BIAYA TRANSAKSI PADA KELEMBAGAAN PEMUDA PERKOTAAN: STUDI KASUS DUA ORGANISASI PEMUDA DI KOTA BOGOR
ARIEF RAHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Saya
menyatakan
bahwa
tesis
berjudul:
Biaya
Transaksi
pada
Kelembagaan Pemuda Perkotaan: Studi Kasus Dua Organisasi Pemuda di Kota Bogor adalah sepenuhnya karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan tidak pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain baik diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Arief Rahman NRP A155030161
ABSTRACT ARIEF RAHMAN. Transaction Costs on Urban Youth Institutions: Case Study of Two Youth Organizations in Bogor. Under direction of AKHMAD FAUZI and ERNAN RUSTIADI. Transaction cost (TC) defines as resources used to establish and maintain property rights. TC minimization does not end in itself but rather as a means of achieving broader economic objectives such as efficiency improvement and externalities internalization. TC can be minimized by (i) social capital (SC) in the form of networks and reputation, and (ii) institution as the rules of the game. The research aims to provide clear understanding on how SC and institution minimizes TC. The results of this research can be used further to improve the institutional strengthening process which has became popular agenda in recent years. Any effort of institutional strengthening will be incomplete and imperfect if it is not consider the role of institution in TC minimizing. The research took cases in two youth organization in Bogor: Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) and Karang Taruna Berbakti (KARTAR). Youth organization was chosen based on former research which showed its potentials to foster community empowerment through its investment on SC. KALAM also plays great roles in local resources management, proven by its winning in competition of spatial arragement innovation held by the government in commemoration of World Town Planning Day 2008. KALAM and KARTAR has similarity: both have well-achievement in the city and provincial-level, and both are subdistrict-based organization (KALAM is in Tegal Gundil sub-district while KARTAR is in Kebon Pedes subdistrict). Both are also long-lived institution so it is fulfil the critical characteristic of New Institutional Economics: views long lived institution as efficient and therefore proper subject of economic inquiry. The level of TC was measured firstable by determine the transaction which will be the unit of analysis. The transaction then divided into acquisition, distribution and enforcement stage. Opportunity costs of men and time needed to establish and maintain property rights on those stages are used as proxies to measure TC level. Discriminant Function Analysis is used to test variables which has most significant influence to the TC differences among those two organizations. Those variables are network, reputation, incomplete property right, imperfect property right, asymmetric information, and asset specificity. As an added information, descriptive analysis is used to compare the level of organizational effectivenes. Result shows that KALAM is minimized TC better than KARTAR in every stages of transaction. In aggregate, KALAM needs only less than a third than TC imposed by KARTAR. Two discriminant variables which significantly affect TC differences are networks and property rights completeness. Networks facilitates established pattern of interaction followed by shared expectation of long-lived relationship and easily detected cheating behavior. It then lower the cost of market enforcement. More complete property rights reduces the cost of resources allocation. In the term of organizational effectiveness, KALAM is also more effective than KARTAR did. The insights brought by this research was the interdependencies between cost elements of TC and major roles played by social capital in TC minimizing. Key words: transaction cost, property right, new institutional economics, social capital, urban youth organization
RINGKASAN ARIEF RAHMAN. Biaya Transaksi pada Kelembagaan Pemuda Perkotaan: Studi Kasus Dua Organisasi Pemuda di Kota Bogor. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan ERNAN RUSTIADI. Kelembagaan adalah seperangkat aturan main yang dibuat oleh manusia sehingga interaksi antar orang dapat lebih terstruktur. Kelembagaan memfasilitasi kerjasama antar individu untuk mencapai tujuan bersama sehingga menciptakan integrasi sosial yang pada akhirnya menentukan maju tidaknya suatu masyarakat. Kelembagaan juga menentukan kinerja ekonomi suatu bangsa. Oleh sebab itu aspek kelembagaan menjadi salah satu pilar dari ilmu wilayah. Kelembagaan menentukan kinerja ekonomi karena kelembagaan mempengaruhi besaran biaya transaksi. Biaya transaksi tidak hanya sekadar biaya untuk melaksanakan sebuah transaksi melainkan segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan. Kelembagaan dapat meminimalkan biaya transaksi karena kelembagaan mendistribusikan hak kepemilikan dan mengurangi ketidakpastian pada saat pertukaran terjadi. Pentingnya kelembagaan dalam kehidupan bermasyarakat melahirkan istilah yang populer dewasa ini yaitu penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan merujuk kepada proses untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Mengingat pengaruh kelembagaan terhadap biaya transaksi, maka penguatan kelembagaan hanya dapat utuh dipahami dan dilakukan jika memperhitungkan pula sisi minimalisasi biaya transaksi sebagai peran dari kelembagaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dari kelembagaan yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi. Pengetahuan akan faktorfaktor tersebut dapat digunakan selanjutnya untuk meningkatkan kualitas dari upaya-upaya penguatan kelembagaan sehingga kelembagaan yang dikuatkan dapat efisien secara sosial dan efisien secara ekonomi. Penelitian ini menggunakan kelembagaan pemuda di perkotaan sebagai kasusnya. Dasar penentuannya adalah hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kelembagaan pemuda dapat mendorong pemberdayaan masyarakat lokal melalui investasi modal sosial. Kelembagaan pemuda juga dapat memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya lokal. Hal ini dibuktikan oleh Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM), sebuah organisasi pemuda yang melalui karya penataan ruang terbuka hijau di sempadan jalan, berhasil menjadi salah satu pemenang dari Lomba Karya Inovasi Penataan Ruang yang diadakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dalam rangka memperingati World Town Planning Day 2008. Meskipun kelembagaan berbeda dengan organisasi (karena kelembagaan adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya), tetapi penelitian mengenai kelembagaan dapat dilakukan terhadap organisasi. Hal ini dikarenakan aturan main melekat dalam setiap organisasi. Dua organisasi pemuda yang menjadi studi kasus dari penelitian ini adalah Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) dan Karang Taruna Berbakti (KARTAR). Dua organisasi ini memiliki kesamaan-kesamaan yaitu merupakan organisasi pemuda berbasis kelurahan (KALAM berkegiatan di Kelurahan Tegal Gundil sedangkan
KARTAR di Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor) dan juga merupakan organisasi pemuda yang berprestasi baik di tingkat kota Bogor hingga provinsi Jawa Barat. Dua organisasi ini juga dipilih karena telah memenuhi karakteristik kritis dari New Institutional Economics yang menyatakan bahwa kelembagaan yang dapat menjadi subyek penelitian ekonomi adalah kelembagaan yang telah bertahan lama karena menandakan bahwa kelembagaan itu efisien. Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penelitian ini diawali dengan pengukuran biaya transaksi pada masing-masing organisasi pemuda. Langkah pertama dari pengukuran baya transaksi ini adalah penentuan jenis transaksi yang akan dijadikan unit analisis. Agar dapat diperbandingkan antar dua organisasi, maka unit analisis transaksinya harus memenuhi kriteria (i) memiliki nilai transaksi yang sama, dan (ii) bernilai besar bagi kedua organisasi. Transaksi sebagai unit analisis tersebut lantas dibagi ke dalam tiga tahap yaitu tahap akuisisi, distribusi, dan penjagaan. Biaya transaksi diukur pada masingmasing tahap tersebut. Mengingat tidak adanya variabel terukur yang secara langsung dapat menghitung biaya transaksi maka dibutuhkan variabel proxies. Proxies yang digunakan adalah opportunity costs atas sumber daya manusia dan waktu yang digunakan pada masing-masing tahap transaksi untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan. Terukurnya biaya transaksi pada kedua organisasi pemuda lantas dilanjutkan dengan pengujian faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap minimalisasi biaya transaksi. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Fungsi Diskriminan sehingga diketahui faktor-faktor yang paling mempengaruhi perbedaan biaya transaksi antara KALAM (sebagai grup 1) dan KARTAR (sebagai grup 2). Enam faktor yang diduga berpengaruh terhadap besaran biaya transaksi dan diuji dalam penelitian ini adalah (i) kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan, (ii) reputasi, (iii) hak kepemilikan yang tidak lengkap, (iv) hak kepemilikan yang tidak sempurna, (v) informasi asimetris, dan (vi) spesifisitas aset yang ditransaksikan. Untuk mendapatkan gambaran lebih utuh, maka dilakukan pula penilaian efektivitas masing-masing organisasi pemuda dalam mencapai tujuannya. Efektivitas organisasi dinilai dari tiga hal (i) seberapa baik masyarakat setempat yang menjadi penerima manfaat mengenal KALAM/KARTAR, (ii) seberapa banyak pemuda yang mendapat pengaruh positif, dan (iii) seberapa besar dampak dari pengaruh positif yang diberikan. Pengolahan data tingkat efektivitas ini dilakukan secara deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa KALAM memiliki biaya transaksi yang lebih rendah dibanding KARTAR pada semua tahap transaksi. Pada tahap akuisisi, biaya transaksi di KALAM sebesar Rp 443.706,41 atau 20,35% dari biaya transaksi di KARTAR yang mencapai Rp 2.180.651,17. Selanjutnya, biaya transaksi pada tahap distribusi di KALAM mencapai Rp 27.514,13 atau 39,72% dari biaya transaksi di KARTAR yang sebesar Rp 69.266,34. Terakhir, tahap penjagaan di KALAM membutuhkan biaya transaksi sebesar Rp 602.168,12 atau 42,01% dari biaya transaksi di KARTAR yang mencapai Rp 1.433.428,43. Penjelasan akan lebih rendahnya biaya transaksi di KALAM pada ketiga tahapan transaksi adalah sebagai berikut: pada tahap akuisisi, kontrak yang dibuat antara KALAM dan mitra transaksinya adalah kontrak yang tidak lengkap. Kontrak yang tidak lengkap membutuhkan biaya informasi yang lebih rendah. Pada tahap distribusi, KALAM mendistribusikan hak kepemilikan secara lebih lengkap dan hal ini selanjutnya menyebabkan alokasi sumber daya dapat dilakukan lebih
efisien. Pada tahap penjagaan, market enforcement dapat dilakukan secara lebih murah di KALAM. Dua kondisi yang dipenuhi oleh KALAM sehingga market enforcement lebih murah dilakukan adalah (i) masing-masing pihak yang bertransaksi memiliki harapan untuk menjalin kerjasama dalam jangka panjang, dan (ii) informasi mengenai perilaku curang dapat diketahui dengan mudah. Dua kondisi ini menyiratkan kualitas jaringan yang dimiliki antar pihak yang bertransaksi. Terdapat keterkaitan antara tahap akuisisi dan tahap penjagaan. Kontrak akan cenderung dibuat tidak lengkap jika market enforcement murah untuk dilakukan. Market enforcement menjadi murah dilakukan jika antar pihak yang bertransaksi memiliki kualitas jaringan yang baik. Jaringan merupakan kategori struktural dari modal sosial. Tahap distribusi juga terkait dengan modal sosial. Hak kepemilikan didistribusikan lebih lengkap jika ada kepercayaan antar pihak yang bertransaksi, dan kepercayaan merupakan aspek dari modal sosial. Hasil dari analisis fungsi diskriminan menegaskan penjelasan sebelumnya. Dua faktor yang berpengaruh nyata terhadap perbedaan biaya transaksi antara KALAM dan KARTAR adalah kualitas jaringan dan tingkat kelengkapan hak kepemilikan. Penuturan masyarakat setempat di masing-masing kelurahan tempat KALAM dan KARTAR berlokasi menunjukkan bahwa KALAM dinilai lebih efektif dalam mencapai tujuannya dibanding KARTAR. KALAM dikenal lebih baik oleh masyarakat lokalnya dibanding KARTAR, bahkan untuk KARTAR sebanyak 30% responden menyatakan tidak tahu sama sekali mengenai tujuan dan kegiatannya. Responden juga menyatakan bahwa KALAM memberikan pengaruh positif yang berdampak kepada lebih banyak pemuda dibanding KARTAR. Meskipun penelitian ini tidak mengkorelasikan antara efektivitas pencapaian tujuan dan besaran biaya transaksi, tetapi dapat dinyatakan bahwa KALAM memiliki besaran biaya transaksi yang lebih rendah dan efektivitas yang lebih tinggi dan demikian sebaliknya pada KARTAR. Hasil penelitian ini menunjukkan interdependensi antar tahapan biaya transaksi, besaran biaya transaksi pada satu tahap akan mempengaruhi besaran pada tahap lainnya. Hasil ini juga menunjukkan besarnya pengaruh modal sosial terhadap minimalisasi biaya transaksi. Modal sosial yang baik menurunkan contracting costs dan enforcement costs serta mendistribusikan hak kepemilikan secara lebih lengkap. Hal ini pada akhirnya tidak hanya meminimalkan biaya transaksi saja melainkan juga mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan. Besarnya pengaruh modal sosial menyebabkan upaya-upaya penguatan kelembagaan hanya dapat utuh dilakukan jika mencakup juga penguatan modal sosial. Penguatan modal sosial membutuhkan investasi-investasi yang berjangka panjang. Oleh karena itulah salah satu karakteristik dasar dari New Institutional Economics adalah bahwa kelembagaan yang efisien adalah kelembagaan yang telah bertahan lama. Penguatan kelembagaan yang mencakup juga investasi pada modal sosial ini tidak dapat dilakukan secara cepat dan instan jika hendak mewujudkan kelembagaan yang efisien secara sosial dan efisien secara ekonomi.
© HAK CIPTA MILIK IPB, TAHUN 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
BIAYA TRANSAKSI PADA KELEMBAGAAN PEMUDA PERKOTAAN: STUDI KASUS DUA ORGANISASI PEMUDA DI KOTA BOGOR
ARIEF RAHMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: Biaya Transaksi pada Kelembagaan Pemuda Perkotaan: Studi Kasus Dua Organisasi Pemuda di Kota Bogor
Nama
: Arief Rahman
NRP
: A 155030161
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal lulus:
Tanggal ujian:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si
PRAKATA Penelitian yang memakan waktu lebih dari satu tahun ini pada masa-masa awal perumusannya dihadang dua pertanyaan besar: ”apa itu sebenarnya biaya transaksi?” dan ”bagaimana cara mengukurnya?”. Banyak energi dihabiskan untuk menjawab dua pertanyaan ini, dan arahan dari Bapak Prof.Dr.Ir. Akhmad Fauzi,M.Sc beserta Dr.Ir. Ernan Rustiadi selaku komisi pembimbing sangat membantu penulis untuk memahami hingga mewujud sebagaimana hasilnya saat ini. Masukan-masukan dari Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si selaku dosen penguji turut membentuk tesis ini. Untuk itu, penulis haturkan terima kasih. Kesediaan Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) dan Karang Taruna Berbakti untuk menjadi subyek penelitian turut menjadi penentu terselesaikannya penelitian ini. Dukungan istri dan anak tercinta beserta segenap keluarga memungkinkan penulis untuk terus melangkah. Kepedulian rekan-rekan senantiasa mengingatkan penulis untuk jangan pernah lalai. Atas kesemuanya itu, penulis haturkan terima kasih. Semoga kebermanfaatan penelitian ini tidak hanya dipetik penulis seorang tetapi juga lainnya.
Bogor, Agustus 2009
Arief Rahman
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada tanggal 03 Juni 1979 dari ayah Muhammad Sugeng Hidayat dan ibu Diah Darwati. Selepas SMA pada tahun 1997, penulis mulai menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. Pendidikan sarjana tersebut dapat penulis selesaikan pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, pendidikan penulis lanjutkan kembali dengan mengikuti Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Semenjak menempuh pendidikan sarjana, penulis telah berkenalan dan mengakrabi kehidupan lembaga swadaya masyarakat. Pada masa itu, penulis intens berhubungan dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman Trawas Mojokerto. Pengalaman tersebut membentuk penulis hingga di Bogor pun menggabungkan diri pada Perkumpulan Susur Alam lewat Alur Masyarakat (SALAM). Di perkumpulan tersebut, penulis menjabat Direktur semenjak tahun 2007 hingga bulan Juli 2008. Penulis juga menjadi peneliti lepas pada Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB. Kegiatan-kegiatan pada dua organisasi tersebut memfasilitasi penulis untuk turut menghasilkan beberapa buku dan modul utamanya mengenai community development dan participatory aproach. Dunia pendidikan juga menjadi minat penulis. Saat ini, penulis menjadi dosen tidak tetap di Universitas Pamulang untuk mata kuliah Perilaku Organisasi. Hampir bersamaan dengan kelulusan, penulis diterima bekerja sebagai Kepala Sekolah KALAM, sebuah sekolah informal di kota Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL................................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xvii 1
2
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2
Tujuan ............................................................................................ 12
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 13 2.1
Masyarakat dan Interaksi antar Anggotanya.............................. 13
2.2
Kelembagaan ................................................................................ 14 2.2.1 Kelembagaan dan Sumber Daya Wilayah .......................... 16 2.2.2 New Institutional Economics ............................................... 17
2.3
Biaya Transaksi ............................................................................ 18 2.3.1 Definisi Biaya Transaksi...................................................... 19 2.3.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi................................ 22 2.3.3 Macam-macam Penggolongan Biaya Transaksi................. 28 2.3.4 Pengukuran Biaya Transaksi .............................................. 29 2.3.5 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Hak Kepemilikan......................................................................... 31 2.3.6 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Kelembagaan ...................................................................... 36 2.3.7 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Modal Sosial.. 38 2.3.8 Contoh Permodelan Biaya Transaksi.................................. 42
2.4 3
Kajian Penelitian Terdahulu......................................................... 44
METODOLOGI ........................................................................................... 48 3.1
Kerangka Pendekatan Studi ........................................................ 48
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 52
3.3
Metode Penelitian yang Digunakan............................................. 53
3.4
Jenis dan Sumber Data ................................................................ 53
3.5
Teknik Pengambilan Responden................................................. 53
3.6
Pengukuran Besaran Biaya Transaksi pada KALAM dan KARTAR......................................................................................... 54
xii
3.7
Pengujian Faktor-faktor Kelembagaan yang Berpengaruh terhadap Minimalisasi Biaya Transaksi ...................................... 55 3.7.1 Analisis Fungsi Diskriminan ................................................ 56
3.8 4
5
Penilaian Efektivitas Kedua Organisasi Pemuda dalam Pencapaian Tujuan ....................................................................... 59
GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN .............................................. 61 4.1
Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM)........................ 61
4.2
Karang Taruna Berbakti ............................................................... 64
HASIL PENELITIAN .................................................................................. 68 5.1
Jenis Transaksi sebagai Unit Analisis........................................ 68
5.2
Besaran Biaya Transaksi pada KALAM ...................................... 68 5.2.1 Tahap Akuisisi..................................................................... 68 5.2.2 Tahap Distribusi .................................................................. 69 5.2.3 Tahap Penjagaan................................................................ 70
5.3
Besaran Biaya Transaksi pada KARTAR.................................... 73 5.3.1 Tahap Akuisisi..................................................................... 73 5.3.2 Tahap Distribusi .................................................................. 75 5.3.3 Tahap Penjagaan................................................................ 76
5.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Biaya Transaksi ........................................................................................................ 77
5.5
Efektivitas Kelembagaan dalam Pencapaian Tujuan ................ 79 5.5.1 Efektivitas KALAM............................................................... 79 5.5.2 Efektivitas KARTAR ............................................................ 81
6
PEMBAHASAN .......................................................................................... 83 6.1
Besaran Biaya Transaksi ............................................................. 83 6.1.1 Tahap Akuisisi..................................................................... 84 6.1.2 Tahap Distribusi .................................................................. 92 6.1.3 Tahap Penjagaan................................................................ 98
6.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Biaya Transaksi ...................................................................................................... 103 6.2.1 Keterkaitan Biaya Transaksi antar Tahap Transaksi ........ 107
7
6.3
Efektivitas Kelembagaan dalam Pencapaian Tujuan .............. 108
6.4
Implikasi Kebijakan .................................................................... 110
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 113 7.1
Simpulan...................................................................................... 113
7.2
Saran ............................................................................................ 114
xiii
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 116 LAMPIRAN ....................................................................................................... 120
xiv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Perbedaan definisi biaya transaksi berikut implikasinya antara golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan.................. 22
Tabel 2
Contoh karakter variabilitas dan karakter alterable sebagai vektor terhadap barang (goods) ..................................................... 24
Tabel 3
Asumsi yang mendasari dan situasi-situasi yang memunculkan biaya transaksi pada hak kepemilikan sumber daya fisik dan manusia .......................................................................................... 27
Tabel 4
Penghitungan biaya transaksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat 1870-1970.................................................. 30
Tabel 5
Rasio biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi ............................................. 45
Tabel 6.
Sumber daya yang dialokasikan pada tahap akuisisi dana program KALAM ............................................................................. 69
Tabel 7.
Sumber daya yang dialokasikan pada tahap distribusi dana program KALAM ............................................................................. 70
Tabel 8.
Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap penjagaan dana program KALAM ............................................................................. 72
Tabel 9.
Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap akuisisi dana program KARTAR ........................................................................... 74
Tabel 10.
Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap distribusi dana program KARTAR ........................................................................... 76
Tabel 11.
Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap penjagaan dana program KARTAR ........................................................................... 77
Tabel 12
Fungsi klasifikasi variabel-variabel bebas terhadap KALAM dan KARTAR ......................................................................................... 77
Tabel 13.
Signifikansi pengaruh masing-masing variabel bebas.................... 78
Tabel 14.
Biaya transaksi untuk kesemua tahapan pada KALAM dan KARTAR ......................................................................................... 83
Tabel 15.
Biaya transaksi pada tahap akuisisi dana program di KALAM dan KARTAR .................................................................................. 85
Tabel 16.
Biaya transaksi pada tahap distribusi dana program di KALAM dan KARTAR .................................................................................. 93
Tabel 17.
Biaya transaksi pada tahap penjagaan dana program di KALAM dan KARTAR .................................................................................. 99
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Kerangka pendekatan studi yang digunakan di dalam penelitian ini ............................................................................................ 51
Gambar 2
Lokasi KALAM di Kelurahan Tegal Gundil dan KARTAR di Kelurahan Kebon Pedes sebagai tempat penelitian. ...................... 52
Gambar 3
Bagan organisasi Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM). ........................................................................................ 62
Gambar 4
Kondisi awal PKL (gambar kiri) yang berdagang di trotoar dan tanpa kepastian usaha dan kondisi setelah terorganisasi dalam Saung Tegal Gundil (STG) (gambar kanan) ................................... 63
Gambar 5
Bagan organisasi Karang Taruna Berbakti (KARTAR) ................... 65
Gambar 6
Penilaian responden beneficiaries terhadap efektivitas KALAM..... 81
Gambar 7
Penilaian responden beneficiaries terhadap efektivitas KARTAR .. 82
Gambar 8
Komposisi biaya transaksi pada KALAM (gambar kiri) dan KARTAR (gambar kanan). .............................................................. 84
Gambar 9
Komposisi search cost dan contracting cost pada tahap akuisisi di KALAM dan KARTAR ................................................................. 92
Gambar 10 Komposisi monitoring internal dan eksternal pada tahap penjagaan di KALAM (gambar kiri) dan KARTAR (gambar kanan)........................................................................................... 101 Gambar 11 Interdependensi antar tahap biaya transaksi ................................ 108 Gambar 12 Pembandingan efektivitas KALAM dan KARTAR berdasarkan penilaian responden beneficiaries ................................................ 109
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kuesioner untuk responden pelaku.......................... 121 Lampiran 2. Kuesioner untuk responden beneficiaries ................ 125 Lampiran 3. Kategori dan skoring variabel penjelas .................... 127 Lampiran 4. Hasil skoring variabel penjelas................................. 129
xvii
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sumber daya adalah aset untuk memenuhi kepuasan manusia (Grima dan
Berkes, diacu dalam Fauzi 2004) atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu (Ensiklopedia Webster, diacu dalam Fauzi 2004) atau sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004). Sumber daya (resources) berbeda dengan modal (capital). Modal adalah sumber daya yang tidak dikonsumsi saat ini melainkan pada masa mendatang mengingat ada kemungkinan bahwa tingkat konsumsi di masa mendatang dapat lebih tinggi dibanding saat ini (Bates 1990, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Baik dikonsumsi saat ini maupun pada masa mendatang, sumber daya dan modal adalah sumber paling utama (ultimate source) dan gudang bagi seluruh produktivitas manusia (Jonsson et al. 1994, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Hanya saja, sumber daya bersifat langka (scarce). Selain langka, secara geografis keberadaannya di alam pun seringkali bersifat melekat pada lokasilokasi tertentu. Dengan demikian, sumber daya (khususnya sumber daya alam) secara geografis tersebar tidak merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Rustiadi et al. 2006). Hal inilah yang menjadi awal dari berkembangnya ilmu wilayah (regional science). Pemahaman akan prinsip-prinsip kelangkaan berimplikasi pada perlunya suatu sistem alokasi. Mengingat kelangkaannya, maka sumber daya haruslah dialokasikan seefisien dan seefektif mungkin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Inilah yang menjadi pilar utama dari perencanaan dan pengembangan wilayah, yaitu suatu sistem alokasi sumber daya yang bersifat langka (scarce) dan tersebar tidak merata, baik kuantitas maupun kualitasnya, dalam menghadapi keinginan manusia yang tidak terbatas (Rustiadi et al. 2006). Sistem alokasi sumber daya tidak hanya memuat tentang efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya tetapi juga memuat distribusi hak kepemilikan (distribution of property right). Sistem alokasi sumber daya tidak hanya mengatur bagaimana suatu sumber daya diekstraksi, tetapi juga mengatur siapa yang boleh mengekstraksi berikut apa saja dan berapa yang boleh
2
diekstraksi. Sistem alokasi sumber daya tidak hanya mengatur tentang pengelolaan, tetapi juga penguasaan. Tingkat penguasaan ditentukan oleh hak kepemilikan (property rights). Hak kepemilikan didefinisikan sebagai kewenangan eksklusif dari pihak yang memiliki sumber daya untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut digunakan (Alchian 2002). Lebih singkatnya Allen (1999) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai kapasitas untuk menentukan pilihan (exercise a choice) atas suatu barang atau jasa. Tanpa hak kepemilikan yang terdefinisikan dengan jelas (well-established property rights), maka setiap pihak akan berkompetisi untuk memiliki atau mengontrol sumber daya dengan cara kekerasan. Pada masa kolonialisme, tanah-tanah jajahan ditentukan oleh negara yang paling kuat. A world of anarchy, situasi itulah yang dinyatakan oleh Allen (2005) ketika hak kepemilikan tidak terdefinisikan. Berbeda halnya jika hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas. Setiap pihak akan berkompetisi untuk memiliki atau mengontrol sumber daya dengan cara-cara damai (competition by peaceful mean) (Alchian 2002). Elemen kunci dari kemajuan negara-negara Barat adalah hak kepemilikan yang jelas dan terjamin. Hak kepemilikan sekaligus juga sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi modern (North & Thomas 1973 dan North & Weingast 1989, diacu dalam Rodrik 1999).
Hak
kepemilikan
menyediakan
insentif
bagi
seseorang
untuk
mengumpulkan aset dan terus berinovasi (Rodrik 1999). Oleh karena itulah hak kepemilikan perlu untuk dibangun (establish) dan dijaga (maintain). Segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan disebut sebagai biaya transaksi (transaction costs) (Allen 1991). Implikasi dari definisi ini adalah biaya transaksi sebesar nol (zero transaction cost) adalah sama dengan well-established and well-maintaned property right. Demikian pula sebaliknya, biaya transaksi yang terlalu tinggi adalah sama dengan tidak adanya hak kepemilikan (absence of property rights). Pernyatakan seperti “jika diasumsikan biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan lengkap” adalah pernyataan dengan pengulangan yang tidak perlu (Allen 1999).
3
Pada kenyataannya, biaya transaksi tidak dapat dihilangkan. Biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata, artinya biaya transaksi akan selalu positif dan ada dimana-mana (ubiquitous) (Allen 1991, 2005). Hak kepemilikan tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumber daya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak suatu barang/sumber daya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005). Penyebabnya adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal (Rodrik 1999; Alchian 2002). Sebagai contoh adalah polusi suara yang diderita oleh pemilik rumah di tepi jalan raya. Pada situasi well-established property rights, maka pemilik rumah dapat menagih para pengguna jalan sebagai kompensasi atas polusi suara yang melintasi hak kepemilikannya (rumah di tepi jalan). Akan tetapi hal ini akan menjadi terlalu mahal terutama untuk pengawasannya. Ini adalah contoh dari eksternalitas. Contoh lain adalah seseorang yang melintasi halaman rumah milik orang lain tanpa permisi bukan lantas menjadikan si pemilik berhak untuk menembaknya. Ada peraturan-peraturan lain dalam bentuk hukum tertulis maupun norma yang membatasi hak kepemilikan. Semua masyarakat di negaranegara di dunia mempraktekkan pembatasan dari penggunaan hak kepemilikan privat sepanjang pembatasan itu dilakukan demi kepentingan publik (Rodrik 1999). Biaya transaksi tidak dapat dihilangkan tetapi dapat diminimalkan. Minimalisasi biaya transaksi adalah penting artinya tetapi minimalisasi biaya transaksi bukanlah tujuan melainkan sebuah proses antara untuk mencapai tujuan yang lebih luas dan spesifik pada sistem ekonomi seperti maksimalisasi profit untuk perusahaan, maksimalisasi utilitas untuk individu, dan maksimalisasi kesejahteraan masyarakat untuk pemerintah (Rao 2003). Sumber daya yang pada awalnya dialokasikan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan, maka dengan biaya transaksi yang diminimalkan sumber daya tersebut dapat direalokasikan untuk fungsi-fungsi produksi. Dengan biaya transaksi yang diminimumkan, maka eksternalitas negatif yang timbul dapat diinternalisasikan melalui proses bargaining (Fauzi 2005). Jika biaya transaksi sebesar nol, maka efisiensi dapat tercapai dan eksternalitas akan menghilang (Coase 1960, diacu
4
dalam Williamson 1993). Artinya, minimalisasi biaya transaksi menjadi prasyarat menuju peningkatan efisiensi dan pengurangan eksternalitas. Biaya transaksi diminimalkan salah satunya dengan modal sosial (social capital). Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menggolongkan modal sosial dalam dua kategori (i) kategori struktural, dan (ii) kategori kognitif. Kategori struktural adalah berbagai elemen dari organisasi sosial, khususnya peran (roles), aturan (rules), preseden (precedents), dan tata cara (procedures) sebagaimana juga berbagai jenis jaringan (networks) yang berkontribusi terhadap berlangsungnya kerjasama, dan lebih khususnya lagi adalah aksi bersama yang saling menguntungkan (MBCA: Mutually Beneficial Collective Action). Kategori kognitif berasal dari proses-proses mental dan berbagai gagasan, yang didukung oleh budaya dan ideologi, khususnya norma, nilai, sopan santun, dan keyakinan yang berkontribusi terhadap perilaku untuk bekerjasama dan MBCA. Lebih lanjut Uphoff menyatakan bahwa kategori struktural inilah, utamanya dalam bentuk jaringan, yang menurunkan biaya transaksi karena interaksi yang sudah terpola menyebabkan hasil yang didapatkan dari kerjasama dapat lebih diprediksikan dan menguntungkan. Stiglitz (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menambahkan orang yang berada dalam satu jaringan yang sama akan lebih saling mengenal satu sama lain berikut ekspektasinya. Selain kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan, ada aspek lain yang dapat meminimalkan biaya transaksi yaitu reputasi (Solow 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999; Stiglitz 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Jika Solow tidak mengaitkan reputasi dengan modal sosial (karena Solow tidak setuju dengan penggunaan konsep modal dalam modal sosial), maka Stiglitz melihat bahwa reputasi adalah salah satu dari empat aspek modal sosial (tiga lainnya adalah tacit knowledge, collection of networks, dan organizational capital). Reputasi dapat meminimalkan biaya transaksi karena reputasi memunculkan kepercayaan (trust), dan dengan kepercayaan itulah maka tidak diperlukan lagi sumber daya untuk mencegah perilaku-perilaku eksploitatif (Solow 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Selain
modal
sosial,
biaya
transaksi
juga
diminimalkan
melalui
kelembagaan (institution). Begitu banyak literatur yang menyatakan bahwa kelembagaan dapat meminimalkan biaya transaksi (diantaranya Lin & Nugent
5
1995, diacu dalam Rodrik 1999; Allen 2005; Fauzi 2005). Hasil-hasil penelitian juga banyak yang menegaskan fungsi kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi (diantaranya Masten et al 1991, diacu dalam Allen 1999; Cordella 2001; Gabre-Madhin 2001; Poel 2005). Ilmu ekonomi memang menerjemahkan institution sebagai kelembagaan tetapi cabang ilmu lain seperti sosiologi dan antropologi menerjemahkan institution sebagai pranata. Ada juga yang menerjemahkan institution sebagai institusi seperti pada terjemahan buku berjudul The Sociology of Social Change karya PiÖtr Sztompka (1993). Terdapat banyak definisi yang ditawarkan (diantaranya Schotter 1981, diacu dalam Williamson 1993; Sztompka 1993; Lin & Nugent 1995, diacu dalam Rodrik 1999; Koentjaraningrat 2002; Helmke & Levitsky 2003; North 1991, diacu dalam Poel 2005). Bukannya saling bertentangan,
tetapi
berbagai
jenis
definisi
yang
ditawarkan
tersebut
mengandung tiga kesamaan substansi kelembagaan yaitu (i) kelembagaan adalah aturan main, (ii) aturan tersebut menata tindakan atau perilaku dari kumpulan manusia tersebut, dan (iii) karena ditata, maka tindakan atau perilaku tersebut menjadi berpola atau menjadi kebiasaan. Jika kelembagaan adalah aturan main, maka satu hal yang menarik adalah Chhibber (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menyamakan antara kelembagaan informal dengan modal sosial. Definisi yang ditawarkan oleh North adalah definisi yang paling banyak diterima berbagai kalangan (Poel 2005). Definisi kelembagaan dinyatakan sebagai berikut (North 1995): “humanly devised constraints that structure human interaction.”
Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999) melengkapi definisi tersebut dengan menyatakan bahwa kelembagaan adalah: "a set of humanly devised behavioral rules that govern and shape the interactions of human beings, in part by helping them to form expectations of what other people will do."
Satu kesalahan adalah ketika institution disamakan dengan organization. Kelembagaan berbeda dengan organisasi. Jika kelembagaan adalah aturan main, maka organisasi adalah pemainnya. Organisasi sebenarnya subkomponen dari kelembagaan (Poel 2005). Secara lengkapnya, organisasi didefinisikan sebagai sekelompok individu yang diikat oleh satu keinginan bersama untuk
6
mencapai tujuan tertentu (North, diacu dalam Shirley 2004, diacu dalam Poel 2005). Kelembagaan
adalah
fungsi
dari
biaya
transaksi
(Allen
2005).
Penjelasannya adalah bahwa kelembagaan mengalokasikan/mendistribusikan hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1999). Berdasarkan rezim pengelolaan sumber daya, hak kepemilikan didistribusikan dalam tiga bentuk (i) hak kepemilikan publik/pemerintah (public/state property), (ii) hak kepemilikan privat (private property), dan (iii) hak kepemilikan bersama (common property). Allen (2005) menyatakan: “…institution as a distribution of property rights; that is a set of rules and constraints that define our ability to exercise choices…”
Kelembagaan menjadi tidak memiliki pengaruh apapun pada situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Teori Coase menyatakan: “In the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of property rights.”
Arti dari teori ini adalah aturan main (dalam bentuk distribusi hak kepemilikan) menjadi tidak berpengaruh pada situasi ketika tawar menawar (bargaining) dapat dilakukan tanpa biaya (costlessly), sebuah situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Contoh yang diajukan oleh Coase adalah ketika seorang peternak berurusan dengan petani yang menjadi tetangganya mengenai hewan ternaknya yang sering melintasi lahan pertanian. Pada situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol, maka berapa banyak jumlah ternak yang boleh melintasi lahan pertanian tidak tergantung pada apakah peternak memiliki hak atau tidak, melainkan ditentukan oleh tingkat output yang dapat mewujudkan maksimalisasi kesejahteraan bersama (joint wealth maximizing level of output) antara peternak dan petani (Allen 2002). Sederhananya, teori Coase adalah aplikasi ilmu ekonomi terhadap situasi ketika tawar menawar dapat dilakukan tanpa biaya dan aturan main berubah (Allen 2005). Tetapi, karena biaya transaksi selalu positif maka fungsi kelembagaan menjadi penting. Allen (2005) menyatakan secara tegas keterkaitan antara biaya transaksi dengan kelembagaan: “…when transaction costs are zero, then the institutional rules do not matter. When transaction costs are positive (which they always are) then institution have significant consequences for the allocation of resources.”
7
Kelembagaan meminimalkan biaya transaksi selain melalui distribusi hak kepemilikan juga melalui pengurangan tingkat ketidakpastian (uncertainty) pada saat pertukaran terjadi (North 1995). Sebagaimana dinyatakan oleh Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999), kelembagaan membantu orang untuk membangun
perkiraan
tentang
apa
yang
akan
dilakukan
orang
lain.
