BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang M akeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang M akeang masa kini dipandang terkemuka, terdidik, dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior dari bekas penguasanya, kerajaan dan orang Ternate. Hal ini menimbulkaan pertanyaan mendasar mengapa dan bagaimana orang M akeang mengalami mobilitas yang signifikan tersebut. Argumentasi pokok yang saya ajukan d i awal disertasi ini adalah bahwa mobilitas yang mengesankan ini terjadi karena didukung interaksi antar kapasitas agensi orang M akeang yang memadai dan struktur yang memberi peluang untuk melakukan mobilitas. Interaksi antar agen dan struktur, dalam disertasi ini, adalah proses kebudayaan yang melibatkan konstruksi gagasan dan proses sosial yang melibatkan prilaku agentif pelaku-pelaku sosial. Di seluruh batang tubuh karya ini saya mengekplorasi kompleksitas interaksi tersebut dan menyajikan pola -pola yang menunjukan adanya suatu gerakan menaik orang M akeang secara sosial. Agensi dimulai di ranah kebudayaan kemudian diikuti dengan prilaku di ranah sosial, demikian pula struktur memiliki ranah kebudayaan sekaligus ranah sosial. Sebelum orang bertindak (sosial), dia membutuhkan alasan (kebudayaan) untuk bertindak agar tindakannya masuk akal secara commonsense, demikian pula suatu struktur sosial memiliki sejumlah gagasan dan nilai dibalik nya. Jika alasan itu tidak tersedia dalam kebudayaan mereka, mereka mengkonstruksinya dengan
593
mengintervensi dan memodifikasi kebudayaan yang ada atau merekonsiliasikan gagasan dari struktur luar dengan gagasan lokal mereka, sehingga tindakan yang mengikutinya menjadi bukan saja terterima secara ‘alamiah’ tapi bisa lebih d ari itu malah
menjadi
sesuatu
yang
diidealkan.
Demikianlah
agensi
M akeang
mengkonstruksi pandangan dunia tentang ruang migrasi, mengkonstruksi konsep ‘jadi manusia’, pelapisan sosial, dan modifikasi urutan prioritas nilai budaya sebagai buah dari interaksi mereka dengan struktur-struktur yang kadang melam paui lokalitas mereka. Dalam konstruksi nilai ideal yang kemudian mengisi konsep ‘jadi manusia’, agensi M akeang merekonsiliasikan nilai lokalnya tentang pentingnya berhaji dengan gagasan pentingnya sekolah dari struktur negara. Konsep ‘jadi manusia’, dan turunannya berupa pandangan tentang pelapisan sosial, kemudian menjadi basis utama langkah agentif selanjutnya termasuk bermigrasi untuk menjadi petani agar bisa membiayai sekolah anak di kota, anak-anak yang bersekolah di kota menjadi anapiara dengan beban berat namun tetap gigih, dan langkah agentif lain agar mencapai nilai ideal ‘menjadi manusia’. Dengan begitu, agensi M akeang sesungguhnya membangun jembatan kognitif antara mereka dengan struktur eksternal lewat langkah agentif mengintervensi kebudayaannya dan mengkonstruksi konsep atau pandangan yang memungkinkan mereka bisa masuk kedalam struktur baru tanpa ada hambatan dissonansi secara kognitif. Pada periode di bawah negara tradisioanal Ternate , orang M akeang mengembangkan pandangan dunia tentang ruang migrasi yang diturunkan dari mitos Tujuh Putri (TP). M itos yang sesungguhnya merupakan instrumen budaya
594
bagi
dominasi
politik
negara
tradisional
Ternate,
saya
duga,
telah
ditransformasikan oleh agen-agen orang M akeang menjadi pandangan dunia tentang ruang migrasi yang berarti mendukung prakte k budaya migrasi spasial mereka sehingga kebiasaan migrasi ini menjadi ‘alamiah’ dalam negara Ternate. Saya telah menunjukkan bahwa migrasi bukan saja respon a gentif terhadap faktor pendorong dan penarik migrasi tapi juga merupakan praktek sosiobudaya yang mengawali rangkaian proses mobilitas sosial vertikal berikutnya. Tradisi migrasi ini berkontribusi besar bagi mobilitas vertikal dikemudian hari karena mereka yang bermigrasi ke berbagai wilayah di M aluku Utara membangun basis ekonomi bagi sekolah anak-anak mereka di kota. M ereka yang bersekolah di kota berasal baik dari pulau M akeang maupun dari pulau -pulau lain yang merupkan keturunan migran. Anak-anak ini kelak mencapai tingkatan sosial melebihi orangtua mereka di desa (baik desa migran