www.bipnewsroom.info
Berantas Komersialisasi Pendidikan
desain: dw,m, ahas foto: bf, dw, net
S
udah lama masyarakat mengkhawatirkan gejala makin tumbuh suburnya komersialisasi di bidang pendidikan. Gejala ini bisa dilihat dari makin banyaknya pihak yang menggunakan lembaga pendidikan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan finansial. Di mana-mana, dapat ditemukan fenomena yang nyaris serupa: banyak sekolah dan perguruan tinggi menarik iuran tinggi kepada murid atau mahasiswanya, dengan maksud untuk memperbesar margin keuntungan ekonomi bagi lembaga penyelenggara pendidikan tersebut. Komersialisasi, mau tak mau, akan menyebabkan penyelenggara lembaga pendidikan menempatkan profit sebagai sasaran utama. Sementara kegiatan belajar-mengajar—yang seharusnya menjadi ruh dari aktivitas lembaga pendidikan—justru hanya dijadikan sasaran antara. Perubahan skala prioritas ini, jelas akan sangat mempengaruhi aktivitas lembaga pendidikan, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah likuiditas. Subordinasi aktivitas pendidikan di bawah aspek komersial pada akhirnya melahirkan sistem pendidikan yang sangat dipengaruhi hukum pasar, dimana posisi tawar di dunia pendidikan sangat ditentukan oleh daya beli seseorang. Dengan bahasa yang lebih sederhana, orangorang yang memiliki banyak uang atau yang berdaya beli tinggilah yang memiliki akses lebih besar untuk menikmati pendidikan. Sementara orang-orang miskin, orang-orang terpinggirkan, dan vulnerable people—yang sejatinya lebih membutuhkan pendidikan—justru tersingkir. Dalam situasi semacam inilah, pendidikan dianggap tidak memihak kepada rakyat, namun sebaliknya menjadi abdi dan alat kapitalis. Imbas lain dari komersialisasi pendidikan adalah semakin menurunnya mutu pendidikan. Hal ini bisa terjadi, karena dalam praktek pendidikan yang komersialistis, penyelenggara lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas.
Keberhasilan pendidikan tidak lagi diukur dari kapasitas intelektual alumni yang dihasilkan, akan tetapi dari berapa jumlah peserta didik yang dapat ditampung. Jumlah yang besar dianggap lebih penting, karena berkaitan langsung dengan peningkatan pendapatan lembaga. Di tengah upaya pemerintah mengupayakan
Jika tidak segera diberantas, bukan tak mungkin dalam jangka panjang komersialisasi akan membawa sistem pendidikan Indonesia ke titik nadir. pendidikan yang berkualitas merata dan terjangkau, komersialisasi pendidikan merupakan masalah besar yang harus segera dicarikan jalan keluar pemecahannya. Jika tidak segera diberantas, bukan tak mungkin dalam jangka panjang komersialisasi akan membawa sistem pendidikan Indonesia ke titik nadir. Terkait dengan upaya tersebut, sudah seharusnya kita menyambut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dengan sikap optimistis. Bukan karena undang-undang tersebut bisa menjadi panasea—obat mujarab—bagi sistem pendidikan nasional yang sedang dihinggapi penyakit komersialisasi, akan tetapi paling tidak bisa mencegah agar penyakit itu tidak berkembang semakin kronis. Semangat UU BHP pada intinya berupaya menciptakan pendidikan nirlaba yang berkualitas. Nirlaba berarti BHP tidak boleh mengambil keuntungan dari penyelenggaraan pendidikan. BHP juga diharuskan membantu kalangan tidak mampu, dengan menerima anak-
anak yang potensi akademiknya tinggi namun kurang mampu secara ekonomi, serta memungut dana masyarakat maksimal 1/3 dari biaya operasional. Sedangkan berkualitas diupayakan dengan mewajibkan BHP memenuhi organ-organ pengelolaan pendidikan, dengan dijelaskan secara rinci mengenai fungsi, tugas, peran dan struktur masing-masing organ tersebut; memberikan otonomi pengelolaan pendidikan formal; mengatur akuntabilitas publik dan transparansi; mengupayakan kejelasan status SDM tenaga kependidikan; serta memberikan pelayanan terbaik pada pemangku kepentingan melalui prinsip penjaminan mutu dan layanan prima. Ketentuan dalam UU BHP secara jelas menggambarkan bahwa BHP justru sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan. Sangat tidak beralasan jika ada pihak-pihak yang berpikiran bahwa UU BHP diciptakan untuk melegalkan komersialisasi yang dilakukan penyelenggara pendidikan. Lebih dari itu, UU BHP juga mengatur sanksi bagi BHP yang tidak melaksanakan aturan-aturan yang sudah termaktub dalam undang-undang, baik berupa sanksi administratif berupa teguran, penghentian pelayanan, penghentian hibah, hingga pencabutan izin. Sementara itu, BHP yang menyalahgunakan kekayaan dan pendapatannya seperti mengambil keuntungan dari kegiatan pendidikan, dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp500 juta. Adanya sanksi administratif, pidana dan denda bagi pelanggar UU BHP menunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh ingin menciptakan sistem pendidikan nasional yang bebas dari komersialisasi, berkualitas dan berpihak kepada masyarakat miskin. (g)
Tak Melegalkan Komersialisasi Pendidikan UU BHP tidak melegalisasi komersialisasi pendidikan di Indonesia. Dalam UU tersebut secara tegas dinyatakan, perguruan tinggi dilarang mencari keuntungan sepihak yang merugikan para mahasiswa. Ada aturan yang menyebutkan berapa besar jumlah pungutan maksimal yang boleh dipungut dari siswa atau mahasiswa. Bahkan kalau menyalahi aturan, bisa dikenakan pidana baik hukuman 5 tahun maupun denda Rp 500 juta. Adanya bentuk protes dan penolakan yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat akhir-akhir ini, merupakan hal yang wajar di alam demokrasi ini. Silakan masyarakat yang keberatan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Itu lebih baik dan tidak akan saya halang-halangi.* Mendiknas Bambang Sudibyo usai membuka ‘Seminar Nasional dan Peluncuran Buku Saduran Serat Centhini jilid V-XXII’ di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Berpihak kepada Mahasiswa Miskin Tidak ada jiwa liberalisme dalam UU BHP. Di awal UU BHP tegas disebutkan bahwa lembaga pendidikan adalah nirlaba. Badan hukum pendidikan justru berpihak pada mahasiswa miskin. Dengan BHP, setiap perguruan tinggi negeri hanya boleh memungut maksimal sepertiga biaya operasional pendidikan. Apalagi, UU BHP mewajibkan perguruan tinggi memberi kuota 20% bagi mahasiswa miskin. Ketua Tim Perumus RUU BHP DPR-RI, Anwar Arifin, kepada Harian Fajar.
2
Kutipan... Jaminan Anak Miskin Diterima Gratis Harus ada jaminan bahwa anak miskin tapi cerdas bisa diterima secara gratis di perguruan tinggi yang menerapkan BHP. Arief Rahman, Pakar Pendidikan, kepada Majalah Gatra
Tingkatkan Kualitas Pendidikan UU BHP memiliki ruh bagaimana tingkat pendidikan bisa ditingkatkan kualitasnya dan dapat mencakup akses seluas-luasnya kepada masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Rektor UI, Gumilar R Sumantri, kepada wartawan di Kampus UI Depok
Diterbitkan oleh DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Prof. Dr. Moh Nuh, DEA (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Dr. Suprawoto, SH. M.Si. (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Drs. Bambang Wiswalujo, M.P.A.(Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Drs. Supomo, M.M. (Sekretaris Badan Informasi Publik); Drs. Ismail Cawidu, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); H. Agus Salim Hussein, S.E. (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Dr. Gati Gayatri, MA. (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Drs. Sugito. Redaktur Pelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Dra. Fauziah; Drs. Selamatta Sembiring, M.Si.; Drs. M. Abduh Sandiah; Mardianto Soemaryo. Reporter: Suminto Yuliarso; Dimas Aditya Nugraha, S.Sos; Hendra Budi Kusnawan, S.S; Koresponden Daerah: Amiruddin (Banda Aceh), Arifianto (Yogyakarta), Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Supardi Ibrahim (Palu), Yaan Yoku (Jayapura). Fotografer: Leonard Rompas. Desain: D. Ananta Hari Soedibyo. Pracetak: Farida Dewi Maharani, Amd.Graf, S.E. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 email:
[email protected]. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi KomunikA dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.
Sore itu, Dirjen Pendidikan Tinggi, dr. Fasli Jalal, PhD tampak sibuk menghadapi sekelompok mahasiswa. Tak sekadar bertanya, sa-ran dan kritik juga muncul dalam acara dialog yang dipandunya. Mungkin kondisi itu sudah lazim dihadapi dalam proses sosialisasi, Bersama 300 perwakilan mahasiswa, di pertengahan Januari lalu Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA, beberapa anggota DPR dari Komisi X, serta Dirjen Pendidikan Tinggi, Fasli Jalal ikut dalam acara yang ditujukan untuk memberikan pemahaman kepada perwakilan mahasiswa.
Keberpihakan UU BHP
Salah Anggap Beleid Pendidikan
Jika dicermati, pasalpasal UU BHP menggam-barkan semangat keberpihakan kepada peserta didik dan warga miskin. "Pelibatan stakeholders dalam pengelolaan pendidikan sesuai dengan prin-sip manajemen berbasis sekolah dan otonomi pada pendidikan tinggi," jelas Menteri Pendidikan Na-sional (Mendiknas) Bambang Sudibyo. Penjelasan tersebut senantiasa ditekankan dalam berbagai fo-rum dialog dan sosialisasi mengenai UU BHP. Namun demikian, Mendiknas juga tak menampik adanya salah persepsi atas UU BHP. "Jika ada yang menyatakan bahwa UU BHP mendukung liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan hendaknya melihat dulu 10 Prinsip Badan Hukum Pendidikan menurut UU BHP," tegasnya. Salah satu prinsip penting BHP adalah nirlaba, bahkan dalam Pasal 63 UU BHP, setiap orang yang melanggar ketentuan nirlaba akan dapat dikenai pidana penjara paling lama 5 tahun dan dapat ditambah denda paling banyak Rp500 juta. Bahkan, Heri Akhmadi menjamin lahirnya UU Ba-dan Hukum Pendidikan (BHP) tidak akan membuat biaya perkuliahan menjadi mahal. “Justru undang-undang ini men-jadi koreksi dari adanya PP tentang BHMN (badan hukum milik negara) yang sudah ada sebelumnya,” ujar Heri. Pengelola perguruan tinggi tidak akan lagi bebas memungut biaya pendididikan, setinggitingginya 33% dari total biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh per-guruan tinggi. Selama ini, sebagai contoh UI menutupi biaya pen-didikan 90% dari me-mungut kepada maha-siswa. Dalam UU BPH ter-sebut lanjut Heri, pe-ngelola pendidikan juga wajib menyediakan 20% tempat bagi anak-anak kurang mampu dalam bentuk beasiswa. “Jadi justru dengan UU BHP ini nasib anakanak miskin untuk mendapatkan pendidikan hingga
Prinsip Penting Itu! UU BHP terdiri atas 58 pasal. Selain mengatur tentang ketentuan umum, jenis, bentuk, pendirian dan pengesahan, tata kelola, kekayaan, pendanaan, akuntabilitas dan pengawasan, ketenagaan, penggabungan, pembubaran juga mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana. Beberapa prinsip penting dalam UU yang adalah konsep nirlaba. Artinya prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Berikut pointer penting semangat UU BHP: 1. Nirlaba 2. Otonomi 3. Akuntabilitas 4. Transparansi 5. Penjaminan mutu 6. Layanan prima 7. Akses yang berkeadilan 8. Keberagaman 9. Keberlanjutan 10. Partisipasi atas tanggung jawab negara
perguruan tinggi lebih terjamin,” tambah Heri. Dalam merekrut anak-anak miskin calon penerima beasiswa tersebut, kata Heri, perguruan tinggi tidak lagi sekadar menunggu. Mereka harus jemput bola ke sekolah-sekolah (SMP dan SMA) untuk menjaring anak-anak miskin yang berprestasi hingga mencapai 20% dari total jumlah mahasiswa yang diterima.
