64
BAB VI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP 6.1.
Keberhasilan Program Berdasarkan Pengembalian Pinjaman Tujuan Program PNPM-P2KP adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat miskin melalui pemberian dana pinjaman yang dapat digunakan untuk membuka usaha. Program PNPM-P2KP dinilai berhasil jika telah memenuhi tujuan program yakni mengentaskan kemiskinan. Pelaksanaan Program PNPMP2KP di Desa Srogol tidak jauh berbeda dengan tata aturan pelaksanaan program sesuai dengan pedoman umum, yakni dilaksanakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat, namun indikator keberhasilan program sedikit berbeda dengan indikator yang tercantum dalam pedoman umum. Keberhasilan Program PNPMP2KP di Desa Srogol dilihat dari lancarnya pengembalian pinjaman dari anggota KSM. Desa Srogol merupakan desa yang paling lancar dalam mengembalikan pinjaman dana bergulir dibanding desa-desa lain di Kecamatan Cigombong, sehingga Desa Srogol disebut desa yang berhasil dalam pelaksanaan Program PNPM-P2KP. Lancarnya tingkat pengembalian pinjaman belum menjamin meningkatnya kesejahteraan peminjam atau anggota KSM. Terdapat beberapa faktor lain yang berhubungan dengan kelancaran pengembalian pinjaman seperti Tingkat Relasi Gender peminjam, besarnya pinjaman, dan pendidikan peminjam. 6.1.1. Dana Pinjaman Bergulir Desa Srogol Program PNPM-P2KP di Desa Srogol telah berjalan selama dua kali periode yakni dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Selama dua kali periode tersebut, Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dikatakan paling berhasil dibanding desa-desa lain di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (BKM Desa Srogol, 2010). Keberhasilan program dilihat dari beberapa hal, antara lain: (1) dalam bidang lingkungan, pembangunan jalan dan drainase sudah mencapai seluruh wilayah desa; (2) dalam bidang sosial, Kursus Sewing telah menghasilkan banyak tenaga kerja untuk pabrik garmen; (3) dalam bidang ekonomi, tingkat pengembalian dana pinjaman bergulir terbilang paling
65
lancar di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini khusus membahas keberhasilan program dalam bidang ekonomi. Pada tahun 2008 BKM Desa Srogol baru terbentuk setelah mengalami proses pemilihan yang cukup panjang. Pada tahun ini pula BKM menunjuk UPK yang sampai saat ini masih dipegang oleh Ibu Ns. Setelah terbentuk, BKM mengajukan proposal permohonan dana pinjaman kepada PNPM-P2KP Pusat, sehingga di tahun 2008 Desa Srogol mendapatkan pinjaman sejumlahRp 200 juta yang dibagi ke dalam tiga bidang, yakni lingkungan, sosial, dan ekonomi. Bidang ekonomi mendapat dana pinjaman sebesar Rp 58 juta. Berbeda dengan bidang lingkungan dan bidang sosial yang langsung mendapatkan dana pinjaman pada pertengahan tahun 2008, bidang ekonomi baru mendapat pinjaman pada akhir tahun 2008 yaitu di bulan November. Hal ini dikarenakan proses mendata warga miskin belum selesai sepenuhnya selain karena alasan perbaikan jalan desa yang menjadi fokus utama saat itu. Ibu Ns, UPK, mengungkapkan: “Tahun 2008, lingkungan dulu yang dapat dana, karena jalan-jalan di desa harus segera dibenerin, diaspal, disemen. Setelah itu baru sosial, itu mah beli mesin jahit. Itu juga karena orang-orang yang mau ikut kursus sudah banyak, jadi langsung gitu. Baru terakhir, ekonomi, dapat 58 juta di bulan November, karena jumlah KSM nya masih sedikit, 12 KSM saja. Itu juga belum terdata semuanya, sama kebanyakan orang-orang masih pada takut mau pinjam.” Pinjaman dana sebesar 58 juta rupiah tersebut dibagi ke dalam dua periode program. Perguliran dana pinjaman di Desa Srogol untuk bidang ekonomi tersaji dalam Tabel 13.
Tabel 13. Distribusi Perguliran Dana Pinjaman Program PNPM-P2KP di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Periode Bulan Jumlah Pengembalian Total Pinjaman (Rp) Pinjaman Pinjaman (Rp) 1. I November 34 juta Macet Rp 58 juta 2008 350.000,April 2009 24 juta Lunas 2 II September 58 juta Lunas 92 juta 2009 Maret 2010 34 juta Sedang Berjalan Total 150 juta Sumber: UPK Desa Srogol, 2010
66
Tabel 13. mengenai perguliran dana pinjaman Program PNPM-P2KP di Desa Srogol, memperlihatkan bahwa dana pinjaman yang diberikan pemerintah kepada desa tersebut selama dua periode terbilang cukup besar yakni Rp 150 juta. Pada periode pertama, bidang ekonomi mendapat pinjaman dana sebesar Rp 58 juta yang dibagi menjadi dua tahap yakni tahap pertama di bulan November 2008 sebesar Rp 34 juta dan tahap kedua di bulan April 2009 sebesar Rp 24 juta. Pembagian dana pinjaman ke dalam dua tahap ini bertujuan untuk melihat sejauhmana kemampuan masyarakat dalam mengembalikan pinjaman. Terbukti pada periode I tahap pertama ada tunggakan sebesar Rp 350.000,- dan terlunasi pada tahap kedua. Periode II mulai berjalan pada bulan September 2009 dengan menggunakan dana bergulir yang telah terlunasi pada periode I yakni sebesar Rp 58 juta. Ternyata respon masyarakat cukup baik dalam mengembalikan pinjaman, terlihat di bulan September 2009, pengembalian pinjaman tidak ada tunggakan. Tingkat kelancaran pengembalian pinjaman yang tinggi membuat pemerintah kembali memberikan dana pinjaman sebesar Rp 34 juta di bulan April 2010, sehingga total dana pinjaman untuk periode II adalah sebesar Rp 92 juta. Saat ini pinjaman periode II tahap kedua bulan Maret 2010 sedang berjalan, sehingga belum dapat dilihat sejauhmana tingkat pengembalian pinjaman di desa tersebut. 6.1.2. KSM dan Pengembalian Pinjaman Keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol tidak hanya dilihat dari tingkat kelancaran pengembalian pinjaman, tetapi juga perkembangan KSM. Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa jumlah KSM di tahun 2008 hanya 12 KSM yang tersebar di lima RW. Pembentukan 12 KSM tersebut dilakukan oleh BKM dan UPK dengan harapan dapat menjadi KSM pioneer yang berhasil. Sayangnya, sampai tahap kedua, yakni bulan April 2009, hanya 10 KSM yang bertahan atau dapat mengembalikan pinjaman dengan lancar. Ketertarikan masyarakat terhadap program mulai terlihat di bulan Januari 2009 ditandai dengan munculnya KSM-KSM baru yang dibentuk sendiri oleh masyarakat. KSM-KSM baru tersebut telah mengajukan diri kepada UPK untuk mendapatkan dana pinjaman. Dikarenakan belum memasuki tahap kedua pencairan dana pinjaman,
67
KMS-KSM baru tersebut dimasukkan ke dalam daftar tunggu. Seperti yang dituturkan oleh UPK sebagai berikut: “Awal pinjaman hanya 12 KSM. Semuanya kita yang bentuk, setiap RW ada satu sanpai dua KSM. Yang paling berhasil hanya dua KSM. Tahap dua di bulan April berkurang jadi 10 KSM, karena dua KSM macet. 10 KSM yang lama ditambah KSM baru. Kan Desember Januari banyak tuh yang berminat, tapi masuk ke daftar tunggu dulu. Baru di bulan April kita kasih mereka pinjaman. Sampai sekarang, 12 KSM yang paling awal, berkurang lagi jadi 8 KSM, itu juga kebanyakan di RW 03.”