maupun desa di pulau M akeang). Transformasi struktur dari negara tradisional kesultanan Ternate ke negara kolonial, kemudian ke negara baru Indonesia, bukan saja menawarkan r uang mobilitas spasial baru tetapi juga ruang mobilitas vertikal baru bagi semua komunitas di M aluku Utara. Kenyataan bahwa hanya beberapa komunitas (M akeang, Tidore, Sanana) memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan struktur negara secara maksimal mengindikasikan adanya peran agensi dalam mobilitas vertikal orang M akeang. Walaupun masyarakat di Halmahera U tara dan sebagian Halmahera Timur sudah diperkenalkan sekolah formal (29 sekolah) oleh organisasi zending (UZV) dalam abad ke-19, sementara orang M akeang baru mengenal sekolah formal di menjelang akhir paroh pertama abad 20, langkah -langkah agentif
595
untuk memanfaatkan ruang mobilitas vertikal ini tampak lebih menonjol pada masyarakat M akeang. Kapasitas agensi secara internal yang dimiliki orang M akeang sebenarnya sudah terkesan oleh para penulis kolonial sejak awal abad ke 17 sd akhir abad ke-19, sebagaimana diungkap di bab tiga tentang etos kerja, yang memuji keunggulan orang M akeang dibanding komunitas etnis lain di M aluku, dan para peneliti di abad ke-20, dan bahkan awal abad ke-21 ini. M igrasi keluar pulau M akeang, selain untuk menghindari ancaman lingkungan alam, juga sekaligus bertujuan untuk bertani. Para migran maupun mereka
yang
di
pulau
M akeang
maupun
migran
ke
daerah
pedesaan
mengembangkan pertanian komoditi berientasi pasar untuk merespon peluang pasar dimana hasilnya dipakai untuk menunjang anak -anak yang pergi ke kota untuk sekolah. Sedangkan migrasi ke wilayah urban lebih banyak bertujuan untuk memanfaatkan kesempatan pendidikan yang disediakan oleh negara. Anak-anak yang dikirim ke kota Ternate, baik dari pulau M akeang maupun dari desa-desa migran M akeang di luar pulau M akeang, untuk tujuan melanjutkan sekolah, memanfaatkan struktur sosial pengampung-anapiara yang tersedia di kota Ternate untuk bisa tetap melanjutkan sekolah di kota. Para informan Makeang yang telah ‘jadi manusia’ seringkali mengatakan bahwa untung saja ada sistem pengam pung-anapiara sehingga menopang mereka selama transisi tersebut. Langkah agentif tersebut cukup jitu karena, walaupun umumnya tersubordinasi selama menjadi anapiara, dengan beban kewajiban berat dan peran ganda sebagai anak sekolah sekaligus anapiara, mereka mampu melewatinya agar bisa ‘jadi manusia’, mereka mampu ‘jadi manusia’ dengan mengisi peluang-peluang di
596
struktur negara. Peluang-peluang di struktur negara yang paling banyak diisi oleh orang M akeang adalah di ranah pendidikan dan politik. Hasilnya adalah terjadi pergerakan mobilitas vertikal yang signifikan dalam ranah pendidikan dan politik. D i ranah pendidikan, hanya dalam dua dekade sejak mereka berkenalan dengan pendidikan formal di awal 1940 -an, mereka sudah mulai memainkan peran yang semakin menguat dari waktu ke waktu. Sejak 1960 an dan sesudahnya, peran mereka di dunia pendidikan sebagai guru dan belakangan juga sebagai dosen menjadi sangat menonjol. Terdapat informasi kualitatif bahwa jumlah guru terbanyak sejak 1960an beretnis M akeang dan data kuantitatif menunjukan mereka juga dominan sebagai dosen. Di ranah politik, komunitas yang pernah dikuasai oleh kesultanan Ternate sampai menjelang pertengahan abad ke-20 ini, mampu menjadi ‘penguasa’ mulai di akhir abad itu juga. Dengan modal pendidikan yang mereka peroleh lewat usaha yang sangat keras, mereka relatif mudah melakukan penetrasi ke ruang-ruang mobilitas yang tersedia di birokrasi pemerintahan daerah dan lembaga legislatif. Perubahan-perubahan di level struktur negara seperti pemekaran wilayah telah membuka ruang baru dan menjadi momen penting mobilitas kelompok ini karena dengan modal pendidikan dan pengalaman panjang di birokrasi telah memungkinkan mereka memanfaatkan ruang itu untuk mobilitas vertikal. Hasilnya, walaupun mereka bukan kelompok etnis dengan penduduk mayoritas, mereka dapat menjadi mayoritas dalam menduduki jabatan penting di birokrasi dan legislatif propinsi M aluku U tara sejak 2002 sd 2013.
