BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kebutuhan masyarakat akan kendaraan bermotor saat ini mudah diperoleh dengan cara leasing. Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala, namun, seringkali terjadi sengketa leasing yang melibatkan lessor dan lessee itu sendiri dalam pemenuhan prestasi salah satu pihak kepada pihak lainnya sesuai dengan perjanjian pembiayaan yang ditandatangani, contohnya wanprestasi yang dilakukan lessee dengan tidak membayar angsuran tepat waktu kepada lessor yang mengakibatkan lessor mengalami kerugian dan lessor menarik kembali kendaraan bermotor tersebut dari tangan lessee untuk dilelang dan menutupi kerugian yang diderita oleh lessor. Prinsip dasar penyelesaian sengketa konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menghendaki penyelesaian sengketa di luar pengadilan terlebih dahulu diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak secara damai, yaitu tanpa melalui pengadilan maupun lembaga BPSK. Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan, yaitu dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
99
penilaian ahli dengan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan hanyalah BPSK. Proses Penyelesaian Sengketa Sita Obyek Lease yang dilaporkan ke BPSK Prov. DKI Jakarta oleh Y terhadap PT.X dan PT.Z ditempuh melalui jalan mediasi BPSK. Mediator dalam sidang mediasi menyarankan untuk para pihak menyelesaikan sengketa tersebut dengan cara Arbitrase, Y bersedia namun PT.X tidak bersedia memilih dengan cara Arbitrase sehingga kasus Nomor Register 054/REG/BPSK-DKI/VI/2014
tertanggal
18
Juni
2014
dinyatakan
ditutup
penanganannya di BPSK Prov. DKI Jakarta karena tidak ditemukan win-win solution diantara kedua belah pihak. 2. Dalam proses penyelesaian sengketa tersebut masih menemukan kendala-kendala untuk mencapai kesepakatan diantara kedua belah pihak. Kendala-kendala tersebut berasal dari Y,PT.X, PT.Z, dan BPSK Prov. DKI Jakarta itu sendiri. Y sebagai pihak pelapor meminta ganti kerugian sebesar Rp 159.685.425 atas kerugian sita obyek lease yang telah dilakukan oleh PT.X selaku Lessor. PT.X tidak mau memberikan ganti kerugian kepada Y karena Y melakukan wanprestasi dan obyek lease tersebut akan dilelang untuk mengganti kerugian PT.X. Selain itu, terdapat klausul baku yang dibuat oleh PT.X diawal perjanjian pembiayaan tersebut dimana apabila terjadi sengketa diantara keduanya akan diselesaikan melalui Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bukan melalui BPSK Prov. DKI Jakarta. Kendala dari pelaku usaha yang enggan mau menyelesaikan sengketa melalui Mediasi dikarenakan waktu sidang yang cukup lama (6 bulan) menjadi kendala tersendiri bagi BPSK Prov.DKI Jakarta sebagai pihak ketiga atau penengah dalam kasus tersebut. Kendala Kelembagaan/Institusional, Kendala Pendanaan, Kendala Sumber Daya Manusia BPSK, Kendala Peraturan,
100
Kendala Pembinaan dan Pengawasan, Serta tidak adanya koordinasi aparat penanggung jawabnya, Kurangnya Sosialisasi dan Rendahnya Tingkat Kesadaran Hukum Konsumen, Kurangnya Respons dan Pemahaman dari Badan Peradilan Terhadap Kebijakan Perlindungan Konsumen, Kurangnya Respons Masyarakat Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Lembaga BPSK menjadi kendala tambahan bagi BPSK dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen.
B. Saran 1. Dalam suatu perjanjian, hendaknya terlebih dahulu diatur klausula mengenai Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase dikarenakan penyelesaian diluar pengadilan ini lebih mengedepankan kesepakatan para pihak dalam mencari win-win solution bagi para pihak, jangka waktu sidang yang tidak terlalu lama dibandingkan dengan sidang melalui pengadilan, biaya yang lebih murah dan kebebasan para pihak menentukan arbiter masing-masing sehingga penyelesaian sengketa tidak harus kaku dan diharapkan dapat menemukan penyelesaian secara damai. Komitmen dari lessor dan lessee juga diperlukan dalam pembuatan perjanjian tersebut agar penyelesaian sengketa yang akan ditempuh oleh para pihak dapat ditempuh melalui penyelesaian sengketa diluar pengadilan, seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Apabila jalur diluar pengadilan tidak menemui keputusan terbaik bagi para pihak atau win-win solution, maka jalur pengadilan dapat ditempuh mengingat waktu persidangan yang cukup lama dan biaya yang tidak murah yang harus dibayar oleh para pihak guna
101
mencapai keputusan final dan mengikat, namun keputusan pengadilan tidak akan menemukan win-win solution bagi para pihak karena hanya akan memenangkan salah satu pihak yang bersengketa. Dalam proses penyelesaian sengketa secara mediasi, hakim dapat difungsikan menjadi mediator untuk mengefektifkan mediasi di setiap pengadilan agar perkara-perkara pada tingkat pertama tidak dilakukan upaya banding. Selain itu, mediator non-hakim diwajibkan bersertifikat mediator. Para pengacara juga harus melakukan upaya mediasi sebelum perkaranya didaftarkan di pengadilan menjadi upaya bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi secara damai diluar pengadilan. 2. Peran serta dari Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah diperlukan dalam melakukan sosialisasi kepada Pelaku Usaha / lessor mengenai pembuatan standard perjanjian pembiayaan dalam hal penyelesaian perselisihan dapat dilakukan terlebih dahulu melalui Arbitrase, apabila tidak ditemukan kesepakatan / win-win solution dalam penyelesaian tersebut dapat ditempuh melalui penyelesaian perselisihan di Pengadilan Negeri yang ditunjuk. Sosialisasi kepada masyarakat di seluruh wilayah NKRI juga diperlukan agar masyarakat dapat mengetahui fungsi dan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan pembangunan tempat-tempat penyelesaian sengketa untuk melakukan mediasi / sidang arbitrase di seluruh wilayah NKRI sehingga memberi pilihan hukum bagi Pelaku Usaha / lessor dan Konsumen / lessee dalam upaya penyelesaian sengketa terbaik bagi para pihak yang bersengketa. Perbaikan sistem kerja dan aturan BPSK juga diperlukan agar masyarakat dapat mengetahui dengan jelas kewenangan yang dapat dilakukan BPSK untuk menyelesaikan sengketa
102
konsumen, khususnya sengketa leasing. Dengan demikian kendala-kendala yang terjadi dalam upaya penyelesaian sengketa yang terjadi antara lessor dan lessee dapat dikurangi atau diatasi dengan baik.