DAYA DUKUNG EKOLOGIS DAN PSIKOLOGIS EKOWISATA DI KEBUN RAYA CIBODAS
WULANDARI DWI UTARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Daya Dukung Ekologis dan Psikologis Ekowisata di Kebun Raya Cibodas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesisi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Wulandari Dwi Utari NIM E352100071
RINGKASAN WULANDARI DWI UTARI. Daya Dukung Ekologis dan Psikologis Ekowisata di Kebun Raya Cibodas. Dibimbing oleh RICKY AVENZORA dan TUTUT SUNARMINTO. Kebun Raya Cibodas (KRC) sebagai salah satu target tujuan wisata terutama oleh penduduk kota besar di sekitarnya seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang serta pengunjung dari berbagai negara. KRC tidak hanya berfungsi sebagai tempat konservasi eksitu berbagai jenis tumbuhan, tetapi juga memiliki sumberdaya rekreasi yang menarik minat orang untuk berekreasi. Selain karena sumberdaya rekreasinya, posisi KRC yang strategis di kawasan Puncak dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menjadikan KRC memiliki keunikan dan kelengkapan daya tarik yang membuat wisatawan tidak pernah bosan untuk kembali berkunjung ke KRC sehingga jumlah wisatawan di KRC tetap terus meningkat. Peningkatan jumlah wisatawan yang terjadi di Kebun Raya Cibodas (KRC) dalam satuan waktu yang sama, akan mempengaruhi kondisi ekologis kawasan dan psikologis wisatawan, sehingga bila daya dukung area ekowisata KRC tidak diperhatikan, dipastikan dalam jangka waktu panjang secara terus menerus akan timbul kerusakan kondisi ekologis kawasan dan gangguan kondisi psikologis wisatawan yang dapat dicirikan dari sisi kepuasan wisatawan yang semakin menurun dan untuk itulah penelitian ini dilakukan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis karakteristik, motivasi dan persepsi wisatawan KRC, kemudian menganalisis dampak ekologis langsung pada tapak KRC sebagai kawasan ekowisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi serta menganalisis dan merumuskan nilai daya dukung fisik dan riil tapak kawasan KRC, dengan pendekatan ekologis dan psikologis wisatawan. Metode pengamatan langsung digunakan untuk mengetahui kondisi ekologis tapak (biotik dan abiotik) dan pengamatan wisatawan baik pengamatan jumlah keluar-masuk wisatawan, luas penggunaan ruang serta lama waktu setiap aktivitas wisatawan di dalam KRC berdasarkan periode waktu yang telah ditentukan. Data psikologis wisatawan (karakteristik, motivasi, dan kepuasan) menggunakan kuesioner close-ended, secara random sampling dengan jumlah minimal 30 responden dalam setiap periode waktu dan hari pengamatan. Analisis daya dukung mengacu pada Cifuentes (1992) dalam Ceballos-Lascurain (1996), yang mengukur nilai daya dukung dari suatu tapak wisata berdasarkan daya dukung fisik (Physical Carrying Capacity/PCC) dan daya dukung riil (Real Carrying Capacity/RCC). Perkembangan jumlah wisatawan KRC dalam 5 tahun terakhir mengalami peningkatan 39.2% (tahun 2008 – 2012) dengan persentase wisatawan tertinggi (45%) berasal dari Jakarta-Depok-Bekasi. Rata-rata proporsi harian wisatawan tertinggi (tahun 2008 – 2012) adalah pada hari Minggu yang merupakan Peak Visit pada hari libur dengan proporsi hariannya 41.22% (3 682 wisatawan). Penelitian menunjukkan bahwa dua indikator kondisi ekologis yang dipengaruhi langsung oleh injakan atau trampling effect wisatawan adalah produktivitas dan pertumbuhan rumput dan tingkat penetrasi tanah. Motivasi wisatawan tertinggi di KRC baik pada peak visit, condensed visit dan low visit adalah untuk menikmati
udara segar, demikian juga tingkat kepuasan wisatawan pada peak visit dan condensed visit. Tetapi pada low visit, tingkat kepuasan tertinggi wisatawan adalah untuk menikmati pemandangan alam. Berdasarkan analisis ternyata tingkat kepuasan wisatawan tidak dipengaruhi oleh perubahan periode waktu yang berkaitan dengan perubahan jumlah wisatawan atau kepadatan wisatawan di dalam area KRC. Rerata keseluruhan kebutuhan ruang wisatawan KRC untuk kegiatan rekreasi dan wisata, berdasarkan keenam kegiatan yaitu piknik, duduk, makan, bermain, berkumpul dan foto-foto, adalah 2.3395 m2/wisatawan, sehingga nilai Physical Carrying Capacity (PCC) KRC dalam satu hari dapat menampung hingga 346 717 orang wisatawan. Adapun nilai daya dukung riil (Real Carrying Capacity/RCC) KRC dengan hanya memperhitungkan faktor koreksi ekologis saja menjadi 150 683 orang wisatawan/hari. Apabila dengan memperhitungkan kedua faktor koreksi yaitu faktor koreksi ekologis dan psikologis, nilai RCC menjadi 141 822 orang wisatawan/hari. Total jumlah wisatawan KRC per harinya masih belum melampaui nilai RCC tersebut. Berdasarkan data total jumlah wisatawan tertinggi KRC pada tanggal 1 Januari 2013 adalah 5 996 wisatawan dan nilai tersebut masih dibawah nilai RCC, sehingga nilai RCC dapat menjadi batas maksimal jumlah wisatawan yang masuk ke dalam KRC dalam satu hari dengan pertimbangan kondisi ekologis dan psikologis wisatawan. Pengelola KRC masih dapat meningkatkan jumlah wisatawan yang masuk ke KRC dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi ekologis kawasan dan psikologis dari wisatawan KRC. Kata kunci: daya dukung, ekologis, psikologis, ekowisata
SUMMARY WULANDARI DWI UTARI. The Ecological and Psychological Carrying Capacity of Ecotourism in Cibodas Botanical Garden. Supervised by RICKY AVENZORA and TUTUT SUNARMINTO. Cibodas Botanical Garden (CBG) as one of the target tourism destinations primarily by residents of the surrounding major cities such as Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi and Karawang, also visitors from various countries. Cibodas Botanical Garden (CBG) not only as an exsitu conservation area of various species of plants, but it also have recreational resources that attract people for recreation. In addition to its recreational resources, CBG strategic position at the Puncak region and directly adjacent to the Gunung Gede Pangrango National Park (TNGGP), and CBG has unique and completeness of attraction that makes tourists never bored for a return visit so that the number of tourists in CBG still continue to increase. Number of tourists increase in the same time unit, such as that occurred in CBG, would affect ecological condition of the area and the psychological condition of tourists. Continuous ignorance of CBG carrying capacity would destruct ecological condition of the ecotourism area, and disturb the psychological condition of the tourists or, in terms of tourists’ satisfaction, would decrease their satisfaction and for which the study was conducted. The research was aimed at analyzing of the characteristics, motivations, and satisfaction perception of CBG tourists, analyzing of the ecological impact directly at the CBG site as ecotourism area with high-level visits, and also analyzing and calculating of the Physical Carrying Capacity (PCC) and Real Carrying Capacity (RCC) of CBG based on ecological and psychological approach. The direct observation methods are used to determine the condition of the ecological footprint (biotic and abiotic), to observe the number of tourists coming in and out, the widely used space, and also the time of every tourist activity in CBG based on the predetermined period of time. The data of tourist psychological used method of close-ended questionnaires, random sampling with a minimum of 30 respondents in each time period and days of observation. Analysis of the carrying capacity used in the study refers to Cifuentes (1992) in CeballosLascurain (1996), which measures the value of carrying capacity of a tourist site based on Physical Carrying Capacity (PCC) and Real Carrying Capacity (RCC). Development of the tourist numbers in the last 5 years has increased 39.2% (2008-2012 year), with the highest percentage (45%) coming from Jakarta-DepokBekasi. The highest average daily proportion of tourists was on Sunday which was a Peak Visit on day off, with a daily proportion of 41.22% (3 682 tourists). The result showed that there were two ecological indicators which directly affected by tourists’ trampling effect, i.e. grass (productivity and growth of grass) and soil (rate of soil penetration). The highest tourist motivation in CBG at peak visit, condensed visit and low visit were to enjoy the fresh air, as well as the level of tourist satisfaction at the peak and condensed visit. But at the low visit, the highest tourist satisfaction were to enjoy the natural scenery. Results of analysis showed that the level of satisfaction of tourists is not affected by the changes of
time period that relating to the changes in the number of tourists or the density of tourists in the CBG area. Average number of tourists’ need of space was 2.3395 m2 per tourist. The number was calculated based on six activities: picnic, sitting, eating, playing, gathering and photography. Therefore, in terms of PCC, CBG could take in 346 717 tourists per day. The RCC of CBG, which was calculated using the ecological correction factor, was 150 683 tourists per day and if using both the ecological and psychological correction factor, was 141 822 tourists per day. The total number of CBG tourists per day was still not beyond the value of the RCC. Based on the total number of tourists in the CBG on January 1, 2013 were 5,996 tourists and the value was still under the value of the RCC, so the value of the RCC could be set as the maximum limit number of tourists per day for the CBG, considering the ecological condition of the area and the psychological condition of the tourists. Managers of CBG can still increase the numbers of tourists who entered CBG while maintaining to the condition development of area ecological and psychological of the CBG tourists. Keywords: carrying capacity, ecological, psychological, ecotourism
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYA DUKUNG EKOLOGIS DAN PSIKOLOGIS EKOWISATA DI KEBUN RAYA CIBODAS
WULANDARI DWI UTARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Frans Teguh, MA
Judul Tesis : Daya Dukung Ekologis dan Psikologis Ekowisata di Kebun Raya Cibodas Nama : Wulandari Dwi Utari NIM : E352100071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ricky Avenzora, MScF Ketua
Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Ricky Avenzora, MScF
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 6 Mei 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 hingga Maret 2013 ini berjudul Daya Dukung Ekologis dan Psikologis Ekowisata di Kebun Raya Cibodas. Kesadaran mengenai masalah lingkungan yang meningkat, sehingga membuat perubahan paradigma pembangunan pariwisata konvensional menjadi ke arah pariwisata berkelanjutan, yang dalam konsepnya memperhatikan daya dukung kawasan wisata. Kapasitas maksimum daya dukung kawasan wisata perlu diketahui agar keberlanjutan dari daerah tujuan wisata tetap terjaga. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ricky Avenzora, MScF dan Bapak Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dalam membangun kerangka berpikir dan analisis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr Frans Teguh, MA selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan dalam menyelaraskan hasil penelitian dengan perkembangan pariwisata. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sutono dari Laboratorium Fisik Tanah Bogor, dan Ibu Sri Astutik beserta staf LIPI Kebun Raya Cibodas yang telah membantu selama proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orangtua dan suami tercinta serta seluruh keluarga besar, rekan-rekan, dan semua pihak yang telah mendoakan, memotivasi, dan membantu menyelesaikan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Wulandari Dwi Utari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 4 7 7 7
2 TINJAUAN PUSTAKA
8
3 METODE Waktu dan Tempat Alat dan Obyek Penelitian Jenis dan Metode Pengambilan Data Analisis Data
23 23 23 23 27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wisatawan Kebun Raya Cibodas Kondisi Ekologis Kebun Raya Cibodas Kondisi Psikologis Wisatawan Kebun Raya Cibodas Daya Dukung Fisik Kebun Raya Cibodas Daya Dukung Riil Kebun Raya Cibodas Penetapan dan Penggunaan Nilai Daya Dukung
30 30 31 35 42 55 59
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
61 61 61
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
66
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kelas resistensi penetrasi tanah Jenis sumber dan teknik pengambilan data primer dalam penelitian Jenis sumber dan teknik pengambilan data sekunder Proporsi harian rata-rata jumlah wisatawan KRC 5 tahun terakhir (2008-2012) Skala kriteria nilai tingkat motivasi dan kepuasan wisatawan KRC Tingkat motivasi wisatawan pada hari biasa di KRC Tingkat motivasi wisatawan pada hari Sabtu di KRC Tingkat motivasi wisatawan pada hari Minggu di KRC Rerata motivasi wisatawan di KRC Tingkat persepsi kepuasan wisatawan pada hari biasa di KRC Tingkat persepsi kepuasan wisatawan pada hari Sabtu di KRC Tingkat persepsi kepuasan wisatawan pada hari Minggu di KRC Rerata tingkat kepuasan wisatawan di KRC Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan piknik Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan duduk Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan bermain Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan makan Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan berkumpul Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan berfoto Proporsi luas penggunaan ruang untuk setiap kegiatan per orang di KRC Rincian penggunaan area di KRC
14 24 24 31 35 36 36 37 37 38 38 39 39 44 46 48 49 51 53 53 54
DAFTAR GAMBAR 1 Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia 2 Kerangka pemikiran penentuan daya dukung ekologis dan psikologis ekowisata di Kebun Raya Cibodas 3 Dampak pada lokasi rekreasi 4 Total jumlah wisatawan di KRC dalam 5 tahun terakhir 5 Persentase kadar air dalam rumput pada setiap kondisi di KRC 6 Rerata tinggi rumput pada setiap kondisi di KRC 7 Biomassa rumput pada setiap kondisi di KRC 8 Kadar air dalam tanah pada setiap kondisi di KRC 9 Tingkat penetrasi tanah dalam setiap kondisi di KRC 10 Tingkat motivasi dan kepuasan wisatawan di KRC 11 Pola keluar-masuk pengunjung pada hari biasa di KRC 12 Pola keluar-masuk wisatawan pada hari Sabtu di KRC 13 Pola keluar-masuk wisatawan pada hari Minggu di KRC 14 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan piknik 15 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan duduk 16 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan bermain 17 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan makan
2 6 19 31 32 33 33 34 34 40 41 41 42 43 45 47 48
18 19 20 21
Pola pengunaan ruang untuk kegiatan berkumpul Pola penggunaan ruang untuk kegiatan berfoto Rata-rata pola keluar-masuk wisatawan Kebun Raya Cibodas Tingkat kepuasan wisatawan dan jumlah wisatawan pada setiap periode di KRC
50 52 54 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Gambar lokasi penelitian di daerah tujuan wisata Kebun Raya Cibodas Karakteristik wisatawan Kebun Raya Cibodas Hasil identifikasi jenis tumbuhan pada setiap kondisi di KRC Hasil uji Anova dan Duncan untuk kondisi ekologis rumput Hasil uji Anova dan Duncan untuk kondisi ekologis tanah
66 67 68 69 70
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan paradigma pariwisata internasional, berawal dari pariwisata yang hanya mempertimbangkan dan memperhatikan banyaknya jumlah wisatawan saja, kurang memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan dari masyarakat sekitar, sedangkan permintaan pariwisata saat ini telah menjadi permintaan produk wisata yang mengedepankan faktor lingkungan dan sosial budaya sebagai daya tarik utama. Kehidupan manusia yang berproses dalam waktu, terbukti dipengaruhi oleh cara hidupnya, dengan perilaku yang tidak menghargai dan menjaga kelestarian lingkungan juga akan memberikan dampak terhadap manusia itu sendiri. Telah menjadi fakta bahwa kegiatan pariwisata memberikan dampak pada aspek sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi pada daerah tujuan wisata dengan disertai implikasi tertentu (Cooper et al. 1998: 185) Kebutuhan ruang untuk berekreasi akan bertambah dengan meningkatnya populasi manusia di perkotaan. Kondisi tersebut telah terjadi di negara-negara besar seperti Amerika dan Eropa, dialami juga di Indonesia contohnya di Jakarta sebagai pusat ibukota yang jumlah penduduknya bertambah baik karena jumlah kelahiran tetapi juga urbanisasi. Berdasarkan data BPS Kependudukan di Propinsi DKI Jakarta (2013) terjadi kenaikan jumlah penduduk 16.33% selama 20 tahun yaitu tahun 1990 hingga 2010 dari 8 259 266 jiwa menjadi 9 607 787 jiwa. Propinsi Jawa Barat selama 20 tahun tersebut mengalami kenaikan populasi penduduk 17.81% yaitu 35 384 352 jiwa menjadi 43 053 732 jiwa. Pertumbuhan populasi tersebut akan memberikan dampak terhadap permintaan rekreasi, yaitu rekreasi dengan konsep pariwisata yang lebih luas. Peningkatan permintaan atau demand akan pariwisata, menurut Cooper et al. (1999: 2-3) di abad keduapuluh telah menjadikan pertumbuhan pariwisata yang berkelanjutan baik sebagai aktivitas dan suatu industri. Hal tersebut sesuai perkiraan WTTC (1996) bahwa pada pertengahan 1990-an pariwisata menjadi suatu industri terbesar di dunia. Pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung menghasilkan dan mendukung 204 juta pekerjaan, yang setara dengan lebih dari 10% tenaga kerja dunia dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 11% tenaga kerja global dalam tahun-tahun awal millennium berikutnya. Berdasarkan data UNWTO (2012) kondisi perkembangan pariwisata dunia saat ini pun telah melebihi tahun-tahun sebelumnya, pada pertengahan tahun 2012 (Januari-Agustus 2012), yaitu jumlah kedatangan wisatawan internasional di dunia telah mencapai 704 juta wisatawan, dan telah meningkat 5% dari tahun 2011. Periode pertengahan tahun sebelumnya yaitu tahun 2011 (Januari-Agustus 2011) jumlah wisatawan internasional mencapai 671 juta wisatawan atau naik 29 juta wisatawan dari tahun 2010 pada periode yang sama yang berjumlah 642 juta wisatawan. Alikodra (2012: 328) menyebutkan bahwa pariwisata global dengan pertumbuhan yang sangat pesat telah menjadi industri raksasa dunia, dan sejak tahun 1999 pendapatan nasional bruto dunia, perkembangannya telah mencapai 12% menurut US Dept. of Commerce (1990). Kondisi tersebut ternyata telah mengancam kelestarian bumi, karena pariwisata banyak memberikan dampak
2 negatif di daerah tujuan wisata. Berhadapan dengan kondisi lingkungan yang juga mengalami perubahan, maka masalah lingkungan semakin mengkhawatirkan karena beban wisata yang semakin berat, selain itu jumlah pendapatan yang diterima masyarakat di daerah tujuan wisata relatif kecil, untuk itu diperlukan model pengelolaan wisata yang tidak merusak sumberdaya alam dan lingkungannya, bahkan diharapkan dapat memberikan nilai yang positif secara ekologi, sosial-budaya dan ekonomi di daerah tujuan wisata. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan juga terjadi di Indonesia yaitu peningkatan jumlah total kunjungan wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia dan khususnya di Ibukota Jakarta (Gambar 1), tingkat permintaan pariwisata pun meningkat. Pariwisata yang berkembang di Indonesia memang masih banyak yang mengacu pada wisata masal dan perkembangan untuk menuju konsep pariwisata yang berkelanjutan mengacu pada ecotourism masih dalam proses atau tahapan yang membutuhkan waktu untuk diperbaiki dan disempurnakan. Secara global pariwisata dunia memang telah berubah menjadi konsep pariwisata berkelanjutan, dimana konsep tersebut berasal dari ide dasar pembangunan berkelanjutan yaitu kelestarian sumberdaya alam dan budaya. Setiap orang saat ini membutuhkan sumberdaya, agar dapat hidup dengan sejahtera, tetapi keberadaan sumberdaya tersebut harus dipelihara dan dilestarikan agar generasi di masa yang akan datang masih dapat menggunakannya. Total Indonesia 8 044 462 8,000,000
Jumlah (orang)
7,000,000 6,000,000 5,000,000
Bandara Soekarno-Hatta Jakarta 2 053 850
4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
Gambar 1 Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia Sumber: BPS Pariwisata (2013)
Konsep pariwisata berkelanjutan tersebut, bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dan telah menjadi target dalam Agenda 21 For The Travel Tourism Industry, yaitu adanya harmonisasi pengelolaan pariwisata dengan lingkungan lokal, masyarakat dan budaya (Gunawan 2000: xvi). Avenzora (2008: 13) juga mengemukakan bahwa konsep sustainability dalam setiap sektor pembangunan, termasuk pariwisata, mensyaratkan untuk membangun dan memelihara the 3 pilars of sustainability, yaitu pilar ekologi, pilar sosial-budaya dan pilar sosial-ekonomi. Pariwisata tersebut mengacu pada terminologi ekowisata (ecotourism) dan konsep ecotourism menjadi tidak sempurna bila hanya ditujukan pada area destinasi, tetapi pendefinisian ekowisata harus secara holistik,
3 bahwa terdapat 5 tahap kegiatan yang harus terkait dengan ecotourism yaitu mulai dari tahap perencanaan, perjalanan menuju destinasi, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi hingga rekoleksi. Ecotourism sebenarnya adalah suatu prinsip bahkan roh atau jiwa bagi apapun bentuk kepariwisataan (Avenzora 2008: 14), maka konsep ini dapat menjadi acuan bagi berbagai destinasi wisata di Indonesia. Salah satu destinasi wisata yang telah lama ada dan berkembang di Indonesia adalah Kebun Raya Cibodas (KRC) yang tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat konservasi eksitu berbagai jenis tumbuhan, namun juga memiliki nilai sumberdaya rekreasi. Menurut Avenzora (2008: 243) sumberdaya rekreasi adalah suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu, yang mengandung elemen dan fenomena ruang tertentu, yang pada waktu tertentu secara satu kesatuan, dapat menarik minat orang untuk berekreasi dan menampung orang untuk melakukan kegiatan rekreasi di tempat tersebut. Melalui pendekatan ruang maka aktivitas pengunjung KRC, baik kebutuhan ruang dan waktu para pengunjung hingga daya dukung dari kawasan KRC dapat diketahui. Keberadaan KRC sebagai salah satu destinasi tertua, yang dirintis dan dibangun di masa Belanda pada tahun 1830, memiliki peranan penting dalam dunia pariwisata karena menjadi salah satu target tujuan wisata oleh para penduduk dari berbagai kota besar sekitarnya seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Bekasi dan Karawang, serta pengunjung dari berbagai negara. Posisi KRC yang strategis di Kawasan Puncak dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) turut menjadi daya tarik tersendiri. Keunikan dan kelengkapan daya tarik KRC sebagai bentuk kawasan konservasi eksitu yang berbatasan langsung dengan TNGGP sebagai kawasan konservasi insitu, serta disertai dengan keberadaan perkebunan teh di Kawasan Puncak, yang telah ada sejak tahun 1728, membuat pengunjung seakan tidak pernah bosan untuk kembali berkunjung ke KRC. Kondisi tersebut selama puluhan tahun hingga saat ini, telah menimbulkan peningkatan pengunjung ke destinasi wisata Cibodas dimana KRC berada. Hal tersebut terlihat dari problematika kemacetan di jalur jalan menuju destinasi wisata Cibodas, terutama saat akhir pekan atau musim liburan yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Secara khusus dalam konteks KRC, peningkatan pengunjung dan keberadaan pengunjung yang terus menerus berulang akan memberikan dampak secara ekologis dan psikologis di lokasi tersebut. Peningkatan jumlah pengunjung yang terjadi di KRC dalam satuan waktu yang sama, dapat mempengaruhi kondisi ekologis kawasan dan psikologis pengunjungnya. Bila tidak memperhatikan daya dukung kawasan KRC, dipastikan dalam jangka waktu panjang secara terus menerus, maka akan merusak kondisi ekologis kawasan dan menganggu psikologis pengunjung atau dari sisi kepuasan pengunjung dapat semakin menurun. Keadaan tersebut bukanlah menjadi suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan, dan tidak sesuai dengan tujuan, pokok dan fungsi dari kebun raya, sehingga mengetahui daya dukung ekowisata dari KRC menjadi hal yang memang harus dilakukan demi keberlanjutan kawasan konservasi eksitu tersebut. Melakukan penghitungan daya dukung ekowisata, juga merupakan salah satu dari beberapa tindakan terpenting yang telah dirumuskan oleh para pakar dalam Agenda 21 (Gunawan 2000: 10) guna mendukung pariwisata berkelanjutan, sehingga tidak hanya menjadi hal yang terus-menerus dibahas tetapi menjadi tindakan yang harus dilakukan secara nyata. Oleh karena
4 itulah penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur nilai daya dukung fisik KRC sebagai kawasan ekowisata serta menganalisis dan merumuskan nilai daya dukung real KRC dengan pendekatan ekologis dan psikologis pengunjung agar kegiatan wisata yang ada hingga saat ini tidak menurunkan kualitas kawasan dan kenyamanan pengunjung di KRC sebagai kawasan konservasi eksitu yang menjadi bagian dari destinasi kawasan wisata Cibodas.
