Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
POLICY PAPER No. 4, MEI 2012
BIAYA TRANSAKSI DI INDONESIA: Studi Kasus Regulasi Membuka Usaha
Daftar Isi Team
○
○
○
○
○
○
○
i
Abstrak
○
○
○
○
○
○
○
1
Pendahuluan
○
○
○
○
○
○
○
1
Kerangka Konsep: Biaya Transaksi dan Ilim Usaha
○
○
○
○
○
○
○
4
Metode Penghitungan Biaya Transaksi
○
○
○
○
○
○
○
5
Profil Umum Biaya Transaksi di Indonesia
○
○
○
○
○
○
○
7
○
○
○
○
○
○
○
13
Studi Kasus: Regulasi Membuka Usaha di Indonesia
○
○
○
○
○
○
○
16
Kesimpulan dan Rekomendasi
○
○
○
○
○
○
○
21
Daftar Pustaka
○
○
○
○
○
○
○
22
Reformasi Regulasi Usaha di Indonesia: Efektivitas dan Permasalahannya
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Team
Penulis : Yohanna M.L. Gultom Steering Commitee 1. Hariyadi B. Sukamdani 2. Emirsyah Satar 3. Maxi Gunawan 4. Rahardjo Jamtomo Active Team 1. Didik J. Rachbini - Executive Director 2. Tulus Tambunan - Senior Economist and Project Team Leader 3. Rasidin Sitepu - Junior Economist 4. M. Hakim - Legal Councel 5. Yohanna M.L Gultom - Social Scientist 6. Aslim Nurhasan - PR Professional/Expert
Tulisan ini merupakan hasil pemikiran Tim Advokasi Program ACTIVE. Pertanyaan yang berkaitan dengan tulisan ini dapat diajukan kepada Tim ACTIVE Kadin Indonesia di
[email protected]
i
Memangkas biaya transaksi yang tinggi yang menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi di Indonesia membutuhkan reformasi regulasi yang tidak saja memangkas prosedur, waktu dan biaya resmi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan, tetapi juga menyediakan suatu sistem dan mekanisme yang dapat meningkatkan akses pengusaha terhadap informasi, meminimalkan kebutuhan akan jasa pihak ketiga/fasilitator, serta yang terutama adalah meminimalkan potensi terjadinya berbagai pungutan liar serta suap kepada aparat pemerintah. Kata kunci: biaya transaksi, ekonomi biaya tinggi, iklim regulasi usaha, kinerja usaha
1. Pendahuluan Pertumbuhan dunia usaha, peningkatan daya saing industri serta penciptaan lapangan kerja sangat membutuhkan iklim usaha yang kondusif bagi industri dan perdagangan. Ditengah relatif tingginya pertumbuhan ekonomi, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan sektor swasta, yaitu adanya kerangka regulasi usaha yang berbelit-belit. Kerangka regulasi usaha yang rumit, tidak menyediakan informasi secara lengkap, penuh ketidakpastian, tidak harmonis satu dengan lainnya, dan tidak konsisten dalam penerapannya, pada akhirnya menimbulkan biaya transaksi yang tinggi yang harus ditanggung pengusaha dalam memulai atau menjalankan usaha. Selanjutnya, biaya transaksi secara langsung mempengaruhi total biaya produksi perusahaan, sehingga tingginya biaya transaksi dalam suatu perekonomian akan menciptakan iklim usaha yang ditandai dengan ekonomi biaya tinggi.
1
Reformasi regulasi usaha menjadi kunci bagi perbaikan iklim usaha. Studi Bank Dunia menunjukkan adanya keterkaitan yang kuat antara reformasi perijinan usaha dengan meningkatnya pendaftaran usaha baru serta penciptaan lapangan kerja, dan dampak tersebut terlihat lebih nyata pada negaranegara dengan tingkat korupsi yang rendah dan tata kelola pemerintahan yang baik. 1 Sebenarnya, terkait dengan perijinan memulai usaha, beberapa reformasi regulasi telah dilakukan Pemerintah dengan menyederhanakan prosedur perijinan serta mengurangi waktu serta biaya pengurusan ijin membuka usaha. Hal ini dilakukan terutama melalui penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal di tahun 2009, penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tentang Percepatan Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan untuk
Kaplan, David, Eduardo Piedra dan Enrique Seira. 2007. “Entry Regulation dan Business Start-Ups: Evidence from Meksiko.” Policy Research Working Paper 4322, World Bank, Washington, DC.
1
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Iklim usaha di Indonesia masih ditandai dengan adanya biaya transaksi tinggi yang dihadapi pengusaha. Hal ini mengindikasikan adanya kerangka institusi, yaitu kebijakan/regulasi usaha dan institusi sosial, yang lemah dalam memproteksi output yang dihasilkan unit-unit produksi dan dalam mendorong terjadinya akumulasi modal. Biaya transaksi yang tinggi akan membatasi daya saing, pertumbuhan usaha dan produktivitas karena tingginya harga relevan yang dihasilkan industri. Pada dasarnya, reformasi regulasi usaha adalah kunci bagi perbaikan iklim usaha biaya tinggi, namun reformasi yang telah dilakukan sampai saat ini belum cukup cepat untuk mendukung peningkatan investasi, belum terkoordinasi dan terpadu antar berbagai aspek yang terkait dengan investasi dan usaha, dan belum diterapkan secara seragam di berbagai propinsi dan harmonis antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Programme
Abstrak
Programme
Membuka Usaha di tahun 2009, serta pemberlakuan sistem pelayanan informasi dan investasi secara elektronik pada pelayanan PTSP di awal tahun 2010.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Namun, ditengah berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut, iklim regulasi usaha di Indonesia masih belum dapat bersaing dengan negara-negara lain terutama dalam satu kawasan. Berdasarkan laporan World Economic Forum, institusi publik di Indonesia justru memburuk dibandingkan standar internasional, ditandai dengan turunnya peringkat pilar institusi dalam persaingan global dari ke-61 di tahun 2010-2011 menjadi ke-71 di tahun 20112012. Korupsi dan inefisien birokrasi dilaporkan menjadi dua kendala utama yang dihadapi pengusaha di Indonesia. Demikian juga, dalam laporan Bank Dunia Doing Business 2012, Indonesia hanya menempati peringkat ke 129 dari 183 negara yang disurvey, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (peringkat 17), Malaysia (peringkat 18), bahkan Vietnam (peringkat 98). Berdasarkan regulasi membuka usaha di Indonesia, seorang pengusaha perlu menjalani 8 prosedur perijinan, dengan lama proses perijinan yang resmi dijanjikan sebanyak 45 hari dan biaya resmi yang ditetapkan sebesar 17,9 persen dari pendapatan per kapita. Sementara itu, di Malaysia untuk perijinan yang sama hanya dibutuhkan 4 prosedur, 6 hari proses perijinan dan biaya resmi 16,4 persen dari pendapatan per kapita dan di Singapura, yang menjanjikan iklim usaha yang paling berdaya saing, untuk perijinan yang sama hanya dibutuhkan 3 prosedur, 3 hari proses perijinan dan biaya resmi sebesar 0,7 persen dari pendapatan per kapita. Sekalipun data Laporan Doing Business telah memberikan indikasi permasalahan yang ada dalam iklim usaha di Indonesia, data tersebut belum mengungkapkan permasalahan yang sebenarnya. Biaya transaksi yang
2
2
ditanggung oleh sektor swasta dalam berinvestasi dan melakukan usaha jauh lebih besar dari apa yang dilaporkan. Laporan Bank Dunia baru mencatat biaya-biaya resmi, baik dalam bentuk jumlah hari maupun total biaya resmi yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah dalam setiap pengurusan perijinan usaha. Pada kenyataannya, total biaya transaksi yang ditanggung oleh pengusaha jauh lebih besar dari pada biaya resmi tersebut. Regulasi usaha yang berbelit-belit, tidak mudah diakses, tidak harmonis serta tidak konsisten dalam implementasinya, menimbulkan biaya-biaya lain yang harus ditanggung pengusaha dalam memproses perijinan, yaitu biaya untuk mencari informasi, biaya menggunakan jasa pihak ketiga atau fasilitator serta biaya-biaya tidak resmi lainnya untuk memperlancar proses pengurusan ijin. Dari ketiga komponen biaya lain ini, data yang tersedia umumnya adalah tentang biaya tidak resmi. Studi LPEM UI (2005) atas sektor industri manufaktur menunjukkan bahwa biaya suap kepada pegawai pemerintah mencapai 1,8 persen dari biaya produksi, dan apabila digabung dengan biaya suap yang diberikan kepada pegawai kantor pajak dan beacukai, besarnya menjadi 5,3 persen dari total biaya produksi tahunan. Dari keseluruhan biaya suap tersebut, 70 persen dibayarkan kepada otoritas yang terkait dengan pembayaran pajak dan bea masuk impor.2 Walau dalam persentase terlihat kecil, dalam nominal jumlah biaya suap ini sangat besar karena merupakan persentase terhadap total biaya produksi. Dengan latar belakang tersebut, KADIN Indonesia merasa berkepentingan untuk mengangkat permasalahan biaya transaksi tinggi yang dihadapi sektor swasta dalam melakukan investasi dan usaha. Hal ini sangat terkait dengan salah satu tugas yang menjadi mandat dari KADIN Indonesia (sesuai
Kuncoro, Ari, et.al. (2007), Monitoring Investment Climate in Indonesia (Round 3): A Report from the Mid of 2006 Survey, LPEM Working Paper No. 15, Jakarta: LPEM-FE UI, hal. 18.
