Bubur Pedas Kalimantan Suku Melayu Sambas di Kalimantan Barat, punya unggulan kuliner pedas yang harus dicicipi para wisatawan. Inilah Bubur Pedas Sambas, dahulu bubur pedas ini disajikan di kerajaan, dan merupakan cerminan budaya yang kental di kerajaan Melayu Deli. Bubur pedas terbuat dari beras yang ditumbuk halus dioseng dan kaya akan rempah serta sayuran, tidak heran jika bubur ini dinilai penuh gizi. Sayuran seperti kangkung, pakis, daun kesum menjadi campuran yang menyehatkan. Belum lagi paduan gorengan kacang tanah plus ikan teri yang digoreng kering menambah citarasa. Selain menjadi salah satu menu andalan di warung milik orang Melayu, bubur pedas pun mudah ditemui di tempat orang berjualan ta’jil saat bulan Ramadhan. Bubur Pedas ini memang unik, tanpa membubuhkan sambal, kita tidak akan merasakan pedas sama sekali, malah cenderung bertekstur gurih dan segar. Bubur ini sangat kaya akan gizi. Berbahan dasar beras yang telah dihaluskan dan disangrai, serta kelapa parut yang telah disangrai, kaldu daging, berbagai macam sayuran dan rempahrempah menghasilkan citarasa yang luar biasa unik. Sangat gurih dan lezat, tentunya lebih enak disantap saat masih hangat. Nah, yang pengen coba membuatnya sendiri di rumah ada resep nih dibawah sebagai berikut: Bahan-bahan: 1. 500 gram beras, cuci bersih, tiriskan 2. 200 gram kelapa parut 3. 300 gram tetelan sapi atau daging ayam 4. 10 lonjor kacang panjang, potong-potong 5. 2 buah wortel, potong dadu 6. 100 gram ubi jalar, potong dadu 7. 2 ikat kangkung, potong-potong 8. 100gr tauge 9. 100 gr rebung, diiris tipis-tipis
Dan tentunya jangan sampai ketinggalan 8. 3 ikat pakis, ambil daun dan pucuknya, iris tipis-tipis 9. 100 gram daun kesum, diiris tipis-tipis 10. 2000 cc air Bumbu: 1. 4 lembar daun salam 2. 2 batang serai, memarkan 3. 4 cm lengkuas, memarkan 4. 6 butir bawang merah, haluskan 5. 2 siung bawang putih, haluskan 6. 2 buah cabai merah, haluskan 7. 1/2 sendok teh merica, haluskan Pelengkap: 1. 200 gram kacang tanah, goreng 2. 100 gram ikan teri, goreng 3. Bawang goreng 4. Kecap manis 5. Jeruk limau 6. Sambal cair dari cabe rawit Cara membuat: 1. Sangrai beras sampai kekuning-kuningan, tumbuk halus 2. Sangrai kelapa parut, tumbuk halus 3. Siapkan air, rebus tetelan hingga matang. 4. Masukkan bumbu halus, daun salam, serai, lengkuas. Adukaduk. 5. Tambahkan beras tumbuk, aduk-aduk 6.Masukkan wortel, kacang panjang, kangkung, ubi jalar, pakis dan daun kesum. Aduk-aduk, masak dengan api kecil hingga matang, angkat. 7. Sajikan bersama bahan pelengkap untuk taburan antara lain kacang tanah, ikan teri, bawang goreng. Kecap, sambal, jeruk limau, lebih baik disediakan terpisah agar bisa ditambahkan sesuai selera masing-masing. *Kira-kira untuk 6 porsi
Tari Gong Tradisional Dayak https://www.youtube.com/watch?v=lPhx0EpCSLk
Tari Gong adalah tarian tradisional suku Dayak di Kalimantan timur yang menggunakan gong sebagai media menarinya. Tarian ini di mainkan oleh seorang gadis yang menari di atas gong dengan penuh keanggunan, nama Tari Gong sendiri di ambil dari situ. Tari Gong ini sering di sebut dengan nama tari kancet ledo oleh masyarakat Dayak di sana. Gerakan dalam Tari Gong menggambarkan kelembutan seorang gadis yang terlihat dari gerakan tubuh dan tangannya yang lemah lembut. Gerakan dalam tarian ini memang tidak begitu banyak seperti tarian dari Kalimantan timur lainnya, bahkan banyak gerakan yang di ulang – ulang. Namun yang di tonjolkan dalam tarian ini adalah kelembutan sang penari dalam bergerak dan menari. Gerakan pada tarian ini lebih fokus pada gerakan tangan saat melambai, gerakan tubuh, dan juga gerakan kaki saat melangkah dan berpijak di gong. Semua gerakan itu di mainkan penuh dengan kelembutan. Tarian ini memang terlihat sederhana, namun kelenturan dan keseimbangan sangat di butuhkan dalam menari tarian satu ini.