Perumusan Masalah Konsep perkembangan pariwisata berkelanjutan yaitu ekowisata yang menjadi bahasan dalam studi ini adalah berawal pada konsep pariwisata yang umumnya kurang memperhatikan kondisi lingkungan. Pariwisata yang telah menjadi industri besar tersebut ternyata dengan berbagai kegiatan wisata yang berkembang hingga saat ini, memberikan dampak negatif baik terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat pada daerah destinasi wisata. Dengan kesadaran mengenai masalah lingkungan, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan pariwisata konvensional menjadi pariwisata yang berkelanjutan yang dalam konsepnya memperhatikan daya dukung kawasan pariwisata. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dapat mengancam kelestarian sumberdaya dalam kawasan pariwisata apabila pemanfaatannya melampaui daya dukung kawasan tersebut. Untuk itu kapasitas maksimum daya dukung perlu diketahui agar keberlanjutan dari daerah tujuan wisata tetap terjaga. Banyak kasus dari berbagai negara tujuan wisata yang pada intinya bahwa pariwisata konvensional cenderung mengancam kelestarian sumberdaya pariwisata, karena daya dukung (carrying capacity) fisik dan sosial setempat telah diabaikan dalam pembangunan banyak resort eksklusif. Apabila hal tersebut terus berlanjut maka kelestarian obyek daerah tujuan wisata akan terancam dan pariwisata pun tidak dapat berkembang lebih lanjut. Selain itu kepuasan wisatawan sangat bergantung pada sumberdaya yang disajikan dan jasa serta pelayanan para pelaku wisata (stakeholders), yang memang harus menjamin bahwa kepuasan yang diperoleh wisatawan optimal. Dengan kepuasan wisatawan yang diberikan dalam jangka panjang dan dalam bentuk pengalaman yang lengkap (total experience), maka pariwisata tersebut dapat bertahan lama atau berkelanjutan. Menurut Damanik (2006: 25-26) untuk itulah konsep pariwisata berkelanjutan diarahkan pada pembangunan sumberdaya (atraksi, aksesibilitas, amenitas) yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang. Studi daya dukung ini dilakukan di KRC, karena sebagai daerah tujuan wisata hingga saat ini tetap menjadi target kunjungan utama para wisatawan dari Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Hal tersebut tergambar dalam kenaikan jumlah wisatawan berdasarkan data jumlah tiket terjual di KRC, yaitu di tahun 2005 dengan jumlah 554 967 orang menjadi 603 279 orang wisatawan di tahun 2012. Perkembangan pariwisata di KRC hingga saat ini masih digambarkan dan dimaknai sebagai wisata masal karena berbagai persepsi dan pemaknaan mengenai ekowisata yang berkembang masih pada gambaran wisata yang dilakukan di kawasan yang alami. Untuk itu pendefinisian dari awal tentang
5 rekreasi juga menjadi penting karena berkaitan dengan pemaknaan ekowisata yang merupakan roh dan spirit dari semua kegiatan wisata yang ada di KRC. Penataan ruang yang dilakukan di KRC sesuai misinya yaitu untuk mendukung kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, dan rekreasi. Keberadaan pengunjung di KRC untuk rekreasi ataupun melakukan kegiatan wisata, tentunya menggunakan ruang sebagai tempat berekreasi. Berkaitan dengan ruang di KRC terutama ruang rekreasi, maka menurut Avenzora (2008a: 4) bahwa “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu, yang mengandung elemen dan fenomena ruang tertentu yang pada waktu tertentu dapat menarik minat orang untuk berekreasi, menampung orang untuk melakukan kegiatan rekreasi di tempat tersebut dan memberikan kepuasan orang berekreasi, disebut sebagai sumberdaya rekreasi”. Kemampuan untuk menampung orang tersebut sesuai pengertian daya dukung ruang, dalam hal ini daya dukung KRC yang akan berbeda dengan kawasan wisata lainnya, seperti dinyatakan oleh Cooper et al. (1998) bahwa daya dukung bersifat dinamis dan site specific, maka akan saling berbeda di setiap area, karena bergantung pada kondisi ekologis tapak, kondisi psikologis dari wisatawan, serta waktu terjadinya. Waktu terjadinya berkaitan dengan aspek seasonality wisata yaitu mengamati jumlah wisatawan dengan membedakan tipe hari (low, condensed dan peak visits) serta per periode waktu per harinya (Avenzora 2013: 521). Untuk itu menjadi hal penting mengetahui daya dukung ruang rekreasi KRC melalui pendekatan secara ekologis dan psikologis maka analisis daya dukung yang digunakan adalah analisis daya dukung fisik atau Physical Carrying Capacity (PCC) dan analisis daya dukung riil atau Real Carrying Capacity (RCC). Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran dapat terlihat pada Gambar 2 dan berikut yang menjadi detail kajian dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana sebenarnya karakteristik, motivasi dan persepsi wisatawan di KRC? 2. Bagaimana sebenarnya dampak ekologis langsung pada tapak KRC sebagai kawasan ekowisata dengan tingkat kunjungan yang termasuk tinggi? 3. Bagaimana dan berapa nilai daya dukung fisik dan riil tapak kawasan KRC, baik secara ekologis dan psikologis bagi wisatawan? Apakah telah optimal atau maksimal sehingga pemanfaatan ekowisata yang dilakukan dapat mengurangi atau meningkatkan penurunan kondisi ekologis dan bahkan terjadinya penurunan minat kunjungan ke KRC?
6
Gambar 2 Kerangka pemikiran penentuan daya dukung ekologis dan psikologis ekowisata di Kebun Raya Cibodas
7 Tujuan 1. 2. 3.
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut : Menganalisis karakteristik, motivasi dan persepsi wisatawan di Kebun Raya Cibodas. Menganalisis dampak ekologis langsung pada tapak Kebun Raya Cibodas sebagai kawasan ekowisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi. Menganalisis dan menghitung nilai daya dukung fisik dan riil tapak kawasan Kebun Raya Cibodas secara keseluruhan melalui pendekatan ekologis dan psikologis ekowisata di Kebun Raya Cibodas, sebagai kawasan konservasi eksitu yang menjadi bagian dari destinasi kawasan wisata Cibodas.
Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengelolaan ekowisata di Kebun Raya Cibodas sebagai kawasan konservasi eksitu. Dengan demikian diharapkan dapat terselenggara secara optimal, sehingga terbangun keberlanjutan ekologi kawasan dan psikologi wisatawan yang baik, yaitu kepuasan optimum dari wisatawan yang juga berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian dilakukan pada ruang lingkup pengelolaan kawasan Kebun Raya Cibodas dan perilaku wisatawan di dalam lokasi kawasan sebagai berikut: 1. Tapak Kebun Raya Cibodas yaitu area di sekitar pintu gerbang utama Kebun Raya dan Gedung Konservasi, area di sekitar kolam besar dan jalan air yang menjadi tujuan para wisatawan. 2. Wisatawan yang beraktivitas di dalam kawasan Kebun Raya Cibodas. 3. Pengelola kawasan Kebun Raya Cibodas.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata, Rekreasi dan Pariwisata Ekowisata atau ecotourism merupakan bentuk tourism dan untuk memahami tourism sebagai bagian dari pembangunan global dan dinamis, menurut Page dan Dowling (2002: 6) adalah penting untuk membedakan diantara tiga hubungan ketekaitan dari: tourism, leisure dan recreation. Avenzora (2008a: 3) menjelaskan bahwa tourism is multy sectoral in nature, dimana berbagai komponen dan aspek pengetahuan dikombinasikan dan diintegrasikan dalam suatu kesatuan dinamika. Penyederhanaan dapat dilakukan guna mempermudah dalam mempelajarinya, yaitu dengan mengenali determinan yang sangat signifikan mempengaruhi berbagai aspek dalam tourism. Determinan tersebut adalah (1) space (ruang) dan (2) time (waktu), sehingga mudah untuk dimengerti bahwa bagaimanapun juga aspek waktu pasti akan selalu mempengaruhi karakteristik setiap komponen dan aspek yang terlibat dalam suatu kegiatan tourism. Dalam memahami tourism dari variabel waktu Avenzora (2008a: 3) menyatakan bahwa fokus analisis dapat diarahkan pada time-budget, baik dari setiap individu atau populasi, dengan pola yang dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) existence time, (2) subsistence time, dan (3) leisure time. Terminologi existence time digunakan untuk menggambarkan waktu yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar harian mereka, seperti mandi, makan, tidur dan istirahat. Sedangkan terminologi subsistence time digunakan untuk menggambarkan waktu yang digunakan manusia guna melaksanakan aktifitas yang mereka perlukan untuk bisa terpenuhinya kebutuhan dasar mereka tersebut. Untuk leisure time lebih menggambarkan waktu dimana manusia bebas melakukan aktifitas lain setelah berbagai existence and subsistence activities terpenuhi. Setelah gambaran mengenai time-budget jelas, maka terlihat bahwa leisure hanyalah salah satu aktifitas alternatif yang dapat dipilih manusia untuk memanfaatkan leisure time mereka. Kemudian dapat pula dipahami bahwa recreation juga hanyalah bagian dari salah satu pilihan yang dapat manusia pilih diantara berbagai alternatif leisure activities lainnya. Konteks leisure studies, terdapat dua hal penting yang perlu dimengerti secara baik, yaitu: (1) the leisure time pattern, dan (2) the pattern of leisure activities. Guna mengukur peluang dan/atau kebutuhan rekreasi yang dapat dan/atau dibutuhkan oleh individu/populasi dalam waktu luang mereka, maka pola waktu luang perlu untuk dimengerti. Berikutnya the pattern of leisure activities atau pola aktivitas luang yaitu lebih mengilustrasikan pada tingkat partisipasi secara aktif yang diambil oleh individu dalam memanfaatkan waktu luang mereka. (Avenzora 2008a: 3). Definisi recreation oleh Douglas (1975: 6) yaitu: “any action that refreshes the mental attitude of an individual is recreation. Recreation is a wholesome activity that is engaged in for pleasure, therefore it is play”. Sebelumnya Slavson (1961) dalam Kraus (1977: 4) mengartikan bahwa: “Play and recreation … are leisure-time activities …motivated by pleasure and serve as diversions from the more pressing and serious occupations daily living.” Sedangkan Neumeyers seorang sociologists, yang mengambil bidang khusus leisure and recreation,
9 mendefinisikan bahwa: “Recreation is….any activity, either individual or collective, pursued during one’s leisure time. Being relatively free and pleasurable, it has its own appeal” (Neymeyer (1958) dalam Kraus (1977: 4)). Selanjutnya Kraus (1977: 5) mendefinisikan recreation secara modern dan lebih luas, yaitu: “recreation consists of an activity or experience, usually chosen voluntarily by the participant, either because of the immediate satisfaction to be derived from it, or because he perceives some personal or social values to be achieved by it. It is carried on in leisure time, and has no work connotations, such as study for promotion in a job. It is usually enjoyable and, when it is carried on as part of organized community or agency services, it is designed to meet constructive and socially worthwhile goals of the individual participant, the group, and society at large”. Pengertian recreation (rekreasi) tersebut menggambarkan bahwa rekreasi menjadi kebutuhan setiap pribadi manusia yang dilakukan pada waktu luang (leisure time) untuk menyegarkan kembali secara psikologis dirinya atau mentalnya, karena ada nilai pribadi dan sosial yang dapat dicapainya serta dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan. Douglas (1975: 6) mendefinisikan rekreasi lebih khusus pada individu manusia, sedangkan Kraus (1977: 5) selain secara individu manusia tetapi juga lebih luas yaitu pada kegiatan dan nilai yang akan diperoleh secara pribadi dan sosial. Rekreasi dalam konteks perencanaan menurut Avenzora (2008: 3) dapat disimplifikasikan melalui pengertian yang baik tentang recreation demand dan recreation supply. Dijelaskan bahwa recreation demand tentang (1) siapa yang meminta, (2) apa dan berapa banyak yang diminta, dan (3) kapan diminta. Berikutnya berbicara recreation supply dapat dipahami melalui pengertian tentang (1) apa dan berapa banyak dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan, dan (3) kepada siapa dapat diberikan. Kemudian sejalan dengan pendekatan waktu dan ruang maka Avenzora (2008a: 4) mendefinisikan recreation resources atau sumberdaya rekreasi sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen dan fenomena ruang tertentu, yang pada waktu tertentu dapat: (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung orang untuk melakukan kegiatan rekreasi di tempat tersebut, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi”. Terdapat perbedaan pengertian antara recreation dengan tourism, dimana Muljadi (2009) menjelaskan bahwa istilah pariwisata (tourism), baru muncul diperkirakan abad ke-18, yaitu sesudah revolusi industri di Inggris. Istilah tersebut berasal dari dilaksanakannya kegiatan wisata (tour), yaitu suatu aktivitas perubahan tempat tinggal sementara dari seseorang, di luar tempat tinggalnya sehari-hari dengan suatu alasan apa pun selain melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan upah atau gaji. Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, “pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang ini”. Kemudian pengertian pariwisata dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2009 menjadi: “berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah (Bab I, Pasal 1, Ayat 3). Sedangkan WTO (2010) sendiri mendefinisikan pariwisata sebagai “ the activities of persons travelling to and staying in places outsides their usual environment for not more than one concecutive year for
10 leisure, bussines and other purposes”. Dalam Muljadi (2009) dijelaskan juga bahwa “pariwisata” berasal dari dua suku kata, yaitu pari dan wisata, pari berarti banyak, berkali-kali dan berputar-putar, sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian, sehingga “pariwisata” berarti perjalanan atau bepergian yang dilakukan secara berkali-kali atau berkeliling. Pariwisata sebagai padanan bahasa Indonesia dari tourism dalam bahasa Inggris. Definisi ekowisata dalam Cebalos-Lascurain (1996: 20) yang banyak diadopsi oleh penulis yaitu lebih mengacu pada suatu perjalanan ke area yang tidak terganggu dan tidak terkontaminasi, dengan maksud tujuan untuk studi dan menikmati keindahan alam serta satwa dan tumbuhan liar, sesuai kondisi saat ditemukan di area tersebut. Kemudian Beaumont’s (1998) dalam (Page dan Dowling 2002: 59) menjelaskan bahwa: “most definition that subsequently emerged insist that ecotourism must have minimal impact on the environment and host communities and contribute to conservation of natural resources…consequently it should have a nonconsumtive use of wildlife and natural resources. Other specify that ecotourism should foster appreciation of natural environment by providing education or interpretation to participants…Many definition also include a cultural component…[so that it]…provides net benefits to indigeneous and local communities, as well as to local environment”. Sedangkan Page dan Dowling (2002: 65-69) menjelaskan mengenai 5 prinsip dasar ekowisata yaitu: (1) nature based, (2) ecologically sustainable, (3) environmentally educative, (4) locally beneficial dan (5) generates tourist satisfaction. Menurut Avenzora (2008: 12) berdasarkan berbagai definisi dan batasan ecotourism yang telah ditulis oleh berbagai pihak, disimpulkan bahwa pola pendefinisian ekowisata berorientasi pada: (1) tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan, (2) sumberdaya wisata yang digunakan, dan (3) bentukbentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan. Untuk itu harus disadari bahwa ada 5 tahap kegiatan yang tak terpisahkan dalam setiap perjalanan wisata, yaitu: (1) tahap perencanaan, (2) tahap perjalanan menuju destinasi, (3) tahap kegiatan di destinasi, (4) tahap perjalanan pulang dari destinasi, dan (5) tahap rekoleksi. Setiap tahapan tersebut akan menyumbang secara nyata atas tingkat kepuasan wisatawan. Konsep ekowisata menjadi bagian dalam pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism dan definisi pariwisata berkelanjutan oleh WTO (2010) dalam Agenda 21 For The Travel Tourism Industry : Towards Environmentally Sustainable Development WTTC, WTO, The Earth Council adalah sebagai pariwisata yang memenuhi kebutuhan wistawan dan daerah penerima pada saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah kepada pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan. Demikian juga pengertian ecotourism oleh Alikodra (2012: 335-336) yang mengemukakan bahwa ecotourism merupakan gabungan dari dua kata yaitu eko yang merupakan kependekan dari ekologi dan tourisme yang berarti orang yang melakukan perjalanan, sehingga secara lengkap adalah orang-orang yang melakukan perjalanan atas dasar kepentingan ekologi dan penyelamatan lingkungan hidup.
11 Ekologi Ekologi dalam Soemarwoto (2004: 22-23) adalah ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Sebagai istilah yang berasal dari bahasa Yunani, ekologi yaitu oikos berarti rumah dan logos berarti ilmu, sehingga secara harfiah berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem, yaitu merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dimana komponen-komponen yang hidup dan tak hidup di dalam ekosistem tersebut saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur, sehingga ekosistem pun terjaga selama tiap-tiap komponen melakukan fungsinya dan bekerjasama dengan baik. Ekosistem menurut Indrawan et al. (2007) adalah lingkungan fisik dan kimia yang terkait bersama dengan komunitas biologi, yang didefinisikan sebagai sejumlah spesies yang menempati tempat tertentu dan saling berinteraksi (interspecific interaction). Karakterisitik dari suatu ekosistem seringkali ditentukan proses-proses yang berlangsung, termasuk siklus air, siklus nutrisi dan energi. Berikut gambaran dari siklus air, yaitu air menguap dari daun, tanah dan permukaan lainnya. Air kemudian jatuh di tempat lain sebagai hujan dan salju, lalu masuk kembali ke dalam lingkungan perairan dan daratan. Tanah terbentuk dari materi batuan induk dan pembusukkan bahan-bahan organik. Tumbuhan yang berfotosintesis menyerap energi cahaya, yang kemudian digunakan bagi pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Energi tumbuhan kemudian diambil oleh hewan yang memakan tumbuhan tersebut. Energi itu kemudian dilepas dalam bentuk panas-baik selama siklus hidup hewan maupun setelah tumbuhan dan hewan mati dan membusuk. Demikian sebagian gambaran dari ekosistem, yang mana kompartemen hidup dan tak hidup dalam ekosistem tersebut beredar dalam proses-proses yang terjadi baik pada skala geografi berkisar dari meter persegi, hektar hingga mencapai skala regional yang mencakup puluhan ribu kilometer persegi. Lingkungan fisik, khususnya siklus tahunan temperatur dan hujan serta karakteristik permukaan tanah, memengaruhi struktur dan karakteristik komunitas biologi. Lingkungan fisik tersebut yang akan menentukan apakah suatu lokasi akan menjadi hutan, padang rumput, padang pasir, atau lahan basah. Sedangkan komunitas biologi juga dapat mengubah ciri-ciri fisik suatu lingkungan, sebagai contoh misalnya pada ekosistem darat, dimana vegetasi setempat dapat mempengaruhi kecepatan angin, kelembaban dan temperatur setempat. Soemarwoto (2004: 43-54) juga menjelaskan bahwa mahluk hidup mempunyai tempat hidup dan tempat hidup itu disebut habitat. Habitat itu sendiri mempunyai batas tertentu sesuai dengan persyaratan hidup mahluk yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas atas disebut titik maksimum antara dua kisaran itu terdapat titik optimum. Bila terjadi perubahan sifat habitat sampai di luar titik minimum atau maksimum, mahluk itu akan mati atau harus pindah ke tempat lain. Apabila perubahannya lambat, misalnya terjadi selama beberapa generasi, mahluk itu umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru diluar batas semula. Perubahan yang dimaksud contohnya adalah kerusakan ekosistem yang baik prosesnya secara
12 lambat atau dalam jangka waktu yang singkat, akibat aktivitas manusia ataupun oleh alam itu sendiri. Untuk itu, baik buruknya lingkungan hidup yang adalah ruang yang ditempati suatu mahluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup di dalamnya, merupakan penentu keberlangsungan industri pariwisata. Tanpa lingkungan yang baik maka industri pariwisata tidak dapat berkembang, sehingga mempelajari ekologi menjadi penting bagi pariwisata yang berkaitan dengan masalah daya dukung lingkungan untuk penggunaan kegiatan wisata. Rumput Ruang terbuka hijau yang mendominasi di Kebun Raya Cibodas dengan vegetasi utama yaitu rumput, menjadi faktor lingkungan biotik yang dipengaruhi secara langsung kegiatan wisata di dalamnya dan perubahan kondisi rumput secara fisik pun dapat diamati. Diperkirakan di dunia terdapat kurang lebih 10 000 jenis rumput atau Famili Graminaeae (Mcilroy 1976). Rumput-rumputan yang merupakan suku Graminae, termasuk tanaman berkarakteristik gulma yang tumbuh pada waktu, tempat, dan kondisi yang tidak diinginkan manusia (Kumurur 2002). Tetapi tidak semua jenis rumput termasuk gulma, terdapat jenis-jenis yang juga memberikan manfaat bagi manusia yaitu sebagai sumber pakan ternak dan sebagai tanaman hias penambah nilai estetika. Rumput sebagai famili tumbuhtumbuhan yang paling luas penyebarannya. Terdapat dalam sebagian besar masyarakat tumbuh-tumbuhan baik yang berbentuk fuderal, dan emphemeral maupun yang berumur tahunan, mengayu dan tumbuh tinggi. Habitatnya terdapat dalam keadaan yang hampir menyerupai gurun sampai daerah banjir dan payapaya. Perakaran rumput memiliki sistem berbentuk serabut yang mempunyai peranan dalam pembentukan struktur tanah. Titik tumbuhnya yang berada dekat pada pangkal tanaman memungkinkan tumbuh kembali setelah pemotongan, kemampuan membentuk anakan membantu penutupan tanah dengan cepat pada fase pertumbuhan pertama. Sifat-sifat pertumbuhan ini sangat erat hubungannya dengan keadaan habitat misalnya keadaan air, hara, keadaan tanah, cahaya dan temperatur. Bentuk umum dari rumput yaitu berupa batang rumput yang mendukung daun-daun dan bulir disebut tangkai. Batang silindris, agak pipih atau persegi, berlobang atau massif, pada buku selalu massif dan kerapkali membesar, berbentuk herba. Bagian tangkai yang kosong antara dua buku disebut ruas dan pada beberapa rumput ruas bagian bawah ada yang membengkak atau menyerupai umbi. Bagian atas daun yang melebar disebut helai daun dan bagian bawah daun yang membungkus batang disebut pelepah daun dan kadang-kadang melebar pada bagian pangkalnya menjadi semacam dataran, atau pada kedua sisinya membentuk benjolan-benjolan semacam telinga disebut telinga daun. Bunga tersusun dalam bulir, yang terdiri dari dua glumae atau daun yang serupa sisik atau lebih dari dua, yang duduknya berseling dalam dua baris yang berhadapan. Glumae dan paleae keseluruhannya dinamakan sekam. Bunga rumput hampir selalu berkelamin dua, juga ada yang tidak berkelamin atau kosong. Tangkai putik hampir selalu dua, kepala putik berbentuk bulu atau malai. Bakal buah beruang satu dan berbiji satu. Buah dinamakan dengan buah padi (caryopsis) (van Steenis 1992).