Dengan secara khusus memberi perhatian pada regulasi membuka usaha di Indonesia, isu mendasar yang menjadi fokus dari policy paper ini adalah faktor-faktor apa yang perlu menjadi perhatian khusus dari upaya reformasi regulasi membuka usaha agar dapat menekan biaya transaksi riil yang dihadapi pengusaha, dan pada akhirnya dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif terhadap daya saing dan produktivitas nasional. Regulasi membuka usaha ini dipilih untuk menjadi tolok ukur keberadaan iklim usaha di Indonesia karena formalitas usaha memegang peranan penting dalam era pasar bebas saat ini. Tanpa formalitas, perusahaan sulit berkembang karena tidak dapat mengakses berbagai peluang usaha yang disediakan seperti fasilitas kemudahan dari pemerintah, kredit usaha, serta dukungan dari asosiasi usaha maupun Kamar Dagang dan Industri. Sementara itu, tingginya tingkat informalitas usaha dalam suatu perekonomian umumnya disebabkan oleh regulasi dan prosedur memulai usaha yang tidak efisien dan tidak transparan.3 Dengan demikian, studi kasus atas regulasi membuka usaha ini diharapkan dapat menjadi indikator bagi kondisi iklim regulasi usaha di Indonesia secara umum. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, beberapa pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah:
3
Tujuan Studi Studi ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan profil umum tentang biaya transaksi yang dihadapi pengusaha di Indonesia, yang mencakup besarannya, porsinya terhadap total biaya yang dikeluarkan perusahaan, serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan, produktivitas dan daya saing dunia usaha. 2. Memberikan profil khusus tentang biaya transaksi yang secara langsung timbul dan ditanggung oleh pengusaha akibat berhadapan dengan regulasi membuka usaha. 3. Memberikan rekomendasi kebijakan bagi upaya reformasi regulasi membuka usaha yang bertujuan untuk menekan biaya transaksi riil yang dihadapi pengusaha, untuk pada akhirnya dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif terhadap daya saing dan produktivitas nasional.
Lihat studi de Soto, 1989 dan laporan Bank Dunia & IFC tentang Doing Business di Indonesia, 2012.
3
Programme
a. Bagaimana profil biaya transaksi yang dihadapi sektor industri pengolahan di Indonesia secara umum? b. Bagaimana pengaruh biaya transaksi terhadap pertumbuhan industri, output, nilai tambah dan penghasilan usaha di sektor industri pengolahan? c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi biaya transaksi di Indonesia? d. Bagaimana regulasi usaha di Indonesia mempengaruhi biaya transaksi di Indonesia? e. Dengan mengambil kasus regulasi membuka usaha, sejauh mana reformasi regulasi usaha efektif dalam menekan biaya transaksi? f. Faktor-faktor faktor-faktor apa yang perlu menjadi perhatian khusus dari upaya reformasi regulasi membuka usaha agar dapat menekan biaya transaksi riil yang dihadapi pengusaha?
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 2010), yaitu untuk menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang kondusif, bersih dan transparan, yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam pembangunan nasional dalam tatanan ekonomi pasar dalam percaturan perekonomian global. Posisi KADIN Indonesia dalam hal ini adalah untuk mendorong adanya reformasi regulasi usaha yang dilakukan dengan tujuan meminimalkan biaya transaksi yang dihadapi sektor swasta mengingat besarnya biaya usaha nasional.
Programme
Cakupan Studi
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Studi ini hanya mencakup profil biaya transaksi di sektor industri pengolahan di Indonesia yang dianggap dapat memberikan gambaran tentang bagaimana besaran biaya transaksi yang dikeluarkan di sektor ini dan variasinya di 13 propinsi di Indonesia (yang dipilih sesuai dengan data Laporan Doing Business 2010 yang mencakup 13 kota di Indonesia). Sementara untuk mengkaji secara khusus bagaimana pengaruh dari iklim regulasi usaha terhadap biaya transaksi, studi ini mengambil kasus regulasi membuka usaha di Indonesia dan menganalisa sejauh mana reformasi regulasi yang telah dilakukan sejak tahun 2009 efektif dalam menekan biaya transaksi yang dihadapi pengusaha dalam memperoleh legalitas usahanya. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Dalam studi ini, penghitungan biaya transaksi secara umum dilakukan dengan menggunakan data dasar statistik hasil Survey Tahunan Perusahaan Industri Pengolahan 2009 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), yang didukung oleh data-data dari Laporan Bank Dunia Doing Business di Indonesia 20102012. Sementara itu, telaah tentang biaya transaksi terkait regulasi membuka usaha dilakukan dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan 12 perusahaan di DKI Jakarta dan Jawa Barat (mayoritas adalah pengusaha skala mikro dan kecil), wawancara dengan para stakeholders kebijakan (Staf BKPM dan KADINDA), serta Focus Group Discussion (FGD) dengan Asosiasi Usaha. 4 Studi literatur mendasari semua analisa dalam studi ini.
2. Kerangka Konsep: Biaya Transaksi dan Iklim Usaha Konsep biaya transaksi belum umum dipakai dalam analisa ekonomi. Ekonom umumnya begitu percaya dengan ide bahwa
4
4
mekanisme harga atau “the invisible hand mechanism” dapat mengkoordinasikan pembagian kerja dan perdagangan di masyarakat tanpa hambatan yang selanjutnya akan menghasilkan kesejahteraan. Baru belakangan ini para ekonom mulai mengintegrasikan konsep biaya transaksi, diawali dengan artikel klasik dari Ronald Coase (1937) yang mendiskusikan bahwa mekanisme harga tidak berjalan tanpa friksi dan bahwa biaya transaksi dapat menghambat pekerjaannya. Coase menegaskan, “Without the concept of transaction costs, which is largely absent from current economic theory, it is my contention that it is impossible to understand the working of the economic system, to analyze many of its problems in a useful way, or to have a basis for determining policy” (1988, p. 6). Biaya transaksi adalah biaya-biaya yang timbul akibat melakukan transaksi di pasar dengan menggunakan mekanisme harga atau akibat melakukan transaksi melalui cara pertukaran di pasar terbuka (Coase, 1937, 1961). Dalam pengertian umum, Eggertsson (1990) mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya yang timbul saat seseorang ingin melakukan pertukaran hak kepemilikannya atas suatu aset ekonomi (property rights) dan ingin memastikan penegakkan atas hak ekslusifnya tersebut. Selanjutnya ia mengatakan bahwa saat biaya informasi tinggi, maka berbagai kegiatan yang terkait dengan pertukaran property rights antara dua pihak akan menimbulkan biaya transaksi. Kegiatan-kegiatan ini mencakup: 1. Pencaharian informasi tentang harga dan kualitas komoditas dan inputan tenaga kerja, pencaharian atas pembeli atau penjual potensial, serta informasi relevan terkait dengan perilaku dan kondisi mereka; 2. Tawar menawar (bargaining) yang diperlukan untuk mencari posisi yang sebenarnya dari pembeli dan penjual saat harga bersifat endogen; 3. Pembuatan kontrak;
Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan dikembangkan dari instrumen untuk mengukur biaya pertukaran (the cost of exchange) yang dikembangkan oleh Ronald Coase Institute dan telah diuji cobakan di beberapa negara seperti Meksiko dan Peru
Kaitan antara biaya transaksi dan iklim regulasi usaha, atau yang dalam literatur ekonomi sering dibahas sebagai bagian dari kerangka institusi (North, 1990) atau infrastruktur sosial (Hall dan Jones, 1999), sangat jelas. Iklim regulasi usaha yang tidak kondusif – yaitu regulasi dan prosedur usaha yang rumit dan tidak efisien, disertai biaya informasi dan biaya tidak resmi yang tinggi – menyebabkan tingginya biaya transaksi yang selanjutnya membuat harga relevan di pasar suatu barang menjadi lebih mahal dibanding harga barang 5 6 7
3. Metode Penghitungan Biaya Transaksi Walau konsep biaya transaksi sangat penting, namun menghitung biaya transaksi memiliki permasalahannya sendiri. 7 Dalam statistik pada umumnya, walaupun tidak ditemukan komponen biaya transaksi secara eksplisit, namun biaya transaksi dapat didekati dengan beberapa cara. Cara pertama adalah dengan melakukan analisa perbandingan antar ekonomi untuk melihat variasi besarnya sektor transaksi (Wallis dan North, 1986) dan cara lainnya adalah dengan mengukur total biaya pertukaran yang mencakup biaya produksi ditambah dengan biaya transaksi (Benham dan Benham, 2001). Ada juga studi yang berusaha mendekati variabel ini dengan melihat
Eggertsson (1990, pp. 14-15) Benham and Benham, 2001, p.3 Beberapa ekonom berpendapat bahwa biaya transaksi sangat sulit diidentifikasi, terlebih diukur (Fischer 1977, Goldberg 1985, Davis 1986, Benham 2001).
