97
BAB VII SISTEM SOSIAL PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH Kriteria keberhasilan pengembangan wisata alam (Canard 2007) antara lain: 1.
Pelaksanaannya melibatkan dan memperhatikan masyarakat lokal
2.
Memberikan manfaat yang merata bagi masyarakat lokal
3.
Pelibatan dilakukan terhadap kelompok masyarakat dan bukannya individu
4.
Ramah lingkungan
5.
Menghargai kebudayaan tradisional dan struktur sosial yang ada.
6.
Memiliki mekanisme yang dapat membantu masyarakat mengurangi dampak dari pengunjung yang datang, yang memiliki perbedaan dalam kekayaan dan budaya dengan masyarakat lokal Pengembangan wisata alam di Kawasan GSE telah memenuhi kriteria
pertama dimana pengelola telah berupaya melibatkan masyarakat lokal dengan cara membentuk kelompok-kelompok untuk membantu pelaksanaan pengelolaan obyek wisata di lapangan. Akan tetapi dalam pelibatnnya lebih pada kelompokkelompok kecil masyarakat sehingga manfaat yang diperoleh juga tidak merata, sehingga menyebabkan timbulnya konflik sosial dalam masyarakat. Pengembangan wisata alam yang dilaksanakan di GSE juga belum sepenuhnya menghargai kebudayaan tradisional dan struktur sosial yang ada pada masyarakat. Hal ini terlihat dari pemberian kekuasaan dan wewenang pada pihakpihakyang tidak dapat memanfaatkan wewenang tersebut dengan sebaik-baiknya, yaitu KOMPEPAR Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2. Pihak-pihak dalam masyarakat yang sebenarnya memiliki kekuasaan dan wewenang yaitu kepala desa dan sesepuh masyarakat dalam mengatur kehidupan masyarakat tidak diikut sertakan secara aktif dalam pengembangan wisata alam. Hal ini menyebabkan terbentuk struktur sosial yang baru, yaitu struktur sosial pengembangan wisata alam, yang terpisah dari struktur sosial masyarakat yang ada. Masyarakat GSE juga tidak memiliki mekanisme yang dapat membantu masyarakat mengurangi dampak dari pengunjung yang datang, yang memiliki perbedaan dalam kekayaan dan budaya dengan masyarakat lokal.
Hal ini
98
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada kebudayaan masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang terlibat langsung dalam pengembangan wisata alam.
Selain itu, tidak adanya mekanisme yang dapat membantu
mengurangi pengaruh yang ditimbulkan oleh para pendatang yang memiliki kekuasaan dan modal lebih besar, telah menyebabkan terjadinya penguasaan kawasan oleh masyarakat pendatang. 7.1. Model Sistem Sosial Pengembangan Wisata Alam di Kawasan Gunung Salak Endah Salah satu prinsip dasar pendekatan sistem dinamik adalah bahwa sistem yang terbangun merupakan sistem tertutup. Sehingga model yang dibangun untuk menunjukkan sistem sosial pengembangan wisata alam di GSE adalah suatu model yang tertutup, dimana setiap unsur yang ada dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya sehingga membentuk hubungan timbal balik. Sama halnya dengan kesatuan komponen dalam pengertian sistem, dimana kelompok masyarakat merupakan kesatuan utuh yang terdiri dari individu-indidivu sebagai bagian-bagian yang saling bergantung (Abdulsyani 2002), sistem sosial merupakan konsep yang digunakan untuk dapat mempelajari dan menjelaskan hubungan manusia dalam kelompok atau dalam organisasi sosial. Suatu sistem sosial pada dasarnya merupakan wadah dari proses-proses sosial dan pola-pola interaksi sosial (Ranjabar 2006). Proses-proses sosial yang terjadi dalam sistem sosial yaitu komunikasi, pemeliharaan batas, penjalinan sistem, sosialisasi, pengawasan sosial, pelembagaan dan perubahan sosial (Bertrand 1980 diacu dalam Abdulsyani 2002). Bertrand (1980) dalam Abdulsyani (2002) menyatakan bahwa dalam suatu sistem sosial, paling tidak harus terdapat (1) dua orang atau lebih, (2) terjadi interaksi diantara mereka, (3) mempunyai tujuan dan (4) memiliki struktur, simbol dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya. Sistem sosial pada dasarnya terbentuk dari interaksi antar individu yang berkembang menurut standar penilaian dan kesepakatan bersama, yaitu berpedoman pada norma-norma sosial. Bertrand (1980) menyatakan bahwa terdapat 10 unsur yang terkandung dalam sistem sosial yaitu:
99
(1)
Keyakinan (pengetahuan); Keyakinan dianggap sebagai pedoman dalam melakukan penerimaan suatu pengetahuan dalam masyarakat. Keyakinan biasanya digunakan oleh kelompok masyarakat yang masih tergolong rendah pengetahuannya, sehingga dalam menilai suatu kebenaran dirumuskan melalui keyakinan bersama. Masyarakat Desa Gunung Sari dan Desa Gunung Bunder 2 yang terlibat dalam pengembangan wisata alam sebagian besar (90%) adalah orang-orang yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik terkait dengan pengembangan wisata alam. Selain latar belakang pendidikan yang cukup tinggi (50% SMA), mereka juga sering mandapatkan penyuluhan dan pelatihan terkait dengan
pengembangan
wisata
alam.
Tingkat
pengetahuan
ini
mempengaruhi terhadap perilaku dari stakeholder yang terlibat. Karena mereka merasa sudah tahu dan paham mengenai kegiatan pengembangan wisata alam, maka mereka bersikap sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, unsur pengetahuan/keyakinan tidak terlalu mempengaruhi sistem sosial dalam pengembangan wisata alam di kawasan GSE. (2)
Perasaan (sentimen);
Unsur ini menunjuk pada bagaimana perasaan dari
anggota suatu sistem sosial (anggota kelompok) tentang hal-hal, peristiwa serta tempat tertentu.
