BAB II URAIAN TEORITIS
II.1. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terkait dengan penelitian ini diantaranya oleh Rosita (2005) yang meneliti Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Karyawan Pada PT. Tolan Tiga Indonesia. Penentuan sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan Slovin method sebanyak 81 orang karyawan staf perusahaan. Metode analisis yang digunakan adalah Structural Equation Modelling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan terhadap budaya organisasi dan kepuasan karyawan. Selain itu model SEM menemukan adanya pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap kepuasan karyawan dan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kepuasan karyawan. Agustina (2006) dalam penelitian yang berjudul ”Hubungan Sikap Dan Lingkungan Internal Dengan Prestasi Kerja Karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta Tahun 2006”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif antara: (1) sikap dengan prestasi kerja karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta tahun 2006, (2) lingkungan internal dengan prestasi kerja karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta tahun
Universitas Sumatera Utara
2006, (3) sikap dan lingkungan internal dengan prestasi kerja karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta tahun 2006. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh: (1) Ada hubungan yang positif dan signifikan antara Sikap dengan prestasi kerja karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta tahun 2006, (2) Ada hubungan yang positif dan signifikan antara lingkungan internal dengan prestasi kerja karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta tahun 2006, (3) Ada hubungan yang positif dan signifikan antara sikap dan lingkungan internal secara bersama-sama dengan prestasi kerja karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta tahun 2006. Kusnan (2004) meneliti dengan judul ”analisis sikap iklim organisasi, etos kerja dan disiplin kerja dalam menentukan efektivitas kinerja organisasi di Garnisun Tetap III Surabaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis iklim organisasi, etos kerja dan disiplin kerja dalam menentukan efektivitas kinerja organisasi. Populasi dalam penelitian ini adalah kepada seluruh prajurit dan pegawai sipil organisasi Garnisun Tetap III yang berjumlah 212 orang. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan stratified random sampling, dan jumlah sampel 62 orang terdiri dari tingkatan/ strata TNI, AD, AL, AU maupun pegawai sipil dari Garnisun Tetap III Surabaya. Metode analisis data menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim organisasi dan etos kerja di Garnisun Tetap III Surabaya tidak berpengaruh signifikan terhadap efektivitas kinerja organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan disiplin kerja di Garnisun Tetap III Surabaya berpengaruh signifikan terhadap efektivitas kinerja organisasi. Riset yang dilakukan oleh Falih (2004) yang menguji pengaruh struktur organisasi, budaya organisasi, kepemimpinan, aliansi strategis terhadap inovasi organisasi dan kinerja organisasi hotel bintang tiga di Jawa Timur. Hasil menunjukkan
struktur
organisasi,
budaya,
kepemimpinan,
aliansi
strategis
berpengaruh terhadap inovasi dan kinerja organisasi. Achmadhari (2005) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh budaya organisasi, etos kerja dan kepuasan kerja terhadap Prestasi Kerja pada Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Gresik”.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat
hubungan yang positip antara budaya organisasi, etos kerja, dan kepuasan kerja terhadap prestasi kerja secara parsial dan simultan, dan kepuasan kerja paling dominan pengaruhnya terhadap prestasi kerja. Riset yang dilakukan oleh Soedjono (2007) yang menguji pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja organisasi dan kepuasan kerja karyawan pada terminal penumpang umum di Surabaya. Hasil menunjukkan Budaya organisiasi berhubungan dengan kepuasan kerja, motivasi dan kepuasan gaji. Kepuasan gaji juga berhubungan dengan motivasi dan produktifitas kerja. Adapun penelitian terdahulu dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 2.1. berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.1. Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul Penelitian/Tahun
Hasil
1.
Rosita
Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
(2005)
Organisasi terhadap Kepuasan Karywan pada
gaya kepemimpinan terhadap budaya organisasi dan
PT. Tolan Tiga Indonesia.
kepuasan karyawan.
Agustina
Hubungan Sikap Dan Lingkungan Internal
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
(2006)
Dengan Prestasi Kerja Karyawan Perusahaan
Sikap dengan prestasi kerja karyawan, terdapat hubungan
Daerah Air Minum Kota Surakarta Tahun
yang positif dan signifikan antara lingkungan internal
2006
dengan prestasi kerja, dan terdapat hubungan yang positif
2
dan signifikan antara sikap dan lingkungan internal secara bersama-sama dengan prestasi kerja karyawan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surakarta 3.
Kusnan
Analisis Sikap Iklim Organisasi, Etos Kerja
Iklim organisasi dan etos kerja di Garnisun Tetap III
(2004)
dan
Surabaya
Displin
Kerja
dalam
Menentukan
tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
Efektifitas Kinerja Organisasi di Garnisun
efektifitas kinerja organisasi. Sedangkan disiplin kerja di
Tetap III Surabaya.
Garnisun Tetap III Surabaya berpengaruh signifikan terhadap efektifitas kinerja organisasi.
4.
Suaidi
Pengaruh
Budaya
Kesimpulan penelitian ini adalah: struktur organisasi,
Falih
Organisasi, Kepemimpinan, Aliansi Strategis
budaya, kepemimpinan, aliansi strategis berpengaruh
(2004)
Terhadap Inovasi Organisasi dan Kinerja
terhadap inovasi dan kinerja organisasi.
Struktur
Organisasi,
Organisasi Hotel Bintang Tiga di Jawa Timur. 5.
Soedjono
Pengaruh
Terhadap
Ada pengaruh signifikan dari budaya organisasi terhadap
(2007).
Kinerja Organisasi dan Kepuasan Kerja
kinerja organisasi, ada pengaruh signifikan dari kinerja
Karyawan pada Terminal Penumpang Umum
organisasi terhadap karyawan, ada pengaruh signifikan
di Surabaya.
dari budaya organisasi terhadap kepuasan pelanggan,
Budaya
Organisasi
tidak ada pengaruh langsung dari budaya organisasai yang
diarahkan
pada
kinerja
organisasi
terhadap
kepuasan karyawan. 6.
Achmad
Pengaruh budaya organisasi, etos kerja dan
Terdapat
hari
kepuasan kerja terhadap Prestasi Kerja pada
organisasi, etos kerja, dan kepuasan kerja terhadap
hubungan
yang
positip
antara
budaya
(2005)
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten
prestasi kerja secara parsial dan simultan, dan kepuasan
Gresik
kerja paling dominan pengaruhnya terhadap prestasi kerja.
7.
Hubungan
Peranan
Budaya
Hasil penelitian menunjukan terdapat korelasi yang kuat
Good
antara budaya perusahaan dengan good corporate
Aneka
governance, yang menunjukkan semakin kuat penerapan
Widuri
Analisis
dan
Perusahaan
Terhadap
Paramita
Corporate
Governance
(2008)
Tambang Tbk
M.
Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan
Budaya Organisasi dan Etos Kerja secara simultan dan
Zulham
Etos Kerja terhadap Kinerja Pegawai Fakultas
parsial terhadap kinerja pegawai FE USU Medan.