5
Programme
yang sama dalam perekonomian lain yang memiliki kerangka institusi yang lebih baik. Menurut North (1990), dunia usaha akan berusaha untuk mengambil manfaat dari peluang-peluang yang disediakan oleh kerangka institusi yang tersedia. Dengan adanya ketidakpastian property rights, penegakan hukum yang lemah, hambatan untuk masuk ke pasar (barriers to entry), dan restriksi-restriksi terhadap persaingan usaha lainnya, maka perusahaan dengan motivasi maksimisasi profit akan cenderung untuk memiliki horizon waktu jangka pendek, modal tetap yang kecil, dan skala usaha yang kecil. Dalam situasi ini, informalitas usaha juga menjadi relatif tinggi, karena berusaha menciptakan suatu struktur pertukaran yang lain, yaitu berusaha secara tidak legal, walaupun struktur tersebut hadir dengan biaya yang juga tinggi karena tidak didukung oleh property rigths yang formal dan kontrak kerja yang dapat melindungi kepentingan pelaku usaha.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
4. Monitoring atas partner usaha di dalam kontrak untuk melihat sejauh mana mereka mengikuti kontrak; 5. Penegakan hukum atas kontrak dan pengumpulan fakta-fakta kerugian yang dialami saat partner usaha di dalam kontrak gagal untuk menjalankan kewajiban kontraktual mereka; 6. Perlindungan property rights terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak ketiga seperti pembajakan property rights dan perdagangan ilegal.5 Konsep biaya transaksi memegang peran penting dalam menghitung efektivitas institusi yang mengatur pertukaran dalam suatu perekonomian, karena biaya transaksi mencerminkan keseluruhan kompleksitas dari institusi, baik institusi formal (hukum dan perundang-undangan) maupun institusi informal (norma dan tradisi), yang mengatur suatu perekonomian. Menurut teori ekonomi, perubahan dalam biaya transaksi secara langsung berdampak pada pilihan-pilihan produksi, sehingga biaya transaksi yang semakin rendah akan menyebabkan meningkatnya perdagangan, spesialiasi, efisiensi serta output.6 Sebaliknya, biaya transaksi yang tinggi dalam suatu perekonomian akan cenderung membatasi daya saing, pertumbuhan usaha dan produktivitas karena tingginya harga relevan yang dihasilkan pada akhirnya.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
komponen residual dari model pertumbuhan Solow dan menemukan bahwa variasi produktivitas antar negara terutama dipengaruhi oleh variabel infrastruktur sosial, yaitu institusi dan kebijakan pemerintah (Hall dan Jones, 1999).8 Dalam studi ini, biaya transaksi dihitung berdasarkan data statitistik industri nasional dengan menggunakan variabel ‘Pengeluaran Lain Lainnya’ sebagai proxi. 9 Dalam survey tersebut ‘Pengeluaran Lain Lainnya’ merupakan residual dari komponen pengeluaran lain industri di luar biaya bahan baku dan penolong, biaya pekerja, dan biaya bahan bakar dan pelumas. Biaya lain lainnya tersebut mencakup biaya representasi, royalti, management fee, promosi/iklan, air, pos, telepon, fax, perjalanan dinas, pencegahan pencemaran lingkungan, biaya penelitian, biaya peningkatan sumber daya manusia. Variabel ‘Pengeluaran Lain Lainnya’ ini dianggap dapat menjadi proxi bagi biaya transaksi karena mencakup pengeluaranpengeluaran yang terkait dengan pencaharian informasi, negosiasi, pembuatan kontrak, monitoring kontrak, serta perlindungan dan penegakan property rights, yaitu: 1. Biaya representasi (entertainment), yang umumnya dikeluarkan perusahaan dalam proses pencaharian informasi dan negosiasi (termasuk dalam tahap aanwijzing atau penjelasan pekerjaan dalam proses lelang), serta dalam pembuatan kontrak. 2. Biaya management fee, yang umumnya merupakan imbalan atas jasa management dan dalam prakteknya seringkali merupakan pengeluaran untuk memperoleh suatu kontrak (terutama jika kontrak dilakukan dengan badan pemerintah). 3. Biaya perjalanan dinas, yang seringkali dikeluarkan untuk mencari informasi, 8
9
10
6
melakukan negosiasi, dan melakukan monitoring atas kontrak kerja 4. Biaya pos, telepon, fax, yang merupakan biaya untuk pencaharian informasi dan komunikasi. 5. Biaya pencegahan pencemaran lingkungan dan biaya penelitian, merupakan biaya yang terkait dengan upaya memastikan dan melindungi property rights, yaitu agar seluruh manfaat maupun biaya dari hak kepemilikan tersebut dapat ditanggung oleh perusahaan, termasuk untuk mencegah eksternalitas negatif yang dapat menimbulkan beban tambahan (misalnya pajak) pada perusahaan. Sementara itu, untuk menghitung biaya transaksi riil akibat regulasi membuka usaha baru melalui survey kepada pengusaha, studi ini memakai metode penghitungan biaya pertukaran (the cost of exchange) yang dikembangkan oleh Benham dan Benham (2001). Pendekatan ini sangat efektif mengingat biaya transaksi sulit dihitung terpisah dari biaya produksi karena keduanya saling mempengaruhi. Biaya pertukaran adalah keseluruhan opportunity cost yang dihadapi seorang individu pengusaha dalam memperoleh suatu barang atau mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, biaya pertukaran mencakup biaya moneter dari suatu barang ditambah dengan biaya transaksi yang timbul dalam memperoleh barang atau tujuan tersebut. Lebih spesifik lagi, biaya pertukaran Cijkm didefinisikan sebagai ‘opportunity cost’ dalam seluruh sumberdaya (uang, waktu, barang) dari seorang individu dengan karakteristik i untuk memperoleh suatu barang j dengan menggunakan suatu bentuk pertukaran k dalam suatu setting institusi m. 10 Dengan konsep ini, maka setiap biaya transaksi, baik yang bersifat moneter maupun non-moneter (seperti waktu dan barang) serta yang bersifat
Hall dan Jones (1999) menggunakan model pertumbuhan Solow dan menemukan bahwa saat variabel residual dimasukkan sebagai faktor endogen, maka perbedaan modal fisik dan pencapaian pendidikan hanya separuh menjelaskan adanya variasi output per tenaga kerja (produktivitas) antar ekonomi. Mereka menemukan bahwa variasi itu sangat ditentukan oleh perbedaan institusi dan kebijakan pemerintah, yang selanjutnya disebut variabel infrastruktur sosial. ‘Pengeluaran Lain Lainnya’ adalah residual dari seluruh pengeluaran lain industri yang mencakup pengeluaran lain industri untuk: 1) sewa dan kontrak gedung, mesin/alat-alat, dan tanah; 2) pajak tidak termasuk pajak upah dan perorangan; 3) jasa industri; 4) bunga atas pinjaman; dan 5) hadiah sumbangan, derma dan sejenisnya. Ibid.
4. Profil Umum Biaya Transaksi di Indonesia 4.1. Besaran biaya transaksi Survey Tahunan Perusahaan Industri Pengolahan tahun 2009 mencatat biaya transaksi yang dikeluarkan sektor industri pengolahan di Indonesia relatif besar. Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh seluruh usaha di sektor industri pengolahan di Indonesia pada tahun 2009 mencapai Rp. 70,6 triliun.11 Pengeluaran ini rata-rata sebesar 52,3 persen dari total ‘pengeluaran lain’ industri, yaitu pengeluaran di luar untuk bahan baku, upah pekerja dan bahan bakar dan pelumas. Kenyataan bahwa komponen ini umumnya mendominasi variabel ‘pengeluaran lain’ dari industri menunjukkan bahwa biaya transaksi memegang peran cukup signifikan dalam mencapai efisiensi
Programme
perusahaan, namun gagal dikenali identitasnya dan pengaruhnya terhadap kinerja usaha. Signifikansi dari permasalahan biaya transaksi yang tinggi ini semakin kuat saat melihat proporsi dari biaya transaksi tersebut terhadap total biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengubah input menjadi output industri, yaitu biaya pertukaran. Secara umum, nilainya mencapai 5,30 persen dari biaya pertukaran. Angka ini cukup besar mengingat persentase tersebut adalah terhadap total opportunity cost yang dihadapi perusahaan.12 Porsi pengeluaran perusahaan untuk biaya transaksi juga hampir menyamai pengeluaran industri untuk upah pekerja dan untuk bahan bakar serta listrik. Biaya transaksi bahkan lebih besar dari pengeluaran lainnya yang mencakup biaya sewa, pajak bukan upah, jasa industri, bunga pinjaman dan sumbangan/ derma. Hal ini memperjelas bahwa harga relevan di pasar tidak saja ditentukan oleh biaya produksi, tetapi juga biaya transaksi. Sehingga, semakin besar biaya transaksi, semakin tidak efisien suatu perusahaan dalam berproduksi atau menjual jasanya. Dapat dikatakan bahwa biaya transaksi menjadi komponen penting dalam biaya proses transformasi bahan baku menjadi barang jadi.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
resmi maupun tidak resmi (seperti suap dan biaya fasilitator) yang ditanggung oleh perusahaan dapat dihitung. Dalam studi ini, biaya transaksi didekati dengan melakukan analisa komparasi atas biaya pertukaran.
Gambar 1. Struktur Opportunity Cost (Biaya Produksi dan Biaya Transaksi) Industri Pengolahan di Indonesia, 2009 (%)
11
12
Angka tersebut diperoleh dari jumlah pengeluaran ‘biaya lain lainnya’ di 13 propinsi yang diteliti dalam studi ini. Data diperoleh dari hasil survey perusahaan industri pengolahan yang dilakukan BPS tahun 2009. Biaya produksi dalam studi ini dihitung berdasarkan total pengeluaran perusahaan, yaitu: 1) nilai bahan baku dan penolong; 2) pengeluaran industri untuk pekerja produksi dan non produksi; 3) pengeluaran industri untuk bahan bakar dan pelumas; dan 4) pengeluaran lain selain pengeluaran lain lainnya (mencakup pengeluaran lain industri untuk sewa/kontrak, untuk pajak non upah dan perorangan, untuk jasa industri, untuk bunga atas pinjaman, dan untuk hadiah/sumbangan/derma).
7
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
1.2. Variasi biaya transaksi antar propinsi Besarnya biaya transaksi berbeda-beda antar propinsi. Di 13 propinsi yang menjadi fokus studi ini, terlihat bahwa rasio biaya transaksi terhadap biaya produksi berkisar antara 0,43 persen (NAD) sampai yang tertinggi sebesar 16,79 persen (Kalimantan Tengah). Tabel 1 memperlihatkan bahwa 8 dari 13 propinsi mengeluarkan biaya transaksi di atas 5 persen dari biaya produksi, bahkan di 2 propinsi nilainya di atas 10 persen dari biaya produksi (DI Yogyakarta dan Kalimantan Tengah). Propinsi dengan rasio biaya transaksi terhadap biaya produksi dibawah 5 persen adalah propinsi Aceh, Sumatera Selatan (Palembang), Kalimantan Timur (Balik Papan) dan Sulawesi Utara (Manado). Variasi besarnya biaya transaksi antar propinsi menunjukkan adanya perbedaan kerangka institusi atau infrastruktur sosial di masing-masing daerah yang selanjutnya mempengaruhi besaran biaya transaksi di daerah tersebut. Perbedaan ini menjelaskan adanya proses formal (seperti regulasi pemerintah daerah dan sistem perlindungan property rigths serta penegakan hukum) maupun proses non-formal (seperti tradisi berusaha, tingkat kepercayaan dalam masyarakat, serta budaya ekonomi-politik) dalam iklim usaha yang berbeda-beda di setiap lokasi. Lokasi-lokasi dengan biaya transaksi tinggi dapat dikatakan cenderung memiliki iklim usaha yang sarat dengan ekonomi biaya tinggi. Semakin kecil biaya transaksi, maka biaya pertukaran, yaitu total pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam mengolah input menjadi output akan semakin kecil. Pada Tabel 2 terlihat porsi pengeluaran produksi terhadap biaya pertukaran di 13 propinsi. Terlihat bahwa persentase biaya transaksi terhadap biaya pertukaran sedikit dibawah persentase biaya transaksi terhadap biaya produksi. Jika dibandingkan dengan komponen biaya lainnya, terlihat bahwa biaya transaksi memainkan peran penting, karena di 6 propinsi (Riau, Sumatera Selatan, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah) merupakan biaya tertinggi kedua setelah bahan baku.
