BAB VII KESIMPULAN DAN PENUTUP A.
Temuan dan Simpulan Hasil Penelitian Sinetron yang berjudul “Bukan Islam KTP” merupakan tayangan
keagamaan yang dikemas dalam format komedi-reliji yang menonjolkan aspek hiburan. Ajaran-ajaran agama Islam yang bersifat normatif dan doktrinal dikemas dalam dialog-dialog yang ringan dan menghibur, serta menggunakan teknik representasi simbol-simbol keagamaan yang menimbulkan multi tafsir. Teknik representasi yang digunakan dalam sinetron tersebut termanifestasikan dalam penggunaan simbol-simbol keagamaan, baik yang berupa simbol verbal maupun simbol non-verbal. Jika dilihat dari inti cerita dalam keseluruhan episode, maka makna yang terkandung dari judul sinetron “Bukan Islam KTP” bisa dilihat pada keseluruhan isi dalam 20 episode yang diteliti, yang menceritakan tentang sisi kehidupan manusia yang mengaku beragama Islam tetapi tidak menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah adegan pada episode 1, salah seorang pemeran mengucapkan “Haji itu bukan untuk disebut-sebut. Baca buku, biar Islam nggak hanya di KTP saja”. Ungkapan yang diucapkan dalam episode pembuka ini sepertinya dimaksudkan untuk menjelaskan makna yang dimaksud oleh produsen bahwa seseorang perlu memahami agama untuk bisa mengamalkan ajaran tersebut dengan baik, sehingga simbol-simbol keagamaan (Islam) tidak hanya dijadikan identitas formal dalam tanda pengenal.
263
Alur cerita dalam sinetron ini menggunakan logika ‘kebetulan’ dengan konsep penceritaan yang sederhana dan mudah ditebak. Logika serba kebetulan ini bisa terlihat, misalnya, dengan kemunculan dua pemeran utama (baik karakter antagonis maupun protagonis) yang selalu tepat pada saat diperkirakan akan muncul konflik dalam sebuah adegan. Pemeran protagonis selalu muncul untuk memberikan komentar dan nasehat pedas setiap terjadi adegan pertengkaran antar warga kampung, dan di saat pemeran antagonis melakukan perbuatan yang dianggap sebagai kesalahan. Jika dilihat dari jenis-jenis simbol keagamaan yang digunakan oleh para pemain, maka ada dua gejala yang bisa dijelaskan di sini, yaitu: (a) Jenis simbol non-verbal direpresentasikan oleh semua kategori pemain, baik pemain dengan karakter protagonis maupun antagonis. Simbol non-verbal seperti peci dan baju koko, misalnya, bisa dikenakan oleh pemeran pria yang berkarakter antagonis maupun protagonis karena jenis busana tersebut merupakan pakaian yang biasa dikenakan oleh masyarakat Betawi. (b) Jenis simbol verbal yang berupa ayat al Qur'an digunakan oleh pemeran protagonis. Dalam setiap adegan, sebagian dari ayat-ayat disampaikan dengan menggunakan bahasa aslinya (Arab), dan sebagian disampaikan dengan mengutip terjemahnya. Adapun jika dilihat dari sisi penggunaan simbol-simbol keagamaannya, penulis menemukan makna-makna simbol yang digunakan tersebut sebagai hal yang menarik. Setelah melakukan kajian terhadap paket sinetron yang berisi dua
264
puluh episode, penulis menemukan empat (4) wilayah penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam merepresentasikan ajaran Islam yang bisa dijelaskan sebagai berikut: 1.
Representasi menggunakan simbol verbal.