Lika-liku Beleid Pendidikan
Akomodasi Berbagai Kepentingan Setelah menjadi po-lemik yang panjang selama tiga tahun dan ber-bagai kekhawatiran sempat menyertai pembahas-an Rancangan UndangUndang Badan Hukum Pendidikan (BHP), akhirnya Rapat Paripurna DPR yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Is-kandar di Gedung Nusantara II, Rabu, (17/12) lalu dapat menyetujui RUU Badan Hukum Pendidik-an untuk disahkan menjadi Undang-undang. Mantan Ketua Panja RUU BHP DPR, Anwar Arifin mengemukakan, dalam menyusun RUU BHP, DPR telah menerima masukan dari kalangan perguruan tinggi, forum rektor dan majelis-majelis perguruan tinggi serta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). "Untuk mengakomodasi hal itu, RUU BHP ini sempat mengalami sekitar 39 kali perubahan rancangan," ujarnya. Dia mengakui, ada pihak yang khawatir bahwa UU BHP akan menaikkan anggaran pendidikan, termasuk SPP. Karena itu, DPR menetapkan bahwa anggaran pendidikan, terutama SPP akan ditetapkan berdasarkan kemampuan orang tua anak didik. ”Anggaran akan ditetapkan secara dinamis, proporsional dan menerapkan azas keadilan, artinya, orang tua yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi diharapkan memberi sumbangan pendidikan lebih tinggi, sedangkan orang tua yang miskin kalau perlu anaknya digratiskan,” tegasnya. Berbagai aspirasi yang disampaikan masyarakat, antara lain menyangkut pendanaan BHP, keberadaan PNS, keberadaan yayasan penyelenggara pendidikan serta beasiswa dan bantuan biaya pendidikan. Opini publik yang berkembang saat ini, diperluas oleh liputan media dan komentar berbagai kalangan, banyak menyorot perihal pro-kontra terhadap kehadiran UU BHP ini. "Hal ini dapat berarti bahwa publik belum paham benar akan hakekat dari UU BHP," Ujar Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal. Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan sesungguhnya adalah upaya pemerintah dalam melindungi masyarakat atau peserta didik dari perilaku penyelenggara lembaga pendidikan yang mengutamakan bisnis semata.
Berdasarkan perintah Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas dan menyadari bahwa UU BHP harus sudah diundangkan paling lambat 8 Juli 2005, maka Pemerintah telah menghasilkan draft pertama RUU BHP pada tanggal 26 Februari 2004. Dengan maksud untuk menyerap sebanyak mungkin aspirasi pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya, maka draft RUU BHP dari Pemerintah tersebut telah disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang lebih dari 30 kali. Setelah dilakukan 10 kali harmonisasi di Departemen Hukum dan HAM serta dibahas 3 kali secara komprehensif dengan Mendiknas, akhirnya pada tanggal 23 Februari 2007 dihasilkan draft RUU BHP yang siap untuk disampaikan kepada Presiden, yang selanjutnya
Kawal Implementasi: Penting dan Perlu Idealnya memang UU yang mengatur hak dan kewajiban bagi warga dan negara haruslah jelas agar mudah diimplementasikan dan tak multitafsir. "Akan tetapi hal itu jelas tidak mungkin dengan mudah ditemukan dalam kenyataan," jelas Anwar Arifin. Namun Anwar mengakui bahwa dengan kehadiran UU tentang BHP pemerintah akan dapat menyelenggarakan pendidikan yang pengelolaannya dilakukan secara professional dan bertanggung jawab dengan tidak hanya mencari keuntungan semata. "Jika ingin semangat UU BHP bisa terlaksana, maka tugas kita bersama untuk mengawal implementasinya dalam peraturan pelaksana," pungkasnya. (m)
Ketika memulai sosialisasi, Mendiknas meminta kepada segenap pemangku kepentingan, termasuk pihak yang menolak, iqra, iqra, iqra. Bacalah dengan seksama sebelum berkomentar, menolak atau melakukan judicial review. Hal yang sama juga ditandaskan oleh Fasli Jalal dengan frasa "sebelum usaha hukum, baca dulu UU-nya". Penolakan yang selama ini muncul lebih disebabkan karena para kritikus belum membaca dan memahami secara utuh UU BHP, "Sehingga opini penolakan yang dibangun tidak terlalu solid," jelas Fasli. Reformasi Pendidikan "Pemerintah mendorong reformasi penyelenggaraan pendidikan dengan adanya kepastian lembaga pendidikan sebagai badan hukum nirlaba yang profesional," jelas Mendiknas, Bambang Sudibyo. UU BHP, lanjutnya, memberikan otonomi dengan lebih optimal daripada sebelumnya yakni otonomi kurikulum, otonomi keilmuwan, otonomi manajemen operasi, pemasaran, personalia, keuangan, dan dalam perikatan, serta otonomi dalam hal administrasi dan umum. Lebih lanjut Mendiknas menyatakan bahwa badan hukum pendidikan (BHP) merupakan amanat pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas: “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Ketentuan inilah dijabar-
disampaikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan surat Presiden. "Rancangan yang disahkan DPR kemarin diambil dari draft yang ke 39," jelas Anwar Arifin, mantan Ketua Panja RUU BHP yang juga anggota Komisi X DPR RI Pada tanggal 21 Maret 2007 dengan Surat Presiden No. R-14/Pres/03/ 2007 draft RUU BHP disertai Naskah Akademiknya secara resmi disampaikan kepada DPR RI dengan amanat untuk dibahas bersama DPR RI guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas utama. Setelah 21 bulan dibahas bersama DPR RI dan dilakukan uji publik di seluruh Indonesia oleh Pemerintah bersama DPR RI, maka pada tanggal 17 Desember 2008 RUU BHP disahkan secara bulat oleh DPR RI.
0 1 / V / 2 0 0 9
Mengapa harus BHP? "Sesuai dengan namanya akan menjadikan institusi pendidikan sebagai badan hukum. Selain itu, RUU BHP juga mengatur soal pendanaan pendidikan, pengawasan," tutur Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Heri Akhmadi. RUU BHP merupakan amanat UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 51 Ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa pengelola satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Selanjutnya, Pasal 24 dan Pasal 50 Ayat (6) memerintahkan agar perguruan tinggi memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Untuk mewujudkan manajemen berbasis sekolah/madrasah dan otonomi perguruan tinggi, maka Pasal 53 UU No.20/2003 mengamanatkan pembentukan badan hukum pendidikan. Dalam kaitan ini, pada 21 Maret 2007, pemerintah telah mengajukan draft RUU BHP ke DPR RI. "Setelah bekerja selama sembilan bulan, maka pada 5 Desember 2007 DPR dan pemerintah telah menyelesaikan RUU BHP," kata Heri Akhmadi.
e d i s i
illus: http://weblogs.baltimoresun.com/
luaskan dalam UU BHP.
3
www.bipnewsroom.info
Tingkatkan Kualitas Manajemen Pendidikan Perguruan tinggi “abal-abal” yang menjanjikan mahasiswa bisa lulus dengan cepat—bahkan bisa mendapatkan ijasah tanpa kuliah!— masih bisa ditemui. Tidak percaya, silahkan klik situs mesin pencari http//www.google.co.id, ketik kata kunci “kuliah cepat, murah” lalu enter, maka akan didapatkan kurang lebih 394.000 halaman web yang berhubungan dengan itu. Kebanyakan adalah iklan lembaga pendidikan yang menawarkan cara memperoleh ijasah S-1 dan S-2 secara instan. Mardiyanto, PNS di Kota Klaten, misalnya, pernah ditawari ijasah S-1 (tanpa kuliah) oleh sebuah lembaga pendidikan tinggi dengan hanya membayar Rp 9,5 juta. Sementara Andi Widodo yang memiliki alamat e-mail:
[email protected], mengaku pernah ditawari ijasah untuk program S-2 dengan biaya Rp 12 juta. Kuliahnya? Bisa diatur!
>> Profesionalisme harus benar-benar ditegakkan dengan menerapkan manajemen yang mengedepankan prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas.
Benar-benar menggiriskan! Tentu saja, sebagian besar “perguruan tinggi” yang menawari ijasah instan semacam itu adalah perguruan tinggi “abal-abal” yang lebih mengutamakan meraup keuntungan dibandingkan memperhatikan kualitas pendidikan yang dikelola. Betapa tidak, tentu di luar nalar jika sebuah perguruan tinggi akan dapat dengan mudah menyediakan layanan kuliah secara cepat. Sementara tolok ukur untuk menguji kualitas lulusan lembaga seperti itu tidak pernah diketahui publik. Bisa dipastikan, yang menjadi korban adalah calon mahasiswa yang ingin mendapatkan pendidikan berkalitas. Tidak Bisa Asal-asalan Setelah UU BHP diterapkan, perguruan tinggi “abal-abal” dipastikan akan tereliminasi alias bubar. Mengapa? Karena salah satu syarat BHP adalah
Tenggat untuk Berbenah
P
alu sudah digedok. Keputusan sudah jatuh. Untunglah, Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) masih memberikan tenggat waktu bagi penyelenggara pendidikan untuk mengubah diri menjadi BHP seperti yang diamanatkan undang-undang. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPP dan BHPPD paling lambat empat tahun sejak UU BHP diundangkan. Dalam massa tenggat selama empat tahun tersebut, satuan pendidikan dimaksud tetap memperoleh alokasi dana pendidikan seperti yang selama ini telah diperoleh, dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan UU BHP. Untuk Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) yang telah menyelenggarakan pendidikan formal sebelum UU BHP berlaku, diakui keberadaannya sebagai BHP satuan pendidikan berbentuk BHPP. Tenggat waktu yang diberikan untuk menyesuaikan tata kelolanya adalah tiga tahun setelah UU BHP diundangkan. Namun PT BHMN tetap memperoleh alokasi dana seperti biasa selama empat tahun, setelah itu baru memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan UU BHP. Sementara yayasan, perkumpulan, badan hukum di bidang pendidikan yang bertindak sebagai nazhir, dan badan hukum lain sejenis, yang telah menyelenggarakan pendidikan formal sebelum UU BHP berlaku diakui keberadaannya sebagai BHP penyelenggara berbentuk BHPM. Mereka harus menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPM paling lambat enam tahun sejak UU BHP diundangkan. Selama masa tunggu selama enam tahun itu, mereka juga tetap memperoleh bantuan dana pendidikan seperti yang selama ini telah diperoleh. Tenggat waktu yang "lumayan pendek" ini harus dimanfaatkan seefektif mungkin oleh penyelenggara pendidikan untuk mempersiapkan diri melakukan transformasi baik di bidang organisasi maupun manajemen. Suatu hal yang tidak mudah dilakukan dalam waktu singkat. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardiyanto menyatakan, transformasi tersebut dirasakan cukup berat, karena institusi harus melakukan perubahan-perubahan dan melaksanakan berbagai pelatihan, mulai dari mengubah pola pikir pegawai, merancang sistem operasi manajemen kampus yang lebih efektif, sampai melatih sumberdaya manusia. "Tugas paling berat ialah menjaga image otonomi pendidikan tinggi agar tidak missleading bahwa otonomi pendidikan itu identik dengan penggalangan dana dari mahasiswa. Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Bedjo Suyanto mengatakan, siap tidak siap, perguruan tinggi harus mengarah menjadi BHP. "Kalau ada pihak-pihak yang tidak setuju pasal-pasal dalam UU BHP, dapat mengupayakan perubahan lewat Mahkamah Konstitusi," ujarnya. (dbs-g)
4
kemandirian, dimana perguruan tinggi tidak lagi mendapatkan bantuan dana dalam jumlah besar dari pemerintah. “Wajar jika banyak PTS tidak mampu ber-tahan, terpaksa melakukan merger, akuisisi, atau bahkan likuidasi,” kata Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah IV Jawa Barat dan Banten, Prof Dr Didi Turmudzi, usai membuka lomba gerak jalan di Kampus Universitas Pasundan, Bandung, beberapa waktu lalu. Didi menyatakan, bagi perguruan tinggi swasta yang sudah mapan dan memiliki modal yang kuat, UU BHP ini dapat dijadikan tantangan tersendiri. Namun sebaliknya, bagi pengelola perguruan tinggi swasta yang belum mapan atau modalnya kecil, bisa saja akan bubar. Bahkan ia memprediksikan, pasca penerapan UU BHP sekitar 40% perguruan tinggi kecil akan gulung tikar. Dengan kata lain, penyelenggaraan perguruan tinggi ke depan tidak bisa dilakukan secara asalasalan. Profesionalisme harus benar-benar ditegakkan dengan menerapkan manajemen yang mengedepankan prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Keharusan ini, secara tidak langsung, akan menjadi tantangan sekaligus batu uji kompetensi bagi perguruan tinggi bersangkutan untuk membuktikan diri tetap bisa melangsungkan kegiatan belajar-mengajarnya atau sebaliknya, tutup. Terkait dengan BHP sebagai badan yang profesional, BHP diwajibkan memenuhi organ-organ yang di dalamnya terdiri atas berbagai unsur pengelolaan pendidikan, dengan dijelaskan secara rinci mengenai fungsi, tugas, peran dan struktur masing-masing organ tersebut. BHP memberikan peluang otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. BHP juga harus menjamin adanya akuntabilitas publik bagi seluruh kegiatan yang dilakukannya, bersikap transparan, dan melaporkan kegiatan manajemen dan keuangan setiap tahun. Status pendidik dan tenaga kependidikan juga harus jelas, dengan kompetensi yang memadai. Hal ini untuk menjamin mutu dan kualitas pendidikan sehingga mampu memberikan pelayanan terbaik pada pemangku kepentingan pendidikan melalui prinsip penjaminan mutu dan layanan prima. Staf Khusus Menteri Pendidikan Nasional bidang Informasi Publik, Teguh Juwarno menyatakan, salah satu tujuan UU BHP memang untuk mengurangi keberadaan perguruan tinggi “abalabal” yang ditengarai kian hari jumlahnya kian menjamur. “Dengan adanya UU BHP, perguruan tinggi yang hanya mencari untung namun tidak peduli pada kualitas pendidikan yang diselenggarakan, nantinya akan berkurang atau hilang,” ujarnya kepada komunika. Depdiknas, menurut Teguh, sejak lama memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi dan lembaga pendidikan pada umumnya, baik negeri maupun swasta. Namun, dalam pelaksanaannya belum memiliki dasar hukum yang kuat. “UU BHP ini diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk mewujudkan sekolah dan perguruan tinggi yang mandiri dan berkualitas,” pungkasnya. Semoga! (g)