(2008)
Ekonomi USU Medan.
Penerapan pada
PT
budaya perusahaan, maka semakin tinggi penerapan good corporate governance.
8.
Universitas Sumatera Utara
II.2. Budaya Organisasi II.2.1. Pengertian dan Dimensi Budaya Organisasi Budaya (culture) dalam pengertian luas, atau jika disesuaikan dengan konteks budaya perusahaan (corporate culture) memang merupakan tema dasar yang tak akan lekang dimakan waktu. Lebih spesifik lagi, jika dikaitkan dengan permasalahan mendasar berbagai organisasi di Indonesia, corporate culture menjadi sebuah dimensi yang tak dapat ditunda dan ditawar lagi urgensi kebutuhannnya. Ada dua alasan utama yang mendasari urgensi kebutuhan tersebut. Pertama, untuk skala”organisasi” Indonesia, selama puluhan tahun sejak merdeka, para pemimpin kita lebih gemar dengan pendekatan-pendekatan berbau ekonomi politik. Bahasa elitnya, ekonomi dan politik sebagai panglima. Pendekatan budaya (cultural approach) berada diurutan belakang. Kedua, untuk skala “organisasi” industri, berbagai penelitian dan temuan membuktikan bahwa pendekatan corporate culture yang memadai bukan hanya membuuat sebuah perusahaan menapak tahapan goog tetapi bahkan great-dalam proses dan dinamika perkembangannya. Di skala lebih luas, kurang dan lemahnya pendekatan budaya melahirkan banyak ekses. Antara lain, sering terjadinya cultura clash di antara industri-industri yang seharusnya dapat bergandengan tangan secara harmonis. (Cultural clash BUMN Parlemen, Herry Tjajono, Bisnis Indonesia, 20/2/2007). Budaya adalah suatu sistem pembagian nilai dan kepercayaan yang berinternal dan berinteraksi dengan orang dalam suatu organisasi, struktur organisasi
Universitas Sumatera Utara
sistem kontrol yang menghasilkan norma perilaku. Menurut Schein (dalam Tika, 2006) ”budaya sebagai suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cars yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut”. Demikian pula organisasi telah banyak didefinisikan oleh para ahli organisasi dan manajemen antara lain sebagai berikut : organisasi adalah kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi adalah kerja sama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitasaktivitas atau kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. Organisasi adalah pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggung j awab. Robbin (2001) menyatakan bahwa ”budaya organisasi adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, yang dapat menggambarkan tentang caracara melakukan suatu pekerjaan di tempat tertentu serta asumsi kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi”. Berdasarkan pernyataan di atas terkandung unsur-unsur dalam budaya organisasi sebagai berikut : 1. Asumsi dasar Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.
Universitas Sumatera Utara
2. Keyakinan yang dianut Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi. Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan umum organisasi/ perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelaskan usaha. 3. Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi. Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin organisasi/ perusahaan atau kelompok tertentu dalam organisasi atau perusahaan tersebut. 4. Pedoman mengatasi masalah Dalam organisasi/perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi. 5. Berbagi nilai Dalam budaya organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang. 6. Pewarisan Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi/perusahaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
7. Penyesuaian. Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi/ perusahaan terhadap perubahan lingkungan. Budaya organisasi mempunyai kedudukan yang cukup signifikan, karena mempelajari bagaimana organisasi berhubungan dengan lingkungan sehingga dapat meningkatkan komitmen organisasi serta konsistensi dari perilaku anggotanya. Menurut Sarplin (dalam Lako, 2004) menyatakan bahwa : “Budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi”. Menurut Kotter dan Heskett (dalam Soetjipto, 2007) “budaya organisasi pada dasarnya merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam organisasi, contohnya: kesigapan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan, sedangkan nilai mencerminkan keyakinan atau kepercayaan mereka akan akan hal-hal tertentu yang mampu mendatangkan kesuksesan, contohnya: perhatian yang besar pada kepuasan para pelanggan. Jika keduanya dibandingkan, norma relatif lebih kasat mata dan lebih mudah untuk dirubah”. Menurut Robbins (dalam Tjahyono, 2004), Budaya organisasi merupakan persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi; suatu sistem dan makna bersama. Implikasi yang lebih penting dari budaya organisasi berkaitan dengan keputusan seleksi sehingga mempekerjakan individu yang tidak sesuai dengan aturan organisasi akan menghasilkan karyawan yang kurang motivasi. Sedangkan Hofstede et al. (1993) mendefinisikan budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1) Karakteristik organisasi yang kelihatan
(observable) Pada level observable,
budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola perilaku, peraturan, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. 2) Karakteristik organisasi yang tidak kelihatan (unobservable). Sementara pada level unobservable, budaya organisasi mencakup shared value, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan sekitarnya. Perusahaan yang berorientasi pada kepentingan pasar memerlukan budaya dukungan (support culture) dan budaya prestasi (achievement culture) sebagai cara meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan. Budaya organisasi yang efektif adalah budaya organisasi yang mengakar kuat dan dalam. Di perusahaan yang berbudaya demikian, hampir semua individunya menganut nilai-nilai yang seragam dan konsisten. Setiap organisasi atau bahkan setiap bagian dalam suatu organisasi menunjukkan simbol dan ritual yang berbeda karena didalamnya terdiri dari berbagai individu dengan dengan latar belakang dan pengalaman yang beragam. Namun demikian budaya organisasi memiliki sejumlah dimensi yang berguna untuk memudahkan setiap upaya pengidentifikasian karakteristik budaya tertentu dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Hofstede (1993) menyebutkan adanya 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dapat ditemukan pada berbagai organisasi, yaitu : 1. Process-oriented versus results-oriented Organisasi dengan budaya berorientasi pada proses ditandai dengan karyawan yang bekerja di dalamnya cenderung memusatkan perhatian pada proses kegiatan dan bukan pada pencapaian hasil, menghidari resiko, tidak berusaha dengan keras, dan berpendapat bahwa setiap hari esok yang akan dialaminya bermakna sama dengan hari-hari sebelumnya tanpa perubahan tantangan. Sebaliknya pada budaya organisasi yang berorientasi pada hasil, karyawan cenderung memusatkan perhatiannya pada pencapaian hasil terlepas dari proses atau kegiatan yang dilakukannya, merasa nyaman dengan situasi yang berbeda atau menantang, selalu berusaha secara maksimal, dan menganggap bahwa datangnya hari esok akan membawa tantangan tersendiri yang berbeda dengan hari-hari atau waktu sebelumnya. Dalam konteks yang demikian ini, budaya organisasi dengan orientasi pada hasil merupakan strong culture atau budaya yang positif. 2. Employee-oriented versus job-oriented Dalam organisasi yang berorientasi pada employee, karyawan merasa bahwa masalah-masalah personal mereka pada dasarnya adalah masalah organisasi juga, pimpinan harus bertanggung jawab dalam mengatasi masalah kesejahteraaan individu dan keluarganya, sementara dalam pengambilan keputusan organisasi cenderung melibatkan banyak pihak atau komunal. Sebaliknya dalam organisasi
