Warta
Cendana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Forestry Research Institute of Kupang (Forist)
Edisi VII No.1 November 2014
| FOKUS |
Urgensi HHBK untuk Kawasan Semi Arid Ekosistem Hutan Terimbang di Sumba Timur Keragaman Jenis Mangroove di NTT
JENIS-JENIS ULAR DI NUSA TENGGARA TIMUR Kesesuaian Lahan Sebagai Bagian dari Solusi Pengembangan Cendana di Nusa Tenggara Timur RAGAM :
GALERI :
Mengenal Potensi Biofisik Stasiun Penelitian Oilsonbai, Kupang
Rangkaian Perimgatan HUT ke-31 Hari BhaktiRimbawan ke-XXXI di Propinsi Nusa Tenggara Timur
Cryptelytrops insularis di Cagar Alam Riung, Flores | Oki Hidayat
RESENSI : A New Ecology : System Perspective
SEKAPUR SIRIH Ulasan tentang potensi keanekaragaman hayati di Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Terlebih, potensi flora dan fauna kawasan semi arida di Nusa Tenggara Timur yang mulai teridentifikasi. Warta cendana edisi ini akan menampilkan artikel-artikel yang mengupas potensi tersebut. HHBK di kawasan semi arid yang sangat berpotensi di Nusa Tenggara. Timur, berbagai jenis reptil seperti Sanca Timor (Python timoriensis atau Broghammerus timoriensis), berbagai ragam jenis mangrove di Nusa Tenggara Timur .Tidak berlebihan apabila Flobamora menyimpan berjuta potensi flora dan fauna. Semoga para pembaca akan mendapatkan pengetahuan dari sajian informasi ini. Kami turut mengundang para pembaca untuk berpartisipasi dengan cara mengirimkan artikel atau memberikan sarannya. Sehingga warta cendana semakin eksis dimasa mendatang.
DAFTAR ISI | FOKUS | Urgensi HHBK untuk Kawasan Semi Arid oleh: S. Agung Sri Raharjo
Jenis-jenis Ular di Nusa Tenggara Timur : Meluruskan Pemahaman Jenis Ular Sanca Timor
h.1
Oleh : Oki Hidayat
Kesesuaian Lahan Sebagai Bagian dari Solusi Pengembangan Cendana (santalum Album Linn) di Nusa Tenggara Timur
Keragaman Jenis Mangrove di Nusa Tenggara Timur
MENGENAL POTENSI BIOFISIK Stasiun Penelitian Oilsonbai, Kupang
| RAGAM |
| GALERI |
Mengenal Potensi Biofisik Stasiun Penelitian Oilsonbai, Kupang
h.29
h.24
h.13
| RESENSI |
Oleh : M. Hidayatullah
A New Ecology : System Perspective
h.17
h.27
Cover Photo : Ular Cryptelytrops insularis di Cagar Alam Riung Flores by Oki Hidayat
Oleh : Hary Kurniawan
h.7 REDAKSI
PENERBIT
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN KUPANG | FORESTRY RESEARCH INSTITUTE OH KUPANG
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Dewan Redaksi merupakan majalah ilmiah poluler Balai Peneleitian Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
Imam Budiman, S.Hut, M.A . Sumardi, S.Hut, M.Sc. ko Pujiono, S.Hut, M.Sc. Muhamad Hidayatullah, S.Hut, M.Si.
Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Anggota Merry Mars Dethan, S.P. Rattahpinusa H Handisa, S.Sos.
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mngubah isi materi tulisan, Tulisan dapa dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected] www.foristkupang.org
| FOKUS |
Danau Ina di Rote
URGENSI HHBK
UNTUK KAWASAN SEMI ARID oleh: S. Agung Sri Raharjo
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah semi arid yang ada di Indonesia. Secara klimatologis, NTT tergolong ke dalam daerah semi-arid dengan curah hujan yang rendah. Musim hujan dan bulan basah umumnya berlangsung pendek, yaitu sekitar 3 (tiga) sampai 4 (empat) bulan dan bulan kering berlangsung antara 6 (enam) sampai 9 (sembilan) bulan (BMKGNTT, 2013). Curah hujan rata-rata pertahun sebesar 850 – 2.500 mm. Hal ini menyebabkan potensi lahan di NTT sangat rendah. Wilayah NTT yang tergolong dalam kelompok agak kritis sampai dengan sangat kritis mencapai 93,68 % (BPDAS Benain Noelmina, 2011). Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat NTT. Ancaman terbesar wilayah arid adalah penggurunan dan kekeringan (Ffolliott at al, 1995). Penggurunan atau desertification adalah proses kerusakan alam yang disebabkan oleh tingkah laku manusia seperti penggembalaan ternak yang berlebihan, pembudidayaan
tanaman pertanian yang melebihi kapasitas lahan, deforestasi maupun kombinasi dari hal-hal tersebut (Wickens, 1989 dalam Ffolliott at al, 1995). Berbeda halnya dengan kekeringan, kekeringan merupakan proses kerusakan alam yang disebabkan oleh iklim global, jadi diluar kendali manusia. Selain ancaman penggurunan dan adanya kekeringan, permasalahan lain yang sering ditemui di daerah arid adalah tingkat kesejahteraan warga yang rendah. Rendahnya tingkat kesejahteraan ini berhubungan langsung dengan kemampuan lahan dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Menurut Boko at al. (2007) daerah arid dan semi arid akan mengalami penurunan produksi selama masa pertumbuhan sebanyak 20 % (Eriksen and Lind, 2009). Hal ini menunjukkan tingkat produktifitas lahan daerah arid dan semi arid lebih rendah jika dibanding daerah lain sehingga tingkat kesejahteraan rakyatnya juga relatif akan lebih rendah. Kehutanan merupakan salah satu solusi bagi upaya penanggulangan
Edisi VII No.1 November 2014
1
desertification yang terjadi di daerah arid. Penanaman jenis-jenis tanaman keras memberikan pengaruh yang baik dalam upaya perbaikan kualitas lahan dan pencegahan penggurunan. Namun jika upaya penanaman tanaman kehutanan tersebut ditujukan untuk produksi kayu maka ketika tanaman kehutanan tersebut ditebang akan menghilangkan fungsinya sebagai pencegah desertification. Diperlukan pengembangan jenis tanaman kehutanan yang mampu memberikan fungsi pencegah desertification dan sekaligus memberikan manfaat ekonomi selain kayu. Alternatif ini dapat dilakukan dengan pengembangan HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) melalui penanaman jenis MPTS (Multi Purpose Tree Spesies). HHBK bagi banyak negara memainkan peran yang penting bagi pemenuhan ke b u t u h a n s u b s i s t e n m a s y a r a ka t terutama di negara berkembang. FAO memperkirakan 80% dari populasi penduduk di negara berkembang menggunakan HHBK untuk kebutuhan bagi kesehatan dan nutrisi (Antara, 2013). HHBK yang dihasilkan dari MPTS memiliki potensi ekonomi sebagai sumber pendapatan keluarga, yang memiliki keterbatasan akses terhadap permodalan maupun lahan (Belcher, 2004). Bagaimana upaya ini dikembangkan di NTT? Kajian ini akan memberikan gambaran upaya dan permasalahan pengembangan HHBK dan penanaman MPTS di Provinsi Nusa Tenggara Timur? Kebijakan Pengembangan HHBK Pada level nasional pengembangan HHBK kebijakan umum HHBK telah terakomodasi dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pengelolaan dan pemanfaatan HHBK
2
Edisi VII No.1 November 2014
diatur dalam UU 41 tahun 1999 pasal 26 (pemungutan HHBK pada hutan lindung), pasal 28 (pemanfataan HHBK pada hutan produksi). Pengaturan lebih lanjut terhadap pengelolaan dan pemanfaatan HHBK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Pemanfaatan HHBK dapat dilakukan di seluruh kawasan hutan sesuai dengan Pasal 18 yang menyatakan Pemanfaatan hutan dapat dilakukan di a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam nasional; b. hutan lindung; c. hutan produksi. Pada tahun 2007 pemerintah melalui menteri kehutanan menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.35/MenhutII/2007 yang menetapkan 9 kelompok HHBK yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan. Ke b i j a ka n n a s i o n a l t e n t a n g pengembangan HHBK dapat dilihat dalam Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Dalam renstra tersebut dinyatakan bahwa salah satu upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan adalah pengembangan komoditas kehutanan berupa kayu dan non kayu/hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti rotan, getah-getahan, buahbuahan, umbi-umbian, serta usaha jasa pariwisata. Disebutkan juga permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan HHBK adalah unit kerja dan prosedur pengurusan pengembangan
dan pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) belum efektif, sehingga menyebabkan ketidakpastian pemanfaatan HHBK khususnya oleh masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut direncanakan untuk melakukan fasilitasi pembentukan dan berfungsinya sentra hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan di 30 kabupaten. Hal ini akan difasilitasi oleh Dirjen RLPS. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan HHBK maka pada tahun 2009 ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Penetapan kriteria dan indikator tersebut bertujuan tersedianya jenis-jenis HHBK unggulan yang akan dikembangkan secara lebih terarah dan fokus menjadi komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi baik di tingkat daerah maupun nasional. HHBK unggulan Provinsi NTT adalah lak (seedlack), minyak cendana, kemiri, bambu dan kayu putih (Rencana Aksi Pengembangan HHBK Nasional, 2008). Potensi dan Permasalahan Hutan dan HHBK di NTT Kawasan hutan di NTT mencapai 640.484 ha sementara luas hutan rakyat 490.295 ha. Hasil hutan berupa kayu pada tahun 2007 mencapai 5.578,79 m3 (BPS NTT, 2008). Sementara itu produksi hasil hutan bukan kayu meliputi asam isi mencapai 562.510 ton, asam biji mencapai 283.250 ton, kemiri isi mencapai 1.792.825 ton, kemiri biji mencapai 644.585 ton dan seedlak mencapai 148.620 ton. Hasil hutan bukan kayu yang merupakan ciri khas NTT yaitu cendana produksinya mencapai 432,382 ton (BPS NTT, 2008). Produksi lak NTT
pada tahun 2006 adalah 148.620 kg dan tahun 2008 hanya sebesar 5.590 kg. Pada bagian berikut akan disajikan potensi dan permasalahan pengembangan HHBK di NTT khususnya cendana, lak dan kemiri. Pemilihan jenis cendana dikarenakan cendana merupakan jenis asli NTT yang terancam punah dan saat ini pemerintah daerah Provinsi NTT sedang berusaha untuk memulihkan potensi cendana sehingga alangkah baiknya upaya pemulihan ini dapat disinergikan dengan pengembangan cendana sebagai HHBK di NTT. Pemilihan lak lebih dikarenakan jenis ini sudah familiar bagi masyarakat di NTT khususnya di Pulau Sumba dan Pulau Alor sehingga upaya pengembangannya akan lebih mudah. Sementara pemilihan jenis kemiri dikarenakan jenis ini cepat tumbuh, pasar kemiri di NTT sudah terbentuk serta jenis ini diterima dengan baik hampir diseluruh wilayah NTT. Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki program andalan yaitu mewujudkan Provinsi NTT sebagai provinsi ternak, provinsi jagung, provinsi cendana dan provinsi koperasi. Sektor kehutanan memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi NTT terutama dalam program Provinsi Cendana. Hal ini sejalan dengan penetapan minyak cendana sebagai salah satu HHBK unggulan NTT. Upaya pengembangan dan pelestarian cendana telah memiliki perencanaan yang relatif lebih baik. Rencana tersebut tertuang dalam Master Plan Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Provinsi NTT tahun 2010 s/d 2030. Dilihat dari sisi perencanaan pengelolaan dan pengembangan HHBK, cendana terlihat lebih maju dari pada jenis HHBK uggulan lainnya.