Yupa: Prasasti Mulawarman
Peninggalan
Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti, namun
baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub. Isi Isinya menceritakan Raja Mulawarman yang memberikan sumbangan kepada para kaum Brahmana berupa sapi yang banyak. Mulawarman disebutkan sebagai cucu dari Kudungga, dan anak dari Aswawarman. Prasasti ini merupakan bukti peninggalan tertua dari kerajaan yang beragama Hindu di Indonesia. Nama Kutai umumnya digunakan sebagai nama kerajaan ini meskipun tidak disebutkan dalam prasasti, sebab prasasti ditemukan di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam. Transkripsi prasasti pada yupa-yupa tersebut adalah sebagai berikut: Prasasti Kutai I srimatah sri-narendrasya, kundungasya mahatmanah, putro svavarmmo vikhyatah, vansakartta yathansuman, tasya putra mahatmanah, trayas traya ivagnayah, tesan trayanam pravarah, tapo-bala-damanvitah, sri mulawarmma rajendro, yastva bahusuvarnnakam, tasya yajnasya yupo ‘yam, dvijendrais samprakalpitah. Prasasti Kutai II srimad-viraja-kirtteh rajnah sri-mulavarmmanah punyam srnvantu vipramukhyah
ye canye sadhavah purusah bahudana-jivadanam sakalpavrksam sabhumidanan ca tesam punyagananam yupo ‘yan stahapito vipraih Prasasti Kutai III sri-mulavarmmano rajnah yad dattan tilla-parvvatam sadipa-malaya sarddham yupo ‘yam likhitas tayoh Prasasti Kutai IV srimato nrpamukhyasya rajnah sri-mulawarmmanah danam punyatame ksetre yad dattam vaprakesvare dvijatibhyo’ gnikalpebhyah. vinsatir ggosahasrikam tansya punyasya yupo ‘yam krto viprair ihagataih. Terjemahan teks yupa-yupa tersebut adalah sebagai berikut: Prasasti Kutai I Sang Maharaja Kundunga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Ansuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana. Prasasti Kutai II Dengarkanlah oleh kamu sekalian, Brahmana yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang
Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon kalpa (yang memberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang dihadiahkan). Berhubung dengan kebaikan itulah maka tugu ini didirikan oleh para Brahmana (buat peringatan). Prasasti Kutai III Tugu ini ditulis buat (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh Sang Raja Mulawarman, yakni segunung minyak (kental), dengan lampu serta malai bunga. Prasasti Kutai IV Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang suci (bernama) Waprakeswara. Buat (peringatan) akan kebaikan budi sang raja itu, tugu ini telah dibuat oleh para Brahmana yang datang ke tempat ini.