Perkembangan KSM yang cukup pesat ini menggambarkan besarnya animo masyarakat terhadap program. Kemacetan pengembalian pinjaman yang dialami oleh beberapa KSM pioneer bukanlah penghalang masyarakat untuk ikut mendapatkan pinjaman. Sampai periode II tahap kedua atau April 2010, jumlah KSM di Desa Srogol adalah 39 KSM. Data lengkap mengenai jumlah KSM di Desa Srogol dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14. Jenis dan Jumlah KSM Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Jenis KSM Jumlah (buah) Persen (%) 1. Laki-Laki 11 28,2 2. Perempuan 18 46,2 3. Campuran 10 25,6 Total 39 100 Sumber: UPK PNPM-P2KP, 2010
Berdasarkan Tabel 14. tentang jenis dan jumlah KSM di Desa Srogol tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah KSM perempuan lebih banyak (46,2 persen) dibanding dengan KSM laki-laki (28,2 persen). Hal ini menggambarkan bahwa perempuan lebih membutuhkan pinjaman daripada laki-laki. Seperti yang dituturkan UPK sebagai berikut: “Kita sengaja memperbanyak perempuan dalam KSM agar perempuan itu bisa bantu suami menambah pendapatan. Tapi tetap perempuan dari golongan Pra Sejahtera yang sudah punya usaha. Biasanya sih mereka punya warung kecil.”
Penuturan UPK ini didukung oleh Bapak Mn, koordinator BKM yaitu: “Awalnya program pinjaman bergulir ini memang untuk perempuan dari keluarga miskin dengan tujuan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Tapi seiring berjalannya program, ternyata banyak juga warga laki-laki yang berminat.”
68
Sesuai dengan tujuan program dalam Pedoman Umum Program PNPMP2KP, sasaran program adalah warga miskin atau pra sejahtera. Pelaksanaan program di Desa Srogol telah memenuhi persyaratan Program PNPM-P2KP yakni hanya warga miskin yang mendapat bantuan pinjaman dana. Data selengkapnya mengenai jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kekayaan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden Berdasarkan Tingkat Kekayaan di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Kekayaan Jumlah (orang) Persen (%) 1. Pra sejahtera 28 58.3 2. Sejahtera 20 41.7 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010 Tabel 15. menunjukkan bahwa perbandingan antara responden yang tergolong pra sejahtera (58,3 persen) dengan responden yang tergolong sejahtera (41,7 persen) hampir sama besar. Hal ini menunjukkan terjadi ketidtingkat aksesuaian dalam sasaran program. Menurut Pedoman Umum PNPM-P2KP, program tersebut ditujukan pada warga miskin atau pra sejahtera, namun penerima pinjaman di Desa Srogol hampir separuhnya adalah warga golongan sejahtera. Menurut pengakuan UPK, banyaknya warga golongan sejahtera yang menerima pinjaman dana adalah warga yang dulunya miskin, kemudian memiliki usaha dan usaha tersebut telah berkembang. Sedangkan warga pra sejahtera, umumnya tidak memiliki usaha atau usaha tersebut tidak berkembang. Salah satu persyaratan yang diajukan oleh BKM dan UPK pada masyarakat yang ingin mendapatkan pinjaman adalah harus memiliki usaha. Persyaratan ini pula tidak sesuai dengan Pedoman Umum Program PNPM-P2KP yang hanya mensyaratkan penerima program adalah warga miskin. Berikut adalah Tabel 16. yang menunjukkan sebaran responden berdasarkan usaha yang dimiliki.
69
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usaha Yang Dimiliki di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Usaha Jumlah Persen (%) 1. Tidak Memiliki 9 18,8 2. Memiliki 39 81,2 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Persyaratan yang diajukan oleh BKM dan UPK yakni memiliki usaha agaknya memang dipenuhi oleh anggota KSM. Sebanyak 81,2 persen responden memiliki usaha sedangkan 18,8 persen tidak memiliki usaha. Responden yang tidak memiliki usaha, umumnya adalah ibu rumah tangga. Berikut ini adalah gambar-gambar usaha yang dimiliki oleh responden. Gambar 5. Jenis Usaha Warung yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, 2010
Gambar 6. Jenis Usaha Jahit yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, 2010
70
Dengan mengikuti Program PNPM-P2KP dan mendapatkan pinjaman, diharapkan masyarakat miskin mampu mengembangkan usaha yang dimilikinya agar menjadi lebih maju. Hal ini dikarenakan pinjaman dana tersebut dapat digunakan untuk menambah modal usaha. Data selengkapnya mengenai sebaran responden berdasarkan perkembangan usaha dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perkembangan Usaha Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Perkembangan Usaha Jumlah Persen (%) 1. Tidak Punya Usaha 9 18,8 2. Tidak Berkembang 12 25,0 3. Usaha Berkembang 27 56,2 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Tabel 17. Memperlihatkan bahwa sebanyak 56,2 persen responden memiliki usaha yang berkembang sebagai dampak dari mengikuti program. Sedangkan 25 persen responden mengaku bahwa usahanya tidak berkembang bahkan bangkrut. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Lh pedagang kredit, sebagai berikut: “Wah usaha ibu mah sekarang sudah bangkrut neng. Ngga berkembang, banyak yang ngutang. Uang segitu mah mana cukup buat modal lagi, pan cuma Rp 500.000. Lamun dulu mah ibu masih berani ngredit sampai kampung sebelah, gara-gara banyak yang ngutang, ngga muter lagi ‘nyak duitnya, ya sudah ibu ngredit di sekitar sini saja. Ya modalnya dari duit PNPM itu.”
Besar pinjaman yang diberikan UPK kepada anggota KSM berkisar antara Rp 500.000,- hingga Rp 1.000.000,-. Pada periode I setiap anggota KSM mendapat pinjaman sebesar Rp 500.000,-. Tingkat kelancaran pengembalian pinjaman pada periode I, membuat BKM dan UPK sepakat menaikkan nominal dana pinjaman. Bagi KSM yang seluruh anggotanya lancar, maka diberi pinjaman sebesar Rp 1.000.000,-. KSM yang telah mendapatkan pinjaman Rp 1.000.000,berada di RW 03. Data selengkapnya mengenai sebaran responden berdasarkan besar pinjaman tersaji dalam tabel berikut.
71
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarakan Besarnya Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Besarnya Pinjaman Jumlah (orang) Persen (%) 1. Kecil 45 93,8 2. Besar 3 6,2 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Data di dalam Tabel 18. menunjukkan bahwa hanya 6,2 persen responden yang sudah mendapat pinjaman dengan nominal lebih besar, sedangkan 93,8 persen respoden masih mendapat pinjaman sebesar Rp 500.000,-. Hal ini dibenarkan oleh Ibu Wt, pedagang gado-gado salah seorang responden sebagai berikut: “Ibu masih diberi pinjaman Rp 500.000,-. Yah memang itu kecil atuh neng, ngga cukup kalau buat bikin usaha. Uang itu juga ibu pakai buat nambah modal, tapi ya kadang masih ngga cukup.”
Sedangkan Ibu Ms, pedagang warung kelontong, yang telah mendapatkan pinjaman Rp 1.000.000,- menuturkan sebagai berikut: “Alhamdulillah neng, ibu sudah dapat pinjaman Rp 1.000.000,-. Itu karena teman-teman satu kelompok pada lancar semua. Ngga ada yang macet.”