Edisi VII No.1 November 2014
3
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan cendana adalah (1) Regulasi yang belum sepenuhnya berfungsi dan berpihak kepada masyarakat; (2) Rendahnya semangat dan kepedulian pemerintah, pemerintah daerah dan m asyar akat ; ( 3) ke langkaan dan kepastian pengelolaan pohn cendana; (4) Pendanaan. Untuk mengatasi permasalahan ini dalam Master Plan Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Provinsi NTT tahun 2010 s/d 2030 ditetapkan ditetapkan 7 (tujuh) strategi yang terdiri dari 15 program dan 35 kegiatan. Tujuh strategi Penyadartahuan dan Komunikasi; (3) Strategi Pelestarian Cendana; (4) Strategi Budidaya Intensif Cendana; (5) Strategi Pemanfaatan Cendana; (6) (6) Strategi Pemasaran; (7) Strategi Pendanaan. Ketujuh strategi ini diterjamahkan dalam program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh seluruh stakeholder pengelolaan cendana di NTT y a i t u D i n a s Ke h u t a n a n Pro v i n s i / K a b u p a t e n / K o t a , D P R D Provinsi/Kabupaten/Kota, BLHD (Badan Lingkungan Hidup Daerah), Dinas Perindustrian dan Perdagangan, UPT Kementerian Kehutanan RI (B2PBPTH Yogakarta, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Bali, Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Balai Pendidikan dan Latihan Kehutanan Kupang, Bala Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benenain Noelmina, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kupang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT), Perguruan Tinggi, LSM, Masyarakat, Tokoh masyarakat, Tokoh agama, Tetua adat dan swasta. Dengan perencanaan dan pelibatan seluruh stakeholder ini diharapkan pada tahun 2030 Provinsi NTT kembali menjadi
4
Edisi VII No.1 November 2014
Provinsi Cendana. HHBK potensial NTT yang kedua adalan lak. Lak adalah HHBK yang dihasilkan dari sekresi kutu lak (Laccifer lacca Kerr.) yang hidup di pohon kesambi (Schleichera oleosa Merr). Data BPS tahun 2008 menunjukkan produksi lak di NTT mencapai 148.620 kg. Salah satu kabupaten penghasil lak di Provinsi NTT adalah Kabupaten Sumba Timur. Menurut Sujadmoko (2009) produksi lak di Kabupaten Sumba Timur mengalami peningkatan produksi sebanyak 300 % antara tahun 2002 sampai dengan 2006. Namun pada tahun 2007 produksi lak menurun tajam. Hal ini disebabkan oleh predator dan parasit yang menyerang lak muda (Sujadmoko, 2009). Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan ini. Pada tahun 2010 Dinas Kehutanan Provinsi NTT melakukan percobaan pengendalian hama dan penyakit yang menyerang kutu lak, namun belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain permasalahan budidaya kutu lak permasalahan lain yang dihadapi oleh petani dalam usaha lak adalah pengolahan pasca panen. Masyarakat belum terbiasa untuk melakukan pengaturan pemanenan lak sehingga kontinuitas produksi lak seringkali tidak terjaga. Masyarakat seringkali dihadapkan pada permasalahan bibit kutu lak yang terbatas. Disisi lain pengolahan lak oleh m as yar akat banyak dike luhkan pengusaha, hal ini karena banyak lak yang dijual oleh masyarakat tidak dalam kondisi yang bersih siap jual. Hal ini tentu saja akan merugikan masyarakat dan pengusaha. Masyarakat akan mendapatkan harga lak yang rendah dan
kehilangan kepercayaan d a r i pengusaha, sementara pengusaha a k a n mengeluarka n b i a y a tambahan u n t u k pengolahan l a k d a r i masyarakat. Permas a l a h a n l a i n n y a a d a l a h persaingan a n t a r a budidaya lak d e n g a n i n d u s t r i pengolahan gula lontar d a l a m pemanfaatan t a n a m a n kesambi. Ta n a m a n kesambi selain digunakan sebagi inang pengembangan kutu lak juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar dalam proses produksi gula lontar oleh masyarakat. Dalam perspektif lingkungan, pemanfaatan kesambi sebagai kayu bakar sangat merugikan. Pemanfaatan kesambi sebagai inang kutu lak lebih ramah lingkungan dari pada pemanfaatan kesambi sebagai kayu bakar. Sebagai inang kutu lak, kesambi tidak ditebang, hanya dipangkas rantingrantingnya yang menjadi tempat hidup
kutu lak, sehingga f u n g s i e k o l o g i s p o h o n k e s a m b i masih bisa dirasakan. Hal i n i m e m e r l u ka n perhatian yang lebih d a r i pemerintah sehingga pengembang an lak di NTT tidak saling m e n i a d a ka n dengan usaha pengolahan gula lontar. H H B K potensial di NTT yang ketiga adalah ke m i r i a t a u dalam bahasa ilmiah dikenal s e b a g a i Aleurites moluccana. Kemiri memiliki peran yang penting bagi sebagaian masyarakat di NTT. Pada tahun 2004 luas areal perkebunan kemiri mencapai 81.297 ha dengan jumlah produksi 14.526 ton. Jika dibandingkan dengan daerah lain semisal Sulawesi Selatan yang memiliki luas areal perkebunan kemiri seluas 56.858 ha dengan produksi sebanyak 28.173 ton, maka produksi kemiri di NTT masih bisa di optimalkan lagi (Rosman dan Djauhariya, 2013). Berdasarkan data BPS NTT tahun 2008 luas areal
Edisi VII No.1 November 2014
5
perkebunan kemiri mencapai 78.648 ha dengan produksi kemiri sebanyak 20.967 ton. Selisih produktifitas ini menunjukkan usaha pengebangan kemiri di NTT dapat diintensifkan sehingga memiliki produktifitas yang tidak kalah dengan Sulawesi Selatan. D a r i p e r s p e k t i f l i n g ku n g a n keberadaan pohon kemiri memberikan dampak yang baik bagi lingkungan. Kemiri dimanfaatkan buahnya tanpa merusak/menebang pohonnya. Hal ini memberikan secara ekologis memberikan keuntungan bagi upaya penanggulangan desertification. Kemiri merupakan salah satu tumbuhan fast growing yang sangat disukai masyarakat di NTT karena cepat menghasilkan buah. Hal ini juga menjadi salah satu nilai lebih kemiri sebagai jenis t a n a m a n ke h u t a n a n y a n g d a p a t dikembangkan di NTT. Penutup Hutan dan kehutanan memimiliki tiga fungsi utama yaitu ekonomi, ekologi dan sosial. Pengembangan tanaman hutan di daerah semiarid sebaiknya diarahkan pada pengembangan HHBK. Hal ini mengingat dengan mengembangkan tanaman penghasil HHBK atau yang sering dikenal sebagai MPTS (multi purpose tree species) ketiga fungsi hutan dan kehutanan dapat terpenuhi. Tanaman MPTS yang cukup potensial untuk dikembangkan di NTT adalah kemiri (Aleurites mollucana), kesambi (Schleicera oleosa) dan cendana (Santalum album). Peran pemerintah sebagai fasilitator pengembangan HHBK harus ditingkatkan melalui permudaan/penanaman MPTS, bimbingan teknis budidaya dan perlindungan tata niaga.
