Bab Lima
Sawinggrai Sebagai Daerah Tujuan Wisata Alam Pendahuluan Kampung Sawinggrai merupakan salah satu kampung yang terdapat di pulau Gam Distrik Meosmansar. Kampung ini secara topografi merupakan dataran pulau yang mempunyai bentuk pantai landai dengan ketinggian dari pemukaan air berkisar antara 1,5-2 meter. Secara geografi Kampung Sawinggrai berbatasan dengan Kampung Kabui di bagian utara, bagian selatan dengan Kampung Yenbekwan, bagian barat berbatasan langsung dengan Kampung Kapisawar, dan bagian timur berbatasan dengan Kampung Yenwaupnor. Seperti halnya kampung lainnya, Kampung Sawinggrai dikelilingi oleh dangkalan yang ditumbuhi oleh berbagai ekosistem pesisir seperti terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove. Selanjutnya, dari segi aksesibilitas, dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit dengan menggunakan speedboad atau perahu motor tempel 25 PK dari Kampung Arborek, dan kurang lebih 20 menit dari ibu kota Distrik Meosmansar (Yenbekwan) sedangkan dari ibu kota Kabupaten Raja Ampat (Waisai) bisa ditempuh dengan alat transportasi yang sama dengan waktu kurang lebih 45 menit atau 5 jam perjalanan dari Kota Sorong. Kampung Sawinggrai dipilih menjadi topik penelitian ini, karena Sawinggrai mempunyai daya tarik tersendiri dibandingkan kampung-kampung wisata yang ditetapkan sebagai desa wisata di Raja Ampat. Keunikan itu dijumpai dalam potensi wisata alam hutan yang menakjubkan. Di sini wisatawan dapat secara langsung menikmati keindahan atau melihat panorama burung cenderawasih (bird watching) bermain atau menari. Selain atraksi tersebut, di kawasan hutan Kampung Sawinggrai bisa juga dilakukan kegiatankegiatan konservasi lainnya seperti kegiatan petualangan (adventure) menelusuri belantara hutan sampai ke arah utara menuju kawasan Teluk Kabui. Berdasarkan kondisi dan daya dukung Kampung Sawinggrai sebagai salah kampung wisata (village tourist), maka pada bab ini 95
peneliti akan memaparkan gambaran serta bentuk pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai. Selain itu, akan dibahas juga aktivitas dan peran serta masyarakat dalam kegiatan pariwisata serta kendala dan konflik-konflik yang ditimbulkan akibat pengembangan pariwisata itu sendiri. Pada bagian akhir dari bab ini akan dijabarkan bagaimana keterlibatan masyarakat lokal dalam menjaga lingkungan dalam rangka mendukung aktivitas pariwisata.
Sejarah Kampung Berdasarkan profil kampung1 yang dihimpun dari Coremap, tidak jelas apa arti kata Sawinggrai. Namun beberapa orang menyebutkan bahwa nama kampung Sawingrai berasal dari bahasa Biak yaitu nama buah (semacam buah lemon / jeruk). Sementara dari penuturan Yonadap Dimara (Kepala Kampung) bahwa Kampung Sawingrai dulunya adalah Sauikrai yang artinya pelabuhan kandas. Jika hal ini dikaitkan dengan bentuk pantainya yang sangat sulit dilabuhi apalagi ketika terjadi surut (meti). Konon karena kondisi terumbu karang dan ikan yang melimpah, maka mereka enggan untuk meninggalkan tempat tersebut sampai sekarang. Penduduk Kampung Sawinggrai berjumlah 178 jiwa (2010)2 dalam 24 kepala keluarga yang dibagi berdasarkan kelompok umur sebagai berikut: anak-anak (0 – 12 tahun) sebanyak 67 orang (33 laki-laki dan 31 perempuan), remaja (13 – 18 tahun) sebanyak 22 orang (10 laki-laki dan 12 perempuan), dewasa (19 – 55 tahun) sebanyak 86 orang (46 laki-laki dan 40 perempuan) dan Manula (56 tahun keatas) sebanyak 7 orang (5 laki-laki dan 2 perempuan). Perkembangan jumlah penduduk sangat kecil dari tahun ke tahun (statis) karena sebagian penduduk keluar dari kampung untuk berbagai kegiatan seperti kuliah, mencari pekerjaan yang layak dan mengikuti keluarga yang ada di tempat lain serta menikah.
1 2
96
Data Coremap : 2009 “Profil Kampung Sawinggrai” Hal 1. Data Coremap : 2009 “ Profil Kampung Sawinggrai ” Hal 1-2.
Gambar 11. Saat senja di Sawinggrai.
Daya tarik Wisata di Kampung Sawinggrai Sama halnya dengan daerah-daerah lain di gugusan pulau Gam, kampung Sawinggrai juga mengandalkan aktivitas bahari sebagai obyek wisata utama. Kegiatan bahari menjadi salah satu aktivitas utama di kampung ini, mengingat hampir 2/3 daerahnya dikelilingi oleh laut. Dengan demikian, aktivitas yang dijalankan selaras dengan slogan dari kabupaten ini, yaitu Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten bahari. Terlepas dari keunikannya sebagai kabupaten bahari, Kampung Sawinggrai juga sangat terkenal karena dikaruniai Tuhan dengan keindahan burung Cenderawasihnya (Bird of Paradise). Keberadaan burung Cenderawasih ini dapat diamati di hutan yang tak jauh dari perkampungan masyarakat menetap. Di Kabupaten Raja Ampat, untuk menikmati objek wisata minat khusus ini hanya bisa dijumpai di Kampung Sawinggrai dan Kampung Yenwaupnor. Yang membuat Kampung Sawinggrai berbeda dan melebihi Kampung Yenwaupnor adalah jarak tempuh ke lokasi pemantauan atau gardu pandang burung Cenderawasih ini tidak terlalu jauh dari perkampungan karena hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 10 sampai 20 menit perjalanan. Selain itu, sementara berjalan, wisatawan dapat menikmati indahnya areal hutan yang masih terjaga keasliannya. Untuk menikmati keindahan burung Cenderawasih bermain, waktu yang paling tepat adalah pada pagi hari pukul 05.00 WIT 97
(waktu Indonesia bagian Timur), dan sore hari jam 16.00 WIT karena pada jam-jam tersebut burung Cenderawasih terbang keluar dari belantara hutan untuk mencari makan atau bertemu dengan sekumpulan burung Cenderawasih lainnya sambil menari atau bermain dengan menunjukkan keindahan warna bulu dan antenanya. Untuk menarik perhatian lawan jenisnya, seringkali mereka mengeluarkan suara yang khas dan merdu sambil menari di pohon besar yang menjadi spot atau “terminal transit”. Ketika fajar terbit di ufuk timur, sekelompok burung-burung ini keluar dan berkumpul di pohon besar yang berada di belakang kampung. Ketika hari semakin siang, burung-burung Cenderawasih tersebut terbang kembali ke dalam hutan. Para wisatawan yang hendak datang ke kampung untuk melihat Burung Cenderawasih di luar jam tersebut tidak akan menjumpainya.
Gambar 12. Pohon untuk bird watching Cendrawasih
98
Bapak Yesaya Mayor - Inisiator Pelestarian Lingkungan Kampung Sawinggrai Sebelum menjadi kampung wisata, kampung Sawinggrai hanya sebuah kampung kecil yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Awal mula berkembangnya Kampung Sawinggrai sebagai kampung wisata (village tourist) tidak bisa dilepaskan dari peran Bapak Yesaya Mayor, salah satu penduduk Kampung Sawinggrai yang mempunyai perhatian besar pada pelestarian lingkungan.
Gambar 13. Peneliti bersama narasumber Bapak Yesaya Mayor.
Karier Pak Yesaya sebagai pemerhati lingkungan sudah dimulai sejak Pak Yesaya bekerja sebagai salah satu staff LSM CII Raja Ampat. sejak tahun 2006. Saat ini Pak Yesaya Mayor diberikan tanggung jawab sebagai koordinator salah satu pos pengamatan dan pengamanan KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) Selat Dampir di kampung Warbeki, serta rumahnya di Kampung Sawinggrai dibangun sebuah pondok informasi CII. Barangkali dari keterlibatannya di LSM lingkungan hidup membuat bapak Yesaya pada tahun 2007 dengan inisiatifnya sendiri dan berbekal insting sebagai salah satu pelaku pencinta alam, bapak Yesaya membuat tanaman di hutan tempat dimana dia selalu melakukan aktivitas 99
berkebun, untuk dijadikan sebagai lokasi taman hutan dan lokasi untuk melihat burung Cenderawasih bermain. Sebelum Pak Yesaya menanami kembali bukit di belakang kampung, lahan yang berbentuk bukit ini hanya ditumbuhi rumput semak belukar. Setelah ditanami kembali sekarang lokasi hutan di belakang kampung berubah menjadi taman hutan dengan beberapa koleksi tanaman anggrek, dan tanaman yang ditata rapi dengan rute jalan yang baik, sehingga wisatawan dapat melalui kawasan hutan pada saat pergi (datang) melihat burung Cenderawasih, dan ketika pulang melalui taman-taman hutan yang sudah dipersiapkan oleh bapak Yesaya. Ide ini awalnya mendapat tantangan dari keluarga dan masyarakat Kampung Sawinggrai, walaupun kemudian mereka mendukung setelah mengetahui hasilnya, seperti dituturkan oleh Pak Yesaya dalam wawancara yang saya kutip di bawah ini: “Awal tahun 2007, saya suka berburu dihutan, kemudian saya melihat di kampung saya banyak dijumpai atau dikunjungi burung Cenderawasih. Melihat hal itu, kemudian saya inisiatif mengamati melihat dan mencatat waktuwaktu tertentu burung-burung Cenderawasih bermain /menari-nari di pohon-pohon dibelakang atau di lokasi kebun saya. Akhirnya dengan ide awal setiap hari saya ke kehutan untuk berkebun, tetapi juga sambil menata taman di hutan dengan membuat pondok pemantauan untuk melihat burung Cenderawasih. Pada waktu ide ini saya buat di hutan masyarakat dong tara (mereka tidak) tahu. Istri sayapun menganggap saya sebagai “orang gila” dan tidak setuju saya laksanakan kegiatan itu. Menurut istri saya lebe (lebih) baik saya berkebun dan menghasilkan tanaman yang dapat menghasilkan hasil. Namun karena ide itu sudah saya inginkan untuk dilakukan, maka tidak satupun yang boleh melarang saya, termasuk istri saya sekalipun. Kemudian selama dua minggu, saya setiap paginya ke hutan. Semua masyarakat dorang (mereka) di dikampung, bahkan istri saya tarada (tidak ada) yang tahu kalau selama dua minggu itu, saya alasan berkebun, padahal saya ke hutan, sambil membuat pondok-pondok pengamatan dan jalan-jalan setapak untuk mencapai lokasi tempat pemantauan. Akhirnya istri saya tahu juga bahwa rupanya saya kehutan bukan berkebun melainkan membuat taman-taman dan pondok-pondok pengamatan burung Cenderawasih menari. Istri saya sangat keberatan. Tetapi saya memberi pemahaman bahwa apa yang saya buat ini, pasti akan mendapatkan hasil. Istri saya mengerti, tetapi kemudian di keberatan lagi. Saya bingung bagaimana caranya supaya
100
saya dapat meyakinkan istri saya ini. Kemudian satu minggu setelah saya menyiapkan lokasi pemantauan burung cenderawasih menari di hutan, tanpa diduga kampung kami dikunjungi oleh para wisatawan asing dari negara Prancis. Para wisatawan ini, awalnya saya ajak ke rumah saya untuk melihat pahatan atau kerajinan tangan yang saya buat. Kemudian tanpa ragu dan dengan langkah pasti saya sampaikan pada wisatawan Perancis tersebut, bahwa di kampung ini juga ada lokasi (di hutan) yang bisa secara langsung melihat burung-burung Cenderawasih menari-nari di atas pepohonan. Akhirnya saya ajak para wisatawan ini untuk ke hutan. Mereka sangat terkejut dan kagum dengan keindahan burung Cenderawasih ini. Ketika mereka mau pulang, mereka menayakan berapa yang harus mereka bayar untuk melihat atraksi burung Cenderawasih. Saya sempat bingung, karena saya tidak menyangka secepat ini lokasi pemantauan burung dikunjungi wisatawan. Saya sempat ragu apakah harus memberi tarif 100 ribu per kepala atau berapa. Akhirnya untuk tarif awal saya memberi harga 50.000 ribu perkepala. Puji Tuhan kunjungan awal para WNA sebanyak 8 orang, bisa menghasilkan uang Rp. 400.000,- dalan 1 jam pengamatan. Dan uang tersebut diserahkan kepada istri saya yang kebetulan ada bersamasama dengan saya di lokasi tersebut. Setelah istri saya menerima uang tersebut saya sampaikan bahwa ini baru awal dari usaha yang saya bangun. Kemudian istri saya percaya dan mulai mendukung usaha yang telah saya bangun. Berangkat dari hal tersebut kemudian lokasi ini ramai di kunjungi para wisatawan dan para peneliti dan pecinta lingkungan hidup”.
