3 Fenomena Siklus Matahari Mutakhir (bag. II)
Diterbitkan oleh Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) LAPAN Pelindung Kepala LAPAN Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Penanggung Jawab Kepala Pusat Sains Antariksa Redaktur Anwar Santoso, M.Si. Editor Fitri Nuraeni, M.Si. Drs. Jiyo, M.Si Kontributor Drs. A. Gunawan Admiranto F. Mumtahana E. S. Mumpuni Harry Bangkit Mamat Ruhimat Sri Ekawati, M.Si. Yoga Andrian
Santi Sulistiani, S.Si. Visca Wellyanita Cucu Eman H. R. Kesumaningrum, M.Si
Annis Siradj Mardiani,A.Md Varuliantor Dear, S.T. Irvan Fajar Syidik, S.T. C. Widianigrum Sucipto R. Yulianto Penata Letak Endah Oktaviani, S.Ds. Sekretariat Saptari Rachman Alamat Jl. Dr. Djundjunan No.133 Bandung 40173 Telepon: (022) 6012 602 / 6038 005 Fax: (022) 6014 998 / 6038 005 HP: 0813 2121 0002
Untuk pemesanan Buletin Cuaca Antariksa Kirim faks permohonan langganan Buletin Cuaca Antariksa ke :
(022) 6038 005
5 Ekspedisi ke Kandidat Situs Observatorium Nasional di Kupang, NTT 7
Sistem Kalibrasi Magnetometer menggunakan Helmholtz Coil
9
Navigasi berbasis Satelit, Apakah hanya GPS?
10 Teknologi Komputasi Awan (Cloud Computing)
daftar isi 18 Koneksitas Jaringan ALELapan dan Indeks T Regional 19 Review Cuaca Antariksa 22 Sambut Fenomena Langka Gerhana Matahari Total (GMT) 2016
12 Aktivitas Matahari
24 Balai Penjekakan dan Kendali Wahan Antariksa Lapan, Biak
14 Aktivitas Geomagnet
27 Kalender Astronomi
16 Aktivitas Sintilasi Ionosfer
28 Teka Teki Silang Berhadiah
Cuaca Antariksa
Salam Redaksi Dalam Buletin Cuaca Antariksa (BCA) Vol. 4 No. 3 edisi Juli-September 2015 ini, Dampak dan pengaruh cuaca antariksa terhadap aktivitas kehidupan di Bumi, masih tetap menjadi pembahasan menarik. Dengan dinamikanya, matahari menjadi sumber utama yang mampu menciptakan kondisi yang tidak menentu dan berdampak buruk bagi teknologi modern di lingkungan Bumi. Pada edisi ini juga dipaparkan kondisi cuaca antariksa 3 bulan yang sudah berlalu dan estimasi 3 bulan yang akan datang. Pusat Sains Antariksa, yang memiliki kompetensi dan tugas di bidang sains antariksa tentu harus melakukan penelitian dan pengembangan serta pemantauan terkait cuaca antariksa guna dapat menjawab tantangan untuk melakukan mitigasi terhadap dampaknya yang merugikan. Penelitian dan pengembangan dilakukan di bidang matahari, lingkungan antariksa, geomagnet dan magnet antariksa, serta ionosfer dan telekomunikasi, dengan didukung oleh bidang teknologi pengamatan yang terintegrasi dalam program cuaca antariksa. Pemantauan cuaca antariksa dilakukan oleh Pusat Sains Antariksa LAPAN sejak tahun 2009. Mulai tanggal 27 Januari 2014, pemantauan dilakukan secara terintegrasi untuk menghasilkan informasi cuaca antariksa saat ini dan akan datang melalui
ISSN 2303-2707 Sistem Pemantauan dan Informasi Cuaca Antariksa (SPICA). Selain itu, informasi juga disebarluaskan melalui Buletin ini. Beberapa artikel yang ada dalam BCA edisi kali ini antara lain Teknologi kumputasi awan (Cloud computing), Pola Siklus Matahari Mutakhir (bagian 2), Framework pengembangan sistem informasi cuaca antariksa, Penjajakan observatorium baru Kupang, Sistem kalibrasi magnetometer menggunakan Helmholtz coil, Rancangan sistem Radar dengan URP N210, Navigasi berbasis satelit, Aktivitas Matahari, Aktivitas geomagnet, Indeks S4 sintilasi ionosfer, Indeks T regional Indonesia, HBA ionosfer, Review cuaca antariksa, Menyambut fenomena langka Gerhana Matahari Total (GMT) 2016, Balai Penjejakan dan Wahana (BPKWA) Lapan Biak dan Program kerja Pusat Sains Antariksa 2015. Beberapa agenda fenomena antariksa juga dapat dilihat pada edisi ini dalam Kalender Astronomi. Semua informasi tersebut dikemas dengan gaya bahasa ilmiah populer sehingga Pembaca bisa mudah memahami fenomena cuaca antariksa dan dampaknya. Akhir kata, selamat membaca semoga mendapat pencerahan dan pengayaan pengetahuan. Salam Bandung, Juni 2015 Redaksi
Gambar Latar : http://www.pickywallpapers.com/
Fenomena Siklus Matahari Mutakhir (bagian II) Oleh :
A. G. Admiranto Bidang Matahari dan Antariksa
Sebagai sumber energi dan gangguan bagi Bumi, Matahari selalu dianggap memancarkan radiasinya secara konstan dan tidak ikut serta secara langsung memengaruhi dinamika iklim bumi, paling tidak dalam jangka waktu kehidupan manusia. Akan tetapi, apakah memang demikian? Apakah Matahari tidak ikut bertanggung jawab dalam membentuk iklim bumi sehingga iklim bumi bisa dianggap sebagai sebuah sistem tertutup dan berbagai gejala yang muncul? Seperti pemanasan global, murni datang dari interaksi berbagai komponen bumi dengan tidak melibatkan faktor-faktor yang berada di luar sistem Bumi itu. Dalam melakukan penelitian tentang iklim bumi, ada dua kubu peneliti sehubungan dengan dinamika iklim yang terkait dengan pemanasan global yang sedang berlangsung. Satu kubu berpendapat bahwa ini merupakan dampak kegiatan manusia terkait dengan pembakaran bahan bakar fosil. Kubu lain berpendapat bahwa bumi pernah mengalami proses pemanasan dan pendinginan yang cukup signi kan dan ini terkait dengan aktivitas Matahari. Selama ini, tampaknya kubu yang menang adalah yang berpendapat bahwa peristiwa pemanasan global yang sekarang berlangsung berasal dari proses
Gambar Latar : mytopfbcover.com
pembakaran bahan bakar fosil yang meningkatkan konsentrasi karbon dioksida yang terdapat di atmosfer Bumi. Ini dibuktikan dengan kebijakan berbagai negara dalam upaya mereka dalam menurunkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer Bumi untuk mencegah semakin meningkatnya pemanasan global yang berlangsung di atmosfer Bumi. Me s k i p u n d e m i k i a n , a d a beberapa peneliti yang meragukan hal ini. Menurut mereka pemanasan Bumi yang berlangsung selama beberapa dasawarsa belakangan ini lebih banyak berasal dari tingginya aktivitas Matahari. Seorang peneliti sika Matahari dari Rusia bernama
Sami Solanki mengatakan bahwa Matahari mencapai tingkat aktivitas yang paling tinggi dalam kurun waktu sepuluh ribu tahun terakhir. Tingginya aktivitas Matahari membuat temperatur atmosfer Bumi juga meningkat. Selain itu, juga meningkatkan proses fotosintesis yang meningkatkan jumlah karbon dioksida yang terdapat di atmosfer sehingga fenomena efek rumah kaca menjadi semakin meningkat. Sejalan dengan itu, para ilmuwan iklim juga mengamati bahwa emisi karbon dioksida akibat pembakaran bahan bakar fosil semakin meningkat dalam kurun waktu yang sama. Hal ini meyakinkan mereka bahwa peningkatan temperatur atmosfer Bumi memang berasal dari semakin banyaknya gas karbon dioksida yang terdapat di atmosfer. Sebagian besar peneliti dan para pengambil keputusan di seluruh dunia mengikuti pendapat Intergovernmental Panel on Climate
Gambar 1 : Kurva tongkat hoki menurut IPCC yang menunjukkan peningkatan temperatur bumi sejak pertengahan abad 19 sampai sekarang.
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
3
Change (IPCC), sebuah lembaga yang memiliki otoritas cukup tinggi terkait dengan perubahan iklim. Lembaga ini banyak mengeluarkan kebijakan dan pandangan tentang iklim terutama yang terkait dengan pemanasan global. Salah satu yang paling terkenal dari semua ini adalah kurva tongkat hoki (hockey stick curve) yang menunjukkan bahwa sampai pertengahan abad ke 19, temperatur bumi tidak mengalami kenaikan yang berarti. Peningkatan temperatur bumi secara tajam mulai terjadi pada pertengahan abad ke 19 sampai abad ke 20. Menurut mereka ini disebabkan oleh semakin banyaknya gas-gas rumah kaca yang dilemparkan ke atmosfer bumi melalui kegiatan manusia. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa apabila tidak ada upaya dalam menurunkan emisi gas-gas rumah kaca yang dilakukan manusia, maka pemanasan bumi akan berlangsung tidak terkendali dan akan menjadi seperti yang terlihat di Gambar 1. Akan tetapi, dalam buku yang berjudul e Neglected Sun, dua orang peneliti bernama Fritz Vahrenholt dan Sebastian Lüning membantah pandangan di atas. Kedua peneliti tersebut berpendapat bahwa para peneliti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terlalu menekankan peranan gas karbon dioksida yang mengakibatkan adanya gejala pemanasan global tanpa mempertimbangkan peranan Matahari. Mereka berpendapat bahwa gejala pemanasan global yang
Gambar Latar : http://www.pickywallpapers.com/
4
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
sekarang berlangsung merupakan dampak dari tingginya aktivitas Matahari seperti yang diutarakan oleh Sami Solanki di atas. Mereka juga mencatat bahwa sejak tahun 2000 pemanasan global sudah berhenti, di mana besarnya temperatur ber uktuasi di sekitar satu harga tertentu. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa di masa lalu Bumi pernah mengalami pemanasan global seperti yang sekarang terjadi. Peristiwa ini tidak hanya sekali terjadi karena kedua gejala tersebut terjadi secara berselang-seling. Dalam pandangan mereka, fenomena pemanasan dan pendinginan ini berlangsung sinkron dengan aktivitas Matahari. Ketika mereka mengamati aktivitas Matahari, di samping adanya siklus 11 tahun yang tidak asing bagi mereka, ternyata ada siklus dengan periode yang lebih panjang lagi dan masa-masa minimum yang terkait dengan siklus yang panjang ini adalah Masa M i n i m u m M a u n d e r, M a s a Minimum Oort (1010 1050), Minimum Wolf (1280 1340), Minimum Sp rer (1420 1530), dan minimum Dalton atau Sabine (1800 1820). Dari sini bisa diperkirakan bahwa secara rata-rata masa minimum bintik matahari akan berlangsung kira-kira setiap 200 tahun. Perhitungan mereka menunjukkan bahwa masa minimum berikutnya akan terjadi pada tahun 2015-2045. Kedua peneliti ini juga mencatat bahwa iklim satu daerah di Bumi
bisa dipengaruhi oleh aktivitas Matahari. Sebagai contoh, daerah Florida akan lebih kering ketika Matahari tidak aktif dan basah ketika Matahari aktif. Iklim daerah British Columbia dipengaruhi oleh aktivitas Matahari selama 11.000 tahun terakhir. Oasis yang terdapat di gurun Taklamakan di China, berkembang seirama dengan siklus dalam skala ribuan tahun. Mereka melihat bahwa perubahan aktivitas Matahari secara periodik dan Osilasi Atlantik Utara (North Atlantic Oscillation) memberikan pengaruh cukup besar pada iklim Italia dalam 10.000 tahun terakhir. Matinya ter umbu karang di Jepang berlangsung ketika Matahari sedang tidak aktif. Mereka mencatat bahwa ada banyak contoh lain pengaruh aktivitas Matahari terhadap perilaku iklim di bumi yang tampaknya luput dari perhatian IPCC. Dengan mengamati adanya minimum yang memiliki periode 200 tahun di atas dan didukung dengan banyaknya data pengamatan tentang pengaruh aktivitas Matahari pada iklim bumi, maka besar kemungkinan bahwa mulai tahun 2015 ini akan berlangsung masa minimum aktivitas Matahari. Bila ini benar, maka pemanasan global yang berlangsung tidak terkendali sebagaimana diramalkan oleh kurva tongkat hoki di atas tidak akan terjadi. Bahkan, kemungkinan yang akan terjadi adalah adanya gejala pendinginan global seperti berlangsungnya Zaman Es Kecil ketika Masa Minimum Maunder berlangsung.
