PERS MAHASISWA MELAWAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
PERS MAHASISWA MELAWAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Wisnu Prasetya Utomo
Indie Book Corner
Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan Copyright© Wisnu Prasetya Utomo Cetakan pertama, Maret 2013 Penyunting: Aghnea Adzkia Tata Letak: Anne Shakka Desain Sampul: Syauqi Fathullah Diterbitkan oleh Indie Book Corner Perum Buana Asri Village D-4 Jl. Griya Taman Asri Pendowoharjo, Sleman, Jogjakarta www.bukuindie.com facebook.com/inibukuku @IndieBookCorner
[email protected] 0274-9207841
Untuk ibuk, ibuk, ibuk, bapak...
Pengantar Merumuskan Peran Baru Pers Mahasiswa Oleh : Amir Effendi Siregar *
Buku ini melihat bagaimana strategi pers mahasiswa dalam memberitakan wacana komersialisasi pendidikan. Isu ini sendiri mendapatkan perhatian dari pers umum dan pers mahasiswa. Perhatian yang begitu luas menunjukkan bahwa komersialisasi pendidikan tidak hanya merupakan isu kampus melainkan juga isu nasional. Meskipun demikian, pers mahasiswa menunjukkan keberpihakan yang tegas. Pers mahasiswa memosisikan diri anti komersialisasi pendidikan. Diskursus komersialisasi pendidikan memunculkan perdebatan dan ketegangan berdasarkan perspektif ideologi neoliberal dan sosial demokrat. Mereka yang mengusung ide-ide neoliberalliberalisme ortodoksmenganggap bahwa campur tangan negara dalam dunia pendidikan tinggi mesti dihilangkan. Konsekuensinya, biaya kuliah begitu mahal dan ditanggung oleh masyarakat. Sementara di sisi yang berhadapan adalah mereka yang menganut gagasan sosial demokrat. Komersialisasi pendidikan dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap demokratisasi seperti diamanatkan dalam konstitusi Indonesia yaitu UU Dasar 45. Para penganut gagasan ini meyakini konsep social market economy. Dalam sistem vii
ekonomi pasar harus ada fungsi dan peran sosialnya. Contoh paling tepat untuk hal ini adalah negara Skandinavia yang secara tepat mempraktikkan social market economy. Di negara-negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia, pendidikan itu gratis. Akses masyarakat terhadap pendidikan dibuka seluas-luasnya. Bahkan di Amerika Serikat yang sering dianggap paling liberal, pemerintah mengusahakan warganya bisa mengakses pendidikan tinggi terutama di state university. Dengan kata lain, komersialisasi lebih banyak terjadi di private university. Perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan tersebut muncul ketika pers mahasiswa masih dilanda kegamangan sebagai konsekuensi dibukanya keran demokrasi pada 1998. Perubahan sistem politik secara drastis memaksa pers mahasiswa menyesuaikan diri. Dalam sistem otoritarian yang ditandai dengan pembungkaman terhadap pers umum, pers mahasiswa menjadi alternatif. Beritaberitanya dibaca oleh banyak orang. Namun, dalam sistem demokrasi, pers mahasiswa merasakan kondisi yang serba sulit. Di satu sisi, pers mahasiswa harus bersaing ketat dengan pers umum jika ingin memberitakan isu-isu nasional. Jaminan kebebasan pers membuat pers umum menjadi lebih berani dalam memberitakan berbagai isu. Di sisi lain, jika hanya mengangkat berita-berita seputar kampus sama artinya dengan mengingkari idealisme kemahasiswaan. Dilema tersebut muncul karena di negara berkembang seperti Indonesia, mahasiswa memang dituntut sumbangan pemikirannya terhadap problem sosial ekonomi politik kemasyarakatan sejak ia masih duduk di bangku kuliah. Secara naluriah mahasiswa akan terus mempertanyakan apabila kondisi negeri tidak sesuai dengan harapan ideal seperti yang ia pelajari di kelas. Maka, pers mahasiswa yang dikelola oleh para mahasiswa juga secara otomatis akan terdorong untuk menyajikan informasi yang berkaitan viii
dengan problem kebangsaan. Ia terikat komitmen untuk ikut menuntaskan berbagai permasalahan tersebut. Pada titik ini, pers mahasiswa harus merumuskan kembali peran dan posisi agar tetap bisa menunjukkan eksistensinya. Di negara maju, pers mahasiswa secara jelas berorientasi pada komunitasnya sendiri yaitu civitas academica. Ia menjadi satu community news paper. Sebabnya, nyaris tidak ada celah bagi pers mahasiswa untuk menulis berita-berita nasional. Penetrasi pers umum begitu kuat dengan variasi yang luar biasa banyak. Sebagai contoh di Amerika Serikat. Oplah media cetak sekitar empat ratus juta eksemplar dan jumlah stasiun televisi sebanyak 1750 dengan jumlah penduduk sekitar 300 juta. Penetrasi internet pun mencapai angka 70-80%. Kondisi ini membuat pers mahasiswa tidak memiliki celah untuk ikut mengangkat isu nasional. Bila dibandingkan dengan Indonesia, kondisinya berbeda jauh. Oplah media cetak sebesar dua puluh juta dan 300 stasiun televisi untuk dua ratus juta penduduk. Sementara penetrasi internet hanya berkisar di angka 20%. Celah ini yang bisa digunakan pers mahasiswa untuk tetap menunjukkan eksistensinya. Konteks tersebut berguna untuk memahami problem yang melanda pers mahasiswa. Peranan ganda dalam mengangkat isu nasional sekaligus isu lokal tetap harus diambil. Namun pendekatan dalam peran ganda tersebut mesti diubah. Pers mahasiswa tidak perlu takut mengangkat isu-isu nasional seperti korupsi, partai politik, maupun persoalan kebangsaan lainnya. Catatannya, berita-berita yang ditampilkan tidak boleh dangkal atau hanya bersifat permukaan. Informasi yang dimunculkan mesti based on research dan mengandung bobot akademis yang tinggi. Model penulisannya menggunakan indepth reporting dan atau interpretative reporting yang kaya data atau yang lebih dikenal sebagai jurnalisme presisi. Dengan demikian ia bisa dijadikan referensi oleh pers umum dan ix
terutama masyarakat luas. Penulisan berita yang kaya data memang merupakan tuntutan pers mahasiswa saat ini. Ini jauh bertolak belakang dengan kondisi di zaman sayaera Orde Baruketika pers mahasiswa ketika itu seringkali bersifat partisan dan menjadi pers pamflet. Kondisi di tengah otoritarianisme memang membuat mahasiswa, mau tidak mau, memosisikan diri menolak negara yang dianggap sebagai musuh bersama. Sifat partisan yang agitatif dan provokatif adalah salah satu ciri dan cara untuk melawan musuh bersama tersebut. Satu situasi yang sudah tidak terlalu relevan jika diterapkan pada zaman sekarang. Dalam sistem demokratis, informasi yang ditampilkan mesti menampilkan sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Penerapan prinsip-prinsip jurnalistik yang ketat menjadi pegangan dalam menyajikan informasi tersebut. Ketika sudah memutuskan bergerak di dunia pers, pers mahasiswa mesti concern terhadap prinsip-prinsip jurnalistik. Berita yang ditampilkan harus bisa diverifikasi kebenarannya. Kecuali pers mahasiswa mau mengaku dirinya sebagai pers pamflet atau media propaganda. Dilema amatirisme dan profesionalisme yang merupakan persoalan klise pers mahasiswa tidak akan pernah berakhir. Profesionalisme menuntut keterampilan dalam mengelola organisasi dari mulai rutinitas periode terbit sampai pembiayaan penerbitan. Namun karena pengelolanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang dibatasi waktu aktif kuliah di kampus, sifat amatirisme menjadi tak terhindarkan. Dilema tersebut juga merupakan konsekuensi dari peran ganda pers mahasiswa. Hal tersebut bisa menjadi kekurangan sekaligus juga kelebihan. Geraknya yang bebas membuat pers mahasiswa bisa memberitakan berbagai berita tanpa takut diberedel, nothing to lose. x
Gerak bebas inilah yang semestinya bisa dimanfaatkan. Apalagi perkembangan teknologi internet membuat pers mahasiswa memiliki banyak pilihan untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dengan mengabaikan keterbatasan dana. Jaringan organisasi pers mahasiswa di tingkat nasional juga tidak bisa dipinggirkan. Sebagai sebuah networking, organisasi di tingkat nasional dibutuhkan sebagai ajang tukar pikiran sesama pers mahasiswa. Misalnya saja sharing tentang pengelolaan organisasi maupun penerbitan majalah. Bahkan dalam isu tertentu misalnya, pers mahasiswa bisa melakukan join research. Bahkan juga bisa membentuk pusat informasi pers mahasiswa Indonesia. Dengan lingkup wilayah yang luas, kerjasama ini bisa membuat pers mahasiswa mengimbangi dan menjadi alternatif pers umum. Tentang bagaimana bentuk organisasi tersebut apakah organisasi tertutup atau hanya forum komunikasi bisa diketahui setelah ada perumusan ulang problem mendasar pers mahasiswa. Sebabnya, ketiadaan pembacaan posisi membuat pers mahasiswa bersikap reaktif. Membuat sebuah organisasi tapi tidak tahu apa yang akan dilakukan karena tidak tahu apa yang sedang dihadapi. Sampai di sini, kehadiran buku ini menjadi penting di tengah minimnya literatur tentang pers mahasiswa. Studi ini melengkapi kajian Amir Effendi Siregar (1983), Francois Raillon (1985), Ana Nadhya Abrar (1992), Didik Supriyanto (1998), serta Satrio Arismunandar (2005). Selain melengkapi literatur tentang pers mahasiswa, buku ini juga membantu para pegiat pers mahasiswa untuk melihat gejala atau problem yang selama ini melanda. Dengan pembacaan atas gejala, ia berguna untuk melihat posisi dan peran pers mahasiswa Indonesia. Pada tahap selanjutnya, pers mahasiswa bisa menjawab tantangan barunya dalam hidup di alam demokrasi Indonesia yang xi
masih bersifat prosedural, belum substansial. Selamat membaca dan saya percaya sangat bermanfaat. *Amir Effendi Siregar adalah Ketua Umum Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Cabang Yogyakarta dan Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat IPMI pada tahun 1970-an. Anggota Dewan Pers tahun 2003-2006. Sekarang adalah Ketua Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat dan Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)
xii
Pengantar Pers Mahasiswa dan Naluri Perlawanan Oleh : Eko Prasetyo*
Hidup tak hanya senyum, kembang dan kelam Tapi juga Keringat air mata dan laut (Zawawi Imron: Hidup tak Hanya) Duduk meriung dalam diskusi. Ada teh, pisang goreng dan kacang. Raut wajah mereka masih sama: ingin tahu, sinis dan mendebat. Sesekali muncul pendapat dengan kutipan para ahli atau komentar konyol para pelawak. Suasana informal dan segar selalu saja datang ketika saya menemui mereka. Aktivis pers mahasiswa yang selalu punya ambisi gila; membongkar tiap persoalan dengan tujuan heboh. Menciptakan sebuah negeri yang bebas kezaliman. Sebuah niat yang mirip dengan isi semua kitab suci: membuat dunia yang bersih dari kejahatan. Kemustahilan yang sayangnya selalu dinikmati dan diperjuangkan. Lewat tulisan, upaya suci itu dihadirkan: tidak rutin dan mungkin juga tidak banyak dibaca. Tapi pers mahasiswa berdiri dengan angkuh sembari sadar kalau dirinya memang tak punya kekuasaan tunggal opini. Kini pers mahasiswa hadir dalam suasana yang amat berbeda. Masa di mana jaminan kebebasan hadir. Tiap xiii
media seperti juru bicara bagi yang memiliki kuasa. Tak jarang para pemilik ini bertindak anarki: iklan atas figurnya dipasang di tiap acara dan bahkan istrinya jadi bintang untuk menemaninya. Liputan berita kemudian mengikuti arus kepentingan para pemilik. Akurasi dan objektivitas lalu disangsikan. Tapi itu bukan berarti media lalu kehilangan kekuatanya. Terdapat banyak kasus yang terungkap karena penciuman dahsyat media. Korupsi dan terorisme salah satu prestasi hebatnya. Lalu di mana posisi pers mahasiswa? Dengan modal cekak, tim yang disibukkan oleh kuliah dan kepemimpinan yang cepat berganti maka ruang kuasanya kian terbatas. Tapi kenekatan dan kecerdikan mengalahkan semua kelemahan itu: pers mahasiswa membuktikan diri sebagai kekuatan yang andal. Buku ini mengisahkanya dengan jitu. Pemberitaan tentang kampus. Persisnya tentang komersialisasi perguruan tinggi. Urusannya tak jauh dari mahalnya biaya kuliah hingga kian sulitnya akses masuk untuk orang miskin. Pada kasus itulah pers mahasiswa mengambil sikap berontak: kampus tak bisa dikuasai oleh segelintir pecandu duit. Kampus tak bisa lagi mengelola managemen dengan logika pemerasan. Pers mahasiswa lalu berdiri dengan penuh martabat melawan situasi itu. Maka bermunculan banyak tulisan yang dipilih oleh penulis dalam beberapa kategori. Duel untuk melawan komersialisasi kampus itu diwujudkan dengan banyak taktik. Secara wacana dikembangkan opini yang melucuti kelemahan komersialisasi. Tampil pula para pengamat dan korban langsung dari kebijakan sadis ini. Tak jarang para aktivis pers mahasiswa itu turun ke jalan lalu melakukan demo besar-besaran. Sikap tunggal mereka jelas: komersialisasi bukan solusi. Akhir dari pertarungan ini terang: UU BHP dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi. Pesan yang jelas dari mereka xiv
adalah: pendidikan tinggi bukan ladang untuk mencari laba. Tapi ini bukan pertarungan heboh. Serangan itu diarahkan pada kebijakan. Sasaran kutukan itu ada pada peraturan. Tulisan yang menyengat memang diperlukan tapi itu tak selamanya bisa memacu gerakan. Sejak UU BHP dicabut maka mandat tulisan untuk melawan komersialisasi itu berubah strategi. Kini bukan soal mahal biaya pendidikan tapi tradisi burjouis yang ada di lingkungan kampus. Seperti mobil mewah yang dikendarai oleh mahasiswa, konsumerisme yang jadi status sosial dan lebih berbahaya lagi, sikap pragmatis sebagian dosen. Aliran perubahan itu dibawa bukan karena komersialisasi semata melainkan kampus yang mulai unjuk peran: tidak didasarkan pada kualitas hasil riset melainkan bagaimana kampus merias bangunan. Saksikan saja tubuh bangunan fisik kampus yang makin mirip dengan pusat perbelanjaan: fasilitas AC pada ruangan, wi fi di tiap teras halaman dan kursi nyaman untuk duduk mahasiswa. Tak lupa kantin disediakan dengan menu komplit. Maka mahasiswa bukan lagi kumpulan anak-anak muda yang gelisah, kritis dan nekat: tapi pemuda yang rapi, gaya dan penuh canda. Lukisan paling norak tampak dalam iklan-iklan kampus yang dipasang pada baliho. Sekelompok mahasiswa dan mahasiswi membaca buku sambil tersenyum. Pers kampus lalu meluncur bukan dalam bahasa propaganda tapi berita yang penuh data, argumentasi yang ilmiah dan penjelasan yang lurus. Pers kampus kehilangan gigi taringnya ketika berita yang diungkap tak lagi dalam bahasa emosional, provokatif dan menyerang. Terlebih elemen investigasi tak lagi jadi senjata yang bisa diandalkan: bisa karena pelatihan yang minim atau beban kuliah yang membelit. Efeknya seperti yang ditulis di buku ini, pers kampus mulai mendesakkan tersangka modal sebagai biang keladi komersialisasi. Kutipan kapitalisme modal, xv
neoliberalisme hingga kaki tangan uang berhamburan di mana-mana. Sebagai sebuah agitasi itu tetap diperlukan, tapi kesadaran kritis tidak tumbuh hanya dengan bualan. Pers kampus kehilangan penciuman untuk melihat jejakjejak modal yang paling dekat di sekitarnya: rektor yang bergonta-ganti mobil, dosen yang rumahnya mewah hingga paceklik karya di lingkungan para pengajar. Padahal itu adalah lukisan langsung serta menyentuh bagaimana modal itu memenjarakan kecerdasan intelektual dosen. Terjadi apa yang biasa berlangsung: dosen seperti pekerja yang diperas kemampuannya untuk melayani modal. Itu sebabnya perlawanan pada komersialisasi pendidikan kehilangan visi utopisnya. Soalnya perlawanan itu hanya beringsut dari wacana menuju wacana. Aliran dukungan massa pada setiap demo hanya mengulang apa yang jadi keluhan: kampus kian mahal. Tapi bentrok tak terjadi dan emosi tidak jadi gumpalan aksi yang keras. Maka ketika UU BHP dibatalkan oleh MK itu dianggap sebagai proklamasi kemenangan. Tiap-tiap orang lalu merasa sudah berjuang total: padahal perseteruan diawali dari situ. Saat di mana hukum diacuhkan dan ketika peraturan tak bisa memegang kendali sepenuhnya. Aroma itu menyala ketika banyak dosen memilih jadi pejabat dan kuliah tinggal jadi obrolan gosip sana-sini. Runyamnya lagi, gerakan mahasiswa dilumpuhkan melalui prosedur dan intervensi. Maka wujud komersialisasi itu berubah rupa bukan sekadar pintu masuk yang bertarif mahal melainkan juga mata kuliah yang memusatkan diri pada perolehan uang. Secara sederhana itu punya arti yang luas: materi kuliah yang tak beringsut dari kepentingan praktis, kegiatan yang bertumpu pada kerja sama dengan badan usaha lalu upaya kampus untuk mengembangkan bisnis. Pernak-pernik itu yang kadang masih tumpul dibaca oleh pers mahasiswa. xvi
Buku ini memberi penjelasan yang unik dan pas: kekuatan pers mahasiswa bukan terletak pada wacana tapi keterlibatan langsung dalam gejolak. Iramanya bukan ditambang dari tulisan melainkan keterlibatan. Soalnya memang ada batas yang kini memagari keinginan itu: absensi, ketentuan kuliah hingga jeratan situasi politik. Tak dipungkiri gejolak partai politik di luar sana memengaruhi dinamika gerakan. Di sisi ini, buku yang anda baca amat relevan: mempertimbangkan kembali peran oposisi pers mahasiswa. Dalam wadah isu komersialisasi kampus, pers mahasiswa membuka kubu perseteruan dengan pihak pemegang kendali kampus: rektor hingga mengerucut pada menteri pendidikan. Ruang pertarungan yang dihuni oleh wacana itu kini saling bergesek dan melibatkan diri secara aktif. Pada arus itulah sesungguhnya konflik kepentingannya komplit: manajemen tata kelola kampus, borjuasi dalam diri mahasiswa, konfrontasi kelas hingga tata ruang. Sayang memang pers kampus tidak mengitari itu semua. Hingga hegemoni berita hanya dipadati oleh isu yang beraroma ketimpangan ekonomi. Buku ini menunjukkan dengan sungguh-sungguh betapa wacana perlawanan itu tak menyentuh semua mahasiswa. Seolah menantang: buku ini menunjukkan peta penjelasan betapa masih banyak soal dihadapi pers mahasiswa ketika bertarung dengan isu komersialisasi pendidikan. Peta itu tak merujuk semata aktor-aktor yang terlibat melainkan juga struktur yang bekerja mengoperasikannya. Struktur itu saling jalinberkelindan dengan negara dan imperium modal. Pada tengah gejolak itu sebuah tulisan bukan lagi senapan tapi peluru yang bisa menyambar siapa pun. Jika peluru itu ingin tepat sasaran tentu yang diasah bukan sekadar senapan tapi bagaimana membidikkanya dengan jitu. Pers mahasiswa memiliki kemampuan itu semua: tulisan sebagai luapan provokasi sekaligus tulisan sebagai xvii
bagian dari agen propaganda. Nyali, kegigihan dan kerangka pikir struktural dapat jadi landasan untuk menemukan kembali roh pers mahasiswa: perlawanan. Wisnu telah membantu untuk melihat segala pernak-pernik dunia pers mahasiswa yang memang punya semangat untuk melakukan pemberontakan dan perlawanan. Seperti sebuah kesaksian, buku ini ingin mengajak kita untuk tetap punya harapan pada pers mahasiswa dan pada gerakan mahasiswa. Sebuah harapan yang secara indah diantarkan oleh buku ini. *Eko Prasetyo adalah penulis buku trilogi Orang Miskin Dilarang Sakit, Orang Miskin Dilarang Sekolah, dan Orang Miskin Tanpa Subsidi. Saat ini merupakan Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia
xviii
Pengantar Penulis
If there's a book that you want to read, but it hasn't been written yet, then you must write it -Toni MorrisonPada mulanya adalah keresahan. Minimnya literatur tentang pers mahasiswa sungguh menyulitkan proses identifikasi atas apa yang sebenarnya sedang melanda pers mahasiswa terutama pasca 1998. Ceceran artikel maupun makalah dari berbagai media tidak mampu memberikan penjelasan yang utuh. Sementara “episode-episode menegangkan” terus melanda nyaris seluruh pers mahasiswa di Indonesia, termasuk di pers mahasiswa yang saya ikuti. Diskusi-diskusi internal yang kerap dilakukan hanya menambah ketegangan baru. Ketegangan yang tetap gagal menjawab tentang persoalan disorientasi-reorientasi pers mahasiswa. Karena itu, buku ini merupakan ikhtiar sederhana untuk mengisi celah kekosongan literatur sekaligus menjadi pemantik untuk memunculkan jawaban atas persoalan tersebut. Buku ini adalah pengembangan dari skripsi saya di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Ia hanya mencukupkan diri pada pembahasan tentang dinamika dan pola pemberitaan pers mahasiswa tentang komersialisasi pendidikan pasca 1998. Tema ini barangkali bisa sedikit menjelaskan proses pergulatan dengan isu pers mahasiswa dan komersialisasi xix
pendidikan yang saya geluti nyaris sepanjang era menjadi mahasiswa. Pemilihan objek penelitian di Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU menjadi kacamata untuk melihat simpul-simpul “keresahan” dan “respon” pers mahasiswa di masing-masing daerah. Namun, apakah buku ini menunjukkan kemampuan untuk menjawab dua persoalan di atas, tentu hanya pembaca yang berhak menghakiminya. Buku ini, adalah kristalisasi kegalauan beberapa tahun belakangan. Proses kristalisasi ini bertambah cepat dengan bantuan langsung maupun tak langsung dari banyak orang. Untuk itu, saya mesti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bang Amir Effendi Siregar dan Mas Eko Prasetyo yang bersedia memberikan kata pengantar dalam buku ini. Bang Ana Nadhya Abrar sebagai dosen pembimbing yang menemani saya menuntaskan skripsi. Mas Wisnu Martha Adiputra dan Mas Kuskridho Ambardi yang di ruang ujian memberikan banyak tambahan perspektif untuk saya kembangkan dalam buku ini. Mbak Hermin Indah Wahyuni, Mas Widodo Agus Setianto, Mas Syafrizal, Mas Nyarwi, dan dosen-dosen lain di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM yang memberikan kompas bagi pengembaraan intelektual saya. Terima kasih juga kepada kawan-kawan BPPM Balairung UGM, organisasi ini adalah tempat pemikiranpemikiran saya tumbuh dan dibesarkan. Komunitas Cinta Gadjah Mada, Fariz, Mas Unggul, Aini, Mita, Gilang, Kurniawan, Ratna, Angga, Acil yang telah membersamai sejak awal perjalanah kuliah dan menjadi saksi bagi jatuh bangun saya. Kawan-kawan Komunitas Kembang Merak, Aghnia, Ofa, Ni’am, Udin, Rifqi, Farid, Mbak Kirana, Wawan, Laras, Azhar, Ghofur yang menjadi teman diskusi dan menjalani “kehidupan sehari-hari”. Ahmad Fariz Viali dan Inovanti menjadi tempat mencurahkan kegalauan saya melalui surat-surat elektronik yang panjang dan barangkali xx
membuat mereka berdua kelelahan membaca. Secara khusus, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kawan-kawan Catatan Kaki Makassar dan Suara USU Medan yang telah mengizinkan saya untuk meneliti organisasinya dan membantu menyediakan data-data yang saya butuhkan. Perjalanan ke Makassar dan Medan tentu tak akan terlaksana tanpa bantuan teman-teman di sana. Suplai motivasi saya peroleh dari Arya Budi, Wildan Mahendra, dan Adi Suharyanto yang kerap mengingatkan saya untuk konsisten berdoa dan bekerja. Semangat perlawanan saya dapatkan dari kawan-kawan seperjuangan di Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus UGM, BEM Universitas dan Fakultas, Asrama PPSDMS serta segenap penulis baik dosen, ilmuwan, jurnalis, maupun aktivis yang tulisan-tulisannya saya kutip dalam buku ini. Sementara dua saudara kandung, Mas Furry dan Dhenok, adalah alasan untuk tetap tersenyum di tengah hari-hari yang berat. Akhirul kalam, semoga ikhtiar yang penuh dengan bopeng di sana-sini ini mampu memberi sumbangan terhadap kajian pers mahasiswa di tanah air dan menjadi pemantik untuk menuntaskan kegalauan yang tengah dihadapi pers mahasiswa sampai saat ini. Semoga. Yogyakarta, Februari 2013
xxi
DAFTAR ISI
Pengantar Amir Effendi Siregar vii Pengantar Eko Prasetyo xiii Pengantar Penulis xix Daftar Isi xxiii Pendahuluan 1 Jenis Penelitian 4 Kerangka Pemikiran 5 1. Pers Mahasiswa 5 2. Berita dan Konstruksi Realitas 10 3. Bahasa sebagai Alat Perlawanan 12 Objek Penelitian 14 Pengumpulan Data Analisis Data 16 Sistematika Penulisan 19 Pers Mahasiswa Dalam Lipatan Sejarah 21 Di Bawah Represi Orde Lama 21 Berkolaborasi dengan Orde Baru 29 1. Era Pemberedelan Kembali 32 2. Bangkit Kembali 42 Pers Mahasiswa Pasca 1998 51 Quo Vadis Pers Mahasiswa? 51 xxiii
PPMI Pecah 51 Hambatan Klise 58 Migrasi ke Dunia Maya 66 Profil Pers Mahasiswa 73 Balairung 73 1. Sejarah dan Perkembangan 73 2. Kebijakan Redaksional 79 Catatan Kaki 81 1. Sejarah dan Perkembangan 81 2. Kebijakan Redaksional 84 Suara USU 85 1. Sejarah dan Perkembangan 85 2. Kebijakan Redaksional 88 Sistem Pendidikan di Indonesia dari Otonomi Menuju Komersialisasi 91 Pendidikan dan Penetrasi Neoliberalisme 91 Perubahan Status Menjadi BHMN 97 Berganti Wajah Menjadi BHP 102 Komersialisasi Pendidikan, Agenda Neoliberal? 107 Pengantar 107 Teks 109 1. Tematik 110 2. Skematik 115 3. Semantik 117 4. Sintaksis 125 5. Stilistik 131 6. Retoris 132 xxiv
Kognisi Sosial 135 Konteks Sosial 137 Epilog 143 Daftar Pustaka 149 Tentang Penulis 161
xxv
Pendahuluan
Lengsernya Soeharto pada 1998 yang menandai era
demokratisasi di Indonesia membawa pers mahasiswa tiba pada postcriptum yang menggelisahkan. Bonanza kebebasan pers membuat jumlah pers umum melonjak drastis. Arus informasi yang pernah disumbat rezim militeristik mulai membanjiri masyarakat. Pers umum mendapatkan kembali keberaniannya untuk menyiarkan berita-berita sensitif. Tidak ada ketakutan lagi terhadap pemberedelan. Sementara pers mahasiswa yang selama era Orde Baru menjadi wakil suara alternatif masyarakat pelan-pelan tersudut ke tepian sejarah. Organisasi nasional pers mahasiswa seluruh IndonesiaPPMImengalami kegalauan identitas yang berujung perpecahan. Pada akhirnya, gagasan “kembali ke kampus” menjadi conditio sine qua non. Gagasan yang berakibat pada pergeseran orientasi pemberitaan dari state centric menjadi campus centric. Gagasan tersebut berada dalam kerangka “kewajiban” pers mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan informasi komunitas tempat ia berasal, civitas academica. Komunitas yang sempat diabaikan sebagai konsekuensi orientasi pemberitaan yang menentang negara. Tak mengherankan jika pasca 1998 informasi semacam pernikahan massal di lingkungan kampus, minimnya fasilitas toilet, pembukaan program studi baru, bahkan sampai kasus penemuan kondom di lingkungan kampus mendominasi pemberitaan. Dengan fungsi pers yang melekat, pers mahasiswa menjadi 1
Komersialisasi Pendidikan watchdog dalam relasi kuasa ekonomi politik di kampus. Ia juga menjalani peran sebagai penyambung sekat-sekat keilmuan antar fakultas yang menjadi kecenderungan umum dalam kehidupan akademik di Indonesia. Ikhtiar “kembali ke kampus” hadir tersebut tepat bersamaan dengan kedatangan gelombang liberalisasi ekonomi politik yang merambah ke berbagai bidang termasuk pendidikan. Tanggung jawab negara dalam memenuhi anggaran pendidikan dipangkas sedemikian rupa. Berbagai regulasi dikeluarkan untuk menghilangkan tanggung jawab tersebut. Pendidikan dijadikan komoditas dan menjadi sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing bahkan hingga 49%. Berbagai proses pendidikan dari mulai subsidi sampai aksesibilitas diserahkan kepada mekanisme pasar. Masyarakat harus menanggung beban pembiayaan yang besar agar dapat mengakses pendidikan berkualitas. Wajah pendidikan di tanah air menjadi kapitalistik seiring dengan komersialisasi dan swastanisasi yang merajalela. Dalam konteks pendidikan tinggi, gejala ini tampak dari hilangnya subsidi pemerintah terkait operasionalisasi pendidikan. Akibatnya pengelolaan pendidikan tinggi berorientasi pada profit. Kampus tidak lagi menjadi kawah candradimuka yang menghasilkan manusia-manusia humanis dan berkebudayaan. Mahasiswa, alih-alih menjadi subjek dalam dunia pendidikan, kemudian dilihat sebagai konsumen. Mahasiswa dilihat sebagai human capital yang akan mengisi dunia kerja. Karenanya, mekanisme pengajaran, susunan kurikulum, sampai aktivitas ekstrakurikuler dirancang untuk melatih ketrampilan mahasiswa agar sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Tekanan untuk lulus cepat menjadi satu hal yang tak terhindarkan. Tentu, efek komersialisasi secara langsung dirasakan oleh para aktivis pers mahasiswa. Persinggungan antara situasi internal (disorientasi) dan kondisi eksternal (komersialisasi pendidikan) menjadi bahan bakar yang menggerakan naluri dasar 2
Wisnu Prasetyo Utomo pers mahasiswa untuk melawan kekuasaan. Seperti diungkapkan Daniel Dhakidae (1977), segenap tingkah laku jurnalistik mahasiswa, pada dasarnya adalah sebuah upaya memperjuangkan dirinya. Bahasa sebagai arena kontestasi kekuasaan menjadi medium perjuangan. Teks yang diproduksi dalam terbitan-terbitannya menunjukkan bagaimana mekanisme perlawanan itu bekerja. Ekspresi perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan ini terlokalisir di masing-masing kampus. Sasaran tidak langsung diarahkan kepada negara (state) melainkan kepada pengelola kampus yang dianggap sebagai aparatus negara sehingga memiliki tanggung jawab yang sama dalam arus komersialisasi ini. Berita-berita yang ditampilkan pers mahasiswa menunjukkan gugatan-gugatan mahasiswa atas praktik komersialisasi. Penelitian yang dilakukan Lubabun Ni’am dan Achmad Choirudin (2009) misalnya, menunjukkan bahwa tema-tema seputar liberalisasi dan kapitalisasi kampus mendominasi pemberitaan Balairung, pers mahasiswa di UGM Yogyakarta. Kuantitas tema seputar praktik tersebut mencapai angka 41,6%. Bandingkan dengan tema lainnya seperti kesadaran politik civitas academica dengan angka 22,2% dan sistem perkuliahan di kampus 19,4%. Resistensi di tengah kegalauan identitas yang masih melanda menjadi fenomena yang menarik. Studi ini akan melihat bagaimana strategi wacana anti komersialisasi kampus yang dilakukan oleh pers mahasiswa melalui terbitan-terbitannya. Pers mahasiswa selama ini Secara lebih spesifik, pers mahasiswa yang dianalisis adalah Balairung (UGM), Catatan Kaki (Universitas Hasanuddin), dan Suara USU (USU). Ketiganya dipilih sebagai “wakil” pers mahasiswa di kampus terbesar di masing-masing pulau. Ini untuk menunjukkan bagaimana perlawanan terhadap komersialisasi kampus terjadi secara merata di berbagai daerah di Indonesia. Sekaligus menunjukkan perbedaan ekspresi perlawanan yang “serupa tapi tak sama”. Penyebabnya tentu dikarenakan karakteristik 3
Komersialisasi Pendidikan unik yang dimiliki masing-masing pers mahasiswa. Karena itu, pertanyaan yang diajukan dan berusaha dijawab dalam studi ini adalah: Apa dan bagaimana strategi wacana pers mahasiswa dalam memberitakan komersialisasi pendidikan?
Jenis Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode analisis wacana (discourse analysis). Jika analisis isi (content analysis) hanya bisa melihat makna yang terlihat (manifest), analisis wacana melihat makna yang tidak terlihat (laten). Analisis wacana merupakan perangkat analisis yang memiliki kemampuan untuk melihat makna yang tersembunyi di balik sebuah teks. Analisis wacana juga bisa menjawab persoalan mengenai ideologi dan konteks yang memproduksi sebuah teks tertentu. Dalam penelitian ini, analisis wacana yang digunakan akan mengacu pada definisi yang diberikan oleh Teun van Dijk. Definisi atau model yang diajukan oleh van Dijk biasa disebut sebagai model kognisi sosial (social cognition). Model ini melihat bahwa wacana terdiri dari tiga dimensi yaitu teks, konteks, dan kognisi sosial. Sebagai sebuah interface kognisi sosial adalah penghubung antara teks dan konteks, antara wacana dan masyarakat. Asumsi yang dikemukakan oleh van Dijk, wacana tidak hanya merupakan persoalan struktur wacana. Lebih dari itu, wacana juga melibatkan proses produksi serta pemahaman yang dihayati bersama. Karena itu sebuah wacana berarti juga melibatkan proses mental atau kognisi sosial masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Van Dijk dalam Crowley dan Mitchell (1993);
(1) discourse is actually produced/interpreted by individuals, but they are able to do so only on the basis of socially shared knowledge and beliefs; (2) discourse can only affect social structures through the social minds of discourse participants, and conversely (3) social structures can only affect discourse structures through social cognition.
4
Wisnu Prasetyo Utomo Tiga dimensi seperti yang disebutkan oleh van Dijk akan menjadi objek yang diteliti dalam penelitian ini. Ketiganya saling berkaitan dalam membentuk satu wacana tertentu. Sebuah teks, tidak lahir dalam ruang kosong. Ia senantiasa berada dalam bangunan sosiohistoris yang panjang. Sehingga teks menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam melihat bangunan tersebut. Dinamika sosial akan menentukan pengalaman-pengalaman sosial yang pada tahap selanjutnya akan melahirkan teks. Seperti diutarakan van Dijk, teks terbentuk tidak dapat dilepaskan dari berbagai dimensi seperti fungsi, maksud, rencana, tujuan, termasuk juga waktu. Bahkan, berbagai dimensi ini tidak memberikan pengaruh kepada wacana secara langsung. Pengaruh justru muncul dari konstruksi mental individu yang membuat individu mendefinisikan wacana dengan arti tertentu. Kerangka Pemikiran 1. Pers Mahasiswa Pers mahasiswa adalah penerbitan yang dikelola dan diterbitkan oleh mahasiswa dengan dicirikan oleh idealisme kemahasiswaan. Seperti dinyatakan Abrar (1992:7) dan Subaharianto (1995), pers mahasiswa adalah penerbitan di kampus yang pengelolanya murni dilakukan oleh mahasiswa. Aktivitas dari mulai keredaksian sampai pencarian dana dilakukan oleh mahasiswa yang masih aktif di kampus. Kelangsungan penerbitannya bergantung pada kerelaan mahasiswa itu sendiri baik tenaga, dana, dan juga konsumennya. Salah satu ciri khas yang melekat dalam pers mahasiswa adalah idealisme kemahasiswaan yang dimiliki oleh para aktivisnya. Dalam tulisannya di majalah Prisma yang berjudul Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers (1977), Dhakidae mengatakan bahwa etos pers mahasiswa di Indonesia adalah adversary journalism (jurnalisme menantang). Etos ini melekat dalam citra diri pers mahasiswa. Dalam konteks adversary journalism misalnya, pers 5
Komersialisasi Pendidikan mahasiswa senantiasa menempatkan diri sebagai oposisi kepada kekuasaan. Etos ini bisa dipahami karena pers mahasiswa secara langsung masih dikelola oleh mahasiswa. Sehingga pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh pers mahasiswa adalah sikap memperjuangkan dirinya sendiri. Sikap oposisi ini yang membuat Dhakidae menyebut bahwa pers mahasiswa lebih mirip sebagai journal of opinion. Alih-alih menunjukkan prinsip-prinsip jurnalistik secara ketat, berita-berita yang ditampilkan lebih menunjukkan pandangan dan sikap politik pengurusnya. Etos pers mahasiswa tersebut adalah karakter pers mahasiswa dari masa ke masa dalam sejarah di Indonesia. Hal ini rupanya menyimpan potensi kekuatan yang membahayakan kekuasaan negara. Di era awal konsolidasi Orde Baru, seperti dicatat Francois Raillon (1984), pers mahasiswa memiliki peran penting dalam mendukung ide-ide modernisasi yang dibawa oleh rezim baru. Pengakuan akan potensi pers mahasiswa ini pun semakin terlihat jelas selama era Orde Baru, bahkan menjelang runtuhnya rezim tersebut.1 Pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan. Dengan berbagai cara, rezim berusaha mereduksi arti kehadiran pers mahasiswa dengan cara membatasi istilah-istilah yang boleh dan tidak boleh digunakan. Definisi pers mahasiswa sendiri bahkan ditentukan. Seperti dinyatakan Dirjen PPG, Sukarno dalam Didik Supriyanto (1998:81), definisi dibedakan menjadi: Penerbitan Kampus adalah semua bentuk penerbitan yang diselenggarakan oleh kampus dan untuk kepentingan kampus. Pers-kampus mahasiswa adalah semua bentuk penerbitan berkala yang diselenggarakan oleh mahasiswa dalam di dalam kampus dan untuk kepentingan kampus. Pers mahasiswa adalah semua bentuk penerbitan yang dikelola mahasiswa di luar kaitan kampus.