8
4.3. Variasi biaya transaksi antar jenis industri Karakteristik industri pada dasarnya turut mempengaruhi besarnya biaya transaksi yang dihadapi sektor swasta, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tabel 3 di bawah memperlihatkan bahwa biaya transaksi tidak saja bervariasi antar propinsi, tetapi juga antar jenis industri di dalam satu propinsi. Studi ini mengambil sampel enam propinsi yang mewakili porsi biaya transaksi terhadap biaya produksi yang tinggi (Kalimantan Tengah dan Yogyakarta), rata-rata (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur), serta rendah (Kalimantan Timur), dan mengambil sampel 5 jenis industri pengolahan yang mewakili industri yang bersifat padat karya (makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, dan kulit dan barang kulit) dan padat modal (kendaraan bermotor). Terlihat bahwa perbedaan porsi biaya transaksi antar jenis industri tidak terlihat berlaku secara konsisten di keenam propinsi yang diteliti. Tabel 3 menunjukkan adanya tren di keenam propinsi bahwa biaya transaksi pada industri makanan dan minuman cenderung lebih tinggi dari biaya transaksi pada industri tekstil, walaupun kedua jenis industri ini termasuk industri padat karya. Pada industri padat modal, yaitu kendaraan bermotor, terlihat bahwa biaya transaksi tinggi secara menyolok di Propinsi Jawa Barat dan DI Yogyakarta (9,69% dan 14,37%), tapi relatif rendah di DKI Jakarta (4,18%). Hal ini menunjukkan bahwa biaya transaksi tidak semata-mata ditentukan oleh karakteristik industri, namun juga oleh kerangka institusi, baik iklim regulasi usaha maupun modal sosial, yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian, variasi ini perlu ditelaah lebih jauh dengan melihat iklim regulasi usaha di masing-masing lokasi, dan lebih spesifik lagi untuk masing-masing jenis industri, serta modal sosial yang ada di masyarakat. Misalnya saja, biaya transaksi untuk industri makanan dan minuman cenderung lebih tinggi karena industri ini lebih intensif melibatkan instansi teknis seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan setiap jenis produk perlu mendapatkan ijin
NAD (Ac eh) Riau Sumatera Selatan
6.10E+10 4.08E+10
2.23E+09 1.12E+09
6.33E+10 4.19E+10
Rasio (b) terhadap (a)
Rasio (b) terhadap (a+b)
0.43
0.43
3.66 2.75
3.53 2.67
DKI Jakarta
1.22E+11
6.23E+09
1.28E+11
5.11
4.86
Jawa Barat Jawa Tengah
3.39E+11 1.14E+11
1.96E+10 8.10E+09
3.58E+11 1.22E+11
5.80 7.13
5.48 6.65
DI Yogyakarta Jawa Timur
4.21E+09 2.11E+11
4.18E+08 1.30E+10
4.62E+09 2.24E+11
9.93 6.13
9.03 5.78
Bali Kalimantan Tengah
1.54E+09 1.06E+10
1.30E+08 1.78E+09
1.67E+09 1.24E+10
8.40 16.75
7.75 14.35
Kalimantan Timur Sulawesi Utara
1.52E+10 4.39E+09
3.49E+08 1.61E+08
1.56E+10 4.55E+09
2.30 3.67
2.24 3.54
Sulawesi Selatan
1.62E+10
9.12E+08
1.71E+10
5.64
5.34
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
PROPINSI
KOMPONEN BIAYA Biaya Total Biaya Biaya Produksi Transaksi (Biaya Pertukaran) (a) (b) (a + b) 6.51E+09 2.81E+07 6.53E+09
Programme
Tabel 1. Komponen Biaya Industri dan Rasio Biaya Transaksi terhadap Biaya Produksi di 13 Propinsi di Indonesia, 2009 (Rp.)
Tabel 2. Komposisi Pengeluaran Industri terhadap Total Biaya (‘Biaya Pertukaran’) di 13 Propinsi di Indonesia, 2009 (%)
PROPINSI
NAD (Aceh) Riau Sumatera Selatan DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan
% PENGELUARAN TERHADAP TOTAL BIAYA (BIAYA PERTUKARAN) Pengeluaran Pokok Pengeluaran Lain Bahan Bahan Pekerja Pekerja Biaya Pengeluar Baku & Bakar & Listrik NonProduksi an Lain Transaksi Penolong Produksi Pelumas (Buruh) 0.43 87.71 2.59 0.35 0.26 4.15 4.51 3.53 87.80 3.43 0.39 0.37 1.98 2.51 2.67 90.05 2.07 0.73 1.33 1.87 1.28 4.86 82.30 1.83 2.52 2.03 3.99 2.48 5.48 77.58 3.26 4.41 1.61 4.47 3.18 6.65 66.48 1.71 15.63 1.41 5.09 3.02 9.03 63.98 2.18 2.08 3.30 10.19 9.24 5.78 68.74 2.74 2.63 1.81 5.06 13.25 7.75 62.62 2.83 2.47 6.44 13.83 4.06 75.53 82.52 79.85 77.06
4.66 2.19 4.91 4.57
0.20 1.78 1.44 1.63
0.48 2.49 0.77 2.22
3.00 5.34 2.26 5.74
1.77 3.44 7.23 3.44
14.35 2.24 3.54 5.34
9
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Tabel 3. Perbandingan Persentase Biaya Transaksi terhadap Biaya Pertukaran pada 5 Jenis Industri di 13 Propinsi di Indonesia, 2009 (%) Industri
DKI Jakarta
% Biaya Transaksi terhadap Biaya Pertukar an Jawa Jawa Barat Yogyakarta Kaltim Timur
Kalteng
Makanan dan Mi numan
6.00
8.06
19.37
5.42
0.49
21.03
Teks ti l
4.77
5.68
2.22
4.69
0.00*
(N/A)
Pakaian Jadi
5.60
10.26
5.03
7.22
21.56
(N/A)
2.48
5.39
2.71
5.76
0.00*
(N/A)
4.18
9.69
14.37
6.59
(N/A)
(N/A)
Kuli t dan Barang Kuli t Kendaraan Bermo tor
Sumber: Survey Tahunan Perusahaan Industri Pengolahan 2009, BPS Keterangan: Biaya transaksi untuk industri tekstil dan kulit di Balik Papan dilaporkan nihil (masing-masing hanya memiliki 1 unit usaha industri sebagai responden).
BPOM untuk dipasarkan. Dari sisi lain, modal sosial yang ada di masyarakat juga turut menentukan, yaitu sejauh mana praktek mafia, sengketa lahan, dan berbagai ketegangan sosial menuntut perusahaan untuk mengeluarkan biaya-biaya ekstra untuk melindungi property rights mereka. 4.4. Pengaruh biaya transaksi terhadap kinerja industri Biaya transaksi menjadi vital dalam perekonomian karena secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja sektor industri dan perluasan kesempatan kerja. Hubungan antara biaya transaksi dengan pertumbuhan unit usaha dan kinerja usaha industri, yang mencakup output, value added dan income, dapat dilihat pada Tabel 4 . Hasil pengolahan data industri memperlihatkan bahwa peningkatan biaya transaksi cenderung menyebabkan penurunan jumlah unit usaha dalam industri dan penghasilan industri. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan yang negatif antara biaya transaksi dan pertumbuhan unit usaha industri, yang selanjutnya mempengaruhi perluasan kerja. Demikian juga, biaya transaksi yang besar menjadi penghambat bagi peningkatan penerimaan industri (khusus pendapatan dari jasa industri). Sementara itu, terlihat bahwa biaya transaksi tidak secara langsung menghambat
10
pertumbuhan output dan value added yang dapat dinikmati perusahaan. Hal ini dimungkinkan terjadi dalam horizon jangka pendek, karena proses produksi akan tetap berjalan walaupun tidak optimal secara ekonomi, sampai batas tertentu (saat biaya rata-rata variabel lebih besar dari harga produk). Namun dalam jangka panjang, biaya transaksi jelas-jelas mempengaruhi kinerja usaha, karena hubungannya yang negatif terhadap pertumbuhan industri dan penerimaan industri. Pengaruh negatif dari biaya transaksi terhadap pertumbuhan industri dan penerimaan industri memperlihatkan signifikansi dari pengaruh biaya transaksi kepada kinerja ekonomi. Biaya tinggi yang dihadapi oleh industri ini selanjutnya tidak saja mempengaruhi daya saing produk industri. Saat penerimaan atau penghasilan usaha berkurang akibat ekonomi biaya tinggi, maka dampaknya juga akan mempengaruhi kesejahteraan pekerja. Dengan margin keuntungan yang kecil, maka perusahaan cenderung untuk memilih tidak menaikkan upah pekerjanya melebihi batasan regulasi yang ditetapkan (upah minimum). Hal ini sangat potensial terjadi mengingat dari seluruh komponen pengeluaran biaya produksi, variabel upah pekerja adalah variabel yang paling dapat dikontrol oleh pengusaha. Sementara harga bahan baku atau penolong, bahan bakar serta komponen lainnya (seperti sewa gedung, mesin atau tanah, pajak, jasa industri) lebih bersifat ‘given’ karena sangat ditentukan oleh harga pasar.