597
M obilitas sosial vertikal orang M akeang juga tergambar jelas dari perubahan representasi budaya tentang mereka dari yang menempatkan mereka sebagai inferior sejak kira-kira 1940an menjadi ‘pengakuan’ tentang superioritas mereka sejak 1990an, dan bahkan resistensi terhadap mereka sejak tahun 200 0an. Saya mengajukan argumentasi dan mengajukan data dan analisis pendukungnya bahwa perubahan representasi merupakan gejala budaya yang menggambarkan suatu mobilitas sosial vertikal suatu kelompok, gejala yang tidak disentuh oleh berbagai pendekatan studi mobilitas sosial vertikal sebelumnya. Karena itu, saya memandang studi mobilitas dengan memperhatikan perubahan representasi tentang suatu kelompok yang direpresentasikan sebagai kaum yang ‘didom inasi’ kemudian secara gradual berubah menjadi kaum yang ‘mendominasi’ dan karena itu diresistensi lewat representasi budaya adalah suatu gejala budaya yang cukup gambling menggambarkan mobilitas sosial vertikal kelompok tersebut. Karena itu, walaupun saya mengajukan suatu tawaran alternatif pada ranah metodologis untuk memahami gejala mobilitas sosial vertikal, saya memandang terdapat peluang untuk menteorisasi gejala perubahan representasi budaya tersebut menjadi suatu pendekatan teoritis alternatif untuk studi mobilitas sosial vertikal. Usaha itu tentu di luar ranah disertasi ini. Sekalipun studi ini mentesiskan peran interaksi agensi dan struktur terhadap mobilitas orang M akeang, studi ini tidak didominasi oleh argumentasi dan data tentang sebab dan hasil suatu mobilitas sosial. Interaksi agen dan struktur juga dikontekskan pada proses mobilitas dibanding sekedar sebab dan hasil yang dicapai. Terutama pada bab empat dan lima, proses tersebut terilustrasi dengan
598
data detail tentang langkah-langkah agentif anak-anak M akeang dari desa menuju kota, pengalaman subjektif selama menjadi anapiara di kota Ternate, berbagai strategi adaptasi yang mereka kembangkan dalam masa transisi tersebut, sampai ke mereka ‘jadi manusia’. Pengalaman subjektif ini dianalisis dalam konteks struktur lebih luas sehingga benang merah interaksi antar agen yang punya pengalaman subjektif dengan struktur bisa terpahami. Hal ini dilakukan karena apa yang dijalani orang M akeang, yang digali lewat pendekatan fenomenologis yang mengandalkan data emik, dalam banyak hal terkait dengan dinamika struktur yang lebih kompleks melampaui pengalaman subjektif mereka atau penegtahuan mereka. Oleh karena itu, studi ini juga melakukan refleksi historis dan juga melibatkan data -data etic yang seringkali berasal dari struktur supra -lokal yang melampaui pengalaman subjektif dan pengetahuan emic para pelaku mobilitas. Dengan demikian, secara keseluruhan, studi ini berbicara tentang sebab, proses, hasil, sertas dampak (pada perubahan representasi budaya) dari mobilitas vertikal orang M akeang. D i setiap tahapan itu diwarnai oleh relasi kompleks antara agen dan struktur dimana agen secara kreatif merespon ruang mobilitas yang disajikan oleh struktur untuk melakukan mobilitas sosial vertikal. Agensi tanpa struktur
yang
mendukung
tidak
mungkin
ada
mobilitas
vertikal
yang
mengesankan, demikian pula sebaliknya ‘tawaran’ ruang mobilitas dari struktur saja tidak akan menghasilkan mobilitas sosial yang mengesankan tanpa ada kapasitas agensi yang memadai untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.
599