Ono rego, ono rupo. Jer basuki mowo beyo. Ada harga, ada rupa. Ingin sempurna perlu dana. Begitulah tamsil yang menggambarkan betapa harga selalu sebanding dengan kualitas. Tak heran ada yang tenang-tenang saja meski setelah penerapan Undangundang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) nanti, biaya kuliah diprediksikan akan semakin tinggi. “Institusi pendidikan menjadi semakin legitimated dan bermutu. Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, kenaikan biaya saya kira wajar,” tutur Dwi Febrimelli, calon mahasiswi pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
T
oh tidak semua pihak bisa menerima kenaikan biaya ini. Josephine, calon mahasiswa S-3 di universitas yang sama, justru sangat terperanjat dengan kebijakan fakultas yang menaikkan SPP mulai tahun akademik 2008-2009 ini. “Rp 10,2 juta? Mahal sekali? Tahun lalu kan hanya Rp 6,6 juta!?” serunya dengan wajah kaget. Perempuan berkulit putih asal Manado itu melipat map pendaftaran, mencabut telepon selular dari sakunya, lalu beringsut ke pojok loket. Tak lama kemudian terdengar suara nyaringnya menelepon seseorang, ia mengeluh panjang-lebar tentang kenaikan SPP yang tak diduga-duganya itu. Di sudut fakultas lain, seorang calon mahasiswa tercenung di depan papan pengumuman, saat melihat jumlah uang yang harus dibayarkan agar bisa kuliah di perguruan tinggi itu. “Ini sih bukan naik namanya, tapi ganti harga,” keluh Faisal, yang urung mendaftar lewat jalur “patas” di Fakultas Kedokteran itu, lantaran ‘ngeri’ dengan jumlah biaya yang harus dikeluarkan. “Heran, kok bisa mahal begini? Gimana orang miskin bisa kuliah disini?” imbuhnya sambil garuk-garuk kepala. Agar Lebih Bermutu Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang baru-baru ini disahkan DPR memang memunculkan kritik di sana-sini. Pelik permasalahan mulai dari prinsip-prinsip usaha, independensi, bentuk dan fungsi kelembagaan, dan yang paling menonjol, komersialisasi, kerap ditakutkan akan menjadikan pendidikan semakin tak terjangkau kantong rakyat. Sejatinya, UU BHP justru diterbitkan dengan maksud agar perguruan tinggi mampu meningkatkan kualitas, kredibilitas, efisiensi dan profesionalisme, seiring dengan otonomi yang diberikan kepadanya. Staf Khusus Mendiknas Bidang Komunikasi Publik, Teguh Juwarno, Kepada komunika menyatakan, tujuan UU BHP diantaranya adalah untuk mencegah munculnya perguruan tinggi yang status dan kualitasnya tidak jelas. “UU ini akan menjadi fondasi agar perguruan tinggi lebih akuntabel, dan mendorong mereka berlomba-lomba meningkatkan mutu. Dengan demikian, kelak tak ada lagi universitas abal-abal, yang hanya mencari untung namun kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya. Soal komersialisasi pendidikan, lelaki kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini menyatakan, sejak dahulu fenomena itu sudah ada. “Bukan karena ada UU BHP, lalu muncul komersialisasi pendidikan. Justru tujuan UU ini untuk mengeliminasi munculnya perguruan-perguruan tinggi yang tujuannya hanya mencari duit saja namun mengabaikan kualitas,” terangnya. Teguh juga menolak anggapan bahwa UU BHP dijadikan sarana pemerintah untuk “ngeles” atau mengalihkan beban biaya pendidikan ke institusi perguruan tinggi, karena pemerintah tidak mampu memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN seperti yang diamanatkan konstitusi. “UU BHP semata-mata lahir karena otonomi perguruan tinggi membutuhkan badan hukum yang keberada-
annya perlu diatur dengan undang-undang, bukan karena alasan lain yang bersifat politis,” katanya. Agar Lebih Mandiri Sementara itu, salah seorang pengelola Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Sunarru Samsi H, saat ditemui komunika di kampus pascasarjana Jl Teknika Selatan menyatakan, konsep otonomi perguruan tinggi sebenarnya sudah berjalan kurang lebih sepuluh tahun seiring dengan dikeluarkannya PP No 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara. “Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan RUU BHP, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dimana pasal 53 UU tersebut mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara pendidikan,” ujarnya. Sunarru berharap, kemandirian perguruan tinggi yang dilegitimasi dengan UU BHP nantinya akan menciptakan pendidikan yang berkualitas, kredibel, efisien, dan profesional. Mengapa? Karena pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas berkreasi untuk memajukan institusi berdasarkan strategi yang dirancang sendiri. “Dengan UU BHP, otonomi pendidikan tinggi juga akan semakin jelas posisinya. Ini sangat penting, karena dengan begitu penyelenggara pendidikan tinggi tidak lagi terhambat birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini,” ujar lelaki yang juga Dosen Fakultas Pertanian UGM ini. Sebuah konsep yang ideal, namun bukan berarti penerapan UU BHP ke depan bebas dari masalah. Pengamat Pendidikan Jogjakarta, Prof Mudiyono menyatakan, otonomi institusi pendidikan juga menuntut adanya kemandirian dari segi pendanaan. Konsekuensinya, institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen. “Celah inilah yang sering dikhawatirkan masyarakat akan membuat perguruan tinggi menjadi lembaga profit, sehingga biaya kuliah menjadi semakin mahal,” katanya. Mampukah PT Hindari “Bisnis”? Konsep BHP secara mudah bisa diidentikan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis yang sangat memperhatikan cost and benefit (biaya dan keuntungan). Inilah yang dikhawatirkan akan menyebabkan komersialisasi pelayanan pendidikan, kendati mungkin kenyataannya tidak seperti itu. “Secara filosofis, pendidikan memang harus dipisahkan dari dunia bisnis. Karena selain bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang kompeten dalam suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertaqwa, berkepribadian andal, dan memiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia
bisnis yang identik dengan dunia kepentingan,” ujar Mudiyono. Pertanyaannya, apakah pihak penyelenggara pendidikan benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak, tanpa harus “berbisnis”? Bagi institusi perguruan tinggi yang keuangannya “sehat”, perkara ini mungkin tidak menjadi masalah. Namun fakta menunjukkan, banyak perguruan tinggi justru tidak memiliki tingkat likuiditas tinggi. Konsekuensinya, saat BHP diterapkan, langkah termudah yang akan mereka tempuh adalah menarik dana sebesar-besarnya dari mahasiswa untuk menjaga agar kegiatan universitas bisa terus berjalan. “Short cut pemikiran semacam itu sering terjadi di perguruan tinggi kita,” kata Mudiyono.
0 1 / V / 2 0 0 9 e d i s i
Saat Harga Sebanding Kualitas
Mau Kualitas? Mengomentari kemungkinan semakin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi jika BHP benarbenar diterapkan, Sunarru menyatakan itu sebuah konsekuensi logis yang sangat mungkin terjadi. “Saat BHP diterapkan, subsidi pendidikan dari pemerintah otomatis akan dicabut dan universitas diharuskan mencari biaya sendiri. Kalaupun masih ada subsidi, tentu tak akan sebesar dulu. Jadi wajar jika nanti biaya kuliah juga akan naik. Namun menurut saya itu tidak menjadi masalah, jika diimbangi dengan naiknya kualitas pelayanan dan mutu pendidikan di perguruan tinggi terkait,” katanya. Ia mencontohkan, biaya kuliah di universitas-universitas luar negeri rata-rata tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia. “Namun karena kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan, mereka tidak pernah kekurangan mahasiswa. Bahkan mahasiswa kita pun berbondong-bondong kuliah ke sana,” imbuhnya. Dus, kata Sunarru, harga memang selalu paralel dengan rupa. Makin tinggi harga, konsumen akan mendapatkan barang dengan kualitas lebih pula, itu dalil ekonominya. “Hanya perlu diingatkan, jangan sampai mahasiswa sudah telanjur membayar mahal, kualitas pendidikan yang mereka terima ternyata masih begitu-begitu saja, itu namanya membohongi publik,” pesannya. Ia menambahkan, publik sejatinya tak perlu khawatir berlebihan, karena UU BHP secara tegas membatasi jumlah uang yang harus dipungut lembaga pendidikan. "Jadi mengkhawatirkan SPP akan naik membubung tinggi setelah BHP diterapkan, menurut saya tidak beralasan. Kenaikan bisa jadi tetap ada, tapi tidak seperti yang ditakutkan banyak orang. (K4/2008/g)
Biaya kuliah di universitas-universitas luar negeri rata-rata tinggi. Namun karena kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan, mereka tidak pernah kekurangan mahasiswa.
5
www.bipnewsroom.info
Jangan Biarkan Tunas tak Bersemi... Sorot matanya tajam, menyiratkan kecerdasan pikirannya. Tutur katanya santun dan teratur, menandakan kematangan pribadi di usianya yang masih sangat belia. Reza Pahlevi, lulusan SMA 3 Jogjakarta tahun 2007 ini, memang tidak hanya sopan, namun juga pintar. Di SMA ia peringkat tiga sejak kelas satu hingga lulus. Sayang remaja cerdas ini tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yang ia idamkan karena alasan klasik, tak punya uang.
S
ampai sekarang saya masih suka bermimpi, bisa kuliah di Fakultas Teknik universitas ternama. Tapi apa daya, mimpi tinggal mimpi, karena biaya untuk kuliah di tempat itu bukan main mahalnya,” kata Reza, yang kini membantu ayahnya membuka bengkel kecil-kecilan di kawasan Gamping, Sleman, Yogyakarta. Ia menuturkan, saat mencoba mendaftar kuliah di Fakultas Teknik di sebuah universitas negeri, ia dimintai sumbangan yang besarnya minimal Rp 15 juta. Ia pun balik kanan, mencoba mendaftar di universitas swasta. Eh, ternyata sama saja, di sana ia juga dimintai sumbangan yang bahkan jumlahnya lebih besar lagi, Rp 20 juta. “Tentu saja duit sebanyak itu tak bisa dipenuhi ayah saya yang cuma tukang reparasi sepeda ontel. Walhasil, saya pun tak jadi kuliah, sampai sekarang,” ujarnya murung. Wanto, ayah Reza, mengaku sangat sedih melihat anaknya tak bisa kuliah. “Padahal otaknya encer, jago matematika dan fisika. Tapi bagaimana lagi, di negeri ini yang menentukan bisa kuliah atau tidaknya seseorang bukan otak, tapi duit,” sindirnya. Wanto lantas mengeluarkan kertas kumal dari laci meja bengkelnya, yang berisi catatan jumlah ‘sumbangan’ yang harus dibayarkan sebagai syarat masuk ke beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Jogjakarta. Ia geleng-geleng kepala karena, satupun tak ada yang mematok angka di bawah Rp 10 juta. “Bagaimana mungkin saya bisa membayar sebanyak itu?” keluhnya. Reza tidak sendiri. Di berbagai wilayah In-
“Anak-anak >> cerdas itu aset
donesia, banyak anak-anak “berotak encer” tak bisa kuliah lantaran tak punya biaya. Wery Tahapary, gadis manis peringkat tujuh lulusan sebuah SMA negeri di Kupang tahun 2008 misalnya, terpaksa mengubur dalam-dalam mimpi kuliah di Universitas Nusa Cendana. Penyebabnya apa lagi kalau bukan ketiadaan biaya. “Mungkin, bagi sementara orang, biaya kuliah di Uncen (Universitas Nusa Cendana—Red) tidak tinggi. Tapi bagi keluarga saya, tetap tak terjangkau,” kata Wery. Timotius Wera, ayah Wery hanyalah seorang petani kecil di pinggiran kota Kupang. Penghasilannya tak sampai Rp 600 ribu sebulan. Uang sekecil itu harus ia gunakan untuk biaya hidup keluarga, menyekolahkan empat anak termasuk Wery,
dan menutup kebutuhan rumahtangga lainnya. Mustahil dengan pendapatan sekecil itu ia bisa membiayai kuliah Wery. “Maksud hati ingin mengkuliahkan anak, apa daya uang tak sampai,” ujar Wera bertamsil. Wera berharap, pemerintah memperhatikan nasib anak-anak cerdas dari kalangan orang-orang tak mampu seperti dirinya. “Anak-anak cerdas itu aset bangsa. Mohon dikasih beasiswa atau apalah bentuknya, biar bisa kuliah. Yang penting, kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan tidak sia-sia.” Sayang memang, jika tunas bangsa berprestasi dibiarkan layu tak bersemi. (g)
bangsa. Mohon dikasih beasiswa atau apalah bentuknya, biar bisa kuliah. Yang penting, kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan tidak sia-sia.”