Perasaan seseorang terhadap yang lainnya akan
mempengaruhi cara orang tersebut bersikap terhadap orang lain tersebut. apabila seseorang memiliki rasa suka dan atau percaya pada orang lain, baik itu teman, saudara atau pimpinannya, maka ia akan berupaya untuk menjalin hubungan baik, dan sebaliknya. Interaksi yang terjadi antar stakeholder dalam pengembangan wisata alam di GSE sangat dipengaruhi oleh unsur perasaan ini. Individu yang tergabung dalam satu kelompok (KOMPEPAR Gunung Sari dan Gunung Bunder 2) memiliki rasa percaya terhadap sesama anggota dan ketuanya, sehingga terjalin suatu interaksi yang positif diantara mereka. Akan tetapi, individuindividu dalam kelompok yang berbeda memiliki rasa tidak suka atau tidak percaya antara satu dengan lainnya sehingga mereka cenderung untuk saling memisahkan diri. Unsur perasaan ini sangat menentukan awal terbentuknya
100
suatu interaksi untuk membangun suatu jaringan sosial yang dapat mendukung keberhasilan pengembangan wisata alam. Apabila perasaan yang ada bersifat positif maka interaksi akan terjadi dan jaringan sosial menjadi kuat, dan begitu juga sebaliknya. (3)
Tujuan, sasaran atau cita-cita.; Cita-cita, tujuan atau suatu sasaran dalam suatu sistem sosial merupakan pedoman bertindak agar program kerja yang telah ditetapkan dan disepakati bersama dapat tercapai secara efektif. Pengembangan wisata alam bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat (UNEP 2002). Stakeholder dalam pengembangan wisata alam di GSE belum sepenuhnya memahami hal tersebut.
Para stakeholder tersebut lebih mengutamakan
pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan (kepentingan ekonomi). (4)
Norma; Norma sosial dapat dikatakan sebagai patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan didalam situasi tertentu.
Unsur norma
merupakan komponen sistem sosial yang dapat dianggap paling kritis untuk memahami serta meramalkan aksi atau tindakan manusia.
Norma
menggambarkan tata tertib atau aturan permainan yang dapat memberikan petunjuk tentang standar untuk bertingkah laku dan didalam menilai tingkah laku. Norma digunakan untuk menilai tingkah laku individu dan kelompok. Apabila tingkah laku seseorang dipandang wajar dan sesuai dengan norma yang berlaku dalam kelompoknya, maka interaksi dalam kelompok tersebut akan berlangsung dengan wajar sesuai dengan ketetapan bersama. Pengembangan wisata alam di GSE terdiri dari berbagai stakeholder yang memiliki latar belakang beragam (karena merupakan masyarakat pendatang dari daerah yang berbeda) dan memiliki norma masing-masing yng dipedomaninya sehingga setiap stakeholder berperilaku sesuai dengan norma yang dimilikinya. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai konflik karena norma yang dimiliki oleh satu stakeholder tidak sama dengan norma stakeholder lainnya. (5)
Status dan peranan; Status merupakan serangkaian tanggung jawab, kewajiban serta hak yang sudah ditentukan dalam suatu masyarakat. dengan status, seseorang dapat menentukan sifat dan tingkatan kewajiban serta
101
tanggung jawab didalam suatu kelompok masyarakat; disamping juga menentukan hubungan antara atasan dan bawahan terhadap anggota lain dalam kelompok masyarakat. Peranan adalah pola tingkah laku yang diharapkan dari orang-orang pemangku suatu status. Peranan-peranan sosial saling berpadu sedemikian rupa, sehingga saling menunjang satu dengan lainnya dalam kaitannya dengan tugas, hak dan kewajiban. Suatu penampilan peranan status (statusrole performance) adalah proses penunjukkan atau penampilan dari status dan peranan sebagai unsur struktural didalam sistem sosial. Status dan peran yang ada dalam pengembangan wisata alam di GSE sangat beragam.
Akan tetapi, cukup banyak status yang tidak melaksanakan
perannya sehingga terjadi konflik. (6)
Tingkatan atau pangkat (rank); Tingkatan atau pangkat merupakan unsur sistem sosial yang berfungsi menilai perilaku anggota kelompok yang pada akhirnya dimaksudkan untuk memberikan kepangkatan (status) tertentu yang dianggap sesuai dengan prestasi yang telah dicapai. Unsur tingkatan atau pangkat dalam pengembangan wisata alam di GSE merupakan unsur yang terintegrasi dengan unsur status.
(7)
Kekuasaan atau pengaruh (power); Istilah kekuasaan menunjuk pada kapasitas penguasaan seseorang terhadap anggota kelompok atau organisasi. Kekuasaan seseorang dalam mengawasi anggota kelompok biasanya dapat dinilai dari status yang dimiliki.