Simbol verbal terdiri dari penggunaan terminologi agama, dialog antar pemain, serta pengutipan ayat al Qur’an atau terjemahannya (a) Dalam penggunaan simbol verbal berupa terminologi agama, ada beberapa istilah yang digunakan secara berbeda antara pemain satu dengan lainnya, misalnya: (1) kalimat assalamu ‘alaikum yang secara terminologis bermakna sebagai ucapan dan doa selamat yang diberikan kepada lawan bicara di dalam sinetron ini terkadang diucapkan dengan nada tinggi dan kasar, serta menggunakan kalimat yang tidak lengkap. Dengan cara penggunaan simbol ini, maka kalimat salam dikonstruksikan sebagai simbol kultural yang fungsinya bukan sebagai do’a keselamatan bagi lawan bicara, tetapi sebagai kalimat untuk membuka dan menutup pembicaraan. (2) Kalimat yang berbunyi astaghfirullahal adzim secara terminologis bermakna “aku memohon ampun kepada Allah yang maha agung” digunakan dalam konteks yang berbeda oleh para pelakon, sesuai dengan karakter yang diperankan. Kalimat ini direpresentasikan dalam tiga macam ekspresi yaitu ekspresi penyesalan, ekspresi kemarahan, dan ekspresi pelecehan. Ekspresi penyesalan direpresentasikan melalui pemain protagonist, sedangkan ekspresi yang menunjukkan kemarahan serta pelecehan direpresentasikan melalui karakter antagonis. (3) Terminologi agama yang berupa kalimat Allahu akbar yang bermakna Allah Maha Besar digunakan dalam konteks dan tujuan yang
265
berbeda-beda. Perbedaan dalam penggunaan kata ini bisa dilihat pada karakter pemeran yang menggunakan, cara penggunaan yang meliputi intonasi suara serta ekspresi wajah, tujuan penggunaan, dan setting penggunaan. Pengucapan kata Allahu akbar oleh pemeran protagonis dilakukan dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa kekaguman serta nada suara (intonasi) yang lembut. Sedangkan pemeran antagonis mengucapkan kata ini dengan nada suara keras, serta ekspresi wajah kesal (marah). (4) Simbol verbal yang berupa kalimat ya Allah ya Rabb digunakan untuk mengekspresikan rasa kejengkelan dan kemarahan terhadap orang lain. (5) Kalimat yang berbunyi laa haula wa laa quwwata illa billah yang secara terminologis memiliki arti ‘tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya milik Allah’ merupakan ekspresi sebuah kepasrahan manusia, digunakan oleh pemain antagonis dalam upaya melepaskan tekanan dari kekuatan pihak manusia lain. (b) Simbol verbal yang berupa ayat-ayat Al Qur’an digunakan dalam konteks duniawi dan bersifat fisik. Misalnya konteks kata adzab dalam ayat yang berbunyi dimaknai secara
sederhana dengan mencontohkan rasa malu sebuah keluarga yang sedang bertengkar memperebutkan uang di depan warga lain.
2. Representasi menggunakan simbol non-verbal
266
Dalam menggunakan simbol non-verbal, munculnya makna yang bersifat multitafsir termanifestasikan dalam dua wilayah yang berkaitan dengan busana dan asesoris yang dikenakan pemain. (a) Penggunaan simbol busana dan make up yang dikenakan pemain dalam sinetron ini menghadirkan realitas busana muslim sebagai pembeda identitas sosial. Busana yang bagus dan mewah digunakan oleh para pemain wanita yang kaya sebagai busana harian yang dikenakan di semua tempat, seperti ketika sedang memasak di dapur, mencuci piring, dan mengajar mengaji. Makna yang muncul pada penggunaan simbol busana ini adalah bahwa seorang wanita cantik dan orang kaya harus mengenakan busana yang bagus dan indah untuk menyempurnakan kecantikannya serta menunjukkan kekayaannya, di manapun dia berada. Sementara kelompok miskin menggunakan busana dan make up yang sederhana, dengan model yang sederhana. (b) Penggambaran dalam penggunaan simbol keagamaan dalam bentuk asesoris busana dimanifestasikan dalam bentuk sorban yang dikenakan oleh muslim laki-laki yang sudah menunaikan ibadah haji. Hal ini memunculkan makna bahwa sorban adalah asesoris yang dijadikan sebagai simbol identitas pembeda antara muslim laki-laki yang yang sudah menyandang gelar haji dengan yang belum haji. Dalam sinetron ini, sosok haji digambarkan sebagai orang kaya yang sombong sehingga surban menjadi salah satu penenda kesombongan seseorang. Adapun asesoris keagamaan berupa tasbeh yang dibawa oleh salah seorang pelakon tidak digunakan sesuai dengan fungsi
267
