1
BERANTAS KEMISKINAN DENGAN MP3EI 2011‐2025 Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan Sea Lane of Communication, Selat Malaka, sebagai jalur pelayaran global utama menghubungkan kawasan Samudera Pacifik dengan kawasan Samudera Hindia, terletak sepanjang khatulistiwa mencakup 17.508 pulau dan menjadikan Indonesia salah satu “wilayah ekosistem marin” terbesar dan tersubur di dunia. Karena letak geografis kepulauan dengan kekayaan sumber daya alamnya yang unik ini maka Indonesia menjadi korban dari keserakahan negara penjajah yang menjadikan lautan sebagai jalur angkutan eksploitasi kekayaan alam Indonesia ke negeri Europa dan Asia. Sehingga tumbuh pola perdagangan berorientasi outward keluar Indonesia ditopang oleh alur transportasi didominasi armada kapal asing. Pola ini meninggalkan kebutuhan orientasi inward kedalam tanah‐air membangun kapasitas ekonomi nusantara. Semua ini ingin kini dirubah dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011‐2025 yang dicanangkan 27 Mei 2011 lalu dengan strategi utama: (1) pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi; (2) penguatan konektivitas nasional; (3) penguatan kemampuan SDM dan IPTEK nasional. Konsep utama MP3EI ini adalah visi konektivitas nasional, yakni “terintegrasi secara local, terhubung secara global” melalui pembangunan: koridor ekonomi I, Sumatera, sentra produksi dan pengolah hasil bumi dan lumbung energy nasional; koridor ekonomi II, Jawa, pendorong industri dan jasa nasional; koridor ekonomi III, Kalimantan, pusat produksi dan pengolahan hasul tambang dan lumbung energy nasional; koridor ekonomi IV, Sulawesi, pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas, pertambangan; koridor ekonomi V, Bali‐Nusa Tenggara, pariwisata dan pendukung pangan nasional; koridor ekonomi VI, Papua dan Kepulauan Maluku, pusat pengembangan perikanan, energy dan ha Pengembangan wilayah menurut keunggulannya diharap bisa dipacu dengan pengembangan infratsruktur ditopang oleh sistem transportasi nasional dan sistem logistik
2
nasional serta information‐communication technology. Dengan kerangka kerja konektivitas nasional ini diharap bisa dikembangkan konektivitas intra‐koridor yang juga menghubungkan wilayah‐wilayah non‐koridor. Untuk lalu dibangun konektivitas antar‐koridor pada tingkat nasional yang dikaitkan dengan konektivitas global.
Kondisi Kesejahteraan Penduduk dalam Koridor Ekonomi 2011
MP3EI berlangsung tidak dalam kondisi vakum sosial. Percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi sangat bergantung pada kondisi obyektif lingkungan sosialnya. Dalam “Laporan Pencapaian Pembangunan Milenium Indonesia 2020” dari Bappenas 2010 diungkapkan kondisi kesejahteraan masyarakat setiap propinsi. Untuk keperluan analisa kita cupliki hanya beberapa indikator kesejateraan penduduk dari 10 propinsi terburuk yaitu: (1) Tingkat Kemiskinan, seperti terwakili pada “persentase penduduk dibawah garis kemiskinan nasional” untuk setiap propinsi (2010); (2) Kondisi employment diukur menurut “rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia kerja” (Februari 2010), (3) Gambaran kualitas generasi masa depan diukur menurut “prevalensi anak balita kurang gizi” (2007); (4) Fasilitas kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian ibu melahirkan, diukur menurut “persentase pertolongan persalinan ibu oleh tenaga kesehatan terlati” (2009); (5) Tingkat pendidikan dinilai menurut “angka melek huruf penduduk usia 15‐24 tahun” (2009); (6) Indeks Pembangunan Manusia tahun 2009 laporan Biro Pusat Statistik merangkum keadaan kesejahteraan penduduk per propinsi;
Sengaja diambil sampel 10 propinsi terburuk untuk memperoleh gambaran sepintas
mengenai kondisi kesejahteraan penduduk per koridor ekonomi yang mencakup sampel ini.