Kelembagaan juga meminimalkan biaya transaksi melalui pengaruhnya terhadap bagaimana organisasi-organisasi memilih bentuk kontrak, apakah kontrak yang lengkap
(complete/complex
contract)
atau
kontrak
yang
tidak
lengkap
(incomplete/simple contract). Holmstrom dan Tirole (1989 diacu dalam Masten dan Saussier 2001) mencirikan kontrak yang lengkap adalah kontrak yang (i) menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak pada setiap kemungkinan kondisi (every possible contingency), dan (ii) memberikan kemungkinan hasil terbaik (the best possible outcome) berdasarkan informasi yang tersedia saat kontrak dibuat sehingga tidak akan diperlukan lagi revisi atau upaya untuk melengkapi. Kelembagaan yang berjalan dengan baik dapat mengurangi kebutuhan untuk membuat kontrak yang lengkap. Hal ini dikarenakan kelembagaan yang berjalan dengan baik memunculkan praktekpraktek baik yang menjadi kelaziman (diistilahkan dengan common law) sehingga segala bentuk penyelewengan terhadapnya akan mudah teridentifikasi dan kontrak yang lengkap menjadi tidak lagi dibutuhkan (Allen 2002). Vitalnya nilai kelembagaan tersebut menjadikan aspek kelembagaan sebagai salah satu dari empat pilar pokok ilmu wilayah (tiga lainnya adalah aspek inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumber daya, aspek ekonomi, dan aspek lokasi). Sistem kelembagaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat sangat menentukan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya (Rustiadi et al 2006). Kelembagaan sosial (social institutions), menurut banyak ekonom seperti Douglass North, Oliver Williamson, dan Ronald Coase, lebih efisien dalam urusan mekanisme alokasi sumber daya, utamanya ketika terdapat biaya transaksi dalam pengalokasiannya (Stiglitz, 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed] 1999). Dalam kasus masyarakat tradisional, kelembagaan pasar non formal yang dibangun oleh masyarakat sebagai media bertransaksi seringkali lebih efisien dibandingkan kelembagaan pasar formal yang lebih mahal biaya transaksinya (Anwar 1994). Sedangkan kelembagaan formal, sebagai contoh adalah negara (state), membebankan biaya transaksi yang begitu besar
8
pada proses seperti pendirian usaha baru (setting up a new business) atau restrukturisasi usaha lama, dan seringkali dibutuhkan penyuapan (Chhibber 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Banyak penelitian yang mendukung bahwa kelembagaan informal lebih efisien dan lebih dapat meminimumkan biaya transaksi daripada kelembagaan formal. Penelitian yang dilakukan oleh Gabre-Madhin (2001) menunjukkan bahwa norma dan aturan yang mengatur hubungan antara pedagang (traders) dan pedagang perantara (brokers) pada pasar tanaman biji-bijian (grains) di Etiopia dapat mengurangi perilaku curang (cheating) yang mungkin dilakukan oleh
pedagang
perantara.
Sukmadinata
(1995)
di
dalam
disertasinya
menyatakan bahwa kelembagaan formal penjualan hasil tangkapan melalui Tempat-tempat
Pelelangan
Ikan/Pusat-pusat
Pendaratan
Ikan
(TPI/PPI)
menyebabkan biaya transaksi yang lebih tinggi bagi nelayan dibandingkan dengan jika nelayan menjual hasil tangkapannya di luar TPI/PPI. Yani (1999) di dalam tesisnya menyatakan bahwa mekanisme kontrak informal antara nelayan kerapu yang menggunakan alat tangkap keramba jaring apung kerapu dengan tauke (tauke adalah orang-orang yang memiliki modal usaha di bidang perikanan dan memberikan pinjaman modal usaha kepada nelayan) untuk urusan penjualan ikan mampu menurunkan biaya transaksi sebesar Rp 19.436,88 untuk setiap ekor ikan kerapu yang diperdagangkan. Mekanisme kontrak informal dapat meminimumkan biaya transaksi yang dihadapi nelayan utamanya dikarenakan transaksi didasari oleh sikap saling percaya (trust) dan kekeluargaan sebagai kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama dalam struktur masyarakat nelayan pantai. Penelitian yang dilakukan oleh Poel (2005) mengenai kelembagaan informal, biaya transaksi, dan rasa saling percaya dengan studi kasus pembangunan rumah oleh kaum migran di Ghana menyatakan bahwa kelembagaan baru dapat meminimumkan biaya transaksi jika kelembagaan tersebut dapat mendorong munculnya
saling
percaya
(trust)
terlebih
dahulu.
Saling
percaya
menghubungkan kelembagaan dengan biaya transaksi. Sikap saling percaya dan kekeluargaan adalah kategori kognitif dari modal sosial (meliputi norma, nilai, sikap, dan keyakinan), kategori yang sulit dijumpai pada kelembagaan formal mengingat pada kelembagaan formal lebih didominansi oleh kategori struktural (peran, aturan, keteladanan, dan tata cara).
9
Tetapi, tidak selamanya kelembagaan informal itu efisien. Stiglitz menunjukkan kelembagaan sosial yang disfungsional (dysfunctional social institutions), misalnya adalah Kolombia, Amerika Serikat, Meksiko, dan lainnya akan menjadi lebih baik tanpa adanya perdagangan narkotika (narcotics trafficking). Tanpa adanya perdagangan narkotika, maka tingkat pendapatan yang sama (the same level of income) akan dapat lebih dinikmati (Stiglitz, 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kelembagaan pun tidak selalu didesain agar efisien secara sosial (socially efficient). Bahkan, kerap kali kelembagaan didesain hanya untuk melayani kepentingan dari pihak yang memiliki kuasa untuk membuat peraturan-peraturan (North 1995). Kelembagaan dapat didesain untuk mengurangi biaya transaksi, tetapi seringkali yang terjadi adalah sebaliknya (Rao 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi. Untuk itu, penelitian ini diawali dengan pengukuran biaya transaksi. Pengukuran biaya transaksi adalah sebuah tantangan. Hal ini dikarenakan, pertama, tidak ada variabel terukur yang langsung dapat menghitung biaya transaksi. Dalam daftar input produksi, tidak ada komponen yang dinamakan biaya transaksi. Biaya transaksi tidak dapat dihitung
secara
langsung
melainkan
diperkirakan
(estimated)
dengan
menggunakan berbagai variabel proxies (Gabre-Madhin 2001; Allen 2002). Kedua, teori mengenai biaya transaksi belum sama diterima umum. Terdapat perbedaan bahkan mengenai definisi biaya transaksi itu sendiri (Allen 2002). Allen (1991, 1999) menggolongkan dua mazhab yang berbeda dalam mendefinisikan biaya transaksi: neoclassical approach dan property right approach. North (1995) mengistilahkan pendekatan yang digunakannya sebagai University of Washington approach. Dengan segala perbedaan itu, biaya transaksi hanya dipersatukan oleh kesepakatan bahwa konsep ini memiliki nilai penting (North 1995). Hingga tahun 1999, Allen (1999) menyatakan bahwa hanya terdapat dua penelitian saja yang mencoba mengukur biaya transaksi. Satu penelitian dilakukan oleh Wallis & North (1986), dan satu penelitian lainnya dilakukan oleh Masten, Meehan & Snyder (1991). Tantangan ini tentu memberikan gairah tersendiri terhadap penelitian yang akan dilakukan ini. Kontribusi Allen melalui berbagai makalah di berbagai jurnal (1991, 1999, 2005) adalah nyata terhadap
10
penelitian
ini
untuk
mencoba
menjawab
tantangan
tersebut,
termasuk
membentuk mazhab yang dianut dalam penelitian ini yaitu property right approach. Penelitian mengenai kelembagaan dapat dilakukan terhadap organisasi. Meskipun kelembagaan itu berbeda dengan organisasi, tetapi aturan main pada kelembagaan melekat di dalam organisasi (Helmke & Levitsky 2003). Organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di dalamnya diatur oleh sistem kelembagaan (Rustiadi et al 2006). Hasil
penelitian
terdahulu
yang
dilakukan
oleh
Iskandar
(2004)
menunjukkan bahwa organisasi pemuda dapat turut berinvestasi dalam modal sosial. Organisasi pemuda yang dimaksud adalah Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM), sebuah organisasi yang bergerak di tingkat kelurahan dan berlokasi di Kelurahan Tegal Gundil Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor. Investasi terhadap modal sosial dilakukan oleh KALAM melalui pembuatan koran komunitas. Tidak hanya berinvestasi dalam modal sosial, KALAM sebagai organisasi pemuda juga turut mengelola sumber daya lokal. Para pedagang kaki lima diorganisir dalam satu wadah disebut dengan STG (Saung Tegal Gundil), dan jika sebelumnya para PKL tersebut berdagang dengan menempati trotoar, maka setelah diorganisir terbangunlah saung bambu yang apik bagi tempat para PKL berdagang tanpa mengganggu satupun pohon-pohon peneduh jalan hingga trotoar pun kembali pada fungsinya semula. Melalui pengorganisasian ini pula maka para PKL yang sebelumnya berdagang tanpa kepastian perizinan menjadi mendapatkan kepastian usaha dengan diberikannya izin usaha oleh Walikota Bogor. Pembangunan
STG
pun
diapresiasi
oleh
pemerintah
dengan
menjadikannya salah satu juara dalam Lomba Karya Inovasi Penataan Ruang yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Lomba yang diadakan dalam rangka memperingati World Town Planning Day 2008 itu berskala nasional. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan KALAM memberikan pengaruh terhadap pengelolaan wilayah, khususnya dalam hal penataan ruang dan peningkatan aktivitas ekonomi. Adanya STG menunjukkan bahwa organisasi pemuda seperti KALAM memiliki potensi daya ungkit (leveraging) bagi pembangunan wilayahnya.
11
Hal-hal inilah yang mendasari sehingga organisasi pemuda KALAM menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Investasinya terhadap modal sosial menandakan bahwa modal sosial organisasi KALAM telah baik sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap minimalisasi biaya transaksi. Perannya dalam pengelolaan sumber daya lokal menjadikan KALAM sebagai organisasi pemuda penting dalam konteks pembangunan wilayah. Apalagi, dalam konteks wilayah perkotaan terdapat kecenderungan terjadinya “youth bulge”, ialah meningkatnya jumlah populasi pemuda dan ini utamanya terjadi di negara-negara berkembang. Menggunakan definisi pemuda versi
Rancangan
Undang-Undang
(RUU)
tentang
Kepemudaan
yang
menyebutkan bahwa pemuda ialah orang dalam rentang usia 18-35 tahun, maka jumlah pemuda dalam populasi penduduk Indonesia mencapai 32% (BPS 2008). Fenomena youth bulge ini pada gilirannya mendorong perhatian yang lebih terhadap penciptaan lapangan kerja, tingkat kriminalitas dan kekerasan, serta kesetaraan peluang (Hoornweg et al. 2007). Fenomena youth bulge memiliki pengaruh nyata terhadap ekonomi, sosial, dan budaya (Hansen et al. 2008). Untuk kepentingan pembandingan dan pengujian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi maka ditentukanlah Karang Taruna Berbakti (KARTAR) Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor sebagai pembanding KALAM. Kesamaan-kesamaan antara KALAM dan KARTAR adalah (i) bergerak di tingkat kelurahan, dan (ii) berprestasi di tingkat Kota Bogor hingga Provinsi Jawa Barat. Baik KALAM dan KARTAR juga sama-sama merupakan kelembagaan yang telah bertahan lama. KALAM didirikan pada tanggal 10 Agustus 2002 sedangkan KARTAR jauh lebih dahulu yaitu pada tanggal 3 Oktober 1982. Usia kelembagaan menjadi penting karena hal ini menjadi salah satu dari dua karakteristik dasar New Institutional Economics (NIE) (Allen 2005): “…the NIE has two critical characteristics. First, it views long lived institution as efficient and therefore proper subject of economic inquiry.”
Penelitian yang dilakukan akan menghasilkan pengetahuan mengenai pengaruh dari kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi. Pengetahuan ini
diharapkan
kelembagaan.
dapat
berkontribusi
terhadap
upaya-upaya
penguatan
12
Penguatan kelembagaan menjadi istilah yang populer dan kerap kali didengungkan oleh banyak pihak dari beragam sektor. Hal ini salah satunya didasari oleh kecenderungan bahwa banyak kelembagaan, baik formal maupun informal, yang semakin melemah sehingga tidak mampu lagi mengatur dan membentuk pola perilaku para anggotanya. Kelembagaan yang ada pun banyak diduga tidak efisien secara sosial melainkan hanya melayani kepentingan pihak yang memiliki kuasa untuk membentuk peraturan-peraturan. Menurut Rachbini (2001), pembangunan kelembagaan adalah unsur paling lemah dalam pemerintahan Indonesia selama 30 tahun terakhir ini. Cepatnya pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh kelembagaan yang modern dan kuat sehingga Indonesia tergelincir ke dalam krisis sosial politik yang akut. Penguatan kelembagaan tidak lengkap dipahami dan dilakukan hanya melalui pembuatan atau revitalisasi aturan main saja. Penguatan kelembagaan yang menjadi agenda penting nasional dan dilaksanakan oleh multi sektor dan multi pihak ini hanya dapat utuh dipahami dan dilakukan jika memperhatikan sisi minimalisasi biaya transaksi yang memang menjadi fitrah dari kelembagaan: kesepakatan yang meminimumkan biaya transaksi (Fauzi 2005). Atas dasar inilah penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.
1.2
Tujuan
1. Mengetahui besaran biaya transaksi pada dua kelembagaan pemuda yang menjadi studi kasus. 2. Mengetahui faktor-faktor dari kelembagaan yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi. 3. Mengetahui efektivitas kedua kelembagaan dalam mencapai tujuannya.
13
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat dan Interaksi antar Anggotanya Di dalam kehidupan bermasyarakat selalu terjadi interaksi. Setiap
masyarakat merupakan suatu kesatuan individu yang antara satu dan lainnya berada dalam hubungan interaksi yang berpola mantap (Koentjaraningrat 2002) dan salah satu bentuk interaksi itu adalah pertukaran ekonomi. Interaksi tersebut dapat dijalankan karena pada masyarakat terdapat prasarana untuk berinteraksi seperti jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, media massa baik cetak maupun elektronik,
hingga
upacara-upacara
pada
hari-hari
besar
tertentu
(Koentjaraningrat 2002). Tetapi bukan berarti sekumpulan manusia yang saling berinteraksi tersebut dapat serta merta disebut sebagai masyarakat, karena bisa jadi sekumpulan manusia itu sebenarnya adalah kerumunan (crowd). Anggota kerumunan bisa jadi saling berinteraksi satu sama lain. Hal yang membedakan antara masyarakat dengan kerumunan adalah bahwa masyarakat memiliki pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan, dan pola tingkah laku itu bersifat mantap dan berkesinambungan, atau telah menjadi adat istiadat yang khas. Pola tingkah laku itu dapat menjadi mantap dan berkesinambungan karena adanya sistem norma, hukum, dan aturan-aturan khas (Koentjaraningrat 2002). Terakhir, ciri lain yang melekat pada sekumpulan manusia yang disebut masyarakat adalah dimilikinya rasa identitas diantara para warga atau anggotanya. Rasa identitas ini membuatnya menjadi satu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya (Koentjaraningrat 2002). Konsep interaksi sangat penting dalam menganalisis masyarakat. Interaksi itu terjadi bila seorang anggota masyarakat berbuat demikian rupa sehingga menimbulkan respon atau reaksi dari anggota lainnya. Dalam menganalisis proses interaksi harus dibedakan dua hal pokok antara (i) kontak, dan (ii) komunikasi. Kontak antar individu tidak hanya mungkin terjadi pada jarak dekat seperti misalnya berhadapan muka atau sejauh jangkauan panca indera manusia saja, melainkan dapat terjadi pada jarak yang teramat jauh melalui alat-alat kebudayaan masa kini seperti buku, media massa, telepon, dan teknologi informasi. Ketika buku dibaca, maka telah terjalin kontak antara pembaca dengan penulis. Komunikasi muncul setelah terjadi kontak dalam bentuk reaksi
14
pihak kedua sebagai akibat ditangkapnya pesan yang dikeluarkan oleh pihak pertama (Koentjaraningrat 2002). Adanya kontak belum berarti adanya komunikasi, seperti misalnya seorang pembaca yang tidak dapat memahami tulisan seorang penulis. Sering terjadi juga ketika pesan yang dikeluarkan oleh pihak pertama ditangkap secara berbeda oleh pihak kedua sehingga menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan. Banyak proses interaksi di masyarakat yang berlangsung semacam itu sehingga menimbulkan berbagai ketegangan (Koentjaraningrat 2002).
2.2
Kelembagaan Ilmu sosiologi dan antropologi menerjemahkan institution sebagai pranata.
Pranata adalah sistem aturan-aturan yang menata rangkaian tindakan sehingga dapat berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat 2002). Institution seringkali juga dialihbahasakan menjadi institusi. Terjemahan dari buku The Sociology of Social Change karya PiÖtr Sztompka menyebutkan bahwa institusi sosial adalah ikatan dalam bentuk aturan (seperti nilai, norma, ketentuan, dan cita-cita) yang menghubungkan antar individu dalam kehidupan bersama (Sztompka 1993). Ilmu ekonomi menerjemahkan institution sebagai kelembagaan. North (1991, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah batasan-batasan yang dibuat oleh manusia (humanly devised constraints) sehingga interaksi politik, ekonomi, dan sosial dapat lebih terstruktur. Schotter (1981, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah kebiasaan dalam bertingkahlaku yang disetujui bersama oleh para anggota masyarakat sekaligus sebagai pengatur dalam bertingkahlaku pada situasisituasi tertentu. Satu definisi yang cukup lengkap mengenai kelembagaan diajukan oleh Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999) yang menyatakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat aturan mengenai perilaku yang dibuat oleh manusia yang mengatur dan membentuk interaksi antar individu sehingga orang dapat terbantu untuk membangun perkiraan tentang apa yang orang lain akan lakukan. Beragam kata yang menjadi terjemahan dari kata institution tersebut memiliki garis kesamaan substansi. Kesamaan tersebut adalah (i) di dalam institution terkandung aturan, (ii) aturan tersebut menata tindakan atau perilaku
15
dari kumpulan manusia tersebut, dan (iii) karena ditata, maka tindakan atau perilaku tersebut menjadi berpola atau menjadi kebiasaan. Mengingat penelitian ini dibangun dari ilmu ekonomi dan nomenklatur kelembagaan lebih umum digunakan dibandingkan dengan pranata, maka penelitian ini menggunakan nomenklatur kelembagaan. Kelembagaan (institution) seringkali disangka orang memiliki arti yang sama dengan organisasi. Ini adalah sebuah kesalahan karena organisasi sebenarnya subkomponen dari kelembagaan (Poel 2005). Jika kelembagaan adalah aturan main, maka organisasi adalah pemainnya. Secara lengkapnya, organisasi didefinisikan sebagai sekelompok individu yang diikat oleh satu keinginan bersama untuk mencapai tujuan tertentu (North, diacu dalam Shirley 2004, diacu dalam Poel 2005). Kehidupan bermasyarakat menuntut adanya kelembagaan. Ungkapan Latin kuno menyatakan ubi societas ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Setiap jenis interaksi dan kerjasama mensyaratkan adanya norma bersama. Norma bersama adalah salah satu hal yang menyebabkan orang dapat memprediksi perilaku orang lain (Segerstedt, diacu dalam Sztompka 1993). Norma bersama adalah salah satu contoh dari kelembagaan. Adanya kebutuhan akan kelembagaan mendorong manusia untuk membuatnya. Sistem aturan sosial adalah buatan manusia (Burns & Flam, diacu dalam Sztompka 1993). Manusia melakukannya melalui tiga cara (i) penciptaan, (ii) penafsiran (interpretasi), dan (iii) penerapan. Pembuatan kelembagaan menjadi medan konflik sosial dan perjuangan dan medan politik. Kelembagaan, yang dilahirkan dari tindakan manusia, pada akhirnya juga akan memaksa tindakan manusia (Sztompka 1993). Jumlah kelembagaan yang dibuat oleh suatu masyarakat tergantung pada kompleksitas kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Semakin kompleks kebudayaan, maka akan semakin banyak jumlah kelembagaannya. Mengingat masyarakat selalu menjadi semakin kompleks, maka jumlah kelembagaan pun menjadi selalu bertambah (Koentjaraningrat 2002).
16
2.2.1 Kelembagaan dan Sumber Daya Wilayah Kelembagaan menjadi salah satu pilar dari ilmu wilayah (regional science). Jika ilmu wilayah bertitik tolak dari fakta bahwa sumber daya tidak hanay langka tetapi juga tersebar tidak merata secara spasial, maka kelembagaan berperan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumber daya yang langka dan tersebar tidak merata tersebut secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Sistem kelembagaan yang ada mempengaruhi penguasaan dan pengelolaan sumber daya tersebut, misalnya penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat adat sekitar hutan yang dipengaruhi oleh aturan adat (Rustiadi et al. 2006). Kelembagaan dapat dilihat sebagai distribusi hak kepemilikan, yaitu seperangkat aturan yang mendefinisikan kapasitas seseorang untuk menentukan pilihan atas penggunaan suatu sumber daya (Allen 2005). Tanpa distribusi hak kepemilikan, maka kompetisi atas suatu sumber daya akan berlangsung dengan kekerasan hingga menjadi dunia yang anarkis (Alchian 2002; Allen 2005). Sumber daya baru dapat dikatakan sebagai sumberdaya apabila telah memenuhi dua kriteria yaitu (i) manusia memiliki pengetahuan dan teknologi untuk memanfaatkannya, dan (ii) ada permintaan terhadap sumberdaya tersebut (Fauzi 2004). Sebagai gambaran, pada masa dimana manusia belum mengetahui bagaimana eksplorasi minyak bumi dan manusia juga masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, maka pada masa itu minyak bumi bukanlah sumberdaya. Sumber daya (resources) berbeda dengan modal (capital). Jika sumber daya adalah aset untuk memenuhi kepuasan manusia (Grima dan Berkes, diacu dalam Fauzi 2004) atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu (Ensiklopedia Webster, diacu dalam Fauzi 2004) atau sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004), maka modal adalah sumber daya yang tidak dikonsumsi saat ini melainkan pada masa mendatang mengingat ada kemungkinan bahwa tingkat konsumsi di masa mendatang dapat lebih tinggi dibanding saat ini (Bates 1990, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Secara garis besar, modal dibagi menjadi dua yaitu modal alam (natural capital) dan modal buatan manusia (human-made capital, untuk selanjutnya disebut modal buatan) (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).
17
Jelas bahwa pembeda utama antara kedua golongan itu adalah apakah keberadaan sumber daya tersebut dibuat oleh manusia ataukah terbentuk melalui proses alamiah (Fauzi 2004). Modal alam adalah sumber paling utama (ultimate source) dan gudang bagi seluruh produktivitas manusia (Jansson et al. 1994, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal buatan itu terbagi lagi menjadi modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital). Modal fisik meliputi banyak jenis seperti bangunan, jalan, bahkan hewan ternak dan berbagai peralatan (tools). Modal manusia adalah pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan dan diimplementasikan manusia pada aktivitasnya. Modal manusia ini dapat dibentuk secara sadar melalui pendidikan dan pelatihan maupun dibentuk secara tak sadar melalui pengalaman (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal sosial akan dijelaskan dalam sub bab tersendiri selanjutnya.
2.2.2 New Institutional Economics Secara konseptual, biaya transaksi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1937 oleh Ronald Coase dengan makalahnya berjudul The Nature of the Firm. Tetapi makalah tersebut tidak hanya memperkenalkan biaya transaksi ke dalam analisis ekonomi semata, melainkan juga menjadi awal dari apa yang disebut dengan New Institutional Economics. Istilah New Institutional Economics sendiri diciptakan
oleh
Oliver
Williamson
untuk
membedakannya
dengan
Old
Institutional Economics (Coase 1998). New
Institutional
Economics
berangkat
dari
pemahaman
bahwa
kesejahteraan (welfare) masyarakat ditentukan oleh aliran barang dan jasa, sedangkan aliran ini ditentukan oleh produktivitas sistem ekonomi. Adam Smith menjelaskan bahwa produktivitas sistem ekonomi bergantung pada pembagian kerja (division of labor) atau spesialisasi, tetapi spesialisasi ini hanya dapat terjadi ketika pertukaran (exchange) dapat dilakukan. Ada biaya untuk melakukan pertukaran, dan ketika pertukaran dapat dilakukan dengan biaya yang semakin rendah, maka pada gilirannya spesialisasi akan semakin banyak sehingga produktivitas dari sistem ekonomi menjadi meningkat (Coase 1998). Artinya, tinggi rendahnya biaya untuk melakukan pertukaran (the costs of exchange) mempengaruhi tingkat produktivitas dari suatu sistem ekonomi.
18
Tetapi
biaya
untuk
melakukan
pertukaran
ini
dipengaruhi
oleh
kelembagaan yang ada dimana di dalam kelembagaan tersebut mencakup sistem hukum, sistem politik, sistem sosial, sistem pendidikan, budaya, dan lainnya. Melihat keterkaitan ini, maka dapat dinyatakan bahwa kelembagaanlah yang menentukan kinerja perekonomian dan hal ini yang menjadi arti penting dari New Institutional Economics (Coase 1998). Allen (2005) menyatakan bahwa: “institutions are chosen (either explicitly through a conscious act or implicitly through trial and error) to maximize the gains from trade and production net of transaction costs.”
Ini disebut oleh Allen sebagai hipotesis utama (grand hypothesis) dari New Institutional Economics. Pada hipotesis ini dapat dilihat perpaduan antara kerangka neoklasik (maximize the gains from trade and production) dengan kerangka kelembagaan (net of transaction costs). Allen
(2005)
selanjutnya
menambahkan
bahwa
New
Institutional
Economics memiliki dua karakter kritis (critical characteristics): pertama, asumsinya bahwa biaya transaksi selalu positif, dan kedua, kelembagaan yang dijadikan subyek penelitian ekonomi adalah kelembagaan yang telah lama bertahan (long lived institutions) karena menandakan bahwa kelembagaan tersebut efisien (Allen 2005).
2.3
Biaya Transaksi Secara konseptual, biaya transaksi diperkenalkan pertama kali pada tahun
1937 oleh Ronald Coase dengan makalahnya berjudul The Nature of the Firm. Coase sendiri menyatakan (Coase 1998): “It is commonly said, and it may be true, that the new institutional economics started with my article, The Nature of the Firm (1937), with its explicit introduction of transaction costs into economic analysis.”
Coase sendiri tidak pernah mendefinisikan biaya transaksi. Hanya saja, Coase menyatakan bahwa terdapat biaya atas penggunaan mekanisme harga (the cost of using the price mechanism) (Allen 1999). Penjelasan mengenai pernyataan tersebut diawali dengan pertanyaan Coase (1992 dalam Allen 1999): “We had a factor of production, management, whose function was to coordinate. Why was it needed if the pricing system provided all the coordination necessary?”
19
Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa terdapat biaya untuk menggunakan mekanisme harga. Contoh dari biaya semacam ini yang diberikan oleh Coase misalnya adalah proses mencari harga (discovering what prices are) serta negosiasi dan pembuatan kontrak (Allen 1999). Mekanisme harga digunakan untuk mengalokasikan sumber daya, dan ketika ada biaya untuk menjalankan mekanisme harga tersebut, maka mekanisme tersebut akan bersaing dengan mekanisme lain seperti perusahaan (firms) dan pemerintah. Setiap metode alokasi sumber daya tidak pernah gratis, selalu ada biayanya. Coase berargumen bahwa ada saat ketika mekanisme perusahaan dan manajemennya menggantikan pasar, dan ada saat lainnya ketika harga pasar (market prices) digunakan untuk mengalokasikan barang dan jasa (Allen 1999). Setelah The Nature of the Firm yang ditulis pada tahun 1937, baru pada makalah Coase selanjutnya yang berjudul The Problem of Social Cost (1960) dinyatakan secara eksplisit adanya keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak-hak kepemilikan (property rights). Keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan dirangkum pada apa yang dinamakan sebagai Teori Coase (Coase Theorem) (Allen 1999): “In the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of property rights.”
Pendapat tersebut oleh Cheung (1969) lantas diperluas dalam konteks kontrak dan pilihan jenis kontrak (contract choices) (Allen 1999). Cheung secara eksplisit menyatakan bahwa pilihan akan jenis kontrak dipengaruhi oleh biaya transaksi yang terkandung pada masing-masing jenis kontrak tersebut. Biaya transaksi semacam ini tidak hanya meliputi biaya antar aktor pasar (across markets) tetapi juga internal di dalam perusahaan (internal to the firm) (Allen 1999).
2.3.1 Definisi Biaya Transaksi Definisi biaya transaksi dapat dibedakan menjadi dua golongan utama yaitu golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan. Golongan neoklasik mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya yang ditimbulkan oleh transfer hak kepemilikan. Definisi ini memang merujuk pada hak kepemilikan, tetapi biaya transaksi hanya muncul ketika transfer terjadi (Allen 1999). Dapat juga dikatakan bahwa biaya transaksi adalah biaya untuk melaksanakan transaksi (cost of
20
transacting) atau biaya yang muncul pada saat melakukan pertukaran (costs that arise in an exchange). Sebagai orang yang memperkenalkan biaya transaksi pertama kali, Coase termasuk ke dalam golongan neoklasik. Coase (1998) menulis: “...the lower the costs of exchange (transaction costs if you will),...”
Costs of transacting dicontohkan dengan permisalan seorang pemilik perkebunan yang bertransaksi dengan seorang petani hingga membuat satu kesepakatan dan costs of transacting meliputi usaha yang dikeluarkan oleh pemilik perkebunan untuk menuju rumah petani, lantas waktu dan naskahnaskah yang disusun untuk membuat kesepakatan, dan akhirnya usaha yang dikeluarkan untuk kembali pulang setelah kesepakatan terjadi. Contoh lebih lengkapnya sebagaimana dinyatakan oleh Stavins (1995, diacu dalam Allen 1999): “In general, transaction costs are ubiquitous in market economies and can arise from the transfer of property right because parties to exchanges must find one another, communicate and exchange information. There may be necessity to inspect and measure goods to be transferred, draw up contracts, consult with lawyers or other experts and transfer title. Depending upon who provides these services, transaction costs can take one of two forms, inputs or resources including time – by a buyers and/or a seller or a margin between the buying and selling price of a commodity in a given market”.
Definisi pertama ini adalah definisi yang paling umum diterima. Biaya semacam ini adalah serupa (equivalent) dengan pajak (taxes) atas transaksi yang dilakukan (Allen 1991). Menyerupakan biaya transaksi seperti pajak adalah sebuah kesalahan. Implikasi atas penyerupaan itu adalah biaya transaksi itu sederhana, mudah diamati, dan tergolong jenis biaya pada umumnya (ordinary costs) yang dapat langsung dimasukkan pada fungsi biaya (costs function) sebagaimana lainnya. Ketika biaya transaksi diperlakukan seperti pajak, maka analisis nantinya tidak akan dapat menjelaskan keberadaan hubungan-hubungan kontrak (contractual relationships) yang bersifat spesifik, padahal untuk alasan inilah biaya transaksi awal mulanya ada (Allen 1991). Definisi selanjutnya adalah definisi dari golongan hak kepemilikan, digagas oleh Allen (1991) dengan menyatakan bahwa biaya transaksi adalah segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak-hak kepemilikan (resources used to establish and maintain property rights). Definisi
21
ini secara tegas menyatakan hubungan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan. Implikasi dari definisi ini adalah biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan yang lengkap adalah dua situasi yang sama. Pernyataan “jika biaya transaksi sama dengan nol dan hak kepemilikan lengkap” adalah pengulangan yang tidak perlu. Jika biaya transaksi sangat tinggi, maka hak kepemilikan menjadi nol (Allen 1999). Menggunakan definisi dari golongan hak kepemilikan ini, maka dapat ditarik secara lebih tegas garis pembatas antara biaya produksi (seperti biaya transportasi) dengan biaya transaksi. Definisi dari golongan hak kepemilikan ini juga konsisten dengan teori Coase. Coase (1960, diacu dalam Allen 1991) menyatakan: “when transaction costs are zero, the gains from trade are maximized, independent of any initial distribution of property rights”.
Biaya transaksi sama dengan nol adalah sama dengan situasi ketika hak kepemilikan terdefinisikan dengan sempurna (perfectly defined property rights). Jika hak kepemilikan tidak terdefinisikan dengan sempurna, maka usaha akan dilakukan untuk menyempurnakannya. Biaya atas usaha yang dilakukan inilah yang disebut sebagai biaya transaksi. Oleh karena itu, biaya transaksi adalah sumber bagi segala penjelasan mengenai distribusi hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1991). Jika biaya transaksi sama dengan pajak (sebagaimana pada definisi neoklasik), maka teori Coase tersebut akan tetap berlaku bahkan ketika biaya transaksi tersebut positif. Oleh karena itu, definisi neoklasik yang mengecualikan usaha-usaha untuk membangun hak kepemilikan menjadi tidak konsisten dengan teori Coase (Allen 1991). Pembeda
lain
antara
golongan
neoklasik
dengan
golongan
hak
kepemilikan adalah jenis biaya penegakan (enforcement-type cost) di dalam perusahaan bukanlah biaya transaksi. Hal ini dikarenakan biaya transaksi hanya muncul antar perusahaan atau individu pada saat proses pertukaran terjadi (Allen 1999). Lebih lengkapnya mengenai perbedaan definisi biaya transaksi dan implikasinya antara golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 1.
22
Tabel 1
Perbedaan definisi biaya transaksi berikut implikasinya antara golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan Perbedaan definisi biaya transaksi dan implikasinya
Komponen perbedaan Terkait dengan hak kepemilikan
Perbedaan dengan biaya produksi
Golongan neoklasik
Biaya transaksi hanya muncul pada saat transfer hak kepemilikan Serupa dengan biaya produksi, utamanya biaya transportasi. Juga serupa dengan pajak (taxes)
Golongan hak kepemilikan Biaya transaksi, selain muncul pada saat transfer hak kepemilikan, juga muncul sebagai biaya untuk menjaga (maintain) hak kepemilikan
Perbedaannya jelas dengan biaya produksi
Internal/eksternal terhadap aktor pasar
Eksternal terhadap aktor pasar karena biaya transaksi hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar (across market)
Selain eksternal, juga internal terhadap aktor pasar (internal to the firm)
Konsistensi dengan Teori Coase
Tidak konsisten
Konsisten
Sumber: Penulis dengan mengolah dari Allen (1991, 1999)
Biaya transaksi bersifat spesifik untuk masing-masing aktor pasar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satu harga pasar yang efektif (single effective market price) pada saat pertukaran terjadi (Sadoulet & de Janvry 1995, diacu dalam Gabre-Madhin 2001).
2.3.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi Berdasarkan definisi Allen (1991), maka biaya transaksi akan muncul pada tiga situasi. Pertama, biaya transaksi akan muncul pada situasi pertukaran yang dipaksakan (coerced exchange) seperti pencurian. Biaya atas kunci pengaman, anjing penjaga, dan senjata api yang digunakan untuk mencegah perampokan adalah biaya transaksi. Demikian juga halnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perampokan seperti alat pembuka kunci, tongkat, atau lainnya adalah juga biaya transaksi. Kedua, biaya transaksi akan muncul pada usaha-usaha untuk mencegah atau mengambil keuntungan melalui free riding pada barangbarang publik (public goods). Ketiga, dan yang terpenting, biaya transaksi muncul pada semua jenis transaksi lainnya. Pada setiap pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchanges, sebagai lawan dari coerced exchange), biaya
23
transaksi muncul sebagai usaha yang dilakukan untuk menangkap kesejahteraan (wealth) orang lain sekaligus mencegah kesejahteraannya sendiri diambil orang lain. Melihat tiga situasi tersebut, maka biaya transaksi bersifat ada dimanamana (ubiquitous) (Allen 1991). Biaya transaksi memang tidak dapat dihilangkan. Biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata (Allen 1991, 2005). Hal ini dikarenakan hak kepemilikan tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumber daya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak akan suatu barang/sumber daya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005). Penyebabnya adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal (Rodrik 1999; Alchian 2002). Sebagai contoh adalah polusi suara yang diderita oleh pemilik rumah di tepi jalan raya. Pada situasi well-established property rights, maka pemilik rumah dapat menagih para pengguna jalan sebagai kompensasi atas polusi suara yang melintasi hak kepemilikannya (rumah di tepi jalan). Akan tetapi hal ini akan menjadi terlalu mahal terutama untuk pengawasannya. Ini adalah contoh dari eksternalitas. Contoh lain adalah seseorang yang melintasi halaman rumah milik orang lain tanpa permisi bukan lantas menjadikan si pemilik berhak untuk menembaknya. Ada peraturan-peraturan lain dalam bentuk hukum tertulis maupun norma yang membatasi hak kepemilikan. Semua masyarakat di negaranegara di dunia mempraktekkan pembatasan dari penggunaan hak kepemilikan privat sepanjang pembatasan itu dilakukan demi kepentingan publik (Rodrik 1999). Biaya transaksi juga terkait dengan informasi yang tidak gratis. Allen (1991) menyatakan: ”Information regarding the number and levels of each good’s attributes is not free”.
