BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pariwisata merupakan industri yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup serta dapat membangkitkan sektor-sektor lainnya. Alasan utama dalam pengembangan pariwisata pada suatu daerah sebagai tujuan wisata adalah pembangunan ekonomi daerah atau negara. Pengembangan pada bidang pariwisata ini merupakan sebuah terobosan untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, daerah dan negara. Dewasa ini, pariwisata di Indonesia yang berbasis alam mulai diminati oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Seperti halnya di Provinsi DIY juga mengalami peningkatan jumlah kunjungan wisatawan untuk terus melakukan traveling. Jumlah wisatawan yang mengunjungi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selama 2012 meningkat 46,80 persen dibanding 2011 1. Dengan meningkatnya jumlah wisatawan maka daerah harus memiliki strategi untuk menggali lebih banyak objek wisata baik lokasinya maupun ragamnya. Hal ini didukung oleh potensi sumber daya alam di Indonesia sangat melimpah dan dapat
1
http://www.antaranews.com/berita/jumlah-wisatawan-ke-diy-naik-4680-persen diakses pada tanggal 18 September 2014. 1
dimanfaatkan secara optimal.
Ini merupakan kesempatan bagi daerah untuk
meningkatkan ekonomi dan pembangunan daerah melalui sektor pariwisata. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul provinsi DIY menetapkan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor unggulan yang dapat mendorong pembangunan di Kabupaten Gunungkidul. Dengan meningkatkan industri pariwisata dan jasa-jasa akan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat dan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki banyak potensi pariwisata yang berasal dari alam seperti Pantai, Gunung, Goa Karst dan Air Terjun. Selain potensi wisata alam, Kabupaten Gunungkidul memiliki banyak desa wisata yang kini mulai dikembangkan. Berdasarkan data kepariwisataan DIY tahun 2012, Kabupaten Gunungkidul memiliki 48 titik pantai, kurang lebih 700 goa yang sedang dikembangkan sebagai objek wisata alam diantaranya adalah Pantai Baron, Pantai Siung, Pantai Wedi Ombo, Pantai Sadeng, Pule Gundes, Krakal, Pantai Ngrenehan, Goa Cerme, Goa Jomblang, Gunung Gambar, Gunung Purba Nglanggeran, Kalisuci, Air Terjun Sri Gethuk, dan lain-lain. Di Kabupaten Gunungkidul terdapat 8 desa wisata
yaitu desa wisata Semanu, desa wisata
Bejiharjo, desa wisata Bleberan, desa wisata Beji, desa wisata Bunder, desa wisata Bobung, desa wisata Nglanggeran, dan desa wisata Umbulrejo. Dari data kepariwisataan DIY tahun 2012, objek wisata yang paling banyak dikunjungi oleh 2
http://bappeda.gunungkidulkab.go.id/ diakses pada tanggal 4 Maret 2014
2
wisatawan adalah Pantai Baron, sedangkan desa wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah Bejiharjo dengan Goa Pindulnya. Setiap bulannya objek wisata dan desa Wisata yang ada di Kabupaten Gunungkidul ini mengalami dinamika naik turunnya pengunjung. Naik turunnya pengunjung ini dipengaruhi oleh momen-momen tertentu, misalkan pada libur hari besar atau liburan sekolah. Peningkatan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun nusantara sebagai dampak dari perkembangan pariwisata di Kabupaten Gunungkidul disajikan pada tabel 1.1 berikut : Tabel 1.1 Data Jumlah Kunjungan Wisatawan Di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010 – 2013
NO
TAHUN
WISATAWAN
ANGGARAN
MANCANEGARA
NUSANTARA
JUMLAH
1
2010
585
548.272
548.857
2
2011
1.299
615.397
616.696
3
2012
238
736.519
736.757
4
2013
10.120
1.324.362
1.334.482
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Kab. Gunungkidul Tahun 2013 Berdasarkan Tabel 1.1, bahwa setiap tahun hingga tahun 2013
jumlah
wisatawan nusantara meningkat. Hal ini menandakan adanya perkembangan dan mulai dikenalnya pariwisata di Kabupaten Gunungkidul baik oleh wisatawan
3
mancanegara maupun nusantara. Terjadi lonjakan wisatawan ke Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 hingga mencapai 1.334.482 wisatawan. Lonjakan wisatawan ini hampir dua kali lipat dari tahun 2012 yang hanya berjumlah 726.757 wisatawan. Kabupaten Gunungkidul menyuguhkan banyak potensi wisata alam yang menarik dan unik dan tidak dimiliki oleh empat kabupaten lain di DIY. Wisata yang unik dan menarik ini antara lain Goa Pindul yang ada di Desa Bejiharjo. Daya tarik Goa Pindul ini adalah adanya aliran sungai yang menembus beberapa perbukitan karst dan para wisatawan dapat menikmati keindahan dalam goa dengan cave tubing atau wisata menyusuri goa dengan menggunakan ban. Potensi batuan pada kawasan goa memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena batuan kapur ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan galian untuk bangunan saja tetapi juga mempunyai nilai ekonomi dan ekologis seperti untuk sarang burung walet, sumber daya air, keanekaragaman hayati dan juga sebagai objek wisata alam. Goa adalah suatu lingkungan yang unik dan rentan serta berfungsi sebagai sistem perlindungan proses dari ekologis, menjadi habitat untuk flora dan fauna untuk mempertahankan jenis dan ekosistemnya serta menjadi sumber kehidupan untuk masyarakat lokal (Rachmawati, Eva dalam penelitian LPPM IPB pada tahun 2012). Ekowisata yang bersumber dari kawasan Karst yaitu goa merupakan upaya untuk pemanfaatan sumber daya alam dan upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Keberadaan Goa ini tentunya butuh pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah 4
Daerah bersama masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat itu sendiri. Apabila sebuah sumber daya tidak dikelola dengan baik maka akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia. Dampak positif dari dikelolanya objek wisata tersebut adalah dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke sebuah objek wisata maka desa wisata menjadi ramai dan terkenal. Dengan begitu, masyarakat setempat dapat mencari penghasilan melalui objek wisata dengan mengembangkan desa wisata tersebut. Objek wisata ini sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Gunungkidul. Tetapi sebelum dikelola, keadaan goa ini sangat merana. Sampai pada akhirnya Goa Pindul ini mulai di inisiasi oleh Bapak Soempeno (Alm) selaku Bupati Gunungkidul sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata alam dan dapat dikelola oleh masyarakat Desa Bejiharjo sehingga dapat mencapai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Kemudian pada pertengahan tahun 2010 melalui kepala desa Bejiharjo mulai dibentuk Kelompok Sadar Wisata sebagai kelompok yang dapat mengelola objek wisata yang ada di desa Bejiharjo. Kelompok sadar wisata ini bernama Dewa Bejo, nama Dewa Bejo ini juga merupakan akronim dari Desa Wisata Bejiharjo atau disingkat menjadi Dewa Bejo. Kelompok sadar wisata atau Pokdarwis Dewa Bejo ini merupakan mitra kerja dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul dalam hal pengelolaan objek wisata Goa Pindul. Kemudian Goa Pindul diresmikan sebagai objek wisata alam oleh
5
Almarhum Sumpeno Putro, Bupati Gunungkidul, pada tanggal 10 Oktober 2010 bertepatan dengan fam tour pejabat Kabupaten Gunungkidul. Setelah terbentuk kelompok sadar wisata, kemudian kelompok ini bersama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul mulai memasarkan objek wisata Goa Pindul. Goa Pindul yang tergolong dalam objek wisata minat khusus ini sudah menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Dengan banyaknya wisatawan yang datang ke objek wisata Goa Pindul maka banyak masyarakat Desa Bejiharjo yang memanfaatkan Goa Pindul sebagai ladang usaha. Disaat negara gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan formal bagi masyarakat, masyarakat bergerak sendiri secara mandiri dan kolektif untuk menciptakan lapangan kerja informal. Terbukanya lapangan pekerjaan informal menjadi bukti nyata bahwa terdapat gerakan dari masyarakat untuk keluar dari rantai ketergantungan terhadap negara. Gerakan tersebut diwujudkan dari lahirnya suatu komunitas dalam masyarakat. Ini merupakan bukti nyata bahwa dengan adanya objek wisata alam yang dikelola baik antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat
dapat
mensejahterakan masyarakat. Tetapi, dibalik kejayaan pada objek wisata alam minat khusus Goa Pindul yang terdapat di Padukuhan Gelaran, Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo Gunungkidul ini ternyata tidak berjalan dengan mulus. Banyaknya rintangan dan persoalan yang sampai pada tahun 2013 masih dihadapi oleh Dewa Bejo yang berkaitan dengan masalah pengelolaan objek wisata Goa Pindul. Yang menarik 6
untuk dikaji dalam penelitian ini adalah Dewa Bejo sebagai Pokdarwis (kelompok sadar wisata) dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan pembangunan desa yang memiliki kemampuan melebihi Pokdarwis pada umumnya. Kepeloporan ini terbukti dengan sangat terkenalnya Goa Pindul sebagai objek wisata baru, serta kemampuannya merekrut masyarakat
desanya sebagai partisipan sekaligus
membentuk barisan pertahanan yang kokoh dalam menghadapi berbagai gangguan dari luar. Dewa Bejo juga memberikan kontribusi yang amat besar dalam menambah keanekaragaman objek wisata dan cara menikmati alam, meningkatkan peluang kerja dan penumbuhan peluang usaha yang berujung pada meningkatkan kesejahteraan (mengurangi angka kemiskinan) masyarakat Desa Bejiharjo.