13 Produksi hijauan rumput dipengaruhi kadar air yang terkandung didalamnya. Tumbuhan termasuk rumput memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya, sehingga hampir semua proses dalam tumbuhan dipengaruhi oleh ketersediaan air. Berkurangnya air menyebabkan berbagai gejala yang dibedakan dalam skala waktu yaitu beberapa menit akan menyebabkan tumbuhan layu dan stomata menutup, skala hingga mingguan maka terjadi perubahan pertumbuhan dan pembungaan, sedangkan dalam skala bulanan terjadi penurunan biomasa total (Tardieu 1996). Tanah Tanah adalah suatu tubuh alami yang tersusun dari bahan-bahan padat (hancuran batu, mineral/pelican dan bahan organik), cairan dan gas, terdapat di permukaan lahan, menempati ruang tertentu, dan dicirikan oleh horison atau lapisan atau horison dan lapisan, yang dapat dipisahkan dari bahan asalnya karena terjadinya penambahan, pelenyapan, pemindahan dan malih wujud enersi dan bahan. Tubuh tanah ini terbentuk oleh adanya saling tindak antara bahan induk tanah di suatu loka dengan lingkungannya, yang melibatkan aneka proses pembentukan tanah (Purwowidodo 2000: 1). Pemahaman terhadap pembentukan tanah, yang bergantung pada (1) bahan induk, (2) topografi, (3) iklim, (4) gaya biotik, dan (5) waktu, akan memberi gambaran terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Pemahaman terhadap tanah sangat penting tidak hanya dari segi kemampuan rekayasa saja tetapi juga dalam kaitannya dengan sistem sumberdaya alam yang lain. Pemahaman yang ekstensif terhadap kondisi tanah pada sebuah tapak akan membantu untuk menentukan kesesuaian tapak dalam menunjang bangunan gedung dan jalan, demikian pula memberikan wawasan terhadap komunitas tanaman yang ada serta habitat satwa liar yang berkaitan dengannya (Koppelman 1997: 12). Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut pemadatan. Terdapat perbedaan yang mendasar antara peristiwa pemadatan dan peristiwa konsolidasi tanah. Konsolidasi adalah pengurangan pelan-pelan volume pori yang berakibat bertambahnya berat volume kering akibat beban statis yang bekerja dalam periode tertentu. Sebagai contoh, pengurangan volume pori tanah akibat berat tanah timbun atau karena beban struktur diatasnya. Dalam tanah kohesif yang jenuh proses konsolidasi akan diikuti oleh pengurangan volume pori dan kandungan air dalam tanahnya yang berakibat pengurangan volume tanahnya. Pemadatan adalah proses bertambahnya berat volume kering tanah sebagai akibat memadatnya partikel yang diikuti oleh pengurangan volume udara dengan volume air tetap tak berubah (Hardiyanto 1992: 53). Pemadatan tanah dapat ditentukan dengan mengukur resistensi atau daya tahan penetrasi tanah, yang merupakan pengukuran dari kekuatan tanah atau pertahanan tanah dari perubahan bentuk (Soil Survey Division Staff (1993) dalam Lal dan Shukla (2004: 215)). Pengukuran penetrometer sangat dipengaruhi oleh kandungan kelembaban tanah, kepadatan, dan jenis tanah. Oleh karena itu, sangat penting bahwa pengukuran resistensi penetrasi dibuat berhubungan dengan pengukuran kelembaban tanah. Ketahanan penetrasi tanah diukur dalam unit tekanan, atau daya tekan per satuan luas (Kg/cm2, PSI, Kpa, or MPa). Berikut
14 adalah tabel nilai standar resistensi penetrasi tanah yang telah diklasifikasikan oleh Soil Survey Division Staff (1993) ke dalam berbagai resistance classes. Tabel 1 Kelas Resistensi Penetrasi Tanah Classes Penetration resistance (Mpa) Small < 0.1 Extremely low < 0.01 Very low 0.01-0.1 Intermediate 0.1-2 Low 0.1-1 Moderate 1-2 Large >2 High 2-4 Very high 4-8 Extremely high ≥8 Sumber : Lal dan Shukla (2004)
Psikologi dan Psikologi Wisata Psikologi oleh Atkinson et al. (2002: 15) didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku dan proses mental. Seperti halnya Atkinson, Ross (1998: ix) juga mendefiniskan psikologi sebagai bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Atkinson et al. (2002: 19 & 56) menjelaskan bahwa psikologi dapat dipandang dari berbagai sudut pandang atau perspektif yaitu biologi, perilaku, kognitif, psikoanalitik dan fenomenologis. Perspektif biologi mengaitkan tindakan manusia dengan peristiwa yang terjadi di dalam tubuh, terutama otak dan system saraf. Untuk perspektif perilaku mengurusi hanya aktivitas eksternal dari organisme yang dapat diobservasi dan diukur. Sedangkan perspektif kognitif lebih pada proses mental seperti perasaan, pengingatan, penalaran, pemutusan dan pemecahan masalah, dan kaitan proses tersebut dengan perilaku. Perspektif psikoanalitik menekankan motif bawah sadar yang berasal dari impuls seksual dan agresif yang direpresi atau ditekan pada masa anak-anak. Fokus perspektif fenomenologis lebih pada pengalaman subyektif seseorang dan motivasi ke arah aktualisasi diri. Psikologi menjadi penting dalam tourism mengingat wisatawan sebagai individu manusia yang mempunyai pola perilaku dan mengalami proses mental dalam hal ini oleh Atkinson et al. (2002: 26-27) bahwa persepsi, daya ingat, pemutusan pilihan dan pemecahan masalah adalah psikologis manusia dari perspektif kognitif. Psikologi tourism juga berkaitan dengan psikologi dari perspektif perilaku dan psikoanalitik, karena berkaitan dengan suatu pengalaman emosional dalam diri tiap wisatawan yang dapat mempengaruhi perilaku mereka. Demikian untuk memahami bagaimana perilaku, persepsi dan motivasi, baik wisatawan ataupun masyarakat, membutuhkan bidang ilmu psikologi. Manner dan Kleber (1997) dalam Mason (2003) yang memberikan contoh motivasi dalam model psikologis yaitu: Orang-orang yang memiliki kebutuhan yang kuat atau keinginan untuk bersama orang lain (motif) mungkin mencoba untuk terlibat dalam kegiatan rekreasi, seperti pergi ke bar dan minum, yang memungkinkan
15 mereka untuk meningkatkan interaksi mereka dengan orang lain (perilaku) dengan harapan mengembangkan persahabatan yang lebih (tujuan dan kepuasan). Motivasi menjadi bagian dalam psikologis manusia dan Sumarwan (2002: 34) mencoba menyimpulkan arti motivasi dari beberapa definisi, yaitu: “motivasi muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh seseorang. Kebutuhan itu muncul karena mereka merasakan ketidaknyamanan (state of tension) antara yang seharusnya dirasakan dan yang sesungguhnya dirasakan. Kebutuhan yang dirasakan tersebut mendorong seseorang untuk melakukan tindakan memenuhi kebutuhan tersebut dan itulah yang disebut sebagai motivasi”. Sedangkan motivasi secara umum dalam dunia pekerja dibedakan menjadi motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Apabila seseorang melakukan suatu kegiatan demi suatu tujuan yang tidak tergantung pada kegiatan tersebut (misalnya upah yang lebih tinggi, promosi, status). Sebaliknya, motivasi intrinsik menunjuk pada kesenangan atau nilai yang dikaitkan dengan kegiatan itu sendiri. Motivasi intrinsik terbagi menjadi dua kategori yaitu: (1) valensi intrinsik, terkait dengan perilaku tugas dan (2) valensi intrinsik, terkait dengan penyelesaian tugas (Ross 1998: 24). Menurut Warpani (2007: 40) bahwa motivasi orang berwisata sebenarnya tidak selalu beralasan tunggal, bahkan tidak jarang mengandung alasan ganda. Sebagai contoh motivasi berwisata adalah untuk melepaskan diri dari kegiatan rutin sehari-hari, mencari sesuatu yang baru dan berbeda dari yang biasanya misalnya menelusuri gua, mencari suatu tempat untuk menyusun karya tulis, mengadakan kontak sosial dengan masyarakat dan lain-lain. Sedangkan Wearing (2009: 235) menjelaskan bahwa motivasi adalah: “The factors that determine a human’s reasons for doing something, in the context of travel the reasons for someone to travel to a destination”. Seperti halnya motivasi, persepsi dari sisi psikologis oleh Atkinson et al (2002: 276) adalah: penelitian bagaimana kita selanjutnya menggunakan percepts tersebut untuk mengenali dunia (percepts adalah hasil dari proses perceptual). Sedangkan Mowen (1998) dalam Sumarwan (2002: 70) mendefinisikan persepsi adalah: “the process through which individuals are exposed to information, attend to that information and comprehend it”. Avenzora (2008a: 14) mengingatkan bahwa adanya pola perilaku memaksimumkan kepuasan oleh para wisatawan dari sudut pandang tourism psychology dan dari hasil studipun menunjukkan bahwa untuk mencapai kepuasan maksimum umumnya mereka dengan cara mengkonsumi beragam jasa yang dapat diakses. Untuk itu, pembatasan bentuk tourism activities dalam pendefinisian ecotourism adalah out of reality. Berkaitan dengan kepuasan atau kenikmatan seorang wisatawan, Cohen (1974) dalam Ross (1998: 5) menyatakan konsep tentang apa itu seorang wisatawan adalah seorang pelancong yang melakukan perjalanan atas kemauan sendiri dan untuk waktu sementara saja, dengan harapan mendapat kenikmatan dari hal-hal baru dan perubahan yang dialami selama dalam perjalanan yang relatif lama dan tidak berulang. Konsep Daya Dukung Berbagai sumber literatur banyak memberikan definisi yang berbeda tentang konsep carrying capacity (daya dukung). Berikut adalah berbagai pandangan mengenai definisi daya dukung menurut beberapa ilmu yang mendasarinya.
16 Konsep biologi memberikan definisi mengenai daya dukung yaitu sebagai kapasitas suatu ekosistem untuk menyokong kesehatan organisme dan organisme ini masih mampu menjaga penyesuaian produktivitas dan kemampuan berkembang biak (Angammana 1991). Menurut Audesirk (1999) daya dukung adalah maksimum ukuran populasi dimana ekosistem dapat mendukung secara tak terbatas. Kemudian Sayre (2008: 130-134) menyatakan bahwa daya dukung dalam spesies biologi di lingkungan adalah ukuran populasi dari spesies itu dimana lingkungan dapat menopang dengan tak terbatas, makanan tetap tersedia, habitat, air dan komponen yang dibutuhkan yang terdapat di lingkungan. Sedangkan daya dukung untuk populasi manusia lebih komplek lagi seperti faktor sanitasi dan kesehatan diperhatikan lagi. Dengan kata lain carrying capacity adalah jumlah individu dalam lingkungan yang dapat didukung tanpa adanya dampak negatif terhadap organisme dan lingkungan tersebut. Wearing (2009: 230) menjelaskan juga mengenai carrying capacity, yaitu merupakan: “the level of visitor use an area can accommodate with high levels of satisfaction for visitors and few impacts on resources. Carrying capacity estimates are determined by many factors such as environmental, social and managerial”. Untuk melihat hubungan rekreasi dengan psikologis, berawal dari tujuan pariwisata adalah untuk mendapatkan rekreasi. Dimana secara harfiah pengertian re-kreasi tidak hanya berarti bersenang-senang, melainkan berarti diciptakan kembali atau dipulihkan kekuatan dirinya, baik fisik maupun spiritual, sehingga setelah itu mereka merasa dipulihkan dirinya untuk melakukan tugasnya kembali. Wisatawan datang dengan berbagai macam tujuan, tetapi umumnya bersifat sama yaitu dilakukan di luar tugas pekerjaan mereka untuk mendapatkan hiburan. Hal tersebut merupakan faktor utama dalam penciptaan kembali diri seseorang atau rekreasi. Tetapi selain ingin mendapatkan hiburan, wisatawan mempunyai tujuan khusus yang tentunya mereka mengharapkan untuk mencapai tujuan khusus itu, sehingga suatu kondisi psikologis tertentu tercipta pada wisatawan tersebut dengan harapan itu. Demikian bahwa daya dukung lingkungan berkaitan erat dengan faktor psikologi tujuan pariwisata tertentu (Soemarwoto 2004: 310-311). Besar kecilnya daya dukung suatu tempat wisata juga ditentukan oleh faktor biofisik yang mempengaruhi kuat atau rapuhnya suatu ekosistem. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi, yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah yang besar, karena tidak mudah rusak dan dapat cepat pulih dari kerusakan (Soemarwoto 2004: 312). Faktor fisik yang secara langsung dapat dipengaruhi oleh aktivitas wisatawan adalah tanah. Tanah menurut Kohnke dan Bertrand (1959: 27) adalah: “Part of the earth’s crust that is penetrated by plant roots. It is composed of mineral and organic matter. Chemical, physical and biological factors contribute to the development of soils. The soil may be likened to a natural, living body, in as much as it has an embryonic state, followed by a period of development, and then passes into maturity and old age”. Kemudian oleh Sunggono (1984: 209) yang menjelaskan mengenai daya dukung tanah, yaitu: tekanan maksimum yang dapat dipikul oleh tanah tersebut tanpa terjadi kelongsoran. Kondisi fisik tanah yaitu kepadatan tanah (soil compaction) oleh menyatakan: “Soil compaction is routinely determined by measuring the penetration resistence, which is a measure of soil strength or resistance to deformation. Pengertian penetration resistence oleh Soil Survey Division Staff (1993) dalam Lal dan Shukla (2004: 215) adalah: “the capacity of soil in its
17 confined state to resist penetration by a rigid object” In addition to soil strength, the penetration resistance also depends on the shape, size, and orientation of the axis of the penetrating object. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung suatu kawasan rekreasi menurut McCool dan Lime (2001) yaitu: 1. Karakteristik sumberdaya alam, seperti geologi dan tanah, topografi, vegetasi, hewan, iklim dan air. 2. Karakteristik pengelolaan, seperti kebijakan dan metode pengelolaan. 3. Karakteristik wisatawan, seperti psikologi, peralatan, perilaku sosial dan pola penggunaan ruang. Daya dukung berdasarkan arti ekologi yang spesifik dimana spesies menjaga keseimbangan antara kelahiran dan kematian dan hubungan predatormangsa dalam ekosistem. Ini adalah faktor manusia dan manipulasi dan eksploitasi sumber daya yang mengimbangi keseimbangan ini. Secara umum, konsep daya dukung dapat longgar didefinisikan atas dasar dari empat elemen berikut yang saling terkait: (1) jumlah penggunaan dari jenis tertentu, (2) lingkungan tertentu yang dapat bertahan; (3) dari waktu ke waktu; (4) tanpa degradasi atas kesesuaian untuk pengunaannya. Konsep daya dukung memang bukanlah hal baru, seperti dikemukakan Butler et al (1992) dalam Fennnel (2008:55) bahwa untuk beberapa waktu orang telah khawatir tentang penggunaan yang berlebihan atas stok sumberdaya mereka dan sumberdaya terbarukan lainnya. Daya Dukung Ekowisata Mathieson dan Wall (1982) lebih khusus mendefinisikan carrying capacity dalam konteks wisata yaitu maksimal jumlah wisatawan yang dapat menggunakan sebuah lokasi tanpa ada sebuah perubahan yang tidak diiinginkan terhadap lingkungan fisik dan tanpa ada penurunan yang tidak diinginkan terhadap kualitas pengalaman kunjungan yang didapat oleh wisatawan. Demikian halnya menurut Douglass (1975) bahwa daya dukung sangat penting karena ekowisata sangat tergantung pada kualitas atraksi wisata, bila atraksi wisata alam yang dapat berupa macam, jenis, keadaan dan proses alam dari suatu ekosistem merupakan obyek yang sangat rentan, sehingga kondisi obyek dan daya tarik wisata tersebut menentukan kualitas wisatanya. Douglass (1975) mendefinisikan kualitas wisata adalah tingkat normal dari suatu area wisata agar wisatawan dapat merasakan kenyamanan dari aspek psikologis dan kesegaran dari aspek fisik jasmani. Daya dukung sebagai suatu istilah yang digunakan untuk mengukur hubungan antara suatu aktivitas dan jumlah penggunaan yang akan digunakan. Hal tersebut akan memasukan suatu manajemen pengelolaan suatu area rekreasi yang diharapkan tingkat atraksi dan petunjuk yang di setting mencerminkan kualitas dan sesuai harapan wisatawan. Kondisi tersebut menunjukan bahwa nilai daya dukung bersifat dinamis dan tidak ada kemutlakkan untuk suatu area rekreasi, hanya bagaimana agar jumlah daya dukung rekreasi maksimum tersebut dapat menampung wisatawan selama periode rentang waktu yang ditentukan dan menyediakan perlindungan yang sesuai bagi sumberdaya dan kepuasan para wisatawan. Dalam menentukan daya dukung jumlah maksimum, daya dukung fisik dan daya dukung sosial harus dipertimbangkan bersama-sama sebab keduanya bekaitan erat. Daya dukung fisik sendiri diartikan sebagai suatu area
18 yang dapat didukung dengan tanpa adanya perubahan kualitas yang diinginkan pada suatu lokasi rekreasi atau dengan kata lain apabila daya dukung fisik diperhitungkan, maka dapat diperoleh angka berapa luas area luas area yang dibutuhkan bagi wisatawan untuk secara leluasa dan memuasakan dalam berwisata. Douglass (1975) juga memperhitungkan kebutuhan area untuk aktivitas wisatawan berdasarkan faktor pemulihan atau keterbalikan atau Turnover Factor (TF), dimana setiap aktivitas yang berbeda, luasannya berbeda karena angka TFnya berbeda. Dalam hal ini daya dukung ekologis sebagai nilai perhitungan angka daya dukung dengan mempertimbangkan faktor pemulihan atau natural recovery atau natural purification. Kemudian daya dukung sosial merupakan tingkatan dari aktivitas yang paling dapat diterima oleh wisatawan, hal ini adalah suatu konsep yang sangat rumit kerena melibatkan materi psikologis dari suasana hati, keterampilan, pengalaman dan harapan dari wisatawan, bersama dengan pertimbangan yang sosial mengenai ilmu dinamika kelompok, cuaca dan peristiwa yang berdampak pada kesenangan. Secara teoritis daya dukung sosial dicapai ketika kepuasan kumpulan mulai merosot dengan masing-masing kenaikan jumlah dari berkerumun. Untuk itu Douglass (1975) juga menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat mempengaruhi daya dukung kawasan wisata atau sebagai faktor koreksi yang dapat dijadikan sebagai faktor pembatas tingkat kunjungan, yaitu : a) Faktor psikologi terkait dengan kenyamanan dan kesesakan areal pemanfaatan. b) Faktor fisik lingkungan (curah hujan, kecepatan angin, banjir, topografi). c) Faktor manajemen dimana rasio antara wisatawan dan petugas areal pemanfaatan turut mempengaruhi jumlah tingkat kunjungan. Sedangkan dalam Kraus (1977: 12-15) dinyatakan ada empat aspek penting yang perlu dicapai dalam pembangunan rekreasi masyarakat, yaitu : (1) psychological aspects, (2) physical aspects, (3) social aspects, dan (4) societal needs in community life. Dimana dalam konteks psikologi, hendaknya kegiatan rekreasi masyarakat harus diarahkan untuk mampu menghasilkan kesehatan emosional mereka. Menurut Soemarwoto (2004: 210) setiap daerah akan memiliki kemampuan tertentu untuk menerima wisatawan, itulah yang disebut daya dukung lingkungan dan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Tetapi daya dukung tersebut tidak dapat dirata-ratakan baik dalam luas maupun waktu, karena wisatawan dalam ruang dan waktu penyebarannya tidak merata. Untuk daya dukung lingkungan pariwisata dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu tujuan wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata. Sedangkan World Tourism Organisation (1993) sendiri, mendefinisikan carrying capacity sebagai jumlah maksimal wisatawan yang dapat mengunjungi sebuah daerah tujuan wisata di waktu bersamaan, tanpa menyebabkan kerusakan fisik, ekonomi, dan sosial budaya serta kualitas kepuasan wisatawan. Awal tahun 1960an konsep daya dukung itu diterapkan dalam rekreasi untuk tujuan menentukan gangguan ekologi dari penggunaan (Lucas 1964; Wagar 1964 dalam Cole 2004). Namun, hal tersebut cepat ditemukan bahwa pemahaman tentang dampak ekologis dapat dicapai hanya melalui pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan, seperti dalam kutipan berikut: Penelitian atau suatu studi diawali dengan pandangan bahwa daya dukung lahan rekreasi dapat ditentukan terutama
19 dari segi ekologi dan kerusakan daerah. Bagaimanapun, segera menjadi jelas bahwa pandangan yang berorientasi pada sumberdaya harus ditambah dengan pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan (Wagar 1964 dalam Cole 2004:23). Dampak lingkungan biasanya dapat diukur secara obyektif melalui analisis kondisi ekologi. Dalam literatur rekreasi di alam terbuka, pertimbangan nilai telah ditempatkan pada istilah 'dampak', yang menunjukkan perubahan yang tidak diinginkan dalam kondisi lingkungan (Hammitt & Cole 1987). Kepedulian terletak dalam memahami jenis, jumlah dan tingkat dampak pada basis sumber daya melalui penggunaan rekreasi. Sebagai contoh: misalnya perkemahan A, mungkin akan sangat berdampak dari waktu ke waktu dengan mengakomodasi tingkat penggunaan yang tinggi. Perubahan yang signifikan mungkin terjadi pada ekologi dari lokasi seperti terlihat melalui pemadatan tanah (misalnya akar dan mengekspos peningkatan erosi), vegetasi (misalnya menggunakan dahan pohon yang mati dan hidup untuk pembangunan menara kebakaran, dan menginjak-injak anakan tumbuhan), satwa liar (misalnya modifikasi habitat dan kekerasan atau gangguan pada hewan dan air (misalnya bertambahnya limbah manusia dan racun kimia pada lingkungan air). Dampak terberat pada lokasi perkemahan, namun, terjadi selama beberapa tahun pertama penggunaan, dan dampak reda dari waktu ke waktu sebagai lokasi menjadi semakin sulit seperti terlihat pada Gambar 3. Data ini memberikan bukti kuat yang menunjukkan bahwa perkemahan baru tidak seharusnya dikembangkan, dan bahwa penggunaan yang telah ada paling sedikit harus menjamin rendahnya gangguan terhadap sumber daya. Liu (2003: 459-475) mengatakan bahwa konsep carrying capacity digunakan untuk mengidentifikasikan batas suatu sistem untuk menyerap perubahan. Konsep tersebut didefinisikan sebagai jumlah maksimum wisatawan dalam suatu areal yang dapat diakomodasi tanpa merusak lebih parah lingkungan atau menurunkan kenyamanan wisatawan.