Universitas Sumatera Utara
yang berorientasi pada job, karyawan merasakan adanya tekanan yang kuat untuk menyelesaikan semua pekerjaan, karyawan berpikir dan menyadari bahwsa organisasi hanya berkepentingan dengan penyelesaiaan pekerjaan, sementara proses pengambilan keputusan cenderung dilakukan secara individual. 3. Parochial versus professional Pengenalan terhadap organisasi yang berbudaya parokhial dapat ditentukan melalui perasaan karyawan dalam hal ikut memiliki organisasi (employee’s belonging to the organization). Sementara dalam organisasi berbudaya profesional, faktor profesionalisme karyawan merupakan penentu utama sebagai identitas organisasi. Perbedaan utama dari karyawan yang parokhial dan karyawan profesional dapat diketahui dari jawaban yang diberikan atas pertanyaan tentang ”apa yang anda kerjakan ?”. Seorang karyawan yang parokhial akan menjawab: ”saya bekerja untuk perusahaan X”, sementara karyawan profesional akan menjawab: ”saya adalah seorang insinyur”. 4. Open system versus closed system Karyawan dalam organisasi dengan sistem terbuka merasa bahwa organisasi dan semua karyawannya bersikap terbuka dan mau menerima terhadap hadirnya pendatang/pegawai baru dan pihak-pihak eksternal lainnya, semua pihak merasa ada kesesuaian dengan nilai-nilai organisasi, serta karyawan baru tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan organisasi. Dalam organisasi dengan budaya sistem tertutup, interaksi antara karyawan cenderung
Universitas Sumatera Utara
tertutup dan rahasia, hanya orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang merasa cocok atau sesuai dengan nilai-nilai organisasi, sementara bagi karyawan baru membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan organisasi. 5. Tight control versus loose control Pengendalian yang ketat ditunjukkan dengan adanya kesadaran setiap individu terhadap pentingnya makna efisiensi (cost-conscious), cenderung tepat waktu dalam pekerjaan dan penyelesaiannya, dan setiap karyawan bersikap serius tentang organisasi dan pekerjaannya. Adapun dalam organisasi yang berbudaya pengendaliaan longgar menunjukkan tidak adanya pihak yang menyadari makna pentingnya tentang biaya (cost), bekerja tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian, dan banyak menggelar jokes tentang organisasi dan pekerjaannya. Dari hasil kajian yang dilakukan Hofstede (1993) menemukan bahwa organisasi dengan budaya pengendalian yang ketat di dalamnya terdapat suatu unit dengan memiliki kriteria precision-demanding atau risky outputs, sementara dalam organisasi dengan pengendalian longgar di dalamnya terdapat inovasi dan mampu mengadakan berbagai kegiatan yang bahkan belum pernah diprogam sebelumnya. 6. Pragmatic versus normative emphasis towards clients Organisasi dengan budaya pragmatis memiliki ciri khusus yaitu terdapat penekanan utama pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dimana hasil yang dicapai merupakan pertimbangan yang lebih penting daripada sekedar suatu
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan prosedur yang benar. Organisasi seperti ini juga bersifat fleksibel dalam menyikapi etika dalam bisnis. Sebaliknya organisasi dengan budaya normatif di dalamnya terdapat upaya keras untuk mematuhi prosedur dengan benar dan menganggapnya lebih penting daripada pencapaian hasil, sementara terhadap etika organisasi memiliki standar tinggi yang dipakai sebagai acuan. Dimensi keenam dalam budaya organisasi ini utamanya berkaitan dengan topik terkini dalam bisnis yaitu tentang orientasi perusahaan pada pelanggan. Perusahaan yang berada pada tekanan kompetisi yang ketat cenderung berbudaya pragmatis, sebaliknya organisasi yang bersifat monopolistis dimana tidak terdapat persaingan dalam bisnis cenderung bersifat normatif.
II.2.2. Karakteristik Budaya Organisasi Menurut Robbins (2004) ada 10 karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan, akan menjadi budaya organisasi. Kesepuluh karakteristik budaya organisasi tersebut sebagai berikut : 1. Inisiatif Individual Yang dimaksud inisiatif individual adalah tanggungjawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi/ perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
2. Toleransi terhadap Tindakan Berisiko Dalam budaya organisasi perlu ditekankan, sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif, dan mengambil risiko. Suatu budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi kepada anggota para pegawai
untuk
dapat
bertindak
agresif
dan
inovatif
untuk
memajukan
organisasi/perusahaan serta berani mengambil risiko terhadap apa yang dilakukannya. 3. Pengarahan Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/perusahaan dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi/perusahaan. 4 . Integrasi Integrasi dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/perusahaan dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan. 5. Dukungan Manajemen Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan. Perhatian manajemen terhadap bawahan (karyawan) sangat membantu kelancaran kinerja suatu organisasi/perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
6. Kontrol Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi atau perusahaan. Untuk itu diperlukan sejumlah peraturan dan tenaga pengawas (atasan langsung) yang dapat digunakan uhtuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai/karyawan dalam suatu organisasi. 7. Identitas Identitas dimaksudkan sejauh mana para anggota/karyawan suatu organisasi/ perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian profesional tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam perusahaan sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi/perusahaan. 8. Sistem Imbalan Sistem imbalan dimaksudkan sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai/ karyawan suatu organisasi/perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Sebaliknya, sistem imbalan yang didasarkan atas senioritas dan pilih kasih, akan berakibat tenaga kerja yang punya kemampuan dan keahlian dapat berlaku pasif dan frustrasi. Kondisi
Universitas Sumatera Utara
semacam ini dapat berakibat kinerja organisasi/ perusahaan menjadi terhambat. 9. Toleransi terhadap Konflik Sejauh mana para pegawai/ karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dimana kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu organisasi/perusahaan. Namun, perbedaan pendapat atau kritik yang terjadi bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan atau perubahan strategi untuk mencapai tujuan suatu organisasi/perusahaan. 10. Pola Komunikasi Sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antarkaryawan itu sendiri. Pacanowsky dan O'Donnel-Trujilo, (1983) menyatakan bahwa secara spesifik kinerja budaya atau kinerja komunikasi dapat tercermin dalam lima pola kinerja komunikasi, sebagai berikut : 1. Kinerja komunikasi yang terampil dalam bentuk ritual yang meliputi personal ritual, social ritual dan organizational ritual. Ritual adalah suatu tindakan yang akan diikuti oleh kelompok secara familiar dan rutin. Personal ritual adalah tindakan rutin yang dilakukan secara individual. Social ritual adalah tindakan yang dilakukan secara bersama-sama, namun tidak berkaitan dengan pekerjaan. Organizational ritual adalah kebiasaan yang diikuti oleh kelompok dalam organisasi secara teratur.