B. Rumusan Masalah : Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terbentuklah sebuah rumusan masalah yang nantinya akan dijawab pada halaman selanjutnya. Adapun rumusan masalah tersebut adalah : Bagaimana kemampuan Dewa Bejo sebagai kelompok sadar wisata dalam mengelola objek wisata Goa Pindul hingga tahun 2013?
C. Tujuan Penelitian :
7
Penentuan tujuan penelitian diperlukan agar penelitian yang dilakukan memiliki arah yang jelas dan sistematis. Secara substansial, tujuan penelitian merupakan jawaban atas masalah-masalah yang dirumuskan. 1. Untuk mengetahui seberapa otonomkah Dewa Bejo 2. Untuk mengetahui bagaimana Dewa Bejo memperluas otonominya 3. Untuk mengetahui bagaimana Dewa Bejo mempertahankan otonominya terhadap situasi konflik D. Landasan Teori D.1
Self Governing Community Potensi sumber daya alam memang selayaknya dikelola agar memberikan
manfaat bagi masyarakat. Sejauh ini, pengelolaan sumber daya alam dapat dikelola oleh pemerintah, masyarakat dan juga instansi-instansi yang terkait. Dalam penelitian ini, pengelolaan sumber daya alam dikelola atas kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Pada akhirnya, kerjasama diantara kedua belah pihak menghasilkan sebuah kelompok yang diharapkan dapat mengelola sumber daya alam secara lebih mandiri, sedangkan disisi lain pemerintah hanya berperan sebagai pendamping masyarakat. Inilah yang dapat memicu munculnya kelompok atau komunitas yang memiliki kemampuan untuk melakukan “pemerintahan” sendiri (dalam hal pengelolaan sumber daya alam), yang kemudian dapat diamati sebagai sebuah self governing community. Untuk memahaminya lebih lanjut, maka kita perlu menyamakan pemahaman terkait dengan konsep komunitas dalam penelitian ini. 8
Konsep ini sangat penting untuk dipahami karena self governing community adalah awal pembentukannya dari komunitas. Pemahaman komunitas memang sangat beragam. Kesatuan hidup setempat dalam satu wilayah yang sama merupakan sebuah syarat yang mutlak untuk terbentuknya sebuah komunitas. Sebagai suatu kesatuan manusia, suatu komunitas memiliki perasaan kesatuan yang mengandung unsur-unsur rasa kepribadian kelompok dan perasaan inilah memiliki ciri-ciri seperti ciri kebudayaan ataupun ciri dari kelompok tersebut (Koentjaraningrat 1990, h. 161). Dalam perkembangannya, istilah komunitas (community) dalam buku-buku sosiologi barat digunakan berganti-ganti dan diberi arti masyarakat (society) kota (city) dan kampung (neighbourhoad). Kata komunitas berasal dari kata latin communire (communio) yang berarti memperkuat dan dari kata ini dibentuk istilah communitas yang artinya persatuan, persaudaraan, umat, kumpulan dan masyarakat (Hendro Puspito 1989 dalam Imbiri 2004, h. 10). Senada dengan hal tersebut, komunitas juga memiliki ciri-ciri yakni sebagai berikut :
Merupakan sebuah kesatuan hidup yang teratur dan tetap, serta memiliki ciri tersendiri.