Ekspedisi ke Kandidat Situs Observatorium Nasional di Kupang, NTT Oleh :
F. Mumtahana dan E. S. Mumpuni Bidang Matahari dan Antariksa
Wilayah Indonesia Timur telah lama menjadi pertimbangan bagi pengembangan studi astronomi di Indonesia. Ini terkait dengan adanya kajian pada pembangunan observatorium baru. Selain Boscha, pembangunan obser vatorium adalah sarana penting bagi pengembangan ilmu astronomi di In d o n e s i a . Fa k t o r l a i n y a n g mendorong pembangunan observatorium baru adalah ancaman polusi cahaya yang semakin marak, sebagaimana yang telah terjadi di sekitar Observatorium Bosscha akibat ledakan penduduk di daerah Lembang. (Gambar 1). Kajian-kajian tentang lokasi untuk pengembangan observatorium telah lama dilakukan. Semenjak tahun 1990-an, Lapan telah melakukan kajian di wilayah kepulauan Sunda Kecil sebagai rekomendasi lokasi pembangunan observatorium Matahari.
Gambar 1 : Ancaman polusi cahaya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. (Sumber: http://bosscha.itb. ac.id/)
Pada awal abad ke-21, kajian mendalam pada lokasi observatorium malam di Indonesia Timur dilakukan oleh peneliti dari Program Studi Astronomi Institut Te k n o l o g i B a n d u n g d a n Observatorium Bosscha. Kajian yang telah dilakukan tersebut memberikan rekomendasi lokasi terbaik guna pembangunan observatorium baru, yaitu di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, maka ada penguatan secara legal pada kegiatan keantariksaan di Indonesia. Berbekal Undang-Undang tersebut, maka pada tahun 2014, Lapan bergabung dan turut serta dalam proses pembangunan observatorium yang diharapkan akan menjadi observatorium nasional. Pada tanggal 9-14 Desember 2014 lalu, Tim Pusat Sains Antariksa LAPAN bersama Tim Universitas Cendana (Undana) Fakultas Sains d a n Te k n i k , Ju r u s a n Fi s i k a melakukan kajian awal pada situs observatorium, yang terletak di
Gambar 2 : Kondisi jalan menuju lokasi kandidat observatorium pada saat musim hujan (banyak longsor). (Sumber : Lapan)
wilayah kecamatan Amfoang Te n g a h , D e s a F a t u m o n a s , Kabupaten Kupang. Perjalanan dilakukan melalui jalur darat dan ditempuh selama kurang lebih 6 jam perjalanan. Selama kunjungan ke lokasi, tim diterima dan menginap di Kantor Kecamatan Amfoang Tengah oleh Bapak Camat Amfoang Tengah, yaitu bapak Apolos Natbais, SP. Lokasi situs yang diusulkan adalah pada koordinat 9º 35' 49" LS dan 123º 56' 42" BT. Lokasi situs berada pada kawasan hutan lindung, sekitar 125 km dari kota Kupang. Dengan akses jalan yang tidak terpelihara, perjalanan ke lokasi tersebut membutuhkan waktu cukup lama walaupun sudah menggunakan kendaraan yang dirancang khusus untuk o -road. Dari kantor kecamatan menuju lokasi situs, perjalanan menjadi lebih rumit karena ada beberapa titik jalan longsor (Gambar 2), sehingga perjalanan menuju lokasi dilakukan menggunakan sepeda motor. Meskipun perjalanannya tidak mudah dilalui, sepanjang perjalanan, kita disuguhi dengan pemandangan padang rumput yang luas dan sangat indah (Gambar 3). Karena perjalanan ke lokasi situs dilakukan dengan sepeda motor dan tidak memungkinkan untuk
Gambar 3 : Hamparan padang rumput yang luas diselingi pemandangan kuda, rusa, sapi, dan hewan liar lain sepanjang perjalanan menuju lokasi. (Sumber : Lapan) Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
5
membawa peralatan teleskop, maka pada tidak dilakukan pengamatan malam, hanya peninjauan kondisi geogra s dari bukit sampai puncak gunungnya. Sedangkan pengamatan malam dilakukan di depan rumah Bapak Camat. Pada kegiatan tersebut, pihak Undana juga melakukan penelitian yaitu pengukuran geomagnetik di lokasi situs.
Gambar 4 : Foto tim LAPAN, Undana, dan beberapa warga yang mengantarkan tim ke lokasi menggunakan motor. (Sumber : Lapan)
Gambar 5 : Kondisi lereng menuju puncak Gunung Timau yang penuh bebatuan dan berbahaya untuk dipijak. (Sumber : Lapan)
Gambar 6 : Tim LAPAN ditemani penduduk lokal berhasil mencapai Puncak Timau. (Sumber : Lapan)
6
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
Berdasar hasil peninjauan lokasi situs (Gambar 4), untuk kegiatan selanjutnya perlu mempertimbangkan transportasi cadangan seperti sepeda motor terutama ketika musim hujan dan l o n g s o r. Tr a n s p o r t a s i u n t u k mengangkut alat berat juga perlu dipikirkan untuk kedepannya, seperti helikopter. Untuk perintisan peralatan pertama yang dapat ditempatkan di lokasi disarankan menggunakan: kontainer yang telah dimodi kasi berisi sumber daya listrik (baterai dan sel surya), komunikasi satelit untuk kontrol peralatan dan transfer data dan peralatan pengamatan yang memiliki kemampuan untuk dapat dikontrol secara jarak jauh (misalnya: meteor kamera). Mengingat kondisi jalan yang hampir tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan berat, pengangkutan kontainer menuju lokasi dapat dilakukan dengan helikopter. Beberapa anggota tim LAPAN juga telah mendaki dan meninjau sampai puncak Gunung Timau. Hasilnya diperoleh bahwa jalan menuju puncak dan puncak gunungnya sendiri terdiri atas batubatuan lepas dengan lahan yang sangat miring dan sempit serta dikelilingi jurang. (Gambar 5 dan 6). Untuk menuju puncak dari lokasi terakhir jangkauan sepeda motor, diperlukan waktu kurang lebih dua jam. Pada tengah hutan juga dipenuhi ranting berduri dan bebatuan besar, sehingga menurut Bapak Camat sendiri, gunung ini kurang cocok untuk pendakian manusia. Karena puncak Timau miring dan sempit, maka luas lahan yang
dapat digunakan untuk rencana pembangunan teleskop optik sangat terbatas. Untuk kedepannya, pembangunan kereta gantung dapat menjadi alternatif untuk akses dari lokasi observatorium nasional hingga ke puncak Gunung jika
Gambar 7 : Rasi Sang Pemburu Orion dan kawan-kawan terbentang di langit malam dari depan rumah Pak Camat. (Diambil dengan kamera DSLR NIKON D70s dan lensa fish eye.)
Gambar 8 : Astrofotografi Nebula Orion. (M42) (Teleskop WO dan Canon 650 D).
Gambar 9 : Astrofotografi Gugus Bintang Pleiades (M45) (Teleskop WO dan Canon 650D).
Sistem Kalibrasi Magnetometer Menggunakan Helmholtz Coil lokasi puncak akan dipergunkan. Pembangunan sistem komunikasi juga merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan mengingat minimnya jaringan sinyal di daerah remote tersebut. Oleh karena itu, dapat dipertimbangkan pembangunan juga komunikasi radio dari LAPAN untuk kelancaran birokrasi kedepannya. Pada akhir rangkaian acara peninjauan tersebut, telah direncanakan kegiatan pengambilan data di langit Kupang (Gambar 7) antara lain untuk pengukuran kualitas langit, Fotometri dan Astrofotogra beberapa objek langit seperti meteor Geminid, Gugus Bintang Pleiades, Nebula Orion, d a n k o m e t L o v e j o y, s e r t a pengamatan benda jatuh antariksa. Oleh karena itu, untuk mendukung kegiatan-kegiatan itu, dibawa seperangkat teleskop, beberapa detektor, beserta aksesoris lainnya. Namun, karena keterbatasan listrik di malam hari, teleskop hanya mampu digunakan sebentar dengan menggunakan daya baterai, sehingga rencana pengamatan tidak dapat dilakukan seutuhnya. Gambar 8 dan Gambar 9 adalah beberapa hasil pengamatan yang diambil dari langit Kupang yang masih bersih.
Oleh :
H. Bangkit dan M. Ruhimat Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Gambar Latar : facebook/extremeweatherphotographer
Dinamika di Matahari menjalar melalui ruang antar-planet menuju magnetosfer dan permukaan Bumi. Angin surya yang membawa partikel bermuatan dan medan magnet antar planet berinteraksi dengan magnetosfer Bumi memunculkan badai magnet dan fenomena aurora.
Gambar 1. Ilustrasi kondisi dinamis akibat aktifitas Matahari yang mempengaruhi fisis ruang antar planet sampai lapisan magnetosfer, ionosfer, dan termosfer Bumi. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah badai magnet. Aurora merupakan fenomena yang biasa muncul saat terjadi badai tersebut (Sumber: NASA).
Badai magnet dapat menggangu komunikasi radio, sinyal GPS, dan merusak peralatan berteknologi tinggi yang ada di orbit maupun permukaan Bumi sehingga pengamatan badai magnet sangat penting dilakukan. Pengamatan dilakukan dengan peralatan magnetometer.
Gambar 2. Beberapa magnetometer yang masih beroperasi di stasiun geomagnet LAPAN. Terdiri dari magnetometer jenis fluxgate, induction, dan proton (Sumber: LAPAN).
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
7
L A PA N memiliki sebelas stasiun pengamatan geomagnet di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1992. Peralatan yang digunakan adalah magnetometer jenis uxgate, induction, dan proton. Beberapa magnetometer telah beroperasi lebih dari 10 tahun, sehingga kalibrasi secara periodik perlu dilakukan untuk menjamin kualitas datanya. Kalibrasi magnetometer dapat dilakukan menggunakan helmholtz coil. Helmholtz coil adalah alat untuk membangkitkan medan magnet uniform dalam ruang tertentu. Alat ini terdiri dari sepasang kumparan elektromagnet yang diletakan secara simetris pada sebuah vektor medan. Selain membangkitkan medan magnet, coil ini juga digunakan
Gambar 3. Skematik kumparan Helmholtz berupa dua solenoida pada satu vektor medan (Sumber: Wikipedia).
Berikut ini adalah spesi kasi kalibrator magnetometer yang ada di LAPAN: Helmholtz coil - Helmholtz coil tiga sumbu (X, Y, Z). - Keselarasan sumbu ortogonal + 0.1 °. - Konstanta magnetik 75,000 nT/Ampere. - Akurasi pengkalibrasian ± 0.01% di titik pusat coil. - Keseragaman medan magnet 0.025% pada jarak 20 cm dari pusat coil, dan 0.005% pada jarak 10 cm dari pusat coil. - Geometri coil sangkar persegi dengan tiga pasang coil. - Luas coil bagian dalam 200 cm2. Berat seluruh coil 114 kg. - Konstruksi coil terbuat dari material non magnetik dan terisolasi untuk mencegah loops arus eddy.
untuk menghilangkan efek medan magnet luar, seperti medan magnet bumi. Kekuatan medan magnet di titik pusat antara kedua solenoida sebesar :
dimana: µ = konstanta permeabilitas n = banyaknya lilitan coil tiap solenoida I = arus yang mengalir pada coil R = radius coil Gambar 2. Beberapa magnetometer yang masih beroperasi di stasiun geomagnet LAPAN. Terdiri dari magnetometer jenis fluxgate, induction, dan proton (Sumber: LAPAN).
