisa diperoleh desa untuk memperjelas posisi keotonomiannya. Sebagai contoh dalam hal pengelolaan objek-objek pariwisata yang berada langsung di Desa, seperti apa pembagian keuntungan antara Desa dan daerah. Sehingga keberadaan objek pariwisata tersebut 73
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan mampu membawa manfaat langsung masyarakat desa dan berguna bagi sustainabilitas pembangunannya. Keempat, meskipun telah ada aturan tentang dana desa, namun, dalam implementasinya diharapkan masyarakat dan pemerintah desa tidak memandang dana tersebut sebagai satu-satunya pemecah persoalan desa. Bagaimanapun sumber utama yang dimiliki oleh Desa adalah modal sosialnya seperti gotong royong dan musyawarah mufakat. Semua ini harus dimanfaatkan untuk mendorong kemajuan desa. Dana desa tidak lebih sebagai instrumen pelengkap dalam upaya pembangunan Desa. b. Kesimpulan Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia, Desa adalah entitas negara yang telah lama diabaikan perannya dalam proses pembangunan. Meskipun pemerintah berkali-kali mengatur posisi desa dalam regulasi perundangan, tetap saja Desa seperti mengalami proses penundukkan yang terstruktur. Dampak dari pelemahan ini adalah melemahnya institusi modal sosial desa seperti gotong royong dan musyawarah desa. Rezim pembangunan yang tidak merata juga membuat penduduk desa bermigrasi meninggalkan desa yang membuat desa kehilangan sumber daya produktifnya. Selain itu, gerakan sosial desa semakin lemah karena orientasi pembangunan tidak berpusat pada masyarakat (people) tetapi pada pertumbuhan (growth). Dapat dikatakan, tugas berat menanti dalam proses pembaharuan dan pembangunan kembali institusi desa. Desa telah terlanjur mengalami masalah begitu besar yang, itu berarti adalah masalah besar bangsa. Tren penduduk desa terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Proyeksi dalam dua puluh tahun ke depan menunjukkan komposisi penduduk Indonesia akan didominasi penduduk perkotaan. Artinya adalah, dalam skala nasional, hal ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Ancaman utama jelas datang dari ancaman pangan. Sebagai negara yang mengatasnamakan diri negara agraris, sektor pangan dihadapkan pada semakin menghilangnya penduduk petani. Terkesan adanya upaya menghilangkan desa (deruralization) dan petani (depeasantization) dalam 74
pembangunan. Sebagai core sector perekonomian, pertanian adalah penopang utama bagi sektor-sektor ekonomi lainnya. Dari sektor pertanian muncul sektor-sektor pendukung (supporting sector) seperti: industri pengolahan, jasa, teknologi informasi. Andai sektor inti mengalami penurunan, maka sektor pendukung juga akan mengalami penurunan. Namun, berbeda apabila sektor pendukung yang mengalami penurunan, maka sektor inti masih bisa menopang perekonomian. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar adalah dengan memperkuat peran dan fungsi desa atau dengan kata lain pembangunan nasional harus dimulai dari desa. Undang-undang Desa No. 6 tahun 2014 lahir sebagai usaha penyempurnaan tujuan diadakannya pembaharuan desa. Semangat yang coba dihembuskan undang-undang ini adalah semangat “Desa Membangun” dan “Membangun Desa”. Desa Membangun yaitu menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, yaitu desa merencanakan, melaksanakan, dan menerima manfaat pembangunan. Sedangkan Membangun Desa yaitu pemerintah melibatkan masyarakat desa dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Artinya adalah bahwa diharapkan adanya sinergitas antara Desa dengan Negara dalam proses pembangunan. Harapan saat ini adalah dengan pemberian kewenangan kepada desa untuk mandiri, desa dapat menyukseskan pelaksananaan desentralisasi daerah sebagai bagian dari agen pembangunan dan pelayanan publik yang lebih prima. Dengan desa menjadi maju maka eksistensi desa dalam kerangka NKRI akan tetap terjaga dan dengan itu pemerataan ekonomi menjadi sebuah keniscayaan karena kemiskinan pedesaan yang selama ini menjadi sebuah beban bagi pemerintah dapat berkurang. DAFTAR PUSTAKA Buku Abdullah,
Taufik. 1984. “Studi tentang Minangkabau”, dalam Ahmad Ibrahim (ed.). Minangkabau Minangrantau. Medan: Penerbit Madju. Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk Indonesia 2010. Breman, Jan. 1980. The Village on Java and The Early Colonial State. Rotterdam: CASP. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ARTIKEL Burger,