Berita tentang keunikan kampung Sawinggrai ini kemudian tersebar di antara wisatawan-wisatawan dan tour operator. Para operator wisata memanfaatkan daya tarik ini sebagai tambahan dalam paket wisata, selain kegiatan menyelam (diving dan snorkeling) bagi para tamu (wisatawan) mereka. Sementara itu dengan semakin banyaknya wisatawan yang masuk ke Kampung Sawinggrai, Pak Yesaya membangun homestay pada tahun 2008. Sebuah dermaga kayu berjarak kurang lebih 50-70 meter dari daratan (pantai) menghubungkan daratan dan ujung tepian laut dimana ambang batas kapal atau speedboat ukuran besar dapat berlabuh dalam keadaan air surut (meti)3 juga dibangun. Homestay 3
Dalam penjelasan awal telah dijelaskan bagaimana kondisi kampung Sawinggrai, dimana ketika terjadi air surut (meti), maka perahu agak kesulitan untuk sampai kedaratan atau sebaliknya. untuk itu, di kampung Sawinggrai
101
juga dilengkapi dengan ruang tamu atau sebuah honai4, yang dibangun sebagai pusat informasi KKLD Selat Dampir. Dalam berbagai informasi yang peneliti dapati, pembiayaan untuk membangun dermaga dan pos informasi diperoleh dari bantuan LSM CII. Untuk kepentingan MCK (mandi cuci dan kakus) bagi para tamu, bapak Yesaya menbangun sebuah MCK – dilengkapi dengan ketersediaan air yang memadai – di daratan atau kurang lebih 100 meter dari homestay. Bapak Yesaya juga memiliki speedboat yang digunakan untuk mengantar dan menjemput tamunya, tetapi juga digunakan dalam kegiatannya sebagai aktivis pecinta alam (LSM CII). Speedboat ini merupakan hasil rekayasa bodi perahu yang dibelinya dalam keadaan rusak kemudian diperbaiki (modifikasi) di Sorong. Seorang warga negara asing di Bali memberikan bantuan sebuah motor johnson 40 PK, untuk menambah sebuah motor laut yang sebelumnya telah dimilikinya.
Gambar 14. Bapak Yesaya sedang memberi makan ikan.
4
102
telah dibangun sebuah dermaga kayu oleh pemerintah daerah. dermaga ini digunakan secara umum di kampung Sawinggrai. Sedangkan dermaga miliknya bapak Yesaya hanya diperuntukkan bagi usahanya, dan kegiatankegiatan LSM. Honai, itu sebuah istilah yang diperuntukan dalam menamai rumah adat orang Papua –khususnya istilah ini digunakan oleh masyarakat Papua yang berada di daerah pergunungan tengah -, yang terbuat dari bahan-bahan alam. Seperti kayu, rotan dan atapnya terbuat dari sejenis rumput-rumputan atau dari daun tikar, atau daun kelapa dan daun nira.
Sebagai tambahan daya tarik, ada lokasi memberi makan ikan secara langsung dengan tangan (feeding fish) yang tidak jauh dari kediamannya. Atraksi ini, merupakan sebuah kegiatan wajib yang seringkali dilakukan oleh pengunjung yang datang ke kampung Sawinggrai. Atraksi ini sangat sederhana. berbekal roti dan biskuit, atau adonan tepung yang disiapkan oleh Ibu Mayor, pengunjung sudah dapat dengan sendiri memberikan makan ikan langsung dari tangan pengunjung. Yang menjadi menarik disini adalah koleksi ikan atau jenis ikan yang berkumpul ketika diberi makan beranekaragam dan berukuran kecil sampai dengan ukuran yang besar. Pengunjung akan dimanjakan dengan berbagai macam jenis ikan dengan keindahannya yang mempesona, datang dengan sendirinya mengambil makanan yang diberikan oleh para pengunjung. Keberadaan ikan-ikan ini seolah-olah dipelihara oleh bapak Yesaya. Mengingat keberadaan mereka berada di laut lepas, namun ketika diberi makan, kerumunan ikan-ikan tersebut, akan dengan cepat bisa berada di perairan dekat dermaganya bapak Yesaya. Atraksi ini, menjadi salah satu daya tarik tersendiri yang dimiliki kampung Sawinggrai.
Gambar 15. Taman Hutan di belakang Kampung Sawinggrai
103
Selain aktivitasnya sebagai salah satu tokoh penggerak pariwisata di Raja Ampat, bapak Yesaya juga banyak dikenal khalayak umum, karena kemampuannya sebagai seniman. Itu bisa terlihat dari berbagai hasil seni yang dibuatnya. Misalnya, di rumahnya atau di lokasi homestay bisa dijumpai berbagai kerajinan tangan yang terbuat dari bahan-bahan alami, seperti kerajinan dari kulit kerang yang sudah mati, diolahnya menjadi kerajinan tangan yang indah. Ada juga kemampuannya mengelola limbah-limbah akar kayu dan pepohonan yang sudah tua untuk dijadikan sebagai hiasan rumah dan hiasan-hiasan lainnya benilai ekonomi tinggi. Ketrampilannya sebagai pelukis dan seniman seni ukir, nampak sekali terlihat dari berbagai lukisan dan ukir-ukiran yang berada di rumahnya dan di homestay. Yang paling menonjol dari kecintaannya terhadap seni, bisa dilihat dari arsitektur rumah dan homestaynya. pemilihan bahan dan jenis kayu untuk dijadikan sebagai bahan pembuat rumah dan homestay, menunjukkan bagaimana karakter sejati bapak Yesaya sebagai seorang pecinta seni. Belum lagi kepiawaiannya dalam bernyanyi, - menyanyikan lagu-lagu tradisonal -, serta berperan sebagai pelatih serta pembina grup tari di kampung Sawinggrai. Setelah dua tahun mengupayakan perkembangan pariwisata di kampung Sawinggrai sendiri, pada akhirnya pemerintah kabupaten menetapkan Kampung Sawinggrai sebagai salah satu kampung wisata di Raja Ampat5. Kampung Sawinggrai ditetapkan sebagai kampung wisata di Raja Ampat, yaitu pada bulan Januari 2009. Penetapannya dilakukan di kampung Sawandarek, bersamaan dengan kampung Yenbuba. Dengan ditetapkannya kampung Sawinggrai dan Yenbuba sebagai kampung wisata, maka saat ini, di distrik Meosmansar telah terdapat lima kampung wisata. Sebelumnya pada tahun 2008, telah ditetapkan tiga kampung, yaitu kampung Yenwaupnour, kampung Sawindarek dan kampung Arborek. 5
Penetapan kampung wisata di Kabupaten Raja Ampat awalnya hanya terdiri atas tiga kampung yaitu, Kampung Yenwaupnour, Kampung Arborek dan Kampung Sawandarek. Dalam perjalanan waktu dengan perkembangan pariwisata di Kabupaten Raja Ampat, maka pada tahun berikutnya, pemerintah kabupaten Raja Ampat menetapkan dua kampung lagi sebagai kampung wisata. Dua kampung itu adalah Kampung Sawinggrai dan Kampung Yenbuba. Kelima kampung wisata ini, terletak di Distrik Meos Mansar, Kabupaten Raja Ampat.
104
Pariwisata dan Perkembangan Ekonomi Masyarakat Lokal di Sawinggrai Pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai perlahan tapi pasti mengalami peningkatan. Hal itu bisa terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan yang ke kampung. Dari buku tamu yang dimiliki oleh Bapak Yesaya terlihat bahwa hampir setiap saat Kampung Sawinggrai dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik yang ingin melihat keindahan Burung Cenderawasih. Menurut penuturan Bapak Yesaya, kunjungan wisatawan ke Kampung Sawinggrai dalam setiap bulannya bisa mencapai 20 sampai 50 orang yang didominasi wisatawan asing6. Pengalaman peneliti, juga menyaksikan hampir setiap hari (pagi dan sore) pelabuhan kayu yang dibuat Bapak Yesaya sering dikunjungi oleh para wisatawan yang diantar oleh para operator wisata untuk menemui Bapak Yesaya kemudian diantarkan ke hutan melihat burung Cenderawasih. Biasanya para wisatawan yang datang ke kampung diantar oleh operator-operator wisata yang ada di Raja Ampat atau dijemput sendiri oleh para pelaku usaha wisata di Kampung Sawinggrai7. Dampak dari aktivitas kunjungan wisatawan ke kampung secara tidak langsung memberikan efek pendapatan tambahan (income added effect) masyarakat yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan dan petani. Kegiatan pariwisata secara tidak langsung memudahkan masyarakat untuk memperoleh pendapatan secara cepat dan langsung tanpa harus menunggu pendapatan dari kegiatan pertanian dan hasil kegiatan melaut. Contoh dampak positif ini adalah imbalan jasa yang diterima dari aktivitas membantu para pelaku usaha disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan 6
7
Hasil wawancara dengan Bapak Yesaya Mayor pada tanggal 29 Agustus 2011 di kediamannya di Kampung Sawinggrai. Para pelaku usaha pariwisata di Kampung Sawinggrai merupakan masyarakat asli (lokal) yang dengan bantuan pemerintah daerah maupun berinisiatif sendir membuat usaha homestay. Motif atau strategi hampir semua para pelaku usaha homestay di Raja Ampat adalah dengan mempromosikan homestay di website dan bekerjasama dengan dinas pariwisata. Sebagai contoh ketika ada tamu yang hendak berkunjung ke homestay mereka, para wisatawan tersebut akan dijemput di ibukota kabupaten (Waisai) dan selanjutnya akan diantar ke kampung dan melakukan aktivitas parwisata sesuai dengan paket promosi wisata yang dimuat di websaite.
105
atau dikerjakan. Untuk operator motor tempel dan sebagai guide tour dibayar Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- ribu rupiah disesuaikan dengan paket perjalanan wisatawan selama tinggal di homestay tersebut. Untuk ibu-ibu biasanya upah yang diterima disesuaikan dengan jumlah kunjungan wisatawan ke homestay. Contoh lain dapat dilihat dari pernyataan berikut yang merupakan pengakuan yang disampaikan oleh Bapak Paulus Sauyai8 “Setelah terbentuknya kabupaten Raja Ampat, secara umum dampak pariwisata terhadap pendapatan asli daerah semakin meningkat. Selain itu pendapatan masyarakat juga mengalami peningkatan. Saya kasih contoh sebelum terbentuknya kabupaten baru (Kab Raja Ampat), mau cari uang 50 ribu setiap hari saja susah. Sekarang sudah lebih mudah. misalnya sekarang kalau ada turis / wisatawan masuk di kampung sudah ada pemasukan walaupun sedikit”
Pernyataan di atas sekilas menunjukkan bahwa ada pengaruh positif di balik pengembangan pariwisata di Kabupaten Raja Ampat. Selain itu, informasi di atas juga menjelaskan bahwa ada pengaruh positif dari pemekaran kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten definitif di Provinsi Papua Barat. Berikut ini akan digambarkan beberapa aktivitas masyarakat dalam kegiatan pariwisata. Kegiatan-kegiatan itu termasuk pengelolaan homestay oleh masyarakat lokal. Selain itu, beberapa pemuda dengan kemampuan bahasa asing (bahasa Inggris) dilibatkan sebagai tour guide lokal, serta ada juga kelompok ibu-ibu yang membuat berbagai jenis kerajinan tangan (handicraft), dan kegiatankegiatan seni dan budaya seperti seni ukir dan tari-tarian, yang biasanya dilakukan untuk menyambut kedatangan tamu ke kampung atau mewakili (sebagai duta) kampung dalam penyelenggaraan festival-festival budaya di Waisai atau di luar Raja Ampat. Untuk usaha homestay yang dilakukan oleh masyarakat di Kampung Sawinggrai terdapat 2 homestay yang dikelola oleh Bapak Yesaya 8
Hasil wawancara dengan Bapak Paulus Sawiyai (usia 39 tahun) pada tanggal 7 September 2011 di Kota Waisai. Paulus Sawiyai merupakan salah satu putra daerah lokal di Kampung Sawinggrai, yang berperan sebagai salah satu pengerak usaha wisata di kampungnya. Berbekal pengalaman kerja dengan Mr. Max Ammer dan bapak Yesaya Mayor, Paulus Sawiyai akhirnya mengambil keputusan untuk terjun dalam kegiatan pariwisata di kampungnya dengan membangun homestay dan berperan sebagai local tour guide.
106
dan Bapak Paulus Sauyai serta satu buah homestay milik saudara Mettu Dimara yang sementara masih dalam proses pembangunan. Berikut ini informasi yang disampaikan oleh bapak Brets Siori mengenai aktivitas masyarakat lokal dalam pariwisata di Kampung Sawinggrai :9 Di Kampung Sawanggrai, yang saya amati, terlibat secara aktif dalam kegiatan pariwisata antara lain : Pa Yesaya, Sdr. Metu Dimara, Sdr. Paulus Saweyai. Mereka ini yang memiliki homestay dan sering terlibat kalau ada kunjungan wisatawan ke kampung.
