BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN
H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen 1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen yaitu dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. 17 Peranan undang-undang perlindungan konsumen diperlukan karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha. Tujuan hukum perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga mendorong pelaku 17
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
usaha untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun, semua tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen. Berkaitan dengan perlindungan konsumen, dipergunakan berbagai istilah yang dapat memberi makna berbeda-beda sehingga membawa akibat hukum yang berbeda pula. Pentingnya mengemukakan berbagai istilah dalam hukum perlindungan konsumen karena dengan pengertian istilah ini sangat menentukan tanggung gugat pelaku usaha. Disamping itu, juga dikemukakan tentang hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen karena dapat menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha dengan mengetahui hubungan hukum antara keduanya serta menentukan alasan penuntutan jika konsumen dirugikan akibat penggunaan suatu produk.18 Secara
harfiah
konsumen
adalah
“orang
yang
memerlukan,
membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau yang membutuhkan. Adapun istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau dalam bahasa Belanda yaitu consument”.19 Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2 UUPK yang menyatakan, konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Kepentingan
18
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm 16. 19 NHT. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta : Panta Rei, 2005), hlm 22.
Universitas Sumatera Utara
konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa adalah agar barang/jasa
konsumen
yang
mereka
peroleh
bermanfaat
bagi
kesehatan/keselamatan tubuh, keamaan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya. Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah orang sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechts person). Menurut AZ. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah “orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia”.20 Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan yang lain tidak sama. Sebagai contoh, di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pembeli. Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari product liability directive (selanjutnya disebut directive) sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan hukum perlindungan konsumen.
20
Shidarta, Op. Cit. hlm 2.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian karena kematian/cidera atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat. 21 Berbeda pula dengan kelompok masyarakat pelaku usaha. Kepentingan mereka dalam penggunaan suatu produk adalah untuk membuat produk lain atau memperdagangkannya, baik berupa barang atau jasa yang merupakan bidang usaha atau profesi mereka (bisnis). Perlindungan yang diperlukan oleh pihak pelaku usaha agar dalam menjalankan bisnis dapat bersaing secara wajar, jujur serta terhindar dari praktek bisnis yang menghambat usaha mereka. Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha. 22 Dalam
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
tidak
menggunakan istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha. Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK disebutkan bahwa “ pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
21
Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung : Nusa Media, 2008), hlm 9. 22 Mariam Darus, Perlindungan Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standar, Kertas Kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1988), hlm 57.
Universitas Sumatera Utara
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai pelaku usaha adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang (setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai pelaku usaha dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu); importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan. 23 Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara satu dengan yang lain. Pelaku usaha sangat membutuhkan dan bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan konsumen sangat tergantung pada hasil produksi pelaku usaha. 24 Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat saling menciptakan hubungan yang terus 23
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 8. 24 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju , 2000), hlm 36.
Universitas Sumatera Utara
menerus dan berkesinambungan, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhannya yang tidak terputus. Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi di pemasaran dan penawaran. Pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal.
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasinya ditingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Penjelasan Pasal 2 UUPK menguraikan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu : 25 a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
25
Lihat penjelasan Pasal 2, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil; c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual; d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu: a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; c. Asas kepastian hukum. Menyangkut
asas
keamanan
dan
keselamatan
konsumen
yang
dikelompokkan kedalam asas manfaat karena merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keseimbangan yang dikelompokkan kedalam asas keadilan adalah keadilan bagi kepentingan masingmasing pihak yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak.26 Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undangundang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu: 26
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. hlm 28.
Universitas Sumatera Utara
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 UUPK ini merupakan misi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya karena tujuan perlindungan konsumen merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan kedalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, b, dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.27
3. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
tidak
hanya
mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun dapat dilihat bahwa 27
Ibid, hlm 34.
Universitas Sumatera Utara
hak yang diberikan kepada konsumen (Pasal 4 UUPK) lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha (Pasal 6 UUPK), dan kewajiban pelaku usaha (Pasal 7 UUPK) lebih banyak dari kewajiban konsumen (Pasal 5 UUPK). Dalam sejarahnya, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat yaitu John F.Kennedy, yang disampaikan dalam Kongres Gabungan Negara-negara Bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak konsumen itu meliputi: a. b. c. d.
28
Hak untuk memperoleh keamanan; Hak memilih; Hak mendapat informasi; Hak untuk didengar. Kemudian, pada tahun 1975, hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh
John F.Kennedy, dimasukkan dalam program konsumen European Economic Community (EEC) yang meliputi : 29 a. b. c. d. e.
Hak perlindungan kesehatan dan keamanan; Hak perlindungan kepentingan ekonomi; Hak untuk memperoleh ganti rugi; Hak atas penerangan; Hak untuk didengar. Menurut Ernest Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus
memenuhi 3 (tiga) syarat yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia, diakui oleh masyarakat, serta dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara. 30 Jika tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak-hak konsumen itu bukanlah hak yang sempurna, tetapi merupakan hak yang semu. Ketiga persyaratan ini
28
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994),
29
Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm 49. Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung : Alumni, 1976),
hlm 58. 30
hlm 35.
Universitas Sumatera Utara
umumnya telah dipenuhi oleh negara-negara yang menganut Common Law dan Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Continental yang menganut sistem hukum Code Civil, khususnya Belanda, karena adanya kaidah hukum perlindungan konsumen dapat menjamin anggota masyarakat dengan adanya kesadaran hukum. 31 Permasalahan yang dihadapi konsumen di negara Indonesia, dialami juga oleh konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang sesuai. Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 4, menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen yaitu : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
31
Adrian Sutedi, Op.Cit. hlm 50.
Universitas Sumatera Utara
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak konsumen tersebut, terlihat bahwa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak diedarkan dalam masyarakat. Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi. 32 Dalam kaitannya dengan hak konsumen atas informasi yang jujur dan benar, memberi informasi yang benar mengenai produk akan membantu konsumen menentukan pilihannya secara benar dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhannya. Melalui informasi yang benar dan lengkap maka konsumen dapat menentukan atau memilih produk untuk kebutuhannya. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk yang dikonsumsi. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti menginformasikan secara lisan kepada konsumen melalui
32
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit. hlm 16.
Universitas Sumatera Utara
iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk (komposisi, cara pemakaian, selain batas waktu kadaluwarsa). 33 Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya adalah jika ditemukan tindakan yang tidak adil terhadap diri konsumen, maka konsumen dapat bertindak dengan memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.34 Sebagai konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam Pasal 5 UUPK dinyatakan kewajiban konsumen sebagai berikut : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Beberapa kewajiban ini juga diperuntukkan sebagai balance dari hak-hak yang telah diperoleh konsumen. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya. Adapun sejumlah kewajiban tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 35 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri. Konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan 33
Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm 103. Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka, 2008), hlm 22. 35 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. hlm 47-49. 34
Universitas Sumatera Utara
barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya. Dengan pengaturan kewajiban ini, pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan; c. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha merupakan suatu hal yang sudah biasa dan semestinya demikian; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika terdapat keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan dengan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku.
Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari hak dan kewajiban pelaku usaha. Adanya hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK, yaitu: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik, apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak lain pelaku usaha juga dapat ditemukan antara lain pada faktorfaktor yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk yaitu apabila produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan, cacat timbul di kemudian hari, cacat timbul setelah produk berada diluar kontrol pelaku usaha, barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi, cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa. 36 Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Menyangkut hak pelaku usaha tersebut pada huruf b, c, dan d sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak yang berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) / pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Kewajiban konsumen dan hak-hak pelaku usaha yang
36
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 42-43.
Universitas Sumatera Utara
disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya. 37 Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Begitu pentingnya beritikad baik sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua
37
Abdul Halim Berkatulah, Op Cit, hlm 37.
Universitas Sumatera Utara
belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutupi kontrak yang berkaitan dengan itikad baik tersebut. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang diproduksi sampai pada tahap penjualan. 38 Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang diproduksi oleh pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha. Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan disebabkan
38
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. hlm 54.
Universitas Sumatera Utara
karena informasi disamping merupakan hak konsumen juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu khususnya minuman. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun berupa instruksi. Penyampaian informasi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pada umumnya bukan hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh suatu produk, tetapi perlu diimbangi dengan informasi yang memuat kekurangankekurangan yang dimiliki oleh produk yang bersangkutan. Terutama mengenai hal-hal yang menyangkut keamanan dan keselamatan konsumen, sehingga konsumen benar-benar dapat mempergunakan informasi yang diberikan pelaku usaha tersebut dalam menjatuhkan pilihannya terhadap suatu produk yang tepat. 39
4. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada
39
Dedi Harianto, Op Cit. hlm 5.
Universitas Sumatera Utara
pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 40 a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, “seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.” Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: 1) 2) 3) 4)
Adanya perbuatan; Adanya unsur kesalahan; Adanya unsur yang diderita; Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Pembentukan teori tanggung jawab dengan dasar adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa pemikiran, yaitu paham individualis dalam prinsip laissez faire, kuatnya kepentingan pelaku usaha yang dianggap sebagai pelaku pembangunan industri/ekonomi, teori kontrak sosial dan prinsip legal formalism yang mewarnai dunia pengadilan. 41
40 41
Shidarta, Op. Cit. hlm 73. Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit. hlm 54.
Universitas Sumatera Utara
b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai dapat membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas tersebut cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat. c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan, seperti kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.
Universitas Sumatera Utara
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Tanggung jawab mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
42
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya pelaku usaha barang yang memasarkan produknya sehingga merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu :43 1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk; 2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik; 3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. 44
42 43 44
Ibid, hlm 66. Shidarta, Op. Cit. hlm 79. Ibid, hlm 78.
Universitas Sumatera Utara
e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasikan adalah tanggung jawab produk dan profesional. Tanggung jawab produk (product liability) sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran sehingga menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab itu dapat
bersifat kontraktual (perjanjian) atau
berdasarkan undang-undang
(gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir. 45 Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab profesional lebih berhubungan dengan jasa. Tanggung jawab profesional timbul karena para penyedia jasa profesional tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum. Jenis
45
Ibid, hlm 80.
Universitas Sumatera Utara
jasa yang diberikan dalam hubungan antara tenaga profesional dan kliennya juga berbeda. Ada jasa yang diperjanjian menghadirkan sesuatu (resultaat verbintenis), tetapi ada yang diperjanjikan mengupayakan sesuatu (inspanningsverbintenis). 46
5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Sengketa berawal pada situasi dimana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas, bersifat subyektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi serta dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian seharihari dimaksudkan sebagai sesuatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian. Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar. 47 Para pihak yang terlibat dalam sengketa konsumen umumnya adalah kalangan konsumen, pelaku usaha dan/atau pemerintah (khususnya bergerak dalam penyediaan barang/jasa kebutuhan masyarakat). Sengketa konsumen menurut UUPK dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang 46 47
Ibid. Ibid, hlm 108.
Universitas Sumatera Utara
menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. UUPK sendiri tidak menjelaskan pengertian sengketa. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 1 angka 8 SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah “sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.” 48 Menurut UUPK penyelesaian sengketa konsumen ternyata memiliki kekhasan. Sejak semula, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen,
dimungkinkan
menyelesaikan
sengketa
mengikuti
beberapa
lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum atau memilih jalan penyelesaian diluar pengadilan. a. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat 2 UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu pelaku usaha dan konsumen tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Dari penjelasan Pasal 45 ayat 2 UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai 48
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelasaian Sengketa Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm 148.
Universitas Sumatera Utara
merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang bersengketa sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui BPSK. Pemerintah membentuk suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Penyelesain sengketa konsumen melalui BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/jasa terhadap konsumen.49 Tugas dan wewenang BPSK ditetapkan dalam Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu : 1) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase, atau konsiliasi; 2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; 5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 6) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 8) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; 9) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada angka 7 dan angka 8, 49
Ibid, hlm 100.
Universitas Sumatera Utara
10) 11) 12) 13)
yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen; Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang perlindungan konsumen (UUPK). Adapun tugas BPSK melakukan pengawasan terhadap pencantuman
klausula baku (Pasal 52 butir c UUPK) tidaklah selalu terkait dengan adanya sengketa konsumen. Dalam hal ini, BPSK diharapkan bersikap proaktif menegakkan norma-norma pencantuman klausula baku yang diamanatkan Pasal 18 UUPK, baik dengan cara persuasif maupun represif untuk mengujii kepatuhan pelaku usaha terhadap norma-norma tersebut. 50 Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepaada BPSK. Permohonan diajukan secara tertulis kepada sekretariat BPSK, maka akan diberikan tanda terima kepada pemohon dan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal serta nomor registrasi. Untuk keperluan pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, dan jam serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari yang ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampui 3 (tiga) hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali 50
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen : Teori dan Praktek Penegekan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 21.
Universitas Sumatera Utara
lagi. Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf i UUPK jo. Pasal 3 huruf i SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. 51 Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase
termuat
dalam
Pasal
3
huruf
a
SK.
Menperindag
No.
350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu : 1) Persidangan dengan cara konsiliasi Pengertian kata konsiliasi dalam penyelesaian sengketa konsumen ditemukan pada ketentuan umum SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu pada Pasal 1 angka 9 yang menyatakan konsiliasi adalah “proses penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak dan penyelesainnya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa.” Dalam Pasal 28 SK. Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, setelah BPSK menerima permohonan konsumen atau ahli warisnya maka selanjutnya majelis BPSK akan memanggil pihak-pihak yang bersengketa dan saksi-saksi yang diperlukan. BPSK
51
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit. hlm 104.