D.H. 1962. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia (3rd Edition). Jakarta : Pradnjaramita. Diradjo, Ibrahim Dt. Sanggoeno. 2015. Tambo Alam Minangkabau : Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Eko, Sutoro (ed). 2005. Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE PRESS Eko, Sutoro. 2008. Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Otonomi Desa. IRE’s Insight Working Paper/Eko/II/Februari. Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta. Eko, Sutoro. Jalan Panjang Pembaharuan Desa (Pengantar : Epilog) dalam Kusmanto, Heri, dkk. 2007. Desa Tertekan Kekuasaan. Medan: BITRA Indonesia. Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mas'oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES. Nurcholis, Hanif. 2013. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa dalam Jurnal Desentralisasi, Vol. 11, No. 2, hal. 401-417. Schrieke, B. 1960. Indonesian Sosiological Studies.:The Position Of The Regents From The Days Of the Dutch East India Company To The Constitutio-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
nal Regulation of 1854. Bandung : Sumur Bandung. Von Benda-Beckmann. 2007. Franz dan Von Benda-Beckmann, Keebet. Identitas-Identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau, dalam Politik Lokal di Indonesia. Editor Henk S. Nordholt dan Gary van Klinken. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Zakaria, R. Yando. 2000. Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta : Elsam. Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
75
ARTIKEL
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus Staf pada Bagian Hukum dan Organisasi Lembaga Administrasi Negara LATAR BELAKANG Sejarah pengaturan mengenai desa yang tersusun dalam hukum formil sudah ada semenjak republik ini baru seumur jagung. Mulai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UndangUndang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa. Padahal hingga saat ini, Indonesia mempunyai sedikitnya 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi di ranah desa, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan yang selama ini menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1
Dalam Penjelasam Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 1
76
Setelah Rancangan Undang-Undang Desa disahkan pada Januari 2014, lahir peraturan mengenai desa yang membawa semangat pembaharuan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa). Namun dalam pelaksanaannya, muncul permasalahan kewenangan untuk mengurus desa yang sesuai dengan amanah UU Desa tersebut. Saat ini ada lebih dari satu kementerian yang menyatakan diri mempunyai kewenangan dalam mengurus desa, baik dalam hal merumuskan kebijakan maupun terkait dengan kewenangan untuk melakukan pengawalan implementasi UU Desa yang menjadi harapan besar untuk pembangunan dan pengembangan desa. RUMUSAN PERMASALAHAN a.
b.
c.
Bagaimana pengaturan mengenai batasbatas kewenangan antar kementerian mengenai desa jika dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan peraturan turunannya (Peraturan Presiden hingga pada peraturan pelaksananya)? Hal apa saja yang di diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam berbagai bentuk peraturan turunannya? Apakah berbagai bentuk peraturan turunan yang ada sekarang sudah mencerminkan semangat dan amanat UU Desa? Adakah atau sejauh manakah potensi disharmoni dalam peraturan perundangundangan yang dimaksud di atas?
PEMBAHASAN Penggunaan istilah “Menteri” dalam UU Desa merujuk pada 2 (dua) institusi yang berbeda. Pasal 1 UU Desa menyebutkan bahwa Menteri yang dimaksud di sana adalah menteri yang menangani Desa. Sedangkan di dalam penjelasan umum penjelasan mengenai istilah Menteri adalah : JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedudukan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksana-an Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakat-an Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
lankan amanat serta pengawalan UU Desa. Hanya saja, pada saat lahirnya UU Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi belum dibentuk sehingga penyebutan “Menteri” dalam UU Desa masih mengacu pada Menteri Dalam Negeri. Dalam perkembangannya, “Menteri” yang menangani desa mulai disebutkan secara jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UndangUndang Desa, yang juga mengalami perubahan antar kedua peraturan tersebut, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Lalu, dalam penjelasan Pasal 112 (Ayat 1 dan 3) pun disebutkan yang dimaksud pemerintah saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Sementara itu, berdasarkan nomenklaturnya maupun visi-misi yang dibangun, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi diharapkan dapat menjaDasar Hukum
Konteks Penggunaan Istilah Menteri
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
Menteri adalah menteri yang menangani Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015
Menghapus istilah menteri sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 dan langsung menyebutkan menteri mana yang memiliki wewenang untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang diamanahkan untuk dibentuk, antara lain sebagai berikut:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
1.