Gambar 3 Dampak pada lokasi rekreasi Sumber: Hammit & Cole (1987) dalam Fennel (2008)
Dimana perilaku wisatawan, kebiasaan pengembang dan kelentingan lingkungan fisik dan sosial ekonomi daerah wisata tersebut juga akan mempengaruhi carrying capacity dan dampak wisatawan. Atau secara lengkap Liu (2003) membagi konsep carrying capacity menjadi 5, yaitu:
20 1. Physical carrying capacity mengacu terhadap jumlah maksimum di suatu areal wisata yang secara fisik dapat diakomodasi didasarkan ruang minimal yang dibutuhkan seorang pegunjung, contoh 2 meter persegi di suatu pantai yang padat. 2. Ecological carrying capacity berhubungan dengan dampak wisatawan terhadap lingkungan alam dan keberlangsungan sumberdaya alam dalam jangka waktu yang panjang. 3. Psychological carrying capacity terkait dengan persepsi dan kepuasan wisatawan dimana hal ini berbeda tergantung wisatawan, hari libur dan lokasi wisata. 4. Social carrying capacity melibatkan dampak socio cultural dari wisata yang akan mempengaruhi sikap/budaya komunitas lokal 5. Economic carrying capacity mempunyai hubungan kuat dengan keuntungan dan biaya yang didapat dari pengembangan wisatawan ini. Soemarwoto (2004: 311-312) yang mendukung bahwa daya dukung lingkungan berkaitan erat dengan faktor psikologi tujuan pariwisata tertentu, sehingga daya dukung pariwisata akan berbeda-beda menurut tujuan pariwisata tersebut. Dijelaskan juga bahwa pada umumnya daya dukung itu berturut-turut dari yang tinggi ke yang rendah ialah tempat hiburan, olah raga, belajar dan istirahat. Untuk itu suatu perencanaan pengembangan pariwisata haruslah memperhatikan dayadukung berdasar atas tujuan pariwisata, sehingga sebaiknya tujuan masing-masing tempat wisata diidentifikasi dan diadakan pengembangan yang teratur sesuai dengan tujuan tersebut. Cole (2003: 43-44) menyatakan bahwa dampak suatu kegiatan seperti pariwisata, baik pariwisata masal maupun ecotourism terkait erat dengan konsep daya dukung. Kenyataannya adalah aktivitas pariwisata memiliki dampak terhadap karakteristik sosial budaya, lingkungan, serta ekonomi dari daerah yang dikunjungi dan keyakinan bahwa dampak-dampak tersebut dapat meningkat seiring dengan peningkatan volume kunjungan, memberikan gagasan pada kita bahwa mungkin ada suatu garis batas keberadaan wisatawan dimana jika jumlah wisatawan melampaui batas-batas tersebut, maka dampak menjadi tidak dapat diterima. Kemudian bila prinsip garis batas tersebut dipadukan dengan konsep berkelanjutan (sustainability), maka perpaduan itulah dikenal dengan sebagai konsep daya dukung. Selanjutnya Cebalos-Lascurain (1996: 228) menyimpulkan mengenai carrying capacity bahwa: “any consideration of carrying capacity (visitor impacts) must recognize that this is not simply a function of numbers but rather involves linkages between activities, setting and management. In the context of tourism associated with protected areas this must also take into account the numbers and types of tour operators”. Konsep daya dukung pariwisata yang dikemukakan oleh Ceballos-Lascurain (1996: 131-133) terbagi menjadi 4 komponen dasar daya dukung, yaitu: 1) komponen biofisik yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya alam, 2) komponen sosial budaya, berkaitan dengan dukungan atau dampak sosial budaya yang dirasakan masyarakat lokal, 3) komponen psikologi, merujuk pada tingkat kepuasan wisatawan, serta 4) komponen pengelolaan yang merujuk pada kemampuan pengelola mengakomodasi kebutuhan wisatawan. Berikut estimasi nilai daya dukung efektif untuk wisata oleh Sayan dan Atik (2011) untuk kawasan
21 dilindungi di Termessos National Park, yang mencoba mengacu pada rumus Cifuentes (1992), dengan menggunakan asumsi penggunaan ruang 1 m2/wisatawan. Penelitian tersebut menggunakan faktor koreksi yaitu curah hujan, lama penyinaran matahari, suhu harian, kekuatan angin, gangguan satwa liar, erosi, dan aksesibilitas, serta kapasitas pengelola adalah sebagai faktor koreksi daya dukung efektif. Simon et al. (2004) memberi gagasan mengenai cara menentukan dan mengimplementasikan konsep daya dukung sebagai aspek kritisi dalam perencanaan pariwisata. Dimana metode yang digunakan adalah metode konten analisis untuk menginterview pelaku kunci dan metode Limit of Acceptable Change (LAC) sebagai metode yang digunakannya dalam menghitung daya dukung dengan indikator lingkungan (luas, tapak, ukuran sampah, tingkat kebisingan, kualitas air, tingkat sedimentasi, jumlah wisatawan) dan indikator rekreasi (pendapatan destinasi, share pengangkatan pegawai untuk keperluan wisata, tingkat kepuasan wisatawan, tingkat kenyamanan, jumlah komplain, yang ditangani) yang diambil menggunakan kuesioner pada pelaku utama. Kebun Raya Berbagai kebun raya di dunia menyimpan koleksi tumbuhan hidup serta merupakan sumber penting untuk upaya pelestarian tetumbuhan. Tersebar di dunia 1 600 kebun raya dengan koleksi sekitar 4 juta tumbuhan yang mewakili sekitar 30% flora yang ada di dunia atau 80 000 spesies (Given (1995) dalam Indrawan et al. (2007:253)). Koleksi tumbuhan hidup serta spesimen kering dalam kebun raya merupakan sumber informasi terbaik mengenai sebaran tumbuhan dan kebutuhan habitatnya, karena itulah kebun raya memang memberikan sumbangan berharga bagi upaya konservasi. Diperkirakan bahwa sekitar 150 juta masyarakat yang mengunjungi kebun raya setiap tahunnya telah mendapat informasi dan pendidikan mengenai masalah konservasi. Kebun raya tingkat internasional berprioritas mencakup pengembangan sistem pangkalan data untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas terkait. Kegiatan terkait meliputi pengumpulan, maupun pengenalan spesies yang penting namun tidak terwakili maupun absen dari koleksi tumbuhan hidup. Mengingat kebanyakan kebun raya berada di wilayah beriklim sejuk (dengan 4 musim), sehingga pembentukan kebun raya baru di wilayah tropika juga menjadi perhatian masyarakat botani internasional. Terdapat sejumlah kebun raya di Indonesia yang mewakili berbagai flora hutan tropika humida dataran rendah dan tinggi (Darnaedi & Rifai (1997) dalam Indrawan et al. (2007:254)). Kebun raya oleh Soemarwoto (2004) dikatakan sebagai koleksi hidup tumbuhan dengan fungsi utamanya adalah untuk menyimpan jenis dalam keadaan hidup. Terdapat dua macam kebun raya, yang pertama adalah kebun raya yang koleksi tumbuhannya tidak mempunyai nilai ekonomi dengan tujuan utamanya ialah ilmiah dan salah satunya yang dikenal di Bogor adalah Kebun Raya Cibodas. Status KRC sebagai kawasan konservasi eksitu dengan peruntukan koleksi berbagai tumbuhan, khususnya tumbuhan dari daerah pegunungan yang dingin sesuai iklim sub-tropis. Fungsi KRC sebagai tempat konservasi eksitu juga sebagai tempat penelitian, tempat pendidikan lingkungan, dan tempat wisata. Sesuai dengan visi KRC yaitu menjadi salah satu kebun raya terbaik di dunia
22 dalam bidang konservasi tumbuhan tropika khususnya tumbuhan tropika dataran tinggi basah, penelitian, pelayanan pendidikan lingkungan dan pariwisata. Sedangkan misi KRC secara lengkap adalah: 1. Melestarikan tumbuhan tropika khususnya tumbuhan tropika dataran tinggi basah. 2. Mengembangkan penelitian bidang konservasi dan pendayagunaan tumbuhan tropika khususnya tumbuhan tropika dataran tinggi basah. 3. Mengembangkan pendidikan lingkungan untuk meningkatkan pengetahuan dan apresiasi masyarakat terhadap arti penting tumbuhan dan lingkungan bagi kehidupan. 4. Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Hingga saat ini KRC telah mengalami perkembangan dimana pengelolaan Kebun Raya tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek konservasi dan kompetensi ilmiahnya saja, tetapi memang harus mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial masyarakat di sekitarnya. Selain sebagai kebun pengembangan tanaman berpotensi ekonomi, KRC telah berkembang menjadi sebuah lembaga ilmiah yang berperan penting dalam konservasi tumbuhan. Kemudian dari segi ekonomi, keberadaan KRC bahkan mampu menggerakan ekonomi lokal dan kawasan, terutama sebagai tempat menggantungkan hidup bagi para pedagang bunga dan tanaman hias, perajin cinderamata, pengusaha makanan dan minuman, pengusaha penginapan dan hotel, biro perjalanan wisata, usaha perparkiran, serta menciptakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (KRC 2012).
23
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Destinasi Wisata Cibodas yaitu Kebun Raya Cibodas (KRC), yang berada di wilayah Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat, berikut peta lokasi tersaji dalam Lampiran 1. Kebun Raya Cibodas secara geografis terletak pada 6° 44' 30" LS dan 107° 0' 19" BT, berada di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango, pada ketinggian kurang lebih 1 300 - 1 425 mdpl dan dari Jakarta berjarak sekitar 100 km atau dari Bandung sekitar 80 km. Penelitian secara bertahap telah dilakukan sejak November 2012 sampai dengan Maret 2013. Alat dan Obyek Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat ukur atau meteran, peta lokasi, tallysheet, Global Positioning System (GPS) untuk penentuan titik posisi contoh pengamatan, Penetrometer (jenis Eijkelkamp Penetro Viewer Vs.6.03 cone type 2.0 cm2) sebagai alat ukur penetrasi tanah, tabung atau ring tanah untuk pengambilan contoh tanah, timbangan untuk mengukur berat contoh tanah, oven, kamera sebagai alat dokumentasi gambar obyek penelitian dan kuesioner. Sedangkan obyek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wisatawan, rumput dan tanah. Jenis dan Metode Pengambilan Data Data penelitian berupa data primer dan sekunder dengan data primer diperoleh melalui observasi dan pengamatan secara langsung di lapangan seperti data contoh tanah dan rumput, jumlah wisatawan dan aktivitas yang dilakukan serta pengisian kuesioner oleh wisatawan di KRC. Berikut disajikan dalam Tabel 2 mengenai jenis data primer yang digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder berupa data penunjang yang diperoleh dari hasil penelitian, laporan dan publikasi lainnya. Sumber data sekunder tersebut diperoleh dari LIPI Kebun Raya Cibodas, BBTNGGP, Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, Dinas, Dinas Pariwisata dan Dinas Kehutanan. Data sekunder berupa data penunjang yang diperoleh dari hasil penelitian, Pariwisata dan Dinas Kehutanan. Data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terinci dalam Tabel 3. Metode pengambilan data primer yang dilakukan melalui observasi dan pengamatan lapang langsung yaitu untuk mengetahui kondisi ekologis tapak. Indikator tapak yang secara langsung terkena dampak dari aktivitas wisata wisatawan di KRC adalah rumput dan tanah, yang berupa bentuk pijakan. Adapun rumput sebagai indikator makro terinjak langsung oleh wisatawan, kondisinya dipengaruhi oleh kondisi tanah sebagai indikator mikro yang juga secara langsung terkena pijakan.
24 Tabel 2 Jenis, sumber dan teknik pengambilan data primer dalam penelitian Teknik Variabel Elemen Sumber Data Pengumpulan Esensial Data Ekologi Biotik Kebun Raya Observasi Jenis rumput Cibodas Lapang Produktivitas rumput Tinggi rumput Abiotik Jenis tanah Kebun Raya Observasi Penetrasi & kepadatan Cibodas Lapang tanah Kadar air tanah Psikologi Karakteristik pengunjung Responden Observasi Motivasi wisata pengunjung Lapang Persepsi pengunjung dengan n≥30 orang/periode /hari (hari biasa, sabtu & minggu Jumlah keluar & Kebun Raya Observasi masuk pengunjung Cibodas Lapang Jarak antar individu dan antar group pengunjung Luasan penggunaan Kebun Raya Observasi ruang untuk setiap Cibodas Lapang aktivitas Lama penggunaan Kebun Raya Observasi waktu setiap aktivitas Cibodas Lapang
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 3 Jenis, sumber dan teknik pegambilan data sekunder Teknik Jenis Data Sumber Data Pengambilan Data Kondisi lokasi Kebun Raya Cibodas Studi Pustaka penelitian Jumlah Pengunjung Kebun Raya Cibodas Studi Pustaka Sumberdaya rekreasi Kebun Raya Cibodas Studi Pustaka Sarana prasarana Kebun Raya Cibodas Studi Pustaka Institusi dan kebijakan Kebun Raya Cibodas Studi Pustaka Curah hujan harian Kebun Raya Cibodas Studi Pustaka BMKG Peta Kebun Raya Kebun Raya Cibodas Studi Pustaka Cibodas
25 Dampak injakan yang ditimbulkan dikategorikan dalam 4 yaitu kategori 1 merupakan kondisi kontrol dengan tanah yang tidak pernah terinjak, kategori 2 adalah kondisi tanah yang jarang terinjak, kategori 3 yaitu kondisi tanah yang agak sering terinjak dan kategori 4 merupakan kondisi tanah yang sering terkena pijakan. Berdasarkan kategori tersebut dilakukan pengambilan contoh ekologis rumput yaitu tingkat produktivitasnya yang diukur berdasarkan persen kadar air dalam rumput dan tingkat pertumbuhan dari tinggi rumput. Sedangkan kondisi tanah yang diukur adalah tingkat penetrasi dan persentase kadar air dalam tanah pada setiap kategori tapak di KRC. Variabel dampak pada rumput Produktivitas rumput Pengambilan sampel rumput sebagai variabel biologis atau biotik dengan menggunakan plot berukuran 10 cm x 10 cm dengan 3 kali ulangan untuk setiap kategori (1 (kontrol), 2, 3 dan 4), jenis rumput, kemudian variabel dampak pada rumput yang akan diukur adalah produktivitas rumput dan ketinggian rumput. Untuk produktivitas rumput dilakukan dengan mengambil potongan rumput pada plot contoh dan dilakukan penimbangan hasil potongan rumput, baik berat basah dan berat keringnya, kemudian dihitung persentase kadar air dalam setiap contoh sehingga diketahui perbedaannya antar kategori kondisi tanah. Berat basah rumput diperoleh dari hasil penimbangan contoh rumput dalam kondisi normal (tidak basah). Berat kering rumput ditimbang setelah sampel rumput dioven selama 24 jam dengan suhu 105°C. Tinggi rumput Pengukuran tinggi rumput pada setiap kategori dengan menggunakan alat ukur penggaris secara tegak lurus permukaan tanah. Pengukuran tersebut dilakukan sebelum sampel rumput dalam plot ukur (10 cm x 10 cm) dipotong atau diambil untuk pengukuran berat basah rumput. Variabel dampak pada tanah Variabel dampak injakan pada tanah yang dapat timbul adalah pemadatan tanah yang akan mempengaruhi kadar persentase air dalam tanah dan tingkat penetrasi tanah atau daya topang tanah. Tingkat kepadatan tanah dapat diketahui dengan mengetahui bobot isi tanah yang akan menjadi petunjuk tidak langsung aras kepadatan tanahnya. Kepadatan tanah akan mengendalikan kesarangan langsung aras kepadatan tanah, kapasitas sekap udara dan air dan penerobosan akar tumbuhan ke dalaman tubuh tanah (Purwowidodo 2000). Pengaruh kepadatan tanah ini tentu akan mengganggu pertumbuhan tumbuh-tumbuhan yang ada, karena akar tumbuhan menerobos ke dalam tubuh tanah untuk menyerap air, udara dan berbagai unsur hara dalam tanah yang dibutuhkan tumbuhan. Bila kepadatan melampaui kemampuan akar maka pertumbuhan akar pun terganggu serta tidak dapat berkembang dengan baik. Kondisi ini lama kelamaan juga akan mempengaruhi fungsi KRC sebagai area konservasi eksitu tumbuh-tumbuhan. Bobot isi tanah dan persentase kadar air dalam tanah Metode yang akan digunakan untuk mengetahui bobot isi tanah dan persentase kadar air adalah metode tabung silindris. Pengambilan contoh tanah dengan menggunakan tabung atau ring tanah dilakukan pada setiap kategori (1
26 (kontrol), 2, 3 dan 4) dengan 3 kali ulangan. Berikut adalah tahapan cara metode tabung silindris (Purwowidodo 2005) : Penentuan titik lokasi pengambilan contoh tanah. Permukaan tanah pada titik pengambilan contoh dibersihkan dari serasah, batu kecil dan/atau tumbuhan bawah . Tabung silindris diletakan secara cacak terhadap permukaan tanah dengan ujung yang tajam berada di bawah. Alas papan ditempatkan pada permukaan atas tabung tersebut dan dipukulnya dengan palu, berselang teratur, hingga tabung silindrisnya menerobos tubuh tanah sampai tiga perempat bagian tinggi. Tabung silindris ke-2 ditempatkan di atas tabung silindris ke-1, memperlakukan seperti tabung silindris-1, sehingga tabung 1 tersebut menjadi lebih dalam antara 5-10 cm. Untuk mengambil kedua tabung tersebut secara rampatan dan tetap menyatu, maka tanah di sekitar tabung digali. Kemudian tabung 1 dan 2 dipisahkan, serta tanah yang berlebihan pada tiap sisi ujung tabung diiris dan ditutup dengan penutup tabung silindris. Tiap contoh tanah yang diambil dalam tabung silindris ditimbang tanpa tutupnya untuk mengetahui berat tanah keadaan lapang beserta tabungnya (= a g), selanjutnya contoh tanah beserta tabungnya dioven selama 24 jam pada suhu 105 °C, kemudian ditimbang kembali untuk mengetahui berat kering oven tanah beserta tabungnya (= b g) Tabung silindris diukur tinggi (t) dan diameter tabung sisi dalamnya (d), untuk menetapkan volume tabung sisi dalam (Vd) dengan persamaan : Contoh tanah dalam tabung silindris dikeluarkan dan berat tabung ditimbang (= c g) Besaran bobot isi tanah pada keadaan kering lapangan ( m) ditetapkan dengan persamaan : Besaran bobot isi tanah pada kering oven d) ditetapkan dengan persamaan : Persentase kadar air dalam tanah ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut : dimana:
-
W : Kadar air contoh tanah (%) W1 ( m) : Berat contoh tanah basah (g) W2 ( d) : Berat contoh tanah kering oven (g)
Penetrasi tanah Mengetahui kondisi tanah di lapangan menjadi penting terutama bila jenis tanah termasuk jenis sensitif dan keadaan bawah permukaan tanahnya berubahubah baik secara horizontal maupun vertikal. Metode pengukuran yang akan dilakukan adalah penetration test atau percobaan penetrasi yang menggunakan alat penetrometer (Wesley 1984). Berikut tahapan tehnik pengukuran penetrasi tanah pada titik lokasi pengukuran, yaitu:
27 Penentuan titik lokasi tapak pengukuran sesuai kategori yang telah ditentukan dengan 3 kali ulangan pengukuran. Penetrometer dimasukan atau ditusukan ke dalam tanah dengan cara menekan stang bor yang mempunyai ujung khusus. Kemajuan masuk ke dalam tanah diukur besarnya gaya yang diartikan sebagai indikasi mengenai kekuatan tanah tersebut. Data yang diperoleh adalah tingkat penetrasi tanah (Mpascal atau Mpa) per-cm kedalaman tanah. Data wisatawan Pengamatan wisatawan yang dilakukan secara langsung adalah pengamatan jumlah keluar dan masuk wisatawan di setiap titik pintu masuk dan keluar KRC. Penghitungan dilakukan sesuai periode pembagian waktu yaitu Periode 1 pukul 08:00-10:30, Periode 2 pukul 10:30-13:00, Periode 3 pukul 13:00-15:00 dan Periode 4 pukul 15:00-17:00. Pengamatan wisatawan dilakukan pada tipe hari biasa (Low Visit), dan weekend yaitu sabtu (Condensed Visit) dan minggu yang umumnya menjadi titik puncak kunjungan wisatawan (Peak Visit). Selain pengamatan pola keluar-masuk wisatawan, maka dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan pengamatan wisatawan pada beberapa titik lokasi sebaran wisatawan tertinggi di dalam KRC. Pengamatan di dalam lokasi tersebut berupa jumlah wisatawan (setiap grup atau individu), waktu kedatangan dan pulangnya wisatawan, aktivitas yang dilakukan dan luasan area yang digunakan untuk setiap aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan. Dilakukan juga pengamatan jarak antar wisatawan dimana saat wisatawan sedang berjalan kaki, dilakukan pengamatan jarak antar individu wisatawan dalam satu grup dan juga jarak antara grup yang satu dengan yang lainnya. Pengamatan tersebut juga dilakukan sesuai periode waktu yang telah ditentukan. Data psikologis yang berupa data karakteristik wisatawan, motivasi dan persepsi wisatawan diperoleh dengan membagikan kuesioner close-ended, secara random sampling kepada wisatawan dengan jumlah minimal 30 responden dalam setiap periode waktu pengamatan dan hari pengamatan. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai tingkat motivasi dan kepuasan wisatawan di KRC. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS (Statistic Package for Social Science). Analisis ekologi Analisis ekologi yang dilakukan adalah dengan analisis deskriptif dari hasil pengukuran fisik rumput dan tanah. Data hasil pengukuran rata-rata tinggi rumput dan produktivitasnya yaitu perbedaan berat basah dan berat kering rumput untuk mengetahui perubahan persentase kadar air dalam rumput, dianalisis melalui grafik perubahan berdasarkan 4 kategori atau kondisi tanah yang telah ditentukan. Untuk kondisi fisik tanah yaitu presentase kadar air dalam tanah dan kepadatan tanah atau tingkat penetrasinya, dianalisis perubahannya pada setiap lokasi sampel dan berdasarkan 4 kategori kondisi tanah yang telah ditentukan.