Hubungan dengan Biaya Transaksi Negatif
Output
Posi ti f
Value added Penghasilan Industri
Posi ti f Negatif
Sumber: Survey Tahunan Perusahaan Industri Pengolahan 2009, BPS
4.5. Pengaruh biaya transaksi terhadap perluasan lapangan kerja Kaitan antara biaya transaksi dengan jumlah usaha dan penghasilan industri memberikan implikasi yang lebih mendalam karena memberikan efek ganda kepada penyerapan tenaga kerja. Biaya transaksi yang tinggi akan cenderung menghambat pertumbuhan unit usaha, sehingga menghambat perluasan kesempatan kerja. Sementara di sisi lain, efek dari biaya transaksi yang tinggi terhadap penurunan penerimaan industri juga akan menghambat kenaikan penerimaan/income pekerja, atau bahkan juga berpotensi kepada pengurangan tenaga kerja. Dalam studi ini, temuan yang sangat menarik adalah fakta bahwa porsi biaya transaksi di sektor industri pengolahan hampir sebanding dengan porsi pengeluaran untuk upah buruh industri bahkan upah pekerja industri secara keseluruhan (pekerja produksi dan non-
produksi). Gambar 2 bahkan memperlihatkan bahwa di 8 dari 13 propinsi, proporsi biaya transaksi terhadap biaya produksi melebihi proporsi pengeluaran untuk upah pekerja produksi (buruh). Di propinsi Kalimantan Tengah (Palangkaraya) perbedaannya begitu menyolok, porsi biaya transaksi lebih besar 11.34 persen dibanding porsi pengeluaran untuk upah buruh. Pada beberapa propinsi, porsi pengeluaran untuk upah buruh masih lebih besar (Aceh, Bali dan Kalimantan Timur), atau sedikit di atas (Yogyakarta dan Sulawesi Selatan) porsi pengeluaran untuk biaya transaksi. Jika ditelaah berdasarkan jenis industri, kondisi dimana porsi pengeluaran untuk upah buruh lebih rendah dari porsi biaya transaksi umumnya terjadi pada industri makanan dan minuman (lihat tanda minus pada angka disparitas di Tabel 5). Hal ini ditemui di 5 propinsi dalam Tabel 5, kecuali Kalimantan
Gambar 2. Porsi Pengeluaran untuk Upah Buruh dan Biaya Transaksi Terhadap Total Biaya (Biaya Pertukaran) Industri Pengolahan di Indonesia, 2009 (%)
Sumber: Survey Tahunan Perusahaan Industri Pengolahan 2009, BPS 13
Menggunakan Pearson Correlation Coefficients dengan N=13
11
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Indikator Kinerja Ekonomi Jumlah Industri
Programme
Tabel 4. Hubungan Biaya Transaksi terhadap Kinerja Ekonomi13
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Tabel 5. Disparitas Porsi Pengeluaran Industri untuk Upah Buruh terhadap Biaya Transaksi Berdasarkan Jenis Industri di 6 Propinsi di Indonesia, 2009 (%)
Industri Makanan dan Minum an
Disparitas Biaya Tr ansaksi dan Upah DKI Jawa Yogyakarta Jakarta Barat -4.36 -3.83 -13.46
Buruh terhadap Biaya Produksi Jawa Kaltim Kalteng Timur -1.88 2.06 -14.65
Tekstil Pakaian Jadi
7.17 15.64
1.02 13.02
13.36 11.16
1.55 14.99
59.22 -5.87
(N/A) (N/A)
Kulit dan Barang Kulit Kendaraan Bermotor
18.75 -0.91
5.35 -4.18
6.56 2.96
5.92 1.52
25.91 (N/A)
(N/A) (N/A)
Sumber: Survey Tahunan Perusahaan Industri Pengolahan 2009, BPS
Timur. Kondisi yang lebih baik, yaitu porsi pengeluaran untuk upah buruh lebih besar dari biaya transaksi, umumnya terjadi pada industri tekstil dan produk tekstil serta industri kulit dan barang kulit. Pada industri kendaraan bermotor, kondisi yang baik hanya terlihat di Yogyakarta dan Jawa Timur. 4.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi tinggi Secara umum, tingginya biaya transaksi pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai akibat adanya kerangka institusi yang lemah dalam memproteksi output yang dihasilkan unit-unit produksi dan dalam mendorong terjadinya akumulasi modal. Kerangka institusi ini mencakup, pertama, iklim regulasi usaha yang tidak kondusif yang menyebabkan adanya pengambil-alihan (diversion) manfaat produksi oleh agen birokrasi melalui berbagai praktek pungutan liar, penyitaan barang privat melalui pajak (confiscatory taxation), termasuk retribusi daerah yang membebankan, atau korupsi. Kedua, institusi sosial dalam masyarakat/swasta yang menyebabkan pengambil-alihan manfaat produksi dunia swasta (private return) melalui praktek pencurian, sengketa tanah, kegiatan mafia maupun persaingan tidak sehat. Selain kerangka institusi yang lemah, karakteristik industri juga turut mempengaruhi
14
tingginya biaya transaksi. Berdasarkan teori ekonomi biaya transaksi (Williamson, 2000, 2002, 2005), dalam suatu perekonomian yang maju, jenis-jenis usaha tertentu, terutama yang memiliki tingkat spesifikasi investasi yang tinggi, menghadapi ketidakpastian (uncertainty) di pasar yang tinggi, serta sangat intensif dalam perdagangan, akan menghadapi biaya transaksi yang tinggi. Hal ini disebabkan karena dengan karakteristik industri tersebut, dibutuhkan biaya yang relatif lebih besar untuk mencari informasi, negosiasi, membuat kontrak dan melindungi property rights, terlebih melakukan negosiasi lanjutan (re-negotiation) atau revisi kontrak saat ada perubahan-perubahan di pasar yang tidak diprediksi sebelumnya di dalam kontrak.14 Profil biaya transaksi di Indonesia di atas memperlihatkan bahwa variasi biaya transaksi antar propinsi tidak ditentukan oleh karakteristik investasi, tetapi lebih oleh kerangka institusi setempat. Pada prakteknya, kedua aspek kerangka institusi, yaitu iklim regulasi usaha dan institusi sosial, saling mempengaruhi. Sebagai contoh, iklim regulasi usaha dapat sangat dipengaruhi oleh bagaimana fungsi komunikasi dan penghargaan sosial berlaku di dalam masyarakat. Masyarakat yang lebih mengandalkan komunikasi informal dengan bertatap muka dan masih menganggap pelayanan publik perlu diberi penghargaan tersendiri akan menjadi tanah yang subur untuk
Menurut Oliver Williamson (2000, 2002, 2005) tiga karakteristik industri yang menjadi penentu besarnya biaya transaksi yang dihadapi suatu usaha adalah tingkat kekhususan dari investasi (investment specificity), tingkat ketidakpastian (uncertainty) di pasar, serta frekuensi perdagangan dalam industri tersebut.
12
5. Reformasi Regulasi Usaha di Indonesia: Efektivitas dan Permasalahannya Pada dasarnya, reformasi regulasi usaha adalah kunci bagi perbaikan iklim usaha biaya tinggi karena faktor kebijakan pemerintah merupakan variabel kerangka institusi yang paling dapat diintervensi dibanding variabel institusi sosial yang ada di masyarakat. Pemerintah dalam hal ini berpotensi sebagai agen yang sangat efektif untuk dapat menciptakan iklim regulasi usaha yang kondusif. Selama 2005-2009 Pemerintah Indonesia telah melakukan 11 reformasi untuk menyederhanakan prosedur mendirikan usaha,
15 16 17
Namun demikian, reformasi regulasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia masih memiliki beberapa permasalahan mendasar. Permasalah pertama, reformasi regulasi yang dilakukan masih belum cukup cepat untuk mendukung peningkatan investasi, termasuk investasi asing. Hal ini terlihat jika membandingkan iklim regulasi usaha di Indonesia dengan standar internasional. Berbagai upaya reformasi yang dilakukan belum dapat mendongkrak peringkat Indonesia di mata dunia dalam hal kemudahan menjalankan usaha. Perekonomian lain ternyata juga melakukan reformasi yang lebih cepat dan mendalam. Hal ini turut mempengaruhi daya tarik investasi dan daya saing industri Indonesia pada akhirnya. Hal ini terlihat dari laporan Doing Business yang mencatat bahwa peringkat kemudahan berusaha Indonesia tidak membaik selama 2009-2012, yaitu tetap di peringkat 129 dari 183 negara, walaupun telah dilakukan berbagai reformasi.17 Terkait dengan perijinan membuka usaha, beberapa reformasi regulasi yang telah dilakukan untuk memangkas prosedur, waktu dan biaya yang membawa Indonesia ke peringkat 155 juga masih belum dapat menyamai kinerja reformasi di negara
Laporan Bank Dunia dan IFC, Doing Business di Indonesia 2010, hal 9. Laporan Bank Dunia dan IFC, Doing Business di Indonesia 2012, hal 2-3. Peringkat Indonesia pada tahun 2012 menurun karena untuk pertama kalinya Laporan Doing Business 2012 mengukur indikator pemasangan utilitas listrik dan Indonesia menduduki peringkat 161. Namun demikian, tetap tidak terlihat reformasi regulasi yang berarti dalam mendirikan usaha baru, mengurus ijin bangun dan mendaftarkan properti.
13
Programme
Hukum dan regulasi yang seharusnya memproteksi sektor usaha dari segala upaya pengambil-alihan manfaat yang seharusnya diterima pengusaha, seringkali justru menjadi sumber dari terjadinya pengambil-alihan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai studi yang menyatakan tingginya biaya korupsi dan inefisiensi birokrasi di Indonesia. Laporan World Economic Forum/WEF (2011) menjelaskan bahwa dua kendala utama dalam melakukan usaha di Indonesia adalah faktor korupsi dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Sementara itu studi LPEM (2006) menemukan bahwa 87 persen dari 420 responden yang pernah berurusan dengan beacukai mengaku memberikan “pembayaran informal” kepada petugas beacukai dan jumlah keseluruhan suap yang dikeluarkan kepada petugas pemerintahan (termasuk petugas pajak dan beacukai) adalah 5,3 persen dari biaya produksi tahunan.