Implikasi langsung dari pernyataan ini adalah bahwa biaya informasi adalah syarat perlu (necessary condition) bagi permasalahan biaya transaksi. Meskipun demikian, biaya informasi tidak selalu menjadi biaya transaksi. Biaya yang muncul atas pengumpulan informasi yang independen terhadap suatu pertukaran, dalam arti biaya ini ada meskipun tanpa terjadinya sebuah pertukaran, adalah biaya informasi dan bukan biaya transaksi. Termasuk juga di
24
dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan seperti mencari mitra dagang, memilih barang-barang yang diperlukan, atau membandingkan dan mencari harga terbaik adalah biaya informasi, dan bukan biaya transaksi (Allen 1991). Tetapi asumsi informasi yang tidak gratis tidak cukup untuk menjelaskan munculnya biaya transaksi. Asumsi kedua diperlukan dan asumsi tersebut adalah bahwa barang (goods) merupakan vektor dari karakter variabilitas dan karakter kemungkinan untuk dimodifikasi (vectors of variable and alterable attributes) (Allen 1991). Pembeda utama antara kedua karakter tersebut adalah bahwa variabilitas ialah perubahan yang disebabkan oleh alam sedangkan karakter kemungkinan untuk dimodifikasi (untuk selanjutnya disebut karakter alterable) adalah perubahan yang disebabkan oleh manusia (Allen 1991). Selengkapnya mengenai contoh dari kedua karakter ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2
Contoh karakter variabilitas dan karakter alterable sebagai vektor terhadap barang (goods) Karakter
Alterable (dapat dimodifikasi oleh manusia)
Variable (dapat beragam karena alam)
Kesemua yang lainnya
Non-variable (tidak dapat beragam karena alam)
Mawar
Non-alterable (tidak dapat dimodifikasi oleh manusia) Gempa bumi Topan badai Tuhan
Sumber: Allen (1991)
Asumsi kedua ini menjadi penting karena karakter variabilitas dan karakter alterable menentukan muncul tidaknya biaya transaksi. Jika sebuah barang memiliki variabilitas dan dapat dimodifikasi oleh manusia, maka biaya transaksi akan muncul. Jika hanya salah satu karakter saja yang melekat pada suatu barang, maka biaya transaksi akan sama dengan nol (Allen 1991). Sebagai contoh adalah telur. Jika telur tidak dapat beragam karena alam, sedangkan telur tersebut dapat dimodifikasi oleh manusia, maka ketika misalnya kuning telurnya disedot dan cairannya diganti dengan zat lain tanpa memecahkan kulit telur lantas telur tersebut dijual, maka si penjual pasti tidak akan dapat lari dari tuduhan berperilaku curang. Hal ini dikarenakan telur tersebut tidak memiliki karakter variabilitas sehingga tidak mungkin berubah karena alam. Segala perubahan terhadap telur pastinya dipersalahkan kepada penjual yang berperilaku curang.
25
Demikian pula sebaliknya. Jika telur tersebut tidak dapat dimodifikasi oleh manusia tetapi memiliki karakter variabilitas, maka andaikan telur yang dijual tidak sesuai dengan seharusnya kesalahan akan ditimpakan kepada alam. Pada situasi seperti ini dimana hanya salah satu karakter saja yang melekat (variabilitas atau alterable), maka biaya transaksi sama dengan nol karena dapat diketahui secara langsung dan pasti penyebab dari perubahan kualitas barang. Perilaku curang dapat dilakukan tanpa terdeteksi jika barang memiliki karakter variabilitas dan alterable. Pada situasi ini biaya transaksi akan muncul akibat ketidakmampuan untuk mengetahui penyebab dari perubahan kualitas barang, apakah disebabkan oleh peristiwa acak karena alam ataukah eksploitasi secara sengaja. Atau lebih singkatnya, biaya transaksi muncul ketika ada situasi informasi yang tidak lengkap (incomplete information) (Allen 1991). Perlu dicatat bahwa asumsi tersebut berlaku untuk pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchange). Pada situasi pertukaran yang tidak bersifat sukarela, maka biaya transaksi tetap akan muncul meskipun tidak ada karakter variabilitas dan alterable. Contoh pertukaran yang tidak bersifat sukarela misalnya adalah pencurian dan free riding pada barang-barang publik (public goods) (Allen 1991). Cordella (2001) menyatakan bahwa biaya transaksi timbul dikarenakan kompleksitas (complexity) dan ketidakpastian (uncertainty) dari sistem ekonomi sehingga biaya transaksi didefinisikannya sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat efisiensi dalam mengelola ketidakpastian. Knight (1971 dalam Allen 1991) menambahkan
bahwa
ketidakpastian
adalah
situasi
dimana
distribusi
probabilitas tidak diketahui (unknown probability distributions) dan ini adalah lawan dari risiko (risks) karena risiko adalah situasi ketika probabilitas diketahui. McManus (1975 dalam Allen 1991) menyatakan bahwa ketidakpastian yang disampaikan oleh Knight tersebut disebabkan oleh perilaku oportunistik. Senada dengan McManus, Cordella (2001) menyatakan bahwa kompleksitas dan ketidakpastian tersebut terkait dengan perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events). Perilaku oportunistik tentunya hanya dapat terjadi pada kasus dimana barang yang ditransaksikan bersifat dapat berubah karena alam (variable) dan oleh manusia (alterable).
26
Perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events) adalah hasil dari distribusi informasi yang timpang (unequal distribution of information) diantara para aktor yang terlibat di dalam transaksi. Ackerlof (1970 dalam Allen 1991) menyatakannya dengan istilah lain yaitu informasi asimetris (asymmetric information). Adanya informasi yang asimetris menyebabkan informasi bukan hanya tidak gratis, melainkan juga lebih mahal (more costly) bagi satu pihak untuk mendapatkannya dibandingkan pihak yang lain. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memanfaatkan keuntungan dari informasi yang timpang akan mengakibatkan biaya transaksi. Dan sekali lagi, agar konsep informasi asimetris ini dapat menjelaskan biaya transaksi maka asumsi yang harus digunakan adalah bahwa barang yang ditransaksikan bersifat dapat berubah karena alam (variable) dan oleh manusia (alterable) (Allen 1991). Biaya transaksi juga terkait dengan spesifisitas aset (asset specificity). Spesifisitas aset adalah keterbatasan aset untuk dialihkan (lack of transferability) penggunaannya ke penggunaan lain yang berbeda dari yang dimaksudkan pada awalnya
(http://faculty.washington.edu/krumme/gloss/a.html,
diakses
7
September 2006). Menard (2004, diacu dalam Poel 2005) mendefinisikan spesifisitas aset sebagai nilai dari investasi yang akan hilang jika aset digunakan secara berbeda dibanding penggunaan yang dimaksudkan di awal. Spesifisitas aset menyebabkan ketergantungan (Williamson 1998, diacu dalam Poel 2005). Aset dengan spesifisitas yang tinggi membutuhkan kontrak yang kuat atau internalisasi
untuk
mengantisipasi
ancaman
perilaku
oportunistik
(http://faculty.washington.edu/krumme/gloss/a.html, diakses 7 September 2006). Potensi untuk mengundang perilaku oportunistik inilah yang mengaitkan antara spesifisitas aset dan biaya transaksi. Biaya transaksi terkandung di dalam ketidakpastian, konsentrasi, dan spesifisitas aset (Klein et al. 1978; Williamson 1985; Frank & Henderson 1992, diacu dalam Temu & Winter-Nelson 2001). Spesifisitas aset dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis dan jenis-jenis yang sering dikaji dalam penelitian mengenai biaya transaksi adalah (Poel 2005): (i)
physical asset specificity, misalnya adalah mesin yang khusus dibeli oleh suatu perusahaan untuk satu konsumen atau bahkan satu jenis transaksi (Hobbs 1999);
27
(ii)
human asset specificity, misalnya adalah pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan untuk melayani konsumen tertentu (Afuah 2001);
(iii)
site asset specificity, misalnya adalah aset dari dua pihak yang dibangun berdekatan untuk mempermudah pertukaran dan mengurangi biaya transaksi (Hobbs 1999); dan
(iv)
dedicated asset specificity, adalah kasus dimana suatu perusahaan butuh untuk berinvestasi pada peralatan/perlengkapan (equipment) yang dapat memenuhi permintaan khusus dari konsumen tertentu (Afuah 2001). Investasi
pada
aset yang
spesifik
untuk satu
jenis
penggunaan
menyebabkan munculnya biaya yang disebut sunk cost. Begitu investasi dilakukan, maka aset tidak dapat lagi dijual karena aset tersebut tidak dapat digunakan untuk jenis-jenis penggunaan lainnya (Allen 2005). Tabel 3 menunjukkan asumsi-asumsi yang mendasari munculnya biaya transaksi sekaligus juga bentuk-bentuk situasi yang memunculkan biaya transaksi. Perlu diperhatikan bahwa Tabel 3 hanya memuat hak kepemilikan pada sumber daya fisik dan manusia dan tidak memuat hak kepemilikan pada sumber daya alam dan sosial. Hal ini dikarenakan kelembagaan pemuda yang menjadi subyek dari penelitian ini tidak mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, sedangkan hak kepemilikan pada sumber daya sosial menjadi satu topik besar tersendiri yang dipisahkan dari penelitian ini. Tabel 3
Asumsi yang mendasari dan situasi-situasi yang memunculkan biaya transaksi pada hak kepemilikan sumber daya fisik dan manusia Hak kepemilikan pada
Asumsi dasar
Asumsi Situasi yang selanjutnya memunculkan (akibat dari biaya asumsi dasar) transaksi
Sumber daya fisik (mengandung asset specificity) Privat
Publik
Common
v
v
v
Sumber daya manusia (mengandung asset specificity) Publik
Common
Coerced exchange
Information is costly
Incomplete information (or bounded rationality)
Free riding
v
v
v
v
Variable and alterable attributes of goods
Oportunistic behavior (or maximization with guile)
Privatization
v
v
v
v
v
v
v
v
Asymmetric information
Voluntary exchange
v
28
2.3.3 Macam-macam Penggolongan Biaya Transaksi Williamson (1996) menggolongkan biaya transaksi ke dalam dua jenis yaitu (i) ex ante costs, dan (ii) ex post costs. Ex ante costs adalah biaya yang meliputi perancangan, negosiasi, dan rencana pengamanan (safeguarding) sebuah kesepakatan. Di dalam sebuah kemitraan, ex ante costs akan meningkat pada proses-proses awal. Ex ante costs dapat digolongkan kembali menjadi biaya pencarian (search costs) dan biaya pembuatan kesepakatan (contracting costs). Biaya pencarian meliputi biaya identifikasi dan evaluasi mitra potensial, sedangkan biaya pembuatan kontrak meliputi negosiasi dan penyusunan kesepakatan antara mitra. Ex ante costs seringkali muncul pada saat sebelum kemitraan secara resmi dimulai (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005). Ex post costs dibedakan atas biaya pengawasan (monitoring costs) dan biaya penegakan (enforcement costs). Biaya pengawasan muncul pada saat dilakukannya pengawasan untuk memastikan bahwa setiap mitra memenuhi segala ketentuan yang tertuang dalam kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Biaya penegakan meliputi negosiasi ulang (renegotiation atau ex post bargaining) dan pemberian sangsi kepada mitra yang tidak dapat memenuhi kesepakatan yang dibuat (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005). North & Thomas (1973) membagi biaya transaksi ke dalam tiga tipe yaitu (i) biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapat informasi mengenai keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi (cost of allocating information about opportunity of the exchange), (ii) biaya negosiasi (negotiation cost) yaitu biaya untuk merundingkan syarat-syarat suatu transaksi (cost of negotiating the terms of the exchange), dan (iii) biaya penegakan (enforcement cost) yaitu biaya untuk menegakkan suatu kontrak atau transaksi (cost of enforcing the contract) (Anggraini 2005). Furubotn & Richter (1997), diacu dalam Benham & Benham (2001) diacu dalam Anggraini (2005) mendefinisikan dua varian dalam setiap tipe biaya transaksi yaitu (i) biaya transaksi tetap (fixed transaction cost), yaitu investasi khusus dan (ii) biaya transaksi peubah (variable transaction cost), yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Hal ini senada dengan permodelan yang dibangun oleh Cordella (2001) yaitu biaya transaksi (TC)
29
sebagai dependent variable dipengaruhi oleh independent variable meliputi biaya infrastruktur (CI) dan biaya koordinasi (CC). Biaya infrastruktur adalah fixed cost, sedangkan biaya koordinasi adalah variable cost (Cordella 2001). de Soto (1989), diacu dalam Anggraini (2005) menyatakan bahwa biaya transaksi juga muncul dari aspek-aspek non-pasar (non-marketed transaction cost). Biaya transaksi non-pasar tersebut diantaranya adalah sumber daya yang dikeluarkan/dihabiskan dalam situasi menunggu (resources spent in waiting), mendapatkan izin usaha, upacara peresmian (cutting through red tapes), dan menyuap pejabat (bribing officials). Biaya transaksi non-pasar ini merajalela (rampant) dalam pembangunan ekonomi. Terlihat bahwa kesemua penggolongan biaya transaksi tersebut adalah penggolongan berdasarkan mazhab neoklasik karena kesemua penggolongan tersebut ada pada situasi berlangsungnya transfer hak kepemilikan dan biaya transaksi yang muncul adalah biaya antar aktor pasar (across market). Menggunakan mazhab hak kepemilikan, biaya transaksi tidak hanya muncul ketika ada transfer hak kepemilikan pada situasi pertukaran sukarela, tetapi juga muncul pada upaya-upaya untuk mencegah atau mengambil keuntungan dari pertukaran yang dipaksakan. Mazhab hak kepemilikan menyatakan bahwa biaya transaksi tidak hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar (across market) saja, melainkan juga biaya internal di dalam aktor pasar (atau internal to the firms) (Cheung 1969, diacu dalam Allen 1999).
2.3.4 Pengukuran Biaya Transaksi Biaya
transaksi
tidak
dapat
dihitung
secara
langsung
melainkan
diperkirakan (estimated) dengan menggunakan berbagai pendekatan (proxy) (Gabre-Madhin 2001). Pada tahun 1999, Allen menyatakan hanya ada dua penelitian yang berupaya untuk mengukur biaya transaksi (measure the level of transaction costs), pertama yang dilakukan oleh Wallis dan North (1986) dan penelitian kedua dilakukan oleh Masten, Meehan, dan Snyder (1991). Penelitian yang dilakukan oleh Wallis & North (1986), dinilai oleh Allen (1999) sebagai penelitian pertama yang berupaya mengukur biaya transaksi dan barangkali juga paling ambisius. Mengingat biaya transaksi tidak dapat dihitung secara langsung melainkan diperkirakan (estimated), maka perkiraan yang digunakan oleh Wallis & North adalah gaji/upah yang diterima para pekerja pada
30
jenis-jenis pekerjaan transaksional (transactional work) di Amerika Serikat. Jenisjenis pekerjaan yang dianggap 100% transaksional adalah akuntan; pengacara dan hakim; hubungan masyarakat, baik terhadap individu maupun terhadap tenaga kerja (personal and labor relations); manajer; kesekretariatan/bagian administrasi (clerical); tenaga penjualan (sales workers); supervisor/mandor (foremen); pengawas (inspectors); penjaga; polisi dan militer; serta pekerja pos (Wallis & North 1986). Ostrom (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) memang membedakan antara aktivitas transformasi dengan aktivitas transaksi. Aktivitas transformasi adalah digunakannya seperangkat input fisik untuk diubah menjadi bentuk output yang berbeda yang nantinya dapat digunakan baik untuk aktivitas transformasi selanjutnya ataupun langsung dikonsumsi. Aktivitas transaksi adalah hubungan antar individu terkait yang membutuhkan waktu dan energi untuk menyelesaikan aktivitas transformasi. Penghitungan gaji/upah yang diterima para pekerja pada jenis-jenis pekerjaan transaksional menghasilkan temuan bahwa dalam rentang 100 tahun (1870-1970) penghasilan dari sektor transaksional terus meningkat dari tahun ke tahun hingga pada tahun 1970 mencapai setengah (54,7%) dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat. Selengkapnya mengenai hasil penghitungan ini dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 4
Penghitungan biaya transaksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat 1870-1970
Tahun
Biaya transaksi pada sektor privat
Biaya transaksi pada sektor publik
Total biaya transaksi terhadap PDB
1870
22,5%
3,6%
26,1%
1890
29,1%
3,6%
32,7%
1910
31,5%
3,7%
35,2%
1930
38,2%
8,2%
46,3%
1950
40,3%
10,9%
51,2%
1970
40,8%
13,9%
54,7%
Sumber: Wallis & North (1986)
Penelitian ini mendapatkan kritikan misalnya oleh Davis (1986, diacu dalam Allen 1999). Davis berargumen bahwa setiap jenis pekerjaan memiliki baik elemen transaksional maupun transformasi dan menjadi tidak mungkin untuk memisahkan kedua elemen ini. Sebagai contohnya adalah petani yang berperan
31
baik sebagai manajer/pemasar (fungsi transaksi) sekaligus juga pembudidaya tanaman (fungsi transformasi). Atas argumen inilah yang mungkin menjelaskan mengapa penelitian semacam yang dilakukan oleh Wallis dan North menjadi penelitian pertama sekaligus terakhir (Allen 1999). Penelitian kedua yang dilakukan oleh Masten, Meehan, dan Snyder (1991) dinilai Allen (1999) sebagai penelitian yang lebih kompleks untuk menghitung biaya transaksi. Masten, Meehan, dan Snyder menyatakan bahwa kebanyakan pendekatan (proxies) yang digunakan hanya melihat pada risiko dari pertukaran pasar (the hazards of market exchange) dan tidak melihat pada biaya pengaturan internal (internal cost of governance). Pendekatan macam ini akan gagal untuk melihat antara biaya transaksi internal dan eksternal (Allen 1999). Masten, Meehan, dan Snyder yang melihat pada kasus pembuatan kontrak pembangunan galangan kapal Angkatan Laut menemukan bahwa biaya organisasi (organization costs) adalah sebesar 14% dari total biaya. Jika yang dipilih adalah kesepakatan kontrak yang salah, maka diperkirakan bahwa hal ini akan menyebabkan peningkatan biaya organisasi hingga mencapai 70% (Allen 1999).
2.3.5 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Hak Kepemilikan Penjelasan mengenai keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan tentu harus diawali dengan pengertian akan hak kepemilikan itu sendiri. Hak kepemilikan adalah kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh pihak yang memiliki sumber daya untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Anwar (1994) mendefinisikan hak kepemilikan (property rights) sebagai penegasan secara legal mengenai hak-hak kepemilikan dari suatu sumber daya dengan disertai keterbatasan-keterbatasan dalam caranya sumber daya tersebut dimanfaatkan. Akan tetapi hak kepemilikan bukan saja menjadi ada karena hukum (legal rights), melainkan juga ada karena kenyataan. Definisi yang dikemukakan oleh Anwar (1994) adalah definisi yang belum lengkap. Alchian (1965, 1979, diacu dalam Allen 1999) menyebutkannya sebagai hak ekonomi (economic rights) selain hak legal. Hak ekonomi melekat pada kepemilikan legal, tetapi tidak berlaku sepenuhnya. Seseorang bisa jadi secara hukum memiliki sebuah sepeda motor meskipun pada kenyataannya sepeda motor tersebut ada di tangan
32
seorang pencuri, artinya hak ekonomi ada di tangan pencuri meskipun nilai dari barang curian itu lebih rendah jika dibandingkan ketika hak ekonomi berada di tangan pemilik sahnya (Allen 1999, 2005). Hak ekonomi adalah hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya yang dikehendaki, sedangkan hak legal adalah bentuk-bentuk pilihan yang didukung oleh hukum (Allen 1999). Seringkali kedua jenis hak ini saling tumpang tindih tetapi pembedaan yang tegas perlu dilakukan karena perilaku ditentukan oleh hak ekonomi, bukan oleh hak legal (Allen 2005). Dalam bahasa Rodrik (1999), kata kunci dari hak kepemilikan bukanlah kepemilikan (ownership), melainkan kontrol. Tujuan paling mendasar dari adanya hak kepemilikan ini adalah menghilangkan persaingan-persaingan yang bersifat merusak/dengan kekerasan untuk mendapatkan kontrol atas suatu sumber daya. Hak kepemilikan yang terdefinisikan dan terlindungi dengan sempurna (well-defined and well-protected) akan menggantikan persaingan dengan kekerasan menjadi persaingan secara damai (Alchian 2002). Menggunakan istilah Allen (2005), tidak terdefinisikannya hak kepemilikan akan menyebabkan dunia menjadi dunia yang anarkis (a world of anarchy). Dibangunnya hak kepemilikan yang terjamin dan stabil menurut argumen North & Thomas (1973) dan North & Weingast (1989) (diacu dalam Rodrik 1999) adalah elemen kunci dari kemajuan negara-negara Barat sekaligus juga sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi modern. Alasan dari argumen ini adalah tanpa hak kepemilikan yang terjamin, maka seorang pengusaha tidak memiliki kontrol yang cukup atas hasil dari suatu aset sehingga pengusaha tersebut tidak mempunyai insentif baik untuk mengumpulkan aset maupun berinovasi. Berdasarkan rezim pengelolaan sumber daya, hak kepemilikan dapat digolongkan menjadi hak kepemilikan publik/pemerintah (public/state property) dan hak kepemilikan privat (private property) (Alchian 2002). Diantara kedua golongan ini terdapat kategori residual yang disebut sebagai akses terbuka (open access) dan hak kepemilikan bersama (common property) (Kanbur 1992). Hak kepemilikan privat dapat ditransfer menjadi hak kepemilikan publik. Ada kalanya transfer hak ini dapat membuat ekonomi berjalan lebih efektif, ada kalanya juga membuat menjadi tidak efektif (Alchian 2002). Rezim common property pun dapat hancur dikarenakan faktor lingkungan yang berubah (Kanbur 1992). Tentu yang terburuk adalah ketika hak kepemilikan dihilangkan (Alchian 2002).
33
Hak kepemilikan privat tidak harus dipegang oleh satu individu saja. Hak kepemilikan tersebut bisa dibagi dan setiap orang yang memilikinya mendapat bagian yang jelas dari nilai pasarnya sementara keputusan mengenai bentukbentuk penggunaan sumber daya dibuat melalui mekanisme yang disepakati bersama. Contoh klasik dari hak kepemilikan privat ini adalah perusahaan (corporation). Di dalam perusahaan, porsi kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan hak untuk memutuskan bentuk-bentuk penggunaan sumber daya didelegasikan kepada manajemen. Hak kepemilikan privat memiliki tiga elemen dasar (i) eksklusivitas hak untuk memilih bentuk penggunaan sumber daya, (ii) eksklusivitas hak untuk mendapatkan jasa/keuntungan dari sumber daya, dan (iii) hak untuk mempertukarkan sumber daya tersebut dengan berdasarkan pada kesepakatan bersama (Alchian 2002). Orang meningkatkan hak kepemilikan privatnya melalui tiga jalan (i) mencuri barang, (ii) privatisasi barang yang sebelumnya adalah barang publik, dan (iii) bekerjasama dengan individu lain melalui sebuah kesepakatan yang membagi manfaat ekonomi yang didapatkan dari hak baru (Allen 1999). Hak kepemilikan publik tentunya ada terhadap barang-barang publik (public goods). Barang publik memiliki dua karakter utama (i) noneksklusif, artinya tidak ada pihak yang dapat dikecualikan untuk turut mendapatkan manfaat dari barang tersebut (atau jika dapat maka proses untuk mengecualikan pihak-pihak tertentu adalah sangat mahal), dan (ii) nonrival, artinya penambahan tingkat konsumsi tidak mengakibatkan penambahan biaya produksi dan pengurangan konsumsi pihak lain. Tetapi, karena banyak juga jenis barang nonrival yang diproduksi secara privat (misalnya kolam renang dan jalan tol dimana konsumen harus membayar untuk menggunakannya) maka barang publik lebih sering dikaitkan dengan karakter noneksklusif (Nicholson 1998). Allen (2005) menyatakan bahwa barang publik adalah barang yang ketika dikonsumsi salah satu pihak tidak mengurangi/menghalangi konsumsi yang bisa dilakukan pihak lain. Rezim common property (res communes) sebelumnya sering dipertukarkan dengan rezim open access (res nullius). Hal ini dipicu oleh makalah Garrett Hardin pada tahun 1968 yang berjudul The Tragedy of the Commons. Tragedi tersebut diilustrasikan oleh Hardin sebagai berikut: pada suatu ladang penggembalaan yang terbuka bagi siapapun, maka para pengembala yang rasional akan memaksimalkan keuntungan masing-masing dengan terus
34
menambah hewan gembalanya hingga yang terjadi selanjutnya adalah jumlah rumput yang tidak mencukupi kebutuhan merumput. Inilah tragedi tersebut, dan selanjutnya Hardin (1968) menyatakan bahwa “freedom in a commons brings ruin to all”. Salah satu mekanisme manajemen sumber daya adalah tidak ada manajemen sama sekali, dan mekanisme inilah yang berlaku pada ilustrasi yang diberikan oleh Hardin. Mekanisme tanpa manajemen adalah rezim open access yang mengarah menuju tragedi, sedangkan sumber daya yang dikelola secara komunal untuk mengontrol eksploitasi disebut sebagai common property. Rezim common property justru dapat mengelola sumber daya alam dengan baik selama ribuan tahun. Tragedi yang dimaksudkan oleh Hardin seharusnya bukanlah the tragedy of the common property, melainkan the tragedy of the open access. Open access tidak bisa saling dipertukarkan dengan common property sehingga keduanya menjadi dua kategori residual antara hak kepemilikan privat dan publik (Kanbur 1992). Hak kepemilikan yang lengkap (complete property right) menyebabkan perilaku diskriminatif menjadi lebih mahal. Hal ini dikarenakan pada situasi hak kepemilikan yang lengkap, maka nilai pasar akan lebih berpengaruh sedangkan status atau ciri-ciri seseorang yang turut berkompetisi menjadi kurang berpengaruh karena status atau ciri-ciri tersebut dapat dikompensasi dengan penyesuaian harga. Sebagai contoh adalah seorang wanita kulit hitam yang ingin menyewa apartemen dari seorang pemilik kulit putih. Jika si pemilik memiliki hak kepemilikan yang lengkap, maka ia dapat menentukan biaya sewa pada tingkat berapapun yang diinginkan. Meskipun sebenarnya si pemilik lebih menghendaki penyewa kulit putih, wanita kulit hitam dapat mengkompensasinya dengan biaya sewa yang lebih tinggi. Andaikan si pemilik pada akhirnya tetap menyewakan apartemennya kepada penyewa kulit putih yang membayar lebih rendah, maka si pemilik menanggung biaya atas perlakuan diskriminatif (Alchian 2002). Hak kepemilikan privat dapat dikurangi misalnya melalui mekanisme kontrol harga dan pelarangan transfer hak kepemilikan. Menurut Alchian (2002) pengurangan hak kepemilikan privat ini berdampak buruk terhadap masyarakat. Perilaku diskriminatif menjadi lebih murah, bahkan dapat menjadi nol, ketika pemerintah menerapkan kontrol sewa dengan menetapkan biaya sewa di bawah tingkat pasar. Wanita kulit hitam pada contoh sebelumnya tidak dapat
35
mengkompensasi kekurangan fisiknya dengan membayar sewa lebih mahal. Si pemilik, yang tidak dapat lagi menerima harga penuh, akan memilih calon penyewa dengan ciri-ciri pribadi yang disukai, seperi usia, jenis kelamin, etnis, dan agama, tanpa menanggung biaya atas perlakuan diskriminatif (Alchian 2002). Hak kepemilikan yang dikurangi berakibat pada pengurangan tingkat kesejahteraan, dan pada saat hak kepemilikan benar-benar tidak terdefinisikan maka kesejahteraan akan sama dengan nol. Contoh dari hal ini adalah budak yang tidak memiliki hak legal dan hak ekonomi sehingga menjadi orang termiskin diantara semua orang miskin. Contoh lain adalah nilai barang curian yang lebih rendah di pasar gelap menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang dikurangi menyebabkan pengurangan kesejahteraan (Allen 2005). Dua contoh ekstrim dari kasus hak kepemilikan yang dikurangi adalah pada negara-negara sosialis dan sumber daya milik bersama (commonly owned resources). Pada sistem sosialis, agen-agen negara mengontrol sumber daya secara penuh. Orang yang berpikir dapat memanfaatkan sumber daya tersebut secara lebih bernilai tidak dapat membeli hak kepemilikan karena hak tersebut tidak dijual pada harga berapapun. Oleh karena itu, agen negara tidak mendapatkan apapun ketika nilai dari sumber daya yang dikelola meningkat, demikian juga tidak kehilangan apapun ketika nilainya menurun. Akhirnya, tidak ada insentif bagi agen negara untuk memperhatikan perubahan nilai pasar. Demikian pula halnya yang terjadi dengan sumber daya milik bersama, tidak ada insentif bagi siapapun untuk menjaga sumber daya tersebut selain eksploitasi berlebihan (Alchian 2002). Hak kepemilikan mengandung kompleksitas dan banyak permasalahan yang sulit untuk dipecahkan. Salah satu kompleksitas tersebut adalah eksternalitas. Alchian (2002) dalam pertanyaannya menyebutkan: “If I operate a factory that emits smoke, foul smells, or airborne acids over your land, am I using your land without your permission?” “The cost of establishing private property rights-so that I could pay you a mutually agreeable price to pollute your air-may be too expensive.”
Terdapat jenis sumber daya yang terlalu mahal biaya untuk mengawasi dan mengontrolnya, misalnya adalah udara. Biaya inilah yang disebut dengan biaya untuk membangun hak kepemilikan (the cost of establishing property right). Biaya inilah yang oleh Allen (1991, 1999) disebut sebagai biaya transaksi. Ketika
36
biaya ini menjadi terlalu mahal, maka hak kepemilikan menjadi lebih sulit untuk ditegakkan. Oleh karena itu dibutuhkan mekanisme kontrol lain misalnya melalui kewenangan pemerintah dengan penetapan perundang-undangan (Alchian 2002). Fauzi (2005) menyatakan bahwa biaya transaksi yang diminimumkan ditambah dengan well-established property rights menyebabkan eksternalitas negatif yang timbul dapat diinternalisasikan melalui proses bargaining. Implikasi dari pernyataan ini adalah eksternalitas negatif menjadi muncul akibat biaya transaksi yang terlalu mahal sehingga hak kepemilikan tidak well-established. Sejatinya, hak kepemilikan memang tidak pernah lengkap (incomplete) karena adanya eksternalitas atau peraturan-peraturan, baik formal maupun informal, yang membatasi bentuk-bentuk penggunaan sumber daya. Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap ketika sebagian hak berada di tangan orang lain. Barang (goods) adalah bendel hak kepemilikan (bundle of rights), dan tidak keseluruhan dari bendel tersebut berada di tangan satu orang. Hak kepemilikan juga tidak pernah sempurna (imperfect), yaitu ketika penegakan hak tersebut terlalu mahal (too costly) (Allen 2005). Hak kepemilikan yang tidak pernah lengkap dan tidak pernah sempurna menyebabkan biaya transaksi ada dimanamana (ubiqitous).
2.3.6 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Kelembagaan Kelembagaan (institution) sebenarnya adalah seperangkat hak kepemilikan (sets of property right). Kelembagaan mengalokasikan/mendistribusikan hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1999). Allen (2005) menyatakan: “…institution as a distribution of property rights; that is a set of rules and constraints that define our ability to exercise choices…”
Hal ini dapat dipahami sebagai berikut: hak kepemilikan diatur dalam aturan main yang jelas (disebut sebagai legal rights) sedangkan aturan main adalah substansi dari kelembagaan. Contoh dari kelembagaan misalnya adalah hukum dan peraturan lainnya yang melindungi hak kepemilikan (Williamson 1998, diacu dalam Poel 2005). Kembali kepada Teori Coase yang menyatakan “in the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of
37
property rights”, teori ini dapat ditafsirkan bahwa aturan main (dalam bentuk distribusi hak kepemilikan) menjadi tidak berpengaruh pada situasi ketika tawar menawar (bargaining) dapat dilakukan tanpa biaya (costlessly), sebuah situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Sederhananya, teori Coase adalah aplikasi ilmu ekonomi terhadap situasi ketika tawar menawar dapat dilakukan tanpa biaya dan aturan main berubah (Allen 2005). Tetapi, karena hak kepemilikan selalu tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) menyebabkan biaya transaksi akan selalu positif dan disinilah kelembagaan menjadi penting. Dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah fungsi dari biaya transaksi. Allen (2005) menyatakan secara tegas keterkaitan antara biaya transaksi dengan kelembagaan: “…when transaction costs are zero, then the institutional rules do not matter. When transaction costs are positive (which they always are) then institution have significant consequences for the allocation of resources.”
Bentuk-bentuk kelembagaan itu sebenarnya adalah pilihan, dan pilihan yang dijatuhkan tergantung dari bentuk kelembagaan mana yang paling dapat memaksimumkan keuntungan dari perdagangan dan produksi di atas biaya transaksi yang harus dikeluarkan. Hal ini yang dinyatakan oleh Allen (2005) sebagai hipotesis utama (grand hypothesis) dari New Institutional Economics. Kelembagaan adalah buatan manusia (humanly devised) yang didesain untuk mengurangi biaya transaksi (Allen 2005). Salah satu caranya adalah dengan membantu membangun perkiraan tentang apa yang akan dilakukan orang lain (Lin & Nugent 1995, diacu dalam Rodrik 1999). Tingkat ketidakpastian mempengaruhi biaya transaksi. Peran utama dari kelembagaan adalah mengurangi tingkat ketidakpastian (North 1991, diacu dalam Poel 2005). Keadaan (setting) kelembagaan yang ada menentukan bagaimana organisasi-organisasi
membangun
kontrak.
Kontrak
menjadi
dasar
bagi
berjalannya pertukaran impersonal atau pertukaran anonim (impersonalized exchange/anonymous exchange). Adanya kontrak menjadikan pertukaran berevolusi dari yang awalnya adalah pertukaran personal (personalized exchange), yaitu pertukaran yang dilakukan antar orang yang saling mengenal satu sama lain (North & Thomas 1973, diacu dalam Gabre-Madhin 2001). Cheung (1969, diacu dalam Allen 1999) secara eksplisit menyatakan bahwa pilihan akan jenis kontrak dipengaruhi oleh biaya transaksi yang terkandung pada masing-masing jenis kontrak tersebut. Membangun kontrak adalah
38
keharusan untuk meminimumkan biaya transaksi. Perubahan kelembagaan seharusnya
dapat
menyebabkan
perubahan
dalam
kontrak
untuk
meminimumkan biaya transaksi. Berbagai literatur menyatakan bahwa kelembagaan informal lebih dapat meminimalkan biaya transaksi daripada kelembagaan formal. Kelembagaan sosial (social institutions), menurut banyak ekonom seperti Douglass North, Oliver Williamson, dan Ronald Coase, lebih efisien dalam urusan mekanisme alokasi sumber daya, utamanya ketika terdapat biaya transaksi dalam pengalokasiannya (Stiglitz 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed] 1999). Dalam kasus masyarakat tradisional, kelembagaan pasar non formal yang dibangun oleh masyarakat sebagai media bertransaksi seringkali lebih efisien dibandingkan kelembagaan pasar formal yang lebih mahal biaya transaksinya (Anwar 1994). Sedangkan kelembagaan formal, sebagai contoh adalah negara (state), membebankan biaya transaksi yang begitu besar pada proses seperti pendirian usaha baru (setting up a new business) atau restrukturisasi usaha lama, dan seringkali dibutuhkan penyuapan (Chhibber 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Tetapi, tidak selamanya kelembagaan informal itu efisien. Stiglitz menunjukkan kelembagaan sosial yang disfungsional (dysfunctional social institutions), misalnya adalah Kolombia, Amerika Serikat, Meksiko, dan lainnya akan menjadi lebih baik tanpa adanya perdagangan narkotika (narcotics trafficking). Tanpa adanya perdagangan narkotika, maka tingkat pendapatan yang sama (the same level of income) akan dapat lebih dinikmati (Stiglitz 1999, di dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kelembagaan pun tidak selalu didesain agar efisien secara sosial (socially efficient). Bahkan, kerap kali kelembagaan didesain hanya untuk melayani kepentingan dari pihak yang memiliki kuasa untuk membuat peraturan-peraturan (North 1995). Kelembagaan dapat didesain untuk mengurangi biaya transaksi, tetapi seringkali yang terjadi adalah sebaliknya (Rao 2003).