Dari informasi yang diperoleh dari para informan, awal ketertarikan para pelaku usaha wisata untuk mengembangkan usaha homestay di kampungnya berangkat dari berbagai macam alasan. Berikut ini alasan pendirian homestay yang dikemukakan oleh Bapak Paulus Sauyai.10 “Proses awalnya saya terlibat dalam pengelolaan homestay dimulai ketika saya bekerja di PT. Papua Diving. Saya termotivasi dan terpancing ingin membuktikan sesuatu kepada Pa Max ( Pa Max yang dimaksud adalah seorang warga negara Belanda yang merupakan pioner utama dan pertama dalam mempromosikan keunikan Raja Ampat ke Dunia Internasional. Pa Max, adalah pemilik PT Papua Diving), bahwa sebagai orang Papua saya juga bisa. Kenapa Pa Max bisa, saya tidak bisa. Hal lain yang juga membuat saya termotivasi, karena ketika masih bekerja dengan Pa Max, ia sering merendahkan dan menganggap kami karyawan asli Papua kurang mampu. Sehingga hal itu yang buat saya termotivasi. Selain “Saya banyak belajar dari Pa Yesaya sebagai guru saya. Selain itu, hubungan saya dengan Pa Yesaya masih ada hubungan saudara.”
9
10
Hasil Wawancara dengan Bapak Brets Siori, pada tanggal 27 Agustus 2011 berlokasi di kampung Sawinggrai. Bapak Berts Siori adalah salah seorang motivator kampung. Pekerjaannya adalah sebagai tukang kayu / pembuat meubel air di Kampung Sawanggrai. Selain itu beliau juga sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan Coremap. Bapak Brets Siori adalah masyarakat pendatang yang berasal dari suku Halmahera Maluku Utara, dan sudah menetap di Kampung Sawanggrai selama kurang lebih 10 tahun. Istrinya merupakan masyarakat asli di Kampung Sawanggrai dengan perempuan Tokoh Pemuda dan salah seorang pelaku usaha di kampung / Desa Sawanggrai. Hasil wawancara dengan Bapak Paulus Sawiyai (usia 39 tahun) pada tanggal 7 September 2011 di Kota Waisai.
107
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Paulus di atas, Saudara Mettu Dimara juga dalam merintis pembangunan homestay di kampung juga berangkat dari pengalaman bekerja di LSM dan belajar dari pengalaman sesama pelaku usaha homestay di Kampung Sawinggrai. Berikut ini pernyataan Saudara Mettu Dimara:11 “Saya memberanikan diri membangun sebuah homestay di kampung, karena saya melihat bahwa saya punya potensi sebagai salah satu pelaku wisata yang juga sangat memahami kondisi kampung. Selain saya juga punya pengalaman bekerja di LSM di Raja Ampat yang bergerak dalam bidang lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Kemudian saya sudah banyak belajar dan ikut dengan Bapak Yesaya, sehingga saya punya pengalaman. Apalagi kemampuan bahasa Inggris saya juga baik. Alasan-alasan itu yang membuat saya memberanikan diri menjadi pelaku usaha di kampung. Saya juga mendapat bantuan dari keluarga, sehingga saya mau memiliki usaha sendiri, dari pada harus ikut orang “.
Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa faktor pengalaman dan keinginan untuk maju dan membuktikan kemampuannya membuat Bapak Paulus Sauyai dan Saudara Mettu Dimara terdorong untuk memiliki usaha homestay. Bagi mereka, jika pihak lain bisa menjalankan usaha wisata, mereka juga harus bisa melakukannya. Hal-hal ini yang kemudian menjadi faktorfaktor pendorong dalam menjalankan usaha wisata mereka di Kampung Sawinggrai.
Bentuk Partisipasi Masyarakat Menjalankan Usaha Homestay
Lokal
dalam
Model operasional usaha homestay di Raja Ampat secara umum dilakukan oleh masyarakat setempat. Biasanya anggota masyarakat yang menjalankan usaha ini ditunjuk oleh aparat pemerintah kampung (kepala kampung) berdasarkan rapat atau musyawarah tingkat kampung. Setelah melewati mekanisme musyawarah kampung, maka beberapa anggota masyarakat yang 11
Hasil wawancara dengan Saudara Mettu Dimara, pada tanggal 27 Agustus 2011, di Kampung Sawinggrai.
108
dipilih kemudian diberikan kewenangan untuk menjalankan usaha homestay. Namun sebelumnya anggota masyarakat yang telah dipilih untuk mengelola homestay, diutus untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam hal manajemen pengelolaan homestay. Untuk kasus di Kampung Sawinggrai, prosedurnya di luar dari konsep yang dijelaskan di atas. Dalam pengelolaan homestay di Kampung Sawinggrai, lebih banyak didominasi oleh kepentingan pribadi atau individu. Hal itu terjadi karena dari sisi kepemilikan usaha homestay, berstatus kepemilikan pribadi. Sehingga dalam operasionalnya, dilakukan dan dikelola secara mandiri oleh pemilik homestay itu sendiri. Dalam hal penentuan harga sewa homestay, rata-rata biaya sewa yang ditetapkan sebesar Rp. 350.000-400.000 ribu per hari/ kamar. Harga ini merupakan harga standar yang sudah ditetapkan secara bersama-sama dengan para pelaku usaha homestay dengan Dinas Kebudayaan Pariwisata Kabupaten Raja Ampat. Penetapan standar harga dimaksudkan agar tidak terjadi perang dan persaingan harga di antara para pengelola homestay di Kabupaten Raja Ampat. Dilihat dari bentuk homestay yang ada di beberapa kampung wisata hampir semuanya berbentuk rumah-rumah tradisional yang terbuat dari bahan-bahan yang tersedia dari alam (gambar menunjukkan homestay yang dikelola oleh Bapak Yesaya). Adapun fasilitas yang ditawarkan oleh pengelola beraneka ragam, tergantung bentuk dan ukuran sebuah homestay. Misalnya homestay Inbefore yang dikelola oleh Bapak Yesaya. Bangunan ini terdapat 5 kamar tidur dengan sebuah kamar tamu besar dilengkapi dengan kursi dan meja. Untuk makan, para tamu sudah berhak untuk memperoleh tiga kali jamuan makan (pagi, siang dan malam) yang sudah disesuaikan dengan harga sewa kamar per hari. Dalam menjalani usaha ini, Bapak Yesaya dibantu oleh istrinya, yang bertugas mengelola makan para tamunya dan dibantu oleh beberapa pemuda menyangkut perawatan homestay seperti bersih-bersih dan berperan sebagai pemandu wisata lokal di kampung. Sedangkan untuk menikmati paket wisata yang ditawarkan di kampung dikenakan beberapa biaya tambahan antara lain : biaya tour guide untuk melihat burung cenderawasih dikenakan tarif Rp. 50.000 sampai Rp.100.000 ribu per paket perjalanan. Sedangkan 109
untuk jasa atraksi pemberian makan ikan secara langsung oleh wisatawan tidak ditentukan berapa harganya, namun biasanya wisatawan memberikan tip atau uang untuk biaya ganti rugi untuk membeli bahan makanan bagi ikan-ikan tersebut.
Pertumbuhan homestay
Perkembangan pariwisata di kampung Sawinggrai, perlahan tetapi pasti mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan itu terlihat ketika ditetapkannya kampung Sawinggrai sebagai kampung wisata pada tahun 2009. Sebelum ditetapkan sebagai kampung wisata, usaha wisata yang dilakukan di kampung ini, baru sebatas mementaskan dan menampilkan kerajinan tangan masyarakat dan kesenian atau budaya masyarakat. Keberadaan wisatawan pada saat itu, datang silih berganti, namun mereka datang dengan berbagai paket wisata yang dirawarkan oleh jasa operator wisata, sehingga para wisatawan tersebut pergi meninggalkan kampung, tanpa melakukan aktivitas lainnya. perubahan itu kemudian terjadi ketika, bapak Yesaya Mayor, dengan inisiatifnya membangun sebuah homestay di kampung Sawinggrai. Lewat upaya yang dilakukan bapak Yesaya banyak potensi alam dan kondisi budaya yang diekspos untuk mempromosikan kondisi kampung yang ternyata memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata alternatif di kabupaten Raja Ampat.
Gambar 16. Home stay Pak Yesaya
110
Dari upaya yang dilakukan oleh bapak Yesaya, pada akhirnya mulai mendatangkan manfaat bagi masyarakat lokal di kampung ini. kondisi masyarakat yang sebelumnya hanya mengandalkan pekerjaannya sebagai nelayan dan petani, dalam memperoleh pendapatan, kondisi itu kemudian lama kelamaan mengalami perubahan, dengan hadirnya usaha yang dilakukan oleh bapak Yesaya. Ada beberapa anggota masyarakat diajak dan dilibatkan dalam menjalankan usaha wisata, seperti dilibatkan dalam sebagai tour guide lokal, operator motor/speedboat, bahkan dilibatkan dalam mengurus homestay. Proses pendirian homestay di kampung Sawinggrai dilakukan tidak secara bersamaan, melainkan yang pertama mengembangkan usaha ini adalah bapak Yesaya Mayor, yang pembangunan homestaynya dibangun pada tahun 2010. Kemudian, dalam perkembangannya, diikuti oleh pembangunan homestaynya bapak Paulus Sauyai, yang proses pembangunan fisik homestay, selesai dibangun pada tahun 2011. Homestay milik bapak Paulus Sauyai, dibangun diatas lahan (tanah) pribadi milik bapak Paulus, dan konon pembiayaannya mendapat bantuan dari pihak ketiga.12 Pertumbuhan usaha jasa homestay di kampung Sawinggrai, semakin meningkat dengan bertambahnya sebuah homestay yang dikelola oleh saudara Mettu Dimara selesai dibangun pada awal tahun 2012.13 Pembangunan homestay oleh saudara Mettu, dilaksanakan di sebelah barat kampung Sawinggrai yang secara strategis berada di antara perbatasan kampung Sawinggrai dan kampung Kapisawar – walaupun kampung Kapisawar bukan menjadi kampung wisata, namun letak homestay saudara Mettu, cukup membuat berbeda dibandingkan dengan kedua homestay sebelumnya.
12
13
Informasi yang diperoleh dari bapak Berts Siori, pada tanggal 27 Agustus 2011, bahwa homestay yang dibangun oleh bapak Paulus Sauyai mendapat dukungan dari sebuah perguruan tinggi PTN di Jayapura, untuk selanjutnya dijadikan sebagai laboratorium di Raja Ampat. Ketika peneliti melakukan kegiatan penelitian di kampung Sawinggrai, bangunan homesty milik saudara Mettu telah dibangun, namun masih dalam proses penyelesaian. Sedangkan homesty milik bapak Paulus Sauyai, telah selesai dibangun dan sudah mulai menerima tamu atau wisatawan yang berkunjung ke kampung Sawinggrai.
111
Usaha yang dilakukan oleh bapak Paulus, diinspirasi oleh usaha yang dilakukan oleh bapak Yesaya dan berbekal pengalaman bekerja di perusahaan operator wisata (PT. Papua Diving), membuat bapak Paulus terinspirasi untuk mengelola usaha homestay secara mandiri. Sama halnya dengan saudara Mettu Dimara, niat untuk terjun dalam usaha jasa homestay terinspirasi dengan usaha yang dilakukan oleh bapak Yesaya. Sehingga walaupun ia telah membangun homestay nya, namun masih terlibat dengan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh bapak Yesaya. Homestay nya dibangun pada tahun 2011 dan pada saat ini (tahun 2012), peneliti mendapat informasi bahwa usahanya sudah berkembang, dengan didatangi oleh para wisatawan. Berbekal informasi yang diperoleh dari para sumber informan, awal ketertarikan para pelaku usaha wisata untuk mengembangkan usaha homestay di kampungnya berangkat dari berbagai macam alasan. Berikut ini alasan pendirian homestay yang dikemukakan oleh bapak Paulus Sauyai.14 “Proses awalnya saya terlibat dalam pengelolaan homestay dimulai ketika saya bekerja di PT. Papua Diving. Saya termotivasi dan terpancing ingin membuktikan sesuatu kepada Pa Max (Pa Max yang dimaksud adalah seorang warga negara Belanda yang merupakan pioner utama dan pertama dalam mempromosikan keunikan Raja Ampat ke Dunia Internasional. Pa Max, adalah pemilik PT Papua Diving), bahwa sebagai orang Papua saya juga bisa. Kenapa Pa Max bisa, saya tidak bisa. Hal lain yang juga membuat saya termotivasi, karena ketika masih bekerja dengan Pa Max, ia sering merendahkan dan menganggap kami karyawan asli Papua kurang mampu. Sehingga hal itu yang buat saya termotivasi. Selain “Saya banyak belajar dari Pa Yesaya sebagai guru saya. Selain itu, hubungan saya dengan Pa Yesaya masih ada hubungan saudara.”
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh bapak Paulus di atas, saudara Mettu Dimara juga dalam merintis pembangunan homestay di kampung juga berangkat dari pengalaman bekerja di LSM dan belajar dari pengalaman sesama pelaku usaha homestay di
14
112
Wawancara dengan Bapak Paulus Sawiyai (usia 39 tahun) pada tanggal 7 September 2011 di Kota Waisai.