Mengubah Mimpi Jadi Kenyataan
S
yukurlah. Tak lama lagi, impian Reza dan Wery untuk bisa kuliah mungkin akan jadi kenyataan. DPR telah mengesahkan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang. Salah satu poin penting dari UU BHP adalah adanya konsep nirlaba, alias tidak mencari untung. Konsep ini secara tegas menunjukkan keberpihakan kepada anak-anak potensial yang orangtuanya tidak mampu secara ekonomi. Di dalam UU BHP diatur bahwa BHP diharuskan menjamin dan membantu kalangan tidak
6
mampu untuk melanjutkan pendidikan dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan perguruan tinggi. Bahkan secara khusus, dalam undangundang ini ada ketentuan bahwa BHP wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi namun kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP juga wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi
akademik tinggi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Selain itu, BHP pendidikan menengah dan pen-didikan tinggi tidak boleh memungut dana berle-bihan dari masyarakat. Maksimal dana yang boleh dipungut hanya 1/3 dari biaya operasi-onal. Selain peserta didik yang memperoleh beasiswa, peserta didik lainnya hanya mem-bayar sesuai dengan kemampuan dalam pembi-ayaan. Ini karena seluruh biaya investasi, infra-struktur, alat, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan untuk pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan perguruan tinggi, semuanya ditanggung pemerintah dan pemerintah dae-rah. Sanksi bagi BHP yang mengingkari UU ini cukup tegas, mulai dari sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian pelayanan dari pemerintah atau pemerintah daerah, penghentian hibah, hingga pencabutan izin. Sementara, bagi BHP yang menyalahgunakan kekayaan dan pendapatannya seperti mengambil keuntungan dari kegiatan pendidikan, akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama lima tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp500 juta. Ketentuan dalam UU BHP tersebut menggambarkan bahwa BHP sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan. Harapan kita semua, penerapan UU BHP benar-benar dapat dilakukan secara konsekuen. Kita ingin, mimpi kuliah orang-orang seperti Reza dan Wery tidak sekadar menjadi mimpi di atas mimpi. (g)
0 1 / V / 2 0 0 9
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, dr. Fasli Jalal, Ph.D.
Akhir tahun 2008 dan awal tahun ini merupakan hari-hari yang sangat menguras perhatian besar mantan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan ini. Pasalnya selain menghadapi demonstrasi, pria kelahiran Padang Panjang in juga mengisi kegiatan sosialisasi UU BHP di berbagai daerah. Dalam sebuah perbincangan saat rehat, Fasli mengemukakan bahwa salah satu ketakutan sehingga menolak BHP adalah adanya praktek menyimpang ketika pelaksanaan aturan BHMN (Badan Hukum Milik Negara). "Banyak anggapan yang keliru. Sebenarnya BHP tidak sama dengan praktik BHMN tidak sama dengan peraturan pada UU BHP. UU BHP justru akan meniadakan praktek ku-rang tepat dari BHMN salah satunya dalam penggalangan dana," tegas Fasli. Memang, jika diamati, dahulu banyak pihak yang mempermasalahkan adanya komersialisasi terselubung pada perguruan tinggi yang menjadi BHMN. Hal yang menjadi sorotan adalah adanya pungutan biaya lain yang dinilai memberatkan mahasiswa. Pendidikan, bagi Fasli perlu pula menunjukkan independensinya bila ingin menjadi lokomotif kemajuan bangsa. Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi, Depdiknas, Fasli Jalal, mengungkapkan perlunya sebuah Badan Hukum Pendidikan (BHP) untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu di Indonesia. Sesungguhnya, lembaga penyelenggara pendidikan di seluruh dunia berbentuk badan hukum. Maka sudah saatnya pendidikan nasional menata kembali status lembaga pendidikan agar memiliki badan hukum. Paparan berikut dirangkum dari beberapa kegiatan tanya jawab sosialisasi yang pernah diikuti dan dipantau komunika. Sebagian diantara petikan ini telah dimuat dalam buku tanya jawab seputar BHP. Berikut petikannya:
Kehadiran UU BHP mengundang prokontra. Kenapa mesti ada UU BHP, apakah UU tentang pendidikan sebelumnya belum cukup? UU BHP memang tidak boleh dilepaskan dari UU Sisdiknas. Ini sangat penting. Ide dasarnya ada pada perintah dari UU Sisdiknas pasal 24, dan pasal 50 ayat 6, serta pasal 51 yang menyebutkan perguruan tinggi itu harus otonom, sedangkan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah itu dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Pada Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas mengamanatkan bentuk badan hukum pendidikan (BHP) sementara Pasal 53 ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan tentang BHP diatur dengan undangundang tersendiri. Sebetulnya apa ruh dari UU BHP? Ruh UU BHP adalah pemberian otonomi bagi penyelenggara pendidikan. Supaya otonom dan berbasis sekolah tadi, perlu ada status hukum dalam bentuk BHP. Dalam UU BHP membahas mulai dari ketentuan umum, jenis, bentuk, pendirian dan pengesahan, tata kelola, kekayaan, pendanaan, akuntabilitas dan pengawasan, ketenagaan dan sebagainya. Bentuk otonomi apa yang akan diberikan dalam UU BHP? Pemberian otonomi dilakukan secara optimal yang diimbangi dengan tuntutan akuntabilitas yang optimal, baik pada “penyelenggara satuan pendidikan” atau “satuan pendidikan.” Artinya, dalam lingkungan Indonesia yang demokratis negara ingin menghargai dan memperlakukan “penyelenggara satuan pendidikan” atau “satuan pendidikan” sebagai institusi yang dewasa dan dapat dipercaya untuk mampu mengurus dirinya sendiri secara mandiri, transparan, dan akuntabel tanpa harus banyak didikte oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Apa fungsi dan tujuan dari UU BHP? Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik, sedang tujuannya untuk memajukan
e d i s i
Banyak Anggapan Yang Keliru... pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.
UU BHP mengatur semua penyelenggara satuan pendidikan atau semua satuan pendidikan, baik yang diselengarakan pemerintah maupun yang diselenggarakan masyarakat, harus berbadan hukum pendidikan. Bagaimana maksud dari ketentuan ini? Tidak ada kehendak dari kehadiran UU BHP untuk menisbikan dan mencampakkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat di bidang pendidikan. Semua badan hukum yang diselenggarakan masyarakat sebagai penyelenggara satuan pendidikan yang selama ini sudah ada, seperti yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis, yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara Sedang semua satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), di mana lokus badan hukum terletak di satuan pendidikan (Pasal 8 ayat (2) UU BHP). Sementara bagi semua sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, kecuali pendidikan anak usia dini, yang telah memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan dan berakreditasi A harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD), di mana lokus badan hukum terletak di satuan pendidikan (Pasal 8 ayat (1) UU BHP). Madrasah yang diselenggarakan oleh Pemerintah (Departemen Agama), kecuali pendidikan anak usia dini, yang telah memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan dan berakreditasi A harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), di mana lokus badan hukum terletak di satuan pendidikan (Pasal 8 ayat (1) UU BHP). Fungsi-fungsi apa saja yang harus ada pada BHP, dan organ apa di dalam BHP itu yang menjalankan fungsi tersebut? Organ pengelola pendidikan, organ representasi pendidik, dan organ audit nonakademik setiap tahun menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada organ representasi pemangku kepentingan untuk selanjutnya dinilai apakah ketiga organ itu telah menjalankan tugasnya dengan baik dan akuntabel, dan kemudian laporan pertanggungjawaban tersebut ditetapkan untuk diterima atau ditolak. Sepintas UU BHP melakukan “demokratisasi pendidikan,” tapi di sisi lain model kelembagaannya mirip perseroan terbatas, di mana organ representasi pemangku kepentingan mirip RUPS. Bisa dijelaskan perbedaannya? Dengan BHP satuan pendidikan atau penyelenggaranya menjadi demokratis, transparan, dan akuntabel, tapi yang dianut bukan demokrasi model korporat. Organ representasi pemangku kepentingan tidak seperti RUPS yang terdiri atas seluruh pemilik saham suatu perusahaan. Perlu ditegaskan, di dalam BHP tidak terdapat saham dan para pemegang saham seperti di dalam perseroan terbatas. Dengan demikian, BHP bukan badan usaha yang bertujuan laba melainkan badan hukum yang bertujuan nirlaba. Dalam organ representasi pemangku kepentingan ada wakil pendiri, kepala sekolah/rektor/ketua/direktur sebagai wakil organ pengelola, wakil pendidik dan tenaga kependidikan (wakil pegawai), dan wakil masyarakat. Bahkan dimungkinkan un-
tuk ada wakil peserta didik yang notabene adalah pemangku kepentingan. Model kebersamaan demokratis yang dibangun dalam BHP adalah kebersamaan kekitaan yang tidak mengeksklusikan siapapun, bukan model kebersamaan kekamian seperti pada demokrasi model korporat yang memberlakukan demokrasi hanya antara sesama pemilik saham dalam perusahaan saja. Organ representasi pendidik dan organ audit nonakademik, yang hanya memiliki kewenangan pengawasan, juga tidak serupa dengan Dewan Komisaris, yang di samping diberi kewenangan pengawasan juga diberi kewenangan pengambilan keputusan eksekutif pada tingkatan strategis.
Ada anggapan, pengesahan UU BHP untuk memberi ruang kebebasan bagi terciptanya komersialisasi pendidikan? Anggapan itu keliru, karena UU BHP telah didisain sejak awal justru untuk menangkal ancaman komersialisasi. Salah satunya adalah BHP harus berprinsip nirlaba. Artinya, tidak bertujuan utama mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha, jika ada, harus ditanamkan kembali untuk peningkatan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Ada anggapan dengan UU BHP, maka akan menghapus hak Warga Negara Indonesia (WNI) yang kurang mampu namun memiliki potensi akademik tinggi untuk mengikuti pendidikan? Sekali lagi anggapan itu keliru. Pada Pasal 46 ayat (1), BHP wajib menjaring dan menerima WNI yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Dari mana BHP membiayai pendidikan untuk WNI yang kurang mampu namun memiliki potensi akademik tinggi itu? Peserta didik WNI yang kurang mampu namun memiliki potensi akademik tinggi itu dapat membayar sesuai dengan kemampuannya, memperoleh beasiswa, atau mendapat bantuan biaya pendidikan. Siapa yang menanggung pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan tersebut? Menurut Pasal 46 ayat (4), beasiswa atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 46 ayat (2) ditanggung oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum pendidikan.***
7
www.bipnewsroom.info
Oh, Bapak, Ibu, Sadarlah Ketika John Locke mengatakan bahwa bayi itu ibarat kertas putih, terAji Subela gantung apa dan bagaimana kita menulis-nya, Pemerhati tak terbayangkan betapa Masalah Sosial sulitnya pendidikan seperti Budaya itu dilaksanakan. Apalagi ketika cost modernisasi kian tinggi mendidik anak-anak kita pun kian mahal. Ongkos untuk membentuk kepribadian dan kemampuannya semakin tinggi. Pendidikan formal memang kian mahal. Oleh sebab itu pemerintah mulai tahun ini memenuhi tuntutan Undang-Undang yaitu menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari total Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Langkah ini jelas penting guna memberi kesempatan lebih luas kepada warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang memadai agar dapat bersaing di pasar global. Harapannya tentu agar si Polan dari Desa Dadap di puncak Gunung Waru menikmati pendidikannya sehingga nantinya dia tidak menjadi petani tradisional seperti bapak serta nenek moyangnya, tapi menjadi petani modern dengan metode mutakhir dan pemasaran semakin mengglobal. Ada tokoh yang ke mana-mana selalu memakai celana pendek, tak kenal pantalon apalagi dasi. Tapi ia mampu mengendalikan bisnis pertanian pribadi beromzet miliaran rupiah per tahun. Anak buahnya adalah para sarjana lulusan perguruan tinggi terkenal di tanah air dan tanah orang. Ada lagi pebisnis ulung yang berbicara pakai Bahasa Indonesia pun sulit, kecuali bahasa leluhur serta bahasa daerah. Jangan tanya ijasah padanya. Tapi tanya berapa perusahaan yang dia kendalikan sekarang ini, dan berapa omzet dan laba bersihnya per tahun. Jangan tanya padanya teori bisnis menurut buku apa. Tapi kearifannya sering mempan memecahkan problem bisnisnya. Lalu bagaimana kita harus mendidik anak? Maka kepusingan pun dimulai. Harus disadari kita sudah lama menghadapi dua masalah mendasar bangsa ini yaitu kemiskinan dan kebodohan. Selama bangsa kita bodoh-bodoh maka orang pintar dari seberang lautan akan beramai-ramai “memangsa” kekayaan kita. Menhan Juwono Sudarsono dalam berbagai kesempatan menyatakan, salah satu problem ketahanan dan pertahanan kita yang penting adalah “perang selisih keunggulan”. Bila kita kalah unggul dengan bangsa lain, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kita kalah. Kita akan ditelan bulat-bulat, didikte oleh bangsa yang kemampuan ilmu dan teknologinya lebih unggul. Membangun individu warga negara yang berkualitas perlu terus diperjuangkan untuk kemudian bersama-sama, bersatu memecahkan masalah bangsa. Penulis:
>>Mereka ini tangguh dan kreatif mencari peluang. Ada banyak teori dalam buku, tapi sedikit orang yang tergerak untuk mempraktikkannya.