memperluas cakupan informasi kredit dan meningkatkan hak-hak para pemegang saham minoritas.15 Hingga 2012, upaya-upaya yang konsisten juga terus dilakukan sehingga dapat menyederhanakan prosedur pendirian usaha baru (waktu berkurang 70% selama tahun 20052011), menyederhanakan pengurusan ijin mendirikan bangunan (waktu berkurang 15% selama tahun 2005-2011), memberikan kualitas informasi yang lebih baik bagi perbankan tentang profil debitur, mengurangi tarif pajak (dari 37,3% laba perusahaan di 2005 menjadi 34,5% di 2011), serta melaksanakan sistem online dalam melaporkan pajak.16
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
iklim regulasi usaha yang dalam implementasinya sarat dengan pungutan liar dan bentuk-bentuk penyitaan keuntungan swasta (confiscatory of private return) lainnya.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Tabel 6. Peringkat Indonesia dalam Kemudahan Melakukan Usaha dibandingkan 183 Negara Lain, 2009-2012 Peringkat Indonesia “Ease of Doing Business” Regulasi membuka usaha Prosedur Waktu Biaya Regulasi mengurus ijin Prosedur Waktu Biaya Regulasi mendaftarkan Prosedur Waktu Biaya
2009 129 171 11 76 77,9 80 18 176 221,1 107 6 39 10,7
2010 122 161 9 60 26,0 61 14 160 194,8 95 6 22 10,7
2011 121 155 9 47 22,3 60 14 160 173,3 98 6 22 10,9
2012 129 155 8 45 17,9 71 13 158 105,3 99 6 22 10,8
Sumber: Laporan Bank Dunia Doing Business 2008-2012
tetangga seperti Malaysia (peringkat 50), Thailand (peringkat 78) atau Vietnam (peringkat 103). Padahal reformasi telah dilakukan melalui penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal di tahun 2009, Peraturan Bersama 4 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri Perdagangan) dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tentang Percepatan Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan untuk Membuka Usaha di tahun 2009, serta pemberlakuan sistem pelayanan informasi dan investasi secara elektronik pada pelayanan PTSP di awal tahun 2010. Hal ini menunjukan bahwa proses reformasi regulasi masih belum cukup cepat untuk dapat mendukung tingkat pertumbuhan usaha, perluasan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Permasalahan kedua, reformasi regulasi usaha yang dilakukan saat ini masih belum terkoordinasi dan terpadu antar berbagai aspek yang terkait dengan investasi dan usaha. Sebagai contoh, reformasi regulasi yang berusaha memangkas prosedur, waktu dan biaya membuka usaha tidak diimbangi dengan reformasi yang mendasar dalam hal mengurus ijin bangunan, mendaftarkan properti, dan juga pemasangan utilitas terutama listrik, padahal hal tersebut merupakan satu perangkat kebutuhan dalam memulai usaha. Tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa selama 2009-2012,
14
reformasi terkait membuka usaha berhasil memangkas 3 prosedur, 40,8 persen waktu dan 77 persen biaya; reformasi terkait mengurus ijin bangunan memangkas 5 prosedur, 10,2 persen waktu dan 52,4 persen biaya; dan reformasi terkait mendaftarkan properti hanya memangkas 43,6 persen waktu dan tidak memangkas prosedur maupun biaya sama sekali. Sementara itu, regulasi untuk pemasangan listrik juga sangat tidak kondusif bagi investasi baru, karena sangat membutuhkan proses dan waktu yang panjang serta biaya yang sangat mahal. Sebagai perbandingan, di Indonesia pemasangan listrik membutuhkan 7 prosedur, 108 hari dan biaya sebesar 1.379 persen dari pendapatan per kapita, sementara di Malaysia hanya membutuhkan 6 prosedur, 51 hari dan biaya sebesar 95,5 persen dari pendapatan per kapita. Permasalahan ketiga, reformasi regulasi usaha juga masih belum diterapkan secara seragam di berbagai propinsi dan harmonis antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini menjadi tantangan khusus terkait dengan pemberlakuan otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah, perbaikan iklim regulasi usaha di daerah tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat. Sebaliknya, penerapan regulasi usaha melalui program desentralisasi, seperti contohnya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal, berpotensi menimbulkan suatu tantangan yang baru, yaitu
Biaya Resmi
Peringkat
46.6
7
8
52
62,8
1
9
29
19,3
46.6
5
10
42
66,5
4
9
30
24,3
46.6
12
10
44
76,5
9
39
22,7
46.6
15
9
45
8
31
22,9
46.6
9
12
9
27
22,2
46.6
6
8
45
17,9
46.6
10
44
20,2
10
35
11
6
39
10,88
12
6
39
10,88
12
8
6
19
10,88
1
127,3
10
7
54
13,35
20
94
71,4
17
6
39
10,88
12
-
-
-
-
6
31
10,88
5
8
13
158
105,3
19
6
22
10,81
1
46.6
18
10
68
32
2
6
37
10,88
7
22
46.6
17
8
51
131,5
11
6
38
10,88
9
34
30,8
46,6
20
14
107
100,1
18
6
12
11,02
15
9
31
22,4
46,6
10
10
83
58,4
12
6
25
10,88
4
11
39
21,2
46,6
19
7
71
70,3
6
6
37
10,88
7
8
27
22
46,6
2
11
82
37,5
14
6
15
11,03
16
10
34
19
46,6
11
9
57
50,5
3
6
21
10,88
3
10
29
26,6
46,6
16
10
83
64,5
15
6
29
10,89
18
10
42
17,8
46,6
13
11
59
32,3
7
6
38
10,88
9
9
28
19,7
46,6
4
10
72
38,6
8
7
43
10,88
19
9
32
23,5
46,6
14
11
116
71,2
16
6
39
10,83
11
8
29
20,5
46,6
3
11
71
41,9
12
6
54
10,88
17
8
29
18,5
46,6
1
7
51
85,5
5
6
36
10,88
6
Sumber: Laporan Bank Dunia Doing Business in Indonesia 2012 Keterangan: Biaya adalah persentase terhadap pendapatan per kapita sebesar (US$ 2.580)
ketidakharmonisan kebijakan di tingkat Daerah. Tabel 7 memperlihatkan adanya variasi dalam penerapan regulasi membuka usaha, mengurus ijin bangunan dan mendaftarkan properti di 20 kota propinsi di Indonesia per tahun 2011 (Laporan ‘Doing Business di Indonesia 2012’). Perbedaan waktu yang diperlukan untuk membuka usaha baru bervariasi antara 27 hari (Gorontalo) hingga 45 hari (DKI Jakarta) dengan jumlah prosedur bervariasi antara 8 hingga 11 prosedur (Manado dan Medan). Perbedaan yang lebih menyolok
ditemukan dalam pengurusan ijin bangunan, yaitu bervariasi dari yang terendah sekitar 40 hari (Aceh, Bandung dan Batam) hingga yang tertinggi 158 hari (DKI Jakarta) dengan prosedur bervariasi antara 7 hingga 14 prosedur. Sementara untuk mendaftarkan properti, variasinya berkisar antara 19 hari (Bandung) hingga 54 hari (Batam dan Surakarta) dengan jumlah prosedur umumnya adalah 6 prosedur. Variasi ini juga mengindikasikan bahwa interpretasi Pemerintah Daerah terhadap kebijakan Pemerintah Pusat masih beragam
15
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Waktu
26,3
Peringkat
Prosedur
28
Biaya Resmi
Peringkat
8
Waktu
Modal Minimum
Balikpapan Kalimantan Timur Banda Aceh NAD Bandung Jawa Barat Batam Kep. Riau Denpasar Bali Gorontalo Gorontalo Jakarta DKI Jakarta Jambi Jambi Makassar Sulawesi Selatan Manado Sulawesi Utara Mataram NTB Medan Sumatera Utara Palangkaraya Kalimantan Tengah Palembang Sumatera Selatan Pekanbaru Riau Pontianak Kalimantan Barat Semarang Jawa Tengah Surabaya Jawa Timur Surakarta Jawa Tengah Yogyakarta DI Yogyakarta
Prosedur
KOTA/ PROPINSI
Biaya Resmi
Regulasi Mendaftarkan Properti
Waktu
Mengurus Ijin Ba ngunan
Prosedur
Regulasi terkait Memulai Usaha Baru
Programme
Tabel 7. Jumlah Prosedur, Waktu, Biaya dan Modal Awal yang dibutuhkan Sesuai Regulasi yang Berlaku untuk Membuka Usaha Baru, Mengurus Ijin Bangunan dan Mendaftarkan Properti di 20 Kota Propinsi di Indonesia, Tahun 2012
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
dan sangat bergantung kepada faktor-faktor lain di daerah tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi penerapan regulasi usaha di daerah adalah pemberlakuan pajak dan retribusi di masing-masing daerah. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan biaya resmi yang diwajibkan dalam ketiga jenis regulasi dalam Tabel 7. Variasi penerapan biaya resmi ini tidak ditemukan dalam hal pendaftaran properti, tetapi terutama pada prosedur mengurus ijin bangunan dan kedua dalam mendirikan usaha baru. Dalam mengurus ijin bangunan, variasinya cukup menyolok, yaitu berkisar antara 30 persen (Jambi, Palangkaraya, Pontianak, dan Semarang) hingga di atas 100 persen dari pendapatan per kapita (Manado, Jakarta, Batam, dan Makassar). Sementara dalam mengurus pendirian usaha baru variasinya antara 17 persen (Pontianak dan DKI Jakarta) hingga 30 persen (Manado). Dengan demikian, secara garis besar datadata dari Laporan Doing Business menunjukkan bahwa reformasi regulasi usaha yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini masih belum optimal dalam memangkas prosedur, waktu dan biaya resmi yang dibutuhkan untuk membuka usaha baru, mengurus ijin bangunan dan mendaftarkan properti. Regulasi yang ada saat ini masih cukup rumit, membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang relatif besar, sehingga menjadi sumber dari ekonomi biaya tinggi dalam iklim usaha di Indonesia.
bentuk uang, waktu dan barang), yang dihadapi perusahaan untuk membuka usaha, ditemukan bahwa biaya transaksi riil yang dihadapi pengusaha jauh lebih besar dari sekedar biaya dan waktu resmi yang ditetapkan berdasarkan regulasi membuka usaha. Regulasi membuka usaha di Indonesia saat ini pada dasarnya merujuk kepada Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal. Sejak diterbitkannya kebijakan tersebut, maka proses perijinan dan non-perijinan untuk membuka usaha secara terpadu dilakukan dalam satu kantor pelayanan. Sejalan dengan proses desentralisasi, peraturan ini juga mendelegasikan kewenangan untuk urusan penanaman modal dalam negeri kepada Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/ Kota). Sehingga PTSP yang berlokasi di tingkat pusat hanya ditujukan bagi penanaman modal asing, sementara di tingkat daerah PTSP dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Di tahun yang sama juga dikeluarkan Peraturan Bersama 4 Menteri dan Kepala BKPM tentang percepatan pelayanan perijinan dan non perijinan untuk memulai usaha. Peraturan ini menetapkan bahwa untuk membuka usaha, waktu yang diperlukan adalah 17 hari kerja dan biaya resmi yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp. 4.276.816,- dengan perincian biaya sebagaimana terlihat pada Tabel 8.