Komunitas bersifat teritorial, dalam artian memiliki unsur daerah, dimungkinkan memiliki pertalian darah, tradisi dan juga nasib yang sama. Secara lebih jauh, dalam komunitas dapat pula dijumpai sejarah, struktur, aktifitas serta kepemimpinan dari komunitas tersebut. Beberapa diantaranya 9
bersifat komunal atau sendiri-sendiri, dan memiliki aset dalam batas geografis tertentu sebagai teritorinya.
Dari pemahaman tentang komunitas diatas dapat ditekankan bahwa komunitas merupakan sekelompok individu ataupun kelompok masyarakat yang memiliki ikatan tertentu, yang lahir dalam suatu wilayah tertentu. Dalam perkembangannya, terbentuknya komunitas tidak hanya sebatas kesamaan wilayah saja. Konsep mengenai komunitas lebih meluas karena melihat komunitas sebagai suatu wadah untuk dapat saling bekerjasama dalam pemenuhan kepentingan. Mereka terikat atas dasar kesamaan kepentingan dan tujuan. Hal ini diperkuat oleh Soetomo (2006, h. 82) yang telah mengkaji karakteristik komunitas dengan segala nilai-nilai yang ada dalam komunitas. Keberadaan nilai (baca :kepentingan) dapat berpengaruh dalam pembentukan, menjaga eksistensi, hingga solidnya suatu komunitas. Melalui cara pandang tersebut, komunitas dapat bertahan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Sedangkan dari perspektif politik, kajian komunitas dapat dilihat melalui keberadaan struktur kekuasaan antar aktor dalam pembentukan komunitas. Adanya kehadiran elit
yang membawa pengaruh bagi komunitas dan inilah yang dapat
menunjukan adanya struktur kekuasaan. Elit komunitas merupakan aktor yang memiliki berbagai sumber daya yang lebih dibandingkan dengan anggota-anggota komunitas lainnya. Dalam proses pengorganisasian pada komunitas terdapat proses-
10
proses kepemimpinan sehingga dapat dengan mudah melakukan pengorganisasian diri dalam informality governance (Trisnantari 2006, h. 8) Sebagaimana sempat diulas sebelumnya bahwa komunitas dapat mengelola pemerintahannya sendiri. Secara lebih mendalam, self governing dalam komunitas dapat dipahami sebagai suatu konsep yang digunakan untuk menunjukan bahwa dalam penyelenggaraan urusan- urusan kolektif dilakukan secara mandiri oleh komunitas tanpa ada campur tangan dari negara. Mengurus kepentingannya sendiri adalah ciri dari kemandirian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, mandiri dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Dengan demikian, kemandirian dapat dilakukan oleh setiap individu maupun kelompok manakala mereka tidak lagi bergantung pada orang lain. Namun menjadi mandiri bukanlah sesuatu yang mudah. Banyaknya keterbatasan yang dimiliki pada setiap individu maupun kelompok menjadikan rentan untuk tetap bergantung kepada orang lain. Sikap saling bergantung inilah yang menjadi hal wajar bagi sebagian masyarakat. Maka, dapat ditekankan bahwa suatu kemandirian merupakan suatu strategi untuk bertahan melalui optimalisasi potensi secara mandiri yang bersifat sukarela (KBBI 2002). Untuk melihat kemandirian sebuah komunitas, setidaknya ada empat elemen pokok yang harus dipenuhi (Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan PKM dan LPM UNBRAW, 2001) mengemukakan yaitu pertama kemandirian materi dasar
11
serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kedua kemandirian intelektual yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus muncul diluar kontrol terhadap pengetahuan itu sendiri. Ketiga, kemandirian sikap yaitu kemampuan otonom dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul dalam kaitan dengan kehidupan. Kemampuan ini merupakan sintesa dari kesadaran diri, inisiatif, motivasi, kepercayaan diri, pengambilan keputusan untuk bertindak dan sejauh mana kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Dan yang keempat adalah kemandirian manajemen yaitu yang meliputi kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan. Memasuki kajian tentang kapasitas community governance bahwa suatu komunitas memiliki potensi untuk mengelola kepentingan kolektifnya yang belum dipenuhi oleh negara. Ketika negara tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam melakukan fungsi sebagai penyedia kepentingan bagi komunitas, maka komunitas memiliki kemampuam untuk menjadi subsitusi negara. Kapasitas pada komunitas merupakan kemampuan komunitas untuk merencanakan dan menjalankan berbagai fungsi yang ada dalam konsep self governing. Sebuah komunitas yang memiliki kapasitas dalam melakukan governance dalam pemenuhan kepentingan kolektifnya harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Sudarmo 2008, h.104). Pertama memiliki kemampuan untuk mengorganisasi dirinya secara informal. Kedua, memiliki