Pengaruhnya sangat besar dalam
pengambilan suatu keputusan. Biasanya pemegang kekuasaan mempunyai wewenang
dan
kemampuan
untuk
mempengaruhi
para
anggota
kelompoknya. Dalam analisis sistem sosial, suatu kekuasaan merupakan patokan bagi para anggota suatu kelompok atau organisasi dalam menerima berbagai perintah dan tugas. Kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki stakeholder dalam pengembangan wisata alam di GSE dipengaruhi oleh tingkat kepemilikan modal dan wewenang. (8)
Sanksi; Sanksi merupakan ancaman hukum yang biasanya ditetapkan oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya yang dianggap melanggar norma
102
sosial kemasyarakatan. Penerapan sanksi oleh masyarakat ditujukan agar pelanggarnya dapat mengubah perilakunya kearah yang lebih baik sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Terkait pengembangan wisata alam di GSE, sanksi-sanksi yang berlaku dianggap masyarakat memiliki kekuatan yang lemah karena tidak dapat mengatur perilaku mereka. cemoohan
dari
individu
Sanksi-sanksi tersebut berupa ejekan dan lain
terhadap
individu
yang
melakukan
pelanggaran. Sebenarnya, di masyarakat terdapat sanksi-sanksi yang dapat mengatur kehidupan bermasyarakat, akan tetapi sanksi tersebut tidak dapat diterapkan dalam pengembangan wisata alam karena tidak ada stakeholder yang menerapkan sanksi tersebut. Hal ini menyebabkan stakeholder dalam pengembangan wisata alam dapat berlaku sesuai dengan keinginannya tanpa merasa takut dikenakan sanksi apabila melanggar. (9)
Sarana atau fasilitas; Sarana yaitu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dari sistem sosial. Yang paling penting dari unsur sarana adalah terletak dari kegunaannya bagi suatu sistem sosial. Dalam analisis sistem sosial pada prinsipnya mengutamakan fungsi dari suatu sarana agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, betapapun sederhananya sarana tersebut. Contoh nya adalah sarana untuk mengadakan pengawasan, sosialisasi dan seterusnya (Ranjabar 2006). Sarana untuk Sosialisasi Sarana berkaitan dengan pengembangan wisata alam di GSE dibangun untuk dapat meningkatkan peran serta masyarakat sehingga mereka dapat merasakan manfaat dari adanya wisata di wilayahnya. Di Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2, terdapat suatu sarana untuk dapat mensosialisasikan mengenai berbagai informasi yaitu adanya pengajian-pengajian para pemuda yang rutin dilaksanakan, kegiatan gotong royong di masyarakat, pertemuan rutin anggota paguyuban villa yang dilaksanakan setiap bulan sekali, dan rapat para perangkat desa (RT, RW dan pejabat desa) yang dilaksanakan setiap bulan.
Akan tetapi, sarana tersebut tidak pernah
dimanfaatkan untuk pengembangan wisata.
103
Keterlibatan masyarakat di kawasan wisata GSE ditunjukkan dengan ikut serta dalam kegiatan penyuluhan kepariwisataan, pelatihan pembuatan cinderamata khas GSE dan pembuatan makanan tradisional, serta peningkatan pengetahuan seni dan budaya lokal seperti seni tari dan seni musik tradisional. Akan tetapi masyarakat yang terlibat masih sangat terbatas jumlahnya dan hanya orang-orang tertentu saja. Kegiatan-kegiatan pelatihan atau sosialisasi yang berkaitan dengan pengembangan wisata dilaksanakan pada hari-hari yang berbeda sehingga seringkali kesulitan untuk mengumpulkan anggota masyarakat karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Padahal, apabila waktu-waktu pertemuan rutin tersebut digunakan untuk melakukan kegiatan dalam rangka pengembangan wisata alam akan sangat memudahkan dalam mengumpulkan anggota masyarakat karena sudah menjadi agenda pasti mereka. Sarana yang telah dibangun untuk membantu mengembangkan wisata alam di Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 adalah dengan dibentuknya KOMPEPAR (Gunung Sari dan Gunung Bunder 2) dan kelompok Volunteer. Kelompok ini dibentuk dengan harapan dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengembangan wisata. Akan tetapi pada kenyataannya, terjadi dominasi atau monopoli sarana tersebut oleh beberapa orang masyarakat saja, sehingga sarana tersebut menjadi sesuatu yang ekslusif. Hal ini disebabkan pemilihan pengurus utama dari kelompok tersebut tidak tepat.
Seharusnya dipilih orang yang memang
mengerti kondisi masyarakat setempat dan mampu merangkul semua anggota masyarakat. Sosialisasi sangat diperlukan dalam pengembangan wisata karena dapat meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam pengembangan wisata di wilayahnya.
Dengan adanya sosialisasi
maka akan terjadi suatu komunikasi antar pihak yang terlibat dalam pengembangan wisata. Dengan adanya komunikasi maka para pihak akan mendapatkan informasi yang diharapkan, dapat mengetahui apa yang diharapkan oleh pihak lain dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya akan terjadi suatu organisasi sosial (Bertrand 1980). Dengan adanya sosialisasi,
104
maka setiap orang akan dapat lebih berperan (Bertrand 1980). Hal ini dikarenakan seseorang akan dapat mengetahui apa yang bisa dia lakukan, apa yang telah dilakukan orang lain, memahami posisinya dalam pengembangan wisata alam. Sarana untuk Pengawasan Bertrand (1980) menyatakan bahwa pengawasan sosial (social control), dapat diartikan juga sebagai suatu proses pembatasan atau pengekangan tingkah laku.
Dalam sistem sosial, pengawasan merupakan proses
pembetulan atau pembolehan dalam batas-batas tertentu yang bisa diterima terhadap
penyimpangan-penyimpangan
(tanpa
memandang
apapun
alasannya). Unsur-unsur yang erat hubungannya dengan pengawasan sosial adalah norma-norma, kekuasaan dan sanksi-sanksi.
Berbagai macam
mekanisma digunakan untuk menjaga anggota sistem sosial supaya bertingkah laku sesuai dengan semestinya.