Universitas Sumatera Utara
menyediakan forum bagi para pihak yang bersengketa dan menjawab pertanyaan para pihak yang berkaitan dengan UUPK. Tugas dari konsiliasi hanya sebagai pihak fasilitator untuk melakukan komunikasi diantara pihak sehingga dapat ditemukan solusi oleh para pihak sendiri. Pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lainlain. Selanjuntya, pihak mediator juga melakukan hal-hal yang dilakukan konsiliator, tetapi juga melakukan lebih jauh dari itu. sebagai pihak mediator dapat juga menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaian sengketa yang bersangkutan, hal mana paling tidak secara teoritis, tidak ada dalam kewenangan pihak konsiliator. 52 Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, konsiliator diarahkan oleh prinsip keadilan dan objektif dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain : 53 a) Hak dan kewajiban para pihak; b) Kebiasaan dalam perdagangan (trade usages); c) Praktek bisnis yang telah terjadi, termasuk praktek bisnis diantara para pihak. Konsiliator dapat melakukan proses konsiliasi yang dianggapnya layak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi dari kasus tersebut, mengetahui keingianan para pihak yang diucapkan secara lisan, serta kebutuhan untuk
52
Munir Fuady, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 52. 53 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diproses secara cepat. Disetiap tingkat dalam proses konsiliasi, konsiliator dapat mengajukan proposal penyelesaian sengketa. 54 Hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat 7 jo. Pasal 6 ayat 8 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebut harus didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di pengadilan negeri. Proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak pasif sebagai konsiliator. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK. 55 2) Persidangan dengan cara mediasi Dalam ketentuan umum SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu Pasal 1 angka 10 yang menyatakan mediasi adalah “proses penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantaraan BPSK
54
Ibid. Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Teori Praktek Penegakan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 36. 55
Universitas Sumatera Utara
sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.” Keaktifan majelis BPSK sebagai perantara dan penasihat penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, dapat dilihat dari Pasal 30 SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu: a) b) c) d) e)
Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen. Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi pada akhir-akhir ini banyak
diperbincangkan oleh orang yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat. Hal ini disebabkan alasan-alasan sebagai berikut : 56 a) Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain; b) Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan memiliki putusan mediasi; c) Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menegosiasi sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari; d) Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang merupakan dasar dari suatu sengketa; e) Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak yang bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam.
Selain memiliki kelebihan dari pemilihan sengketa alternatif dengan cara mediasi, institusi mediasi juga memiliki kelemahan, antara lain : 57 a) Dapat memakan waktu yang lama; b) Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak;
56 57
Munir Fuady, Op. Cit, hlm 50. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c) Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai; d) Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya; e) Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang penting tidak disampaikan kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias. Proses mediasi selalu ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pemilihan mediator harus dilaksanakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan seorang mediator sebagai penengah memegang peranan penting dalam kemajuan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Dalam proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah, merumuskan kesepakatan para pihak, serta membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan. 58 Proses
penyelesaian
sengketa
konsumen
dengan
cara
mediasi
menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Badan Penylesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran, dan upayaupaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK. 59 Kesepakatan yang telah diraih dalam alternatif penyelesaian sengketa secara mediasi dibuat dalam bentuk tertulis dan mengikat para pihak untuk 58 59
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit. hlm 65. Yusuf Shofie, Op. Cit. hlm 37.
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan dengan itikad baik serta didaftarkan ke pengadilan negeri. Pendaftaran yang dimaksud adalah suatu pendaftaran yang dilaksanakan dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak lawan dalam perjanjian mediasi tersebut di pengadilan negeri yang berwenang. Dengan pendaftaran seperti demikian, akan tercipta suatu akta perdamaian yang memiliki kekuatan eksekutorial. 60 3) Persidangan melalui arbitrase Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Perjanjian arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dalam penyelesaian sengketa secara arbitrase para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang harus dipakai oleh majelis arbitrase. Hukum tertentu yang dipilih oleh para pihak merupakan hukum substantifnya dan bukan kaidah-kaidah hukum perdata internasionalnya. Hukum substantif perdata di Indonesia, misalnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang
60
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa : Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika), hlm 19.
Universitas Sumatera Utara
(KUHD). Jadi apabila para pihak tidak menentukan sendiri hukum substantif mana yang akan dipakai, maka arbiter atau para arbiter dapat menentukannya. 61 Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran surat permohonan untuk mengadakan arbitrase. Pada surat permohonan harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan yang memuat klausul arbitrase. Apabila surat permohonan diajukan oleh kuasa dari pihak yang bersengketa, maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut juga dilampirkan. Dalam surat permohonan tersebut, pemohon dapat menunjuk seorang arbiter atau menyerahkan penunjukan arbiter kepada ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Permohonan harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai ketentuan BANI. 62 Sekretaris BANI akan memeriksa permohonan untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup untuk memberikan wewenang bagi BANI dalam memeriksa sengketa tersebut. Apabila permohonan tidak dapat diterima, maka hal tersebut akan diberitahukan kepada pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari, sedangkan biaya pemeriksaan dikembalikan kepada pemohon. 63 Jika sudah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian untuk membawa suatu perkara perdata, maka sengketa tersebut harus diselesaikan melalui forum arbitrase. Hal ini sebagimana diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi
61
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm 54. 62 R. Subekti, Arbitase Perdagangan, (Bandung : Angkasa Offset, 1981), hlm 16. 63 Ibid, hlm 17.
Universitas Sumatera Utara
“pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.” Dengan demikian, adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak dalam perjanjian untuk mengajukan penyelesaian sengketa yang terkait dengan perjanjian tersebut ke pengadilan negeri. Pengadilan negeri juga wajib menolak dan tidak campur tangan dalam perkara yang dalam perjanjiannya sudah menyatakan arbitrase sebagai forum penyelesaian persengketaanya. 64 Langkah yang harus diambil oleh arbiter setelah ia menutup proses persidangan adalah menyiapkan dan menetapkan putusannya. Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono) jika hal itu secara tegas disepakati para pihak dalam perjanjian arbitrase. 65 Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Walau demikian dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Namun, apabila arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter dalam memberi putusan hanya berdasarkan kaidah hukum materiil. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mengatur mengenai pengambilan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan dalam Pasal 15 ayat 3 Peraturan BANI.
64
Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 65 Pasal 56 ayat 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Universitas Sumatera Utara
Bila dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, maka lembaga arbitrase mempunyai beberapa kelebihan antara lain :66 a) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui tata cara yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan. Selain kelebihan-kelebihan tersebut diatas, terdapat juga kelemahan dari arbitrase, antara lain : 67 a) Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak; b) Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut; c) Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit; d) Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu, untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Suatu putusan dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa dan menetapkan hak serta hukumnya. Ketentuan mengenai putusan penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum mengikuti ketentuan hukum acara perdata HIR/Rbg, sedangkan putusan penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mengacu 66
Susanto Adi Nugroho, Op. Cit. hlm 115.
67
Frans Hendar Winarta, Op. Cit. hlm 63.
Universitas Sumatera Utara
kepada ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.68 Ketentuan mengenai putusan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK terdapat pada Pasal 54 sampai dengan Pasal 58 UUPK. Sedangkan mengenai pembuatan putusan dijelaskan pada Pasal 37 SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu sebagai berikut : a) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan; b) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikuatkan dengan keputusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis; c) Keputusan majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak memuat sanksi administratif; d) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan arbitrase dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis; e) Keputusan majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 dapat memuat sanksi adminitratif. Putusan BPSK dapat berupa putusan perdamaian, putusan gugatan ditolak atau gugatan dikabulkan. Ketiga bentuk putusan tersebut jika dihubungkan dengan cara-cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase, maka hanya dapat diberlakukan terhadap penyelesaian sengketa melalui cara arbitrase yang bersifat contradictoir.