Program pinjaman dana bergulir dari PNPM-P2KP pada awalnya memang ditujukan bagi warga miskin, namun dalam pelaksanaan program di Desa Srogol, program tersebut lebih ditujukan pada perempuan. Pemilihan perempuan sebagai penerima pinjaman memiliki tujuan yaitu agar perempuan dapat membantu suaminya dalam meningkatkan pendapatan keluarga sehingga tercapainya suatu keadaan sejahtera. Berdasarkan tujuan tersebut, maka perlu dilihat pula tingkat tingkat akses perempuan dalam program selain pengembalian pinjaman yang menjadi kunci keberhasilan program di Desa Srogol. Akses perempuan dalam pelaksanaan Program PNPM-P2KP dilihat dari sejauhmana perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam program mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan program. Pada tahap perencanaan program yaitu pembentukan BKM, peran perempuan tidak terlihat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan program yaitu mendapatkan pinjaman dana, mayoritas perempuan memiliki tingkat akses yang tinggi terhadap program. Data selengkapnya
72
mengenai jumlah responden berdasarkan tingkat akses terhadap program dapat dilihat di Tabel 19. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Akses Jumlah Persen (%) 1. Rendah 7 14,6 2. Tinggi 41 85,4 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Tabel 19. tentang akses terhadap pinjaman, menunjukkan bahwa akses perempuan terhadap program cukup tinggi yaitu sebesar 85,4 persen. Angka ini menggambarkan bahwa program telah memberikan kesempatan yang besar kepada perempuan untuk meminjam dana bergulir. Sama halnya dengan pengembalian pinjaman yang dinilai paling lancar di Kecamatan Cigombong, terbukti memang pengembalian pinjaman di desa ini lancar. Berikut merupakan data sebaran responden berdasarkan lancarnya pengembalian pinjaman. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Pengembalian Jumlah Persen (%) Pinjaman 1. Macet 10 20,8 2. Tidak Macet 38 79,2 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Dari Tabel 20. di atas, diketahui bahwa 79,2 persen respoden berhasil mengembalikan pinjaman dengan lancar. Angka ini juga membuktikan pernyataan BKM dan UPK desa setempat yang menyatakan bahwa Desa Srogol memiliki tingkat pengembalian pinjama terlancar di Kecamatan Cigombong. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol cukup berhasil, dilihat dari tingginya akses perempuan terhadap program serta tingginya tingkat pengembalian pinjaman.
73
6.1.3. Analisis
Keberhasilan
Program
PNPM-P2KP
Berdasarkan
Pengembalian Pinjaman Keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari tingkat kelancaran pengembalian pinjaman dan berkembangnya usaha yang dimiliki oleh anggota KSM, namun perlu dilihat pula bagaimana akses memberikan kontribusi pada keberhasilan program. Telah diketahui pada subbab sebelumnya, bahwa akses perempuan terhadap pinjaman tergolong tinggi, sehingga perlu melihat sejauhmana hubungan faktor-faktor lain seperti besar pinjaman dan pendidikan responden terhadap keberhasilan program jika dilihat berdasarkan akses perempuan. Berikut ini merupakan tabel hubungan besar pinjaman dengan akses perempuan terhadap program. Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Akses Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Terhadap Kecil Besar Program Rendah 5 2 7 (11,1) (66,7) (14,6) Tinggi 40 1 41 (88,9) (33,3) (85,4) Total 45 3 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer, 2010
Tabel 21. memperlihatkan hubungan yang negatif (-0,381) antara besar pinjaman dan akses responden dengan kekuatan hubungan sebesar 0,008 dimana α < 0,2. Penetapan taraf nyata α < 0,2 dipilih mengingat unit analisis yang diambil adalah individu yang bersifat dinamis. Hal ini menggambarkan bahwa walaupun jumlah pinjaman kecil, namun akses responden tergolong tinggi (88,9 persen). Begitupula dengan faktor pendidikan responden yang memiliki hubungan dengan akses responden terhadap program yang tersaji pada Tabel 22. berikut.
74
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden dan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Pendidikan (%) Jumlah (%) Tingkat Akses Terhadap Program Rendah Tinggi Total
Rendah 4 (11,1) 32 (88,9) 36 (100)
Tinggi 3 (25) 9 (75) 12 (100)
7 (14,6) 41 (85,4) 48 (100)
Sumber: Data Primer, 2010
Berdasarkan Tabel 22. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan responden dengan akses responden terhadap program. Hal ini berarti baik berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi, tetap memiliki akses yang tinggi terhadap program. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol berhasil karena dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat baik berpendidikan tinggi maupun berpendidikan rendah. Telah disebutkan sebelumnya yakni keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari lancarnya pengembalian pinjaman. Oleh karena itu, perlu dilihat sejauhmana faktor-faktor lain seperti besar pinjaman dan pendidikan responden memiliki hubungan dengan tingkat pengembalian pinjaman. Berikut ini adalah Tabel 23. yang menggambarkan hubungan antara besar pinjaman dengan pengembalian pinjaman. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dengan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Pengembalian Kecil Besar Pinjaman Macet 10 0 10 (22,2) (0,0) (20,8) Lancar 35 3 38 (77,8) (100) (79,2) Total 45 3 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer, 2010
75
Tabel 23. menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar pinjaman dengan pengembalian pinjaman. Nampaknya hal ini berarti baik responden dengan pinjaman yang kecil yakni sebesar Rp 500.000,- maupun pinjaman yang cukup besar yakni Rp 1.000.000,- mampu mengembalikan pinjaman dengan lancar. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, berikut: “Saya ibu rumah tangga saja neng, ngga punya usaha apa-apa. Tapi saya ngga pernah nunggak bayar cicilan pinjaman. Kan pinjaman cuma Rp 500.000,- sebulan bisa dicicil Rp 60.000,-.”
Ibu Tt, seorang pengusaha katering dan makanan kecil, juga menuturkan: “Dulu awal-awal pernah nunggak bayarnya, karena lagi sepi pesenan kue. Sekarang mah Alhamdulillah tidak pernah macet lagi. Kalau satu bulan dicicil Rp 60.000,- mah masih sanggup atuh.”
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kecilnya nominal pinjaman yang diterima oleh responden bukan merupakan masalah besar bagi mereka, sehingga kontrol laki-laki dalam pelunasan pinjaman juga tidak terlihat. Akan berbeda jika nominal pinjaman menjadi lebih besar misalnya menjadi Rp 2.000.000 setiap periode, peran dan kontrol laki-laki terhadap pengembalian pinjaman mungkin terlihat jelas. Faktor lain yang memiliki hubungan dengan tingkat kelancaran pinjaman adalah tingkat pendidikan responden. Data yang menunjukkan hubungan antara pengembalian pinjaman dengan tingkat pendidikan responden tercantum dalam Tabel 24. Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Pengembalian Pinjaman Macet Lancar Total Sumber: Data Primer, 2010
Tingkat Pendidikan (%) Rendah Tinggi 9 (25) 27 (75) 36 (100)
1 (8,3) 11 (91,7) 12 (100)
Jumlah (%) 10 (20,8) 38 (79,2) 48 (100)
76
Berdasarkan Tabel 24. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengembalian pinjaman, yang ditunjukkan dari tingginya persentase respoden yang lancar dalam mengembalikan pinjaman. Angka dalam Tabel 24. Menunjukkan bahwa baik responden yang berpendidikan rendah maupun tinggi ternyata dapat mengembalikan pinjaman dengan lancar. Jadi dapat disimpulkan bahwa Program PNPM-P2KP dapat diakses oleh setiap orang di Desa Srogol baik berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa program dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Berkaitan dengan besar pinjaman, dapat disimpulkan bahwa walaupun besar pinjaman hanya 500 ribu rupiah, akses perempuan terhadap perempuan tetap tinggi. Dalam hal pengembalian pinjaman, tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan kelancaran pengembalian, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka semakin lancar dalam mengembalikan pinjaman. Berbeda dengan besar pinjaman yang tidak berhubungan dengan pengembalian pinjaman, hampir seluruh responden mampu untuk mengembalikan pinjaman dengan lancar. Hal ini dikarenakan jumlah pinjaman yang kecil, sehingga untuk mencicil pinjaman setiap bulannya dirasa mudah oleh sebagian besar responden.
77
6.2.
Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Program Keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat berdasarkan lancarnya
pengembalian pinjaman. Pada subbab sebelumnya telah dikemukakan bahwa pengembalian pinjaman berhubungan dengan usaha yang dimiliki oleh responden, perkembangan usaha responden dan tingkat pendidikan responden. Besar pinjaman tidak berhubungan dengan lancarnya pengembalian pinjaman karena besar pinjaman yang diterima oleh anggota KSM hanya Rp 500.000,-. Faktor lain yang berhungan dengan pengembalian pinjaman adalah Tingkat Relasi Gender yang dianut oleh responden. 6.2.1. Relasi Gender Masyarakat Desa Srogol Desa Srogol merupakan desa yang sedang mengalami proses peralihan, yakni dari desa tradisional menuju desa modern. Perubahan ini ditandai dengan semakin berkurangnya penduduk desa yang bekerja sebagai petani. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pembangunan jalan dan fasilitas umum di wilayah Kecamatan Cigombong, memberikan dampak pada pergeseran perspektif masyarakat Desa Srogol terhadap peran perempuan dan laki-laki. Terlebih lagi dengan kehadiran Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido di wilayah desa tersebut yang memperlakukan siswanya sama dan setara antara lakilaki dan perempuan, secara tidak langsung mulai memberikan pengaruh pada masyarakat terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Penyetaraan lakilaki dan perempuan diawali dari diberikannya kesempatan yang sama antara lakilaki dan perempuan dalam menempuh pendidikan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah perempuan yang telah menamatkan pendidikan hingga jenjang sekolah menengah pertama. Selain dalam hal pendidikan, perempuan juga mulai dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan publik seperti rapat desa, kegiatan penyuluhan, dan keorganisasian. Saat ini para perempuan juga diundang dalam setiap perundinganperundingan di desa, namun kehadiran perempuan masih sedikit dibanding lakilaki. Ketidakhadiran perempuan mengakibatkan pendapat dan aspirasi perempuan jarang didengar karena lebih didominasi oleh laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sh, anggota BKM, sebagai berikut:
78 “Sekarang mah perempuan selalu dapat undangan untuk hadir di acaraacara desa. Dulu pan ngga pernah, laki-laki saja yang diundang. Apalagi kalau lagi ada penyuluhan, pasti ibu-ibu diundang, tapi jarang yang hadir.”
Peralihan dari tradisional menuju desa semi modern, membuat hubungan atau relasi gender masyarakat Desa Srogol berubah. Relasi gender yang setara antara peran dan status laki-laki dan perempuan mulai terlihat hampir seluruh masyarakat Desa Srogol. Relasi gender yang setara tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat Desa Srogol sudah tidak terlalu membeda-bedakan peran lakilaki dan perempuan. Tingkat relasi gender responden dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dalam Rumah Tangga Responden, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Relasi Gender Jumlah (orang) Persen (%) 1. Tidak Setara 13 27,1 2. Setara 35 72,9 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Tabel 25. menunjukkan bahwa sebagian besar responden (72,9 persen) tergolong pada tingkat relasi gender setara, yakni tidak membeda-bedakan peran laki-laki dan perempuan baik dalam rumah tangga maupun kegiatan publik, seperti mengikuti Program PNPM-P2KP. Bagi perempuan, ada beberapa hal yang harus mendapat persetujuan dari suami dan beberapa hal yang dapat diputuskan sendiri. Hal-hal yang dapat diputuskan sendiri berkaitan dengan mengatur rumah tangga sedangkan yang membutuhkan persetujuan suami berkaitan dengan keuangan dan kegiatan publik. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ditunjukkan pada Tabel 26. berikut.
79
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender yang Dianut di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Relasi Gender Persentase (%) Tidak Setuju Setuju 1. Perempuan mengasuh anak 4 44 (8,3) (91,7) 2. Perempuan tidak boleh memimpin 13 35 laki-laki (27,1) (72,9) 3. Perempuan tidak boleh menjadi 14 34 kepala keluarga (29,2) (70,8) 4. Perempuan tidak boleh mencari 37 11 nafkah/bekerja (77,1) (22,9) 5. Perempuan tidak boleh bekerja di 28 20 luar rumah (58,3) (41,7) 6. Perempuan tidak boleh 37 11 berpendidikan lebih tinggi daripada (77,1) (22,9) laki-laki 7. Perempuan tidak boleh 32 16 berpenghasilan lebih tinggi daripada (66,7) (33,3) laki-laki 8. Perempuan tidak boleh mengatur 34 14 keuangan keluarga (70,8) (29,2) 9. Perempuan tidak boleh memutuskan 28 20 masalah keluarga (58,3) (41,7) 10. Perempuan tidak boleh menentukan 40 8 pendidikan anak (83,3) (16,7) 11. Perempuan tidak boleh ikut serta 37 11 dalam kegiatan publik/organisasi (77,1) (22,9) 12. 13.
Perempuan tidak boleh menyampaikan pendapat Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin organisasi
38 (79,2) 38 (79,2)
10 (20,8) 10 (20,8)
Sumber: Data Primer, 2010
Berdasarkan Tabel 26. terlihat bahwa walaupun telah terjadi pergeseran perspektif mengenai perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari modernisasi, ternyata masih terdapat beberapa hal yang tidak berubah. Masih adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan berakibat pada masih terjadinya ketidakadilan gender baik marginalisasi, stereotype, maupun subordinasi. Marginalisasi terjadi di dalam keluarga yakni perempuan tidak boleh memimpin laki-laki (72,9 persen) dan perempuan tidak boleh menjadi kepala
80
keluarga (70,8 persen). Hal ini dituturkan oleh Bapak Lk, suami Ibu Lh sebagai berikut: “Ya memang tidak boleh atuh dek. Di dalam Al Quran tertulis, bahwa laki-laki sebagai pemimpin, sebagai imam dalam segala hal. Laki-laki lah yang memimpin perempuan dan keluarga. Makanya istri harus patuh sama suami.”
Penuturan yang sama juga dikemukakan oleh Ibu Tt, pedagang katering, berikut: “Setuju neng, memang harus begitu, laki-laki lah yang jadi pemimpin. Kan di ajaran agama ada yah, laki-laki yang menjadi imam dalam keluarga. Ya pokoknya mah perempuan tidak boleh memimpin laki-laki, itu namanya kurang ajar.”
Stereotype atau pelabelan terhadap perempuan masih dialami oleh responden dan masyarakat Desa Srogol pada umumnya. Sebanyak 91,7 persen responden setuju bahwa perempuan adalah makhluk lemah lembut dan tidak rasional (66,7 persen). Hal ini menandakan bahwa walaupun telah menjadi desa modern, stereotype terhadap perempuan masih terjadi, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rd, seorang ibu rumah tangga, sebagai berikut: “Iya atuh neng, perempuan mah emang harus begitu, lemah lembut. Ntar kalau kasar, laki-laki pada takut. Perempuan kan sebagai ibu, jadi harus lemah lembut sama anaknya. Tapi yah ada saatnya perempuan mah harus tegas, apalagi waktu anak nakal, yah harus dimarahin”
Pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut menjadi dasar dalam menentukan pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Pekerjaan mengurus rumah tangga yang harus dilakukan oleh perempuan menunjukkan masih terjadi subordinasi terhadap perempuan, yaitu perempuan hanya melakukan kegiatan-kegiatan domestik saja. Mengasuh dan merawat anak diyakini sebagai kodrat perempuan oleh sebagian besar responden (91,7 persen). Hal ini dibenarkan oleh Ibu Lh, pedagang kredit, yaitu: “Mengasuh anak itu memang kodrat perempuan neng. Ibulah yang harus mengasuh anak dari kecil, kan ibu juga yang mengandung anak. Yang membentuk sikap anak itu ya ibu. Kalau bapak mah, kan harusnya cari nafkah buat keluarga, kalau istri ya mengasuh anak. Saling bantu lah.”