dasarnya sebagai alat hitung bagi seorang muslim dalam melakukan wirid, tetapi hanya ditunjukkan sebagai asesoris pelengkap busana, karena dalam sinetron ini tidak pernah digambarkan bagaimana pemeran menggunakan alat tersebut. Cara penggambaran yang demikian juga terlihat dalam penggunaan simbol busana yang berupa surban yang dalam sinetron ini dikonstruksikan sebagai simbol kultural. 3. Representasi dalam Format Komedi Sinetron
yang menyampaikan
pesan-pesan
keagamaan
ini
bisa
dikategorikan sebagai tayangan yang berjenis komedi. Unsur komedi ini terlihat dalam beberapa aspek seperti pemilihan sosok pemeran yang secara visual nampak pada penampilan serta ekspresi wajah, penggunaan isi dialog yang lucu dan konyol, serta tingkah para pemain dalam setiap adegan yang seperti sedang berada di panggung lawak. Sedangkan pesan-pesan yang berisi tentang ajaran agama (Islam) pada umumnya disampaikan dengan nada menggurui dengan menggunakan kalimat-kalimat yang pedas, dimana penyampai pesan merasa pada posisi yang lebih faham serta lebih berkompeten tentang ajaran agama dibanding dengan lawan bicaranya. Contoh adegan yang menunjukkan adanya unsur komedi terlihat pada salah satu adegan visualisasi pemain yang sedang menggunakan simbol do’a dengan penggambaran yang lucu dan konyol. Hal ini memunculkan makna bahwa seseorang bisa bermain-main di tengah berdo’a. 4. Representasi kekerasan verbal Aspek kekerasan verbal yang menjadi mainstream dalam tayangan sinetron ini ada keterkaitannya dengan pemilihan format komedi. Selama ini
268
panggung komedi identik dengan panggung kekerasan demi menciptakan kesenangan
dengan cara bullying fihak baik dalam fisik maupun verbal.
Penggambaran unsur kekerasan ini menggunakan dua kelompok karakter pemain yang mewakilinya (1) pemain protagonis melalukan kekerasan verbal, dan (2) pemain antagonis melakukan kekerasan baik yang bersifat verbal maapun nonverrbal. Ideologi Dengan menggunakan struktur kode-kode televisi dengan melihat isi pesan dan teknik representasinya, maka bisa diketahui ideologi dominan yang muncul di balik program tayangan sinetron komedi reliji “Bukan Islam KTP” di SCTV, yaitu: 1. Ideologi kapitalis materialistik, yang bisa diketahui dari cara sinetron ini merepresentasikan dominasi kelompok kaya dalam hubungan sosial di masyarakat. Kelompok kaya direpresentasikan mampu menguasai dan mengatur kelompok miskin dengan menggunakan kekayaannya. 2. Ideologi patriarki, yang bisa diketahui dari cara merepresentasikan bagaimana laki-laki mendominasi kehidupan perempuan. Laki-laki digambarkan sebagai mahluk superior yang mengatas namakan agama untuk mendapatkan kepatuhan dan ketaatan dari perempuan. 3. Dominasi kekerasan, yang bisa diketahui dari cara sinetron ini menggunakan simbol verbal maupun non-verbal. Kekerasan dianggap sebagai ideologi karena mewarnai hampir semua adegan dan hadirkan baik melalui pemain antagonis maupun protagonis.
269
B.
Rekomendasi dari Hasil Penelitian Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih terdapat
banyak kekurangan baik yang di bidang metodologi maupun substansi. Meskipun demikian, beberapa temuan yang penulis paparkan dalam laporan ini setidaknya bisa dijadikan sebagai langkah awal untuk melakukan beberapa perbaikan dan pembenahan. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis hendak menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses serta temuan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Penelitian yang mengkaji tema tentang sinetron reliji (khususnya yang dikemas dalam bentuk komedi) ini perlu dikembangkan dengan menggunakan metode yang lebih bagus dan lebih variatif dalam rangka pengembangan keilmuan komunikasi. Peneliti menyadari bahwa kajian penelitian di bidang ini belum banyak mendapat perhatian di kalangan para peneliti di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Oleh karena itu peneliti berharap hasil penelitian ini bisa menjadi motivator bagi kolega di Perguruan Tinggi Islam untuk menindaklanjuti dengan karya yang lebih baik. Salah satu kelemahan dari para peneliti yang berasal dari institusi Islam adalah faktor obyektivitas akibat pola pemikiran yang terlalu terkooptasi oleh unsur internal belief sehingga hasil penelitian mengandung bias agama. Banyak sinetron sejenis yang ditayangkan beberapa stasiun televisi yang memerlukan kajian secara mendalam, yang perlu dianalisis dengan menggunakan metode yang obyektif.