Universitas Sumatera Utara
2. Kinerja komunikasi yang disebut passion. Yang dimaksud passion adalah seseorang atau karyawan suatu organisasi/ perusahaan akan selalu mengulang-ulang cerita dramatis atau segala sesuatu yang selalu dikerjakannya atau dilakukan oleh orang lain yang diidolakan atau kondisi dan kesuksesan dari organisasinya. 3. Kinerja komunikasi yang dilakukan secara sosial. Kinerja ini dimaksudkan untuk menebalkan sopan santun dan ditaatinya .aturan-aturan organisasi. Kinerja ini adalah bagian dari proses identitas kelompok; contoh: cerita, jargon jargon, senda gurau atau canda, gerutu, komplain, argumentasi, ungkapan-ungkapan, konsultasi-konsultasi, serta kritik-kritik. 4. Kinerja komunikasi yang disebut organizational politics. Kinerja komunikasi ini dimaksudkan sebagai perilaku yang diciptakan untuk menguatkan permohonan terhadap kekuasaan, wewenang, atau pengaruh seperti penampilan kepemimpinan, pengelompokan-pengelompokan, dan tawar-menawar (bargaining) kekuasaan. 5. Kinerja komunikasi yang disebut enkulturasi. Kinerja komunikasi ini merupakan proses belajar budaya dari para anggota di antaranya melalui perjalanan karier, orientasi karyawan baru, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
II.2.3. Membangun Budaya Perusahaan yang Unggul Dari keterang diatas kita yakin bahwa budaya perusahaan adalah sumber kekuatan perusahaan. Sehingga budaya perusahaan bisa kita definisikan sebagai nilainilai pokok yang menjadi inti dari falsafah bekerja dalam organisasi, yang membimbing seluruh karyawan dalam bekerja, sehingga perusahaan akan mencapai sukses dalam usahanya. Perusahaan yang memiliki budaya yang kuat akan mampu bertahan lama. Apabila budaya itu tidak dimiliki, bisa saja perusahaan itu sukses, tetapi keberhasilannya hanya bersifat sementara, tidak berlangsung lama atau abadi. Menurut Tani (2006) ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam membentuk dan memelihara budaya perusahaan. Langkah awal adalah perlunya upaya untuk “membaca” atau menemukan, menyadari, dan menguraikan budaya perusahaan yang berada “di bawah kulit” organisasi. Hal-hal yang ditemukan pada usaha itu terdiri dari norma-norma positif dan norma-norma negatif, atau hal-hal yang hendak dipertahankan ataupun diperkuat dan hal-hal yang merupakan perselisihan antara apa yang ditemukan dan budaya perusahaan yang dikehendaki. Usaha berikutnya meliputi penetapan sasaran-sasaran yang jelas dan dapat diukur mengenai bagaimanakah perselisihan dapat dikurangi dan norma-norma positif bisa dipertahankan. Sasaran-sasaran tersebut sebaiknya ditetapkan pada tiga tingkatan, yaitu (1) sasaran prestasi, (2) sasaran program, dan (3) sasaran kultural, yaitu keyakinan, sikap, serta perilaku. Kegiatan itu disusul dengan perencanaan dan penerapan dari tindakan-tindakan yang secara ideal akan mewujudkan perubahan pada empat dimensi, yaitu (1) pada setiap individu, (2) pada tim-tim sekerja, (3) pada pimpinan, dan (4) pada organisasi secara proses, sistem, kebijakan, dan struktur. Oleh karena “cara bekerja” sebuah perusahaan harus disesuaikan dengan situasi dan
Universitas Sumatera Utara
kondisi yang terus berubah, maka upaya untuk membentuk budaya perusahaan sebaiknya ditinjau sebagai suatu sistem. Timbal balik sebaiknya diperoleh secara berkala guna meninjau kembali kecocokan dari asumsi-asumsi semula dan menyesuaikan dalam tindakan selanjutnya. Secara ringkas, garis besar dari langkahlangkah yang dapat ditempuh dalam program pembentukan budaya perusahaan setelah membacanya dan menemukan norma-norma yang hendak diubah adalah sebagai berikut : (1) Tunjukkan kesungguhan dari upaya untuk mengadakan perubahan sebagaimana yang diinginkan, (2) Teliti dan temu kenali norma apa saja yang mempengaruhi tabiat atau kelakuan karyawan, (3) Bantu para anggota organisasi untuk mengerti norma yang telah ditemukannya, (4) Tetapkan kawasankawasan kunci yang dapat mempengaruhi persepsi karyawan atau key influence areas, (5) Usahakan untuk menghablurkan norma-norma yang negatif sekaligus menguatkan atau menempatkan norma yang positif pada kawasan kunci yang telah ditetapkan, dan (6) Periksa dan buat suatu evaluasi dari usaha pembentukan atau pemeliharaan itu. Menurut Martoadmojo (2006) secara kognitif, budaya organisasi dapat dipilah menjadi 4 (empat) gugus yaitu : (1) atribut perusahaan yang kasat mata, seperti bangunan, perlengkapan kantor, seragam, mesin-mesin , kendaraan dan logonya. (2) pernyataan tertulis dan tersirat yang berisi kumpulan mindset semua SDM perusahaan. (3) gugus kebutuhan dan kemauan dari pendiri dan pemilik perusahaan yang setiap saat berubah dan tidak diketaui setiap orang, baik di dalam maupun di luar organisasi. (4) Gugus prilaku organisasi yang paradoksal.
Universitas Sumatera Utara
Standar moral serta estetika dari para pemimpin perusahaan yang kadang membingungkan karena sering bertentangan dengan praktik sebagai bussiness animal. yaitu, praktik perusahaan yang senantiasa ingin meraup laba dan menguasai pangsa pasar. Gugus pertama dan kedua merupakan unsur yang relatif mudah diubah. Keduanya dpat diibaratkan dari sebuah gunung es organisasi. Gugus ketiga dan keempat merupakan elemen yang sulit diubah karena hakikatnya dinamis, abstrak dan tacit. Berdasarkan pengalaman menerapkan perubahan dan pembaharuan budaya organisasi atas empat perusahaan, kedua gugus awal hanya membutuhkan waktu sekitar enam bulan, sedangkan untuk gugus ketiga dan empat membutuhkan waktu yang lama dan nyaris tanpa henti karena snantiasa memerlukan pegembangan terusmenerus.