28 Analisis psikologi Tingkat kepuasan wisatawan dianalisis dari hasil data kuesioner persepsi dan motivasi dan dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif. Menurut Avenzora (2008: 250) bahwa dalam penilaian kualitatif, salah satu struktur nilai yang mudah dan umum digunakan adalah sistem skoring. Tetapi dalam penggunaannya sangat sering dijumpai kesalahan dan kelemahan berupa inkonsistensi struktur skor dan kelemahan penetapan indikator setiap satuan skor. Salah satu cara untuk mengeliminasi hal tersebut adalah dengan menggunakan Skala Likert yang diubah menjadi sistem skoring yang terstruktur. Hanya skala yang akan digunakan disesuaikan dengan karakter masyarakat Indonesia yaitu 1 sampai dengan 7, berbeda dengan Skala Likert yang bergerak hanya dari skor 1 sampai dengan 5. Analisis daya dukung Nilai daya dukung KRC diperoleh dengan melakukan analisis daya dukung fisik (Physical Carrying Capacity/PCC) dan daya dukung riil atau sebenarnya (Real Carrying Capacity/RCC), dengan persamaan yang mengacu pada Cifuentes (1992) dalam Ceballos-Lascurain (1996: 265 – 274). Analisis daya dukung fisik (Physical Carrying Capacity/ PCC) P
a
Keterangan : PCC A
V/a Rf
: daya dukung fisik / Physical Carrying Capacity : luas efektif yang tersedia untuk pemanfaatan umum; dalam hal ini merupakan luas hasil pengurangan luas bangunan, luas tapak yang dipenuhi pepohonan dan semak dan luas total lingkar batang pohon. : area yang dibutuhkan untuk satu pengguna per m². : faktor rotasi, merupakan jumlah kunjungan harian yang diperbolehkan ke suatu lokasi (Masa buka/masa yang dibutuhkan).
Kebutuhan ruang wisatawan yang digunakan dalam penelitian ini tidak menggunakan asumsi kebutuhan ruang yang sama, tetapi diperoleh dari hasil pengamatan penggunaan ruang wisatawan sesuai lokasi yang ditentukan. Demikian dengan nilai faktor rotasi (Rf) yang diperoleh dari hasil penghitungan pola keluar masuk wisatawan yang merupakan sensus dari penghitungan jumlah wisatawan dan periode waktu saat masuk dan keluar selama jam buka KRC. Hasil pengambilan data diolah dan dibuat overlay grafik antara masuk dan keluar wisatawan, dan dimana titik perpotongan grafik tersebut adalah sebagai faktor rotasi (Rf). Analisis daya dukung riil (Real Carrying Capacity/RCC) Real Carrying Capacity menurut Ceballos-Lascurain (1996: 269) merupakan jumlah kunjungan maksimal yang diperbolehkan untuk sebuah lokasi segera setelah faktor-faktor koreksi yang diturunkan dari ciri-ciri atau kharakteristik khusus suatu tempat yang telah diperlakukan pada PCC. Faktor koreksi (Cf) yang digunakan dapat diperoleh dengan mempertimbangan variabel biofisik, lingkungan, ekologi, sosial dan manajemen. Faktor koreksi juga berkaitan dengan kondisi spesifik dan kharakteristik tiap tempat dan kegiatan. Berikut faktor koreksi diukur dalam bentuk presentase dengan persamaan:
29
Keterangan : Cf ML MT
: Faktor Koreksi (%) : Mangnitude limitation/ pembatas ukuran variabel (selisih antara kondisi lapangan dengan ukuran ideal) : Magnitude total /jumlah ukuran variabel (ukuran ideal)
Penelitian ini menggunakan variabel ekologi dan psikologi. Berikut faktor koreksi ekologis yang langsung dipengaruhi oleh aktivitas dan kegiatan rekreasi wisatawan di KRC adalah kondisi rumput dan tanah. Faktor koreksi psikologis hanya menggunakan variabel tingkat kepuasan wisatawan, dimana tingkat kepuasan ini akan menunjukan bagaimana kenyamanan wisatawan saat berekreasi di dalam KRC.
Keterangan : RCC CfE CfP
: daya dukung riil / Real Carrying Capacity : faktor koreksi ekologis : faktor koreksi psikologis
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wisatawan Kebun Raya Cibodas Karakteristik wisatawan Kebun Raya Cibodas Kebun Raya Cibodas (KRC) hingga saat ini tetap menjadi target tujuan wisata oleh wisatawan di Destinasi Wisata Cibodas, dimana dari profil data wisatawan (Lampiran 2) menunjukan bahwa wisatawan didominasi oleh wisatawan berasal dari daerah Jakarta, Depok dan Bekasi. Daerah tersebut merupakan perkotaan yang padat penduduknya dan menjadi pusat aktivitas berbagai pekerjaan, selama lima atau enam hari kerja dalam satu minggu. Penduduk kota yang telah bekerja penuh selama lima atau enam hari tentunya membutuhkan rekreasi, demikian menurut Avenzora (2008b: 243) bahwa semua anggota populasi baik semua umur, dan baik sehat atau sakit, kaya atau miskin, adalah membutuhkan rekreasi. Kebutuhan untuk berekreasi pada hari libur atau saat weekend bagi penduduk kota, dengan lokasi daerah wisata yang tentunya terjangkau untuk perjalanan satu hari, adalah yang menjadi pendukung tingginya jumlah wisatawan yang berasal dari Jakarta, Depok dan Bekasi. Selain itu KRC yang berada di daerah pegunungan yaitu 1300 mdpl – 1425 mdpl dengan luasnya ruang terbuka hijau, menyajikan suatu kondisi lingkungan yang berbeda dengan asal daerah wisatawan tersebut yang berupa perkotaan dengan kondisi padat bangunan dan kurangnya ruang terbuka hijau, hal tersebut juga menjadi pendorong para wisatawan untuk datang berekreasi dan berwisata kembali. Kebun Raya Cibodas memiliki daya tarik untuk semua kelompok usia dengan tingkat pendidikan tinggi (42.22% merupakan lulusan S1), dan wisatawan juga didominasi oleh pekerja swasta (35.8%) dengan tingkat penghasilan menengah ke atas. Umumnya sebagian wisatawan berkunjung bersama teman (40.83%) dengan lama kunjungan 2 - 6 jam (half day trip). Wisatawan merupakan konsumen loyal karena 78% dari wisatawan merupakan repeater coming dengan frekuensi ulangan 3 - 5 kali kunjungan. Sebagaimana dalam Lampiran 1, tersaji selengkapnya data karakteristik wisatawan KRC. Jumlah wisatawan Kebun Raya Cibodas Perkembangan jumlah wisatawan di KRC dalam 5 tahun terakhir mengalami peningkatan 39.2% (tahun 2008 – 2012) yaitu dari tahun 2008 hingga 2009 (432 971 orang menjadi 494 703 orang), namun di tahun 2010 terjadi penurunan hingga 453 790 orang seperti terlihat dalam Gambar 4. Kemudian kembali terjadi kenaikan jumlah wisatawan mulai dari tahun 2011 (510 653 orang) hingga tahun 2012 (602 689 orang). Sesuai data harian selama 5 tahun tersebut, jumlah wisatawan tertinggi yaitu 18 891 orang pada hari Minggu di tahun 2008, masih di bawah 20 000 orang dalam satu hari. Berdasarkan data di atas apabila nilai rata-rata jumlah wisatawan selama 5 tahun terakhir dikategorikan dalam tiga tipe hari kunjungan yaitu Low Visit atau pada tipe hari biasa, Condensed Visit atau pada hari Sabtu dan Peak Visit atau pada hari Minggu, maka proporsi harian wisatawan seperti terlihat pada Tabel 4.
31
Gambar 4 Total jumlah wisatawan di KRC dalam 5 tahun terakhir Rata-rata proporsi harian tertinggi adalah pada hari Minggu yang merupakan Peak Visit atau kunjungan puncak pada hari libur dengan proporsi hariannya adalah (3 682 orang) atau 41.22%. Sedangkan hari Sabtu memiliki proporsi harian terendah yaitu 1 998 orang (22.37%) dibandingkan hari biasa yang merupakan proporsi harian Low Visit atau kunjungan terendah (3 252 orang atau 36.41%). Apabila mengamati data harian rata-rata jumlah wisatawan pada tipe hari biasa untuk tiap harinya (Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat), maka proporsi hariannya akan berbeda-beda dan umumnya lebih rendah dari hari Minggu sebagai Peak Visit di KRC dan hari Sabtu yang merupakan Condensed Visit. Hari Minggu tetap menjadi hari puncak kunjungan bagi wisatawan karena hari tersebut adalah hari libur bagi seluruh kalangan masyarakat sehingga masyarakatpun banyak yang menggunakan waktu liburnya ini untuk berwisata selama 1 hari perjalanan seperti menuju ke daerah destinasi wisata Cibodas. Tidak seperti hari Minggu, hari Sabtu belum menjadi puncak kunjungan karena hari Sabtu hanya menjadi hari libur bagi kalangan tertentu saja seperti swasta. Tabel 4 Proporsi harian rata-rata jumlah wisatawan KRC 5 tahun terakhir (2008-2012) Data proporsi harian
Jumlah rata-rata (orang)
%
Low visit
3 252
36.41
Condensed visit
1 998
22.37
Peak visit
3 682
41.22
8 932
100.00
Sumber: Diolah dari hasil penelusuran dokumen KRC
Kondisi Ekologis Kebun Raya Cibodas Kebun Raya Cibodas berdasarkan ketinggian dari permukaan laut termasuk tipe hutan hujan tropik, secara spesifik termasuk ke dalam jenis hutan hujan tropik dataran tinggi yang ditandai dengan curah hujan tinggi dan keadaan selalu hijau (evergreen). KRC sebagai kawasan konservasi eksitu berbagai koleksi tumbuhan hidup dengan kondisi topografi yang memiliki lansekap atraktif, dengan ruang terbuka hijau, baik berupa padang rumput dan tegakan pepohonan hijau, menjadi
32 menarik bagi wisatawan untuk berwisata di KRC, dan terjadi peningkatan jumlah kunjungan yang terus-menerus. KRC memiliki tanah yang berwarna hitam kecoklatan dan bersifat asam, dimana kawasan Cibodas dan sekitarnya berjenis tanah Andosol dari batuan beku besi dan intermedier di daerah gunung, yang berasal dari semburan Gunung Gede dan Pangrango. Keadaan tanah di kawasan tersebut sangat bervariasi, dikelompokkan dalam topografi bergelombang, berbukit dan curam dengan kemiringan tanah sekitar 60 %. Peningkatan jumlah wisatawan di KRC memberikan dampak ekologis terhadap lingkungan secara langsung, seperti Cole (2003: 43-44) yang menyatakan bahwa dampak kegiatan pariwisata baik massal ataupun ekowisata berkaitan dengan konsep daya dukung. Salah satu komponen dasar daya dukung tersebut yang berupa biofisik menurut Ceballos-Lascurain (1996: 131-133) akan menggambarkan kemampuan sumberdaya alam yang ada di suatu kawasan wisata. Berikut adalah hasil pengukuran biofisik di KRC yaitu ekologi biotik berupa produktivitas dan tinggi rumput, dan fisik atau non biotik berupa persentase kadar air dalam tanah dan tingkat penetrasi tanah tersebut. Kondisi biotik Rumput menjadi salah satu variabel dampak yang secara langsung dipengaruhi oleh keberadaan wisatawan di area KRC, saat melalui pengamatan secara langsung perilaku wisatawan yang masuk dalam kawasan wisata ini akan menginjak-injak tapak tempat rumput tumbuh dan ada di setiap ruang yang menjadi area beraktivitas wisatawan baik untuk piknik, bermain, duduk, makan, ataupun hanya untuk berdiri. Berdasarkan 4 kategori tingkat dampak injakan yaitu: Kondisi I sebagai kondisi kontrol atau lokasi yang tidak pernah terkena injakan, Kondisi II yaitu lokasi yang jarang diinjak, Kondisi III merupakan lokasi yang agak sering terkena injakan dan Kondisi IV adalah lokasi yang memang sering terkena injakan. Hasil pengukuran pada grafik Gambar 5 menunjukan bahwa persentase kadar air tertinggi (73.51%) pada Kondisi I atau kontrol sebagai area yang tidak pernah diinjak, sedangkan yang terendah adalah Kondisi III yaitu 58.32%. Pengukuran kondisi tinggi rumput pada grafik Gambar 6, pada Kondisi I (4.39 cm) memiliki rata-rata rumput tertinggi, kemudian Kondisi IV (2.11 cm) merupakan yang terendah dibandingkan Kondisi II (2.22 cm) dan III (2.33 cm).
Gambar 5 Persentase kadar air dalam rumput pada setiap kondisi di KRC
33 Kedua grafik (Gambar 5 dan 6) memperlihatkan bahwa kondisi I sebagai kondisi yang hampir tidak pernah terinjak bernilai tertinggi baik kadar air dan tinggi rumputnya dan semakin sering terinjak maka nilai tersebut semakin menurun, ini dapat menunjukan adanya pengaruh injakan terhadap kondisi rumput tersebut. Turunnya biomasa rumput di KRC akibat pijakan, terwakili oleh turunnya persentase kadar air dalam rumput dan pertumbuhan rumput (tinggi), sehingga sesuai dengan Pickering dan Hill (2006) bahwa dampak kegiatan rekreasi dan wisata pada vegetasi adalah kehilangan berat biomasa, perubahan struktur reproduksi (bunga, buah dll), berkurangnya penutupan tajuk, peningkatan sampah, kerusakan bibit dan perubahan dalam komposisi spesies vegetasi.
Gambar 6 Rerata tinggi rumput pada setiap kondisi di KRC Mengamati hasil pengukuran berat biomasa rumput di KRC, berikut Gambar 7 menunjukkan grafik penurunan berat biomasa rumput pada setiap kondisi di KRC baik berat basah maupun berat keringnya. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Pickering & Hill (2006) yaitu berat biomasa rumput semakin menurun pada tapak yang sering digunakan. Kondisi tersebut juga sesuai dengan Tardieu (1996) bahwa pengurangan atau penurunan air dalam tanaman dalam jangka waktu bulanan maka menyebabkan gejala penurunan biomasa total.
Gambar 7 Biomasa rumput pada setiap kondisi di KRC Hasil identifikasi vegetasi terdapat 15 jenis tumbuhan dari keseluruhan plot pengamatan (Lampiran 3) dengan 7 jenis termasuk jenis rumput sedangkan 8 jenis merupakan jenis tumbuhan bawah atau herba. Hanya 3 jenis rumput saja yang teridentifikasi tumbuh di seluruh plot pengamatan (plot Kondisi I, II, III, IV) yaitu
34 rumput pait (Axonopus compressus), rumput geganjuran (Paspalum conjugatum) dan jukut jampang (Eleusine indica). Sedangkan jenis tumbuhan yang teridentifikasi hanya tumbuh pada Kondisi I atau kontrol dengan tapak yang jarang terinjak adalah 4 jenis herba yaitu Emilia sonchifolia, Kyllinga monocephala, Peperomia pellucida dan Aneilema nudiflorum. Kondisi Fisik Variabel dampak injakan terhadap kondisi fisik tapak KRC yaitu tanah, dengan tingkat persentase kadar air dalam tanah dan kepadatan atau penetrasi tanah juga diukur dengan 4 kondisi kategori, seperti pada rumput. Gambar 8 menunjukan grafik tingkat persentase kadar air dalam tanah di KRC dengan persentase tertinggi pada Kondisi II (43.25%) dan terendah pada Kondisi IV (35.95%) yang merupakan kondisi tanah dengan tapak yang sering terinjak.
Gambar 8 Kadar air dalam tanah pada setiap kondisi di KRC Kondisi tingkat penetrasi tanah berdasarkan grafik Gambar 9, memperlihatkan bahwa tingkat kepadatan tanah semakin tinggi pada Kategori IV (1.3610 Mpa), sedangkan tingkat terendah kepadatan tanah yaitu pada Kondisi I (0.5897 Mpa) yang merupakan kondisi kontrol yaitu tanah dengan peluang terinjak yang sangat rendah atau tidak pernah terinjak. Nilai ketahanan atau penetrasi tanah meningkat dengan menurunnya kelembaban tanah dan tekstur tanah (Kurnia et al 2006; 76) serta hal tersebut sesuai dengan pola hasil pengukuran kadar air dalam tanah (Gambar 8) dan tingkat penetrasi tanah (Gambar 9), yang menunjukkan bahwa semakin meningkatnya nilai penetrasi tanah maka persentase kadar air tanah pun menurun.