Panglima To Dilaling: Cerita Rakyat Sulawesi Barat Raja Balanipa berpesan pada panglima Puang Mosso, “Aku akan berburu beberapa hari. Jagalah istriku yang tengah hamil tua. Jika ia melahirkan sebelum aku kembali, kau tahu apu yang harus kau lakukan, bukan?” Puang Mosso mengangguk. Ia tahu jika bayi yang lahir laki-laki, maka ia harus membunuhnya. Raja Balanipa tak mau punya anak laki-laki yang akan menjadi putra mahkota. Karena ia ingin menjadi raja seumur hidup. Sebelumnya, Raja Balanipa telah membunuh dua anak lakilakinya. Puang Mosso sebenarnya tak tega, tapi ia tak berani
melawan perintah Raja Balanipa. Tibalah saatnya bagi permaisuri untuk melahirkan. Dan coba tebak, bayinya ternyata laki-laki! Bayi itu sehat dan tampan, tapi Iidahnya berwarna hitam dan berbulu. Permaisuri clan Puang Mosso tak tega jika harus membunuh bayi lagi. Akhirnya Puang Mosso memutuskan untuk mengelabui raja. Ia menyembelih seekor kambing dan menguburkannya. Saat raja kembali ke istana, Puang Mosso menunjukkan kuburan itu pada raja. Melihat tanah kuburan yang masih baru, raja pun percaya bahwa Puang Mosso telah membunuh putranya. Sebenarnya Puang Mosso menyerahkan putra Raja Balanipa itu pada seorang pedagang yang akan berlayar ke Pulau Salerno. Di Pulau Salerno, putra Raja Balanipa tumbuh menjadi anak yang lincah dan sehat. Keluarga yang membesarkannya, mendidik dengan balk dan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Suatu hari, anak itu merasa sangat kehausan. Ia memanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya. Tiba-tiba, seekor burung rajawali raksasa yang tengah terbang menyambarnya. Rajawali itu mencengkeram dan membawanya terbang jauh sekali. Begitu tiba di Kerajaan cengkeramannya.
Gowa,
rajawali
itu
pun
melepaskan
Putra Raja Balanipa jatuh ke sawah dan ditemukan oleh seorang petani. Petani itu segera menghadap Raja Gowa dan menceritakan apa yang terjadi. “Bawalah anak itu padaku, aku ingin melihatnya,” kata Raja Gowa. “Baik baginda, hamba akan membawanya kemari,” jawab petani itu. Putra Raja Balanipa menghadap Raja Gowa. Saat pertama melihatnya, Raja Gowa merasa anak itu bukanlah anak biasa. “Badannya bagus dan kelihatan kuat. Jika aku didik, aku yakin ia akan jadi orang hebat,” pikir raja dalam hati.
“Hai anak kecil, coba ceritakan asal-usulmu,” sapa Raja Gowa. Anak itu menceritakan asal-usulnya yang selama ini sering diceritakan padanya. Raja Gowa mengangguk-angguk dan bertanya lagi, “Apakah kau mau tinggal di sini? Kami akan mendidik dan merawatmu.” Bocah itu bingung. Sebenarnya ia ingin pulang ke Pulau Salerno, tapi sebagian dari dirinya juga ingin tinggal di Kerajaan Gowa. Akhirnya ia putuskan untuk menetap di Kerajaan Gowa. Raja Gowa merawat dan mendidik anak itu dengan baik. Ia tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan sakti. Ia juga menguasai ilmu perang dengan baik. Raja
Gowa
mengangkatnya
menjadi
panglima
perang
clan
memberinya gelar I Manyambungi. Sementara itu, di Kerajaan Balanipa, raja dan permaisuri telah wafat. Kerajaan itu sekarang dikuasai oleh Raja Lego yang kejam. Kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kerajaan Balanipa menjadi resah. Mereka berusaha mencari cara untuk menyingkirkan Raja Lego. “Aku dengar, Kerajaan Gowa memiliki panglima perang yang hebat dan sakti,” kata saiah seorang dari mereka. “Ya, aku juga pernah mendengarnya. Namanya I Manyambungi. Bagaimana kalau kita menemuinya kemudian meminta bantuannya,” saran yang lain. Karena semua setuju, mereka pun berangkat menuju Kerajaan Gowa. “Maaf Tuan, maksud kedatangan kami adalah hendak memohon bantuan Tuan. Kami datang dari kerajaan-kerajaan kecil Polewali Mandar, bermaksud untuk melawan Raja Lego yang kejam,” kata mereka saat menghadap.