II.2.4. Budaya Perusahaan di Era Pengetahuaan Perubahan budaya yang diperlukan di era ekonomi berbasis-pengetahuan zaman sekarang adalah mentransformasikan perilaku "knowledge is power" menjadi "knowledge sharing is power". Beberapa perusahaan
menerapakan falsafah ini
misalnya World Bank, yang dibentuk pada 1946, mulai 1996 mengadopsi strategi "menjadikan know how nya dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan di seluruh dunia". Toyota Motor, didirikan pada 1937, Mungkin banyak yang berfikir mengenai rahasia keunggulan kompetitif Toyota adalah apa yang sering dilontarkan oleh banyak orang, seperti sistem produksi ramping (lean production system) yang
Universitas Sumatera Utara
dilandasi oleh just-in-time dan Jidoka (tidak meloloskan produk cacat kepada operasi berikutnya) serta prakondisi pembakuan kerja dan Heijunka (level scheduling). Padahal keunggulan kompetitif Toyota yang utama adalah Budaya Perusahaan. Budaya perusahaan, yang menciptakan lingkungan yang kondusif dan memberikan key drivers untuk sistem produksi. Tanpa budaya perusahaan yang mendukung, sistem ini akan mudah ambruk dan tidak berkembang. Toyota menciptakan budaya perusahaan berbasis pada manusia (dikenal sebagai the Toyota Way). Perusahaan ini percaya bahwa Toyota terdiri dari manusiamanusia, dan mengembangkan kemampuan manusia adalah tanggung jawab inti perusahaan. Di Toyota, yang sangat ditekankan adalah pada mengubah pengetahuan tersembunyi (tacit) personal menjadi pengetahuan perusahaan semuanya dengan menekankan pada hubungan manusia. Keberhasilan perusahaan ini tentu tidak terlepas dari budaya yang diarahkan oleh pengetahuan bergantung pada kemauan para pekerja untuk mengangkat pengetahuan dari dalam maupun luar organisasi, menciptakan pengetahuan baru, dan berbagi serta menyumbangkan apa yang mereka ketahui. Biasanya budaya semacam ini memerlukan keterbukaan, kesalingpercayaan, dan pemberdayaan yang besar. Agar berhasil ada dua faktor yang perlu diidentifikasi dan difahami yakni (1) faktor penghalang budaya dan, (2) suasana lingkungan. Penghalang budaya terhadap manajemen pengetahuan perlu dipahami sebelum perubahan budaya dimulai. Banyak perusahaan ingin inovasi, pembelajaran, pembagian, dan penciptaan pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, dalam kenyataan, perilaku individual dan organisasional mereka dituntun oleh penghalang budaya terhadap manajemen pengetahuan. Hasilnya, banyak upaya berakhir pada basis data yang besar, mahal, tetapi jarang diakses. Pekerja tidak siap, tidak mempunyai kemauan, atau tidak berpartisipasi dalam manajemen pengetahuan, dan kadang-kadang struktur organisasi mencegah mereka melakukannya. Menurut Sengkey (2005) beberapa penghalang umum terhadap upaya menumbuhkembangkan budaya yang diarahkan pengetahuan adalah (1) Kecenderungan untuk menimbun pengetahuan. (2) Kekurangan insentif untuk membagikan pengetahuan. (3) Ketidakmauan untuk memperoleh pengetahuan atau belajar dari yang lain. (4) Prioritas dan sumber daya yang rendah untuk memperoleh pengetahuan”. Hal berikutnya menciptakan lingkungan yang memadai. Beberapa hal yang terkait dengan proses penciptaan budaya yang diarahkan oleh pengetahuan adalah : 1. Mengembangkan visi dan strategi yang diarahkan oleh pengetahuan. 2. Menetapkan kompetensi inti. 3. Merancang struktur dan relasi antar-unit, yang diarahkan oleh pengetahuan. 4. Mengembangkan dan mengelola nilai-nilai pengetahuan. 5. Mengembangkan dan mengelola perilaku pengetahuan. 6. Mengembangkan dan mengelola proses-proses/sistem-sistem pengetahuan. 7. Menciptakan dan mengelola strategi sumber daya manusia yang diarahkan oleh pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran menjadi unsur penting untuk memantapkan kemajuan dan sukses prakarsa perubahan budaya. Survei-survei dapat digunakan dalam menentukan kemauan para pekerja untuk berbagai pengetahuan yang dimiliki, belajar, dan menciptakan pengetahuan baru. Selanjutnya, suatu patok-duga (benchmark) perilaku pekerja hendaknya ditetapkan. Sasaran dapat ditetapkan pada tingkat perbaikan yang hendak dicapai.
II.3. Teori Tentang Etos Kerja II.3.1. Pengertian Etos Kerja Etos dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, sedangkan etos kerja diartikan sebagai semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos kerja merupakan sikap yang tertanam dalam diri untuk senantiasa menghayati dan menghargai suatu pekerjaan dengan terus meningkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Jika dalam menghadapi pekerjaan kita masih saja mengeluh, tidak menghargai waktu kerja, mulailah untuk meninggalkan kebiasaan tersebut, karena hal itu menjadi ciri dari etos kerja yang buruk. Istilah Inggris ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental suatu budaya, berbagai ungkapan yang menunjukkan kepercayaan, kebiasaan, atau perilaku suatu kelompok masyarakat. Jadi etos kerja berkaitan erat dengan budaya kerja.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai dimensi budaya, keberadaan etos kerja dapat diukur dengan tinggi rendah, kuat (keras) atau lemah. Menurut Chong dan Tai dalam Wirawan (2007) bahwa ”etos kerja sebagai work ethic belief system pertahins to ideas that stress individualism/independence and the positive effect of work on individuals. Work is thus considered good in itself because it dignifies a person. Making personal effort to work hard will ensure success (Etos kerja mengenai ide yang menekankan individualisme atau independensi dan pengaruh positif bekerja terhadap individu. Bekerja dianggap baik karena dapat meningkatkan derajat kehidupan serta status sosial seseorang. Berupaya bekerja keras akan memastikan kesuksesan)”. Sinamo (2005) menyatakan bahwa ”etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kedasaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral. Istilah paradigma di sini berarti konsep utama tentang kerja itu sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari, prinsip-prinsip yang mengatur, nilai-nilai yang menggerakkan, sikap-sikap yang dilahirkan, standar-standar yang hendak dicapai; termasuk karakter utama, pikiran dasar, kode etik, kode moral, dan kode perilaku bagi para pemeluknya”.