Mekanisme-mekanisme itu
meliputi cara-cara informal seperti pencemoohan, pengasingan dari pergaulan atau didesas-desuskan, atau dengan cara-cara formal yaitu melalui hukum dan peraturan tata tertib. Keberadaan pengawasan sosial akan membantu dalam mengatur organisasi sosial pengembangan wisata alam di GSE. Di Desa Gunung Sari, tidak terdapat sarana pengawasan sosial.
Hal ini menyebabkan timbulnya
persaingan yang tidak sehat antar para pihak untuk mendapatkan keuntungan, maraknya praktek jual beli lahan ilegal, terjadinya perbuatanperbuatan asusila, terjadinya praktek pungutan liar dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan tidak adanya pengawasan yang diterapkan sehingga orangorang tidak merasa takut untuk melakukan perbuatan yang menyimpang. Di Desa Gunung Bunder 2, pengawasan sosial sedikit lebih ketat dibandingkan Desa Gunung Sari.
Diwilayah tersebut, pengawasan dari
tokoh agama masih ada sehingga masyarakat merasa lebih segan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang. (10) Tekanan ketegangan (stress strain); Ketegangan terjadi karena adanya konflik peranan sebagai akibat dari proses sosial yang tidak merata. Dengan banyaknya status yang tidak melaksanakan perannya dalam pengembangan
105
wisata alam menimbulkan konflik yang menghambat keberhasilannya. Selain
adanya
ketidaksesuaian
antara
status
dengan
peran
yang
dilaksanakan, tekanan ketegangan yang terjadi dalam pengembangan wisata alam di GSE juga disebabkan adanya unsur rasa tidak percaya dan ketidaksukaan antar stakeholder. Perasaan tersebut menimbulkan interaksi yang bersifat negatif. Di Kampung Lokapurna, Desa Gunung Sari, terjadi konflik antara sesama penduduk setempat. Ada sebagian masyarakat yang merasa tidak memperoleh manfaat yang seharusnya bisa didapatkannya karena telah diambil oleh pihak lainnya. Di beberapa obyek wisata terjadi persaingan antara para pemilik warung.
Ada pemilik warung yang
seringkali tidak mendapatkan keuntungan karena posisi warungnya dinilai tidak strategis. Sehingga ia melakukan protes terhadap pemilik lahan yang mengatur posisi warung. Pemilik warung yang menjadi saingannya tidak merasakan hal tersebut. Konflik yang terjadi antar masyarakat lokal masih merupakan konflik tertutup.
Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan
adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak konflik. Konflik antara masyarakat di GSE dengan KOMPEPAR dilatar belakangi oleh adanya penyelewengan yang dilakukan oleh oknum anggota KOMPEPAR berupa pemungutan liar yang dilakukan di pintu gerbang utama dan memberlakukan tiket masuk kepada masyarakat setempat yang akan masuk ke perkampungan yang berlokasi di GSE. Wujud konflik antara masyarakat dengan KOMPEPAR termasuk dalam konflik horizontal dan mencuat, dibuktikan dengan adanya kesadaran masing-masing pihak dengan adanya konflik dan mulai dilakukan usaha penyelesaian dengan mengajukan permohonan kepada instansi pemerintah terkait untuk melakukan penertiban anggota KOMPEPAR yang melakukan penyelewengan. Selain itu, terjadi juga rasa ketidakpuasan pada sebagian kelompok masyarakat karena merasa tidak mendapat kesempatan untuk menikmati manfaat dari keberadaan wisata di wilayah mereka. Pada kondisi ideal, unsur-unsur sistem sosial (Bertrand 1980) akan saling berhubungan dan memberikan efek timbal balik yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan yang diharapkan (Gambar 23).
106
Gambar 23 Hubungan Unsur-Unsur Sistem Sosial dalam Pengembangan Wisata Alam
107
Unsur kepercayaan (trust) merupakan unsur yang paling banyak mempengaruhi unsur lainnya (konflik sosial, pelaksanaan peran, dan pelaksanaan sanksi) dan hanya dipengaruhi oleh keberadaan konflik sosial. Sedangkan unsur yang menjadi tujuan dari sebagian besar unsur adalah unsur peran.
Hal ini
menunjukkan bahwa dalam pengembangan wisata alam yang ideal di suatu kawasan adalah adanya unsur kepercayaan, dan diharapkan semua stakeholder yang terlibat didalamnya dapat mengambil perannya masing-masing. Unsur peran sendiri mendapatkan pengaruh dari pelaksanaan norma. Unsur-unsur sistem sosial yang terdapat dalam pengembangan wisata alam di Kawasan Gunung Salak Endah yang harus mendapatkan perhatian lebih adalah unsur perasaan yaitu rasa percaya antar stakeholder yang terlibat (trust), unsur status dan peran, sanksi sosial yang tercakup dalam struktur sosial, serta unsur kekuasaan atau wewenang (Gambar 24).
Semua unsur-unsur tersebut
menyebabkan konflik sosial yang menghambat pengembangan wisata alam di GSE menjadi lebih optimal.
Didalam model pengembangan wisata alam di
Kawasan GSE tidak terlihat adanya unsur norma sosial yang seharusnya dapat ikut mempengaruhi pelaksanaan peran dari pihak yang terlibat. Norma adalah unsur sosial yang tata tertib atau aturan permainan yang dapat memberikan petunjuk tentang standar untuk bertingkah laku dan didalam menilai tingkah laku. Dalam pengembangan wisata alam di GSE belum ada tata tertib atau aturan main bersama yang disepakati oleh berbagai stakeholder sebagai patokan untuk bertingkah laku sehingga semua stakeholder bersikap sesuai dengan kehendaknya tanpa khawatir mendapatkan sanksi dari tindakannya tersebut. Kestabilan, kekenyalan, kekuatan dan keutuhan sistem dalam mencapai tujuan pengembangan wisata alam dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya ukuran wilayah yang dikembangkan, keragaman aktor/stakeholder yang terlibat, dan tipe pengelolaan yang dilakukan (Udovc dan Perpar 2007). Kawasan GSE melibatkan beragam stakeholder dalam pengembangannya, mulai dari masyarakat asli, veteran dan pendatang. Walaupun status dan peran yang ada tidak terlalu banyak, akan tetapi dalam menjalankan status dan peranannya tersebut tidak ada koordinasi sehingga sistem yang berjalan menjadi tidak utuh karena tidak ada hubungan antara satu sub sistem dengan subsistem lainnya.