69
Penyelesaian
sengketa melalui konsiliasi atau mediasi hanya berlaku bentuk putusan perdamaian berdasarkan Pasal 37 ayat 1 dan ayat 2 SK. Menperindag No. 68
Azwir Agus, Arbitrase Konsumen : Gambaran Dalam Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen, (Medan : USU Press, 2013), hlm 47. 69 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Jakarta : Fikahati Aneska, 2000), hlm 182.
Universitas Sumatera Utara
350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Apabila diantara para
pihak terjadi
kesepakatan untuk berdamai karena dalam proses konsiliasi atau mediasi, keputusan majelis hanya menguatkan kesepakatan para pihak yang telah dituanggkan dalam perjanjian tertulis sehingga tidak dimungkinkan adanya putusan berupa gugatan ditolak atau dikabulkan. Dengan tidak berhasilnya penyelesaian sengketa melalui konsiliasi atau mediasi maka dapatlah dijadikan dasar bagi para pihak untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan. Menurut Pasal 56 ayat 2 UUPK para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan BPSK. Kata “dapat” pada Pasal 56 ayat 2 UUPK ternyata ditafsirkan sebagai “wajib” pada Pasal 41 ayat 2 SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menyatakan bahwa “konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK.” Dalam Pasal 56 ayat 3 UUPK menentukan bahwa tidak diajukannya keberatan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang ditetapkan undang-undang membawa akibat pelaku usaha dianggap menerima putusan BPSK. Pengajuan keberatan terdapat pada Pasal 58 ayat1 sampai dengan ayat 3 UUPK. Pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Melalui putusan tersebut, para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
Universitas Sumatera Utara
Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. b. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum Apabila upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat atau para pihak tidak ingin menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan dengan cara: 1) Penyelesaian sengketa konsumen secara perdata Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan memperhatikan Pasal 48 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata biasa dengan mengajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen.70 UUPK mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa bagi penegak hukum di Indonesia yaitu dengan gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) dan gugatan/hak gugat Ornop/LSM (legal standing). Kedua jenis gugatan
70
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit. hlm 126.
Universitas Sumatera Utara
ini tidak sama dan secara prinsipil berbeda satu dengan lainnya. Ada kesan pembentuk undang-undang menyerahkan pemahaman perbedaan prinsipil tersebut pada dinamika hukum, artinya untuk kesekian kalinya hakim dituntut secara aktif membentuk hukum. 71 a) Class action Ketentuan gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) diatur dalam Pasal 46 UUPK menyatakan bahwa gugatan kelompok (class action) diakui undang-undang dan harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum yaitu dengan adanya bukti transaksi. Class action adalah gugatan perdata biasa yang diajukan oleh 1 (satu) orang atau lebih atas nama sejumlah orang lain yang mempunyai tuntutan yang sama terhadap tergugat. 72 Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dijelaskan pengertian gugatan perwakilan kelompok adalah “suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.” Pada pokoknya gugatan kelompok ini disediakan bagi perkara yang peristiwanya merupakan peristiwa yang terjadi terhadap sekelompok orang, sedangkan kelompok tersebut dalam jumlah besar, sehingga tidak praktis apabila diajukan satu persatu. 73 Pada dasarnya gugatan kelompok dilakukan
71
Yusuf Shofie , Op. Cit. hlm 73. Ibid, hlm 80. 73 Az Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1994), hlm 87. 72
Universitas Sumatera Utara
oleh perwakilan konsumen berupa perwakilan individual, sekelompok orang atau diwakili oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). b) Legal standing Selain
gugatan
kelompok
(class
action),
UUPK
juga
menerima
kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat 1 huruf c UUPK bahwa “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.”
Universitas Sumatera Utara
Hak yang dimiliki lembaga tersebut dikenal dengan hak gugat organisasi non pemerintah (Ornop) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 74 Untuk mempergunakan gugatan Ornop/LSM dalam rangka penyelesaian sengketa konsumen ini, hanya diberikan kepada LSM yang bergerak dalam rangka perlindungan konsumen atau dalam UUPK dikenal sebagai Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM).
75
Selain
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat 1 huruf c, LPKSM tersebut diwajibkan untuk didaftarkan dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan
pengakuan tersebut, LPKSM
tidak dapat
menyandang haknya sebagai para pihak dalam proses beracara dengan mekanisme gugatan Ornop/LPKSM di pengadilan. Menurut Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), terdapat 2 (dua) syarat untuk mendapatkan pengakuan sebagai LPKSM, yaitu: (1) Terdaftar pada pemerintah kabupaten/kota; (2) Bergerak dalam bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar LPKSM. Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengajuan gugatan Ornop atau LSM adalah LPKSM yang menjadi wakil konsumen tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Hal inilah yang merupakan perbedaan pokok antara gugatan kelompok dengan gugatan Ornop/LSM.
74 75
Shidarta, Op Cit, hlm 55. Pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
2) Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana Undang-undang kepatuhan
terhadap
Perlindungan
Konsumen
norma-norma
(UUPK)
perlindungan
menempatkan
konsumen
dengan
mendayagunakan seluruh instrumen hukum yang ada termasuk dengan instrumen hukum acara pidana. 76 Dalam hal ini, hukum pidana sebagai sarana perlindungan sosial
(social
defence)
bertujuan
melindungi
kepentingan-kepentingan
masyarakat. Penggunaan hukum pidana tidak hanya pragmatis, tetapi juga berorientasi pada nilai. Adanya sanksi perdata dan sanksi adminitrasi negara dalam UUPK merupakan sarana nonpidana yang diharapkan memiliki pengaruh preventif.77 Hukum pidana dapat digunakan bila instrumen hukum lainnya sudah tidak berdaya lagi untuk melindungi konsumen (ultimum remedium). Sebalikya, UUPK telah memulai paradigma baru, jika hukum pidana digunakan bersamasama dngan instrumen hukum lainnya (primum remedium). Paradigma peran konsumen dalam sistem peradilan pidana hingga kini masih tetap terbatas pada saksi korban. 78 Melalui pandangan sistemik hukum yang berdasarkan pada Pasal 1 butir 26 jo. Pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi korban adalah “korban peristiwa tindak pidana yang memberikan keterangan tentang apa yang ia dengar, lihat dan/atau alami sendiri guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Dalam sistem peradilan pidana, posisi saksi korban sering disebut sebagai saksi yang memberatkan tersangka/terdakwa (a decharge)”. 76
Yusuf Shofie, Op. Cit. hlm 115. Susanti Adi Nugroho, Op. Cit. hlm 135. 78 Yusuf Shofie, Op. Cit. hlm 31. 77
Universitas Sumatera Utara
3) Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrumen tata usaha negara Lingkungan peradilan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang terlibat sengketa tata usaha negara. Berdasarkan Pasal 1 butir 4 Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa sengketa tata usaha adalah “sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata berhadapan dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Untuk mengajukan tuntutan sengketa konsumen kepada peradilan tata usaha negara disyaratkan bahwa sengketa tersebut berawal dari adanya suatu penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final. Konkret artinya obyek diputuskan dalam keputusan Tata Usaha Negara (TUN) tidak abstrak tetapi berwujud dan dapat ditentukan. Individu berarti keputusan TUN tersebut tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Final berarti akibat hukum yang ditimbulkan serta maksud dalam putusan TUN harus merupakan akibat hukum yang definitif. 79 Melalui Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional sebagai instansi independen yang diperlukan untuk mengawasi administrasi negara guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik. Keberadaan Ombudsman mempunyai arti penting dalam gerakan perlindungan
79
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit. hlm 137.