1 Untuk melihat potensi kekuatan pers mahasiswa menjelang runtuhnya Orde Baru, simak Arismunandar, Satrio. 2004. Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Pengumbangan Rezim Soeharto. Jakarta: Genta Press
6
Wisnu Prasetyo Utomo Barangkali, ketakutan pemerintah ini didasarkan pada perjalanan historis pers mahasiswa semasa era Orde Lama. Sejarah yang dicatat sebagai salah satu puncak prestasi pers mahasiswa di Indonesia. Arifin (2000:84), misalnya, mengatakan bahwa pers mahasiswa adalah entitas-sintesis dari dua subjek yang sama-sama potensial dan berat yaitu “pers” dan “mahasiswa”. Dalam konteks ini, pers mahasiswa memanggul beban berat karena sebagai pers ia dituntut menjalankan fungsi-fungsi pers secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai mahasiswa ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. Eka Suryana Saputra (2009:197) mengatakan bahwa dengan identitas sederhana tersebut, pers mahasiswa mengemban harapan yang tidak sedikit. Ada banyak pengandaian, cita, pun imaji yang telah, dan perlu terus, digeluti. Abrar (1992:7), menegaskan aspek kemahasiswaan ini dibandingkan dengan aspek persnya. Menurutnya, pers mahasiswa adalah pers yang dikelola oleh mahasiswa. Informasi yang ditampilkan merupakan cerminan dari realitas mahasiswa itu sendiri. Karena itu informasinya berkaitan dengan kepentingan mahasiswa, menarik perhatian mahasiswa, dan memenuhi hasrat keingintahuan mahasiswa. Tujuannya adalah agar mahasiswa memiliki orientasi kemasyarakatan. Apa yang disampaikan Abrar ini paralel dengan peta sederhana yang digambarkan oleh Hasan Bachtiar (2001:177) berikut: Situasi Sosial-Politik-Ekonomi-Budaya Global
Pers Umum ,
Pers Mahasiswa
Aktivisme Mahasiswa Kegiatan Akademis Kehendak Masa Muda 7
Komersialisasi Pendidikan Melalui peta sederhana di atas, Hasan mengatakan bahwa pers mahasiswa mengalami apa yang ia sebut sebagai split personality. Pers mahasiswa berada dalam persilangan yang kompleks. Seperti yang diungkapkan Arifin di atas, di satu sisi pers mahasiswa bersinggungan dengan pers umum. Ada fungsi-fungsi pers yang ia jalankan seperti mendidik, menginformasikan, menghibur, dan kontrol sosial. Sementara dalam sisi yang berlainan, ada semangat aktivisme yang didasari rasa keingintahuan. Mahasiswa, seperti layaknya kaum muda sedang berada dalam masa pencarian jati diri. Ada kelabilan, keinginan untuk diakui lingkungan, dan hasrat bersenang-senang. Dalam ikhtiar pencarian jati diri, wajar jika muncul paradoks dengan analogi dua sisi mata uang seperti yang diungkapkan oleh Jones dalam Azca (2012:70). Mahasiswa di satu sisi dipuja sebagai generasi pemimpin masa depan yang akan mewarisi bangsa ini. Sementara di sisi lain, dianggap sebagai biang kericuhan yang meruntuhkan bangunan moralitas bangsa. Naluri eksistensial ini bertemu dengan kewajiban-kewajiban akademik yang menjadi konsekuensi belajar di Perguruan Tinggi. Beban akademik ini membawa pers mahasiswa pada dilema yang sulit dipecahkan dari masa ke masa. Amir Effendi Siregar (1983:66) menyebut dilema tersebut sebagai pertentangan antara profesionalisme dan amatirisme. Nono Anwar Makarim, ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia periode 1969 dengan nada sendu bahkan mengatakan dilema ini sungguh pedih. Dalam laporan pertanggungjawaban kepada kongres luar biasa IPMI tahun 1969 seperti dikutip Amir Effendi Siregar (1983:48), Nono mengatakan:
“Akan tetapi kalau sudah menjadi professionil hati nurani kita terganggu karena kita mengakui di dalam sudut terpencil hati nurani tersebut bahwa sebenarnya kita bukan mahasiswa lagi. Ach... Saudara-saudara, betapa pedihnya dilema ini...”
8
Wisnu Prasetyo Utomo Setidaknya ada dua ciri khas yang membuat pers mahasiswa bersifat amatir dan sekaligus membedakannya dengan pers umum. Pertama, status kemahasiswaan yang temporer. Berdasarkan pada kebijakan pemerintah yang terbaru, jumlah presensi mahasiswa masuk di kelas adalah 75% dari total pertemuan dalam satu semester. Batas maksimal menjadi mahasiwa S1 sendiri sejak tahun 2005 adalah tujuh tahun. Mereka yang masa studinya lebih dari tujuh tahun akan di-dropout oleh kampus. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Hasan Bachtiar (2006:20) mengatakan bahwa sistem kaderisasi pers mahasiswa merupakan optimum contribution yang seharusnya bisa dilakukan oleh pers mahasiswa. Sistem kaderisasi harus diperkuat dengan memaksimalkan competency market. Ia menjadi semacam jaring labalaba yang kuat dalam menjaga kesolidan organisasi pers mahasiswa. Hasan menyebutkan setidaknya ada 5 faktor yang penting untuk diperhatikan. • Sistem pendidikan (skill/educational upgrading); • Sistem penjenjangan posisi dan pengembangan karier (positional hierarchy and carrier development path); • Penghargaan dan penghukuman (reward and penalty); • Pengelolaan konflik (conflict management); • Kepemimpinan yang demokratis (democratic leadership). Kedua, pers mahasiswa adalah organisasi mahasiswa berbasis idealisme. Pers mahasiswa bukanlah organisasi yang bekerja dengan rasionalitas ekonomi. Ini berbeda dengan pers umum yang sudah menjadi industri. Dalam institusi pers umum, laba finansial menjadi tujuan utama karena mereka harus menghidupi para pekerjanya. Sementara dalam dunia pers mahasiswa, tidak sepenuhnya bisa menghidupi roda keorganisasian dengan mengandalkan iklan. Keadaan seperti ini 9
Komersialisasi Pendidikan membuat “bayaran” yang didapatkan oleh pengurusnya adalah pengalaman. Pengalaman bisa berupa proses belajar jurnalistik, jaringan, dan juga pertemanan. Prinsip kesetiakawanan dan kesukarelaan menjadi tulang punggung karena pers mahasiswa tidak dimiliki oleh pemilik modal layaknya pers umum. Seperti diungkapkan Amir Husin Daulay (1989:8-9), independensi dari pemilik modal membuat tulisantulisan yang diterbitkan pers mahasiswa memiliki ciri khas kritis, inovatif, analitis, objektif dan kaya ide. Pers mahasiswa menjadi semacam intelectual exercise bagi para mahasiswa. M. Thoriq dalam Didik Supriyanto (1998:122) menjelaskan bagaimana aktivis-aktivis pers mahasiswa memiliki andil yang tinggi dalam meningkatkan eskalasi kritisisme mahasiswa. Menurut Thoriq, tugas pers mahasiswa adalah membangkitkan kesadaran kritis dan keberanian untuk bersikap kritis.
2. Berita dan Konstruksi Realitas Stephen W. Littlejohn (1999) menjelaskan bahwa realitas sosial yang ada dalam masyarakat sebenarnya tidak lebih dari hasil konstruksi sosial dalam satu proses komunikasi tertentu. Setiap individu menafsirkan setiap perjumpaan dengan fakta atau fenomena. Littlejohn sendiri menggunakan istilah constructivism untuk menjelaskan pemaknaan individu yang berbeda-beda ini. Sementara itu Peter Berger dalam Eriyanto (2002:13) juga memberikan pendapat mengenai konstruksi sosial. Menurutnya, kenyataan bersifat plural, dialektis, dan dinamis. Plural berarti adanya tafsir berbeda-beda yang dilakukan oleh individu seperti yang diungkapkan Littlejohn tadi. Dialektis bermakna bahwa dalam level individu terjadi benturan antara realitas objektif yang hadir, dengan realitas subjektif. Realitas objektif, adalah sesuatu yang berada pada wilayah, meminjam istilah Berger, “apa adanya”. Sementara realitas subjektif hadir dalam diri manusia.
10
Wisnu Prasetyo Utomo Benturan dua realitas inilah yang membuat kenyataan bersifat dinamis dan tidak ajeg dari waktu ke waktu. Untuk memahami benturan realitas ini, kita tidak dapat melepaskannya dari pemahaman kebahasaan. Bahasa yang memiliki peran signifikan dalam melakukan konstruksi sosial. Peter L. Berger dan Thomas Luckman (dalam Ibnu Hamad, 2004: 12) juga menyebutkan bahwa dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Bahasa membentuk dunia melalui kata-kata. Bahasa yang dimaksud di sini tidak hanya berupa teks, melainkan juga struktur dan makna. Seperti diungkapkan Muridan (2004:6), di dalamnya terdapat dua fakta yang tidak dapat dipisahkan, fakta wacana (facts of discourse) dan fakta bahasa (facts of language). Fakta wacana tidak dapat dilepaskan dari posisi pembicara dan topik yang dibicarakan. Sementara fakta bahasa, berkaitan dengan sintaksi, semantik, dan tata bahasa. Keduanya berinteraksi dan kemudian memainkan peran dalam konstruksi sosial. Inilah kait mengaitnya dengan media. Media, menampilkan berita tentang sebuah fakta atau peristiwa melalui medium bahasa. Dengan demikian, berita adalah sebuah laku konstruksi realitas. Dalam istilah yang sederhana, berita bukanlah refleksi atas realitas melainkan realitas itu sendiri. Laku ini dilakukan melalui satu mekanisme framing berita. Abrar (2005) menyebutkan bahwa sekurangnya ada tiga bagian dalam berita yang bisa dijadikan objek framing wartawan. Ketiganya yaitu: judul berita, fokus berita, dan penutup berita. Ashadi Siregar (1987) mendistingsikan secara tegas antara realitas sosiologis dan realitas psikologis dalam berita yang muncul di media. Realitas sosiologis berarti realitas yang sungguhsungguh terjadi dalam sebuah masyarakat. Artinya, realitas ini adalah realitas empirik sebagaimana adanya. Sedangkan realitas psikologis merupakan realitas yang dimunculkan melalui ucapan seorang individu maupun kelompok masyarakat. Realitas psikologis berada 11
Komersialisasi Pendidikan pada wilayah kesadaran subjektif individu. Realitas ini misalnya, hadir dalam pendapat yang diucapkan seseorang mengenai kasus tertentu. Ketika kedua realitas tersebut saling tumpang tindih dalam berita, pada gilirannya nanti akan menciptakan realitas dalam realitas. Realitas tersebut akan menjadi hiperrealitas setelah menghadapi penafsiran subjektif individu seperti sempat disebut oleh Littlejohn di atas.
3. Bahasa Sebagai Alat Perlawanan Setiap wacana, tidak dapat dilepaskan dari praktik penggunaan bahasa. Bahasa menjadi medan kekuasaan yang memiliki tujuan untuk memengaruhi cara berpikir tertentu. Bahasa menunjukkan perspektif individu dalam memaknai sesuatu, menentukan nalar berpikir, termasuk juga struktur kesadaran. Dari sana, kita bisa melihat relasi kuasa yang saling berkelindan untuk memperoleh penerimaan nalar umum. Strategi kekuasaan ini berlangsung melalui akumulasi wacana dalam ilmu pengetahuan. Secara lugas filsuf-aktivis asal Prancis, Michel Foucault, merumuskannya dalam kalimat knowledge is power. Tidak ada pengetahuan yang tidak memiliki efek kuasa, dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Istilah wacana seperti yang diuraikan Foucault harus dibedakan dari bahasa karena posisinya memang tidak setara. Seperti diungkapkan Donny Gahral Ardian (2011:142), wacana menerjemahkan realitas ke dalam bahasa dan membentuk cara kita dalam memandang realitas. Maxwell McCombs dan Donal Shaw dalam Saqib Riaz (2008) mengatakan bahwa, “mass media have the ability to transfer the salience of items on their new agendas to public...” Asumsinya, media massa (termasuk pers mahasiswa) melakukan proses menyaring berita yang akan disiarkan. Penyaringan ini dilakukan secara selektif oleh gatekeepers yang menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. 12
Wisnu Prasetyo Utomo Proses seleksi ini menjelaskan bahwa media menjadi arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Karena itu, Antonio Gramsci dalam Nezar Patria (1999) mengatakan bahwa media tidak hanya menjadi sarana melanggengkan kekuasaan melainkan juga menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Pada titik ini pers mahasiswa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Pelanggengan kekuasaan maupun resistensi terhadap kekuasaan ini menjadi landasan awal proses seleksi berita. Proses seleksi berita adalah awal dari berita-berita yang dianggap “layak” dan bisa diterbitkan untuk dikonsumsi khalayak. Meminjam istilah Muridan Widjojo (2004:130), pers mahasiswa menggunakan bahasa sebagai “kontra semiotik terhadap politik semiotik” narasi besar arus komersialisasi pendidikan yang melanda republik. Apalagi media arus utama tidak menjadikan ini sebagai arus utama pemberitaannya. Melalui bahasa, ekspresi-ekspresi penolakan dilakukan dari mulai tingkatan konseptual sampai pada ranah praktis. Berita-berita yang dianalisis dalam penelitian ini menunjukkan bagaimana wacana otonomi kampus itu diletakkan. Pers mahasiswa menganggap otonomi sebagai pintu masuk bagi komersialisasi pendidikan. Efek negatif yang muncul dari komersialisasi pendidikan seperti kenaikan biaya dan diskriminasi akses terhadap masyarakat miskin adalah sedikit alasan yang membuat penolakan ini berlangsung dengan masif. Teks-teks berita pers mahasiswa dalam konteks ini, bisa dipahami sebagai sebuah perlawanan wacana atas narasi besar komersialisasi pendidikan yang dibalut dengan istilah otonomi kampus. Ardi Nuswantoro (2008:103) menyebut bahwa perlawanan ini berada dalam kerangka besar pertarungan ideologi pendidikan. Dengan mengutip William O’Neil, Ardi mengatakan 13
Komersialisasi Pendidikan bahwa ideologi pendidikan yang bertarung di Indonesia adalah ideologi liberal dan konservatif. Ideologi liberal secara gamblang terlihat pada posisi pemerintah. Ideologi ini memahami bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan profesional dan praktis untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pendidikan dianggap sebagai subsistem dari ekonomi. Ideologi ini bisa dilihat dalam alur penyusunan serangkaian regulasi mengenai pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara itu, berhadapan dengan ideologi liberal, adalah ideologi konservatif yang diwakili oleh para penolak kebijakan ini termasuk pers mahasiswa. Penganut ideologi ini meyakini bahwa fungsi pendidikan adalah menjadi penjaga nilai budaya dan moral. Karena itu negara tetap bertanggung jawab terutama untuk membiayai pendidikan. Sebab, jika pendidikan dijadikan komoditas dan hanya menyediakan tenaga kerja bagi pasar, maka nilai-nilai budaya yang dikandung dalam pendidikan akan menghilang. Dan dalam skala yang lebih besar juga akan menghilangkan identitas kebangsaan. Dengan landasan ideologis yang jelas, pers mahasiswa menggunakan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan wacana tersebut. Termasuk menabrak rambu-rambu jurnalistik dalam berita yang idealnya menunjukkan objektivitas informasi. Narasi berita pers mahasiswa menggunakan logika diametral di mana ada dua pihak yang dipertentangkan secara vis a vis sesuai dengan ideologi liberal dan konservatif.
Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah tiga pers mahasiswa yaitu Balairung (UGM), Catatan Kaki (Unhas), dan Suara USU (USU). Ketiga pers mahasiswa mewakili ekspresi penolakan terhadap komersialiasi kampus yang “serupa tapi tak sama” di tiga pulau besar di Indonesia. Turbulensi ketiga kampus tersebut dalam isu ini begitu tinggi. 14
Wisnu Prasetyo Utomo Balairung menjadi pers mahasiswa generasi pertama yang merasakan secara langsung dampak komersialisasi kampus seiring perubahan status UGM menjadi BHMN. Catatan Kaki menunjukkan radikalisasi mahasiswa Unhas dan Makassar dalam menghadapi komersialisasi. Dan Suara USU merepresentasikan wajah mahasiswa USU yang kampusnya merupakan kampus terbesar di Sumatera sekaligus masuk dalam BHMN generasi kedua.
1. Pengumpulan Data a. Penelusuran Dokumen Dokumen yang dimaksud adalah berita utama mengenai komersialisasi pendidikan yang dimuat di Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU dalam rentang waktu dari tahun 2000 sampai 2004. Tahuntahun ini adalah era awal komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan perubahan status beberapa perguruan tinggi negeri. Dokumen diperoleh dari arsip yang dimiliki oleh masing-masing pers mahasiswa tersebut. Namun tidak semua edisi dalam rentang waktu tersebut akan dianalisis, data yang dibutuhkan adalah edisi yang memuat berita utama mengenai komersialisasi pendidikan. Pemilihan berita dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, berita yang dipilih adalah berita utama yang secara langsung memiliki kaitan dengan kebijakan otonomi kampus yang selanjutnya menjadi komersialisasi pendidikan sebagai konsekuensi dari perubahan status. Berita-berita yang meliput efek lanjutan dari kebijakan perubahan status, seperti persoalan organisasi mahasiswa dan sistem akademik, tidak dimasukkan dalam objek penelitian. Kedua, banyaknya dokumentasi teks berita yang sudah hilang. Kondisi ini terjadi karena pers mahasiswa yang bersangkutan tidak memiliki naskah salinan mengenai berita-berita yang pernah diterbitkan. Sehingga berita yang diteliti 15
Komersialisasi Pendidikan terbatas pada naskah berita yang masih ada. Ketiga, keterbatasan peneliti untuk menelusuri ratusan teks berita yang diterbitkan ketiga pers mahasiswa dalam kurun waktu tersebut. b. Wawancara Wawancara akan digunakan untuk memperoleh keterangan lebih dalam mengenai berita-berita yang ditampilkan oleh Balairung Koran, Catatan Kaki, dan Suara USU. Untuk itu, wawancara akan dilakukan dengan pengurus ketiga pers mahasiswa tersebut. Wawancara difokuskan kepada mereka yang pernah atau masih aktif sebagai pemimpin redaksi atau pemimpin umum antara tahun 2000 sampai 2010. c. Studi Pustaka Studi Pustaka digunakan untuk menelusuri berbagai bahan dan ulasan mengenai objek yang akan diteliti. Dalam kajian tentang pers mahasiswa di Indonesia, studi yang dilakukan Daniel Dhakidae (1977), Francois Raillon (1985), Amir Effendi Siregar (1984), Didik Supriyanto (1998), Satrio Arismunandar (2005), dan Moh. Fathoni (2012) akan dielaborasi untuk memberikan konteks terkait eksistensi pers mahasiswa dari masa ke masa. Data tersebut akan menjadi perbandingan terhadap penelitian dan diharapkan mampu melengkapi analisis yang diperoleh dalam penelitian ini. Selanjutnya, fokus pembahasan akan berpusat pada tulisan-tulisan mengenai tiga pers mahasiswa tersebut baik dalam bentuk artikel di media massa, jurnal, maupun buku.
Analisis Data Analisis data merupakan proses mengatur urut-urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Dari pengertian tersebut pertama yang harus dilakukan adalah mengorganisasikan data yang terkumpul dari lapangan. Dalam hal ini, tahapan 16
Wisnu Prasetyo Utomo mengorganisasikan data berupa mengatur, mengurutkan, memberikan kode, dan mengategorikannya. Karena penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis berdasarkan dimensi wacana seperti yang dijelaskan oleh Teun van Dijk, ada tiga jenis data berdasarkan dimensi yang ia tentukan. Ketiganya meliputi teks, kognisi sosial, dan konteks. Struktur teks berita akan menegaskan sebuah wacana atau tema tertentu. Karena itu teknik analisisnya menggunakan critical linguistic. Kemudian setelah data didapatkan, berikutnya adalah mengurai berita tersebut dengan 6 struktur wacana seperti disebutkan van Dijk yang meliputi tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, retoris. Secara sederhana, uraian 6 struktur wacana bisa dilihat dalam tabel berikut: Struktur Wacana Tematik Skematik
Elemen Wacana Tema
Summary Story
Judul, teras (lead) Episode Latar
Semantik
Sintaksis Stilistik Retoris
Maksud
Detail
Nominalisasi Pengandaian Koherensi
Komentar
Main Event Konsekuensi Konteks Sejarah Harapan Evaluasi
Legitimasi Delegitimasi Implisit, Eksplisit
Lokal Global Bentuk Kalimat dan Kutipan Metafora Genre Wacana Lain Leksikon
Unit Analisis Teks Teks, Kalimat
Teks, Kalimat Teks, Kalimat Kata Kalimat Kalimat Teks Kata Kata, Kalimat
17
Komersialisasi Pendidikan Kemudian, struktur wacana tersebut digunakan untuk menganalisis teks berita yang dipilah-pilah menjadi kategori yang berdasarkan level analisis wacana disebut sebagai korpus. Korpus merupakan suatu himpunan terbatas dari unsur yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada aturan yang sama, dan karena itu dapat dianalisis secara keseluruhan. Korpus posisinya menjadi penting karena ia adalah data utama dalam penelitian ini. Sedangkan untuk data wawancara, langkah pertama yang akan dilakukan sebelum melakukan analisis data adalah membuat transkrip wawancara. Transkrip adalah proses mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis berupa teks. Setelah itu transkrip dibaca beberapa kali agar bisa mendapatkan meaning categorization. Meaning categorization adalah proses untuk menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizon atau arti tesktural. Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi. Selanjutnya adalah mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi). Setelah itu adalah memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena tersebut. Hal ini dilakukan dengan data yang diperoleh dari penelusuran literatur untuk mendapatkan pemahaman yang utuh atas teks, kognisi sosial, dan konteks. Data yang diperoleh dari 18
Wisnu Prasetyo Utomo literatur pada dasarnya merupakan data yang sudah jadi sehingga data tersebut langsung bisa digunakan untuk melengkapi data teks dan wawancara untuk menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian.
Sistematika Penulisan Penulisan buku ini akan didasarkan pada tujuh bab pokok. Bab pertama akan menguraikan latar belakang yang membuat penelitian ini layak untuk dikaji, metode pengumpulan data dan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis temuan data. Bagian selanjutnya berisi tentang kerangka pemikiran penelitian yang dibagi dalam dua bab. Bab dua akan melakukan elaborasi atas studistudi yang pernah dilakukan mengenai pers mahasiswa. Secara lebih spesifik akan memperlihatkan karakteristik “menentang kekuasaan” yang dimiliki oleh pers mahasiswa. Karakteristik yang juga terbawa sampai saat ini. Sementara bab tiga melihat situasi pers mahasiswa pasca 1998. Efek disorientasi, dilema profesionalisme-amatirisme, perpecahan PPMI, juga migrasi ke dunia maya menandai masa transisi pers mahasiswa menghadapi era masyarakat informasi. Bab empat kemudian akan memaparkan tiga pers mahasiswa yang diteliti dalam studi ini. Ketiga pers mahasiswa ini lahir di era Orde Baru sehingga konteks historis kehadiran Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU penting dilihat untuk membaca perkembangan saat ini. Bab lima akan mendeksripsikan konteks komersialisasi pendidikan dalam alur kronologis. Arus komersialisasi pendidikan dimulai dari ratifikasi perjanjian WTO oleh pemerintah Indonesia yang kemudian diikuti dengan serangkaian paket kebijakan untuk memutus tanggung jawab pemerintah atas dunia pendidikan. Kebijakan ini kemudian memicu respon masyarakat (termasuk pers mahasiswa) yang menolaknya. Bab enam menjadi pembahasan inti dari penelitian ini. Bab ini akan berisi analisis atas struktur wacana anti komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh ketiga pers mahasiswa. Sedangkan bab tujuh akan menjadi 19
Komersialisasi Pendidikan penutup berisi kesimpulan dan saran terhadap penelitianpenelitian yang mungkin dilakukan selanjutnya.
20
Pers Mahasiswa dalam Lipatan Sejarah
Dalam bentangan sejarah di Indonesia pascakemerdekaan,
pers mahasiswa merupakan salah satu kekuatan sosialpolitik dari berbagai kekuatan dalam masyarakat yang berinteraksi dengan rezim politik tertentu (Raillon, 1985). Seperti yang dijelaskan oleh Abar (1995) interaksi tersebut mewujud dalam dua hal, konvergensi dan divergensi. Konvergensi terjadi ketika konsolidasi kekuasaan negara sedang terjadi. Posisi negara lemah dan posisi masyarakat yang terpecah ke dalam berbagai kelompok kepentingan masih kuat. Negara melakukan proses identifikasi berbagai kelompok yang bisa diajak dalam sebuah partnership. Ketika proses identifikasi sudah selesai dan stabilitas ekonomi politik didapatkan, di titik itulah terjadi divergensi. Negara menunjukkan kekuasaanya dan cenderung menjadi otoriter. Kekuatan-kekuatan sosial-politik lain dalam masyarakat yang dianggap memiliki potensi mengganggu kekuasaan, geraknya dihambat bahkan dihancurkan. Hal itu jugalah yang dilakukan oleh negara terhadap pers mahasiswa. Relasi keduanya selalu dimulai dengan konvergensi dan diakhiri dengan divergensi.
Di Bawah Represi Orde Lama Pascaperjuangan fisik memperjuangkan kemerdekaan 1945-1949, dunia pers di Indonesia mendapatkan momentum untuk tumbuh dan berkembang. Edward Smith (1983) mencatat bahwa pada periode 1950-1953, pers berkembang 21
Komersialisasi Pendidikan dari 75 harian dengan peredaran kira-kira 400.000 menjadi 104 harian dengan peredaran sebanyak 630.000 eksemplar. Pers mahasiswa juga muncul dengan segala hirukpikuknya. David Hill (2011:138) menyatakan setidaknya 35 penerbitan yang dikelola oleh mahasiswa dari beraneka fakultas, universitas, serta kelompok politik dan agama. Banyaknya penerbitan tersebut juga mencerminkan warnawarni politik sebagai konsekuensi dari Demokrasi Liberal yang dipraktikan pemerintahan Soekarno. Pers mahasiswa mendapatkan prestasi tinggi yang menjadi patokan bagi pers mahasiswa di Indonesia tahun-tahun selanjutnya. Selain itu, banyak juga tokoh-tokoh pers mahasiswa yang lahir dalam periode ini seperti Teuku Jacob, Koesnadi Hardjasoemantri, dan Nugroho Notosusanto. Pada tahun 1955, sepuluh pers mahasiswa dari beberapa daerah di Indonesia mengadakan konferensi pers mahasiswa di Kaliurang, Yogyakarta. Konferensi ini adalah konferensi tingkat nasional pertama pers mahasiswa dalam sejarah republik. Beberapa hal yang patut dicatat dalam konferensi adalah terbentuknya organisasi pers mahasiswa yang berupa IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Selain itu Kode Jurnalistik Mahasiswa juga berhasil disusun sebagai panduan operasional bagi aktivis pers mahasiswa di Indonesia. Dua orang perwakilan dari organisasi tersebut juga ikut serta dalam konferensi internasional pers mahasiswa di Manila. Konferensi ini menyepakati bahwa peran pers mahasiswa di negara berkembang harus diarahkan pada pembentukan nation building (Satrio Arismunandar, 2005:86). Konferensi juga menyepakati diadakannya konferensi lanjutan yang lebih sempurna. Era ini merupakan puncak romantisme antara pers mahasiswa dengan pemerintah. Wisaksono Noeradi (2008:42-43) mencatat: 22
Wisnu Prasetyo Utomo Pemerintah c.q Kementerian Penerangan selalu menganjurkan toleransi antara mereka yang bertentangan paham dan berupaya mempertinggi critische zin rakyat. Tumbuhnya pers mahasiswa yang zakelijk-objectief dan wetenschappelijk sungguh menguntungkan bagi usaha penerangan pemerintah.
Sikap tersebut memang dibuktikan Kementerian Penerangan yang memberi bantuan tanpa syarat kepada pers mahasiswa. Untuk mencetak “Buku Pers Mahasiswa Indonesia” misalnya, SPMI dan IWMI diberi izin memanfaatkan Percetakan Negara tanpa ada keinginan untuk meneliti apalagi menyensor isi buku terlebih dahulu. Romantisme ini bahkan membuat pers mahasiswa berani bersuara keras kepada pemerintah. Meskipun sikap keras ini pada akhirnya berbalik menjadi bumerang. Selama tahun 1958 para pegiat pers mahasiswa terutama Jakarta dan Yogyakarta sering bertemu dan membahas situasi politik nasional. Dinamika pergolakan berbagai daerah di Indonesia diikuti melalui Radio Australia dan menjalin jaringan dengan berbagai diplomat negara sahabat yang ada di Indonesia. Isu mengenai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tak urung menjadi bahan diskusi. Aktivitas ini dipantau oleh Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR). Nama-nama aktivis pers mahasiswa yang sering terlibat dalam diskusi mendapat black list oleh KMKBDR. Hampir setiap minggu ada yang “dijemput” atau “disimpan” (Wisaksono Noeradi, 2008:42). Ancaman ini sendiri tidak membuat aktivis pers mahasiswa turun nyalinya. Mereka tetap memberitakan berita-berita dengan kritis. Majalah Forum misalnya. Majalah mahasiswa yang terbit di Jakarta ini berani memberitakan aksi “Appeal Mahasiswa” pada 14 Februari 1958. Aksi ini adalah bentuk protes mahasiswa agar pemerintah pusat tidak akan melakukan tindak kekerasan kepada PRRI yang melakukan pemberontakan. Keberanian memberitakan ini tidak main-main sebab tidak ada satu pun yang memberitakan 23
Komersialisasi Pendidikan unjuk rasa ini. Sebuah koran terkemuka bahkan tidak jadi menurunkan peristiwa ini sebagai berita utama karena ketakutan akan ditindak oleh aparat keamanan (Wisaksono Noeradi, 2008:41). Sementara itu setelah konferensi internasional, IWMI dan SPMI sepakat untuk melebur menjadi satu organisasi. Kesepakatan ini diambil oleh perwakilan pers mahasiswa yang hadir pada kongres pers mahasiswa Indonesia II pada tahun 1958. Nama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) diambil sebagai wadah tunggal yang representatif dalam mewakili kepentingan pers mahasiswa di Indonesia. Sayang, kelahiran IPMI ini datang dalam konteks waktu yang tidak tepat. Pertengahan tahun 1958 adalah titik balik bagi bangsa Indonesia termasuk juga relasi antara negara dan pers mahasiswa yang berubah dari konvergensi menjadi divergensi. Herberth Feith (2007) mencatat titik balik ini: “...tahap masa peralihan struktural berakhir. Keadaan amat sulit diramalkan selama dua tahun sejak pertengahan 1956 telah beralih kepada interaksi yang berpola lebih jelas, kepada apa yang disebut sebagai suatu sistem. Lalu, apa determinan-determinan untuk sistem sesudah pertengahan 1958: demi kemudahan, kita hendaknya mengacu kepada sistem baru ini sebagai demokrasi terpimpin...”
Demokrasi liberal memasuki tahap akhir ketika Soekarno menjadi titik sentral kekuasaan dengan mengebiri kekuatan parlemen, konstituante, dan beberapa partai politik. Sentralisasi kekuasaan ini semakin ditegaskan dengan keluarnya dekrit presiden pada 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan amanat untuk kembali kepada UUD 1945. Feith menyebut bahwa Indonesia mulai memasuki masa otoriter di mana politik telah kehilangan ciri keterbukaannya. Di era Demokrasi Terpimpin, Soekarno menginstruksikan semua organisasi kemasyarakatan harus berafiliasi kepada partai politik untuk mendukung revolusi. Instruksi ini juga menyentuh organisasi pers, tidak 24
Wisnu Prasetyo Utomo terkecuali pers mahasiswa. Afiliasi ini, menurut Hill (2011), harus diumumkan secara terbuka kepada khalayak. Tidak boleh ada pers mahasiswa yang mengambil sikap netral. Mereka yang tidak mau mengumumkan afiliasi ini atau mencoba tetap berada pada posisi netral mendapat tudingan sebagai pendukung kekuatan-kekuatan konservatif yang antikomunis dan Soekarno. Keharusan untuk berafiliasi ini diteguhkan melalui serangkaian peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Pada 12 Oktober 1960, Soekarno mengeluarkan Pedoman Penguasa Perang Tertinggi untuk Pers Indonesia yang mewajibkan semua pers Indonesia untuk menjadi pendukung, pembela, dan alat penyebar Manifesto Politik Soekarno.2 Ashadi Siregar dalam Abar (1995:61) mencatat pedoman ini sebagai awal dimulainya tradisi regulasi terhadap pers. Sejak saat itu, penguasa selalu melakukan kooptasi terhadap pers melalui praktik regulasi yang represif dan menindas. Secara otomatis, kebebasan pers dibatasi dengan ketat. Soekarno sendiri mengakui pembatasan ini karena kebebasan pers yang kebablasan hanya akan menggerogoti revolusi yang belum selesai. Seperti yang ia ungkapkan dalam Cindy Adams (2011:338);
“Karena kami masih dalam tahap revolusi ekonomi, aku tidak mengizinkan kritik-kritik yang merusak kepemimpinanku, begitu juga aku tidak mengizinkan kemerdekaan pers yang sangat bebas. Kami negara yang terlalu muda, sehingga kemerdekaan pers yang sangat bebas bisa membuat lebih kacau dari sebelumnya.
Pembatasan terhadap kebebasan pers ini juga ditandai dengan ancaman yang diberikan oleh Soekarno. Presiden pertama di republik ini mengatakan bahwa ia akan “menjewer kuping” kepada pers yang melewati batas; 2 Pedoman ini berisi delapan hal yang dengan detail mengatur apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pers. Selengkapnya baca Abdurrahman Surjomiharjo dalam Akhmad Zaini Abar (1995:61-62)
25
Komersialisasi Pendidikan “Aku jewer kupingnya. Ini berarti, aku melarang terbit
koran yang bersalah itu selama seminggu. Kadangkadang dua minggu. Kalau terjadi lagi, aku cabut izin terbitnya selama tiga minggu. Sebagai tindakan terakhir, aku menutup korannya sampai waktu yang tidak tertentu. (Cindy Adams, 2011:339)”
Situasi politik seperti ini telah memukul pers mahasiswa di berbagai daerah yang menyatakan dirinya independen. Satrio Arismunandar (2005:86) mencatat di Yogyakarta, Majalah Gadjah Mada dan GAMA mati. Sedangkan di Jakarta, majalah Forum dan Mahasiswa berhenti terbit. Padahal, tiga dari empat pers mahasiswa tersebut adalah aktor utama yang menginisiasi konferensi pertama pers mahasiswa di tingkat nasional. Meskipun demikian, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tidak menunjukkan rasa takut. Induk organisasi pers mahasiswa se-Indonesia ini bahkan melakukan perlawanan. IPMI menolak mencantumkan Manipol Usdek dalam anggaran dasar organisasi. Organisasi massa kiri menuduh IPMI tidak mendukung jalannya revolusi karena tidak mencantumkan Manipol Usdek dalam anggaran dasar organisasi. Bahkan seperti dituturkan Amir Effendi Siregar (1983:45), mereka secara langsung menuduh bahwa IPMI menjadi underbouw dari Partai Islam Masyumi yang ketika itu dilarang oleh Soekarno. Perlawanan IPMI ditunjukkan dalam surat pernyataan bersama yang mereka siarkan. Menurut Sekjen IPMI saat itu, Nono Anwar Makarim, pers mahasiswa membawa kepentingan seluruh mahasiswa di Indonesia. Karena itu ia tidak boleh berpihak kepada sebuah golongan mahasiswa tertentu saja. Nono juga menambahkan bahwa revolusioner tidaknya sebuah organisasi bisa dilihat dari tindakan yang dilakukannya dalam memperjuangkan masyarakat tertindas. Ketika hendak meneguhkan sikap IPMI dalam kongres yang akan digelar akhir tahun 1965, tiba-tiba peristiwa 30 September meletus. Peristiwa ini secara dramatis mengubah iklim politik di Indonesia dan secara otomatis juga peran IPMI. IPMI dan pers mahasiswa 26
Wisnu Prasetyo Utomo antikomunis lolos dari gelombang bredel yang dilakukan pemerintah terhadap organisasi pers kiri. Secara otomatis, mereka yang lolos dari gelombang ini kemudian terlibat dalam gerakan untuk menumbangkan Orde Lama dan Soekarno. Sementara itu, situasi perekenomian semakin memburuk. Sebagaimana yang dicatat oleh Arief Budiman (1983), inflasi semakin merajalela (untuk Jakarta, indeks konsumsi berkisar pada titik 100 pada tahun 1958 dan mencapai 267 pada tahun 1965). Neraca pembayaran menipis, utang luar negeri meningkat, sedangkan tabungan nasional hampir kosong. Bahan-bahan pokok seperti tekstil dan beras juga semakin langka dan susah diakses oleh masyarakat karena harganya yang melambung tinggi. Keadaan inilah yang membuat radikalisasi pers mahasiswa berlangsung dengan demikian cepat dan progresif. IPMI kemudian membentuk surat kabar mahasiswa yang bernama Harian KAMI. Nama ini memang disamakan dengan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) karena Harian KAMI menjadi biro penerangan dari organisasi tersebut. Nono Anwar Makarim menjadi pemimpin redaksi pertamanya. Langkah ini juga diikuti oleh kelahiran banyak pers mahasiswa yang menyatakan diri sebagai anggota IPMI. Seperti yang dicatat oleh Satrio Arismunandar (2005:87) di Jakarta terbit Mahasiswa Indonesia dan Harian Kami. Di Bandung: Mahasiswa Indonesia (edisi Jawa Barat) dan Mimbar Demokrasi. Di Yogyakarta: Mahasiswa Indonesia (edisi Jawa Tengah) dan Muhibbah. Di Banjarmasin: Mimbar Mahasiswa. Di Pontianak: Mingguan KAMI (edisi Kalimantan Barat). Di Surabaya: Mingguan KAMI (edisi Jawa Timur). Di Malang: Gelora Mahasiswa Indonesia. Di Makassar: Mingguan KAMI, serta di beberapa daerah lain di Indonesia. Mahasiswa Indonesia dan Harian KAMI menjadi pemimpin terdepan dalam aksi-aksi protes yang dilakukan mahasiswa. Kedua pers mahasiswa tersebut lahir pada pertengahan 1966 sebagai respon terhadap kondisi pers umum yang tidak memiliki keberanian bersuara. Para pendiri kedua 27
Komersialisasi Pendidikan harian ini sebagian besar merupakan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan sinis mereka mengatakan bahwa pers Indonesia adalah “pers yang tidak mampu”, “tidak berdaya”, dan hanya mengabdi pada kepentingan penguasa. Ketidakberdayaan warisan otoritarianisme Demokrasi Terpimpin yang membatasi gerak pers dan menjadikannya bersikap konformis, malas secara intelektual, dan pasif (Francois Raillon, 1985:339). Kritikan ini dilanjutkan dengan gaya jurnalisme yang meledak-ledak dan serangan yang gencar terhadap Soekarno dengan membongkar mitos pengkultusan individu terhadap Soekarno. Rangkaian seri artikel yang dimuat dalam enam terbitan No. 35 sampai dengan 40 bulan Februari-Maret 1967 ini diberi judul “Desoekarnoisasi: Mengakhiri Kultus Individu”. Mahasiswa Indonesia membongkar mitos mengenai Soekarno yang berhubungan dengan pribadi langsungnya, dan yang berhubungan dengan peranan dirinya sebagai tokoh politik (Francois Raillon, 1985:135). Serangan gencar yang dilakukan terhadap Soekarno tersebut menandai sikap pers mahasiswa untuk masuk dalam medan pertarungan kekuatan-kekuatan politik di Indonesia. Tidak hanya mengincar Soekarno, IPMI juga mulai membersihkan pers mahasiswa anggotanya yang dianggap sudah kemasukan unsur komunis. Keberanian untuk masuk ke medan konflik juga dikarenakan dukunganpartnershipmiliter dalam aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Saat itu memang ada irisan kepentingan antara mahasiswa antikomunis dan Soekarno dengan militer yang mencoba menguasai tampuk kepemimpinan nasional secara total tanpa mengotori diri. Era konvergensi antara negara dan pers mahasiswa dimulai kembali.