2.3.7 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Modal Sosial Konsep modal sosial adalah konsep yang masih diperdebatkan. Beberapa menyatakan bahwa konsep modal sosial adalah konsep yang lemah (Solow 1999; Hjerppe 2003, diacu dalam Poel 2005). Solow (1999, dalam Dasgupta &
39
Serageldin [ed.] 1999) menyoroti penggunaaan istilah modal (capital) dalam modal sosial, dan menyarakankan istilah behavioral patterns yang lebih tepat untuk menggantikan modal sosial. Putnam dan beberapa akademisi terkemuka lainnya dalam hal modal sosial mendefinisikan modal sosial sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama (shared knowledge), kesepahaman (understandings), norma, aturan, dan harapan (expectations) mengenai pola interaksi yang dilakukan oleh sekelompok individu pada aktivitas-aktivitas yang berulang (recurrent activities) (Coleman 1988, Ostrom 1990, 1992, Putnam et al. 1993, diacu dalam Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menyatakan bahwa membangun definisi mengenai modal sosial tidaklah membantu memberikan pemahaman mengenai apa yang menyusun modal sosial. Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menggolongkan modal sosial dalam dua kategori (i) kategori struktural, dan (ii) kategori kognitif. Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) berargumen bahwa penggolongan ini penting untuk memahami modal sosial, dan sama pentingnya seperti memahami natural capital dengan menggunakan kategori sumber daya yang bisa diperbaharui dan tidak bisa diperbaharui. Kategori struktural adalah berbagai elemen dari organisasi sosial, khususnya seperti peran (roles), aturan (rules), keteladanan (precedents), dan tata cara (procedures) sebagaimana juga berbagai jenis jaringan (networks) yang berkontribusi terhadap berlangsungnya kerjasama, dan lebih khususnya lagi adalah aksi bersama yang saling menguntungkan (MBCA: Mutually Beneficial Collective Action). MBCA adalah bentuk keuntungan yang dihasilkan oleh modal sosial. Kategori kognitif berasal dari proses-proses mental dan berbagai gagasan, yang didukung oleh budaya dan ideologi, khususnya norma, nilai, sopan santun, dan keyakinan yang berkontribusi terhadap perilaku untuk bekerjasama dan MBCA. Kategori ini adalah kategori yang bersifat intrinsik dan tidak dapat diamati langsung, berbeda halnya dengan kategori struktural (Uphoff 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kategori struktural berasal dari proses-proses kognitif, artinya kedua kategori ini terkait satu sama lain. Kedua kategori ini dihubungkan oleh apa yang
40
disebut sebagai harapan (expectations) (Uphoff 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kategori
struktural
memfasilitasi
(facilitate)
berlangsungnya
MBCA,
sedangkan kategori kognitif mendorong orang (predispose) untuk menuju MBCA. Kategori struktural inilah, utamanya dalam bentuk jaringan, yang menurunkan biaya transaksi karena interaksi yang sudah terpola menyebabkan hasil yang didapatkan dari kerjasama dapat lebih diprediksikan dan menguntungkan. Stiglitz (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menambahkan orang yang berada dalam satu jaringan yang sama akan lebih saling mengenal satu sama lain berikut ekspektansinya. Kategori kognitif melatari (rationalize) perilaku untuk bekerjasama dan membuatnya menjadi perilaku yang dihargai/dihormati (Uphoff 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Gabre-Madhin
(2001)
mengenai
kelembagaan pasar, biaya transaksi, dan modal sosial di pasar komoditas tanaman biji-bijian (grain market) di Etiopia mengangkat satu pertanyaan kunci: bagaimana pembeli dan penjual bertemu dan mengoordinasikan pertukaran barang? Dibuktikan di dalam penelitian tersebut bahwa usaha yang dikeluarkan oleh pedagang untuk mencari pasar dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya dalam bentuk jumlah mitra yang dipercayai (Gabre-Madhin 2001). Salah satu bentuk biaya transaksi yang dikaji dalam penelitian ini adalah biaya tenaga kerja (labor) yang dibutuhkan dalam proses mencari pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial dapat memampukan pedagang untuk mencari mitra dagang secara lebih mudah (Gabre-Madhin 2001). Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) bahwa kategori struktural, salah satunya dalam bentuk jaringan (networks), adalah kategori modal sosial yang dapat mengurangi biaya transaksi. Meskipun demikian, penelitian ini tidak mengungkapkan secara lebih jauh mengenai tingkat minimalisasi biaya transaksi yang dipengaruhi oleh modal sosial. Selain kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan, ada aspek lain yang dapat meminimalkan biaya transaksi yaitu reputasi (Solow 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999; Stiglitz 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Stiglitz melihat bahwa reputasi adalah salah satu dari empat aspek modal sosial (tiga lainnya adalah tacit knowledge, collection of
41
networks, dan organizational capital) meskipun Solow tidak mengaitkan reputasi dengan modal sosial (karena Solow tidak setuju dengan penggunaan konsep modal dalam modal sosial). Reputasi dapat meminimalkan biaya transaksi karena reputasi memunculkan kepercayaan (trust), dan dengan kepercayaan itulah maka tidak diperlukan lagi sumber daya untuk mencegah perilaku-perilaku eksploitatif (Solow 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Melalui
pengurangan
biaya
transaksi,
maka
modal
sosial
dapat
mempengaruhi kinerja ekonomi. Tetapi tidak hanya itu saja, Omori (2003) mengidentifikasi 18 jalur (channels) modal sosial dapat mempengaruhi kinerja ekonomi. Delapan belas jalur tersebut digolongkan menjadi tiga yaitu bisnis, rumah tangga, dan pemerintah. Pada jalur bisnis, modal sosial mempengaruhi kinerja ekonomi diantaranya melalui (i) mengurangi biaya atas kontrak dan perbuatan hukum (legal actions), (ii) membuat negosiasi dapat lebih menghasilkan (fruitful) karena masing-masing pihak dapat mencapai Pareto-Optimal outcome, (iii) memfasilitasi pertukaran informasi sehingga alokasi sumber daya dapat dilakukan lebih efisien, (iv) memampukan komunitas lokal untuk membangun kekhasannya masing-masing sehingga menjadi pembeda dengan lainnya dan membuka peluang bisnis baru, (v) baiknya situasi keamanan sebagai wujud dari modal sosial membuat bisnis menjadi semakin menguntungkan (Omori 2003). Pengaruh modal sosial pada jalur rumah tangga diantaranya adalah (i) mempengaruhi rasio tabungan (saving ratio) karena orang yang berorientasi pada kepentingan sosial akan menyisihkan dan menyimpan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain, (ii) mendorong konsumsi kolektif melalui kegiatankegiatan yang dilakukan bersama, (iii) mendorong investasi pada modal manusia (human capital) karena pada situasi modal sosial yang baik maka orang dapat memprediksi perilaku orang lain secara lebih tepat sehingga tidak ada ketakutan akan hasil yang mengecewakan nantinya dari investasi yang dilakukan (Omori 2003). Pada jalur pemerintah, modal sosial mempengaruhi kinerja ekonomi melalui (i) manajemen fasilitas dan layanan publik berbasis masyarakat, hal ini semacam common property yang dikelola oleh komunitas setempat yang memiliki modal sosial yang baik sehingga dari sisi pembiayaan akan lebih efektif, (ii) aktivitas pemerintah akan lebih efisien karena didukung oleh masyarakat yang
42
bekerjasama dengan baik, (iii) keuntungan-keuntungan non-ekonomi dari modal sosial mempengaruhi keseimbangan fiskal, sebagai contoh adalah tingkat aktivitas sosial yang diketahui memiliki hubungan dengan kesehatan, umur panjang, dan kebahagiaan. Hal ini pada gilirannya dapat mengurangi belanja pemerintah untuk sektor kesehatan, (iv) membentuk harga lahan karena komunitas dengan modal sosial yang baik akan mengundang orang luar untuk turut tinggal dan menikmati kebersamaan dengan komunitas tersebut sehingga meningkatkan harga lahan, dan (v) meningkatkan kemandirian ekonomi suatu wilayah dengan cara mendorong rasa memiliki warga terhadap wilayahnya dan memfasilitasi berlangsungnya kerjasama yang saling menguntungkan (Omori 2003).
2.3.8 Contoh Permodelan Biaya Transaksi Berikut ini adalah permodelan biaya transaksi oleh Cordella (2001). Model ini digunakan untuk menggambarkan biaya transaksi pada suatu organisasi dengan struktur hirarkis: Tc = Ci + Cc….………………….............................( 2.1) dimana Tc
=
biaya transaksi;
Ci
=
biaya infrastruktur;
Cc
=
biaya koordinasi.
Permodelan ini dibangun dalam konteks untuk menghitung pengaruh dari teknologi informasi (IT: information technology) terhadap minimalisasi biaya transaksi sehingga biaya koordinasi (CC) adalah fungsi dari eksternalitas jaringan IT (CC = f ITe). Biaya infrastruktur adalah biaya tetap (fixed cost). Biaya tetap ini dibutuhkan oleh organisasi untuk melangsungkan kontak, baik fisik maupun komunikasi antar sesama anggotanya (Bressand & Distler 1995, diacu dalam Cordella 2001). Sebagai contoh antara lain adalah jaringan teknologi informasi (information technology network), bangunan dan investasi fisik lainnya untuk menyediakan tempat dan alat bagi para anggota organisasi untuk berinteraksi (Cordella 2001). Sedangkan biaya koordinasi adalah biaya peubah (variable cost). Biaya koordinasi ini didefinisikan sebagai biaya yang muncul akibat adanya kebutuhan
43
untuk saling berbagi informasi dan aksi yang dapat mendukung berlangsungnya aksi bersama antara para anggotanya (Alchian & Demzets 1972, diacu dalam Cordella 2001). Sebagai tambahan, biaya peubah ini tidak hanya mencakup biaya langsung (direct cost) atas usaha mengumpulkan dan mengirimkan informasi, tetapi juga biaya atas waktu akibat adanya selang waktu antara dilangsungkannya komunikasi dan diambilnya keputusan (Milgrom & Roberts 1992, diacu dalam Cordella 2001). Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Gabre-Madhin
(2001)
mengenai
kelembagaan pasar, biaya transaksi, dan modal sosial di pasar komoditas tanaman biji-bijian (grain market) di Etiopia melihat biaya transaksi dari sisi biaya pencarian (search cost) mitra untuk bertransaksi dan biaya menunggu (resources spent in waiting) dalam bentuk stok komoditas (grains stock) ketika proses pencarian sedang berlangsung. Biaya transaksi ini lantas diestimasi dengan menggunakan opportunity costs dari biaya pencarian dan biaya menunggu. Opportunity costs diturunkan sebagai shadow costs dari fungsi penerimaaan para pedagang (trader’s profit function). Fungsi maksimalisasi penerimaan (trader’s revenue maximization) adalah sebagai berikut:
R = ϒδLαKβeε-ωL-υK…..………….......................(2.2) dimana R
=
penerimaan dikurangi
bersih
biaya
(net
revenue),
pemasaran
yaitu
(revenue
penerimaan
minus
physical
untuk
aktivitas
marketing costs); ϒ
=
modal sosial;
ω
=
opportunity
costs
biaya
tenaga
kerja
pencarian (search labor, L); υ
=
opportunity costs dari working capital (K).
Berdasarkan first-order condition dari maksimalisasi profit, maka shadow opportunity costs dari ω (ω*) dan υ (υ*) adalah ω*=αR/L; υ*=βR/K.
44
2.4
Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Rony (1996) mengenai transaksi jual beli
lahan di kota Bogor menunjukkan bahwa biaya transaksi yang muncul pada saat jual beli tersebut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu (i) biaya kontrak, (ii) biaya pengawasan dan penegakan hukum, dan (iii) biaya informasi. Biaya kontrak adalah biaya yang diperlukan untuk pembuatan akta kesepakatan jual beli, dalam hal ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk jasa pejabat pembuat akta tanah (camat dan notaris) berikut para saksi. Biaya pengawasan dan penegakan hukum adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan pengamanan dan jaminan bahwa pelaksanaan suatu keputusan hukum jual-beli dapat berlangsung lancar dan mencegah pihak luar yang tidak berkompeten terlibat dalam kegiatan transaksi. Biaya informasi adalah biaya yang diperlukan untuk memperoleh seluruh informasi mengenai lahan, penjual, pembeli, harga, kondisi, dan mekanisme perolehannya. Biaya ini berbentuk biaya jasa yang diberikan kepada calo tanah atas keterlibatannya dalam jual beli lahan (Rony 1996). Beberapa temuan penting dari penelitian tersebut adalah (i) hak kepemilikan yang semakin lengkap (dalam bentuk lahan yang berstatus hak milik) dapat lebih menurunkan biaya transaksi. Pada hak kepemilikan yang kurang lengkap (dalam bentuk lahan yang berstatus milik adat), biaya transaksinya menjadi lebih besar utamanya pada biaya kontrak, (ii) kelembagaan formal yang kurang ditegakkan (dalam bentuk aturan mengenai biaya legalisasi akta jual beli dan biaya administrasi pengurusan izin prinsip) menyebabkan biaya transaksi menjadi meningkat karena pungutan-pungutan dikenakan melebihi ketentuan. Praktek-praktek inipun sebenarnya juga telah melembaga. Chhibber (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) memang menyebutkan bahwa praktek-praktek korupsi menjadi kontributor biaya transaksi, (iii) meskipun keterlibatan pihak ketiga (dalam penelitian ini adalah calo tanah) meningkatkan biaya transaksi, namun keterlibatannya tetap saja dibutuhkan karena para calo tanah ini menyediakan segala informasi yang diperlukan sehingga calon pembeli dapat menghindarkan diri dari kerugian atas suatu transaksi. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2005) di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa setiap Rp 100,00 dari penerimaan petani pemilik, maka Rp 19,00 harus dikeluarkan sebagai biaya transaksi atau dengan kata lain rasio biaya transaksi terhadap penerimaan (transaction cost to
45
benefit ratio) adalah sebesar 0,19. Untuk petani penggarap, rasionya lebih kecil yaitu 0,18. Jika dilihat rasio biaya transaksi terhadap biaya total (transaction cost to total cost ratio), maka petani pemilik memiliki rasio lebih besar yaitu 0,30 bila dibandingkan dengan petani penggarap yang memiliki rasio 0,21. Artinya, untuk petani pemilik, setiap Rp 100,00 yang dikeluarkan sebagai biaya produksi maka sebesar Rp 30,00 adalah biaya yang dikeluarkan untuk biaya transaksi. Nelayan, yang juga diteliti pada penelitian yang sama, menghadapi biaya transaksi pula. Nelayan dibedakan atas nelayan kincang dan nelayan diesel. Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan nelayan kincang sebesar 0,17 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,10. Rasio biaya transaksi terhadap biaya total untuk nelayan kincang sebesar 0,24 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,15. Selengkapnya mengenai biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5
Rasio biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Petani Rasio
Nelayan
Pemilik
Penggarap
Kincang
Diesel
Rasio biaya transaksi terhadap biaya total (transaction cost to total cost ratio)
0.30
0.21
0.24
0.15
Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan (transaction cost to benefit ratio)
0.19
0.18
0.17
0.10
Sumber: Diolah dari Anggraini (2005)
Komponen biaya transaksi yang dihadapi oleh setiap pelaku ekonomi pada penelitian Anggraini (2005) tidaklah sama. Petani pemilik menghadapi komponen biaya transaksi meliputi (i) biaya transaksi tetap (fixed transaction costs) yaitu biaya pengesahan jual beli tanah dan biaya peralihan hak tanah dan bangunan (BPHTB), dan (ii) biaya transaksi peubah (variable transaction cost) meliputi biaya mempertahankan kontrak, biaya perantara (middlemen costs), biaya pengangkutan hasil panen, dan pungutan penggunaan irigasi. Petani penggarap menghadapi komponen biaya transaksi yang sama seperti petani pemilik kecuali untuk biaya transaksi tetap dan biaya mempertahankan kontrak. Nelayan diesel menghadapi komponen biaya transaksi meliputi biaya manajemen, retribusi hasil tangkapan, biaya tambat dan keamanan kapal, dan biaya pelaksanaan tradisi laut. Nelayan kincang menghadapi biaya transaksi meliputi biaya perantara bakul
46
(middlemen costs), biaya tambat dan keamanan perahu, dan biaya pelaksanaan tradisi laut. Hal ini mendukung pernyataan Sadoulet & de Janvry (1995, diacu dalam Gabre-Madhin 2001) yang menyatakan bahwa biaya transaksi bersifat spesifik untuk masing-masing aktor pasar dan tidak ada satu harga pasar yang efektif (single effective market price) pada saat pertukaran terjadi. Penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab biaya transaksi pada nelayan dan petani diantaranya adalah struktur pasar yang tidak sempurna dan penegakan aturan yang lemah. Struktur pasar yang tidak sempurna ditandai dengan jumlah pembeli yang jauh lebih sedikit dibanding jumlah penjual dan informasi yang bersifat asimetris antara pembeli dan penjual. Penegakan aturan yang lemah terkait dengan tidak berjalannya pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagaimana mestinya dan pengawasan terhadap kebijakan harga dasar gabah mengingat petani selalu mendapatkan harga gabah yang lebih rendah dibandingkan harga pasar. Struktur pasar yang tidak
sempurna
dan
penegakan
aturan
yang
lemah
sejatinya
adalah
permasalahan-permasalahan kelembagaan. Bentuk disertasi
kelembagaan
Sukmadinata
mempengaruhi
(1995)
mengenai
biaya
transaksi.
kelembagaan
Berdasarkan
transaksi
dalam
pemasaran hasil usaha penangkapan ikan di Jawa Timur, diketahui bahwa kelembagaan
penjualan
hasil
tangkapan
melalui
TPI/PPI
(Pusat-pusat
Pendaratan Ikan) menyebabkan biaya transaksi yang lebih tinggi bagi nelayan dibandingkan dengan jika nelayan menjual hasil tangkapannya di luar TPI/PPI. Demikian pula halnya dengan tesis yang disampaikan Yani (1999). Menggunakan kasus budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di wilayah Kepulauan Riau, disimpulkan bahwa mekanisme kontrak informal antara nelayan KJA dengan tauke (tauke adalah orang-orang yang memiliki modal usaha di bidang perikanan dan memberikan pinjaman modal usaha kepada nelayan) untuk urusan penjualan ikan mampu menurunkan biaya transaksi sebesar Rp 19.436,88 untuk setiap ekor ikan kerapu yang diperdagangkan. Di dalam mekanisme kontrak informal ini, nelayan KJA adalah sebagai penerima harga (price taker) saja, sedangkan tauke sebagai penentu harga. Mekanisme kontrak informal ini dapat disebut sebagai principal-agent relation (PAR). Principal dapat diartikan sebagai pemimpin atau sponsor dan dalam PAR ini tauke-lah yang menjadi principal karena perannya sebagai
47
penentu harga. Agent dapat diartikan sebagai anak buah dan ini diperankan oleh nelayan KJA karena nelayan sebagai penerima harga. PAR adalah salah satu alternatif bentuk kelembagaan yang dipilih oleh tauke dan nelayan KJA untuk melaksanakan transaksi penjualan ikan. Terdapat alternatif bentuk kelembagaan lain yaitu pasar terbatas, kontrak formal, aliansi strategis, koperasi formal, dan integrasi vertikal. Dasar pemilihan bentuk kelembagaan utamanya adalah tingkat pengurangan ketidakpastian dan biaya transaksi. Secara umum, kelembagaan pasar terbatas menyebabkan biaya transaksi yang tinggi, sistem kontrak formal bersifat kurang adaptif terhadap perubahan situasi sehingga kurang bisa menghadapai ketidakpastian, dan aliansi strategis melibatkan aset yang bersifat spesifik (assets specificity) sehingga meningkatkan biaya transaksi. Kelembagaan koperasi formal sebenarnya dapat meningkatkan posisi tawar nelayan KJA tetapi belum mampu menawarkan keuntungan finansial kepada anggotanya. Mengenai bentuk kelembagaan integrasi vertikal, ini adalah bentuk kelembagaan ideal karena (i) resiko dan keuntungan ditanggung bersama antara nelayan dan tauke, (ii) hubungan kerjasama bersifat jangka panjang, (iii) informasi sempurna (perfect information) dan terdistribusi merata, (iv) adanya stabilitas usaha, dan (v) kedua belah pihak terikat pada kesepakatan yang dibuat. Hanya saja, untuk menuju bentuk kelembagaan integrasi vertikal ini ada syarat yang harus dipenuhi yaitu produk dengan mutu yang terstandarisasi, memiliki sarana transportasi yang memadai, dan modal yang mendukung. Mengingat syarat ini belum dapat dipenuhi maka integrasi vertikal belum dipilih sebagai bentuk kelembagaan yang menangani transaksi penjualan ikan. Hal-hal yang mendasari sehingga PAR menjadi bentuk kelembagaan yang meminimumkan biaya transaksi adalah transaksi didasari oleh sikap saling percaya (trust) dan kekeluargaan sebagai kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang
sejak
lama
dalam
struktur
masyarakat
nelayan
pantai.
Ketidakpastian pun, sebagai satu faktor penyebab munculnya biaya transaksi, dapat dikurangi baik ketidakpastian dari pihak nelayan seperti pemenuhan kebutuhan operasional dan fluktuasi harga maupun ketidakpastian dari pihak tauke seperti pasokan ikan kerapu hidup yang tidak berkesinambungan. Penelitian yang dilakukan oleh Poel (2005) mengenai kelembagaan informal, biaya transaksi, dan rasa saling percaya dengan studi kasus mengenai
48
pembangunan rumah oleh kaum migran di Ghana menyatakan bahwa kelembagaan baru dapat meminimumkan biaya transaksi jika kelembagaan tersebut dapat mendorong munculnya saling percaya (trust) terlebih dahulu. Saling percaya menghubungkan kelembagaan dengan biaya transaksi.
3 3.1
METODOLOGI
Kerangka Pendekatan Studi Sumber daya itu bersifat langka sehingga setiap pihak akan saling
berkompetisi dengan lainnya untuk mendapatkannya. Pada situasi ketika tidak ada hak kepemilikan (absence of propery rights), maka kompetisi akan berlangsung dengan kekerasan (destructive competition) (Alchian 2002) hingga yang terjadi kemudian adalah dunia yang anarkis (a world of anarchy) (Allen 2005). Pada situasi ketika hak kepemilikan terdefinisikan dan terlindungi dengan sempurna (well-defined and well-protected property rights), maka kompetisi akan berlangsung secara damai (competition by peaceful means) (Alchian 2002). Oleh karena itulah hak kepemilikan butuh untuk dibangun (establish) dan dijaga (maintain). Upaya untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan tentu membutuhkan sumber daya, misalnya membeli pagar dan gemboknya berikut menggaji seorang penjaga rumah adalah sumber daya yang digunakan untuk menjaga hak kepemilikan. Segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan adalah biaya transaksi (Allen 1991, 1999, 2005). Untuk mengukur biaya transaksi, unit analisis yang digunakan adalah transaksi sebagai unit analisis mikro (microanalytic unit) (Williamson 1996). Transaksi dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu (i) tahap akuisisi, tahap ini serupa dengan ex-ante cost pada penggolongan biaya transaksi versi Williamson (1996). Tahap akuisisi adalah tahap untuk membangun hak kepemilikan atas suatu sumber daya melalui perancangan, negosiasi, dan kesepakatan kontrak, (ii) tahap distribusi, adalah tahap untuk mengalokasikan sumber daya dengan batasan kontrak yang dibuat pada tahap akuisisi sebelumnya. Alokasi sumber daya ini ditentukan oleh distribusi hak kepemilikan sebagaimana Teori Coase nyatakan, dan (iii) tahap penjagaan, adalah tahap untuk menjaga agar pengunaan sumber daya sesuai dengan kontrak dan alokasinya. Pembagian transaksi ke dalam tiga tahapan inilah yang mencirikan mazhab hak kepemilikan dan membedakannya dengan mazhab neoklasik. Pada mazhab hak kepemilikan, biaya untuk mendistribusikan dan menjaga sumber daya adalah biaya transaksi internal di dalam aktor pasar (atau internal to the firms). Pada mazhab neoklasik, biaya transaksi hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar
49
(across market) saja (Cheung 1969, diacu dalam Allen 1999) dan jenis biaya penegakan (enforcement-type cost) di dalam perusahaan bukanlah biaya transaksi (Allen 1999). Kelembagaan mempengaruhi biaya transaksi pada ketiga tahapan tersebut (akuisisi, distribusi dan penjagaan). Pada tahap akuisisi, kelembagaan mempengaruhi biaya transaksi salah satunya melalui pilihan akan jenis kontrak. Pada tahap distribusi, kelembagaan mempengaruhi biaya transaksi melalui distribusi hak kepemilikan. Pada tahap penjagaan, kelembagaan mengatur mekanisme dan intensitas penjagaan internal (dilakukan sendiri oleh organisasi yang bersnagkutan) dan eksternal (dilakukan bersama dengan mitra transaksi). Khusus mengenai tahap akuisisi, mengingat tahapan ini adalah tahapan antar aktor pasar maka biaya transaksinya juga dipengaruhi oleh kelembagaan lain sebagai mitra transaksi. Biaya transaksi diukur dengan menghitung sumber daya manusia dan nilai atas waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan masing-masing dari ketiga tahap transaksi tersebut. Nilai atas sumber daya manusia dan waktu ditentukan dengan nilai opportunity cost-nya. Persamaan untuk mengukur biaya transaksi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: 3
3
a =1
a =1
TC tj = ∑ Tatj + ∑ H atj ….………………..............(3.1) dimana: TCtj
= biaya transaksi pada transaksi t di kelembagaan j;
j
= kelembagan (1 = KALAM, 2 = KARTAR);
Tatj
= opportunity costs dari waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tahap a pada transaksi t di kelembagaan j;
Hatj
= opportunity costs dari sumber daya manusia yang melaksanakan tahap a pada transaksi t di kelembagaan j;
a
= 1 adalah tahap akuisisi hak kepemilikan, 2 adalah tahap distribusi hak kepemilikan, 3 adalah tahap penjagaan hak kepemilikan. Besaran biaya transaksi yang didapatkan dipengaruhi oleh faktor-faktor
meliputi (i) modal sosial dalam bentuk jaringan dan reputasi mempengaruhi biaya transaksi secara negatif, dan (ii) kelengkapan dan kesempurnaan hak
50
kepemilikan (completeness and perfection of property rights), informasi asimetris (asymmetric information) dan spesifisitas aset (assets specificity) mempengaruhi biaya transaksi secara positif. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi dan bentuk pengaruhnya dapat dituliskan dalam persamaaan sebagai berikut: Biaya transaksi = f
(
network −
eight imperfect property right asymmetric inf ormation asset specificity , reputation , incomplete property , , , − + + + +
)
(3.2). Tujuan kedua dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap besaran biaya transaksi pada kedua kelembagaan pemuda. Tujuan kedua ini dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
TCtj = f ( X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 ) ...…..............................(3.3) dimana: TCtj
= biaya transaksi pada transaksi t di kelembagaan j;
x1
= kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan (kualitas hubungan sebelumnya dengan mitra transaksi, jumlah anggota yang menjadi teman akrab);
x2
= aspek reputasi dari modal sosial (tingkat tugas yang diselesaikan responden dan anggota lainnya secara tepat waktu dan sesuai);
x3
= hak kepemilikan yang tidak lengkap (hak individu dan organisasi untuk memilih
bentuk-bentuk
penggunaan
sumber
daya,
hak
untuk
mendapatkan manfaat ekonomi, hak untuk mengecualikan pihak lain, hak untuk mentransfer sumber daya); x4
= hak kepemilikan yang tidak sempurna (tingkat penggunaan sumber daya oleh orang yang tidak berhak);
x5
= informasi asimetris (tingkat penguasaan informasi antar orang dan responden mengenai kondisi sumber daya);
x6
= tingkat
spesifisitas
aset
(tingkat
penggunaan
secara
berbeda
dibandingkan yang dimaksudkan di awal, tingkat kerugian akibat penggunaan secara berbeda). Penelitian ini juga hendak mengetahui tingkat efektivitas kelembagaan dalam mencapai tujuannya yang dapat dikaitkan sebagai implikasi dari besaran biaya transaksi. Tingkat pencapaian tujuan kelembagaan dilihat dari tiga hal (i) seberapa baik masyarakat mengenal masing-masing lembaga dari sisi tujuan
51
dan kegiatan-kegiatannya, (ii) seberapa banyak pemuda yang mendapat pengaruh positif, dan (iii) seberapa besar dampak dari pengaruh positif yang diberikan. Selengkapnya mengenai kerangka pendekatan studi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1
Kerangka pendekatan studi yang digunakan di dalam penelitian ini
52
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilangsungkan di Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM)
Kelurahan Tegal Gundil Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor dan Karang Taruna Berbakti (KARTAR) Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor.
Gambar 2
Lokasi KALAM di Kelurahan Tegal Gundil dan KARTAR di Kelurahan Kebon Pedes sebagai tempat penelitian (sumber peta: Bappeda Kota Bogor 2009).
Pemilihan dua organisasi ini didasari oleh (i) keduanya merupakan kelembagaan yang telah bertahan lama (long lived institutions) menandakan bahwa keduanya efisien sehingga sesuai untuk dijadikan subyek penelitian biaya transaksi, (ii) keduanya merupakan organisasi pemuda berbasis wilayah yaitu di tingkat kelurahan sehingga turut sebagai pihak pengelola sumber daya wilayah, dan (iii) keduanya berprestasi baik di tingkat kota Bogor maupun provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September 2008 hingga Mei 2009. Pengolahan data dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2009.
53
3.3
Metode Penelitian yang Digunakan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus pada dua
organisasi pemuda. Metode studi kasus ini digunakan sehingga dapat dikaji secara lebih mendalam mengenai biaya transaksi pada dua organisasi pemuda tersebut dengan tetap mempertimbangkan karakteristik lokalnya. Hasil dari studi kasus pada masing-masing kelembagaan ini lantas dibandingkan. Pembandingan dilakukan sehingga diketahui faktor-faktor yang melekat (embedded) pada masing-masing organisasi yang mempengaruhi minimalisasi biaya transaksi dan juga diketahui pengaruh dari besaran biaya transaksi terhadap efektivitas pencapaian tujuan kelembagaan.
3.4
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini bersifat mikro (dengan unit analisisnya adalah transaksi
sebagai microanalytic unit) sehingga keseluruhan data yang diolah adalah data primer. Data primer didapatkan melalui observasi lapang, wawancara mendalam, dan pengisian kuesioner oleh responden yang terdiri atas (i) responden pelaku, ialah pengurus dan anggota masing-masing lembaga pemuda yang terlibat dalam transaksi, dan (ii) responden penerima manfaat (beneficiaries), ialah masyarakat kelurahan setempat dimana kelembagaan tersebut berada. Data sekunder dalam bentuk monografi kelurahan dari pemerintah kelurahan setempat dikumpulkan untuk membangun populasi dari responden beneficiaries sebagai dasar penarikan sampel. Bahan-bahan pustaka dan hasilhasil penelitian terdahulu juga merupakan data sekunder yang dikumpulkan sebagai referensi.
3.5
Teknik Pengambilan Responden Pengambilan responden pelaku dilakukan melalui sensus mengingat
populasinya yang kecil yaitu enam orang anggota KALAM dan lima orang anggota KARTAR sehingga keseluruhan jumlah responden pelaku mencapai 11 orang.
Pengambilan
responden
beneficiaries
dilakukan
dengan
teknik
pengambilan sampel bertingkat (stratified random sampling) yaitu pengambilan responden dengan cara mengelompokkan anggota populasi berdasarkan kategori-kategori tertentu. Populasi adalah warga Rukun Tetangga (RT) tempat organisasi KALAM dan KARTAR berlokasi. Kategori yang digunakan adalah
54
kelompok umur, yaitu kategori pemuda (dalam rentang usia 18-35 tahun berdasarkan definisi pemuda menurut RUU Kepemudaan) dan kategori dewasa (usia di atas 35 tahun). Langkah yang pertama kali dilakukan adalah membangun data populasi dalam bentuk daftar nama warga dari masing-masing RT tempat berlokasinya KALAM dan KARTAR. Dari data populasi tersebut maka diketahui jumlah keseluruhan warga RT yaitu sekitar 180 orang di RT tempat KALAM berlokasi dan sekitar 100 orang di RT tempat KARTAR. Jumlah responden beneficiaries yang diambil di dalam penelitian ini adalah 10% dari total populasi sehingga didapat 18 orang warga di RT tempat KALAM berlokasi dan 10 orang warga di RT tempat KARTAR berlokasi. Jumlah responden tersebut dibagi lagi menurut stratifikasi usia dengan komposisi 50% pemuda dan 50% dewasa. Setelah didapatkan jumlah responden beneficiaries pemuda dan dewasa, maka selanjutnya ditentukanlah responden secara acak.
3.6
Pengukuran Besaran Biaya Transaksi pada KALAM dan KARTAR Pengumpulan data untuk mengukur besaran biaya transaksi dilakukan
melalui wawancara mendalam dengan responden pelaku pada KALAM dan KARTAR. Pengukuran biaya transaksi dilakukan terhadap transaksi sebagai unit analisis. Kriteria transaksi untuk kedua organisasi pemuda ini adalah (i) memiliki nilai kontrak yang sama antara KALAM dan KARTAR, dan (ii) kontrak tersebut bernilai besar bagi kedua organisasi tersebut. Kriteria transaksi tersebut dibutuhkan agar biaya transaksi pada kedua organisasi dapat diperbandingkan. Transaksi dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu (i) tahap akuisisi, adalah tahap untuk membangun hak kepemilikan atas suatu sumber daya melalui perancangan, negosiasi, dan kesepakatan kontrak, (ii) tahap distribusi, adalah tahap untuk mengalokasikan sumber daya dengan batasan kontrak yang dibuat pada tahap akuisisi sebelumnya, dan (iii) tahap penjagaan, adalah tahap untuk menjaga agar pengunaan sumber daya sesuai dengan kontrak dan alokasinya. Pengukuran biaya transaksi dilakukan pada masing-masing tahapan tersebut. Pengukuran biaya transaksi membutuhkan variabel proxies. Proxies yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah opportunity costs dari sumber daya manusia dan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan ketiga tahapan
55
transaksi tersebut. Persamaan untuk mengukur biaya transaksi adalah sebagai berikut: 3
3
a =1
a =1
TC tj = ∑ Tatj + ∑ H atj ….………………................(3.1) dimana: TCtj
= biaya transaksi (Rp) pada transaksi t di kelembagaan j;
j
= kelembagan (1 = KALAM, 2 = KARTAR);
Tatj
= opportunity costs (Rp) dari waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tahap a pada transaksi t di kelembagaan j;
Hatj
= opportunity costs (Rp) dari sumber daya manusia yang melaksanakan tahap a pada transaksi t di kelembagaan j;
a
= 1 adalah tahap akuisisi hak kepemilikan, 2 adalah tahap distribusi hak kepemilikan, 3 adalah tahap penjagaan hak kepemilikan. Penghitungan opportunity costs atas waktu (Tatj) menggunakan suku bunga
tabungan tertinggi per Oktober 2008 berdasarkan informasi dari situs Bank Indonesia yaitu sebesar 5,37%. Opportunity costs atas sumber daya manusia dihitung dengan menggunakan Upah Minimum Regional (UMR) tahun 2009 yang berlaku untuk usaha kecil menengah (UKM) di kota Bogor yaitu sebesar Rp 769.626,00/bulan (Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.684Bangsos/2008).
3.7
Pengujian Faktor-faktor Kelembagaan terhadap Minimalisasi Biaya Transaksi
yang
Berpengaruh
Pengujian faktor-faktor kelembagaan yang mempengaruhi minimalisasi biaya transaksi dilakukan dengan menggunakan alat analisis fungsi diskriminan (discriminant function analysis). Data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner oleh responden pelaku pada KALAM dan KARTAR. Kuesioner selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Group j = a j + b1 j x1 j + b2 j x2 j + b3 j x3 j + b4 j x4 j + b5 j x5 j + b6 j x6 j ...........................(3.4) dimana: j
= kelembagan (1 = KALAM, 2 = KARTAR)
56
a
= konstanta
b
= koefisien regresi
x1
= kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan (kualitas hubungan sebelumnya dengan mitra transaksi, jumlah anggota yang menjadi teman akrab)
x2
= aspek reputasi dari modal sosial (tingkat tugas yang diselesaikan responden dan anggota lainnya secara tepat waktu dan sesuai)
x3
= hak kepemilikan yang tidak lengkap (hak individu dan organisasi untuk memilih
bentuk-bentuk
penggunaan
sumber
daya,
hak
untuk
mendapatkan manfaat ekonomi, hak untuk mengecualikan pihak lain, hak untuk mentransfer sumber daya) x4
= hak kepemilikan yang tidak sempurna (tingkat penggunaan sumber daya oleh orang yang tidak berhak)
x5
= informasi asimetris (tingkat penguasaan informasi antar orang mengenai kondisi sumber daya)
x6
= tingkat spesifisitas aset (tingkat penggunaan secara berbeda dibandingkan yang dimaksudkan di awal, tingkat kerugian akibat penggunaan secara berbeda) Pengukuran variabel penjelas dilakukan dengan menggunakan skoring.
Kategori yang digunakan untuk masing-masing variabel berikut skoringnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Data yang didapatkan dari pengukuran variabel penjelas adalah data kualitatif dengan skala data ordinal.
