BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kampung Adat Dukuh Kampung Adat Dukuh merupakan kelompok masyarakat tradisional yang memegang dan melaksanakan tali tradisi leluhur. Kata dukuh berasal dari kata padukuhan, dukuh yang berarti calik (duduk). Jadi dukuh berarti tempat bermukim atau tempat tinggal. Asal mula terbentuk Kampung Adat Dukuh yaitu dari kedatangan Syekh Abdul Jalil, seorang ulama yang sebelumnya mengabdi kepada kerajaan Sumedang Larang, tetapi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penghulu pada abad 17. Syekh Abdul Jalil mengundurkan diri dari kerajaan Sumedang Larang karena pada waktu itu Bupati Sumedang Pangeran Rangga Gempol melanggar perjanjian dengan Syekh Abdul Jalil yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh Syara (hukum/aturan Islam). Pangeran Rangga Gempol memerintahkan kepada prajurit Sumedang untuk membunuh utusan dari kerajaan Banten yang mengajak kerajaan Sumedang untuk turut pada pemerintahan Banten (Sumakerti & Warjita 2007). Peristiwa itu terdengar oleh Syekh Abdul Jalil, sehingga beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penghulu karena kerajaan Sumedang Larang telah melanggar aturan Syara. Syekh Abdul Jalil kemudian pergi meninggalkan Sumedang, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam perjalanannya senantiasa berdo’a memohon petunjuk kepada Allah SWT agar menemukan tempat yang cocok dan tenang untuk beribadat dan menyebarkan ajaran Islam. Akhirnya setelah perjalanan hampir 7 tahun, tepatnya pada tanggal 12 Maulud tahun Alif (Hijriyah) ketika selesai bertafakur di daerah Tonjong, beliau melihat seberkas cahaya bergerak ke suatu tempat, kemudian beliau mengikutinya dan ternyata cahaya tersebut berhenti pada suatu tempat di daerah Garut selatan, diantara sungai Cimangke dan Cipasarangan. Daerah inilah yang berkembang menjadi Kampung Adat Dukuh sampai sekarang. Di tempat ini beliau mulai menyebarkan Islam dan membentuk pemukiman.
18
Dari keterangan Mama Uluk Lukman sebagai ketua adat, Kampung Adat Dukuh terbentuk diperkirakan pada tahun 1685, dengan perhitungan Syekh Abdul Jalil meninggalkan Sumedang tahun 1678 ditambah dengan perjalanan beliau untuk menemukan Kampung Adat Dukuh selama 7 tahun. Jika dijumlahkan dari beliau mulai pergi dan perjalanan maka angka tahunnya adalah 1685 Masehi. Kampung Adat Dukuh dipimpin oleh seorang kuncen, hingga tahun 2009 telah terjadi pergantian sebanyak 14 kuncen dan saat ini dipimpin oleh Mama Ajengan Uluk Lukman. Jabatan kuncen diperoleh karena garis nasab/keturunan, jika keturunan kuncen tidak bisa melanjutkan pemerintahan, maka dipilih kuncen berikutnya dari kerabat kandung kuncen terdahulu. Peranan kuncen dalam kehidupan masyarakat sangat sentral, apalagi terhadap masyarakat Kampung Adat Dukuh dalam, mulai dari kehidupan agama sampai pada kehidupan sosial. Sejak berdiri sampai sekarang Kampung Adat Dukuh telah mengalami tiga kali kebakaran, yaitu pada tahun 1949 saat Agresi Militer Belanda II. Perkampungan sengaja dibakar oleh penduduk karena takut dikuasai oleh penjajah. Kebakaran ke-2 terjadi pada masa pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo, perkampungan dibakar oleh pemerintah dengan alasan kondisi tanah yang subur dikhawatirkan akan dijadikan basis pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Sementara kebakaran ke-3 terjadi pada tahun 2006 akibat kelalaian salah satu warga yang lupa mematikan api pada tungku (kebakaran bukan disengaja). 4.2 Letak dan Luas Secara administratif Kampung Adat Dukuh temasuk dalam kawasan RT. 01, 02, 03 / RW 06 Kapunduhan Barujaya, Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa Ciroyom merupakan pemekaran dari Desa Cibambe pada tahun 2006. Jarak Kampung Adat Dukuh dari ibu kota kecamatan ± 10 km, dengan 9 km harus ditempuh pada jalan bebatuan yang terjal dan menanjak karena jalan aspal hanya sampai pada jalan Cijambe. Kampung Adat Dukuh yang berada cukup jauh dari pusat kota kecamatan Cikelet, dibatasi oleh hutan produksi milik Perhutani Jawa Barat, lahan hutan adat milik masyarakat serta ladang, kebun dan pesawahan. Lokasi perkampungan yang jauh dari kampung-kampung lainnya, diperparah dengan kondisi jalan berbatu serta tidak
19
ada aliran listrik, seolah menempatkan Kampung Adat Dukuh sebagai daerah yang terisolir. Adapun batas-batas administratif Kampung Adat Dukuh adalah : •
Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Palasari Desa Karangsari.
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Cibalangung Desa Cijambe.