8
Pendidikan Formal Jelas sekali di jaman yang semakin mekar ini, menambah ilmu sudah suatu keharusan, kalau tak ingin ketinggalan pesawat. Artinya agar orang bisa “berbicara dalam bahasa” yang sama dengan rekannya dari negara lainnya. Tak ada gap terlalu jauh sehingga sulit dicurangi. Ilmu-ilmu baru memberi kacamata baca lebih jernih guna mengatasi masalah, sesuai perkembangan jaman. Masalahnya untuk menyelenggarakan itu semua memang perlu biaya. No free lunch, kata si John. Jer basuki mawa beya kata si Atmo. Ada perlu sedikit usaha untuk meraih pendidikan yang baik. Kurikulum sudah disusun rapi agar dalam waktu tertentu anak dapat menyerap sekian persen ilmu. Agar penyerapan ilmu makin baik, perlu fasilitas yang baik, buku yang baik, guru yang jempol. Sesudah menyelesaikan itu semua anak mendapatkan titel, menandakan ia pernah melewati urutan-urutan itu tadi. Apakah ia dijamin berkualitas jempolan betul? Itu perkara lain. Sistem, kualitas “urutan-urutan” tadi sangat menentukan. Terlebih lagi bagaimana kualitas si murid.
Untuk itu jelas bahwa wadah pendidikan formal tidak menjamin 100% kualitas manusia keluarannya, karena masih ada andil lainnya, yaitu pendidikan di dalam keluarga dan lingkungan/masyarakatnya. Pendidikan non-formal Wajah keluarga bagaikan cermin ajaib. Bila kita melihat padanya, nampaklah masa lalu, kini, dan masa depan, kata Gail Lumet Buckley. Salah satu rangkaian besar pendidikan itu adalah mendidik orang tua agar menyadari bahwa pendidikan anakanak mereka itu penting, dan keluarga mereka pun sangat berperan. Lingkungan menjadi peran berikutnya di mana anak berkembang di situ watak terbentuk. Hidup menjadi karyawan memang enak, mendapatkan gaji tetap tiap bulan tanpa pusing-pusing. Bahkan gadis-gadis yang kesulitan mencari jodoh pun tak segan-segan memasang syarat di iklan biro jodoh bahwa calon suami haruslah berpenghasilan tetap. Celakanya mereka yang hidup sebagai pengusaha jarang mencapai taraf “penghasilan tetap” itu. Selalu berfluktuasi. Tapi ketika krisis ekonomi mendera, si gaji tetaplah yang pertama terkena. Terjadi PHK atau pemutusan hubungan kerja. Sedangkan si pengusaha, kendati terkena dampak, ia telah terbiasa oleh pasang surut rejeki itu. Bahkan orang semacam ini menjadi dewa penolong diri maupun orang lain untuk tetap bertahan. Keluarga dan lingkungan masyarakat amat berperan guna mencetak mental pengusaha semacam ini. Mereka ini tangguh dan kreatif mencari peluang. Ada banyak teori dalam buku, tapi sedikit orang yang tergerak untuk mempraktikkannya. Masalah utamanya adalah pembentukan jiwa/ mental berusaha. Kita mengenal ada inteligent quotion (IQ) yang mengukur kecerdasan intelektual anak dan pernah menjadi primadona para orang tua. Belakangan diketahui emotional qu-
otion (EQ) justru lebih berpengaruh pada keberhasilan hidup anak didik kelak. Mental tangguh, tak takut gagal, agresif, justru banyak dibentuk lewat pendadaran mental si anak. Alangkah indahnya bila anak kita memiliki angka tinggi untuk kedua-duanya. Masalah yang lebih penting lagi adalah mendidik orang tua tidak mudah. Kaum kekolot merasa dirinya unggul, sudah benar sendiri. Mereka tak sadar akan perubahan jaman yang begitu cepat. “Dulu saya bisa sekolah jalan kaki,” kata Pak Kuno. Alangkah kasihannya dia. Mungkinkan ia membiarkan anaknya berjalan berkilo-kilo meter untuk datang ke sekolah dengan basah kuyup oleh keringat dan mungkin telat? “Dulu saya cukup belajar pakai sabak,” kata Bu Kolot. Sabak itu batu tulis yang dibuat dari batu lei dan ditulis memakai grip sehingga guratannya bisa dibaca. Apa tega ia membiarkan anaknya hidup di jaman batu a la Mr. Flintstone di tengah jaman serba komputer di Abad Ke-XXI ini? Di tengah gempita pendidikan nasional dengan dana 20% dari APBN kita harus bertanya bagaimana mendidik orangtua agar sadar bahwa pendidikan itu mahal, tapi harus tetap dilakukan agar anaknya tidak “tersesat” di jaman super modern ini. Paling tidak bagaimana cara kita mendidik anak di lingkungan keluarga agar tangguh, tanggap dan tanggon dalam menghadapi dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan. Pengertian tiap anak membawa rejekinya sendiri perlu diubah bahwa rejeki yang didapatnya tanpa usaha jauh lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang mampu menguasai ilmu-ilmu. Dia yang selalu bercelana pendek dan dia yang berbicara dalam bahasanya sendiri kurang lancar itu, jelas mendapatkan “pendidikan” dalam keluarga secara jitu. Seorang ayah adalah lebih dari seratus kepala sekolah (George Herbert).
Setiap kali kita akan melaksanakan pemilu, selalu hadir Nino S wacana yang membahas mereka Pemerhati yang disebut Masalah Politik golongan putih atau golput. Siapa mereka, dan mengapa bersikap golput, serta bagaimana kita menyikapinya. Penulis:
Siapa Golput? Ketidakikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum, sering disebut sebagai golongan putih atau populer disingkat ‘golput’. Padahal jika dicermati, ketidakikutsertaan dalam pemilu, bukan selalu berarti ‘golput’ dalam arti sesungguhnya Ketidakikutsertaan warga dalam pemilu dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Misalnya yang bersangkutan tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tidak dapat hadir di TPS karena mendadak sakit keras, ada keluarga yang meninggal; atau warga memang hadir di TPS dan ikut pemungutan suara, tetapi karena kesalahan teknis suaranya dinyatakan tidak sah. Dan tentu saja, karena ada yang memang sengaja tidak ikut pemilu karena alasan politis, atau alasan ideologis. Dengan demikian, mereka yang tidak ikut pemilu paling tidak dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Tidak ikut pemilu karena kesalahan teknis pelaksanaan pemilu. Kelompok ini, tidak ikut pemilu karena adanya kesalahan teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, baik karena kesalahan pribadinya atau kesalahan institusi yang terkait dengan pendaftaran pemilih; 2. Tidak ikut pemilu karena kesalahan teknis tata cara pemilihan, misalnya salah mencoblos (atau memberi tanda) pada surat suara; 3. Tidak ikut pemilu karena alasan pragmatisindividualis. Golongan ini menakar pemilu dengan untung-rugi untuk dirinya. Mereka merasa tidak diuntungkan dengan pemilu yang hanya akan memberi kekuasaan dan kekayaan pada caleg/capres. Mereka juga menganggap memilih bukan perilaku rasional karena tidak memberi keuntungan apa-apa bagi diri sendiri. 4. Tidak ikut pemilu karena alasan politis. Misalnya merasa tidak ada kadindat yang sesuai dengan pemikirannya, atau tidak percaya pada kandidat yang tersedia akan dapat membawa perubahan dan perbaikan. Dalam golongan ini ada semacam rasa apatisme, baik kepada partai politik atau calon pemimpin yang dicalonkan parpol. 5. Tidak ikut pemilu karena ideologis. Ke-lompok ini tidak percaya pada mekanisme demo-krasi, dan tidak mau terlibat dalam pemilu, karena alasan fundamentalisme agama atau politik ideologi lain. Ketidak ikutannya dalam pemilu adalah sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Dari beragam latar belakang tidak ikut pemilu tersebut, maka menggolongkan semua yang tidak ikut pemilu sebagai ‘golput’ sebenarnya tidak tepat, bahkan bisa menyesatkan. Dari kategorisasi di atas, yang disebut golput lebih ditujukan pada mereka yang tidak ikut pemilu karena alasan politis-ideologis. Artinya, mereka yang tidak ikut pemilu dengan sengaja berdasarkan alasan-alasan politis-ideologis. Walau kita bisa mengelompokkan mereka yang tidak ikut pemilu; tetapi tidak mudah membedakan seseorang golput atau tidak. Karena mereka yang golput dan bukan golput membaur. Mereka yang golput dapat tinggal diam di rumah dan tidak ke tempat pemungutan suara. Namun ada juga yang bersikap golput tapi datang ke TPS, hanya waktu melakukan pemilihan sengaja disalahkan dan menjadikan suaranya tidak sah. Kita dapat mengenali seseorang bersikap golput kalau yang bersangkutan secara sengaja menyatakan diri sebagai golput. Mereka yang terangterangan menyatakan tidak mau ikut pemilu, bahkan juga menganjurkan orang (secara diam-diam) untuk golput, sering dikenal sebagai golput aktif. Sedang mereka yang diam, tidak banyak berkomentar, mau menerima pemberian kaos atau sembako dari kontestan pemilu, tetapi tidak mau ikut pemilu, sering disebut sebagai golput pasif. Jadi yang dimaksud golput sebenarnya adalah sebuah sikap politis. Pilihan golput yang demikian biasanya dilakukan oleh kalangan terpelajar (mahasiswa) dan masyarakat perkotaan, atau mereka yang relatif melek politik. Dari sisi pandang mereka golput dipahami sebagai ‘hak’ mereka juga, yakni hak untuk tidak
memilih. Golput adalah terminologi politik khas Indonesia, dimana seseorang menanggalkan hak untuk memilih dalam pemilu, dan mulai dipopulerkan pada pemilu 1971. Benarkah kalau kita bersikap Golput? Menghadapi Pemilu 2009, masalah golput juga mulai ramai diwacanakan. Bahkan berbagai kalangan memprediksi angka golput akan meningkat pada pemilu 2009. Secara berkelakar, ada yang mengatakan bahwa Pemilu 2009 nanti akan dimenangkan golput! Alasannya, dari gelar Pilkada di beberapa daerah, yang tidak ikut pemilu (golput) angkanya cukup besar. Fakta tersebut diproyeksikan pada Pemilu 2009, baik dalam Pemilu untuk memilih anggota legislatif maupun dalam Pilpres. Tetapi, jika golput benar-benar “menang”, atau mencapai angka yang cukup signifikan dalam Pemilu 2009 nanti; apakah keadaan negeri ini akan semakin baik? Apakah kesejahteraan rakyat akan semakin meningkat? Kita dapat pastikan hal itu tidak akan terjadi, karena golput berada diluar sistem, serta memang tidak pernah menjanjikan apa-apa.