Begitupula yang diungkapkan oleh Ibu Rd, ibu rumah tangga, sebagai berikut:
81
“Ya harus perempuan lah yang mengasuh anak. Suami mah tugasnya kerja cari duit buat makan, lamun perempuan ya ngurus anak, beresberes rumah. Masa suami kita suruh mengurus anak, ya mana bisa atuh, ngurus diri sendiri saja kadang ngga bisa, makanya perlu ada istri, biar semua kerjaan beres.”
Selain mengurus anak, pekerjaan mengatur keuangan keluarga juga dibebankan pada perempuan. Hal ini ditunjukkan dari sebanyak 70,8 persen perempuan setuju bahwa perempuan yang harus mengelola keuangan keluarga. Dalam hal ini, perempuan diberi kesempatan untuk mengatur keluar masuknya uang dalam rumah tangga, namun laki-laki masih menjadi pengambil keputusan berapa uang yang akan diberikan kepada istri dan berapa uang yang digunakan untuk keperluan bulanan. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Tt, pedagang katering, sebagai berikut: “Ya memang kerjaan perempuan atuh neng yang mengatur keuangan keluarga. Kan perempuan mah lebih teliti. Kalau dipegang laki-laki, bakal habis tuh, buat beli macem-macem yang tidak penting, kayak rokok.”
Pengungkapan tersebut diperkuat oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, berikut: “Selama ini pendapatan cuma dari suami, kan saya tidak bekerja. Tapi suami selalu memberi uang buat bulanan, nah saya yang mengatur, mau dipakai apa saja. Biasanya mah buat beli belanja sayur, beras, kebutuhan dapur saja neng.”
Dari beberapa pemaparan di atas mengenai peran perempuan yang tidak berubah setelah terjadi modernisasi di Desa Srogol, dapat disimpulkan bahwa peran-peran perempuan yang tidak berubah umumnya berkaitan dengan pekerjaan domestik perempuan, yakni dalam hal mengurus rumah tangga. Sedangkan dalam pekerjaan atau kegiatan publik masih didominasi oleh laki-laki, walaupun saat ini perempuan mulai terlihat aktif dalam perundingan dan keorganisasian di desa. Adapun peran yang berubah meliputi perempuan bekerja dan perempuan dalam organisasi. Sebanyak 77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh bekerja dan berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki berdampak pada jenis pekerjaan yang dapat diambil oleh perempuan lebih beragam daripada laki-laki sehingga tidak ada salahnya jika
82
penghasilan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (66,7 persen). Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sr, pedagang, berikut: “Tidak setuju lah neng, siapa bilang perempuan tidak boleh lebih pinter daripada laki-laki? Justru sekarang pan lebih banyak murid perempuan daripada laki-laki di sekolah-sekolah. Itu karena perempuan lebih pinter daripada laki-laki, makanya naik kelas terus.”
Penuturan yang sama diungkapkan juga oleh Ibu Lh, seorang pedagang kredit sebagai berikut: “Boleh kalau pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan itu juga pengaruh ke pekerjaan kan. Kalau perempuan pintar ya pasti dapat pekerjaan bagus. Makanya tidak apa-apa kalau ternyata penghasilan istri lebih tinggi daripada suami. Kan pekerjaan istri lebih bagus daripada suami. Di sini banyak kok neng, istrinya kerja jadi karyawan, suaminya ngojek.”
Perubahan peran lain yang terjadi di Desa Srogol adalah mulai dilibatkannya perempuan dalam organisasi atau kegiatan-kegiatan desa. Sebanyak 77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh mengikuti kegiatan publik dan menyampaikan pendapat (79,2 persen). Bahkan 79,2 persen responden mengungkapkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin organisasi, seperti yang dituturkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, bahwa: “Ya boleh boleh saja kalau perempuan jadi pemimpin organisasi. Pan sekarang banyak yah, perempuan jadi ketua organisasi. Presiden dulu juga ada yang perempuan. Selama memimpinnya bener mah, boleh-boleh saja atuh.”
Walaupun banyak responden yang menyatakan bahwa perempuan dapat menjadi anggota organisasi bahkan dapat menjadi pemimpin organisasi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam organisasi di desa masih minim. Jumlah perempuan yang menjadi anggota organisasi desa seperti LPM, BKM, masih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Begitupula dalam setiap kegiatan publik seperti perundingan-perundingan desa, laki-laki masih mendominasi. Keterlibatan perempuan dalam organisasi hanya terlihat pada kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik seperti pengajian dan PKK.
83
Berikut ini adalah gambar salah satu kegiatan publik yang dilakukan oleh perempuan di Desa Srogol, yaitu pengajian rutin ibu-ibu di RW 03. Gambar 7. Kegiatan Pengajian Ibu-Ibu di RW 03, 2010
Telah diberinya kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan publik tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh perempuan. Kehadiran perempuan yang tidak lebih banyak daripada laki-laki mengakibatkan suara atau aspirasi perempuan kurang didengar, sehingga program-program yang berjalan di desa, umumnya merupakan program yang berdasarkan keputusan dan kebutuhan laki-laki. 6.2.2. Gender dalam Program PNPM-P2KP Dewasa ini, gender telah menjadi salah satu aspek yang memiliki peranan penting dalam keberhasilan program-program pembangunan. Terbukti dalam setiap rumusan perencanaan program mulai dari visi, misi, tujuan, prinsip, hingga pelaksanaan program, gender menjadi perhatian penting. Pada umumnya aspek gender yang ada pada setiap program lebih merujuk pada peranan dan partisipasi perempuan. Kemudian aspek gender yang ada dalam rumusan tujuan program merujuk pada pemberdayaan perempuan. Seperti halnya pada tujuan Program PNPM-P2KP yaitu memberdayakan kelompok perempuan. Tingkat Relasi Gender yang dianut oleh sebagian besar responden yakni Setara menggambarkan bahwa saat ini masyarakat Desa Srogol tidak terlalu membeda-bedakan antara peran perempuan dan laki-laki. Tingkat Relasi Gender
84
yang dianut oleh respoden menjadi faktor berikutnya yang memiliki hubungan dengan akses perempuan terhadap program dan pengembalian pinjaman. Data selengkapnya mengenai hubungan Tingkat Relasi Gender dengan akses perempuan terhadap program dapat dilihat dalam Tabel 27. Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Akses Terhadap Program Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Akses Tingkat Relasi Gender (%) Jumlah (%) Terhadap Program Tidak Setara Setara Rendah 1 6 7 (7,7) (17,1) (14,6) Tinggi 12 29 41 (92,3) (82,9) (85,4) Total 13 35 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer, 2010
Data di dalam Tabel 27. menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat relasi gender dengan tingkat akses terhadap program dan semakin diperkuat dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman. Artinya, baik responden dengan tingkat relasi gender yang tidak setara (92,3 persen) maupun yang setara (82,9 persen), ternyata memiliki tingkat akses terhadap program yang tinggi. Keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari tingginya tingkat kelancaran pinjaman serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa tingkat pengembalian pinjaman berhubungan dengan tingkat pendidikan anggota. Sayangnya, tingkat pendidikan responden belum mampu menggambarkan keberhasilan program secara utuh jika tidak dilihat berdasarkan tingkat relasi gender yang dimiliki oleh responden. Tabel 28. berikut menunjukkan hubungan tingkat relasi gender responden dengan pengembalian pinjaman.