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Nangela Desa Karangsari.
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Ciawi Desa Ciroyom. Luas Kampung Adat Dukuh dalam dan luar adalah ± 5 Ha serta luas hutan
tutupan dan larangan ± 7 Ha. Jumlah rumah di kampung dalam ada 36 suhunan (bangunan), yang terdiri dari 32 rumah warga dan 4 bangunan merupakan fasilitas umum berupa mesjid, madrasah, bumi alit (tempat tafakur) dan pemandian umum. Ada juga tanah yang kosong karena ada sebagian warga yang masih trauma dengan kebakaran tahun 2006. Sementara Dukuh luar sudah mencapai 80 rumah. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta lokasi Kampung Adat Dukuh
20
4.3 Demografi dan Kependudukan Kehidupan masyarakat Kampung Adat Dukuh begitu sederhana jauh dari kemewahan dunia. Masyarakat hidup berdampingan dengan tentram, saling menghargai, menghormati, serta taat aturan agama dan adat. Peran kuncen/pupuhu adat begitu menonjol dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran agama atau pengajian diberikan kepada semua kalangan masyarakat. Masyarakat Kampung Adat Dukuh termasuk ke dalam suku Sunda, dengan agama yang dianut adalah Islam. Data Desa Ciroyom bulan Juni tahun 2009, Kampung Adat Dukuh (dalam dan luar) berpenduduk sebanyak 406 Jiwa dengan jumlah KK 89. Adapun rincian adalah sebagai berikut :
•
RT 01 = 30 kepala keluarga, 99 orang.
•
RT 02 = 23 kepala keluarga, 104 orang.
•
RT 03 = 36 kepala keluarga, 203 orang.
4.4 Mata Pencaharian dan Pendidikan Masyarakat Kampung Adat Dukuh bermata pencaharian sebagian besar sebagai petani. Ada juga yang menjadi pedagang di luar daerah seperti Garut dan Bandung. Sebagai sumber tambahan penghasilan adalah dengan memelihara hewan ternak kambing, domba, dan kolam ikan. Meskipun hasilnya tidak besar masyarakat selalu berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumber penghasilan pertanian utama adalah dari Cengkeh (Syzygium aromaticum). Selain menjadi petani dan pedagang ada juga sebagian warga yang menjadi buruh, wiraswasta dan pegawai desa/kantor/PNS. Namun khusus untuk masyarakat Dukuh dalam tidak diperbolehkan menjadi Pegawai Negeri karena asal muasal Syekh Abdul Jalil yang sengaja mundur dari jabatan pegawai negeri pada pemerintahan kerajaan Sumedang. Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Adat Dukuh dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Dari mulai pendidikan sekolah dasar sampai perguruan tinggi telah ada pada masyarakat. Jarak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sudah sangat dekat dengan pemukiman hanya sekitar 5 km. Sementara untuk sekolah menengah atas dan perguruan tinggi jaraknya cukup jauh dan memerlukan kendaraan untuk menempuhnya karena letaknya di kota.
21
Pada tahun 2009 bahkan telah mulai dirintis pendidikan setingkat taman kanakkanak (Pa’ud) yang dipersiapkan untuk anak-anak sebelum masuk pendidikan sekolah dasar.
4.5 Iklim dan Topografi Iklim di Kampung Adat Dukuh hampir sama dengan wilayah lain di Jawa Barat yaitu tropis. Meskipun letaknya berada di daerah pesisir pantai Garut selatan, namun kondisi udara di Kampung Adat Dukuh tidak panas meskipun hanya berjarak ± 9 km dari pantai. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan hutan yang mengelilingi kawasan kampung, serta letaknya yang berada di lereng Gunung Dukuh. Kampung Adat Dukuh diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Cimangke dan Cipasarangan yang airnya terus mengalir sepanjang tahun. Ketinggian Kampung Adat Dukuh adalah 390 m dpl dengan suhu rata-rata 26° C dan letak astronomis pada garis 7° - 8° LS. 70 - 108° BT (Sumakerti & Warjita 2007). Hutan di Kampung Adat Dukuh memberikan sumber air yang tiada surutnya sepanjang tahun bagi masyarakat.
4.6 Keadaan Biotik (Flora dan Fauna) Kehidupan masyarakat yang erat dengan alam, mendorong pola hidup dengan senantiasa memelihara dan merawatnya dengan arif dan bijaksana. Banyak jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Diantara jenis tumbuhan yang ada adalah beringin (Ficus benjamina), salam (Syzygium polyanthum), kelapa (Cocos nucifera), aren (Arenga pinnata), dan lain-lain. Sementara untuk jenis tumbuhan obat yang ada diantaranya kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale) dan sebagainya. Untuk jenis-jenis satwa meskipun jumlahnya sedikit tetapi masyarakat tidak pernah mengganggu keberadaannya. Adapun jenisnya diantaranya Musang luwak (Paradoxurus hermaprodithus), Bajing kelapa (Calosiurus notatus), Elangular bido (Spilornis cheela), Walet linchi (Collocalia linchi), Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), dan sebagainya.