Gambar 9 Tingkat penetrasi tanah dalam setiap kondisi di KRC
35 Kondisi kelembaban tanah dapat digambarkan oleh persentase kadar air dalam tanah (Gambar 8) sehingga bila kadar air meningkat, juga menunjukkan kelembaban tanah yang meningkat. Purwowidodo (2000; 63) menjelaskan bahwa ketahanan penetrasi tanah atau daya topang tanah merupakan cermin aras kepadatan sistem tanah, sehingga nilai penetrasi tanah tersebut dapat menggambarkan kepadatan tanah di tapak itu. Demikian menurut Kurnia et al (2006; 75) bahwa penetrasi tanah sebenarnya menggambarkan ketahanan tanah terhadap penetrasi akar tanaman atau bagaimana sebenarnya kemampuan akar tanaman menembus tanah tersebut. Kemampuan akar menembus tanah tidak hanya tergantung dari kemampuan akar tanaman, tetapi juga karena beberapa sifat fisik tanah seperti struktur, tekstur dan kepadatan tanahnya, retakan-retakan yang ada dalam tanah, kandungan bahan organik dan kondisi kelembaban tanah. Tingkat pertumbuhan vegetasi, bila dikaitkan dengan kondisi fisik tanah yaitu kepadatan tanah, menunjukan kondisi yang sesuai seperti kepadatan tanah dengan kadar air dalam tanah. Sebagaimana disampaikan oleh Purwowidodo (2000; 177) bahwa perkembangan akar tanaman dapat terhambat oleh adanya hambatan fisik dan kimia, yaitu fisik terutama karena disebabkan oleh keadaan tanah yang padat, karena adanya pemadatan tanah. Terhambatnya akar tanaman tentu membuat pertumbuhan dari rumput dan herba pun terhambat, sehingga tinggi rumput dan produktivitas pun menurun dengan meningkatnya kepadatan tanah. Kondisi Psikologis Wisatawan Kebun Raya Cibodas Motivasi wisatawan Kedatangan wisatawan di KRC memiliki motivasi yang saling berbeda, hal tersebut berkaitan dengan kondisi psikologis setiap wisatawan yang memang berbeda dan menurut Sumarwan (2002; 34) motivasi muncul karena adanya suatu kebutuhan yang dirasakan oleh wisatawan. Seperti halnya Wearing (2009; 235) yang menjelaskan bahwa motivasi adalah faktor-faktor yang menentukan alasan seseorang untuk melakukan sesuatu, dan dalam konteks perjalanan menjadi alasan bagi seseorang untuk melakukan perjalanan ke suatu destinasi. Selanjutnya menurut Warpani (2007: 40), motivasi seseorang untuk berwisata sebenarnya tidak selalu beralasan tunggal bahkan juga beralasan ganda. Berikut hasil kuesioner Tabel 6, 7 dan 8 dalam tiga tipe hari kunjungan yang berbeda yaitu hari biasa, sabtu dan minggu, menunjukan perbedaan motivasi wisatawan yang berkunjung ke KRC. Berdasarkan hasil kuesioner, juga diperoleh skala kriteria nilai dari motivasi tersebut (Tabel 5). Tabel 5 Skala kriteria nilai tingkat motivasi dan kepuasan wisatawan KRC Nilai Rentang Sangat rendah 1.000 1.850 Rendah 1.851 2.701 Agak rendah 2.702 3.552 Biasa saja 3.553 4.403 Agak tinggi 4.404 5.254 Tinggi 5.255 6.105 Sangat tinggi 6.106 7.000 Sumber: Olahan peneliti
36 Data menunjukan tingkat motivasi wisatawan dalam satu hari dengan empat periode waktu bahwa motivasi tertinggi pada hari biasa (Tabel 6) adalah untuk menikmati udara segar (6.25; sangat tinggi) dan yang terendah adalah untuk berinteraksi sosial (4.23) dalam taraf biasa saja. Perubahan periode sebenarnya tidak menunjukkan adanya perubahan motivasi wisatawan dalam berwisata, baik periode 1 dan 2 pada taraf yang tinggi. Tetapi menjadi agak tinggi pada periode 3 (5.11) lalu kembali naik menjadi tinggi motivasi wisatawan pada periode 4 (5.31) dan rata-rata motivasi wisatawan di hari biasa, tetap berada pada taraf tinggi (5.26). Tabel 6 Tingkat motivasi wisatawan pada hari biasa di KRC Bentuk motivasi P1 P2 P3 P4 Rata-rata Piknik 5.43 5.30 4.63 4.90 5.07 Rekreasi luar ruangan 5.57 5.83 5.93 6.03 5.84 Menikmati keindahan pemandangan 5.27 4.67 4.60 5.07 4.90 Menikmati udara segar 5.67 6.17 6.60 6.57 6.25 Kontak sosial 4.77 4.43 3.77 3.97 4.23 Rata-rata 5.34 5.28 5.11 5.31 5.26 a. P1=Periode I (jam 08:00 - 10:30); P2=Periode II (Jam 10:31-13:00); P3=Periode III (jam 13:01 - 15:00); P4=Periode IV (jam 15:01 -17:00). b. n=30 orang pada setiap periode waktu
Masih serupa dengan hari biasa baik periode waktu dan jumlah respondennya, maka motivasi tertinggi wisatawan di hari Sabtu (Tabel 7), adalah untuk menikmati udara segar (5.88; tinggi) sedangkan motivasi untuk berinteraksi sosial berada di rentang agak rendah (3.64). Rata-rata motivasi wisatawan pada hari Sabtu yaitu berada di taraf agak tinggi (5.10). Perubahan periode menunjukan adanya perubahan motivasi wisatawan dalam berwisata dan motivasi tertinggi tersebut ditunjukkan pada saat periode 3 (5.34; tinggi) dan periode lainnya hanya di taraf agak tinggi. Tabel 7 Tingkat motivasi wisatawan pada hari Sabtu di KRC Bentuk motivasi Piknik Rekreasi luar ruangan Menikmati keindahan pemandangan Menikmati udara segar Kontak sosial Rata-rata
P1 5.33 4.90
P2 5.40 5.10
P3 5.43 5.57
P4 4.90 5.87
Rata-rata 5.27 5.36
5.33 5.67 3.13 4.87
5.60 6.03 3.53 5.13
5.27 5.67 4.77 5.34
5.23 6.17 3.13 5.06
5.36 5.88 3.64 5.10
Motivasi wisatawan tertinggi pada tipe hari peak visit atau di hari Minggu (Tabel 8) dan sama seperti halnya dengan motivasi pada hari biasa dan Sabtu, yaitu untuk menikmati udara segar (6.3; sangat tinggi) dan rentang terendah dengan taraf biasa saja adalah pada motivasi untuk berinteraksi sosial (4.27), serta dengan rata-rata motivasi wisatawan berada pada taraf tinggi (5.26). Tetapi perubahan periode pada hari Minggu ini, sebenarnya tidak menunjukkan adanya
37 perubahan motivasi wisatawan yaitu pada taraf tinggi di periode 1, 2 dan 4. Memang menjadi agak tinggi pada periode 3 dengan motivasi wisatawan kembali naik menjadi tinggi (5.31) dalam berwisata, dan kondisi tersebut sama seperti di hari Biasa. Tabel 8 Tingkat motivasi wisatawan pada hari Minggu di KRC Bentuk motivasi P1 P2 P3 P4 Rata-rata Piknik 5.43 5.57 4.63 4.87 5.13 Rekreasi luar ruangan 5.27 5.60 5.93 6.00 5.70 Menikmati keindahan 5.13 5.07 4.60 4.80 4.90 pemandangan Menikmati udara segar 5.83 6.10 6.60 6.67 6.30 Kontak sosial 4.67 4.43 3.77 4.20 4.27 Rata-rata 5.27 5.35 5.11 5.31 5.26 Berdasarkan data keseluruhan motivasi wisatawan dari ketiga tipe hari tersebut tetap menunjukan tingkat motivasi tertinggi (Tabel 9) adalah untuk menikmati udara segar (6.14; sangat tinggi) dengan rata-rata motivasi wisatawan berada pada taraf agak tinggi (5.21). Sedangkan tingkat motivasi lainnya secara berurutan pada taraf yang tinggi, agak tinggi hingga biasa saja yaitu untuk rekreasi di luar ruangan (5.63), piknik (5.15), menikmati keindahan pemandangan (5.05) dan berinteraksi sosial (4.05). Perubahan periode waktu juga tidak menunjukkan adanya perubahan motivasi wisatawan dalam berwisata, yaitu masih dalam taraf agak tinggi, walaupun pada periode 2 memang taraf motivasi naik menjadi tinggi (5.26) tetapi kembali menjadi agak tinggi di periode 3 dan 4.
Tabel 9 Rerata motivasi wisatawan di KRC Bentuk motivasi P1 P2 P3 P4 Piknik 5.40 5.42 4.90 4.89 Rekreasi luar ruangan 5.24 5.51 5.81 5.97 Menikmati keindahan 5.24 5.11 4.82 5.03 pemandangan Menikmati udara segar 5.72 6.10 6.29 6.47 Kontak sosial 4.19 4.13 4.10 3.77 Rata-rata 5.16 5.26 5.18 5.22
Rata-rata 5.15 5.63 5.05 6.14 4.05 5.21
Persepsi wisatawan Seperti halnya motivasi, persepsi dari sisi psikologi dapat menggambarkan kondisi psikologis wisatawan, yaitu berdasarkan tingkat kepuasan yang didapatkan atau dirasakan wisatawan, karena dari sudut pandang tourism psychology menurut Avenzora (2008: 14) bahwa adanya pola perilaku wisatawan selalu ingin memaksimumkan kepuasannya. Tabel 10 menunjukkan pada hari biasa, kepuasan tertinggi wisatawan berada saat kegiatan melihat pemandangan alam (5.91; tinggi). Secara keseluruhan pada hari biasa maka kepuasan aktivitas wisatawan berada pada taraf tinggi (5.57). Adapun perubahan periode waktu tidak menunjukkan adanya perubahan terhadap nilai kepuasan wisatawan yang berada
38 pada rentang tinggi, kecuali di periode ke-4 saat kepuasan sedikit menurun pada taraf agak tinggi (5.22). Perubahan periode 4 tersebut disebabkan oleh menurunnya tingkat kepuasan wisatawan terhadap dua jenis aktivitas yaitu piknik (4.83) dan interaksi sosial (4.88) dari rentang tinggi menjadi agak tinggi. Tabel 10 Tingkat persepsi kepuasan wisatawan pada hari biasa di KRC Jenis Aktivitas P1 P2 P3 P4 Rata-rata Piknik 5.33 6.00 5.87 4.83 5.51 Rekreasi luar ruangan 5.47 5.68 5.41 5.27 5.46 Melihat pemandangan 5.87 6.23 5.87 5.67 5.91 alam Menikmati udara 5.73 6.10 5.60 5.43 5.72 segar Kontak sosial 5.18 5.58 5.48 4.88 5.28 Rata-rata 5.52 5.92 5.64 5.22 5.57 Tingkat kepuasan di hari Sabtu seperti terlihat pada Tabel 11, yaitu kepuasan tertinggi wisatawan berada saat kegiatan menikmati udara segar (6.30; sangat tinggi), selaras dengan motivasi kunjungan wisatawan tertinggi. Kepuasan aktivitas wisatawan paling kecil diperoleh oleh kegiatan piknik, yaitu hanya 3.15 (agak rendah). Namun secara keseluruhan pada hari Sabtu, kepuasan aktivitas wisatawan berada pada taraf tinggi (5.30), memang sedikit lebih rendah dari hari biasa namun masih pada taraf yang sama. Adapun signifikasi perubahan tingkat kepuasan wisatawan di hari Sabtu serupa dengan yang terjadi di hari biasa, yaitu sedikit menurun pada periode ke 4 (5.09) dengan taraf agak tinggi. Tabel 11 Tingkat persepsi kepuasan wisatawan pada hari Sabtu di KRC Jenis Aktivitas P1 P2 P3 P4 Rata-rata Piknik 4.27 4.20 2.30 1.83 3.15 Rekreasi luar ruangan 5.66 5.64 5.86 5.70 5.71 Melihat pemandangan alam 5.50 6.10 6.20 6.27 6.02 Menikmati udara segar 6.17 6.00 6.57 6.47 6.30 Kontak sosial 5.03 5.53 5.43 5.19 5.30 Rata-rata 5.32 5.50 5.27 5.09 5.30 Wisatawan di hari Minggu, merupakan peak visit yang memiliki tingkat kepuasan tertinggi saat kegiatan menikmati udara segar (6.48; sangat tinggi), selaras dengan motivasi kunjungan wisatawan tertinggi (Tabel 8). Sama halnya dengan hari Sabtu, kepuasan aktivitas wisatawan paling rendah diperoleh saat kegiatan piknik, yaitu hanya 3.53 (agak rendah). Namun secara keseluruhan di hari Minggu, seperti terlihat dalam Tabel 12, kepuasan aktivitas wisatawan berada pada taraf tinggi (5.34; sedikit lebih tinggi dari hari Sabtu namun masih pada taraf yang sama). Berbeda dengan hari biasa dan hari Sabtu, tingkat kepuasan wisatawan pada hari Minggu justru menunjukkan angka paling kecil pada saat periode 1 (5.01; agak tinggi) sedangkan angka paling tinggi ditunjukkan pada saat periode ke 4 (5.58; tinggi).
39
Tabel 12 Tingkat persepsi kepuasan wisatawan pada hari Minggu di KRC Jenis Aktivitas P1 P2 P3 P4 Rata-rata Piknik 1.23 4.17 3.67 5.07 3.53 Rekreasi luar ruangan 5.60 5.70 5.68 5.69 5.67 Melihat pemandangan alam 6.33 5.87 5.83 5.53 5.89 Menikmati udara segar 6.50 6.43 6.53 6.43 6.48 Kontak sosial 5.37 4.87 5.07 5.16 5.11 Rata-rata 5.01 5.41 5.36 5.58 5.34 Kemudian berdasarkan hasil data penggabungan ketiga tipe hari (Tabel 13), maka kegiatan dengan nilai kepuasan wisatawan tertinggi adalah menikmati udara segar (6.16; sangat tinggi) dan selaras dengan motivasi kunjungan wisatawan tertinggi (Tabel 9). Kondisi alami KRC yang sejuk akan tetap menjadi motivasi utama wisatawan KRC yang persentase terbesarnya berasal dari kota Jakarta, Depok dan Bekasi, dengan kondisi udara yang cenderung panas, suhu antara 24⁰C hingga 33⁰C (BMKG 2014). Suhu udara sangat berbeda dengan KRC yang dapat mencapai 10⁰C dengan suhu rata-rata tahunan KRC 18⁰C (Jasin KRC 2013). Kepuasan aktivitas wisatawan paling kecil diperoleh saat kegiatan piknik (4.06; biasa saja). Secara keseluruhan, rata-rata kepuasan aktivitas wisatawan berada pada taraf tinggi (5.40). Jika dilihat berdasarkan perubahan periode waktu maka setiap periode masih menunjukkan nilai kepuasan pada taraf tinggi dan tidak ada perubahan yaitu antara 5.28 hingga 5.61.
Tabel 13 Rerata tingkat kepuasan wisatawan di KRC Jenis Aktivitas P1 P2 P3 P4 Rata-rata Piknik 3.61 4.79 3.94 3.91 4.06 Rekreasi luar ruangan 5.57 5.67 5.65 5.55 5.61 Melihat pemandangan alam 5.90 6.07 5.97 5.82 5.94 Menikmati udara segar 6.13 6.18 6.23 6.11 6.16 Kontak sosial 5.19 5.33 5.33 5.07 5.23 Rata-rata 5.28 5.61 5.42 5.29 5.40 Analisis psikologis wisatawan Motivasi dan persepsi kepuasan wisatawan merupakan gambaran kondisi psikologis wisatawan KRC dan apabila kesesuaian antara keduanya digabungkan sebagaimana disajikan dalam Gambar 10, menunjukan pada beberapa kegiatan, maka KRC telah dapat memenuhi harapan wisatawan (dengan pendekatan motivasi) yaitu saat kegiatan rekreasi luar ruangan dan menikmati udara segar. Bahkan saat kegiatan melihat pemandangan alam dan kontak sosial, melebihi nilai motivasi yang diharapkan oleh wisatawan. Kegiatan yang masih belum dapat diakomodasi oleh KRC adalah pemenuhan harapan kebutuhan kegiatan berpiknik, dimana nilai kepuasan kegiatan ini cukup rendah dibandingkan nilai motivasi yang dikemukakan wisatawan.
40
Gambar 10 Tingkat motivasi dan kepuasan wisatawan di KRC Keberadaan wisatawan di KRC mempunyai beberapa persepsi mengenai berbagai aktivitas yang dilakukan mereka di dalam kawasan KRC. Walaupun memiliki motivasi kontak sosial 4.05 (biasa saja), wisatawan tetap lebih merasa nyaman ketika kondisi obyek yaitu KRC dengan banyak wisatawan, khususnya pada saat weekend. Namun, kondisi wisatawan yang padat pada saat libur nasional (peak season) dinilai lebih rendah oleh wisatawan (4.31; biasa saja). Adapun kunjungan yang dilakukan oleh wisatawan grup yang membawa dan menghidupkan peralatan musik dengan keras dinilai wisatawan membuat suasana kawasan menjadi agak tidak nyaman (3.25). Persepsi wisatawan mengenai dimensi pelayanan Sumber Daya Manusia (SDM) manajemen KRC dinilai wisatawan seluruhnya berada pada nilai agak memuaskan dengan rata-rata 4.55 (agak memuaskan). Apabila melihat persepsi wisatawan terhadap aspek dampak lingkungan dari KRC, dinilai wisatawan pada tingkat yang baik, dengan rata-rata 5.15 (agak baik), dimana satu aspek lingkungan dengan nilai tertinggi adalah pada kualitas air (5.62; baik) yang ada di KRC. Untuk aspek lingkungan lainnya dengan nilai baik adalah pertumbuhan rumput dan pemeliharaanya terhadap rumput ditempat terbuka, pertumbuhan dan pemeliharaan pepohonan di tempat terbuka, ketersediaan sistem penjagaan dan pemulihan kualitas air di KRC. Berdasarkan hasil kuesioner persepsi kepuasan wisatawan mengenai berbagai infrastruktur dan fasilitas di KRC dengan nilai rata-rata tertinggi 5.70 yaitu memuaskan adalah fasilitas mengenai air bersih yang ada di KRC terutama dari aliran air sungai seperti di Jalan Air atau pun di beberapa air terjun yang ada di KRC. Kemudian kepuasan wisatawan yang masih pada tingkat nilai memuaskan untuk fasilitas yang ada di KRC adalah akses dalam obyek, pusat informasi, jalan setapaknya, pintu gerbang, shelter, galeri tanaman hias, papan interpretasi, dan mushola. Hanya rata-rata keseluruhan tingkat kepuasan wisatawan untuk fasilitas KRC yang ada masih pada nilai agak memuaskan (5.05). Secara umum wisatawan memiliki persepsi mengenai sumber daya alam terutama mengenai pentingnya tumbuhan dan lingkungan bagi kehidupan (5.26) dimana wisatawan mengetahui mengenai hal ini, sedangkan mengenai sumber daya alam lainnya seperti keanekaragaman jenis flora dan fauna, keindahan bentang alam atau lansekap, ekosistem hutan hujan tropis, apa itu pelestarian
41 lingkungan dan konservasi eksitu, ternyata masih pada tingkat agak tahu saja dan belum sampai pada tingkat mengetahui, sehingga nilai rata-rata mengenai sumber daya alam ini masih pada nilai agak tahu saja dari persepsi wisatawan. Pola keluar masuk wisatawan Kebun Raya Cibodas Hasil pengamatan wisatawan yang dilakukan secara langsung dan bersamaan di pintu masuk dan keluar KRC pada low visit (hari Biasa), condensed visit (Sabtu) dan peak visit (Minggu) menunjukan pola keluar-masuk wisatawan yang berbeda-beda. Seperti tersaji dalam Gambar 11, dimana pada periode ke-1 menuju periode ke-2 terjadi penurunan jumlah wisatawan yang masuk, tetapi dari periode ke-2 hingga ke-4 jumlah yang masuk terus meningkat. Seperti halnya jumlah wisatawan yang masuk dari periode 2 hingga 4, jumlah wisatawan yang keluar tetap meningkat dari awal periode hingga akhir periode.
Gambar 11 Pola keluar-masuk pengunjung pada hari biasa di KRC Periode 1(08.00-10.30), Periode 2 (10.30-13.00), Periode 3 (13.00-15.00), Periode 4 (15.00-17.00).
Pengamatan pola keluar-masuk wisatawan pada hari Sabtu memang berbeda dengan hari biasa dimana jumlah wisatawan masuk pada periode 1 yaitu di pagi hari antara jam 08:00 – 10:30 sudah tinggi, dapat mencapai jumlah wisatawan diatas 1000 orang, sedangkan pada hari biasa masih dibawah 400 orang. Kemudian di periode berikutnya pada hari Sabtu jumlah wisatawan yang masuk menurun disertai jumlah wisatawan yang keluar dari KRC terus meningkat (Gambar 12).
Gambar 12 Pola keluar-masuk wisatawan pada hari Sabtu di KRC
42 Pola keluar-masuk wisatawan pada peak visit atau hari Minggu (Gambar 13) sebenarnya hampir menyerupai pola di hari Sabtu, yaitu terdapat titik potong pada garis grafik wisatawan yang masuk dengan yang keluar, yaitu antara periode 2 dengan 3 yang merupakan waktu siang hari. Hanya pada hari Minggu jumlah wisatawan masuk di pagi hari yaitu periode ke-1, telah lebih dari 1 500 orang (1718 orang), kemudian periode ke-2 masih terjadi peningkatan, tidak seperti di hari Sabtu jumlah wisatawan yang masuk terus menurun dari Periode ke-1 hingga 4. Periode ke-2 hingga ke-4 jumlah yang masuk terus menurun pada hari minggu tetapi jumlah wisatawan yang keluar mencapai maksimal pada periode ke-3 dan terus menurun hingga periode yang ke-4.
Gambar 13 Pola keluar-masuk wisatawan pada hari Minggu di KRC
Daya Dukung Fisik Kebun Raya Cibodas Luas penggunaan ruang wisatawan Penggunaan ruang oleh wisatawan di KRC dari hasil pengamatan didapatkan kebutuhan ruang berdasarkan kegiatan yang berbeda per periode. Dari pengamatan tapak yang dilakukan, terdapat 6 kategori kegiatan yang dilakukan oleh wisatawan di dalam tapak, yaitu kegiatan piknik, duduk-duduk, bermain, makan-makan, berkumpul dan berfoto-foto. 1. Kegiatan piknik Luas penggunaan ruang untuk kegiatan piknik seperti disajikan pada Gambar 14, menunjukan bahwa peningkatan jumlah wisatawan belum tentu akan meningkatkan rata-rata luas penggunaan ruang per orang. Jumlah wisatawan terus meningkat dari hari biasa ke hari Sabtu hingga tertinggi pada hari Minggu demikian juga dengan tingkat kunjungan atau frekuensinya. Teramati bahwa frekuensi tertinggi kegiatan piknik adalah 144 kejadian pada peak visit atau di hari Minggu pada periode ke-2 tertinggi dengan 77 kejadian. Sedangkan pada low visit atau hari biasa hanya 62 kejadian saja, tetapi tertinggi pada periode ke-1 dengan 20 kejadian. Menyerupai hari Minggu, kegiatan piknik pada hari Sabtu tertinggi pada periode ke-2 dengan 28 kejadian tetapi total kejadian piknik hanya 69.