Etos kerja merupakan bagian penting yang menentukan suatu keberhasilan seseorang. Suatu keberhasilan bukan hanya ditentukan karena adanya pengetahuan dan
kemampuan
mengunakan
akal
pikiran
tapi
juga
kemampuan
untuk
mengarahkannya pada kebaikan, baik secara individu ataupun kelompok. . Etos kerja yang melekat pada setiap individu, menentukan keberhasilannya. Bahwa keberhasilnya yang diraih seseorang ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilainilai yang diterapkannya di dalam masyarakat atau dalam konteks sosial. Arti penting dari etos kerja terletak pada perannya dalam menentukan keberhasilan seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan yang bersumber dari sikap atau perilaku yang merupakan cerminan dari keyakinan, kecerdasan, semangat dan keberanian, kehormatan, pengabdian, dan loyalitas yang khas pada seseorang. Menanamkan etos kerja pada dunia pendidikan. Sikap mental manusia dan etos kerjanya memiliki keterkaitan dengan iklim dan kondisi lingkungan dimana dia berada. Etos kerja yang dibentuk sejak dini terutama pada lingkungan sekolah menentukan kelak bagaimana etos kerja seseorang. Di sekolah maupun perguruan tinggi lah pertama kali seseorang dibentuk dan dipersiapkan untuk memiliki etos kerja yang baik. Dari perilaku seseorang disekolah atau perguruan tinggi pula dapat diprediksikan bagaimana etos kerja seseorang yang kelak akan bekerja pada suatu perusahaan atau menjadi wirausaha. Disiplin hanya bisa diterapkan dengan menegakkan aturan, memberikan penghargaan (prizing) pada yang berprestasi dan sanksi (punishment) pada siapapun yang tidak mematuhinya. Hal ini bisa terapkan sejak awal di dalam keluarga, maupun di lingkungan sekolah, karena ruang lingkup pendidikan bukan sekedar media transformasi ilmu belaka, lebih luas lagi sebagai wadah pendadaran pembentukan karakter yang pada saatnya akan menentukan berkarakter dan etos kerjanya, bahkan menjadi karakter bangsa. Masyarakat dan lingkungan adalah faktor eksternal yang tidak dapat disepelakan dalam pembentukan karakter seseorang dan etos kerjanya. Jika dalam
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tertanam nilai-nilai etos kerja, nisacaya anggota masyarakatnya pun akan terbentuk sebagaimana karakter masyarakat tersebut. Perlunya kepedulian segenap elemen masyarakat untuk menciptakan iklim etos kerja yang baik dan kondusif sangat diperlukan guna terwujudnya tatanan masyarakat dengan etos kerja tinggi. Untuk mewujudkannya tentu perlu dukungan dari lapisan masyarakat paling bawah hingga yang paling atas sekalipun. Jika kesadran ini sudah tumbuh, ditambah dengan komitmen yang kuat maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan semakin kuat reputasinya tidak hanya sebagai bangsa yang dikenal ramah tapi juga sebagai bangsa yang beretos kerja tinggi, yang bisa ditemukan disetiap profesi. Pegawai yang memiliki etos kerja yang tinggi tercermin dalam perilakunya, seperti suka bekerja keras, bersikap adil, tidak membuang-buang waktu selama bekerja, keinginan memberikan lebih dari sekedar yang disyaratkan, mau bekerja sama, hormat terhadap rekan kerja, dan sebagainya. Tentu saja perusahaan mengharapkan para pegawai memiliki etos kerja yang tinggi agar dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan perusahaan secara keseluruhan. Berbenah diri untuk menjadi bangsa dengan etos korja tinggi bukan pekerjaan yang semudah membalikkan telapak tangan, tapi diperlukan upaya sistematis dan fundamental serta menyentuh sampai dasar permasalahan. Hal ini bisa jadi sama untuk suatu bangsa yang melakukan perubahan perilaku masyarakatnya, yaitu dimulai dari masing-masing individu yang ada didalamnya. Manusia memang harus
Universitas Sumatera Utara
menjadi sasaran mendasar dari tujuan membangun etos tersebut. Dalam artian bahwa etos kerja dan menejemen perubahan haruslah menekankan akan arti penting dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan sebatas sarana produksi belaka. 1. Kerja Adalah Rahmat. Aku Bekerja Tulus Penuh Syukur Manusia dengan etos kerja tinggi berpandangan bahwa kerja merupakan rahmat dari Tuhan, baik sebagai pengusaha ataupun pegawai. Rahmat yang selalu akan disyukurinya, yang diterimanya tanpa syarat, dan karena rahmat pekerjaan itu, ia tidak akan merespon pekerjaan yang disandangnya dengan tidak serius dan dilakukannya dengan penuh semangat sebagai bagian dari rasa syukur. Rahmat adalah kebaikan yang kita terima karena kasih sayang Sang Maha Pemberi. Rahmat adalah fasilitas ilahi bagi pertumbuhan dan kemajuan kita menuju puncakpotensi diri kita sehingga kita bisa hidup sepenuh-penuhnya. Rahmat adalah fasilitator dan navigator keberhasilan.Rahmat selalu bermaksud melindungi dan mendukung hidup kita menuju taraf yang lebih baik. 2. Kerja Adalah Amanah. Aku Bekerja Benar Penuh Tanggung Jawab Kerja itu adalah amanah yang harus dikerjakan sebaik mungkin, dan tidak berpandangan bahwa pekerjaan adalah sebuah pengisi waktu luang (main-main). Jadi dengan etos ini ia melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati, karena dari amanah yang diembannya, ia mendapat rezeki, dan jika berkhianat maka yang didapatkan adalah kemiskinan. Amanah adalah titipan berharga yang dipercayakan kepada kita.
Universitas Sumatera Utara
Semakin besar tanggungjawab kita semakin besar pula bobot diri kita. Amanah mengharuskan kita bekerja benar penuh tanggungjawab. Kesadaran akan amanah melahirkan kewajiban moral, yaitu tanggungjawab yang kemudian menimbulkan perasaan benar, keberanian moral, dan kehendak kuat untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, serta menggunakan bahan, informasi, metoda, dan prosedur dengan benar untuk mencapai tujuan kerja itu sendiri sesuai visi yang ditetapkan. 3. Kerja Adalah Pangilan. Aku Bekerja tuntas Penuh Integritas Kerja adalah panggilan, prfesi, darma, dan misi kehidupan Darma adalah kewajiban terasasi, kebaikan tertinggi, budi terluhur, dan tugas termulia kita.Kita semua mempunyai darma, panggilan, dan kewajiban suci dalam hidup ini, baik sebagai anggota keluarga, warga organisasi, warga dunia, atau hamba Allah. Melalui pekerjaan dan profesi kita memjawab panggilan sang Pemanggil Agung. Panggilan bersifat unik, tiap-tiap orang terpanggil secara khusus untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Setiap orang terlahir ke dunia dengan panggilan khusus, yang dilakoni oleh setiap orang terutama melalui pekerjaannya. Agar panggilan berhasil terselesaikan sampai tuntas, diperlukan integritas yang kuat : komitmen, kejujuran, keberanian mendengarkan nurani dan memenuhi tuntutan profesi dengan segenap hati, pikiran, dan tenaga. Integritas adalah komitmen, janji yang harus ditepati, untuk menunaikan darma hingga tuntas ; tidak pura-pura lupa pada tugas atau ingkar pada tanggungjawab. Integritas berarti memenuhi tuntutan
Universitas Sumatera Utara