Universitas Sumatera Utara
konsumen juga diharapkan dapat mengatasi terputusnya akses masyarakat konsumen terhadap pejabat atau badan pelaksana layanan publik yang sering menutup diri. 80
I.
Penyampaian Informasi Kepada Konsumen Melalui Iklan 1. Pengertian Iklan Kehidupan dunia modern saat ini sangat bergantung pada iklan. Tanpa
iklan para produsen dan distributor tidak akan dapat menjual barangnya, sedangkan disisi lain para pembeli tidak akan memiliki informasi yang memadai mengenai produk barang dan jasa pelaku usaha yang tersedia di pasar. Jika itu terjadi maka dunia industri dan perekonomian modern pasti akan lumpuh. Apabila sebuah perusahaan ingin mempertahankan tingkat keuntungannya, maka ia harus melangsungkan kegiatan-kegiatan periklanan secara memadai dan terus-menerus. Secara filosofis, kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani, yang artinya mengiring orang pada gagasan. Adapun pengertian iklan secara komprehensif (luas) adalah “semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang atau jasa secara nonpersonal melalui media yang dibayar oleh sponsor tertentu. Secara umum, iklan berwujud perjanjian informasi nonpersonal tentang suatu produk atau merek yang dijalankan dengan kompensasi biaya tertentu”.81
80
Ibid, hlm 139. Nana Suryana, “Iklan Di Televisi : Dibenci Tapi Dicari”, Jurnal Kajian Komunikasi dan Informatika : Observasi, Vol. V, No. 2, Mei 2009, hlm 1. 81
Universitas Sumatera Utara
Menurut Soehardi Sigit memberikan defenisi atau pengertian mengenai iklan ditinjau dari cara penyajiannya, yakni “cara penyajian dengan cetakan, tulisan, kata-kata dan gambar-gambar oleh suatu lembaga (perusahaan) dengan maksud untuk mempengaruhi dan meningkatkan penjualan, pemakaian, atau memperoleh jasa dukungan serta pendapat-pendapat”.82 Menurut Tams Djajakusumah melihat bahwa “iklan merupakan salah satu bentuk publisistik. Secara lengkap dikemukakan bahwa iklan adalah salah satu bentuk spesialisasi publisistik yang bertujuan untuk mempertemukan pihak yang menawarkan sesuatu dengan pihak lain yang membutuhkan”. 83 Iklan merupakan salah satu alat komunikasi pemasaran yang potensial walaupun tidak terlalu mudah diukur, sangat berpengaruh pada kinerja pemasaran. Penggunaan iklan mencakup seluruh aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan komersial maupun nonkomersial. Cara yang efektif menyebarkan pesan untuk membangun referensi merek, mendorong pemakaian produk lebih banyak, meyakinkan pasar mengenai keunggulan produk. Proses komunikasi yang dikelola agar efektif menjangkau target sasaran. Sebagai proses komunikasi pemasaran yang spesial (advertising tends to be special way of marketing communication), perlu diolah sedemikian rupa agar dapat menumbuhkan respon dari target yang dituju. 84 Iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk barang / jasa yang disampaikan lewat suatu media, baik cetak maupun elektronik yang ditujukan
82
Soerjono Wirjodiatmo, Konsepsi Marketting Modern dan Tempat Advertising di dalamnya, (Jakarta : PPPI, 1977), hlm. 50. 83 Tams Djajakusumah, Periklanan, (Bandung : Armico, 1982), hlm 9. 84 Ali Hasan, Marketing, (Jakarta : Media Pressindo, 2008), hlm 377.
Universitas Sumatera Utara
kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Keputusan tentang pesan iklan mengenai apa yang akan disampaikan dan bagaimana menyampaikannya serta media mana pesan akan disajikan merupakan hal penting dalam program periklanan. Sasaran pesannya adalah mengajak atau membujuk konsumen agar memilih jenis barang atau jasa suatu perusahaan tertentu daripada barang atau jasa perusahaan saingannya.
2. Tujuan, Prinsip, serta Fungsi Iklan Iklan sebagai bentuk komunikasi antara produsen dan calon pelanggan atau pelanggan (prospect) dengan cara menyebarluaskan informasi produk tertentu kepada pelanggan, dengan tujuan utama dapat mengubah perilaku pelanggan, yaitu perubahan untuk menghasilkan ketertarikan, kesadaran, pemahaman, penerimaan, keyakinan, motivasi, dan pembelian produk. Respon terhadap iklan yang diinginkan menyangkut sikap positif (positive attitude) terhadap produk, jasa maupun ide yang ditawarkan. Iklan sebagai proses komunikasi pemasaran harus memiliki kekuatan persuasif dan sesuai dengan kode etik periklanan. 85 Langkah-langkah atas komunikasi persuasif tersebut menunjukkan adanya tiga tujuan utama dari pemasangan iklan yaitu: 86 a. Membentuk kesadaran khayalak untuk mengetahui segala sesuatunya tentang barang atau jasa tertentu yang ditawarkan; b. Menciptakan perasaan khayalak sedemikian rupa sehingga menyukai dan memilih barang atau jasa yang ditawarkan tersebut; 85
Ali Hasan, Op. Cit. hlm 378. Kustadi Suhandang, Periklanan : Manajemen, Kiat dan Strategi, (Bandung : Nuansa, 2010), hlm 62. 86
Universitas Sumatera Utara
c. Mendorong khayalak agar berpikir dan bertindak serta menggunakan barang atau jasa yang ditawarkan itu. Tujuan tersebut bisa tercapai bertahap atau berubah dari tujuan yang pertama ketujuan berikutnya, sampai tujuan akhir sesuai dengan kegunaan dan fungsi barang atau jasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Apabila barang atau jasa itu mulai dipasarkan, maka tujuan utama pemasangan iklan dimaksud mungkin baru memberikan informasi tentang barang atau jasa tersebut secara rinci. Kemudian jika laju pemasarannya makin pesat, maka tekanan tujuannya ditempatkan pada daya tarik yang bersaing. Selanjutnya apabila pasaran barang atau jasa itu masuk kedalam tahap yang lebih mantap perkembangannya, pemasangan iklan dapat lebih ditujukan pada memelihara nama dan merek dari barang atau jasa tersebut dikalangan konsumennya. Disamping tujuan iklan sebagai sarana pemberi dan penyebar informasi, maka iklan juga mempunyai tujuan lain, yaitu sebagai berikut : 87 a. Iklan membantu agar sesuatu dapat dikenal, sebab orang tidak akan berhubungan dengan hal-hal yang belum pernah mereka dengar atau lebih suka berhubungan dengan hal-hal yang sudah mereka kenal; b. Iklan mendorong timbulnya pandangan yang positif mengenai suatu produk; c. Iklan membantu menanamkan citra atau ciri-ciri tertentu terhadap suatu produk yang diluncurkan; d. Iklan membantu memposisikan suatu produk dalam sebuah segmen dan mengidentifikasikan produk dengan segmen tersebut; e. Iklan membuat konsumen tertarik terhadap produk yang ditawarkan; f. Apabila produk yang diiklankan ternyata memikat hati konsumen, maka konsumen akan memenuhi keinginannya untuk memiliki produk tersebut; g. Iklan merupakan sarana yang ampuh bagi peluncuran produk ke pasar; h. Iklan dapat menonjolkan perbedaan, kelebihan-kelebihan dari suatu produk, daripada produk yang sudah ada.