108
Gambar 24 Hubungan Unsur-Unsur Sistem Sosial dalam Pengembangan Wisata Alam di Kawasan GSE
109
Dalam sistem sosial pengembangan wisata alam, masyarakat GSE cenderung untuk berjalan sendiri-sendiri. Dengan beragamnya latar belakang penduduk yang tinggal di Kawasan GSE, tidak ada prinsip-prinsip utama yang dijadikan dasar untuk berperilaku. Setiap pihak yang terlibat memiliki prinsipprinsipnya sendiri. Prinsip merupakan dasar orang melakukan suatu tindakan dan berfungsi menjadi pedoman. Setiap orang akan bertindak sesuai dengan prinsip yang dipegangnya. Hoogvelt (1985) diacu dalam Abdulsyani (2002) berpendapat bahwa terdapat empat fungsi masyarakat sebagai suatu tipe sistem sosial, yakni: 1. Fungsi pemeliharaan pola; Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan subsistem kultural.
Fungsi ini
mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat dan menjadi dasar dalam berperilaku. 2. Fungsi integrasi; Fungsi ini mencakup koordinasi yang diperlukan antara unit-unit yang menjadi bagian dari suatu sistem sosial, khususnya berkaitan dengan kontribusi unit-unit tersebut terhadap keseluruhan sistem. 3. Fungsi pencapaian tujuan; Fungsi ini mengatur hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan subsistem kepribadian. Fungsi ini tercermin dalam bentuk penyusunan skala prioritas dari segala tujuan yang hendak dicapai dan penentuan bagaimana suatu sistem memobilisasi sumberdaya serta tenaga yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. 4. Fungsi adaptasi; Fungsi ini menyangkut kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya. Dalam pelaksanaan fungsi ini, teknologi sangat penting peranannya. Sistem sosial pengembangan wisata alam di GSE belum dapat memenuhi fungsi pemeliharaan pola, fungsi integrasi dan fungsi pencapaian tujuan. Fungsi integrasi antar stakeholder juga tidak dapat terjadi dalam pengembangan wisata alam di GSE. Tidak terjadi koordinasi yang baik antara stakeholder-stakeholder yang terlibat dan masing-masing berlomba-lomba untuk dapat mencapai tujuannya masing-masing.
Hal ini menyebabkan setiap stakeholder dalam
pengembangan wisata alam tidak dapat memberikan kontribusinya terhadap
110
keseluruhan sistem pengembangan wisata alam di GSE sehingga tidak dapat berkembang dengan optimal. Setiap pihak yang terlibat sebenarnya memiliki skala prioritas yang sama yaitu untuk mencapai kepentingannya masing-masing, dan sumberdaya yang dimanfaatkan juga sama yaitu obyek wisata. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, setiap pihak yang terlibat tersebut berjalan sendiri-sendiri (lihat bab 6) sehingga fungsi pencapaian tujuan tidak berjalan dengan baik karena masing-masing pihak berusaha untuk mencapai tujuannya masing-masing. Fungsi sistem sosial yang berjalan adalah fungsi adaptasi, yang terlihat dari terjadinya perubahan-perubahan pada pola hidup masyarakat yang berupaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, terutama dalam wisata. Masyarakat GSE adalah masyarakat yang mempunyai sifat terbuka terhadap perubahan yang terjadi, yang terlihat dari keterbukaan mereka dalam menerima kedatangan pengunjung dan warga baru serta perilaku mereka dalam menyikapi perubahan yang terjadi.
Fungsi sistem sosial dipengaruhi oleh proses-proses
sosial yang terjadi didalamnya. Proses-proses yang terjadi dalam sistem sosial pengembangan wisata alam di GSE (berdasarkan Bertrand 1980 yang diacu dalam Abdulsyani 2002) adalah : 1.
Komunikasi (communication), yaitu suatu cara untuk menyampaikan informasi, mengutarakan sikap, perasaan atau kebutuhan. Tanpa komunikasi, organisasi
sosial
tidak
akan
muncul.
Proses
komunikasi
dalam
pengembangan wisata alam di GSE lebih banyak terjadi antar individu dalam satu kelompok. Sedangkan komunikasi antar kelompok sangat jarang terjadi. Hal ini terlihat dari sangat sedikitnya interaksi yang terjadi antar kelompok (bab 6). Komunikasi merupakan salah satu awal terjadi interaksi. Dengan adanya interaksi stakeholder akan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Dalam pengembangan wisata alam di GSE, tidak terbentuk organisasi sosial yang mencakup semua pihak yang terlibat karena tidak ada komunikasi yang terlain antar stakeholder tersebut. 2.
Pemeliharaan batas (boundary maintenance), yaitu suatu cara untuk melindungi diri dari pihak luar atau mempertahankan identitas. Misalnya membatasi penggunaan sarana hanya untuk warganya sendiri, mengadakan
111
upacara-upacara suci atau mengharuskan anggota masyarakatnya untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu. Semakin kuat ikatan suatu sistem, semakin tinggi kesetiakawanan yang ditujukan oleh para anggotanya untuk memisahkan diri dari pihak luar. Proses pemeliharaan batas terjadi pada kelompok-kelompok yang terlibat dalam pengembangan wisata yang terlihat dari kecenderungan kelompok untuk memisahkan diri dari kelompok lainnya. 3.