Kampung Sawinggrai. Berikut ini pernyataan Saudara Mettu Dimara:15 “Saya memberanikan diri membangun sebuah homestay di kampung, karena saya melihat bahwa saya punya potensi sebagai salah satu pelaku wisata yang juga sangat memahami kondisi kampung. Selain saya juga punya pengalaman bekerja di LSM di Raja Ampat yang bergerak dalam bidang lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Kemudian saya sudah banyak belajar dan ikut dengan Bapak Yesaya, sehingga saya punya pengalaman. Apalagi kemampuan bahasa Inggris saya juga baik. Alasan-alasan itu yang membuat saya memberanikan diri menjadi pelaku usaha di kampung. Saya juga mendapat bantuan dari keluarga, sehingga saya mau memiliki usaha sendiri, dari pada harus ikut orang “.
Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa faktor pengalaman dan keinginan untuk maju dan membuktikan kemampuannya membuat Bapak Paulus Sauyai dan Saudara Mettu Dimara terdorong untuk memiliki usaha homestay. Bagi mereka, jika pihak atau lain bisa menjalankan usaha wisata, mereka juga harus bisa melakukannya. Hal-hal ini yang kemudian menjadi faktor-faktor pendorong dalam menjalankan usaha wisata mereka di Kampung Sawinggrai. Selanjutnya pembahasan mengenai pengelolaan usaha homestay akan dibahas pada sub bab lainnya pada tulisan ini.
Aktivitas Lain di Luar Pengelolaan Homestay
Sejarah pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai, pada awalnya dikenal dengan aktivitas seni dan budaya yang dimotori (dikoordinir) oleh bapak Yesaya. Dengan kata lain bahwa sebelum adanya usaha pengelolaan homestay oleh beberapa anggota masyarakat di kampung Sawinggrai, sebelumnya telah ada dan dikembangkan aktivitas-aktivitas kerajinan tangan dan berbagai macam aktivitas seni dan budaya. Oleh sebab itu dalam sub bagian ini, peneliti akan memberikan beberapa gambaran aktivitas masyarakat dalam mendukung aktivitasa pariwisata – di luar pengelolaan homestay - di kampung Sawinggrai. Adapun aktivitas 15
Wawancara dengan Saudara Mettu Dimara, pada tanggal 27 Agustus 2011, di Kampung Sawinggrai.
113
yang dilakukan oleh masyarakat di kampung Sawinggrai antara lain : Pembuatan kerajinan tangan oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti membuat souvenir berupa topi durian yang terbuat dari daun tikar, ada juga, pemanfaatan kulit kelapa yang digunakan dalam membuat beraneka-macam souvenir, seperti, gantungan kunci, dan sebagainya. Untuk kegiatan-kegiatan ini, di kampung Sawinggrai telah dibentuk beberapa kelompok yang didominasi oleh kaum perempuan yang kesehariannya melakukan atau membuat berbagai aneka kerajinan tangan. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ibu-ibu di kampung ini, didanai dan dibina oleh LSM Coremap. Ada juga beberapa anggota masyarakat – khususnya kaum muda – yang dilibatkan dalam berbagai macam kegiatan pendukung pariwisata seperti, menjadi tour guide, dalam membantu para wisatawan berkeliling kampung, menelusuri hutan, maupun aktivitas lainnya. Selain itu, ada beberapa anggota pemuda yang berpengalaman atau mampu mengoperasikan motor laut, di beri peran sebagai operator motor laut (speedboad). Bagi kaum perempuan di kampung Sawinggrai, tidak hanya disibukan dengan aktivitas sebagai ibu rumah tangga semata, melainkan juga ada di antara mereka dilibatkan dalam beberapa aktivitas kegiatan pariwisata. Adapun keterlibatan mereka bisa dilihat dari, bagaimana mama mama (ibu-ibu) dalam membantu mengurus homestay. Keterlibatannya dalam membantu pengelola homestay, dapat dilakukan dalam bentuk, membersihkan halaman rumah, menimba air, memasak dan sebagainya. Untuk kaum lelaki, biasanya dilibatkan ketika ada beberapa kegiatan yang membutuhkan tenaga lebih. Misalnya, membangun homestay, membersihkan lingkungan ataupun ada beberapa masyarakat berprofesi sebagai nelayan, dapat menjual hasil tangkapannya kepada pengelola homestay untuk diolah sebagai bahan makanan para tamu homestay. Dan bagi anak-anak di kampung Sawinggrai, aktivitas kesehariannya dilakukan di kampungnya sambil bermain-main dengan teman-teman mereka di dermaga kampung, sambil memancing dan berenang di perairan kampung. Ada di antara mereka yang secara pro aktif selalu hadir di kediaman dan homestay milik bapak Yesaya. Kehadiran mereka ada yang seringkali dengan wajah lugu dan dengan kepolosan hati mereka menemani para tamu untuk ngobrol, bahkan mereka dengan senang hati disuruh untuk membeli sesuatu atau menyuruh mereka membantu melakukan 114
sesuatu bagi para tamu yang berkunjung ke tempatnya bapak Yesaya. Sebagai contoh kongkrit partisipasi anak-anak Sawinggrai, dalam mendukung pengembangan kampung mereka sebagai kampung wisata, lewat sebuah program TV Swasta nasional (Trans 7), yang menampilkan keluguan anak-anak di kampung ini, dalam sebuah cerita realita anak-anak dalam serial “ Si Bolang” dari kampung Sawinggrai16. Dari berbagai macam aktivitas dan partisipasi masyarakat dalam mendukung pengembangan pariwisata, yang telah dijelaskan sebelumnya, menunjukkan bahwa, ada beberapa anggota masyarakat yang dilibatkan dalam aktivitas pariwisata secara langsung, misalnya masuk (bergabung) dalam tim-tari binaan bapak Yesaya. Ada juga yang diikutkan dalam membantu membersihkan halaman homestay, ataupun ada pula yang secara aktif bergaul (berinteraksi) dengan para tamu yang berkunjung ke kampung Sawinggrai, sehingga mereka ini dapat dilibatkan untuk membeli atau membantu mengangkat atau membawa keperluan para wisatawan. Aktivitas ini secara tidak langsung dapat memberikan kontribusi secara ekonomi – walaupun tidak dalam jumlah yang besar –, namun dapat memberikan pendapatan tambahan bagi individu anggota masyarakat tersebut. Berdasarkan berbagai bentuk partisipasi masyarakat tersebut, secara umum, peneliti mengkategorikan bentuk partisipasi masyarakat dalam pariwisata ke dalam dua kelompok besar yaitu, pertama, kelompok masyarakat yang secara aktif mengelola dan terlibat dalam pengembangan sektor pariwisata, dan kedua, kategori 16
Pemilihan anak-anak di kampung Sawinggrai, dengan beberapa alasan. antara lain, Pertama, keunikan dan kekhasan kampungnya yang indah dengan pesona burung Cenderawasihnya. Hal lainnya – alasan kedua - adalah masih dijumpai di kampung ini, anak-anak menggunakan bahasa ibu (daerah) dalam berkomunikasi; Ketiga, ada bapak Yesaya Mayor sebagai pembina dan koegrafi dalam mendesain cerita dan mengajarkan tari-tarian dalam adegan tersebut. Syuting acara ini dilakukan di dua kampung yaitu kampung Arborek dan kampung Sawinggrai, yang telah di siarkan di seluruh Indonesia. Pemilihan anak-anak yang terlibat dalam acara Si Bolang, melibatkan anakanak dari kedua kampung tersebut. Aktor si Bolang, diperankan oleh anaknya bapak Nomensen Mamraku – salah satu pelaku wisata di kampung Arborek dan di Raja Ampat. - dari kampung Arborek
115
masyarakat yang pasif terhadap pengembangan sektor pariwisata di kampung Sawinggrai. Dalam kaitan itu, maka bisa dilihat pola keterlibatan masyarakat lokal di kampung Sawinggrai. Kalaupun ada beberapa anggota masyarakat yang terlibat, itupun atas permintaan dari pemilik homestay. Dan proses memilih atau mengajak anggota masyarakat dalam kegiatan pariwisata itupun hanya melibatkan anggota masyarakat yang dekat atau masih memiliki hubungan keluarga dengan para pelaku usaha di kampung. Alhasil, bisa ditebak bahwa yang merasakan dampak positif dari pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai adalah para pelaku usaha dengan anggota masyarakat yang dekat dengan mereka, dalam hal ini pemilik homestay. Barangkali hal-hal ini yang kemudian menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat lokal dengan para pelaku usaha pariwisata di kampung. Konflik-konflik yang muncul merupakan salah satu persoalan dalam pengembangan pembangunan pariwisata di suatu daerah. Oleh sebab itu, untuk bagian ini (persoalan konflik dalam pariwisata) akan dibahas lebih mendalam dalam sub bab tersendiri. Melanjutkan pembahasan mengenai aktivitas masyarakat dalam sektor pariwisata di Kampung Sawinggrai, peneliti mengkategorikan jenis dan aktivitas masyarakat dalam bentuk keterlibatannya menjadi dua bagian, yaitu pertama, masyarakat yang aktif dalam kegiatan pariwisata, dan kedua adalah masyarakat yang pasif terhadap aktivitas pariwisata. Penjelasannya sebagai berikut. Masyarakat yang aktif adalah masyarakat yang secara serius dan terlibat secara langsung dalam aktivitas kegiatan pariwisata di kampung. Untuk jenis ini, anggota masyarakat yang terlibat di dalamnya adalah para pelaku usaha wisata. Seperti para pemilik homestay dengan segala macam sarana prasarana penunjangnya, serta para pemandu wisata lokal dan beberapa anggota masyarakat yang dengan sengaja dilibatkan dalam usaha kegiatan wisata. Selain itu, anggota masyarakat biasanya juga dilibatkan sebagai tour guide atau sebagai operator perahu motor, dan ada pula ibu-ibu di kampung yang dilibatkan membantu memasak atau menyiapkan air bersih serta membersihkan halaman sekitar lokasi homestay. Untuk mendukung informasi di atas, berikut ini, pernyataan bapak Paulus
116
Sauyai mengenai keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata di kampung.17 “Sebagai salah satu putra daerah yang lahir dan dibesarkan di kampung ini, saya melihat kesadaran masyarakat di kampung memang masih sangat kurang dalam mendukung kegiatan pariwisata. Namun saya sering mengajak dan memberikan dukungan kepada pemuda-pemuda agar aktif dan terlibat dalam kegiatan pariwisata. Saya sering kali kalau ada tamu yang datang ke homestay, saya libatkan mereka. Misalnya mamamama (ibu-ibu) saya suruh membersihkan halaman homestay dan masak untuk para tamu. Untuk kaum mudanya, saya suruh mereka untuk antar turis ke hutan lihat burung Cenderawasih dan bantu saya ajak para tamu untuk menyelam dan snourkling. Dan untuk bayar mereka saya sesuaikan dengan jenis pekerjaan yang mereka lakukan. Misalnya, kalau para pemuda yang bertugas sebagai pemandu saya bayar 50.000 – 100.000 ribu per kegiatan selama tamu tinggal di kampung. Kalau untuk mama-mama (ibu-ibu) saya biasa kasih untuk beli keperluan dapur sehari-hari“.
Gambar 17. Kerajinan tangan masyrakat sekitar (kiri), aktivitas masyarakat lokal dalam membuat kerajinan tangan (kanan).
Selain aktivitas masyarakat sebagai pelaku usaha wisata, dalam hal ini sebagai pemilik homestay dan pemandu wisata, ada juga aktivitas masyarakat lainnya yaitu kegiatan pembuatan kerajinan tangan (handicraft). Kegiatan ini lebih banyak didominasi oleh kaum perempuan. Kegiatan kerajinan tangan dibuat dan 17
Wawancara dengan Bapak Paulus Sauyai, pada tanggal 07 September 2011 di Waisai.
117
ditawarkan kepada wisatawan yang datang ke kampung. Ada juga berbagai jenis kerajinan tangan yang dibuat memanfaatkan hasil sumberdaya laut, seperti cinderamata berupa hiasan dinding dan lain sebagainya. Namun sangat disayangkan kerajinan tangan yang dibuat tidak bisa sampai ke tangan para wisatawan karena kebanyakan wisatawan yang berkunjung ke kampung, lebih memilih langsung pulang meninggalkan kampung setelah selesai melihat atau berjalan-jalan di hutan untuk melihat burung Cenderawasih. Untuk kategori masyarakat yang pasif dalam aktivitas pariwisata adalah anggota masyarakat yang tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan pariwisata namun pada saat-saat tertentu jasa atau tenaganya dapat digunakan dalam menunjang kegiatan pariwisata. Sebagai contoh sebagian besar anggota masyarakat yang tidak terlibat dalam kegiatan usaha jasa wisata. Kebanyakan dari mereka hanya melakukan aktivitas atau rutinitas mereka sebagai nelayan dan petani bagi kaum pria, dan kaum wanita berperan sebagai ibu rumah tangga. Dalam kondisi tertentu, kadang-kadang mereka dilibatkan, namun hanya dalam hal yang terbatas, misalnya kegiatan bersihbersih kampung atau kegiatan gotong royong lainnya dalam rangka menyambut tamu atau kunjungan para pejabat pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada masyarakat lokal yang kurang sadar akan nilai kegiatan pariwisata sebagai penunjang kehidupan mereka.