Dari data statistik tentang kondisi kesejahteraan penduduk per koridor ekonomi ini
dapat ditarik beberapa kesimpulan:
3
Pertama, koridor ekonomi II Jawa mencatat angka indikator kesejahteraan penduduk yang paling maju, kecuali propinsi Banten yang memiliki rasio‐kesempatan kerja dan IPM yang rendah. Walau laju pembangunan DKI Jakarta tergolong tinggi, namun dalam rasio kesempatan kerja, ia termasuk dalam “10 propinsi yang buruk”. Kedua, koridor ekonomi I Sumatera masuk nomor 2 yang maju angka indikator kesejahteraan penduduknya, kecuali untuk propinsi Aceh, Bengkulu dan Lampung yang tinggi tingkat kemiskinannya, propinsi kepulauan Riau dan Bangka‐Belitung yang rendah rasio kesempatan kerjanya dan Aceh yang tinggi indikator kurang gizinya. Tampaklah bahwa aksesibilias ke infrastruktur yang kurang di propinsi‐propinsi ini ikut menerangkan buruknya indikator kesejahteraan penduduk di masing‐masing daerahnya. Ketiga, koridor ekonomi III Kalimantan tergolong masuk nomork 3 yang maju angka indikator kesejahteraan penduduknya, kecuali Kalimantan Barat (rendah dalam kesehatan, pendidikan dan IPM), Kalimantan Selatan (rendah dalam anak bergizi dan IPM) dan Kalimantan Tengah (rendah dalam anak bergizi). Keempat, koridor ekonomi 4‐6 Sulawesi, Bali‐Nusa Tenggara dan Papua‐kepuluan Maluku mencatat angka buruk di semua indikator kesejahteraan penduduk. Dan ini sekaligus memberi petunjuk bahwa keberhasilan MP3EI sangat bergantung pada ditingatkannya indikator kesejahteraan penduduk agar pola konektivitas bisa berjalan efektif. Dan sebaliknya pola konektivitas ke daerah ini perlu mendorong pengembangan kesejahteraan penduduk. Koridor ekonomi 4‐6 mencakup kawasan Indonesia bagian Timur yang terdiri dari ribuan pulau dan sangat tergantung pada konektivitas angkutan laut dan udara. Selama ini tertinggal maka potensi pembangunan RI‐Timur sulit berkembang dan kesejahteraan penduduknya tetap rendah.
BERANTAS KEMISKINAN DI RI‐TIMUR
Pembangunan ekonomi Indonesia seyogianya bertolak dari kesadaran bahwa Indonesia
bukanlah kontinen tetapi nusantara, negara berkepulauan yang terbentang dengan jarak “dari London ke Teheran”. Sea Lane of Communication, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok,
4
Selat Makasar, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan telah dimanfaatkan oleh negara tetangga dan Indonesia sendiri sehingga berhasil mengembangkan ekonomi ekspor dari Indonesia menjual bahan mentah ke luar negeri. Orientasi pembangunan “keluar” ini mendorong maju daerah yang terletak di pinggir alur‐lintas laut ekonomi ini, seperti pantai‐timur Sumatera, pantai utara Jawa, pantai barat Kalimantan Barat, pantai selatan Kalimantan Selatan dan pantai timur Kalimantan Timur.
Tetapi pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa dan Indonesia bagian Timur tidak
ramai dikunjungi lalu‐lintas ekonomi orientasi ekspor ini, sehingga praktis stagnan tidak maju. Inter‐regional konektivitas RI‐Barat denan Asean dan Asia Timur lebih padat ketimbang intra‐ regional konektivitas RI‐Barat dengan RI_Timur.
Untuk pengembngan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia kebijakan MP3EI
perlu utamakan penggalakkan konektivitas RI‐Barat dengan RI‐Timur. Akibat ketertinggalan RI‐ Timur maka “muatan balik” angkutan dari RI‐Timur ke Barat sangat kurang dan tidak ekonomis sehingga tidak menarik minat pengusaha bekerja dan berinvestasi di RI‐Timur. Karena itu dalam melaksanakan MP3EI perlu intervensi aktif Pemerintah menempuh kebijakan pembangunan holistik mengembangkan lima jalur pembangunan sekaligus dengan fokus pada pemberantasan kemiskinan dengan peningkatan kesejahteraan penduduk melalui langkah utama: 1. Bangun infrastruktur konektivitas, listrik‐energi, air minum dan sarana terkait lainnya di RI‐ Timur untuk menaikkan daya tampung produk pembangunan dari luar dengan dukungan dana publik mengsubsidi pengembangan “trade follows ships”; 2. Kembangkan pendidikan missal di RI Timur bekerjasama dengan tenaga pendidik dari RI Barat dalam program membangun iklim pembelajaran yang konduif bagi pembangunan lokal; 3. Tingkatkan pelayanan kesehatan dengan menggalakkan mobilisasi tenaga kesehatan dengan rangsangan dan wajib berbakti bila ingin berpendidikan keahlian spesialisasi; 4. Kebijakan affirmatif berfihak pada daerah terkebelakang RI‐Timur perlu menjadi ukuran keberhasilan perbankan agar merangsang beroperasi serta mengeluarkan kredit pembangunan lebih banyak ke kawasan RI Timur, sekaligus mengoreksi pola saluran kredit perbankan yang
5
mengalir sebanyak 75% terutama di koridor ekonomi 2, Jawa. Bagi perbankan “ongkos pengeluaran kredit per satuan proyek” jauh lebih tinggi di RI Timur ketimbang di RI Barat adalah serupa dengan anggapan perbankan negara maju yang enggan mengeluarkan kredit ke negara berkembang. Maka Bank Dunia melalui anak‐perusahaannya, International Finance Corporation, menjalankan kebijakan afirmatif mengutamakan perbantuan kredit bagi negara berkembang; 5. Kerjasama antar kementerian‐kementerian Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di RI Timur untuk bantuan tenaga tehnis meningkatkan efektifitas governance Pemda RI‐Timur;
Semangat yag ditumbuhkan bukanlah “daerah untuk Indonesia”, tetapi ”Indonesia
untuk daerah”, sehingga penguatan mata‐rantai kesejahteraan penduduk di daerah RI‐Timur memperkuat mata‐rantai kesejahteraan oenduduk seantero bangsa.