Membendung golput Salah satu tolok ukur sukses tidaknya suatu Pemilu adalah besar kecilnya partisipasi warga. Semakin banyak warga yang ikut pemilu tentu akan semakin menyukseskan pemilu, serta sekaligus akan memperbesar legitimasi terhadap mereka yang terpilih. Tetapi, dalam paham demokrasi, memilih atau tidak memilih merupakan hak setiap warga negara, bukan paksaan, sehingga kita harus menghormati juga mereka yang tidak mau ikut memilih. Tetapi untuk mencapai 100% warga yang ikut pemilu memang bukan hal yang mudah, atau bahkan terlalu sulit dicapai. Bahkan di negara demokrasi yang maju seperti di Amerika Serikat pemilu memang pun, warga yang tidak tidak memberi menggunakan hak keuntungan apapun untuk pribadi kita, pilihnya dalam pemilu tetapi akan selalu ada. berdampak bagi Walau demikian lingkungan sosial untuk mencapai jumlah bangsa kita. Sikap pemilih yang besar, golput tidak berbagai upaya me- membuat perubahan, mang harus dilakukan. karena itu berikan Paling tidak, untuk suara anda. membendung golput agar tidak membengkak. Dahulu memang pernah beredar wacana untuk memberi sanksi hukum bagi mereka yang melakukan kegiatan sistematis, teroganisisr, terencana dan meluas, yang mengajak orang untuk tidak memilih (golput). Tetapi wacana itu ditentang banyak pihak karena dapat membahayakan pelaksanaan, penghormatan, dan penegakan HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik warga negara. Golput bukanlah tindak kriminal yang harus diberi sanksi hukum. Kalau kita menelisik sejarah dengan cermat, kita tentu akan dapat memahami bahwa golput muncul sebagai gerakan moral akibat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasa dan partai-partai politik. Jadi golput muncul sebagai akibat, bukan sebab. Maka jalan yang logis untuk menekan angka golput bukan mendiskreditkannya, apalagi menganggapnya sebagai sumber kekacauan. Apalagi golput pada awal kehadirannya di negeri ini memang hanya sebuah gerakan moral. Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai orang menjadi golput karena paksaan. Itu merupakan pelanggaran dan bisa dikategorikan sebagai usaha menggagalkan pemilu. Oleh karena itu dalam jangka panjang, fenomena ini harus disikapi dengan arif, yakni dengan menghilangkan penyebab-penyebab munculnya golput. Selama ini penyebab munculnya golput adalah runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan para pemimpinnya, serta perilaku pejabat negara yang masih banyak melakukan tindak tidak terpuji. Pemerintah dan elit partai harus hati-hati, dan tidak melakukan tindak represif terhadap golput karena akibatnya justru dapat meningkatkan konstituen golput, sekaligus menjadikan golput sebagai patriotisme politik. Sebaliknya, pemerintah dan partai-partai politik harus meningkatkan kinerja, khususnya dalam mensejahterakan rakyat yang kini semakin menghadapi problem kehidupan yang kompleks, sulit dan berat. Adanya golput juga disebut sebagai indikator kegagalan pendidikan politik bagi rakyat. Pemerintah dan partai politik harus segera mengatur strategi yang tepat untuk melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Banyaknya mereka yang tidak ikut pemilu atau banyaknya suara yang tidak sah, juga disinyalir sebagai pertanda kurang cermatnya pelaksana pemilu, dan kurangnya sosialisasi. Dengan sosialisasi yang tapis menjangkau semua warga tentu akan mengurangi terjadinya kesalahan teknis, dan juga mengurangi golput. Karena kita tahu, tidak semua yang bersikap golput dilandasi oleh alasan yang rasional. ***
0 1 / V / 2 0 0 9 e d i s i
Mencermati Golput
tanya golput adalah gerakan sporadis yang tidak terorganisir, dan tidak mempunyai sasaran politik yang jelas. Karena itu golput tidak pernah punya validitas untuk disebut gerakan oposisi yang memberi daya dukung terhadap perkembangan demokrasi di negeri ini. Golput yang lebih bersifat individualis, dan terbentuk lebih banyak oleh sikap apriori dan pesimistis, bahkan seperti sikap membunuh ‘hak pilih’ dirinya; tidak memberi janji apapun bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, kecuali sikap protes yang ‘diam’ dalam ruang sanubari. Dengan demikian, bermanfaatkah kalau kita bersikap golput? Sebaiknya kita lebih rasional, dan juga berwawasan lebih luas. Mungkin pemilu memang tidak memberi keuntungan apapun untuk pribadi kita, tetapi akan berdampak bagi lingkungan sosial bangsa kita. Sikap golput tidak membuat perubahan, karena itu berikan suara anda. Satu suara anda, apapun warnanya, tentu akan menyempurnakan lautan aspirasi rakyat Indonesia.
>>
Kalau golput semakin banyak dalam pemilu 2009 nanti, tentu tidak akan berdampak pada jalannya pemerintahan, kecuali secara politis akan mengurangi legitimasi mereka yang terpilih. Bahkan kalau angka golput membengkak, bukan mustahil malah menghasilkan hal yang kontraproduktif bagi perkembangan demokrasi dan juga kemajuan bangsa dan negara. Begini logikanya. Kalau jumlah pemilih 100 orang; partai A meraih 40 suara (40%), partai B mendapat 15 suara (15%), dan partai C memperoleh 15 suara (15%), sedang yang tidak memilih (golput) berjumlah 30 orang (30%); maka hasilnya tidak ada parpol yang meraih suara mayoritas (lebih dari 50%). Tetapi karena ada 30 orang yang tidak ikut memilih, maka suara yang sah hanya 70 pemilih. Sehingga perhitungannya menjadi : partai A memperoleh 40 suara dari 70 pemilih, berarti mendapat 57,14% (mayoritas); partai B mendapat 15 suara dari 70 pemilih, atau 21,43%; dan partai C juga mendapat 15 suara atau 21,43%. Atau dengan kata lain, masing-masing partai memperoleh tambahan 'suara semu' karena adanya 30 orang yang golput. Bahkan partai A yang seharusnya tidak memperoleh suara mayoritas menjadi peraih suara mayoritas berkat adanya 30 orang golput. Keadaan ini tidak menjadi persoalan kalau partai A memang cukup baik; tetapi bagaimana kalau partai A banyak dihuni politisi ‘busuk’, para koruptor dan pecundang. Bukankah hal itu berarti golput secara tidak langsung ikut menyumbang suara bagi partai perusak bangsa? Jadi, alihalih bisa memperbaiki keadaan, kalau keadaan demikian ‘golongan putih (golput)’ justru dapat berbalik menjadi ‘golongan hitam’ yang kontraproduktif. Kalau golput membentuk partai sendiri atau “Partai Golput” yang resmi ikut pemilu; keadaannya akan lain. “Partai Golput” tidak akan menambah suara semu bagi kontestan lain, serta dapat menempatkan diri sebagai oposisi. Tetapi reali-
9
www.bipnewsroom.info
LINTAS DAERAH Sumatera Utara Alokasi PNPM Rp43,2 miliar Pemerintah Kota (Pemko) Medan mengalokasi-kan dana pendamping Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dalam APBD 2009 sejumlah Rp43,2 miliar. Kepala Subbidang Kesejahteraan Rakyat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Medan, Regen Harahap menjelaskan, jumlah ini merupakan akumulasi dana pendampingan dari APBD Kota Medan untuk PNPM 2007, 2008, dan 2009. “Kami upayakan ditampung semua tahun ini. Mudahmudahan bisa direalisasikan semua. Namun, untuk 2007-2008 (Rp17,9 miliar) harus dilaksanakan tahun ini,” ujarnya. (www.pemkomedan.go.id)
Lampung Pemungutan TPR Dihentikan Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu mengeluarkan Surat No 500/0126/04/2009 pada 19 Januari 2009 yang menginstruksikan agar bupati/walikota menghentikan pemungutan retribusi di sepanjang jalan nasional dan provinsi. Penghentian retribusi tersebut juga termasuk di tempat penimbangan kendaraan bermotor atau jembatan timbang. “Kebijakan ini merupakan hasil rapat koordinasi penertiban tempat pemungutan retribusi (TPR) pada 14 Januari 2009,” kata Kadis Kominfo Lampung Drs.Adeham, didampingi Kepala Bidang Humas Heriyansyah (gita) Jawa Barat Pemkot Bogor Terapkan E-Government Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, Jawa Barat (Jabar) menjalin kerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk menerapkan e-government. Kerjasama mencakup pemberian bantuan teknis dan pelatihan untuk karyawan Pemkot Bogor. Asisten Sosial Ekonomi (Sosek) Pemkot Bogor, Bambang Hermanto di Bogor, Jumat (16/1) mengharapkan bantuan tersebut dapat mendukung pengembangan e-government di Kota Bogor. (ysoel) Jawa Tengah Peningkatan Praktek Ketrampilan Usaha Pemerintah akan meningkatkan program Tempat Praktek Ketrampilam Usaha (TPKU) pada tahun 2009. Program TPKU sendiri dalam dua tahun terakhir mendapatkan anggaran Rp94 miliar. Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali mengatakan bahwa program TPKU tahun 2009 akan melayani 470 TPKU. Masing-masing TPKU akan memperoleh Rp200 juta. Hal ini disampaikan usai meresmikan Kantor Pusat Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BMT di sentra kerajian tembaga di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jateng, Selasa (20/1), Program tersebut, kata Suryadharma bertujuan untuk memberantas pengangguran, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatakan daya beli masyarakat. Pemerintah, tambahnya, saat ini tengah gencar membuat programprogram untuk pemberantasan pengangguran, katanya. (ysoel)
10
Kalimantan Timur Atasi Pengangguran Dengan Agribisnis Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek menyarankan perlu dilakukan pengembangan agribisnis untuk mengatasi pengangguran yang terjadi saat ini. “Dengan pembangunan perkebunan, kita bisa menyerap tenaga kerja yang banyak termasuk revitalisasi bidang perikanan,” ungkap Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dalam sidang paripurna DPRD Kalimantan Timur Di Samarinda, Kamis (8/1). Awang mengharapkan agar Bupati/Walikota dapat segera mencari solusi. Salah satu diantaranya dengan menggalakkan bidang agribisnis seperti yang dilakukan di Kutai Timur. Berbagai hasil dari sektor perkebunan memiliki potensi yang baik dalam meningkatkan perekonomian seperti kelapa sawit, karet, coklat dan berbagai macam komoditi lain. “Melalui solusi itu, saya mengundang investor untuk bersama menggalakkan revitalisasi pertanian dalam arti luas yang telah dirintis oleh Gubernur sebelumnya,” kata Awang. (gus)
LINTAS LEMBAGA Departemen Pekerjaan Umum 50% Anggaran Bina Marga 2009 Dialokasikan Untuk Jalan Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen PU pada 2009 berencana meneruskan pembangunan jalan di jalur ekonomi utama seluruh Indonesia di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi serta Papua, dengan alokasi anggaran Rp9,329 triliun atau 50% dari total anggaran Rp17 triliun. “Yang diprioritaskan antara lain jalan lintas timur (Jalintim) Sumatera, Pantura Jawa, Lintas Selatan Kalimantan, Lintas Barat Sulawesi dan 11 jalan strategis di Papua dan Papua Barat agar penyaluran produk-produk Indonesia lebih kompetitif dan terpasarkan,” ujar Dirjen Bina Marga, Hermanto Dardak, di Jakarta, Minggu (18/1). (Ut) Departemen Komunikasi dan Informatika Menkominfo Resmikan Contact Center Telkom dan Garuda Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo ) Muhammad Nuh, Kamis (15/1) petang di Jakarta meresmikan Kantor Layanan Contact Center Telkom dan Garuda. Menkominfo menyambut baik upaya yang dilakukan oleh Telkom dan Garuda dalam meningkatkan kualitas layanan informasi dengan para pelanggan mereka. Layanan Contact Center Terpadu ini yang secara nasional telah terintegrasi pada tiga titik layanan, yakni layanan pelanggan di wilayah Sumatera (Medan), Jakarta yang juga meliputi Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta Surabaya yang meliputi Jawa Timur, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. (De) Departemen Perdagangan Subsidi Migor Mulai Februari Menteri Perdagangan mengatakan penyaluran subsidi minyak goreng sebesar Rp1.000 per liter per rumah tangga sasaran (RTS) per bulan akan mulai dilaksanakan Februari 2009. "Kami harapkan Februari sudah bisa mulai subsidinya, minimal program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan menjual murah produknya sudah dimulai," kata Mari Elka Pangestu usai berbicara pada seminar "Food Industry Outlook 2009 Outlook and Opportunities" di Tangerang, Kamis (15/1). Pemberian subsidi minyak goreng bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menurunkan harga minyak goreng. Pemberian subsidi yang ditujukan pada 18,2 juta keluarga miskin itu akan dilakukan selama 10 bulan. (id) Badan Pemeriksa Keuangan Terapkan Teknologi Penginderaan Jauh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan menyempurnakan sistem pemeriksaan yang berkualitas dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (Inderaja/remote sensing). “Kerjasama ini dalam rangka meningkatkan mutu pemeriksaan pengelolaan sumber daya alam dan pemeriksaan berperspektif lingkungan,” kata Dharma Bhakti di sela acara kerjasama BPK dan LAPAN di Jakarta, Rabu (14/1). Anggota BPK Baharuddin Aritonang menambahkan, sistem tersebut sangat mendukung kualitas data yang dibutuhkan BPK, yaitu data mengenai lingkungan, kandungan mineral dan hal lain yang berbasis sumber daya alam. (Ve) BNP2TKI Targetkan Tahun 2009 Tahun Peningkatan TKI Formal Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mentargetkan tahun 2009 sebagai tahun peningkatan tenaga kerja Indonesia (TKI) formal. "Kita sudah sampaikan kepada jajaran BNP2TKI, baik di pusat maupun daerah dalam rakornis di Bandung akhir pekan lalu agar seluruh program penempatan TKI tahun 2009 diarahkan pada TKI sektor formal,” kata Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (19/1). (Az).