Penjalinan sistem (system linkage) yaitu suatu proses menjalin ikatan antara suatu sistem dengan sistem lainnya.
Cara terbaik untuk melihat jalinan
tersebut adalah dengan melihat keeratan baik antar individu maupun didalam usaha untuk mencapai tujuan. Proses ini tidak terjadi dalam pengembangan wisata alam di GSE.
Sebagian besar stakeholder dalam pengembangan
wisata alam bekerja secara sendiri-sendiri dalam upaya mencapai tujuannya, bahkan cenderung untuk saling bersaing. Selain itu, terjadi interaksi yang bersifat negatif diantara para stakeholder tersebut. Penjalinan sistem lebih banyak terjadi dalam kelompok bukan antar kelompok,
Terdapat
kecenderungan antar kelompok yang memisahkan diri. 4.
Sosialisasi (socialization) yaitu suatu proses penyebaran warisan-warisan sosial dan budaya seseorang pada masyarakatnya.
Melalui sosialisasi,
seseorang menjadi lebih berfungsi didalam kelompoknya.
Terkait
pengembangan wisata alam, beberapa stakeholder tidak menjalankan peran sesuai dengan status yang dimilikinya (lihat bab 5 sub bab 5.2). Hal ini juga terkait dengan kurangnya proses sosialisasi terkait pengembangan wisata alam. Misalnya saja kurangnya sosialisasi mengenai hak, kewajiban, peran dan fungsi yang dimiliki masyarakat terkait dalam pengembangan wisata alam. Hal ini terlihat dari ketidaktahuan masyarakat bahwa mereka boleh ikut serta dalam pengembangan wisata alam (lihat bab 5 sub bab 5.1). 5.
Pengawasan sosial (social control), dapat diartikan juga sebagai suatu proses pembatasan atau pengekangan tingkah laku.
Dalam sistem sosial,
pengawasan merupakan proses pembetulan atau pembolehan dalam batasbatas tertentu yang bisa diterima terhadap penyimpangan-penyimpangan (tanpa memandang apapun alasannya). Unsur-unsur yang erat hubungannya
112
dengan pengawasan sosial adalah norma-norma, kekuasaan dan sanksi-sanksi. Berbagai macam mekanisma digunakan untuk menjaga anggota sistem sosial supaya bertingkah laku sesuai dengan semestinya. Mekanisme-mekanisme itu meliputi cara-cara informal seperti pencemoohan, pengasingan dari pergaulan atau didesas-desuskan, atau dengan cara-cara formal yaitu melalui hukum dan peraturan tata tertib. Dalam sistem sosial pengembangan wisata alam di GSE tidak ada pengawasan sosial yang berlaku terhadap seluruh stakeholder.
Hal ini
disebabkan tidak adanya norma yang dipedomani bersama dan tidak adanya stakeholder yang berperan sebagai pelaksana pengawas sosial tersebut. 6.
Pelembagaan (institutionalization) yaitu proses pengesahan suatu pola tingkah laku tertentu menjadi hukum, diakui sebagai benar dan tepat. Dalam pengembangan wisata alam di GSE tidak terjadi suatu pelembagaan terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga tidak ada norma-norma bersama yang diakui dan dipatuhi bersama.
Hal ini
menyebabkan setiap orang dapat bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa ada hal-hal yang membatasinya.
Setiap orang bisa melaksanakan peran
apapun walaupun tidak sesuai dengan status yang dimilikinya, dan setiap orang tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan peranan yang diharapkan dari status yang dimilikinya.
Selain itu, akan terjadi suatu
keadaan dimana ada satu peranan yang dilakukan oleh banyak status, akan tetapi ada status yang tidak ada peranannya (dengan kata lain status tersebut menjadi hilang). Hal ini menyebabkan terjadinya konflik peran dan status yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi akan menghambat terbangunnya jaringan sosial yang dapat mendukung keberhasilan pengembangan wisata alam di GSE. 7.
Perubahan sosial (social change) yaitu suatu perubahan didalam pola interaksi sosial yang berlaku. Perubahan selalu menimbulkan unsur tekananketegangan dan terkait dengan unsur-unsur kekuasaan dan sanksi. Pola interaksi yang terjadi pada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari berbeda dengan pola interaksi yang terjadi pada pengembangan wisata alam. Pola interaksi pada kehidupan sehari-hari bersifat positif dan berbentuk kerja
113
sama.
Masyarakat masih mengenal kegiatan gotong royong dalam
mengerjakan suatu kegiatan, tanpa mengharapkan pamrih. Akan tetapi dalam pengembangan wisata alam, pola interaksinya cenderung mementingkan keuntungan ekonomi masing-masing pihak, dan sebagian besar berjalan sendiri-sendiri. Masyarakat yang pada awalnya memiliki prinsip untuk saling membantu satu sama lain dengan tanpa pamrih, sesuai dengan kepribadian masyarakat Sunda yang memegang prinsip ”silih asah, silih asih, silih asuh” (Ekadjati 1984), pada saat ini lebih bersifat bersaing dan saling mementingkan kepentingan sendiri.
Kekuasaan yang pada awalnya
merupakan assigned status, pada pengembangan wisata alam berubah menjadi achieved status yang menjadi keinginan banyak pihak.