12
kemampuan untuk belajar dari pengalaman sebelumnya dan hal-hal yang belum diketahui untuk mengantisipasi hal-hal yang akan datang. Ketiga, dapat bekerja dalam waktu yang jelas dan nyata melalui network. Keempat, memiliki kesedian berbagai peran diantara keanekaragaman pelaku sebagai sumber daya manusia dan sumber daya non manusia lainnya
yang tersedia. Yang kelima
adalah
terselenggaranya distribusi intelegenesia untuk memecahkan masalah bersama dan ini berarti menuntut kesediaan berbagi informasi dan komunikasi yang terbuka. Berdasarkan beberapa uraian dari konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa Self governing community berarti komunitas lokal yang membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal yang bersifat swadaya dan otonom. Self governing community juga tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan mereka tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara (Sutoro Eko 2006 dalam Trisnantari 2010, h. 5). Disinilah dapat dipahami bahwa mereka memiliki otonomi yang relative kuat dalam pengelolaan urusan mereka. E. Definisi Konseptual Istilah yang digunakan pada governing seringkali disamakan dengan definsi dari governance. Tetapi pada kenyataannya kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Governance biasanya mengacu pada pola, sedangkan governing lebih kepada prosesnya. Terdapat kata kunci dari istilah governing yaitu memandu (guide),
13
mengarahkan (steering), mengontrol (control), dan mengelola (manage). Dari kata kunci diatas dapat dijelaskan bahwa pengertian dari governing adalah sebagai aktivitas yang dijalankan oleh aktor politik atau sosial sebagai suatu upaya dengan tujuan tertentu yang sifatnya memandu, mengarahkan, mengontrol serta mengelola. F. Definisi Operasional Suatu komunitas dapat dikatakan sebagai Self Governing Community apabila komunitas tersebut memiliki otonomi, kewenangan dan juga dapat mengurus kepentingannya secara sendiri dan mandiri. Pada objek wisata Goa Pindul Kabupaten Gunungkidul
menggunakan
konsep
Self
Governing
Community
dalam
pengelolaannya karena Dewa Bejo sebagai kelompok memiliki otonomi dan kewenangan. Maka penelitian ini juga ingin mengetahui seberapa berhasilkah kelompok ini dalam mempertahankan otonominya. G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Menentukan metode penelitian bukan merupakan persoalan yang mudah karena metode penelitian merupakan dasar untuk melakukan sebuah penelitian. Penelitian sendiri merupakan proses serta rangkaian yang dilakukan secara terencana dan sistematis. Sehingga harapan dari sebuah penelitian mampu memecahkan dan menjawab suatu permasalahan tertentu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
14
metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboraturium melainkan harus terjun di lapangan (Nazir,Muhammad. 1986. Metode Penelitian. Bandung:Remaja Rosdakarya), halaman 159. Sehubungan dengan masalah penelitian ini, maka penelitian mempunyai pedoman pelaksanaan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dimana yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah
(Nawawi, Hadari. 1994. Metode Penelitian Ilmiah.
Jakarta: Rineka Cipta), halaman 176. Studi kasus menjelaskan secara komprehensif mengenai berbagai macam aspek yang mencakup aspek individu, organisasi, program maupun situasi sosial yang kemudian akan dideskripsikan berdasarkan datadata yang telah diperoleh dilapangan. Orientasi yang menonjol dari metode penelitian kualitatif studi kasus yakni merupakan sebuah pemahaman untuk dapat menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan terkait dengan mengapa keputusan itu diambil dan bagaimana diterapkan serta apa pula hasilnya (Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara wacana ; Yogyakarta) Halaman 118. Kemudian pendekatan yang dipakai yaitu ditunjang dengan deskriptif, terutama digunakan sebagai penelaah pemahaman terkait dengan kemandirian masyarakat dalam pengelolaan objek wisata Goa Pindul.