Tata cara pengubahan status Desa menjadi Desa adat diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 28 Ayat 2)
2.
Penataan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 32)
3.
Penetapan kewenangan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 39 Ayat 1)
4.
Pemilihan Kepala Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 46)
5.
Sekretariat Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 62 ayat 3)
6.
Pelaksana teknis sebagai pelaksana tugas operasional diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam ne77
ARTIKEL Dasar Hukum
Konteks Penggunaan Istilah Menteri geri (Pasal 64 Ayat 3) 7.
Ketentuan mengenai Kepala Desa dan Perangkat Desa diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 70)
8.
Pakaian dinas dan atribut Kepala Desa dan Perangkat Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 71 Ayat 2)
9.
Tahapan, tata cara, dan mekanisme penyelenggaraan musyawarah Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 80 Ayat 5)
10. Pedoman teknis mengenai peraturan di Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 89) 11. Pengalokasian ADD dan pembagian ADD kepada setiap Desa diatur dengan peraturan bupati/ walikota (Pasal 96 Ayat 4) 12. Tata cara penundaan dan/atau pemotongan dana perimbangan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan yang ditetapkan setelah dikoordinasikan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 96 Ayat 8) 13. Ketentuan mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain diatur dengan peraturan bupati/walikota (Pasal 100 Ayat 4) 14. Pengelolaan kekayaan milik Desa diatur dengan peraturan Desa dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan 78
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Dasar Hukum
Konteks Penggunaan Istilah Menteri di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 110 Ayat 2) 15. Pengelolaan kekayaan milik Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 113) 16. Tata cara pendirian, pengurusan dan pengelolaan, serta pembubaran BUM Desa dan BUM Desa Bersama diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat Desa berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 142) 17. Tata cara kerja sama Desa di bidang Pemerintahan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 149) 18. Lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 153)
Tabel 1. Konteks penggunaan istilah Menteri. Pembagian kewenangan mengenai desa yang menuai polemik baik di masyarakat hingga kalangan pemerintahan, memicu terbitnya Peraturan Presiden untuk membedakan dan menjelaskan secara rinci batas-batas kewenangan yang masing-masing tertuang dalam Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. KEWENANGAN KEMENTERIAN NEGERI TERKAIT DESA
DALAM
Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri mengatur tentang kewenangan, tugas, dan fungsi Kementerian Dalam Negeri terkait penyelenggaraan pemerintahan Desa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 berikut: JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pasal 2 Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi: a.
perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa, pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah, 79
ARTIKEL
b.
c. d. e. f.
g. h. i. j.
serta kependudukan dan pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri; pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri; pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Dalam Negeri; pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Dalam Negeri di daerah; pengoordinasian, pembinaan dan pengawasan umum, fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pemerintahan dalam negeri; pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pemerintahan dalam negeri; pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah; dan pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.
KEWENANGAN KEMENTERIAN DESA, PDT, DAN TRANSMIGRASI TERKAIT DESA Perpres No. 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi mengatur kewenangan, tugas, dan fungsi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3 berikut: Pasal 2 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, 80
dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyelenggarakan fungsi: a.
b.
c. d.
e.
f.
g.
perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal, penyiapan, pembangunan permukiman, dan pengembangan kawasan transmigrasi; koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; pelaksanaan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta pengelolaan informasi di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi; dan pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dari ketentuan dua Perpres di atas yang menjelaskan batas wewenang dan penjabaran tugas dan fungsi masing-masing kementerian, jelas terdapat pembedaan yang mendasar namun tetap saling bersinggungan antar kementerian terkait. Kementerian Dalam Negeri mengurusi pemerintahan desa dengan batas-batas perumusan, penetapan, dan peJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa laksanaan kebijakan di bidang politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa. Sedangkan wewenang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi lebih dititikberatkan pada penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa dengan melaksanakan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan desa dan kawasNo.
an perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa. AMANAH PERATURAN PELAKSANA UU DESA Terkait dengan pelaksanaan UU Desa, terdapat beberapa hal yang menjadi amanah untuk dibentuk peraturan lebih lanjut yaitu dengan Peraturan Pemerintah. Berikut adalah rincian ketentuan yang menjadi amanah agar dijabarkan dalam bentuk peraturan pelaksanaanya:
Peraturan Pelaksana
Keterangan
1.