3.7.1 Analisis Fungsi Diskriminan KALAM dapat dikatakan sebagai grup 1 sedangkan KARTAR adalah grup 2. Kedua grup ini diduga akan memiliki besaran biaya transaksi yang berbeda. Untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi perbedaan biaya transaksi tersebut maka digunakan analisis fungsi diskriminan (discriminant function analysis). Analisis fungsi diskriminan digunakan untuk menentukan variabel-variabel yang membedakan (discriminate) antara dua grup atau lebih. Satu contoh penggunaan analisis ini adalah pada lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
57
Para lulusan ini dapat dikelompokkan menjadi lulusan yang melanjutkan pendidikan (sebagai grup 1) dan lulusan yang tidak melanjutkan pendidikan (sebagai grup 2). Variabel yang diduga mempengaruhi berlanjut tidaknya pendidikan oleh lulusan SMA untuk melanjutkan pendidikannya atau tidak misalnya adalah prestasi siswa setahun sebelum kelulusan. Maka, setahun sebelum kelulusan variabel tersebut diukur. Setelah kelulusan dan grup yang melanjutkan pendidikan dan tidak telah diketahui, maka dihitung rata-rata (means) variabel prestasi siswa yang telah diukur sebelumnya. Jika nilai rata-rata variabel antara grup 1 dan 2 ternyata berbeda, maka dapat dikatakan bahwa prestasi siswa setahun sebelum kelulusan dapat digunakan untuk membedakan (discriminate) antara siswa yang akan melanjutkan pendidikannya dengan yang tidak. Secara ringkas, ide dasar dari analisis fungsi diskriminan adalah menentukan variabel-variabel yang menjadi pembeda antar grup yang diperbandingkan. memprediksi
Variabel
keanggotaan
pembeda grup
itu
pada
lantas
dapat
kasus-kasus
digunakan yang
lebih
untuk baru.
Menggunakan contoh sebelumnya, jika diketahui bahwa prestasi siswa setahun sebelum kelulusan mempengaruhi melanjutkan tidaknya siswa ke pendidikan tinggi, maka variabel tersebut dapat digunakan untuk memprediksi siswa-siswa mana yang sekiranya melanjutkan pendidikan dan mana yang tidak. Proses perhitungan analisis ini serupa dengan ANOVA (Analysis of Variance) jika menggunakan satu variabel saja, dan serupa dengan MANOVA (Multivariate Analysis of Variance) jika variabel yang diuji lebih dari satu. Untuk mengetahui nyata tidaknya suatu variabel membedakan antar grup maka digunakan tes F jika hanya satu variabel saja yang digunakan atau multivariate F test jika terdapat beberapa variabel. Pada pengujian yang hanya melibatkan dua grup saja, maka analisis fungsi diskriminan ini juga sama dengan regresi berganda. Dua grup yang diperbandingkan itu dapat diperlakukan sebagai variabel tujuan sebagaimana pada analisis regresi berganda. Secara umum, kasus dua grup akan memenuhi persamaan sebagai berikut:
Group = a + b1 x1 + b2 x 2 + ... + bm x m ......................................(3.5)
58
dimana a adalah konstanta dan b1 hingga bm adalah koefisien regresi. Interpretasi hasil analisis fungsi diskriminan pada dua grup mengikuti logika regresi berganda bahwa variabel-variabel yang memiliki koefisien regresi terbesar adalah variabelvariabel yang paling berkontribusi terhadap prediksi keanggotaan grup. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa
analisis fungsi
diskriminan ini memiliki kemiripan penghitungan dengan MANOVA, maka asumsi-asumsi yang berlaku pada MANOVA juga berkalu pada analisis fungsi diskriminan. Asumsi-asumsi tersebut adalah (i) data untuk setiap variabel memiliki distribusi normal. Normal tidaknya distribusi pada setiap variabel dapat diuji dengan menggunakan histogram distribusi frekuensi. Hanya saja, pelanggaran terhadap asumsi ini biasanya tidak berdampak fatal, dalam arti tes signifikansinya masih dapat ”nyata (trustworthy)”, (ii) homogenitas varian dan kovarian, diasumsikan bahwa matriks varian/kovarian variabel adalah homogen antar grup. Sebagaimana pada asumsi distribusi normal, penyimpangan kecil pada asumsi homogenitas ini juga tidak akan berdampak fatal, (iii) korelasi antara rata-rata dan varian, asumsi inilah yang memiliki dampak fatal terhadap tes signifikansi. Hal ini terjadi ketika nilai rata-rata variabel antar grup berkorelasi dengan varian (atau standar deviasi). Pada prakteknya, situasi ini dapat terjadi ketika salah satu grup yang diuji memiliki beberapa pencilan (outliers) ekstrim dan mempengaruhi nilai rata-rata secara signifikan sekaligus juga meningkatkan variablitas, dan (iv) redundansi variabel. Variabel yang digunakan untuk membedakan antar kelompok tidak boleh redundan. Sebagai contoh redundansi adalah
digunakannya
satu
variabel
yang
sebenarnya
merupakan
hasil
penjumlahan dari tiga variabel lainnya. Untuk menghindari hal ini dilakukan penghitungan nilai toleransi (tolerance value) untuk setiap variabel dengan rumus:
Tolerancevalue = 1 − R 2 Pada kasus variabel redundan maka nilai toleransi akan mendekati nol.
Fungsi Klasifikasi Salah satu tujuan utama lainnya dari penggunaan analisis fungsi diskriminan adalah untuk memprediksi klasifikasi dari suatu kasus. Setelah model selesai dibangun dan fungsi diskriminan telah ditentukan, maka hasil
59
tersebut dapat digunakan untuk memprediksi grup mana yang menjadi golongan dari suatu kasus tertentu. Fungsi klasifikasi dapat digunakan untuk menggolongkan suatu kasus ke dalam grup yang paling sesuai. Jumlah fungsi klasifikasi adalah sama dengan jumlah grup. Setiap fungsi menghitung skor klasifikasi untuk setiap kasus pada setiap grup dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
S i = ci + wi1 x1 + wi 2 x 2 + ... + wim x m ..........................................(3.6) dimana: i adalah grup; 1,2,...,m adalah variabel sejumlah m; ci adalah konstanta untuk grup i; wij adalah bobot dari variabel ke-j pada komputasi skor klasifikasi untuk grup i; xj adalah nilai yang diobservasi untuk setiap kasus pada variabel kej; dan Si adalah hasil skor klasifikasi. Pengolahan data menggunakan analisis fungsi diskriminan ini dilakukan dengan software Statistica versi 6.0 dan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 14. Dua jenis software ini digunakan karena meskipun hasil pengolahan datanya sama tetapi masing-masingnya memiliki tampilan hasil yang berbeda sehingga dapat saling melengkapi.
3.8
Penilaian Efektivitas Pencapaian Tujuan
Kedua
Organisasi
Pemuda
dalam
Pada kasus organisasi pemuda pemuda, maka efektivitas kelembagaan dalam mencapai tujuan dilihat dari tiga hal (i) seberapa baik masyarakat mengenal masing-masing lembaga dari sisi tujuan dan kegiatan-kegiatannya, (ii) seberapa banyak pemuda yang mendapat pengaruh positif, dan (iii) seberapa besar dampak dari pengaruh positif yang diberikan. Tiga hal tersebut adalah proxies untuk menilai tingkat pencapaian dari pernyataan tujuan (objective statement) masing-masing organisasi pemuda. Secara umum, baik Karang Taruna Berbakti maupun KALAM menyatakan di dalam tujuannya mengenai pemberdayaan peranan anak muda. Penilaian efektivitas kelembagaan dalam pencapaian tujuan dilakukan dengan mengumpulkan data melalui pengisian kuesioner oleh responden beneficiaries, yaitu warga masyarakat yang bertempat tinggal pada RT yang sama dengan tempat berlokasinya Karang Taruna Berbakti dan KALAM. Penilaian efektivitas kelembagaan oleh beneficiaries ini dilakukan agar penilaian
60
dapat menjadi lebih obyektif. Kuesioner selengkapnya untuk responden beneficiaries dapat dilihat pada Lampiran 2. Data yang terkumpul diolah selanjutnya secara deskriptif dengan menggunakan rata-rata (mean) dan alat statistika deskriptif lainnya. Software yang dipergunakan adalah Microsoft Excel 2003. Hasil olahan deskriptif ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai pengaruh dari besaran biaya transaksi terhadap efektivitas kelembagaan dalam mencapai tujuannya.
4 4.1
GAMBARAN UMUM STUDI KASUS PENELITIAN
Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) KALAM
adalah
organisasi
kepemudaan
yang
beranggotakan
dan
berkegiatan di tingkat kelurahan tepatnya di Kelurahan Tegal Gundil Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor. Sekretariat KALAM beralamat di Jl. H. Ahmad Sobana Gang KALAM RT 03 RW 10. Saat ini KALAM diawaki oleh tujuh orang pengurus yang baru terpilih beberapa bulan yang lalu sebagai bagian dari rotasi kepemimpinan. KALAM berdiri pada tanggal 10 Agustus 2002. Inisiatif pendiriannya berasal dari pemuda setempat, demikian pula halnya dengan aturan main yang dibangun oleh para anggotanya. Hal inilah yang menjadikan KALAM juga dapat digolongkan sebagai kelembagaan informal. Aturan main tersebut dibangun baik secara tertulis dalam bentuk Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga maupun secara tidak tertulis dalam bentuk nilai dan norma. Menggunakan definisi dari Koentjaraningrat (2002), nilai adalah sumber dari norma, karena nilai merupakan konsep mengenai apa yang berharga dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman. Sebagai konsep, maka nilai bersifat sangat umum dan memiliki ruang lingkup sangat luas. Nilai berada di daerah emosional dari alam jiwa para individu warga kebudayaan. Norma bersifat lebih khusus dibanding nilai dan telah memuat aturan-aturan untuk bertindak. Latar belakang pendirian KALAM, sebagaimana tertulis pada company profile, berangkat dari situasi bahwa Kelurahan Tegal Gundil beranggotakan warga pendatang selain juga warga pribumi. Banyaknya pendatang dikarenakan letak geografis Kelurahan Tegal Gundil yang dekat dengan pusat kota Bogor. Implikasi dari situasi ini sebagaimana dilihat oleh para pendiri KALAM adalah terjadinya pergeseran budaya setempat. Komunikasi dan silaturahmi yang terjalin antara warga pendatang dan warga pribumi pun dirasakan kurang. Hal ini diperburuk lagi dengan kondisi rendahnya peluang kerja dan dampak negatif yang dibawa oleh budaya urban dan global terhadap pemuda. Pilihan kegiatan positif yang dimiliki oleh para pemuda juga sangat sedikit. Akhirnya, banyak pemuda yang terjebak pada kegiatan-kegiatan negatif.
62
Latar belakang tersebut menjadi mandat bagi berdirinya KALAM dan sesuai dengan mandat tersebut maka dirumuskanlah visi KALAM sebagai berikut “Terbangunnya tatanan sosial yang baik dan kemandirian di warga Tegal Gundil melalui kebersamaan anak muda”. Untuk dapat menggapai visi tersebut, maka misi yang ditetapkan adalah “Mendorong peningkatan kapasitas pemuda sesuai potensi yang ada di wilayahnya”. Bagan organisasi KALAM dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3
Bagan organisasi Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM).
Selama masa perjalanannya hingga saat ini ada beberapa karya yang telah dihasilkan. Karya pertama yang penting disebutkan adalah membangun media informasi bagi warga melalui koran dan radio komunitas. Koran bernama Berita Tegal Gundil dan radio BeTe Radio 88,8 FM tersebut bahkan tetap bertahan hingga kini. Berita Tegal Gundil ini adalah koran komunitas yang menjadi bahan penelitian untuk tesis mengenai wujudnya sebagai investasi modal sosial dan perannya dalam mendorong pemberdayaan masyarakat (Iskandar 2004). Investasi dalam modal sosial ini menjadi penting karena modal sosial adalah prakondisi bagi berlangsungnya pembangunan ekonomi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa koran komunitas yang dibuat oleh KALAM ini berperan sebagai pendorong pemberdayaan masyarakat karena media lain seperti forum komunikasi RW dan lainnya dianggap belum berfungsi optimal (Iskandar 2004).
63
Karya lainnya adalah mengorganisasikan para pedagang kaki lima dalam satu wadah disebut dengan STG (Saung Tegal Gundil). Para PKL tersebut sebelumnya berdagang dengan menempati trotoar di sepenggal Jl. H. Ahmad Sobana. Akhir dari pengorganisasian tersebut adalah terbangunnya saung bambu yang apik bagi tempat para PKL berdagang tanpa mengganggu satupun pohon-pohon peneduh jalan hingga trotoar pun kembali pada fungsinya semula. Melalui pengorganisasian ini pula maka para PKL yang sebelumnya berdagang tanpa kepastian perizinan menjadi mendapatkan kepastian usaha dengan diberikannya izin usaha oleh Walikota Bogor.
Gambar 4
Kondisi awal PKL (gambar kiri) yang berdagang di trotoar dan tanpa kepastian usaha dan kondisi setelah terorganisasi dalam Saung Tegal Gundil (STG) (gambar kanan)
Pemanfaatan ruang terbuka hijau di sempadan jalan melalui pembangunan STG dipandang sebagai karya yang baik sehingga turut menjadi pemenang pada Lomba Karya Inovasi Penataan Ruang yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2008. Lomba yang diadakan dalam rangka memperingati World Town Planning Day 2008 itu berskala nasional. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan KALAM memberikan pengaruh terhadap pengelolaan wilayah, khususnya dalam hal penataan ruang dan peningkatan aktivitas ekonomi. Adanya STG menunjukkan bahwa organisasi pemuda seperti KALAM memiliki potensi daya ungkit (leveraging) bagi pembangunan wilayahnya. Hingga saat ini, divisi-divisi di KALAM yang mencerminkan kegiatan yang dijalani selain Berita Tegal Gundil dan BeTe Radio adalah (i) Socakalam, adalah divisi yang bergerak di bidang penyediaan jasa desain grafis, (ii) Panon Seukeut, sebuah divisi yang bergerak di bidang jasa pembuatan media audio visual, (iii) Etalase TG, adalah sebuah distributor outlet (distro) dengan produknya adalah
64
pembuatan merchandise dan kaos, (iv) KALAM Outdoor Learning Centre (KOLC), divisi yang bergerak pada bidang penyediaan jasa pelatihan outbond, dan (v) Atekers, adalah divisi dengan usahanya adalah penyediaan alat tulis kantor (ATK). Berbagai karya tersebut mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari berbagai pihak di luar KALAM. Presiden pertama KALAM (presiden adalah penamaan struktural di KALAM untuk menyebut jabatan ketua organisasi) terpilih sebagai pemuda pelopor tingkat kota Bogor. KALAM pun seringkali menjadi rujukan dan model bagi pemerintah daerah lain, seperti DKI Jakarta, dan berbagai organisasi kepemudaan dalam hal pengorganisasian pemuda dan pemberdayaannya.
4.2
Karang Taruna Berbakti Karang Taruna digolongkan sebagai salah satu lembaga kemasyarakatan
disamping
Lembaga
Pemberdayaan
Masyarakat
Desa
atau
Kelurahan
(LPMD/K)/Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Kelurahan (LKMD/K), lembaga adat, tim penggerak PKK Desa/Kelurahan, RT/RW, dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan merupakan mitra pemerintah desa dan kelurahan dalam memberdayakan masyarakat (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan). Karang Taruna sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tersebut didefinisikan sebagai lembaga kemasyarakatan yang merupakan
wadah
pengembangan
generasi
muda
yang
tumbuh
dan
berkembang atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas adat sederajat dan terutama bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial, yang secara fungsional dibina dan dikembangkan oleh Departemen Sosial. Tugas Karang Taruna sendiri adalah menanggulangi berbagai masalah kesejahteraan sosial terutama yang dihadapi generasi muda, baik yang bersifat preventif, rehabilitatif, maupun pengembangan potensi generasi muda di lingkungannya. Karang Taruna menjadi bagian dari sistem yang lebih besar yaitu negara (state). Sebagaimana disebutkan di dalam Permendagri bahwa Karang Taruna
65
secara fungsional dibina dan dikembangkan oleh Departemen Sosial. Di tingkat kota Bogor, Karang Taruna dibina dan dikembangkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos). Karang Taruna Berbakti adalah Karang Taruna yang berlokasi di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Didirikan pada tanggal 3 Oktober 1982, “Berbakti” adalah nama yang dipilih melalui proses sayembara. Pendirian Karang Taruna tersebut menyusul dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Sosial Nomor 13/HUK/KEP/1981 tentang Pedoman Dasar Karang Taruna. Aturan main, dalam bentuk Keputusan Menteri Sosial, lantas diubah lagi melalui Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 83/HUK/2005 tentang Pedoman Dasar Karang Taruna. Aturan main tersebut mengatur antara lain mengenai mekanisme organisasi. Aturan main dalam bentuk Permensos mengikat Karang Taruna di seluruh Indonesia. Meskipun aturan mainnya sama, tetapi perbedaan sumber daya yang dikelola berikut karakteristik wilayah masingmasing menyebabkan Karang Taruna antar wilayah menjadi berbeda. Bagan organisasi Karang Taruna Berbakti dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5
Bagan organisasi Karang Taruna Berbakti (KARTAR)
66
Visi yang ditetapkan oleh Karang Taruna Berbakti adalah “Mewujudkan generasi muda yang mandiri, kreatif, dan inovatif melalui peningkatan dan pemberdayaan sumber daya manusia dan potensi lingkungan”. Berdasarkan visi tersebut, Karang Taruna Berbakti melaksanakan beragam kegiatan mulai dari olah raga hingga aktivitas ekonomi. Kegiatan yang menjadi andalan adalah usaha ekonomi produktif. Karang Taruna ini menjalin kemitraan dengan pengusaha kue “Brownies El-Sari” dengan cara menanamkan investasi pada usaha tersebut dan sebagai imbalannya selain dividen adalah diutamakannya pemuda setempat untuk dijadikan karyawan. Saat ini telah terdapat beberapa pemuda setempat yang diperkerjakan di perusahaan kue tersebut sebagai hasil dari investasi. Selain itu Karang Taruna ini juga pernah berkecimpung dalam usaha pembuatan es yoghurt. Hal ini terkait dengan sumber daya lokal yang ada yaitu peternakan sapi perah sejumlah lima peternakan. Kegiatan-kegiatan berbasis sumber daya lokal ini tentunya menjadi kegiatan-kegiatan strategis karena berangkat dari keunggulan wilayah. Kegiatan-kegiatan tersebut dimungkinkan dilaksanakan oleh Karang Taruna karena dua faktor utama (i) Karang Taruna memiliki kekuatan legitimasi (legitimation power), kebijakan-kebijakan pemerintah memang menguatkan keberadaan, posisi sekaligus memberikan ruang bagi Karang Taruna untuk berkegiatan, dan (ii) dengan kekuatan legitimasi tersebut maka Karang Taruna dapat mengakses sumber daya-sumber daya yang bersifat khusus, sebagai misal adalah sumber daya dalam bentuk dana yang berasal dari Program Pemberdayaan
Masyarakat
Kelurahan
(PPMK).
Karang
Taruna
dapat
mengakses dana program ini secara rutin setiap tahun. Kekuatan legitimasi dan aksesibilitas terhadap sumber daya pendukung menjadikan Karang Taruna sebagai organisasi kemasyarakatan yang strategis. Relung
Karang
Taruna
utamanya
adalah
pada
pembangunan
sosial
sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007: ”Karang Taruna...mempunyai tugas menanggulangi berbagai masalah kesejahteraan sosial terutama yang dihadapi generasi muda, baik yang bersifat preventif, rehabilitatif, maupun pengembangan potensi generasi muda di lingkungannya.”
67
Relung ini menjadikan Karang Taruna sebagai salah satu agen pembangunan wilayah khususnya pada bidang pembangunan sosial sebagai bagian dari pilar pembangunan berkelanjutan. Karya-karya yang telah diciptakan oleh Karang Taruna Berbakti diapresiasi dalam bentuk penghargaan-penghargaan oleh pemerintah baik di tingkat kota Bogor hingga nasional. Semenjak 30 Juli 2006, Karang Taruna Berbakti diklasifikasikan oleh Disnakersos sebagai Karang Taruna Percontohan. Setahun setelahnya, Karang Taruna Berbakti terpilih sebagai Karang Taruna Berprestasi I tingkat Kota Bogor tahun 2007. Berbagai prestasi ini menjadi bagian dari pertimbangan dan akhirnya turut mengantarkan Kelurahan Kebon Pedes sebagai Kelurahan Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2008. Kepengurusan periode 2006-2009 dijalankan oleh 38 pengurus terpilih dan disahkan oleh Kepala Kelurahan Kebon Pedes. Sebagai catatan, organisasi Karang Taruna menerapkan sistem keanggotaan stelsel aktif dan pasif. Stelsel aktif adalah anggota yang masuk dalam kepengurusan sedangkan stelsel pasif adalah pihak yang secara otomatis menjadi anggota jika menjadi warga Kelurahan Kebon Pedes dan dengan rentang usia 11-45 tahun.
68
5 5.1
HASIL PENELITIAN
Jenis Transaksi sebagai Unit Analisis Agar dapat diperbandingkan antara KALAM dan KARTAR, maka jenis
transaksi sebagai unit analisis mikro haruslah sama. Oleh karena itu dibutuhkan untuk membangun kriteria transaksi sebagai unit analisis yaitu (i) memiliki nilai kontrak yang sama antara KALAM dan KARTAR, dan (ii) kontrak tersebut bernilai besar bagi kedua organisasi tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut, maka jenis transaksi yang memenuhinya dan dapat digunakan sebagai unit analisis adalah transaksi antara KALAM/KARTAR dan pihak ketiga dalam hal pengerjaan suatu program yang terkait dengan pemberdayaan pemuda pada tahun 2007. Jenis transaksi ini dipilih karena telah memenuhi kriteria yaitu nilai transaksinya sama (sebesar Rp 15.000.000,00) dan bernilai besar bagi kedua lembaga. KALAM/KARTAR sebagai penyedia jasa sedangkan mitra transaksi sebagai penyandang dana. Mitra transaksi bagi KALAM adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di kota Bogor sedangkan pada KARTAR adalah pemerintah provinsi Jawa Barat. Transaksinya adalah hibah dana oleh mitra transaksi namun bentuk-bentuk penggunaannya telah diatur sebelumnya melalui kontrak yang disepakati sebelumnya. Memperhatikan transaksinya, maka hak kepemilikan pada KARTAR dan KALAM dalam penggunaan dana hibah ini bukanlah hak kepemilikan privat (private property) karena ada batasan-batasan bagi kedua organisasi ini dalam penggunaan dana tersebut. Hak kepemilikan atas dana hibah ini juga bukanlah hak kepemilikan umum (public property) karena KALAM dan KARTAR memiliki hak untuk mengecualikan (right to exclude) pihak lain untuk turut serta menikmati sumber daya ini. Hak kepemilikan KALAM dan KARTAR atas dana hibah ini lebih tepat dikategorikan sebagai common property, karena sumber daya ini dikelola secara komunal, utamanya untuk mengontrol eksploitasi (Kanbur 1992).
5.2
Besaran Biaya Transaksi pada KALAM
5.2.1 Tahap Akuisisi Pada tahap akuisisi sumber daya, biaya transaksi yang muncul adalah sumber daya manusia yang dialokasikan untuk kegiatan negosiasi awal,
69
koordinasi internal, pembuatan dan penyempurnaan proposal kegiatan (termasuk rancangan anggaran) dan bahan presentasi, serta presentasi berikut negosiasi akhir kepada pihak pemberi dana. Selain dalam bentuk sumber daya manusia, terdapat pula biaya transaksi dalam bentuk waktu tunggu semenjak negosiasi akhir hingga pencairan dana. Salah satu hal yang menarik dari pelaksanaan tahap akuisisi adalah tidak dilakukannya penyusunan dan penandatanganan kontrak antara KALAM dengan pihak pemberi dana. Kesepakatan hanya dibangun secara lisan saja dan tidak tertulis. Meminjam istilah yang dikutip oleh Masten dan Saussier (2001), kontraknya bertipe kontrak implisit sebagai lawan dari kontrak eksplisit. Hal ini tidak hanya terjadi pada kerja sama kali ini saja, pada kerjasama-kerjasama sebelumnya
dengan
pihak
lain
pun
tidak
digunakan
kontrak
tertulis.
Selengkapnya mengenai biaya transaksi pada tahap akuisisi dana program KALAM dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6.
Sumber daya yang dialokasikan pada tahap akuisisi dana program KALAM
Jumlah/jenis sumber daya yang dialokasikan
Dialokasikan untuk
Waktu yang dibutuhkan
1 orang presiden KALAM
Negosiasi awal dengan calon pemberi dana
2 jam
7 orang pengurus KALAM
Koordinasi internal
4 jam
1 orang ketua tim
Pembuatan proposal kegiatan dan bahan presentasi
1 minggu
6 orang pengurus KALAM
Penyempurnaan proposal dan bahan presentasi
1 jam
3 orang pengurus KALAM
Presentasi dan negosiasi akhir
30 menit
Waktu tunggu
Rentang waktu antara negosiasi awal hingga akhir
1 minggu
Waktu tunggu
Rentang waktu yang dibutuhkan antara negosiasi akhir dengan pencairan sumber daya
3 minggu
5.2.2 Tahap Distribusi Tahapan selanjutnya setelah akuisisi dilaksanakan adalah tahap distribusi sumber daya. Sumber daya yang didistribusikan senilai Rp 7 juta sebagai pembayaran awal dari keseluruhan dana program sebesar Rp 15 juta. Hanya saja, hingga saat ini sisa dana program belum dibayarkan oleh pihak penyandang dana. Sumber daya senilai Rp 7 juta tersebut didistribusikan untuk
70
berbagai kebutuhan dengan komponen utamanya adalah operasional program dan pembelian barang modal yaitu kamera digital. Pihak yang menentukan besaran alokasi sumber daya yang didistribusikan untuk operasional program adalah ketua tim dan bendahara KALAM. Proses penentuan besaran alokasi biasanya dilakukan melalui diskusi antara kedua orang tersebut. Mengingat sumber daya dipegang oleh bendahara KALAM, maka ada waktu tunggu semenjak pengajuan permintaan hingga sumber daya dapat diakses. Waktu tunggu sekitar satu jam dibutuhkan untuk mengakses jenis-jenis kebutuhan yang dibutuhkan pada saat itu juga. Untuk jenis-jenis kebutuhan yang baru dibutuhkan pada waktu-waktu mendatang, tidak ada penundaan waktu (time delay) pemenuhan kebutuhan tersebut. Pembelian kamera digital dilaksanakan pada bulan kedua pelaksanaan program. Keputusan pembelian kamera digital dihasilkan dua hari sebelumnya melalui rapat yang diikuti oleh delapan orang dan berlangsung selama 30 menit. Dilakukannya rapat karena keputusan pembelian tersebut adalah keputusan besar yang menyedot 50% dari pembayaran pertama dana program. Tabel 7.
Sumber daya yang dialokasikan pada tahap distribusi dana program KALAM
Jumlah/jenis sumber daya yang dialokasikan
Dialokasikan untuk
Waktu yang dibutuhkan
Operasional program 2 orang pengurus KALAM
Mengalokasikan sumber daya untuk kepentingan operasional program
63 menit/bulan selama 9 bulan
Waktu tunggu
Menunggu sumber daya dapat diakses dari bendahara
1 jam (jika dibutuhkan saat itu juga)
Pembelian barang modal 8 orang pengurus KALAM
Mengalokasikan sumber daya untuk pembelian barang modal
30 menit
Waktu tunggu
Rentang waktu yang dibutuhkan semenjak sumber daya telah dimiliki tetapi belum ada peruntukannya hingga termanfaatkan untuk membeli barang modal
2 bulan
5.2.3 Tahap Penjagaan Tahap penjagaan dapat dibedakan atas tahap penjagaan internal dan eksternal. Tahap penjagaan internal adalah tahap penjagaan yang dilakukan di internal KALAM sedangkan tahap penjagaan eksternal yaitu tahap penjagaan yang dilakukan bersama dengan mitra transaksi yang menjadi penyandang dana.
71
Tahap Penjagaan Internal Setelah sumber daya dialokasikan, biaya transaksi selanjutnya muncul pada tahap penjagaan sumber daya. Upaya-upaya yang dilakukan agar sumber daya dimanfaatkan sesuai dengan alokasinya adalah (i) orang yang semenjak awal hingga akhir program memegang dan mengeluarkan sumber daya untuk dimanfaatkan hanyalah bendahara seorang, (ii) sumber daya dikeluarkan tidak dalam bentuk tunai (in-cash) melainkan dalam bentuk barang (in-kind) sesuai dengan kebutuhan yang diminta, dan (iii) diskusi rutin untuk mengevaluasi pelaksanaan program. Sumber daya yang dibutuhkan untuk tahap penjagaan meliputi sumber daya manusia yaitu satu orang bendahara dan anggota KALAM lainnya yang mengikuti diskusi rutin, sumber daya yang dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan bendahara dan waktu yang dibutuhkan untuk mengakses sumber daya dari bendahara, dan terakhir adalah sumber daya yang dibutuhkan untuk mengkonversi in-cash resources menjadi in-kind resources. Diskusi rutin untuk mengevaluasi pelaksanaan program dilakukan dengan intensitas yang menurun. Pada empat bulan pertama pelaksanaan program, diskusi diadakan seminggu sekali sedangkan pada bulan-bulan selanjutnya hingga akhir pelaksanaan program diskusi dilakukan dua minggu sekali. Diskusi diikuti oleh enam hingga tujuh orang dengan memakan waktu satu hingga dua jam. Komunikasi dan akses terhadap sumber daya yang dipegang bendahara dilakukan oleh ketua tim. Komunikasi dan proses mengakses ini tidak membutuhkan sumber daya khusus karena dilakukan berbarengan dengan kegiatan program lainnya. Hanya saja dibutuhkan waktu tunggu sekitar satu jam semenjak menyampaikan permintaan kepada bendahara hingga didapatkan kebutuhan yang diminta. Hal ini berlaku pada jenis-jenis kebutuhan yang dibutuhkan pada saat itu juga. Untuk jenis-jenis kebutuhan yang baru dibutuhkan pada waktu-waktu mendatang, tidak ada penundaan waktu (time delay) pemenuhan kebutuhan tersebut. Mengenai sumber daya yang dibutuhkan untuk mengkonversi in-cash resources menjadi in-kind resources, pos utama yang dibutuhkan adalah transportasi.
Menurut
penuturan
bendahara
sebagai
pihak
yang
bertanggungjawab untuk urusan konversi ini, nilai rupiah yang dibutuhkan untuk pos transportasi dan urusan konversi lainnya adalah sebesar 5% dari nilai dana
72
program atau sebesar Rp 350 ribu. Kesemua biaya transaksi tersebut adalah biaya transaksi untuk tahap penjagaan internal. Tahap Penjagaan Eksternal Tahap penjagaan eksternal dilakukan oleh mitra transaksi dalam bentuk permintaan laporan per triwulan dan evaluasi rutin per dua minggu. Laporan per triwulan tidak dimintakan untuk dibuat dalam format tertentu dan diberikan kebebasan bagi KALAM untuk membuatnya. Evaluasi rutin berhenti pada pertemuan ketiga. Selengkapnya mengenai sumber daya yang dibutuhkan pada tahap penjagaan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8.
Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap penjagaan dana program KALAM
Jenis sumber daya
Dialokasikan untuk
Waktu/besar yang dibutuhkan
Tahap penjagaan internal 1 orang bendahara
Memegang dan mengeluarkan sumber daya sesuai kebutuhan yang dimintakan
4 hari/bulan selama 9 bulan
6 orang pengurus dan anggota tim
Mengevaluasi penggunaaan sumber daya melalui diskusi rutin
360 menit/bulan selama empat bulan pertama, 90 menit/bulan selama lima bulan selanjutnya
Biaya transportasi
Mengkonversi in-cash resources menjadi in-kind resources
Rp 125,000 selama 1,5 bulan pertama kegiatan Rp 350,000 secara keseluruhan
Waktu tunggu
Menunggu sumber daya dapat diakses dari bendahara
1 jam (jika dibutuhkan saat itu juga)
Tahap penjagaan eksternal 1 orang ketua tim
Pembuatan laporan kegiatan
4 jam
1 orang bendahara
Pembuatan laporan keuangan per 2 minggu
Termasuk ke dalam penghitungan waktu kerja bendahara
4 orang pengurus KALAM
Evaluasi rutin per dua minggu
3 kali@1,5 jam
73
5.3
Besaran Biaya Transaksi pada KARTAR
5.3.1 Tahap Akuisisi Proses utama pada tahap akuisisi ini adalah pembuatan dan pengiriman proposal. Satu hal yang membedakannya dengan KALAM adalah pemerintah kelurahan turut terlibat di dalam tahap akuisisi ini. Keterlibatan pemerintah kelurahan dalam bentuk akses pertama kepada informasi (pengiriman surat undangan pengiriman proposal dari pemerintah provinsi ditujukan kepada lurah), sosialisasi kepada KARTAR atas informasi yang didapat, dan pemberian persetujuan atas rancangan proposal yang disusun oleh KARTAR. Keterlibatan pemerintah kelurahan tentu menimbulkan biaya transaksi yang spesifik pada kelembagaan formal. Semenjak surat undangan pengiriman proposal dari pemerintah provinsi diterima hingga dilaksanakan sosialisasi oleh pihak kelurahan membutuhkan waktu satu minggu. Sosialisasi dilaksanakan oleh pihak kelurahan bersama dengan tiga orang pengurus KARTAR. Selanjutnya, tiga orang yang mengikuti sosialisasi tersebut menjadi narasumber sewaktu diadakan koordinasi internal. Koordinasi internal diikuti oleh 15 orang dan memakan waktu satu jam. Setelahnya, dibentuklah tim kecil oleh KARTAR yang terdiri atas tiga orang dan bertugas untuk menyusun rancangan proposal. Rancangan proposal ini lantas dikonsultasikan secara intensif kepada pihak kelurahan meliputi Lurah, Sekretaris Lurah, dan Kepala Sie (Kasie) Sosial hingga didapatkan persetujuan. Sebenarnya, pelibatan pihak kelurahan bukanlah menjadi prasyarat yang dimintakan oleh pemerintah provinsi sebagai penyandang dana melainkan lebih sebagai kebiasaan atau tata cara. Proses penyusunan proposal ini hingga mendapatkan persetujuan memakan waktu 15 hari kerja efektif. Proposal yang telah disetujui oleh lurah lantas dikirimkan kepada Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Kota Bogor sebagai penghubung kepada Pemprov Jabar. Dua orang pengurus KARTAR ditugaskan untuk menghadap ke Kantor Kesbanglinmas dan mengantarkan proposal. Proses ini berlangsung sebanyak tiga kali dikarenakan adanya permintaan revisi proposal dari Kantor Kesbanglinmas. Semenjak pengajuan proposal hingga selesainya proses revisi membutuhkan waktu satu bulan.
74
Setelah itu, mengingat adanya syarat bahwa KARTAR harus membuka rekening di Bank Jabar sebagai penampung dana program dari provinsi, maka Ketua dan Bendahara KARTAR mengurus pembuatan rekening tersebut. Pembuatan rekening itu sendiri hanya memakan waktu dua jam tetapi dibutuhkan dana sebesar Rp 500 ribu yang harus disiapkan sebagai setoran awal. Sebulan semenjak proposal hasil revisi paling akhir diterima oleh Kantor Kesbanglinmas, maka cairlah dana di rekening KARTAR. Proses yang dilalui oleh KARTAR pada tahap akuisisi ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9.
Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap akuisisi dana program KARTAR
Jumlah/jenis sumber daya yang dialokasikan
Dialokasikan untuk
Waktu/sumber daya yang dibutuhkan
Waktu tunggu
Rentang waktu antara diterimanya surat oleh pihak kelurahan dan disosialisasikannya informasi tersebut kepada pihak KARTAR
1 minggu
3 orang pengurus KARTAR
Mengikuti rapat sosialisasi oleh pihak kelurahan
1 jam
15 orang pengurus KARTAR
Koordinasi internal
1 jam
3 orang pengurus KARTAR
Menyusun proposal dan mengkonsultasikannya secara intensif dengan pihak kelurahan meliputi Lurah, Sekretaris Lurah, dan Kasie Sosial
15 hari
Waktu tunggu
Rentang waktu antara awal penyusunan proposal hingga menjadi proposal final yang disetujui pihak kelurahan
1 bulan
2 orang pengurus KARTAR
Menyampaikan proposal kepada Kantor Kesbanglinmas
3 kali@1 jam
Biaya transportasi
Transportasi dari dan menuju Kantor Kesbanglinmas
2 kali@Rp 20 ribu
2 orang pengurus KARTAR
Merevisi proposal sebanyak dua kali sesuai permintaan Kantor Kesbanglinmas
2 kali revisi@3 hari
Waktu tunggu
Rentang waktu antara penyampaian proposal pertama kali hingga proposal hasil dua kali revisi (proposal final)
1 bulan
2 orang pengurus KARTAR (Ketua dan Bendahara)
Membuka rekening di Bank Jabar
Dua jam
Dana tunai
Setoran awal sebagai syarat pembukaan rekening baru
Rp 500 ribu
Biaya transportasi
Transportasi pulang pergi ke Bank
2 kali@Rp 20 ribu
Waktu tunggu
Rentang waktu antara penyampaian proposal final hingga cairnya dana di rekening KARTAR
1 bulan
75
5.3.2 Tahap Distribusi Tahap distribusi terjadi setelah sumber daya berada di tangan KARTAR. Tahap ini dilakukan melalui tiga kali rapat selama tiga hari berturut-turut dengan masing-masingnya memakan waktu satu jam dan diikuti oleh lima orang. Rapat pertama kali dilakukan berselang dua hari setelah dana program masuk ke rekening KARTAR. Rapat tersebut dilakukan tiga kali karena meskipun pengalokasian sumber daya telah diatur di dalam proposal tetapi terdapat keinginan yang beragam disampaikan oleh anggota. Selain itu, rapat ini juga dilakukan untuk menunjuk penanggung jawab kegiatan. Setelah keputusan dihasilkan melalui tiga kali rapat, bukan lantas tahap distribusi selesai dilakukan. Pemerintah kelurahan terlibat juga pada tahapan ini yaitu dalam bentuk pemberian persetujuan terhadap keputusan pengalokasian sumber daya yang dihasilkan oleh KARTAR tersebut. Rapat bersama pemerintah kelurahan ini dilakukan keesokan hari setelah keputusan internal dihasilkan. Penarikan dana dilakukan sebanyak empat kali dengan otoritas penarikan ada pada Ketua dan Bendahara. Rekening memang diatasnamakan kedua orang tersebut. Koordinasi dengan pengurus lain dilakukan setiap akan menarik dana. Koordinasi tersebut melibatkan delapan orang pengurus KARTAR dan membutuhkan waktu sekitar satu jam. Satu hal yang menarik adalah bahwa koordinasi yang dilakukan setiap akan menarik dana sebenarnya adalah satu bentuk penjagaan sumber daya karena koordinasi tersebut dilakukan untuk mengontrol besar penarikan dan rencana penggunaan dana. Artinya, tahap distribusi dan tahap penjagaan tidak selalu berlangsung secara sekuensial melainkan juga secara paralel. Oleh karena itu, koordinasi ini dimasukkan sebagai bagian dari tahap penjagaan dan bukan tahap distribusi.
76
Tabel 10. Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap distribusi dana program KARTAR Jumlah/jenis sumber daya yang dialokasikan
Dialokasikan untuk
Waktu/sumber daya yang dibutuhkan
5 orang pengurus KARTAR
Rapat internal KARTAR untuk pengalokasian sumber daya
3 kali@1 jam
3 orang pengurus KARTAR
Rapat KARTAR dengan pemerintah kelurahan untuk mendapatkan persetujuan alokasi sumber daya
1 jam
2 orang pengurus KARTAR (Ketua dan Bendahara)
Melaksanakan penarikan dana dari rekening KARTAR
4 kali@1,5 jam
Biaya transportasi
Transportasi pulang-pergi ke Bank
4 kalix2
[email protected]
5.3.3 Tahap Penjagaan Tahap Penjagaan Internal Sebagaimana pada KALAM, tahap penjagaan pada KARTAR pun dapat dibedakan atas tahap penjagaan internal dan eksternal. Koordinasi yang dilakukan dengan pengurus lain dilakukan setiap akan menarik dana termasuk ke dalam tahap penjagaan internal. Selain itu, penjagaan internal ini juga dilakukan dengan cara penunjukan satu orang pemegang dana. Rapat evaluasi dilakukan satu kali, diikuti oleh 13 orang dan berlangsung selama satu jam. Rapat evaluasi ini diadakan pada akhir pelaksanaan pogram. Rentang waktu semenjak turunnya dana ke rekening KARTAR hingga terkirimnya laporan akhir adalah selama 1,5 bulan. Tahap Penjagaan Eksternal Tahap penjagaan eksternal dilakukan melalui pembuatan laporan akhir yang disampaikan kepada Kantor Kesbanglinmas Provinsi Jabar. Pembuatan laporan akhir ini dilakukan oleh tim yang sama dengan tim pembuatan proposal yang terdiri atas tiga orang. Rancangan laporan ini dikonsultasikan dengan pihak kelurahan hingga disetujui dan menjadi laporan akhir. Proses pembuatan laporan berikut konsultasinya membutuhkan waktu selama lima hari kerja efektif. Ada pula penjagaan eksternal yang dilakukan oleh pemerintah kelurahan. Penjagaan ini dilakukan melalui rapat untuk mengevaluasi pendistribusian sumber daya. Rapat dilakukan lima kali dengan masing-masingnya berlangsung selama 30 menit dan diikuti oleh tiga orang pengurus dari KARTAR. Selain rapat, pihak kelurahan juga melakukan cek fisik meskipun hal ini tidak secara khusus
77
dilakukan. Selengkapnya mengenai biaya transaksi dana program pada KARTAR dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap penjagaan dana program KARTAR Jumlah/jenis sumber daya yang dialokasikan
Dialokasikan untuk
Waktu/sumber daya yang dibutuhkan
Tahap penjagaan internal 1 orang pengurus KARTAR
Pemegang dana
1,5 bulan
8 orang pengurus KARTAR
Koordinasi dengan pengurus lain setiap akan menarik dana dari rekening
4 kali@1 jam
13 orang pengurus KARTAR
Rapat evaluasi
1 jam
Tahap penjagaan eksternal 3 orang pengurus KARTAR
Rapat evaluasi pendistribusian sumber daya bersama pihak kelurahan
5 kali@30 menit
3 orang pengurus KARTAR
Pembuatan laporan akhir untuk Kantor Kesbanglinmas Provinsi Jawa Barat berikut proses konsultasi pembuatannya dengan pihak kelurahan
5 hari kerja efektif
Biaya transportasi
Transportasi pengiriman laporan akhir ke Kantor Kesbanglinmas Kota Bogor
Rp 20 ribu
5.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Biaya Transaksi Pengolahan data menggunakan analisis fungsi diskriminan mendapati hasil
bahwa variabel x5 yaitu asymmetric information harus dikeluarkan dari analisis selanjutnya karena tidak dijumpai keragaman data. Hal ini menunjukkan bahwa informasi asimetris terjadi dan sama-sama dijumpai di KALAM dan KARTAR. Oleh karena itu pada pengolahan selanjutnya hanya menganalisis lima variabel saja. Hasil yang didapat menggunakan analisis fungsi diskriminan dapat dilihat pada Error! Reference source not found.. Tabel 12 Fungsi klasifikasi variabel-variabel bebas terhadap KALAM dan KARTAR
Group 1 X1 X2 X3 X4 X6 Constant
Group 2
25.946
11.159
23.261 6.959 25.828 2.026 -148.331
20.412 5.855 106.261 -23.871 -215.517
78
Angka di kolom Group 1 (KALAM) dan Group 2 (KARTAR) adalah nilai koefisien regresi untuk masing-masing variabel yang diolah. Dapat diperhatikan bahwa variabel x1, x4, dan x6 adalah variabel-variabel yang membedakan (discriminate) antara KALAM dan KARTAR dikarenakan besarnya perbedaan nilai koefisien regresinya. Pada KALAM, variabel x1 (kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan) jauh lebih tinggi dibandingkan KARTAR berdasarkan nilai koefisien regresinya. Variabel x4 (hak kepemilikan yang tidak lengkap) pada KALAM jauh lebih rendah dibandingkan pada KARTAR. Artinya, hak kepemilikan pada KALAM lebih lengkap dibandingkan KARTAR. Variabel x6 (tingkat spesifisitas aset) juga memiliki perbedaan nilai koefisien regresi yang besar antar grup. Hanya saja, nilai yang didapatkan sama-sama menegaskan bahwa spesifisitas aset yang ditransaksikan pada KALAM dan KARTAR sama-sama rendah, tetapi pada KARTAR jauh lebih rendah lagi (ditunjukkan dengan nilai minus koefisien regresinya). Aset yang ditransaksikan memang dalam bentuk dana, dan dana bukanlah aset yang spesifik karena dapat digunakan untuk bermacam-macam penggunaan. Terilihat bahwa penggunakan variabel assets specificity untuk jenis transaksi pada penelitian ini adalah kurang tepat sehingga memnculkan hasil olahan data yang tidak baik. Hasil pada Tabel 13 adalah keluaran dari analisis fungsi diskriminan menggunakan software Statistica ver.06. Penggunaan software SPSS ver.14 untuk melakukan analisis yang sama menghasilkan bentuk keluaran yang berbeda. Hasil pengolahan dengan menggunakan SPSS ver.14 ini dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13.
X1 X2 X3 X4 X6
Signifikansi pengaruh masing-masing variabel bebas
Tests of Equality of Group Means Wilks' F df1 df2 Lambda 0.083019 99.40909 1 0.999462 0.004841 1 0.836957 1.753247 1 0.382586 14.5241 1 0.721762 3.469484 1
Sig. 9 9 9 9 9
0.0000 0.9460 0.2181 0.0041 0.0954
Memperhatikan Tabel 13, variabel yang berpengaruh nyata terhadap perbedaan biaya transaksi antara KALAM dan KARTAR pada selang kepercayaan 95% adalah x1 (kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan) dan x4 (hak kepemilikan yang tidak lengkap). Menegaskan penjelasan
79
sebelumnya, pada selang kepercayaan 95% variabel x6 (tingkat spesifisitas aset) tidak berpengaruh secara nyata.
5.5
Efektivitas Kelembagaan dalam Pencapaian Tujuan Secara umum, tujuan organisasi KALAM dan KARTAR adalah sama yaitu
memberdayakan peran pemuda. Efektif tidaknya kelembagaan dalam mencapai tujuan tentunya menjadi lebih obyektif jika diukur menggunakan pendapat masyarakat penerima manfaat (beneficiaries). Tiga informasi utama yang digali dari responden beneficiaries adalah (i) seberapa baik masyarakat mengenal masing-masing lembaga dari sisi tujuan dan kegiatan-kegiatannya, (ii) seberapa banyak pemuda yang mendapat pengaruh positif, dan (iii) seberapa besar dampak dari pengaruh positif yang diberikan.
5.5.1 Efektivitas KALAM Sebanyak 18 orang responden penerima manfaat telah diwawancarai mengenai penilaiannya terhadap KALAM. 55,56% diantaranya menyatakan bahwa pengetahuannya tentang KALAM, yaitu mengenai kegiatan dan tujuannya, ada di tingkat ”sedikit tahu”, 27,78% responden memiliki pengetahuan di tingkat ”agak tahu”, 11,11% responden ada di tingkat ”banyak tahu”, dan 5,56% responden menyatakan ”sangat tahu”. Tidak ada responden yang menyatakan ”tidak tahu sama sekali” sehingga hal ini menandakan bahwa KALAM cukup dikenal oleh masyarakat setempat. Sebesar 61,11% responden menyatakan bahwa keberadaan KALAM memberikan pengaruh positif kepada separuh hingga sebagian besar pemuda yang ada di Kelurahan Tegal Gundil. Pengaruh positif menurut penuturan responden tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat hal (i) memberikan pilihan kegiatan-kegiatan yang lebih positif kepada para pemuda, bentuk pengaruh positif ini dituturkan oleh sebagian besar responden yaitu sebanyak 58,33%, (ii) membentuk karakter pemuda seperti mandiri, bertanggungjawab, menghargai orang lain, egaliter, dan kreatif. Bentuk pengaruh positif ini disampaikan oleh 25% responden, (iii) memperluas wawasan dan keterampilan seperti keterampilan mengoperasikan komputer. Sebanyak 16,67% responden menyampaikan jawaban ini, dan (iv) membuat pemuda mengenal dan memahami lingkungan sekitarnya, jawaban ini disampaikan oleh 16,67% responden.
80
Pengaruh
positif
ini
memberikan
dampak
besar
bagi
pemuda
bersangkutan. Sebanyak 61,11% responden mengatakan bahwa sebagian besar hingga seluruh pemuda yang mendapatkan pengaruh positif menerimanya sebagai dampak besar. Jawaban dari para responden mengenai bentuk-bentuk dampak besar dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu: (i)
adanya alternatif kegiatan; anak-anak yang awalnya hanya memiliki ruang belajar di sekolah menjadi memiliki ruang belajar lain. Para pemuda pengangguran pun dapat mengisi waktunya dengan mengikuti kegiatankegiatan KALAM,
(ii)
meningkatnya kapasitas pemuda; kapasitas yang meningkat ini dari sisi wawasan, pola pikir, dan kreativitas. Bakat anak yang menjadi tersalurkan pun adalah juga contoh dari meningkatnya kapasitas pemuda,
(iii)
terbentuknya kepribadian yang tangguh; KALAM membentuk kepribadiankepribadian yang tangguh diantaranya adalah disiplin terhadap aturanaturan yang diawali dengan disiplin pada aturan organisasi KALAM, senantiasa berpikir positif dan berani menghadapi masalah,
(iv)
menjadikan pemuda sebagai anggota masyarakat yang berjiwa sosial, memiliki keperdulian dan bertanggungjawab; KALAM menjadi media bagi para pemuda sehingga dapat mengenal dan memahami lingkungan sekitarnya, bersosialisasi dengan anggota masyarakat lain sehingga meningkatkan kerjasama dan persatuan. Para pemuda mendapatkan nilainilai dan perilaku bermasyarakat (citizenship) yang baik,
(v)
bertambah
dan
menguatnya
jaringan
sosial
para
pemuda;
selain
mendapatkan teman-teman baru, melalui KALAM juga menguatkan silaturahmi antar pemuda. Hasil penilaian responden mengenai tingkat efektivitas KALAM dapat dilihat pada Gambar 6.
81
12
Jumlah responden
10 8 6 4 2
Sangat tahu Banyak tahu Agak tahu Sedikit tahu Tidak tahu Seluruh pemuda Sebagian besar Separuh pemuda Sebagian kecil Tidak ada Seluruh pemuda Sebagian besar Separuh pemuda Sebagian kecil Tidak ada
0
Seberapa baik masyarakat setempat mengenal
Gambar 6
Seberapa banyak pemuda setempat yang mendapat pengaruh positif
Dari seluruh pemuda yang mendapat pengaruh positif, seberapa banyak yang mendapatkan dampak besar
Penilaian responden beneficiaries terhadap efektivitas KALAM
5.5.2 Efektivitas KARTAR Jumlah responden penerima manfaat pada KARTAR lebih sedikit dibanding pada KALAM yaitu sebanyak 10 orang responden. Hal ini dikarenakan besar populasi yang lebih kecil di wilayah KARTAR daripada wilayah KALAM. Sebagian besar responden (sebanyak 50%) menyatakan bahwa tingkat pengetahuannya tentang KARTAR, yaitu mengenai kegiatan dan tujuannya, hanya pada tingkat ”sedikit tahu”. Bahkan 30% lainnya menyatakan ”tidak tahu sama sekali”. Hal ini menandakan bahwa KARTAR kurang dikenal oleh masyarakat setempat. Sebagian besar responden (sebanyak 40%) menyatakan bahwa hanya sebagian kecil pemuda di Kelurahan Kebon Pedes yang mendapat pengaruh positif dari KARTAR. Bahkan, 20% lainnya menyatakan bahwa tidak ada pemuda yang mendapat pengaruh positif ini. Bentuk-bentuk pengaruh positif yang diberikan oleh KARTAR adalah (i) mempererat silaturahmi antar pemuda, jawaban ini disampaikan oleh 66,67% responden, (ii) memberikan kegiatan positif seperti olahraga. Jawaban ini disampaikan oleh 33,33% responden, (iii) menghindarkan pemuda dari penggunaan narkotika dan obat terlarang. Jawaban
82
ini juga disampaikan oleh 33,33% responden, dan (iv) memperluas wawasan dan keterampilan. Jawaban ini pun disampaikan oleh 33,33% responden. Tetapi, pengaruh positif ini menurut sebagian besar responden (sebanyak 50%) tidak memberikan dampak besar bagi pemuda yang bersangkutan. Responden sebanyak 40% menyatakan bahwa ada dampak besar, tetapi itu hanya dirasakan oleh sebagian kecil pemuda saja. Bentuk-bentuk dampak besar bagi para pemuda adalah: (i)
pemuda memiliki wahana untuk berinteraksi dan mengenali lingkungan sosialnya, hal ini disampaikan oleh 40% responden,
(ii)
kreatifitas dan keterampilan pemuda menjadi semakin meningkat, hal ini juga disampaikan oleh 40% responden,
(iii)
menjadi semakin bertanggungjawab terhadap diri sendiri salah satunya dengan cara semakin mendisiplinkan diri, hal ini disampaikan oleh 20% responden,
(iv)
menghindarkan diri dari pergaulan yang menyimpang, hal ini disampaikan oleh 20% responden. Hasil penilaian responden beneficiaries mengenai tingkat efektivitas
KARTAR dapat dilihat pada Gambar 7.
Jumlah responden
6 5 4 3 2 1 Sangat tahu Banyak tahu Agak tahu Sedikit tahu Tidak tahu Seluruh pemuda Sebagian besar Separuh pemuda Sebagian kecil Tidak ada Seluruh pemuda Sebagian besar Separuh pemuda Sebagian kecil Tidak ada
0
Seberapa baik masyarakat setempat mengenal Gambar 7
Seberapa banyak pemuda setempat yang mendapat pengaruh
Dari seluruh pemuda yang mendapat pengaruh positif,
Penilaian responden beneficiaries terhadap efektivitas KARTAR
83
6 6.1
PEMBAHASAN
Besaran Biaya Transaksi Sebenarnya transaksi sebagai unit analisis pada KALAM dan KARTAR
telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, salah satunya adalah memiliki nilai yang sama yaitu sebesar Rp 15 juta. Hal ini sebagaimana telah disepakati pada kontrak antara KALAM/KARTAR dan mitra transaksinya sebagai penyandang dana. Hanya saja, pada perjalanan selanjutnya hanya KARTAR yang mendapatkan besaran sejumlah kontrak yang disepakati sedangkan KALAM baru menerima pembayaran awal saja sebesar Rp 7 juta. Oleh karena itu, untuk pembahasan selanjutnya maka biaya transaksi yang dihitung pada KARTAR adalah sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan pada transaksi senilai Rp 7 juta tersebut. Menghadapi perbedaan nilai sumber daya tersebut, maka pada pembahasan per tahapan akan dicantumkan penghitungan persentase biaya transaksi terhadap nilai sumber daya riil. Untuk setiap tahapan baik itu tahap akuisisi, distribusi, maupun penjagaan dana program, KARTAR selalu lebih tinggi nilai biaya transaksinya. Hasil menunjukkan bahwa biaya transaksi pada KALAM baik secara agregat maupun untuk masing-masing tahapan meliputi akuisisi, distribusi, dan penjagaan lebih rendah dibandingkan dengan KARTAR. Hanya saja, jika dicermati antar tahapan pada masing-masing kelembagaan maka dapat dilihat bahwa pada tahap penjagaan di KALAM biaya transaksinya lebih tinggi dibandingkan pada tahap akuisisi. Hal ini berbeda dibandingkan KARTAR, biaya transaksi pada tahap penjagaan lebih rendah dibandingkan tahap akuisisi. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Biaya transaksi untuk kesemua tahapan pada KALAM dan KARTAR
KALAM KARTAR % terhadap nilai % terhadap nilai Tahap Rp biaya transaksi sumber daya Rp biaya transaksi sumber daya Akuisisi 443,706.41 2.96 2,180,651.17 14.54 Distribusi 27,514.13 0.39 69,266.34 0.46 Penjagaan 602,168.12 8.60 1,433,428.43 9.56 Total 1,073,388.66 11.95 3,683,345.94 24.56
84
Pada KALAM, biaya transaksi terbesar adalah pada tahap penjagaan yang mencapai 56% dari total biaya transaksi. Berbeda halnya dengan KARTAR, biaya transaksi terbesar terdapat pada tahap akuisisi yaitu mencapai 59% dari total biaya transaksi. Kesamaan antara KALAM dan KARTAR adalah bahwa tahap distribusi merupakan tahap dengan biaya transaksi paling rendah yaitu mencapai 3% pada KALAM dan 2% pada KARTAR. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8.
Akuisisi 41%
Penjagaan 39%
Penjagaan 56%
Akuisisi 59%
Distribusi 3%
Gambar 8
Distribusi 2%
Komposisi biaya transaksi pada KALAM (gambar kiri) dan KARTAR (gambar kanan).
Pembahsan mengenai tinggi rendahnya biaya transaksi pada KALAM dan KARTAR untuk setiap tahapan adalah sebagai berikut:
6.1.1 Tahap Akuisisi Pada tahap akuisisi dana program, biaya transaksi pada KARTAR mencapai Rp 2.180.651,17 sedangkan KALAM sebesar Rp 443.706,41 atau 20,35% dari biaya transaksi pada KARTAR. Penghitungan besaran biaya transaksi ini dapat dilihat pada Tabel 15.
85
Tabel 15. Biaya transaksi pada tahap akuisisi dana program di KALAM dan KARTAR KALAM
KARTAR
Negosiasi awal dengan calon pemberi dana
7,696.26 Rentang waktu antara diterimanya surat oleh pihak kelurahan dan disosialisasikannya informasi tersebut kepada pihak KARTAR
1 orgx2 jam Koordinasi internal
107,747.64 Mengikuti rapat sosialisasi oleh pihak 3 orgx1 jam kelurahan 215,495.28 Koordinasi internal untuk membahas hasil sosialisasi
7 orgx4 jam Pembuatan proposal kegiatan dan bahan presentasi Penyempurnaan proposal dan bahan presentasi
Presentasi dan negosiasi akhir Rentang waktu antara negosiasi awal hingga akhir
15 orgx1 jam
1 orgx1 minggu
6 orgx1 jam Rentang waktu antara awal penyusunan proposal hingga menjadi proposal final
16,781.25 Nilai sumber dayaxsuku bunga seminggu
Nilai sumber dayaxsuku bunga seminggu 3 orgx30 menit Nilai sumber dayax(suku bunga seminggu)
Rentang waktu yang dibutuhkan antara Nilai sumber negosiasi akhir dengan dayax(suku pencairan sumber daya bunga seminggux3)
Total
% terhadap nilai sumber daya Distribusi
23,088.78 Menyusun proposal dan mengkonsultasikannya secara intensif dengan pihak kelurahan meliputi Lurah, Sekretaris Lurah, dan Kasie Sosial 3 orgx15 hari 16,781.25 Rentang waktu antara awal 1 bulan penyusunan proposal hingga menjadi proposal final yang disetujui pihak kelurahan 5,772.20 Menyampaikan proposal kepada Kantor Kesbanglinmas
11,544.39
57,721.95 1,385,326.80
67,125.00
23,088.78 2 orgx3 kalix1 jam
16,781.25 Merevisi proposal sebanyak dua kali sesuai permintaan Kantor Kesbanglinmas 2 orgx2 kali revisix3 hari 50,343.75 Rentang waktu antara penyampaian proposal pertama kali hingga proposal hasil dua kali revisi Nilai sumber (proposal final) dayaxsuku bunga satu bulan Membuka rekening di Bank Jabar 2 orgx2 jam Biaya administrasi di bank Saldo minimum yang tidak dapat ditarik kembali, biaya administrasi bulanan
369,420.48
Rentang waktu antara penyampaian proposal final hingga cairnya dana di Nilai sumber rekening KARTAR dayaxsuku bunga satu bulan 443,706.41 Total
67,125.00
2,180,651.17
% terhadap nilai sumber daya
14.54
2.96
67,125.00
15,392.52 100,000
Pada tahap akuisisi ini, nilai sumber daya dana program masih sama antara KALAM dan KARTAR yaitu sebesar Rp 15 juta. Perbedaan nilai sumber daya yang dikelola baru terjadi pada tahap selanjutnya yaitu tahap distribusi dan penjagaan. Hal ini dikarenakan yang dilakukan pada tahap akuisisi utamanya adalah negosiasi hingga menghasilkan kontrak. Berdasarkan kontrak, nilai sumber daya dana program yang dikelola memang sebesar Rp 15 juta. Oleh karena itu, persentase biaya transaksi terhadap nilai sumber daya sebagaimana tercantum pada Tabel 15 adalah persentase terhadap sumber daya senilai Rp 15 juta. Biaya transaksi terbesar pada tahap akuisisi dana program di KALAM adalah pembuatan proposal kegiatan berikut bahan presentasinya yang dilaksanakan oleh satu orang dan memakan waktu satu minggu. Ditambah dengan penyempurnaannya, maka aktivitas ini berkontribusi 57,55% terhadap total biaya transaksi. Hal ini sama dengan yang terjadi di KARTAR, proses
86
penyusunan proposal kegiatan berikut revisinya menjadi kontributor terbesar terhadap total biaya transaksi dengan persentasenya mencapai 66,61%. Lebih tingginya biaya transaksi pada saat penyusunan proposal kegiatan di KARTAR salah satunya disebabkan terlibatnya pihak kelurahan dalam aktivitas tersebut sehingga waktu pengerjaan menjadi lebih lama. Penyusunan proposal kegiatan digolongkan sebagai biaya transaksi karena aktivitas ini adalah untuk membangun hak kepemilikan (establishment of property rights) atas sumber daya dana program. Proposal ini menjadi dasar bagi pertukaran sukarela (voluntary exchange) antara jasa yang dimiliki KALAM dan KARTAR dengan dana program yang dimiliki pihak penyandang dana. Pembuatan
proposal
adalah
usaha
yang
dilakukan
untuk
menangkap
kesejahteraan (wealth) orang lain sekaligus mencegah kesejahteraannya sendiri diambil orang lain dan usaha ini merupakan biaya transaksi yang muncul pada setiap pertukaran sukarela (Allen 1991). Penyusunan
proposal
juga
dapat
digolongkan
sebagai
aktivitas
transaksional sebagai lawan dari aktivitas transformasional. Ostrom (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) memang membedakan antara aktivitas transaksi dan aktivitas transformasi. Aktivitas transaksi adalah hubungan antar individu terkait yang membutuhkan waktu dan energi untuk menyelesaikan aktivitas transformasi sedangkan aktivitas transformasi adalah digunakannya seperangkat input fisik untuk diubah menjadi bentuk output yang berbeda yang nantinya dapat digunakan baik untuk aktivitas transformasi selanjutnya ataupun langsung dikonsumsi. Menggunakan penggolongan biaya transaksi versi Williamson (1985) dan North (1990), penyusunan proposal kegiatan termasuk ke dalam ex ante costs yaitu biaya yang meliputi perancangan, negosiasi, dan rencana pengamanan (safeguarding) sebuah kesepakatan. Ex ante costs seringkali muncul pada saat sebelum kemitraan secara resmi dimulai (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005). Ex ante costs dapat digolongkan kembali menjadi biaya pencarian (search costs) dan biaya pembuatan kontrak (contracting costs). Biaya pencarian meliputi biaya identifikasi dan evaluasi mitra potensial, sedangkan biaya pembuatan kontrak meliputi negosiasi dan penyusunan kesepakatan antara mitra. Secara lebih spesifik, penyusunan proposal termasuk ke dalam golongan contracting costs.
87
Sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat proposal ini dapat mencerminkan contracting cost karena proposal adalah dasar dari kontrak. Tetapi, satu hal yang harus diperhatikan adalah contracting cost tidak hanya meliputi pembuatan proposal saja, melainkan sumber daya yang dibutuhkan hingga tercapainya kesepakatan dua pihak. Pada KALAM, ada sumber daya manusia yang dialokasikan untuk melaksanakan presentasi dan negosiasi akhir. Pada KARTAR, proses yang dilalui menjadi lebih panjang karena ada dua kali permintaan untuk merevisi proposal yang dibuat. Revisi proposal itupun melibatkan pihak kelurahan sehingga ada waktu yang dibutuhkan untuk berkoordinasi dan berkonsultasi. Secara keseluruhan, contracting cost pada KALAM adalah sebesar Rp 262.137,51 sedangkan pada KARTAR sebesar Rp 1.912.086,06. Contracting cost pada KALAM hanyalah sebesar 13,66% terhadap KARTAR. Rendahnya contracting cost pada KALAM dikarenakan kontrak yang dibuat adalah kontrak yang tidak lengkap, tidak tertulis dan hanya berdasarkan kesepakatan lisan saja sedangkan KARTAR sebagai kelembagaan formal diharuskan merumuskan kontrak yang mendekati lengkap (quasi-complete contract) yang ditunjukkan dari panjangnya proses revisi proposal. Hal ini menunjukkan
bahwa
bentuk
kelembagaan
mempengaruhi
bagaimana
organisasi-organisasi membangun kontrak. Menurut Holmstrom dan Tirole (1989 diacu dalam Masten dan Saussier 2001), kontrak yang lengkap adalah kontrak yang (i) menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak pada setiap kemungkinan kondisi (every possible contingency), dan (ii) memberikan kemungkinan hasil terbaik (the best possible outcome) berdasarkan informasi yang tersedia saat kontrak dibuat sehingga tidak akan diperlukan lagi revisi atau upaya untuk melengkapi. Meskipun begitu, tidak ada kontrak yang benar-benar lengkap. Hal ini dikarenakan setiap pihak tidak dapat memperhitungkan seluruh kemungkinan yang dapat mempengaruhi transaksi termasuk respon optimal terhadap kemungkinan-kemungkinan tersebut atau faktor rasionalitas terbatas (bounded rationality) (Saussier 2000). Hagedoorn & Hesen (2005) menambahkan faktor kemungkinan oportunisme dari para pihak yang terlibat dalam kontrak. Selain itu, juga ada faktor variabel-variabel untuk mengukur pemenuhan kontrak yang sulit untuk diverifikasi (non-verifiability variables). Jadi, alih-alih kontrak yang lengkap,
88
yang ada hanyalah kontrak yang lebih lengkap dibandingkan yang lain sebagaimana dinyatakan Saussier (2000): “One contract is more complete than another if it gives a more precise definition of the transaction and of the means to carry it out.”
Kontrak yang tidak lengkap bukannya tidak memuat aturan sama sekali. Akan tetapi, aturan ini lebih didasarkan pada norma dalam berhubungan (relational norms). Norma ini bersumber pada konteks sosial dari kontrak tetapi tidak terekspresikan secara jelas dalam kontrak tersebut. Norma-norma tersebut seperti solidaritas, integritas, dan kooperatif (Hagedoorn & Hesen 2005). Kontrak yang tidak lengkap membutuhkan biaya atas informasi (information cost) yang lebih rendah (Saussier 2000). Selain mengenai mengenai keuntungan dan
kerugian
dari
suatu
transaksi,
biaya
informasi
juga
menyangkut
penghitungan segala kemungkinan yang dapat mempengaruhi transaksi termasuk
juga
penghitungan
respon
optimal
terhadap
kemungkinan-
kemungkinan tersebut. Informasi memang tidak gratis. Allen (1991) menyatakan: ”Information regarding the number and levels of each good’s attributes is not free”.
Meskipun demikian, biaya informasi tidak selalu menjadi biaya transaksi. Biaya yang muncul atas pengumpulan informasi yang independen terhadap suatu pertukaran, dalam arti biaya ini ada meskipun tanpa terjadinya sebuah pertukaran, adalah biaya informasi dan bukan biaya transaksi. Termasuk juga di dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan seperti mencari mitra dagang, memilih barang-barang yang diperlukan, atau membandingkan dan mencari harga terbaik yang tanpa diikuti dengan terjadinya transaksi adalah biaya informasi, dan bukan biaya transaksi (Allen 1991). Selain contracting costs tersebut, juga terdapat search costs. Di KALAM, biaya pencarian muncul pada saat negosiasi awal sedangkan di KARTAR muncul pada saat sosialisasi oleh pihak kelurahan. Pada proses inilah biaya pencarian muncul untuk mendapatkan informasi mengenai keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi (cost of allocating information about opportunity of the exchange) (North & Thomas 1973 diacu dalam Anggraini 2005). Biaya pencarian juga meliputi biaya untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi mitra potensial (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005). Biaya transaksi paling rendah pada tahap akuisisi dana program di KALAM adalah presentasi dan negosiasi akhir dengan penyandang dana. Presentasi
89
berikut negosiasi akhir ini hanya membutuhkan waktu 30 menit hingga proposal diterima dan kesepakatan dicapai. Besaran biaya transaksinya hanyalah 1,3% terhadap total biaya transaksi. Hal ini sangat berlawanan dengan apa yang terjadi di KARTAR. Proses negosiasi akhir memakan waktu satu bulan, ini dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan revisi proposal yang dimintakan oleh pihak penyandang dana sebanyak dua kali. Keterlibatan pihak kelurahan dalam proses revisi proposal menjadi salah satu penyebab waktu pengerjaan yang semakin panjang. Rendahnya biaya transaksi pada saat presentasi dan negosiasi akhir di KALAM dikarenakan telah saling mengenalnya antara KALAM dan penyandang dana. Saling mengenal berikut kerjasama-kerjasama yang pernah dilakukan sebelumnya bisa jadi menimbulkan rasa saling percaya (trust). Sebagaimana dinyatakan oleh Allen (1991), pada saat pertukaran sukarela (voluntary exchange) terjadi akan muncul biaya transaksi untuk mencegah kesejahteraan sendiri diambil orang lain. Rasa saling percaya akan meminimumkan biaya transaksi karena berbekal kepercayaan tersebut maka tidak diperlukan usaha berlebih untuk mencegah diambilnya kesejahteraan sendiri. Bahkan kesepakatan kerjasama (atau kontrak) antara KALAM dan pihak penyandang dana pun tidak dibuat secara tertulis melainkan hanya lisan saja. Coleman
(diacu
dalam
Radaef
2002,
diacu
dalam
Poel
2005)
mendefinisikan kepercayaan sebagai keyakinan bahwa perilaku pihak yang dipercayai akan dapat diprediksi berikut memenuhi kewajibannya tanpa perlu sanksi-sanksi khusus apapun. Ada definisi lain yang lebih ringkas dan mengena yaitu kepercayaan adalah kesediaan untuk mengabaikan risiko (Rustiadi E Maret 2009, komunikasi pribadi). Dengan adanya kepercayaan, maka risiko-risiko seperti perilaku oportunistik atau tidak dipenuhinya kewajiban menjadi diabaikan sehingga biaya transaksi pada saat negosiasi akhir di KALAM menjadi lebih rendah. Faktor kepercayaan ini juga berkontribusi terhadap pilihan akan jenis kontrak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Adanya kepercayaan antara pihak yang akan bertransaksi menyebabkan kontrak yang dibuat cenderung ke kontrak yang tidak lengkap. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Poel (2005): “When there is a high level of trust between two parties, contract costs are lower because it is not necessary to include all kinds of costly safeguards.”
90
Pilihan akan kontrak yang tidak lengkap juga dipengaruhi oleh asumsi KALAM dan mitra transaksinya bahwa biaya untuk melakukan penjagaan nantinya (enforcement costs) akan murah. Sebagaimana dinyatakan oleh Allen & Lueck (2002), kontrak akan dibuat sederhana bahkan acapkali hanya kesepakatan lisan saja jika terdapat tiga kondisi yaitu (i) tidak adanya aset yang spesifik yang ditransaksikan, (ii) murahnya biaya penegakan melalui mekanisme pasar (market enforcement), misalnya melalui ditutupnya kemungkinan untuk bekerjasama lagi pada masa mendatang jika kontrak tidak dipatuhi, dan (iii) murahnya biaya penegakan akibat adanya praktek-praktek baik yang menjadi kelaziman sehingga segala bentuk penyelewengan terhadapnya akan mudah teridentifikasi (diistilahkan dengan common law). Artinya adalah, semakin murah biaya penegakan maka akan semakin sederhana suatu kontrak dibuat. Asumsi KALAM dan mitra transaksinya bahwa enforcement costs akan murah didasari oleh fakta bahwa KALAM dan mitranya telah saling mengenal satu sama lain bahkan semenjak ketika KALAM pertama kali didirikan. KALAM dan mitra transaksinya pun bahkan bertempat di kelurahan yang sama. Saling mengenalnya satu sama lain, domisili yang sama, dan bahkan juga jenis kegiatan yang serupa menyebabkan ada harapan untuk senantiasa bekerjasama dalam jangka panjang. Perilaku curang pun akan dihindari karena dengan mudahnya dapat diketahui dan dapat pula disebarluaskan kepada pihak-pihak lain. Harapan untuk bekerjasama dalam jangka panjang dan mudahnya perilaku curang dideteksi menyebabkan setiap pihak berusaha memupuk modal reputasinya (reputational capital) (Allen & Lueck 2002) dan adanya reputasi ini lantas memproduksi rasa saling percaya (trust). Hanya, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa kepercayaan dan biaya transaksi tidak hanya memiliki satu bentuk hubungan saja yaitu kepercayaan mengurangi biaya transaksi. Ada ilmuwan-ilmuwan lain yang meyakini bahwa hubungannya sebenarnya sebaliknya: kepercayaan diciptakan melalui investasi dalam biaya transaksi (Poel 2005). Tesis ini ada benarnya jika dilihat pada contoh kasus negosiasi akhir yang dilakukan KALAM, rasa saling percaya antara KALAM dan penyandang dana itu muncul karena telah saling mengenal sejak lama dan pengalaman bekerjasama sebelumnya. Keterlibatan pihak ketiga (dalam kasus KARTAR adalah pihak kelurahan) merupakan karakteristik KARTAR dan ini tidak dialami oleh KALAM. Meskipun
91
keterlibatan pihak ketiga ini secara nyata meningkatkan biaya transaksi baik pada search costs maupun contracting costs, namun keterlibatannya tidak dapat dihindarkan. Sebagai kelembagaan pemuda bentukan negara (state), KARTAR menjadi bagian (sub-sistem) dari sistem yang lebih besar. Hubungannya dengan sub-sistem lain telah diatur secara tegas. Dengan kelurahan tempat Karang Taruna berada, hubungannya adalah kemitraan. Di tingkat pemerintah pusat, hubungannya bersifat fungsional dengan Departemen Sosial melalui pembinaan dan pengembangan. Di tingkat pemerintah kota, pembinaan dan pengembangan tersebut dilaksanakan bersama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos). Hal ini sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 5 Tahun 2007. Keterlibatan pihak ketiga memperbesar biaya transaksi di KARTAR utamanya pada contracting costs. Hal ini sejalan dengan penelitian Rony (1996). Keterlibatan pihak ketiga pada saat transaksi jual-beli lahan meningkatkan biaya transaksi utamanya pada biaya informasi. Namun keterlibatannya tidak dapat dihindarkan mengingat pihak ketiga tersebut menyediakan segala informasi yang diperlukan sehingga calon pembeli dapat menghindarkan diri dari kerugian atas suatu transaksi. Berbeda halnya dengan KALAM yang menjadi entitas yang berdiri sendiri. Jika Alston et al. ([ed.] 1996) menyatakan bahwa kelembagaan formal dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan kelembagaan informal pada beberapa kondisi, maka demikian pula sebaliknya. Kelembagaan informal dapat berdiri sendiri dan terpisah dari kelembagaan formal pada beberapa kondisi semisal: (i)
kondisi krisis sehingga keberlakuan hukum menjadi tidak pasti dan tidak cukup untuk mengatur perilaku,
(ii)
kondisi ketika pemerintah tidak memiliki legitimasi yang kuat dan politikus terpilih dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat sehingga pemberlakuan sebuah hukum tidak mempengaruhi norma. Selengkapnya mengenai komposisi search costs dan contracting costs
pada tahap akuisisi dapat dilihat pada Gambar 9.