Kehadiran Investor Perkembangan sektor pariwisata di Raja Ampat secara tidak langsung menjadi daya tarik tersendiri, bukan hanya bagi wisatawan yang datang untuk menyaksikan dan menikmati keindahan surga bawah laut dan keindahan alamnya. Akan tetapi menjadi daya pikat tersendiri bagi para investor dan operator wisata (tour operator) yang hendak menginvestasikan modalnya di kepulauan ini. Kehadiran investor di kampung Sawinggrai, secara umum, motifnya hampir sama dengan beberapa kampung wisata lainnya di distrik Meosmansar. Kecenderungan umumnya dapat dilihat dari bentuk aktivitas yang dilakukan investor. Misalnya, dari sisi pembangunan resort atau hotel. Dari kelima kampung wisata yang ditetapkan pemerintah daerah, tidak dijumpai resort atau hotel-hotel 118
yang dibangun oleh pihak swasta. Atau dengan kata lain bahwa kehadiran investor (swasta) di kampung Sawinggrai dan kampung wisata lainnya secara langsung memang tidak terlihat. Yang peneliti maksudkan dengan tidak terlihat disini adalah, secara riil (nyata) para investor tidak mendirikan resort (hotel) atau tempat penginapan lainnya18. Aktivitas yang dilakukan oleh para investor – nasional dan internasional – biasanya hanya mendatangkan wisatawan ke kampung Sawinggrai dengan mengantar mereka dengan menggunakan speetboad nya, kemudian setela mereka (wisatawan) menyaksikan keindahan burung Cenderawasi atau aktivitas lainnya, mereka kemudian pergi meninggalkan kampung Sawinggrai. Dari pengamatan peneliti, dan berdasarkan informasi yang peneliti peroleh dari sumber informan, kehadiran para investor dalam mendatangkan wisatawan ke kampung Sawinggrai, awalnya dimulai atas inisiatif bapak Yesaya Mayor – pengalaman pertamanya pada tahun 2007, mengajak 8 orang wisatawan asing – berkunjung ke lokasi pemantauan burung Cenderawasih. Dalam perjalanan perkembangannya, kehadiran para wisatawan semakin banyak ke kampung Sawinggrai sudah tidak hanya menyaksikan atraksi seni budaya semata, melainkan motif kunjungan sudah beralih pada kegiatan pengamatan burung Cenderawasih di lokasi yang telah dibuat oleh bapak Yesaya Mayor. Hal-hal ini yang kemudian, oleh bapak Yesaya dengan beberapa operator wisata – secara khusus dengan PT Papua Diving - melakukan kerjasama dalam rangka mendatangkan para wisatawan untuk menyaksikan burung Cenderawasih di kampung Sawinggrai. Atau dengan kata lain, dengan semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung ke kampung Sawinggrai maka para operator wisatawan (investor) telah menetapkan dan menjadikan kampung Sawinggrai sebagai salah satu lokasi tujuan dalam paket wisata selain kegiatan kebaharian. Informasi tersebut di atas, menunjukkan peran serta investor dalam kapasitasnya, secara tidak langsung dalam membantu dan mempromosikan potensi pariwisata di kampung Sawinggrai. 18
Kebanyakan resort-resort yang dikelola oleh para investor berada di luar kampung Sawinggrai dan beberapa desa (kampung) wisata lainnya di Meosmansar. Sebagai contoh beberapa resort yang dibangun oleh Mr. Max Ammer lewat perusahaannya yaitu, PT. Papua Diving. Melalui kerjasama dengan bapak Yesaya biasanya tamu-tamu Mr Max Ammer diajak dan dijadwalkan untuk melihat burung Cenderawasih di kampung Sawinggrai.
119
Pada bagian dalam sub bab ini juga, peneliti akan menunjukkan beberapa bentuk aktivitas investasi usaha yang dilakukan para investor ini. Data di bawah ini menunjukkan beberapa usaha wisata yang sudah ada atau yang sudah dilakukan di Raja Ampat. Usaha-usaha itu antara lain : Pertama, para investor telah membuka usaha hotel dan penginapan yang berjumlah 9 buah; Kedua, ada dua buah Cottage yaitu Acropora Cottege and Restaurant dan Cottage King Dolphin. Cottage-cotage ini berada di Waisai dan operasional serta kepemilikannya dikelola oleh pihak pemerintah daerah dan pihak ketiga (swasta). Ketiga, yang mengalami peningkatan pesat yaitu pembangunan-pembangunan Resort (Dive Operator). Penjelasan lebih mendetail mengenai datadata investasi usaha oleh investor bisa dilihat pada bab 4.
Motif Kunjungan Wisatawan ke Sawinggrai Dilihat dari sisi motif kunjungan wisatawan ke kampung Sawinggrai lebih didominasi kegiatan kunjungan ke hutan untuk mengamati burung Cenderawasih. Dan biasanya para wisatawan setelah menikmati atraksi burung Cenderawasih di hutan, langsung meninggalkan kampung dan kembali atau mengikuti arahan dari tour guide yang mendampingi mereka untuk kembali ke hotel atau resort yang berada di luar kampung. Kalaupun ada wisatawan yang datang dan menetap di kampung, biasanya mereka tinggal di homestay-homestay yang dikelola oleh masyarakat setempat. Kebanyakan dari wisatawan ini, memilih homestay karena dari sisi pembiayaan jauh lebih murah - dibandingkan dengan harus menginap di resort-resort dan hotel mewah –, dan di satu sisi beberapa wisatawan yang memang sengaja ingin menikmati keindahan kampung wisata dan berbaur dengan kehidupan masyarakat setempat. Kalau dilihat dari pengamatan peneliti di Kampung Sawinggrai, motif kunjungan wisatawan lebih pada ingin melihat keindahan burung Cenderawsih di hutan. Setelah itu mereka mampir sejenak di kediaman Bapak Yesaya, menyaksikan atraksi memberi makan ikan (feeding fishing), dan kemudian dengan speedboad didampingi para tour guide kembali melanjutkan perjalanan mereka ke lokasi penyelaman lainnya atau kembali ke hotel tempat mereka menginap. Akan tetapi, ada pula beberapa wisatawan asing bahkan wisatawan domestik yang memilih tinggal 120
dan menetap di Sawinggrai. Hal itu terlihat dari ada beberapa wisatawan asing (warga Italia, yang berdomisili di Bali menetap kurang lebih lima hari dalam rangka melakukan survey untuk melakukan investasi ke depan di sektor pariwisata di Raja Ampat) yang berdatangan ke kampung Sawinggrai dan menetap di homestay milik Bapak Paulus Sauyai. Sedangkan seorang wisatawan asal Prancis yang bersama-sama dengan peneliti tinggal di homestay Bapak Yesaya, yang kesehariannya lebih memilih melakukan kegiatan snorkeling dan jalan-jalan mengelilingi kawasan perkampungan, sambil mendokumentasikan aktivitas keseharian masyarakat. Dari pengamatan peneliti, motif kunjungan para wisatawan lebih pada kegiatan diving di perairan Pulau Arborek dan di kawasan Teluk Kabui19 di sekitar Pulau Gam. Namun ada juga beberapa wisatawan yang melakukan kegiatan snorkling di perairan sekitar Kampung Sawinggrai, yang juga terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Untuk wisatawan domestik lebih banyak datang ke kampung ini untuk menyaksikan keindahan burung Cenderawasih, serta ada pula para peneliti yang secara sengaja memilih kampung ini sebagai salah satu lokasi untuk melakukan penelitian, khususnya menyangkut konservasi di kawasan hutan di Kampung Sawinggrai dan pulau Gam secara umum. Sebagai contoh, pada saat peneliti melakukan penelitian di Kampung Sawinggrai, peneliti berjumpa dengan beberapa mahasiswa strata satu (S1) dari Fakultas Kehutanan UGM (Universitas Gadja Mada) Yogyakarta yang sedang meneliti tentang keanekaragaman ekosistem hutan di Kampung Sawinggrai. Hal-hal ini yang kemudian menunjukkan bahwa hampir dipastikan para wisatawan yang berkunjung tidak melakukan banyak aktivitas - bahkan sama sekali tidak melakukan kegiatan - ekonomi yang secara langsung menyentuh atau berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal di Kampung Sawinggrai. Kalaupun ada beberapa 19
Kawasan Teluk Kabui merupakan salah satu kawasan favorit bagi para wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat, dikarenakan di kawasan ini bisa dijumpai gugusan pulau-pulau karang kecil yang begitu indah. Keindahan Panorama Teluk Kabui sering kali disebut sebagai “Miniaturnya Wayag” yang menjadi salah satu tempat terindah dan terfavorit untuk dikunjungi di Kepulauan Raja Ampat.
121
anggota masyarakat yang terlibat, itupun atas permintaan dari pemilik homestay. Dan proses memilih atau mengajak anggota masyarakat dalam kegiatan pariwisata itupun hanya melibatkan anggota masyarakat yang dekat atau masih memiliki hubungan keluarga dengan para pelaku usaha di kampung. Alhasil, bisa ditebak bahwa yang merasakan dampak positif dari pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai adalah para pelaku usaha dengan anggota masyarakat yang dekat dengan mereka, dalam hal ini pemilik homestay. Barangkali hal-hal ini yang kemudian menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat lokal dengan para pelaku usaha pariwisata di kampung. Konflik-konflik yang muncul merupakan salah satu persoalan dalam pengembangan pembangunan pariwisata di suatu daerah. Oleh sebab itu, untuk bagian ini (persoalan konflik dalam pariwisata) akan dibahas lebih mendalam dalam sub bab tersendiri.
Kehadiran LSM Perkembangan pariwisata yang sangat cepat di Kabupaten Raja Ampat tidak bisa dipisahkan dari peran serta LSM-LSM internasional dan nasional dalam mempromosikan Raja Ampat ke dunia internasional, lewat berbagai penelitian dan publikasinya. Mengingat pentingnya peran LSM dalam mendukung kegiatan pariwisata maka pada sub bagian ini, peneliti akan memaparkan seberapa jauh dan pentingnya peran LSM dalam mendukung pengembangan pariwisata. Itu bisa terlihat dari, peran serta beberapa LSM di kampung Sawinggrai dalam mendukung kelestarian alam daerah pesisir serta memberikan pembekalan dan pemahaman kepada masyarakat lokal dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan laut dan pesisir sebagai bagian dalam menjaga aset yang mendukung kegiatan pariwisata. Di kampung Sawinggrai tercatat ada dua LSM yang secara langsung terlibat dalam kegiatan pendampingan masyarakat terhadap kegiatan pendidikan konservasi lingkungan. Kedua LSM tersebut adalah Coremap20 dan CII21. Keberadaan kedua LSM ini 20
LSM Coremep (Coral Reef Rehabilitation and Managemen Program) adalah organisasi pemerintah yang berada di bawah naungan departemen kelautan. LSM ini bergerak dalam bidang konservasi dan perlindungan laut.
122
secara tidak langsung sangat berpengaruh terhadap pengembangan pariwisata. Peneliti tidak memiliki data secara jelas kapan pastinya, kedua LSM ini terlibat secara langsung di Kampung Sawinggrai dalam hal kegiatan konservasi lingkungan. Namun informasi secara umum menunjukan bahwa kedua LSM ini merupakan lembagalembaga swadaya masyarakat yang disponsori oleh pemerintah pusat – khususnya Coremap di bawa naungan LIPI dan kemudian ditangani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan juga disponsori oleh lembaga-lembaga donor internasioanal seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan sebagainya. Program kegiatan Coremap di Raja Ampat sudah dimulai atau dilakukan dalam dua tahap. Yaitu tahap pertama, periodenya dimulai sejak tahun 2002 – 2007. Tahap kedua dimulai pada tahun 2007 s/d 20012. Lain halnya dengan LSM CII (Consevation Internasional Indonesia (CII) di Raja Ampat, di mulai pada tahun 2001. Awalnya LSM ini bersama-sama dengan LSM TNC22, melakukan kegiatankegiatan pendataan keanekaragam ekosistem laut di perairan Raja Ampat, dan kegiatan itu kemudian terus berkembang sampai saat ini. Kontribusi kedua LSM itu bisa dilihat dari, peran yang dilakukannya, yaitu, kedua LSM ini sangat membantu dan berperan aktif dalam mendorong terbentuknya kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan di sekitar kampung. Dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh kedua LSM ini, terlihat bahwa peran kedua LSM ini sangat sentral, bukan hanya memberikan dorongan dan pendidikan berwawasan lingkungan, melainkan juga secara aktif dan langsung terjun ke masyarakat dalam memberikan bimbingan dan bantuan permodalan dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat pesisir di Kampung Sawinggrai. Dari pengamatan peneliti dan beberapa data yang diperoleh dari sumber informan, diketahui bahwa kedua LSM yang terlibat dalam proses pembangunan di kampung ini, bersama-sama bergerak atau fokus dalam bidang lingkungan hidup / konservasi lingkungan khususnya daerah perairan. Khususnya LSM CII dari pengamatan peneliti, memang lebih cenderung membantu Bapak Yesaya. Hal ini 21
22
LSM CII (Conservation International Indonesia) adalah LSM Internasional yang bergerak dalam bidang konservasi lingkungan. LSM TNC singkatan dari The Nature Concervation. LSM internasional yang sejak awal melakukan penelitian di Raja Ampat mengenai pendataan dan perlindungan terhadap keanekaragaman biota laut.