8
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
Kalibrator magnetometer berbasis kumparan Helmholtz melengkapi fasilitas di Pusat Sains Antariksa mulai tahun 2014. Pada mode closed loop, kalibrator ini bertindak sebagai simulator medan magnet
Unit pengontrol helmholtz coil - Dua mode operasi yaitu open loop dan closed loop. - Resolusi pengaturan medan magnet 20-bit (~.3 nT) dengan cakupan ± 1 Gauss. - Memiliki sensor magnetometer uxgate tiga sumbu yang diletakan di titik pusat coil. - Dilengkapi magnetometer satu kanal yang presisi sehingga dapat melakukan kalibrasi sistem secara otomatis. - Memiliki 6 saluran analog dengan ADC beresolusi 24-bit untuk mendigitasi output analog dari magnetometer yang sedang dikalibrasi. - Dilengkapi remote control. - Dilengkapi software untuk mengontrol medan magnet di dalam coil (berputar, statik atau meningkat) secara otomatis melalui komputer.
yang besarnya dapat diatur antara 100.000 nT sampai dengan +100.000 nT pada tiap vektor medan (X, Y, Z) dan mampu mereduksi efek noise lokal sampai dengan 90 dB. Pada mode open loop, a r u s p a d a l i l i t a n He l m h o l t z ditiadakan sehingga kalibrator bertindak sebagai perekam variasi medan magnet bumi. Kalibrator magnetometer berbasis Helmholzt Coil terdiri atas sepasang kumparan Helmholtz tiga sumbu, yaitu kumparan ±X, ±Y, dan ±Z, berbentuk kubus dengan dimensi 2 x 2 x 2 meter. Unit pengontrol Helmholtz Coil berfungsi mengatur besarnya arus yang mengalir pada tiap kumparan sehingga menghasilkan medan magnet sesuai keinginan.
Navigasi berbasis Satelit Apakah hanya GPS? Oleh :
S. Ekawati Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Apakah navigasi berbasis satelit sangat penting? Jawabanya dapat beragam. Namun bagaimana bila posisi kita berada di hutan belantara, laut atau udara, yang tidak memungkinkan kita untuk mencari titik acuan. Untuk keperluan ini maka, navigasi berbasis satelit menjadi sangat penting dan vital keberadaannya apalagi untuk kepentingan khusus seperti penanggulangan bencana, militer, dan lain-lain. Lalu apa saja sistem navigasi berbasis satelit? Atau lebih dikenal dengan GPS, apakah hanya GPS?
Satelit GPS Block III
GPS GPS (Global Positioning System) adalah sistem navigasi berbasis satelit pertama yang sangat populer di dunia. Namun, saat ini dan di masa yang akan datang GPS tidak akan sendiri karena akan banyak sistem navigasi berbasis satelit lainnya yang hampir mirip dengan GPS. Oleh karena itu, sebutan GPS bergeser menjadi GNSS . GNSS singkatan dari Global Navigation Satellite System yang secara umum artinya adalah sistem navigasi yang menggunakan sinyal satelit dalam penentuan posisinya. GNSS lainnya yang hampir mirip dengan GPS diantaranya adalah GLONASS, GALILEO, COMPASS, QZSS, dan IRNSS. Mari kita mengenal lebih dalam lagi sistem navigasi berbasis satelit lainnya yang berdampingan dengan GPS milik Amerika Serikat.
GLONASS GLONASS adalah GNSS milik Rusia. GLONAS, dalam bahasa Rusia, singkatan dari Global'naya Navigatsionnaya Sputnikovaya Sistema atau, dalam bahasa Inggris, Global Navigation Satellite System. Satelit ini pertama kali diluncurkan pada tahun 1982. Seperti GPS, nominal konstelasi satelit GLONASS ada 24 satelit. Namun tidak seperti orbit satelit GPS yang memiliki 6 bidang orbit, GLONASS memiliki 3 bidang orbit untuk e siensi. Menggunakan satu open signal Frequency Divition Multiple Access (FDMA) band dan rencana selanjutnya akan menambahkan dua sinyal Code Division Multiple Access (CDMA).
Satelit GALILEO
Satelit GLONASS
GALILEO GALILEO adalah GNSS milik Eropa. Nama Galileo berasal dari sikawan dan ilmuwan terkemuka dari Italia. Dua satelit uji telah diluncurkan pada tahun 2005 dan 2008. Dua satelit diluncurkan pada bulan Oktober 2011 dan peluncuran dua satelit selanjutnya direncanakan pada tahun 2013. GNSS ini dibiayai oleh European Union (EU) dan European Space Ag e n c y ( E S A ) . Sa m a d e n g a n GLONASS, GALILEO juga memiliki 3 bidang orbit. COMPASS COMPASS adalah GNSS milik China, singkatan dari Chinese S a t e l l i t e Na v i g a t i o n S y s t e m . Konstelasi yang dibangun COMPASS meliputi 27 satelit di orbit Medium Earth Orbit (MEO), 5 satelit di orbit Geostationary Earth Orbit (GEO) dan 5 satelit di orbit Inclined Geosynchronous Orbit (IGSO). Dua satelit uji di orbit GEO diluncurkan pada tahun 2000, kemudian dua satelit lainnya diluncurkan pada tahun 2003 dan tahun 2007, dan satu satelit lainnya diluncurkan pada tahun 2009. Sedangkan satelit di orbit MEO
Satelit COMPASS Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
9
Teknologi Komputasi Awan (Cloud Computing) Satelit QZSS
Oleh :
Y. Andrian Bidang Teknologi Pengamatan
Satelit IRNSS
pertama kali diluncurkan pada tahun 2007 dan satelit di orbit IGSO pertama kali diluncurkan pada tahun 2010. QZSS QZSS adalah GNSS milik Jepang, singkatan dari Quasi Zenith Satellite System. Satelit ini pertama kali diluncurkan pada bulan September 2010. Konstelasi satelit yang dibangun rencananya adalah 7 satelit dengan orbit elips di ketinggian ~ 36.000 km. IRNSS IRNSS adalah GNSS milik India, singkatan dari Indian Regional Na v i g a t i o n S a t e l l i t e S y s t e m . Konstelasi satelit yang dibangun rencananya adalah 3 satelit di orbit GEO dan 4 satelit di orbit IGSO. Satelit ini pertama kali diluncurkan pada tahun 2012.
10
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
Ko m p u t a s i Aw a n ( C l o u d Computing) adalah penggunaan sumber daya komputasi (hardware dan software) yang diwujudkan dalam bentuk layanan yang bisa diakses melalui jaringan (internet). Asal kata cloud diambil dari penggunaan simbol internet yang berbentuk awan yang sering digunakan sebagai abstraksi penggambaran infrastruktur kompleks yang dikandungnya dalam sebuah sistem. Komputasi Awan (Cloud computing) juga merupakan sebuah evolusi dari virtualisasi berupa arsitektur yang berorientasi layanan menggunakan kemampuan komputasi. Keberadaan teknologi komputasi awan di era digital kini sebenarnya telah terasa di tengah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan email dan juga media sosial. Teknologi tersebut lebih diarahkan dalam pencapaian
kemudahan dan kenyamanan penggunanya dalam mendapatkan suatu informasi yang selalu up to date ketika suatu peristiwa terjadi, sehingga masyarakat dapat mengetahui berita terkini secara cepat dengan memanfaatkan teknologi internet. Komputasi Awan (Cloud computing) juga merupakan sebuah evolusi dari virtualisasi berupa arsitektur yang berorientasi layanan menggunakan kemampuan komputasi. Cara kerja komputasi awan bersifat transparan, mudah diakses sehingga pengguna tidak perlu pengetahuan lanjutan dan hanya perlu tahu bagaimana untuk mengaksesnya. Ada beberapa karakteristik yang membedakan antara teknologi komputasi awan dengan komputasi biasa : 1. O n D e m a n d S e l f S e r v i c e (Pelayanan diri sendiri sesuai kebutuhan)
Gambar 1 : Struktur Komputasi Awan (sumber http://upload. wikimedia. org/)
Gambar 2 : Komputasi Awan (sumber: http:// adityahenrikus.files. wordpress.com)
2.
3.
4.
5.
Pengguna dapat memesan dan mengelola layanan tanpa interaksi manusia dengan penyedia layanan, Broad Network Access (Akses Jaringan Yang Luas) Layanan komputasi awan bisa diakses dari manapun, kapanpun, dengan alat apapun, selama pengguna masih terhubung dengan jaringan layanan tersebut. Resourcing Pooling (sumber daya menyatu) Te r s e d i a s e c a r a t e r p u s a t (tersentralisasi). Layanan cloud computing mampu secara e sien membagi sumber daya yang ada, karena layanan ini digunakan oleh berbagai penguna secara bersama-sama, sehingga sumber daya yang ada bisa dimanfaatkan secara maksimal. Rapid Elasticity (Elastisitas cepat) Sumber daya dan kemampuan dapat dengan cepat dan secara otomatis digunakan dan ditingkatkan setiap saat. Measured Service (Layanan Terukur) Sumber daya cloud yang tersedia harus dapat diatur dan d i o t i m a l k a n o l e h penggunaannya, dengan suatu sistem pengukuran yang dapat mengukur penggunaan dari setiap sumber daya komputasi yang digunakan.
Gambar 3 : Profil Proxmox (Sumber : Lapan)
Ada beberapa kelebihan juga yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi komputasi awan : 1. Kemudahan akses Dapat diakses dimanapun, kapanpun serta dapat me-remote sistem komputasi awan secara online. 2. E siensi Biaya Menggunakan server secara virtual, tanpa harus membeli perangkat keras. 3. Fleksibilitas dalam menambah kapasitas Ti d a k p e r l u m e l a k u k a n pengadaan komputer yang memakan banyak waktu, cukup dengan terkoneksi ke internet dapat melakukan perubahan secara virtual. 4. Kemudahan dalam monitoring dan manajemen server Semua monitoring dan manajemen server dapat dilakukan dalam satu web portal pengguna. 5. Back up Data Pengguna dapat mem-backup data di berbagai perangkat k a re n a s a l i n g t e r i n t e g r a s i ( k o m p u t e r, l a p t o p d a n smartphone). Teknologi komputasi awan juga sudah diterapkan di Lapan Bandung. Beberapa server utama sudah dibuat secara virtualisasi dalam komputasi awan yang
menggunakan sebuah aplikasi yang bernama Proxmox. Proxmox adalah perangkat lunak open source, dioptimalkan untuk kinerja dan kegunaan. Untuk eksibilitas maksimum, proxmox menerapkan dua teknologi virtualisasi yaitu Kernel-based Virtual Machine (KVM) dan wadah virtualisasi. Server-server virtualisasi yang terdapat di Proxmox diantaranya ada server website Lapan Bandung, server Domain Name Server (DNS), server email Lapan Bandung, ser ver monitoring jaringan VPN serta server cloud storage untuk penyimpanan online. Email Lapan Bandung menggunakan aplikasi zimbra dan owncloud yang digunakan untuk menyimpan data-data secara online. Kedua aplikasi tersebut juga sudah berbasis komputasi awan, sehingga dapat di akses dimana saja asal terhubung ke internet. Pusat Sains Antariksa Lapan Bandung juga mempunyai sistem aplikasi untuk data center yang bernama Repositori Data Sains Antariksa (RDSA) yang menggunakan aplikasi bernama Pydio dan sudah berbasis komputasi awan untuk menyimpan data-data hasil pengamatan dari stasiun sehingga dapat diunduh dan digunakan oleh peneliti Lapan.