28
Wisnu Prasetyo Utomo Berkolaborasi dengan Orde Baru Setelah represi politik berkepanjangan selama periode Demokrasi Terpimpin, bisa dibilang periode ini menjadi era keemasan pers mahasiswa Indonesia. Perlu diperhatikan juga bahwa pers mahasiswa memberikan dukungannya kepada kekuatan-kekuatan politik Orde Baru untuk melengserkan Soekarno dan membentuk tatanan kehidupan berbangsa yang baru. Dukungan ini semakin mutlak setelah Soekarno resmi lengser dan digantikan Soeharto. Raillon (1985) menyebutkan bahwa mereka percaya bahwa modernisasi, reformasi, dan keberhasilan pelaksanaannya hanya mungkin dilaksanakan dalam rezim Orde Baru. Harian KAMI edisi 25 Juli 1966 bahkan secara tegas mendukung Orde Baru dengan membandingkannya dengan Orde Lama. Caranya dilakukan dengan memberikan penilaian-penilaian positif yang bertolak belakang dengan berbagai kebusukan Orde Lama. Ini adalah upaya identifikasi konseptualteoretis yang menyumbangkan ide bagi tegaknya ideologi Orde Baru3. Dengan perbandingan tersebut, bisa dibilang bahwa Orde Lama adalah raison d’etre Orde Baru. Semua hal yang salah ditimpakan kepada Orde Lama dan Orde Baru adalah antitesis hal-hal tersebut. Sikap untuk terlibat lebih jauh dalam pertarungan politik anti Orde Lama ini juga bisa dilihat dari penelitian Siregar (1983) terhadap tiga pers mahasiswa terbesar saat itu. Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, dan Mimbar Demokrasi memberi porsi yang sangat besar untuk berita-berita politik. Persentasenya selalu lebih dari 60%. Berita politik Mahasiswa Indonesia bahkan mencapai angka 94,62%. Hanya 5,38% untuk berita kebudayaan. Dengan persentase yang demikian besar, wajar jika saat itu banyak intelektual dan tokoh politik yang 3 Beberapa perbandingan misalnya menyebut Orde Baru sebagai sistem yang mementingkan rakyat, mengembang amanat penderitaan rakyat, dan berpikir realistis. Berbeda dengan Orde Lama yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak terharu penderitaan rakyat dan tak berpikir riil. Selengkapnya baca di Abar (1995:86-87)
29
Komersialisasi Pendidikan menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya melalui harian tersebut. Sebagai ceruk pemikiran intelektual, ide-ide modernisasi dan pembangunan Orde Baru didiskusikan di sini. Mahasiswa Indonesia bahkan memiliki peran signifikan dalam menyumbangkan pemikiran mengenai doktrin dan strategi Orde Baru. Dukungan ini diperlihatkan di tahuntahun berikutnya dan mencapai puncak ketika pemilihan umum yang pertama pasca Orde Lama akan digelar tahun 1971. Raillon (1985:332) mengatakan ada tiga tingkat peran Mahasiswa Indonesia dalam pembentukan Orde Baru yaitu politik, ideologi dan kritik. Seperti yang disebutkan di atas, pers mahasiswa memutuskan untuk masuk ke dalam gelanggang konflik kekuasaan dan menjadi satu kekuatan politik tersendiri. Aktivis yang tergabung di Mahasiswa Indonesia bahkan sering kali lebih radikal dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa Jakarta. Pemimpinpemimpinnya seperti Rahman Tolleng dan Awan Karmawan Burhan memimpin dengan amat gencar kampanye negatif terhadap Soekarno yang saat itu masih menjabat sebagai kepala negara. Kampanye opini berlangsung sampai sang Pemimpin Besar Revolusi lengser dari jabatannya pada bulan Februari 1967. Sikap politik benar-benar diarahkan kepada Orde Baru yang mereka beri kepercayaan untuk memodernisasi Indonesia. Selain sikap politik dengan keberpihakan yang tegas tersebut, Mahasiswa Indonesia telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi tegaknya ideologi Orde Baru. Mingguan ini dengan konsisten mengemukakan ide-ide modernisasi dan pembangunan di Indonesia selama hampir delapan tahun dengan 400 edisi terbitan. Tahun-tahun tersebut adalah periode ketika rezim sedang mulai mencari legitimasi dan keabsahan ideologisnya. Dan tanpa ragu-ragu Mahasiswa Indonesia mencoba mengindonesiasikan idelogi pembangunanisme yang terpengaruh dari ilmu-ilmu sosial positivistik ala Amerika. Sementara aksi politik Mahasiswa Indonesia mendapat dukungan dari elite militer, ideologi 30
Wisnu Prasetyo Utomo pembangunan yang mereka dukung juga sudah disusun dengan detail oleh para teknokrat sipil loyalis Soeharto. Dua peran tersebut dilengkapi dengan peran kritikkritiknya yang terkadang keras dan tajam. Inilah hubungan cinta dan benci antara Orde Baru dan Mahasiswa Indonesia. Mahasiswa Indonesia menyerang siapa pun pihak yang tidak sepakat dengan ide-ide mereka dalam menegakkan Orde Baru. Mereka bahkan mencap pihak-pihak yang tidak sepakat tersebut sebagai penghambat pelaksanaan program pembangunan ekonomi. Ketika pihak-pihak tersebut berasal dari sisa-sisa Orde Lama, kritikan sekeras apapun yang diberikan Mahasiswa Indonesia tetap mendapatkan dukungan dari militer. Namun, ketika kritik diarahkan kepada internal Orde Baru sendiri, mereka mengambil resiko merusak hubungan partnership yang telah lama dibangun. Dilema ini muncul sekitar tahun 1973-1974 ketika Orde Baru dianggap telah mengkhianati misi awal keberadaannya. Konsekuensi kritik ini sungguh telak. Pada 15 Januari 1974, Mahasiswa Indonesia dibredel oleh rezim yang mati-matian mereka bela. Akhir yang tragis tersebut begitu kontras dengan dukungan yang diberikan Mahasiswa Indonesia menjelang pemilu 1971. Seperti yang diungkapkan oleh Raillon (1985:87), Mahasiswa Indonesia menjelang pemilu 1971 memperbanyak serangan terhadap partai politik yang mere-ka tuduh telah melakukan aksi-aksi intimidasi terhadap Golkar dan Orde Baru. Dukungan terhadap Golkar bahkan dilipatgandakan dengan mengampanyekan bahwa “tidak ada pilihan lain selain Golkar”. Beberapa pengamat memberikan kritik atas sikap Mahasiswa Indonesia yang berlebihan dan subjektif tersebut. Arief Budiman salah satunya. Arief menganggap bahwa koran ini telah mengkhianati misinya. Mahasiswa Indonesia dianggap sudah berpihak dan melupakan tugas sebagai alat kontrol sosial. Ia bahkan mengatakan bahwa koran ini sudah sepenuhnya menjadi pamflet. Seperti yang ditulis Arief: 31
Komersialisasi Pendidikan “Dia tak kritis lagi terhadap hal-hal yang tak benar yang dilakukan Golkar, dan dia terlalu kritis terhadap apa saja yang dilakukan oleh Parpol-Parpol. Mahasiswa Indonesia sudah “menjadi pamflet” (Francois Raillo, 1985:87).
Menanggapi tulisan Arief ini, Mahasiswa Indonesia justru membela diri dan mengatakan bahwa mingguan ini tidak bisa disamakan dengan penerbitan biasa. Sebab, Mahasiswa Indonesia adalah journal of ideas yang tidak pernah berdiri netral dan senantiasa berpihak. Arogansi tersebut semakin menjadi semakin berlebihan pascakemenangan Golkar di Pemilu 1971. Padahal, sejarah mencatat bahwa kemenangan mutlak Golkar ini menjadi tanda konsolidasi kekuasaan Orde Baru mulai memasuki fase akhir. Koalisi kekuasaan yang solid telah tercipta dengan melibatkan militer, teknokrat liberal, pengusaha domestik besar, dan modal asing. Penetrasi militer merasuk begitu dalam birokrasi negara dari pusat sampai daerah. 1. Era Pemberedelan Kembali (1971-1980) Dengan kekuasaan mutlak yang sudah berada di tangan, Orde Baru mulai menjinakkan kekuatan-kekuatan yang dianggap bisa merongrong kekuasaannya. Pers mahasiswa yang dianggap sebagai bahaya laten mulai didesak untuk back to campus. Upaya-upaya korporatis juga mulai dilakukan. Pada tahun 1969, pemerintah mendirikan Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI) yang membawahi penerbitan-penerbitan kampus di bawah struktur Dewan Mahasiswa. Pembentukan organisasi ini bisa dikatakan mengerdilkan peran IPMI yang sebelumnya menjadi representasi suara pers mahasiswa di Indonesia. IPMI sendiri tak kuasa melawan tekanan pemerintah ini. Pada kongres tahun 1971, IPMI melakukan regenerasi kepemimpinan di mana Fahmi Alatas terpilih sebagai ketua menggantikan Nono Anwar Makarim. Di kongres yang sama juga IPMI mengambil keputusan dan menginstruksikan kepada 32
Wisnu Prasetyo Utomo seluruh anggotanya untuk kembali ke kampus. Argumentasi ini, selain didasarkan pada tekanan dan upaya pengerdilan pemerintah, juga dilandasi dilema yang mengganggu pers mahasiswa. Seperti diungkapkan oleh Ismid Hadad, wakil ketua IPMI Pusat saat itu dalam Majalah Tempo 5 Juni 1971:
“Jika IPMI lebih menekankan garis kemahasiswaan, menurut pengalaman-pengalaman yang lalu kegiatannya jadi serba amatir, dan yang lebih penting pengaruhnya kurang. Tapi kalau sebaliknya garis profesionalisme yang dipertahankan, maka IPMI akan kehilangan tempat berpijak di dunia mahasiswa.”
Dilema yang tak akan pernah tuntas itu kemudian disudahi dengan jalan kembali ke kampus yang artinya pers mahasiswa sepenuhnya bersifat amatir. Meskipun demikian IPMI masih mencoba memberikan kesempatan kepada senior-senior pers mahasiswa untuk mengajari profesionalisme kepada adik-adiknya. Berdasarkan kesepakatan kongres 1971, kesempatan ini dilakukan dengan cara membagi status keanggotaan menjadi anggota biasa dan anggota luar biasa. Nono Anwar Makarim menjelaskan bahwa:
“Keputusan berkata: anggota biasa ialah semua aktivis dan penerbitan serta pemancar radio di dalam kampus, sedang anggota luar biasa ialah semuanya yang masih pakai predikat mahasiswa secara sah, tapi berpangkalan di luar kampus. Jika keterangan itu masih kurang terang, barangkali sejarah pers mahasiswa sedikit bisa membantu menjelaskan (Majalah Tempo, 8 Januari 1972).”
Fenomena back to campus menandai babak baru kehidupan pers mahasiswa di tanah air. Peristiwa ini nanti akan terulang lagi pascareformasi 1998. Namun secara lebih spesifik akan dijelaskan di bagian lain dalam bab ini. Keputusan kongres IPMI membuat pers mahasiswa dipaksa untuk tunduk dan berada di bawah 33
Komersialisasi Pendidikan struktur birokrasi universitas. Ruang geraknya dibatasi, dan orientasi pemberitaannya kemudian lebih banyak mengenai isu-isu di dalam kampus. Wajar jika pers mahasiswa kemudian melemah dan tidak memiliki daya dobrak seperti yang pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Beberapa yang masih bersuara nyaring adalah Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, Mimbar Demokrasi, dan Sendi yang kemudian dibredel setelah terbit selama 13 edisi. Sementara itu, Orde Baru dengan kekuasaan yang hampir mutlak berada dalam genggaman mulai menunjukkan arogansinya. Salah satu bentuk arogansi Orde Baru bisa dilihat ketika Ibu Negara, Tien Soeharto, menginisiasi proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ketika berkunjung ke Thailand, ibu negara terkesan dengan Thailand in Miniature yang lebih dikenal sebagai Tim Land. Gagasan Ibu Tien ini disampaikan dalam pertemuan Gubernur se-Indonesia pada Desember 1971 yang diselenggarakan di Istana Negara. Untuk membangun megaproyek ini, dibutuhkan dana yang mencapai Rp10,5 Miliar. Karena itu ia meminta para gubernur daerah memberikan sumbangan sukarela yang jumlahnya sudah ditetapkan sebesar Rp50.000.000 per provinsi. Ironisnya adalah, pada pertemuan yang sama sehari sebelumnya, Soeharto meminta kepada para gubernur untuk melakukan gerakan penghematan dan lebih memberikan prioritas keuangan pada agenda pembangunan. Protes-protes dari pers mahasiswa kemudian juga bermunculan menanggapi proyek mercusuar tersebut. Mahasiswa Indonesia misalnya, juga mulai melakukan kritik karena melihat tanda-tanda Orde Baru akan menyimpang. Dalam salah satu beritanya untuk menanggapi pembangunan proyek ini mereka menulis: 34
“...Kalau kepada rakyat kita menganjurkan untuk sedikit menekan konsumsinyayang sudah di bawah ukuran yang layak ituuntuk ditabungkan, maka
Wisnu Prasetyo Utomo tidaklah sepantasnya, apabila masih ada proyek-proyek pembangunan yang bersifat mercusuar, dengan biaya nonbudgeter sekali pun (Francois Raillon, 1985:95).”
Kritik pedas lainnya diberikan oleh Sendi. Seperti dicatat Daniel Dhakidae dalam Candra Gautama (2010:153) ketika protes-protes mahasiswa memuncak, Sendi menulis artikel “Mukaddimah” yang isinya: “Bahwa sesungguhnya hasil kemerdekaan itu ialah hak segelintir orang dan oleh sebab itu, maka penindasan dan kesewenang-wenangan layak terjadi karena sesuai dengan kediktatoran dan militerisme. Dan perjuangan sementara penguasa dan istrinya telah sampai kepada saat yang berbahagia sebab mumpung hidup dapat mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Atas berkat rahmat setan dan dengan didorongkan oleh keinginan untuk dipatuhi, maka penguasa rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kekuasaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu penguasa yang kuat, yang memerintah segenap bangsa Indonesia dan dan seluruh kekayaan Indonesia, dan untuk menegakkan gengsi-gengsi pribadi, ikut memelaratkan bangsa, maka disusunlah ketetapan Indonesia Mini yang terbentuk dalam sebuah Yayasan ‘Harapan Kita’. Sekian.”
Saat itu, Sendi menjadi pers mahasiswa yang nyaring bersuara keras terhadap Orde Baru yang dirasakan mulai berlaku sewenang-wenang. Max Lane (2008) mencatat bahwa koran ini menulis kritik yang tajam mengenai berbagai hal. Di antaranya adalah lemahnya riset kritis serius di universitas-universitas, dagelan pemilu 1971, pemerintah mengabaikan pembiayaan pendidikan, pembangunan hanyalah slogan kosong yang digunakan pemerintah. Kritik mengenai arogansi kekuasaan terhadap warga sipil juga tak luput menjadi perhatian. Kritikan-kritikan menunjukkan keberanian dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru yang semakin mapat. Keberanian ini mesti dibayar dengan harga yang teramat mahal. Beberapa saat setelah memberitakan 35
Komersialisasi Pendidikan “Mukaddimah” di atas, pemerintah Orde Baru melalui Departemen Penerangan mencabut izin Sendi melalui telegram. Pencabutan izin ini dituangkan dalam Surat Keputusan Dirjen Pers & Grafika nomor 04/SK/Dirjen/ PG/K/lg72 tertanggal 7 Februari 1972. Panglima Kodam Diponegoro menyatakan bahwa Sendi telah menghina negara dan Pancasila dengan “mendemonstrasikan moral jurnalistiknya yang teramat rendah”. Karenanya akan dilakukan tindakan tegas. Tindakan ini memang akhirnya dibuktikan dengan mengajukan para pengurusnya ke pengadilan. Jaksa menggunakan haatzaai artikelen (pasal-pasal kebencian) dan menyatakan bahwa Sendi bersalah menghina kepala negara. Ashadi Siregar, pemimpin redaksi Sendi, divonis dengan hukuman tiga bulan dengan enam bulan masa percobaan. Pengadilan ini bahkan mengundang perhatian internasional di mana perwakilan dari Amnesty Internasional datang mengikuti pengadilan. Dengan vonis pengadilan ini, Sendi resmi mati. Koran ini dicabut tepat setelah terbit 13 edisi (Majalah Tempo, 26 Februari 1972). Dan peristiwa ini menjadi pembredelan pertama yang dilakukan Orde Baru terhadap pers mahasiswa. Peristiwa yang pada tahun selanjutnya akan diikuti pembredelan besar-besaran. Yang menarik, aksi pembredelan pertama yang dilakukan pemerintah ini justru mendapatkan dukungan dari Mahasiswa Indonesia meski mereka juga menolak proyek TMII. Alih-alih memberikan dukungan kepada sesama pers mahasiswa, Mahasiswa Indonesia justru bisa memahami sikap pemerintah karena Sendi dianggap sudah kebablasan. Kebablasan dalam arti tidak menghormati lagi kepada pemimpin yang merupakan sesepuh bangsa. Padahal, wajah pemimpin adalah wajah masyarakatnya juga. Artinya, pemimpin tetap harus dipatuhi karena ia duduk dalam kursi kepemimpinan. Seperti yang mereka tulis: 36
Wisnu Prasetyo Utomo “Dan apa yang justru dilakukan oleh Mingguan Sendi? Banyak orang berkatadan kuatir sejak mulabahwa Sendi ini terlalu berani dalam melancarkan kritik, terlalu to the point... Mereka seolah-olah meninggalkan nilai-nilai budaya lama bangsa yang agung dan mulia yang masih berlaku. Dan salah satu unsur budaya lama yang luhur itu adalah ketenteraman (Francois Raillo, 1985:254).”
Protes-protes menolak proyek TMII ini mereda seiring sikap DPR yang memutuskan bahwa proyek itu boleh diteruskan dengan catatan tidak menggunakan fasilitas negara dan tidak ada sumbangan wajib. Apa yang bisa diperhatikan dari sini? Protes-protes boleh mereda tetapi isu TMII dan pembredelan Sendi ini menjadi titik balik dramatis yang menunjukkan bahwa Orde Baru mulai berani melakukan cara-cara represif dalam menghadapi aksi-aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa. Sementara itu mahasiswa juga semakin yakin bahwa Orde Baru mulai menunjukkan kecenderungan otoritarianismenya. Indikasi otoritarianisme ini setidaknya bisa dilihat dari pernyataan Soeharto dalam Ramadan KH (1989:315) untuk menanggapi aksi-aksi anti TMII tersebut. “Saya akan menindak jika mereka terus melakukan tindakan mereka yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Kalau mereka tidak mengerti akan kalimat tidak akan saya biarkan, terus terang saja akan saya tindak demi kepentingan negara dan bangsa. Supersemar bisa saya pergunakan untuk mengatakan keadaan dalam darurat.”
Meminjam istilah Arbi Sanit, ini adalah masamasa pecahnya bulan madu politik antara mahasiswa dan pemerintah. Tanda-tanda menunjukkan bahwa partnership yang pernah bersama-sama menghadapi Soekarno akan segera berakhir. Selain karena represi yang mulai ditunjukkan pemerintah, pecahnya bulan madu ini juga dikarenakan agenda pembangunan Orde Baru yang mulai menyimpang. Politik pembangunan yang salah arah menyebabkan ketimpangan sosial semakin menjadi-jadi.
37
Komersialisasi Pendidikan Kemiskinan semakin parah sementara utang luar negeri semakin menumpuk. Hal ini masih diperparah dengan korupsi birokrasi yang semakin menggurita. Penetrasi modal asing semakin mencengkeram republik. Dalam konteks yang demikian pecahlah huru-hara Anti Tionghoa di Bandung pada tanggal 5 Agustus 1973.4 Sejak saat itu, kecaman dan protes-protes menolak modal asing dilontarkan oleh Mahasiswa Indonesia. Prakondisi yang kemudian memuncak pada tanggal 15 Januari 1974. Memanfaatkan momentum kedatangan Perdana Menteri Tanaka ke Indonesia, demonstrasi besar-besaran terjadi di Jakarta. Demonstrasi yang mengikutsertakan mahasiswa dalam jumlah ribuan ini kemudian berubah menjadi kerusuhan massal di Jakarta. Peristiwa hari itu sendiri mengakibatkan 9 orang meninggal dan 23 orang luka parah maupun ringan, 269 mobil terbakar, 253 mobil rusak, 94 sepeda motor terbakar dan 43 rusak, 5 gedung dibakar, 113 dirusak, dan 5 bangunan industri rusak berat (Francois Raillon, 1985:369). Penerbitan pers termasuk pers mahasiswa yang melaporkan peristiwa ini diberedel. Ada 8 penerbitan termasuk Mahasiswa Indonesia dan Harian KAMI yang diberedel oleh pemerintah. Menteri Penerangan melalui Surat Keputusan No. 146/KEP/MENPEN/1975 mengatakan bahwa pers mahasiswa “tidak diperkenankan sebagai sarana dalam bentuk apapun untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik praktis.” Pers mahasiswa yang berada di kampus dan memenuhi syarat tersebut lolos dari badai pemberelan (David Hill, 2011:141). Pembredelan ini menandai babak baru pers mahasiswa di bawah Orde Baru. Tidak ada lagi suara-suara kritis menentang pemerintah seperti yang
4 Kerusuhan ini berawal dari insiden tabrakan antara penduduk lokal di Bandung yang mengendarai pedati dengan warga keturunan Tionghoa yang mengendarai mobil. Berawal dari tabrakan ini, kesalahpahaman tak terhindarkan dan memicu pertengkaran. Pertengkaran kemudian menjadi kerusuhan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Kemarahan masyarakat pada awalnya diarahkan kepada penduduk Tionghoa yang tinggal di Bandung. Karena itu sweeping sekota dilakukan. Kerusuhan yang tak terkendali kemudian membuat terjadinya penjarahan di mana-mana. Selengkapnya baca Rum Aly (2004:249-250).
38
Wisnu Prasetyo Utomo pernah dilakukan oleh Mahasiswa Indonesia maupun Harian KAMI. Pers mahasiswa mulai terlokalisir di kampus dan keberadaannya begitu menjamur. Di UI Jakarta terbit Salemba, Aspirasi di Unpad Bandung, Scientiae di ITB Bandung, Derap Mahasiswa di IKIP Yogyakarta, Gelora Mahasiswa di UGM, dan juga Airlangga di Unair Surabaya. Beberapa pers mahasiswa tersebut pada awalnya lebih banyak mengupas berita-berita mengenai kampus dan pendidikan. Kita bisa merujuk pada penelitian Daniel Dhakidae (1977) yang meneliti Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Derap Mahasiswa. Penelitian Dhakidae menunjukkan bahwa hal-hal yang sifatnya kebijakan akademis kampus dan dekat dengan mahasiswa menjadi titik perhatian. Meskipun demikian, ada hal menarik yang bisa dibaca dari penelitian tersebut. Perbedaan orientasi pemberitaan barangkali sudah menjadi “fitrah gerakan” bahwa mahasiswa akan selalu resah melihat situasi yang tidak seideal yang diharapkan. Inilah penjelasan yang tepat untuk pemberitaan pers mahasiswa. Menjelang pemilihan umum 1977 dan Sidang Umum MPR 1978, pers mahasiswa mulai bersikap kritis. Sikap kritis ini muncul karena pers umum tidak berani memberitakan beritaberita yang memuat kesalahan-kesalahan pemerintah. Keberanian untuk bersikap kritis ini bisa dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Siregar (1983:96) dan menunjukkan bahwa berita-berita tentang politik menempati porsi terbesar dalam setiap pemberitaannya. Pada titik ini kita tidak perlu mempertanyakan lagi rasa keterlibatan pers mahasiswa dalam masalah-masalah sosial politik yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam melihat ini, Dhaniel Dhakidae mengatakan bahwa dalam diri pers mahasiswa Indonesia pasca Malari 1974 telah berkembang apa yang ia sebut sebagai adversary journalism (jurnalisme penantang). Pers mahasiswa telah memosisikan diri sebagai oposisi politik bagi pemerintah karena itu mereka secara langsung bersikap partisan. Tak heran jika Dhakidae lantas melanjutkan 39
Komersialisasi Pendidikan bahwa pers mahasiswa periode ini adalah journal of opinion. Apa yang ditampilkan dalam berita-beritanya adalah biasa pandangan ideologinya. Bahkan merupakan sikap politik yang diyakini. Sikap politik ini tercermin dari performance bahasa jurnalistik pers mahasiswa yang banyak menggunakan konsepsi-konsepsi abstrak, pernyataan keharusan, dan pertanyaan-pertanyaan kepada otoritas kekuasaan. Memiliki sikap politik dan menjadi partisan ini dianggap penting oleh pers mahasiswa. Seperti Gelora Mahasiswa pada edisi Februari 1977 yang mengatakan bahwa bersikap politik seperti ini perlu bila mahasiswa “masih diharapkan hadir dalam gerak pembangunan yang semakin berderak tapi kering bagi gagasangagasan yang sehat dan opini politik yang sehat pula. Terutama dari generasi mudanya, mahasiswa, yang katanya bakal mewarisi kepemimpinan negeri ini.” Bisa dipahami ketika protes-protes kembali marak menjelang Sidang Umum 1978 dengan tuntutan utama adalah menginginkan Soeharto mundur. Namun protes-protes keras ini membentur tembok tebal. Aksi protes yang juga dibarengi dengan demonstrasi mahasiswa-mahasiswa yang menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden lagi dijawab dengan aksi represif. Semua Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia dibubarkan dan aktivis-aktivisnya dipenjarakan. Pers mahasiswa dibredel. Kebijakan Normalisasi Kehidupan/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) diberlakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Pembredelan ini bahkan disebut oleh Siregar (1983:56), baru pertama kalinya terjadi dalam sejarah di Indonesia karena semua pers mahasiswa dibredel dalam waktu yang bersamaan pada 1978. Hampir seluruh pers mahasiswa mati atau dihentikan terbit oleh pemerintah secara serentak meski enam bulan sampai setahun kemudian diperbolehkan terbit kembali dengan perizinan yang ketat. Ketika terbit kembali ternyata pers mahasiswa masih lantang
40
Wisnu Prasetyo Utomo menyuarakan kritiknya. Misalnya Gelora Mahasiswa yang mempertanyakan konsep NKK/BKK. Dalam berita utama berjudul “Terdapat Kegagalan dalam Pelaksanaan Normalisasi Kampus Tahap I, edisi 21 Juni 1979 Gelora Mahasiswa mengatakan bahwa kebijakan ini mengekang dan membatasi mahasiswa. Keberanian pers mahasiswa untuk bersikap kritis kembali mendapatkan respon yang reaktif dari pemerintah. Pers mahasiswa kembali dibredel. Pada akhir 1979, Gelora Mahasiswa dibredel oleh rektornya sendiri, Sukadji. Pengurus Gelora Mahasiswa yang hendak mengadakan aksi duka cita sebagai protes terhadap pembredelan dan NKK/BKK ini mendapat larangan dari rektornya. Berdasarkan pengakuan Slamet Riyadi, Sukadji mengaku mendapat ancaman dari aparat keamanan apabila mahasiswa akan melakukan aksi. Dua hari sebelum aksi dilakukan, pengurus Gelora Mahasiswa diundang ke rumah pribadinya. Seperti yang dituturkan Pemimpin Redaksi Gelora Mahasiswa 1978-1979 dalam Hafid Furqoni (2009:53):
“(Sukadji itu berkata sambil menangis, pokoknya tolong saya, karena sudah diultimatum oleh Korem, pokoknya jangan sampai ada kegiatan di Balairung untuk memperingati itu, karena akan diserbu. Jadi kalau ada korban, yang bertanggung jawab itu rektornya, dan tolong kalau bisa bagaimana caranya dibubarkan). Jadi begitu hari H, kami para panitia dan peserta aksi yang sudah datang terpaksa mengusir semua teman-teman yang datang.”
Seperti dicatat Didik Supriyanto (1998:79), berturut-turut kemudian pembredelan menimpa Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Alma Mater (IPB), Media (ITS), Airlangga (Unair), Kampus (ITB), dan Salemba (UI). Pemerintah sendiri selain melakukan pembredelan juga membentuk Tim Pembina Pers Kampus Mahasiswa Tingkat Nasional. Pada periode ini sendiri, IPMI gagal menunjukkan kembali perannya karena sudah semakin 41
Komersialisasi Pendidikan banyak ditinggalkan oleh anggotanya. Ia tampak terbentur pada kenyataan bahwa pemerintah menginginkan agar pers mahasiswa memusatkan perhatian pada penulisan yang berkaitan dengan kegiatan kampus. Secara kelembagaan praktis IPMI sudah mandul, tidak memiliki kekuatan apa-apa. Organisasi ini tidak bubar, tetapi juga tidak menjalankan aktivitas-aktivitas penerbitan dan penyiaran terutama pascakongres V yang diadakan di Jakarta tahun 1980. Kongres periode VI yang seharusnya berlangsung tahun 1982 juga urung terlaksana karena dilarang oleh pemerintah. IPMI menjadi organisasi yang hidup segan mati tak mau. Praktis, aktivitas-aktivitas pers mahasiswa pada periode ini lumpuh total. Tidak ada lagi kritik-kritik ala pers mahasiswa di era Orde Lama dan awal periode Orde Baru. Mahasiswa sibuk dihadapkan pada hiruk pikuk akademik sebagai konsekuensi kebijakan NKK/BKK.
2. Bangkit Kembali (1985-1998) Represi politik dan pengerdilan yang dilakukan Orde Baru sungguh efektif. Pembredelan pasca NKK/BKK telah mematikan pers mahasiswa secara dramatis. Bertahuntahun setelah itu bisa dibilang bahwa pers mahasiswa vacuum of publication. Beberapa pers mahasiswa yang masih bertahan sama sekali tidak menyentuh beritaberita politik nasional. Namun, bukan mahasiswa bila tidak memiliki keresahan. Dilandasi dengan kegalauan sistem politik yang menekan, beberapa aktivis mahasiswa di berbagai daerah bergerak dan mendirikan pers mahasiswa di kampusnya masing-masing. Pada tahun 1983 di Unud Bali berdiri Akademika, tahun 1985 terbit Balairung (UGM Yogyakarta), tahun 1986 Solidaritas (Unas Jakarta), serta tahun 1988 terbit Sketsa (Unsoed Purwokerto) dan Pendapa (Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta). Di Yogyakarta sendiri setidaknya terbit 69 publikasi mahasiswa di berbagai kampus (Hafid Furqoni, 2009:56). 42
Wisnu Prasetyo Utomo Beberapa pers mahasiswa yang terbit saat itu memang tidak langsung menyasar berita-berita politik sebagai orientasi pemberitaan utamanya. Mereka justru menjadikan medianya bersifat akademis dengan nuansa intelektualitas yang kuat. Dengan kata lain, pers mahasiswa ingin memberikan sumbangsih pemikiran kritis-konseptual. Sifat ilmiah pers mahasiswa pada waktu ini memang bisa dipahami. Ancaman represi politik dari rezim senantiasa membayangi sehingga strategi mesti digunakan supaya pers mahasiswa tetap bisa terbit tetapi tidak berkonfrontasi langsung dengan penguasa. Artinya, pilihan tersebut merupakan semacam strategi politik mahasiswa. Meskipun masih malu-malu untuk menyiarkan berita-berita politik, langkah untuk melakukan konsolidasi pers mahasiswa di tingkat nasional justru progresif. Beberapa langkah progresif ini bisa dilihat dari tabel berikut:
Tempat/Waktu Penyelenggara Acara Jakarta, 21-28 Majalah Pendidikan Oktober 1985 Mahasiswa pers Politika Unas mahasiswa tingkat nasional. Jakarta, 11-21 Agustus 1986
Surat Kabar Mahasiswa Solidaritas Unas
Hasil Pertemuan Pembentukan tim kecil untuk menjajaki terbentuknya badan permanen pengembangan pers mahasiswa Pekan Membentuk jurnalistik Kelompok Studi mahasiswa se- Jurnalistik Jakarta Relata yang mengembangkan media penerbitan mahasiswa di Jakarta
43
Komersialisasi Pendidikan Jakarta, 5-8 Oktober 1986
Depdikbud dan FISIP UI
Latihan Ketrampilan Pers Kampus Mahasiswa
Yogyakarta, 27-29 Majalah Balairung Pendidikan Agustus 1987 UGM Pers Mahasiswa seIndonesia Jakarta, 18-20 September 1987
Panitia Ad-Hoc Konsolidasi pers mahasiswa
Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa
Jakarta, 17- 27 Oktober 1987
Panitia Ad-Hoc Konsolidasi pers mahasiswa
Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa II
Yogyakarta, 11-13 Panitia Ad-Hoc Oktober 1987 Konsolidasi pers mahasiswa
Pertemuan Pengelola Pers Mahasiswa seIndonesia
Kesepakatan perlunya membentuk satu wadah pers mahasiswa tingkat nasional
Membentuk panitia AdHoc yang mempersiapkan wadah nasional pers mahasiswa Indonesia
Perlunya pertemuan nasional pasca Mei 1988 setelah Sidang Umum MPR RI
Majalah Balairung No 7 tahun 1988 halaman 41
Rangkaian acara tersebut kemudian berpuncak pada rencana mengadakan kongres IPMI pada tahun 1989 di Lampung. Inilah ikhtiar untuk menghidupkan kembali organisasi pers mahasiswa tingkat nasional yang mati suri sejak kongres 1980. Sayangnya kongres ke VI ini urung dilaksanakan karena terlanjur meletus peristiwa GPK Warsidi di Lampung. Selain itu, persoalan keruwetan biaya dan perizinan dari pemerintah yang susah juga menjadi alasan lain. Pemerintah nampak masih trauma dengan
44
Wisnu Prasetyo Utomo pers mahasiswa yang memiliki sejarah selalu melawan penguasa. Sebagaimana dijelaskan Didik Supriyanto (1998), BAKIN dan Mabes ABRI menekan Dirjen PPG dan Dirjen Dikti agar tidak memberikan rekomendasi kongres IPMI. Pertimbangannya, berdasarkan data yang dimiliki oleh BAKIN dan Mabes ABRI, protes-protes mahasiswa yang mulai marak sejak awal tahun 1988 ternyata banyak dimotori oleh aktivis pers mahasiswa. Karena itu apabila para “pengacau” ini diberi ruang dalam organisasi yang bersifat nasional, dikhawatirkan organisasi ini akan dimanfaatkan untuk menggalang aksi-aksi protes dalam skala yang lebih luas. Kongres gagal digelar. Pada waktu ini terjadi pembredelan pers mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan di UKSW Salatiga. Di IAIN Sunan Kalijaga, rektor memaksa pengelola majalah mahasiswa Arena untuk tidak menayangkan tulisan Arief Budiman yang berjudul Regenerasi Orde Baru. Sementara di UKSW, rektor membredel tujuh pers mahasiswa di fakultas menyusul berita yang mereka turunkan terkait kebobrokan pejabat di universitas. Ketujuh pers mahasiswa tersebut adalah Sketsa (FKIP), Dian Ekonomi (FE), Rekayasa (FH), Biota (F.Biologi), Agronomi (F.Pertanian), dan Imbas (F.Teknik). Ini menimbulkan kegelisahan yang membuncah. Generasi pengurus pers mahasiswa yang menyiapkan berbagai pertemuan prakongres di atas mengalami kekecewaan. Sementara generasi penerusnya mengalami pengerasan ideologi di mana keinginan untuk mendirikan wadah nasional untuk pers mahasiswa semakin menguat. Yang patut dicatat, generasi pers mahasiswa pascakegagalan kongres ini menolak nama IPMI dan mengusulkan membentuk organisasi yang sama sekali baru. Ide ini misalnya saja disampaikan oleh Agung Suprihanto (1988) yang mengatakan sebagai berikut: Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, mengapa nama dan organisasi itu yang dipilih? Tidak bisakah para aktivis sekarang ini membuat organisasi lain? Dan bukankah
45
Komersialisasi Pendidikan ia hanyalah organisasi yang sudah kuno? Karena lahir sejak tahun 1958, sejak zaman orla, zaman yang seolaholah paling buruk jika kita bandingkan dengan sekarang, zaman yang seolah-olah najis bagi kita untuk kita alami.
Pengerasan ideologi yang ditandai dengan penolakan terhadap IPMI dan keinginan untuk membentuk organisasi baru ini ditindaklanjuti dengan pertemuan di Wanagama Yogyakarta pada 1991. Pertemuan yang bertajuk Temu Aktivis Pers Mahasiswa ini diadakan oleh majalah Balairung. Ada kesepakatan utama yang dicapai yaitu mengenai kebulatan tekad untuk membentuk wadah tunggal bagi pers mahasiswa yang baru. Karena itu Steering Commite National (SCN) dibentuk untuk mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya dan menggodok konsep wadah baru tersebut. Pertemuan selanjutnya diadakan di IKIP Bandung. Belum ada kesepakatan lebih jauh karena Dirjen Kemahasiswaan pada pertemuan ini menyampaikan surat yang menyebutkan rasa tidak simpati kepada pertemuan di Wanagama. Meskipun begitu, para peserta forum sempat menghasilkan keputusan mengenai nama yang akan diberikan kepada organisasi baru tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Beberapa pertemuan lanjutan kemudian dilakukan dengan puncaknya pada pertemuan di Universitas Brawijaya Malang pada bulan Oktober 1992. Pertemuan yang diikuti 72 peserta dari 28 perguruan tinggi di seluruh Indonesia menyepakati berdirinya PPMI. Sementara kongres pertamanya diadakan satu tahun kemudian. Organisasi baru pengganti IPMI telah lahir. Kelahiran PPMI bertujuan memperkuat bargaining position pers mahasiswa secara internal dan eksternal. Di level internal akan dibuat kurikulum diklat jurnalistik dan kode etik pers mahasiswa. Sementara pada konteks eksternal, memperkuat posisi tawar menawar dengan penguasa, baik itu birokrat kampus maupun pemerintah.
46
Wisnu Prasetyo Utomo Maksudnya adalah memengaruhi jalannya pembuatan kebijakan dengan membentuk opini publik. Apalagi saat itu ada 200 lebih penerbitan mahasiswa yang jika dimanfaatkan dengan baik tentu menjadi sebuah potensi yang luar biasa. Bisa dikatakan bahwa berdirinya PPMI ini menandai kebangkitan pers mahasiswa untuk menyoal negara lagi pasca NKK/BKK. Persoalan menyoal negara ini datang melalui respon yang berbeda dan tidak hanya mengandalkan penerbitan-penerbitan saja. Ini yang membedakan peran pers mahasiswa saat ini sudah jauh berbeda dengan pers mahasiswa di era Orde Lama maupun awal Orde Baru. Pers mahasiswa saat ini lebih sibuk menjalani aktivitas-aktivis nonpenerbitan dengan melakukan konsolidasi dengan pers mahasiswa di berbagai daerah. M. Thoriq (1990) menyebut ini sebagai konsekuensi dari gaya jurnalisme struktural yang dipraktikan oleh pers mahasiswa. Melihat semangat jurnalisme struktural ini, relevan bagi kita untuk mengutip kembali apa yang pernah disampaikan oleh Daniel Dhakidae. Dhakidae mengatakan bahwa pers mahasiswa merupakan journal of opinion. Asip Agus Hasani dalam Muridan (1999:85) bahkan dengan nada satire mengatakan bahwa pers mahasiswa menerapkan “jurnalisme caci maki”. Pers mahasiswa menggunakan gaya jurnalisme yang meledak-ledak dan resmi menjadi media gerakan dalam perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Objektifitas jurnalistik diabaikan dengan lebih menitikberatkan pada keberanian melakukan kritik-kritik sosial. Salah satu keberanian misalnya muncul ketika pada 1993, tabloid mahasiswa FISIP Unair Dialogue memberitakan dan bahkan mendesak Gubernur Jawa Timur untuk mengundurkan diri. Setelah majalah ini terbit, polisi menginterogasi pengurusnya. Semua tabloid yang belum diedarkan disita oleh aparat. Sedangkan rektor Unair saat itu mengatakan akan mendisiplinkan mahasiswanya dengan tegas. 47
Komersialisasi Pendidikan Represi dari negara baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pejabat kampus juga bisa dilihat dari pembredelan yang menimpa Arena (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Opini (FISIP Undip Semarang), dan Vokal (IKIP PGRI Semarang). Aksi pembredelan ini mendapatkan solidaritas dari pers mahasiswa di beberapa daerah. Pada 26 Juni 1993 misalnya, Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Semarang (FKPMS) menggelar aksi bertema “Aksi Keprihatinan Pembredelan Pers Mahasiswa” dalam bentuk kemah keprihatinan di lapangan basket Undip, sebagai wujud solidaritas terhadap pembredelan Arena. Satrio Arismunandar (2005:92) dan Muridan Widjojo (1999:83-84) mencatat aksi ini diikuti perwakilan lembaga pers mahasiswa dari sejumlah PTN dan PTS di Semarang. Ini merupakan aksi solidaritas kelima sepanjang Juni 1993. Aksi menolak pembredelan Tempo, Detik, dan Editor juga sempat dilakukan ketika ketiga media itu dibredel oleh Orde Baru pada 1994. Aksi ini merupakan aksi protes terpanjang dalam sejarah pembredelan pers di Indonesia. Aksiaksi solidaritas ini terus menggelinding dan menjadi ruang konsolidasi bagi aktivis-aktivis mahasiswa untuk semakin meningkatkan perlawanan terhadap Orde Baru. Selain melalui konsolidasi-konsolidasi lintas daerah, perlawanan pers mahasiswa juga tetap dilakukan melalui penerbitan. Perlawanan bahkan tidak hanya diarahkan kepada kebijakan-kebijakan Orde Baru melainkan terhadap rezim itu sendiri. Terutama mengenai manipulasi yang dilakukan rezim dalam menggunakan Pancasila untuk melegitimasi tindakannya. Balairung dalam edisi 18/TH/VII/1993 yang mengadakan polling mengenai Pancasila menulis:
48
“56,78% responden setuju bahwa sekarang ini Pancasila telah dikeramatkan untuk melegitimasi perilaku pihakpihak tertentu. Pola pengeramatan dan pemitosan Pancasila bisa dilihat dari masih disosialisasikannya rasa takut terhadap bahaya laten komunis, seperti membedakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga
Wisnu Prasetyo Utomo yang punya kaitan baik historis maupun genetis dengan G 30 S/PKI yang membuat warga tersebut terisolir dari masyarakat umum dan menyebabkan perbedaan perlakuan di berbagai bidang kehidupan.”