92
Biaya transaksi (Rp)
2,000,000.00
1,500,000.00 KALAM KARTAR
1,000,000.00
500,000.00
Search cost Gambar 9
Contracting cost
Komposisi search cost dan contracting cost pada tahap akuisisi di KALAM dan KARTAR
6.1.2 Tahap Distribusi Pembandingan biaya transaksi pada tahap distribusi antara KALAM dan KARTAR memiliki kendala tersendiri. Kendala tersebut tidak terdapat pada penghitungan tahap sebelumnya yaitu tahap akuisisi. Kendala tersebut adalah perbedaan lama waktu pengerjaan program. Jika KARTAR melaksanakan program selama 1,5 bulan, maka KALAM melaksanakannya hingga sembilan bulan. Perbedaan ini semata-mata dikarenakan mitra transaksi dan desain program yang menghendaki. Tentu saja perbedaan lama waktu ini akan mempengaruhi besaran biaya transaksi. Jika
sekadar
membandingkan
besaran
biaya
transaksi
tanpa
mempertimbangkan kendala ini tentu akan membawa kepada kesimpulan yang salah (misleading). Pada KALAM, biaya transaksi pada tahap distribusi selama sembilan bulan mencapai Rp 88.122,18 atau 19,86% dari biaya transaksi pada tahap akuisisi. Pada KARTAR, biayanya mencapai Rp 69.266,34 atau 3,42% dari biaya pada tahap akuisisi. Artinya, biaya transaksi pada KALAM menjadi lebih tinggi 1,27 kalinya dibanding KARTAR padahal lama waktu pelaksanaan program pada KALAM 6 kali lebih panjang dibanding KARTAR (1,5 bulan berbanding sembilan bulan). Hal ini tidak menjadi kendala apabila perbandingan lama waktu pengerjaan program berbanding lurus dengan besaran biaya transaksi. Artinya, jika program dikerjakan 6 kali lebih lama dan besaran biaya transaksi berada di kisaran 6 kali
93
lebih
besar,
maka
membandingkan
besaran
biaya
transaksi
tanpa
mempertimbangkan perbedaan lama waktu pengerjaan program tidak akan menyebabkan kesimpulan yang salah karena menjadi benar bahwa KALAM memang lebih tinggi biaya transaksinya dibanding KARTAR. Akan tetapi, hasil yang didapati menunjukkan bahwa perbandingan lama waktu pengerjaan program tidak berbanding lurus dengan besaran biaya transaksi. Agar
kesimpulan
tidak
menjadi
salah
maka
untuk
kepentingan
perbandingan, biaya transaksi dihitung pada lama waktu yang sama yaitu 1,5 bulan. Data yang didapatkan pada KALAM mendukung untuk dilakukannya penyesuaian ini mengingat besaran biaya transaksi yang didapatkan adalah besaran per bulan dan bulannya agregat selama program. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Biaya transaksi pada tahap distribusi dana program di KALAM dan KARTAR KALAM
Mengalokasikan sumber daya untuk kepentingan operasional program
2 orgx94,5 menit (untuk 1,5 bulan)
KARTAR Rapat internal KARTAR untuk pengalokasian sumber daya
12,121.61
57,721.95
5 orgx3 kalix1 jam Rapat KARTAR dengan pemerintah kelurahan untuk mendapatkan persetujuan alokasi sumber daya
11,544.39
(untuk 9 bulan)
72,729.66
8 orgx30 menit Total selama 1.5 bulan
15,392.52 27,514.13
Total selama 9 bulan
88,122.18
Total
69,266.34
% terhadap nilai sumber daya (untuk nilai total selama 1,5 bulan)
0.39
% terhadap nilai sumber daya
0.46
Mengalokasikan sumber daya untuk pembelian barang modal
3 orgx1 jam
Menggunakan lama waktu program yang sama yaitu 1,5 bulan, didapati bahwa biaya transaksi pada KALAM sebesar Rp 27.514,13. Besaran ini lebih rendah dibanding dengan KARTAR atau hanya sebesar 39,72% dari biaya transaksi pada KARTAR. Merujuk kembali kepada tahap akuisisi sumber daya, kontrak yang dibuat oleh KARTAR adalah kontrak yang lebih lengkap dibandingkan KALAM. Kontrak yang lebih lengkap ini seharusnya mempermudah proses alokasi sumber daya karena kontrak tersebut telah mengaturnya. Seharusnya, kontrak yang lebih lengkap dapat membuat biaya transaksi KARTAR pada tahap distribusi menjadi lebih rendah.
94
Hanya saja, besaran biaya transaksi pada tahap distribusi tidak hanya dipengaruhi oleh mapan tidaknya mekanisme alokasi sumber daya, tetapi juga dipengaruhi oleh distribusi hak kepemilikan. Hal inilah yang dijelaskan oleh Coase melalui teorinya yang dikenal dengan Coase Theorem: “in the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of property rights”
Hal yang ingin ditunjukkan oleh Coase melalui teori ini sebenarnya bukanlah sebuah model yang berbasis zero transaction costs melainkan sebaliknya: karena biaya transaksi itu selalu positif, maka alokasi sumber daya ditentukan oleh distribusi hak kepemilikan. Segala bentuk analisis terhadap organisasi ekonomi harus memasukkan biaya transaksi sebagai bagian dari kajian (Allen 2002). KALAM mendistribusikan hak kepemilikan secara lebih lengkap (more complete property rights) dibanding KARTAR. Penjelasannya adalah sebagai berikut: baik pada KALAM maupun KARTAR, proses distribusi secara umum dilakukan melalui rapat pengurus untuk mengalokasikan dana program yang telah dimiliki ke dalam beberapa pos pembelanjaan. Hanya bedanya, jumlah orang yang terlibat berikut lama waktu keterlibatan pada tahap distribusi di KALAM lebih sedikit dibanding di KARTAR. Di KALAM, hanya dua orang meliputi ketua tim dan bendahara saja yang memutuskan alokasi sumber daya dan hanya memakan waktu satu jam. Dengan waktu sesingkat itu tentunya sumber daya tidak dialokasikan secara detail ke dalam berbagai pos pembelanjaan. Karena itu,
jika
terdapat
kebutuhan-kebutuhan
yang
muncul
kemudian
maka
kewenangan diberikan kepada bendahara untuk memutuskan pengalokasian sumber dayanya. Di KARTAR, terdapat lima orang pengurus terlibat dalam pengalokasian sumber daya melalui tiga kali rapat yang masing-masingnya memakan waktu satu jam. Hal ini menunjukkan bahwa setiap rupiah ditentukan peruntukannya semenjak awal dan penentuan peruntukannya itu dilakukan atas sepengetahuan dan kesepakatan bersama. Tidak ada kewenangan yang didelegasikan kepada individu untuk mengalokasikan sumber daya. Proses pendistribusian dapat dikaitkan dengan berkas hak (bundle of rights). Berkas hak adalah sekumpulan hak yang saling terpisah satu sama lain. Berkas hak seringkali diibaratkan dengan seikat tongkat-tongkat (bundle of
95
sticks) dan setiap tongkat mewakili satu hak. Ikatan tongkat itu bisa membesar jika ditambahkan tongkat baru dan bisa mengecil jika tongkat yang ada diambil. Misalkan untuk pemilik lahan, seikat tongkatnya dapat terdiri atas hak untuk menjual, menyewakan, menggadaikan, menghibahkan, dan membagi (Meyer 2002). Berkas hak yang didistribusikan antara lain terdiri atas hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya (rights to the choice of use), hak untuk mendapatkan manfaat (rights to the services), dan hak untuk mempertukarkan (rights to exchange) (Alchian 2002). Ketiga hak ini secara keseluruhan membentuk hak kepemilikan privat. Distribusi hak kepemilikan yang dilakukan oleh KALAM dan KARTAR tidak pada tingkatan mentransfer sumber daya menjadi hak kepemilikan privat. Hak yang didistribusikan adalah hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya, dan hak ini pun tidak sepenuhnya karena ada kontrak yang mengatur tentang bentuk-bentuk penggunaan tersebut. Jika kontrak mengatur bentuk-bentuk penggunaan yang bersifat lebih makro, maka KALAM dan KARTAR memiliki hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan yang bersifat lebih teknis. Dinamika kondisi dan kebutuhan pada saat pelaksanaan program juga dapat mengizinkan KALAM dan KARTAR memilih bentuk-bentuk penggunaan yang lebih tepat. Hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi pun didistribusikan meskipun hanya sebagian kecil saja dari total nilai sumber daya. Hal ini dikarenakan sifat KALAM dan KARTAR sebagai organisasi kepemudaan nirlaba sehingga menggunakan sebagian besar sumber daya dana program untuk kepentingan pelaksanaan program. Satu kesamaan antara KALAM dan KARTAR adalah sama-sama tidak mendistribusikan hak untuk mentransfer sumber daya. Hal inilah yang menyebabkan hak kepemilikan yang didistribusikan bukanlah hak kepemilikan privat. Hak untuk memilih bentuk bentuk penggunaan membedakan derajat kelengkapan hak kepemilikan antara KALAM dan KARTAR. Jika KALAM mendistribusikan hak ini kepada Ketua dan Bendahara Tim, maka tidak demikian halnya dengan KARTAR. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada KARTAR tidak
ada
kewenangan
yang
didelegasikan
kepada
individu
untuk
mengalokasikan sumber daya. Pada derajat tertentu dapat dikatakan bahwa hak
96
kepemilikan yang didistribusikan oleh KALAM bersifat lebih lengkap (more complete property rights) dibanding pada KARTAR. Kondisi ini bisa diduga memiliki keterkaitan dengan rasa saling percaya (trust).
Adanya
rasa
saling
percaya
menyebabkan
hak
kepemilikan
didistribusikan secara lebih lengkap. Hal ini memberikan orang kontrol yang lebih penuh (meskipun tidak memiliki secara privat) atas sumber daya. Dalam bahasa Rodrik (1999), kontrol merupakan kata kunci dari hak kepemilikan dan bukannya kepemilikan (ownership) itu sendiri karena kontrol dapat dilakukan orang tanpa harus memiliki sumber daya secara legal. Rupanya, hak kepemilikan yang lebih lengkap ini mampu meminimalkan biaya transaksi meskipun kontrak yang dibuat sebelumnya adalah kontrak yang tidak lengkap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Rony (1996) yang menyatakan bahwa hak kepemilikan yang semakin lengkap dapat lebih menurunkan biaya transaksi. Hanya saja, jika penelitian tersebut mendapati bahwa biaya transaksi yang diturunkan oleh semakin lengkapnya hak kepemilikan adalah biaya kontrak, maka pada penelitian ini didapati bahwa biaya transaksi yang diturunkan adalah pada tahap distribusi, khususnya pada alokasi sumber daya yang dapat dilakukan secara lebih efisien. Alchian (2002) memberikan satu contoh ekstrim dari kasus hak kepemilikan yang tidak lengkap yaitu pada kasus sumber daya milik bersama (commonly owned resources). Pada sumber daya milik bersama, tidak ada insentif bagi siapapun untuk menjaga sumber daya tersebut selain eksploitasi berlebihan. Eksploitasi berlebihan itu menyebabkan biaya transaksi menjadi semakin mahal karena orang terpacu untuk membangun hak kepemilikan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan antara hasil yang didapat dengan sumber daya yang dikeluarkan (resources used to establish property right). Satu contoh dari sumber daya milik bersama ini adalah sumber daya perikanan laut. Sumber daya ini telah mengalami overcapacity kapital sehingga penambahan modal tidak diikuti lagi dengan penambahan hasil tangkapan. Hal ini menyebabkan inefisiensi dan economic waste (Fauzi 2005). Sejatinya, hak kepemilikan memang tidak pernah lengkap (incomplete), bahkan
pada
hak
kepemilikan
privat
sekalipun.
Ketidaklengkapan
hak
kepemilikan dikarenakan adanya eksternalitas atau peraturan-peraturan, baik formal maupun informal, yang membatasi bentuk-bentuk penggunaan sumber
97
daya. Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap ketika sebagian hak berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan yang tidak pernah lengkap menjadi salah satu penyebab biaya transaksi bersifat ubiqitous (ada dimana-mana) (Allen 2005). Selain perbedaan pada derajat kelengkapan hak kepemilikan, keterlibatan pihak ketiga yaitu kelurahan pada tahap distribusi menjadi pembeda yang berkontribusi terhadap lebih besarnya biaya transaksi di KARTAR. Pihak kelurahan terlibat untuk memberikan persetujuan atas distribusi sumber daya yang dirancang oleh KARTAR. Artinya, keterlibatan pihak ketiga tidak hanya pada tahap akuisisi saja melainkan hingga saat pendistribusian sumber daya. Jika dibandingkan antar tahapan, biaya transaksi pada tahap distribusi dana program lebih rendah dibanding tahap akuisisi baik pada KALAM maupun KARTAR. Biaya distribusi yang melebihi biaya akuisisi menandakan inefisiensi. Kelembagaan yang inefisien tidak akan berusia panjang. KARTAR dan KALAM merupakan kelembagaan yang telah lama bertahan (long lived institutions) menandakan efisiensi kelembagaan tersebut. Inilah yang disebut sebagai salah satu karakter dasar New Institutional Economics (Allen 2005). Rendahnya biaya transaksi pada tahap distribusi juga disebabkan adanya kontrak sebelumnya dengan pihak penyandang dana mengenai alokasi sumber daya dana program. Sebagai disebutkan sebelumnya, adanya kontrak ini mempermudah proses alokasi sumber daya karena kontrak tersebut telah memuat aturan-aturannya. Ada kasus khusus di KALAM yang menunjukkan bahwa ketidaklengkapan kontrak menyebabkan biaya transaksi yang nyata. Pembelian barang modal dalam bentuk seperangkat kamera digital adalah alokasi yang tidak diatur sebelumnya di dalam kontrak. Untuk memutuskan alokasi ini, sebanyak delapan orang terlibat dalam proses alokasi ini meskipun memakan waktu yang tidak lama yaitu setengah jam. Secara persentase, biaya transaksi yang ditimbulkan sangat nyata yaitu sebesar 55,94% dari total biaya transaksi pada tahap distribusi. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat interdependensi antara tahap distribusi dan tahap akuisisi sebelumnya. Tahap distribusi akan lebih murah biaya transaksinya jika (i) hak kepemilikan didistribusikan secara lebih lengkap, dan (ii) kontrak dibuat secara lebih lengkap. Kontrak yang semakin lengkap akan
98
meningkatkan biaya transaksi pada tahap akuisisi tetapi pada gilirannya menyebabkan biaya transaksi pada tahap distribusi menjadi semakin menurun karena alokasi sumber daya dapat dilakukan secara lebih efisien.
6.1.3 Tahap Penjagaan Sebagaimana pada tahap distribusi, penghitungan biaya transaksi pada tahap penjagaan juga memerlukan penyamaan lama waktu penjagaan dilakukan yaitu selama 1,5 bulan. Jika menghitung secara agregat (tidak memperhitungkan perbedaan lama waktu), maka biaya transaksi pada tahap penjagaan di KALAM mencapai Rp 2.270.216,87, lebih tinggi dibandingkan pada KARTAR yang sebesar Rp 1.433.428,43. Lebih tingginya biaya transaksi pada KALAM sebesar 1,58 kali dibanding pada KARTAR tidak berbanding lurus dengan perbedaan lama waktu ketika KALAM melakukan tahap penjagaan ini 6 kali lebih lama dibanding KARTAR. Menggunakan penyamaan lama pelaksanaan tahap penjagaan yaitu 1,5 bulan, biaya transaksi pada KALAM lebih rendah yaitu sebesar Rp 602.168,12 atau 42,01% dibanding pada KARTAR yang sebesar Rp 1.433.428,43. Hal ini menunjukkan bahwa pada kesemua tahapan meliputi akuisisi, distribusi, dan penjagaan, biaya transaksi pada KALAM selalu lebih rendah dibanding KARTAR. Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa besaran biaya transaksi
pada
kelembagaan
formal
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
kelembagaan informal. Selengkapnya mengenai biaya transaksi pada tahap penjagaan dapat dilihat pada Tabel 17.
99
Tabel 17. Biaya transaksi pada tahap penjagaan dana program di KALAM dan KARTAR KALAM
KARTAR
Penjagaan internal 1 orgx4 hari/bulan Pemegang dana (termasuk pembuatan laporan keuangan)
Mengevaluasi penggunaaan sumber daya melalui diskusi rutin
Mengkonversi in-cash resources menjadi inkind resources
selama 1,5 bulan selama 9 bulan 6 orgx9 jam (selama 1,5 bulan) 6 orgx31,5 jam (selama 9 bulan) biaya transportasi selama 1,5 bulan
Pemegang dana 123,140.16/bulan
769,626.00 1 orgx1 bulan 123,140.16
Koordinasi dengan pengurus lain setiap akan menarik dana dari 8 orgx4 kalix1 jam 184,710.24 rekening Rapat evaluasi akhir 13 orgx1 jam 1,108,261.44
50,025.69
207,799.02
727,296.57
125,000.00 selama 9 bulan
350,000.00
Penjagaan eksternal Evaluasi rutin per dua minggu
Pembuatan laporan kegiatan
4 orgx3 kalix1.5 jam
1 orgx1 kalix4 jam
28,860.98
Rapat evaluasi pendistribusian sumber daya bersama pihak 3 orgx5 kalix30 menit 69,266.34 kelurahan Pembuatan laporan akhir untuk Kantor Kesbanglinmas Provinsi Jawa Barat berikut proses konsultasi pembuatannya dengan pihak kelurahan
Total selama 1.5 bulan Total selama 9 bulan
15,392.52 602,168.12 2,270,216.87
% terhadap nilai sumber daya (untuk nilai total selama 1,5 bulan)
8.60
461,775.60
3 orgx5 hari
Total
1,433,428.43
% terhadap nilai sumber daya
9.56
Menggunakan definisi biaya transaksi dari Allen (1991, 1999) yang menyatakan bahwa biaya transaksi adalah ”resources used to establish and maintain property rights”, maka tahap penjagaan merupakan komponen ”maintain”-nya. Hak kepemilikan yang terdefinisikan dan terlindungi dengan sempurna (well-defined and well-protected) akan menggantikan persaingan dengan kekerasan menjadi persaingan secara damai (Alchian 2002). Jika penegakan atas hak akan suatu barang/sumber daya terlalu mahal untuk dilakukan (too costly), maka hal ini akan menyebabkan hak kepemilikan menjadi tidak sempurna (imperfect property rights) (Allen 2005). Beda antara imperfect dan incomplete property rights adalah: jika incomplete property rights adalah sebagian hak legal atas suatu sumber daya berada di tangan orang lain, maka imperfect property rights adalah ketika keseluruhan hak legal berada di tangan satu orang tetapi hak ekonomi dinikmati orang lain.
100
Melihat ketidaksempurnaan hak kepemilikan tidak bisa hanya dengan membandingkan besaran biaya transaksi pada tahap penjagaan antara KALAM dan KARTAR. Meskipun biaya transaksi pada KARTAR lebih tinggi dibandingkan KALAM, bukan berarti bahwa hak kepemilikan di KARTAR menjadi lebih tidak sempurna. Hal ini dikarenakan mahal tidaknya penegakan hak akan suatu barang/sumber daya bersifat relatif. Ketidaksempurnaan hak kepemilikan lebih tepat dilihat dari seberapa sering hak ekonomi dinikmati oleh orang lain, karena jika hak ekonomi sering/banyak dinikmati oleh orang lain menandakan bahwa penegakan itu terlalu mahal (too costly) untuk dilakukan. Berdasarkan jawaban dari responden pelaku (yaitu anggota KALAM dan KARTAR), diketahui bahwa sumber daya sama-sama tidak pernah digunakan oleh orang yang tidak berhak. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun biaya transaksi pada KARTAR lebih tinggi dibandingkan KALAM tetapi tidak berarti bahwa besaran itu terlalu mahal bagi KARTAR karena tidak ada hak ekonomi yang dapat dinikmati orang lain. Jika dibandingkan antara tahap penjagaan internal dan eksternal, maka tahap penjagaan internal adalah kontributor terbesar terhadap total biaya transaksi pada kedua lembaga. Pada KALAM, tahap penjagaan internal berkontribusi sebesar 85,94% terhadap total biaya transaksi sedangkan pada KARTAR sebesar 65,77%. Artinya, tahap penjagaan eksternal pada KARTAR lebih tinggi proporsinya dibanding KALAM yaitu 34,23% berbanding 14,06%. Komposisi biaya transaksi pada tahap penjagaan ini dapat dilihat pada Gambar 10.
101
External monitoring 34%
External monitoring 14%
Internal monitoring 86%
Internal monitoring 66%
Gambar 10 Komposisi monitoring internal dan eksternal pada tahap penjagaan di KALAM (gambar kiri) dan KARTAR (gambar kanan).
Penjelasan mengenai lebih tingginya proporsi tahap penjagaan eksternal pada KARTAR dapat dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai tahap akuisisi. Kutipan dari pembahasan tahap akuisisi adalah sebagai berikut: ”Rendahnya biaya transaksi pada saat presentasi dan negosiasi akhir di KALAM dikarenakan telah saling mengenalnya antara KALAM dan penyandang dana. Saling mengenal berikut kerjasama-kerjasama yang pernah dilakukan sebelumnya bisa jadi menimbulkan rasa saling percaya (trust). Sebagaimana dinyatakan oleh Allen (1991), pada saat pertukaran sukarela (voluntary exchange) terjadi akan muncul biaya transaksi untuk mencegah kesejahteraan sendiri diambil orang lain. Rasa saling percaya akan meminimumkan biaya transaksi karena berbekal kepercayaan tersebut maka tidak diperlukan usaha berlebih untuk mencegah diambilnya kesejahteraan sendiri. Bahkan kesepakatan kerjasama (atau kontrak) antara KALAM dan pihak penyandang dana pun tidak dibuat secara tertulis melainkan hanya lisan saja”.
Telah saling mengenalnya antara KALAM dan mitra transaksinya, adanya harapan untuk bekerjasama dalam jangka panjang, mendorong masing-masing pihak untuk memupuk modal reputasinya (reputational capital) (Allen & Lueck 2002) dan adanya reputasi ini lantas memproduksi rasa saling percaya (trust). Rasa saling percaya antara keduanya menyebabkan biaya transaksi untuk penjagaan eksternal menjadi rendah karena market enforcement dapat dilakukan secara lebih murah. Sebaliknya, pada KARTAR proporsi penjagaan eksternal ini menjadi besar karena kurang saling mengenalnya antara KARTAR dan penyandang dana sehingga tingkat kepercayaan menjadi lebih rendah. Meskipun demikian, proporsi biaya transaksi pada tahap penjagaan internal di KALAM lebih tinggi dibandingkan KARTAR. Lagipula, jika dibandingkan antar tahapan maka tahap penjagaan pada KALAM merupakan tahap dengan biaya transaksi paling tinggi dibanding dua tahapan lainnya. Jika dibandingkan dengan tahap akuisisi, tahap penjagaan di KALAM adalah sebesar 135,71% dari tahap
102
akuisisi. Berbeda halnya dengan KARTAR, biaya transaksi pada tahap penjagaan adalah paling rendah dibanding dua tahapan lainnya. Jika dibandingkan dengan tahap akuisisi, tahap penjagaan di KARTAR adalah sebesar 65,73% dari tahap akuisisi. Lebih tingginya kontribusi tahap penjagaan internal di KALAM dibanding KARTAR
disebabkan
oleh
tingkat
kelengkapan
hak
kepemilikan
yang
didistribusikan sebelumnya. KALAM mendistribusikan hak kepemilikan secara lebih lengkap (more complete property rights) dibanding KARTAR meskipun tidak didistribusikan menjadi hak kepemilikan privat. Hak yang didistribusikan oleh KALAM yang membuatnya menjadi lebih lengkap dibanding KARTAR adalah pada jenis hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya (rights to the choice of use). Hak ini didistribusikan kepada Ketua dan Bendahara tim. Hak kepemilikan dapat dipahami sebagai kewenangan (authority), dan semakin
lengkapnya
hak
kepemilikan
menandakan
semakin
besarnya
kewenangan yang dimiliki. Kewenangan yang semakin besar, dan pada kasus KALAM berada di tangan Ketua dan bendahara tim, tentunya diikuti dengan kontrol oleh anggota lainnya. Kontrol dilakukan untuk menghindari perilaku oportunistik dan meminimalkan informasi asimetris. Kontrol dilakukan dengan menggunakan sumber daya dan hal inilah yang berkontribusi terhadap besarnya biaya transaksi pada tahap penjagaan. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17, terdapat pos biaya transaksi pada KALAM untuk mengevaluasi penggunaaan sumber daya secara rutin seminggu sekali. Besaran dari pos ini cukup nyata karena berkontribusi sebesar 34,51% terhadap keseluruhan biaya transaksi pada tahap penjagaan. Pos biaya transaksi semacam ini tidak dijumpai pada KARTAR. Hanya ada biaya transaksi dalam bentuk koordinasi dengan pengurus lain setiap akan menarik dana dari rekening dan pos ini berbeda sifatnya dengan pos evaluasi penggunaaan sumber daya yang terdapat pada KALAM. Jika koordinasi pada KARTAR dilakukan sebelum sumber daya dapat digunakan (karena hak kepemilikan kurang lengkap), maka evaluasi pada KALAM dilakukan setelah sumber daya digunakan (karena hak kepemilikan lebih lengkap). Biaya transaksi KARTAR untuk melakukan kordinasi ini pun hanya separuh (tepatnya 59,26%) dari biaya transaksi KALAM untuk melakukan evaluasi. Jika dibandingkan
103
dengan total biaya transaksi pada tahap penjagaan di KARTAR, maka koordinasi ini hanya berkontribusi sebesar 8,59%. Hak yang lebih lengkap ini pada akhirnya diikuti dengan penjagaan internal yang lebih intensif (dalam bentuk evaluasi rutin bersama seminggu sekali) untuk menghindari perilaku oportunistik dan informasi asimetris. Dapat dikatakan bahwa semakin lengkap hak kepemilikan, maka akan semakin besar biaya penegakannya (enforcement cost). Hak kepemilikan yang semakin lengkap membuat biaya transaksi pada tahap distribusi semakin murah, tetapi tahap penjagaan menjadi semakin mahal. Itulah trade-off-nya. Meskipun demikian, biaya transaksi pada tahap penjagaan di KALAM secara total masih lebih rendah dibanding KARTAR dikarenakan murahnya market enforcement. Hasil yang didapat ini sekali lagi menunjukkan interdependensi biaya transaksi antar tahap transaksi.
6.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Biaya Transaksi Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel x1 (kategori struktural
dari modal sosial dalam bentuk jaringan) dan x4 (hak kepemilikan yang tidak lengkap) menjadi variabel yang berpengaruh nyata terhadap perbedaan biaya transaksi antara KALAM dan KARTAR. Memperhatikan besaran biaya transaksi pada kedua organisasi tersebut, maka kualitas jaringan yang semakin baik dan hak kepemilikan yang lebih lengkap membuat biaya transaksi pada KALAM lebih rendah dibanding KARTAR. Pengaruh nyata dari kedua variabel ini secara statistika menegaskan kembali penjelasan-penjelasan sebelumnya. Dipilihnya kontrak yang tidak lengkap pada tahap akuisisi di KALAM menyebabkan biaya transaksi menjadi lebih rendah. Kontrak yang tidak lengkap dipilih karena ada rasa saling percaya antara KALAM dan mitra transaksinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Poel (2005): “When there is a high level of trust between two parties, contract costs are lower because it is not necessary to include all kinds of costly safeguards.”
Rasa saling percaya itu muncul karena KALAM dan mitra transaksinya telah saling mengenal satu sama lain bahkan semenjak ketika KALAM pertama kali didirikan. KALAM dan mitra transaksinya bahkan sekaligus juga bertempat di kelurahan yang sama. Artinya, kualitas jaringan antara KALAM dan mitranya itu
104
lebih baik dibandingkan KARTAR yang tidak memiliki kedekatan hubungan dengan mitra transaksinya. Variabel x1 (kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan) dalam penelitian ini diukur dari kualitas hubungan sebelumnya dengan mitra transaksi dan jumlah anggota organisasi yang menjadi teman akrab bagi responden. Pengaruh nyata secara statistika dari variabel ini menegaskan bahwa kualitas jaringan yang dimiliki menentukan tinggi rendahnya biaya transaksi. Kualitas jaringan yang baik tidak hanya menurunkan biaya transaksi pada tahap akuisisi saja tetapi juga pada tahap penjagaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Allen & Lueck (2002), market enforcement dapat menjadi murah jika memenuhi dua kondisi sebagai berikut (i) masing-masing mitra transaksi memiliki harapan untuk menjalin kerjasama dalam jangka panjang, dan (ii) informasi mengenai perilaku curang dapat diketahui dengan mudah. Dua kondisi tersebut dapat dipenuhi oleh KALAM dan mitra transaksinya karena baiknya kualitas jaringan antara keduanya. KALAM dan mitranya telah saling mengenal satu sama lain bahkan semenjak ketika KALAM pertama kali didirikan. KALAM dan mitranya sekaligus juga bertempat di kelurahan yang sama. Saling mengenalnya satu sama lain, domisili yang sama, dan bahkan juga jenis kegiatan yang serupa menyebabkan muncul harapan untuk senantiasa bekerjasama dalam jangka panjang. Domisili dan jenis kegiatan yang sama menyebabkan perilaku curang pun akan dihindari karena dengan mudahnya dapat diketahui dan dapat pula disebarluaskan kepada pihak-pihak lain. Setiap pihak akan berusaha memupuk modal reputasinya (reputational capital) (Allen & Lueck 2002) dan adanya reputasi ini lantas memproduksi rasa saling percaya (trust). Penjelasan ini pun sejalan dengan teori. Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menyatakan bahwa jaringan, sebagai kategori struktural dari modal sosial, dapat menurunkan biaya transaksi. Orang yang berada dalam satu jaringan yang sama memiliki interaksi yang sudah terpola dan ini memunculkan kesamaan harapan untuk menjalin kerjasama dalam jangka panjang. Interaksi yang terpola juga memudahkan diketahuinya perilaku curang. Hal ini menjadikan market enforcement menjadi murah untuk dilakukan. Variabel x4 (hak kepemilikan yang tidak lengkap) juga berpengaruh nyata secara statistika. Semakin lengkap hak kepemilikan, maka biaya transaksi akan
105
semakin rendah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hak kepemilikan yang didistribusikan oleh KALAM lebih lengkap (karena mencakup juga rights to the choice of use) dan hal ini menyebabkan lebih rendahnya biaya transaksi pada tahap distribusi dibanding KARTAR. Hak kepemilikan yang lebih lengkap menyebabkan alokasi sumber daya dapat dilakukan secara lebih efisien.n Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya. Pada kasus transaksi jualbeli lahan, lahan dengan hak kepemilikan yang lebih lengkap (dalam bentuk lahan yang bersertifikat hak milik) memiliki biaya transaksi yang lebih rendah dibanding lahan dengan hak kepemilikan yang kurang lengkap (dalam bentuk lahan berstatus milik adat). Biaya transaksi yang lebih rendah itu utamanya pada biaya kontrak (Rony 1996). Hasil ini pun sejalan dengan penjelasan dari Teori Coase bahwa pada situasi ketika biaya transaksi positif, maka alokasi sumber daya ditentukan oleh distribusi hak kepemilikan. Pembahasan sebelumnya juga menyatakan bahwa semakin lengkap hak kepemilikan juga menyebabkan semakin mahalnya enforcement costs. Hal ini dapat diumpamakan seperti upaya yang dilakukan orang untuk menjaga mobil dinas dan mobil pribadi. Hak kepemilikan pada mobil pribadi adalah hak kepemilikan privat sehingga hak kepemilikannya lebih lengkap dibanding mobil dinas. Upaya yang dilakukan orang untuk menjaga mobil pribadi tentu lebih besar dibanding upaya untuk menjaga mobil dinas. Tetapi,
sebagaimana
juga
telah
disebutkan
sebelumnya,
market
enforcement dapat dilakukan secara lebih murah pada KALAM sehingga hal ini mampu menurunkan enforcement costs akibat semakin lengkapnya hak kepemilikan. Hak kepemilikan yang lebih lengkap tidak akan meningkatkan biaya transaksi
selama
disertai
dengan
kondisi
yang
memungkinkan
market
enforcement dilakukan secara lebih murah. Kedua variabel tersebut berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%. Jika selang kepercayaan diturunkan menjadi 90%, maka terdapat satu lagi variabel yang berpengaruh nyata yaitu variabel x6 (tingkat spesifisitas aset). Pada KALAM, koefisien regresi untuk variabel ini memiliki nilai yang rendah yaitu sebesar 2,026 sedangkan pada KARTAR jauh lebih rendah lagi yaitu sebesar – (minus) 23,871. Besaran nilai koefisien regresi untuk variabel x6 ini dapat dibaca sebagai berikut: tingkat spesifisitas aset pada KALAM rendah sehingga menyebabkan biaya transaksi yang lebih murah, tetapi spesifisitas aset pada
106
KARTAR jauh lebih rendah lagi akan tetapi menyebabkan biaya transaksi menjadi semakin mahal. Hasil ini kurang baik karena menjelaskan pengaruh dari tingkat spesifisitas aset secara kontradiktif. Hasil ini juga kurang baik karena tidak mampu menjelaskan teori bahwa ditransaksikannya aset yang spesifik menyebabkan biaya transaksi yang semakin besar. Teori menjelaskan bahwa spesifisitas aset menyebabkan ketergantungan (Williamson 1998, diacu dalam Poel 2005) dan ketergantungan ini mengundang perilaku oportunistik. Oleh karena itulah aset dengan spesifisitas yang tinggi membutuhkan kontrak yang kuat atau internalisasi untuk mengantisipasi ancaman
perilaku
oportunistik
(http://faculty.washington.edu/
krumme/gloss/a.html, diakses 7 September 2006). Potensi untuk mengundang perilaku oportunistik inilah yang mengaitkan antara spesifisitas aset dan biaya transaksi. Biaya transaksi terkandung di dalam ketidakpastian, konsentrasi, dan spesifisitas aset (Klein et al. 1978; Williamson 1985; Frank & Henderson 1992, diacu dalam Temu & Winter-Nelson 2001). Didapatkannya hasil pengolahan yang tidak sesuai dengan teori ini dikarenakan variabel x6 (tingkat spesifisitas aset) tidak dapat diterapkan pada jenis transaksi yang menjadi unit analisis dari penelitian ini. Pada transaksi yang dilakukan oleh KALAM dan KARTAR, aset yang ditransaksikan adalah dalam bentuk dana senilai Rp 15 juta dan dana ini bukanlah termasuk aset yang spesifik. Aset dikatakan spesifik jika aset tersebut memiliki keterbatasan untuk dialihkan penggunaannya ke bentuk-bentuk penggunaan lain yang berbeda dari yang
dimaksudkan
pada
awalnya
(lack
of
transferability)
(http://faculty.washington.edu/krumme/gloss/a.html, diakses 7 September 2006). Jika dipaksakan untuk digunakan secara berbeda, maka akan ada nilai investasi yang hilang (Menard 2004, diacu dalam Poel 2005). Aset dalam bentuk dana tidaklah spesifik. Penggunaan dana secara berbeda tidak akan mengurangi nilai dari dana tersebut. Beberapa jenis spesifisitas aset yang sering dikaji dalam penelitian mengenai biaya transaksi adalah physical asset specificity, human asset specificity, site asset specificity, dan dedicated asset specificity (Poel 2005) Hal inilah yang menjelaskan tidak sesuainya hasil pengolahan data untuk variabel x6 (tingkat spesifisitas aset).