darma dan profesi dengan segenap hati, segenap pikiran, dan segenap tenaga secara total, utuh, menyeluruh. Integritas berarti bersikap jujur kepada diri sendiri dan berkehendak baik; tidak memanipulasi, tetapi mengutamakan kejujuran dalam berkarya. 4. Kerja Adalah Aktualiasi. Aku Bekerja Keras Penuh Semangat Kerja keras adalah usaha luhur untuk menggali potensi maksimum diri dan lingkungan kita. Dia hanyalah jalan yang patut kita lalui, bukan tujuan itu sendiri. Kerja keras, keyakinan, dan fokus adalah tiga serangkai kunci menuju keberhasilan. 5. Kerja Adalah Ibadah. Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan Kerja itu Ibadah, yang intinya adalah tindakan memberi atau membaktikan harta, waktu, hati, dan pikiran kepada dia yang kita abdi. Melalui pekerjaan, kita bertumbuh menjadi manusia yang kualitas kepribadian, karakter, dan mentanya berkembang kearah yang ilahi.Beribadah berarti berbakti dengan segenap hati, mengabdi tuntas penuh totalitas, dan berserah pasra dengan segenap cinta.Ibadah memerlukan pengorbanan, namun pengorbanan untuk suatu idealisme adalah kebahagiaan, dan pengorbanan yang didorong oleh rasa cinta adalah suka cita. 6. Kerja Adalah Seni. Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas Bekerja adalah berkesenian. Etos seni berarti kerja dipahami dan dihayati sebagai aktivitas berkesenian penuh daya cipta. Etos seni adalah penjabaran pengalaman artistic kita, yaitu ekspresi budi-akhlak-iman kita dalam ungkapan – ungkapan estetik yang berwujud karya-karya, yang pada gilirannya akan
Universitas Sumatera Utara
mempertinggi kompetensi budi-aklak-iman kita, dan dengan demikian menjadikan manusia insan kamil di bumi Tuhan. Kerja yang dilakoni dengan paradigma seni memuaskan dahaga jiwa kita sekaligus mengembangkan talenta seni itu sendiri; membuat kita dipenuhi oleh daya cipta asli, kreasi-kreasi baru, dan gagasan-gagasan inovatif. Hasilnya, buah pekerjaan kita akan disukai orang lain, pelanggan, atau pengguna. Seni adalah sarana ekspresi jiwa manusia yang merefleksikan realitas hidup yang ditangkap sebagai sebuah pengalaman batin. Seni adalah segala bentuk keindahan yang datang dari dorongan perasaan dalam jiwa manusia.Seni adalah menampilkan cita rasa tinggi, yang pada gilirannya sanggup memperkenalkan kesadaran dan kearifan baru bagi masyarakat penikmatnya, sehingga olehnya kita semua akan lebih beradab dan berbudaya.Pekerjaan yang dihayati sebangai seni terutama kelihatan dari kemampuan kita berpikir tertib, sistematik, dan konseptual ; juga, kreatif memecahkan masalah, imajinatif menemukan solusi, inovatif mengimplementasikannya, dan cerdas saat menjualnya. 7. Kerja Adalah Kehormatan. Bekerja Tekun Penuh Keunggulan Kerja adalah kehormatan karena berkarya dengan kemampuan sendiri adalah kebajikan suatu kebajikan sosial di mana kita diakui sebagai manusia produktif dan kontributif. Mencari kehormatan merupakan salah satu motivasi terkuat dalam struktur hati manusia yang adalah ekspresi langsung spiritualitas terbaik kita.Kehormatan yang sejati bersumber pada kepribadian yang otentik, akhlak yang
Universitas Sumatera Utara
mulia, pekerti yang terpuji, hati yang bersih, nurani yang bening, budi yang luhur, karya yang unggul, kinerja yang hebat, dan kualitas yang luarbiasa. Dalam konteks kerja, kehormatan berarti prestasi unggul karena berprestasi tinggi mengundang rasa hormat orang. 8. Kerja Adalah Pelayanan. Bekerja Tekun Penuh Kerendahan Hati Apa pun pekerjaan kita sesungguhnya kerja adalah untuk melayani. Secara sosial pelayanan adalah yang mulia, karena itu hakikat pekerjaan kita pun mulia dan sebangai makluk pekerja kita semua adalah insane yang mulia. Etos pelayanan berporoskan sikap altruistic dan idealistic sangat penting bukan saja sebangai strategi sukses sejati, tetapi juga langkah utama untuk memanusiakan diri kita. Melalui pekerjaan sesungguhnya kita memuliakan Tuhan, bangsa, organisasi, perusahaan, dan keluarga kita.
II.3.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Upaya untuk mencapai tujuan yang optimal dalam rangka pelaksanaan tugas yang diemban maka dituntut tingkat etos kerja yang tinggi yang dimaksudkan agar apa yang ingin dicapai dapat terwujud dengan baik sesuai harapan semua orang. Etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas yang tentunya ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sinamo (20005) beberapa faktor yang mempengaruhi etos kerja yaitu: 1. Sikap dan Perilaku Keberhasilan yang bersumber dari sikap atau perilaku yang merupakan cerminan dari keyakinan, kecerdasan, semangat dan keberanian, kehormatan, pengabdian, dan loyalitas yang khas pada seseorang. Dari perilaku dan sikap seseorang pula dapat diprediksikan bagaimana etos kerja seseorang yang kelak akan bekerja pada suatu perusahaan atau menjadi wirausaha. 2. Kedisiplinan Kedisiplinan merupakan cerminan etos kerja. Disiplin dalam kerja terlihat dengan menghargainya pada jam kerja, tidak keluyuran meninggalkan pekerjaan tanpa ijin apalagi bolos. Dengan disiplin produktivitas akan meningkat. Langsung atau tidak, sikap ini akan mampu membentuk loyalitas pada pekerjaan, menumbuhkan konsistensi, serta progresifitas pekerjaan dari waktu ke waktu. 3. Lingkungan Lingkungan disini dapat diartikan faktor eksternal yang berperan besar dalam pembentukan karakter seseorang. Pengaruh situasi lingkungan masyarakat sangat besar pengaruhnya karena setiap anggotannya senantiasa bersinggungan satu sama lain. Dari pergaulan secara kontinu ini, akan memunculkan karakter-karakter baru pada individu-individunya, disadari atau tidak.
II.4. Prestasi Kerja Untuk
melihat
efektivitas
penyelenggaraan
program
pelatihan
dan
pengembangan, perusahaan perlu untuk melakukan penilaian terhadap perubahan sikap dan keterampilan para karyawan, baik sebelum maupun sesudah mengikuti program pendidikan dan pelatihan, atau dengan kata lain melihat selisih prestasi antara sebelum dan sesudah mengikuti program pelatihan dan pengembangan. Penilaian kinerja adalah suatu proses dimana kontribusi karyawan terhadap organisasi dinilai dalam suatu periode waktu tertentu. Penilaian kinerja bisa juga suatu proses yang dilakukan dalam rangka menilai kinerja pegawai, menilai seberapa
Universitas Sumatera Utara
baik suatu jabatan/pekerjaan dilakukan dan apabila perlu dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja karyawan. Werther dan Davis (1996) merinci kaitan antara hasil dan penilaian kinerja dengan tindakan yang dapat diambil yaitu: 1. Performance improvement memberikan kesempatan bagi karyawan apakah ia pejabat untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan guna meningkatkan kinerja individu maupun kinerja organisasi. 2. Compensation adjustment penilaian kinerja membantu para pembuat keputusan untuk menentukan besaran pendapatan yang layak diterima oleh seseorang. 3. Placement decisions penilaian kinerja juga besar pengaruhnya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah promosi, transfer dan demosi. 4. Training and development needs kinerja yang buruk boleh jadi mengindikasikan perlunya training, sedangkan kinerja yang baik boleh jadi mengindikasikan perlunya pengembangan lebih lanjut potensi yang sudah ada. 5. Career planning and development Performance feedback dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan tentang jalur karir yamng spesifik yang seharusnya dipilih oleh seseorang.