Hal ini
menyebabkan terjadinya konflik kepentingan dan sanksi yang berlaku pun mengalami perubahan. Pada awalnya dengan menjadi pembicaraan orang sudah merupakan sanksi yang berat, saat ini sanksi tersebut hanya menjadi sanksi yang ringan karena orang lebih mementingkan ekonomi dan kekuasaan Sanksi yang diharapkan dapat mengatur adalah sanksi hukum (hasil wawancara). 7.2. Unsur-Unsur Sistem Sosial dalam Pengembangan Wisata Alam di GSE 7.2.1. Kepercayaan (Trust) Masyarakat Gunung Salak Endah yang terlibat dalam pengembangan wisata alam memiliki bermacam-macam latar belakang, akan tetapi memiliki kepentingan yang sama yaitu kepentingan ekonomi. Selain itu, tidak ada suatu sistem norma yang berlaku untuk mengatur perilaku mereka. Oleh karena itu satu hal utama yang dapat dilakukan adalah membangun kepercayaan antara para stakeholder tersebut.
Kepercayaan diperlukan untuk pengembangan suatu
kegiatan pada suatu kondisi dimana orang-orang yang terlibat tidak dapat bergantung pada institusi yang legal formal (Lyon 2000). Kepercayaan dapat dibangun dengan beberapa cara yaitu: 1.
Membangun hubungan kerja yang baik Rasa percaya pada seseorang atau sekelompok orang akan muncul apabila telah ada hubungan baik yang cukup lama sebelumnya. Hubungan kerja dapat dibangun melalui beberapa kerja sama. Hal ini akan memberikan
114
informasi atau gambaran mengenai reputasi dan perilaku dari stakeholder lain.
Interaksi yang berkelanjutan akan menyebabkan setiap stakeholder
mendapatkan informasi mengenai kemampuan pihak lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa percaya. Para pihak di Gunung Salak Endah pada umumnya hanya bekerja sama dengan orang atau kelompok orang yang telah dikenal dekat sebelumnya (keluarga atau teman). Untuk membangun kepercayaan dengan pihak lainnya perlu dilakukan perluasan kerja sama dalam melayani pengunjung yang datang. Media-media yang dapat dijadikan sebagai sarana perluasan kerja sama telah ada dalam masyarakat Gunung Salak Endah yaitu adanya lembagalembaga seperti Paguyuban Villa (Desa Gunung Sari) dan pertemuan rutin yang dilaksanakan oleh BTNGHS dengan para volunteer (Desa Gunung Bunder 2). Pada saat ini Paguyuban Villa masih sebagai sarana silahturahmi antara para pemiliki villa yang berasal dari masyarakat veteran dan masyarakat pendatang.
Untuk membangun kepercayaan yang lebih luas,
Paguyuban Villa juga dapat dijadikan sebagai tempat untuk mulai merintis membangun kerja sama dalam kepentingan ekonomi. Paguyuban villa terdiri dari para pemilik villa yang masing-masing memiliki jaringannya masingmasing (pengurus villa, penyedia jasa katering, pemandu wisata dan lainlain). Mereka secara rutin mengadakan pertemuan untuk bersilahturahmi (berkomunikasi) untuk membahas permasalahan lingkungan dan lahan yang terjadi. Komunikasi tersebut dapat diperluas dengan membangun mekanisme kerja sama dalam melayani pengunjung. Misalnya membangun mekanisme yang mengatur harga penyewaan villa yang lebih merata sesuai dengan fasilitas yang tersedia, melakukan promosi bersama, dan saling menggunakan jaringan yang dimiliki, kemudian ada mekanisme pembagian hasil usaha. Paguyuban villa ditingkatkan fungsinya menjadi suatu lembaga ekonomi bukan hanya sebagai forum silahturahmi. 2.
Kepercayaan dapat dibangun melalui perantara. Perantara tersebut berperan sebagai penghubung antara beberapa stakeholder.
115
Apabila dilihat dari struktur sosial pengembangan wisata alam, stakeholder yang bisa berperan sebagai perantara adalah pihak pengelola obyek wisata yaitu Balai Taman Nasional Gunung Halimun – Salak, Perum Perhutani KPH Bogor dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kabupaten Bogor.
Para
pengelola obyek wisata tersebut cocok menjadi perantara karena mereka adalah pihak-pihak yang dianggap dan dipercaya memiliki kekuasaan dan wewenang yang lebih besar terkait dengan pengembangan
wisata
(berdasarkan hasil wawancara), baik sebagai pemilik maupun pengelola kawasan, sehingga stakeholder lain akan mengikuti apa yang ditentukan oleh mereka. Selain itu, para pengelola kawasan tersebut adalah pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan seluruh stakeholder yang terlibat (Lyon 2000). 7.2.2. Kekuasaan dan Wewenang (Power) Wewenang adalah suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijakan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah
penting
dan
menyelesaikan
pertentangan-pertentangan.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki wewenang harus bertindak sebagai pihak yang memimpin atau membimbing orang banyak (Soekanto 2009). Kekuasaan tanpa wewenang merupakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar menjadi wewenang. Perbedaan antara kekuasaan dan wewenang (authority atau legalized power) ialah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sementara wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soekanto 2009). Wewenang dalam pengembangan wisata alam dimiliki oleh pengelola obyek wisata, yaitu Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Perum Perhutani KPH Bogor dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor. Untuk pengelolaan di lapangan, sebagai salah satu upaya pelibatan masyarakat, para pengelola tersebut memberikan sebagian wewenangnya pada sekelompok masyarakat, tanpa melibatkan stakeholder yang telah memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat. Stakeholder yang memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat secara formal
116
yaitu kepala desa (PP no 72 tahun 2005), sedangkan secara non formal yaitu sesepuh masyarakat (Garna 1984 diacu dalam Ekadjati 1984), sedangkan stakeholder yang diberi wewenang untuk membantu mengelola obyek wisata adalah KOMPEPAR (Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2) dan Volunteer. Hal ini menyebabkan terjadinya pemisahan struktur antara struktur sosial masyarakat dengan struktur sosial pengembangan wisata alam. 7.2.3. Status dan Peran Pelaksanaan sebagian besar peran para stakeholder dalam pengembangan wisata alam di GSE tidak sesuai dengan status yang dimiliki. Beberapa penyebab antara lain tidak jelasnya wewenang yang dimiliki dan kurangnya pemahaman stakeholder akan peran yang seharusnya mereka jalankan.