6
Edisi VII No.1 November 2014
Daftar Pustaka Antara, 2013. Dephut Kembangkan Lima H H B K P r i o r i t a s . http://www.antaranews.co m/print/145006/ diakses tanggal 15/7/2013 Bamualim, A.M., 2011. “Pengembangan Te k n o l o g i P a k a n S a p i Potong Di Daerah Semi-Arid Nusa Tenggara”. Inovasi Pertanian 4(3), 2011: 175-188 BMKGNTT, 2013. Pengaruh Iklim di Sektor P e r t a n i a n N T T . http://www.bmkgntt.net/berita120-pengaruh-iklim-di-sektorpertanian-ntt.html diakses tanggal 15/7/2013 Eriksen, S. and Lind , J., 2009. “Adaptation as a Political Process: Adjusting to Drought and Conflict in Kenya’s Drylands”. Environmental Management (2009) 43:817–835 Ffolliott, P.F., Gottfriedt, G.J. and Rietveld,W.J., 1995. “Dryland forestry for sustainable development”. Journal of Arid Environments (1995) 30:143—152 Rosman, R. dan Djauhariya, E., 2013. Status Teknologi Budiaya Kemiri. Litbang Deptan. Sujadmoko, S., 2009. “Parasites and Predator of Luccifer lacca Kerr on Lac Culture in East Sumba, East Nusa Tenggara”. Journal of Forestry Research. Vol. 6. No 2. 2009: 119-125
| FOKUS |
KESESUAIAN LAHAN SEBAGAI BAGIAN DARI SOLUSI PENGEMBANGAN CENDANA (Santalum Album Linn) DI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : Hery Kurniawan
Edisi VII No.1 November 2014
7
PENDAHULUAN Sebagai tanaman unggulan lokal dan primadona sepanjang jaman, perkembangan populasi dan kualitas cendana belum “sewangi” kayunya. Selama dua dekade terakhir, populasi cendana telah mengalami penurunan yang sangat drastis (Rohadi et.al., 2010), International Union for Conservation of Natural Forest (IUCN), sejak tahun 1997 sudah memasukkan cendana (Santalum album Linn.) ke dalam jenis yang hampir punah (vulnerable). Bahkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan cendana dalam jenis Appendix II (World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia dalam anonim 2010). Upaya pengembangan budidaya dan pemulihan cendana di NTT mulai d i l a ku ka n s e c a r a s i s t e m a t i s d a n terencana dengan telah dirumuskannya “Master Plan dan Rencana Aksi Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Propinsi NTT“. Lokasi dengan lahan yang potensial untuk pengembangan budidaya cendana serta peran serta masyarakat merupakan faktor penunjang keberhasilan pengembangan budidaya cendana di NTT. S e h i n g g a , p e r e n c a n a a n pengembangan budidaya cendana dengan target lokasi yang tepat menjadi suatu kebutuhan. Suatu pendekatan ilmiah dalam bentuk analisis kesesuaian lahan yang dituangkan dalam bentuk data spasial menjadi pilihan utama guna mendukung perencanaan pengembangan cendana yang tepat sasaran lahan. Sampai saat ini, belum ada data spasial mengenai kelas kesesuaian untuk
8
Edisi VII No.1 November 2014
pengembangan cendana di NTT. Balai Penelitian Kehutanan Kupang telah menginisiasi penelitian bagi tersedianya peta kesesuaian lahan jenis cendana yang telah dimulai pada tahun 2011, dan direncanakan sampai tahun 2014 mencakup empat pulau besar di NTT (Timor, Sumba, Alor dan Flores). PEMBAHASAN A. Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan A nalisis ke se suaian lahan merupakan bagian dari evaluasi lahan. Dalam evaluasi lahan dapat berupa e v a l u a s i ke s e s u a i a n l a h a n a t a u evaluasi kemampuan lahan. Berbeda dengan kemampuan lahan yang lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah, maka kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Sebagai contoh lahan sangat sesuai untuk irigasi, lahan cukup sesuai untuk pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim. Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara, antara lain, dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu mencocokkan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lainnya yang dievaluasi (Djaenudin et al., 2011). Sedangkan menurut Hadmoko (2013), teknik dalam evaluasi lahan dapat menggunakan :
1) 2) 3) 4)
Metode Deskriptif/Kualitatif; Metode Statistik Multi Parametrik; Metode Matching; Metode Scoring. Kelas kesesuaian pada prinsipnya d i t e t a p ka n d e n g a n m e n c o c o k ka n ( m a t c h i n g ) a n t a r a d a t a kualitas/karakteristik lahan dari setiap satuan peta dengan kriteria kelas kesesuaian lahan untuk masingmasing komoditas yang dievaluasi. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh kualitas dan atau karakteristik lahan yang merupakan faktor pembatas yang paling sulit dan atau secara ekonomis tidak dapat diatasi atau diperbaiki (Djaenudin, 1995). Pembuatan peta kesesuaian lahan untuk jenis cendana dalam penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang menggunakan metode matching, yang lebih menekankan pada persyaratan tumbuh tanaman cendana yang dicocokkan dengan kualitas lahannya. Sedangkan penentuan akhirnya diambil berdasarkan perangkingan nilai kumulatif dari indikator dan pengukur terpilih yang sejalan dengan metode scoring B. Karakteristik Cendana Kesesuaian Lahan untuk cendana harus dibuat berdasarkan karakteristik cendana dalam berinteraksi dengan lingkungannya, terutama sifat kimia dan f i s i ka t a n a h t e m p a t t u m b u h n y a . Beberapa faktor lain kecuali ketinggian tempat tumbuh, seperti kelerengan atau topografi, serta iklim bukan merupakan faktor pembatas utama berdasarkan kondisi alam nyata di wilayah NTT. Berdasarkan hasil penelitian Kurniawan (2010), diketahui cendana dapat tumbuh
dengan baik pada kelerengan hingga >40% (sangat curam, berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. : 683/Kpts/Um/8/198, tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan Hutan Produksi). Beberapa karakteristik cendana berdasarkan penelitian Barret dan Fox (1996) yaitu pada daun secara umum memiliki konsentrasi mineral yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh akar dan batang. Dibandingkan dengan tanaman yang dipupuk dengan baik, perlakuan tanpa N menghasilkan konsentrasi Ca lebih rendah, khususnya pada batang; konsentrasi Mg lebih rendah khususnya pada akar. Pada perlakuan tanpa K, konsentrasi Ca dan Na meningkat; Ca khususnya pada akar dan Na pada selain akar. Pada perlakuan tanpa P, konsentrasi K dan Ca menjadi lebih rendah khususnya pada daun; NO3- lebih rendah pada daun namun lebih tinggi pada akar dan batang. Menurut Struthers et al. (1986), rasio K/Ca untuk daun semai S. Album dan daun S. spicatum yang telah dewasa adalah sama. Tingginya rasio ini pada S. spicatum menandakan kecenderungan serapan nutrisi K daripada Ca yang berasal dari tanaman inang, hal ini adalah umum untuk tanaman angiosperm yang bersifat parasit (Struthers et al., 1986). Sedangkan menurut Kurniawan (2010), pada lokasi-lokasi yang memiliki pertumbuhan cendana yang baik, pada umumnya memiliki kandungan BO yang tinggi pula. Besarnya kandungan BO menandakan tingginya tingkat pelapukan. Tingkat pelapukan yang tinggi akan menghasilkan hara yang tersedia bagi tumbuhan atau tanaman cendana.
Edisi VII No.1 November 2014
9
Parameter kesuburan tanah standar (pH tanah, kadar bahan organik, N, P dan K tersedia) merupakan faktor yang s a n g a t p e n t i n g d a l a m hubungannya dengan pertumbuhan tanaman, produksi tanaman, serta fungsi dan keragaman mikroorganisme tanah. Parameter-parameter tanah tersebut umumnya sangat sensitif terhadap pengelolaan tanah (Winarso, 2005). Sementara penambahan P2O5 pada tanah mampu meningkatkan jumlah P tersedia dalam tanah (Fitriatin, 2009). Kualitas fosfat alam yang baik adalah yang mengandung P2O5 total lebih dari 20% dan reaktivitasnya tinggi (anonim, 2011). Beberapa karakteristik ini dijadikan dasar dalam penentuan indikator dan pengukur terpilih dalam penyusunan kelas kesesuaian lahan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk data spasial (peta). C. Indikator dan Pengukur Kesesuaian Penentuan indikator dan pengukur yang digunakan menggunakan pendekatan teori umum tentang kesuburan lahan serta berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Indikator dan pengukur yang digunakan terdiri dari dua Indikator, dengan indikator I menggunakan tiga pengukur (kandungan N, P2O5 dan K/Ca ratio) dan indikator II menggunakan dua pengukur (Kandungan bahan organik dan tekstur tanah). Dengan jumlah indikator dua dan jumlah pengukur lima, maka perbandingan terhadap indikator dan kriteria dalam rangka pembobotan dapat ditetapkan secara tanpa melalui suatu proses analisis hierarkis.