85
Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Ideologi Gender dan Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Tingkat Relasi Gender (%) Jumlah (%) Pengembalian Tidak Setara Setara Pinjaman Macet 6 4 10 (46,2) (11,4) (20,8) Lancar 7 31 38 (53,8) (88,6) (79,2) Total 13 35 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer, 2010
Berdasarkan Tabel 28. dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif (0,380) antara tingkat relasi gender dan tingkat pengembalian pinjaman dengan kekuatan hubungan sebesar 0,008 dimana α < 0,2. Penetapan taraf nyata α < 0,2 dipilih mengingat unit analisis yang diambil adalah individu yang bersifat dinamis. Angka ini menunjukkan bahwa respoden dengan tingkat relasi gender yang setara (88,6 persen) lebih lancar dalam mengembalikan pinjaman dibanding dengan responden yang memiliki relasi gender yang tidak setara (53,8 persen). Hal tersebut dikarenakan responden yang tidak terlalu membeda-bedakan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan mampu mengembalikan pinjaman tanpa membutuhkan ijin dari suami terlebih dahulu. Berbeda dengan yang memiliki relasi gender tidak setara, laki-laki masih mendominasi setiap keputusan dalam berbagai hal termasuk pada pengembalian pinjaman. Besar pinjaman yang diterima oleh anggota KSM dengan jumlah yang kecil bukanlah menjadi masalah besar bagi mayoritas responden untuk melunasinya sehingga tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol tergolong lancar. Jumlah pinjaman yang diberikan kepada masing-masing anggota KSM telah ditentukan oleh PNPM-P2KP Pusat sesuai dengan anggaran yang berlaku dalam setiap periode. Pada periode kedua terdapat beberapa KSM yang sudah mendapatkan pinjaman Rp 1.000.000,- dan anggota KSM tersebut tetap dapat melunasinya dengan lancar. Dari pemaparan di atas terlihat bahwa besar pinjaman tidak berhubungan dengan relasi gender masyarakat, karena besar pinjaman ditentukan oleh PNPM-P2KP Pusat. Tabel 29. menggambarkan tidak ada
86
hubungan antara besar pinjaman dengan ideologi gender masyarakat dapat dilihat pada Tabel 29. berikut. Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Tingkat Besar Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Besar Tingkat Relasi Gender (%) Jumlah (%) Pinjaman Tidak Setara Setara Rendah 13 32 45 (100) (91,4) (93,7) Tinggi 0 3 3 (0) (8,6) (6,3) Total 13 35 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer, 2010
Tabel 29. memperlihatkan tidak terdapat hubungan antara tingkat relasi gender dengan tingkat besarnya pinjaman. Artinya baik responden dengan tingkat relasi gender yang tidak setara (100 persen) maupun responden yang telah setara (91,4 persen) masih mendapatkan pinjaman dengan jumlah yang kecil, yakni 500 ribu rupiah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat relasi gender tidak memiliki hubungan dengan akses perempuan terhadap program dan pengembalian pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki relasi gender yang tidak setara maupun yang telah setara, ternyata memiliki akses terhadap program yang tinggi. Relasi gender memiliki hubungan dengan pengembalian pinjaman yang berarti responden yang relasi gendernya telah setara lebih lancar dalam mengembalikan pinjaman (88,6 persen), dikarenakan responden yang tidak membeda-bedakan peran dan tanggung jawab antara lakilaki dan perempuan, dapat melunasi pinjaman tanpa membutuhkan keputusan dari lak-laki. Ideologi gender tidak berhubungan dengan besar pinjaman, artinya baik responden yang memiliki ideologi gender tinggi maupun rendah, sama-sama mendapatkan pinjaman dengan jumlah yang kecil.
87
6.3.
Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP
6.3.1. Pemenuhan Kebutuhan Praktis Gender dan Kebutuhan Strategis Gender Pada bab sebelumnya telah dibahas bahwa salah satu tujuan Program PNPM-P2KP
adalah
untuk
memberdayakan
perempuan.
Pemberdayaan
perempuan dilihat tidak hanya pada sejauhmana program dapat memenuhi kebutuhan perempuan sehari-hari, tetapi juga pada sejauhmana program dapat memberdayakan perempuan agar setara dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangganya. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang menjadi tujuan utama program disebut sebagai kebutuhan praktis gender, sedangkan penyetaraan kedudukan perempuan dengan laki-laki disebut dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Pemenuhan kebutuhan praktis gender responden setelah mengikuti Program PNPM-P2KP berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan dan perkembangan usaha yang dimilikinya. Pemenuhan kebutuhan praktis setelah mengikuti program dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 30. Persentase Responden Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Pernyataan Tidak Terpenuhi Terpenuhi (%) (%) 1. Makan lebih dari dua kali dalam sehari 14,6 85,4 2. Mengkonsumsi makanan bergizi 12,5 87,5 3. Berobat ke dokter atau rumah sakit 37,5 62,5 4. Memperbaiki kerusakan dalam rumah 72,9 27,1 5. Memiliki MCK sendiri 14,6 85,4 6. Memiliki modal usaha 27,1 72,9 7. Melunasi iuran sekolah anak 22,9 77,1 8. Melunasi hutang/tagihan 27,1 72,9 9. Berkembangnya usaha 43,8 56,2 10. Meningkatnya keeratan organisasi/KSM 91,7 8,3 Sumber: Data Primer, 2010
Merujuk pada Tabel 30. di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan dalam rumah tangga responden yaitu pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, minum, dan kesehatan. Sebanyak 85,4 persen respoden menyatakan bahwa frekuensi makan keluarga lebih dari dua kali sehari dengan makanan yang cukup bergizi (87,5 persen). Makanan yang cukup bergizi tersebut bukanlah makan makanan yang mengandung gizi seimbang, mayoritas
88
responden menyatakan cukup puas dan cukup bergizi dengan makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, sebagai berikut: “Alhamdulillah makan lebih dari dua kali setiap hari. Ibu rasa cukup bergizi lah walau kadang cuma nasi, tahu, tempe, lalap. Kan bergizi itu ngga harus daging neng, pakai ikan asin saja cukup. Jarang juga yang jual daging di sini mah, harus ke pasar Cigombong dulu.”
Dengan mengikuti Program PNPM-P2KP, diharapkan responden bisa memiliki modal untuk usaha yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Walaupun pinjaman yang diberikan terlampau kecil jumlahnya, ternyata 72,9 persen responden menyatakan pinjaman tersebut cukup untuk menambah modal usaha mereka, dan 56,2 persen responden menyatakan bahwa usaha mereka telah berkembang. Persentase keberhasilan program dalam memenuhi kebutuhan praktis tersaji pada tabel berikut. Tabel 31. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Kebutuhan Praktis Jumlah Persen (%) 1. Tidak Terpenuhi 11 22,9 2. Terpenuhi 37 77,1 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Data di dalam Tabel 31. di atas menunjukkan bahwa kebutuhan praktis responden telah terpenuhi setelah mengikuti program (77,1 persen). Pemenuhan kebutuhan praktis responden berkaitan dengan perubahan atau perbaikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, kesehatan, dan pendidikan. Merujuk pada tujuan PNPM-P2KP yang dirumuskan oleh BKM dan UPK Desa adalah masyarakat memiliki modal usaha untuk mengembangkan usahanya. Terbukti dengan pinjaman yang kecil, ternyata banyak responden yang mengaku puas dengan adanya program pinjaman karena dapat menambah modal usahanya. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Tt, pemilik katering, sebagai berikut: “Alhamdulillah neng, walaupun sedikit tapi cukup untuk simpanan modal usaha kalau nanti lagi ramai pesanan. Kan kalau ibu suka pakai uang ibu dulu buat beli bahan kue, baru nanti diganti sama yang pesan.”
Penuturan Ibu Tt diperkuat oleh Ibu Rm, seorang penjahit, yang mengatakan:
89 “Jahit itu kan usaha ibu sama bapak, tapi yang ikut program cuma ibu. Uang pinjaman ibu pakai untuk menambah modal usaha neng, buat beli kain, jarum, benang. Tapi kadang terpakai juga buat keperluan lain, seperti sekolah anak, jajan anak. Pokoknya mah uang itu buat simpanan saja lah neng.”