270
2. Salah satu temuan penelitian ini menyebutkan bahwa produsen pesan lebih mengutamakan aspek komersial disbanding aspek pengajaran agama dalam memproduksi tayangan keagamaan. Oleh karena itu, peneliti berharap agar hasil penelitian ini bisa menjadi pertimbangan bagi para praktisi media untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kemungkinan dampak yang dihasilkan dari kebijakan ekonomisnya terhadap umat Islam sebagai konsumen. Dalam memproduksi hiburan yang
menggunakan
materi
keagamaan,
fihak
televisi
sebaiknya
menggunakan konsultan yang berkompeten di bidangnya sehingga materi tayangan tidak potensial untuk menimbulkan kontroversi di kalangan pemirsa. Jika hal ini dilakukan secara bijak dan proporsional, maka sebagai konsumen media umat Islam bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh tayangan keagamaan yang bukan hanya menghibur, tetapi sekaligus mendidik dan mencerahkan. 3. Kegiatan dakwah yang harus dilakukan oleh para pelaku dakwah mendapat tantangan yang lebih besar ketika proses penyebaran ajaran Islam mulai memasuki wilayah televisi. Hal ini menyebabkan para praktisi dakwah mendapat tugas tambahan untuk mengevaluasi bentuk-bentuk serta proses penyampaian ajaran melalui televisi. Evaluasi tersebut bukan hanya di bidang materi tayangan, tetapi juga evaluasi terhadap teknik dakwah yang harus mereka kembangkan supaya kegiatan dakwah yang mereka tidak tenggelam akibat umat Islam lebih tertarik dengan materi dakwah-hiburan yang ditawarkan televisi. Di samping itu pelaku dakwah perlu
melakukan
akselerasi
dengan
kemajuan
teknologi
yang
271
dikembangkan televisi serta menyesuaikan budaya dakwah dengan budaya televisi dengan terlibat aktif dalam produksi siaran, sehingga pekerjaan dakwah di televisi tidak mutlak menjadi kewenangan institusi media. 4. Umat Islam sebagai konsumen perlu mengembangkan sikap kritis dan obyektif terhadap materi siaran keagamaan yang ditayangkan televisi, khususnya siaran yang dikemas dalam bentuk hiburan seperti sinetron. Pengembangan sikap kritis tersebut tidak hanya terbatas pada hal-hal mengenai benar atau salahnya materi yang disampaikan melalui tayangan hiburan, tetapi juga pemahaman tentang dunia televisi yang pada dasarnya menggunakan logika kapitalis. Umat Islam kadang-kadang terlalu sensitif dalam menyikapi tayangan keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan pemahaman keagamaan yang mereka miliki. Pemahaman umat Islam tentang dunia media (media literacy) serta cara kerja media diharapkan bisa membuka wawasan tentang mengapa media menghadirkan realitas tertentu mengenai agama. Dengan pemahaman semacam ini, diharapkan bisa mengurangi ketegangan-ketegangan di saat media dianggap melakukan sebuah ‘kesalahan’. C.
Penutup Puji syukur tiada henti penulis panjatkan kepada Allah Rabbul Izzati
yang telah memberikan nikmat berupa kesehatan, kekuatan, dan semangat untuk bisa menyelesaikan penelitian disertasi ini. Sebagai manusia yang dlaif, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini, baik dilihat dari sisi proses pelaksanaan maupun hasilnya, masih sangat jauh dari kata sempurna. Beberapa kelemahan penulis baik itu yang bersifat metodologis, teknis, maupun
272
paradigmatis menjadikan proses perjalanan penelitian ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Dengan adanya beberapa kelemahan tersebut penulis mohon saran, masukan, serta kritik yang bersifat konstruktif dari beberapa fihak guna menyempurnakan karya ini.
273