15
Skripsi ini dianggap penulis menjadi sebuah studi kasus karena memiliki ciriciri sebagai berikut : 1. Dewa Bejo adalah nama kelompok sadar wisata (Pokdarwis), setiap objek wisata ada pokdarwisnya, jadi jumlah pokdarwis sangatlah banyak, namun dalam pengamatan pada survey awal penelitian Dewa Bejo yang akronim dari Desa Wisata Bejiharjo ini memiliki kelebihan dibanding pokdarwis lainnya. 2. Terdapat permasalahan yang serius dalam pengelolaan objek wisata Goa Pindul kabupaten Gunungkidul. Permasalahan tersebut merupakan suatu peristiwa yang dipandang cukup serius yang dialami oleh Dewa Bejo dan juga masyarakat Bejiharjo. 3. Belum dapat terselesaikannya masalah pengelolaan objek wisata Goa Pindul sehingga memunculkan banyaknya hambatan serta menimbulkan kerugian. 4. Diperlukannya bantuan dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam proses penyelesaian permasalahan pengelolaan objek wisata Goa Pindul.
G.2. Lokasi Penelitian Desa Wisata Bejiharjo merupakan desa wisata yang terletak di Padukuhan atau Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Kehadiran Desa Wisata Bejiharjo bermula dari keinginan Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul untuk mengembangkan objek wisata di daerahnya, salah satunya dengan cara membuat desa wisata baru. Pilihan desa wisata
16
tersebut jatuh pada Desa Bejiharjo. Sepintas desa ini tidak jauh beda dengan desadesa lain yang ada di Gunungkidul, namun yang membedakan adalah desa tersebut memiliki daya tarik destinasi yang dapat dikembangkan yaitu potensi alam. Hal tersebut dikarenakan desa Bejiharjo memiliki alam yang masih alami berupa pemandangan alam yang dilengkapi dengan aliran sungai Oyo serta Goa yang didalamnya terdapat stalaktit dan stalakmit terbesar, terbanyak dan teraktif bernama Goa Pindul.
G.3 Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh dengan cara observasi dan wawacara, sedangkan data sekunder dari dokumenter. Adapun tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah : G.3.1. Observasi Observasi awal penelitian skripsi ini dilakukan pada saat refreshing untuk menghilangkan penat kegiatan kampus dan ingin menikmati keindahan alam yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu goa yang sedang naik daun ini. Berbekal dengan obrolan ringan dengan para pengelola Goa Pindul yang merupakan masyarakat desa Bejiharjo ini yang terkesan unik, serta mengembangkan ide penulis dalam rencana penyusunan tema skripsi. Sehingga observasi pra penelitian ini telah dilakukan dua kali. Yang pertama belum ada gambaran sekilas dan yang kedua
17
dilakukan setelah latar belakang sudah diketahui. Sementara keberlanjutan observasi dalam pembahasan dilakukan bersamaan dengan wawancara mendalam. Observasi dipilih sebagai salah satu teknik pengumpulan data karena dengan observasi peneliti dapat melihat karakteristik dari masyarakat setempat yang statusnya menjadi pengelola.