10
Edisi VII No.1 November 2014
D. Kesesuaian Lahan untuk Cendana di NTT Sampai saat tulisan ini dibuat, Balai Penelitian Kehutanan Kupang telah menyelesaikan tiga dari empat target penyusunan peta kesesuaian lahan jenis cendana di NTT, yakni untuk Pulau Timor, Sumba dan Flores. Pada tulisan ini disajikan secara ringkas hasil kesesuaian lahan untuk jenis cendana yang telah disusun. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Gambar 1, untuk Pulau Sumba, kabupaten dengan luasan lahan untuk kelas sesuai I berturut turut dari yang paling besar adalah Kabupaten Sumba Timur dengan luasan 473.573,1 ha, Kabupaten Sumba Barat Daya 125.387 ha, Kabupaten Sumba Tengah 121.871 ha, dan Kabupaten Sumba Barat 60.454,14 ha. Secara keseluruhan jumlah lahan untuk kelas sesuai I adalah paling banyak dengan luasan 781.285,2 ha, diikuti oleh kelas sesuai II dengan luasan 75.907,71 ha dan paling kecil adalah kelas sesuai IV dengan luasan 4.995,41 ha. Untuk Kabupaten Alor, berdasarkan analisis, diperoleh secara keseluruhan jumlah lahan untuk kelas kesesuaian 2 adalah paling banyak dengan luasan 126.810,73 ha, diikuti oleh kelas kesesuaian 1 dengan luasan 58.893,2 ha, kelas kesesuaian 4 dengan luasan 20.011,41 ha, dan paling kecil adalah kelas kesesuaian lahan 3 dengan luasan 5.664,58 ha. Kelas kesesuaian 0 merupakan kawasan konservasi yang sengaja dikeluarkan dari analisis. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Pembagian kriteria kelas kesesuaiannya ditentukan secara mutlak berdasarkan data yang ada. Kelas kesesuaian 1 adalah
paling sesuai, berikutnya secara berurutan hingga kelas kesesuaian 4 adalah paling kurang sesuai. Batasan sesuai dan kurang sesuai menunjukkan prioritas dalam setiap kegiatan budidaya cendana berdasarkan hasil scoring dari indikator dan pengukur terpilih. Jadi pada kelas kesesuaian 4 bukan berarti tidak boleh atau tidak dapat dilakukan kegiatan budidaya cendana, namun merupakan prioritas akhir dalam penempatan kegiatan budidaya cendana secara massif. PENUTUP Program penanaman dan pengembangan cendana oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya semestinya menggunakan basis kesesuaian lahan agar dapat dicapai hasil sesuai yang diharapkan. Pendekatan kesesuaian lahan untuk tata ruang pengembangan cendana dapat digunakan dengan memperhatikan aspek kepentingan lainnya, sesuai dengan perencanaan pengembangan wilayah di suatu daerah. Dalam tingkat perencanaan, penggunaan peta kesesuaian lahan untuk pengembangan cendana akan semakin
mempermudah dalam pengalokasian dana dan sumber daya serta pendistribusian kegiatan, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Master Plan Pengembangan dan Pelestarian Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010-2030. Anonim. 2011. Fosfat Alam Sumber Pupuk P yang Murah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 33 Nomor 1, 2011. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Barrett DR and Fox JED, 1996. Santalum a l b u m : Ke r n e l C o m p o s i t i o n , Morphological and Nutrient Characteristics of Pre-parasitic Seedlings under Various Nutrient Regimes. Departemen Pertanian RI. 1980. Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. : 683/ Kpts / Um / 8 /198.
Edisi VII No.1 November 2014
11
“What we are doing to the forests of the world is but a mirror reflection of what we are doing to ourselves and to one another.” Mahatma Gandhi
Sumber Foto: http://www.keepoklahomabeautiful.com/how-to-plant-a-tree&docid Sumber Kutipan: http://www.goodreads.com/quotes/tag/trees
Djaenudin, D. 1995. Evaluasi Lahan untuk Arahan Pengembangan Komoditas A l t e r n a t i f d a l a m M e n d u ku n g Kegiatan Agribisnis. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Djaenudin, D., Marwan, H., Subagjo, H., dan A. Hidayat. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. 36p. Fitriatin, B.N., A. Yuniarti, O. Mulyani, F.S. Fauziah, M. Dion Tiara. 2009. Pengaruh Mikroba Pelarut Fosfat dan Pupuk P terhadap P Tersedia, Aktivitas Fostafase, P Tanaman dan Hasil Padi Gogo (Oryza sativa L.) pada Ultisol. Hadmoko, D.S. 2013. Evaluasi Sumber Daya Lahan, Prosedur dan Teknik Evaluasi Lahan : Aplikasi Teknik Skoring dan Matching. w w w. s l i d e s h a r e . n e t . D i u n d u h tanggal 16 Februari 2014. Kurniawan, H. 2010. Laporan Hasil Penelitian : Eksplorasi Habitat, Populasi dan Sebaran Cendana (Santalum album Linn.) di pulau Timor (tidak dipublikasikan). Balai Penelitian Kehutanan Kupang. NTT. Kurniawan, H. 2012. Laporan Hasil Penelitian : Kajian Spasial Lahan secara Digital untuk Pengembangan
12
Edisi VII No.1 November 2014
Cendana (Santalum album Linn.) di Pulau Sumba (tidak dipublikasikan). Balai Penelitian Kehutanan Kupang. NTT. Kurniawan, H. 2013. Laporan Hasil Penelitian : Kajian Spasial Lahan secara Digital untuk Pengembangan Cendana (Santalum album Linn.) di Pulau Alor (tidak dipublikasikan). Balai Penelitian Kehutanan Kupang. NTT. Rohadi, D., Riwu Kaho, L.M., Don Gilmour, Setyawati, T., Maryani, R., Boroh, P. 2010. Analisa Kebijakan dan Insentif E ko n o m i u n t u k M e n i n g ka t ka n Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pelestarian Kayu Cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Proyek I T T O P D 4 5 9 / 0 7 R e v. 1 ( F ) . Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam. Struthers R, Lamont BB, Fox JED, Wijesuriya S, Crossland T. 1986. Mineral nutrition of sandalwood (Santalum spicatum). Journal of Experimental Botany 37: 1274±1284. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.
Meluruskan Pemahaman Jenis Ular Sanca Timor
| FOKUS |
JENIS-JENIS ULAR DI NUSA TENGGARA TIMUR : Oleh : Oki Hidayat PENDAHULUAN Hingga saat ini pegetahuan akan jenis-jenis ular yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih sangat minim khususnya bagi masyarakat NTT s e n d i r i . Ketakutan yang sangat tinggi terhadap ular bagi masyarakat NTT telah membangun paradigma untuk membasmi atau membunuh ular apabila menemukannya. Masyarakat cenderung antipati terhadap reptil melata ini sehingga hanya sedikit orang yang mau mengetahui lebih jauh tentang seluk beluk kehidupan ular. Tulisan ini coba mengulas keberadaan jenis-jenis ular yang ada di NTT dengan menyitir dan mengintisarikan jurnal ilmiah berbahasa inggris tentang ular di Nusa Tenggara (Lesser sunda), proses tersebut dilakukan agar informasi berharga yang terdapat di jurnal tersebut dapat mudah dipahami dan diketahui secara meluas oleh masyarakat umum yang tergolong masih awam dengan dunia ilmiah. Sumber literatur utama yang mempublikasikan jenis ular di Nusa Te n g g a r a a d a l a h J u r n a l A s i a n Herpetological Research 2011, 2(1): 4654 yang ditulis oleh Ruud DE LANG
s e o r a n g p e n e l i t i herpetofauna asal Belanda. Sedangkan penjelasan tentang jenis sanca timor dirangkum dari berbagai sumber jurnal ilmiah. Dua puluh lima jenis ular terdapat di NTT Secara lengkap abstrak pada jurnal tersebut menyebutkan “Telah dilakukan pengamatan ulang dari kepustakaan yang ada, data dari databank Western Australian Museum, maupun koleksi museum. Hasil tersebut dirangkum dalam suatu tinjauan mengenai semua jenis ular yang hidup di darat maupun di air-tawar dari daerah Nusa Tenggara sebagai bagian dari daerah Wallacea. Jumlah jenis yang dapat dipastikan berjumlah dua puluh sembilan jenis, dan delapan di antaranya merupakan jenis yang endemik, yaitu Boiga hoeseli, Coelognathus subradiatus, Dendrelaphis inornatus, Stegonotus florensis, Cylindrophis opisthorhodus, Broghammerus timoriensis, Liasis mackloti dan Typhlops schmutzi. Jenis endemik dalam daerah pulau hanya meliputi anak jenis: Liasis mackloti dunni
Edisi VII No.1 November 2014
13