Tata Cara Pemilihan Kepala Desa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 31 Ayat 3)
2.
Pemberhentian Kepala Desa diatur lebih lanjut dalam PP (Pasal 40 Ayat 3)
3.
Musyawarah Desa diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 47 Ayat 6)
4.
Perangkat Desa diatur lebih lajut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 50 Ayat 2)
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tata Cara Pemilihan Kepala Desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 40-Pasal 46). PP ini menyebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, yang saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa dan Peraturan Daerah. Peraturan yang mengatur mengenai pemberhentian kepala desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 54-Pasal 60). PP ini menyebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang mengatur mekanisme pemberhentian kepala desa. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Pemberhentian Kepala Desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU Desa (Pasal 80). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, yang saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai perangkat desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 dan PP No. 43 Tahun 2014 (beberapa ketentuan masih mengacu pada PP No. 43 Tahun 2014, dan ada 2 pasal yang diubah dan diatur dalam PP No. 47 Tahun 2015).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
81
ARTIKEL No.
Peraturan Pelaksana
5.
Pemberhentian Perangkat Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 53 Ayat 4)
6.
Besaran penghasilan tetap dan tunjangan serta penerimaan lainnya yang sah diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 66 Ayat 5)
7.
Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 75 Ayat 3)
82
Keterangan Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang mengatur mengenai perangkat desa. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pemberhentian perangkat desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 68-Pasal 70). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang mengatur mengenai pemberhentian perangkat desa. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai penghasilan tetap dan penerimaan lainnya adalah PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU Desa (Pasal 81-Pasal 82). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang mengatur mengenai penghasilan tetap dan penerimaan lainnya. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai keuangan desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 dan PP No. 43 Tahun 2014 (beberapa ketentuan masih mengacu pada PP No. 43 Tahun 2014, dan ada beberapa pasal yang diubah dan diatur dalam PP No. 47 Tahun 2015). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri. Saat ini, sudah terdapat beberapa peraturan menteri yang mengatur mengenai keuangan desa, antara lain sebagai berikut: 1. PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan PP No. 22 Tahun 2015; 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa; 3. Peraturan Menteri Keuangan No. 93 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa; 4. Peraturan Menteri Keuangan No. 241 Tahun 2014 tentang Transfer Dana Daerah dan Desa; JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa No.
Peraturan Pelaksana
Keterangan 5.
8.
Peraturan Menteri Keuangan No. 250 Tahun 2014 tentang Pengalokasian Transfer Dana Daerah dan Desa; 6. Peraturan Menteri Keuangan No. 263 Tahun 2014 Sistem Akuntansi dan Pelaporan Dana Desa; Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 118 Ayat 6) Tabel 2. Amanah UU Desa yang harus dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
PENUTUP Pengaturan mengenai desa menimbulkan polemik tentang potensi disharmoni kewenangan antar kementerian, hingga pada implementasi kebijakan peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih satu sama lain. Identifikasi dan kajian mengenai hal ini dirasa sangat perlu untuk memberikan kejelasan mengenai batas-batas kewenangan hingga pada kejelasan pengaturan dan terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait desa. Dalam pembahasan di muka dijelaskan bahwa dengan munculnya PP No. 11 Tahun
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan PP No. 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah memberikan kejelasan mengenai batas kewenangan antar dua kementerian yang pada pelaksanaanya pun juga perlu saling koordinasi. Demikian pula halnya dengan UU Desa yang juga perlu dilihat amanah penyusunan peraturan pelaksana dan aspek apa saja yang kiranya bisa diidentifikasi dan dilakukan klasifikasi peraturan perundang-undangan agar tercipta suatu sistem peraturan perundang-undangan yang harmonis dalam rangka mengoptimalkan implementasi UU Desa.
83
Petunjuk Penulisan JURNAL DESENTRALISASI merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau pengamat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah dan otonomi daerah. Topik jurnal desentralisasi mencakup berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut : 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm. 3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, sedangkan posisi judul gambar berada di atas gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas : a. Judul tulisan; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge.
84
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Ghalia Indonesia. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan alamat: Redaksi Jurnal Desentralisasi Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115 Email :
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang layak kepada penulis.***
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
85