Gambar 4 : Owncloud (https://storage.sains.lapan.go.id)
Gambar 5 : Email Lapan Bandung (https://mail.bdg.lapan.go.id)
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
11
AKTIVITAS
MATAHARI Februari – November 2014 Oleh :
S. Sulistiani Bidang Matahari dan Antariksa
Selama 12-28 Februari 2015 tercatat 19 are kelas C. Sebuah CME halo asimetri dideteksi dalam citra koronagraf (pengukuran pertama di SOHO LASCO/C2 pada pukul 9.24 UT tanggal 21 Februari), berasosiasi dengan erupsi lamen besar sisi-jauh di belahan selatan matahari. Filamen ini berada di matahari selama lebih dari satu setengah rotasi matahari. Citra merah dan biru (Gambar 1) diambil oleh koronagraf LASCO di SOHO. Citra hijau (Gambar 2) diambil oleh wahana STEREO A dan menunjukkan sisi-jauh Matahari. Dari gambar tersebut, dapat dilihat lamen besar yang sedang bererupsi (kiri) dan loop pasca-erupsi (kanan). CME terutama mengarah ke selatan-barat dengan estimasi laju proyeksi kirakira 1000 km/det. Fluks proton (pada level energi > 10 MeV) telah naik ke level lebih tinggi mulai sekitar 12 UT. Namun, tidak melampaui ambang peristiwa. Bulan Maret adalah bulan paling aktif dengan 200 are kelas C yang separuh di antaranya berasal dari daerah aktif NOAA 2297. Daerah aktif ini juga menjadi sumber dari 29 are kelas M dan satu are kelas X. NOAA 2297 terletak sekitar lintang tengah (S15), dan berotasi dari timur ke barat. Dalam sepekan, daerah aktif tersebut bertambah ukuran dan menunjukkan
12
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
kemunculan uks yang signi kan. Aw a l n y a , d a e r a h t e r s e b u t diklasi kasikan sebagai daerah BetaGamma-Delta menurut sistem klasi kasi Mount Wilson. Flare terbesarnya, yaitu kelas X2.1, pada tanggal 11 Maret memuncak pada pukul 16.22 UT. Pada Gambar 3, citra kiri dari SDO/HMI adalah NOAA 2297 dalam cahaya tampak, citra magnetogram di tengah memberikan gambaran mengenai kekuatan medan magnet fotosfer daerah tersebut, dan citra kanan menunjukkan daerah aktif tersebut di korona. Peristiwa yang paling menarik di NOAA 2297 terjadi pada awal tanggal 15 Maret, ketika daerah aktif ini menghasilkan sebuah are C9.1 berdurasi panjang yang memuncak pada pukul 02.13 UT. Flare yang relatif sederhana ini disertai oleh sedikit peningkatan proton. Flare ini juga disertai oleh sebuah CME halo
parsial asimetris yang memiliki laju bidang langit sebesar 700 km/det. Walaupun sebagian besar massa CME tampaknya menjauhi Bumi, namun, ternyata CME ini mengakibatkan badai geomagnet parah (Kp=8) pada tanggal 17 Maret dengan nilai Dst mencapai -223 nT. Ini menjadikannya sebagai badai geomagnet terkuat sejauh ini dalam siklus matahari ke-24. Selama bulan April tercatat 101 are kelas C dan 11 kelas M dengan dominasi daerah aktif NOAA 2322 yang diikuti oleh NOAA 2321 dan 2320. Sebuah CME halo parsial diamati SOHO/L ASCO pada tanggal 4-5 April. CME ini pertama kali diamati di medan pandang LASCO C2 pada pukul 23.36 UT tanggal 4 April yang memiliki lebar sudut 230 derajat dan laju proyeksi sekitar 760 km/det. Data SDO/AIA menunjukkan bahwa CME tersebut disertai oleh sebuah erupsi lamen di
Gambar 1 : CME halo asimetri yang terjadi pada tanggal 21 Februari di sisijauh belahan selatan matahari. (Sumber : SOHO/LASCO)
Gambar 2 : Erupsi filamen (kiri) dan loop pasca-erupsi (kanan) di sisi-jauh matahari (hasil pengamatan STEREO A) yang mendahului CME tanggal 21 Februari. (Sumber: STEREO)
Gambar 3 : Daerah aktif NOAA 2297 dalam panjang gelombang visual (kiri), magnetogram (tengah), dan sinar-X (kanan). (Sumber: SDO)
kuadran selatan-timur (di selatan daerah aktif NOAA 2319 dan 2320), peredupan korona, lengkungan pasca-erupsi, dan are C3.8 yang mencapai puncak pada pukul 00.07 UT tanggal 5 April. Sebuah CME halo parsial, pertama kali dideteksi C2 LASCO SOHO pada tanggal 12 April pukul 23.48 UT. CME tersebut berasosiasi dengan are C6.4 di NOAA 2321 dan erupsi lamen (di dekat daerah tepi barat). Observatorium Culgoora melaporkan peristiwa semburan radio tipe I I yang menunjukkan adanya gelombang kejut yang berasosiasi dengannya. Semburan radio tersebut mengindikasikan bahwa laju gelombang kejut sekitar 1100 km/det. CME ini memiliki lebar sudut sekitar 150 derajat dan laju proyeksi sekitar 630 km/det. CME ini tidak tiba di Bumi. Daerah aktif N OA A 2320 melepaskan sebuah are C3.0 yang mencapai puncak pada pukul 19.06 UT tanggal 6 April, berasosiasi dengan peredupan, gelombang
EUV, CME, dan semburan radio tipe II. CME tersebut pertama kali diamati oleh LASCO C2 pada pukul 19.24 UT dan memiliki lebar sudut sekitar 140 derajat. Laju bidang-langit yang diturunkan oleh CACTUS adalah 339 km/det. Sedangkan semburan tipe I I berkorespondensi dengan laju 691 km/det. Flare terkuat bulan April berasal dari daerah NOAA 2322 pada tanggal 21 April. Flare M4.0 ini mencapai puncak pada pukul 15.45 UT ketika NOAA 2322 bergerak menuju sisi-jauh tepi barat. Pada tanggal 28 April, beberapa lamen bererupsi di belahan timur; pertama sebuah lamen di dekat N10E50 pada pukul 2.55 UT, diikuti oleh erupsi lamen besar lebih di utara yang mulai naik pada pukul 11.00 UT dan di penghujung hari UT sebuah lamen yang berada di antara keduanya bererupsi. Tidak ada satupun erupsi dari plasma ini memiliki komponen yang mengarah ke Bumi.
Gambar 4 : CME tanggal 4-5 April yang menyertai erupsi filamen di kuadran selatan-timur dan flare C3.8 yang mencapai puncak pada pukul 00.07 UT tanggal 5 April. (Sumber: SIDC CACTus)
Gambar 5 : CME halo parsial tanggal 12-13 April yang berasosiasi dengan sebuah flare C6.4 di NOAA 2321 dan erupsi filamen. (Sumber: SIDC CACTus)
Tabel 1 : Prediksi bilangan sunspot bulanan periode Februari 2015 - Januari 2016
Prediksi Bilangan Sunspot
Bulan
Mei 2015
57,2 ±6
Juni 2015
56,3 ±7
Juli 2015
55,3 ±8
Agustus 2015
54,4 ±8
September 2015
53,4 ±8
Oktober 2015
52,4 ±9
November 2015
51,3 ±9
Desember 2015
50,2 ±9
Januari 2016
49,0 ±10
Februari 2016
47,8 ±10
Maret 2016
46,5 ±10
April 2016
45,2 ±10
(metode filter Kalman, http://sidc.oma.be/ products/kalfil):
Gambar 6 : Tiga filamen yang bererupsi pada tanggal 28 April di belahan utara-timur piringan matahari. (Sumber: STCE)
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
13
AKTIVITAS GEOMAGNET Februari – April 2015 Oleh :
V. Wellyanita dan C. Eman H. Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Aktivitas geomagnet pada bulan Februari 2015 menunjukan bahwa telah terjadi 4 kali badai geomagnet (gambar 1). Dua diantara badai geomagnet tersebut berskala lemah, yaitu pada tanggal 2 Februari 2015 dan 7 Februari 2015. Pada tanggal 2 Februari 2015 nilai indeks Dst terendah adalah -49 nT dan indeks Kp maksimum adalah 5. Pada tanggal 7 Februari 2015 nilai indeks Dst terendah adalah -39 nT dan indeks Kp maksimum adalah 3. Badai geomagnet ketiga terjadi pada tanggal 18 Februari 2015 dengan penurunan nilai indeks Dst -60 nT dan indeks Kp maksimum pada hari itu adalah 5. Badai geomagnet ini diklasi kasikan sebagai badai geomagnet kelas menengah, akibat dari adanya lubang korona di bagian barat hemisfer matahari yang efektif mengarah ke bumi dan mempercepat lajunya angin matahari menuju bumi. Badai geomagnet keempat terjadi pada tanggal 24 Febr uari 2015 merupakan badai menengah dengan penurunan nilai indeks Dst -55 nT
dan indeks Kp maksimum adalah 5. Badai ini terjadi akibat lontaran massa korona (CME) yang terjadi pada tanggal 21 Februari jam 09.24 UT di daerah barat daya piringan matahari dengan kecepatan angin matahari 892 km/s. Gangguan geomagnet berskala menengah pada tanggal 18 Februari 2015 dan 24 Februari 2015 teramati di stasiun Manado, Pare-pare dan Watukosek. Stasiun pengamat geomagnet Menado dan Pare-pare menunjukan nilai indeks K =4, sedangkan stasiun pengamat geomagnet Watukosek menunjukan nilai indeks K = 5 pada tanggal 18 Februari 2015. Sedangkan untuk gangguan geomagnet pada tanggal 2 4 Fe b r u a r i 2 0 1 5 k e t i g a n y a berespon sama terhadap nilai indeks K = 4 (gambar 2). Indeks tersebut menandakan bahwa badai geomagnet tersebut terdeteksi secara global karena dapat teramati pada beberapa stasiun geomagnet di Indonesia. Pada awal bulan Maret terjadi badai geomagnet berskala lemah pada tanggal 1 Maret 2015 dan badai geomagnet berskala menengah pada tanggal 2 Maret 2015 (gambar 3). Nilai indeks Dst terendah adalah -45 nT dan indeks Kp = 5 terjadi pada tanggal 1 Maret 2015. Sedangkan pada tanggal 2 Maret 2015 niali indeks Dst terendah adalah -54 nT dan indeks Kp = 5.