Kepala desa dan
sesepuh masyarakat, berdasarkan peraturan perundangan, memiliki wewenang untuk mengatur perilaku masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Kegiatan pengembangan wisata alam sebenarnya termasuk kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari, akan tetapi wewenang untuk mengatur pelaksanaannya diberikan oleh pengelola kawasan pada suatu kelompok tertentu (KOMPEPAR Gunung Sari dan Gunung Bunder 2), sehingga terjadi pembagian wewenang antara kepala desa dan sesepuh dengan ketua KOMPEPAR.
Orang-orang yang tergabung dalam
kelompok-kelompok tersebut memiliki pemahaman bahwa mereka hanya berkewajiban untuk membantu untuk mengelola kawasan, padahal sebenarnya tugas dan kewajiban mereka mencakup pemberdayaan masyarakat lainnya (sesuai petunjuk pelaksana yang telah dibuat). Obyek-obyek wisata yang berada di Kawasan Gunung Salak Endah berada dibawah pengelolaan instansi-instansi pemerintah yaitu Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Perum Perhutani KPH Bogor dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor. Instansi-instansi tersebut, dalam pelaksanaannya, membentuk beberapa wadah (KOMPEPAR Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 serta Volunteer) untuk membantu mengelola dan sekaligus menyediakan sarana bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengembangan wisata alam. Akan tetapi karena ketidakjelasan wewenang atau kekuasaan yang dimiliki oleh wadahwadah tersebut dan adanya ketidaksesuaian antara tujuan yang diharapkan oleh instansi yang membentuk dengan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat
117
menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang diberikan. Struktur sosial pengembangan wisata alam di GSE (lihat bab 5), terutama di Desa Gunung Sari menunjukkan bahwa kekuasaan yang lebih besar dimiliki oleh para pemilik modal (pemilik resort dan pemilik villa) yang sebagian besar merupakan para pendatang. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik sosial antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang.
Konflik ini dapat dikurangi
dengan cara membagi wewenang/kekuasaan tersebut antara pemilik modal dengan pekerja. Caranya adalah dengan mempekerjakan masyarakat lokal dalam suatu posisi permanen dengan wewenang yang lebih besar dari hanya sekedar pegawai biasa.
Hal ini dapat mempererat hubungan antara masyarakat lokal dengan
pendatang, dan juga menumbuhkan dukungan dari masyarakat lokal terhadap resort atau villa yang diurusnya. Hal ini pernah dilakukan dalam penyelesaian konflik antara pemilik modal yang berasal dari pendatang dengan masyarakat lokal di Lombok (Fallon 2001). Fallon (2001) juga menegaskan bahwa hubungan yang terjadi antara pendatang yang memiliki kekuasaan besar dengan masyarakat lokal merupakan salah satu indikator keberlanjutan suatu pengembangan wisata alam. 7.2.4. Norma dan Sanksi Sosial Sistem sosial pengembangan wisata alam di Kawasan Gunung Salak Endah bisa dikatakan tidak memiliki norma yang dapat mengatur perilaku para stakeholder. Hal ini dikarenakan tidak ada sanksi yang dijalankan apabila terjadi pelanggaran terhadap norma. Keteraturan sosial dalam masyarakat akan tercipta apabila: 1.
Terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas. Jika nilai dan norma dalam masyarakat tidak jelas akan menimbulkan keadaan yang dinamakan anomie (kekacauan norma).
2.
Individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilainilai dan norma-norma yang berlaku.
3.
Individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilainilai dan norma-norma yang berlaku.
4.
Berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control).
118
Pengendalian atau pengawasan sosial (social control), dapat diartikan juga sebagai suatu proses pembatasan atau pengekangan tingkah laku. Dalam sistem sosial, pengawasan merupakan proses pembetulan atau pembolehan dalam batas-batas tertentu yang bisa diterima terhadap penyimpanganpenyimpangan (tanpa memandang apapun alasannya). Unsur-unsur yang erat hubungannya dengan pengawasan sosial adalah norma-norma, kekuasaan dan sanksi-sanksi.
Berbagai macam mekanisme digunakan untuk menjaga
anggota sistem sosial supaya bertingkah laku sesuai dengan semestinya. Mekanisme-mekanisme itu meliputi cara-cara informal seperti pencemoohan, pengasingan dari pergaulan atau didesas-desuskan, atau dengan cara-cara formal yaitu melalui hukum dan peraturan tata tertib. Masyarakat Gunung Salak Endah, terutama masyarakat Desa Gunung Sari yang tinggal di Kampung Lokapurna, berasal dari latar belakang yang berbedabeda sehingga memiliki nilai dan norma yang beragam. Hal ini menyebabkan mereka berperilaku sesuai dengan norma yang mereka anut. Tidak ada norma yang jelas yang dapat mengatur perilaku para stakeholder tersebut. Oleh karena itu untuk pengembangan wisata alam di Gunung Salak Endah diperlukan suatu norma yang disusun bersama oleh para stakeholder yang terlibat.