(Wetar), Liasis mackloti savuensis (Sawu), Ramphotyphlops polygrammicus brongersmai (Sumba), Ramphotyphlops polygrammicus elberti (Lombok) dan Ramphotyphlops polygrammicus florensis (Flores). Hal ini diperkirakan merupakan konsekuensi langsung dari sejarah geologi yang relatif singkat namun dapat juga disebabkan karena kekayaan jenis ular kurang dipelajari dengan lebih seksama. Kedudukan sistematik dari Coelognathus subradiatus, Dendrelaphis inornatus, Cylindrophis boulengeri, C. opisthorhodus, dan ke-lima subspecies Ramphotyphlops polygrammicus serta Cryptelytrops insularis perlu ditinjau kembali. Jenis-jenis yang diperkirakan terancam dan perlu perlindungan adalah jenis-jenis piton Broghammerus timoriensis dan Liasis mackloti savuensis. Penelitian ekologi perlu segara dilakukan untuk menentukan apakah jenis-jenis tersebut perlu perlindungan, dan juga tindakan konservasi yang mana bisa diambil.” Isi abstrak tersebut menyatakan jumlah ular di Nusa Tenggara sebanyak 29 (dua puluh Sembilan) jenis dengan delapan jenis di antaranya endemik. Namun perlu diperhatikan secara administratif wilayah Nusa Tenggara mencakup tiga wilayah yaitu NTB, NTT dan beberapa pulau kecil di Provinsi Maluku. Sehingga jika hanya NTT saja maka jumlah ular yang ada di provinsi ini sebanyak 25 (dua puluh lima) spesies. Sanca timor tidak ada di Pulau Timor Saat ini terdapat pemahaman yang salah mengenai jenis ular sanca timor. Pemahaman ini berkembang tidak hanya di masyarakat awam namun juga pada
14
Edisi VII No.1 November 2014
level stakeholder yang berkepentingan terhadap jenis ini. Masyarakat NTT umumnya memahami bahwa jenis sanca timor merupakan ular endemik timor yang tersebar di Pulau Timor khususnya di kawasan hutan konservasi seperti suaka margasatwa, cagar alam dan taman wisata alam. Seperti yang terdapat di d a l a m “B u ku I n f o rm a s i Ka w a s a n Konservasi Balai Besar KSDA NTT Tahun 2010” yang diterbitkan oleh Balai Besar KSDA NTT. Tercantum informasi bahwa terdapat ular sanca timor di 11 kawasan konservasi. Kesepuluh kawasan tersebut terletak di Pulau Timor antara lain: Cagar Alam (CA) Mutis, Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Menipo, TWA. Camplong, TWA. Bipolo, TWA. Baumata, TWAL. Teluk Kupang, Suaka Margasatwa (SM) Danau Tuadale, SM. Kateri, SM. Ale Alisio dan Taman Buru (TB) Dataran Bena, serta satu kawasan lainnya terletak di Pulau Ndana yaitu TB. Pulau Ndana (Balai Besar KSDA NTT, 2010). Padahal kenyataannya ular sanca timor bukanlah ular yang berada di Timor apalagi endemik timor (DE LANG, 2011; Trainor et al. 2000 ). Di Rote dan Ndana juga tidak pernah ada catatan sebarannya. Oleh karena itu informasi yang saat ini dipahami perlu diluruskan agar masyarakat mendapatkan informasi yang tepat. Contoh kasus lainnya terkait kesalahan pemahaman ini yaitu pada saat Pameran Pembangunan NTT di Fatululi Kupang. Ular yang dijadikan display satwa NTT pada stan kehutanan dianggap sebagai sanca timor, padahal ular yang kesehariannya berada di TWA Camplong tersebut merupakan jenis sanca kembang (Pyton reticulatus). Melalui identifikasi foto sudah cukup jelas bahwa ular tersebut bukanlah sanca timor. Penulis
coba mengidentifikasi melalui foto kemudian mendiskusikannya dengan pakar ular, kesimpulannya cukup jelas bahwa foto ular tersebut merupakan jenis s a n c a ke m b a n g . C u ku p m u d a h membedakan kedua ular tersebut dari penampakan morfologi. Sanca timor tidak terlalu besar, jarang yang mencapai panjang 2 meter. Warna bervariasi dari coklat hingga kuning, ekor berwarna coklat. Sedangkan sanca kembang memiliki ukuran yang besar hingga lebih dari 2 meter, berwarna coklat/abu-abu pada bagian belakang tubuhnya dengan corak seperti diamond kuning yang besar (Clement 2013, pers. comm., 1 Nov). Lebih jelasnya ilustrasi morfologi tersaji pada Lampiran foto. Distribusi ular ini berada di Flores, Solor, Adonara, Lomblen dan Pantar. Ular ini memang merupakan ular endemik, namun bukan endemik timor melainkan endemik nusa tenggara. Monk et al. (1997) menyebutkan bahwa sanca timor tersebar di Flores dan Timor, namun pernyataan tersebut kurang kuat karena hanya berasal dari komunikasi personal (pers.comm) sehingga argument tersebut dapat mudah dipatahkan dengan studi yang lebih ilmiah. Catatan ular ini di Timor sebenarnya diragukan. Keberadaan jenis ini di Timor berdasarkan literatur (contohnya: Barker and Barker 1996, McDiarmid et al. 1999, O’Shea 2007) diragukan karena tidak ada catatan bahwa spesimen berasal dari Timor dan sangat dimungkinkan terjadi kesalahan pada laporan tersebut (Schleip and O’shea, 2010). Python timoriensis atau Broghammerus timoriensis Dalam tata penamaan ilmiah suatu
jenis bisa saja berubah nama dengan beberapa ketentuan. Misalnya ketika suatu jenis direview kembali kemudian dipisah (split) menjadi spesies tersendiri ataupun dikoreksi dengan kaidah taksonomi yang ilmiah. Dalam kasus sanca timor hingga kini masih dalam p e rd e b a t a n . S e o r a n g h e r p e t o l o g b e r n a m a R a y m o n d T. H o s e r mempublikasikan nama genus Broghammerus untuk sanca timor pada tahun 2004. Kemudian berkembanglah nama Broghammerus timoriensis sejak saat itu meskipun beberapa orang masih ada yang tetap menggunakan genus Pyton. Namun pada tahun 2013 penamaan genus Broghammerus dipertanyakan oleh beberapa herpetolog lainnya. Hingga terbitlah publikasi ilmiah yang menentang penamaan Broghammerus melalui jurnal yang berjudul “Best Practices: In the 21st Century, Taxonomic Decisions in Herpetology are Acceptable Only When Supported by a Body of Evidence and Published via Peer-Review” (Kaiser et al. 2013). Kaiser menganggap publikasi ilmiah yang dikeluarkan oleh Hoser kurang dapat dipertanggungjawabkan dan diragukan kredibilitasnya. Karena penamaan Broghammerus hanyalah rekaan dan diterbitkan dalam jurnal terbitan sendiri. Menanggapi hal tersebut Hoser kemudian mempublikasikan tulisan ilmiahnya untuk menyangkal isi jurnal Kaiser et al. (2013) tersebut dalam jurnal yang berjudul “The taxonomy of the snake genus Broghammerus Hoser, 2004 revisited, including the creation of a new subgenus for Broghammerus timoriensis (Peters, 1876)” (Hoser, 2013). Informasi terbaru dari seorang rekan yang mengirimkan draft naskah jurnal bahwa
Edisi VII No.1 November 2014
15
nama yang diusulkan Hoser ke ICZN (International Commission on Zoological Nomenclature) dalam waktu dekat akan dibatalkan (Kurniawan, 2013 pers. comm., 4 Nov). Penutup Sebanyak dua puluh lima jenis ular terdapat di Provinsi NTT. Kurangnya informasi terkait ekologi mebuka peluang untuk dilakukan kajian lebih mendalam dan membangun ketertarikan masyrakat ilmiah khususnya untuk meneliti ular di NTT. Terdapat pemahaman keliru di masyarakat yang menganggap Ular Sanca Timor merupakan ular asli Timor. Kenyataan sebenarnya ular tersebut tidak berada di Timor, hingga saat ini tidak ada bukti ilmiah berupa catatan maupun spesimen yang membuktikan ular ini berada di Timor. Penyebarannya terdapat di Flores, Solor, Adonara, Lomblen dan Pantar. Ular ini memang merupakan jenis endemik, namun bukan endemik timor melainkan endemik nusa tenggara. Ular yang dipahami oleh masyarakat Timor sebagai Sanca Timor merupakan jenis Sanca Kembang (Pyton reticulatus). Daftar Pustaka Balai Besar KSDA NTT. 2010. “Buku Informasi Kawasan Konservasi Balai Besar KSDA NTT Tahun 2010. Kupang : BKSDA NTT. Barker, D.G., Barker, T.M. 1996. The Lesser Sundas Python (Python timoriensis): Taxonomic history, distribution, husbandry, and captive reproduction. Advances in Herpetoculture, 103–108 pp. Hoser, RT. 2013. The taxonomy of the snake genus Broghammerus Hoser, 2004 revisited, including the
16
Edisi VII No.1 November 2014
creation of a new subgenus for Broghammerus timoriensis (Peters, 1876). Australasian Journal of Herpetology 16:19-26. Kaiser, H., Crother, B.I., Kelly, C.R.M., Luiselli, L., O’shea, M., Ota, H., Passos, P., Schleip, W.D. and Wuster, W. 2013. Best Practices: In the 21st Century, Taxonomic Decisions in Herpetology are Acceptable Only When Supported by a Body of Evidence and P u b l i s h e d v i a Pe e r- Re v i e w. Herpetological Review 44(1) : 8-23. Lang, R.de. 2011. The Snakes of the Lesser Sunda Islands (Nusa Tenggara), Indonesia. Asian Herpetological Research 2(1) : 4654 pp. McDiarmid, R.W., Campbell J.A., Touré T.A. 1999. Snake species of the world: a t axonom ic and ge ogr aphic re f e re n c e . Vo l u m e 1 . T h e Herpetologist’s League, Washington, 511 pp. Monk, K.A, Fretes Y. de and Lilley, G. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Oxford: Oxford University Press. O’Shea, M. 2007. Boas and Pythons of the World. New Holland, London, 160 pp. Schleip, W.D. and O’Shea, M. 2010. Annotated checklist of the recent and extinct pythons (Serpentes, Pythonidae), with notes on nomenclature, taxonomy, and distribution. ZooKeys 66 (2010) : 29-79 pp.