G.3.2. Teknik Wawancara Wawancara merupakan proses komunikasi dan interaksi yang dilakukan dengan pengajuan pertanyaan secara lisan kepada responden secara face to face relationship (Nawari, Hadari. 1983:111). Adapun wawancara tersebut bertujuan untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam setelah observasi. Wawancara pra penelitian penulis dilakukan dengan anggota aliansi Rantau Bejiharjo dengan bapak Sumardiono yang bekerja di Yogyakarta. Setelah melakukan wawancara penelitian, peneliti akan menyiapkan strategi wawancara lebih lanjut untuk mengklasifikasi beberapa aktor yang menjadi informan yaitu : 1. Ketua Komunitas Dewa Bejo (Pokdarwis) yaitu Bapak Subagyo, dimana pemimpin ini yang memegang kekuasaan tertinggi dalam level komunitas di Goa Pindul 2. Ketua Komunitas Panca Wisata yaitu Bapak Warman 3. Ketua Komunitas Wira Wisata yaitu Bapak Haris Purnawan 4. Penyedia jasa parkir objek wisata Goa Pindul
18
5. Penyedia jasa makanan dan minuman 6. Penyedia jasa toilet dan wc umum 7. Masyarakat sekitar 8. Aliansi Rantau Bejiharjo 9. Kepala Desa Bejiharjo yaitu Bapak Yanto dan juga tokoh masyarakat desa Bejiharjo, dimana tokoh masyarakat setempat yang memahami karakteristik dari masyarakat Bejiharjo serta dapat memahami dinamika yang terjadi di desa wisata Goa Pindul. 10. Staf Ahli Bupati Gunungkidul Bidang Hukum dan Politik yaitu Bapak Hidayat S.H, M.Si dimana beliau sebagai perpanjangan tangan dari negara dan terlibat sejak awal terjadinya konflik hukum berkaitan dengan status kepemilikan Goa Pindul.
G.3.3. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan sumber informasi penelitian dari data sekunder berupa dokumen. Dokumen ini berupa penunjang yang penulis dapatkan dari beberapa studi pustaka seperti jurnal maupun buku-buku yang ditujukan sebagai pembanding dan pelengkap sekiranya memiliki kedekatan relevansi dengan bahasan terkait dengan pengelolaan objek wisata Goa Pindul.
G.4 Tekhnik Analisa Data
19
Tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : G.4.1. Pengumpulan Data Tahap pertama adalah mengumpulkan data yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Pada tahap ini merupakan usaha untuk mendapatkan data yang akurat terhadap masalah penelitian. Tahap ini dilakukan sebagai usaha untuk mendapatkan gambaran langsung dan permasalahan sejumlah sasaran pokok penelitian terkait dengan pengelolaan Goa Pindul. G.4.2. Analisis Data Pada tahap ini merupakan tahap dalam penyajian data dan menganalisis data yang diperoleh sesuai dengan tujuan dari penelitian. Tahap ini memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan yang berdasarkan dari pemahaman yang diperoleh dari analisis data. Dan tahap analisis ini adalah membuat transkip dari setiap wawancara yang dilakukan. Untuk wawancara yang tidak dapat direkam dilakukan dengan menggunakan catatan-catatan kecil. Kemudian Transkip dari berbagai informan tersebut kemudian dikelompokan sesuai dengan kategori informan. Setelah terkumpul menjadi satu kategori, transkip tersebut dibaca kembali dan memilah jawaban informan sesuai dengan kategori pertanyaan yang diajukan. Dan pertanyaan ini dikategorikan sesuai dengan pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Jawaban yang beragam tersebut kemudian dibaca ulang sehingga dari jawaban tersebut dapat dilihat posisi seorang informan dalam
20
merespon suatu pertanyaan. Dengan demikian data tersebut dapat dianalisis dengan teori yang ada dan mendapatkan kesimpulannya.
H. SistemAtieka BAB Bab pendahuluan berisikan tentang deskripsi singkat mengenai penelitian ini berisi tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan, landasan teori dan metode penelitian. Bab selanjutnya akan membahas tentang gambaran umum wilayah objek kajian yang terdiri dari kondisi pariwisata yang ada di Kabupaten Gunungkidul, potret desa Bejiharjo sebagao objek penelitian dan aktor-aktor yang ada lingkungan objek wisata Goa Pindul meliputi Dewa Bejo sebagai kelompok sadar wisata dan Ny Atiek Damayanti sebagai pemilik tanah diatas Goa Pindul. Setelah mengetahui gambaran umum dan mengetahui aktor-aktor yang ada di lingkungan Goa Pindul melalui metode pengumpulan data, maka bab 3 berisi tentang pembahasan dan analisis. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah setelah data dikumpulkan kemudian data tersebut disajikan pada bab pembahasan dan analisis data yang diperoleh sesuai dengan tujuan dari penelitian. Dan bab yang terakhir adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan merupakan refleksi dari bab-bab sebelumnya dan apakah sudah menjawab rumusan masalah dalam penelitian.
21