Ratusan tahun lalu Amerika Serikat dibangun dengan membuka konektivitas US‐Timur
dengan US‐Barat melalui angkutan kereta‐api sepanjang ribuah kilometer di atas hamparan tanah kosong. Ketika itu para pemimpin negara US tidak memperdulikan “cost‐benefit ratio” dan “tingkat kepadatan lalu‐lintas dari tempat‐asal ke tempat‐tujuan”. Pertimbangan ekonomi dikebelakangkan untuk kepentingan memadukan US Barat dengan US Timur dalam rangka membangun bangsa dan negara. Sehingga bergemalah semboyan lantang: “Go West, young felow!” membangun kawasan frontier US.
Indonesia menghadapi tantangan serupa membangun RI Timur. Tidak perlu amat
menonjolkan perhitungan “cost effectiveness” dari biaya subsidi angkutan perintis laut dan udara ke dan di RI‐Timur. Tidak perlu pula ditonjolkan manfaat biaya dan “imbalan investasi yang layak” bagi investasi pembangunan di kawasan ini. Memang dibutuhkan lebih besar dana publik untuk mengembangkan konektivitas di RI‐Timur yang tertinggal selama ini ketimbang dana publik untuk investasi konektivitas di RI‐Barat. Tetapi manfaatnya tak terukur dengan perhitungan ekonomi. Karena yang dibangun adalah kesejahteraan penduduk RI‐Timur yang berhak dan berkewajiban berperan serta dan menikmati manfaat kehadiran diri sebagai warga dan anak bangsa Indonesia yang menyatu dalam negara nusantara dari Sabang sampai ke Merauke. (Emil Salim, Jakarta, 30/5/2011)
TABEL INDIKATOR KESEJAHTERAAN MENURUT KORIDOR EKONOMI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
KORIDOR EKONOMI
KEMISKINAN
KERJA
KURANG GIZI
KESEHATAN IBU
PENDIDIKAN
% Penduduk di bawah garis kemiskinan nasional (2010)
Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia kerja (Febr, 2010)
Prevalensi Balita kekurangan gizi (2007)
% Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih
Angka melek huruf penduduk usia 15‐24 tahun (2005)
Tahun 2009
10 Teratas
10 Terbawah
10 Terbawah
10 Terbawah
10 Terbawah
10 Terbawah
1. Sumatera
‐ Aceh (7) ‐ Lampung (8) ‐ Bengkulu (9)
‐ Kepulauan Riau (3) ‐ Bangka Belitung (4)
Aceh (5)
‐
‐
‐
2. Jawa
‐
‐ Banten (1) ‐ DKI Jakarta (8)
‐
‐
Bali (8)
Banten (10)
3. Kalimantan
‐
‐
‐ Kalimantan Selatan (4) ‐ Kalimantan Tengah (9)
Kalimantan Barat (7)
Kalimantan Barat (9)
Kalimantan Barat (6) ‐ Kalimantan Selatan (8)
4. Sulawesi
Gorontalo (5) ‐ Gorontalo (4) ‐ Sulawesi Tengah ‐ Sul‐Bar (7) ‐ Sul‐Sel (9) (10)
‐ Sul‐Teng (3) ‐ Sul‐Bar (6) ‐ Gorontalo (7)
‐ Sul‐Bar (3) ‐ Sulawesi Tenggara (4) ‐ Sul‐Teng (9) ‐ Gorontalo (7)
‐ Sul‐Bar (3) ‐ Sul‐Sel (5) ‐ Gorontalo (7) ‐ Sulawesi Tenggara (10)
‐ Sul‐Bar (7) ‐ Sul‐Teng (8) ‐ Gorontalo (9)
5. Bali – Nusa Tenggara
‐ NTT (5) ‐ NTB (6)
‐ NTT (1) ‐ NTB (8)
NTT (6)
‐ NTT (4) ‐ NTB (6)
‐ NTB (2) ‐ NTT (3)
6. Papua Kepulauan Maluku
‐ Papua (1) ‐ Papua Barat (2) ‐ Maluku (3)
‐ Maluku Utara (2) ‐ Papua Barat (6) ‐ Maluku (10)
‐ Maluku (2) ‐ Papua Barat (10)
‐ Maluku(1) ‐ Maluku utara (2) ‐ Papua (5) ‐ Papua Barat (8)
‐ Papua (1) ‐ Papua Barat (2)
‐ Papua (1) ‐ Papua Barat (4) ‐ Maluku Utara (5)
1. Angka dalam () menunjuk urutan; 2. Sumber data dari Bappenas (2010) dan BPS (2011).