DI NUSA TENGGARA TIMUR
| FOKUS |
KERAGAMAN JENIS MANGROVE Oleh : M. Hidayatullah
PENDAHULUAN Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang kompleks meliputi organisme tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain dan memegang peranan penting dalam menjaga dan melindungi garis pantai dari proses erosi maupun abrasi. Keberadaan mangrove dengan beragam fungsi dan manfaatnya sangat penting dalam mendukung aktivitas pembangunan, semakin terbatasnya wilayah daratan ditengah kebutuhan ruang yang semakin tinggi menjadikan kawasan pesisir termasuk di dalamnya hutan mangrove menjadi salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan tersebut. Data dari BPHM Wilayah 1 Bali,
(2011) disebutkan bahwa luasan hutan mangrove di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 40.614,11 ha, jumlah tersebut tersebar pada semua wilayah kabupaten kota dengan luasan yang beragam. Beragam bentuk pemanfaatan mangrove seperti untuk pemukiman, lahan pertanian maupun peruntukan lain dengan mudah dapat dijumpai pada wilayah pesisir di NTT. Konversi mangrove menjadi area budidaya tambak maupun penebangan kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar sudah dilakukan sejak dulu dan menjadi bagian tidak terpisahkan dengan aktivitas masyarakat pesisir. Meskipun kegiatan penanaman dan rehabilitasi mangrove di NTT masih
Edisi VII No.1 November 2014
17
terbatas, namun beberapa pihak secara aktif terlibat dalam penanaman mangrove seperti : Dinas-dinas terkait lingkup pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, UPT Kementerian Kehutanan, UPT Kementerian Kelautan dan Peikanan, BPHM Wilayah 1 Bali, pihak swasta maupun swadaya masyarakat terus dilakukan, sehingga diharapkan dapat mengimbangi laju pemanfaatanya. Pembinaan terhadap tegakan yang ada juga perlu dilakukan agar keragaman jenisnya dapat dipertahankan, karena meskipun belum ada informasi detail tentang keragaman jenis mangrove NTT, namun dipekirakan wilayah ini memiliki keragaman jenis yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena sebaran wilayah yang terdiri dari ratusan pulau dengan karakter wilayahnya masing-masing sehingga memungkinkan ditumbuhi mangrove dengan ragam jenis yang berbeda sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Kondisi Hutan Mangrove Berdasarkan data BPHM wilayah I Bali (2011) kondisi hutan mangrove di NTT cukup memprihatinkan, sebagian besar mengalami kerusakan dengan tingkatan yang berbeda, yaitu : sebanyak 8.285,10 ha atau 20,40% (kategori rusak berat), 19.552,44 ha atau 48,14% (kategori rusak ringan) dan 12.776,57 ha atau 31,46% (kategori baik). Data ini menunjukan bahwa tekanan terhadap hutan mangrove sangat tinggi karena hanya sepertiga dari total luas hutan mangrove yang masih dalam kondisi baik, selebihnya telah mengalami kerusakan sebagai dampak dari berbagai bentuk pemanfaatan. Beberapa bentuk pemanfaatan yang turut mendorong terjadinya
18
Edisi VII No.1 November 2014
kerusakan antara lain, konversi lahan menjadi area budidaya tambak dan penebangan pohon untuk keperluan bahan bangunan maupun kayu bakar. Konversi mangrove menjadi area budidaya tambak pada umumnya hanya mempertimbangkan aspek ekonomi tanpa memperhatikan aspek ekologi sehingga menyebabkan kerusakan hutan mangrove yang sangat serius. Saat ini, sebagian besar dari tambak-tambak tersebut tidak aktif lagi karena berbagai kendala seperti terbatasnya modal dan tingkat produktivitas yang semakin menurun, seperti yang dapat dijumpai di desa Golo Sepang kecamatan Boleng Manggarai Barat. Pa d a s i s i l a i n ke g i a t a n penanaman atau rehabilitasi mangrove dalam beberapa tahun terakhir masih terbatas, sehingga untuk memulihkan kondisi hutan mangrove diperlukan perencanaan yang baik serta adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antara semua pihak sehingga fungsi dan manfaat dari hutan mangrove dapat dinikmati secara berkelanjutan. Keragaman Jenis Mangrove Secara umum Indonesia termasuk salah satu diantara beberapa n e g a r a d e n g a n ke r a g a m a n j e n i s mangrove yang sangat tinggi, bahkan Saenger, dkk (1983) mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan keragaman jenis tertinggi di dunia, karena tercatat dari 60 jenis mangrove sejati di dunia, 43 jenis diantaranya bisa ditemukan di Indonesia. Sementara itu menurut Noor, YR (2006), melaporkan bahwa di Indonesia terdapat setidaknya 202 jenis mangrove yang meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1
jenis paku. Terdapat perbedaan keragaman jenis antara satu pulau dengan pulau yang lainnya, dari 202 jenis m a n g r o v e y a n g t e l a h d i ke t a h u i (mangrove sejati dan asosiasi) 166 jenis ditemukan di pulau Jawa, 157 jenis di pulau Sumatera, 150 jenis di pulau Kalimantan, 142 jenis di Irian Jaya, 135 jenis di pulau Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis terdapat di Bali Nusa Tenggara. Namun demikian aktivitas pembangunan pada kawasan pesisir d a p a t m e n y e b a b ka n ke r u s a ka n e ko s i s t e m m a n g ro v e , s e h i n g g a keragaman jenis pada tiap pulau kemungkinan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Keragaman jenis mangrove di wilayah Bali Nusa Tenggara juga sangat berpotensi terjadinya penurunan karena tekanan terhadap hutan mangrove terus terjadi. Pada wilayah NTT, belum ada data pasti tentang keragaman jenis dan berapa jumlah jenis mangrove yang dapat ditemui. Namun demikian dari beberapa penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa NTT juga memiliki keragaman jenis yang cukup tinggi. Seno, A (2012) mengatakan bahwa keragaman jenis mangrove di kawasan Tamana Nasional (TN) Komodo mencapai 24 jenis yang terdiri dari 22 jenis mangrove sejati dan 2 jenis mangrove asosiasi. Hidayatullah, M. dkk (2012) melaporkan bahwa di desa Golo Sepang kecamatan Boleng – Manggarai Barat ditemukan sebanyak 10 jenis mangrove (9 jenis mangrove sejati dan 1 jenis mangrove asosiasi). Sementara itu Talib, M. F (2008) mengatakan bahwa di desa Tanah Merah dan Oebelo kecamatan Kupang Tengah memiliki 11 jenis mangrove yang kesemuanya merupakan mangrove sejati.
Perbedaan jumlah dan jenis mangrove antara lokasi dapat terjadi karena hal tersebut sangat tergantung pada kondisi lingkungan seperti kadar salinitas, ketebalan endapan lumpur, kondisi pasang surut, lama waktu genangan maupun faktor-faktor lainya. Jafar, dkk (2007) mengatakan bahwa pada wilayah Teluk Kupang – Kota Kupang memiliki 6 jenis mangrove yang kesemuanya merupakan mangrove sejati. Hidayatullah, M. dkk (2013) menyebutkan bahwa di kawasan Cagar Alam Maubesi – Kabupaten Belu ditemukan sebanyak 23 jenis mangrove yang terdiri dari 16 jenis mangrove sejati dan 7 jenis mangrove asosiasi. Dari beberapa hasil penelitian diatas diketahui bahwa jenis Rhizophora mucronata, R. apiculata dan Brugueira gymnorrhiza dapat dijumpai hampir pada semua lokasi, sedangkan beberapa jenis yang lain seperti Rhizophora stylosa, R. lamarckii dan Osbornia octodanta hanya ditemukan di kawasan TN Komodo atau jenis Sesuvium postucalartum dan Scaevola taccada yang hanya ditemukan pada kawasan Cagar Alam Maubesi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 5 lokasi yaitu di Wilayah TN Komodo, di desa Golo Sepang kecamatan Boleng – Manggarai Barat, di desa Tanah Merah dan Oebelo kecamatan Kupang Tengah – Kabupaten Kupang, di perairan Teluk Kupang – Kota Kupang dan di kawasan Cagar Alam Maubesi, diketahui bahwa NTT memiliki keragaman jenis mangrove yang cukup tinggi yaitu sebanyak 31 jenis mangrove sejati dan 9 jenis mangrove asosiasi. Jenis-jenis yang ditemukan pada 5 lokasi tersebut terlihat pada tabel 1.
Edisi VII No.1 November 2014
19
Tabel 1. Pemanfaatan mangrove oleh masyaraakat di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Malaka
No
Jenis (Nama Ilmiah dan Nama Lokal)
Bagian yang dimanfaatkan
Kegunaan
Cara Pemanfaatan
Masyarakat sekitar kawasan Hutan Mangrove di desa Sepang dan Golo Sepang kecamatan Boleng – Manggarai Barat. 1
Ceriops tagal / wanggo
Kulit batang
Menghilangkan rasa mual
2
Rhizophora. mucronata / wako
Daun muda
Efektif menurunkan darah tinggi
3
Bruguiera. gymnorrhiza / bangko Xylocarpus. granatum / humpa moti
Buah
Makanan
Biji buah
Mengobati diare
Acrostichum. aereum / wrekas
Daun muda
Makanan
Daun muda
Melunakkan daging
Daun muda di masak bersama daging yang ingin dilunakkan. Di simpan di dalam rumah. Kayu jenis ini diyakini masyarakat tidak disukai ular, sehingga dijadikan alat untuk mengusir ular. -
4
5
20
6
Phemphis acidula / santigi
Kayu
Mengusir ular
7
Rhizophora. Mucronata/wako, Bruguiera. Gymnorrhiza/bangko
Kayu
Kayu bakar
Edisi VII No.1 November 2014
Bahan bangunan Pagar
Kulit batang direbus dengan air dua gelas, dicampur daun sirih. Tunggu sampai air kelihatan merah. Selanjutnya diminum satu kali sehari, sampai rasa mual hilang. Daun muda beberapa lembar ditumbuk, kemudian direbus dengan air sebanyak 5 gelas sampai menjadi 2 gelas. Kemudian diminum setelah makan. Daging buah dapat dimakan langsung dengan gula (gula pasir atau gula merah). Ambil buah yang sudah matang, pisahkan denagn bijinya. Biji direbus sekitar 20 menit dengan air secukupnya, kemudian minumkan pada orang yang diare. Daun muda dapat di masak menjadi sayur, tambah garam secukupnya.