87
Dedi Harianto, Op. Cit. hlm 101.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun secara umum tujuan pemasangan iklan adalah untuk mengkomunikasikan suatu produk kepada masyarakat, namun tujuan spesifik pemasangan iklan bagi bank beraneka macam, diantaranya yaitu : 88 a. Untuk pemberitahuan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan produk dan jasa bank yang dimiliki oleh suatu bank; b. Untuk mengingatkan kembali kepada nasabah tentang keberadaan atau keunggulan jasa bank yang ditawarkan; c. Untuk menarik perhatian dan minat para nasabah baru dengan harapan akan memperoleh daya tarik dari para calon nasabah; d. Mempengaruhi nasabah saingan agar berpindah ke bank yang mengiklankan; e. Membangun citra perusahaan untuk jangka panjang, baik untuk produk yang dihasilkan maupun nama perusahaan. Sebagai salah satu bentuk proposal, bahwa iklan memiliki prinsip-prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar iklan tersebut perlu diketahui sebelum membuat atau mengiklankan usaha bisnis agar iklan yang dibuat nantinya tidak bertentangan dari tujuan. Ada beberapa prinsip dasar iklan antara lain : 89 a. b. c. d. e. f.
Adanya pesan tertentu; Dilakukan oleh komunikator (sponsor); Dilakukan dengan cara nonpersonal; Disampaikan untuk khalayak tertentu; Dalam penyampaian pesan dilakukan dengan cara membayar; Penyampaian pesan tersebut mengharapkan dampak tertentu. Pesan iklan yang efektif yaitu dengan menentukan pesan apa yang akan
dikomunikasikan kepada konsumen. Pesan tersebut dibuat dan disampaikan oleh komunikator atau sponsor tertentu secara jelas dan mempunyai makna tertentu. Pesan iklan cenderung berupa kalimat langsung dan sederhana yang disampaikan
88
Kasmir, Pemasaran Bank : Edisi Revisi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 157. 89 Niken Tri Hapsari, Seluk-Beluk Promosi dan Bisnis : Cerdas Beriklan untuk Usaha Kecil dan Menengah, (Yogyakarta : A+Plus Books, 2010), hlm 51-54.
Universitas Sumatera Utara
melalui media mengenai pokok-pokok dan manfaat yang ingin ditekankan oleh pemasang iklan. Pemasang iklan harus mengembangkan konsep kreatif yang meyakinkan atau ide besar yang akan menghidupkan strategi pesan dengan cara yang unik dan tidak mudah dilupakan. 90 Untuk
mendapatkan
hasil
maksimal dalam
beriklan,
sebaiknya
sasarannya bersifat khusus, yaitu ditujukan untuk khalayak tertentu saja. Pesan yang disampaikan dalam sebuah iklan tidak diberikan kepada semua orang, tetapi kelompok masyarakat tertentu sesuai dengan produk yang dijual. Sasaran khalayak yang dipilih tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa pada dasarnya setiap kelompok memiliki keinginan, kebutuhan, karakteristik, dan keyakinan tertentu terhadap sesuatu. Dengan demikian, pesan yang diberikan harus dirancang khusus sesuai dengan target khalayak. 91 Setelah menyusun tujuan pemasangan iklan yang akan digunakan, perusahaan harus menentukan banyaknya biaya yang akan dikeluarkan. Menentukan jumlah anggaran yang ideal sangat sulit karena tidak ada ukuran yang pasti dalam menentukan besarnya biaya bagi suatu iklan yang berhasil. Selain kendali biaya media yang lebih ketat, pengiklan terus mencari metode promosi dan periklanan alternatif untuk menekan biaya. 92 Semua iklan yang diciptakan dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak tertentu ditengah khalayak, misalnya agar khalayak mengikuti pesan iklan, seperti membeli produk tertentu dengan segera, setia
90
Kotler dan Armstrong, Prinsip-Prinsip Pemasaran, (Jakarta : Erlangga, 2001),
hlm 160. 91 92
Niken Tri Hapsari, Op. Cit. hlm 51-54. Kustadi Suhandang, Op. Cit. hlm 79.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan produk yang diiklankan dan lain sebagainya. Pemasang iklan harus mengubah ide besar menjadi pelaksanaan iklan aktual yang akan menangkap perhatian dan minat pasar sasaran. Definisi dan klasifikasi hanya memberikan sebuah bahasa umum untuk mengembangkan pemahaman tentang periklanan. Efek periklanan pada sebuah organisasi bisa jadi dramatik dan perlu dieksplorasi. Disamping tujuan dan prinsip dasar, iklan juga memiliki fungsi yang dapat mendukung dalam penjualan produknya, antara lain : 93 a. Sumber informasi Melalui iklan maka konsumen dapat mengetahui kriteria produk barang maupun jasa yang ditawarkan sehingga informasi yang mereka peroleh dapat menjadi bahan pertimbangan mereka untuk membuat keputusan pembelian; b. Membujuk dan mempengaruhi Dengan informasi yang dikemas sedemikian rupa yang disampaikan melalui iklan dapat mempengaruhi pikiran orang untuk melakukan tindakan pembelian terhadap produk atau merek tersebut; c. Menciptakan citra Produk yang sudah memiliki citra yang baik di tengah kehidupan masyarakat akan dengan mudah mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian; d. Sebagai alat komunikasi Periklanan merupakan alat komunikasi antara penjual dan pembeli dimana dengan beriklan dapat diketahui puas atau tidaknya konsumen sehingga pihak produsen bisa lebih meningkatkan mutu produk atau merek pada waktu yang akan datang; e. Kegiatan ekonomi Periklanan membuat pelaku bisnis tetap memperdagangkan produknya dengan kegiatan tersebut berarti usaha masih akan berkembang pada masa yang akan datang; f. Identitas pelaku usaha Melalui periklanan masyarakat akan mengetahui identitas pelaku usaha dan masyarakat akan lebih mengenal ciri khas yang dimiliki oleh pelaku usaha;
93
Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, (Bandung : Citra Aditya Bakti. 2004), hlm 55-57.
Universitas Sumatera Utara
g. Sarana kontrol Melalui periklanan masyarakat dapat membedakan produk-produk yang asli dengan yang tiruan karena banyaknya produk-produk yang mirip di pasaran.