6.1. Reformasi setengah hati
6. Studi Kasus: Regulasi Membuka Usaha di Indonesia Studi kasus atas penerapan regulasi membuka usaha di Indonesia memperlihatkan bahwa beban ekonomi biaya tinggi yang dihadapi pengusaha dalam mengurus legalitas usahanya tidak dapat diukur hanya dari biaya resmi dan jumlah waktu yang dihadapi pengusaha dalam mengurus perijinan tersebut. Dengan mengukur struktur opportunity cost, yaitu keseluruhan biaya pertukaran (baik dalam
16
Permasalahan dari reformasi regulasi membuka usaha yang telah dilakukan Pemerintah adalah bahwa regulasi yang saat ini berlaku masih belum cukup efisien dan sederhana dalam penerapannya. Beberapa hal menyebabkan jumlah prosedur, hari dan biaya resmi yang ditetapkan tidak dapat maksimal. Sebab utama adalah karena penerapan PTSP masih belum dapat berfungsi menjadi satusatunya pintu bagi semua prosedur yang ada. Di PTSP tingkat Pusat yang berlokasi di Kantor BKPM, hanya petugas Kantor Imigrasi dan petugas dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang memiliki meja untuk
Prosedur
1
Pengurusan pendaftaran atau Surat persetujuan (khusus untuk PMA)
2
Persetujuan penggunaan nama perusahaan
3
Penandatanganan akta pendirian perusahaan
4
5
6 7 8
9
Pengesahan status badan hukum perseroan & pengumuman di Tambahan Berita Negara Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)/ Ijin Usaha Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Pendaftaran wajib lapor ketenagakerjaan di instansi setempat Pendaftaran kepesertaan dalam Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) Total
Instansi
Waktu Penyelesaian
Biaya
BKPM
1 hari
Tidak ada biaya
Kementerian Hukum dan HAM
Rp. 200.000,- (PNBP)
Notaris
Rp. 2.526.816,8 hari
Kementerian Hukum dan HAM
Kantor Pajak
1 hari
Dinas Perdagangan/ BKPM Dinas Perdagangan
3 hari (simultan)
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
5 hari (simultan)
Total Rp. 1.550.000 (Rp. 1.000.000 untuk pengesahan akta dan Rp. 550.000,- untuk penerbitan TBNRI) Tidak ada biaya
Tidak ada biaya untuk SIUP baru Tidak ada biaya untuk TDP baru Tidak ada biaya
Tidak ada biaya 17 hari
Rp. 4 .276.816,-
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
melayani pendaftaran tenaga kerja asing. Untuk mengurus akta perusahaan serta mendaftar sebagai wajib pajak (NPWP atau NPPKP), pengusaha masih harus mengunjungi kantor atau dinas terkait, yaitu Kementerian Hukum dan HAM dan Kantor Pajak. Demikian juga apabila pengusaha membutuhkan ijin dari instansi teknis. Sebab kedua, fasilitas pelayanan yang diberikan secara on-line juga masih belum terintegrasi antar berbagai instansi, sehingga pengusaha masih harus mengisi berbagai formulir untuk berbagai instansi terkait, terutama BKPM, Kementerian Hukum dan HAM
18
serta Kantor Pajak. Sementara itu di Korea, sebagai perbandingan, reformasi regulasi yang dilakukan pada tahun 2010 dengan membangun sistem on-line yang dinamakan ‘Start-Biz On-line,’ memungkinkan pengusaha untuk hanya mengisi satu formulir on-line dan akan terdistribusi kepada seluruh instansi yang memerlukan. Hal ini membawa perubahan secara signifikan, karena sebelumnya seorang pengusaha perlu mengisi lebih dari 30 formulir dan mendatangi 6 agensi yang berbeda. Melalui sistem ini, pengusaha juga dapat mencari nama perusahaan, melakukan registrasi perusahaan, membayar pajak daerah, dan mendaftarkan pajak perusahaan.18
Laporan World Bank and IFC ‘Doing Business 2012,’ hal. 27-28.
17
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Tahap
Programme
Tabel 8. Regulasi Membuka Usaha di Indonesia Berdasarkan Peraturan Bersama 4 Menteri dan Kepala BKPM Tahun 2009 tentang Percepatan Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan Untuk Memulai Usaha
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Sebab ketiga, tidak semua perijinan telah dilimpahkan instansi teknis ke BKPM untuk dapat dilayani di PTSP. Walaupun pada dasarnya 15 Kementerian sudah melimpahkan kewenangannya kepada Ketua BKPM untuk menerbitkan ijin usaha atas nama Kementerian Teknis tersebut, namun kewenangan tersebut tidak untuk semua perijinan usaha. Sebagai contoh, terkait dengan energi dan sumber daya mineral, BKPM hanya dilimpahkan kewenangan untuk mengeluarkan ijin prinsip saja, sedangkan ijin usaha tetap dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Terkait dengan perindustrian, BKPM hanya diberi kewenangan untuk mengeluarkan ijin industri yang lokasinya bersifat lintas propinsi atau ada unsur asing. Sementara terkait perdagangan, BKPM hanya diberi kewenangan untuk mengeluarkan ijin bagi perdagangan yang termasuk kategori penjualan langsung (direct selling), tidak untuk surat ijin usaha perdagangan (SIUP) lainnya. Sebab keempat, PTSP belum dapat mengkoordinir seluruh instansi yang terkait sehingga tidak dapat menyediakan seluruh informasi yang dibutuhkan pengusaha/ investor secara sinkron dan lengkap. Dengan demikian, berbagai ketidakharmonisan kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Daerah masih dapat terjadi dan tidak teratasi. Sebuah perusahaan tekstil skala besar dengan investasi asing di daerah Jawa Barat yang saat ini sedang mengurus perijinan membuka usaha mengaku bahwa proses pengurusan ijin menjadi terbengkalai selama 2 tahun karena kesulitan memperoleh ijin lokasi. Ketidakharmonisan kebijakan tata ruang antara Pemerintah Daerah, yang telah menetapkan lokasi tersebut sebagai lokasi industri, dengan Pemerintah Pusat, yang masih menetapkan lokasi tersebut sebagai lokasi pertanian dan perumahan, pada akhirnya menimbulkan biaya transaksi yang sangat tinggi dalam hal waktu dan biaya. Selama dua tahun perusahaan tersebut menunggu proses legalitas usahanya karena Pemerintah Pusat dalam mengambil keputusan membutuhkan berbagai rekomendasi dari instansi teknis terkait
18
(Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertanian). Keterlambatan Pemerintah Pusat untuk menyesuaikan kebijakan tata ruangnya berdasarkan perkembangan daerah menjadi tantangan khusus yang tidak dapat diatasi melalui keberadaan PTSP. 6.2. Biaya transaksi yang timbul dalam pengurusan ijin membuka usaha Akibat dari reformasi regulasi membuka usaha yang masih setengah hati, maka secara umum regulasi membuka usaha di Indonesia masih cukup berbelit-belit dan tidak efisien. Hal ini selanjutnya telah membatasi akses pengusaha terhadap informasi, menimbulkan maraknya jasa fasilitator dalam pengurusan ijin usaha serta meningkatkan potensi perilaku korupsi pada agen pemerintah. Sementara itu, institusi sosial yang ada pada masyarakat pada akhirnya mendukung timbulnya biaya transaksi tinggi melalui berbagai praktek suap dan pemberian gratifikasi. Hal ini menimbulkan biaya transaksi tinggi yang harus dihadapi pengusaha dalam memperoleh legalitas atas usahanya. Studi kasus ini menemukan bahwa selain biaya resmi perijinan yang ditetapkan, ada biaya-biaya transaksi yang ditanggung pengusaha dalam mengurus legalitas usahanya, yaitu mencakup: 1. Biaya untuk mencari informasi terkait perijinan membuka usaha; 2. Biaya untuk menggunakan jasa pihak ketiga atau fasilitator dalam pengurusan perijinan membuka usaha; 3. Biaya tidak resmi (suap) yang diberikan kepada aparat pemerintah untuk memperlancar proses pengurusan ijin membuka usaha. Selanjutnya juga ditemukan bahwa biaya transaksi yang ditanggung informan tidak semuanya dalam bentuk uang, tetapi juga waktu dan barang. Lemahnya akses pengusaha terhadap informasi menyebabkan timbulnya biaya-biaya untuk mencari informasi. Biaya yang ditanggung pengusaha untuk memperoleh informasi umumnya tidak berupa
Dari pengalaman beberapa informan mencari informasi, info awal yang mereka cari adalah tentang berapa jumlah biaya yang diperlukan untuk mengurus legalitas usaha. Namun beberapa informan yang memiliki usaha mikro dan kecil mengakui bahwa setelah mendapat informasi tersebut, mereka tidak segera mengurus perijinan membuka usaha. Alasan utamanya adalah karena biaya tersebut relatif tinggi untuk mereka sehingga perlu mempersiapkan dana terlebih dulu. Kenyataan bahwa banyak pengusaha tidak mendapatkan informasi dari sumber yang resmi memiliki konsekuensi tersendiri, yaitu pengusaha mendapat informasi dari tangan kedua atau berdasarkan pengalaman orang lain mengurus ijin. Dengan demikian, informasi yang akurat tidak diperoleh dan sebagai akibatnya praktekpraktek pengurusan ijin yang tidak efisien, yaitu penuh dengan biaya transaksi tinggi, berpontensi untuk tetap lestari. Dampak dari regulasi yang berbelit-belit dan tidak efisien juga terlihat dari maraknya jasa fasilitator untuk pengurusan perijinan. Umumnya biaya yang ditetapkan oleh fasilitator kepada pengusaha sudah termasuk jasanya, sehingga seringkali informan tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya resmi perijinan tersebut. Beberapa fasilitator yang umumnya digunakan untuk mengurus ijin adalah jasa hukum (pengacara atau notaris), agen pemerintah (pegawai Kelurahan, Kecamatan atau Dinas), atau fasilitator lain (pihak ketiga di luar perusahaan). Fasilitator ini menawarkan kemudahan kepada pengusaha karena telah membangun jejaring dengan agen-agen
Walaupun studi kasus ini tidak dapat memberikan perhitungan yang menyeluruh atas total biaya transaksi yang ditanggung pengusaha, namun informasi dari beberapa informan yang mengurus legalitas usahanya di tahun 2009 ke atas, besar biaya tidak resmi yang dikeluarkan mencapai 100 persen dari total biaya perusahaan mengurus perijinan membuka usaha. Biaya tidak resmi ini, ditambah dengan biaya membayar jasa fasilitator dan juga jumlah waktu yang dihabiskan untuk mencari informasi, memberikan gambaran yang cukup bahwa biaya transaksi dalam pengurusan ijin membuka usaha relatif tinggi. Seorang informan pengusaha mikro di Jawa Barat mengaku mengeluarkan total biaya sebesar Rp. 14 juta untuk dapat mengurus legalitas usahanya dengan fasilitasi ahli hukum, tanpa tahu berapa sebenarnya biaya resmi yang berlaku, karena butuh memiliki legalitas usaha dalam waktu cepat. Setelah 3 tahun beroperasi tanpa legalitas, ia membutuhkan legalitas usaha karena ingin membuat kontrak dengan kantor BUMN. Dalam kasus ini, besarnya biaya transaksi (jasa fasilitator, biaya tidak resmi dan biaya informasi lainnya) mencapai lebih dari 300 persen dari biaya resmi yang ditetapkan dalam Tabel 8 di atas. 6.3. Dampak regulasi biaya tinggi terhadap informalitas Biaya resmi yang ditetapkan untuk membuka usaha, ditambah dengan biaya-biaya transaksi tersebut diatas, pada akhirnya menghambat pengusaha untuk mengakses legalitas usahanya. Hal ini terutama ditemui pada pengusaha kecil atau mikro. Hasil wawancara dengan 11 pengusaha di DKI Jakarta
19
Programme
pemerintah terkait. Penggunaan jasa fasilitator umumnya melanggengkan praktek suap dalam pengurusan perijinan, karena mereka umumnya memberikan uang suap atau gratifikasi kepada agen pemerintah. Ini mereka lakukan bukan hanya untuk memudahkan dan mempercepat proses perijinan, tetapi juga untuk memelihara jejaring mereka dengan agen pemerintah yang berwenang.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
uang, tetapi waktu. Studi kasus ini menunjukan bahwa kesulitan untuk memperoleh informasi terutama dialami oleh pengusaha mikro dan kecil. Untuk mencari informasi, beberapa sumber yang umumnya diakses oleh pengusaha mikro dan kecil adalah teman sesama pengusaha, pemberi jasa hukum (lawyer atau notaris), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) setempat dan internet. Untuk pengusaha mikro dan kecil, keterbatasan akses terhadap teknologi menyebabkan tidak semua memperoleh informasi dari internet.