Tabel 1. Pemanfaatan mangrove oleh masyaraakat di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Malaka
Jenis (Nama Bagian yang Ilmiah dan Nama dimanfaatKegunaan Lokal) kan B. Masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Maubesi No
1
Rhizophora muconata/wakat
Buah
Makanan
2
Acanthus ilicifolius/kalibuak
Akar
Obat tidak enak makan pada anak
3
Avicennia alba bangko
Isi batang
Bahan campuran pembuatan minuman
4
B. gymnorrhiza/ babisuk Avicennia alba/boak
Akar
Obat gigitan buaya
5
6
7
/
Ceriops tagal/ Aibikumean Acacia leucophloea/ Kabesak Tamarindus indicus/Asam jawa Acrostechum. aereum /
Akar yang muncul ditanah
Cara Pemanfaatan
Buah yang masih muda dapat dimakan dan dapat berperan sebagai sebagai pengganti pinang pada saat kesulitan mendapatkan buah pinang. Akar dipotong -potong dan dibersihkan kemudian direbus, selanjutnya dijadikan sebagai air mandi bagi anak yang sakit. Serta dapat diminumkan pada anak beberapa sendok teh. Isi (gubal) batang dibersihkan. Dijadikan sebagai campuran dalam pembuatan minumal lokal (sofi) yang berguna untuk menguatkan rasa. Semua bahan tersebut dibersihkan, kemudian dicampur dan ditumbuk (tidak sampai halus). Selanjutkan campuran bahan tersebut dikunyah dan disemburkan pada luka gigitan buaya.
Akar Kulit pohon Kulit pohon Daun muda
Makanan
Daun muda
Melunakkan daging
Scaevola taccada/takada Ficus benyamina/ beringin Benalu
Akar
Mengobati patah tulang
Rhizophora. Mucronata /wakat , Bruguiera. Gymnorrhiza /babisuk
Kayu
Akar halus Daun
Kayu bakar Bahan bangunan Pagar
Daun muda dapat di masak menjadi sayur, tambah garam secukupnya. Daun muda di masak bersama daging yang ingin dilunakkan. Semua bahan tersebut direbus sampai airnya mendidih, selanjutnya ditumbuk sampai halus kemudian dioleskan pada bagian yang bengkak akibat patah tulang. Khusus untuk air rebusan daun takada, dapat diminumkan pada yang sakit untuk membantu proses penyembuhan dari dalam.. Kedua jenis kayu ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bagan dalam pembuatan rumah adat, tentu saja proses pengambilannya menggunakan cara adat dan setelah mendapat ijin dari pemangku kawasan.
Sumber : data lapangan, diolah.
Edisi VII No.1 November 2014
21
Keterangan : 1 = Seno, A (2012), 2 = Hidayatullah, M. dkk (2012), 3. Talib, M. F (2008), 4. Jafar, dkk (2007) dan 5 = Hidayatullah, M. dkk (2013) * =sejati (true mangrove) adalah kelompok jenis tumbuhan mangrove yang membentuk tegakan murni (mayor) atau mendominasi dalam komunitas mangrove, memiliki akar napas dan viviparous. Contoh : Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia, Kandelia, Lumnitzera, Nypa **=ikutan (associates) adalah kelompok jenis tumbuhan yang bersosiasi (ikutan) dengan jenis mangrove (mayor dan minor). Contoh : Derris, Hibiscus, Calamus, dsb. (Chapman, 1984) Jumlah mangrove sejati yang dapat dijumpai di NTT terbilang cukup tinggi yaitu mencapai 31 jenis, jumlah tersebut setara dengan 72% dari total jumlah mangrove sejati yang pernah dilaporkan dapat dijumpai di Indonesia. Sementara itu dilihat dari total jenis mangrove yang ditemukan (mangrove sejati dan asosiasi), mangrove di NTT mencakup 33,33% dari jenis mangrove yang ada di wilayah Bali Nusa Tenggara atau 19,80% dari total jenis mangrove yang ada di Indonesia. Namun demikian, keragaman jenis yang ditampilkan dalam tabel 1 baru mewakili beberapa lokasi di jajaran pulau Flores dan pulau Timor, belum termasuk beberapa pulau besar lainnya seperti pulau Alor dan Sumba, sehingga besar kemungkinan keragaman jenisnya dapat bertambah.
22
Edisi VII No.1 November 2014
Penutup Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dan kewajiban dalam mengelola ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Koordinasi lintas sektor sangat diperlukan agar proses pembangunan hutan mangrove dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan sehingga pada akhirnya keragaman jenis yang ada dapat terus dipertahankan serta fungsi dan manfaatnya dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Daftar Pustaka BPHM Wilayah I Bali, 2011. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, Denpasar – Bali. Hidayatullah, M. dkk, 2012. Kajian Model Kemitraan Pemanfaatan Hutan dan Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove di Manggarai Barat. Laporan Hasil Pe n e l i t i a n B a l a i Pe n e l i t i a n Kehutanan Kupang, 2012. Tidak dipublikasikan Hidayatullah, M. dkk, 2013. Kajian Model Pemanfaatan dan Nilai Sosial Ekonomi Mangrove. Laporan Hasil Pe n e l i t i a n B a l a i Pe n e l i t i a n Kehutanan Kupang, 2013. Tidak dipublikasikan Jafar, Suryani, Anbyah dan Jumini, 2007. Analisis Kerusakan Ekosistem Mangrove dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi di Perairan Teluk Kupang - Kota Kupang. LIPI. Noor, Y. R, Khazali, M dan Suryadiputra, I. N. N, 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International. Seno, A, 2012. Potensi Mangrove di Taman
Nasional Komodo. Diakses di situs resmi Taman Nasional Komodo : h t t p : / / k o m o d o park.com/images/downloads/Pote nsi_Mangrove_di_Taman_Nasional_ Komodo.pdf diakses pada tanggal 6 Februari 2014.
Talib, M. F, 2008. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrobentos yang Berkoeksistensi di Tanah Merah dan Oebelo Kecil kabupaten Kupang. Skripsi pada Program Studi Ilmu dan Tekologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.
foto : www.portalkbr.com
Edisi VII No.1 November 2014
23
| RAGAM |
Oki Hidayat
MENGENAL POTENSI BIOFISIK Stasiun Penelitian Oilsonbai, Kupang Jln. Alfons Nisnoni Nomor 7. PO. BOX 69 Kupang. Kode Pos 85115 (0380) 823357; (0380) 831068
[email protected] ; www.foristkupang.org GAMBARAN UMUM Stasiun penelitian (SP) Oilsonbai merupakan salah satu sarana penelitian yang dimiliki Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK Kupang) sejak tahun 1987. Lokasinya secara administratif berada di kelurahan Fatukoa, kecamatan Maulafa kota Kupang dan berjarak ± 15 km kearah selatan kota Kupang. SP Oilsonbaai memiliki luas 21,82 ha dan terletak pada kelompok hutan Produksi Konversi (HPK) Kali kupang dengan Register Tanah Kehutanan/RTK 174 (Anonim.2013) Kegiatan utama di stasiun penelitian ini adalah penangkaran Rusa Timor (Rusa Timorensis timorensis Blanveille), Burung Bayan Sumba (Eclectus Rotatus), Pengangkaran kura-kura leher ulat rote (Chelodina Maccordi Rhodin, 1994) dan persemaian cendana. SP Oilsonbai memiliki sarana dan prasarana penelitian
24
Edisi VII No.1 November 2014
yang memadai, seperti : mini ranch, green house serta pondok kerja. Artikel ini akan mendeskripsikan potensi biofisik yang di SP Oilsonbai. Sehingga stakeholders (peneliti, mahasiswa, pemerintah daerah) dapat memanfaatkan dan mendayagunakan potensi tersebut untuk kegiatan penelitian. KONDISI BIOFISIK A. Iklim dan cuaca Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika, suhu udara rata-rata di Oilsonbai adalah 26,30 C dengan suhu minimum 22,80 C dan suhu maksimum 31,60 C serta kelembapan udara sebesar 78,3%. Besarnya curah hujan per-tahun 194,2 mm dan jumlah hari hujan 10.7 hari. Curah hujan terbesar terjadi antara November-April.Kawasan ini dipengaruhi
oleh angin musim, dimana antara bulan Mei sampai September dipengaruhi oleh angin musim Timur Sedangkan bulan Oktober sampai April rata-rata 7,3 kilomter/jam. (Matilda Mite. 2001) B. Vegetasi Akasia (acasia auriculiformis dan acacia mangium); jati (tectona grandis), kayu putih (Melalueca leucandendrom) merupakan jenis-jenis vegetasi yang mendominasi di Kawasan hutan Oilsonbai. Selain itu, jenis vegetasi lain yang terdapat di Oilsonbai adalah Flamboyan (Delonix regia Raf); Cemara (Cupresessus sp), Kesambi (Schleichera oleosa), Cendana (Santalum album L); Mangga (Mangifera Indica L); Johar (Casia s i a m e a l a m k ) ; Ke r s e n ( M u t i n g i a calabura); Jambu Biji (Psidium Guajava); Kepok (Ceiba Petandra) dan Turi (Sesbania Grandiflora). (Matilda Mite; 2001). Secara terperinci, SP Oilsonbai terbagi menjadi 3 (tiga) sub wilayah sebaran vegetasi. Sebaran vegetasi disub-wilayah tersebut meliputi : 1. S u b -Wi l a y a h A ka s i a ( A c a c i a Auliforiformis) : Rerata tinggi tegakan Acacia Auliforiformis diatas 25 m dengan kanopi yang cenderung bersambung. Jarak antar pohon 1-2 m dan rata-rata pohon berdiameter + 20 cm dengan percabangan kurang. Hal tersebut karena jarak yang saling berdekatan. Sedangkan tumbuhan bawahnya didominasi oleh Kirinyu (Chromoela odorata). 2. S u b -W i l a y a h J a t i ( Te c t o o n a Grandis) : Tinggi tegakannya bervariasi antara 5-10 meter dengan jarak rata-rata 2-3 m. Kanopi tidak saling bersinggungan sehingga banyak dijumpai rumpang. Jenis
3.