123
dikarenakan Bapak Yesaya adalah salah satu staf CII itu sendiri, yang telah bergabung dengan LSM ini pada tahun 2006. Bentuk kontribusinya terlihat dari keberadaan pos pemantauan CII yang berada di lokasi tempat tinggal Bapak Yesaya. Selain itu, dari pihak LSM CII ini juga banyak memberikan bantuan berupa permodalan dan pelatihan-pelatihan mengenai kegiatan konservasi lingkungan. Salah satu bukti kongkrit CII dalam mendukung pariwisata di Kampung Sawinggrai adalah memberikan bantuan permodalan kepada bapak Yesaya untuk membangun sebuah homestay dan dermaga yang terbuat dari kayu. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bantuan yang diberikan pihak LSM CII terkesan hanya kepada bapak Yesaya sebagai salah satu staf di LSM tersebut. Hal tersebut yang kemudian secara tidak langsung menimbulkan konflik antara aparat kampung maupun kepada anggota masyarakat lainnya. Untuk hal ini akan dibahas pada sub bab tersendiri (lihat pembahasan konflik antara para pelaku usaha lokal vs masyarakat lokal). Lain halnya dengan kontribusi LSM Coremap. LSM ini lebih memfokuskan diri pada penguatan kelembagaan institusi kampung dengan tetap mempertahankan kondisi kearifan lokal (local wisdom). Salah satu bukti konkrit keterlibatannya dalam sektor pariwisata adalah dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan secara rutin tentang program kebersihan lingkungan serta memberikan modal usaha dalam rangka meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, dengan tetap memberikan pendampingan kepada masyarakat tentang pengelolaan dana serta bagaimana mempertanggung-jawabkan dana tersebut. Informasi yang disampaikan oleh bapak Berts Siori di bawah ini menunjukkan bagaimana kepedulian LSM Coremap dalam membina dan mendukung aktivitas masyarakat di Kampung. “…ada 4 kelompok usaha lain yang ada di kampung. Kelompok-kelompok itu bergerak dalam usaha kerajinan tangan, seperti kerajinan anyaman, pembuatan minyak kelapa, dan kerajinan tangan dari tempurung / batok kelapa. Kelompokkelompok kerajinan tangan tersebut, dibentuk, dikoordinasikan dan didanai oleh LSM Coremap, tanpa keterlibatan pemerintah daerah “23.
23
124
Wawancara dengan Bapak Berts Siori, pada tanggal 27 Agustus 2011.
Dari data dan penjelasan di atas, tampak bahwa kehadiran LSM dalam pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai sangat membantu. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja sama dan bantuan dari semua pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengembangkan sektor pariwisata di Kabupaten Raja Ampat.
Hambatan dalam Sawinggrai
Pengembangan
Pariwisata
di
Meskipun kehadiran pariwisata sedikit demi sedikit mampu meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat di Kampung Sawinggrai, namun ada beberapa hambatan yang membuat keterlibatan masyarakat maupun perkembangan pariwisata di wilayah ini tidak dapat berjalan dengan maksimal. Persoalanpersoalan yang masih menjadi kendala antara lain adalah tingkat pendidikan masyarakat atau sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah dan buruknya infrastruktur (sarana dan prasarana) yang menghubungkan Kampung Sawinggrai dengan daerah-daerah lain, serta fasilitas-fasilitas penunjang lainnya seperti listrik, air bersih, jaringan telekomunikasi dan faktor-faktor penghambat lainnya. Berikut ini penjelasan faktor-faktor tersebut. Faktor pertama yaitu, Sumber Daya Manusia. Dalam pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai selama ini mengalami kendala karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Data berikut ini menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat di Kampung Sawinggrai pernah mengenyam pendidikan walaupun hanya sampai pada pendidikan dasar. Tingkat pendidikan bervariasi dari yang menamatkan Sekolah Dasar (SD) berjumlah 73 orang (38,02 %), tamatan SMP berjumlah 12 orang (6,25 %), yang menyelesaikan pendidikan di SMA berjumlah 18 orang (9,37 %) dan lulusan Perguruan Tinggi 3 orang (1,56 %). Sedangkan penduduk yang tidak tidak tamat SD dan tidak mengenyam pendidikan sebesar 86 orang atau 44,79 %. 24. Data di atas membuktikan bahwa tingkat pendidikan di Kampung Saawinggrai masih sangat rendah. Hal itu juga bisa 24
Data Coremap :2009, “ Profil Kampung Sawinggrai “ Hal : 4.
125
disebabkan karena faktor sarana dan prasarana pendidikan yang kurang. Di Kampung Sawinggrai, hanya terdapat satu buah Sekolah Dasar (SD). Itupun bukan sekolah negeri melainkan sekolah swasta yang dikelola oleh Gereja melalui Yayasan Pendidikan Kristen (YPK). Sekolah ini terletak di Kampung Kapisawar. Bila ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, maka anak-anak di kampung ini harus pindah ke ibukota distrik atau ibukota kabupaten. Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan SMU / SMK maka para pelajar-pelajar ini harus menuju Waisai atau keluar Raja Ampat. Berdasarkan hal tersebut, sudah bisa ditebak bahwa kontribusi mutu sumber daya manusia dalam mendukung pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai sangat minim. Beruntung, para pelaku usaha di Kampung Sawinggrai bisa membangun usahanya berdasarkan kemauan dan pengalaman mereka selama bekerja di operator wisata maupun ketika bergabung dengan lembaga-lembaga sosial masyarakat. Hal ini yang kemudian membuat mereka memiliki kemampuan untuk mengelola usahanya dan tetap eksis dan survive hingga sekarang. Faktor kedua penghambat pariwisata di Kampung Sawinggrai yaitu bidang transportasi. Sektor transportasi merupakan salah satu persoalan utama keterisolasian pemerataan pembangunan di Kabupaten Raja Ampat. Konsekuensi dari daerah kepulauan adalah untuk mencapai dan menjangkau daerah satu dengan daerah lainnya hanya bisa ditempuh dengan transportasi laut. Kondisi itu semakin parah lagi ketika pada bulan-bulan tertentu (bulan Mei sampai September) dilanda angin selatan sehingga membuat arus transportasi menjadi terhambat, akhirnya mobilisasi dari dan ke beberapa kampung atau daerah menjadi terhambat. Persoalan Telekomunikasi menjadi faktor penghambat ketiga bagi perkembangan pariwisata di beberapa kampung wisata di Distrik Meosmansar Kabupaten Raja Ampat. Informasi dan komunikasi dalam sektor pariwisata yang terjadi di Kampung Sawinggrai sangat tergantung pada sektor telekomunikasi. Komunikasi dari para pelaku usaha wisata dengan para wisatawan yang hendak berkunjung ke kampung ini biasanya terhambat karena persoalan komunikasi yang disebabkan hanya karena jaringan telekomunikasi yang lemah bahkan tidak ada sama sekali. Di Kampung Sawinggrai komunikasi lewat jaringan operator seluler sangat terbatas. Hal ini terjadi karena letak Kampung Sawinggrai 126
sangat jauh dari Kota Waisai. Untuk memperoleh jaringan operator seluler sangat terbatas atau bahkan tidak terjangkau sama sekali. Sebagai contoh, persoalan komunikasi akibat lemahnya bidang telekomunikasi yang menyebabkan konflik antara pelaku usaha dengan para wisatawan yang hendak berkunjung ke kampung. Berikut ini penuturan Bapak Paulus Sauyai25 : “Saya pernah buat janji dengan turis (wisatawan) untuk jemput dorang (mereka) di Waisai, untuk ke kampung untuk tinggal di homestay. Tapi karena masalah tidak ada signal para turis dorang mau hubungi saya tapi tidak bisa dihubungi. Ketong di sini sebagai pengelola usaha jasa wisata sangat bergantung dengan komunikasi dan informasi. Bagaimana ketong (kami) bisa dihubungi atau ketong mau hubungi para tamu kalau alat komunikasi dan telekomunikasi saja susah. Ketong sering dapat marah-marah atau ketong sering dapat komplein dari para tamu karena ketong sering tidak tepat waktu. Memang ketong mengalami kesulitan sekali karena usaha ketong sering kali terganggu karena cuaca dan mau berkomunikasi keluar saja susah…”
Informasi yang disampaikan di atas menggambarkan bahwa faktor sarana dan prasarana telekomunikasi dan komunikasi sangat berperan penting dalam memajukan sektor pariwisata di suatu daerah. Memang sangat disayangkan hanya karena miscommunication menghambat kunjungan wisatawan ke kampung. Faktor pendanaan/permodalan menjadi kendala yang sering kali diungkapkan oleh beberapa pelaku usaha dalam menjalankan usaha wisata di kampung ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor pendanaan sangat berperan penting dalam menjalankan suatu program dalam masyarakat. Dalam pengembangan pariwisata di kawasan atau daerah tujuan wisata (DTW), faktor pendanaan masih sangat dibutuhkan dalam rangka membiayai sarana dan prasaran pendukung demi meningkatkan pengembangan pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal lewat kegiatan pariwisata, maka pemerintah harus secara tegas dan terprogram mengkucurkan modal atau dana yang secara khusus harus diperuntukkan bagi para pelaku usaha di kawasan daerah tujuan 25
Hasil wawancara dengan Bapak Paulus Sauyaii, pada tanggal 07 Septembar 2011.
127
wisata (DTW). Sebagai contoh, di Kampung Sawinggrai memang disadari bahwa kucuran dana dari pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Raja Ampat, sering dilakukan dan sudah menjadi program rutin dalam APBD, bahkan mendapat suntikan dana dari APBN berupa dana PNPM Mandiri Pariwisata. Walaupun sudah ada program bantuan subsidi dana dari pemerintah, namun masih sangat kurang dari sisi jumlah nominalnya. Sebagai contoh, bagaimana para pelaku usaha mengalami kendala dari sisi permodalan untuk melengkapi fasilitas dan sarana parasarana pendukung di homestay tempat usaha mereka. Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh Bapak Paulus Sauyai : “Banyak wisatawan asing yang ingin datang ke homestayhomestay yang ada di Kabupaten Raja Ampat, namun karena tidak punya perlengkapan diving yang lengkap, akhirnya yang selam ini berkunjung ke homestay adalah tamu-tamu yang ingin snorkeling.” 26
Selain persoalan kelengkapan sarana dan prasarana penunjang kegiatan pariwisata yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha lokal di kampung, ada juga beberapa pelaku usaha yang dengan usahanya sendiri membangun tanpa adanya bantuan dana dari pemerintah. Sebut saja saudara Mettu Dimara yang dengan biaya sendiri berinisiatif membangun sebuah homestay guna menjalankan usahanya. “ Kendala saya yang paling utama adalah masalah permodalan. Saya pernah mengajukan proposal ke pemerintah daerah, tetapi tidak ada tanggapan terhadap proposal yang saya ajukan. Saya bingung mau ke mana lagi saya harus berharap untuk memperoleh bantuan dana untuk membangun homestay saya di ujung kampung yang sampai saat ini belum selesai pengerjaannya“27.
26
Hasil Wawancara dengan Bapak Paulus Sauyaii pada tanggal 7 September 2011. 27 Hasil wawancara dengan Saudara Mettusael (Mettu) Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011 di Kampung Sawinggrai. Saudara Mettusael Dimara atau yang sering disapa Mettu, adalah salah seorang pelaku usaha wisata lokal (masyarakat asli) di Kampung Sawinggrai. Usaha yang ditekuni adalah memiliki sebuah homestay yang sementara dibangun, dan memiliki kemampuan atau potensi dalam kegiatan seni dan kemampuan bahasa Inggris
128
Penggalan informasi di atas secara tidak sadar mau menunjukkan kepada kita bahwa bagaimana mungkin dana yang begitu banyak digelontorkan untuk membantu masyarakat dalam upayanya mendukung pariwisata, sedangkan di sisi lain masih ada anggota masyarakat yang kekurangan dana untuk menjalankan usahannya dalam memajukan pariwisata di Kampung Sawinggrai. Penerangan. Selain faktor permodalan, persoalan penerangan atau jaringan listrik menjadi salah satu faktor penghambat di Kampung Sawinggrai, bahkan menjadi persoalan umum di setiap kampung di Kabupaten Raja Ampat. Sampai saat ini, Kampung Sawinggrai belum dialiri jaringan listrik dari PLN. Kondisi topografi yang berbentuk pulau-pulau, membuat keterjangkauan jaringan listrik belum ada sama sekali. Di kampung ini, penerangan sangat tergantung dari ketersediaan bahan bakar solar. Ketika bahan bakar tersebut tidak ada maka genset-genset (mesin pembangkit arus listrik bertenaga rendah) tidak bisa dihidupkan. Ketika itu terjadi, maka kampung akan gelap gulita. Untuk menerangi rumah-rumah di kampung digunakan alat-alat penerangan sederhana yang berbahan bakar minyak tanah; itupun kalau tersedia. Jadi sangat ironis memang, ketika pariwisata Raja Ampat dipublikasikan ke berbagai belahan dunia, dengan berbagai informasi yang aduhai, sedangkan di satu sisi, kesiapan sarana dan prasarana pendukung, khususnya terhadap usaha yang dilakukan masyarakat lokal tidak terpenuhi dengan baik. Bagaimana mungkin kita bisa memberikan suasana rasa aman dan nyaman kepada para wisatawan seperti yang dislogankan oleh Sapta Pesona, yang menjadi ikon Dinas Pariwisata, sedangkan masih banyak kendala dan hambatan penunjang kegiatan yang menghantui aktivitas pariwisata. Faktor-faktor penghambat yang dijelaskan di atas, memang kalau tidak diselesaikan, maka berbicara pengembangan pariwisata akan berjalan di tempat, bahkan akan mengalami kemunduran. Pengembangan pariwisata di suatu daerah dapat dikatakan berhasil atau tidak, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu, diharapkan dengan cepat dan cermat ditemukan sebuah formula yang baik. Sehingga sering kali dia (Mettu) dilibatkan oleh bapak Yesaya sebagai tour guide di kampung.