107
6.2.1
Keterkaitan Biaya Transaksi antar Tahap Transaksi Rao (2003) menyatakan bahwa antar tahapan biaya transaksi memiliki
keterkaitan dan saling mempengaruhi (interdependent) satu sama lain: “It is important to recognize that the two sets of cost elements (ex ante dan ex post) are usually interdependent, and hence an attempt to minimize one set of TC should also consider the corresponding implications for the entire vector of cost elements.”
Interdependensi antar tahapan transaksi telah berhasil dijelaskan oleh penelitian ini. Bentuk-bentuk interdependensi tersebut adalah sebagai berikut: (i)
interdependensi antara enforcement costs pada tahap penjagaan dan kelengkapan kontrak pada tahap akuisisi. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa murahnya market enforcement menyebabkan kontrak yang dipilih adalah kontrak yang tidak lengkap. Kontrak yang tidak lengkap pada gilirannya membuat biaya transaksi pada tahap akuisisi menjadi lebh murah. Dua kondisi yang dipenuhi sehingga market enforcement dapat lebih murah adalah a) masing-masing mitra transaksi memiliki harapan untuk menjalin kerjasama dalam jangka panjang, dan b) informasi mengenai perilaku curang dapat diketahui dengan mudah.
(ii)
interdependensi antara kelengkapan hak kepemilikan pada tahap distribusi dan enforcement costs pada tahap penjagaan. Hak kepemilikan yang didistribusikan semakin lengkap menyebabkan biaya transaksi pada tahap distribusi menjadi semakin murah. Tetapi, hak kepemilikan yang lebih lengkap ini lantas diikuti dengan enforcement costs yang lebih besar pada tahap penjagaan. Hanya saja, besarnya enforcement costs itu dapat dikurangi dengan murahnya market enforcement selama kondisi yang memungkinkannya dapat dipenuhi. Interdependensi tersebut digambarkan dalam Gambar 11 sebagai berikut.
108
High More complete property rights
Higher enforcement costs
More complete contracts
Reduced by inexpensive market enforcement
Transaction stage
Property rights completeness
Enforcement costs
Contracts completeness
More incomplete property rights
Lower enforcement costs
More incomplete contracts
Low
Gambar 11 Interdependensi antar tahap biaya transaksi
Kontrak yang lebih lengkap tidak serta merta mendistribusikan hak kepemilikan secara lebih lengkap. Oleh karena itulah pada Gambar 11 tidak terdapat garis penghubung antara property rights completeness dan contract completeness. Kontrak dapat dikatakan lengkap meskipun tidak mencakup pendistribusian hak kepemilikan. Definisi kontrak yang lengkap menurut Holmstrom dan Tirole (1989 diacu dalam Masten dan Saussier 2001), adalah kontrak yang (i) menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak pada setiap kemungkinan kondisi (every possible contingency), dan (ii) memberikan kemungkinan hasil terbaik (the best possible outcome) berdasarkan informasi yang tersedia saat kontrak dibuat sehingga tidak akan diperlukan lagi revisi atau upaya untuk melengkapi. Saussier (2000) menambahkan bahwa kontrak dapat dikatakan lebih lengkap jika kontrak tersebut dapat mendefinisikan transaksi yang akan dilakukan sekaligus cara untuk menjalankan transaksi tersebut.
6.3
Efektivitas Kelembagaan dalam Pencapaian Tujuan Berdasarkan hasil wawancara dengan responden beneficiaries yang
mewakili masyarakat setempat, diketahui bahwa KALAM dinilai lebih efektif dalam mencapai tujuannya dibanding KARTAR. KALAM dikenal lebih baik oleh masyarakat lokalnya dibanding KARTAR, bahkan untuk KARTAR sebanyak 30% responden kegiatannya.
menyatakan Responden
tidak juga
tahu
sama
menyatakan
sekali bahwa
mengenai KALAM
tujuan
dan
memberikan
109
pengaruh positif yang berdampak kepada lebih banyak pemuda dibanding KARTAR.
Selengkapnya
mengenai
penilaian
efektivitas
organisasi
oleh
responden beneficiaries KALAM dan KARTAR dapat dilihat pada Gambar 12. Jumlah responden 0
4
6
8
10
12
Sangat tahu
Seberapa baik masyarakat setempat mengenal Seberapa banyak pemuda setempat yang mendapat pengaruh positif Dari seluruh pemuda yang mendapat pengaruh positif, seberapa banyak yang mendapatkan dampak besar
2
Banyak tahu Agak tahu Sedikit tahu Tidak tahu Seluruh pemuda Sebagian besar pemuda KALAM
Separuh pemuda
KARTAR
Sebagian kecil pemuda Tidak ada pemuda Seluruh pemuda Sebagian besar pemuda Separuh pemuda Sebagian kecil pemuda Tidak ada pemuda
Gambar 12 Pembandingan efektivitas KALAM dan KARTAR berdasarkan penilaian responden beneficiaries
KALAM
yang
dikenal
lebih
baik
oleh
masyarakat
setempatnya
dibandingkan KARTAR menunjukkan bahwa aktivitas KALAM lebih tinggi dibandingkan KARTAR. Aktivitas tersebut membangun citra bagi KALAM di mata masyarakat sehingga masyarakat pun dapat mengenal tujuan dari didirikannya organisasi ini. Secara umum, tujuan KALAM sebagaimana halnya pada KARTAR adalah memberdayakan peran anak muda. Menurut sebagian besar responden beneficiaries (61,11%) di kelurahan Tegal Gundil, KALAM dapat memberikan pengaruh positif kepada separuh hingga sebagian besar pemuda kelurahan. Berkebalikan dengan responden beneficiaries di kelurahan Kebon Pedes, sebanyak 60% responden menyatakan bahwa tidak ada hingga sebagian kecil pemuda saja yang mendapatkan pengaruh positif dari KARTAR. Pengaruh positif tersebut tentunya memberikan besaran dampak yang berbeda. Ada pengaruh positif yang memberikan dampak yang kecil saja seperti berjalannya secara rutin kegiatan olahraga hingga pengaruh positif yang
110
berdampak besar seperti membentuk kepribadian dan karakter (character building) pemuda yang tangguh. Sebanyak 61,11% responden beneficiaries di KALAM menyatakan bahwa pengaruh positif yang diberikan oleh KALAM memberikan dampak besar bagi pemuda yang bersangkutan. KARTAR pun sebenarnya telah menghasilkan dampak besar dari pengaruh positif yang diberikan, hanya saja dampak besar ini hanya dirasakan oleh sebagian kecil pemuda saja. Kesemua uraian tersebut yang bersumber dari masyarakat setempat sebagai pihak penerima manfaaat menunjukkan bahwa organisasi KALAM lebih efektif dalam mencapai tujuannya dibandingkan KARTAR. Peran pemuda dapat lebih diberdayakan oleh KALAM dibanding KARTAR. Pada hasil sebelumnya, telah dijelaskan bahwa biaya transaksi pada KALAM lebih rendah dibandingkan dengan KARTAR. Hanya saja, penelitian memiliki batasan dan tidak mengkorelasikan antara besaran biaya transaksi dengan efketivitas organisasi dalam pencapaian tujuannya. Meskipun demikian, tetap dapat dinyatakan bahwa KALAM memiliki besaran biaya transaksi yang lebih rendah dan efektivitas organisasi yang lebih tinggi. Demikian pula halnya dengan KARTAR yang memiliki biaya transaksi lebih tinggi dan efektivitas organisasi yang lebih rendah.
6.4
Implikasi Kebijakan Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menegaskan vitalnya modal sosial
dalam minimalisasi biaya transaksi oleh kelembagaan. Dua variabel yang berpengaruh nyata secara statistika terhadap minimalisasi biaya transaksi yaitu x1 (kualitas jaringan) dan x4 (kelengkapan hak kepemilikan) adalah variabel yang memiliki keterkaitan erat dengan modal sosial. Variabel x1 merupakan kategori struktural dari modal sosial. Selain kategori struktural, terdapat pula kategori lain disebut sebagai kategori kognitif. Hal ini mengikuti penggolongan modal sosial menurut Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kualitas jaringan, sebagai salah satu bentuk dari kategori struktural selain peran, aturan, preseden, dan prosedur, tidak dapat dipisahkan dan memiliki keterkaitan dengan kategori kognitif yang berbentuk norma, nilai, sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs). Keterkaitan antara kategori struktural yang bersifat kasat mata (observable) dengan kategori kognitif yang abstrak ini
111
adalah bahwa kategori struktural berasal dari proses-proses kognitif/ide. Ide ini dapat mengejawantah menjadi berbagai bentuk kategori struktural karena ditegakkan (reinforced) oleh budaya dan ideologi. Alam kognitif dihubungkan dengan kategori struktural oleh satu fenomena perilaku yang disebut dengan ekspektansi. Ekspentansilah yang menghubungkan antara ide dan perilaku karena di dalam ekespentansi orang memprediksi perilaku orang lain. Kategori struktural yang baik (khususnya kualitas jaringan) menyebabkan kontrak tidak perlu dibuat secara lengkap karena dengan kualitas jaringan yang baik maka penegakan (enforcement costs) akan murah untuk dilakukan. Kontrak yang tidak lengkap menyebabkan contracting costs semakin menurun. Pembuatan kontrak yang tidak perlu lengkap juga meningkatkan intensitas kerjasama yang saling menguntungkan karena kerjasama tidak lagi dihalangi oleh ex-ante costs yang mahal. Hal ini secara kumulatif akan menciptakan kemandirian ekonomi suatu wilayah. Intensitas kerjasama yang meningkat juga berpengaruh pada meningkatnya konsumsi kolektif. Kesemuanya adalah jalurjalur modal sosial dalam mempengaruhi kinerja ekonomi (Omori 2003). Variabel x4 juga terkait dengan modal sosial. Lengkap tidaknya hak kepemilikan didistribusikan ditentukan oleh tingkat kepercayaan (trust). Hak kepemilikan yang semakin lengkap memberikan orang kontrol yang lebih penuh atas suatu sumber daya, dan kontrol yang lebih penuh itu hanya dapat diberikan jika ada rasa saling percaya bahwa, misalnya, tidak akan ada perilaku oportunistik. Ada yang menyatakan bahwa trust merupakan produk dari modal sosial (khususnya reputasi sebagai salah dari empat elemen modal sosial menurut Stiglitz). Banyak pula yang menyatakan bahwa trust adalah modal sosial itu sendiri. Trust ini juga serupa dengan expectation yang menghubungkan antara kategori kognitif dan kategori struktural dari modal sosial. Keserupaan antara trust dan expectation ini akan nampak jika melihat definisi trust menurut Coleman (diacu dalam Radaev 2002, diacu dalam Poel 2005): “a belief that the other agents would act in a predictable way and fulfil their obligations without special sanctions”
Omori (2003) menyatakan bahwa salah satu jalur dari modal sosial mempengaruhi ekonomi adalah melalui dorongan pengelolaan common property oleh komunitas lokal. Ada hak kepemilikan yang didistribusikan secara lebih
112
lengkap kepada komunitas untuk mengelola sumber daya publik. Hal ini dapat dilakukan jika modal sosial dari komunitas yang bersangkutan itu baik. Artinya, lengkap tidaknya hak kepemilikan didistribusikan ditentukan oleh tingkat modal sosial yang dimiliki. Uraian ini sekali lagi menegaskan nyatanya pengaruh modal sosial dalam minimalisasi biaya transaksi dan, lebih luas lagi, pada kinerja ekonomi secara keseluruhan. Jika kembali pada permasalahan riil yang hendak dijawab oleh penelitian ini yaitu “bagaimana seharusnya upaya penguatan kelembagaan yang memperhitungkan aspek minimalisasi biaya transaksi itu dilakukan?”, maka jawaban yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah bahwa penguatan kelembagaan harus mencakup juga penguatan modal sosial. Penguatan modal sosial tidak lain dilakukan melalui investasi-investasi terhadap modal sosial tersebut. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Iskandar 2004), maka koran komunitas yang dibuat oleh KALAM adalah contoh investasi modal sosial. Investasi terhadap modal sosial dapat dilakukan melalui (Uphoff 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999): (i) pembuatan aturan dan prosedur sebagai langkah awal menciptakan modal sosial struktural, (ii) menjaga agar aturan selalu diterima secara sadar dan sukarela, (iii) mengalokasikan sumber daya untuk penegakan dan penguatan (enforcement and reinforcement) aturan dan prosedur, (iv) pelatihan untuk membuat orang menyadari ekspektansi yang dibebankan kepadanya dan mengatur perilakunya, (v) menjaga jaringan melalui
kontribusi
berkesinambungan
masing-masing
pihak
terhadap
kesejahteraan pihak lainnya, (vi) pengorbanan untuk mendemonstrasikan bahwa norma dan nilai yang dijunjung itu hidup dan dipraktekkan, membawa kebaikan bagi individu maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Tergambar bahwa penguatan kelembagaan tidak dapat dilakukan secara cepat dan instan karena menguatkan modal sosial membutuhkan investasiinvestasi. Oleh karena itulah Allen (2005) menyatakan bahwa salah satu karakter kritis dari New Institutional Economics adalah bahwa kelembagaan yang telah bertahan lama adalah kelembagaan yang efisien. Usia yang panjang dari kelembagaan yang efisien menunjukkan bahwa penguatannya pun dilakukan dalam kurun waktu yang panjang tersebut. Hanya saja, hal ini harus tetap dilakukan
jika
penguatan
kelembagaan
ditujukan
untuk
menciptakan
kelembagaan yang efisien secara sosial dan efisien pula secara ekonomi.
113
7 7.1
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Biaya transaksi pada KALAM mencapai 29,14% dibanding pada KARTAR.
Biaya transaksi pada KALAM tersebut lebih rendah pada semua tahap meliputi akuisisi, distribusi, dan penjagaan sumber daya. Perbedaan paling nyata adalah pada tahap akuisisi ketika besaran biaya transaksi pada KALAM sebesar 20,35% dari KARTAR. Faktor utama yang menyebabkannya adalah kontrak tidak lengkap yang dibuat oleh KALAM. Kontrak yang tidak lengkap menjadi pilihan karena market enforcement dapat dilakukan secara lebih murah. Dua kondisi yang harus dipenuhi agar market enforcement dapat lebih murah dilakukan adalah (i) masing-masing mitra transaksi memiliki harapan untuk menjalin kerjasama dalam jangka panjang, dan (ii) informasi mengenai perilaku curang dapat diketahui dengan mudah. Dua kondisi ini hanya dapat dipenuhi jika antar mitra transaksi memiliki kualitas jaringan (network) yang baik, dan kualitas jaringan dipengaruhi oleh modal sosial. Faktor lain yang berpengaruh adalah kelengkapan hak kepemilikan. Hak kepemilikan pada KALAM lebih lengkap, utamanya pada hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya, dan ini menyebabkan biaya transaksi pada tahap distribusi menjadi lebih rendah. Meskipun terdapat trade-off antara semakin lengkapnya hak kepemilikan dan semakin mahalnya enforcement costs, akan tetapi biaya ini dapat ditekan dengan murahnya market enforcement. Hal ini menunjukkan interdependensi antar elemen biaya transaksi. Hasil analisis fungsi diskriminan menegaskan pengaruh nyata dari faktor-faktor tersebut. Dua variabel diskriminan yang membedakan antara KALAM dan KARTAR adalah jaringan dan kelengkapan hak kepemilikan. Efektivitas KALAM dalam mencapai tujuannya pun lebih tinggi jika dibandingkan dengan KARTAR. Meskipun penelitian ini tidak mengkaji korelasi antara besaran biaya transaksi dan efektivitas kelembagaan, tetapi dapat dinyatakan bahwa lebih rendahnya biaya transaksi di KALAM disertai dengan lebih efektifnya KALAM dalam mencapai tujuannya, demikian sebaliknya di KARTAR. Hasil penelitian ini menunjukkan interdependensi antar tahapan biaya transaksi, besaran biaya transaksi pada satu tahap akan mempengaruhi besaran
114
pada tahap lainnya. Hasil ini juga menunjukkan besarnya pengaruh modal sosial terhadap minimalisasi biaya transaksi yaitu dalam bentuk menurunkan contracting costs, enforcement costs, dan distribusi hak kepemilikan yang semakin lengkap. Pengaruh ini pada akhirnya tidak hanya meminimalkan biaya transaksi saja melainkan
juga
mempengaruhi
ekonomi
secara
keseluruhan.
Turunnya
contracting costs dan enforcement costs meningkatkan intensitas kerjasama yang saling menguntungkan dan hal ini mendorong kemandirian ekonomi suatu wilayah dan meningkatnya konsumsi kolektif. Distribusi hak kepemilikan yang semakin lengkap mewujud pada pengelolaan common property oleh masyarakat lokal sehingga lebih cost effective. Besarnya pengaruh modal sosial menyebabkan upaya-upaya penguatan kelembagaan hanya dapat utuh dilakukan jika mencakup juga penguatan modal sosial. Penguatan modal sosial membutuhkan investasi-investasi yang berjangka panjang. Oleh karena itulah salah satu karakteristik dasar dari New Institutional Economics adalah bahwa kelembagaan yang efisien adalah kelembagaan yang telah bertahan lama. Penguatan kelembagaan yang mencakup juga investasi pada modal sosial ini tidak dapat dilakukan secara cepat dan instan jika hendak mewujudkan kelembagaan yang efisien secara sosial dan efisien secara ekonomi.
7.2
Saran 1.
Pada
penelitian-penelitian
selanjutnya
yang
akan
membandingkan besaran biaya transaksi antar kelembagaan, transaksi sebagai unit analisis perlu diperketat kriterianya, misalnya
dengan
memperhitungkan
jangka
waktu
kontrak
(apakah kontrak jangka pendek atau panjang) sebagai salah satu kriteria transaksi. Pengetatan kriteria ini akan mempermudah pembandingan nantinya. 2.
Kajian kuantitatif mengenai hubungan antara besaran biaya transaksi dan efektivitas kelembagaan penting untuk dilakukan sehingga diketahui secara lebih mendalam mengenai implikasi dari besaran biaya transaksi tersebut.
115
3.
Mengingat salah satu simpulan penelitian adalah nyatanya pengaruh modal sosial dalam minimalisasi biaya transaksi, maka topik selanjutnya yang penting untuk lebih didalami adalah investasi yang dilakukan organisasi dalam membangun modal sosial.
116
DAFTAR PUSTAKA Allen DW. 1991. What are Transaction Costs?. Research in Law and Economics 14: 1-18. Allen DW. 1999. Transaction Costs. 893-926. Allen DW, Lueck D. 2002. The Nature of the Farm: Contract, Risk, and Organization in Agriculture. Massachusetts: The MIT Pr. Allen DW. 2005. Marriage as an Institution: A New Institutional Economic Approach. Makalah. Kanada: Simon Fraser University. Alston LJ, Eggertsson T, North DC, editor. 1996. Empirical Studies in Institutional Change. Political Economy of Institutions and Decisions. Anggraini E. 2005. Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anwar A. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan ajar. Bogor: IPB. Basuni S. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Baker S, Krawiec KD. 2008. Incomplete contracts in a complete contract world. Florida State University Law Review. Vol (33).p: 725-755. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Jakarta: BPS. Chhibber A. 1999. Social Capital, the State, and Development Outcomes. Di dalam: Dasgupta P & Serageldin I, editor. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington, D.C: World Bank. Coase R. 1998. The New Institutional Economics. The American Economic Review Vol. 88: 72-74. Cordella A. 2001. Does Information Technology always Lead to Lower Transaction Costs? Di dalam: The 9th European Conference on Information Systems; Slovenia, 27-29 Juni 2001. Slovenia: Global Co-operation in the New Millenium. hlm 854-864. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis, dan Gagasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
117
Gabre-Madhin EZ. 2001. Market Institutions, Transaction Costs, and Social Capital in the Ethiopian Grain Market. Research Report 124. Washington, DC: International Food Policy Research Institute. Hagedoorn J, Hesen G. 2005. The Governance of Inter-Firm Technology Partnerships and Contract Law: An Analysis of Different Modes of Partnering and their Contractual Settings. Maastricht Faculty of Law Working Paper 2005/5. Maastricht Netherlands: Universiteit Maastricht. Hansen KT et al. 2008. Youth and the City in the Global South. Bloomington: Indiana University Pr. Hardin G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science 162: 1243-1248. Helmke G, Levitsky S. 2003. Informal Institutions and Comparative Politics: a Research Agenda. Working Paper 307. University of Rochester & Harvard University. Hoornweg D et al. 2006. City Indicators: Now to Nanjing. Policy Research Working Paper 4114. Makalah disampaikan pada The Third World Urban Forum; Vancouver, 22 Juni 2006. World Bank. Iskandar D. 2004. Koran Komunitas sebagai Investasi Social Capital mendorong Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jobin D. 2005. Assessing Partnership Performance: a Transaction-Cost-Based Approach. Draft Paper. Kanada. Kanbur R. 1992. Heterogeneity, Distribution, and Cooperation in Common Property Resource Management. Policy Research Working Papers. Washington, DC: World Bank. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Masten SE, Saussier S. 2001. Econometrics of Contracts: An Assessment of Developments in the Empirical Literature on Contracting. Makalah. University of Michigan Business School & University of Nancy II & University of Paris I ATOM. Meyer N. 2002. Introduction to Property Rights: A Historical Perspective. Paper. Illinois: University of Illinois Extension. Nicholson W. 1998. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Ed ke-7. Amerika Serikat: The Dryden Pr. North DC. 1995. The New Institutional Economics and Third World Development. Di dalam: Harriss et al., editor. The New Institutional Economics and Third World Development. London: Routledge.
118
Omori T. 2003. Economic Effects of Social Capital. Makalah disampaikan pada International Forumon Economic Implication of Social Capital; Tokyo, 24-25 Maret 2003. Economic and Social Research Institute Cabinet Office Government of Japan. Ostrom E. 1999. Social Capital: A Fad or a Fundamental Concept?. Di dalam: Dasgupta P & Serageldin I, editor. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington, D.C: World Bank. Poel PEF. 2005. Informal Institutions, Transaction Costs and Trust: a Case Study on Housing Construction by Migrants in Ashanti-Mampong, Ghana [tesis]. Amsterdam: Faculty of Social and Behavioural Science, University of Amsterdam. Rachbini D. 14 Mei 2001. Penyakit institusi membelit Indonesia dalam krisis berkepanjangan. Kompas: Rubrik Ekonomi. Rao PK. 2003. The Economics of Transaction Costs: Theory, Methods, and Applications. New York: Palgrave Macmillan. Rodrik D. 1999. Institutions for High Quality Growth: What They Are and How to Acquire Them. Makalah disiapkan untuk International Monetary Fund Conference on Second-Generation Reforms; Washington, DC, 8-9 November 1999. Harvard University. Rony AA, 1996. Analisis Penemuan Harga Lahan dan Kelembagaan yang Mempengaruhinya (Studi Kasus di Kotamadya Bogor) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: IPB. Saefulhakim S. 2001. Bahan ajar mata kuliah Permodelan. Bogor: IPB. Saussier S. 2000. Transaction costs and contractual incompleteness: the case of Électricité de France. Journal of Economic Behavior and Organization. Vol (42). p:189-206. Solow RM. 1999. Notes on Social Capital and Economic Performance. Di dalam: Dasgupta P & Serageldin I, editor. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington, D.C: World Bank. Stiglitz JE. 1999. Formal and Informal Institutions. Di dalam: Dasgupta P & Serageldin I, editor. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington, D.C: World Bank. Sukmadinata T. 1995. Kajian Kelembagaan Transaksi dalam Pemasaran Hasil Usaha Penangkapan Ikan di Jawa Timur [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sztompka P. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Penerbit Prenada. Terjemahan dari: The Sociology of Social Change.
119
Temu A, Winter-Nelson A. 2001. Institutional Adjustment and Agricultural Markets: Following the Transaction Costs in the Tanzanian Coffee System. Research Report Draft. Sokoine Agricultural University, Morogoro Tanzania & University of Illinois, Urbana-Champaign. Uphoff N. 1999. Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of Participation. Di dalam: Dasgupta P & Serageldin I, editor. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington, D.C: World Bank. Wada T. 2004. Running Royalty and Patent Citations: The Role of Measurement Cost in Unilateral Patent Licensing. Makalah. Tokyo: National Institute of Science and Technology Policy (NISTEP). Wallis J, North DC. 1986. Measuring the Transaction Sector in the American Economy, 1870-1970. Di dalam: Gallman, editor. Long Term Factors in American Economic Growth. Chicago: University of Chicago Pr. hlm 95-148. Williamson, OE. 1993. The Economic Analysis of Institutions and Organisationsin General and with Respect to Country Studies. Working Paper No.133. Economic Department Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Williamson, OE. 1996. The Mechanisms of Governance. New York: Oxford University Pr. Yani A. 1999. Analisis Ekonomi Kelembagaan Usaha Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung (Floating Cage Net) di Wilayah Kepulauan Riau [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
121
Lampiran 1. Kuesioner untuk responden pelaku Identitas Responden Nama
:
Jabatan di organisasi : Lama bergabung
:
No.telp rumah/HP
:
(bulan/tahun)
Networks 1.
Jika derajat kualitas hubungan dimulai secara berurutan dari yang paling rendah adalah “tidak kenal → berteman tetapi hanya kenal nama → lebih dari sekedar kenal nama tetapi masih belum akrab → berteman akrab”, maka adakah anggota KALAM/KARTAR yang menjadi teman akrab anda? Ada/Tidak ada Jika “Ada”, maka seberapa banyak?
Tandai pilihan anda dengan (√) pada satu jawaban yang paling tepat Seluruh anggota KALAM/KARTAR menjadi teman akrab saya Sebagian besar anggota KALAM/KARTAR menjadi teman akrab saya Separuh anggota KALAM/KARTAR menjadi teman akrab saya Sebagian kecil anggota KALAM/KARTAR menjadi teman akrab saya Tidak ada anggota KALAM/KARTAR menjadi teman akrab saya
Reputations 2.
Apakah tugas-tugas yang diberikan oleh KALAM/KARTAR semenjak anda bergabung dapat anda selesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta? Seluruh tugas yang diberikan oleh KALAM/KARTAR dapat saya selesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta Sebagian besar tugas yang diberikan oleh KALAM/KARTAR dapat saya selesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta Separuh tugas yang diberikan oleh KALAM/KARTAR dapat saya selesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta Sebagian kecil tugas yang diberikan oleh KALAM/KARTAR dapat saya selesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta Tidak ada tugas yang diberikan oleh KALAM/KARTAR dapat saya selesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta
3.
Menurut anda, seberapa banyak anggota KALAM/KARTAR lainnya yang dapat menyelesaikan tugas yang diberikan secara tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta tanpa perlu diawasi?
122
Seluruh orang KALAM/KARTAR dapat menyelesaikan tugas yang diberikan secara tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta meskipun tidak diawasi Sebagian besar orang KALAM/KARTAR dapat menyelesaikan tugas yang diberikan secara tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta meskipun tidak diawasi Separuh orang KALAM/KARTAR dapat menyelesaikan tugas yang diberikan secara tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta tanpa diawasi Sebagian kecil orang KALAM/KARTAR dapat menyelesaikan tugas yang diberikan secara tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta tanpa diawasi Tidak ada orang KALAM/KARTAR yang dapat menyelesaikan tugas yang diberikan secara tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta jika tidak diawasi
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya terkait dengan kerjasama yang dilakukan dengan………………………:…………………………………………………………… ………. Incomplete Property Rights 4.
Apakah orang yang memegang hak untuk menggunakan sumber daya: a.
memiliki
hak
sepenuhnya
untuk
memilih
bentuk-bentuk
penggunaan sumber daya? Ya/Tidak b.
berhak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya tersebut? Seluruh manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya hanya untuk orang yang memegang hak Sebagian besar manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk orang yang memegang hak Separuh manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk orang yang memegang hak Sebagian kecil manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk orang yang memegang hak Tidak ada manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk orang yang memegang hak
c.
berhak untuk mengajak atau melarang pihak lain untuk turut menggunakan sumber daya? Ya/Tidak
d.
berhak
untuk
menjual/menukarkan/menghibahkan
kepada pihak lain? Ya/Tidak
sumber
daya
123
5.
Pertanyaan
sama
seperti
no.4
dengan
subyeknya
adalah
KALAM/KARTAR: a.
Ya/Tidak Seluruh manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya hanya untuk KALAM/KARTAR Sebagian besar manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk KALAM/KARTAR Separuh manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk KALAM/KARTAR Sebagian kecil manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk KALAM/KARTAR Tidak ada manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya untuk KALAM/KARTAR
Ya/Tidak Ya/Tidak Imperfect Property Rights 6.
Berdasarkan kenyataannya apakah sumber daya selalu hanya digunakan oleh orang yang berhak? Sumber daya tidak pernah/tidak ada digunakan oleh orang yang tidak berhak Sumber daya sesekali/sedikit digunakan oleh orang yang tidak berhak Sumber daya agak sering/agak banyak digunakan oleh orang yang tidak berhak Sumber daya seringkali/banyak digunakan oleh orang yang tidak berhak Sumber daya selalu/seluruhnya digunakan oleh orang yang tidak berhak
Asymmetric Information 7.
Apakah kondisi sumber daya (misalnya jumlah, cara mengakses, dan peruntukan) anda ketahui sebagaimana anggota lain ketahui? Ya, semua anggota memiliki tingkat informasi yang sama mengenai kondisi sumber daya Tidak, beberapa anggota lainnya tahu lebih banyak/lebih sedikit mengenai kondisi sumber daya
8.
Berapa banyak informasi yang anda kuasai mengenai kondisi sumber daya? Saya tahu seluruhnya mengenai kondisi sumber daya Saya tahu sebagian besar informasi mengenai kondisi sumber daya Saya tahu agak banyak informasi mengenai kondisi sumber daya Saya tahu sebagian kecil informasi mengenai kondisi sumber daya Saya sama sekali tidak tahu mengenai kondisi sumber daya
124
Assets Specificity 9.
Apakah sumber daya hanya dapat/boleh digunakan untuk penggunaan tertentu saja sebagaimana dimaksudkan di awal atau dapat/boleh digunakan untuk bermacam-macam penggunaan? Sumber daya hanya dapat/boleh digunakan untuk penggunaan tertentu saja sebagaimana dimaksudkan di awal yaitu (mohon diisi)….. Sumber daya dapat/boleh digunakan untuk bermacam-macam penggunaan
10.
Seberapa
banyak/sering
sumber
daya
digunakan
secara
berbeda
dibanding maksudnya di awal? Sumber daya seluruhnya/selalu digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal Sumber daya sebagian besar/sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal Sumber daya agak banyak/agak sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal Sumber daya sebagian kecil/sesekali digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal Sumber daya tidak ada/tidak pernah digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal
11.
Apakah penggunaan sumber daya secara berbeda dibanding maksudnya di awal itu menimbulkan kerugian bagi KALAM/KARTAR? Justru menguntungkan KALAM/KARTAR Tidak menimbulkan kerugian apapun bagi KALAM/KARTAR Ada kerugian bagi KALAM/KARTAR, tetapi kecil Kerugian bagi KALAM/KARTAR cukup besar Kerugian bagi KALAM/KARTAR sangat besar
125
Lampiran 2. Kuesioner untuk responden beneficiaries Identitas Responden Nama
:
Usia
:
Alamat rumah
: ………………………...……....
No.telp rumah/HP :
1.
Apakah anda tahu mengenai organisasi KALAM/Karang Taruna (Kartar) di kelurahan anda? Sangat tahu Banyak tahu Agak tahu Sedikit tahu Tidak tahu sama sekali
Jika anda tahu, maka apa yang anda ketahui mengenai: Kegiatan KALAM/KARTAR: ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... Tujuan KALAM/KARTAR: ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... 2.
Menurut anda, seberapa banyak pemuda setempat di kelurahan yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR? Seluruh pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR Sebagian besar pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR Separuh pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR Sebagian kecil pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR* Tidak ada pemuda di kelurahan yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR (jika ini yang dipilih sebagai jawaban, maka pertanyaan tidak dilanjutkan)
Jika ada pemuda yang mendapat pengaruh positif, mohon sebutkan bentuk pengaruh positifnya:
126
............................................................................................................................... ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... ............................................................................................................................... (Pertanyaan lanjutan khusus jika jawabannya “sebagian kecil pemuda”) Apakah yang anda maksud dengan sebagai kecil pemuda itu adalah (i) anggota KALAM/KARTAR saja, ataukah (ii) anggota KALAM/KARTAR ditambah segelintir pemuda setempat lain? .......................................................... 3.
Adakah diantara pemuda-pemuda tersebut yang mendapatkan dampak besar dari pengaruh positif yang diterima? Ada / Tidak ada / Tidak tahu Jika “Ada”, maka seberapa banyak?
Tandai pilihan Seluruh pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar Sebagian besar pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar Separuh pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar Sebagian kecil pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar Tidak ada pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR yang menerimanya sebagai dampak besar
Mohon sebutkan bentuk-bentuk dampak besarnya:
................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. .................................................................................................................................
127
Lampiran 3. Kategori dan skoring variabel penjelas Variabel x1 (kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan)
x2 (aspek reputasi dari modal sosial)
x3 (hak kepemilikan yang tidak lengkap)
x4 (hak kepemilikan yang tidak sempurna)
Kategori Jumlah anggota organisasi yang menjadi teman akrab
Tingkat tugas yang diselesaikan responden dan anggota lainnya secara tepat waktu dan sesuai
Bundle of rights
Tingkat penggunaan sumber daya oleh orang yang tidak berhak
Skoring
Seluruh anggota menjadi teman akrab
5
Sebagian besar anggota menjadi teman akrab
5
Separuh anggota menjadi teman akrab
3
Sebagian kecil anggota menjadi teman akrab
1
Tidak ada anggota yang menjadi teman akrab
1
Seluruh tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta
5
Sebagian besar tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta
5
Separuh tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta
3
Sebagian kecil tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta
1
Tidak ada tugas yang dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta
1
Hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya
5 (jika Ya), 1 (jika tidak)
Hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi
5 (jika Ya), 1 (jika tidak)
Hak untuk mengecualikan pihak lain
5 (jika Ya), 1 (jika tidak)
Hak untuk mentransfer sumber daya
5 (jika Ya), 1 (jika tidak)
Sumber daya selalu/ seluruhnya digunakan oleh orang yang tidak berhak
5
Sumber daya seringkali/banyak digunakan oleh orang yang tidak berhak
5
Sumber daya agak sering/agak banyak digunakan oleh orang yang tidak berhak
3
128
Variabel
x5 (informasi asimetris)
x6 (tingkat spesifisitas aset)
Kategori
Skoring
Sumber daya sesekali/sedikit digunakan oleh orang yang tidak berhak
1
Sumber daya tidak pernah/tidak ada digunakan oleh orang yang tidak berhak
1
Tingkat penguasaan informasi antar orang mengenai kondisi sumber daya
Semua anggota memiliki tingkat informasi yang sama
1
Beberapa orang tahu lebih banyak
5
Tingkat penggunaan secara berbeda dibandingkan yang dimaksudkan di awal
Sumber daya seluruhnya/selalu digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal
1
Sumber daya sebagian besar/sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal
1
Sumber daya agak banyak/agak sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal
3
Sumber daya sebagian kecil/sesekali digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal
5
Sumber daya tidak ada/tidak pernah digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal
5
Justru menguntungkan
1
Tidak menimbulkan kerugian apapun
1
Ada kerugian, tetapi kecil
3
Kerugian cukup besar
5
Kerugian sangat besar
5
Tingkat kerugian akibat penggunaan secara berbeda
129
Lampiran 4. Hasil skoring variabel penjelas Nilai Y (Rp)
Y1* = 1,073,388.66
Y2 = 3,683,345.94
Kode responden pelaku Y1R1 Y1R2 Y1R3 Y1R4 Y1R5 Y1R6 Y2R1 Y2R2 Y2R3 Y2R4 Y2R5
Skoring variabel penjelas x1 5 5 5 5 5 5 1 1 3 1 1
x2
x3 3 4 5 4 4 3 5 3 3 4 4
2 2 1 1 2 2.5 4 4 4 4 4
x4
x5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
x6 4.5 4.5 1 1 3 5 5 5 4.5 4.5 4.5
* Y1 adalah besaran biaya transaksi pada KALAM, Y2 adalah besaran biaya transaksi pada KARTAR.