Majalah Himmah UII Yogyakarta pada tahun 1995 bahkan dengan berani menulis tentang suksesi kepemimpinan nasional pada pemilu 1998. Persoalan politik nasional mengenai hegemoni Soeharto dan keluarga Cendana menjadi laporan khusus. Salah satu tulisan dengan cukup provokatif bahkan diberi judul “Menanti Lahirnya Presiden Baru” (Muridan Widjojo, 1999:99). Tulisan ini menyoroti bahwa suksesi kepemimpinan adalah hal yang wajar di negara demokrasi. Diskusi mengenai suksesi kepemimpinan juga akan lebih sehat karena masyarakat bisa menentukan sendiri arah bangsa ke depan mau dibawa ke mana. Sebagaimana disebutkan oleh David Hill (2011:143), penerbitan pers mahasiswa telah menjadi penerbitan bawah tanah yang menjadi alternatif. Pers mahasiswa menyuplai informasiinformasi yang berharga bagi kaum oposisi. Informasi yang tidak akan mungkin didapatkan di pers umum. Puncak perlawanan pers mahasiswa tentu bisa dilihat menjelang kejatuhan Soeharto pada Mei 1998. Pada masa genting ini, terbitan pers mahasiswa yang sifatnya temporer dan berbentuk newsletter dengan periode terbit yang lebih cepat seperti Bergerak! UI Jakarta, Gugat UGM Yogyakarta, dan Suga Alternatif dan Cangkruk Retorika Unair Surabaya, Kobar Kobari UII Yogyakarta, dan Mini Ekspresi IKIP Yogyakarta. Gugat, misalnya, terbit untuk menampung ketidakpuasan para aktivis mahasiswa tentang pemuatan media massa umum (mengenai aksi menuntut reformasi) yang dinilai sangat singkat atau kecil porsinya (Harian Kompas, 3 Mei 1998). Pada posisi ini, pers mahasiswa memang sudah memosisikan diri sebagai media yang berpihak. Secara lebih spesifik, keberpihakan diarahkan kepada gerakan mahasiswa dalam melawan rezim Orde Baru. 49
Komersialisasi Pendidikan Menurut Satrio Arismunandar (2005:30), setidaknya ada tiga peran pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa menentang Soeharto ini. Ketiga hal tersebut yaitu: Pertama, peran pemberi informasi, sosialiasi, dan edukator. Di sini hubungan saling memengaruhi antara pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa relatif dalam posisi setara, namun hubungan antara keduanya kurang akrab, agak berjarak, datar, dan lebih formal. Kedua, peran inspirator, motivator, provokator, dan korektor. Di sini hubungan salingpengaruh antara pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa relatif tidak setara. Pers mahasiswa memengaruhi gerakan mahasiswa dengan kadar yang cukup kuat dan jauh lebih kuat pengaruhnya dari penerbitan pers umum. Ketiga, peran mediator, wahana debat dan diskusi dan integrasi. Di sini hubungan saling-pengaruh antara pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa relatif berbeda dengan peran pertama dan kedua. Hubungan pada titik ini jauh lebih akrab dan informal. Peran pers mahasiswa sebagai penyedia informasi semakin masif menjelang hari-hari terakhir kejatuhan Soeharto. Gugat misalnya, menampilkan liputan-liputan demonstrasi di Yogyakarta. Di terbitan ini pula pertama kali dimuat aksi demonstrasi pembakaran foto Soeharto. Puncaknya, 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri. Pada titik ini pers mahasiswa bisa dikatakan telah menunaikan tugasnya. Penguasa despotik telah runtuh. Mingguan Time menyebut pers mahasiswa sebagai “pendukung yang tidak terduga” bagi gerakan-gerakan prodemokrasi. Pers mahasiswa menjadi aktor “behind the scenes”. Tidak banyak yang menyadari bahwa keruntuhan Orde Baru ini menjadi titik balik pers mahasiswa di Indonesia.
50
Pers Mahasiswa Pasca 1998
Quo Vadis Pers Mahasiswa? Perubahan cuaca politik yang memberikan kebebasan pers memaksa pers mahasiswa untuk menjawab pertanyaan mendasar yang sungguh mengganggu: quo vadis pers mahasiswa? Pertanyaan yang seolah juga menjadi beban sejarah bagi pers mahasiswa. Irfan Afifi (2006:10) mengakui hal ini. Menurutnya, pers mahasiswa selama ini masih dihinggapi mitos-mitos romantisnya. Sebab, pers mahasiswa selalu dianggap sebagai pionir dalam peristiwaperistiwa penting dalam kronik sejarah Indonesia modern. Mitos-mitos tersebut semakin menjadi beban berat karena perbandingan dengan kondisi kekinian akan memperlihatkan situasi yang berbeda secara drastis. Bisa dilihat pada kondisi pers mahasiswa pasca 1998. Sudah kesusahan menerbitkan media, ditinggalkan pembaca, pers mahasiswa juga dihadapkan pada kesulitan mengangkat berita-berita kondisi politik aktual yang sudah diambil alih oleh pers umum. Tidak hanya itu, organisasi pers mahasiswa tingkat nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang sebelumnya menjadi penghubung antar aktivis pers mahasiswa, kini eksistensinya pun kembang kempis. Pers mahasiswa kemudian teralienasi, tak aktual, bahkan tak diakui atau dibutuhkan komunitasnya. Era transisi demokrasi ini ditandai dengan disorientasi yang melanda pers mahasiswa secara keseluruhan, dan fragmentasi di tingkat nasional organisasi pers mahasiswa. Eka Suryana 51
Komersialisasi Pendidikan Saputra (2009:197) mengatakan bahwa kebebasan pers yang melaju bersama arus demokratisasi telah membuat pers mahasiswa kehilangan kesadaran eksistensial yang selama ini menjadi landasan bergerak pers mahasiswa. Seperti yang ia ungkapkan,
Peran kritis pers mahasiswa mengalami mistifikasi narsisme tanpa pernah kita tahu mengapa, bagaimana, dan untuk apa. Kata-kata kritis mengalami korupsi makna. Sehingga kita (pers mahasiswa) membutuhkan sebuah ruang jeda yang bebas dari desakan kepentingan, membendung arus deras informasi, serta menyediakan momen-momen untuk mengundurkan waktu ke hari esok apa yang tidak kita peroleh hari ini.
Untuk menjawab pertanyaan yang menggalaukan tersebut, pers mahasiswa memberikan responnya. Salah satunya adalah Balairung yang menginisiasi pertemuan pers mahasiswa dalam acara Saresehan Pers Mahasiswa se-JawaBali pada 2 November 1998. Acara yang mengambil tema “Mencari Ruang di Era Keterbukaan” ini mencoba membaca sejarah pers mahasiswa, situasi politik nasional, serta posisi alternatif yang bisa ditempati oleh pers mahasiswa dalam era transisi demokrasi. Ada dua tawaran ide yang muncul dalam sarasehan ini. Pertama, kembali menghidupi kampus dengan community press (pers komunitas). Selama periode NKK/BKK dan menjelang kejatuhan Soeharto, pers mahasiswa lebih sibuk menggarap isu-isu yang sifatnya politik nasional. Orientasi pemberitaannya begitu state centric. Bhayu Mahendra dalam tulisannya Pers Mahasiswa Era Reformasi (1999:9092), mengatakan bahwa orientasi state centric ini terlihat jelas menjelang reformasi 1998. Orientasi yang setidaknya ditunjukkan dalam dua hal. Pertama, pers mahasiswa menjadi pendukung gerakan kemahasiswaan secara keseluruhan di masing-masing kampus. Apalagi, muncul kesadaran untuk berperan dalam proses sejarah di Indonesia. Akhirnya muncul sikap 52
Wisnu Prasetyo Utomo untuk mengambil pola rangkap predikat, sebagai aktivis pers mahasiswa sekaligus sebagai penggerak aksi-aksi mahasiswa melawan Orde Baru. Pers mahasiswa juga menjadi organisasi yang mengorganisir jaringan aktivis mahasiswa antar kampus. Kedua, pers mahasiswa menjadi media yang dipakai untuk menyalurkan ide gerakan kemahasiswaan secara intelektual. Perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa kepada rezim tidak hanya ditunjukkan dengan demonstrasi tetapi juga merupakan perlawanan gagasan. Ide-ide progresif mahasiswa dan intelektual banyak didiskusikan di dalam pers mahasiswa. Ruang untuk mendiskusikan problem-problem bangsa ini menjadi relatif terbuka karena polarisasi ideologi dan kepentingan dalam tubuh pers mahasiswa berjalan dengan lebih dinamis. Berbeda dengan organisasi kemahasiswaan lain yang sudah bersifat partisan dan monolitik karena hanya dikuasai satu golongan saja. Fokus perhatian kepada negara yang demikian besar membuat pers mahasiswa melupakan komunitasnya sendiri, secara khusus mahasiswa dan secara umum civitas academica. Berita-berita mengenai berbagai problem kemahasiswaan tidak menjadi perhatian utama. Secara terang-terangan bahkan menjadi isu pinggiran. Karena itu ketika situasi berubah total karena sudah terjadi regenerasi kepemimpinan negara, pilihan menjadi pers komunitas adalah pilihan rasional untuk dilakukan. Mengutip istilah Bhayu, “zaman tidak normal” sudah berangsur-angsur pulih menuju “zaman normal”. Pers mahasiswa mesti kembali ke kampus untuk merefleksikan apa yang terjadi di komunitasnya, dunia kemahasiswaan. Didik Supriyanto (1998) juga mengatakan hal yang sama bahwa pers mahasiswa harus kembali kepada komunitas pembacanya, yakni melayani kebutuhan lalu lintas informasi di kampusnya masing-masing. Ide kedua yang muncul dari saresehan tersebut adalah, pers mahasiswa makin serius sebagai press of discourse (pers 53
Komersialisasi Pendidikan wacana) yang menempatkan paradigma jurnalisme wacana sebagai acuan. Dengan kerangka ini, ulasan tema dalam pers mahasiswa diperlakukan sebagai wacana: sesuatu yang diusung, dibantah, dipertandingkan, diperbarui, kemudian disodorkan pada pembaca untuk kembali mendapat kritik, sanggah, atau sekadar tanggapan. Seperti dituturkan oleh Tarli Nugroho (2003: 136-137);
“Jika selama ini tekanan akan identitas pers mahasiswa adalah pada kata pers, maka sekarang sudah saatnya kita mengubah paradigma. Sudah sepatutnya mahasiswa sebagai entitas intelektual tak lagi melulu bergelut dengan jurnalisme an sich. Melainkan mencoba menggali pemikiran/kajian yang lebih serius.”
Lebih jauh, Tarli hendak mengatakan bahwa pilihan untuk menjadi pers wacana juga strategis dalam mewadahi pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa. Ia menjadi tantangan bagi mahasiswa untuk mengasah kematangan dalam menulis, mengasah nalar, dan intelektualitas. Sederhananya pilihan ini ingin mengatakan bahwa mahasiswa sudah cukup menunjukkan peran politiknya saat menumbangkan Soeharto, kini waktunya menunjukkan peran intelektualnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pilihan tersebut juga diambil karena keprihatinan melihat mahasiswa Indonesia yang lebih banyak menjalani aktivitas politiknya, alih-alih menjadi agen ilmu pengetahuan. Hasan Bachtiar (2001:177) dengan sinis mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tengah mengalami kemiskinan intelektual. Mahasiswa sebagai sedikit dari elemen masyarakat yang mampu mengecap ilmu pengetahuan di universitas memiliki andil yang cukup banyak dalam kemiskinan tersebut. Kritik kepada mahasiswa ini juga diberikan oleh Daoed Joesoef (2011:308). Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menerapkan kebijakan NKK/BKK ini mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia masih berada pada tahap intelektual konsumen. Intelektual konsumen 54
Wisnu Prasetyo Utomo adalah sosok yang baru berada pada taraf belajar untuk bisa menjadi produktif dan otoritatif untuk menjelaskan ilmu pengetahuan. Seperti diungkapkan Joesoef, intelektual konsumen adalah lapisan terbawah dari tiga tahapan intelektual. Tahapan di atasnya adalah intelektual reproduktif. Intelektual pada tahap ini berada pada posisi untuk menginterpretasi dan melakukan transmisi karyakarya ilmu pengetahuan yang mapan. Sementara di tahap paling tinggi adalah intelektual produktif. Intelektual ini merupakan sosok yang “sudah jadi” bagi ilmu pengetahuan. Ia sudah menghasilkan karya-karya yang ilmiah sekaligus praktis. Karya-karya yang otoritatif. Pada titik ini, mahasiswa yang kadar intelektualitasnya masih rapuh bisa dengan mudah akan terpengaruh intelektual produktif. Ironisnya, para intelektual produktif ini adalahmeminjam istilah Julien Benda (1999)para pengkhianat-pengkhianat yang telah menggadaikan ilmu pengetahuan untuk tujuan politik. Mengikuti kritik Daoed Joesoef ini, pilihan menjadi press of discourse menjadi alternatif cara supaya mahasiswa Indonesia tidak melulu terjebak pada persoalan politik praktis. Selain menyuburkan ide-ide dengan dialektika, press of discourse juga menjadi intelectual exercise bagi mahasiswa untuk berpikir detail serta tidak memisahkan antara teori dengan praktik. Selain ide reorientasi yang muncul dalam sarasehan tersebut, beberapa pers mahasiswa juga memiliki respon masing-masing. Balairung (1998:32-34) mencatatnya. Di Yogyakarta misalnya. Majalah Himmah (UII) menggunakan cara pandang baru dalam mendekati sebuah tema yang akan diangkat menjadi berita. Menolak untuk terjebak pada persoalan-persoalan elitis, mereka lebih banyak memberikan perhatian kepada permasalahan yang berada di kalangan akar rumput. Kalau sebelumnya fokus diberikan kepada persoalan ekonomi politik, titik perhatian kemudian kemudian diarahkan pada isu-isu kebudayaan. Majalah Ekspresi (UNY) hampir senada. Dalam laporannya banyak bertabur kata-kata asing, kutipan-kutipan asing, dan bahasa-bahasa filsafati. Majalah Arena (UIN Sunan Kalijaga) 55
Komersialisasi Pendidikan juga menyikapi era keterbukaan dengan cara lain. Majalah ini mencoba menggunakan investigative reporting untuk menyajikan tema-tema tertentu yang diangkat. Senada dengan Arena, tabloid Catatan Kaki (Unhas Makassar) pun menawarkan jurnalisme investigasi sebagai tawaran konsep baru. Seperti yang dituturkan salah satu pegiat Catatan Kaki, Dedy Ahmad Hermansyah (2009:4), jurnalisme investigasi menyaratkan penulisan analisis serta ulasan mendalam pada pemberitaannya. Konsep ini dibuat karena kondisi politik yang perlahan berubah. Setelah tumbangnya Orde Baru 1998, lembaga pers sudah mulai berani memberitakan hal-hal yang selama ini dianggap berbahaya jika ditulis. Maka, Catatan Kaki mencoba konsep baru dalam jurnalismenya. Akan tetapi, unsur advokasi selalu diikutsertakan sebagai komitmen anti penindasan. Untuk itulah, cara memperlakukan data dan fakta dalam penulisan jurnalisme pers mahasiswa adalah pilihan ideologis sebagai upaya memberikan informasi yang sering ditutup-tutupi pers umum sebagai konsekuensi ketatnya sensor yang dijalankan pemerintah. Catatan Kaki menuliskan laporan berita dengan memberikan unsur propaganda di dalamnya. Menurut Bachtiar (2006:13-14), berbagai pilihan yang coba diambil oleh pers mahasiswa sebagai bentuk reposisi ini terjadi karena perbedaan pemaknaan mengenai pers mahasiswa. Setidaknya terdapat empat pemaknaan terhadap pers mahasiswa. Pertama, pers mahasiswa dianggap sebagai komoditas. Sebagai komoditas, mahasiswa menganggap bahwa mulanya apa yang harus dihasilkan oleh pers mahasiswa adalah produknya terlebih dahulu. Dengan asumsi semacam itu, semua aktivitas di dalam pers mahasiswa diarahkan untuk menghasilkan produk yang diharapkan laku di pasaran. Eksistensi pers mahasiswa diukur dari seberapa jauh produk yang mereka hasilkan mampu berpengaruh atau meraih sukses di pasaran. Kedua, pers mahasiswa sebagai organisasi. Mereka yang memaknai pers mahasiswa sebagai organisasi adalah kelompok 56
Wisnu Prasetyo Utomo yang mementingkan kinerja dengan standar operasional, hierarki, dan otoritas yang sudah ditentukan sebelumnya. Rasio formal-prosedural menjadi ciri utama. Ketiga, pers mahasiswa dimaknai sebagai komunitas. Mahasiswa yang menggunakan pemaknaan ini adalah kelompok yang menggunakan pers mahasiswa sebagai medium untuk bersosialisasi, mencari peer-group, dan mendapatkan hubungan yang lebih bersifat psikologis karena mementingkan kenyamanan personal. Praktik kolektivisme dan komunalisme menjadi basis utama kelompok mahasiswa yang berada pada pemaknaan ini. Keempat adalah mahasiswa yang memaknai pers mahasiswa sebagai alat perjuangan. Kelompok ini adalah faksi yang paling ideologis jika dibandingkan dengan tiga kelompok pertama. Mereka menjadikan pers mahasiswa sebagai alat perjuangan untuk memperjuangkan keyakinan yang mereka miliki. Inilah kelompok yang mengklaim bahwa aktivitas di pers mahasiswa adalah sebuah “perjuangan politik”. Pers mahasiswa mereka maknai sebagai alat perjuangan yang memiliki beban sejarah. Semangat aktivisme tersebut juga muncul sebagai konsekuensi logis dari status Indonesia yang masih menjadi under-developed countries. Seperti diungkapkan Nugroho Notosusanto dalam Amir Effendi Siregar (1983:2), kondisi di negeri ini berbeda dengan kondisi di negara maju. Di sana pers mahasiswa murni menjadi community paper yang tidak perlu mengurusi persoalan-persoalan kemasyarakatan dan bangsa. Sedangkan mahasiswa di Indonesia sebagai kaum intelegensia sejak masih menuntut ilmu sudah dituntut sumbangan pikiran, kepandaian, pengetahuan dan pertimbangannya. Sumbangsih pemikiran lantas dimanifestasikan dalam tulisan-tulisan yang diedarkan tidak hanya kepada komunitas civitas academica tetapi juga masyarakat secara umum. Aktivisme yang juga berkelindan dengan kehendak masa muda yang masih menyala-nyala. 57
Komersialisasi Pendidikan PPMI Pecah PPMI, induk pers mahasiswa se-Indonesia ini mengalami perpecahan yang kemudian menimbulkan polarisasi pers mahasiswa. Perpecahan yang mengingatkan kita pada organisasi pers mahasiswa tingkat nasional tahun 1950-an seperti IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Persoalannya, perpecahan ini tidak berujung pada hal yang sifatnya produktif. Perpecahan yang menghapuskan niatan awal mula keberadaannya. PPMI didirikan dalam pertemuan di Universitas Brawijaya Malang pada bulan Oktober 1992 yang diikuti 72 peserta dari 28 perguruan tinggi di seluruh Indonesia menyepakati berdirinya PPMI. Sementara kongres pertamanya diadakan satu tahun kemudian. Kelahiran PPMI bertujuan memperkuat bargaining position pers mahasiswa secara internal dan eksternal. Di level internal akan dibuat kurikulum diklat jurnalistik dan kode etik pers mahasiswa. Sementara pada konteks eksternal, memperkuat posisi tawar menawar dengan penguasa, baik itu birokrat kampus maupun pemerintah. Maksudnya adalah memengaruhi jalannya pembuatan kebijakan dengan membentuk opini publik. Apalagi saat itu ada 200 lebih penerbitan mahasiswa yang jika dimanfaatkan dengan baik tentu menjadi sebuah potensi yang luar biasa. Bisa dikatakan bahwa berdirinya PPMI ini menandai kebangkitan pers mahasiswa untuk menyoal negara lagi pasca NKK/BKK. Persoalan menyoal negara ini datang melalui respon yang berbeda dan tidak hanya mengandalkan penerbitan-penerbitan saja. Ini yang membedakan peran pers mahasiswa saat ini sudah jauh berbeda dengan pers mahasiswa di era Orde Lama maupun awal Orde Baru. Pers mahasiswa era ini lebih sibuk menjalani aktivitas-aktivitas nonpenerbitan dengan melakukan konsolidasi dengan pers mahasiswa di berbagai daerah. M. Thoriq (1990) menyebut ini sebagai konsekuensi dari gaya jurnalisme struktural 58
Wisnu Prasetyo Utomo yang dipraktikan oleh pers mahasiswa.5 Aktivitas dengan pola jurnalisme struktural ini berlanjut sampai tahun-tahun menjelang kejatuhan Soeharto. PPMI menjadi lembaga advokasi yang membela pers mahasiswa yang mendapatkan ancaman pembredelan dan represi politik baik dari negara maupun pimpinan kampus. Namun ternyata, kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 justru menjadi arus balik bagi eksistensi PPMI. Hal ini bisa dilihat pada Kongres V yang diadakan di Mataram, Lombok, 24-29 Mei 2000. Ini adalah kongres pertama yang diadakan pascareformasi. Sebenarnya, sempat diadakan kongres pada akhir 1998. Namun, kongres ini merupakan Kongres Luar Biasa untuk membahas mundurnya Sekretaris Jenderal PPMI yang baru satu tahun menjabat.6 Luqman Hakim Arifin (2000:83-86) mengatakan bahwa organisasi pers mahasiswa ini telah menjadi semu. Banyak kelemahan yang tidak bisa diperbaiki dan hanya semakin membuat organisasi ini kehilangan jati dirinya. Seperti yang disebutkan Luqman, ada tiga kelemahan yang dimiliki oleh PPMI ketika itu. Pertama, mekanisme kerja yang tidak memiliki kejelasan mengenai fungsi koordinasi, instruksi, dan sanksi. Manajemen kerja yang buruk ini membuat PPMI gagap mengatasi berbagai persoalan yang melanda pers mahasiwa se-Indonesia. Seperti ada tapi tak ada. Organisasi ini juga tidak mampu memberikan kontribusi nyata bagi pers mahasiswa. Malah muncul anggapan bahwa organisasi ini hanya menjadi ajang temu kangen pengurusnya. Kedua, minimnya dana dan sarana. PPMI sebagai organisasi tingkat nasional ternyata tidak memiliki kantor pusat yang jelas dan 5 Thoriq menyebutkan bahwa konsep jurnalisme struktural adalah ide yang diambil dari konsep Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mengambil konsep LBH, jurnalisme struktural berarti aktivitas pers mahasiswa tidak sekadar menerbitkan majalah atau koran an sich. Tetapi lebih dari itu, semua aktivitas yang berhulu pada usaha untuk merealisasikan idealisme mahasiswa bisa dianggap aktivitas pers mahasiswa. 6 Kongres Luar Biasa ini diadakan di Jombang, Jawa Timur. Penyebab utama KLB ini adalah mundurnya Sekjen PPMI yang baru saja terpilih setahun sebelumnya di kongres keempat yang diadakan di Surabaya. Untuk lebih lengkap mengenai kronik pers mahasiswa di Indonesia ini baca Fathoni, Mohammad. 2012. Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Depok: Komodo Books
59
Komersialisasi Pendidikan permanen. Kerja-kerja keorganisasian dilakukan berpindahpindah di beberapa daerah. Ini tentu membutuhkan biaya besar dan sangat merepotkan. Ketiga, kualitas sumber daya manusia PPMI dan sistem keanggotaannya terlalu lemah. Kondisi tersebut membuat anggota PPMI di kongres terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang masih menginginkan organisasi ini bertahan seperti format lama dengan beberapa penyesuaian kerja. Sebagian besar pers mahasiswa dari Jawa Timur keukeuh dengan format ini. Dan kelompok kedua adalah mereka yang memiliki ide bahwa format organisasi sudah tidak layak. Kelompok ini sebagian besar berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali. Beberapa pers mahasiswa yang berada dalam kelompok ini antara lain Balairung, Bulaksumur, Pijar (UGM), Investor (STIE Widya Wiwaha), Pendapa (UST), Nuansa (UMY), dan Gema (STIPER). Kelompok yang berpendapat bahwa format organisasi sudah tidak layak ini mengusulkan bahwa lebih baik PPMI berubah bentuk dengan memakai format forum komunikasi.7 Ide ini didasari rasionalisasi bahwa situasi politik nasional sudah berubah sehingga bentuk penyikapan pers mahasiswa tingkat nasional seharusnya juga berubah. Tidak perlu lagi menggunakan bentuk organisasi. Jalannya kongres kemudian menjadi panas. Seperti yang dijelaskan Luqman Hakim Arifin (2000:83-86), “Perdebatan bertele-tele tentang pemahaman terhadap makna “organisasi” dan “forum” pun tak terhindarkan. Beberapa orang sangat khawatir dan bereaksi keras seakan menuduh teman-teman Yogya berusaha memecah, bahkan membubarkan PPMI. Dan setelah melalui
7 Berdasarkan daftar hadir, konggres ini diikuti oleh 127 orang dari 87 lembaga pers mahasiswa dari berbagai daerah. Perpecahan dalam kongres ini tidak bisa terdamaikan karena yang terjadi sebenarnya adalah perubahan paradigmatik yang membelah anggota PPMI secara diametral. Mereka yang bersepakat mendukung FKPMI mayoritas berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Sumatera, serta Sulawesi. Sementara yang keukeuh mempertahankan PPMI konsep lama sebagian besar berasal dari pers mahasiswa di Jawa Timur. Tentang kronologi kongres dan perpecahan ini penulis dapatkan dari Dokumen Internal Balairung berjudul Sekelumit Cerita dari Lombok dan PPMI (2000)
60
Wisnu Prasetyo Utomo perdebatan panjang-lebar, yang sebenarnya lebih menampakkan ketidakmampuan memetakan persoalan dan “menertibkan pikiran”, akhirnya sidang di-pending.”
Perbedaan pandangan kedua kelompok ini ternyata justru semakin mengeras dan tidak menemukan titik temu. PPMI akhirnya terpecah. Mereka yang tidak sepakat dengan ide PPMI sebagai wadah tunggal memilih mendirikan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Indonesia (FKPMI). FKPMI ini bersifat sukarela, cair, dan tidak mengikat. Perpecahan ini sendiri bisa dimaklumi ketika melihat sebelumnya juga sudah banyak organisasi pers mahasiswa yang berbasis regional. Di Jakarta, terbentuk Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Jabodetabek (FKPMJ), di Bandung terbentuk Forum Pers Mahasiswa Bandung (FPMB), di Surakarta terbentuk Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Surakarta (FKPMS), di Yogyakarta terbentuk Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta (PPMY) yang selanjutnya menjadi Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Yogyakarta (Formayo), di Makassar muncul Perhimpunan Pers Mahasiswa Makassar (PPMM), di Medan muncul Aliansi Pers Mahasiswa (APM). Polarisasi ini pada tahap selanjutnya bisa dikatakan tidak memberikan dampak apa-apa bagi perkembangan pers mahasiswa di Indonesia, yang muncul justru ketegangan antara anggota PPMI dan FKPMI. Sementara PPMI masih gagal mereformasi dirinya, FKPMI pun sama saja. Forum ini gagal meletakkan fondasi yang kokoh dalam mewadahi komunikasi antar pers mahasiswa. Buktinya bisa dilihat dari ketiadaan regenerasi di forum ini. Maka tak heran jika forum ini tidak berlangsung lama. Timbul tenggelam seperti dinamika pers mahasiswa. Pada pertengahan tahun 2009 misalnya, Balairung mengadakan sarasehan pers mahasiswa tingkat nasional bertajuk “Cagar Alam Kebebasan Akademik”. Sarasehan yang digelar di Kaliurang, Yogyakarta ini menyepakati terbentuknya kembali FKPMI. Seperti diungkapkan Pemimpin Umum Arena, Erick Tanjung, forum ini bisa 61
Komersialisasi Pendidikan menjembatani komunikasi antara pers mahasiswa yang tergabung dengan PPMI dan yang tidak. Kemunculan kembali FKPMI ini dilandasi kritik atas ketegangan pers mahasiswa dalam menentukan pilihan untuk bergabung atau tidak dalam PPMI. Forum ini bertujuan sebagai media komunikasi antar pers mahasiswa tanpa ikatan struktural. Jalinanannya diharapkan bisa lebih cair, tanpa menegasikan antara jajaran pers mahasiswa anggota PPMI maupun nonPPMI.8 Selanjutnya, forum ini semakin ditegaskan pada pertemuan Pekan Nasional Pers Mahasiswa yang diadakan Catatan Kaki Unhas Makassar pada akhir 2009. Perdebatan antara FKPMI dan PPMI sempat mengemuka kembali. Arman Dhani mengatakan bahwa forum-forum seperti FKPMI banyak bermunculan tetapi tidak pernah ada tindak lanjut yang jelas. Forum baru justru bisa saling menghancurkan hubungan antar pers mahasiswa.9 Pada akhirnya, pertemuan ini memang menyepakati FKPMI sebagai ruang bersama pers mahasiswa seluruh Indonesia. Sayangnya, hasil pertemuan-pertemuan tersebut tidak bisa dijalani dengan konsisten. Sampai saat penelitian ini dilakukan, tidak ada organisasi yang bisa dianggap representatif mewakili pers mahasiswa di tingkat nasional. Hambatan Klise Selain persoalan disorientasi dan pecahnya organisasi induk di tingkat nasional, pers mahasiswa pasca Orde Baru juga dihadapkan pada beberapa persoalan yang menghantui keberadaannya. Persoalan yang bisa dikatakan klise karena menjadi identik dalam eksistensi pers mahasiswa. Di antaranya adalah represi yang dilakukan oleh birokrasi kampus, hambatan dana, periodisasi terbit yang tidak rutin, dan kaderisasi organisasi. 8 Forum Komunikasi untuk Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi 123, 15 Juni 2009 halaman 5 9 Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi spesial 2010 halaman 78-81
62
Wisnu Prasetyo Utomo Mengenai represi oleh birokrasi kampus, hal ini menjadi konsekuensi dari keadaan yang memaksa untuk back to campus. Objek pemberitaan pers mahasiswa kini secara vertikal adalah pejabat di lingkungan kampus, dan horizontal adalah mahasiswa sendiri. Secara otomatis, konflik akan tercipta jika ada objek pemberitaan yang merasa terganggu. Ancaman berupa kekerasan fisik, pembredelan, bahkan sampai sanksi akademik menjadi sesuatu yang wajar diterima oleh aktivis pers mahasiswa. Bulan Juni tahun 2000 di Medan, Suara USU sempat dibredel oleh rektoratnya sendiri. Pembredelan ini terjadi karena berita-berita yang ditampilkan oleh Suara USU telah menyebabkan keberatan rektor dan para guru besar. Berita yang menyebabkan keberatan ini adalah beritaberita kritis seputar kampus. Pembredelan dilakukan dengan menghentikan aliran dana kepada Suara USU. Padahal, dana dari rektorat begitu penting karena praktis itu adalah sumber utama untuk produksi. Apalagi, mencari iklan untuk pers mahasiswa saat itu masih susah. Tidak hanya itu, rektorat USU juga mengancam akan menerbitkan media baru yang menggantikan Suara USU. Sebagai catatan, Suara USU diizinkan untuk terbit kembali asalkan rektorat memiliki hak untuk menyunting berita-berita sebelum diterbitkan.10 Di Makassar, Catatan Kaki bahkan dilaporkan oleh petinggi kampus ke kepolisian. Catatan Kaki dianggap telah melakukan fitnah dan mencemarkan nama baik si petinggi dalam berita “Unhas Penuh KKN, Rektorat Pusatnya” yang terbit pada 11 September 2001. Tidak cukup dengan pelaporan ini, Catatan Kaki juga dituduh sebagai media yang mengabarkan berita bohong dan aktivisnya adalah antek-antek PKI.11 Di Semarang, Hayam Wuruk (Undip) pernah mendapatkan ancaman serupa. Dalam salah satu 10 Suara USU. 2000. Pembreidelan Tabloid Mahasiswa Suara USU terarsip dalam http://groups.yahoo.com/group/kampusonline/message/346 diakses 18 Juni 2012 11 Suardi, Sulviyani.2001. Catatan Kaki diadukan ke Polisi terarsip dalam http:// groups.yahoo.com/group/kampusonline/message/1093 diakses 18 Juni 2012
63
Komersialisasi Pendidikan beritanya pada tahun 2002, mereka mengangkat isu korupsi di koperasi mahasiswa Undip. Hasilnya, menggemparkan. Hayam Wuruk berhasil menemukan skandal pengurus yang menggelapkan dana organisasi. Setelah berita itu keluar, kantor redaksi mereka didatangi sejumlah preman. Beberapa hari kemudian bahkan muncul surat somasi yang berisi gugatan atas pemberitaan tersebut. Tidak main-main, Hayam Wuruk digugat sebesar seratus juta rupiah!12 Situasi seperti contoh-contoh tersebut dialami kebanyakan pers mahasiswa. Problem selanjutnya yang menghambat adalah kaderisasi organisasi yang tidak berjalan lancar. Sistem pendidikan tanah air yang menuntut mahasiswa untuk lulus cepat bisa menjadi kambing hitam utama. Jika sebelum tahun 1990an masih banyak mahasiswa yang aktif lebih dari lima tahun di pers mahasiswa, kondisi pasca 1998 berubah. Masa kepengurusan pers mahasiswa berkisar di sekitar 3-4 tahun. Regenerasi yang semakin cepat ini membuat pers mahasiswa tidak bisa banyak berkembang. Pengurus hanya memiliki sedikit waktu untuk mengenal organisasinya dan belajar praktik jurnalistik. Setelah mencapai tahap kematangan tertentu, ia harus lengser karena dibatasi waktu. Begitu seterusnya. Sehingga pers mahasiswa tidak pernah benar-benar berada dalam keadaan yang stabil. Dengan tantangan zaman yang berbeda-beda sementara regenerasi kadang terhambat, guncangan bisa saja menjadi semakin keras. Misalnya saja seperti yang terjadi di Gelora Sriwijaya Universitas Sriwijaya. Nova Lianti (2009:113) menyebutkan bahwa persoalan manajerial yang menonjol adalah sulitnya memperoleh kader-kader yang berkualitas. Pada awalnya, ketika penerimaan anggota baru, tersedia cukup banyak mahasiswa yang mendaftar untuk menjadi anggota. Namun seiring berjalannya waktu, tinggal segelintir orang saja dari generasi baru ini yang mampu bertahan hingga puncak 12 LPM Hayam Wuruk.2005. Profil LMP Hayam Wuruk terarsip dalam http:// www.lpmhayamwuruk.org/2005/08/profil-lpm-hayamwuruk.html diakses 18 Juni 2012
64
Wisnu Prasetyo Utomo karier. Nova mengatakan minimnya mahasiswa yang mampu bertahan sampai akhir ini terjadi karena kebanyakan mahasiswa Unsri sekarang begitu study oriented. Hal senada terjadi di Teropong (UMSU). Pers mahasiswa yang lahir pada tahun 2001 ini menghadapi krisis Sumber Daya Manusia (SDM) setiap periode kepengurusan. Elfa Suharti (2009:73) mengatakan bahwa mereka berkali-kali kehilangan anggotanya yang mengundurkan diri karena alasan kesibukan, diberhentikan karena tidak menjalankan tugas, dan menghilang begitu saja tanpa penjelasan kepada pengurus. Dalam satu pertemuan Pekan Nasional Pers Mahasiswa di Makassar pada 2009, mayoritas pers mahasiswa yang hadir juga mengeluhkan hal yang sama.13 Gagalnya kaderisasi ini secara langsung memberikan pengaruh kepada periodisasi terbit yang tidak tepat waktu. Jumlah pengurus yang ada tidak memadai untuk mengerjakan berita-berita dalam waktu yang cepat. Apalagi, problem ini masih ditambah dengan hambatan keuangan yang menjadi masalah klasik. Rata-rata pers mahasiswa masih mengandalkan subsidi dari rektorat sebagai sumber dana utama. Pemasukan dari iklan relatif kecil karena pemasang iklan lebih melirik pers umum untuk mempromosikan produknya. Upaya untuk menjual terbitannya sendiri pun pada akhirnya mentok karena pembaca lebih memilih membeli media-media umum. Patut dicatat, hal tersebut menjadi ciri yang menandai pers mahasiswa era ini di mana terbitannya tidak lagi dijual, melainkan dibagikan secara gratis. Hanya ada beberapa pers mahasiswa yang masih menjual terbitannya meski profit yang didapatkan tidak memiliki dampak yang signifikan. Kompas dalam laporannya yang berjudul Pers Kampus dan Bayang-Bayang Idealisme (2010:33) menyebutkan bahwa pers mahasiswa sampai harus berjuang berdarahdarah untuk melakukan apa saja demi melihat produknya 13 Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Jalan Baru Pers Mahasiswa terarsip dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/07/03/115431/JalanBaru-Pers-Mahasiswa diakses pada 18 Juni 2012
65
Komersialisasi Pendidikan bisa terbit. Seperti diungkapkan Asdiansyah (2009:1415), contoh di Universitas Syiah Kuala Aceh bisa menjadi gambaran kecil. Detak hanya mengandalkan pendanaan dari rektorat. Pintu dana dari iklan belum terbuka. Ketika dana dari rektorat seret, anggota Detak sampai bersepakat untuk patungan agar produk mereka bisa terbit. Berbagai persoalan yang disebut tadi menjadi tantangan utama pers mahasiswa. Kondisi subjektif di internal pers mahasiswa yang penuh masalah bertemu dengan kondisi objektif lingkungan sosial politik yang menekan. Pers mahasiswa yang tidak mampu beradaptasi pada akhirnya bergerak tertatih-tatih. Sementara mereka yang mampu menangkap tanda-tanda zaman mulai memanfaatkan peluang yang ada. Migrasi ke dunia maya, adalah salah satu peluang potensial yang dimiliki oleh pers mahasiswa untuk terus mempertahankan kesadaran eksistensialnya. Migrasi ke Dunia Maya Pilihan back to campus pada dasarnya bahkan merupakan conditio sine qua non. Dengan konteks sosial politik yang menjadi latar belakangnya, pers mahasiswa memang tidak memiliki alternatif lain selain back to campus. Tidak hanya karena kebebasan pers telah membuat pers umum berani bersuara keras, tetapi juga munculnya konglomerasi media yang superpower dengan kekuatan modal yang besar. Pilihan back to campus ini sebenarnya didukung perkembangan zaman yanga telah membuka ruang baru alternatif bagi pers mahasiswa. Didik Supriyanto (2000), misalnya, menyarankan pers mahasiswa untuk memanfaatkan media baru ini. Menurutnya, internet menjadi pilihan strategis bagi aktivis pers mahasiswa untuk memproduksi karya-karya jurnalistik. Sebab, selama ini pers mahasiswa seringkali terhambat persoalan dana yang membuat karya-karya jurnalistik mereka tidak mampu diterbitkan. Melalui internet, karya jurnalistik ini bisa semakin masif dibaca orang, tanpa memikirkan sekat-sekat 66
Wisnu Prasetyo Utomo geografis. Berita yang dihasilkan bahkan bisa ditampilkan sebanyak-banyaknya tanpa ada batasan jumlah halaman. Dalam abad informasi seperti ini, peran tersebut semakin penting untuk melawan apa yang disebut Ashadi Siregar (2001:160) sebagai kooptasi dan komodifikasi informasi yang dilakukan pers umum. Hermin Indah Wahyuni (2000:212) menyebutkan bahwa pemilik modallah yang saat ini menentukan konstruksi realitas melalui seleksi informasi dalam media yang dimilikinya. Sedangkan Yasraf Amir Piliang (2005) dengan lebih tegas mengatakan bahwa proses ini telah menyebabkan apa yang ia sebut sebagai kolonialisasi informasi dan pelipatan kesadaran manusia. Sebagaimana yang ia ungkapkan: “Informasi yang pada awalnya adalah cara pengetahuan tentang duniayang dikemas dan disampaikan di dalam berbagai media sebagai bentuk representasi kini mengingkari dunia yang direpresentasikannya, oleh karena ia kini cenderung menjadi sebuah dunia otonom, yang terlepas dari dunia yang direpresentasikannya.”
Selanjutnya, informasi yang monolitik pelan-pelan akan menghegemoni ruang publik. Hegemoni ini berlangsung melalui serangkaian stimulus, retorika, bahkan juga provokasi halus. Yasraf menjelaskan bahwa ketika pikiran seseorang sudah masuk dalam jaringan pemaknaan nilai atau gaya hidup yang terbentuk oleh komoditi informasi, maka pikiran orang itu akan selamanya dikendalikan oleh sistem tersebut. Mc Chesney (1998:27) sudah mengingatkan bahwa rasionalitas modal yang mengambil alih dan mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi produk media akan menenggelamkan ruang publik sebagai potensi demokratis media. Apa yang disampaikan Didik di atas selanjutnya ditegaskan oleh Achmad Choiruddin dan Lubabun Ni’am (2010:84-86). Kehadiran internet yang semakin masif digunakan masyarakat adalah peluang potensial bagi pers mahasiswa. Menurut mereka: “Kehadiran internet mengonstruksi dan lantas memenuhi
67
Komersialisasi Pendidikan kebutuhan masyarakat informasi. Dalam konteks pasangsurut penerbitan pers mahasiswa, media online tentu dapat dimanfaatkan tak hanya sebagai media alternatif (penghematan produksi cetak), tetapi juga pewartaan gagasan-gagasan kontekstual secara masif.”