Lontaran massa korona (CME) yang terjadi tanggal 15 Maret 2015 jam 02.36 UT dengan kecepatan 710 km/s mengakibatkan terjadinya badai geomagnet berskala kuat dengan nilai indeks Dst terendah 223 nT pada tanggal 17 Maret 2015 jam 23.00 UT (gambar 3). Pada tanggal 20 maret 2015 terjadi dua lontaran massa korona pada pukul 01.36 UT dengan kecepatan ratarata keduanya berkisar 800 km/s. Akibat dari lontaran massa korona yang terjadi berturut-turut ini, maka fase pemulihan dari badai geomagnet berlangsung panjang sampai dengan beberapa hari ke depan. Pada saat terjadinya badai geomagnet berskala besar ini, nilai indeks Kp mencapai 8, yang berarti bahwa badai geomagnet yang terjadi
(a)
(b)
(c) Gambar 2 : a. Indeks K Stasiun Menado pada bulan Februari 2015 b. Stasiun Pare-pare dan c. Stasiun Watukosek (Sumber : Lapan) Gambar 1 :Indeks Dst pada Bulan Februari 2015 (Sumber: http://wdc. kugi.kyoto-u.ac.jp/dstdir/) 14
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
Gambar 3 : Indeks Dst pada Bulan Maret 2015 (Sumber: http://wdc. kugi.kyoto-u.ac.jp/dstdir/)
(a)
(b)
(c) Gambar 4 : a. Indeks K Stasiun Menado pada bulan Maret 2015 b.Stasiun Pare-pare dan c. Stasiun Watukosek
kali ini sangat kuat. Lembaga penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang bekerjasama dengan Space Environment Research Center (SERC) melakukan pengamatan
geomagnet di Indonesia dengan mengukur indeks K di beberapa stasiun pengamat geomagnet. Pada bulan Maret 2015 teramati bahwa saat terjadinya badai geomagnet berskala kuat pada tanggal 17 Maret 2015, stasiun pengamat Menado (MND), Pare-pare (PRP), dan Watukosek (WTK) memiliki indeks K = 6 (gambar 4), yang artinya bahwa daerah lintang rendah merespon badai geomagnetik kuat ini di stasiun-stasiun pengamat geomagnet tersebut. Yang berarti bahwa badai geomagnet tersebut terdeteksi secara global di semua stasiun pengamat geomagnet landas bumi. Kondisi geomagnet sepanjang bulan April 2015 mengalami beberapa kali badai geomagnet lemah (Gambar 5). Badai geomagnet pertama terjadi pada tanggal 10 April 2015 dengan penurunan nilai indeks Dst -52 nT dan indeks Kp maksimum adalah 6. Badai geomagnet yang kedua terjadi pada tanggal 11 April 2015 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -82 nT dengan indeks Kp maksimum adalah 4. Kedua Badai
geomagnet ini diklasi kasikan sebagai badai kelas menengah. Akibat dari lontaran massa korona pada tanggal 13 April 2015 jam 00.00 UT dengan kecepatan 595 km/s dan pada jam 01.36 UT dengan kecepatan 1564 km/s serta pada tanggal 14 April 2015 jam 02.12 UT dengan kecepatan 697 km/s maka kondisi geomagnet kembali mengalami gangguan yang mencapai puncaknya pada tanggal 16 April 2015 jam 24.00 dengan nilai indeks Dst -86 nT serta nilai indeks Kp maksimum adalah 5. Erupsi lament terjadi tanggal 18 April 2015 pada daerah bintik matahari AR2321 yang menghasilkan are kelas C5. Erupsi lament ini diikuti oleh lontaran massa korona yang menyebabkan kondisi geomagnet terganggu pada tanggal 21 April 2015 dengan nilai Dst terendah -33 nT dan nilai indeks Kp = 4. Stasiun pengamat geomagnet Menado (MND), Pare-pare (PRP), Kupang (KPG), Kototabang (KTB) dan Tanjungsari (TJS) pada tanggal 11 April 2015 dan 16 April 2015 menunjukan nilai indeks K = 4 untuk tiga stasiun yaitu MND, PRP dan KPG dan nilai K =5 untuk stasiun lainnya yaitu KTB dan TJS (Gambar 6). Stasiun pengamat tersebut di atas mendeteksi adanya gangguan geomagnet di lintang rendah khususnya di Indonesia.
Gambar 5 : Indeks Dst pada bulan April 2015 (Sumber: http://wdc. kugi.kyoto-u.ac.jp/dstdir/) Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
15
Aktivitas Sintilasi Ionosfer diatas Bandung, Pontianak dan Manado Februari – April 2015 Oleh :
(a)
S. Ekawati Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
(b)
(c)
(d)
(e) Gambar 6 : Indeks K Stasiun Menado pada bulan April 2015 (a), Stasiun Pare-pare (b), Stasiun Kupang (c), Stasiun Kototabang (d) dan Stasiun Tanjungsari (e)
16
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
Aktivitas sintillasi ionosfer periode 15 Februari sampai dengan 30 April 2015 merupakan periode dengan kemunculan sintilasi paling intensif dan sering terjadi (periode equinox). Alat pengamat sintilasi diperoleh dari penerima GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) di Bandung, Pontianak dan Manado. Dari data GISTM di Bandung, aktivitas sintilasi ionosfer kuat dengan indeks amplitudo sintilasi (S4) lebih besar dari 0,5 dan berdurasi lebih dari 3 jam terjadi pada tanggal 15 dan 27 Februari 2015. Gambar-1 menunjukkan aktivitas sintilasi pada tanggal 15 Fe b r u a r i 2 0 1 5 . Pa n e l a t a s menunjukkan data indeks amplitudo sintilasi ionosfer (S4) terhadap waktu dalam Universal Time (UT). Bila diubah ke waktu setempat adalah UT+7. Panel bawah menunjukkan daerah cakupan pengamatan ionosfer. Warna kuning menunjukkan sintilasi sedang (moderate). Sedangkan warna merah menunjukkan sintilasi kuat (strong). Gambar-1 juga menunjukkan turbulensi plasma ionosfer yang disebabkan oleh plasma bubble pada pukul 13:15 UT/20:15 LT (Local Time) 17:10 UT/00:10 LT hari berikutnya. Durasi gangguannya hampir mencapai 4 jam.
Namun, kondisi tersebut tidak ditunjukkan oleh data GISTM di Pontianak, seperti yang ditunjukkan pada Gambar-2. Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Pontianak berada pada sintilasi sedang selama ~ 1,5 jam dan sintilasi kuat terjadi hanya selama ~30 menit pada pukul 15:35 16:05 UT (22:35 23:05 LT). Ini menunjukkan bahwa aktivitas sintilasi ionosfer mer upakan gangguan ionosfer skala kecilmenengah yang tergantung pada lokasi (bersifat gangguan lokal).
Gambar 1 : Aktivitas sintilasi ionosfer diatas Bandung pada 15 Februari 2015
Gambar 2 : Aktivitas sintilasi ionosfer diatas Pontianak pada 15 Februari 2015
Gambar 3 : Cakupan pengamatan sintilasi ionosfer dari GISTM Pontianak (panel atas) dan dari GISTM Bandung (panel bawah) dan lokasi terjadinya sintilasi kuat.
Gambar 4 : Kemunculan Sintilasi Ionosfer tanggal 15 18 Maret 2015.
Tabel 1 : Kemunculan Sintilasi Ionosfer diatas Manado.
Gangguan sintilasi ionosfer pada aplikasi navigasi berbasis satelit (GNSS/Global Navigation Satellite System) dan komunikasi satelit pun bersifat lokal. Artinya gangguan akan lebih signi kan pada saat sinyal satelit melewati ionosfer di atas Bandung dibandingkan di atas Pontianak. Bila dilihat dengan lebih detail cakupan pengamatan dari Gambar-1 dan Gambar-2 akan terlihat daerah terjadinya sintilasi kuat berada di bawah Pontianak dan daerah sekitar Bandung. Gambar-3 menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer dilihat dari cakupan pengamatan ionosfer di atas Bandung dan Pontianak pada tanggal 27 Februari 2015. Pada Gambar-3 juga ditunjukkan
kemunculan sintilasi kuat (warna merah) lebih intensif terjadi pada ionosfer di daerah sekitar Bandung. Dari data GISTM di Manado, kemunculan sintilasi sedang (0,25<S4 0.5) terjadi 8 hari pada bulan Maret 2015 yaitu pada tanggal 3, 6, 9, 12, 13, 15, 24, dan 26. Sedangkan kemunculan sintilasi kuat terjadi 7 hari selama bulan Maret 2015, yaitu pada tanggal 4, 5, 11, 14, 15, 25 dan 31. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel-1. Pada bulan Maret terdapat kejadian badai geomagnet dengan puncaknya pada tanggal 17 Maret 2015 pukul 24:00 UT. Dari data yang diperoleh dari GISTM di Manado dan Pontianak, sintilasi ionosfer kuat terjadi pada tanggal 16 Maret 2015.
Sedangkan pada tanggal 17 18 Maret 2015 tidak terjadi sintilasi kuat seperti ditunjukkan pada Gambar-4 dan tabel-1. Berdasarkan data yang diperoleh dari GISTM Bandung. Selama bulan April 2015, kemunculan sintilasi ionosfer terjadi 15 hari, yaitu pada tanggal 1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 13, 22, 23, 25, 26, 27, dan 29. Hal tersebut menunjukkan kemunculan sintilasi ionosfer selama bulan April t e r j a d i s e b e s a r 5 0 % . Du r a s i gangguan sintilasi ionosfer kuat (S4<S4 1) terlama selama bulan April terjadi pada tanggal 8 April 2015 yaitu selama 4,5 jam dari pukul ~12:30 ~16:30 UT (~19:30 ~23:30 LT).
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
17
Koneksitas Jaringan ALE-LAPAN dan Indeks T Regional Oleh :
Annis Siradj Mardiani Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Dari pengamatan jaringan komunikasi ALE (Automatic Link Establishment) sirkit komunikasi Pekanbaru Bandung (jarak 1073 km) selama bulan Maret 2015, Fre k u e n s i 7 M H z u m u m n y a memiliki keberhasilan tinggi pada pukul 00:00 - 6:59WIB dan 17:00 22:59 W I B (lihat tabel 1). Frekuensi 10 MHz umumnya memiliki keberhasilan tinggi sepanjang hari selama 24 jam, sedangkan frekuensi 14 MHz memiliki keberhasilan tinggi pada siang hingga malam hari yaitu pukul 7:00 23:59WIB. Frekuensi 18 M Hz dan 21 M Hz memiliki keberhasilan tinggi pada pukul 21:00 -22:59WIB. Untuk bulan April 2015, pro l keberhasilan komunikasi untuk frekuensi 7 MHz, 10 MHz dan 14 MHz hampir identik, namun keberhasilan komunikasi pada frekuensi 18 MHz meningkat dari bulan sebelumnya, yaitu pada pukul 8:00 sampai 2 3 : 5 W I B 9 . Pe n i n g k a t a n keberhasilan komunikasi pada bulan April juga meningkat, tercatat pada frekuensi 21 MHz yaitu pada pukul 18:00 -23:59WIB. Un t u k s i r k i t k o m u n i k a s i Kupang-Bandung (jarak 1795 km) selama bulan Maret 2015, keberhasilan komunikasi rendah tercatat pada frekuensi 18 MHz, di pagi hari hanya tecatat satu jam yaitu pukul 9:00 9:59 WIB sedangkan pada sore hari tercatat pada pukul 15:00 WIB sampai17:59WIB (lihat
18
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
tabel 2). Keberhasilan komunikasi rendah juga tercatat pada frekuensi 21 MHz, yaitu pukul 7:00 9:59WIB, pukul 13:00 13:59WIB dan sore hari pada pukul 15:00 18:59WIB. Sementara pada
frekuensi 24 MHz, keberhasilan komunikasi rendah tercatat pada pukul 11:00 12:59 WIB dan sore hari pada pukul 16:00 17:59 WIB. Untuk bulan April, frekuensi 18 MHz tercatat memiliki keberhasilan rendah pada pukul 8:00 8:59 WIB serta pukul 11:00 12:59WIB. Keberhasilan rendah juga tercatat pada frekuensi 21 MHz, yaitu pukul 6:00 9:59WIB, pukul 11:00 11:59 WIB serta pukul 13:00 16:59WIB. Frekuensi 24 MHz
Tabel 1. Keberhasilan komunikasi sirkit Pekanbaru Maret dan April 2015
Tabel 2. Keberhasilan komunikasi sirkit Kupang Maret dan April 2015
Tabel 3. Keberhasilan komunikasi sirkit Biak dan April 2015
Bandung selama
Bandung selama
Bandung selama Maret
Regional
94 Th. 2015
93 91 90 88 87 87 Th. 2016
86 86 86 85 84
tercatat memiliki keberhasilan rendah di pagi dan siang hari masing-masing pukul 8:00 -8:59 WIB serta pukul 15:00 15:59WIB. Untuk sirkit komunikasi BiakBandung (jarak 3220 km) selama bulan Maret 2015, keberhasilan komunikasi rendah pada frekuensi 18 MHz tercatat hanya satu jam pada sore hari yaitu pukul 17:00 17:59 WIB (lihat tabel 3). Pada frekuensi 21 MHz, keberhasilan rendah juga tercatat pada pukul 15:00 18:59WIB. Untuk bulan April 2015, keberhasilan komunikasi rendah untuk frekuensi 18 MHz tercatat pada pukul 13:00 13:59WIB, serta pukul 15:00 17:59 WIB. Sedangkan untuk frekuensi 21 MHz, tercatat memiliki
Review Cuaca Antariksa Februari – April 2015 Oleh :
R. Kesumaningrum Bidang Matahari dan Antariksa
Kondisi cuaca antariksa pada bulan Februari 2015 berada pada kondisi tenang dengan aktivitas matahari rendah. Terjadi beberapa rentang hari tanpa flare, dengan daerah aktif berukuran kecil dan sederhana. Cuaca antariksa tenang antara lain pada rentang tanggal 13-17 Februari dan 21-27 Februari 2015. Hanya terjadi satu flare menengah kelas M1.2 pukul 02:08 UT yang erupsi pada tanggal 4 Februari 2015 di atas daerah aktif NOAA 2277 dengan konfigurasi magnetik βγ. Flare diikuti oleh semburan radio tipe III dan lontaran massa korona
(Coronal Mass Ejection-CME) lemah dan hanya menyebabkan badai menengah dengan Dst turun menjadi -39 nT sekitar tanggal 7 Februari 2015. Berbeda dengan kondisi matahari pada bulan Februari 2015, aktivitas matahari pada bulan Maret berada pada kondisi aktif dengan banyak daerah aktif yang menghasillan flare
peningkatan keberhasilan komunikasi dari bulan sebelumnya, yaitu pada pukul 14:00 -18:59WIB, dengan keberhasilan komunikasi tinggi tercatat pada 15:00 17:59WIB. Secara umum, keberhasilan komunikasi pada bulan April 2015 lebih baik daripada bulan Maret 2015. Frekuensi yang tercatat memiliki keberhasilan komunikasi untuk sirkit dengan jarak menengah (+ 1000 km) pada periode Maret April 2015 adalah adalah frekuensi 10 MHz, 14 MHz, serta 18 MHz sedangkan frekuensi yang tercatat memiliki keberhasilan komunikasi untuk sirkit dengan jarak jauh (+ 3000 km) adalah frekuensi 18 MHz dan 21 Mhz.