“Raja Lego? Siapakah dia?” tanya I Manyambungi. “Raja Lego adalah raja Balanipa. Ia sangat kejam dan suka menganiaya. Ia memaksa kami untuk memberi upeti yang besar. Jika kami melawan, ia tak segan-segan untuk menindas dan membunuh rakyat kami.” I Manyambungi terkejut “Bagaimana dengan Raja Balanipa don permaisurinya? Juga Puong Mosso?” “Raja Balonipa dan permaisurinya telah wafat, sedangkan Puong Mosso, beserta beberapa keluarga kerajaan yang lain berhasil menyelamatkan diri. Bagaimana Tuan bisa mengenal Puang Mosso?” tanya salah satu utusan kerajaan kecil. I Manyambungi pun menceritakan asal-usulnya. Semua utusan kerajaan kecil itu terkejut, dan mereka segera memberi hormat padanya. “Mintalah Puang Mosso untuk menemuiku, aku akan membantu kalian jika ia sendiri yang menceritakan semua kejadian sebenarnya padaku,” pintanya pada para utusan. Atas permintaan kerajaan-kerajaan kecil, Puang Mosso bersedia berlayar ke Kerajaan Gowa. Dalam hati ia merasa sangsi, benarkah I Manyambungi putra Raja Balanipa? Bukankah ia seharusnya ada di Pulau Salerno? Sesampainya di Kerajaan Gowa, I Manyambungi menyambutnya dengan hangat. Puong Mosso berkata, “Maaf jika hamba kurang sopan. Namun maukah Anda memperlihatkan lidah Anda padaku?” I Manyambungi pun menunjukkan lidahnya. Ternyata benar, lidahnya hitam dan berbulu. Tak salah lagi, I Manyambungi benar putra Raja Balanipa. Mereka lalu terlibat pembahasan serius tentang rencana untuk menyerang Raja Lego. Hari yang ditentukan akhirnya tiba. I Manyambungi dan Puong Mosso berangkat ke Kerajaan Balanipa. Dibantu oleh bala tentara Kerajaan Gowa, mereka menyerang posukan Raja Lego.
Rakyat Balanipa juga ikut dalam pertempuran itu, mereka juga sudah tak tahan dengan kediktatoran Raja Lego. I Manyambungi berhadapan sendiri dengan Raja Lego. Akhirnya Raja Lego tewas di tangan I Manyambungi. Rakyat menyambut gembira kemenangan tersebut. Sejak peristiwa itu, I Manyambungi dikenal dengan noma Panglima To Dilaling. Ia dinobatkan menjadi raja di Bukit Napo, salah satu kerajaan di daerah Polewali Mandar.
Kawasan Kars Maros Kawasan Karst Maros berabatasan dengan wilayah Pangkep dan Kab. Maros merupakan yang terbesar dan terindah kedua di dunia setelah kawasan karst di Cina. Gugusan karst yang terdapat di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan yang sebagian masuk dalam wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kawasan Karst Maros bisa dicapai dengan mengendarai kendaraan seperti Avanza,Innova, Bus Priwisata dari kami dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Lalu untuk masuk ke kawasan hutan batu, kita harus menggunakan perahu nelayan setempat dengan melewati hutan bakau yang berpadu dengan pohon palem dan pandan yang tumbuh liar di kiri kanan jalur yang kita lalui. Sesekali kita melewati tebing-tebing cadas yang menjadi rumah bagi habitat salalah satu jenis burung elang. Namun yang membuat saya lebih takjub lagi saat melewati terowongan dari bongkahan batu cadas besar yang terbentuk secara alami. Perjalanan dengan menggunakan perahu ini butuh waktu kurang lebih setengah jam. Namun untuk artikel awal ini kami upload dari Daerah Karst yang ditempuh melalui jalur darat sebelah selatan sebelum dermaga dermaga perahu Rammang rammang. Yang menariknya kawasan karst Maros Pangkep yang tidak terdapat pada kawasan-kawasan karst lainnya di Indonesia
karena mempunyai bentang alam yang unik dan khas yang biasa disebut tower karst. Di kawasan itu, bukit-bukit kapur menjulang tinggi dengan tebing yang menantang. Bahkan bersama kawasan Karst di Pegunungan Sewu, kawasan karst Maros pangkep telah diusulkan sebagai situs warisan budaya dunia (World Heritage) kepada UNESCO sejak 2001 silam. Karst Maros Pangkep bukan sekedar deretan cadas. Berbeda dengan kebanyakan kawasan karst di tempat-tempat lain yang pada umumnya berbentuk Conicall Hill Karst (berbukit kerucut), karst Maros Pangkep berbentuk menara-menara (tower karst) yang berdiri sendiri maupun berkelompok membentuk gugusan pegunungan batu gamping yang menjulang tinggi. Di antara bukit-bukit tersebut membentang dataran, dengan permukaannya yang rata. Bukit-bukit menara tersebut sejenis dengan yang ada di Cina Selatan dan Vietnam.