Migrasi ke dunia maya ini adalah salah satu karakteristik utama pers mahasiswa masa kini. Barangkali juga tidak merupakan sebuah kebetulan jika jatuhnya rezim Orde Baru salah satunya diakibatkan penggunaan internet ini. David Hill dan Krishna Sen dalam bukunya Media, Budaya dan Politik di Indonesia (2001:227) mengatakan begini:
“Pada hari-hari terakhir, beberapa mahasiswa yang menduduki gedung parlemen memakai komputer laptop untuk mengirimkan berita secara online sementara tentara dengan ketat menjaga di sekeliling mereka.”
Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa migrasi ke dunia maya adalah sebuah keniscayaan sejarah. Dengan media yang peka zaman tersebut, pers mahasiswa bisa kembali menemukan jati dirinya. Konsekuensi teknologi ini menjadi keunggulan yang lebih jika mampu dimanfaatkan. Happy Ary Satyani dengan mengutip Anton Muhajir (2011) mengatakan bahwa internet ditandai dengan digitalisasi (dari koran, radio, TV), model berita yang realtime (aktual, breaking news), adanya interaksi dengan konsumen (kontribusi, kontrol), reader driven (pembaca punya kuasa karena banyak pilihan), dan kebiasaan membaca sambil bergerak (mobile readership). Keunggulankeunggulan tersebut bisa membuka peluang bagi pers mahasiswa untuk menguatkan civil society. Apalagi seperti sempat disampaikan di atas, civil society di Indonesia masih rapuh jika dihadapkan pada kekuasaan negara. Sunarto (2000) menjelaskan bahwa “pers mahasiswa adalah ruang persemaian public sphere civil society”. Ia mengatakan, dengan kebebasan yang tetap melekat, pers 68
Wisnu Prasetyo Utomo mahasiswa bisa secara optimal melakukan berbagai fungsi sosiologis maupun ideologisnya. Apalagi pers mahasiswa mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilainilai tertentu. Hal ini disadari oleh para aktivis pers mahasiswa. Banyak lembaga pers mahasiswa yang kemudian melakukan “migrasi” ke dunia maya. Balairung misalnya, mengembangkan secara serius media online dengan memberikan prioritas yang sama seperti dalam penggarapan produk cetak. Pilihan Balairung ini ditegaskan dalam musyawarah besar organisasi yang dilakukan pada 3-4 Juni 2000. Balairung memiliki laman www.balairungnews. com. Laman ini digunakan untuk menyiarkan beritaberita seputar kampus di UGM. Di tahun 2000, rata-rata laman ini dikunjungi oleh 20 pengunjung dalam sehari.14 Selain itu, Balairung juga bekerjasama dengan portal berita detik.com untuk membentuk jaringan internet pers mahasiswa se-Indonesia. Untuk mempersiapkan kerjasama ini, Balairung mengadakan seminar bertajuk Cybermedia: Menuju Pers Kampus Online pada 24 Februari 2000. Seminar ini menyepakati laman yang akan digunakan sebagai ruang bersama pers mahasiswa. Laman tersebut beralamat di www.detik.com/kampus. Meskipun pada akhirnya, seperti pengakuan Bachtiar (2000), laman ini tidak dapat digunakan secara maksimal karena detikcom tidak serius menggarapnya. Meskipun demikian, jaringan pers mahasiswa di tingkat nasional melalui internet tidak berarti mengendap begitu saja. Untuk mempersiapkan laman tersebut, pers mahasiswa sempat membentuk milis di alamat
[email protected]. Milis ini pada awalnya digunakan untuk sarana bertukar pikiran berbagai persoalan yang dihadapi oleh pers mahasiswa. 14 Setelah itu, Balairung beberapa kali berganti alamat laman. Sejak tahun 2001, mereka menggunakan laman www.balairung.org yang pada tahun 2005 berganti lagi menjadi www.balairung.web.id. Pada 2008, alamat laman kembali diubah dan ditetapkan menjadi www.balairungpress.com hingga kini.
69
Komersialisasi Pendidikan Setelah itu, milis ini menjadi ajang pertukaran beritaberita yang diliput oleh masing-masing pers mahasiswa. Milis ini digunakan untuk menyuarakan dan memberitakan kejadian yang terjadi di kampus masing-masing pers mahasiswa. Seperti diungkapkan Sunarto (2000), ada dua model yang digunakan dalam milis ini. Pertama, setiap pers mahasiswa diberi ruang untuk menampilkan beritaberitanya di milis kampus online. Syarat yang mesti dimiliki oleh pers mahasiswa yang ingin menampilkan beritanya di milis ini adalah melakukan update berita secara rutin. Update berita dilakukan minimal selama seminggu sekali karena waktu seminggu adalah batas psikologis kebosanan pengunjung. Batas tersebut tentu harus diperhatikan jika pers mahasiswa tidak ingin ditinggalkan pembacanya. Kedua, membentuk jaringan antar lembaga pers mahasiswa untuk membuat berita tentang dunia kampus. Masing-masing pers mahasiswa mengirimkan berita tentang peristiwa, ide, dan opini sebagai laporan kepada pengelola kampus online di Jakarta. Redaktur memiliki hak untuk menyeleksi dan menyunting berita-berita tersebut. Semisal ada berita sama yang diliput oleh lebih dari satu pers mahasiswa, maka berita yang ditampikan adalah kompilasi dari laporan tersebut. Milis kampus online awalnya memang cukup efektif untuk menampung beragam berita-berita sekaligus menyambung hubungan antar pers mahasiswa. Namun, perkembangan zaman yang memiliki konsekuensi pada kemajuan teknologi kemudian membuat masing-masing pers mahasiswa memiliki laman sendiri-sendiri. Milis ini menjadi terabaikan. Laman-laman pers mahasiswa berkembang pesat. Di Yogyakarta, sebagian besar pers mahasiswa sudah memiliki laman sendiri. Beberapa di antaranya adalah Balairung, Ekspresi, Arena, Journal, Pendapa, Bulaksumur, Equilibrium, Himmah. Di UKSW Salatiga, Scientiarum membangun www.scientiarum.com sebagai portal berita online-nya. 70
Wisnu Prasetyo Utomo Seperti diungkapkan Nonoputra (2009:61), versi online adalah sebuah kebutuhan. Berita pers mahasiswa versi online memberi fleksibilitas dan kemungkinan untuk terbit harian. Para redaktur mahasiswa tak perlu lagi pusing mengatur tata letak (layout), mencetak koran, dan membagikannya tiap hari. Dengan format cetak, Scientiarum baru sanggup terbit empat bulan sekali. Tapi dengan situs web, mau terbit kapan saja tak masalah karena semua serba otomatis dan terprogram. Di Medan, Suara USU juga memutuskan untuk masuk ke dunia maya. Suara USU memiliki laman di alamat www.suarausu-online.com. Di laman ini, beragam berita mengenai kampus USU dan kota Medan serta berbagai informasi dan hiburan disajikan. Beritaberita yang ditampilkan diperbarui seminggu dua kali. Kehadiran laman ini sendiri diminati oleh mahasiswa USU pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Di UNP Padang, Ganto juga masuk ke dunia maya dengan laman yang beralamat di www.ganto.web.id. Teknokra (Unila Lampung) memelopori media online bagi pers mahasiswa di Lampung. Laman www.teknokra. com digunakan untuk meliput berita-berita seputar Unila dan Lampung. Di Sulawesi, baru dua pers mahasiswa yang melakukan migrasi ke dunia maya yaitu Identitas (Unhas) yang memiliki laman www.identitasonline.net dan Catatan Kaki (Unhas) di www.catatankaki.org. Meskipun banyak pers mahasiswa yang sudah masuk ke dunia maya, sayangnya hal tersebut belum diimbangi dengan perubahan pola pemberitaan. Di sini pun muncul persoalan kembali. Sunarto (2000) mengungkapkan, perubahan ke dunia maya tidak disikapi juga dengan mengubah tradisi media cetak ke media cyber, yang terjadi kemudian hanyalah pemindahan media cetak versi online. Padahal keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Masalah paling mendasar 71
Komersialisasi Pendidikan adalah berita-berita yang jarang update. Tidak hanya itu, berita yang muncul pun biasanya sudah out of date. Padahal keunggulan internet adalah ketika berita-berita sering diperbarui. Semakin cepat berita itu diperbarui, semakin berita yang muncul akan dibaca. Jika hal mendasar ini tidak dilakukan, internet hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan. Sampai di sini, disorientasi, pecahnya organisasi pers mahasiswa di tingkat nasional, dan kebimbangan menghadapi tantangan zaman memperlihatkan bahwa pers mahasiswa masih tergagap. Relevan untuk mengutip Abrar (1992:41) yang mengatakan bahwa pers mahasiswa harus melakukan refleksi dan mengkaji ulang posisinya agar tidak terjebak dalam situasi yang ahistoris. Kritik sosial perlu dilakukan, tetapi tidak menjadi tujuan utama pers mahasiswa. Sebab yang lebih utama terletak pada kemampuan pers mahasiswa merefleksikan segala dinamika sosial yang ada di lingkungan mahasiswa dan mendorong kehidupan mahasiswa yang dinamis. Laku refleksi juga mesti berjalan seiring antara kondisi subjektif aktivis pers mahasiswa dan keadaan objektif sehingga dapat menemukan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.
72
Profil Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU
Balairung 1. Sejarah dan Perkembangan Setelah Gelora Mahasiswa dibredel oleh rektor UGM, usaha untuk membentuk lembaga pers mahasiswa di tingkat universitas selalu gagal. Kebijakan NKK/BKK yang dikeluarkan oleh pemerintah telah membuat organisasi mahasiswa seperti pers mahasiswa tidak mendapatkan ruang. Larangan yang bermula dari ketakutan dengan aktivitas-aktivitas kritis yang dilakukan pers mahasiswa di masa lalu. Penerbitan yang dibolehkan hanya berskala fakultas. Didik Supriyanto (1998:32) mencatat pada tahun 1986 ada 47 penerbitan fakultas dan jurusan dengan 25 di antaranya yang masih aktif terbit. Angin segar bagi pers mahasiswa di UGM kemudian datang di pertengahan tahun 1985. Sekelompok aktivis pers mahasiswa tingkat fakultas di Universitas Gadjah Mada merasa membutuhkan penerbitan mahasiswa di tingkat universitas. Keresahan ini yang kemudian menjadi dasar bagi sekelompok mahasiswa tersebut untuk bertemu, bertukar pikiran dan akhirnya sepakat untuk mengadakan seminar mengenai pers mahasiswa di tingkat universitas. Pascaseminar, dibentuklah tim untuk merumuskan konsep dan format penerbitan mahasiswa tingkat universitas. Tim perumus yang mewakili para peserta 73
Komersialisasi Pendidikan mengabstraksikan hasil seminar itu: Abdul Hamid Dipopramono (ketua), Agus Aman Santoso, Ana Nadya Abrar, M. Thoriq, Mohamad Alfaris, Laksono T. Sulaiman, Agus Ibar Santosa, Bambang Suhadjanto, Anwar Muhadi, Hendro Saptono. Setelah menyelesaikan pertemuan, rekomendasi dihasilkan dan diajukan kepada Teuku Jacob, rektor UGM kala itu. Tepat akhir tahun 1985, Majalah Balairung resmi berdiri dan terbit untuk pertama kali. UGM memiliki penerbitan di tingkat universitas. Nama Balairung digunakan untuk mengabadikan ruangan utama gedung pusat UGM. Lebih dari itu Balairung sendiri mempunyai makna kebesaran, sebuah ruangan utama tempat berkomunikasi civitas academica dari berbagai fakultas di UGM. Makna sesungguhnya adalah tempat berinteraksi kualitatif dan kuantitatif semua warga. Dengan niat seperti itulah Balairung kemudian terbit dalam bentuk majalah dan orientasi intelektualitas yang kuat. Majalah perdana terbit dengan mengangkat isu industrialisasi dan pembangunan. Dengan mengangkat tema tersebut, Balairung sekaligus memberikan perhatian pada kajian ilmiah tidak hanya di UGM tetapi juga di dunia akademik Indonesia. Edisi perdana ini juga menegaskan bahwa Balairung ingin menyediakan wahana bagi kaum muda untuk mengisi ruang kekhalifahan dengan meniti jalan intelektual. Orientasi intelektual yang demikian kuat ini bisa dipahami karena pegiatnya berasal dari para aktivis kelompok studi yang sedang menjamur. Kelompok diskusi merupakan diaspora gerakan mahasiswa di era itu. Dalam diaspora ini, diskusi-diskusi rutin dilakukan dengan jumlah mahasiswa yang semakin bertambah. Ini adalah ciri khas yang melekat dalam aktivitas kemahasiswaan. Dengan latar belakang pengurusnya yang berasal dari kelompok studi, tak mengherankan jika diskusi-diskusi juga sering diselenggarakan oleh Balairung. Untuk mempertegas orientasi intelektual Balairung, pengurus
74
Wisnu Prasetyo Utomo merumuskan orientasi keredaksiannya seperti tercantum dalam Majalah Balairung No 17/Tahun VIII/1993 hal. 36: “Mereka ingin membawa aroma orisinalitas dan kemurnian, entah diterima segera oleh orang lain atau tidak. Racikan filsafati sudah mereka kaji dengan daya yang maksimal. Lewat paradigma yang diangkat dari keprihatinan panjang, yang begitu membosankan. Dari sini mereka berharap kearifan yang progresif. Bukan sebuah kelembekan, kesembronoan emosional yang egoistis.”
Balairung terbit dengan periode tiga bulanan. Periode terbit ini kadang tidak bisa dipenuhi ketika berbagai masalah terutama seputar dana menjadi ganjalan utama. Praktis Balairung harus mencari dana sendiri untuk membiayai terbitannya sebab universitas hanya membantu seperlunya saja. Seperti dicatat Didik Supriyanto (1998:93), sejak edisi pertama pada tahun 1985, subsidi universitas sebesar Rp500.000. Baru kemudian pada tahun 1988 universitas menambah subsidi menjadi Rp2.5000.000 setiap edisi. Jumlah ini merupakan 40% dari biaya cetak yang kadang mencapai angka Rp6.000.000. Subsidi yang demikian tentu tidak mencukupi pengeluaran yang ada. Karena itu Balairung dijual dengan harapan bisa menutupi biaya produksi. Sisanya, mengandalkan pemasukan dari iklan dan bantuan dari Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA). Persoalan ini yang mengganggu periode terbit. Kadang kerja redaksi yang menghasilkan tulisan liputan tidak bisa diterbitkan karena ketiadaan dana. Ini persoalan yang menghantui Balairung sampai saat penelitian ini dilakukan. Sekalipun terkendala masalah ekonomi, beberapa kali Balairung sempat terbit dalam edisi yang “mewah”. Misalnya saja ketika memperingati ulang tahun sewindu pada tahun 1994. Seperti dicatat oleh David Hill (2011:142), Balairung edisi khusus dicetak mengilap 75
Komersialisasi Pendidikan berisi 128 halaman dengan desain cantik yang dikerjakan sungguh-sungguh. Dijual dengan harga Rp3.000, distribusinya disalurkan melalui jaringan toko buku besar di Indonesia seperti Gramedia. Balairung edisi ini menampilkan tujuh belas esai penelitian mahasiswa yang berisi tentang visi besar mengenai masa depan Indonesia. Dalam edisi ini pula Balairung menulis artikel dan wawancara dengan sastrawan kiri Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dalam perkembangannya sampai tahun 1998, Balairung terbit selama 90 edisi. Tahun 1998 menjadi salah satu tahun yang menjadi tonggak sejarah Balairung. Pergolakan politik di Indonesia memaksa Balairung untuk menghentikkan terbitan rutinnya dan terlibat aktif dalam aksi-aksi anti pemerintahan. Bersama elemen mahasiswa lainnya termasuk pers mahasiswa di tingkat fakultas, Balairung menerbitkan selebaran Gugat! yang terbit setiap hari dan memberitakan aksi-aksi menuntut mundur pemerintahan Soeharto. Gugat! juga yang pertama kali menampilan foto pembakaran replika patung Soeharto di Gedung Pusat UGM. Seperti yang terjadi di hampir seluruh pers mahasiswa di Indonesia pasca jatuhnya Soeharto, Balairung mengalami disorientasi. Balairung memilih untuk menjadi press of discourse dan press of community. Press of discourse berarti Balairung ingin menegaskan diri sebagai wahana intelektual mahasiswa seperti niat awal ketika berdiri. Secara spesifik, format dari majalah menjadi bentuk jurnal dilakukan. Pilihan berubah bentuk menjadi jurnal diambil karena Balairung ingin menyediakan ruang khusus bagi pemikiran-pemikiran mahasiswa Indonesia. Hasan Bachtiar (2001:177) menjelaskan bahwa dalam jurnal, perubahan terjadi dalam dua arah: secara teknis terjadi perubahan kerja dari kerja majalah menjadi jurnal, kemudian secara konseptual melembagakan kerangka pendekatan ilmiah dan pendekatan jurnalistik
76
Wisnu Prasetyo Utomo ke dalam kerja-kerja jurnal. Perubahan bentuk dari majalah ke jurnal ini sekaligus mempertegas orientasi isi Balairung yang sebelumnya political-state oriented menjadi social-science oriented. Terutama karena jurnal lebih sering membahas problematika sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Sementara itu, ide press of community diejawantahkan dalam format terbitan newsletter. Pilihan ini mulanya hendak mengamini pernyataan Didik Supriyanto (1998) yang mengatakan bahwa “pers mahasiswa harus kembali kepada komunitas pembacanya, yakni melayani kebutuhan lalu lintas informasi di kampusnya masingmasing.” Dengan kondisi tersebut, Balairung mesti back to campus. Komunitas utama pembaca Balairung awalnya adalah mahasiswa UGM dan kini saatnya untuk memberitakan lalu lintas informasi yang ada dalam lingkup kampus. Pilihan menjadi press of community dirumuskan dalam tujuan sebagai berikut: (1) Menyajikan beragam berita serta fakta yang terjadi di seluruh belantara UGM; (2) Menjadi media untuk mengungkapkan seluruh gagasan apapun tentang UGM dan hasil penelitian yang dilakukan seluruh civitas academica UGM; (3) Membeberkan paparan kritis terhadap peristiwa, fakta, dan fenomena yang berada di seputaran kampus UGM; (4) Sebagai media kontrol bagi proses demokrasi kampus; (5) Menjadi sarana komunikasi dan informasi bagi civitas academica Kampus Biru. Eksperimen awal kemudian dikerjakan, Balairung menerbitkan Balairung Koran. Bisa kita simak dalam editorial Balairung Koran edisi perdana yang terbit pada 25 April 2000 di halaman 1: “Fakultas adalah fakultasnya sendiri yang tidak (merasa) perlu tahu apa yang terjadi di fakultas lain. Kampus lalu menjadi begitu sempit. Padahal seharusnya bisa saling bersinergi melewati batas spesialisasi ilmu yang telah terbentuk. Dan sekali lagi, hal itu butuh sebuah media komunikasi. Oleh alasan itulah Balairung Koran hadir
77
Komersialisasi Pendidikan menggarap kembali lahan yang ditinggalkan.”
Dari editorial yang ditulis oleh redaksi tersebut kita bisa menyaksikan bahwa pilihan menjadi press of community juga berasal dari situasi lingkungan kampus yang ketika itu tersekat-sekat disiplin keilmuan masingmasing. Sekat-sekat ini menghambat komunikasi yang seharusnya bisa dijalin untuk kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu yang dibutuhkan adalah sebuah media komunikasi yang mampu menjadi penghubung berbagai kepentingan di dalam kampus. Menyikapi perkembangan zaman, Balairung juga memutuskan untuk melakukan migrasi ke dunia maya. Pada Musyawarah Besar 2008, pilihan ini ditegaskan. Laman Balairung beralamat di www.balairungpress.com. Tidak hanya itu, Balairung juga memiliki akun media sosial di Facebook dan Twitter. Laman ini menjadi media untuk menyiasati keterbatasan halaman dan periode terbit dalam versi cetak. Dengan hanya menerbitkan 2000 eksemplar sekali terbit memang susah menjangkau seluruh mahasiswa UGM yang jumlahnya mencapai 50.000 mahasiswa. Migrasi ke dunia maya menjadi masuk akal. Kondisi ini juga semakin strategis karena kebanyakan mahasiswa saat ini menggunakan media sosial dan koneksi internet yang mengubah platform dalam interaksi sosial. Dengan demikian Balairung menegaskan diri untuk menjadi community press online. Dalam laman ini, pengurus Balairung dibagi berdasarkan wilayah-wilayah di kampus. Setiap pengurus memiliki tanggung jawab untuk mencari berita-berita terbaru di wilayahnya tersebut. Pembagian ini digunakan untuk memudahkan akses berita sehingga bisa cepat disajikan secara online.
78
Wisnu Prasetyo Utomo 2. Kebijakan Redaksional Sebagai lembaga pers mahasiswa, kebijakan redaksional Balairung ditentukan secara kolektif kolegial. Tidak ada dominasi yang dilakukan oleh pemimpinnya. Untuk penentuan isu yang akan diangkat sebagai tema khusus, rapat tema diadakan dua kali. Rapat tema episode pertama merupakan brainstorming berbagai isu di seputar kampus atau pun Yogyakarta. Di rapat ini semua pengurus diperbolehkan untuk hadir. Setiap pengurus bisa mengusulkan tema apapun selama memiliki basis data dan tidak sekadar asumsi. Dengan beragamnya latar belakang disiplin keilmuan pengurus, tema-tema yang masuk menjadi lebih berwarna. Di rapat ini ditentukan beberapa tema yang dianggap layak. Setelah itu, pengurus diberikan waktu selama beberapa hari untuk mendalami masing-masing tema tersebut. Data-data awal dicari untuk menguatkan tema-tema yang ada. Selanjutnya diadakan rapat tema kedua. Di sini, data-data yang ditemukan tadi akan diadu untuk menemukan tema mana yang memiliki basis data paling kuat. Hal ini dilakukan agar tema yang diambil tidak semata hanya merupakan asumsi. Sebuah tema yang memiliki data awal cukup kuat biasanya akan terpilih. Namun, tema tersebut harus melewati uji kelayakan terlebih dahulu. Ada beberapa kriteria yang dijadikan parameter untuk menentukan kelayakan sebuah tema.15 Pertama, relevansi intelektual. Sebuah tema juga harus mencerminkan sisi kritis, analitis konstruktif dan ilmiah dengan perspektif keilmuan yang lebih luas. Kedua, relevansi sosial. Relevansi sosial yang harus ada dalam tema paling tidak membawa gambaran tentang persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat, baik terkait dengan negara, dunia bahkan kelokalan. Ketiga, relevansi waktu. Relevansi waktu diupayakan mampu membidik fenomena secara lebih tepat. Meski 15 Paramater-parameter yang diulas di sini disarikan dari Buku Putih Majalah Balairung 2012
79
Komersialisasi Pendidikan tidak menjadi pertimbangan yang mendasar. Relevansi ini menjadi penting untuk merumuskan tema yang tidak cepat basi untuk menyiasati periode terbit yang tidak tepat waktu. Keempat, kapabilitas eksternal dan intenal. Kapabilitas eksternal berkaitan dengan adakah kemungkinan tema yang diangkat ini untuk menemukan “partner” dalam pengerjaannya. Lebih ada kemungkinan pengerjaan tema ini hubungannya dengan pihak luar. Misalnya penggarapan isu korupsi, bisakah reporter menembus rumitnya birokrasi di Indonesia, dan lain-lain. Kapabilitas internal, lebih pada kapasitas awak untuk menelusuri isu ini lebih dalam. Termasuk persoalan-persoalan teknis yang meliputi awak. Kapabel atau tidak. Di rapat tema kedua ini ditentukan tema terpilih. Selanjutnya, tema yang terpilih akan di-break down sesuai divisi masing-masing. Di tahap inilah angle sebuah tema akan ditentukan. Penentuannya merupakan hasil kesepakatan bersama. Di sini juga ditentukan pengurus yang akan menulis rubrik-rubrik tertentu. Pemimpin redaksi hanya bertugas untuk memastikan bahwa tema dan angle yang dipilih bersama itu realistis untuk dikerjakan di lapangan. Pada tahap selanjutnya setelah pengumpulan data, tulisan yang masuk akan melalui tahapan penyuntingan isi dan bahasa. Penyuntingan ini dilakukan oleh pengurus yang sudah memasuki masa aktif di tahun kedua. Setelah melewati rangkaian ini, tulisan dibaca oleh pemimpin redaksi dan selanjutnya diserahkan ke divisi produksi dan artistik untuk didesain. Setelah majalah terbit dan sampai ke tangan pembaca, pengurus akan mengadakan evaluasi untuk mengurai kelemahan yang terjadi selama proses pengerjaan majalah edisi tersebut.
80
Wisnu Prasetyo Utomo Catatan Kaki 1. Sejarah dan Perkembangan Catatan Kaki adalah media yang diterbitkan oleh Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas. Ia lahir dari pergulatan mahasiswa Unhas yang ingin memiliki media independen sebagai ruang bagi ide-ide kritis mereka. Meskipun secara resmi baru lahir pertengahan dekade 1990-an, ide untuk membentuk pers mahasiswa sudah ada jauh sebelum itu. Pada awal dekade 1980-an ketika era NKK/BKK, telah bertebaran media mahasiswa di beberapa fakultas di Unhas. Kehadiran media-media di fakultas ini harus berhadapan dengan birokrasi kampus yang saat itu masih melarang adanya penerbitan mahasiswa. Larangan muncul lebih karena trauma dengan nama besar pers mahasiswa di era sebelumnya. Hal ini terutama yang membuat keinginan para aktivis pers mahasiswa di tingkat fakultas itu gagal untuk membentuk pers mahasiswa di tingkat universitas. Hermansyah (2008:1) mengatakan bahwa keinginan yang terpendam bertahun-tahun akhirnya menemui kenyataan di tahun 1994. Rektor Unhas kala itu, Basri Hasanuddin, memberikan lampu hijau bagi keinginan sejumlah aktivis pers mahasiswa Unhas. Di tahun tersebut, mahasiswa dari berbagai fakultas sepakat untuk membentuk sebuah komunike bersama yang nanti akan menjadi cikal bakal penerbitan di tingkat universitas. Komunike yang memiliki semangat untuk menampung potensi jurnalistik mahasiswa Unhas. Komunike kemudian melakukan pembahasan konsep mengenai pers mahasiswa tingkat universitas yang akan dibentuk dengan rutin. Pers mahasiswa yang sudah ada di fakultas dan jurusan dilibatkan. Di antaranya yang sempat tercatat, majalah Agrovisi dari Senat Pertanian, majalah Baruga dari Komunikasi Fisip, majalah Nurani dari MPM, Channel 9 dari Teknik dan SKK Identitas. Ulang tahun SKK Identitas di Puskadik P5 juga dimanfaatkan untuk membahas lebih jauh rencana pembentukan wadah 81
Komersialisasi Pendidikan lembaga penerbitan pers mahasiswa tersebut. Dari diskusi itu, disepakati membentuk tim 7 yang diketuai Muh. Syaiful Bahri dan bertugas melakukan lobi serta negosiasi dengan para petinggi Unhas agar menyetujui niat mahasiswa tersebut. Setelah itu penerbitan mahasiswa di tingkat universitas bernama UKM Pers bisa dibentuk. Namun, hambatan selanjutnya muncul, pejabat di rektorat tidak menyetujui penggunaan nama “pers mahasiswa”. Akhirnya pada 2 Februari 1995, UKM Pers berganti nama menjadi UKM Media. Perubahan nama dari UKM Pers (UKMP) menjadi UKM Media (UKMM) juga diiringi dengan pembentukan struktur pengurus baru. Nakhoda kepengurusan UKMM untuk pertama kalinya dipercayakan kepada Nasrul Tanjung, wakil ketua Syaiful Bahri dan sekretaris umum Marhamah Nadir. Mereka diangkat melalui SK Rektor nomor 1065/PT/04. H3/0/1995 dan dilantik pada tanggal 9 Februari. Tanggal 9 inilah yang kemudian diperingati sebagai hari ulang tahun Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas. Dalam kepengurusan periode ini untuk pertama kali terbit tabloid mahasiswa Unhas, Catatan Kaki. Nama Catatan Kaki diusulkan oleh dua orang yaitu Nasrul Tanjung, Ketua Umum periode 1995-1996, dan Agung Yusuf, Ketua Umum periode 1996-1997. Filosofi Catatan Kaki mengambil pengertian dari sebuah sistematisasi penulisan dalam karya ilmiah. Dalam penulisan karya ilmiah, Catatan Kaki adalah keterangan yang dicantumkan pada margin bawah pada halaman buku (biasanya dicetak dengan huruf yang lebih kecil daripada huruf di dalam teks guna menambahkan rujukan uraian di dalam naskah pokok). Ostaf AlMustafa, anggota dan aktivis pers mahasiswa Catatan Kaki, mengatakan pemberian nama Catatan Kaki adalah inspirasi dari tulisan yang pernah dipublikasikan dalam Koran kampus Identitas tahun 1995 “Catatan Kaki Hakhak Sepatu Mahasiswa”. Kalimat Kaki Tangan Demokrasi
82
Wisnu Prasetyo Utomo dan Keadilan menjadi semboyan yang digunakan oleh Catatan Kaki (Hermansyah, 2008:2). Dengan filosofi semacam ini, pengelola atau kru redaksi Catatan Kaki diharapkan untuk menuliskan isu-isu yang bagi pers umum dianggap tak penting. “Tak penting” di sini mesti digarisbawahi karena pers umum di era Orde Baru berada dalam ancaman pembredelan jika memberitakan beritaberita tersebut. Setelah periode ini, ide untuk mengubah nama UKM Media dengan UKM Pers kembali muncul. Rektorat Unhas ternyata tetap tidak menyetujuinya. Karena tidak boleh mengenakan nama “pers mahasiswa”, nama UKPPM (Unit Kegiatan Penerbitan dan Penyiaran Mahasiswa) menjadi gantinya. Nama inilah yang bisa bertahan sampai reformasi. Salah satu program kerja yang besar dalam periode ini adalah digelarnya kegiatan PENA EMAS ’96 (Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa). Tak kurang 20 lembaga penerbitan kampus se-Indonesia menghadiri acara tersebut. Juwendra Asdiansyah (2009:44) mencatat dalam kegiatan ini dilaksanakan sarasehan aktivis pers mahasiswa se-Indonesia. Reformasi 1998 memberikan dampak yang signifikan terhadap Catatan Kaki. Kebebasan pers dan keterbatasan dana yang dimiliki telah membuat mereka sulit bergerak. Karena itu, format penerbitan diubah. Pada 10 Oktober 1998 dicapai kesepakatan untuk mengubah format penerbitan. Untuk pertama kalinya Catatan Kaki terbit dalam bentuk tabloid pada edisi 11 Januari 1999. Setelah ini, para pengurus juga berhasil mengubah asas dan nama organisasi. Asas organisasi yang sebelumnya Pancasila, kini berubah menjadi Sosialis Demokrat. Nama Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) resmi digunakan sampai sekarang. Pascareformasi, Catatan Kaki banyak disibukkan dengan persoalan internal organisasi. Kondisi ini membuat program kerja penerbitan tidak berjalan dengan 83
Komersialisasi Pendidikan maksimal. Para pengurusnya disibukkan dengan agenda advokasi di luar organisasi. Beberapa advokasi yang dilakukan misalnya terkait Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), dan persoalan tanah di daerah Takalar. Selain itu, konflik internal yang merupakan benturan ideologis sesama pengurus juga terjadi. Pada tahun 2011 misalnya, Ketua Umum kala itu, M.Reza Taqiudin Putra diberhentikan oleh pengurus dalam sebuah Musyawarah Luar Biasa. Reza kemudian digantikan oleh Haidir. Terlepas dari konflik tersebut, Catatan Kaki juga memutuskan untuk masuk ke dunia maya. Pada tahun 2011, Catatan Kaki memiliki laman sendiri yang beralamat di www.catatankaki.org.
2. Kebijakan Redaksional Catatan Kaki menuliskan laporan berita dengan memberikan unsur propaganda di dalamnya. Ini adalah pilihan ideologis sebagai upaya memberikan informasi yang tidak dikabarkan pers umum. Mereka menyebutnya dengan nama jurnalisme advokasi. Pakem ini berbeda dengan jurnalisme yang dipraktikan oleh pers umum. Catatan Kaki memiliki panduan sendiri dalam menjalankan laku jurnalistik mereka. Panduan ini tercantum dalam buku “Vademekumenulis Jurnalistikritis Caka”. Beberapa hal yang tercantum di dalamnya dan menjadi panduan untuk menentukan angle tulisan di antaranya; Negative thinking criticism, ini adalah cara berpikir ke arah berlawanan dengan kondisi “normal” yang berlangsung di lingkungan sekitar. One stop next crisis, krisis yang terjadi di dalam komunitas tempat media berada harus mampu diungkapkan meskipun hanya berupa data-data yang minimum. Selanjutnya adalah intel inside, kerjasama dengan orang-orang di kalangan pejabat kampus harus dilakukan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses informasi 84
Wisnu Prasetyo Utomo sampai ke dalam. Karena itu, relasi dengan informan ini mesti dijaga dengan baik agar bisa mendapatkan datadata yang biasanya ditutupi oleh rektorat. Witness safety procedure, ini adalah perlindungan kepada informan atau narasumber yang memiliki bukti kunci atas persoalanpersoalan yang sedang diberitakan oleh Catatan Kaki. More than just issues, semua tema yang diangkat sebagai berita, harus mengalami eksplorasi in depth reporting dan in depth interview. Apapun isu yang terdengar, bila masuk ke ruang Caka haruslah menjadi berita dari sumber-sumber terpercaya. Apa yang tercantum dalam buku tersebut menjadi panduan bagi pengurus Catatan Kaki. Kebijakan redaksional diputuskan bersama melalui rapat-rapat formal maupun diskusi informal pengurus. Meskipun memiliki pandangan yang berbeda-beda, kebijakan akan diambil jika sudah didahului dengan diskusi dan penemuan data di lapangan. Yang menjadi kesepakatan pengurus, tulisan-tulisan dalam Catatan Kaki juga dimaksudkan untuk mengagitasi pembaca dan mengadvokasi kasus-kasus yang dianggap perlu untuk diangkat. Catatan Kaki menuliskan laporan berita dengan memberikan unsur propaganda di dalamnya.
Suara USU 1. Sejarah dan Perkembangan Pada awalnya, Suara USU adalah nama media yang dimiliki dan dikelola Humas USU. Sesuai dengan namanya, media ini menyiarkan berbagai berita-berita yang ada di kampus USU. Namun, beberapa mahasiswa anggota Senat Mahasiswa yang salah satunya diwakili Rusli Harahap, meminta izin ke rektorat agar mahasiswa bisa mengelola media itu. Alasannya, di USU tidak ada media untuk mahasiswa. Padahal mahasiswa membutuhkan ruang untuk mewadahi berbagai aspirasi yang mereka miliki. 85
Komersialisasi Pendidikan Akhirnya, izin didapatkan. Pada tahun 1994 rektorat memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengelolanya. Rusli yang merupakan Ketua Bidang Minat dan Bakat Senat Mahasiswa kala itu segera bergerak mencari teman-teman di pers mahasiswa tingkat fakultas dan pegiat kelompok studi untuk membantunya. Di antaranya adalah Yulhasni, Muhammad Yasin, Rudi Hartono Pulungan, Nuraihan Lubis, dan Chairul Azmi.16 Pengerjaan tabloid segera dilakukan. Saat itu pengerjaan dikerjakan secara manual mulai dari menulis dan menyunting berita, sampai menggunting dan menempel potongan-potongan berita yang sudah jadi pada kertas tabloid. Aktivitas ini dilakukan dengan belajar sendiri karena ketika itu belum banyak pers mahasiswa tingkat universitas di Medan. Akhirnya, para pegiat Suara USU menimba ilmu ini dari para wartawan yang sebagian besar merupakan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Setelah mendapatkan SK Rektor, Suara USU lepas dari Senat Mahasiswa dan secara independen menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). 1 Juli 1995, tabloid Suara USU terbit. Tanggal ini juga yang diperingati sebagai tanggal berdirinya Suara USU. Setelah itu, tabloid kemudian diedarkan secara gratis ke lingkungan kampus. Di edisi selanjutnya, persoalan mulai muncul dengan ditunjukkan adanya ancaman penghentian dana dari rektorat. Suara USU mengangkat berita tentang problem antara mahasiswa dan dosen yang saat itu sedang marakmaraknya. Jamak beredar isu bahwa mahasiswa harus membeli nilai ke dosen agar mendapatkan nilai yang bagus. Setelah itu, rektorat meminta pengurus Suara USU untuk menyerahkan draft tulisan sebelum dicetak,
16 Sejarah Suara USU ini disarikan dari wawancara dengan salah satu pendiri Suara USU, Yulhasni, pada 1 Februari 2012
86
Wisnu Prasetyo Utomo meskipun akhirnya ditolak oleh pengurus. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan tabloid dengan tema Benarkah USU Dilanda Suap? Tabloid ini yang pada awalnya akan diikusertakan dalam pameran universitas di Jakarta, akhirnya tidak jadi diikutsertakan. Suara USU dianggap menjelek-jelekkan universitas dan mencemarkan nama baik kampus. Pegawai BNI cabang USU yang menjadi narasumber terancam dipecat. Sementara semua pengurus Suara USU dipanggil menghadap rektorat. Ancaman penghentian dana kembali dimunculkan oleh rektorat. Ancaman ini sendiri seringkali hanya menjadi gertakan yang muncul selama Suara USU ada, bahkan sampai saat ini. Awal kemunculan Suara USU ditunjukkan dengan keaktifannya menjalin komunikasi dengan berbagai elemen masyarakat dalam aksi-aksi perlawanan terhadap Soeharto. Mereka sering mengadakan diskusi dengan tokoh-tokoh AJI yang membawa ide-ide perlawanan ini. Beberapa pengurus juga sering mengedarkan fotokopian buku Pramoedya Ananta Toer yang saat itu masih menjadi buku terlarang. Selain itu, koordinasi dengan beberapa kampus di Medan juga dilakukan. Suara USU membidani kelahiran beberapa lembaga pers mahasiswa di kota ini. Dengan posisi strategis tersebut, Suara USU menjadi pilar oposisi yang memberikan perlawanan terhadap Soeharto, Rektorat dengan isu korupsi di dalamnya, dan Senat Mahasiswa yang rectorate minded. Pasca 1998, Suara USU mulai menggunakan dunia maya untuk mengedarkan gagasan-gagasannya. Pilihan ini diambil tidak hanya karena kesulitan dana yang dialami tetapi juga karena migrasi ke internet adalah sebuah keniscayaan. Dengan adanya internet, penyebaran informasi bisa lebih cepat dilakukan. Setelah beralamat di www.suarausu.tk alamat laman 87
Komersialisasi Pendidikan kemudian pindah ke www.suarausu-online.com. Media ini tidak hanya memberitakan hal-hal yang berkaitan dengan kampus tetapi juga berita-berita seputar Medan. Tentang pemberitaan ini, ancaman pembredelan beberapa kali sempat diterima oleh Suara USU. Salah satunya terjadi pada 2004 ketika sekretariat Suara USU dirusak dan pengurus mendapatkan ancaman dari orang yang tidak dikenal. Represi ini muncul setelah mereka menerbitkan tabloid “Ternyata USU Minim Fasilitas” (Sitepu, 2009:68). Di tahun 2010, teror mental juga sering didapatkan oleh para pengurusnya terutama ketika meliput persoalan-persoalan yang melanda organisasi eksekutif mahasiswa di kampus. Teror ini biasanya datang dalam bentuk telepon dari orang tak dikenal maupun ancaman-ancaman melalui pesan pendek.17 Rektorat sendiri hampir setiap tahun juga selalu berkeinginan untuk menyensor Suara USU. Setiap pemberitaan harus masuk dan dibaca pihak rektorat dulu sebelum naik cetak. Ancaman tidak akan mengeluarkan SK Kepengurusan bahkan dikeluarkan. Meskipun ancaman itu berkali-kali juga diabaikan oleh pengurus.