dari sabang sampai merauke
Paduan Potensi Perikanan dan Wisata Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah diarahkan untuk meningkatkan ketahanan Budaya melalui produk wisata yang mampu menerobos pangsa pasar pariwisata secara global. Upaya itu guna memulihkan citra pariwisata yang bertumpuh pada nilai seni budaya, moral dan agama. Hal itu terkait erat dengan pemulihan citra Sulawesi Tengah umumnya dan Kabupaten Poso khususnya yang didera konflik beberapa tahun yang silam. Saat ini kondisi Kabupaten Poso sangat kondusif, sehingga kegiatan Festival Danau Poso dapat digelar kembali Tahun 2007 dan 2008 semenjak vakum kurang lebih 10 tahun pada saat terjadinya konflik tahun 1998. Danau Poso berjarak 283 km arah selatan Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah. Tepatnya terletak di Kecamatan Pamona Utara dengan ibukota Tentena Kabupaten Poso. Jarak tempuh dari Palu ke Tentena kurang lebih 8 jam dengan kenderaan roda empat. Danau ini memiliki luas kurang lebih 32.000 Ha dengan panorama alam yang indah, serta udaranya yang sejuk. Hamparan pasir putih lereng-lereng perbukitan serta hutan di sekitarnya akan menambah keindahan danau ini yang berada pada ketinggian 657 m di atas permukaan laut. Danau Poso memiliki keunikan airnya yang konstan sangat jernih dan tidak pernah keruh walaupun terjadi banjir pada anak sungainya. Yang lebih menarik Danau Poso memiliki spesies jenis Ikan Sidat yang memiliki kandungan protein tinggi. Gubernur Sulawesi Tengah May. Jen(Purn) HB Paliudju berharap masyarakat di sekitar Danau Poso bisa menjaga kelestarian spesien ikan sidak, sehingga dapat menambah penghasilan para nelayan. (Supardi.Palu)
Jangan Sampai Bangkrut Seorang teman saya yang bermukim di kota Manado pernah berkelakar, kalau ke Manado belum berkesan jika tidak merasakan 5 B. Penasaran saya bertanya apa itu 5B? Dia menjawab, (1) Boulevard , daerah pinggir Kota Manado yang terkenal dengan keindahan pantai, (2) Bunaken, taman laut nasional yang indah, sekitar 1 jam perjalanan laut dengan menggunakan perahu sewa, (3) Bubur Manado, sejenis makanan khas Manado yang terdiri dari bubur dengan sayuran segar dan biasa disantap dengan dabu-dabu baka-sang dan ikan cakalang atau ikan nike, (4) Bibir Manado, soalnya orang Manado dikenal suka bacirita (bercerita dengan materi yang tidak habis-habisnya, dan yang terakhir (5) adalah Bangkrut. "Hah, bangkrut, maksudnya?” tanyaku. Temanku menerangkan sambil setengah tertawa, bangkrut hanya istilah setempat yang artinya kita tidak akan merasakan mengeluarkan banyak uang untuk makan, belanja dan jalan-jalan. Awalnya saya tidak percaya dengan hal yang ke-5 itu, tapi lama-lama tinggal di Manado, baru terasa sendiri. Benar juga kata temanku ini. Visi Kota Wisata Menjadikan Manado sebagai kota tujuan pariwisata memang sudah menjadi obsesi pemerintah . Tahun 2005, baru beberapa bulan menjabat sebagai Walikota Manado, Jimmy Rimba Rogi dan Wakil Walikota A. Buchari langsung mencanangkan ‘Manado Kota Pariwisata Dunia (MKPD) 2010’. "Tujuannya untuk meningkatkan potensi pariwisata di kota Manado sehingga diperhitungkan sebagai tujuan wisata dunia," jelas Jimmy suatu ketika. Memang Manado memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Wilayah ini memiliki keindahan wisata alam
Bunaken
Manfaat Apakah keberadaan anda bermanfaat bagi orang lain? Untuk menjawab pertanyaan ini, kawan saya punya tips unik: Cobalah mengasingkan diri secara diamdiam dari komunitas yang biasa anda gauli selama beberapa menit, beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, atau bahkan jika mungkin beberapa tahun. Jika tidak ada yang mencari, menanyakan, atau melaporkan kehilangan anda, anda patut mencurigai diri sendiri bahwa anda sejatinya tidak bermanfaat. Makin cepat dan makin banyak orang menanyakan keberadaan anda, adalah indikator bahwa diri anda semakin bermanfaat. Sebaliknya, makin lambat dan makin sedikit orang mencari anda, makin kecil pula manfaat diri anda bagi orang-orang di sekitar anda. Fungsi anda, jika memang anda memiliki fungsi, akan membuat orang-orang dalam komunitas merasa kehilangan saat anda tidak ada. Bukan tak mungkin, ketiadaan anda menyebabkan beberapa aktivitas dalam komunitas terganggu, atau bahkan mungkin terhenti. Itulah yang membuat orang-orang menanyakan dan men-cari, karena mereka membutuhkan anda. Kunci semua itu sebenarnya terletak pada apa yang anda kerjakan sehari-hari di tengah komunitas. Bukan kuantitas pekerjaan, namun kualitasnya—manfaat apa yang dapat anda sumbangkan kepada orang lain dari kesibukan itu. Banyak orang kelihatan sangat sibuk me-
Akses Mudah Kota Tinutuan, nama lain kota Manado juga memiliki bandara udara internasional yang terhubung langsung dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Ada pula penerbangan langsung dari dan ke luar negeri yang kin mencakup rute Singapura dan Davao, Philipina. Bandara ini juga termasuk kategori terbaik ke-tiga di Indonesia setelah Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Hang Nadim, Batam. Alat transportasi laut juga bisa dikatakan lengkap. Kapal-kapal kecil berlabuh di Dermaga Manado sedangkan kapal PELNI, bersandar di pelabuhan Bitung, sekitar 40 km sebelah barat Manado. Untuk transportasi darat antar kota dan dalam kota juga lancar. Sehingga sangat memudahkan bagi siapaun yang berkunjung ke Manado untuk bepergian. Terakhir, hal penting yang dimiliki Manado adalah aman dan tenang. Tingkat kriminalitas di kota ini relatif rendah. Anak jalanan dan pengemis hampir tidak ada. Jika modal ini sudah dimiliki tentu siapa saja akan betah dan selalu rindu untuk kembali ke kota ini. Satu hal lagi ada ciri penarik lain yaitu masyarakat kota Manado (Minahasa) yang sangat terbuka dan mudah bergaul. Perlu Dukungan Namun modal tadi tidak berarti apa-apa jika tidak didukung oleh berbagai upaya pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencapai MKPD 2010. Apa saja yang sudah dan sedang dilakukan? Gubernur SH Sarundajang mempertegas kembali bahwa sektor pariwisata merupakan unggulan Sulawesi Utara selain sektor perikanan, pertanian, pengembangan SDM dan perdagangan internasional. Oleh karena itu distribusi dana pengembangan sektor pariwisata mulai tahun 2006 mencapai Rp10 miliar lebih. Pemprov juga menyiapkan rencana induk pariwisata. Dalam kurun empat tahun terakhir, pembangunan
ngerjakan tugas yang bertumpuk-tumpuk, namun sesungguhnya ia doing nothing—tak berbuat apa-apa, karena apa yang ia kerjakan ti-dak memberikan kontribusi apapun terhadap kehidupan komunitas. Selama ini, kebermanfaatan seseorang cenderung diukur secara sepihak oleh orang bersangkutan, bukan ditanyakan kepada beneficiaries atau penerima manfaat. Banyak orang berfikir, jika sudah mengerjakan banyak hal, maka pastilah dirinya tergolong sebagai orang yang bermanfaat. Padahal tak selamanya kuantitas pekerjaan paralel dengan kualitas manfaat pekerjaan itu bagi orang banyak. Kebanyakan orang, apalagi yang punya jabatan, punya "penyakit" suka mentahbiskan dirinya sendiri sebagai orang yang paling bermanfaat di dunia. Banyaknya pekerjaan yang dapat ia delegasikan kepada orang lain membuatnya yakin, bahwa ia telah menggerakkan banyak orang untuk menyumbangkan kebermanfaatannya. Dan orang yang menggerakkan tentulah lebih "bermanfaat" ketimbang yang digerakkan. Ia lupa pada satu hal: tak seluruh pekerjaan yang ia delegasikan berorientasi pada manfaat. Sering pekerjaan dilakukan sekadar untuk memenuhi target yang telah ditetapkan organisasi, yang kadang kala sama sekali tidak bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak. Tak bisa dipungkiri, penilaian kebermanfaatan seseorang tak bisa dilakukan sepihak, akan tetapi harus dikonfirmasikan dengan pendapat orang lain. Orang tak bisa melihat seberapa benjol tengkuk sendiri, orang lainlah yang tahu tentang hal itu. Masalahnya adalah, tak banyak orang yang menganggap bahwa kebermanfaatan adalah sesuatu yang penting untuk ditanyakan kepada orang lain. Pernahkah, misalnya, orang melakukan survei
pusat perbelanjaan dan hiburan di Kota Manado. Ada empat pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jalan Piere Tendean atau Boulevard. Para investor juga memanfaatkan moment MKDP 2010 ini dengan membangun sejumlah hotel. Dan dua tahun terakhir ini pembangunan hotel dan penginapan terbilang meningkat. Tidak sebatas hotel saja, program pembangunan beberapa infrastruktur seperti land-mark, jembatan, pelebaran jalan sudah dan sedang dalam proses. Pembangunan infrastruktur ini juga diikuti dengan langkah kongkrit pemerintah daerah dengan program Jumpa Berlian (Jumat Pagi Bersih Lingkungan Anda). Program ini wajib diikuti oleh masyarakat kota Manado untuk membersihkan lingkugan sekitar tempat tinggal mereka setiap hari Jumat. Alhasil kota Manado meraih Piala Adipura tahun 2007 untuk kategori Kota Sedang Terbersih setelah sekitar 15 tahun kota ini termasuk terkotor dan semrawut. Selama 2 tahun terakhir ini juga pemerintah kota melakukan gebrakan merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) liar yang berjualan di sejumlah tempat strategis. Meski mendapat perlawanan dari para PKL, namun akhirnya mereka dapat dipindahkan. Semua itu sebagai poin penting untuk masuk ke MKPD 2010. Pembenahan aspek budaya juga dilakukan antara lain dengan menggairahkan kembali seni budaya Kota Manado. Menurut Walikota Manado, Jimmy Rimba Rogi, pariwisata tanpa ditopang seni dan budaya akan hambar rasanya. Karena itu berbagai pelaksanaan festival dan pelatihan seni budaya sangat didukung oleh pemerintah kota. Mungkin masih banyak lagi hal-hal yang sedang diupayakan oleh pemerintah daerah dalam rangka perwujudan MKPD 2010. Untuk mencapai ikon kota pariwisata dunia, bukan suatu hal yang gampang. Meski infrastruktur telah siap namun masyarakatnya sendiri belum siap, apalah artinya semuanya. Dukungan masyarakat Manado juga sama pentingnya dengan dukungan pemerintah daerah. Pola pikir masyarakat perlu mulai bergeser yaitu sebagai masyarakat yang maju dan berkembang seperti di kotakota wisata lainnya. Tidak cukup hanya merasa bangga memiliki identitas sebagai masyarakat Manado, namun juga harus memiliki tanggung jawab dalam membangun Manado, sehingga tercipta citra baik yang pada akhirnya dapat mewujudkan potensi dan impian. Sehingga bukan sesuatu yang mustahil kota Manado bisa menjadi kota pariwisata dunia tahun 2010 mendatang. Selamat Datang MKPD 2010 ! Ingat 5 B: Boulevard, Bunaken, Bubur Manado, Bibir Manado, dan Bangkrut, tapi jangan sampai bangkrut beneran!
0 1 / V / 2 0 0 9
yang sangat luar biasa. Sebut saja Bunaken. Pengunjung bisa melakukan selam scuba dan snorkeling untuk menikmati taman laut yang terkenal dengan terumbu karangnya. Tempat lain yang menarik dikunjungi adalah Boulevard (tepi pantai), Pulau Manado Tua, Danau Tondano, Panorama Gunung Lokon, Gunung Klabat, Gunung Mahawu, Bukit Kasih di Kawang-koan, Vulcano Area di Tomohon, desa Agriwisata Ruru-kan, Batu Pina Betengan dan Waruga di Sawangan. Sementara di pusat kota Manado memiliki objek dan daya tarik seperti di lapangan Tikala dengan pohon natalnya yang tinggi dan besar, Tugu Kota Tinutuan, Gedung Tua bersejarah (Minahasaraad), Gereja tua Sentrum dan Katedral, Klenteng Ban Hin Kiong (dibangun abad ke 19), atau Kampung-Kampung Tua. Modal lain yang dimiliki daerah adalah kekayaanseni dan budaya. Ada Tari Maengket, Pisok, Musik Bambu, Kolintang, Budaya Masamper, Ampawayer, Katrili, Kabasaran, Cakalele, atau Mahzani . Cenderamata mulai dari kain tenunan Bentenan sampai kue-kue tradisional Bagea, Kukis Kelapa, Cucur, Panada, Koyabu, Brudel, Lalampa, Nasi Jaha’, Nasi Kuning, Klapetar, Gohu, Cakalang Fufu, dan Ikan Roa, juga menjadi ciri khas yang biasa dijadikan oleh-oleh jika berkunjung ke kota ini.
e d i s i
N
yiur hijau, di tepi pantai, siar siur daunnya melambai…”, sepenggal bait lagu lama ini mungkin cocok dengan suasana daratan Sulawesi Utara. Bagi mereka yang sudah pernah berkunjung ke Kota Manado pasti tak lupa dengan pemandangan dari pesawat udara. Hamparan ribuan pohon kelapa yang tumbuh di sekitar kota pasti terlihat, beberapa saat ketika pesawat akan mendarat di Bandara Sam Ratulangi. Sungguh, pertama kali melihat pemandangan itu, saya pun takjub dibuatnya. Tidak heran, kalau Sulawesi Utara dikenal dengan sebutan ‘Bumi Nyiur Belambai’.
Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010
Christiany Juditha Staf Publikasi BPPI Wilayah VIII Manado
sederhana untuk mengukur sejauh mana manfaat diri mereka sendiri terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya? Pernahkah membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua orang untuk ikut melakukan penilaian secara jujur dan terbuka terhadap apa yang telah ia kerjakan di komunitas, sehingga bisa tahu pasti apa makna keberadaannya bagi orang banyak? Jarang yang mau repot-repot melakukan demikian. Toh siapapun tak akan pernah berharap, kehidupannya seperti kucing liar: ada namun tak berguna, bahkan cenderung menimbulkan masalah. Semua orang ingin bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, jangan sampai keberadaan kita seperti pepatah "ada tak genap, tidak ada tak ganjil". Jangan pula seperti ketimun bungkuk, yang baru ikut dimasukkan ke dalam baskom dacin manakala berat timbangan kurang. Semua berpulang pada pertanyaan: apakah yang anda kerjakan sehari-hari bermanfaat bagi banyak orang? Jika tidak, jangan harap ada orang mencari atau menanyakan keberadaan anda, meskipun anda pergi meninggalkan komunitas berpuluh-puluh tahun lamanya. Dan jika itu terjadi, maka sesungguhnya anda telah mati dalam hidup! (gun).
11
"Putera-puteri kita adalah investasi utama yang tak ternilai. Oleh karena itu, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang terus mencoba segala upaya dalam mengoptimalkan seluruh konsep pendidikan mutakhir, demi menghasilkan anak-anak yang saleh, muslimah sejati, generasi qurani, yang mampu memberi perubahan pada dunia, dan dapat kita andalkan pada hari akhir..."
Kami bertekad, lulusan lembaga jika tidak jadi presiden mereka bisa menjadi istri presiden yang juga menentukan kebijakan presiden...
masih sangat muda, yaitu 23 tahun.
Dalam tutur kata yang tenang tapi tegas, Fauziah Fauzan El M, S.E., Akt, M.Si. (33), menutup paparan di hadapan sejumlah pe-jabat pemerintah pusat yang berkunjung di Perguruan Diniyyah Puteri, Padang Panjang, Sumatera Barat.
"Gudang" Calon Pemimpin Masa Depan Jika kita melihat dari depan, kompleks perguruan Diniyah Puteri lebih terlihat seperti pondok pesantren yang ada di beberapa kawasan Pulau Jawa. Akan tetapi jika masuk ke dalam dan melihat aktivitas para siswa tentu akan sangat berbeda. Di perguruan ini sudah dikembangkan pola pengajaran Islam berbasis teknologi secara berkesinambungan. Tak berlebihan jika pengunjung akan menemukan laboratorium komputer, fasilitas pelatihan manajemen dan sejenisnya. Ada yang disebut sebagai DTC (Diniyyah Traning Center), DITC (Diniyyah Information Technology Center ). Bahkan ada divisi penelitian DRC (Diniyyah Reseach Center). Ketiga divisi itu merupakan divisi otonom di Diniyyah Puteri. "Yang terpenting adalah merancang, mengembangkan dan memberikan pengajaran Islam sebagai solusi kehidupan dalam bentuk
Fauziah Fauzan adalah pemimpin kelima di Perguruan Diniyyah Puteri. Ia juga cicit tokoh pergerakan Islam Sumatera Barat, Rahmah El Yunusiyyah. Yang terakhir disebut adalah pendiri Diniyah Putri, sebuah lembaga pen-didikan lanjutan untuk perempuan yang telah dirintis sejak tahun 1923 di sebuah su-dut Kota Serambi Mekah, Padang Panjang. "Dibandingkan dengan usia Rahmah El Yunusiyyah yang merintis Diniyyah Puteri di usia 23 tahun, saya masih kalah. Sekarang saya sudah berusia 33 tahun," kata Fauziah Fauzan merendah. Sebelum Fauziah, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang dipimpin oleh Dra. Zikra, M.Pd., Kons. (1998-September 2006), H. Husainah Nurdin (1990-1996), dan H. Isnaniyah Saleh (1969-1990). Rahmah El Yunusiyyah sendiri memimpin Perguruan Diniyyah Putri sejak tahun 1923 hingga tahun 1969. Ketika merintis Diniyyah Puteri, usia Rahmah El Yunusiyyah terbilang
kajian praktis dalam rangka pengabdian kepada masyarakat," jelas Fauziah. Lebih lanjut alumnus Universitas Indonesia itu menyatakan lulusan-lulusan alumni Diniyyah Puteri hingga saat ini telah berjumlah 19.000 lebih dan tersebar di seluruh Indonesia bahkan beberapa penjuru dunia. Sebagian besar mereka menjadi istri pejabat dan orang-orang penting yang dapat mengambil kebijakan. "Kami bertekad, lulusan Diniyyah Puteri, jika tidak jadi presiden mereka bisa menjadi istri presiden yang juga menentukan kebijakan presiden," kelakar Fauziah. Saat ini, Diniyyah Puteri telah memiliki Taman Kanak-kanak Islam Rahmah El Yunusiyyah. Kelas pertama dimulai tahun 1982. Kini memiliki 170 murid dengan 10 lokal serta 16 staf pengajar. Selain itu, ada Madrasah Ibtidaiyyah Rahmah El Yunusiyyah yang berdiri tahun 1995. Kini terdapat lebih dari 353 murid dengan 23 staf pengajar yang kegiatannya berlangsung di 13 lokal kelas.
Alkisah, di masa konfrontasi dengan Malaysia. Gubernur pertama Sumatera Barat, Prof. Harun Zain berkunjung ke Malaysia untuk diplomasi perdana. Hampir semua yang menyam-but di bandara menanyakan kabar bagaimana keadaan Encik Rahmah. Kontan sang gubernur penasaran dengan nama yang begitu popular di Malaysia. Begitu kembali ke Sumatra Barat, sang Gubernur penasaran dengan Encik Rahmah. Tak berapa lama ia menemukan, bahwa Encik Rahmah yang maksud orang di negeri jiran adalah perempuan pendidik dengan murid yang bertebaran lintas negara.
Keras Hati, Teguh Pendirian Adalah Rahmah El-Yunusiah. Pendiri Diniyah Putri Padang Panjang. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, lahir dari pasangan Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafi ah di Bukit Surungan, Padang Panjang. Sejak kecil ia hanya mendapat pendidikan formal sekolah dasar 3 tahun di kota kelahirannya. Kemampuannya baca tulis Arab dan Latin diperoleh melalui sekolah Diniyah School (1915) dan bimbingan kedua abangnya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid. Sore hari ia mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayahanda Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) di surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Tamat dari Diniyah School, ia mengaji pada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Daud Rasyidi. Sambil mengajar di Diniyah School Putri, ia mengikuti kursus kebidanan di Rumah Sakit Kayu Taman dengan bimbingan Kudi Urai dan Sutan Syahrir, kemudian mendapat izin praktik (19311935). Rahmah dikenal keras hati, teguh pendirian, dan kuat kemauan. Kegigihannya ini pula yang mendorong ia mendirikan sekolah khusus kaum perempuan, "Agar kaum wanita tidak pasrah pada keadaan dan bangkit memperoleh keseteraan dengan kaum laki-laki," cetusnya ketika berupaya memupus kegelisahan dengan karya nyata.
Madrasah Tsanawiyah adalah segmen pendidikan yang paling tua. Berdiri tahun 1923 saat ini diikuti oleh 455 siswi dengan 42 staf pengajar dan didukung 13 lokal kelas. Sementara Madrasah AliyahKulliyatul Muallimat El Islamiyyah berdiri tahun 1937. Saat ini memiliki 255 siswi dengan 44 staf pengajar dan 11 lokal). Diniyyah Puteri juga memiliki Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Rahmah El Yunusiyyah sejak tahun 1992 dengan Program S1 dan D2 untuk jurusan PGTKI/PGSDI. Visi Reengineering Melewati usianya yang ke 85 tahun, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, semakin mantap menjejak langkah untuk mendidik anak negeri. Ada yang disebut sebagai Re-enginering Program 2003-2008 dan 20082013 . Penataan itu mencakup pembenahan manajemen, peningkatan kualitas SDM guru/karyawan, pembenahan sarana pra sarana, pembenahan kurikulum dan proses belajar mengajar, serta pembentukan divisi otonom untuk menunjang Diniyyah Puteri menjadi lembaga pendidikan Islam yang mandiri. "Dengan adanya penataan itu, kami mengharapkan Diniyyah Puteri ini menjadi pusat pendidikan Islam termodern dan berkualitas yang mengkombinasikan Al Quran, Hadist, dan ilmu pengetahuan modern terkini dalam rangka mencetak generasi Islam yang unggul," kata Fauziah. Jadi Trend Setter Menteri Agama RI melalui staf ahli hubungan antar lembaga Departemen Agama Nurhayati Djanas, memberikan salute (ungkapan rasa hormat) terhadap prestasi luar biasa Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang dalam memajukan pendidikan Islam di Kota Padangpanjang. "Wajar bila pimpinan Diniyah Putri sekarang berbeda dengan pimpinan yang sebelumnya, dengan mimpi-mimpinya yang harus direalisasikan dalam langkah-langkah konkret, Menteri Agma melalui Depag memberikan dukungan terhadap Diniyah Putri dengan mengembangkan sistem pendidikan Islam yang modern," kata Nurhayati Djanas pada puncak peringatan Milad/HUT ke-85 perguruan, Sabtu (1/ 11) di perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Lebih lanjut Menteri Agama berharap Perguruan Diniyah Putri Padangpanjang bisa jadi trandseter (kiblat) pendidikan Islam di negara ini. (m/berbagai sumber)
Tak Hanya Belajar Dengan konsep sekolah khusus wanita, Rahmah tidak saja mengajari cara belajar, membaca atau menulis. Lebih dari itu, pendidikan yang digagasnya juga memberikan pelajaran bahasa Belanda, gymnastik, menenun, menyulam, menjahit serta kebidanan. Pelajaran retorika atau berpidato di atas mimbar juga tak lupa diajarkan. Lantaran kurikulum yang beda dengan kelaziman Diniyyah Puteri sempat digelari "tempat ayam betina diajarkan berkokok". Kendati sekolahnya dicemooh sebagai "sekolah menyesal", Rahmah tak patah arang. Tanpa malu, muslimah yang lahir tanggal 1 Radjab 1218 atau 29 Desember 1900 ini pernah mencoba berjualan makanan ringan demi membiayai pembangunan sekolah yang dirintisnya. Dengan tekad yang kuat, ia menyambangi Aceh, Semenanjung Malaya, untuk mencari murid sekaligus donatur demi merealisasikan obsesi besarnya. Lewat lawatan itu, ia memiliki banyak kenalan, termasuk Sultan Syarief Kasim dari Siak Indrapura, yang meminta tamatan Diniyyah Puteri turut pula mengajar di sekolahnya. Tak heran jika sejak 1923 hingga 1960-an tercatat ratusan remaja puteri Malaysia dan Singapura menuntut ilmu di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang. Nasionalisme Aktual Nyali nasionalismenya pun tak diragukan. Ketika proklamasi berkumandang di Jakarta, sehari setelah itu, ia adalah orang pertama yang mengibarkan bendera kemerdekaan di Padang Panjang dan diikuti seluruh masyarakat Kota Serambi Mekah. Ketika kaum komunis memerahkan lapangan Bancah Laweh, Rahmah pun dengan berani, sehari kemudian, memutihkan kota Padang Panjang untuk mengonter manu-ver kelompok komunis. Rahma juga dikenal sebagai inisiator pendiri Batalion Tentara yang bernama Batalion I Merapi di Sumatra pada 1 Januari 1946. Dengan Anas Karim sebagai komandannya dan menginduk ke Divisi III Banteng yang dipimpin Kolonel Dahlan Djambek. Perguruan Diniyyah Puteri, saat itu menjadi dapur umum bagi tentara yang dibi-nanya. Rahmah pun aktif memberikan petunjuk, arahan dan motivasi bagi pemuda untuk ikut berperang. Sampai ia ditangkap dan dijadikan sebagai tahanan rumah oleh komandan tentara Belanda Padang Panjang, lantaran kiprahnya di belakang layar. Buya Hamka dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau sempat menyinggung kiprah Rahmah el Yunusiyyah dan kakaknya Zainuddin Labay sukes melakukan gerakan pembaharuan kemajuan pendidikan di Minangkabau. Rahmah dengan konsep boarding school wanita berbasis keterampilan, Zainuddin Labay perintis sistem belajar klasikal dan penulis produktif dan sukses menerbitkan sejumlah buku agama dalam Bahasa Arab dan Arab Melayu di Padang Panjang di tahun 1929. (m/berbagai sumber)