43
a. Hari biasa (Low visit)
b. Hari Sabtu (Condensed visit)
c. Hari Minggu (Peak visit) Gambar 14 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan piknik Rata-rata luas penggunaan ruang untuk kegiatan piknik berdasarkan data ketiga tipe hari tersebut adalah 3.44 m2/orang dan rerata luasan per hari yang tertinggi adalah pada hari Biasa yaitu 9.36 m2/orang dibandingkan hari Sabtu dan Minggu (Tabel 14). Rerata luasan per orang untuk aktivitas bermain yang lebih luas pada
44 hari biasa dibandingkan hari Sabtu dan Minggu, berkaitan dengan jumlah wisatawan per harinya, yang memang lebih rendah di hari Biasa sehingga wisatawan pun dapat menggunakan areal lebih luas. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu dengan semakin padat wisatawan yang masuk KRC maka per wisatawan pun mempersempit luasannya untuk kegiatan piknik. Namun pada hari Sabtu meskipun jumlah wisatawan dan tingkat kunjungan masih lebih rendah dari hari Minggu, tetapi luas ruang yang digunakan per wisatawan ternyata lebih rendah dari minggu. Perubahan periode waktu ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap luas penggunaan ruang untuk kegiatan piknik (P = 0.314 > α = 0.05). Tabel 14 Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan piknik Luas Korelasi Proporsi Periode Penggunaan ruang (y) Frekuensi (R2) (%) (m2) Hari Xmin 2 ; Xmax20 Biasa 1 20 35 9.4621 2 18 31 2.1002 3 14 22 13.3947 y = -0.001x2 + 1.517x 4 0.502 10 12 20.2610 + 3.725 Rerata Hari Biasa 9.3567 Sabtu Xmin ; Xmax 1 19 40 1.1897 2 28 32 1.2300 3 18 15 1.1938 4 4 14 0.8958 Rerata Sabtu 1.1632 Minggu Xmin ; Xmax 1 44 41 3.9052 2 77 36 4.0104 3 21 15 2.9721 4 2 8 2.1190 Rerata Minggu 3.6588 Rerata Total 3.4441
2. Kegiatan duduk Kegiatan duduk-duduk di KRC rerata luas penggunaan ruangnya adalah 1.1353 m2/orang (Tabel 15). Seperti halnya kegiatan piknik, rerata luasan penggunaan ruang tertinggi untuk kegiatan duduk per wisatawannya yaitu di hari biasa (2.0094 m2/orang) dengan gambaran pola penggunaan ruang seperti pada Gambar 15a dan rerata luasan terendah masih pada hari Sabtu (0.9231 m2/orang), meskipun jumlah kunjungan dan jumlah wisatawan tertinggi pada hari Minggu. Sebaliknya untuk kegiatan duduk-duduk, perubahan periode waktu ternyata berpengaruh secara signifikan pada luas penggunaan ruang (P=0.02 < α=0.05).
45
a. Hari biasa (Low visit)
b. Hari Sabtu (Condensed visit)
c. Hari Minggu (Peak visit)
Gambar 15 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan duduk
46 Tabel 15 Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan duduk Penggunaan ruang Korelasi Proporsi Luas Periode Frekuensi (y) (R2) (%) (m2) Hari Xmin 2 ; Xmax20 Biasa 1 21 35 1.2656 2 14 31 0.8801 3 11 22 1.0408 y = 0.117x2 - 1.05x + 4 0.586 8 12 8.6940 2.578 Rerata Hari Biasa 2.0094 Sabtu Xmin ; Xmax 1 37 40 0.9224 2 86 32 0.8315 3 38 15 0.9859 4 29 14 1.0702 Rerata Sabtu 0.9231 Minggu Xmin ; Xmax 1 40 41 1.2989 2 100 36 1.0118 3 60 15 0.8284 4 24 8 0.7828 Rerata Minggu 1.0828 Rerata Total 1.1353
3. Kegiatan bermain Kegiatan bermain dari hasil pengamatan dapat terbentuk suatu pola penggunaan ruang yaitu pada hari biasa periode 3 dan 4 (Gambar 16a) serta hari Sabtu periode 1 (Gambar 16b). Disajikan dalam Gambar 16a pola penggunaan ruang kegiatan bermain pada hari biasa yaitu dengan jumlah wisatawan kelompok terkecil 2 orang dan terbesar hingga 50 orang kemudian luas rata-rata ruang yang digunakan adalah 7.5314 m2/orang (Tabel 16). Sedangkan pada hari Sabtu dengan pola penggunaan ruang kegiatan bermain yang terbentuk di periode ke-1 dan luas penggunaan ruang tertinggi yaitu 5.54 m2/orang, tetapi dengan rerata harian yang terendah (4.22 m2/orang) seperti pada kegiatan piknik dan duduk. Untuk rerata luas penggunaan ruang kegiatan bermain per orangnya adalah 4.8714 m2 dengan tetap pada hari Minggu sebagai hari dengan tingkat kunjungan tertinggi pada periode ke-2 (31 kali), tetapi dengan rerata luasan tertinggi pada periode 4 dan merupakan periode dengan tingkat kunjungan terendahnya yaitu hanya satu kali kunjungan. Perubahan periode waktu tidak berpengaruh signifikan terhadap luas penggunaan ruang untuk kegiatan bermain (P = 0.457 > α = 0.05).
47
a. Hari biasa (Low visit)
b. Hari Sabtu (Condensed visit)
a. Hari biasa (Low visit) b. Hari Sabtu (Condensed visit)
c. Hari Minggu (Peak visit) Gambar 16 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan bermain
48 Tabel 16 Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan bermain Korelasi Proporsi Luas Periode Penggunaan ruang (y) Frekuensi (R2) (%) (m2) Hari Xmin 2 ; Xmax50 Biasa 1 12 35 9.9998 2 10 31 8.9557 -0.05x 3 y = 12.01e 0.505 9 22 3.8806 4 y = 10.78e-0.05x 0.740 3 12 3.4832 Rerata Hari Biasa 7.5314 Sabtu Xmin 2 ; Xmax12 1 y = 24.46e-0.32x 0.653 10 40 5.5400 2 18 32 3.3203 3 9 15 4.1548 4 6 14 2.4692 Rerata Sabtu 4.2211 Minggu Xmin ; Xmax 1 24 41 4.0317 2 31 36 4.2922 3 11 15 5.6080 4 1 8 8.3333 Rerata Minggu 4.7149 Rerata Total 4.8714 4. Kegiatan makan Salah satu kegiatan umum dan paling sering dilakukan wisatawan adalah kegiatan makan, dalam hal ini kegiatan yang dimaksudkan adalah kegiatan makan-makan wisatawan yang dilakukan bersama-sama dan rata-rata luas penggunaan ruang untuk kegiatan makan adalah 1.77 m2/orang (Tabel 17). Hari Minggu sebagai peak visits menjadi hari dengan frekuensi kegiatan makan dan jumlah wisatawan tertinggi (Gambar 17c), sedangkan perubahan periode waktu tidak berpengaruh secara signifikan pada luas penggunaan ruang dalam kegiatan ini (P = 0.436 > α = 0.05).
a. Hari biasa (Low visit) Gambar 17 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan makan
49
b. Hari Sabtu (Condensed visit)
c. Hari Minggu (Peak visit) Gambar 17 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan makan (lanjutan) Tabel 17 Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan makan Periode
Penggunaan ruang (y)
Hari Biasa 1 2 3 4
Xmin ; Xmax -
Sabtu
Xmin 2 ; Xmax27 y = 0.006x2 - 0.058x + 0.876
1 2 3 4
Korelasi (R2)
Frekuensi
Proporsi (%)
Luas (m2)
1 5 2
35 31 22 12
2.4000 1.2417 1.1667 1.3610
-
11 10 7
40 32 15
0.8345 1.2356 1.2893
0.955
11
14
1.6340
Rerata Hari Biasa
Rerata Sabtu Minggu 1 2 3 4
Xmin ; Xmax -
Rerata Minggu Rerata Total
1.1359 11 32 5 3
41 36 15 8
2.0190 2.0799 2.5722 4.0952 2.2950 1.7735
50 5. Kegiatan berkumpul Rata-rata total penggunaan ruang untuk kegiatan berkumpul adalah 2.12 2 m /orang (Tabel 18) dan frekuensi kegiatan berkumpul terus meningkat dari hari biasa, ke hari Sabtu hingga Minggu. Frekuensi dan jumlah wisatawan tertinggi terjadi pada hari Minggu dengan 53 kejadian (Gambar 18) dan rata-rata luas penggunaan ruang di hari tersebut adalah 1.67 m2/orang. Tetapi rerata luas penggunaan ruang tertinggi untuk kegiatan berkumpul adalah pada hari Sabtu (3.07 m2/orang) dengan 31 kejadian. Terbentuk suatu pola dimana meningkatnya jumlah wisatawan menunjukan luas penggunaan ruang per orang untuk kegiatan berkumpul semakin mengecil. Untuk kegiatan berkumpul ternyata perubahan periode waktu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap luas penggunaan ruang per orang wisatawan (P = 0.680 > α = 0.05).
a. Hari biasa (Low visit)
b. Hari Sabtu (Condensed visit)
c. Hari Minggu (Peak visit) Gambar 18 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan berkumpul
51 Tabel 18 Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan berkumpul Penggunaan Korelasi Proporsi Luas Periode Frekuensi ruang (y) (R2) (%) (m2) Hari Xmin ; Xmax Biasa 1 2 35 0.4500 2 3 31 3.1333 3 1 22 0.7143 4 12 Rerata Hari Biasa 1.2893 Sabtu Xmin ; Xmax 1 14 40 3.4696 2 10 32 3.4112 3 6 15 2.2179 4 1 14 2.0000 Rerata Sabtu 3.0689 Minggu Xmin 15 ; Xmax100 1 17 41 2.5279 2 y = 49.60x - 1.18 0.542 32 36 0.5825 3 4 15 1.2462 4 8 Rerata Minggu 1.6734 Rerata Total 2.1236
6. Kegiatan berfoto Luas penggunaan ruang untuk kegiatan berfoto rata-rata adalah 2.0965 m2/orang (Gambar 19 dan Tabel 19), dengan rerata harian luas penggunaan ruang tertinggi adalah pada hari biasa (3.23 m2/orang) tetapi dengan 81 kejadian atau frekuensi kegiatan berfoto terendah dibandingkan pada hari Sabtu (136 kejadian) dan Minggu (152 kejadian). Sedangkan rerata luas penggunaan ruang untuk kegiatan berfoto pada hari Minggu adalah 1.98 m2/orang dan Sabtu adalah 1.9 m2/orang, menjadi menyempit karena jumlah wisatawan dan frekuensi semakin meningkat. Hal tersebut dapat terlihat dalam Gambar 20 dimana semakin tinggi jumlah wisatawan ternyata luas penggunaan ruang per orang pun semakin rendah atau mengecil. Kemudian perubahan periode waktu ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap luas penggunaan ruang untuk kegiatan berfoto (P = 0.000 < α = 0.05).
52
a. Hari Biasa (Low visit)
b. Hari Sabtu (Condensed visit)
c. Hari Minggu (Peak visit) Gambar 19 Pola penggunaan ruang untuk kegiatan berfoto
53 Tabel 19 Luas penggunaan ruang per wisatawan untuk kegiatan berfoto Penggunaan ruang Korelasi Proporsi Luas Periode Frekuensi (y) (R2) (%) (m2) Hari Xmin ; Xmax Biasa 1 35 35 5.8055 2 31 31 2.1720 3 10 22 1.8555 4 5 12 1.1000 Rerata Hari Biasa 3.2280 Sabtu Xmin 2 ; Xmax16 y = 0.073x2 - 1.404x 1 0.811 24 40 1.6524 + 6.933 2 39 32 2.3197 3 34 15 1.9107 4 29 14 1.6210 Rerata Sabtu 1.8965 Minggu Xmin ; Xmax 1 43 41 2.0207 2 45 36 1.9934 3 42 15 2.0168 4 22 8 1.6393 Rerata Minggu 1.9783 Rerata Total 2.0965
Berdasarkan keenam kegiatan per periode tersebut, maka diperoleh rerata kebutuhan ruang dari setiap kegiatan seperti disajikan dalam Tabel 20 berikut. Dimana rerata keseluruhan kebutuhan ruang untuk kegiatan rekreasi atau wisata di KRC adalah 2.3395 m2/wisatawan. Tabel 20 Proporsi luas pengunaan ruang untuk setiap kegiatan per orang di KRC Kegiatan Piknik Duduk Bermain Makan Berkumpul Foto
Luas (m2) 3.4441 1.1353 4.8714 1.7735 2.1236 2.0965 Luas per Orang KRC
Proporsi (%) 17 24 9 5 25 20
Luas x Proporsi 0.5943 0.2719 0.4394 0.0900 0.5343 0.4096 2.3395
Faktor rotasi Untuk mendukung hasil pengukuran daya dukung fisik KRC maka diperlukan nilai Faktor rotasi atau Rotation factor (Rf), dimana hasil overlay
54 grafik antara masuk dan keluar wisatawan diperoleh titik Faktor rotasi (Rf) di KRC sebagaimana terlihat dalam Gambar 20, dan melalui perhitungan pembagian lama waktu operasional (9 jam) dengan lama waktu rata-rata wisatawan berada di KRC atau rata-rata lama waktu kunjungan dalam satu kali kunjungan (4:44 jam atau 4.7333) diperoleh nilai Rf sebesar 1.9014. 9 𝑅𝑓 .9 .7333
Gambar 20 Rata-rata pola keluar-masuk wisatawan Kebun Raya Cibodas Luasan efektif Kebun Raya Cibodas Luasan KRC secara detail seperti terlihat dalam Tabel 21 berikut, dimana luas kawasan yang dimiliki oleh KRC adalah 84.99 ha atau 849 000 m2, tetapi luas efektif KRC harus diketahui dalam menentukan nilai Daya Dukung Fisik KRC. Luas KRC tidak akan digunakan seluruhnya oleh wisatawan dalam aktivitas wisatanya, seperti area dengan kemiringan yang curam, area yang ditumbuhi oleh pepohonan atau semak, jalur jalan (jalan aspal dan gico), area bangunan dan lainnya, sehingga dengan pengurangan luas total KRC dengan luas area yang tidak dapat digunakan oleh wisatawan diperoleh luas efektif KRC tersebut yaitu 426 604.68 m2. Tabel 21 Rincian penggunaan area di KRC Uraian Luas KRC keseluruhan (a) Luas Tanah untuk Bangunan Luasan ditumbuhi pohon Luas Area yang tidak dapat dikunjungi Luas yang tidak dapat digunakan pengunjung (b)
Luas (m2) 849 900.00 69 370.85 4 359.29 349 565.18 423 295.32
Luas yang dapat digunakan pengunjung (a-b)
426 604.68
55 Daya Dukung Fisik (Physical Carrying Capacity /PCC) Pengukuran nilai daya dukung fisik (PCC) dengan menggunakan persamaan sesuai Cifuentes (1992) dalam Ceballos-Lascurain (1996: 265-274), dimana nilai variabel untuk menganalisis PCC telah diketahui yaitu luas efektif dari KRC (A), luas area yang dibutuhkan per orang di KRC (V/a) dan Faktor rotasi KRC (Rf), berikut adalah hasil analisis PCC : . ⁄ .339 .9 a 3
. 7 7
⁄ .339
.9
Berdasarkan hasil penghitungan nilai daya dukung fisik (PCC) KRC maka jumlah wisatawan yang dapat ditampung KRC dalam satu hari adalah mencapai 346 717 orang wisatawan.
Daya Dukung Riil Kebun Raya Cibodas Daya Dukung Riil (RCC) dari tapak KRC yang dihitung untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah maksimal kunjungan wisatawan yang diperbolehkan untuk masuk ke KRC, yaitu dengan mengurangi nilai daya dukung fisik (PCC) KRC dengan faktor-faktor koreksi (Cf) yang menjadi pertimbangan dari sisi ekologis dan psikologis. Berikut faktor koreksi ekologis (CfE) merupakan indikator ekologis dalam tapak dan yang digunakan dalam studi ini indikator makro dan mikro. Indikator makro adalah rumput berupa kondisi produktivitas (persen kadar air dalam rumput) dan pertumbuhan rumput (tinggi rumput), sedangkan indikator mikro merupakan kondisi tanah. Adapun indikator mikro merupakan indikator yang mempengaruhi indikator makro yaitu persen kadar air dalam tanah dan tingkat penetrasi tanah. Sedangkan sisi psikologis dengan faktor koreksi yang menggambarkan nilai daya dukung psikologis, berupa pengaruh perubahan jumlah wisatawan terhadap tingkat kepuasan wisatawan dalam setiap periode waktu. Faktor koreksi ekologis (CfE) Kondisi rumput (CfG) Hasil pengamatan rumput di KRC dengan jenis yang mendominasi di seluruh contoh lokasi petak adalah jenis Axonopus compressus atau jenis rumput gajahan. Variabel pengamatan untuk faktor koreksi rumput (CfG) adalah tingkat produktivitas rumput berdasarkan nilai persen kadar air dalam rumput (CfG1) dan tinggi rumput (CfG2), dimana kedua faktor koreksi tersebut terjadi perubahan dari Kondisi 1, Kondisi 2, Kondisi 3 hingga Kondisi 4 (Gambar 5 dan 6) yaitu pada rata-rata kadar air dalam rumput 73.51% di Kondisi 1, 71.79% di Kondisi 2, 58.32% di Kondisi 3 dan 59.70% di Kondisi 4. Berdasarkan hasil ANOVA dan Tes Lanjut Duncan, nilai persen kadar air dalam rumput berbeda nyata pada setiap
56 kondisi (p = 0.003 < α = 0.05) terutama pada perubahan nilai persen kadar air rumput dari Kondisi 2 ke Kondisi 4, sedangkan Kondisi 1 (kontrol) ke Kondisi 2 tidak berbeda nyata, dan antara Kondisi 4 ke Kondisi 3 juga tidak berbeda nyata. Untuk penentuan nilai faktor koreksi persen kadar air rumput (CfG1) adalah : rerata Kondisi 1 (kontrol) dan 2, karena tidak berbeda nyata sebagai Ukuran Ideal (MT) yaitu 72.65, nilai Ukuran Pembatas (ML) merupakan selisih nilai MT dengan nilai pada kondisi pembatas atau kondisi lapangan yang merupakan rerata Kondisi 3 dan 4 sebesar 59.01, maka : f =
M M
100 =
7 .
9. 7 .
100 =
.7
Sedangkan rata-rata tinggi rumput adalah 4.39 cm di Kondisi 1, 2.22 cm di Kondisi 2, 2.33 cm di Kondisi 3 dan 2.11 cm di Kondisi 4. Hasil ANOVA dan Tes Lanjut Duncan pada pertumbuhan tinggi rumput ini, menunjukkan efek yang signifikan atau berbeda nyata (p = 0.00 < α = 0.05) yaitu Kondisi 1 (kontrol) ke Kondisi 2, 3, dan 4, sedangkan antara Kondisi 2, 3 dan 4 tidak berbeda nyata. Untuk itu dalam menghitung faktor koreksi tinggi rumput (CfG2) maka Kondisi 1 (kontrol) sebagai nilai Ukuran Ideal (MT) yaitu 4.39 dan nilai Ukuran Pembatas (ML) merupakan selisih nilai MT dengan nilai pada kondisi pembatas yang merupakan rerata Kondisi 2, 3 dan 4 sebesar 2.22, sehingga dari nilai-nilai tersebut maka: f =
M M
100 =
.39 . .39
100 = 9. 3
Berdasarkan kedua faktor koreksi rumput tersebut, maka diperoleh nilai CfG yang merupakan rerata dari CfG1 dan CfG2, yaitu : f =
f
1
f
2
=
1 .78
9. 3
= 34.
Kondisi tanah (CfS) Tanah sebagai faktor koreksi, karena secara ekologis-fisik tanah mendapat pengaruh secara langsung melalui injakan wisatawan saat beraktivitas di KRC. Variabel pengamatan untuk faktor koreksi tanah (CfS) adalah tingkat penetrasi tanah (CfS1) dan persen kadar air dalam tanah (CfS2) seperti terlihat pada Gambar 8 dan 9, dengan rerata hasil pengukuran tingkat penetrasi tanah yaitu 0.5897 Mpa di Kondisi 1, 0.8040 Mpa di Kondisi 2, 1.0008 Mpa di Kondisi 3 dan 1.3610 Mpa di Kondisi 4. Dari hasil Anova dan Tes Lanjut Duncan, nilai penetrasi tanah tersebut signifikan terhadap perubahan kondisi tanah (p = 0.000 < α = 0.05) dan berbeda nyata pada setiap kondisi terutama pada Kondisi 1 (kontrol) ke Kondisi 2, sedangkan Kondisi 2 dan 3 tidak berbeda nyata, tetapi antara Kondisi 3 ke Kondisi 4 berbeda nyata. Untuk itu penghitungan faktor koreksi tingkat penetrasi tanah (CfS1) diperoleh dari nilai Ukuran Ideal (MT) Kondisi 1 (kontrol) yaitu 0.5897 dan nilai Ukuran Pembatas (ML) merupakan selisih antara nilai Ideal (MT) dengan nilai pada kondisi pembatas atau kondisi lapangan yang merupakan rerata Kondisi 2, 3 dan 4 yaitu sebesar 1.0553, maka:
57 fS1 =
M M
100 =
. 0.