2. Kebijakan Redaksional Untuk menentukan tema berita yang akan diangkat dalam satu edisi, Suara USU mengadakan dua kali rapat tema. Rapat tema pertama dinamakan proyeksi besar. Di proyeksi besar ini semua pengurus hadir untuk mengusulkan tema-tema yang kemudian akan dieksekusi menjadi sebuah berita. Khusus di rapat tema ini yang dibahas adalah tema untuk rubrik laporan utama dan laporan khusus. Di sini pula ditentukan nama-nama pengurus yang akan terlibat dalam pengerjaan laporan utama dan laporan khusus. Angle penulisan juga ditentukan dalam proyeksi besar. Angle ini kemudian dituangkan dalam sebuah term of reference. Sementara 17 Wawancara dengan Pemimpin Redaksi Suara USU 2010, Khairil Hanan Lubis, pada 4 Februari 2012
88
Wisnu Prasetyo Utomo itu rubrik-rubrik lain ditentukan dalam rapat tema selanjutnya yaitu yang disebut sebagai proyeksi kecil. Setelah ditentukan apa yang akan ditulis sebagai berita, liputan ke lapangan kemudian dilakukan. Reporter yang sudah dianggap layak akan menulis untuk laporan utama, sementara reporter pemula diberikan rubrik-rubrik kecil. Metode ini digunakan untuk melatih kepekaan reporter. Setelah liputan ke lapangan dan tulisan jadi, tahap selanjutnya adalah penyuntingan. Jika editor merasa laporan tersebut kurang lengkap maka akan dikembalikan lagi kepada reporter. Baru setelah dianggap lengkap sampai menjelang deadline, tulisan kemudian masuk ke tahap layout. Sebelum naik cetak, diadakan pracetak yang melibatkan dewan redaksi (terdiri dari pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, dan redaktur lain). Di tahap ini tulisan dicek ulang jika ada kesalahan-kesalahan di dalamnya. Baru setelah itu tulisan kemudian naik cetak dan menjadi tanggung jawab dari divisi perusahaan. Di Suara USU, pada dasarnya tidak ada dominasi yang dilakukan oleh satu pihak saja untuk menentukan isi berita. Tema dan angle berita dirumuskan dalam sebuah forum bersama. Setidaknya ada dua rapat harian di hari Rabu dan Sabtu yang diikuti oleh semua pengurus. Di Redaksi juga ada rapat mingguan. Di rapat-rapat inilah Suara USU menentukan berbagai hal strategis mengenai organisasinya dan tema berita yang akan disajikan kepada pembaca. Pemimpin umum dan pemimpin redaksi hanya bertugas untuk menjaga mutu jurnalismenya. Di sini, peran keduanya adalah memberikan penekanan berulang-ulang tentang prinsip-prinsip jurnalisme seperti independensi, verifikasi, etika, dan lain-lain.18 18 Wawancara via surat elektronik dengan Pemimpin Umum Suara USU 2011, Wan Ulfa Nur Zuhra 6 Februari 2012
89
Sistem Pendidikan Indonesia: dari Otonomi Menuju Komersialiasi
Pendidikan dan Penetrasi Neoliberalisme Ketika mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam pendidikan yang ditegaskan Ki Hajar, kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Pesan bapak pendidikan nasional ini sebenarnya sederhana. Ketika masyarakat mampu berpikir mandiri serta mendidik dirinya sendiri, bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat dan lepas dari belenggu penindasan bangsa lain. Pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kemandirian tersebut. Artinya, pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas dengan praksis di lapangan. Praksis pendidikan harus berbasis realitas sosial. Dengan demikian, harapan untuk melahirkan manusia-manusia merdeka bisa tercapai. Sayangnya, pendidikan nasional selama ini justru membuat manusia Indonesia terbelenggu. Pendidikan telah membangun tembok yang terlalu tinggi dan menjadi menara gading yang angkuh terhadap kondisi di sekitarnya. Narasi dunia pendidikan tinggi di era Orde Baru ditandai dengan pengaruh negara yang begitu besar terhadap operasionalisasi proses pendidikan. Pengaruh negara muncul dari persoalan kurikulum sampai pendanaan. Pada titik tertentu, korporatisme negara menjadi satu hal yang berperan dalam centang perenang dunia pendidikan tanah air. 91
Komersialisasi Pendidikan Azyumardi Azra (2002:xiii) misalnya, mengatakan bahwa enam permasalahan mendasar yang mengakibatkan karut-marutnya sistem pendidikan di era Orde Baru. Enam permasalahan ini membuat cita-cita mencerdaskan masyarakat menjadi jauh panggang daripada api. Pertama, keterbatasan akses terhadap pendidikan. Kedua, kebijakan pendidikan yang sentralistik. Ketiga, pendanaan yang minim. Keempat, akuntabilitas yang timpang. Kelima, rendahnya profesionalisme tenaga pendidikan. Dan keenam, missing link antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Persoalan-persoalan yang semakin bertambah rumit pasca runtuhnya Orde Baru. Kejatuhan Soeharto menunjukkan bagaimana pendulum ekonomi di negeri ini berayun. Neoliberalisme dipupuk selama era Orde Baru dan tumbuh besar pasca rezim ini runtuh. Oleh para pengusungnya, neoliberalisme dirumuskan dalam agenda The Neoliberal Washington Consensus19. Ada sepuluh ketentuan dalam Washington Consensus ini yang menjadi dasar untuk membebaskan pasar dengan sebebasbebasnya. Seperti diungkapkan Herry Priyono (2006), sepuluh ketentuan tersebut bisa diekstraksikan dalam prinsip deregulasi-liberalisasi-privatisasi yang kemudian merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Mula-mula ia bergerak dengan menggunakan prinsip pasar bebas dalam logika ekonomi, dan kemudian melakukan penetrasi. Prinsip pasar bebas menjelaskan bahwa selalu akan ada invisible hand yang mengatur mekanisme pasar. Karena itu, campur tangan dari otoritas (baca: pemerintah) tidak diperlukan. Pasar akan bergerak secara otomatis untuk mencapai titik keseimbangannya sehingga intervensi pemerintah melalui regulasi-regulasi yang ditetapkan justru 19 Sepuluh ketentuan tersebut adalah (1) disiplin fiskal untuk memerangi defisit perdagangan, (2) public expenditure dengan pemotongan subsidi pemerintah, (3) pembaharuan pajak, (4) liberalisasi keuangan, (5) nilai tukar uang yang kompetitif, (6) trade liberalisation barrier, (7) foreign direct investment yang berupa deregulasi peraturan pemerintah yang menghambat investasi, (8) privatisasi, kebijakan untuk memberikan pengelolaan perusahaan negara ke swasta, (9) deregulasi kompetisi, dan (10) Intelectual Property Rights. Lebih lanjut baca Rais, Amien. 2008. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK
92
Wisnu Prasetyo Utomo akan mengganggu keseimbangan tersebut. Praktik agenda neoliberalisme ini terlihat ketika Indonesia menandatangani perjanjian dengan IMF untuk mengucurkan dana talangan krisis moneter yang terjadi tahun 1997. Vedi Hadiz dengan mengutip ketua IMF saat itu, Michael Camdessus, mengatakan bahwa krisis pasar modal global seperti yang melanda Indonesia terjadi karena disiplin pasar tidak dipegang teguh oleh pemerintah. Karena itu, tak ada pilihan lain. Jalan keluar dari krisis, seperti diungkap Vedi Hadiz (2005:107) adalah merangkul efisiensi sistem pasar. Kemudian, perjanjian ini secara otomatis memaksa Indonesia harus tunduk pada aturan IMF dan Washington Consensus sebagai solusi untuk mengatasi krisis yang terjadi. Washington Consensus ini yang menyebutkan prinsip deregulasi-liberalisasi-privatisasi di berbagai bidang termasuk pendidikan. Dengan demikian, pendidikan dikelola dengan menggunakan logika pasar bebas. Pemerintah mengurangi tanggung jawab pengelolaan pendidikan termasuk mengurangi subsidi biaya. Besarnya utang pemerintah sampai tahun 1997 seperti terlihat dalam tabel (halaman 94) membuat pelepasan subsidi ini semakin dilakukan dengan ringan hati. Tanggung jawab ini kemudian dialihkan kepada masyarakat yang akan mengakses pendidikan. Tak mengherankan jika kemudian pendidikan menjadi barang mahal di negeri ini terutama pascareformasi 1998. Darmaningtyas (2009:35) menjelaskan bahwa paradigma pendidikan telah bergeser ke arah komersialisasi yang kapitalistik. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dianggap sekadar komoditas yang bebas diperjualbelikan. Hukum yang berlaku kemudian pun dirumuskan dalam kalimat “Barang siapa yang memiliki uang, maka ia yang akan memperoleh pendidikan yang memadai.” Inilah logika pasar bebas. Apa yang didapatkan akan sesuai dengan apa yang dibayarkan. Oleh Sheila Slaughter dan Larry L. Leslie dalam buku Academic Capitalism: Politics, Policies, and the Enterpreneurial University (1997), 93
94
Dikutip dari Majalah Balairung Edisi Khusus/Tahun XV/1999 halaman 13
Beban Utang Luar Negeri Pemerintah 1990-1997
Komersialisasi Pendidikan
Wisnu Prasetyo Utomo kondisi tersebut disebut kapitalisme akademik. Istilah ini mengacu pada institusi pendidikan yang kemudian menganut sistem ekonomi pasar di mana setiap keputusan yang dilakukan para pimpinan perguruan tinggi didasarkan pada mekanisme pasar. Satu per satu fasilitas yang ada di kampus kemudian diberi harga, ditawarkan kepada calon konsumen. Siapa yang memiliki uang, boleh mengakses berbagai fasilitas, sementara yang tidak punya uang dipinggirkan pelan-pelan. Dengan arah pengembangan perguruan tinggi yang kini diarahkan pada orientasi bisnis, perguruan tinggi kini telah mengalami pergeseran paradigma. Agus Suwignyo (2007:3844), menyebutkan ada empat pergeseran paradigma tersebut. Pertama, penyelenggaraan perguruan tinggi yang semula menaruh perhatian pada pertanyaan reflektif, eksploratif dan humanis kini berubah menjadi utilitarian. Kedua, perguruan tinggi kemudian kehilangan tanggung jawab atas perkembangan dan perubahan masyarakat menyangkut aspek, sosial, politik dan peradaban manusia. Fokus yang diambil saat ini hanya sebatas pada graduate employability atau keterserapan lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja. Berbagai program penelitian yang seharusnya memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar justru terkadang digunakan untuk mencari keuntungan semata. Karena otonomi direduksi hanya pada persoalan pendanaan dan dilegitimasi oleh berbagai kebijakan pemerintah, tak mengherankan jika kampus hanya memusatkan perhatian untuk mencari dana. Dalam konteks ini, rasionalitas ekonomi bekerja dan mendominasi nalar pengelolaan pendidikan. Heru Nugroho (2002) mempertegas fenomena tersebut dengan istilah “McDonaldisasi Pendidikan Tinggi”. Heru meminjam istilah McDonaldisasi dari George Ritzer. McDonaldisasi Pendidikan Tinggi pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa rasionalitas otonomi kampus yang berkembang pada dasarnya menghasilkan irasionalitas. Irasionalitas ini bekerja menggunakan logika 95
Komersialisasi Pendidikan restoran cepat saji ala McDonald dengan empat prinsip yaitu kuantifikasi, efisiensi, keterprediksian, dan teknologisasi. Inilah logika yang juga akan digunakan untuk melihat otonomi kampus. Pertama, prinsip kuantifikasi bisa dilihat dari orientasi pendidikan tinggi yang kini hanya memusatkan perhatian pada kuantitas hasil. Keberhasilan sebuah perguruan tinggi kemudian diukur hanya berdasarkan pada jumlah sarjana yang dihasilkan. Semakin banyak sarjana, master, maupun doktor, semakin bagus juga mutu perguruan tinggi yang bersangkutan. Tinggi rendah nilai akademik yaitu Indeks Prestasi (IP) pun menjadi parameter utama tingkat kesuksesan. Padahal seringkali kita bisa melihat bahwa IP kadang tidak berkorelasi positif dengan kemampuan akademik mahasiswa. Ketika orientasi kuantitas diprioritaskan, kualitas karya termasuk penelitian-penelitian yang dihasilkan menjadi terpinggirkan. Kedua, prinsip efisiensi dilakukan oleh perguruan tinggi. Efisiensi ini dilakukan dalam dua hal yaitu mengenai produk lulusannya dan produk hasil penelitian. Efisiensi merupakan turunan dari logika ekonomi yang menyebutkan bahwa apabila sebuah tindakan ekonomi dianggap tidak menguntungkan maka lebih baik ditiadakan. Untuk melakukan efisiensi ini, program studi dibatasi. Prioritas utama diberikan kepada jurusan-jurusan yang memiliki kemampuan teknis aplikatif yang mendukung dunia pekerjaan. Beberapa di antaranya adalah program studi Kedokteran, Teknik, Ekonomi, maupun MIPA. Dalam program studi ini, kursi dibuka sebanyak-banyak dan dengan biaya pendidikan yang mahal. Kerjasama internasional dalam program studi ini juga dibuka. Tak heran jika peminat program studi ini semakin bertambah setiap tahun. Sementara itu program studi pinggiran seperti ilmu budaya maupun filsafat ditepikan. Program studi ini dianggap tidak profitable sehingga tidak menghasilkan keuntungan material yang diharapkan. Ketiga, prinsip keterprediksian dikaitkan dalam logika 96
Wisnu Prasetyo Utomo link and match antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Persoalannya, pendidikan semacam ini hanya menghasilkan lulusan-lulusan ala robot siap kerja. Kurikulum disusun sedemikian rupa sehingga lulusan harus bisa menyesuaikan diri dengan lapangan pekerjaan. Yang patut mendapat perhatian adalah lapangan pekerjaan di sini diartikan sebagai kerja teknis dan bukan kerja intelektual maupun filosofis. Keempat, prinsip teknologisasi menjelma melalui kebijakan pendidikan. Pendidikan saat ini harus menggunakan perkembangan teknologi terbaru atau hi-tech. Teknologi tidak mendapat perhatian secara kritis oleh dunia pendidikan melainkan hanya dilihat sebagai sebuah keharusan sejarah yang tidak dapat dihindari. Perubahan Status Menjadi BHMN Serangkaian aturan yang dikeluarkan pemerintah di era transisi menuju demokrasi menjelaskan bagaimana pelepasan tanggung jawab dan perubahan dalam sistem pendidikan itu terjadi. Pada mulanya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum. Pasca PP ini keluar, semua Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia kemudian harus berubah status menjadi Badan Hukum. Konsekuensinya, kampus memiliki otonomi di wilayah akademik sampai pendanaan. Jika dibaca lebih jauh sebenarnya, persoalan otonomi di wilayah pendanaan operasionalisasi pendidikan memunculkan problem baru. Negara tidak sepenuhnya memberikan subsidi pembiayaan pendidikan. Dengan kata lain, negara melepaskan tanggung jawab terhadap dunia pendidikan di tanah air. Perguruan tinggi dipaksa untuk mencari dana secara mandiri. Inilah yang menjadi pintu masuk bagi komersialisasi. Apalagi, untuk mencapai mutu pendidikan tinggi diperlukan dana yang cukup besar. Simak tabel besaran Biaya Satuan Pendidikan Tinggi berikut yang 97
Komersialisasi Pendidikan dibutuhkan mahasiswa di BHMN generasi pertama ini: Sub Komponen BSPT Personil Fasilitas Pendidikan Manajemen Struktural Tugas Pembelajaran Tugas Penelitian Tugas Jasa Layanan Total Jumlah rerata mahasiswa
ITB
Belanja Faktual PT (juta rupiah) IPB UGM UI
107.919,1 6.607,6
71.824,7 9.342,1
55.043,0 1.932,2
31.087,9 8.669,1
14.547,7
13.241,8
3.172,9
1.714,1
9.109,7
13.677,2 14.930,7
166.252 10.521
14.057,7 17.454,7 2.240,7
128.161,7 13.892
781,1
19.070,2 2.203,0
2.203,0 26.770
BSPT per 801 9.128 3.128 mahasiswa per tahun Dikutip dari Darmaningtyas (2005:154)
3.708,9 316,2
2.869,0
2.869,0 7.325 6.218
Sementara itu Sofian Effendi dalam Rekomendasi untuk Mendiknas (2007) mengatakan bahwa diperlukan biaya pendidikan sebesar 19,9 triliun rupiah, dengan catatan biaya pendidikan 18.1 juta rupiah per mahasiswa per tahun seperti rencana Ditjen Dikti. Jumlah tersebut hanya untuk membiaya lebih kurang satu juta mahasiswa di seluruh Perguruan Tinggi Negeri. Untuk membiayai 5,6 juta mahasiswa di seluruh Perguruan Tinggi diperlukan biaya sebesar 69,4 triliun rupiah per tahun. Bila standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu di PT Malaysia, diperlukananggaran sebesar 154 triliun rupiah per tahun untuk 1 juta mahasiswa PTN. Untuk menyediakan pendidikan tinggi berstandar mutu regional Asean bagi 5,6 juta mahasiswa diperlukan biaya sebesar 662,4 triliun. 98
Wisnu Prasetyo Utomo Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan perubahan status ini adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara dan tidak murni otonomi. Otonomi dalam konteks ini hanya diandaikan dalam konteks pendanaan. Sementara dalam hal lainnya terutama persoalan kebebasan akademik tetap berada dalam kontrol pemerintah. Bukti sederhana, seperti ditunjukkan Darmaningtyas (2009:101), bisa dilihat dari kewenangan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang terlalu besar dalam pemilihan pimpinan di semua perguruan tinggi di Indonesia. Pada bab X Pasal 14 (3), dijelaskan bahwa rektor diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Wali Amanat (MWA) yang terdiri dari unsur-unsur yaitu menteri, senat akademik, masyarakat, dan rektor. Sementara seluruh dosen dan mahasiswa justru tidak memiliki hak pilih. Bandingkan dengan Mendiknas yang memiliki hak suara sebesar 35%, jauh lebih besar bila dibandingkan para pemilik hak suara yang lain. Ini membuat pemerintah memiliki kuasa yang besar untuk memutuskan siapa yang berhak menjadi pimpinan kampus. Tidak dilibatkannya mahasiswa dalam pemilihan tersebut menjadi petunjuk yang gamblang bahwa elemen terbesar dalam kampus ini hanya ditempatkan sebagai objek yang dipersiapkan menempati dunia kerja semata. Artinya, logika antara kampus dan mahasiswa berada dalam ranah untung rugi. Apalagi, dalam PP ini, perubahan status Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum membuatnya memiliki hak-hak yang sama untuk melakukan hal-hal selayaknya badan hukum lainnya. Salah satunya ada-lah menyelenggarakan kegiatan dan mendirikan unit usaha yang hasilnya akan digunakan untuk mendukung penyelenggaraan proses fungsi-fungsi Perguruan Tinggi. Perubahan status sebagai konsekuensi peraturan ini menjadi faktor utama yang menyebabkan biaya kuliah yang makin melambung. Indikasinya dapat dilihat dari biaya masuk (admission fee) yang rata-rata di atas Rp10.000.000 per mahasiswa. 99
Komersialisasi Pendidikan Uang itu ditarik setelah mahasiswa baru diterima melalui ujian masuk. Kenaikan biaya semakin menjadi-jadi setelah keluarnya PP tersebut yang diikuti dengan PP No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 yang menetapkan UI, UGM, IPB, dan ITB menjadi Badan Hukum Milik Negara. Inilah BHMN generasi pertama yang kemudian menjadi role model bagi banyak PTN lain. Ujian masuk dilaksanakan secara mandiri oleh setiap BHMN. Seperti diungkapkan Ari Sudjito dalam majalah Balairung Edisi Khusus/Tahun XV/1999, kesibukan mengejar proyek ini membuat kampus akhirnya menjadi sebuah “perusahaan pendidikan.” Sebagai sebuah perusahaan atau korporasi, orientasinya adalah mengeruk keuntungan. Rasionalitas ekonomi meminggirkan rasionalitas pendidikan. Karena itu, reaksi penolakan muncul dari mahasiswa. Tidak hanya di UGM reaksi penolakan juga muncul di UI, ITB, dan IPB. Di UI misalnya, mahasiswa bahkan sampai trauma dan kemudian tak acuh mengenai masalah ini. Ketika dimulai transisi otonomi kampus di UI, terjadi kenaikan biaya pendidikan (SPP) yang mencapai angka 300% kenaikan dari biaya sebelumnya. Merespon kebijakan itu, mahasiswa habis-habisan menggelar aksi perlawanan sebagai wujud keprihatinan. Tapi tidak dicapai kata kompromi dengan rektorat. Akhirnya mahasiswa yang sudah jenuh pelan-pelan mengendurkan perlawanan. Bahkan tidak melakukannya sama sekali. Ini, seperti dituturkan Fahmy Ibrahim dalam Majalah Balairung (1999:29), membuat mereka trauma dan menjadi apatis ketika membicarakan persoalan otonomi kampus. Wisnu Prasetya Utomo (2010) mencatat, setiap BHMN juga membuat mal di dalam kampus. IPB membangun Ekalokasari Plaza atau E-Plaza. Di kampus UI Depok tumbuh berbagai outlet bisnis, seperti restoran Korea, Alfamart, sampai kantor bank. ITB bekerja sama dengan PT. Niaga Aset Manajemen membentuk reksadana yang merupakan produk jasa keuangan. Yang paling ironis, pembangunan mal di UGM terhambat. Bahkan UGM harus menanggung 100
Wisnu Prasetyo Utomo malu karena harus membayar ganti rugi sebesar 44 miliar rupiah, setelah dituntut oleh kontraktor mal yang merasa dibohongi. Kampus sibuk mengejar proyek-proyek kerjasama untuk pendanaan operasional pendidikan. Selain kenaikan biaya kuliah dan pembangunan beberapa unit usaha seperti mal, efek perubahan status yang pekat terasa adalah obsesi internasionalisasi. Obsesi ini dirumuskan dalam nomenklatur yang jamak terdengar, world class research university. Satu persoalan yang mengemuka kemudian adalah nomenklatur ini tinggal menjadi slo-gan. Cita-cita untuk menjadi “universitas riset bertaraf internasional” kemudian memunculkan kecendurungan di mana riset-riset menjadi ajang untuk mengakumulasi keuntungan ekonomi politik, alih-alih menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan. Heru Nugroho (2006:172) menyebut hal itu sebagai arena perebutan kekuasaan. Sebagaimana dipaparkan Heru, kegiatan penelitian universitas memiliki sisi lain yang memberi keuntungan ekonomi bagi sang peneliti. Kalangan civitas academica, baik dosen maupun mahasiswa, yang memiliki akses luas ke penelitian akhirnya akan memiliki jejaring patronase yang memiliki keuntungan politik. Achmad Choirudin (2010:60-61) menjelaskan bahwa riset yang dilakukan mahasiswa terkadang bisa membentuk jejaring perkoncoan. Jejaring yang menetap ini kemudian mengelompok sendiri untuk bisa mengakses dana penelitian. Tidak hanya horizontal, Achmad juga menjelaskan bahwa jejaring ini bergerak secara vertikal. Sebagai contoh, keuntungan itu diperoleh dari dana penelitian yang diberikan kampus atau lembaga donor. Tak jarang peneliti lebih sibuk mencari penelitian yang “basah” dengan dana melimpah. Meskipun untuk itu integritas sebagai ilmuwan mesti dikorbankan. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh kampus negeri tertua di Indonesia, UGM, menunjukkan kecenderungan tersebut. Seperti dicatat Wisnu Prasetya Utomo (2010:53) tahun 2008, ada dua penelitian UGM yang memicu kontroversi publik.
101
Komersialisasi Pendidikan Pertama, penelitian “pesanan” yang melibatkan Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK). JIK mengerjakan penelitian dengan dana dari PT. Asian Agri. Penelitian itu sendiri merupakan riset tentang pemberitaan yang dilakukan Majalah Tempo dan Koran Tempo tentang penggelapan pajak senilai 1,3 triliun rupiah yang melibatkan Asian Agri. Kontroversi ini bergerak liar karena banyak pihak menuding JIK sebagai institusi akademik hanya membela koruptor tanpa melihat kepentingan umum (Majalah Tempo, 6 Januari 2008). Belakangan di tahun 2012, Mahkamah Agung (MA) memutus Asian Agri bersalah atas penggelapan pajak tersebut. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan (FKT) bekerjasama dengan PT. Jogja Magasa Minning mengenai penambangan pasir besi di Kulon Progo. Penelitian ini memicu konflik dengan petani Kulon Progo yang merasa dirugikan. Ribuan petani ini bahkan sampai melakukan aksi demonstrasi di halaman Grha Sabha Pramana UGM (21 Juni 2008). Dua contoh tersebut menjadi ilustrasi sederhana dari gejala umum perselingkuhan antara kampus dengan korporat-korporat yang menjadi donor atas penelitianpenelitian yang dilakukan. Heru Nugroho (2006:159) menjelaskan bahwa perubahan status sebagai konsekuensi otonomi kampus membuat perguruan tinggi jatuh ke cengkeraman tangan rezim pasar. Kampus diuntungkan dengan melimpahnya bisnis pendidikan dan penelitian sehingga gagal memunculkan sikap kritis terhadap akar persoalan yang muncul dari kebijakan pemerintah tersebut. Berganti Wajah Menjadi BHP Disahkannya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menjadi UU No 20/2003 adalah penanda utama corak pendidikan di Indonesia yang semakin kapitalistik. Keberadaanya semakin menegaskan PT. BHMN yang sebelumnya hanya berada di bawah payung hukum berupa Peraturan Pemerintah, dengan peraturan 102
Wisnu Prasetyo Utomo ini, BHMN-BHMN serta Perguruan Tinggi yang masih berada dalam masa transisi perubahan status memiliki wewenang yang besar untuk mengeksplorasi berbagai sumber pendanaan pendidikan dengan kreativitasnya. Faktanya, undang-undang ini melempangkan privatisasi pendidikan melalui pelepasan tanggung jawab pembiayaan oleh pemerintah untuk kemudian dibebankan kepada masyarakat (Darmaningtyas, 2005:159). Hal ini tidak hanya terjadi di level pendidikan tinggi tetapi juga menyeluruh sampai di pendidikan dasar dan menengah. Di sini pertama kali muncul nomenklatur Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Selain memberikan legitimasi yang kokoh kepada BHMN, undang-undang ini selanjutnya mengamanatkan pembentukan satu Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHMN akan malih rupa dan berganti wajah menjadi BHP. Amanat ini muncul dalam pasal 53 UU Sisdiknas yang isinya: 1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. 4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri. Latar belakang kemunculan BHP dilandasi keinginan pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dalam penyelenggaraan pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah pada pendidikan dasar dan menengah. Serta memberikan otonomi bagi pendidikan tinggi. BHP sendiri diharapkan memberikan pelayanan pendidikan formal sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidik-an 103
Komersialisasi Pendidikan nasional. Dalam hal ini pendidikan dikelola dengan prinsip 1) Nirlaba, 2) Otonom, 3) Akuntabel, 4) Transparan, 5) Penjaminan mutu, 6) Layanan prima, 7) Akses yang berkeadilan, 8) Keberagaman, 9) Keberlanjutan, dan 10) Partisipasi atas tanggung jawab negara (Darmaningtyas, 2009:43-44). Bunga kata-kata yang berada dalam sekujur tubuh BHP tidak dapat menutupi fakta bahwa kemunculan RUU BHP membuat dunia pendidikan di Indonesia semakin menyesatkan. Darmaningtyas (2005:162) menjelaskan bahwa keberadaannya akan mengaburkan peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, sedangkan secara teknis menyulitkan masyarakat untuk mengakses pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Diskursus tentang RUU BHP ini pernah memuncak sampai pada titik ekstrem antara mereka yang mendukung dan menolaknya. Ardi Nuswantoro (2008:103) menyebut bahwa diskursus ini berada dalam kerangka besar pertarungan ideologi pendidikan. Dengan mengutip William O’Neil, Ardi mengatakan bahwa ideologi pendidikan yang bertarung di Indonesia adalah ideologi liberal dan konservatif. Ideologi liberal secara gamblang terlihat pada posisi pemerintah. Ideologi ini memahami bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan profesional dan praktis untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pendidikan dianggap sebagai subsistem dari ekonomi. Ideologi ini bisa dilihat dalam alur penyusunan serangkaian regulasi mengenai pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara itu, berhadapan dengan ideologi liberal, adalah ideologi konservatif yang diwakili oleh para penolak kebijakan ini termasuk pers mahasiswa. Penganut ideologi ini meyakini bahwa fungsi pendidikan adalah menjadi penjaga nilai budaya dan moral. Karena itu mestinya pemerintah memegang penuh tanggung jawab untuk membiayai proses pendidikan dari level pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pertentangan ini mengemuka dalam pemberitaan 104
Wisnu Prasetyo Utomo media massa selama tahun 2007 hingga 2008 serta di ruang persidangan dalam judicial review yang dilakukan terhadap UU Sisdiknas yang mengamanatkan pembentukan BHP.20 Rentang waktu ini merupakan waktu di mana intensitas diskursus pendidikan tengah meningkat drastis. Mereka yang menerima mengajukan alasan bahwa BHP memberikan: 1) otonomi serta peningkatan pelayanan pendidikan tinggi, dan 2) merupakan amanat atas demokratisasi pendidikan dan perlunya partisipasi masyarakat. Sementara yang berada pada titik berseberangan memberi argumen bahwa 1) muncul kesenjangan empiris RUU BHP dengan fakta di lapangan, 2) kekhawatiran munculnya komersialisasi pendidikan dan lepasnya tanggung jawab pemerintah, serta 3) sulitnya implementasi RUU BHP (Ardi Nuswantoro, 2008:65-68). Daoed Joesoef dalam Departemen Perdagangan Pendidikan (Kompas, 29/8/2007, halaman 7) menyebut bahwa RUU BHP membawa “semangat dagang” yang kental. Semangat yang seperti terlihat dalam pasal 2, membenarkan pihak asing bekerjasama menyelenggarakan pendidikan di Indonesia dengan modal mencapai 49 persen. Ini muncul setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 76 dan 77 tahun 2007 yang membuka luas investasi bagi modal asing tersebut.21 Sedangkan Agus Suwignyo dalam Alasan Keberadaan BHP (Kompas, 28/5/2007, halaman 6) menyebut bahwa kelemahan BHP terletak pada absennya rekonseptualisasi makna dan peran lembaga pendidikan formal dalam dinamika kekinian masyarakat. Seperti yang disebutkan dalam konsideran, BHP sebagai amanat 20 Tahun 2007, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI, dan Pendidikan Wali Gereja Indonesia mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal 53 UU Sisdiknas yang mengamanatkan adanya BHP. Ketiganya mengajukan uji materi karena menilai pembentukan BHP adalah bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945. MK sendiri yang saat itu diketuai Jimly Asshiddiqie kemudian menolak uji materi tersebut dan dengan demikian, penyusunan Ruu BHP sebagai turunan dari UU Sisdiknas tetap bisa berjalan. 21 Peraturan Presiden ini muncul sebagai konsekuensi diratifikasinya General Agreement on Trade in Services (GATS) pada tahun 2005. Di dalam GATS ini dibahas segenap transaksi perdagangan dunia termasuk pendidikan.
105
Komersialisasi Pendidikan UU Sisdiknas akan memberikan pelayanan prima kepada peserta didik sesuai otonomi. Namun justru tidak diurai otonomi pengelolaan organisasi pendidikan semacam apa yang diperlukan untuk merespon perkembangan masyarakat yang ada. Tidak muncul raison d’etre BHP yang substansial. Wajar jika kesan yang muncul kemudian adalah konsep ini lahir dari pemikiran yang instan, tidak mendalam, dan “kejar setoran”. Meskipun muncul penolakan yang meluas dari masyarakat, faktanya RUU BHP resmi disahkan menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. masa transisi perubahan status bagi Perguruan Tinggi maupun BHMN berlanjut. Perlawanan dari segenap elemen masyarakat juga tak kunjung surut. Mekanisme judicial review diajukan ke MK oleh elemen masyarakat sipil. Satu ikhtiar yang berhasil karena pada 30 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP sepenuhnya. Ini untuk pertama kali MK membatalkan sebuah undang-undang seluruhnya melalui sebuah judicial review. Sebelumnya, pembatalan keseluruhan materi undang-undang selalu melalui satu legislative review. Indikasi yang cukup jelas untuk memperlihatkan betapa undang-undang BHP bertentangan dengan UUD 1945.
106
Komersialisasi Pendidikan, Agenda Neoliberal?
Pengantar Setiap wacana, tidak dapat dilepaskan dari praktik penggunaan bahasa. Bahasa menjadi medan kekuasaan yang memiliki tujuan untuk memengaruhi cara berpikir tertentu. Bahasa menunjukkan perspektif individu dalam memaknai sesuatu, menentukan nalar berpikir, termasuk juga struktur kesadaran. Dari sana, kita bisa melihat relasi kuasa yang saling berkelin dan untuk memperoleh penerimaan nalar umum. Strategi kekuasaan ini berlangsung melalui akumulasi wacana dalam ilmu pengetahuan. Secara lugas filsuf-aktivis asal Prancis, Michael Foucault, merumuskannya dalam kalimat knowledge is power. Tidak ada pengetahuan yang tidak memiliki efek kuasa, dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Istilah wacana seperti yang diuraikan Foucault harus dibedakan dari bahasa karena posisinya memang tidak setara. Seperti diungkapkan Donny Gahral Ardian (2011:142), wacana menerjemahkan realitas ke dalam bahasa dan mengonstitusi cara kita dalam memandang realitas. Berita-berita yang dianalisis dalam penelitian ini menunjukkan bagaimana wacana otonomi kampus itu diletakkan. Pers mahasiswa menganggap otonomi sebagai pintu masuk bagi komersialisasi pendidikan. Efek negatif yang muncul dari komersialisasi pendidikan seperti kenaikan biaya dan diskriminasi akses terhadap masyarakat 107
Komersialisasi Pendidikan miskin adalah sedikit alasan yang membuat penolakan ini berlangsung dengan masif. Teks-teks berita pers mahasiswa dalam konteks ini, bisa dipahami sebagai sebuah perlawanan wacana atas narasi besar komersialisasi pendidikan yang dibalut dengan istilah otonomi kampus. Perlawanan ini merupakan bentuk perlawanan ideologis antara penganut ideologi konservatif dengan liberal dalam dunia pendidikan. Penganut ideologi konservatiftermasuk pers mahasiswameyakini bahwa fungsi pendidikan adalah menjadi penjaga nilai budaya dan moral. Karena itu negara tetap bertanggung jawab terutama untuk membiayai pendidikan. Sebab, jika pendidikan dijadikan komoditas dan hanya menyediakan tenaga kerja bagi pasar, maka nilai-nilai budaya yang dikandung dalam pendidikan akan menghilang. Dalam skala yang lebih besar juga akan menghilangkan identitas kebangsaan. Dengan landasan ideologis yang jelas, pers mahasiswa menggunakan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan wacana tersebut. Termasuk menabrak ramburambu jurnalistik dalam berita yang idealnya menunjukkan objektivitas informasi. Narasi berita pers mahasiswa menggunakan logika diametral di mana ada dua pihak yang dipertentangkan secara vis a vis sesuai dengan ideologi liberal dan konservatif. Pemerintah, bersama subsistemnya sampai di level birokrasi perguruan tinggi, diletakkan sebagai penganut ideologi liberal. Pers mahasiswa menganggap mereka sebagai aktor yang bersalah telah mengeluarkan kebijakan otonomi kampus. Tuduhan tersebut bahkan ditarik lebih jauh dengan mengatakan bahwa kebijakan pendidikan ini merupakan agenda neoliberal yang mesti diwaspadai. Jika tidak, perguruan tinggi akan menjadi “ladang baru” kapitalisme. Sementara dalam sisi yang berhadapan, adalah sosok mahasiswa dan rakyat yang dirugikan karena kebijakan ini diskriminatif terutama bagi mereka yang berada pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Analisis terhadap berita-berita yang dibingkai dalam 108
Wisnu Prasetyo Utomo narasi perlawanan pers mahasiswa terhadap komersialisasi pendidikan berikut akan dimulai dari dimensi teks, kognisi sosial, dan terakhir konteks sosial. Teks
Pers Mahasiswa Balairung
Catatan Kaki
Suara USU
Edisi
Judul
16/Rabu 5 September 2001 58/Jumat 19 Desember 2003
Selamat Datang di Kampus “UGM Inc.” BHMN, Agenda Tersembunyi di Balik Status yang Tidak Jelas Ketika Ruang-ruang Akademik Mulai “Terinfeksi” Iklan Sistem Kemitraan : Sumber Dana Terbaru Unhas Unhas Ladang Baru Kapitalisme Kembali, SPP Unhas Naik
69/Senin 13 Desember 2004
10/Thn VIII/Agustus 2002 12/Thn VIII/ November 2002 III/Thn IX/ September 2003 22/September 2000 34/XVI/Oktober 2002 41/Mei 2004
Mengurai Benang Kusut Sistem Pendidikan BHMN: SPP Naik?