Pernikahan Adat Manado Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara “Posanan” (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat “Malam Gagaren” atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kotakota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat “Lumelek” (menginjak batu) dan “Bacoho” karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana
pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara “maso minta” (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang. Bacoho (Mandi Adat) Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut “bacoho” dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi. Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan. Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi. Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah
diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya. Upacara Perkawinan Mempelai Manado Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam. Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kotakota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
Kapal Pinisi: Maritim Indonesia
Kekayaan
Banyak tempat pembuatan perahu pinisi di wilayah sulawesi selatan , tetapi yang sangat terkenal berlokasi di Kabupaten Bulukumba yaitu pada poros perjalan antara kota bulukumba ke pantai Tanjung Bira. Lamanya Pembuatan sebuah perahu yaitu sekitar 3 sampai dengan 6 bulan kadang-kadang lebih lama , tergantung dari kesiapan bahan dan musim. Suku Bugis Makassar adalah salah satu pewaris bangsa bahari. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian mereka menguasai laut dengan perahu layar. Perantauan mereka sudah terkenal sejak beberapa abad lalu. Ditemukannya komunitas orang-orang Bugis Makassar di beberapa kota di Indonesia merupakan bukti perantauan mereka sejak dahulu. Mereka tidak hanya menguasai perairan wilayah nusantara, tetapi sejak beberapa abad lalu juga melanglang buana jauh melampaui batas-batas negara. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa sejak dulu pelaut Bugis Makassar telah sampai di Semenanjung Malaka, Singapura, Philipina, Australia Utara, Madagaskar dan sebagainya dengan menggunakan perahu Pinisi. Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu
dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut, terutama di Keluharan Tana Beru. Ketika berada di Pusat Kerajinan Perahu Pinisi di Tana Beru, para pengunjung akan berdecak kagum melihat kepiawaian para pengrajinnya membuat Perahu Pinisi. Mereka mampu membuat perahu yang sangat kokoh dan megah hanya berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari nenek moyang mereka, tanpa menggunakan gambar atau kepustakaan tertulis. Sejarah membuktikan bahwa Perahu Pinisi Nusantara telah berhasil berlayar ke Vancouver Kanada, Amerika Serikat, pada tahun 1986. Oleh karena kepiawaian para pengrajin tersebut, Kabupaten Bulukumba dijuluki sebagai Butta Panrita Lopi, yaitu bumi atau tanah para ahli pembuat Perahu Pinisi. Pusat Kerajinan Perahu Pinisi terletak di Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Tana Beru sebagai Pusat Kerajinan Perahu Pinisi terletak sekitar 176 kilometer dari Kota Makassar atau 23 kilometer dari Kota Bulukumba. Perjalanan dari Kota Bulukumba ke Tana Beru dapat ditempuh dengan menggunakan mobil pribadi maupun angkutan umum Pinisi Lamba bermesinPinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau[1]. Pinisi adalah sebuah
kapal tiang nenek besar
layar yang menggunakan jenis layar sekunar[2] dengan dua dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera di dunia
Sejarah Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut[4] naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Ritual pembangunan Pinisi Pembuatan Perahu Pinisi cukup unik, karena proses pembuatannya memadukan keterampilan teknis dengan kekuatan magis. Tahap pertama dimulai dengan penentuan hari baik untuk mencari kayu (bahan baku). Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke-5 dan ke-7 pada bulan yang sedang berjalan. Angka 5 menyimbolkan naparilimai dalle‘na, yang berarti rezeki sudah di tangan, sedangkan angka 7 menyimbolkan natujuangngi dalle‘na, yang berarti selalu mendapat rezeki. Tahap selanjutnya adalah menebang, mengeringkan dan memotong kayu. Kemudian kayu atau bahan baku tersebut dirakit menjadi sebuah perahu dengan memasang lunas, papan, mendempulnya, dan memasang tiang layar. Tahap terakhir adalah peluncuran perahu ke laut. Tiap-tiap
tahap tersebut selalu diadakan upacara-upacara adat
tertentu. Sebelum perahu Pinisi diluncurkan ke laut, terlebih dahulu dilaksanakan upacara maccera lopi (mensucikan perahu) yang ditandai dengan pemyembelihan binatang. Jika Perahu Pinisi itu berbobot kurang dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor kambing, dan jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor sapi.
Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu. Jenis kapal pinisi Ada dua jenis kapal pinisi Lamba atau lambo. Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM). Palari. adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamda.
Tangkuban Perahu: Rakyat Jawa Barat
Cerita
Dahulu kala, tersebut lah sorang putri cantik anak dari seorang raja bernama Sungging Perbangkara dari sebuah kerajaan besar di jawa barat. Putri tersebut bernama Dayang Sumbi. Kecantikan Dayang Sumbi memang tidak terbantahkan. Banyak raja-raja dari kerajaan berperang hanya untuk menjadikan Dayang Sumbi sebagai istrinya. Merasa dirinya adalah sumber peperangan, akhirnya Dayang Sumbi memutuskan untuk pergi ke hutan dan hidup di sana. Suatu ketika, ketika Dayang Sumbi sedang bertenun, pintalan benang yang dia gunakan jatuh. Karena malas mengambil pintalan benang tersebut, dia berkata “Siapa yang bisa mengambilkan pintalan benang tersebut, dia akan menjadi suami ku.” Tibatiba seekor anjing mengambil pintalan benang tersebut dan memberikannya ke Dayang Sumbi. Anjing tersebut bernama Tumang. Anjing tersbut bukan ajing biasa, konon dia adalah keturunan Dewa. Karena telah berjanji, akhirnya Dayang Sumbi menjadikan Tumang sebagai suaminya dan dari pernikahannya mereka dikaruniahi seroang anak bernama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda berparas tampan, gagah perkasa dan sakti. Semasa hidupnya, dia selalu ditemani oleh Tumang yang dianggapnya hanya seekor anjing yang setia, bukan ayahnya. Suatu ketika, Sangkuriang dimintau untuk berburu dengan Tumang oleh ibunya, Dayang Sumbi. “Bu, saya akan membawakan sebuah hati rusa untuk mu”, janji Sangkuriang. “Huff…huff” gonggong Tumang. “Baiklah nak, hati-hati ya.” Dayang Sumbi berkata.
Sangkuriang dan Tumang mulai berburu seekor rusa. Setelah berburu seharian tanpa hasil, Sangkuriang kawatir akan membuat ibunya kecewa. Berpikir singkat, dia mengambil panahnya dan menembakannya ke arah Tumang dan mengambil hatinya kemudian membawanya pulang untuk diberikan ke pada ibunya. Di rumah Sangkuriang memberikan hati tersebut kepada ibunya. Tetapi Dayang Sumbi menyadari bahwa itu bukan lah hati rusa tetapi hati anjing, Tumang. Dia marah dan memukul Sangkuriang dengan sendok di kepalanya. Kemudian Sangkuriang berkeliling ke seluruh penjuru dunia hingga dia kembali tiba di desanya tanpa disadari nya. Di sana dia bertemu seorang wanita cantik yang sebenarnya adalah ibunya. Sangkuriang dan wanita cantik itu saling jatuh cinta satu sama lain dan mereka memutuskan untuk menikah. Tetapi Dayang Sumbi kemudian menyadari bahwa lelaki yang dia cintai adalah anaknya. Dia melihat ada bekas luka yang ada di kepala Sangkuriang. Untuk mengurungkan niat Sangkuriang menikahi nya, Dayang Sumbi kemudian meminta dua hal mustahil sebagai syarat pernikahannya. “Jika kamu ingin menikahi ku, buatlah sebuah danau yang dan sebuah perahu sangat besar dalam satu malam” pinta Dayang Sumbi. “Siap, jika kamu menginginkanya. Akan ku berikan apa yang kau minta.” Sangkuriang setuju. Dengan kekuatannya yang sakti dan dengan bantuan makhluk halus, ke dua permintaan tersebut pun dirasa bisa terlaksana dalam satu malam. Sangkuriang pun membuat sebuah danau dengan membendung sungai citarum dan membuat sebuah perahu. Kawatir Sangkuriang akan menyelesaikanya, Dayng Sumbi berdoa kepada Tuhan agar membantunya untuk mengagalkan niat Sangkuriang. Tiba-tiba cahaya horizon dari timur muncul dan pagi pun datang.