Pada umumnya kebutuhan praktis responden telah terpenuhi, namun hal tersebut belum menggambarkan peningkatan kesejahteraan responden. sebagai program yang mengaku program pemberdayaan kelompok perempuan, maka perlu dilihat sejauhmana program mampu memenuhi kebutuhan strategis gender, yakni mampu mengubah status kedudukan perempuan dalam rumah tangganya setelah mengikuti program. Pemenuhan kebutuhan strategis gender dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 32. Persentase Responden Berdasarkan Perubahan Pemenuhan Kebutuhan Strategis Gender di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Perubahan (%) No. Pernyataan Tidak Ya 1. Menentukan frekuensi makan sehari-hari 45 3 (93,8) (6,2) 2. Menentukan menu makan sehari-hari 48 0 (100) (0) 3. Menentukan besarnya biaya untuk makan 45 3 (93,8) (6,2) 4. Menentukan besarnya biaya untuk belanja bulanan 39 9 (81,2) (18,8) 5. Menentukan berobat dimana ketika ada keluarga 44 4 yang sakit (91,7) (8,3) 6. Mengurus anak 48 0 (100) (0) 7. Menentukan pendidikan/sekolah anak 41 7 (85,4) (14,6) 8. Menentukan uang saku/jajan anak 48 0 (100) (0) 9. Menentukan komoditi/jenis usaha 40 8 (83,3) (16,7) 10. Menentukan besarnya uang yang digunakan untuk 48 0 melunasi hutang/tagihan (100) (0) 11. Menentukan ikut KSM 39 9 (81,2) (18,8) 12. Menentukan pengelolaan dana pinjaman 43 5 (89,6) (10,4) 13. Menentukan siapa yang menjalankan usaha 42 6 (87,5) (12,5)
90
14. Menentukan usaha akan lanjut atau berhenti 15. Menentukan dana investasi/tabungan
41 (85,4) 36 (75)
7 (14,6) 12 (25)
Sumber: Data Primer, 2010
Berdasarkan Tabel 32. dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan dalam pemenuhan kebutuhan strategis perempuan setelah mengikuti program pinjaman
dari
PNPM-P2KP.
Artinya,
setelah
mengikuti
program
dan
mendapatkan pinjaman, perempuan belum mampu menjadi pengambil keputusan di dalam keluarga, kecuali pada hal-hal yang berhubungan dengan urusan rumah tangga seperti menentukan frekuensi makan, menu makan, dan merawat anak. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih mendominasi pekerjaan domestik yang telah disinggung pada subbab sebelumnya, pekerjaan rumah tangga merupakan kodrat dan tanggung jawab perempuan. Setelah mengikuti program, diharapkan terjadi perubahan keputusan dalam mengurus pekerjaan rumah tangga, setidaknya terdapat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, seperti sama-sama memutuskan dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, bukan hanya dibebankan kepada perempuan. Selain dalam urusan rumah tangga, perempuan belum memiliki kontrol dalam hal pengaturan uang. Hal ini tercermin dari tidak terjadinya perubahan pada kontrol perempuan dalam mengelola keuangan keluarga. Perempuan hanya sekadar menerima uang yang jumlahnya telah ditentukan oleh laki-laki, kemudian merekalah yang mengatur uang untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa laki-laki yang menentukan sedangkan perempuan hanya menjalankan. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Rd, pedagang, sebagai berikut: “Semuanya sajalah neng, kalau urusan rumah tangga mah ibu yang ngatur. Tapi kalau uang, bapak yang kasih, nah terus ibu atur itu, mau belanja apa. Kadang kalau anak minta jajan, ibu juga kasih, tapi pan uangnya tetap dari bapak.”
Tidak berbeda dengan pengelolaan keuangan dalam rumah tangga yang masih didominasi oleh laki-laki, ternyata masih sulit bagi perempuan untuk mengambil keputusan dalam hal kegiatan publik. Walaupun kegiatan publik yang diikuti oleh perempuan biasanya tidak jauh berbeda dengan urusan domestik, seperti pengajian, PKK, atau penyuluhan KB dan Posyandu. Begitpula dalam hal
91
memutuskan untuk menjadi anggota KSM, sebagian besar responden menyatakan masih membutuhkan ijin dari suami. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Ag, ibu rumah tangga, berikut: “Saya ikut, karena disuruh ibu, kebetulan ibu kan BKM. Saya sih mau saja, kan dapat pinjaman, lumayan buat tambah-tambah. Saya ijin dulu sama suami, boleh atau ngga ikut itu. Alhamdulillah suami mengijinkan. Kalau waktu itu suami ngga mengijinkan, ya saya ngga ikut. Ngga berani dek.”
Dengan mengikuti program pinjaman dari PNPM-P2KP diharapkan perempuan menjadi berdaya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangganya dan perkembangan usahanya. Pada kenyataannya, program tersebut belum mampu sepenuhnya memberdayakan perempuan. Persentase mengenai sejauhmana program berhasil memenuhi kebutuhan strategis gender responden dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Kebutuhan Strategis Jumlah Persen (%) 1. Tetap 17 35,4 2. Kurang Berubah 31 64,6 3. Sangat Berubah 0 0 Total 48 100 Sumber: Data Primer, 2010
Tabel 33. memperlihatkan sebanyak 64,6 persen responden menyatakan setelah mengikuti program, pemenuhan kebutuhan strategis mereka kurang berubah. Artinya hampir tidak terjadi perubahan yang berarti dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga, mengikuti program, serta perkembangan usaha. Selain dalam hal urusan rumah tangga seperti makan, kesehatan dan mengurus anak, perempuan tidak memiliki kontrol dalam menentukan keuangan keluarga, mengikuti kegiatan publik, serta menentukan perkembangan usaha. Bahkan dalam mengelola uang pinjaman masih didominasi oleh laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa Program PNPM-P2KP belum mampu untuk merubah kedudukan perempuan dalam rumah tangganya.
92
6.3.2. Hubungan Keberhasilan Program dengan Pemberdayaan Perempuan BKM dan UPK menyatakan bahwa keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari lancarnya pengembalian pinjaman. Hal ini terbukti dari data pengembalian pinjaman selama dua periode berturut-turut tidak mengalami kemacetan. Jika dilihat dari sudut pandang analisis gender, lancarnya pengembalian pinjaman belum cukup untuk menggambarkan sepenuhnya tentang keberhasilan program dalam memenuhi kebutuhan anggotanya. Dengan kata lain, terpenuhinya kebutuhan praktis saja belum dianggap mampu memberdayakan perempuan karena kebutuhan strategisnya belum terpenuhi. Sehingga lancarnya pengembalian pinjaman sama sekali belum menggambarkan keberhasilan program. Merujuk pada Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) yang mendefinisikan pemberdayaan sebagai tindakan kolektif yang berfokus pada upaya menolong anggota masyarakat (khususnya golongan yang tidak beruntung/tertindas baik oleh kemiskinan maupun diskriminasi kelas sosial, gender) dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan, maka pemberdayaan merupakan indikator utama keberhasilan program. Seperti yang tercantum dalam Pedoman Umum Program, bahwa PNPM-P2KP merupakan program yang berbeda dengan program-program pengentasan kemiskinan lain, karena program tersebut adalah program yang memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk memenuhi kebutuhan, sehingga dampak yang diharapkan dari Program PNPM-P2KP ini adalah mampu memenuhi kebutuhan warga miskin, dan kelompok perempuan (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008). Berdasarkan Kerangka Analisis Moser, terdapat dua kebutuhan yang harus terpenuhi seteleh mengikuti program pembangunan yaitu kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Jika kedua kebutuhan tersebut telah terpenuhi, maka program pembangunan dinilai berhasil. Begitupula yang menjadi harapan setiap program pembangunan salah satunya adalah Program PNMPP2KP. Terlebih lagi program tersebut merupakan program yang mengaku sebagai program yang telah memberdayakan kelompok perempuan, sehingga seharusnya program mampu memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender perempuan.