Pembangunan Salah Sasaran
Dalam rentang waktu tahun 2000-2004, total ada 9 berita yang dianalisis dalam penelitian ini. Seperti disebutkan dalam bab 1, pemilihan 9 berita ini didasari pertimbangan bahwa berita yang dipilih adalah berita utama yang secara langsung memiliki kaitan dengan kebijakan otonomi kampus. Kebijakan yang selanjutnya menjadi komersialisasi pendidikan sebagai konsekuensi dari perubahan status. 109
Komersialisasi Pendidikan Hanya berita tentang efek pendanaan yang semakin mahal saja yang diambil dalam penelitian ini. Sementara beritaberita yang meliput efek lanjutan dari kebijakan perubahan status, seperti persoalan organisasi mahasiswa dan sistem akademik, tidak dimasukkan dalam objek penelitian. 1. Tematik: Narasi Besar Perlawanan Dengan menunjuk pada gagasan umum dari suatu teks, elemen tematik merupakan informasi utama yang memiliki peran penting dalam membentuk makna tertentu atas teks tersebut. Karena itu elemen ini juga disebut sebagai topik karena sifatnya yang sentral dan merupakan inti utama dari sebuah teks. Van Dijk mengatakan bahwa topik ini dipengaruhi oleh struktur kesadaran wartawan atau penulis. Bahkan secara spesifik ia jelaskan bahwa topik merupakan cerminan atau refleksi dari sikap mental atau kognisi. Elemen ini adalah struktur makro dari sebuah wacana. Dari sini kita bisa mengetahui sikap dan tindakan yang diambil komunikatordalam konteks ini misalnya wartawandalam melihat sebuah permasalahan. Misalnya, dalam sebuah berita, elemen ini dapat dilihat dari berita penolakan maupun dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Topik ini nanti akan didukung oleh subtopik-subtopik yang lain. Sembilan berita dalam penelitian ini mewakili dua narasi besar yang coba dibangun oleh pers mahasiswa dalam kerangka perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan. Pertama, gugatan terhadap landasan konseptual-filosofis yang mendasari munculnya kebijakan BHMN. Kedua, kritik terhadap praktik implementasi kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing kampus. Dalam narasi yang pertama, PP No. 61 Tahun 1999 yang menjadi dasar awal bagi perubahan status menjadi BHMN dianggap sebagai peraturan yang menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada kepentingan asing. Dan dengan demikian secara diametral diartikan bahwa pemerintah tidak berpihak kepada rakyat Indonesia. Mengenai gugatan ini bisa kita lihat dalam teks berikut: 110
Wisnu Prasetyo Utomo “BHMN menyimpan banyak maksud tersembunyi di dalamnya. Ketakberdayaan pemerintah dalam menjamin pendidikan rakyat membuatnya terjebak dengan penerapan agenda-agenda neoliberal. Belum lagi masalah konsep BHMN yang dinilai masih mentah dan hasilnya pun masih disangsikan.” (Balairung Edisi 16/Rabu 5 September 2001)
Teks tersebut mencoba membangun argumen bahwa pemberlakuan Badan Hukum Milik Negara di UGM dan universitas lainnya sebagai sebuah ketidakjelasan. Ketidakjelasan ini meliputi konsep dan implementasi kebijakan. Dari ketidakjelasan tersebut juga publik termasuk mahasiswa harus mencermati skenario yang lebih luas dari pemberlakuan BHMN ini. Skenario yang dimaksud adalah tekanan dari asing untuk melaksanakan agenda-agenda neoliberal di mana salah satunya adalah melakukan privatisasi pendidikan. Bangunan argumen yang senada bisa kita perhatikan dalam teks berita Catatan Kaki berikut:
Dalam UUD 1945 telah diatur bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Ini berarti hak tersebut melingkupi semua unsur masyarakat baik bagi yang miskin terlebih yang kaya. Tapi itu hanya tinggal gombal dalam kata-kata. Kenyataannya saat ini terjadi pengingkaran dengan adanya usaha swastanisasi kampus yang menghantui banyak perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan beberapa di antaranya yakni UI, UGM, IPB, ITB telah dicekam, dan mungkin tak lama lagi kampus merah kita, Universitas Hasanuddin. (Catatan Kaki Edisi 12 Tahun VIII November 2002)
Dalam teks berita tersebut, Catatan Kaki memberitakan tentang kondisi Unhas saat ini yang sudah mengarah kepada swastanisasi kampus. Swastanisasi kampus disinyalir selain sebagai konsekuensi perubahan status yang dicanangkan pemerintah juga karena Unhas dianggap ingin menaikkan gengsi agar sama dengan universitas-universitas di Pulau Jawa. Indikasi
111
Komersialisasi Pendidikan swastanisasi ini setidaknya bisa dilihat dari kenaikan biaya kuliah dan semakin banyaknya jalur masuk Unhas yang berbasis swadaya. Meskipun istilah swastanisasi ini ditolak oleh pejabat di kampus Unhas, tetapi kenaikan biaya pendidikan tidak dapat dipungkiri merupakan akibat dari pemerintah yang lepas tangan dengan mencabut subsidi pendidikan. Kritik atas pelepasan tanggung jawab ini juga diajukan oleh Suara USU yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia lebih memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi alihalih pada penciptaan manusia-manusia yang unggul. Bisa kita lihat dalam teks berikut: Sesunggguhnya konsep BHMN diharapkan sebagai solusi
dari minimnya budget pendidikan yang dialokasikan pemerintah Indonesia, dalam rangkaian kebijakan pembangunannya lebih tertarik untuk memperkuat struktur ekonomi ketimbang mencetak barisan manusia-manusia Indonesia yang well-educated. Artinya, pendidikan menempati prioritas yang ke sekian. Padahal, di dunia maju prioritas pendidikan adalah nomor satu. (Suara USU Edisi 34/XVI/Oktober 2002)
Suara USU mengungkap tentang rencana perubahan status kampus USU menjadi BHMN yang belum jelas. Ketidakjelasan ini berawal dari minimnya informasi dan sosialisasi yang diterima oleh mahasiswa. Banyak yang menganggap bahwa BHMN merupakan sejenis kapitalisme pendidikan yang akan mendiskriminasi masyarakat dari golongan menengah ke bawah. Apalagi, pendirian BHMN dilatarbelakangi ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan subsidi pendidikan. Karena tidak ada subsidi pendidikan, universitas harus kreatif untuk mencari sumber dana. Frame BHMN adalah berorientasi bisnis. Wajar jika rencana perubahan status menjadi BHMN ini diiringi dengan kenaikan biaya pendidikan (SPP) di USU. Tematik seperti di atas disajikan ketiga pers mahasiswa untuk menunjukkan bahwa kebijakan
112
Wisnu Prasetyo Utomo perubahan status menjadi BHMN adalah kebijakan yang tidak mengindahkan rakyat kecil. Dalam titik tertentu bahkan mengkhianati Pancasila sebagai falsafah hidup kebangsaan. Neoliberalisme dianggap sebagai “kepentingan asing” dan akan mencengkeram dunia pendidikan di Indonesia. Cengkeraman ini kemudian akan membuat dunia pendidikan tidak menghasilkan manusia-manusia yang humanis dan menjadi solusi bagi segenap persoalan bangsa. Yang muncul kemudian adalah manusia-manusia yang menjadi buruh dari dunia kerja sesuai agenda neoliberalisme. Narasi kedua yang selanjutnya dimunculkan oleh pers mahasiswa adalah kritik terhadap praktik implementasi kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing kampus. Ketidakjelasan perubahan status membuat praktik implementasi atas kebijakan tersebut oleh kampus pun menjadi semrawut. Ini yang menjadi titik pijak bagi pers mahasiswa untuk mengajukan kritikan-kritikannya. Misalnya saja seperti bisa dilihat dalam teks berikut: Agaknya, mahasiswa baru memang perlu ditarik untuk peduli terhadap persoalan klasik semacam ini. Jika tidak, mereka kelak yang akan terkena imbasnya. Apalagi sejak dikeluarkannya PP No 153 Tahun 2000 tentang pemberlakuan otonomi kampus, makin banyak hal yang mesti dicermati mahasiswa. Otonomi membuat universitas bisa melakukan berbagai kegiatan usaha, baik usaha untuk mengisi kocek maupun meningkatkan kualitas. Untuk mengail rupiah, UGM bahkan tak segan membuka banyak program diploma dan ekstensi. Maraknya pembangunan dan kerjasama dengan pihak luar juga tak lepas dari adanya otonomi. (Balairung, Edisi 16 Rabu, 5 September 2001)
Tematik berita ini menjelaskan tentang fenomena kebanggaan mahasiswa baru UGM yang hanya bersifat semu. Kebanggaan menjadi mahasiswa baru hanya akan muncul di awal-awal kuliah saja. Sebab, banyak persoalan di kampus yang akan melibatkan mahasiswa baru. Karut marut persoalan di kampus UGM ini berawal 113
Komersialisasi Pendidikan dari perubahan status menjadi BHMN pasca keluarnya PP 153 Tahun 2000 tentang pemberlakuan otonomi kampus, makin banyak hal yang mesti dicermati mahasiswa. Otonomi membuat universitas bisa melakukan berbagai kegiatan usaha, baik usaha untuk mengisi kocek maupun meningkatkan kualitas. Untuk mengail rupiah, UGM bahkan tak segan membuka banyak program diploma dan ekstensi. Balairung menulis bahwa UGM membuka berbagai program yang tidak jelas dan melegitimasinya dengan keberadaan BHMN. Catatan Kaki mengajukan kritik yang sama berikut: Mengingat kenaikan SPP yang nyaris tiap tahun ternyata tidak membawa perubahan yang berarti terhadap kondisi sarana dan prasarana di Unhas. Misalnya kondisi laboratorium yang kian mengkhawatirkan tiap tahunnya. Mahasiswa yang seharusnya melakukan praktikum hanya bisa pasrah menyaksikan demonstrasi yang dilakukan dosen ataupun asisten karena bahan dan alat praktikum yang tidak cukup. (Catatan Kaki, Edisi III Tahun IX September 2003)
Sedangkan Suara USU memotret banyaknya pembangunan di fakultas-fakultas di USU yang salah sasaran. Pembangunan lebih diarahkan untuk memoles gedunggedung daripada untuk memenuhi kebutuhan fasilitas yang mendukung Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, terdapat perbedaan sarana dan prasarana penunjang KBM yang sangat mencolok antara fakultas satu dengan fakultas lain. Di beberapa laboratorium yang ada pada setiap fakultas jarang sekali terlihat barang-barang atau alatalat yang baru, hampir semua peralatan lama dengan kondisi yang sebenarnya kurang layak untuk digunakan. Ini berbanding terbalik dengan gedung yang semakin diperindah dan direnovasi. Ironisnya, permasalahan ini bukanlah permasalahan baru yang mungkin saja luput dari perhatian para pemimpin fakultas tetapi merupakan permasalahan klasik yang hampir setiap tahunnya
114
Wisnu Prasetyo Utomo menjadi polemik. Pembangunan yang salah sasaran ini bisa diartikan bahwa kampus USU lebih mementingkan “citra” ketimbang “substansi”. Bisa kita lihat dalam teks: Yang mengherankan secara kasat mata kita dapat melihat gencarnya pembangunan yang sedang dilakukan di FK seperti perluasan parkir, perluasan kantin, pembangunan koridor jalan penghubung menuju ke gedung ildrem, perbaikan ruang seminar, ternyata fakultas yang selama ini menjadi kiblatnya pertumbuhan pembangunan sarana prasarana yang memadai untuk Kegiatan Belajar Mengajar, juga menomorduakan kelengkapan peralatan laboratorium. (Suara USU, Edisi 41/Mei 2004)
Dengan memperhatikan tematik yang yang dimunculkan Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU kita bisa segera melihat bahwa kritik terhadap komersialisasi pendidikan muncul dari hulu ke hilir. Keberpihakan pemerintah pada kepentingan asing dengan melepas subsidi pendidikan membuat pihak perguruan tinggi pada posisi yang terdesak. Karena itu serangkaian usaha untuk menggali dana dilakukan meskipun tanpa konsep yang jelas. Meskipun terdesak, perguruan tinggi juga memiliki andil dalam pembuatan kebijakan turunan yang tidak tepat sasaran dan menjadikan masyarakat dan mahasiswa baru sebagai sasaran tembak untuk mengeruk dana sebanyak-banyaknya.
2. Skematik Berita-berita dalam penelitian ini memiliki variasi panjang antara satu sampai dua halaman. Balairung memberikan ruang pendek dalam satu halaman sementara Suara USU mengalokasikan ruang yang paling panjang dalam dua halaman. Meskipun demikian, ada skema identik yang muncul dalam pemberitaan. Beritaberita tersebut setidaknya memiliki tiga struktur pokok yang terbagi dalam teras berita, tubuh berita, dan penutup berita.
115
Komersialisasi Pendidikan Pertama, dalam teras berita menunjukkan idealisasi atas kebijakan pendidikan yang membebaskan dan berpihak kepada masyarakat. Pada titik ini pendidikan yang dianggap membebaskan merujuk pada Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional. Seperti yang ditegaskan Ki Hajar, kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Pesan bapak pendidikan nasional ini sebenarnya sederhana. Ketika masyarakat mampu berpikir mandiri serta mendidik dirinya sendiri, bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat dan lepas dari belenggu penindasan bangsa lain. Pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kemandirian tersebut. Artinya, pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas dengan praksis di lapangan. Praksis pendidikan harus berbasis realitas sosial. Dengan demikian harapan untuk melahirkan manusia-manusia merdeka bisa tercapai. Untuk itu, pemerintah mesti memegang tanggung jawab penuh untuk membiayai pendidikan sehingga masyarakat bisa mengakses pendidikan tanpa adanya diskriminasi ekonomi. Sebab, jika dilepaskan ke dalam cengkeraman rezim pasar, hanya golongan tertentu saja yang mampu mengaksesnya. Dengan tanggung jawab ini, setiap warga memiliki kesempatan yang sama untuk bisa sampai pendidikan tinggi. Persis seperti bunyi Pasal 31 ayat 1 UUD 1945: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Struktur kedua yaitu tubuh berita mengelaborasi problematisasi antara idealitas dengan realitas yang muncul sebagai konsekuensi kebijakan perubahan status Perguruan Tinggi menjadi BHMN. Setelah mendeskripsikan bagaimana pendidikan yang ideal selanjutnya, struktur yang muncul dalam teks kemudian beralih ke fakta-fakta atau realitas yang jauh dari idealitas tersebut. Serpihan fakta yang meresahkan tersebut
116
Wisnu Prasetyo Utomo digambarkan sebagai diskursus antara kondisi objektif konteks globalisasi dengan situasi subjektif pemerintah dan pengelola pendidikan tinggi sebagai bagian dari aparatus negara. Otonomi kampus yang kemudian menjadi komersialisasi atau swastanisasi merupakan satu kebijakan yang tidak berdiri sendiri. Paket program yang berupaya mengurangi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga terhadap pendidikan serta hak-hak dasar lainnya. Problematisasi ini ditunjukkan melalui fakta-fakta yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan di kampus. Kenaikan biaya kuliah, pembukaan berbagai jalur baru untuk masuk universitas, sampai kebijakan pembangunan di kampus yang tidak tepat sasaran karena hanya menjadi proyek mercusuar semata. Sedangkan struktur ketiga atau penutup berita, menunjukkan kritik, tuntutan serta harapan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk membuat pendidikan lebih merakyat dan manusiawi. Tuntutan mengenai tanggung jawab pemerintah dan partisipasi mahasiswa atau masyarakat menjadi hal utama yang mengemuka. Tanggung jawab pemerintah terutama dikaitkan dengan pembiayaan pendidikan. Ini berarti bahwa otonomi tetap diberikan kepada perguruan tinggi namun diletakkan dalam satu bingkai kebijakan akademik. Sedangkan partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam merumuskan sebuah kebijakan karena mereka adalah stakeholder utama yang mestinya menjadi subjek dalam dunia pendidikan.
3. Semantik Semantik berada pada level mikro dalam struktur wacana. Apa yang dimaksud oleh van Dijk mengenai semantik di sini adalah tentang adanya makna lokal (local meaning) yang dimiliki sebuah teks. Makna lokal ini dibentuk dari hubungan antar kalimat yang pada tahap selanjutnya akan membangun makna tertentu secara utuh.
117
Komersialisasi Pendidikan Ada beberapa elemen semantik yang menyusun bangunan makna itu dengan utuh yaitu latar, detail, ilustrasi, maksud, pengandaian, dan penalaran. Elemenelemen ini secara bersama-sama akan mendefinisikan bagian mana yang penting dalam sebuah wacana. Selain itudan ini yang terpentingstrategi semantik ini bertujuan untuk menggiring wacana ke arah tertentu sesuai yang diinginkan. Bagian berikut akan menguraikan tentang makna yang dikonstruksi oleh pers mahasiswa. a. Latar Latar adalah elemen semantik yang berperan penting dalam bangunan logika yang disusun dalam satu berita tertentu. Pola pikir yang ingin dibentuk bisa dilihat dari sini. Perubahan status menjadi BHMN dianggap sebagai konsekuensi tak terhindarkan sebagai efek globalisasi dan harapan untuk dapat meningkatkan kualitas mutu pendidikan tinggi. Ini misalnya bisa kita lihat dalam teks berikut:
“Globalisasi dan keinginan peningkatan mutu pendidikan melalui kebebasan dalam penyusunan kurikulumlah yang melatarbelakangi penentuan status UGM menjadi BHMN,” jelas Sudjarwadi, Wakil Rektor Bagian Pendidikan dan Pengendalian Mutu.” (Balairung Edisi 58/Jumat 19 Desember 2003) (cetak tebal dalam teks ini dan selanjutnya dari penulis)
Karena dianggap sebagai efek dari globalisasi yang melanda seluruh negara di dunia maka kehadirannya pun menjadi satu hal yang tidak dapat dielakkan. Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dan Perguruan Tinggi mesti mencari cara sendiri untuk membiayai operasionalisasinya. Seperti terlihat dalam teks berikut:
118
“Untuk dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi, penerapan kebijakan dalam bentuk pengurangan subsidi untuk sektor pendidikan sebagai akibat ketidakberdayaan negara dalam menghadapi gejala global tersebut menyebabkan perguruan-perguruan
Wisnu Prasetyo Utomo tinggi harus mencari biaya di luar subsidi negara untuk menutupi kekurangan biaya penyelenggaraan pendidikannya.” (Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)
Dengan keharusan untuk mencari biaya sendiri tersebut maka Perguruan tinggi mulai membuka berbagai jalur masuk dengan berbagai variasi tarif pendaftaran berdasarkan jalurnya. Catatan Kaki dalam teks berikut memotret bagaimana Unhas kemudian membuka berbagai jalur masuk dengan angka pembayaran yang besar: “Hal itu diindikasikan dengan makin tingginya tarif pendidikan serta bermunculannya pembayaran yang sebelumnya tak disangka-sangka seperti POMD, DPKP, serta adanya jalur kemitraanjalur masuk baruyang konon katanya merupakan kerjasama Unhas dengan Pemerintah Daerah yang ingin memajukan putraputrinya demi kemajuan daerah bersangkutan.” (Catatan Kaki edisi 10/Thn VIII/Agustus 2002)
Latar tersebut menunjukkan bahwa negara dianggap “tidak berdaya” dalam menghadapi “arus globalisasi” dan memaksanya untuk mengeluarkan kebijakan perubahan status. Pada akhirnya pelepasan tanggung jawab terjadi. Dan ini memaksa para pengelola Perguruan Tinggi untuk “mencari biaya di luar subsidi” pemerintah. b. Detail Detail adalah elemen wacana yang berkaitan dengan kontrol informasi. Informasi yang menguntungkan komunikator akan diberi ruang luas dan sebaliknya, informasi yang merugikan akan dipersempit. Detail ditunjukkan dengan memberikan data-data untuk mendukung argumen seperti sudah disebutkan dalam latar di atas. Suara USU memberikan deskripsi detail berupa langkah-langkah yang dilakukan oleh USU dalam menghadapi masa transisi setelah muncul
119
Komersialisasi Pendidikan peraturan dari pemerintah yang mengamanatkan perubahan status:
“Langkah pun disusun, bahkan sejak peluncuran PP No. 61/1999 tersebut. Bermula dari pembentukan Tim Pemikir USU oleh Rektor untuk mengejawantahkan keuntungan dan kerugian dari perubahan status tersebut dan kemudian dibawa hasilnya ke pertemuan Senat USU. Setelah Senat USU menyatakan oke, disusunlah proposal yang akan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).” (Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)
Sementara itu, meski BHMN adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara, namun campur tangan itu tidak hilang sepenuhnya. Pemerintah masih mencampuri pendanaan biaya yang menunjukkan bahwa negara sendiri tidak paham dengan konsep BHMN. Kegagapan pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut bisa kita lihat dalam detail berikut: “Tapi, kenyataannya masih ada campur tangan pemerintah dalam penggunaan dana tersebut dengan diberlakukannya sistem line item, yaitu pengalokasian dana pada pos-pos yang disesuaikan dengan keinginan negara.” (Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)
Padahal, kampus sudah menaikkan biaya untuk merespon minimnya subsidi pendidikan dari pemerintah. Catatan Kaki menunjukkan dampak yang paling nyata dari transisi perubahan status. Biaya kuliah melambung drastis dengan membebani mahasiswa. Dalam teks berikut dideskripsikan dengan gamblang kenaikan biaya kuliah tersebut:
120
“Upaya ini pulalah yang dilakukan oleh Unhas. Bila tahun ajaran 2002/2003 mahasiswa baru Unhas diharuskan menyetor SPP sebesar Rp500.000,- untuk eksak dan Rp400.000,- untuk noneksak maka di tahun ajaran 2003/2004 ini mahasiswa baru diharuskan menyetor SPP sebesar Rp750.000,- untuk eksak dan Rp680.000,-
Wisnu Prasetyo Utomo untuk noneksak.” (Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)
Melalui detail, pers mahasiswa menjalin sikap yang dimiliki dengan fakta-fakta yang muncul. Jalinan tersebut kemudian memperlihatkan kontradiksi dan dampak nyata yang segera bisa dirasakan begitu kebijakan perubahan status dikeluarkan. Campur tangan negara tetap muncul dengan keikutsertaan pemerintah mengatur penggunaan dana block grant. Perbandingan biaya kuliah yang baru dengan yang lama juga menunjukkan kontras seberapa besar kenaikan itu terjadi. Satu hal yang digunakan untuk menunjukkan bahwa yang dirugikan dalam kenaikan biaya ini adalah mahasiswa (baca: masyarakat). c. Ilustrasi Jika detail merupakan strategi komunikator untuk menampilkan banyak informasi yang menguntungkan dirinya seperti di atas, ilustrasi menjadi bentuk kontrol informasi yang ditunjukkan melalui ilustrasi sederhana. Tujuannya, pembaca bisa memiliki bayangan seperti pesan yang hendak diberitakan satu berita tertentu. Dalam teks berikut BHMN dianggap sebagai bentuk pelaksanaan bahwa pemerintah memang akan lepas tangan dalam pembiayaan pendidikan.
“Pemberlakuan status BHMN adalah bagian dari pelaksanaan agenda lepas tangan pemerintah.” (Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)
Lepasnya campur tangan pemerintah tersebut membuat Perguruan Tinggi berada dalam posisi yang sulit. Apalagi sebelumnya tingkat ketergantungan Perguruan Tinggi terhadap subsidi pendidikan dari pemerintah cukup besar. Karenanya Suara USU dalam teks berikut menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi berada pada dilema yang tak mudah dicari jalan keluarnya:
121
Komersialisasi Pendidikan “Alhasil, dana pendidikan pun terbatas. Ini menjadi buah simalakama bagi sebuah institusi pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi.” (Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)
Mau tak mau, langkah-langkah untuk mengeruk uang agar roda pendidikan tetap berjalan mesti dilakukan. Hanya dengan membuka berbagai unit usaha, membuka variasi jalur masuk, dan berbagai proyek kerja sama lainnya yang mampu membuat kampus survive. Konsekuensinya, rasionalitas ekonomi kemudian menentukan mekanisme sistem kerja di lingkungan pendidikan tinggi, seperti ditunjukkan Catatan Kaki dalam teks berikut: “Unhas akan ambil bagian dalam dunia bisnis di mana segala sesuatunya dilihat dari kacamata hijau, UANG.” (Catatan Kaki edisi 12/Thn VIII/November 2002)
d. Maksud Elemen maksud hampir serupa dengan detail. Ia menunjukkan bagaimana sebuah pesan dikonstruksi dengan banyak data serta ditunjukkan dengan eksplisit dan tegas. Dalam berita-berita tentang komersialisasi pendidikan, pers mahasiswa menunjukkan bahwa cara untuk menutupi minimnya subsidi pendidikan dari pemerintah adalah dengan cara memperbanyak jumlah kuota mahasiswa baru yang masuk dan meningkatkan jumlah biaya kuliah yang harus dibayarkan oleh mahasiswa. Ini misalnya bisa kita lihat dalam dua teks berikut: “‘Berdasarkan laporan dari PR II diketahui bahwa anggaran pendidikan selama ini belum bisa menutupi biaya pendidikan Unhas, oleh karena itu diharapkan biaya penyelenggaraan pendidikan utamanya sarana dan prasarana dapat tertutupi oleh kenaikan SPP tahun ini,’ ungkapnya.” (Catatan Kaki III/Thn IX/September 2003)
122
“... untuk menutupi dan meningkatkan cost pendidikan
Wisnu Prasetyo Utomo yang membengkak pada masa transisi PTN menuju BHMN, langkah yang mungkin dilakukan adalah melalui penambahan jumlah mahasiswa yang menuntut ilmu di USU dan peningkatan kontribusi biaya pendidikan untuk mahasiswa baru.” (Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)
Kekurangan dana sebagai konsekuensi hilangnya subsidi dari pemerintah bahkan membuat Perguruan Tinggi juga tidak mampu mendanai kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan oleh mahasiswa. Ketidakmampuan itu kemudian membuat pihak kampus memberikan izin kepada perusahaan rokok untuk mensponsori kegiatan mahasiswa yang dilakukan di dalam kampus. Kampus akhirnya menjadi ruang etalase bagi iklan-iklan yang masuk. Padahal sebagai institusi akademik, kampus semestinya steril dari iklan-iklan komersial yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan akademik. Ini bisa kita lihat dalam teks berikut: “Jadi khusus untuk sponsor rokok kemudian diizinkan untuk dipasang kembali. Hal itu dilakukan mengingat event yang diselenggarakan oleh mahasiswa membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya dan hanya perusahaan rokoklah yang berani mensponsori event tersebut.” (Balairung 69/Senin 13 Desember 2004)
e. Pengandaian Pengandaian menjadi salah satu cara untuk mendukung bangunan argumen tertentu. Ia menjadi bentuk dukungan terhadap data-data yang sudah dijelaskan di latar maupun detail. Dengan pengandaian, diharapkan khalayak bisa memahami dengan lebih ringkas karena kalimat pengandaian ini mengasosiasikan makna kepada hal-hal yang mudah dipahami tanpa harus ditanyakan lagi. Perhatikan ke dalam frasa yang diberi cetak tebal dalam dua teks berikut:
123
Komersialisasi Pendidikan “Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Syawal Saloko saja misalnya mengatakan bahwa dunia pendidikan ke depannya bagaikan sebuah pasar, di mana hanya orang-orang berduit yang bisa memasukinya.” (Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)
“BHMN adalah bungkus dari kebobrokan yang merupakan penjajahan gaya baru, kita harus sadar!” ujar aktivis kelompok studi Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Gema Prodem) ini bersemangat. (Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)
BHMN dituduh membuat pendidikan di Indonesia akan menjadi sebuah pasar. Analogi pasar tidak dapat dipungkiri muncul karena mengasumsikan hanya orang berduit saja yang mampu membeli barangbarang di pasar. Semakin banyak uang yang dimiliki, semakin banyak barang yang bisa didapatkan di pasar. Demikian juga sebaliknya, sedikit uang berbanding lurus dengan terbatasanya barang yang bisa dibeli. Dalam dunia pendidikan ini bisa dipahami bahwa hanya orang berduit saja yang bisa mengakses pendidikan yang berkualitas. Sementara rakyat miskin hanya boleh dan bisa mengakes pendidikan dengan mutu yang jauh lebih rendah. Selanjutnya, BHMN dianggap sebagai bentuk penjajah-an gaya baru. Tentu penjajahan yang dimaksud adalah penjajahan pikiran. Dengan investasi modal asing yang demikian besar, kurikulum pendidikan kemudian akan diarahkan dan dibentuk untuk mencetak buruh-buruh yang melayani kepentingan asing. Bukan menjadi bagian dari solusi yang memecahkan problem kemasyarakatan. f. Penalaran Mirip dengan pengandaian, elemen penalaran juga mendukung argumen yang dibangun dengan menggiring khalayak untuk menyimpulkan satu kesimpulan tertentu. Dalam dua teks berikut terlihat
124
Wisnu Prasetyo Utomo bagaimana subsidi dari pemerintah yang semakin menipis secara logis berdampak pada kenaikan biaya kuliah. Menipisnya anggaran subsidi terjadi karena situasi perekonomian yang tengah memburuk. Artinya, dengan atau tanpa BHMN kenaikan akan terjadi. Dan BHMN semakin menekan Perguruan Tinggi:
“Bagi Sayid, kondisi perekonomian yang tidak memungkinkan serta alokasi dana pendidikan yang rendah, toh mau tidak mau berdampak juga terhadap kenaikan jumlah nominal SPP. Dengan kata lain, dengan atau tanpa BHMN pun toh ada juga kenaikan SPP.” (Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)
Sedangkan di Unhas, BHMN berkembang menjadi isu swastanisasi yang ditandai dengan kenaikan biaya pendidikan. Sebagai pihak yang paling merasakan dampak langsung, mahasiswa merasakan gejolak dan membuat gerakan-gerakan untuk menentang kebijakan ini: “Isu swastanisasi ini akhirnya banyak melahirkan gejolak di kalangan mahasiswa yang sangat menentang privatisasi Unhas.” (Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)
4. Sintaksis Elemen ini menjelaskan strategi penggunaan kalimat (sintaksis) untuk menampilkan wacana yang diinginkan. Strategi ini berjalan dalam pemilihan diksi, penggunaan kata ganti, aturan tata kata, pemakaian kalimat aktif atau pasif, pelekatan anak kalimat, dan sebagainya. Jika dikerucutkan, strategi sintaksis berlangsung dalam pemakaian koherensi, nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti. Karena berada pada level mikro, strategi ini memang berlaku untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi bahasa. Manipulasi bahasa dilakukan untuk menempatkan salah 125
Komersialisasi Pendidikan satu pihak dalam citra yang positif, sementara pihak lain dalam pihak yang negatif. a. Koherensi Koherensi Sebab Akibat. Koherensi adalah penghubungan antar kata, proposisi, atau kalimat. Dengan penghubungan, dua fakta yang sebenarnya tidak saling berhubungan bisa berhubungan. Secara sederhana, koherensi melihat apakah sebuah fakta dipandang memiliki relasi dengan fakta lain atau tidak. Ini penting untuk membentuk kerangka argumen dalam rangka memengaruhi khalayak. Hubungan ini bisa diketahui dengan melihat penggunaan kata hubung terhadap dua kalimat atau proposisi. Teks di bawah menunjukkan koherensi sebab akibat:
“Karena masih dalam tahap percobaan, ada asumsi bahwa konsep BHMN mentah, sehingga hasilnya disangsikan.” (Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)
“Karena dana pendidikan kurang, maka Unhas mencari dana lain dengan menaikkan SPP sehingga proses belajar mengajar dapat maksimal sehingga tercipta lingkungan kampus yang kondusif.” (Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)
Dalam koherensi di atas, disebutkan bahwa dalam tahap percobaan konsep BHMN masih lemah. Karena itu hasilnya pun disangsikan. Yang lebih terlihat jelas adalah kenaikan biaya pendidikan yang mesti dilakukan karena dana pendidikan kurang. Sementara untuk koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan mengenai bagaimana sebuah fakta atau peristiwa itu hendak dibedakan. Jenis ini misalnya bisa kita lihat dalam teks berikut:
126
“SPP yang membengkak dalam realitasnya akan menghilangkan kesempatan putra-putri bangsa ini mengecap pendidikan. Dalam konstitusi Indonesia termaktub dengan jelas bahwa fungsi dari negara adalah
Wisnu Prasetyo Utomo memberikan hak hidup warga negaranya. Bagaimana sekiranya jika seorang calon mahasiswa atau pun mahasiswa USU tidak mampu melanjutkan studinya?” (Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)
Dampak uji coba BHMN yang paling bisa dirasakan kemudian adalah kenaikan biaya pendidikan (SPP). Pada faktanya, kenaikan ini secara otomatis akan menutup kesempatan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah untuk mengakses pendidikan. Padahal, fungsi negara seperti terdapat dalam konstitusi Indonesia adalah memberikan kesempatan kepada warganya untuk mengakses pendidikan tanpa diskriminasi. b. Nominalisasi Nominalisasi berhubungan dua hal. Pertama, efek generalisasi. Kedua, menghilangkan subjek atau pelaku. Ia memiliki kekuatan untuk mengubah kata kerja atau sifat menjadi bentuk kata benda. Efek yang ditimbulkan adalah menutupi satu tindakan atau kelompok tertentu dalam sebuah peristiwa. Nominalisasi ini misalnya, kita bisa melihat dalam teks:
Revrisond mengutarakan gagasannya bahwa seharusnya publik, termasuk mahasiswa, harus mencermati skenario yang lebih luas. Yaitu adanya tekanan untuk melaksanakan agenda-agenda neoliberal. (Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003) “Contoh kecil, ketika kebijakan-kebijakan global diterapkan maka negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia pun dipaksa untuk menerapkan kebijakan yang dapat menunjang kebijakan global tersebut.” (Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)
Dalam frasa yang dicetak tebal, kita bisa melihat bahwa pangkal persoalan komersialisasi pendidikan dalam BHMN ini adalah tekanan-tekanan yang diberikan oleh kepentingan asing. Asing ini tidak dijelaskan secara detail apakah berarti negara tertentu,
127
Komersialisasi Pendidikan perusahaan tertentu, kelompok, atau yang lainnya. Pun dengan kebijakan-kebijakan global seperti dimaksud Catatan Kaki. Kita tidak tahu apakah kebijakan global ini seperti kebijakan PBB, atau hanya kebijakan dua orang lintas negara yang juga bisa disebut sebagai kebijakan global. Yang pasti, asing diletakkan sebagai pihak yang paling bersalah dalam silang sengkarut pendidikan di Indonesia ini. c. Abstraksi Abstraksi berkaitan dengan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal ataukah sebagai suatu kelompok. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam teks:
“Mahasiswa harus ingat, yang berperan penting dalam proklamasi kemerdekaan bangsa adalah pemuda dan mahasiswa. Sekarang bagaimana mahasiswa, ingin tetap merdeka atau jatuh dalam pelukan penjajahan?” (Balairung 58/Jumat 19 Desember 2003) “Bukan karena SPP jelas bakalan naik empat berlipat tapi dunia kampus bakal diintervensi oleh para pemilik modal.” (Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)
128
Dalam dua kutipan tersebut, bisa dilihat bahwa objek dilihat sebagai satu kelompok yang utuh. Kata mahasiswa misalnya, menunjukkan generalisasi bahwa semua mahasiswa harus menjadi ujung tombak dalam perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan. Artinya tidak hanya menyebut satu kelompok mahasiswa misalnya organisasi intrakampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan pers mahasiswa atau organisasi ekstrakampus. Dengan menggeneralisasi maka diasumsikan bahwa semua mahasiswa tanpa terkecuali harus menolak BHMN. BHMN dianggap sebagai bentuk penjajahan gaya baru sehingga jika mahasiswa tidak melawannya maka Indonesia akan kembali ke dalam pelukan penjajahan.
Wisnu Prasetyo Utomo Sementara dalam kutipan kedua, frasa pemilik modal yang dituding akan melakukan intervensi di kampus seiring dengan kenaikan biaya pendidikan juga menunjukkan generalisasi satu kelompok. Di sini misalnya, tidak disebutkan siapakah pemilik modal itu dan bagaimana intervensi yang akan dilakukannya. d. Kata Ganti Elemen wacana ini menunjukkan di mana posisi seseorang dalam sebuah wacana. Kita bisa melihat dalam teks ini bagaimana keberpihakan sebuah pers mahasiswa ditunjukkan. Alur logika komersialisasi pendidikan bermula ketika kampus menggunakan orientasi profit dalam pengelolaan pendidikan. Orientasi pada keuntungan akan membuat kampus tidak lagi menjadi sarana pendidikan manusiamanusia yang humanis dan memiliki kapasitas untuk memecahkan berbagai problem kebangsaan. Kampus yang berorientasi pada profit hanya akan menyiapkan mahasiswa-mahasiswa menjadi kapitalis. Dan pada akhirnya, manusia-manusia yang dilahirkan oleh kampus komersial akan menjadi koruptor di masa depan. Tentu logika yang digunakan dalam teks ini adalah perhitungan bahwa orang yang mengeluarkan banyak uang selama masa pendidikan nantinya akan menggunakan berbagai cara untuk mengembalikan uang tersebut dengan tujuan balik modal setelah memasuki dunia pascakampus. Bisa kita lihat dalam teks berikut: “...Unhas ke depannya akan lebih berorientasi pada perhitungan profit dan tidak lagi menjadi sarana pendidikan. Tidak lagi menjadi sarana untuk menyiapkan manusia-manusia berkualitas dan manusiawi tapi kapitalis-kapitalis baru yang bukan tak mungkin akan menjadi koruptor-koruptor baru Indonesia.” (Catatan Kaki edisi 12/Thn VIII/November 2002)
e. Bentuk Kalimat Bentuk kalimat berkaitan dengan cara berpikir logis.
129
Komersialisasi Pendidikan Bentuk ini menjelaskan prinsip kausalitas yaitu bagaimana sesuatu dijelaskan oleh sesuatu yang lain. Logika ini kemudian kalau diterjemahkan dalam bahasa kemudian menjadi susunan Subjek yang menerangkan, dan Predikat yang diterangkan. Susunan kalimat aktif atau pasif dan bagaimana subjek atau objek ditempatkan akan memengaruhi makna yang dimunculkan kemudian. Misalnya bisa kita lihat dalam teks berikut:
“Dia mengungkapkan, sebenarnya tanpa status BHMN pun universitas mampu menyusun kurikulum dan mengembangkan dirinya di bawah status otonomi kampus.” (Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)
Balairung mencoba membangun pesan bahwa perubahan status menjadi BHMN tidak berbanding lurus dengan kebebasan mengembangkan kurikulum. Sebabnya, pengembangan kurikulum secara otomatis akan berjalan jika ada otonomi kampus yang diberikan. Ini berarti otonomi kampus harus dimaknai dalam konteks kebebasan kampus untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Persoalannya menjadi berbeda ketika otonomi kampus juga memberi kebebasan kepada Perguruan Tinggi untuk mencari dana sendiri. Ini menjadi celah bagi masuknya komersialisasi kampus. Di kutipan berikut kita melihat bagaimana pencarian dana mandiri yang salah satunya diimplementasikan melalui kenaikan biaya pendidikan atau SPP telah menyempitkan akses masyarakat miskin. Perkara akses ini menjadi dampak paling nyata terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
130
“Selain tidak adanya transparansi alokasi penggunaan SPP, adalah bahwa besarnya SPP yang sudah ada pun telah mengeliminasi kesempatan untuk rakyat miskin
Wisnu Prasetyo Utomo memperoleh pendidikan tinggi.” (Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)
5. Stilistik Dalam sebuah paragraf, kalimat bisa memiliki makna lokal sendiri. Jika diturunkan lagi, kata yang menjadi unsur pembentuk kalimat akan menentukan makna lokal tersebut. Dengan demikian, kata juga memiliki makna lokal tersendiri. Pemilihan kata-kata yang dipakai akan menunjukkan sikap dan ideologi yang dimiliki. Ada dua unsur stilistik yang bisa dilihat dari sebuah teks berita yaitu kata kunci dan pemilihan kata. a. Kata Kunci Elemen ini berhubungan dengan kata-kata yang sering digunakan oleh komunikator dalam mengungkapkan gagasannya. Kata kunci ini merupakan semacam ideologi yang diyakini komunikator. Dengan kata kunci, komunikator membentuk imaji khalayak agar sesuai dengan orientasi, isi, dan tujuannya. Balairung (edisi 58/Jumat 19 Desember 2003) menggunakan istilah “agenda tersembunyi neoliberal” untuk menjelaskan bahwa dalam BHMN terdapat kerancuan dari sisi konseptual maupun pada praktiknya. Catatan Kaki (edisi 12/Thn VIII/November 2002) menggunakan istilah “swastanisasi kampus” untuk menyebut kebijakan-kebijakan komersial yang dilakukan oleh Unhas dalam masa transisi perubahan status. Sedangkan Suara USU (edisi 34/XVI/Oktober 2002) memilih kata “kapitalisme pendidikan” untuk menyebut perubahan status USU menjadi BHMN akan semakin mendiskriminasi rakyat miskin. b. Pemilihan Kata Pemilihan kata berkaitan dengan maksud dan tujuan informasi yang disampaikan. Dengan pemilihan kata atau diksi tertentu, maksud dari penulis berita bisa terlihat. Dalam produksi sebuah teks, wartawan atau
131
Komersialisasi Pendidikan penulis memilih satu kata dan tidak menggunakan padanan kata yang lain. Cara pemilihan kata juga melingkupi kalimat yang dikutip dari orang yang dijadikan narasumber berita. Narasumber dalam berita ini yang menolak kebijakan BHMN menilai ada agenda asing yang bermain. Konsekuensi pemakaian istilah ini adalah kesan bahwa intervensi asing atau agenda neoliberal akan membuat kebijakan pendidikan di Indonesia menjadi diskriminatif.
“Revrisond mengutarakan gagasannya bahwa seharusnya publik, termasuk mahasiswa, harus mencermati skenario yang lebih luas. yaitu adanya tekanan untuk melaksanakan agenda-agenda neoliberal.” (Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)
Sementara dalam kutipan di bawah, Catatan Kaki menggunakan frasa para pemilik modal. Konsekuensi dari pemilihan kata ini adalah kepentingan asing atau neoliberalisme masuk ke dalam dunia pendidikan di Indonesia melalui para pemilik modal. Tidak dideskripsikannya “pemilik modal” ini membuat bentukan makna bahwa pihak yang bersalah dalam kenaikan biaya pendidikan di Indonesia adalah semua pemilik modal, baik pemerintah maupun swasta. “Bukan karena SPP jelas bakalan naik empat berlipat tapi dunia kampus bakal diintervensi oleh para pemilik modal. Tidak hanya pada sistem ataupun kurikulum tapi pada semua sendi kehidupan berkampus.” (Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)
6. Retoris Strategi pada elemen ini adalah gaya bahasa yang diungkapkan dalam proses komunikasi yang dilakukan. Dalam teks misalnya, gaya bahasa yang digunakan bisa berupa hiperbolik dengan pemakaian kata yang berlebihan, atau yang langsung (straight to the point) 132
Wisnu Prasetyo Utomo dengan penggunaan kata yang tegas dan jelas. Pemilihan gaya bahasa ini berhubungan erat dengan retorika yang ingin mempersuasi khalayak. Retorika ini dibangun dengan gaya dan interaksi yang berkelindan menyusun sebuah teks. a. Gaya Gaya merupakan strategi komunikator dalam menyampaikan pendapatnya sesuai sasaran pesan yang diinginkan. Dengan menyesuaikan terhadap sasaran pesan yaitu khalayak, diharapkan pesan dapat diterima. Artinya gaya menjadi bentuk pelibatan partisipasi khalayak terhadap teks berita yang dibentuk. Semakin tinggi dan berat struktur bahasa yang digunakan komunikator, maka semakin sempit juga tingkat partisipasi dalam sebuah teks. Sebaliknya, semakin rendah dan membumi sebuah bahasa, berarti komunikator mengharapkan bahwa teks tersebut mendapatkan tingkat partisipasi khalayak yang luas. Dalam teks berikut, pers mahasiswa melalui komunikator menggunakan istilah sederhana agar pesan yang dibentuk bisa sampai ke masyarakat luas. Misalnya tentang analogi pasar yang digunakan untuk mengibaratkan situasi pendidikan di tanah air. Pendidikan diibaratkan seperti pasar di mana mekanismenya dijalankan dengan logika tawarmenawar dan yang pasti, membutuhkan uang:
Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Syawal Saloko saja misalnya mengatakan bahwa dunia pendidikan ke depannya bagaikan sebuah pasar, di mana hanya orang-orang berduit yang bisa memasukinya. “Anda tak mungkin bisa membeli sesuatu kalau Anda tak memiliki uang,” tambahnya. (Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)
Demikian pula dalam teks berita Suara USU, ketika kecendurungan mahasiswa yang bisa mengakses USU adalah anak orang-orang kaya, maka kesempatan
133
Komersialisasi Pendidikan untuk warga miskin mengecil. Hal ini ditunjukkan dengan mengajukan pertanyaan yang sederhana namun mengajak khalayak untuk berpikir reflektif: ke mana orang miskin harus kuliah jika Perguruan Tinggi hanya menjadi tempat belajar orang-orang kaya? Simak teks berikut.