129
kebijakan pengembangan pariwisata yang baik untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Diharapkan ketika persoalan-persoalan tersebut ditemukan jalan keluarnya, maka peningkatan ekonomi masyarakat dapat terwujud dengan sendirinya.
Masalah-masalah yang Timbul dari Pengembangan Pariwisata Pada bagian sub ini, lebih akan membahas berbagai persoalan atau permasalahan yang diakibatkan dari pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai. Beberapa isu persoalan (masalah) yang terjadi dalam pengembangan pariwisata itu, antara lain : permasalahan antara masyarakat dengan pemerindah daerah. Begitupun persoalan yang terjadi antara masyarakat dengan LSM; serta permasalahan antara masyarakat dengan para pelaku usaha lokal; Ada juga, konflik antara para pelaku usaha lokal dengan investor (asing dan domestik); Yang menarik untuk dilihat adalah konflik antara para pelaku usaha lokal di kampung itu sendiri; dan persoalan pengembangan pariwisata antara pelaku usaha dengan pihak aparat desa. Berikut ini pemaparannya. Masyarakat Vs Pemerintah daerah. Dalam konteks konflik antara masyarakat dengan pemerintah, sebenarnya bukan hendak digambarkan konflik secara terbuka. Akan tetapi dalam bagian ini, peneliti lebih ingin mencoba menunjukkan berbagai tanggapan masyarakat mengenai peran serta pemerintah dalam pengelolaan pariwisata di kampung Sawinggrai. Contohnya pendanaan yang diberikan tidak secara langsung. Selain itu, pemerintah tidak memberikan perhatian langsung lewat kehadiran atau kunjungan ke kampung untuk melihat perkembangan pariwisata di kampung. Sebagai contoh, saudara Mettu Dimara mengeluhkan, ada sarana berupa sebuah homestay namun kurang koordinasi dalam pengelolaannya, bangunan itu diterlantarkan begitu saja28. Senada dengan apa yang disampaikan oleh saudara Mettu Dimara di atas, Bapak Paulus Sauyai juga mengeluhkan tentang lemahnya peran
28
130
Wawancara dengan Saudara Mettu Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011.
pemerintah dalam membantu mempromosikan kegiatan homestay yang dikelola oleh masyarakat setempat. Masih dengan persoalan yang sama mengenai peran pemerintah yang dinilainya kurang mampu untuk menjalankan tugasnya, Bapak Paulus Sauyai mengatakan bahwa :29 “Dinas Pariwisata selama ini tidak membantu pelaku usaha wisata, untuk orang asli Papua, usaha yang ketorang (kami) lakukan adalah usaha ketong (kami) sendiri. Menurut saya, pelaku usaha orang Papua, banyak yang sudah mampu, namun tidak diberdayakan. Jadi selama ini, saya melihat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Raja Ampat, hanya fokus pada investor (Resort Waiwo, Raja Ampat Develop, Papua Daving, Misool Eco Resort, dsb).”
Sama dengan penjelasan atau informasi diatas, bapak Paulus Sauyai juga menambahkan bahwa30 : “Pendanaan dari dinas tidak mencapai sasaran. Sebagai contoh, setelah dana bergulir, pihak dinas yang menentukan penggunaan dana tersebut. Dana tidak secara mandiri dikelola oleh pelaku usaha. Seharusnya pengelolaan dana, dikoordinasikan oleh kepala kampung untuk digunakan dalam rangka mendukung kegiatan pariwisata “
Faktor pendanaan lagi-lagi menjadi salah satu faktor yang seringkali menimbulkan konflik antara pihak pemerintah dan masyarakat lokal. Hal-hal ini yang kemudian menimbulkan kemarahan masyarakat terhadap pemerintah. Seringkali masyarakat dianggap belum mampu untuk mengelola dana yang diberikan untuk menjalankan usahanya. Sebagai contoh, berikut petikan wawancara peneliti dengan saudara Mettu Dimara.31 : “Kapankah Pemda Raja Ampat mengangkat masyarakat pribumi / lokal menjadi setara/sederajat dengan investor tersebut. Berbicara menyangkut kemampuan masyarakat Raja Ampat, sudah banyak yang mampu untuk mengelola usaha wisata, namun belum diberikan kesempatan.”
Dari informasi ini, dapat dilihat bahwa ada kecenderungan bahwa pihak pemerintah masih belum secara terbuka memberikan 29 30 31
Wawancara tanggal 7 Agustus 2011. wawancara tanggal 7 Agustus 2011. wawancara tanggal 27 Agustus 2011.
131
kesempatan kepada masyarakat dalam menjalankan usahanya. Pemerintah masih lebih melihat fokus pada pihak swasta dalam mengembangkan sektor pariwisata di Raja Ampat. Masyarakat Vs LSM. Secara kasat mata memang terlihat bahwa kehadiran LSM di kampung-kampung di Raja Ampat selalu membawa angin perubahan dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat tentang pemeliharaan lingkungan hidup. Selain itu, peran LSM juga tidak hanya terfokus pada pendidikan lingkungan semata, melainkan juga berperan lebih banyak mengembangkan ekonomi kerakyatan masyarakat. Misalnya, sebagai bukti riil, beberapa LSM memberikan bantuan modal untuk membantu masyarakat dalam menjalankan usaha mereka, seperti memberikan bantuan kepada kelompok ibu-ibu dalam menjalankan usaha kerajinan tangan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang secara tidak langsung dapat membantu kesejahteraan keluarganya. Akan tetapi, peneliti juga menemukan bahwa ada ketidak cocokan antara kedua belah pihak. Ketidakcocokan itu dijumpai, misalnya, ada sebagian anggota masyarakat merasa bahwa kehadiran LSM - khususnya memberikan pendidikan dan perlindungan lingkungan laut -, secara tidak langsung menghambat dalam mata pencaharian mereka yang didominasi oleh aktivitas sebagai nelayan. Berikut ini petikan wawancara dengan bapak Martinus Sauyai. mengenai kondisi tersebut32 : “Dulu sebelum kampung ini belum ada LSM-LSM yang datang, ketorang (kami) ingin pergi cari ikan, tidak harus pergi jauh-jauh dari kampung. Cukup ketorang ke depan kampung (maksudnya mencari di sekitar perairan kampung) saja ketorang sudah dapat ikan. Sekarang setelah LSM-LSM ini dorang datang ke kampung, ketorang masyarakat di kampung harus pergi jauh untuk mencari tangkapan ikan untuk pake (dimanfaatkan untuk) makan sehari-hari. Habis, LSM-LSM itu dorang (mereka) larang ketorang tangkap ikan di depan kampung lagi, karena lokasi pantai dorang sudah jadikan sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL). Ketorang masyarakat jadi repot, karena harus pergi mencari jauh lagi. “
Masyarakat Vs Pelaku Usaha lokal. Dalam konteks ini, keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas kegiatan pariwisata di 32
132
Wawancara tanggal 26 Agustus 2011.
kampung Sawinggrai sangat jarang terlihat. Yang banyak mendapat tempat dan porsi dalam kegiatan pariwisata di kampung adalah anggota masyarakat yang secara garis kekeluargaan lebih dekat dengan keluarga para pelaku usaha. Misalnya, anggota masyarakat yang sering dilibatkan oleh bapak Yesaya dan Paulus. Secara umum, keterlibatan masyarakat dilakukan apabila ada kunjungan dari pemerintah kabupaten atau ada tamu-tamu yang berkunjung ke kampung. Dalam situasi ini, biasanya masyarakat bergotong royong membersihkan kampung atau bersama-sama menyiapkan acara penyambuta. Dari segi menjaga kondisi kebersihan lingkungan kampung, menurut bapak Yesaya, Masyarakat kampung dari sisi menjaga kebersihan lingkungan masih sangat rendah. Itu bisa dilihat dari kondisi kampung yang terkesan kotor dan kurang terawat dengan baik. Kondisi ini bisa juga disebabkan karena tidak adanya kegiatan bersih-bersih kampung yang dilaksanakan secara bersama dengan diprogramkan secara baik. Sebagai contoh, pada suatu ketika ada anggota masyarakat yang dengan sengaja pergi ke hutan dan menebang pohon-pohon di mana di lokasi tersebut merupakan tempat bermainnya burung Cenderawasih. Ada juga yang mencari burung Cenderawasih untuk digunakan sebagai tebusan dalam mencari pekerjaan (melamar sebagai anggota TNI / Polri). Ini merupakan beberapa contoh yang disampaikan oleh Bapak Yesaya dalam diskusi-diskusi yang dilakukan dengan peneliti selama melakukan penelitian di kampung Sawinggrai. Dengan kata lain, informasi tersebut, menunjukkan kesadaran masyarakat masih rendah tentang lingkungan. Persoalan yang diceritakan bapak Yesaya, sebelumnya bisa disebabkan (mencerminkan) kekesalan – ketidaksenangan – beberapa anggota masyarakat yang merasa sebagai pemilik hak ulayat tanah di mana terdapat pos pemantauan burung Cenderawasih, yang selama ini dikelola oleh Bapak Yesaya. Untuk melihat hal tersebut, simak pernyataan bapak Berts Saori mengenai konflik hak ulayat yang terjadi.33 “ Sejujurnya kalau saya melihat ada masyarakat yang terlibat dan ada juga yang malas tahu. Masyarakat ada yang mengeluh, karena ada masyarakat yang merasa memiliki hak ulayat tanah 33
Wawancara dengan Bapak Berts saori,pada tanggal 27 Agustus 2011
133
di atas lokasi yang digunakan pak Yesaya sebagai lokasi taman wisata, tetapi ketika para wisatawan datang berkunjung dan mereka memberikan uang, uang tersebut tidak pernah dibagikan kepada mereka yang juga merupakan pemilik hak ulayat tanah. Hal-hal ini, yang kemudian membuat anggota masyarakat menjadi kecewa sehingga terjadi ketidakharmonisan di dalam kampung…”.
Selain persoalan (masalah) pengelolaan tanah hak ulayat antara masyararakat lokal denga pelaku usaha lokal, ada persoalan lain yang juga turut memberikan andil dalam menciptakan hubungan yang kurang harmonis antara masyarakat dan pelaku usaha lokal di kampung Sawinggrai. Persoalan itu menyangkut pengelolaan dana yang diberikan oleh pemerintah daerah – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan -, yang dianggap hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam pemanfaatannya. Informasi yang disampaikan bapak Berts Saori, menunjukan hal tersebut. “…Sejujurnya, kalau yang saya ketahui dan sering diperbincangkan masyarakat di kampung adalah menyangkut pendanaan yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Selain itu pemanfaatan dana yang juga tidak digunakan oleh pemerintah kampung untuk mendukung program pengembangan pariwisata di kampung. Saya pernah mengusulkan, agar setiap tahunnya kita mendapatkan dana dari pemerintah lebih baik kita gunakan untuk membangun homestay yang dikelola oleh masyarakat secara umum. Bukan dikelola oleh perorangan yang mengatasnamakan masyarakat”34.