3 . 97 97
100 = 7 .9
Kemudian nilai rata-rata persen kadar air dalam tanah adalah 42.03% di Kondisi 1, 43.25% di Kondisi 2, 40.61% di Kondisi 3 dan 35.95% di Kondisi 4. Faktor koreksi tanah untuk persen kadar air dalam tanah (CfS2) diperoleh dari nilai Ukuran Ideal (MT) Kondisi 1 (kontrol) yaitu 42.03 dan nilai Ukuran Pembatas (ML) merupakan selisih nilai MT dengan nilai pada kondisi pembatas atau kondisi lapang yang merupakan rerata Kondisi 2, 3 dan 4 sebesar 39.94%, maka : fS =
M M
100 =
. 3 39.9 . 3
100 = .97
Grafik pada Gambar 8 dan 9, menunjukan kadar air dalam tanah terus menurun, sedangkan penetrasi tanah meningkat dari kondisi kontrol hingga ke kondisi tanah yang sering terinjak (Kondisi 4). Hal tersebut sesuai dengan Kurnia et al (2006; 76) bahwa penetrasi tanah dan kepadatan tanah dengan kadar air dalam tanah berhubungan negatif, tetapi hasil uji Anova menunjukan perubahan yang tidak signifikan pada persen kadar air dalam tanah terhadap perubahan kondisi tanah (p = 0.344 > α = 0.05), sehingga faktor koreksi CfS2 dapat diabaikan. Tingkat penggunaan tanah yaitu akibat injakan yang terus meningkat di tapak KRC ternyata belum berpengaruh terhadap persen kadar air dalam tanah, hal ini diduga karena tingkat curah hujan yang tinggi sehingga mempengaruhi kelembaban tanah di tapak tersebut. Setelah nilai faktor koreksi yang mempengaruhi daya dukung ekologis telah diperoleh maka dapat ditentukan nilai RCC dengan pertimbangan ekologi yaitu dengan faktor koreksi rerata indikator makro atau rumput (CfG = 34.11%) dengan indikator mikro atau tanah (CfS = 78.96%), sehingga faktor koreksi ekologis (CfE) menjadi 56.54%. 100 f = 100 100 . = 34 7 7 = 3 orang wisatawan hari 100 Adapun sesuai hasil uji Anova yaitu indikator mikro atau tanah sesuai kondisi lapang untuk persen kadar air dalam tanah menunjukan perubahan yang tidak signifikan terhadap perubahan kondisi tanah (p=0.344 > α=0.05), maka nilai faktor koreksi ekologis tanah hanya menggunakan tingkat penetrasi tanah yang sesuai pengukuran kondisi lapang dan hasil uji Anova (p=0.000 < α=0.05), berpengaruh nyata terhadap perubahan kondisi tanah. Demikian nilai daya dukung riil (RCC) KRC yang mempertimbangkan kondisi ekologis KRC adalah 150 683 orang wisatawan/hari. Faktor koreksi psikologis (CfP ) Berikut faktor koreksi psikologis merupakan tingkat kepuasan wisatawan yaitu selisih dari rata-rata kepuasan wisatawan tertinggi dan terendah di KRC, diperoleh 5.88%. Untuk menentukan apakah sebenarnya tingkat kepuasan wisatawan dipengaruhi oleh perubahan periode waktu, yang setiap periode mengalami perubahan jumlah wisatawan seperti disajikan dalam grafik Gambar
58 21 berikut, maka dilakukan uji Anova. Hasil pengujian menunjukan bahwa tingkat kepuasan wisatawan baik pada Low Visit (p=0.478 > α=0.05), Condensed Visit (p=0.356 > α=0.05) dan Peak Visit (p=0.87 > α=0.05), ternyata tidak dipengaruhi oleh perubahan periode waktu yang berkaitan dengan perubahan jumlah wisatawan atau kepadatan wisatawan di dalam area KRC. Menurut Pigram dan Jenkins (1999) sebenarnya tingkat kepuasan wisatawan dipengaruhi oleh tingkat kepadatan wisatawan di suatu area, akan tetapi penggunaan uji ANOVA dalam penelitian ini tidak menunjukan hasil yang mendukung teori tersebut. Meskipun persentase jumlah wisatawan tertinggi berada pada Periode 1 (39.24%) dengan tingkat kepuasan wisatawan tinggi (5.28) dan pada Periode 2 jumlah wisatawan turun tetapi disertai naiknya nilai kepuasan wisatawan (5.61) berada pada skala nilai tinggi. Periode 3 dan 4, baik jumlah wisatawan dan tingkat kepuasan wisatawan mengalami penurunan nilai tetapi tingkat kepuasan wisatawan tetap masih pada skala tinggi. Tingkat kepuasan wisatawan yang tetap tinggi walaupun jumlah wisatawan tetap padat masih dibawah nilai daya dukung ekologis kawasan, menunjukkan bahwa motivasi wisatawan selain ingin menikmati udara segar, berekreasi di luar ruangan, piknik dan melihat pemandangan alam, diperkirakan juga adanya motivasi berkumpul atau kontak sosial yang tinggi antar wisatawan sehingga peningkatan jumlah wisatawan pun tidak akan mempengaruhi. Untuk itu penghitungan nilai faktor koreksi kepuasan pengunjung atau wisatawan (CfP) yang mempengaruhi nilai daya dukung psikologi tidak perlu dilakukan di KRC, karena tingkat penerimaan psikologis wisatawan terhadap keramaian atau kepadatan wisatawan pun tinggi.
Gambar 21 Tingkat kepuasan wisatawan dan jumlah wisatawan pada setiap periode di KRC. Pigram & Jenkins (1999) menyatakan secara pasti tidak hanya jumlah pengunjung saja yang menyebabkan penurunan tingkat kepuasan pengunjung, karena reaksi terhadap keramaian atau kepadatan setiap orang bervariasi dan luas. Sehingga bagaimana reaksi seseorang terhadap keberadaan atau kehadiran orang lain, dipengaruhi oleh fakor-faktor psikologis seperti personal values, tujuan, sikap, harapan dan motivasi. Tingkat kepuasan pun menurut Pigram & Jenkins (1999) juga dipengaruhi oleh kejadian atau kondisi insidental pada pengalaman
59 berekreasi, contohnya masalah kemacetan lalulintas selama perjalanan, sakit ataupun cuaca. Apabila nilai faktor koreksi kepuasan pengunjung (CfP) tetap diperhitungkan untuk mengetahui daya dukung psikologis KRC, maka nilai CfP dan RCC adalah : f =
=
M M
100 f 100
= 34 7 7
100100
100 =
5.61 5.28 5.61
100 = 5.88
100 f 100 .
100-5.88 100
=
orang wisatawan hari
Nilai RCC 150 683 orang wisatawan/hari, merupakan nilai daya dukung dengan pertimbangan ekologis KRC saja dan apabila nilai faktor koreksi psikologis yaitu tingkat kepuasan wisatawan juga dipertimbangan maka nilai RCC KRC menjadi 141 822 orang wisatawan/hari. Nilai RCC tersebut berkurang 8 861 orang bila dengan mempertimbangkan kondisi ekologis dan psikologis wisatawan KRC. Jumlah total wisatawan KRC per harinya baik pada Low, Condensed hingga Peak Visit, bila dibandingkan dengan nilai daya dukung yang telah diperoleh secara keseluruhan, maka jumlah wisatawan KRC masih di bawah nilai daya dukung ekologis dan psikologis kawasan tersebut. Sebagai contoh berdasarkan data total jumlah wisatawan tertinggi pada tanggal 1 Januari 2013 adalah 5 996 wisatawan dan nilai tersebut masih belum melampaui nilai RCC (141 822 orang wisatawan/hari), yang menunjukkan bahwa jumlah wisatawan KRC masih dibawah nilai daya dukung ekologis dan psikologisnya. Penetapan dan Penggunaan Nilai Daya Dukung Penetapan dan penggunaan nilai daya dukung di dalam tapak KRC akan menjadi kontrol lingkungan baik kondisi ekologis dan psikologis KRC. Keberadaan wisatawan di dalam KRC memang dengan sebaran yang tidak merata, sehingga dampak dari kegiatan wisatawan terhadap kondisi ekologis terutama fisik yaitu tanah pun berbeda, terutama pada titik sebaran wisatawan tertinggi karena terdapatnya sumberdaya yang menarik bagi wisatawan. Intensitas wisatawan yang tinggi di tapak tersebut akan mempengaruhi kualitas kondisi tapak dan dengan menurunnya kondisi tapak secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kondisi psikologis wisatawan yaitu tingkat kepuasannya. Untuk itu dengan penggunaan nilai daya dukung pengelola KRC dapat membuat suatu perencanaan pengelolaan pengunjung apabila terdapat tapak yang telah terganggu kondisi ekologisnya, dimana pengelola dapat melakukan pemulihan tapak dengan menutup area tapak tersebut. Kondisi tapak yang telah pulih akan membuat keberadaan tapak tersebut sebagai sumberdaya wisata tetap berkelanjutan. Pengukuran nilai daya dukung suatu kawasan wisata menjadi hal yang memang harus dilakukan karena sesuai konsep dari ekowisata dimana keberlanjutan menjadi pertimbangan ekowisata dan konsep green tourism saat ini. Selama ini pengukuran dan penetapan daya dukung suatu kawasan wisata oleh para pengelola bukan menjadi hal yang diutamakan dan terkadang menjadi hal
60 yang ditakutkan pengelola yaitu membatasi pemasukan mereka akibat pembatasan jumlah wisatawan yang boleh masuk dan melakukan kegiatan wisata di dalam area wisata. Pengelola yang belum memahami arti penting penetapan dan penggunaan nilai daya dukung kawasan wisatanya, takut secara ekonomi akan merugi atau tidak mendapat keuntungan dengan biaya supply dan demand yang tidak seimbang. Sedangkan menurut McDill et al. (1999) dengan memperkirakan batas nilai daya dukung ternyata dapat meningkatkan popularitas tempat ekowisata karena hal tersebut dapat menjadi suatu bentuk promosi tentang prinsip-prinsip konservasi dan keberlanjutan dari kawasan wisata. Avenzora et al. (2013) menyatakan perlu disadari oleh semua bahwa persoalan mengenai nilai daya dukung, tidak akan berhenti pada satu nilai yang diyakini mampu untuk memenuhi kriteria keberlanjutan (ekologi dan sosial) tetapi juga perlu dilanjutkan dengan pemikiran daya dukung ekonomi dan keuangan yang menjamin keberlanjutan suatu usaha ekowisata. Terjaminnya usaha maka selanjutnya nilai daya dukung tersebut harus diwujudkan dalam struktur managemen dan sistem yang ada, tidak lagi hanya menjadi hal yang diucapkan dan didiskusikan saja.
61
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kebun Raya Cibodas (KRC) merupakan pusat dan target tujuan wisata bagi masyarakat perkotaan seperti Jakarta, Depok dan Bekasi, dengan jumlah wisatawan berasal dari kota yang lebih mendominasi sehingga motivasi tertinggi wisatawan pun baik pada low, condensed dan peak visit adalah untuk menikmati udara segar. Wisatawan sebagai konsumen loyal KRC karena 78% diantaranya merupakan repeater coming dengan frekuensi ulangan 3 - 5 kali kunjungan dan KRC menjadi daya tarik wisatawan untuk semua kelompok usia, didominasi oleh pekerja swasta, dengan tingkat penghasilan menengah ke atas dan umumnya sebagian wisatawan berkunjung bersama teman (40.83%) dengan lama kunjungan 2 - 6 jam (half day trip). Kepuasan tertinggi wisatawan seperti halnya motivasi yaitu untuk menikmati udara segar, tetapi rata-rata tingkat motivasi wisatawan berada pada rentang agak tinggi (5.21) sedangkan kepuasan wisatawan pada rentang tinggi (5.40). Kondisi psikologis wisatawan dengan indikator motivasi dan tingkat kepuasan wisatawan menunjukan bahwa kedua indikator tidak dipengaruhi oleh perubahan periode waktu yang berkaitan dengan perubahan jumlah wisatawan sehingga tingkat kepuasan wisatawan tetap tinggi walaupun jumlah wisatawan semakin padat. Peningkatan jumlah wisatawan menunjukan peningkatan intensitas kegiatan wisatawan sehingga tingkat pijakan pada tapakpun meningkat, yang berpengaruh nyata secara langsung terhadap kualitas ekologis biotik dan fisik KRC. Kondisi biotik berupa produktivitas dan pertumbuhan rumput dan kondisi fisik yaitu tanah berupa tingkat penetrasi tanah. Nilai daya dukung fisik atau Physical Carrying Capacity (PCC) KRC diperoleh 346 717 orang wisatawan/hari yang mengacu pada hasil analisis rerata keseluruhan kebutuhan ruang per wisatawan, faktor rotasi KRC dan luasan efektif KRC yang dapat digunakan oleh wisatawan. Untuk nilai daya dukung riil atau Real Carrying Capacity (RCC) dengan pertimbangan kondisi ekologis KRC diperoleh nilai daya dukung yang lebih rendah dari PCC yaitu 150 683 orang wisatawan/hari dengan tingkat kepuasan wisatawan yang sudah tinggi. Apabila kondisi psikologis yaitu tingkat kepuasan wisatawan tetap dipertimbangkan dalam faktor koreksi RCC maka nilai RCC menjadi 141 822 orang wisatawan/hari, sehingga kepuasan wisatawan pun tetap terjamin pada nilai yang tinggi. Adapun total jumlah wisatawan KRC per harinya masih belum melampaui nilai RCC tersebut dan nilai RCC dapat menjadi batas maksimal jumlah wisatawan yang masuk ke dalam KRC dalam satu hari dengan pertimbangan kondisi ekologis dan psikologis wisatawan. Saran Daya dukung wisatawan di Kebun Raya Cibodas masih jauh dibawah atau belum melampaui nilai daya dukung riilnya (RCC). Kondisi daya dukung tersebut dapat digunakan oleh pengelola KRC sebagai strategi dalam pengembangan wisatawan KRC. Pengembangan wisatawan dapat dilakukan dengan
62 mempertimbangkan motivasi dan karakteristik wisatawan KRC untuk pendalaman berbagai kegiatan rekreasi dan ekowisata di KRC, sesuai sumberdaya yang dimiliki KRC. Pengembangan untuk peningkatan jumlah wisatawan tersebut dengan tetap memperhatikan daya dukung KRC agar tidak terlampaui atau nilai daya dukung riil KRC sebagai kontrol jumlah wisatawan yang masuk ke dalam KRC. Penelitian lebih lanjut tetap perlu dilakukan di KRC, mengenai indikatorindikator ekologis, psikologis dan sosial yang dipengaruhi oleh kegiatan wisata dan komponen managemen wisata KRC yang dapat menjadi faktor koreksi dalam penentuan nilai daya dukung KRC. Observasi dilakukan secara berkelanjutan sehingga diperoleh data yang mendukung dalam proses penghitungan dan penetapan nilai daya dukung KRC sebagai kawasan ekowisata.
63
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2012. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pendekatan Ecoshopy Bagi Penyelamatan Bumi. Bogor: Gadjah Mada University Press. Angammana D. 1991. Ecotourism development plan for Anawilundawa, Wildlife Sanctuary and Ramsar Wetland. Ramsar: IUCN. Atkinson RL, Richard CA, Edward ES, Daryl JB. 2002. Pengantar psikologi Ed ke-11. Jilid 1. Jakarta: Interaksara. Audesirk T, Audesirk G. 1999. Biology : life on earth. New Jersey: Prentice Hall Inc. Avenzora R. 2008a. Ekoturisme - evaluasi tentang konsep. Di Dalam: Avenzora R, editor. Ekoturisme teori dan praktek. Aceh: BRR NAD – Nias. hlm 1-17. Avenzora R. 2008b. Penilaian potensi objek wisata. Di dalam Avenzora R, editor. Ekoturisme - teori dan praktek. Aceh: BRR NAD-Nias. hlm 241-278. Avenzora R, Dahlan EN, Sunarminto T, Nurazizah GR, Utari WD, Utari AV. 2013. Ecological and psychological carrying capacity of ecotourism activities. Di dalam Avenzora R, Teguh F, editor. Ecotourism and sustainable tourism development in Indonesia – potentials, lessons and best practices. Jakarta: PT Gramedia. hlm 507-538. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah penduduk Indonesia menurut propinsi. http://www.bps.go.id/menutab.php?kat=2&tabel=1&id_subyek=16. [12 Maret 2013] Ceballos-Lascurain H. 1996. Tourism, ecotourism, and protected area. IV World Congress on national park and protected areas. Cambridge: IUCN Publication Services Unit Clivaz C, Hausser Y, Michelet J. 2004. Tourism monitoring system based on the concept of carrying capacity – The case of the regional Natural Park PfynFinges (Switzerland). Finish Forest Research Institute. 2:230-235 Cole DN. 2004. Carrying capacity and visitor management: Facts, values and the role of science. Aldo Leopold Wilderness Research Institute. Basic Values and Purposes of Parks. Publication #504:43-46. Cooper C, Fletcher J, Gilbert D, Wanhill S. 1998. Tourism: principles and practice. New York: Logman Publishing. Damanik J, Weber HF. 2006. Perencanaan ekowisata: Dari teori ke aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Darnaedi D. 2012. Kebun Raya : Konservasi tumbuhan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Bogor: LIPI. Dodd J, Jones C. 2010. The Role of Botanic Gardens – Towards a New Social Purpose. Botanic Gardens Conservation International. http://www.bgci.org/files/Worldwide/Education/Social_inclusion/social_inclu sion_summary.pdf. [3 Maret 2013] Douglas RW. 1975. Forest recreation. New York : Pergamon Press. hlm 362. Fennell DA. 2002. Ecotourism programme planning. New York: CABI Publishing.
64 Gunawan MP. 2000. Agenda 21 Sektoral: Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan UNDP. Hardiyanto HC. 1992. Mekanika Tanah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia, Yayasan WWF Indonesia, Uni Eropa dan YABSHI. Jury W, Horton R. 2004. Soil physics. New Jersey: Jhon Wiley & Sons. Kohnke H, Bertrand AR. 1959. Soil conservation. New York: McGraw-Hill Book. Company. Koppelman LE. 1997. Standar perencanaan tapak. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. hlm 12. Kraus RG. 1977. Recreation today: program, planning and leadership. Ed ke-2. California: Goodyear Publishing Company, Inc. Santa Monica,. [KRC] Kebun Raya Cibodas. 2012. http://www.krcibodas.lipi.go.id/ [10 Agustus 2012] [KRC] Kebun Raya Cibodas. 2013. Data pengelola. Tidak dipublikasikan. Kumurur VA. 2002. Rumput landsekap untuk lapangan olahraga, taman, dan areal parkir. Depok: Penebar Swadaya. Kurnia U, Djunaedi MS, Marwanto S. 2006. Penetapan penetrasi tanah. Di Dalam: Undang Kurnia, editor. Sifat fisik tanah dan metode analisisnya. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 75-82. Lal R, Shukla MK. 2004. Principle of soil physics. New York: Marcel Dekker. Lew AA. 1995. Adventure travel and ecotourism in Asia. USA: Departement of Geography and Public Planning, Northern Arizona University. hlm 723. Linberg K, Hawkins DE. 1993. Ecotourism : A guide for planners and managers. Vermont. North Bennington: The Ecotourism Society. Liu Z. 2003. Sustainable tourism development : A Critique journal of sustainable tourism. 11 (6): 459-475. McDill M, Silva G, Finley J, Kays J. 1999. Promoting ecotourism on private lands. Final Project Report. Northeast Regional Center for Rural Development. Pennsylvania: The Pennsylvania State University. Mcilroy JR. 1976. Pengantar budidaya padang rumput tropika. Jakarta: Pradnya Paramita. Pickering CM, Hill W. 2007. Impacts of recreation and tourism on plant biodiversity and vegetation in protected areas in Australia. Journal of Environmental Management 85: 791–800. Pigram JJ. Jenkins JM. 1999. Outdoor recreation management. London: Routledge. Purwowidodo. 2000. Mengenal tanah hutan: Metode kaji tanah. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Purwowidodo. 2005. Panduan praktikum ilmu tanah hutan: Mengenal tanah. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Ross GF. 1998. Psikologi pariwisata. Jakarta: Yayasan Obor. M. Samosir (terj.). Ross S, Wall G. 1999. Ecotourism: towards congruence between theory and practice. Tourism Management 20:123-132.
65 Sayan, Selcuk M, Meryem A. 2011. Protected Carrying Capacity Estimates for Protected Area: A Study of Termessos National Park. Ekoloji. 20 (78): 66 – 74. Sayre NF. 2008. The Genesis, history, and limits of carrying capacity. Annals of the Assoc. of American Geo. p 98 Simon, Garrigos FJ, Narangjavana Y, Marques DP. 2004. Carrying capacity in the tourism industry: a case study on Hengistbury Head. Tourism Management. 25: 275 – 283. Soemarwoto, O. 2004. Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta: Djambatan. Stankey GH. 1982. Carrying capacity impact management, and the recreation opportunity spectrum. Int 4901 Publication Reprint. Australian Parks & Recreation. Canberra College of Advanced Education. p 26. Sumarwan U. 2002. Perilaku konsumen teori dan penerapannya dalam pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Sunggono KH. 1984. Mekanika tanah. Bandung: Nova Tardieu F. 1996. Drought perception by plant: do cells of droughted plants experience water stress? Plant Growth Regulation. 20:93-104. [UNWTO] United Nation World Tourism Organization. 2011. Quick overview of key trends. UNWTO World Tourism Barometer 9:1. [terhubung berkala]. http: http://media.unwto.org/en/press-release/ [30 Oktober 2012] [UNWTO] United Nation World Tourism Organization. 2012. International tourism on track to hit one billion by end of 2012. http://media.unwto.org/en/press-release/2012-09-12/international-tourismtrack-hit-one-billion-end-2012.pdf. [30 Oktober 2012] van Steenis CGGJ. 1992. Flora. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Warpani SP, Warpani IP. 2007. Pariwisata dalam tata ruang wilayah. Bandung: Institut Tehnologi Bandung. hlm 11-12, 40. Wearing S, Neil Jl. 1999. Ecotourism: Impacts, potentials and possibilities. Woburn: Butterworth-Heinemann. Wesley LD. 1984. Mekanika tanah. Bandung: Remadja Karya Offset. World Tourism Organization. 2000. Sustainable tourism development: Guide for local panner. Spanyol: WTO (1993). [WTTO] World Travel and Tourism Organization. 1999. Tourism and sustainable development: The global importance of tourism. http://www.gdrc.org/uem/eco-tour/wttc.pdf. [13 Maret 2013].
66 Lampiran 1 Gambar lokasi penelitian di daerah tujuan wisata Kebun Raya Cibodas
67 Lampiran 2 Karakteristik wisatawan Kebun Raya Cibodas KARAKTER Laki-laki Perempuan STATUS Single Menikah KELOMPOK USIA 12 - 20 Tahun 21 - 30 Tahun 31 - 40 Tahun >40 Tahun ASAL Jakarta-Depok-Bekasi Bogor Cianjur Cibodas & sekitarnya Sukabumi Bandung Lainnya PENDIDIKAN A= SD/MI B=SMP/MTS C=SMA/SMK D=DIPLOMA E=SARJANA F=LAINNYA PEKERJAAN A=PELAJAR B=MAHASISWA C=PNS D=TNI/POLRI E=PEGAWAI BUMN/BUMD F=GURU/DOSEN G=PEGAWAI SWASTA H=LAINNYA PENDAPATAN A=