vegetasi bawahnya adalah Johhar ( C a s s i a S i a m e a ) ; Ke s a m b i (Scheicera Oleosa Merr), Mahoni (Swietenia Maccrophylla King), Asam (Tamarimas Indica L) dan Lamtoro (Leucena Glauca Benth). Sub-Wilayah Cendana (Santalum Album L) : Tegakannya memiliki tinggi rata-rata 5-10 m dan berjarak tanam 3-4 m. Kanopinya tidak berhubungan satu dengan lainnya. Tu m b u h a n b a w a h n y a a d a l a h Kesambi (Scheicera Oleosa Merr), Kabesak HItam, Akasia (Accacia Sp). (Maria Theresia Loer. 2005)
C. Fauna Jenis Fauna pada SP Oilsonbai terbagi menjadi 2 (dua) yakni: Hewan liar dan Hewan Penelitian. Jenis fauna yang diteliti sebagai berikut : Burung Beo Alor (Gracusa religiosa mertensi), burung Bayan sumba (Eclectus Rotatus Cornelia Rusa Timor (Rusa Timorensis timorensis Blanveille) dan kura-kura leher ular Rote (Chelodina Maccordi Rhodin, 1994) . D. Kelembagaan Pengelolaan SP Oilsonbai dibawah koordinasi Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian pada Balai Pe n e l i t i a n Ke h u t a n a n Ku p a n g . Keberadaan SP Oilsonbai berperan penting dalam menunjang kegiatan penelitian para peneliti BPK Kupang. N a m u n p a r a s t a ke h o l d e r d a p a t memanfaatkan SP Oilsonbai untuk non penelitian. Hal tersebut mengacu pada Protokol Pengelolaan KHDTK dan Stasiun Penelitian BPK Kupang Tahun 2011. Adapun prosedur pengajuan kegiatan non penelitian di SP Oilsonbai tersaji pada tabel 1.
Edisi VII No.1 November 2014
25
No.
Lokasi
Tanah dan Bahan
Hujan, Iklim dan Tinggi (dpl) < 800 mm/thn; D; 450 m
1.
Sikumana Kabupaten Kupang
Lithosol, formasi karang
2.
Oilsonbai
Grumosol, endapan
< 1.000 mm/thn; C ; 500 m
3.
Oetium Kab. Kupang
Mediteran, liat, Bobonaro
< 900 mm/thn; D; 300 m
4.
Bu’at Binaus, Siso Kab. Timor Tengah Selatan Banamlaat; Kab. Timor Tengah Utara
Grumosol, Litosol, Liat Boboanaro, batu karang Mediteran, formasi konglomerat dan kerakal
1.200 mm/thn; B; 800 m
Hambala; Sumba Timur
Mediteran, formasi batu karang
< 600 mm/thn; F; 250 m
5.
6.
< 700 mm/thn; E; 450 m
Sumber: Sutardjo Suriamihardja, 1990 hal 17 Tabel 2. Prosedur Pengajuan Kegiatan Non Penelitian Di SP Oilsonbai. KELENGKAPAN
NO .
JENIS KEGIATAN
KETERANGAN Surat Permohonan
Proposal Kegiatan
Tanda Pengenal
Surat Pernyataan
1.
Pendidikan dan Pelatihan
V
V
V
V
Batas pengajuan surat adalah 7 hari sebelumnya
2.
Travelling dan Pengamatan Flora/Fauna
V
V
V
V
Batas pengajuan surat adalah 7 hari sebelumnya
3.
Pembuatan Film/Video klip
V
V
V
V
Batas pengajuan surat adalah 7 hari sebelumnya
4.
Pembuatan Foto Komersial.
V
V
V
V
Batas pengajuan surat adalah 7 hari sebelumnya
5.
Rekreasi dan Seremoni
V
V
V
V
Batas pengajuan surat adalah 7 hari sebelumnya
Sumber : Protokol Pengelolaan KHDTK dan Stasiun Penelitian, 2011
26
Edisi VII No.1 November 2014
| RESENSI |
A New Ecology : System Perspective Editor
: Sven E. Jogersen; Simone Bastioni, Felix Muller, Bernard C.Pattern, Robert E. Ulanowicx, Brian D. Fath, Juao C. Marques, Soren N. Nielsen, Enze Tezzi Penerbit : Elsevier, Amsterdam, 2007 Deskrispi fisik : ix, 273 hal, index, 25 cm (Hard cover) ISBN : 978-0-444-531-60-5 Resensor : Rattahpinnusa H Handisa, S.Sos Nomor Klasifikasi : 577.3 CON J Subject : Ekologi
DESKRIPSI: Pendekatan ekologi diperlukan bagi kesinambungan kelestarian lingkungan. Mengingat banyak ekosistem diberbagai belahan dunia yang terancam kelestariannya akibat manusia dan akitivitasnya. Semisal : Terdegradasinya ekosistem hutan tropis akibat pembalakan liar dan masih banyak contoh lainnya.
Fenomena tersebut mendorong Sven E Jogerson, seorang ekologis, memperkenalkan teori ekosistem. Dia berkeyakinan bahwa teori ini mampu menjelaskan interaksi antara komponen pembentuk ekosistem secara praktis. Selanjutnya, dia menuturkan dalam kata pengantar buku A New Ecology : system Perspective bahwa teori ekosistem
Edisi VII No.1 November 2014
27
| GALERI | akan menjadi panduan bagi pengelolaan lingkungan karena teori ini menyajikan konsep-konsep ekologi secara komprehensif. Suen E Jogersen telah menerbitkan 3 (tiga) buku. Buku pertamanya berjudul Integration of Ecosystem Theories : A Pattern (3 td edition; 2002) membahas konsistensi polapola kontribusi aktivitas manusia terhadap system ekologi. Selanjutnya, buku keduanya berjudul Toward a Thermodynamics : Theory of ecosystem (2004) menyajikan pola thermodynamika yang dijabarkan kedalam bahasa matematika. Buku ketiganya merupakan buku yang sedang kita ulas saat ini. Buku ini menjabarkan aspek-aspek fundamental dari ekosistem (Bab 27). Aspek tersebut dapat digunakan menggambarkan pengamatan ekologi (Bab 8). Penyajian ide-ide yang runut dan sistematis menjadi keunggulan buku ini. Tidak berlebihan kiranya karena 9 orang penulis terlibat dalam
28
Edisi VII No.1 November 2014
penyusunannya. Kesemuanya merupakan kolega Suen yang menyumbangkan pemikirannya guna melengkapi teory ecosystem Suen Jorge. Terlebih para penulis berusaha menggiring para pembacanya guna menyelami konsep-konsep teori ecosystem yang ditawarkan. Pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana meningkatkan kesadaran menjaga ekosistem? Apa dampak dari hubungan antara perilaku dan pembangunana terhadap ekosistem ? Bagaimana ecosystem menata diri guna menghadapi gangguan? Pertanyaan tersebut menggelitik pembaca guna memahami konsep teori ekosistem secara paripurna. Adapun jawaban pertanyaan tersebut dapat anda ketemukan dari buku ini.
| GALERI | Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur menanam anakan pohon cendana secara simbolis dalam rangka peringatan Hari Bhakti Rimbawan Ke-XXXI .
Edisi VII No.1 November 2014
29
Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur melepas peserta gerak jalan santai di Kampus Balai Diklat Kehutanan Kupang. dalam rangka peringatan Hari Bhakti Rimbawan K e-XXXI .
30
Edisi VII No.1 November 2014
Asisten III Propinsi Nusa Tenggara Timur menyerahkan piala kepada para pemenang masing-masing cabang olahraga dalam rangka peringatan Hari Bhakti Rimbawan Ke-XXXI
Kepala Balai Litbang Kehutanan Kupang menyerahkan tali asih kepada purna rimbawan. dalam rangka peringatan Hari Bhakti Rimbawan Ke-XXXI
Edisi VII No.1 November 2014
31
Pantai Lasiana, KupangNusa Tenggara Timur source : http://eddymesakh.wordpress.com
Edisi VII No.1 November 2014
32
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.
FORMAT Naskah diketik diatas kertas kuarto putih pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantum-kan dibawah tulisan.
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantum-kan tahun penerbitan, sebagai berikut : Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466.