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
dan Jawa Barat yang termasuk dalam kategori perusahaan mikro (jumlah karyawan maksimal 5 orang) dan kecil (jumlah karyawan antara 5 sampai 50) memperlihatkan bahwa hampir semua pengusaha memulai usaha sebelum memperoleh perijinan secara lengkap. Hal ini mendukung temuan studi Bank Dunia yang menyatakan bahwa di Indonesia, sekitar 30 persen perusahaan memulai usahanya sebelum memiliki legalitas usaha.19
Studi kasus ini memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara biaya transaksi pengurusan ijin membuka usaha dengan tingkat informalitas usaha. Terbatasnya akses pengusaha mikro dan kecil terhadap informasi regulasi, ditambah dengan kerumitan dan mahalnya proses pengurusan ijin membuka usaha telah membuat pengusaha beroperasi secara informal. Sementara itu, legalitas sangat dibutuhkan bagi perluasan usaha dan perdagangan dalam skala besar yang mengandalkan kontrak. Informalitas itu sendiri pada akhirnya menciptakan biaya transaksi yang tinggi, karena usaha beroperasi di dalam kerangka yang tidak dilindungi oleh property rigths yang formal dan kontrak kerja yang dapat melindungi kepentingan pelaku usaha. Sementara itu, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah memperlihatkan bahwa di tahun 2009 proporsi usaha mikro dan kecil mencapai 99,9 persen dari total sekitar 52,8 juta unit usaha yang ada. Fakta bahwa sektor swasta di Indonesia didominasi oleh usaha mikro dan kecil (UMK), yang umumnya beroperasi secara informal, semakin memperlihatkan urgensi dari reformasi regulasi membuka usaha yang minim biaya transaksi.
Dari berbagai alasan yang diungkapkan oleh informan tentang mengapa mereka telah memulai usaha tanpa secara resmi memperoleh ijin/legalitas usaha, terlihat bahwa akses pengusaha terhadap informasi masih lemah. Banyak dari pengusaha mikro dan kecil belum mengerti bahwa legalitas usaha diperlukan atau mengapa mereka memerlukannya. Sementara, persepsi mereka tentang iklim regulasi yang ada juga masih relatif buruk, yaitu bahwa pengurusan ijin usaha akan memakan biaya yang besar, karena tidak hanya mencakup biaya resmi, tetapi juga biaya jasa fasilitator maupun biaya tidak resmi lainnya. Tabel 9 di bawah menyajikan alasanalasan yang dikemukakan informan terkait legalitas usaha.
Tabel 9. Alasan Pengusaha Mikro dan Kecil terkait Legalitas Usaha Alasan Beroperasi Tanpa Legalitas Usaha (secar a informal)
19
Alasan Mengurus Legalitas Usaha (berdasar kan urut an prioritas)
-
Tidak mengerti bahwa legalitas usaha diperlukan
-
Untuk dapat beroperasi pada skala yang lebih besar
-
Tidak merasa perlu mengurus legalitas usaha, karena tanpa legalitas tetap dapat beroperasi
-
Untuk dapat membuat kontrak usaha yang lebih baik (misalnya mengikuti lelang dari kantor pemerintah/BUMN)
-
Perusahaan masih baru sehingga belum cukup stabil
berjalan
-
Untuk mendapat akses ke pelanggan atau pemasok baru.
-
Persepsi bahwa perijinan mahal
mengurus
-
-
Belum memiliki dana untuk mengurus legalitas
Untuk memp eroleh kredit tidak menjadi pilihan utama para pengusaha yang diwawancara.
biaya
Data Enterprise Survey Bank Dunia dalam Indonesia Country Profile. 2009. Tersedia di http://www.enterprisesurveys.org.
20
Studi ini menghasilkan beberapa pokok rekomendasi kebijakan bagi upaya reformasi regulasi yang bertujuan untuk menekan biaya transaksi riil yang dihadapi pengusaha dalam mengurus ijin membuka usaha. Reformasi regulasi dengan tujuan meminimalkan biaya transaksi riil menjadi penting karena tidak saja dapat mendorong perdagangan serta meningkatkan daya saing dan produktivitas usaha, tetapi juga memperkuat akses pengusaha, khususnya pengusaha mikro dan kecil, terhadap formalitas usaha. Beberapa pokok rekomendasi tersebut mencakup:
21
Programme
Menciptakan iklim usaha yang berdaya saing, yaitu yang tidak menimbulkan biaya transaksi yang tinggi, membutuhkan upaya perbaikan yang menyeluruh dari setiap persendian iklim regulasi usaha, yang mencakup kelembagaan yang bersifat formal seperti berbagai kebijakan dan peraturan tertulis, maupun kelembagaan yang bersifat informal seperti kebiasaan, norma dan tradisi. Sementara itu, untuk memangkas biaya transaksi yang tinggi yang menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi di Indonesia membutuhkan reformasi regulasi yang tidak saja memangkas prosedur, waktu dan biaya resmi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan, tetapi juga menyediakan suatu sistem dan mekanisme yang dapat meningkatkan akses pengusaha terhadap informasi, meminimalkan kebutuhan akan jasa pihak ketiga/fasilitator, serta yang terutama adalah meminimalkan potensi terjadinya berbagai pungutan liar oleh aparat pemerintah serta suap oleh pengusaha kepada aparat pemerintah.
1. Perlunya memperkuat akses pengusaha, terutama pengusaha mikro dan kecil, terhadap informasi tentang bagaimana mengurus perijinan membuka usaha, dengan melibatkan Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA) dalam memberikan pembinaan kepada pengusaha mikro dan kecil. 2. Perlunya memperkuat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk memberikan pelayanan yang terpadu dan terintegrasi bagi keseluruhan prosedur yang diberlakukan untuk pengurusan ijin membuka usaha. Hal ini terutama dilakukan dengan menerapkan sistem registrasi usaha secara on-line yang terpadu antar seluruh agen pemerintah yang terkait, sehingga pengusaha hanya perlu sekali mengisi formulir dan informasi tersebut dapat dipakai oleh berbagai instansi yang memerlukan. Melalui sistem on-line tersebut pengusaha juga dapat mencari nama perusahaan, melakukan registrasi perusahaan, membayar pajak daerah, dan mendaftarkan pajak perusahaan. 3. Perlunya memperkuat kewenangan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai pemberi layanan perijinan untuk membuka usaha, sehingga segala bentuk perijinan usaha dapat dilakukan di PTSP. 4. Perlunya memperkuat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai pemberi layanan informasi yang lengkap tentang segala hal yang berkaitan dengan membuka usaha dan investasi, sehingga dapat memfasilitsi adanya harmonisasi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 5. Perlunya melibatkan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) sebagai lembaga pengawas pelaksanaan regulasi terkait lingkungan usaha.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
Programme
Daftar Pustaka Benham, Alexandra and Benham. 2001. The Cost of Exchange, Ronald Coase Institute Working Papers.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Coase, Ronald. 1937. The Nature of the Firm, Economica, vol. 4, 386-405. ———— 1961. “The problem of social cost.” Journal of Law and Economics 3:1-44. ———— 1988. The Firm, the Market and the Law. University of Chicago Press Eggertsson, Thrainn. 1990. Economic Behavior and Institutions, Cambridge: Cambridge University Press. Hall, Robert E. & Charles I. Jones. 1999. Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker than Others?, The Quarterly Journal of Economics, Vol. 114, No. 1 (Feb., 1999), hal. 83-116, Oxford University Press. Kuncoro, Ari, et.al. 2007, Monitoring Investment Climate in Indonesia (Round 3): A Report from the Mid of 2006 Survey, LPEM Working Paper, No. 15, LPEM-FE UI, Jakarta. North, Douglas C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance, Cambridge, Cambridge University Press. Wallis, John Joseph and Douglass C. North. 1986. “Measuring the transaction sector in the American economy, 1870-1970,” with a Comment by Lance Davis. Di dalam Long-Term Factors in American Economic Growth, edited by Stanley L. Engerman and Robert E. Gallman. University of Chicago Press. Wang, Ning. 2003. Measuring Transaction Costs: an Incomplete Survey, Ronald Coase Institute Working Papers. Williamson, Oliver. 2000. The New Institutional Economics; taking stock, looking ahead, Journal of Economic Literature, vol. 38, 595-613 Williamson, Oliver E. 2002. The Theory of the Firm as Governance Structure: From Choice to Contract, Journal of Economic Perspective, 16 (3), August, pp. 171-195. Williamson, Oliver E. 2005. The Economics of Governance, American Economic Review, 95 (2), May, pp. 118. Word Bank. 2012. Doing Business 2012: Doing Business in a More Transparent World, Washington, DC: The World Bank Group. World Bank. 2012. Doing Business in Indonesia 2012, Washington, DC: The World Bank Group. World Bank. 2011. Doing Business 2011: Making a Difference for Entrepreneurs, Washington, DC: The World Bank Group. World Bank. 2011. Doing Business in Indonesia 2011, Washington, DC: The World Bank Group. World Bank. 2010. Doing Business 2010: Reforming through Difficult Times, Washington, DC: The World Bank Group. World Bank. 2010. Doing Business in Indonesia 2010, Washington, DC: The World Bank Group. World Bank. 2009. Doing Business 2009, Washington, DC: The World Bank Group. World Economic Forum. 2011. The Global Competitiveness Report 2011-2012, Geneva: World Economic Forum. World Bank. 2009. Enterprise Surveys: Indonesia Country Profile. Washington, DC: The World Bank Group.
22