Selain pandangan di atas, saudara Mettu Dimara juga menyampaikan pandangannya menyikapi konflik antara para pelaku usaha – dalam hal ini, keberadaan bapak Yesaya – dengan masyarakat di kampung Sawinggrai, terkait perilaku bapak Yesaya yang dianggap terlalu keras dan protektif dalam melindungi kondisi lingkungan di Kampung. “ Pa Yesaya di mata masyarakat dianggap sebagai salah satu penggerak pariwisata di Kampung Sawanggrai yang secara tidak sadar dengan usaha-usaha yang dilakukannya mendatangkan wisatawan ke kampung sekaligus usahanya tersebut membuat kampung Sawanggrai ditetapkan sebagai kampung wisata. Namun sering kali Pa Yesaya juga sering dianggap oleh masyarakat lebih mementingkan kepentingannya 34
134
Wawancara dengan bapak Berts Saori, pada tanggal 27 Agustus 2011.
sendiri dibandingkan kepentingan masyarakat kampung, Misalnya, kadangkala Pa Yesaya menekan masyarakat – dalam arti terlalu keras dalam menjaga kelestarian lingkungan kampung -, sehingga masyarakat mengeluh”35
Dari berbagai data informasi di atas, jelas bahwa dalam pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai, sarat akan persoalan antara pelaku usaha dengan masyarakat sendiri. Pemasalahan hak ulayat tanah adat, pengelolaan permodalan dan kehadiran sosok bapak Yesaya yang keras dan tidak pandang kompromi, secara tidak langsung kalau tidak disikapi dan diselesaikan akan memperlambat proses pengembangan dan kemajuan pariwisata di kampung Sawinggrai. Pelaku usaha lokal Vs Investor (Domestik dan Asing). Perkembangan pariwisata di Raja Ampat mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perkembangannya itu bisa dilihat dengan berkembangnya usaha pengelolaan operator pariwisata. Di Raja Ampat usaha ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkembangan industri pariwisata secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat lokal. Kondisi saat ini bisa dilihat dari bagaimana aktivitas masyarakat lokal dalam mengusahakan usaha jasa wisata pengelolaan homestay di Raja Ampat serta bertambahnya investor yang semakin banyak yang menanamkan modalnya di Raja Ampat. Perbedaan yang mencolok antara para pelaku usaha wisata lokal dengan para investor dapat dilihat pada penjelasan berikut ini. Pelaku usaha hanya memiliki lahan, modal semangat, menguasai kondisi lingkungan karena sejak awal mereka dibesarkan sebagai putra daerah di lokasi wisata. Sedangkan para investor memiliki segala-galanya dalam menjalankan usahanya. Kekurangannya dari sisi SDM yakni tidak menguasai bahasa asing/bahasa Inggris, pengelolaan homestay yang belum profesional serta belum memiliki sertifikat diving yang merupakan dasar dalam menunjang tugas seorang pemandu selam ataupun sebagai pemandu wisata - para wisatawan asing kebanyakan tidak mau dilayani kalau para pemandu 35
Wawancara dengan Saudara Mettusael Dimara, pada tanggal 27 Agustus 2011 di Kampung Sawinggrai.
135
lokal tidak dibekali maupun tidak memiliki sertifikat instruktur penyelaman. Berikut ini penjelasan bapak Paulus Sauyai bagaimana para pelaku operator wisata asing dalam memperlakukan pemudapemuda lokal dalam usaha kegiatan wisata. “Sebagai investor Di Raja Ampat, dorang (mereka para investor) sangat hati-hati untuk membina putra daerah. Atau dengan kata lain, mereka tidak mau mendidik putra daerah menjadi pelaku usaha.”36
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Paulus Sauyai di atas, data di bawah ini menunjukkan bagaimana konflik antara para pelaku usaha lokal dengan para investor luar dalam menjalankan usahanya di Kampung Sawinggrai : “Pernah terjadi konflik antara Pa Yesaya dengan bapak Max Ammer. Satu kali (suatu waktu) pa Yesaya pernah kasih rusak speedboadnya pa Max, gara-gara pa Max tidak bayar uangnya Pa Yesaya dengan baik. Hal itu bikin (membuat) Pa Yesaya melarang tamu-tamunya pa Max untuk datang ke kampung untuk melihat burung Cenderawasih. Hal yang buat pa Yesaya marah sampe (sampai) kasih rusak perahunya pa Max dengan potong pake parang, dan mengancam pa max untuk harus bayar uang jasa yang telah dorang (mereka) janji sejak awal dalam perjanjiannya”.37
Informasi di atas menggambarkan bahwa para pelaku usaha tidak takut untuk secara langung berhadapan dengan para investor asing dalam menjalankan usaha wisata di Raja Ampat. Informasi tambahan yang diperoleh peneliti dari bapak Yesaya Mayor tentang peristiwa tersebut, bermula ketika kampung Sawinggrai sering mendapat kunjungan wisatawan yang ditangani oleh perusahaan Mr. Max Ammer. Untuk memudahkan dan menghindari pungutan atau pembayaran jasa mengamati burung cenderawasih pada wisatawan, maka Mr. Max Ammer bekerjasama denga bapak Yesaya Mayor dalam hal pembiayaan. Maksudnya adalah ketika para wisatawan membayar biaya paket kunjungan wisata ke kampung Sawinggrai, maka biaya tersebut akan diberikan kepada bapak Yesaya Mayor lewat operator perusahaan milik Mr. Ammer. Oleh karena itu, ketika para wisatawan berkunjung ke kampung 36
37
136
Wawancara dengan Bapak Paulus Sauyai, pada tanggal 07 September 2011. Wawancara dengan Bapak Berts Saori, pada tanggal 27 Agustus 2011.
tidak perlu lagi untuk membayar uang ke bapak Yesaya. Namun dalam perjalanan waktu, proses pembayaran tidak berjalan sesuai dengan kenyataannya. Menurut bapak Yesaya, jumlah kunjungan wisatawan banyak, namun tidak sesuai dengan harga yang harus diterima oleh beliau sehingga ia mengancam dan merusak fasilitas speedboat milik Mr Max Ammer. Pelaku usaha lokal vs pelaku usaha lokal sendiri di kampung. Ada hubungan kerjasama antara para pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha. Seperti contoh ketika bapak Paulus Sauyai membutuhkan perahu Bapak Yesaya Mayor, maka jika perahu itu tidak digunakan oleh bapak Yesaya maka akan dipinjamkan kepada bapak Paulus. “Saya melihat hubungan kami selaku para pelaku usaha di Kampung Sawinggrai tidak ada konflik. Sebagai contoh, saya punya tamu, maka saya akan serahkan ke Pa Yesaya untuk diantarkan ke hutan untuk melihat burung Cenderawasih.”38
Hubungan yang kurang baik terlihat antara Saudara Mettu Dimara dengan bapak Yesaya. Ketidakharmonisan itu terlihat dari ketidak cocokan antara bapak Yesaya dengan Mettu, sehingga Mettu yang pada saat ini sedang membangun usahanya sendiri dengan membuat sebuah homestay. Dari pandangannya Saudara Mettu Sauyai, usahanya tersebut tidak terlalu mendapat respons positif dari para pelaku usaha homestay usaha lainnya. Berikut pernyataan saudara Mettu Dimara :39 “Sejujurnya saya melihat, sebenarnya ada ketidak senangan antara sesama pelaku usaha. Saya kasih contoh, misalnya pada saat ini saya sedang membangun homestay saya sendiri. Sering kali ketika saya bermain ketempatnya Pa Yesaya, saya sering tidak mendapatkan dukungan positif tentang pembangunan homestay tersebut. Saya sering dikatakan kenapa harus membangun homestay,,??. Namun saya anggap itu angin lalu saja. Jadi sejujurnya hubungan saya dengan Pa Yesaya kurang baik atau tidak harmonis lagi seperti dulu. Kalaupun sekarang saya sering ke homestaynya Pa Yesaya untuk membantunya, itupun karena ada hubungan saudara.”
38
39
Wawancara dengan Saudara Mettu Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011. Wawancara dengan Saudara Mettu Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011.
137
Sejalan dengan pernyataan saudara, Mettu Dimara diatas, hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak Berts Saori. Berikut pernyataannya : “ Selain itu, Pa Mayor juga tidak setuju kalau ada anggota masyarakat lain yang ingin membuat homestay sendiri. Saya pernah diceritakan sama Saudara Mettu, kalau usahanya membangun homestay mendapat halangan dan tidak mendapat dukungan dari Pa Yesaya.”
Pelaku usaha vs Pemerintah desa. Di Kampung Sawinggrai terlihat jelas sekali hubungan yang kurang harmonis yang terjadi antara aparat kampung dalam hal ini kepala kampung, dengan para pelaku usaha terutama bapak Yesaya Mayor. Bapak Paulus Sauyai, memberikan informasi tentang bagaimana pengelolaan dana dari pemerintah daerah berupa dana respek40 yang bersumber dari dana otonomi khusus. “…Secara pribadi menurut saya, aparat kampung mereka dalam mengambil keputusan dan kebijakan selalu mengecewakan masyarakat. Misalnya, tahun 2011 dana yang diterima 200 juta, penggunaan dananya tidak digunakan untuk membangun sesuatu ke arah pariwisata. Sebagai contoh pembelian mesin jahit kaki, dalam hubungan dengan pariwisata seperti apa? Menurut saya tidak ada hubungan dengan usaha wisata.” 41
Hal yang sama juga dilontarkan atau disampaikan oleh bapak Paulus Sauyai menyangkut bagimana mekanisme dan prosedur dalam pengelolaan dana yang diberikan oleh pemerintah kabupaten, dalam hal ini dinas pariwisata. “Pembahasan penggunaan dana 200 juta rupiah tidak pernah dibicarakan secara bersama-sama dengan masyarakat, khususnya dengan kami para pelaku usaha.”
Informasi ini, menunjukan bahwa ada terjadi kekurangan harmonisan antara para pelaku usaha, masyarakat dan apara kampung dalam membicarakan dan merencanakan pemanfaatan dana yang diberikan pemerintah daerah untuk kemajuan dan pembangunan kampung Sawinggrai. 40
41
Dana Respek / dana PNPM Mandiri adalah danah yang diberikan kesetiap kampung. Dana ini sebesar 100 juta sampai dengan 200 juta per tahun. Hasil wawancara dengan Bapak Paulus Sauyai, pada tanggal 07 September 2011.
138
Kesimpulan Dalam bagian ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil sebagai catatan penutup bab ini, antara lain ; Pertama. Sejak awal, kampung Sawinggrai tidak atau belum dianggap sebagai daerah tujuan wisata di Raja Ampat oleh pemerintah daerah. Namun dengan kegigihan dan keuletan komunitas masyarakat dalam hal ini perjuangan bapak Yesaya Mayor dalam mengelola hutan dan mengembangkan lokasi pengamatan burung Cenderawasih, akhirnya saat ini, kampung Sawinggrai berubah menjadi salah satu daerah alternatif kunjungan wisatawan ke Raja Ampat. Dengan potensi obyek wisata yang dimiliki oleh Kampung Sawinggrai khususnya keberadaan burung Cenderawasih dan beberapa obyek wisata lainnya, (telah) membuat kampung Sawinggrai menarik untuk dikunjungi. Kedua, ada sosok pelaku usaha (inisiator) yang berusaha memajukan usaha wisata, dengan tetap menjaga kondisi lingkungan alam lewat kegiatan konservasi, dengan pendekatan pengetahuan lokal (local knowledge) dan kearifan lokal (local wisdom). Selain itu yang menarik dari peran pelaku usaha ini (bapak Yesaya) adalah apa yang dilakukannya pada pada awalnya bukan untuk kepentingan pariwisata, melainkan bertujuan untuk melindungi hutan dibelakang kampungnya. Sehingga apa yang dirintisnya menjadi bermanfaat bagi masyarakat di kampung Sawinggrai. Ini yang kemudian, menjadikan peran ketokohan (actor) bapak Yesaya menjadi salah satu faktor ditetapkannya kampung Sawinggrai sebagai kampung wisata di Raja Ampat. Ketiga, ada aktivitas pariwisata yang dilakukan oleh masyarakat lokal di kampung Sawinggrai. Namun, untuk saat ini masih (hanya) digeluti oleh beberapa anggota masyarakat. Itu dimaklumi, mengingat perkembangan kampung Sawinggrai, belum terlalu lama dikelola sebagai kampung wisata. Dari hasil penelitian peneliti di kampung Sawinggrai terlihat bahwa masih dijumpai kebanyakan dari masyarakat belum menganggap sektor pariwisata sebagai salah satu faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Namun ada kesadaran dari beberapa anggota masyarakat untuk secara sadar dan terus melakukan aktivitas konservasi lingkungan dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai. Masyarakat sadar bahwa keberadaan lingkungan yang terjaga akan 139
dengan sendirinya membawa pengaruh positif terhadap perkembangan pariwisata di kampung ini. Peran serta lembagalembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi institusi yang secara tidak langsung berperan aktif dalam kemajuan memberikan pemahaman dan pendidikan terhadap konservasi lingkungan dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai. Disadari bahwa, ada manfaat dari pengembangan pariwisata bagi komunitas masyarakat lokal di Sawinggrai, namun disatu sisi ada konflik kepentingan yang timbul akibat dampak dari pengembangan pariwisata itu sendiri. Salah satu faktor lainnya yang juga menjadi penting untuk dilihat adalah absennya negara / pemerintah dalam pengembangan pariwisata dalam hal ini memberikan perhatian secara nyata atau langsung – terjun / hadir ke masyarakat di kampung Sawinggrai, menjadi salah satu faktor mendasar dan menjadi perhatian pemerintah daerah dalam mendukung perkembangan pariwisata di Raja Ampat yang berbasis komunitas.
140