menengah kelas M dan ada yang menghasilkan flare kuat kelas X. Pada awal Maret nilai Dst turun mencapai -46 disebabkan karena adanya lubang korona pada rentang waktu 26 – 28 Februari 2015 yang mengarah ke Bumi (Gambar 2). Angin matahari yang berasal dari lubang korona berinteraksi dengan medan magnet Bumi dan mengalami rekoneksi menghasilkan badai menengah.
Gambar 1. Indeks Dst pada bulan Maret 2015 yang menampilkan adanya badai menengah pada tanggal 2 Maret 2015 dan badai kuat pada tanggal 17 Maret 2015. (Sumber: http://wdc. kugi.kyoto-u.ac.jp/dstdir/)
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
19
Aktivitas matahari juga meningkat berasal dari daerah aktif NOAA 2290 yang sudah mulai terlihat mulai tanggal 18 Februari 2015. NOAA 2290 berukuran kecil dengan kompleksitas magnetik sederhana alpha. Selama bulan Februari, tidak terjadi flare yang berasal dari daerah aktif NOAA 2290 ini. Namun hal menarik tampak menjelang NOAA 2290 berada di tepi barat piringan matahari dan hampir tidak terlihat dari arah Bumi (Gambar 3). Pada tanggal 1 Maret 2015 dengan konfigurasi magnetik sederhana yaitu β, NOAA 2290 mulai melepaskan beberapa flare lemah kelas C dan hingga pada tanggal 2 Maret dengan posisi di tepi piringan matahari yaitu pada N20W91, terjadi lima flare menengah kelas M dan tanggal 3 Maret 2015 terjadi 1 flare kelas M. Flare M1.0 (pukul 06:31 UT) pada tanggal 2 Maret 2015 diikuti oleh semburan radio tipe II, III, dan tipe IV serta memicu terjadinya CME tanggal 3 Maret 2015 dengan
Gambar 2. Lubang korona tanggal 27 Februari 2015 yg menyebabkan badai geomagnet menengah tanggal 2 Maret 2015. (Sumber: SDO/AIA)
20
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
kecepatan awal 463 km/s. Sementara flare menengah kelas M8.2 (pukul 01:25 UT) diikuti oleh semburan radio tipe II, III dan IV. Flare ini memicu CME pukul 01:36 UT dengan kecepatan awal 463 km/s (Gambar 4). Namun meskipun kedua CME berada pada posisi geoefektif terhadap geomagnet Bumi, tidak terjadi rekoneksi IMF sehingga tidak terjadi badai geomagnet. NOAA 2290 kemudian menghilang di balik piringan matahari pada hari berikutnya. Aktivitas tinggi pada bulan Maret 2015 juga berasal dari salah satu daerah aktif NOAA 2297 yang eruptif, terlihat pada tepi timur piringan matahari mulai tanggal 7 Maret 2015 hingga 19 Maret 2015 (Gambar 6). Pada awalnya daerah aktif memiliki konfigurasi magnetik dan kemudian membesar dengan cepat dan bertambah kompleks mencapai konfigurasi magnetik βγδ dalam dua hari kemudian. Selama kemunculannya pada piringan matahari menghadap ke
Gambar 3. Posisi flare berada di atas daerah aktif NOAA 2290 di tepi barat piringan matahari yang memicu terjadinya CME namun tidak menimpulkan badai di geomagnet.
Bumi, daerah aktif NOAA 2297 melepaskan 17 kali flare menengah kelas M dan satu flare kuat kelas X2.1 tanggal 11 Maret 2015 (Gambar 5). Pada 17 Maret 2015, terjadi badai geomagnet besar dengan nilai Dst mencapai -223 nT (Gambar 1). Dengan menelusuri kecepatan CME, diketahui badai berkaitan dengan kejadian CME tanggal 15 Maret 2015 pukul 02.36
Gambar 4. CME mengikuti flare M8.2 tanggal 3 Maret 2015 diatas daerah aktif AR 2290. (Sumber: http://sidc.oma.be/cactus/catalog. php)
Gambar 5. Flare kuat X2.1 tanggal 11 Maret 2015 di atas daerah aktif NOAA 2297 pada panjang gelombang EUV 094 Å (Sumber: SDO/AIA).
UT dengan sudut posisi (pa) 356o dan lebar sudut CME 270o(Gambar 7). CME memiliki kecepatan awal 710 km/s dipicu oleh erupsi filamen dan flare C9.1 (pukul 01:15 UT), terjadi di atas daerah aktif AR 2297 dengan konfigurasi magnetik βγδ . Flare juga diikuti oleh semburan radio tipe II dan IV (Gambar 8). Selain flare, aktivitas matahari lainnya adalah erupsi filamen yang memicu terjadinya CME. Pada 28 April 2015, tiga filamen di hemisfer timur matahari mengalami erupsi (Gambar 9). Filamen pertama erupsi pada pukul 2:55 UT di posisi N10E50
diikuti oleh erupsi kedua pukul 11:00 UT dan menyebabkan erupsi ketiga beberapa waktu kemudian. Erupsi filamen tidak mengakibatkan CME yang mengarah ke Bumi. Saat ini matahari menuju pada siklus minimum dengan hasil pengamatan bilangan sunspot yang terus menurun. Banyak bermunculan daerah aktif dengan ukuran kecil dan sederhana. Pada siklus minimum, bintik akan bermunculan di sekitar ekuator matahari dan dapat dimungkinkan adanya suatu peristiwa kuat dari matahari.
Gambar 7. Citra daerah aktif AR 2297 pada panjang gelombang white light dan citra filamen yang mengalami erupsi dan kemudian memicu terjadinya flare C9.1 tanggal 15 Maret 2015 pukul 01:15 UT. Flare dan erupsi filamen memicu CME (bawah)(Sumber http://solarmonitor.org)
Gambar 6. Pengamatan daerah aktif NOAA 2297 dalam beberapa hari tampak di permukaan matahari menghadap ke Bumi, citra adalah dari tanggal 9 16 Maret 2015. Daerah aktif memiliki konfigurasi magnetik dan banyak melepaskan flare menengah kelas M. (Sumber: SDO/AIA http://solarmonitor.org). Gambar 9. Filamen (tanda panah) yang diamati pada panjang gelombang H-alpha pada tanggal 28 April 2015 mengalami erupsi (Sumber: www.solarmonitor.org)
Gambar 8. Semburan radio tipe II dan tipe IV yang diamati oleh Observatorium Culgoora pada tanggal 15 Maret 2015 menandakan adanya CME mengikuti kejadian erupsi filamen dan flare. (Sumber: http://www.ips.gov.au )
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
21
Sambut Fenomena Langka Gerhana Matahari Total (GMT) 2016 Oleh :
C. Widianingrum dan Sucipto Humas Pussainsa - Lapan
Peristiwa gerhana matahari bukanlah fenomena alam yang biasa, terutama gerhana matahari total (GMT). Gerhana matahari adalah peristiwa yang terjadi ketika posisi bulan terletak di antara Bumi dan Ma t a h a r i s e h i n g g a m e n u t u p sebagian atau seluruh cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, namun bayangannya mampu melindungi cahaya Matahari sepenuhnya atau sebagian. Hal ini karena jarak Bulan ke Bumi lebih dekat dibandingkan jarak Matahari ke Bumi. Jarak Bulan ke Bumi adalah 384.400 kilometer sedangkan jarak Matahari ke Bumi adalah 149.680.000 kilometer. Salah satu jenis gerhana matahari yaitu Gerhana Matahari Total (G M T ) yang terjadi apabila, piringan Matahari ditutup sepenuhnya oleh piringan Bulan. Saat itu, piringan Bulan sama besar atau lebih besar dari piringan Matahari. Ukuran piringan Matahari dan piringan Bulan sendiri berubah-ubah tergantung pada masing-masing jarak Bumi-Bulan dan Bumi-Matahari. GMT yang akan datang diperkirakan terjadi tanggal 9 Maret 2016. Dalam rangka menyambut GMT tersebut, Lapan bekerjasama dengan berbagai instansi yaitu Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, K e m e n t r i a n Pe n d i d i k a n d a n
22
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
Kebudayaan, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geo sika, Institut Teknologi Bandung, Himpunan Astronomi Indonesia, Langitselatan, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universe Awareness mengadakan Lokakarya Nasional GMT 2016 guna mensosialisasikan peristiwa tersebut dengan narasumber dari berbagai institusi. Koordinator dari lokakarya ini adalah Ir. Agus Hidayat, M.Sc dan Dra. Clara Yono Yatini, M.Sc dari Lapan. Peristiwa gerhana matahari total ini sangat dinantikan oleh masyarakat luas. Khususnya dari kalangan ilmiah dan pendidikan. Wisatawan mancanegara pun tak kalah ingin melihat peristiwa
Gambar 1. Prof. Bambang Hidayat memaparkan fenomena alam tentang Gerhana Matahari Total 2016 (Sumber : Lapan)
Gambar 2. Para pemateri sedang menjelaskan peluang dan akibat yang ditimbulkan dari GMT 2016. (Sumber : Lapan)
gerhana matahari total yang kemungkinan akan muncul kembali sekitar 275 tahun lagi. Menurut Prof. Dr. Bambang Hidayat, fenomena alam langka ini tidak hanya berkaitan dengan masalah sains atau ilmu pengetahuan belaka. Sebagai perbandingan, saat terjadi gerhana matahari pada tahun 1983, Indonesia sukses menyedot kunjungan hingga sekitar 300 ribu orang wisatawan mancanegara karena sebelum fenomena tersebut terjadi, ramai diberitakan akan melewati Candi Borobudur. Jadi peristiwa ini memang tidak sematamata ada kaitannya dan kepentingannya dengan aspek ilmiah belaka," tegas Bambang Hidayat sebagai pembicara utama dalam Lokakarya Menyambut Gerhana Matahari Total 2016 di Kantor Pusat Sains Antariksa LAPAN, Jl. Dr. Djunjunan 133, Bandung, Selasa 14 April 2015. Dalam lokakarya tersebut dipaparkan rencana-rencana dan penelitian yang akan dilakukan terkait GMT dan peluang-peluang yang bisa diambil dari peristiwa ini. Beberapa narasumber lain dalam lokakarya ini yaitu Prof. Dr. Tau q Hidayat (ITB), Emanuel Sungging M., M.Si (Pussainsa, Lapan), Avivah Yamani, M.Si (kelompok penggiat astronomi bernama Langit Selatan), D r a . C l a r a Y. Ya t i n i , M . S c (Pussainsa, Lapan), Dr. Budi
Gambar 3. Jejak gerhana matahari total melewati wilayah Indonesia (Sumber : Lapan)