3. Media Periklanan dan Pengaturan serta Perlindungannya Setiap pemasang iklan harus dapat memutuskan dimana iklannya akan ditempatkan. Keputusan dimaksud berhubungan erat dengan khayalak sasarannya, jenis produk, persediaan dana, dan tujuan kampanye. Hal tersebut penting untuk mengetahui media mana yang bisa digunakan dalam menjangkau khayalak sasarannya. Dalam menentukan dimana menempatkan iklannya, suatu perusahaan harus memilih beberapa media yang bisa digunakan secara tunggal atau bersamasama. Dalam hal ini para pemasang iklan ataupun pengusaha harus bisa memilih media yang efektif bagi pencapaian tujuan iklannya. Media massa berperan ganda dalam periklanan yaitu menyediakan pengetahuan teknologi pengiriman pesan dan aktif mengambil bagian didalam menentukan pesan apa yang harus disampaikan. Berbagai ragam media massa menghiasi sistem komunikasi dikalangan masyarakat seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan papan pengumuman (billboard). a. Surat Kabar Surat kabar merupakan medium daerah yang sangat penting serta tinggi potensi jangkauannya. Dengan publikasi hariannya, surat kabar dapat mengarahkan iklan langsung dan cepat kepada konsumen. Namun, surat kabar jarang disimpan pembelinya, maka perusahaan-perusahaan besar umumnya membatasai iklannya bagi konsumen yang cepat memberikan respon saja. Perusahaan pun tidak bisa mengandalkan surat kabar untuk
Universitas Sumatera Utara
pemasangan iklan berwarna sebagaimana warna produk aslinya. Meskipun demikian sifatnya yang dokumentatif, surat kabar dapat disimpan untuk sewaktu-waktu diperlukan kembali. Dengan demikian iklan melalui surat kabar dapat berumur lama kegunaannya dan respon masyarakat relatif cepat.94 b. Majalah Seperti halnya surat kabar, majalah merupakan media cetak yang dapat diandalkan
untuk
meraih
perhatian
masyarakat
akan
iklan
yang
disajikannya. Majalah menyediakan visual yang kuat untuk meningkatkan kesadaran dan memiliki kemampuan menyampaikan pesan yang dapat melekat pada pemirsa. Majalah mudah dibawa, berumur panjang, dan kerap digilirkan pada beberapa pembaca. 95 c. Televisi Televisi merupakan media yang menguntungkan, sebab melakukan komunikasi secara audio visual. Dari segi komunikasi, dalam arti pengaruh, televisi memiliki keuntungan atas pesannya yang bisa dilihat serta didengar dalam waktu yang bersamaan. Selain itu media televisi memiliki sifat-sifat dimana daya penyampainnya langsung tanpa mengenal batas jarak dan waktu,
siarannya
dapat
diikuti
dan
dinikmati
dalam
lingkungan
kekeluargaan serta menggunakan cara komunikasi dengan gambar-gambar bergerak disertai suara dan diproyeksikan pada layar atau melakukan penerjemahan alam pikiran dan kata-kata kedalam bahasa gambar sehingga 94 95
Kustadi Suhandang, Op. Cit. hlm 86. Kleppner, Prosedur Periklanan, (Jakarta : Indeks, 2009), hlm 427.
Universitas Sumatera Utara
memudahkan pemahaman orang-orang yang buta huruf. Walupun demikin para pemasang iklan hendaknya memperhitungkan kelemahan dari pengguanaan televisi, sebab membutuhkan biaya yang mahal serta terdapat dibeberapa daerah yang tidak semua dapat dicapai oleh gelombang siaran televisi.96 d. Radio Media ini memiliki daya penyampaian langsung, membawakan suara antara tempat-tempat
yang
berjauhan
jaraknya
dengan
pengiriman
dan
penerimaannya terjadi pada saat yang hampir bersamaan. Radio memiliki sejumlah karakteristik yang menjadikannya wahana yang ideal untuk banyak pengiklan sebagai media primer maupun sekunder. Namun, pengiklan butuh untuk menyadari beberapa kerugian utama yang harus dipertimbangkan sebelum menggunakan radio, diantaranya adalah jumlah stasiun yang luar biasa menciptakan lingkungan terbagi terutama bagi para pengiklan yang butuh untuk menjangkau pemirsa umum, kekacauan, kurangnya elemen visual dari media, serta peningkatan penggunaan perangkat MP3 dan radio digital. 97 e. Papan pengumuman (billboard) Medium yang sangat efektif bagi pemasangan iklan reminder adalah papan pengumuan atau billboard, seperti iklan-iklan yang terpampang pada papanpapan reklame yang gampang ditangkap mata. Iklan yang demikian dapat menghasilkan jangkauan dan frekuensi lebih baik terhadap masyarakat 96 97
Kustadi Suhandang, Op. Cit. hlm 88. Kleppner, Op. Cit. hlm 370.
Universitas Sumatera Utara
sekitar yang melewati tempat dimana iklan itu terpampang. Namun, media ini tidak luput dari kekurangannya yaitu tidak memiliki peluang untuk menampilkan iklan yang naskahnya panjang. Jadi membatasi pengenalan produk yang lengkap informasinya.98 Media iklan juga termasuk sarana komunikasi yang digunakan untuk mempromosikan suatu barang atau jasa kepada konsumen. Media iklan yang digunakan untuk menyampaikan iklan sebaiknya dipilih sesuai dengan kebutuhan. Banyaknya media yang dapat dipilih saat ini menjadikan para pengiklan lebih leluasa dalam memilih alternatif yang paling efektif dan tepat sasaran. Semua produk teknologi yang tersedia di pasar telah dimanfaatkan oleh dunia periklanan dengan tujuan lebih mendekatkan ide iklan yang sesungguhnya untuk disampaikan kepada masyarakat luas. Penggunaan teknologi canggih diharapkan dapat lebih meningkatkan keefektifan iklan. Pengaturan mengenai media periklanan dapat dilihat berdasarkan langkah-langkah dalam memilih media periklanan tersebut. Pengaturan ini diharapkan agar kegiatan periklanan dilakukan tidak sia-sia. Pengaturan ini dapat mendatar dalam periode waktu tertentu, dilihat sebagai berikut: 99 a. Menentukan jangkauan, frekuensi, dan dampak; b. Memilih diantara jenis-jenis media utama; c. Menetapkan jadwal media. Untuk menyeleksi media, pemasang iklan harus menentukan jangkauan dan frekuensi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan iklan. Jangkauan adalah jumlah orang yang memperhatikan/melihat/mendengar iklan selama suatu periode 98 99
Kustadi Suhandang , Op. Cit. hlm 94. Niken Tri Hapsari, Op. Cit. hlm 104 – 105.