“Dengarlah keresahan Laetta, mahasiswa jurusan Matematika, ‘Di USU yang kuliah nantinya anak orang kaya, orang miskin ke mana?’ ujarnya penuh tanya.” (Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)
b. Interaksi Interaksi merupakan elemen yang berhubungan dengan bagaimana komunikator ingin mencitrakan dirinya sendiri. Citra ini dibentuk dengan cara menautkan emosi dengan khalayak. Pertautan emosi dengan khalayak menjadi penting sebagai bentuk persuasi. Tujuannya tentu agar khalayak bisa menempatkan diri pada posisi yang sama dengan komunikator. Pada teks berikut, Catatan Kaki mengutip seorang mahasiswa yang kecewa dengan biaya pendidikan di Unhas yang mahal dan memberatkan. Kondisi ini berbeda jauh bila dibandingkan bayangan awal yang ia kira murah dengan fasilitas yang lengkap. Dan ia sampai pada kesimpulan bahwa Unhas saat ini sudah menjadi universitas negeri namun dengan “rasa” swasta.
“Saya pilih Unhas karena berpikir Unhas pembayarannya murah tapi ternyata mahal dan memberatkan, walaupun sedang diperbaiki fasilitas kurang memadai. Unhas sekarang setengah negeri setengah swasta,” ungkapnya. (Catatan Kaki III/Thn IX/September 2003)
134
Proses swastanisasi tersebut kemudian membuat perubahan status diterima dengan setengah-setengah. Bahkan dalam ambiguitas yang begitu terlihat. Misalnya saja ketika Suara USU melakukan wawancara dengan
Wisnu Prasetyo Utomo Pembantu Rektor USU. Pembantu Rektor mengatakan bahwa sebagai dosen ia tidak menerima konsep BHMN, namun sebagai pejabat di lingkungan birokrasi kampus, peraturan dari pemerintah tetap harus dijalankan. Dari sini bisa dilihat bahwa sebenarnya dari unsur dosen pun banyak yang melakukan penolakan meski pada akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa. “...dalam konteks dirinya sebagai dosen, “Saya tidak ingin BHMN ada”, ujarnya. Sebab dalam konsep BHMN, lanjut Jhon, disebutkan bahwa dosen adalah pegawai universitas yang tidak diperbolehkan mencari ladang penghasilan di luar pagar USU.” (Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)
Kognisi Sosial Kognisi sosial merupakan dimensi wacana yang melihat bagaimana seorang individu atau kelompok melakukan produksi atas sebuah teks. Seperti dituturkan van Dijk, kelahiran sebuah teks sangat dipengaruhi oleh struktur mental seorang wartawan. Kognisi sosial menjelaskan bagaimana struktur mental wartawan melakukan penafsiran dan pemaknaan atas isu tertentu yang berimplikasi pada penulisan teks berita. Van Dijk dalam News as Discourse (1988) mengatakan bahwa analisis kognisi sosial dalam kajian media memang sangat jarang karena sifatnya yang lokal, spesifik, dan psikologis. Pembacaan kognisi sosial dalam penelitian ini tidak akan melihat struktur mental wartawan satu per satu. Namun, pembacaan berikut akan memberikan satu sketsa kecenderungan wartawan pers mahasiswa dalam memandang pers mahasiswa dan posisi ideologisnya terhadap otonomi kampus maupun komersialisasi pendidikan. Ada dua gagasan besar yang menjadi ekstraksi atas berbagai ide pegiat pers mahasiswa dalam melakukan penulisan berita terkait komersialisasi pendidikan. Pertama, dengan menyandang nama “pers” sekaligus 135
Komersialisasi Pendidikan “mahasiswa”, keberpihakan pers mahasiswa harus jelas dengan memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik. Berita tetap harus lebih mendahulukan fakta-fakta daripada opini wartawan. Sebab jika hanya banyak berupa opini, yang terjadi kemudian adalah pers mahasiswa hanya menjadi pers propaganda yang tidak bisa objektif dalam memberitakan sebuah peristiwa. Gagasan semacam ini bisa kita lihat dalam pendapat Pratama (2012, wawancara pribadi), Fitria Nurhayati (2012, wawancara pribadi) dan Wan Ulfa Nur Zuhra (2012, wawancara pribadi). Wan Ulfa misalnya, secara tegas mengatakan bahwa:
Keberpihakan pers mahasiswa, jika kita merujuk pada buku Elemen-Elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosensteil, adalah kepada kepentingan masyarakat. Namun, pers mahasiswa juga harus menjaga independensi, baik secara organisasi, maupun secara personal anggotanya. Memang tak ada berita yang objektif. Setiap manusia pasti punya bias juga punya maksud, tujuan, dan kepentingan tertentu ketika menulis suatu berita. Beda kepala, beda pemikiran, beda sudut pandang. Karena itu seorang wartawan harus bisa menanggalkan seluruh atributnya ketika liputan, untuk menghindari bias. Ia harus banyak baca buku dan diskusi untuk mengasah pemikiran. Agar maksud dan tujuan utamanya menulis berita adalah untuk kepentingan masyarakat.
Sementara gagasan kedua, dalam menunjukkan keberpihakannya, pers mahasiswa tidak perlu mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik. Seperti diungkapkan oleh Chairuddin (2012, wawancara pribadi), tidak merupakan suatu masalah besar jika banyak unsur propaganda di dalam berita pers mahasiswa. Karena memang tujuannya adalah untuk membentuk opini publik dan menyampaikan apa yang diyakini oleh mahasiswa. Narasumber-narasumber yang diwawancarai adalah mereka yang anti terhadap otonomi kampus. Narasumber yang berasal rektorat diambil sebagai formalitas belaka. Asri Abdullah (2012, wawancara pribadi) juga menegaskan: 136
Wisnu Prasetyo Utomo Tidak ada berita yang netral. Tidak ada yang bebas nilai. Persoalan prinsip-prinsip jurnalistik seperti cover both sides, menurutnya itu hanya persoalan teknis saja. Yang lebih penting adalah bagaimana pers mahasiswa mempraktikkan jurnalisme advokasi. Jurnalisme advokasi ini adalah konsep di mana pers mahasiswa tidak hanya melakukan penulisan-penulisan berita tetapi juga melakukan kegiatan advokasi kepada masyarakat.
Meskipun ada dua perbedaan mendasar dalam memandang pers mahasiswa yang berimplikasi pada gaya dan metode penulisan berita, ada kesamaan sikap bahwa komersialisasi pendidikan membawa dampak negatif bagi sebuah bangsa. Akses pendidikan bagi masyarakat kecil yang menyempit menjadi penanda yang cukup jelas ke mana keberpihakan pers mahasiswa harus diarahkan. Meriam kata-kata ditujukan kepada pemerintah dan pejabat birokrasi lingkungan kampus. Mereka dianggap sebagai aktor yang bersalah telah mengeluarkan kebijakan otonomi kampus. Tuduhan tersebut bahkan ditarik lebih jauh dengan mengatakan bahwa kebijakan pendidikan ini merupakan agenda neoliberal yang mesti diwaspadai. Jika tidak, perguruan tinggi akan menjadi “ladang baru” kapitalisme. Konteks Sosial Berita-berita pers mahasiswa terkait perubahan status Perguruan Tinggi menjadi BHMN di atas dibingkai dalam narasi besar perlawanan mahasiswa terhadap kebijakan yang dianggap sebagai pintu masuk bagi komersialisasi pendidikan tersebut. Aksi-aksi demonstrasi terjadi dalam skala yang meluas di berbagai daerah. Balairung Edisi Khusus/XV/1999 memberitakan bahwa beberapa organisasi yang merupakan representasi dari mahasiswa memberikan respon penolakannya dengan membentuk tim khusus untuk membahas masalah otonomi kampus. Di antaranya adalah Dewan Mahasiswa UGM yang menaruh perhatian untuk isu ini. Mereka bahkan
137
Komersialisasi Pendidikan mengirimkan perwakilan anggotanya untuk melakukan survei ke UI, ITB, dan IPB agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai otonomi kampus. Dalam majalah Suluh Edisi 5/Th I/1999, Dewan Mahasiswa UGM mengangkat tema “Awas Otonomi Kampus Versi Rektorat, Membawa Kita ke Tiang Gantungan.” Penolakan ini seperti diungkapkan Luqman Hakim Arifin (1999:10), dilandasi alasan bahwa otonomi kampus adalah bentuk “akal-akalan negara” untuk melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan yang murah dan merata untuk rakyat. “Akal-akalan” ini ditunjukkan dengan pengurangan subsidi negara dari 65% menjadi 35%. Luqman juga menjelaskan bahwa dengan dikuranginya subsidi negara, sisa biaya pendidikan dibebankan kepada masing-masing perguruan tinggi. Kampus dapat menambal kekurangannya dengan tiga cara. Pertama, menaikkan SPP, jumlah pastinya belum jelas. Kedua, mencari dana ke pemodal asing atau institusi swasta. Ketiga, mendirikan unit-unit usaha, seperti pom bensin, supermarket, wartel, dan lain-lain. Dengan pemahaman demikian, reaksi penolakan juga meluas dan tidak hanya dilakukan oleh organisasi intra kampus saja. Reaksi penolakan lain ditunjukkan oleh Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) yang merupakan wadah organisasi mahasiswa ekstrakampus. KPRP menolak otonomi kampus yang digulirkan pemerintah karena kebijakan ini tidak melibatkan mahasiswa dalam perumusan kebijakannya. Disinyalir bahkan kebijakan ini hanya akan menempatkan mahasiswa sebagai objek pendidikan. Karena hanya menjadi objek, mahasiswa tidak bisa bersikap kritis dan hanya akan menjadi individualisindividualis yang terlepas dari fungsi sosialnya. Berbagai elemen yang setidaknya terdiri dari 28 organisasi mahasiswa ini kemudian bergabung dan membentuk Komite Aksi Pendidikan Kerakyatan (Komite Apik). Mereka menyatakan menolak otonomi kampus dan menyebarkan penolakan ini kepada mahasiswa melalui beragam metode. Seperti melalui poster, selebaran, siaran 138
Wisnu Prasetyo Utomo pers, dan lain-lain. Aksi-aksi demonstrasi kemudian juga menjadi metode perlawanan yang digunakan. Perlawanan Komite Apik ini tidak hanya dilakukan dengan menolak otonomi kampus semata. Tetapi lebih dari itu, perlawanan juga ditunjukkan dengan melakukan upaya-upaya perbaikan sistem pendidikan. Di Makassar, aksi-aksi demonstrasi juga dilakukan oleh mahasiswa. Darmaningtyas dalam bukunya Tirani Kapital Dalam Dunia Pendidikan (2009:291) menyebutkan bahwa mahasiswa di Makassar adalah salah satu elemen mahasiswa yang paling sering menyuarakan penolakan terkait isu otonomi kampus ini. Aksi demonstrasi secara rutin dilakukan oleh gabungan mahasiswa Unhas, Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Muslim Indonesia (UMI), Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STIMIK) Dipanegara, Universitas 45, dan Politeknik. Aksi ini dilakukan dengan demonstrasi di dalam kampus, menyebarkan selebaran, berdialog dengan birokrasi kampus, bahkan ke kantor DPRD Sulawesi Selatan untuk menyampaikan aspirasi kepada para wakil rakyat. Di kampus, aksi-aksi ini ditanggapi dengan represif oleh pejabat universitas. Rektorat tidak mau menanggapi aksi demonstrasi dan pemasangan spanduk penolakan terhadap otonomi kampus. Rektorat justru mencopot spanduk penolakan otonomi kampus tersebut dan mengancam para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi dengan memanggil preman. Ernaeda Naharudin dalam tabloid Catatan Kaki (2003:6) mengatakan aksi represif yang dilakukan menunjukkan bahwa otonomi kampus memang “menyimpan sesuatu” di baliknya. Sebagai contoh, aksi represif ini dialami oleh mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra Unhas. Seperti diberitakan Catatan Kaki Edisi 10 Tahun VIII Agustus 2002, ketika melakukan protes terkait kenaikan biaya pendidikan, mahasiswa mendapatkan ancaman dari Dekan. Aksi demonstrasi yang berkali-kali dilakukan, seperti dicatat 139
Komersialisasi Pendidikan Darmaningtyas, seringkali berakhir dengan kericuhan dan bentrokan dengan aparat kepolisian. Tak jarang mahasiswa yang ditangkap oleh polisi setelah melakukan aksi demonstrasi ini. Menurut I Ngurah Suryawan dalam Catatan Kaki (2002:9), radikalisasi penolakan mahasiswa ini berlangsung cepat karena kesadaran kritis mahasiswa telah tumbuh. Kesadaran yang mewujud dalam pembentukan komunitaskomunitas yang merupakan transformasi warisan perlawanan dari senior-senior angkatan sebelumnya. Kesadaran kritis dalam melakukan proses pembebasan dan mengkritisi segala bentuk doktrinasi dan pembodohan untuk melawan kekuasaan pendidikan. Aksi demonstrasi dan penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa ini juga berakar dari kekhawatiran bahwa otonomi kampus hanya akan mencabut mahasiswa dari realitas sosialnya. Di USU Medan, wacana tentang otonomi kampus ini hanya terdengar samar-samar. Tidak banyak mahasiswa yang mengetahui isu ini karena sosialisasi dari pihak yang berwenang sangat minim. BHMN hanya menjadi isu di tingkat elite. Suara USU edisi Oktober 2002, misalnya, memberitakan bahwa tidak hanya mahasiswa, dosen pun masih tergagap menanggapi isu otonomi kampus ini. Danan Djaja dalam Suara USU (2002:7) menjelaskan bahwa sosialisasi BHMN kepada mahasiswa belum maksimal. Padahal, suasana PT BHMN nanti akan mengubah sistem yang selama ini telah mapan. Karena sosialisasi tidak jelas ditambah dengan informasi yang hanya beredar di level pimpinan universitas, terjadi disinformasi yang berujung ketidaktahuan terhadap konsep otonomi kampus ini. Tentu wajar jika ketidaktahuan akan konsep otonomi kampus dan BHMN ini melahirkan kegalauan. Kompas edisi 30 Oktober 2002 mencatat kegalauan yang dirasakan oleh staf administrasi maupun dosen. Isu yang beredar menjelaskan bahwa staf administrasi dan dan dosen akan berubah menjadi pegawai universitas. Konsekuensinya, status kontrak akan berdasarkan perjanji140
Wisnu Prasetyo Utomo an kerja dengan universitas. Staf dan dosen yang merasa terancam dengan kondisi ini kemudian bersama mahasiswa melakukan penolakan dan perlawanan terhadap BHMN ini. Persoalan-persoalan ini semakin bertambah rumit. Otonomi kampus membuat problem menjadi terlokalisir ke fakultas-fakultas di USU. Contohnya saja adalah masih banyaknya “dosen amplop” dan “pegawai telepon koin”, mahasiswa yang gagap dengan realitas masyarakat di sekitarnya, dan rendahnya kultur penelitian di lingkungan civitas academica USU. Penelitian Suara USU pada tahun 2004 bahkan menunjukkan bahwa transparansi dana di USU masih gelap. Dari 2.400 mahasiswa yang dijadikan responden survei, tercatat 87,30% mahasiswa tidak tahu tentang dana pembangunan fakultas. Hanya 8,38% yang tidak tahu, dan sisanya menjawab tidak peduli. Sementara mahasiswa yang merasa pembangunan di USU belum menyentuh kebutuhan mahasiswa mencapai angka 79,54%, 16,25% menjawab sudah dan sisanya menjawab tidak tahu. Tidak hanya diam, mahasiswa mempertanyakan transparansi keuangan yang dilakukan untuk pembangunan di USU. Dengan kenaikan biaya pendidikan dan pemasukan dari sumber-sumber baru lainnya, USU memiliki kas yang lumayan besar untuk anggaran kemahasiswaan. Jumlahnya sekitar 600 juta per tahun. Persoalannya dana ini tidak dibuka secara transparan dan akuntabel. Apalagi ada kontradiksi yang terlihat jelas dari pembangunan sarana yang muncul. Dengan kondisi yang masih demikian samar-samar, masih ada sekelompok mahasiswa USU yang melakukan penolakan. Mereka menamakan diri Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS). Penolakan ini dilakukan karena BHMN dianggap sebagai bentuk penjajahan gaya baru. Kampus juga kemudian hanya lebih peduli pada pencitraan di luar. Sementara kualitas pendidikan yang terwujud dari kapasitas dan prestasi mahasiswa seolah diabaikan. KDAS menganggap BHMN sebagai biang keladi berbagai pembangunan yang salah sasaran ini. Mereka 141
Komersialisasi Pendidikan menolak otonomi kampus ini juga melakukan sosialisasi kepada mahasiswa lainnya. Hal ini dilakukan baik dengan cara demonstrasi, tempel poster, dan bagi-bagi selebaran.
142
Epilog
Perubahan politik 1998 yang menandai berakhirnya masa pemerintahan otoriter 32 tahun telah dengan dramatis juga meminggirkan eksistensi pers mahasiswa. Perubahan secara drastis di berbagai lini. Organisasi nasional pers mahasiswa (PPMI) yang mengalami perpecahan bahkan sampai kini eksistensinya terus menerus dipertanyakan; Orientasi pemberitaan yang partisan; Pembiayaan organisasi yang kembang-kempis sampai debat memosisikan diri sebagai jurnalis atau aktivis. Semuanya jalin-menjalin tepat ketika situasi pendidikan di Indonesia juga sedang berada dalam masa-masa krisisnya. Perubahan status Perguruan Tinggi pasca keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum membuat pemerintah dituding telah melakukan komersialisasi pendidikan. Dengan kondisi yang menekan pendidikan tinggi dan berimplikasi langsung kepada para mahasiswa, perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan adalah conditio sine qua non. Mengutip Eka Suryana Saputra (2009), ini adalah ikhtiar pers mahasiswa menyambangi “tanah yang tak bertuan”. Pers mahasiswa menjadi salah satu elemen penting dalam barisan terdepan perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan yang memicu protes yang meluas dari berbagai elemen masyarakat. Protes-protes baik di ruang publik maupun pengadilan menggelinding bak bola salju. Darmaningtyas (2009:291), menjelaskan bahwa ada 4 strategi yang dilakukan oleh masyarakat untuk menolak 143
Komersialisasi Pendidikan otonomi kampus ini. Pertama, mengadakan pewacanaan secara meluas. Kedua, membangun pusat pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan terkait dengan kebijakan ini. Ketiga melakukan pembangkangan sipil dengan demonstrasi maupun aksi lainnya. Dan langkah keempat yang dilakukan oleh masyarakat adalah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Langkah terakhir ini penting untuk menguji apakah kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Penelitian ini menunjukkan bahwa pers mahasiswa memosisikan diri menolak otonomi kampus karena menganggap kebijakan ini diskriminatif. Dari tiga pers mahasiswa yang menjadi objek penelitian ini yaitu Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU, masing-masing memberikan respon penolakan terhadap otonomi kampus dengan cara yang berbeda-beda. Serupa tapi tak sama. Pertama, Balairung menempatkan wacana otonomi kampus dalam konteks yang negatif. Artinya, otonomi kampus dianggap menjadi sumber masalah dari berbagai persoalan yang muncul di kampus. Persoalan-persoalan ini seperti kenaikan biaya pendidikan, penetrasi iklan ke dalam lingkungan kampus, dan problem akademik lainnya. Dari analisis teks terlihat bagaimana Balairung menolak konsep otonomi kampus. Ini ditunjukkan dalam data-data yang muncul pada berita. Narasumber-narasumber yang bersikap kontra terhadap otonomi kampus mendapatkan ruang yang lebih luas. Percampuran fakta dan opini dalam berita juga menunjukkan keberpihakan pemberitaan Balairung. Kecendurungan memandang otonomi kampus secara negatif ini bisa dipahami ketika beranjak melihat hasil analisis dari dimensi kognisi sosial dan konteks sosial. Wartawan Balairung yang menulis berita memiliki sikap menolak otonomi kampus bahkan terlibat secara langsung dalam aksi-aksi perlawanan terhadap otonomi kampus. Sementara wacana penolakan mengenai otonomi kampus ini juga marak dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa UGM saat itu. 144
Wisnu Prasetyo Utomo Kedua, berita-berita yang ditampilkan Catatan Kaki menunjukkan wacana penolakan terhadap otonomi kampus. Dalam analisis teks, terlihat diksi atau pilihan kata yang digunakan dalam berita juga memojokkan pihak yang mereka anggap bersalah seperti rektorat dan terutama pemerintah. Contohnya antara lain bisa dilihat dalam istilahistilah seperti “ladang kapitalisme”, “Unhas Universitas Swasta”, dan “swastanisasi kampus”. Dalam menyusun argumentasi penolakan dalam sebuah berita, Catatan Kaki lebih banyak menggunakan opini wartawan alih-alih data dan fakta. Atau, opini narasumber dikutip dengan panjang di akhir berita sebagai bentuk negasi terhadap pihak-pihak yang pro terhadap otonomi kampus. Ini menunjukkan bahwa Catatan Kaki lebih menonjolkan realitas psikologis dibandingkan dengan realitas sosiologis. Ketiga, wacana yang ditunjukkan oleh Suara USU mengenai otonomi kampus adalah bentuk kritisisme mahasiswa dalam menghadapi transisi perubahan status di USU yang tidak transparan, bahkan terkesan diamdiam. Bentuk kritik ini terlihat dari bagaimana Suara USU melakukan framing terhadap berita seperti terlihat dalam dimensi teks. Wacana yang coba dibangun adalah tentang pemberlakuan otonomi kampus sebagai konsekuensi perubahan status USU menjadi BHMN. Transisi perubahan status ini “tidak jelas”, mengakibatkan “kenaikan biaya pendidikan”, “pembangunan yang salah sasaran”, dan “membuat USU hanya seperti pabrik”. Dari analisis teks, Suara USU banyak menggunakan realitas psikologis daripada realitas sosiologis untuk menunjukkan bahwa kebijakan otonomi kampus di USU ini bermasalah. Secara kuantitas, wawancara dengan narasumber yang kontra dengan kebijakan rektorat mendapat ruang yang lebih banyak. Sementara yang pro dengan kebijakan sebaliknya, mendapatkan ruang sedikit. Jika diringkas, analisis teks terhadap berita-berita pers mahasiswa tentang komersialisasi pendidikan tersebut akan nampak seperti dalam tabel berikut: 145
Komersialisasi Pendidikan Elemen Wacana Tematik Skematik
Semantik: Latar
Detail Ilustrasi Maksud
Pengandaian Penalaran Sintaksis :
146
Teks Menggugat landasan konseptual-filosofis yang mendasari munculnya kebijakan BHMN Teras berita, tubuh berita, dan penutup berita
Ketidakberdayaan negara dalam menghadapi gejala global tersebut menyebabkan perguruan-perguruan tinggi harus mencari biaya di luar subsidi negara untuk menutupi kekurangan biaya penyelenggaraan pendidikannya Rektor membentuk tim untuk mengejawantahkan keuntungan dan kerugian dari perubahan status Pemberlakuan status BHMN adalah bagian dari pelaksanaan agenda lepas tangan pemerintah Untuk menutupi dan meningkatkan cost pendidikan yang membengkak pada masa transisi PTN menuju BHMN, langkah yang mungkin dilakukan adalah melalui penambahan jumlah mahasiswa yang menuntut ilmu di USU dan peningkatan kontribusi biaya pendidikan untuk mahasiswa baru BHMN adalah bungkus dari kebobrokan yang merupakan penjajahan gaya baru Isu swastanisasi ini akhirnya banyak melahirkan gejolak di kalangan mahasiswa yang sangat menentang privatisasi
Wisnu Prasetyo Utomo Koherensi Nominalisasi
Abstraksi Bentuk Kalimat Kata Ganti Stilistik : Kata Kunci Retoris : Gaya
Interaksi
Karena masih dalam tahap percobaan, ada asumsi bahwa konsep BHMN mentah, sehingga hasilnya disangsikan Revrisond mengutarakan gagasannya bahwa seharusnya publik, termasuk mahasiswa, harus mencermati skenario yang lebih luas. Yaitu adanya tekanan untuk melaksanakan agenda-agenda neoliberal. Bukan karena SPP jelas bakalan naik empat berlipat tapi dunia kampus bakal diintervensi oleh para pemilik modal Tanpa status BHMN pun universitas mampu menyusun kurikulum dan mengembangkan dirinya di bawah status otonomi kampus. Unhas kedepannya akan lebih berorientasi pada perhitungan profit dan tidak lagi menjadi sarana pendidikan “agenda tersembunyi neoliberal”, “swastanisasi kampus”, “kapitalisme pendidikan”
Anda tak mungkin bisa membeli sesuatu kalau anda tak memiliki uang Saya pilih Unhas karena berpikir Unhas pembayarannya murah tapi ternyata mahal dan memberatkan
Berita-berita tentang komersialisasi pendidikan mewarnai pers mahasiswa selama lebih dari satu dekade pasca reformasi. Sebagai sebuah kontra wacana, berita-berita pers mahasiswa memang tidak secara langsung berimplikasi kepada kebijakan. Apalagi, tingkat keterjangkauan bacaan pun menyempit hanya sebatas kalangan civitas academica. Namun, pengguliran wacana ini 147
Komersialisasi Pendidikan menjadi demikian penting karena kemudian segenap elemen yang ada di dalam kampus seperti dosen dan mahasiswa banyak yang bersuara lantang dan berperan serta dalam barisan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Meski demikian, kebebalan pemerintah seolah ingin mengabaikan reaksi penolakan yang meluas tersebut. Pemerintah terus mengeluarkan serangkaian kebijakan yang melegitimasi diskriminasi akses terhadap masyarakat kecil. Tahun 2009, pemerintah resmi mensahkan RUU BHP menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. BHP merupakan amanat dari UU Sisdiknas. Disahkannya BHP yang menegaskan kehadiran BHMN sebelumnya menjadi bukti nyata komersialisasi pendidikan semakin menancapkan cengkeramannya di Indonesia. Bahkan, putusan MK yang membatalkan UU BHP pun tidak menjadi penanda akhir. Rancangan UndangUndang Pendidikan Tinggi yang sampai buku ini ditulis masih berada dalam tahap pembahasan pun menunjukkan napas liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang kental. Jalan perjuangan pers mahasiswa dan masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan pendidikan yang adil dan terjangkau bagi rakyat masih panjang dan berliku.
148
Daftar Pustaka
Abar, Ahmad Zaini. 1995. Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Yogyakarta : LKiS
Abrar, Ana Nadhya. 1992. Pers Mahasiswa dan Permasalahan Operasionalisasinya. Yogyakarta: Liberty
Abrar, Ana Nadhya. 2005. Penulisan Berita.Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Adams, Cindy. 2011. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno
Afifi, Irfan. 2006. Pengantar Pers Mahasiswa dan Reorientasi Pascareformasi 1998 dalam Wijaya, Angga (ed). Kaum Muda dan Pers Mahasiswa. Yogyakarta: BPPM Balairung Aly, Rum. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter. Jakarta: Kompas
Ardian, Doni Gahral. 2011. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer. Depok: Koekoesan Arismunandar, Satrio. 2004. Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Pengumbangan Rezim Soeharto. Jakarta: Genta Press Asdiansyah, Juwendra. 2009. Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia. Lampung: UKPM Teknokra
149
Komersialisasi Pendidikan Azizah, Nur. Rumah Cahaya Bernama Pers Mahasiswa Suara USU dalam Asdianysah, Juwendra. 2009. Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia. Lampung: UKPM Teknokra Azca, Najib (ed). 2011. Pemuda Pasca Orde Baru. Yogyakarta: Yousure
Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas Bachtiar, Hasan. 2006. Memperkuat “Competence Market” Belajar Menjadi Jurnalis Profesional Melalui Pers Mahasiswa dalam Wijaya, Angga (ed). Kaum Muda dan Pers Mahasiswa.Yogyakarta: BPPM Balairung Benda, Julien.1999. Pengkhianatan Kaum Cendekiawan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Darmaningtyas. 2009. Tirani Kapital dalam Pendidikan: Menolak UU BHP. Yogyakarta: Damar Press Eriyanto. 2002. Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS
Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni. Yogyakarta: Insist Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS
Fathoni, Mohammad. 2012. Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Depok: Komodo Books Feith, Herberth. 2006. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing Gautama, Candra (ed). 2010. Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 150
Wisnu Prasetyo Utomo Hadiz, Vedi. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES
Hadiz, Vedi (ed). 2006. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing
Hamad, Ibnu.2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Yayasan Obor Hill, David dan Krishna Sen. 2001. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia. Jakarta: ISAI Hill, David.2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Joesoef, Daoed. 2011. 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama. Jakarta: Kompas
K.H, Ramadhan. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada Kovach, Bill dan Tom Rosensteil. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau Lane, Max. 2008. Unfinished Nation: Indonesia Before and After Soeharto. London: Verso Lianti, Nova.2009. Menggelorakan Suara Mahasiswa dalam Asdiansyah, Juwendra (ed). Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia. Lampung: UKPM Teknokra Littlejohn,
Stephen W.1999. Theories of Human Communication. California: Wadswort Publishing Company
Mc Chesney, Robert. 1998. Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi. Jakarta: AJI
151
Komersialisasi Pendidikan Nonoputra, Satria.2009. Satu Lilin Kecil dalam Asdiansyah, Juwendra (ed). Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia. Lampung:UKPM Teknokra
Noeradi, Wisaksono (ed). 2008. Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia. Jakarta: Kompas
Nugroho, Heru. 2002. McDonalisasi Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Kanisius Patria, Nezar dan Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Piliang, Yasraf Amir. 2005. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.Yogyakarta: Jalasutra Raillon, Francois. 1984. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES Siregar, Amir Effendi.1983. Pers Mahasiswa Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: Karya Unipress
Siregar, Ashadi. 2001. Mosaik Pers Indonesia: Dari Kepingan Kooptasi dan Komodifikasi dalam Sularto (ed). Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta: Kompas. Sitepu, Vinsensius (ed). 2009. Berawal dari Suara USU. Medan: USU Press
Siregar, Ashadi. 1998. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: LP3Y
Slaughter, Sheila dan Larry L. Leslie. 1997. Academic Capitalism: Politics, Policies, and The Enterpreneurial University. Baltimore: John Hopkins University Press Smith, Edward. 1983. Sejarah Pemberedelan Pers di Indonesia. Jakarta: Grafitti 152
Wisnu Prasetyo Utomo Sudibyo, Agus. 1999. Citra Bung Karno: Analisis Berita Pers Orde Baru. Yogyakarta:Bigraf Suharti, Elfa. 2009. Di balik Lensa Teropong dalam Asdiansyah, Juwendra (ed). Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia.Lampung: UKPM Teknokra
Supriyanto, Didik. 1998. Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Suwignyo,
Agus. 2007. Dasar-Dasar Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Intelektualitas.
Suyono, Seno Joko. 2008. Tubuh yang Rasis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
UKPM Caka. 2009. Dari Demonstrasi Ke Pers Mahasiswa dalam Asdianysah, Juwendra. Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia. Lampung: UKPM Teknokra
Van Dijk, Teun. 1993. Discourse and Cognition in Society dalam D. Crowley & D. Mitchell, Communication Theory Today. Oxford: Pergamon Press
Van Dijk, Teun. 1988. News as Discourse. New Jersey: Lawrence Arlbraum Associates Widjojo, Muridan S (ed). 2004. Bahasa Negara vs Bahasa Gerakan Mahasiswa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Widjojo, Muridan S (et al). 1999. Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Zen, Fathurin. 2004. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKiS 153
Komersialisasi Pendidikan Jurnal, Skripsi, Makalah Bachtiar, Hasan. 2000. Pers Mahasiswa Pasca 21 Mei 1998: Menuntaskan Romantisme Sejarah Makalah disampaikan dalam Sarasehan Nasional Pers Mahasiswa yang diadakan Direktorat Pendidikan Tinggi, 18-19 September 2000 Bachtiar, Hasan. 2001. Bekerja dengan Detail, Mengapa Jurnal Balairung? Dalam Jurnal Balairung, Nomor 34/XVI
Darmaningtyas. 2005. Privatisasi Pendidikan: Dari BHMN Ke BHP dalam Jurnal Wacana Edisi 19 tahun VI Dhakidae, Daniel. 1977. Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers dalam Prisma Edisi 10/Oktober
Hermansyah, Dedy Ahmad. 2009. Gerakan Pers Mahasiswa Catatan Kaki Universitas Hasanuddin 19951999. Skripsi pada Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin Makassar, tidak diterbitkan Nuswantoro, Ardi. 2008. Pertarungan Wacana Pendidikan dalam Media. Skripsi pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tidak diterbitkan Nugroho, Tarli. 2003. Karikatur Majalah Kecil dalam Jurnal Balairung Edisi 36/XVII
Saputra, Eka Suryana. 2009. Menyambangi Tanah Tak Bertuan dalam Jurnal Balairung Edisi 43/XXIV
Sekelumit Cerita dari Lombok dan PPMI. 2000. Dokumen Balairung. Tidak diterbitkan
154
Wisnu Prasetyo Utomo Siregar, Ashadi. 1987. Kebebasan Pers: Ruang Gerak atau Ideologi?”, makalah pada Pembukaan Sekolah Sosial Yayasan Padi dan Kapas, Jakarta 2 Desember 1987
Subaharianti, Agung. 1995. Pers (Kampus) Mahasiswa Makalah tidak diterbitkan
Sunarto.2000. Pers Mahasiswa :Persemaian Public Sphere Civil Society Makalah disampaikan dalam seminar nasional “Quo Vadis Pers Mahasiswa” di Universitas Diponegoro Semarang 21 Oktober 2000
Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Relasi Media-NegaraMasyarakat dan Pasar dalam Era Reformasi dalam Jurnal Sospol UGM Volume 4/Nomor 2/ November Majalah dan Surat Kabar
Arifin, Luqman Hakim. 2000. Catatan Panjang dari Lombok dalam Majalah Balairung Edisi 32/XV Choirudin, Achmad dan Lubabun Ni’am. 2010. Memancang Tonggak Community Press Online dalam Majalah Balkon Edisi Spesial 2010
Choirudin, Achmad. 2010. Orientasi Hipokrit Mahasiswa Peneliti dalam Majalah Balkon Edisi Spesial 2010 Fahmy, Ibrahim. 1999. Mengapa Harus Ditutup-Tutupi? dalam Majalah Balairung Edisi Khusus/ XV
Joesoef, Daoed. 2007. Departemen Perdagangan Pendidikan dalam Kompas, 29 Agustus
Mahendra, Bhayu. 2000. Pers Mahasiswa Era Reformasi dalam Majalah Balairung Edisi 30/XV
155
Komersialisasi Pendidikan Suprihanto, Agung. 1988. Kronologi Menuju Kongres: Sebuah Kesaksian dalam Majalah Balairung No. 9/Tahun II
Supriyanto, Didik. 2000. Reorientasi Pers Mahasiswa dalam Majalah Balairung Edisi 29/Tahun XIV
Suryawan, I Ngurah. 2002. Menghadapai Industrialisasi Pendidikan dalam Catatan Kaki Edisi 12 Tahun VIII November Suwignyo, Agus. 2007. Alasan Keberadaan BHP dalam Kompas 28 Mei 2007
Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Wajah Buram Universitas Riset dalam Majalah Balkon Edisi Spesial 2010
Forum Komunikasi untuk Pers Mahasiswa dalam Balkon Edisi 123/ 15 Juni 2009 Geliat Baru Pers Mahasiswa dalam Kompas 3 Mei 1998 Ikhtisar Pers M dalam Majalah Tempo 5 Juni 1971
Kampus Luar Dalam dalam Majalah Tempo 8 Januari 1972
Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa dalam Balkon Edisi Spesial 2010
Pada Angka Yang Ke-13 dalam Majalah Tempo 26 Februari 1972 Pers Kampus dan Bayang-Bayang Idealisme dalam Kompas 10 Agustus 2010
Persma Usai 21 Mei dalam Balairung Edisi 29/Tahun XIV/1998 Pendidikan dan Korelasi Penindasan Oleh Negara dalam Catatan Kaki Edisi 2/2008 156
Wisnu Prasetyo Utomo Terdapat
Kegagalan dalam Pelaksanaan Normalisasi Kampus Tahap I dalam Gelora Mahasiswa edisi 21 Juni 1979
Balairung edisi 18/TH/VII/1993
Gelora Mahasiswa edisi Februari 1977 Kompas Edisi 30 Oktober 2002 Kompas Edisi 18 Agustus 2007
Kompas Edisi 12 Desember 2007 Majalah Tempo 6 Januari 2008 Suluh Edisi 5/ Tahun I/1999 Internet
Effendi, Sofyan. 2004. Rekomendasi Untuk Mendiknas terarsip dalam http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/ REKOMENDASI\-UNTUK-MENDIKNAS.pdf LPM Hayam Wuruk.2005. Profil LMP Hayam Wuruk terarsip dalam http://www.lpmhayamwuruk.org/2005/08/profillpm-hayamwuruk.html diakses 18 Juni 2012
Priyono, Herry B. 2006. Neoliberalisme dan Sifat Ilusif Kebebasan terarsip dalam http://www.unisosdem.org/ kumtul_detail.php?aid=6953&coid=1&caid=4&auid=3 diakses 4 Oktober 2012 Riqab, Saiz. 2008. Agenda Setting Role of Mass Media terarsip di http://www.aiou.edu.pk/gmj/artical4(b).asp diakses 11 Agustus 2012 Suara USU. 2000. Pembreidelan Tabloid Mahasiswa Suara USU terarsip dalam http://groups.yahoo.com/group/ kampusonline/message/346 diakses 18 Juni 2012
157
Komersialisasi Pendidikan Suardi, Sulviyani.2001. Catatan Kaki Diadukan ke Polisi terarsip dalam http://groups.yahoo.com/group/ kampusonline/message/1093 diakses 18 Juni 2012
Satyani, Happy Ary. 2011. Sosial Media Jawaban Bagi Pers Mahasiswa terarsip dalam http://iynd.blogspot. com/2011/10/sosial-media-jawaban-bagi pers.html diakses 18 Juni 2012 Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Jalan Baru Pers Mahasiswa terarsip dalam http://suaramerdeka.com/v1/index. php/read/cetak/2010/07/03/115431/Jalan Baru PersMahasiswa diakses pada 18 Juni 2012
Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Setelah BHP, Lantas Apa? terarsip dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/ read/cetak/2010/05/01/107777/Setelah-BHP-Lantas-Apa diakses pada 18 Juni 2012 Wawancara
Aman Wijaya (Koordinator Litbang Catatan Kaki 2012), 27 Januari 2012 Asri Abdullah (Pemimpin Umum Catatan Kaki 2009), 25 Januari 2012
Chairuddin (Pemimpin Umum Catatan Kaki 2003), 25 Januari 2012
Fitria Nurhayati (Pemimpin Redaksi Balairung 2012), 5 Agustus 2012 Khairil Hanan Lubis (Pemimpin Redaksi Suara USU 2010), 4 Februari 2012 Pratama Adhi (Pemimpin Umum Balairung 2012), 26 Juli 2012 158
Wisnu Prasetyo Utomo Vinsensius Sitepu (Pemimpin Redaksi Suara USU 2003), 2 Februari 2012
Wan Ulfa Nur Zuhra (Pemimpin Umum Suara USU 2011), 2 Maret 2012 Yulhasni (Pemimpin Redaksi Suara USU 1995), 1 Februari 2012
159
Tentang Penulis
Wisnu Prasetya Utomo lahir di Semarang 21 Maret 1989 dan baru saja menuntaskan studinya di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM akhir tahun 2012. Selama kuliah, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Balairung 2010 dan menjadi koordinator Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus (Gertak) UGM. Tahun 2009, menjadi salah satu inisiator pembentukan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Indonesia di Makassar. Salah satu tulisan tentang komersialisasi pendidikan dimuat dalam buku Menjinakkan Komersialisasi Pendidikan (2012). Saat ini aktif di Komunitas Kembang Merak yang bergerak dalam kajian ekonomi-politik kebudayaan. Penulis bisa dihubungi di
[email protected] atau melalui akun twitter @wisnu_prasetya.
161
Indie Book Corner adalah sebuah proyek yang didirikan sebagai upaya membantu penulis-penulis pemula ataupun penulis yang sudah mapan untuk memublikasikan karyanya dalam bentuk buku. IBC memiliki cita-cita agar produksi buku semakin mu¬dah demi memperkaya khasanah perbukuan Indo¬nesia, meningkatkan minat menulis dan membaca.
www.bukuindie.com facebook.com/inibukuku twitter: @indiebookcorner