Berpikir bahwa usahanya siasia. Dengan marah dia menendang perahu tersebut sehingga terbalik. Kemudia perhau tersebut menjadi sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban berarti terbalik dan Perahu berarti perahu.
Suku Tradisional Banten
Baduy,
Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai macam suku yang menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar. Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar.
Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua. Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas. Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu’un selaku ketua adat tertinggi dibantu dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng. Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada versi lain yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes. Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy. Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes demi menjaga kelestarian alam. Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi
menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan. Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya. Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing berbeda. Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadaphadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan mengapa rumah di sini dibangun hanya pada dua arah saja. Layaknya suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal budaya menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan. Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang. Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam
urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan. Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni dunia. Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan. Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun 1990. Kawasan yang melintas dari Desa Ciboleger hingga Rangkasbitung ini telah menjadi tempat bermukimnya Suku Baduy yang menjadi suku asli Provinsi Banten. Wisatawan juga bisa mengunjungi suku ini melalui Terminal Ciboleger sebagai pemberhentian terakhir kendaraan bermotor. Dari sini pemandu akan mengajak wisatawan melintasi bukit masuk ke dalam hutan hingga menemukan kampung terluar Desa Baduy Luar. Waktu yang ditempuh mencapai 1 jam dengan jalan mendaki dan menurun. Namun bagi wisatawan yang ingin mengunjungi wilayah Baduy Dalam bisa berjalan hingga waktu 7 jam sebelum tiba di Kampung Cibeo, salah satu kampung dari 3 kampung Baduy Dalam.
Tumis Leunca Oncom: Makanan Khas Sunda Masakan khas dataran sunda ini memiliki perpaduan rasa pahit, keutar (kasat) namun dapat mengakibatkan ketagihan bagi anda
yang memakannya. Masakan yang berbahan dasar oncom dan leunca yang dipadukan dalam satu hidangan ini bisa menjadi daya tarik tersendiri karena keunikan rasanya. Oncom merupakan olahan fermentasi yang mirip dengan pengolahan tempe. Oncom memiliki asupan gizi yang relatife baik dengan kandungan karbohidrat dan protein yang terdapat di dalamnya. Oncom seringkali dijadikan campuran masakan seperti nasi tutug oncom yaitu perpaduan nasi dan oncom juga sambal oncom yaitu campuran sambal dengan oncom. Selain itu, oncom juga dapat disajikan dengan resep tumis oncom leunca. Bagi anda yang mungkin penasaran dan belum pernah mencobanya, tak ada salahnya anda coba sajikan menu masakan khas nusantara yang satu ini dengan panduan resep cara membuat tumis oncom leunca seperti berikut ini. Bahan-bahan tumis oncom Oncom 1 kotak, diremas2 kasar Leunca 1 kepal, dibuang tangkainya Cabe hijau 5 bh, iris serong Cabe rawit 5 bh, iris tipis Bawang merah 5 siung, iris tipis Bawang putih 5 siung, iris tipis Bawang daun 1 btg, iris tipis Daun kemiri 1 kepal Lengkuas secukupnya Sereh secukupnya Daun salam secukupnya Daun kemangi secukupnya Air 60 ml Garam secukupnya Gula pasir secukupnya Cara penyajian 1. Tumis bawang sampai tercium harum, masukkan irisan cabe, lalu tumis sampai setengah layu
2. Tambahkan oncom, leunca, sereh, salam dan lengkuas, aduk sampai merata kemudian tambahkan air 3. Tambahkan gula dan garam secukupnya, aduk dan tunggu sampai matang 4. Setelah itu, tambahkan bawang daun dan kemangi, aduk sampai merata 5. Siapkan wadah, tuangkan tumis oncom leunca dan sajikan selagi hangat