Dermawan (Himpunan Astronomi Indonesia), Yatny Yulianty, M.Si (UNAWE), Dr. Hakim L. Malasan (ITB), Dr. Mahasena Putra (ITB) d a n Do n i Ma r s h a l l R a n g g a , S.Komp, CEH, RHCSA (Kominfo). Hal yang menarik dari peristiwa gerhana matahari total 2016 ini yaitu fenomena langka tersebut melewati wilayah di Indonesia yaitu Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, kota Pa l e m b a n g , Ta n j u n g p a n d a n , Pangkalanbulun, Sampit, Palangkaraya, Balikpapan, Palu, Poso, Ternate, Tidore, Pulau Pagai, Pulau Jailolo, So , Luwuk, Ternate, Maba dan Buli. Hal ini merupakan kesempatan bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat menikmati peristiwa langka ini. Di balik penjelasan ilmiah terkait Gerhana Matahari, dahulu orang Indonesia memiliki mitos. Salah satunya adalah cerita tentang Batara Kala yang menelan Matahari sehingga membuat Bumi gelap sesaat, ujar Avivah Yamani. Mitos ini berkisah tentang keinginan Batara Kala yang ingin hidup abadi
(tidak bisa mati) dengan cara mencuri air kehidupan (Tirtha Amertha atau Tirtha Kamandalu) di tempat tinggalnya para Dewa. Batara Kala berhasil mencuri Tirta Amerta dengan cara menyamar menjadi Dewa lalu meminumnya. Namun, Batara Guru mengetahui hal itu dan segera melemparkan senjatanya (Cakra) hingga menebas leher Batara Kala dan terpisah dari tubuhnya. Terlambat, khasiat Tirta Amerta sudah bereaksi hingga tenggorokan sehingga Batara Kala tidak mati. Ia justru hidup dengan hanya kepalanya yang melayang sementara tubuhnya jatuh ke Bumi berubah menjadi penumbuk padi (lesung). Batara Kala murka karena kehilangan tubuhnya sehingga ia berusaha membalas dengan cara menelan Matahari agar dunia hidup dalam kegelapan. Hingga kini di beberapa daerah di Indonesia warga masih memercayai mitos ini bila terjadi Gerhana Matahari. Oleh karena itu, mereka akan memukulmukul lesung (yang dianggap jelmaan dari tubuh Batara Kala yang terpisah dari kepalanya) dengan harapan Batara Kala akan merasa geli dan memuntahkan Matahari yang ditelannya sehingga Bumi kembali
Gambar 4. Jejak gerhana matahari total melewati wilayah Indonesia (Sumber : Lapan)
terang. Itulah mitos yang membuat masyarakat masih percaya dan melakukan hal tersebut. Un t u k m e l u r u s k a n m i t o s tersebut maka pemaparan mengenai Peranan Teknologi Informasi dalam Pengamatan G M T 2016 pun dibahas dalam lokakarya ini. Perlu diberikan awareness dan penyediaan informasi yang benar terhadap khalayak pada GMT 2016 melalui website dan media sosial baik koran, televisi dan brosur. Selain itu, juga akan diadakan Live Streaming pengamatan GMT dan koordinasi berkaitan dengan edukasi/sosialisasi dengan kehumasan pada event GMT 2016 tersebut, ujar Doni M. Rangga dari Kominfo. Masyarakat perlu menyadari bahwa peristiwa Gerhana Matahari Total ini tidak berbahaya jika mereka melakukan pengamatan sesuai dengan ketentuan dan aturan serta memakai alat bantu yang dapat mem lter sinar matahari secara langsung. Oleh karena itu, Kemdikbud akan berkoordinasi dengan pihak-pihak sekolah, guru dan institusi pendidikan untuk memberikan edukasi mengenai GMT. Pemaparan yang menarik dari berbagai narasumber disambut hangat oleh para peserta lokakarya. Diskusi dan tanya jawab berlangsung dalam beberapa sesi. Pe r t a n y a a n d e m i p e r t a n y a a n dijawab oleh pemateri sesuai dengan bidangnya. Prof. Dr. omas Djamaluddin sebagai Kepala Lapanjuga memberi masukan dan saran. Usai berdiskusi, kesimpulan dibacakan dan acara lokakarya ini ditutup oleh Deputi Sains, Pe n g k a j i a n d a n I n f o r m a s i Kedirgantaraan, Drs. A f Budiyono, MT.
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
23
Balai Penjejakan dan Kendali Wahana Antariksa - Lapan, Biak
Oleh :
R. Yulianto BPKWA - Lapan
Sejarah berdirinya Balai Penjejakan dan Kendali Wahana Antariksa (BPKWA) - Lapan, Biak Balai Penjejakan dan Kendali Wahana Antariksa (BPKWA) LAPAN Biak didirikan pada tahun 1972, menggunakan proyek anggaran pembangunan stasiun bumi untuk satelit cuaca. Pada bulan Mei 1973 , stasiun bumi untuk satelit cuaca di wilayah Indonesia Timur resmi beroperasi. Peresmiannya dilakukan oleh Kepala Pusat Pemanfaatan Antariksa Lapan, Bapak Drs. KARYOTO. BPKWA - Lapan, Biak Biak terletak pada posisi koordinat 136',06 Bujur Timur dan 01',11 Lintang Selatan. Letaknya sangat dekat dengan garis khatulistiwa,
Gambar 1. BPKWA LAPAN Biak ( foto dokumen Balai)
Gambar 2. Stasiun TTC LAPANTUBSAT ( foto dokumen Balai)
24
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
sehingga sangat baik untuk pengoperasian Stasiun Bumi. Pada saat itu, stasiun bumi cuaca milik BPKWA - Lapan beroperasi untuk penerimaan data dari satelit ATS-1, ESSA-8, NOAA-4 dan TIROS-N. Data-data yang diperoleh di stasiun bumi dimanfaatkan oleh Lapan dan instansi lain, seperti BMKG dan TNI-AU. Dengan adanya pemanfaatan data dari stasiun bumi BPKWA Lapan oleh instansi lain menjadikan kantor BPKWA - Lapan semakin dikenal oleh masyarakat luas. Hal ini berdampak positif untuk kelanjutan BPKWA - Lapan kedepannya. Dari tahun 1973 hingga tahun 1983 di BPKWA - Lapan hanya ada satu stasiun bumi yang beroperasi dalam melayani kebutuhan masyarakat. Pada tahun 1983 Pusat Riset Dirgantara (Pusrigan) - Lapan, Bandung mulai melirik untuk mendirikan stasiunnya di BPKWA Lapan. Pada bulan Januari 1984 secara resmi didirikan Stasiun Ionosonda di BPKWA - Lapan, dan diresmikan oleh wakil ketua Lapan, Prof. Ir. Wiranto Arismunandar. Stasiun Ionosonda yang didirikan di Lapan Biak digunakan untuk pengamatan lapisan ionosfer wilayah Indonesia Timur. Sebagai salah satu lembaga penelitian di Indonesia, Lapan terus berbenah dan mengembangkan kemampuannya. Pembenahan dilakukan dengan perubahan nama dan pengembangan kemampuan
dilakukan dengan peningkatan dan penambahan peralatan pengamat. Melalui Kepres No. 33 Tahun 1988 terjadi perubahan nama stasiun di BPKWA - Lapan. Nama Stasiun Bumi Satelit Cuaca ber ubah menjadi Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh, dan Stasiun Ionosonda beubah menjadi Stasiun Pengamat Dirgantara. Lokasi BPKWA - Lapan yang terletak di dekat garis khatulistiwa
Gambar 3. Stasiun Ionosonda (foto dokumen Balai)
Gambar 4. Stasiun Geomagnet (foto dokumen Balai)
Gambar 5. Stasiun MWR (foto dokumen Balai)
rupanya tidak hanya menarik bagi peneliti dalam negeri, tapi juga mulai dilihat oleh negara lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerjasama Lapan dengan negara lain untuk memasang peralatan di BPKWA - Lapan. Pada tahun 1992 diresmikan pengoperasion peralatan Wind Pro ling Radar (WPR) oleh Menristek Prof. Dr. BJ. Habibie, sebagai kerjasama antara Lapan dan NOAA Amerika. Kemudian diikuti dengan pembangunan sistem pengontrol TT&C BIAK-1 pada tahun 1998 dan TT&C BIAK-2 pada tahun 2004 sebagai kerjasama LAPAN dengan ISRO India. Pada tahun 2007, Lapan berhasil meluncurkan satelit mikro yang diberi nama LAPAN-TUBSAT yang merupakan kerjasama Lapan dengan TU Berlin. Dengan diluncurkannya satelit tersebut maka perlu adanya stasiun bumi yang berguna untuk mengontrol dan menjaga kesehatan satelit. Pada tahun 2007 dioperasikan pusat kontrol TTC Lapan - Tubsat di BPKWA. Stasiun ini berfungsi
(a)
(b) Gambar 6. Stasiun TTC Biak1 dan TTC Biak 2 ( foto dokumen Balai)
untuk akuisisi data di wilayah Indonesia Timur. Peralatan penelitian yang ada merupakan tanggung jawab tiga kedeputian yang berbeda yang kemudian menjadi beberapa unit. Unit-unit tersebut antara lain : - Instalasi Inderaja dan Cuaca / IIC dibawah kedeputian Penginderaan Jauh - Stasiun Pengamat Dirgantara / SPD dibawah kedeputian Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan - U n i t P e n g a m a t Wa h a n a Dirgantara / UPWD dibawah kedeputian Tehnologi Dirgantara Pa d a t a h u n 2 0 1 1 m e l a l u i Keputusan Kepala LAPAN tahun 2011, maka semua kegiatan yang ada di LAPAN Biak di gabung dalam satu balai, yang diberi nama Balai Penjejakan dan Kendali Wahana Antariksa / BPKWA. Dengan disatukannya seluruh kegiatan yang ada maka BPKWA Lapan dipimpin hanya oleh seorang Kepala Balai. BPKWA - Lapan mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan penjejakan, pengukuran jarak jauh, pengendalian satelit, serta akuisisi dan pelayanan data penginderaan jauh, pengamatan atmosfer dan antariksa dan penyiapan bahan pelaksanaan kerjasama teknis dibidangnya. Peralatan-peralatan yang berada di BPKWA - Lapan, meliputi : 1. Peralatan Sistem Kontrol TTC Lapan - Tubsat Peralatan Sistem Kontrol T T C L a p a n - Tu b s a t i n i melakukan akuisisi data telemetry dan payload satelit Lapan - Tubsat serta melakukan analisis data telemetry untuk
mengetahui kondisi kesehatan satelit. Pada stasiun ini memiliki dua antenna parabola diameter 3,7 dan 1,8 meter, serta antena omni cross yagi. 2. Peralatan sistem Remote Sensing dan Pengolahan Data Melakukan akuisisi dan perekaman data satelit NOAA 18, NOAA 19 dan Fengyun dengan menggunakan antenna lama. Pada tahun 2014 dipasang antenna baru untuk penerimaan data satelit METOP, NOAA 18, NOAA 19, FENGYUN 3A, FENGYUN 3B, MODIS, AQUA dan NPP. Selain itu antenna yang baru dipasang ini juga dipersiapkan untuk menerima data dari satelit LAPAN seri berikutnya. Sistem ini juga melakukan pengolahan data satelit dan melakukan pencetakan citra peta. Disamping itu juga memberikan bimbingan teknis pengolahan data citra satelit dan sistem informasi geogra s pada pihak terkait yang membutuhkan. 3. Gedung kontrol dan monitoring Ionosonda Gedung ini merupakan tempat dengan banyak alat d i d a l a m n y a . Pe r a l a t a n Ionosonda CADI yang digunakan untuk pengamatan lapisan Ionosfer pada ketinggian 50 1000 Km. Peralatan Ionosonda CADI menghasilkan data ionogram yang menampilkan frekuensi minimum (fmin), frekuensi kitis (fo) dan parameter lainnya pada masing-masing ketinggian.