Universitas Sumatera Utara
waktu yang ditentukan. Frekuensi adalah jumlah dalam suatu periode tertentu bagi orang yang menerima pesan iklan. Pada umumnya, semakin luasnya jangkauan, semakin tingginya frekuensi, dan semakin besarnya dampak yang dicari pemasang iklan, semkin tinggi pula anggaran periklanan yang harus dibuat. 100 Perencana media harus mengetahui daya jangkau, frekuensi, dan dampak dari setiap tipe media utama. Tipe-tipe media utama seperti surat kabar, televisi, pengiriman lewat pos, radio, majalah, aktivitas luar ruangan, dan internet. Perencana media mempertimbangkan banyak faktor ketika melakukan pemilihan media. Langkah terakhir proses perencanaan media adalah pengembangan jadwal media yang rinci. Jadwal media merupakan panduan bagi pembeli media untuk membuat strategi media yang dikembangkan oleh perencana. Jadwal media menyajikan dengan tepat secara rinci dan khusus media apa yang akan dibeli, kapan media itu akan dibeli, dan berapa banyak waktu atau ruang yang akan digunakan untuk setiap iklan. 101 Perlindungan atas suatu media periklanan tergantung pada pelaku usaha yang memasang iklan pada media periklanan tersebut, misalnya media periklanan televisi. Bentuk perlindungan oleh pelaku usaha terhadap media periklanan adalah dengan mengawasi penyampaian pesan atau informasi mengenai obyek yang akan diiklankan sesuai dengan gambar (visual) yang ditayangkan agar sesuai penyampaiannya karena televisi merupakan media periklanan yang memberikan pesan atau informasi dengan kombinasi suara dan gambar. Selain itu terdapat 100 101
Kotler dan Armstrong , Op. Cit. hlm 164. Kleppner, Op. Cit. hlm 314.
Universitas Sumatera Utara
media periklanan lainnya seperti radio. Bentuk perlindungan terhadap media periklanan ini dengan menyesuaikan pesan yang disampaikan atas obyek yang diiklankan dari radio agar dapat tergambar oleh masyarakat yang mendengar karena penyampaian pesan atau informasi melalui radio hanya berupa suara atau audio. Perlindungan ini diupayakan agar masyarakat tidak salah mengartikan bentuk informasi yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
4. Bentuk-bentuk Pelanggaran Tayangan Iklan Berkaitan dengan periklanan, UUPK memuat pengaturannya bersamaan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Larangan-larangan ini berlaku bagi para pihak yang terkait dengan kegiatan periklanan, serta media massa elektronik maupun non-elektronik yang akan menayangkan iklan tersebut. Mereka secara bersama-sama memiliki tanggung jawab untuk mencegah pemberian informasi yang menyesatkan konsumen, yaitu dengan selalu menyaring setiap informasi yang akan diiklankan pada saat proses negosiasi antara pengiklan dengan perusahaan periklanan, proses penuangan ide kreatif perusahaan periklanan dalam pembuatan iklan, sampai pada saat dimana iklan tersebut disampaikan kepada media pers untuk ditayangkan. Memperhatikan
substansi
ketentuan
Pasal
9
Undang-undang
Perlindungan Konsumen (UUPK), merupakan bentuk larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah barang tersebut telah memiliki potongan harga, memenuhi standar mutu tertentu, dalam keadaan baik
Universitas Sumatera Utara
atau baru, tidak mengandung cacat tersembunyi, secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain, mempergunakan kata-kata yang berlebihan, menawarkan sesuatu janji yang belum pasti. 102 Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UUPK berkenaan dengan upaya pemberian informasi menyesatkan melalui iklan, yaitu menyangkut informasi mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi, tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan, dan bahaya penggunaan barang. Apabila konsumen tidak berhati-hati dalam mencermati informasi iklan-iklan menyesatkan tersebut, maka konsumen akan salah menjatuhkan pilihan atau akan mengalami kerugian. Ketentuan dalam Pasal 12 UUPK berkaitan dengan iklan-iklan potongan harga atau tarif-tarif khusus yang marak ditawarkan pelaku usaha untuk menarik perhatian konsumen untuk datang bertransaksi atau mempergunakan fasilitas tertentu. Konsumen hendaknya jangan terlalu tergiur dengan iklan potongan harga atau tarif khusus yang ditawarkan pelaku usaha karena bisa saja produk yang ditawarkan potongan harganya tersebut adalah produk stok lama atau produk yang tidak diminati lagi oleh konsumen karena sudah ketinggalan zaman. Ketentuan sebagaimana yang dimakasud Pasal 17 ayat 1 UUPK, bagi iklan-iklan yang melanggar ketentuan dalam ayat ini, maka
pelaku usaha
periklanan dilarang untuk melanjutkan peredaran iklan tersebut. Dalam mempersiapkan pembuatan suatu iklan, peran pelaku usaha periklanan sangat menentukan. Melalui ide-ide kreatifnya, pesan-pesan dari pengiklan dapat
102
Dedi Harianto, Op. Cit. hlm 57.
Universitas Sumatera Utara
dikemas sedemikian rupa dengan sangat menarik guna mencuri perhatian konsumen. Dalam Pasal 20 UUPK dengan tegas disebutkan bahwa “pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Sebagai konsekuensi tanggung jawab profesional pelaku usaha periklanan, maka pelaku usaha periklanan dianggap turut bertanggung jawab terhadap setiap iklan hasil karyanya dengan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”. 103
Iklan juga tidak boleh memuat kata-kata yang berlebihan seperti nomor satu, ter, paling, tanpa disertai pembuktian keunggulan, kelebihan produk tersebut, serta didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga yang independent. Sebagai contoh, iklan Head and Shoulder Shampoo, Darius menanyakan tentang shampo nomor dua dan nomor satu di dunia. Tokoh dalam iklan tersebut tidak mengetahui shampoo nomor dua di dunia, Ia hanya mengetahui shampoo nomor satu di dunia. Dalam iklan ini jelas tampil tulisan “No.1″. Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan/atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.104 Salah satu bentuk pelanggaran lainnya yang dapat dilakukan pelaku usaha periklanan adalah dengan tidak menyampaikan informasi secara lengkap mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa. Informasi tersebut sangat 103
Ibid, hlm 62. “Iklan TV Masih Doyan Langgar Etika”, http://melekmedia.org/kajian/pantaumedia/iklan-tv-masih-doyan-langgar-etika/, diakses tanggal 06 Maret 2015, pukul 12.09. 104
Universitas Sumatera Utara
berguna bagi konsumen agar terhindar dari dampak negatif penggunaan barang dan/atau jasa yang dapat membahayakan keselamatan konsumen. Sebagai contoh, tragedi yang bermula dari sejenis obat yang dipublikasikan secara luas pada akhir tahun 1950-an guna mengontrol rasa mual selama beberapa minggu kehamilan. Publikasi ini dilakukan tanpa mencantumkan efek samping penggunaan obat tersebut. Ternyata akibat mengkonsumsi obat tersebut menyebabkan kegagalan pembentukan janin dalam rahim ibu, maka lahirlah beribu-ribu bayi tanpa anggota badan yang lengkap di Eropa dan Australia. Dari kasus ini, pengiklan dan perusahaan harus selalu berhati-hati dalam membuat dan menyajikan kreativitas iklan obat-obatan.105 Upaya untuk melakukan evaluasi dampak informasi iklan terhadap konsumen rasional berkaitan dengan tingkat kepercayaan konsumen terhadap muatan informasi dalam iklan. Apakah informasi iklan yang menyesatkan tersebut benar-benar dipercaya oleh konsumen, sehingga dijadikan panduan dalam menentukan pilihan atau konsumen sama sekali tidak mempercayai muatan informasi iklan menyesatkan tersebut sehingga tidak dijadikan panduan dalam menentukan pilihan. 106
105 106
Dedi Harianto , Op. Cit. hlm 114. Ibid, hlm 128.
Universitas Sumatera Utara