93
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam melihat sejauhmana program berhasil dalam memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender, perlu melihat hubungan antara faktor-faktor yang berkaitan dengan program pinjaman, seperti besar pinjaman, akses terjadap pinjaman, dan tingkat pengembalian pinjaman. Hubungan antara besar pinjaman dengan kebutuhan praktis gender tersaji dalam tabel berikut. Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Praktis Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Kecil Besar Tidak Terpenuhi 10 1 11 (22,2) (33,3) (22,9) Terpenuhi 35 2 37 (77,8) (66,7) (77,1) Total (%) 45 3 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer 2010
Tabel 34. memperlihatkan tidak terdapat hubungan antara tingkat besar pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan praktis. Hal ini berarti bahwa dengan pinjaman yang nominalnya besar (66,7 persen) ataupun kecil (77,8 persen), responden merasa bahwa kebutuhan praktis mereka telah terpenuhi. Tak berbeda jauh dengan besar pinjaman, hubungan antara akses terhadap program dengan kebutuhan praktis tidak memiliki hubungan. Tabel hubungan antara akses responden terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan praktis dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 35. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Praktis Tingkat Akses Terhadap Program (%) Jumlah (%) Rendah Tinggi Tidak Terpenuhi 2 9 11 (28,6) (22) (22,9) Terpenuhi 5 32 37 (71,4) (78) (77,1) Total (%) 7 41 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer 2010
Berdasarkan Tabel 35. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat
94
akses terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan praktis gender. Hal ini berarti bahwa baik akses yang tinggi (78 persen) maupun rendah (71,4) terhadap program, kebutuhan praktis responden telah terpenuhi, terutama dalam hal pemilikan
modal
menggambarkan
untuk hubungan
perkembangan pengembalian
usaha.
Sedangkan
pinjaman
dengan
tabel
yang
pemenuhan
kebutuhan praktis tersaji dalam Tabel 36. Tabel 36. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Praktis Tingkat Pengembalian Pinjaman (%) Jumlah (%) Macet Lancar Tidak Terpenuhi 1 10 11 (10) (26,3) (22,9) Terpenuhi 9 28 37 (90) (73,7) (77,1) Total (%) 10 38 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer 2010
Dengan menggunakan Tabel 36 dan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kontrol responden dengan pengembalian pinjaman. Hal ini berarti bahwa baik responden yang lancar (73,7 persen) maupun macet (90 persen) dalam mengembalikan pinjaman, pemenuhan kebutuhan praktisnya telah terpenuhi. Terpenuhinya kebutuhan praktis responden yang macet berkaitan dengan selang waktu menunggak cicilan yang tidak terlalu lama, yakni berkisar antara satu sampai tiga bulan, sehingga respnden yang pernah macet tetap dapat terpenuhi kebutuhan praktisnya. Dari beberapa tabel hubungan yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemenuhan kebutuhan praktis tidak memiliki hubungan dengan faktor-faktor yang terkait dengan program seperti besar pinjaman, akses terhadap program, serta pengembalian pinjaman. Terpenuhinya kebutuhan praktis gender berkaitan dengan terjadi perubahan atau perbaikan kualitas hidup responden seperti makan, kesehatan, dan pendidikan. Baik responden yang memiliki akses tinggi maupun rendah, kebutuhan praktisnya telah terpenuhi. Sama halnya dengan pengembalian pinjaman, baik responden yang macet maupun yang lancar, kebutuhan praktisnya telah terpenuhi.
95
Kebutuhan strategis gender merujuk pada kontrol perempuan dalam rumah tangga dan berkaitan dengan perkembangan usaha, sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidak berbeda dengan melihat hubungan kebutuhan praktis dengan faktor-faktor yang terkait dengan program, keberhasilan program dilihat melalui hubungan besar pinjaman, akses dan kontrol terhadap program, serta pengembalian pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender responden. Berikut ini adalah tabel besar pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender responden. Tabel 37. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Strategis Kecil Besar Tetap 15 2 17 (33,3) (66,7) (35,4) Kurang Berubah 30 1 31 (66,7) (33,3) (64,6) Sangat Berubah 0 0 0 (0) (0) (0) Total (%) 45 3 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer 2010
Merujuk pada angka-angka dalam Tabel 37. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat besar pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Hal ini berarti bahwa walaupun pinjaman besar sebagian responden (66,7 persen) merasa tidak terjadi perubahan status dalam rumah tangga mereka. Berbeda dengan respnden yang mendapatkan pinjaman kecil (66,7 persen), telah terpenuhi kebutuhan strategis mereka walaupun sangat sedikit perubahan tersebut terjadi.begitupula dengan responden yang telah mendapatkan pinjaman lebih besar. Demikian juga dengan hubungan akses terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender yang tersaji dalam Tabel 38. berikut.
96
Tabel 38. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Tingkat Akses Terhadap Program (%) Jumlah (%) Strategis Rendah Tinggi Tetap 3 14 17 (42,9) (34,2) (35,4) Kurang Berubah 4 27 31 (57,1) (65,9) (64,6) Sangat Berubah 0 0 0 (0) (0) (0) Total (%) 7 41 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer 2010
Berdasarkan Tabel 38 dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat akses responden terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan strategis responden. Hal ini berarti bahwa akses responden terhadap program yang tinggi (65,9 persen) tidak menjamin terjadi perubahan status perempuan dalam rumah tangganya. Akses perempuan terhadap program dapat dikatakan cukup tinggi di dalam program, namun kontrol perempuan dalam rumah tangga, perkembangan usaha dan pengelolaan pinjaman tetap tidak ada, karena laki-laki masih tetap menjadi pengambil keputusan yang utama dalam keluarga. Selain faktor akses perempuan, dilihat pula pada pengembalian pinjaman dalam memenuhi kebutuhan strategis gender. Hubungan pengembalian pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 39. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Tingkat Pengembalian Pinjaman (%) Jumlah (%) Strategis Macet Lancar Tetap 5 12 17 (50) (31,6) (35,4) Kurang Berubah 5 26 31 (50) (68,4) (64,6) Sangat Berubah 0 0 0 (0) (0) (0) Total (%) 10 38 48 (100) (100) (100) Sumber: Data Primer 2010
97
Merujuk pada Tabel 39. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengembalian pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Artinya, pengembalian pinjaman yang lancar belum menjamin terjadinya perubahan kedudukan perempuan dalam rumah tangganya. Perempuan mampu untuk mengembalikan pinjaman dengan lancar, namun yang menentukan besarnya dana dan waktu mengembalikan pinjaman, masih didominasi oleh laki-laki. Dari data di atas terlihat bahwa program belum berhasil memberdayakan perempuan, terbukti dari pemenuhan kebutuhan strategis yang tidak berubah setelah mengikuti program. Lancarnya pengembalian pinjaman yang selalu disebut-sebut oleh UPK dan BKM sebagai indikator keberhasilan program, ternyata tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan anggota. Kesejahteraan dilihat berdasarkan analisis gender yakni terpenuhinya kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Setelah mengikuti program, mayoritas responden merasa bahwa kebutuhan praktis mereka telah terpenuhi, terutama yang berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup dan perkembangan usaha yang dimiliki. Sedangkan pemenuhan
kebutuhan
strategis
yang
menjadi
tujuan
program
yakni
memberdayakan perempuan, jelas sama sekali tidak tercapai. Hal ini ditunjukkan dari tidak terjadi perubahan status perempuan baik sebelum mengikuti program maupun setelah mengikuti program. Sejatinya,
memberdayakan
perempuan
tidak
dilihat
hanya
dari
memberikan bantuan dana, tetapi lebih pada bantuan dana tersebut menjadikan perempuan mampu mengambil keputusannya sendiri dalam rumah tangga dan perkembangan usahanya. Walaupun perempuan mampu mengembalikan dana pinjaman dengan lancar, belum menunjukkan perempuan berdaya terhadap pengambilan keputusan terhadap keuangan keluarga. Terbukti pada subbab sebelumnya bahwa laki-laki masih mendominasi pengaturan keuangan keluarga. Berbeda halnya dengan pengembalian pinjaman dengan nominal yang kecil, mungkin perempuan tidak terlalu membutuhkan persetujuan dari laki-laki. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Program PNPM-P2KP belum berhasil dalam memberdayakan perempuan.