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
25
Gambar 7. Sosialisasi Pengamatan Matahari.
Gambar 8. Sosialisasi Geomagnet dan UU Keantariksaan.
Selain itu ada peralatan sistem Radio ALE yang berfungsi untuk pengamatan propagasi gelombang radio HF secara real time. Dan peralatan GNU Radio Beacon Receiver (GRBR) yang berguna untuk pengamatan jumlah elektron sepanjang lintasan sinyal yang melalui lapisan ionosfer, yang disebut Total Electron Content / TEC. 4. Ruang Pengamatan Geomagnet Peralatan yang ada di ruang pengamatan geomagnet adalah Magdas Magnetometer, yang dipergunakan untuk mengukur, memproses dan merekam data gangguan pada medan magnet bumi. Data yang terekam adalah variasi geomagnet yang terdiri dari tiga komponen yaitu komponen H, D, Z.
26
Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
Gambar 9. Sosialisasi Pengamatan Antariksa dan Fenomena Gerhana Bulan Total.
Gambar 10. Bimbingan Teknis Pemetaan
5. G e d u n g K o n t r o l d a n pemantauan Meteor Wind Radar (MWR) Meteor Wind Radar merupakan perangkat pengamatan angin atmosfer atas sekaligus untuk memberikan data uks meteor. Pada stasiun ini memiliki lima antena penerima dan satu antenna pemancar. 6. Ruang Kendali TTC Biak 1 dan TTC Biak 2 Peralatan TTC di Biak 1 dan Biak 2 merupakan peralatan k e r j a s a m a a n t a r a L A PA N dengan ISRO India. Di ruangan ini dilakukan akuisisi data telemetry satelit IRS (Indian Remote Sensing), akuisisi data telemetry roket peluncur untuk memonitor proses separasi satelit dari roket peluncur. Kedua tempat ini dapat juga digunakan untuk melakukan akuisisi video satelit LAPANTUBSAT.
Selain melakukan kegiatan rutin akuisisi data dan kegiatan administrasi, di Balai juga melakukan pelayanan dan penerimaan kunjungan dari sekolah-sekolah dan instansi Serta menerima praktik kerja lapangan yang dilakukan sekolah-sekolah dan pembimbingan mahasiswa yang mau melakukan penelitian sesuai dengan kegiatan Balai. Untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat, Balai telah merencanakan untuk tahun depan melakukan pembangunan education center yang akan menampilkan semua tentang LAPAN dan kegiatan yang dilakukannya.. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan LAPAN kepada seluruh masyarakat di Indonesia bagian Timur.
Juli - September 2015
1 Juli – Konjungsi Venus dan Jupiter Pada senja hari, kita akan mengamati konjungsi Venus dan Jupiter. Kedua planet ini hanya terpisah sejauh 0,3 derajat. Amati fenomena ini di langit barat beberapa saat setelah Matahari terbenam. 2 Juli – Bulan purnama Saat ini bulan sepenuhnya disinari cahaya Matahari karena posisinya berada di belakang bumi bila dilihat dari Matahari. 14 Juli – Wahana New Horizon mencapai Pluto Pesawat angkasa New Horizon dijadwalkan mencapai Pluto pada tanggal ini setelah melakukan perjalanan selama 9,5 tahun. Pesawat yang diluncurkan pada tanggal 19 Januari 2006 adalah pesawat pertama angkasa buatan manusia yang mencapai Pluto. Setelah melewati Pluto, wahana ini akan bergerak menuju Sabuk Kuiper dan melakukan pengamatan pada benda angkasa yang terdapat di tepian tata surya. 16 Juli – Bulan baru Bulan berada di antara bumi dan Matahari sehingga tidak bisa teramati dari bumi. Saat ini adalah saat terbaik untuk mengamati obyek-obyek yang sangat lemah cahayanya karena tidak ada gangguan cahaya bulan. 28-29 Juli – Hujan meteor Delta Aquarids Hujan meteor ini merupakan hujan meteor yang bisa menghasilkan 20 hujan setiap jamnya pada saat puncak. Hujan ini berasa dari debu yang ditinggalkan komet Marsden dan Kracht. Masa berlangsungnya hujan meteor ini adalah dari tanggal 12 Juli sampai 23 Agustus, dan mencapai puncaknya pada malam tanggal 28 Juli dan dini hari tanggal 29 Juli. Cahaya
bulan purnama yang sangat terang akan meredam cahaya lintasan meteor yang lemah. Radiant hujan meteor ini adalah konstelasi Aquarius. 31 Juli – Bulan Purnama Saat ini bulan sepenuhnya disinari cahaya Matahari karena posisinya berada di belakang bumi bila dilihat dari Matahari. 12, 13 Agustus – Hujan meteor Perseid Hujan meteor ini merupakan hujan meteor yang paling spektakuler yang bisa mencapai 60 meteor setiap jamnya pada saat puncak. Hujan meteor ini dihasilkan oleh komet SwiftTuttle yang ditemukan pada tahun 1862. Hujan ini biasanya berlangsung mulai tanggal 17 Juli dan berakhir pada tanggal 24 Agustus. Puncak hujan meteor pada tahun ini terjadi pada malam tanggal 12 dan dini hari tanggal 13 Agustus. Saat itu bulan berada pada fase sabit sehingga kita bisa mengamati lintasan meteor sepenuhnya. 14 Agustus – Bulan Baru Bulan berada di antara bumi dan Matahari sehingga tidak bisa teramati dari bumi. Saat ini adalah saat terbaik untuk mengamati obyek-obyek yang sangat lemah cahayanya karena tidak ada gangguan cahaya bulan. 29 Agustus – bulan purnama Saat ini bulan sepenuhnya disinari cahaya Matahari karena posisinya berada di belakang bumi bila dilihat dari Matahari. 1 September – Oposisi Neptunus Saat ini Neptunus berada pada posisi terdekatnya dari bumi dan seluruh permukaannya akan disnari cahaya Matahari. Oleh sebab itu, tanggal ini merupakan saat terbaik untuk melakukan pengamatan dan pemotretan planet biru ini. Meskipun demikian, karena jaraknya dari bumi sangat jauh, ia hanya bisa diamati dengan teleskop yang sangat besar.
4 September – Merkurius pada elongasi timur terbesar Pada tanggal ini Merkurius mencapai posisi elongasi timur maksimumnya sebesar 27 derajat dari Matahari. Saat ini adalah saat terbaik untuk melakukan pengamatan Merkurius karena Merkurius berada di titik tertingginya di atas cakrawala saat Matahari terbenam. 13 September – Bulan Baru Bulan berada di antara bumi dan Matahari sehingga tidak bisa teramati dari bumi. Saat ini adalah saat terbaik untuk mengamati obyek-obyek yang sangat lemah cahayanya karena tidak ada gangguan cahaya bulan. 13 September – Gerhana Matahari sebagian Pada tanggal ini berlangsung gerhana Matahari sebagian ketika bulan menutupi sebagian piringan Matahari. Gerhana ini hanya bisa terlihat di Afrika bagian selatan, Madagaskar, dan Antarktika. (NASA Map and Eclipse Information) 23 September – Titik persamaan malam (ekuinoks) September Pada tanggal ini Matahari berada tepat di atas ekuator dan lama siang dan malam hari di seluruh dunia adalah sama. Ini adalah hari pertama musim gugur di belahan bumi utara dan hari pertama musim semi di belahan bumi selatan. 28 September – Bulan purnama Saat ini bulan sepenuhnya disinari cahaya Matahari karena posisinya berada di belakang bumi bila dilihat dari Matahari. Bulan purnama ini adalah supermoon kedua dari tiga supermoon yang terjadi pada tahun 2015. 28 September – Gerhana bulan total Gerhana bulan total terjadi ketika dalam orbitnya bulan melintasi bayangan atau umbra bumi. Di sini bulan akan tampak semakin gelap dan akhirnya berwarna merah. Gerhana bulan ini akan tampak dari daerahdaerah Amerika Utara dan Selatan, Afrika, dan Asia Barat.
Gambar Latar : www.blirk.net Buletin Cuaca Antariksa Juli - September 2015
27
MENURUN 2. Besaran sudut penyimpangan kedudukan sumbu bumi thd bidang datar 3. GNSS milik Jepang 5. Universitas di wilayah Nusa Tenggara Timur 7. Kategori jarak sebuah sirkuit komunikasi radio HF pada rentang 1000km 8. Gas yg terionisasi sempurna, sering disebut sebagai bentuk zat yg keempat 10. Program aplikasi Software Define Radio 11. Fungsi blok untuk proses pemilihan sinyal input sebagai sinyal ouput 13. Telemetry, Tracking, and Command 16. Kecamatan di wilayah Indonesia bagian timur yang meiliki potensi sebagai lokasi observatorium 19. Satuan Daya
TEKA TEKI SILANG Vol.4/No.3 Jul - Sep 2015 1
2
3
4
5
6
MENDATAR 1. GNSS milik Eropa 4. Salah satu wilayah yang dilalui peristiwa Gerhana Matahari total tahun 2016 6. Penumbuk padi 9. Periode waktu saat matahari melintasi ekuator 12. Satelit yang dapat diterima oleh stasiun bumi cuaca milik LAPAN Biak 14. Alat pengamat sintilasi dan TEC 15. Tokoh dalam mitos gerhana matahari 17. Polusi yang menjadi kendala pada observatorium astronomi 18. Orbit satelit yang mengikuti gerak rotasi bumi sehingga selalu berada diwilayah yang tetap 20. Bagian atmosefer bumi yang mulai berada pada rentang ketinggian diatas 60km dari permukaan bumi 21. Salah satu daerah aktif di matahari yang menghasilkan flare kelas X pada bulan Maret 2015
7
8
10
12
11
13
14
15
16
17
18
Gunting dan Kirimkan Jawaban Anda melalui POS ke alamat : Redaksi Buletin Cuaca Antariksa Pusat Sains Antariksa - Lapan Jl. Dr Djunjunan 133A Bandung 40173 atau melalui faksimili 022-6014 998 / 6038 005 Jawaban kami terima paling lambat tanggal 15 Maret 2014 Disediakan 3 hadiah menarik untuk pengirim dengan jawaban yang benar Nama pemenang diumumkan pada Buletin Cuaca Antariksa edisi April - Juni 2015
Gambar Latar : http://www.nasa.gov/
9
20
19
21
W C A R R I N G T O N F Y I A Jawaban TTS N S S O Vol.4/No.2 Apr - Jun 2015 G H E L M H O L T Z E E N G R N R S S E W C I S O C I H E R F L E X I B E L L V L T E S L A K E E N R S I U L L Y S E S A M A G N E T O M E T E R
P R L O V E J O X P M I R Y O D X I W K O T O T A B A T D U R E R K S O S 1 A
ISSN 2303-2707