Universitas Sumatera Utara
6. Staffing process deficiencies Kinerja yang baik atau buruk menunjukkkan kekuatan dan juga kelemahan pada prosedur staffing. 7. Informational inaccuracies berpedoman pada informasi yang tidak akurat dapat mengakibatkan kesalahan dalam hal pengisian pegawai, pelatihan dan konsultasi. 8. Job design errors kinerja yang buruk bisa menyebabkan gejala adanya “penyakit” dalam job design dan melalui penilaian, penyakit tersebut dapat didiagnosa untuk selanjutnya disembuhkan. 9. Equal employment oppurtumity penilaian kinerja yang akurat dapat lebih memastikan tidak adanya unsure diskriminasi. 10. External challenges bagian/ biro SDM melalui penilaian kinerja dapat membantu mengatasi masalah yang disebabkan olah factor-faktor diluar lingkungan internal. 11. Feedback to human resource baik atau buruknya kinerja yang ditunjukkan oleh individu atau organisasi bisa menggambarkan seberapa baik biro SDM menjalankan fungsinya. Menurut Simamora (1997) tiga dimensi kinerja yang perlu dimasukkan dalam penilaian prestasi kerja, yaitu : 1. Tingkat kedisiplinan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan organisasi untuk menahan orang-orang di dalam organisasi, yang dijabarkan dalam penilaian terhadap ketidakhadiran, keterlambatan, dan lama waktu kerja.
Universitas Sumatera Utara
2. Tingkat kemampuan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan organisasi untuk memperoleh hasil penyelesaian tugas yang terandalkan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas kinerja yang harus dicapai oleh seorang karyawan. 3. Perilaku-perilaku inovatif dan spontan di luar persyaratan-persyaratan tugas formal untuk meningkatkan efektivitas organisasi, antara lain dalam bentuk kerja sama, tindakan protektif, gagasan-gagasan yang konstruktif dan kreatif, pelatihan diri, serta sikap-sikap lain yang menguntungkan organisasi. Werther dan Davis (1996) menyatakan agar penilaian prestasi kerja yang dilakukan dapat lebih dipercaya dan obyektif, perlu dirumuskan batasan atau faktor-faktor penilaian prestasi kerja sebagai berikut : 1. Peformance, keberhasilan atau pencapaian tugas dalam jabatan. 2. Competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jabatan. 3. Job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku atau mentalitas yang mendukung peningkatan prestasi kerja. 4. Potency, kemampuan pribadi yang dapat dikembangkan.
II.5. Pengendalian Sikap (Locus of Control) Pengendalian sikap individu atau lokus kontrol secara umum merujuk kepada individu, yaitu suatu ekspektasi tentang di mana kontrol atas suatu peristiwa yang terjadi. Dengan kata lain, apa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Hal ini dapat dikatakan sejalan dengan, tetapi berbeda dari attributions. Menurut Weiner menyatakan bahwa "teori atribusi bahwa orang mencoba untuk menentukan mengapa orang melakukan apa yang mereka lakukan, yakni, atribut untuk menyebabkan perilaku. Ada tiga tahap proses yang melandasi sebuah atribusi. Langkah pertama adalah seseorang harus menanggapi atau mungkin mematuhi suatu perilaku. Langkah kedua adalah mencoba dan mengetahui perilaku ini dimaksudkan, dan langkah ketiga adalah untuk menentukan apakah orang tersebut dipaksa untuk melakukan suatu sikap atau perilaku. Fakta merupakan penjelasan untuk peristiwa yang telah terjadi. Harapan yang menyangkut masa depan merupakan aspek penting dari lokus kontrol. Lokus kontrol dapat menjelaskan perilaku manusia yang
Universitas Sumatera Utara
ditentukan oleh persepsi kemungkinan hasil atau peristiwa yang terjadi atas perilaku dalam pertanyaan dan nilai yang dihasilkan. Secara khusus, harapan atau nilai teori menyatakan bahwa jika (a) seseorang nilai-nilai tertentu dan hasil (b) orang yang percaya bahwa mengambil tindakan tertentu yang akan menghasilkan hasil, kemudian (c) mereka lebih mungkin untuk mengambil tindakan yang khusus. Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter seorang ahli teori pembelajaran sosial. Menurut Rotter dalam Kustini (2005), ”Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri. Selanjutnya Kreitner & Kinichi (2001) mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu locus of control eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya”. Menurut Rotter (dalam Kustini, 2005) ada empat konsep dasar Locus of control yaitu (1) potensi perilaku yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu, berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang. (2) harapan, merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan muncul dan dialami oleh seseorang. (3) nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa. (4) suasana psikologis, adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan. Pada orang-orang yang memiliki internal locus of control faktor kemampuan dan usaha terlihat dominan, oleh karena itu apabila individu dengan internal locus of
Universitas Sumatera Utara
control mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan, mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh untuk tindakan selanjutnya dimasa akan datang bahwa mereka akan mencapai keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya. Sebaliknya pada orang yang memiliki external locus of control melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan dimasa datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut.
Locus of control
merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinium dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat statis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi external locus of control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya.
Universitas Sumatera Utara
II.6. Lingkungan Internal Organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya dan hanya organisasi yang bisa beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan lingkungan yang akan dapat mencapai keberhasilan (Lubis dan Huseini, 1997). Lubis dan Husein (1997) menyatakan bahwa ”lingkungan internal sebagai seluruh elemen yang terdapat di luar batas batas organisasi, yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi sebagian ataupun suatu organisasi secara keseluruhan”. Suatu organisasi memerlukan tempat untuk dapat menunjukkan eksistensinya, yang berarti berada dalam suatu lingkungan yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mengadakan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya, terlebih lagi jika keberadaan suatu organisasi merupakan tuntutan lingkungan atau jika suatu organisasi sangat tergantung kepada lingkungannya seperti untuk pemenuhan bahan baku suatu organisasi industri produk tertentu. Menurut Robbins (2000) ada 3 dimensi kunci yang terdapat pada setiap lingkungan internal yaitu: 1. capacity (kapasitas), yaitu bagaiman lingkungan itu dapat mendukung pertumbuhan organisasi. 2. volatility (mudah menguap), yaitu adanya tingkat ketidakstabilan lingkungan, jika terdapat tingkat perubahan yang tidak dapat diprediksi, lingkungan memiliki sifat dinamis. 3. complexity (kompleksitas), yaitu tingkat heterogenitas dan konsentrasi diantara elemen lingkungan Pengaruh lingkungan terhadap organisasi dapat dianalisa melalui dua dimensinya yaitu kompleksitas dan stabilitas lingkungan.
Universitas Sumatera Utara